Anda di halaman 1dari 13

MEMBANGUN PUSAT STUDI YANG TRANSFORMATIF

Charles Simabura
Peneliti Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) FH Universitas Andalas

Mencerdaskan kehidupan bangsa dan


Memajukan kesejahteraan umum.

Kutipan dari pembukaan UUD NRI tahun 1945 tersebut mengamanatkan


tugas utama bangsa Indonesia adalah membangun pendidikan guna
mewujudkan kesejahteraan bangsa. Sejalan dengan cita-cita bangsa maka sulit
kiranya mewujudkan kesejahteraan tanpa kualitas pendidikan yang baik.
Sayangnya semua itu akan menjadi hancur manakala sebuah Negara
terkungkung dalam jerat korupsi yang sangat akut. Fakta membuktikan begitu
banyak kegagalan pencapaian tujuan negara akibat korupsi.
Perlawanan terhadap korupsi sama tuanya dengan perlawanan terhadap
kejahatan pada umumnya. Perlawanan publik terhadap korupsi telah menjadi
gerakan semesta di Indonesia. Gerakan melawan korupsi terus mengikuti
penyebaran virus korupsi itu sendiri. Dalam konteks Indonesia gerakan
melawan korupsi setidaknya telah dimulai dari awal kemerdekaan. Hal ini
ditandai dengan munculnya beberapa institusi yang dibentuk untuk
memberantas korupsi. Institusi dimaksud antara lain :1
a. Masa Orde Lama : Badan Koordinasi Penilik Harta Benda, Badan
Pengawas Kegiatan Aparatur Negara, Panitia Retooling Aparatur
Negara (Paran I, II (Operasi Budi), Komando Retooling Aparatur
Revolusi (Kotrar);
b. Masa Orde Baru : Tim Pemberantas Korupsi (1967), Komisi 4, Operasi
Penertiban, Tim Pemberantasan Korupsi (1982);
c. Era Reformasi : Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,
Tim Koordinasi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Komisi
Pemberantasan Korupsi.
Kehadiran lembaga dimaksud secara silih berganti menunjukkan upaya
bangsa ini melawan korupsi tak pernah kenal lelah. Pasang surut perlawanan
terhadap korupsi mengikuti pasang surut rezim yang berkuasa di republik ini.

1 Dirangkum dari Deny Indrayana, Jangan Bunuh KPK, Intrans Publishing, ICW, PuKAT FH UGM, 2016,
h. 1-40
Hidup matinya lembaga anti korupsi hampir selalu dikarenakan perlawanan dari
para koruptor pada masing-masing rezim. Setidaknya terdapat beberapa modus
serangan balik dari koruptor yang meliputi :2 1) pelemahan dengan membentuk
badan baru yang bertujuan melemahkan lembaga sebelumnya, 2) dibubarkan
secara resmi sebagai lembaga anti korupsi, 3) tidak ada pembubaran namun
perannya terus dikurangi, 4) pelemahan dengan upaya pembatalan dasar hukum
pembentukannya.
Meskipun demikian upaya untuk terus melawan gerakan pelemahan
pemberantasan korupsi selalu digelorakan oleh berbagai kalangan. Tidak hanya
dari kaum terdidik, kelompok masyarakat di akar rumput pun aktif terlibat
mulai dari petani, nelayan, buruh, karyawan, sopir, para profesional, pengusaha,
pedagang dan para pekerja lainnya. Faktor pemicu kemarahan dan gerakan
perlawanan publik terhadap korupsi sangat mudah diidentifikasi. Ketidakpuasan
terhadap kualitas pelayanan publik berimplikasi pada menurunnya derajat
kesejahteraan. Mahalnya biaya pendidikan dan buruknya kualitas pendidikan
maupun kesehatan serta berbelitnya proses perizinan menjadi bukti bahwa
dampak korupsi dirasakan langsung oleh publik.
Mengingat begitu semrawut dan sistemiknya persoalan korupsi maka
diperlukan upaya luar biasa untuk menanggulanginya. Masyarakat yang terdidik
menjadi kunci utama dalam melakukan perlawanan terhadap korupsi. Untuk
memperkuat upaya dimaksud salah satunya sangat ditentukan oleh peran dunia
pendidikan. Begitu pentingnya peran dunia pendidikan dikarenakan disanalah
proses pembentukan kader bangsa yang jujur dan berintegritas. Kegagalan
melahirkan tenaga didik yang jujur dan berintegritas menjadi cikal bakal bagi
kegagalan membangun bangsa.
Pendidikan tinggi sebagai jenjang tertinggi dalam pendidikan formal di
Indonesia memiliki tridharma perguruan tinggi yang meliputi : pendidikan,
pengabdian masyarakat dan penelitian. Dalam konteks upaya pemberantasan
korupsi kalangan civitas akademika harus mampu mengkombinasikan ketiga
tridharma tersebut. Tridharma perguruan tinggi menghendaki kalangan civitas
akademika untuk aktif melakukan kajian dan penelitian baik secara personal

2 Ibid. h. 40
maupun melembaga dalam pusat-pusat kajian atau lembaga penelitian di
kampus ataupun di luar kampus.
Dalam bidang pendidikan kalangan civitas akademika tidak hanya
memberikan pengetahuan (tansfer of knowledge) namun juga mengajarkan nilai-
nilai keteladanan (transfer of value). Kewajiban ketiga adalah melakukan
pengabdian masyarakat artinya kalangan civitas akademika harus hadir bersama
masyarakat guna menyelesaikan segala persoalan yang muncul di tengah-tengah
masyarakat. Kampus tidak boleh menjadi menara gading ilmu pengetahuan di
tengah bobroknya kondisi Negara. Dalam konteks ini Tan Malaka (Madilog,
1948) pernah berujar guna mengingatkan kaum muda yang terdidik (dosen dan
mahasiswa) yang enggan hadir dalam kehidupan masyarakat :
Bila kaum muda yang telah belajar di sekolah dan menganggap dirinya
terlalu tinggi dan pintar untuk melebur dengan masyarakat yang bekerja
dengan cangkul dan hanya memiliki cita-cita yang sederhana, maka lebih
baik pendidikan itu tidak diberikan sama sekali.

Sejalan dengan ketiga dharma tersebut, kalangan civitas akademika harus


mampu mengimplementasikannya secara berimbang. Perguruan tinggi bukanlah
intitusi yang jauh dari realitas. Sejarah membuktikan betapa besar peran
kampus dengan obyektivitas dan moralitas keilmuannya sebagai pilar
peradaban bangsa. Kaum terpelajar telah membuktikan perannya dalam sejarah
pergerakan nasional terutama menginisiasi dan mengawal transisi demokrasi.
Bahkan, kehadiran kalangan kampus selalu menjadi penentu bagi
keberhasilan gerakan perubahan di Indonesia. Sejarah mencatat antara lain
gerakan aktivis kampus angkatan 1908, 1928, 1945, 1966, 1974, 1978, dan 1998
dalam perubahan rezim kekuasaan di Indonesia. Atas peran penting dimaksud
kadangkala memunculkan kekhawatiran bagi kekuasaan politik. Terbukti pada
tahun 1977/1978 Orde Baru melahirkan kebijakan Normalisasi Kehidupan
Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan (NKK/BKK).
Kebijakan tersebut menjauhkan kampus (khsusnya mahasiswa) dari
gerakan politik dan realitas kehidupan sosial masyarakat. Tertutupnya ruang
demokrasi dan jauhnya gerakan mahasiswa (kampus) dari rakyat
mengakibatkan frustasi yang meluas di tingkatan gerakan mahasiswa. Pada era
tersebut pusat studi yang dibentuk para akademisi justru berada dalam masa
“kegegelapan”. Akademisi menjadi salah satu pilar Orde Baru dalam melahirkan
kebijakan yang tak pro rakyat. Meskipun terdapat pusat studi yang konsisten
dengan idealisme keilmuan, sulit rasanya untuk hidup dan berkembang di masa
itu. Terjadilah gap antara pusat studi di kampus dengan gerakan sosial
kemasyarakatan.
Perlahan dan pasti diam-diam kalangan kritis di kampus membangun
kolaborasi dengan gerakan masyarakat sipil di luar kampus. Kelompok-
kelompok kritis bermunculan dan ini menjadi salah satu cikal bakal lahirnya
Lembaga Swadaya Masyarakat di Indonesia. 3 Tindakan Orde Baru yang
melupakan peran aktivis kampus dalam menggulingkan rezim sebelumnya
seakan menjadi karma. Orde Baru jelas tak menginginkan hal yang sama terjadi
padanya, sejarah justru kembali membuktikan bahwa kejatuhan rezim tersebut
kembali dimotori oleh kalangan aktivis kampus.
Dengan posisi akademiknya yang sangat strategis, kampus berperan
dalam membangun gerakan keilmuan dalam perbaikan kondisi sosial
kemasyarakatan. Di sisi lain sikap kritis kalangan civitas akademika dapat
menjadi ancaman bagi kelangsungan rezim penguasa. Sungguh peran yang
cukup dilematis.
Pada era sekarang gerakan keilmuan kampus mewujud salah satunya
melalui kehadiran pusat-pusat studi. Pusat studi hadir baik secara formal
terintegrasi dalam struktur universitas maupun secara informal yang mewujud
dalam forum kajian maupun diskusi lepas pada kelompok/komunitas kritis di
kampus. Maraknya kehadiran pusat studi tidak boleh mengulangi “dosa” masa
lalu dan sudah saatnya kembali kepada khitah sebagai bagian dari gerakan
perubahan sosial.
Dalam prespektif strukturalis kehadiran pusat studi memiliki dua
prespektif, pertama, sebagai bagian dari organ kampus dan kedua, representasi
kebebasan akademik. Mengawinkan kedua hal dimaksud agar sejalan
kadangkala tidaklah mudah. Sebagai bagian dari organ kampus tentu terikat
dengan standar organisai dan manajmen yang tertuang dalam peratuan internal
maupun peraturan perundang-undangan lainnya. Dalam kerangka kebebasan

3HCB. Dharmawan, ,Lembaga Swadaya Masyarakat, Menyuarakan Nurani Menggapai Kesetaraan, Penerbit
Kompas, 2004, h. 43
akademik pusat studi bebas untuk melakukan kajian dan segala hal yang berkait
dengan pengembangan keilmuan.
Dalam konteks mendukung upaya pemberantasan korupsi wujud nyata
peran perguruan tinggi salah satunya dilakukan melalui kerjasama dengan para
penegak hukum (Kepolisian, Kejaksaan, Mahkamah Agung, Komisi Yudisial,
Komisi Pemberantasan Korupsi) dan lembaga-lembaga sosial kemasayarakatn
lainnya. Pusat Studi Konstitusi (PUSaKo) sebagai bagian dari Universitas Andalas
baik langsung maupun tidak langsung telah menjalin kerjasama dengan KPK
sebagai wujud implementasi turunan dari Nota Kesepahaman/Memorandum of
Understanding (MoU) dengan 82 (delapan puluh dua) Perguruan Tinggi Negeri
dan Swasta di Indonesia.
Meskipun merupakan Pusat Studi yang lebih menitikberatkan pada kajian
konstitusi, PUSaKo terlibat aktif dalam kampanye gerakan anti korupsi.
Perwujudan kerjasama tersebut antara lain melalui keterlibatan dalam kegiatan
perekaman persidangan tipikor sebagai bentuk pengawasan dan mendorong
transparansi peradilan, melakukan kajian terkait tindak pidana korupsi maupun
eksaminasi/bedah kasus terhadap putusan peradilan.
Dalam bidang pencegahan korupsi antara lain PUSaKo juga terlibat dalam
Pendidikan Anti-korupsi/kurikulum anti-korupsi, penelitian, sosialisasi dan
partner beserta komponen masyarakat sipil lainnya dalam kampanye
antikorupsi. Khusus dalam bidang Penindakan, personel PUSaKo terlibat dalam
pemberian keterangan ahli di persidangan dan narasumber dalam hal pelatihan
penguatan institusi Komisi Pemberantasan Korupsi.
Dari pengalaman yang ada setidaknya terdapat beberapa poin penting
yang mempengaruhi pasang surutnya keberhasilan gerakan anti korupsi :
1. konsistensi lembaga dan personel pusat studi dalam memperjuangkan
gerakan anti korupsi;
2. komitmen untuk terus berada di garda terdepan dalam melawan upaya
pelemahan gerakan antikorupsi;
3. moralitas yang tinggi sehingga tak tergoda dengan iming-iming yang
dapat merusak kemurnian gerakan anti korupsi;
4. satu kata antara perbuatan dan perkataan, nilai-nilai anti korupsi menjadi
prinsip dasar dalam mengelola pusat studi.
Tantangan yang dihadapi gerakan anti korupsi kadangkala justru berasal
dari internal kampus sendiri. Tak jarang ketidakberpihakan terhadap gerakan
anti korupsi malah datang dari sesama kolega. Dengan berbagai prespektif,
delegitimasi atas gerakan anti korupsi menjadi paradox dengan kesepakatan-
kesepakatan yang telah dibuat kampus dengan banyak lembaga. Artinya
seringkali kesepakatan yang dibuat hanya menjadi aksesoris gerakan anti
korupsi tidak terimplementasi secara institusional apalagi personal.
Gerakan anti korupsi seringkali mendapat cibiran justru dari sesama
akademisi. Akibatnya, kampus muncul dengan dua wajah yang berbeda di
hadapan publik, sebagian aktif dalam gerakan anti korupsi sedangkan sebagian
lagi aktif melakukan pembelaan terhadap para koruptor. Robert Klitgard pernah
mengkritik keras pernyataan para sajana yang menyatakan bahwa korupsi itu
baik bagi negara-negara berkembang.4 Sehingga ada pemakluman secara sadar
terhadap maraknya korupsi yang terjadi di Negara berkembang termasuk
Indonesia.
Perbedaan sikap para akademisi yang kontra dengan gerakan “pembela
koruptor” secara langsung ataupun tidak telah ikut memperlemah gerakan
antikorupsi. Padahal, pembelahan sikap publik justru berawal dari terbelahnya
pendapat akademisi. Untuk itu ada baiknya pihak-pihak yang kontra terhadap
gerakan anti korupsi mengambil sikap diam. Orang bijak telah mengingatkan :
Jika tak ingin memperbaiki janganlah engkau ikut merusak. Pesan ini
menghendaki bagi siapapun yang tak ingin memperbaiki keadaan ada baiknya
diam dan jangan malah ikut menghancurkan gerakan anti korupsi.
Meskipun kebebasan akademik sebenarnya menghendaki keberpihakan
bagi gerakan anti korupsi sebagai hal utama namun diakui sulit mewujudkannya.
Pada titik tertentu “gerakan oposisi” yang muncul dari sesama akademisi harus
direspon posistif sebagai penyeimbang. Sebaik apapun sebuah gerakan secara
alamiah tetap membutuhkan oposan guna terus mengingatkan bahwa gerakan
ini tidaklah mudah. Perbedaan pendapat harus dijadikan sebagai alarm untuk
selalu berhati-hati. Dengan demikian konsistensi sikap gerakan dapat terus
dipertahankan.

4 Robert Klitgard, Membasmi Korupsi, Yayasan Obor Indonesia, 2001, h. 38


Dalam rangka menjaga konsistensi, penting kiranya pusat studi
menerapkan nilai-nilai bersama. Kebebasan berpendapat harus dijunjung tinggi
dan perbedaan pendapat menjadi suatu yang mutlak untuk dihargai. Saling
mengingatkan atas nilai-nilai dasar organisasi menjadi mekanisme kontrol
internal. Sikap tegas dan intoleran atas penyimpangan nilai-nilai bersama
menjadi kunci dalam menjaga konsistensi kelembagaan. Tak jarang sikapt
tersebut memunculkan konflik secara internal. Pada akhirnya pilihan untuk
bertahan atau meninggalkan gerakan antikorupsi menjadi sesuatu yang pahit
tetapi harus diterima. Tak jarang teman seperjuangan justru berpindah haluan
menjadi lawan terberat dalam gerakan anti korupsi.
Sekuat apapun gerakan yang sudah dibangun tetap saja memiliki
kelemahan. Hal ini seringkali menjadi senjata utama untuk melakukan serangan
balik bagi gerakan anti korupsi. Sehingga suka tidak suka, semakin keras
perjuangan melawan gerakan anti korupsi maka semakin kuat serangan balik
yang akan dihadapi. Kunci utama kembali kepada konsistensi. Di sisi lain sikap
hati-hati dalam mengelola pusat studi jangan sampai memunculkan sikap
paranoid. Jika ini terjadi maka serangan balik terhadap gerakan anti korupsi
telah berhasil.
Pusat studi harus menghindarkan diri dari praktik curang sekecil apapun.
Pepatah lama telah mengingatkan : orang selalu tersandung batu kecil dan bukan
batu besar. Artinya sekecil apapun celah harus dihindari karena serangan
terbesar justru ditujukan pada kesalahan terkecil. Setidaknya terdapat beberapa
kelemahan yang dimiliki oleh kalangan akademisi dan mudah terdeteksi.
Pertama, dunia akademik mempunyai kecenderungan kuat kearah deskripsi dan
penjelasan belaka (teoritis) dan bukannya memberikan resep/solusi bagi
relevansi kebijkan (tidak implementatif). Kedua, data yang dimunculkan
seringkali tak tersedia, kurang lengkap dan tidak akurat.5
Pusat studi bukanlah lembaga yang steril dari kejahatan sehingga segala
praktik buruk akan dengan sangat mudah didentifikasi. Praktik dimaksud antara
lain jual beli hasil kajian dan penelitian pesanan. Dengan legitimasi akademik,
peneliti di kampus bukan tidak mungkin menyalahgunakan hasil kajiannya
untuk kepentingan kelompok tertentu.

5 Ibid, h. 39
Hasil penelitian justru dijadikan alat legitimasi bagi kekuasaan untuk
mengeluarkan kebijakan dan mungkin saja merugikan kepentingan publik yang
sangat besar. Bukan rahasia umum jika pendapat akademisi seringkali menjadi
pembenar bagi sebuah kezaliman. Perdebatan ranah akademik tak jarang
dilatarbelakangi bukan oleh kemurnian keilmuan akan tetapi lebih kepada
kepentingan siapa yang terlebih dahulu “memesan”.
Tidak hanya dari kalangan penguasa, dari kelompok pemodal pun
godaannya tak kalah menggiurkan. Pada sektor swasta kajian akademisi
seringkali digunakan untuk mengkounter perlawanan publik yang muncul.
Pendapat para ahli menjadi senjata ampuh guna meredam gugatan dari
masyarakat ataupun pihak pemerintah. Bahkan keberpihakan kepada kaum
kapitalis telah membunuh idealisme akademik yang begitu mulia yaitu sebesar-
besar untuk kesejahteraan rakyat.6
Untuk itu perlu kiranya pusat kajian menyusun kode etik bersama baik
tertulis maupun tidak tertulis. Selain itu diperlukan kesepahaman untuk
menunjukkan keberpihakan bagi gerakan anti korupsi yang bersandar pada
kepentingan masyarakat. Pusat studi harus terus menjaga konsistensi dalam
bersikap. Konsistensi tersebut sangat ditentukan oleh konsistensi dari personel
yang ada. Kompetisi yang tak sehat dan memunculkan saling tidak percaya harus
dihindari.
Keinginan untuk menahan diri dan menjadi “hebat” sendiri harus dapat
dikendalikan sedemikian rupa. Prinsip satu untuk bersama, bersama untuk satu
menjadi sesuatu yang penting dalam memperkuat integrasi pusat kajian.
Perbedaan pendapat sebagai wujud kebebasan akademik jangan dijadikan
sebagai perpecahan. Sepanjang masih dalam rangka mencapai tujuan bersama
maka perbedaan harus dipandang sebagai bentuk “checks and balances” internal.
Inti dari kebebasan akademik melekat tanggung jawab akademik. Secara
umum kekebasan dan tanggung jawab saling berkaitan karena dalam pengertian
kebebasan sudah termuat tanggung jawab. Kebebasan mengandaikan kewajiban
untuk bertanggung jawab. Semakin manusia menjadi bebas, ia semakin bersedia

6 Zaiyardam Zubir, Terjajah oleh Bangsa Sendiri : Perampasan Tanah Rakyat dan Pemihakan Kaum

Cendikiawan, Orasi ilmiah disampaikan dalam rangka Lustrum Ke XII Universitas Andalas, 2016.
untuk bertanggung jawab. Berkat akal budinya ia dapat meimilih ini atau itu
karena ia mengerti pilihan tersebut dan karena ia bebas memilihnya.7
Persoalan lain yang muncul adalah dalam upaya untuk terus bertahan
hidup maka diperlukan pembiayaan. Kondisi ini kadangkala memaksa pusat
kajian menjadi menjadi lembaga pemburu proyek. Padahal pusat kajian harus
mampu mengendalikan diri dari hal demikian. Jika virus ini telah menjangkit di
pusat kajian maka disanalah awal kematian gerakan anti korupsi. Sikap “project
oriented” pada suatu waktu akan “membunuh” objektivitas akademik. Kewajiban
mengungkap kebenaran tertutupi oleh tawaran finansial yang menggiurkan.
Akhirnya pusat kajian akan menjadi lembaga penjaja proposal dengan
menawarkan proposal kegiatan sebanyak-banyaknya.
Maraknya praktik tawar menawar harga untuk mengerjakan penelitian
menjadi hal yang lazim dilakukan. Tak sedikit lembaga kajian memasang tarif
fantastis untuk sebuah riset. Akibatnya hasil riset menjadi kurang berkualitas
dan malah merepotkan diri sendiri karena kewalahan dalam mempertanggung
jawabkan anggaran yang telah diterima.
Pusat studi dimanapun jelas membutuhkan pembiayaan akan tetapi uang
bukanlah segala-galanya. Dengan tidak bermaksud untuk menafikan
pembiayaan, sudah saatnya pusat kajian di kampus kembali merefleksikan diri
antara kewajiban akademik dan kebutuhan finansial. Secara akademik
sebenarnya dengan pembiayaan ataupun tidak seorang peneliti idealnya tetap
melakukan riset. Yang terjadi sebaliknya, ditentukan dulu tarifnya setelah itu
dilakukan kegiatan penelitian. Inilah kondisi paradox hari ini. Jika terus berlanjut
maka secara alamiah pusat kajian akan mengalami kematian dikarenakan
rusaknya kredibilitas.
Seorang akademisi/peneliti yang profesional harus terus berkarya tanpa
tergantung pada skema pembiayaan dari pihak manapun. Siapapun menyadari
hal ini mustahil dilakukan. Sudah saatnya penelitian lembaga pusat kajian tidak
berorientasi pada pemenuhan pundi-pundi materil semata. Untuk itu para
peneliti harus tetap berpegang teguh pada nilai-nilai moral dalam menjaga
profesionalitas. Jangan sampai pusat studi malah menjadi tempat terjadinya
praktik koruptif.

7 E.Y Kanter, Etika Profesi Hukum, Pendekatan Sosio-Religius, Storia Grafika, 2001, h. 16
Menurut Emil Durkheim setiap komunitas (termasuk komunitas profesi)
harus memiliki nilai- nilai yang disakralkan. Nilai kesakralan adalah nilai-nilai
paling ideal yang mutlak harus ditegakkan karena melalui nilai inilah komunitas
profesi itu dapat mengidentifikasikan diri mereka. Dengan kata lain, nilai
kesakralan merupakan moralitas terdalam (inner morality) yang tidak mungkin
dikesampingkan dengan alasan apapun juga.8
Selain nilai-nilai kesakralan dalam menjalankan profesi terutama sebagai
dosen dan peneliti pada pusat kajian terdapat nilai lain yang juga harus
dijunjung tinggi yakni solidaritas, landasan teori, kekuasaan, ekonomi dan
keterampilan. Shidarta mengurai masing-masing nilai dasar tersebut menjadi :
1. kesakralan meliputi : religious, jujur, bebas, adil, bijaksana;
2. solidaritas : terbuka, pengabdian, keutuhan korps, kolegial;
3. teori : obyektif (kebenaran), Methodologis (taat asas); berwawasan;
4. kekuasaan : tanggung jawab, wibawa, amanah;
5. ekonomi : sederhana, tidak berorientasi materi;
6. keterampilan : cermat dan cakap.
Keenam nilai dasar tersebut dapat dijadikan pegangan bagi seorang
peneliti. Sudah saatnya untuk mulai dipikirkan kembali apakah pusat kajian
masing-masing telah memiliki nilai dasar tersebut.
Di sisi lain sebagai penyandang profesi maka dosen dan peneliti pada
pusat studi/kajian di universitas terikat pada landasan intelektual, standar
kualifikasi, ruang lingkup pekerjaan dan kewajiban untuk mengabdi kepada
masyarakat.9 Manajemen organisai menjadi pengikat bekerjanya nilai-nilai dasar
dimaksud sebaliknya sehebat apapun ilmu manajemen organisasi jika tidak
dilandasi nilai-nilai yang benar maka semuanya hanya menjadi teori.
Ilmu manajemen organisasi sangat dibutuhkan dan berjalan beriringan
dengan nilai-nilai yang ada. Orang bijak selalu mengingatkan : kebajikan yang tak
terorganisir akan dikalahkan oleh kejahatan yang terorganisir. Dalam rangka
mengadopsi nilai dimaksud, sebaik apapun gerakan anti korupsi tanpa
konsolidasi dan manajemen yang baik maka dia akan dikalahkan oleh para

8 Shidarta, Moralitas Profesi Hukum, Refika Aditama, 2006, h. 132.


9 Ibid. h.102
koruptor yang jelas memiliki sumber daya yang luar biasa dan sangat
terorganisir.
Dalam rangka membangun akuntabilitas dan integritas pusat studi
setidaknya dapat mengadopsi sistem yang diterapkan oleh lembaga anti korupsi
pada umumnya. Sistem dimaksud antara lain : 10
1) memiliki sistem dalam menjaga etika para pimpinan dan pegawai;
2) memiliki sistem pengawasan internal dengan aturan dan SOP yang jelas
termasuk disiplin sistem pegawai untuk meminimalisir penyimpangan;
3) memiliki sistem pengawasan eksternal untuk menghindari
penyimpangan dan penyalahgunaan wewenang
4) memiliki sistem pelaporan yang baik kepada publik termasuk menjaga
komunikasi yang baik dengan publik.
Dengan sistem yang ada, meskipun dalam lingkup yang sederhana maka
diharapkan pengelolaan pusat studi akan semakin profesional dan akuntabel.

Konsolidasi Gerakan Anti Korupsi


Dalam konteks membangun demokrasi dan ekonomi pasca reformasi,
seringkali dunia pendidikan terbawa arus pertarungan pengaruh sebagai agen
perubahan. Bahkan bukan tidak jarang terjadi rebutan dan persaingan tidak
sehat dalam memperjuangkan gagasan masing-masing. Mengingat usia
demokrasi Indonesia yang masih sangat muda tak jarang kebijakan yang lahir
merupakan hasil trial and error dan perguruan tinggi menjadi bagian dari
eksperimen tersebut.
Indonesia saat ini telah menjadi arena terbuka yang memungkinkan bagi
setiap orang, setiap pihak, dengan berbagai gagasan, permintaan, dan kebutuhan
seta kepentingan untuk terlibat dalam proses-proses politik dan pemerintahan.
Kondisi ini memunculkan saling berkompetisi atau kerjasama dan
memperebutkan pengaruh untuk dapat mengarahkan dan mengatur atas kontrol
sumber daya publik yang dikuasai oleh pemerintah.11

10 Op. Cit. Deny Indrayana, h. 65


11 Iskandar Saharudin, Masyarakat sipil, Open Local Government, dan Kolaborasi, dalam buku :
Melawan Korupsi Dari Advokasi Hingga Pemantauan Masyarakat, h. 30 diterbitkan oleh Transparancy
International Indonesia.
Sebagai arena terbuka, sungguh berbahaya apabila arena tersebut tidak
memiliki aturan main jelas dan tegas. Aturan main yang membangun tatanan
agar tertib, rapi, bersih jujur dan adil. Aturan tersebut harus menjamin arena
yang ada memungkinkan bagi aktor untuk saling bekerjasama dan berkolaborasi
dan bukan berkompetisi secara tidak sehat akibatnya publiklah yang akan
dirugikan. Arena yang dibangun diharapkan mampu membangun interaksi dan
konektivitas yang sehat.12
Di sisi lain dunia penelitian yang digeluti oleh pusat studi harus siap juga
untuk dikritisi antara satu dan yang lainnya apabila melanggar kaidah atau nilai
dasar yang telah diuraikan sebelumnya. Dengan demikian akan terbangun
hubungan yang saling mengawasi dan mengimbangi sehingga menjadi sarana
kontrol bagi siapapun untuk tidak terlibat dalam praktik-praktik yang tidak baik.
Terkhusus bagi pusat kajian yang konsern dalam gerakan anti korupsi
jelas memiliki tantangan yang cukup besar untuk terus bertahan. Selain sebagai
gerakan moral dan hukum, perlawanan terhadap korupsi setidkanya telah
menjelma menjadi gerakan politik. Akibatnya bukan tidak mungkin memiliki
resiko baik secara hukum maupun politik.
Ditengah tingkat kepercayaan publik yang terus menurun terhadap
konsistensi aktivis gerakan antikorupsi kiranya semakin sulit rasanya untuk
terus di dalam garis perjuangan. Tarikan untuk masuk ke dalam sistem guna
melakukan perbaikan justru berbalik arah menjadi jebakan bagi aktivis
antikorupsi terutama yang berasal dari kalangan akademisi.
Tidak hanya itu pilihan untuk bertahan pun semakin sulit di tengah
godaan untuk “memperdagangkan” kajian atau pendapat hukum. Apalagi
kebenaran ilmiah tidaklah absolut, dan jelas menjadi hak prerogratif para
peneliti dan tergantung akan digunakan untuk kepentingan siapa hasil penelitian
dimaksud. Padahal, layaknya seperti Lembaga Swadaya Masyarakat yang
merupakan bagian dari masyarakat sipil maka kepercayaan publik menjadi
sesuatu yang utama. Jika hasil kajian yang disampaikan kepada publik tidak
sesuai dengan fakta atau bahkan menyesatkan maka ia akan kehilangan
legitimasi publik.13

12 Ibid
13 Jeremy Pompe, Strategi Memberantas Korupsi (edisi ringkas), TII, 2003, h. 30
Sebagai gerakan bersama pusat studi kampus tidak boleh sibuk hanya
dengan hasil penelitian dan kajian ilmiah. Para peneliti pusat studi harus turun
gunung untuk mengkampanyekan hasil penelitiannya. Manakala seorang
akademisi telah selesai melakukan pengkajian maka wajib hukumnya untuk
terlibat dalam advokasi gerakan social kemasyarakatan.
Hasil penelitian harus dijadikan alat perubahan dan berkontribusi bagi
perbaikan bangsa dan negara. Hasil pengkajian harus dikampanyekan untuk
terus diperdebatkan dan didiskusikan dalam ruang publik sehingga siapapun
dapat berkontribusi untuk penyempurnaan. Hal tersebut akan memunculkan
sikap bersama untuk melakukan dorongan bagi perbaikan keadaan. Disinilah
konsolidasi gerakan akan terjadi secara sistematis, massif dan terstruktur.
Di sisi lain publikasi dan kampanye hasil penelitian menjadi mimbar
pertanggungjawaban akdemik dan akan mengingatkan si peneliti untuk tidak
main-main dengan penelitian yang dihasilkan. Hasil penelitian tidak hanya untuk
memperbanyak koleksi perpustakaan namun harus menjadi alat perubahan.
Untuk itu diperlukan kolaborasi dengan kalangan masyarakat sipil lainnya
sehingga gerakan anti korupsi akan semakin solid dan kolaboratif.
Kerja-kerja advokasi akan menggiring pusat studi bertindak bak
Organisasi Non Pemerintah. Koalisi dengan organisasi masyarakat sipil sesuatu
yang mutlak dilakukan. Untuk itu sebagai gerakan sosial seperti halnya ornop
maka pusat studi juga harus berperan dalam mengkonsolidasikan gerakan anti
korupsi. Apalagi di tengah pengkotak-kotakan masyarakat saat ini sudah saatnya
peran tersebut dikerjakan bersama dengan kalangan organisasi masyarakat sipil
lainnya.

Anda mungkin juga menyukai