Charles Simabura
Peneliti Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) FH Universitas Andalas
1 Dirangkum dari Deny Indrayana, Jangan Bunuh KPK, Intrans Publishing, ICW, PuKAT FH UGM, 2016,
h. 1-40
Hidup matinya lembaga anti korupsi hampir selalu dikarenakan perlawanan dari
para koruptor pada masing-masing rezim. Setidaknya terdapat beberapa modus
serangan balik dari koruptor yang meliputi :2 1) pelemahan dengan membentuk
badan baru yang bertujuan melemahkan lembaga sebelumnya, 2) dibubarkan
secara resmi sebagai lembaga anti korupsi, 3) tidak ada pembubaran namun
perannya terus dikurangi, 4) pelemahan dengan upaya pembatalan dasar hukum
pembentukannya.
Meskipun demikian upaya untuk terus melawan gerakan pelemahan
pemberantasan korupsi selalu digelorakan oleh berbagai kalangan. Tidak hanya
dari kaum terdidik, kelompok masyarakat di akar rumput pun aktif terlibat
mulai dari petani, nelayan, buruh, karyawan, sopir, para profesional, pengusaha,
pedagang dan para pekerja lainnya. Faktor pemicu kemarahan dan gerakan
perlawanan publik terhadap korupsi sangat mudah diidentifikasi. Ketidakpuasan
terhadap kualitas pelayanan publik berimplikasi pada menurunnya derajat
kesejahteraan. Mahalnya biaya pendidikan dan buruknya kualitas pendidikan
maupun kesehatan serta berbelitnya proses perizinan menjadi bukti bahwa
dampak korupsi dirasakan langsung oleh publik.
Mengingat begitu semrawut dan sistemiknya persoalan korupsi maka
diperlukan upaya luar biasa untuk menanggulanginya. Masyarakat yang terdidik
menjadi kunci utama dalam melakukan perlawanan terhadap korupsi. Untuk
memperkuat upaya dimaksud salah satunya sangat ditentukan oleh peran dunia
pendidikan. Begitu pentingnya peran dunia pendidikan dikarenakan disanalah
proses pembentukan kader bangsa yang jujur dan berintegritas. Kegagalan
melahirkan tenaga didik yang jujur dan berintegritas menjadi cikal bakal bagi
kegagalan membangun bangsa.
Pendidikan tinggi sebagai jenjang tertinggi dalam pendidikan formal di
Indonesia memiliki tridharma perguruan tinggi yang meliputi : pendidikan,
pengabdian masyarakat dan penelitian. Dalam konteks upaya pemberantasan
korupsi kalangan civitas akademika harus mampu mengkombinasikan ketiga
tridharma tersebut. Tridharma perguruan tinggi menghendaki kalangan civitas
akademika untuk aktif melakukan kajian dan penelitian baik secara personal
2 Ibid. h. 40
maupun melembaga dalam pusat-pusat kajian atau lembaga penelitian di
kampus ataupun di luar kampus.
Dalam bidang pendidikan kalangan civitas akademika tidak hanya
memberikan pengetahuan (tansfer of knowledge) namun juga mengajarkan nilai-
nilai keteladanan (transfer of value). Kewajiban ketiga adalah melakukan
pengabdian masyarakat artinya kalangan civitas akademika harus hadir bersama
masyarakat guna menyelesaikan segala persoalan yang muncul di tengah-tengah
masyarakat. Kampus tidak boleh menjadi menara gading ilmu pengetahuan di
tengah bobroknya kondisi Negara. Dalam konteks ini Tan Malaka (Madilog,
1948) pernah berujar guna mengingatkan kaum muda yang terdidik (dosen dan
mahasiswa) yang enggan hadir dalam kehidupan masyarakat :
Bila kaum muda yang telah belajar di sekolah dan menganggap dirinya
terlalu tinggi dan pintar untuk melebur dengan masyarakat yang bekerja
dengan cangkul dan hanya memiliki cita-cita yang sederhana, maka lebih
baik pendidikan itu tidak diberikan sama sekali.
3HCB. Dharmawan, ,Lembaga Swadaya Masyarakat, Menyuarakan Nurani Menggapai Kesetaraan, Penerbit
Kompas, 2004, h. 43
akademik pusat studi bebas untuk melakukan kajian dan segala hal yang berkait
dengan pengembangan keilmuan.
Dalam konteks mendukung upaya pemberantasan korupsi wujud nyata
peran perguruan tinggi salah satunya dilakukan melalui kerjasama dengan para
penegak hukum (Kepolisian, Kejaksaan, Mahkamah Agung, Komisi Yudisial,
Komisi Pemberantasan Korupsi) dan lembaga-lembaga sosial kemasayarakatn
lainnya. Pusat Studi Konstitusi (PUSaKo) sebagai bagian dari Universitas Andalas
baik langsung maupun tidak langsung telah menjalin kerjasama dengan KPK
sebagai wujud implementasi turunan dari Nota Kesepahaman/Memorandum of
Understanding (MoU) dengan 82 (delapan puluh dua) Perguruan Tinggi Negeri
dan Swasta di Indonesia.
Meskipun merupakan Pusat Studi yang lebih menitikberatkan pada kajian
konstitusi, PUSaKo terlibat aktif dalam kampanye gerakan anti korupsi.
Perwujudan kerjasama tersebut antara lain melalui keterlibatan dalam kegiatan
perekaman persidangan tipikor sebagai bentuk pengawasan dan mendorong
transparansi peradilan, melakukan kajian terkait tindak pidana korupsi maupun
eksaminasi/bedah kasus terhadap putusan peradilan.
Dalam bidang pencegahan korupsi antara lain PUSaKo juga terlibat dalam
Pendidikan Anti-korupsi/kurikulum anti-korupsi, penelitian, sosialisasi dan
partner beserta komponen masyarakat sipil lainnya dalam kampanye
antikorupsi. Khusus dalam bidang Penindakan, personel PUSaKo terlibat dalam
pemberian keterangan ahli di persidangan dan narasumber dalam hal pelatihan
penguatan institusi Komisi Pemberantasan Korupsi.
Dari pengalaman yang ada setidaknya terdapat beberapa poin penting
yang mempengaruhi pasang surutnya keberhasilan gerakan anti korupsi :
1. konsistensi lembaga dan personel pusat studi dalam memperjuangkan
gerakan anti korupsi;
2. komitmen untuk terus berada di garda terdepan dalam melawan upaya
pelemahan gerakan antikorupsi;
3. moralitas yang tinggi sehingga tak tergoda dengan iming-iming yang
dapat merusak kemurnian gerakan anti korupsi;
4. satu kata antara perbuatan dan perkataan, nilai-nilai anti korupsi menjadi
prinsip dasar dalam mengelola pusat studi.
Tantangan yang dihadapi gerakan anti korupsi kadangkala justru berasal
dari internal kampus sendiri. Tak jarang ketidakberpihakan terhadap gerakan
anti korupsi malah datang dari sesama kolega. Dengan berbagai prespektif,
delegitimasi atas gerakan anti korupsi menjadi paradox dengan kesepakatan-
kesepakatan yang telah dibuat kampus dengan banyak lembaga. Artinya
seringkali kesepakatan yang dibuat hanya menjadi aksesoris gerakan anti
korupsi tidak terimplementasi secara institusional apalagi personal.
Gerakan anti korupsi seringkali mendapat cibiran justru dari sesama
akademisi. Akibatnya, kampus muncul dengan dua wajah yang berbeda di
hadapan publik, sebagian aktif dalam gerakan anti korupsi sedangkan sebagian
lagi aktif melakukan pembelaan terhadap para koruptor. Robert Klitgard pernah
mengkritik keras pernyataan para sajana yang menyatakan bahwa korupsi itu
baik bagi negara-negara berkembang.4 Sehingga ada pemakluman secara sadar
terhadap maraknya korupsi yang terjadi di Negara berkembang termasuk
Indonesia.
Perbedaan sikap para akademisi yang kontra dengan gerakan “pembela
koruptor” secara langsung ataupun tidak telah ikut memperlemah gerakan
antikorupsi. Padahal, pembelahan sikap publik justru berawal dari terbelahnya
pendapat akademisi. Untuk itu ada baiknya pihak-pihak yang kontra terhadap
gerakan anti korupsi mengambil sikap diam. Orang bijak telah mengingatkan :
Jika tak ingin memperbaiki janganlah engkau ikut merusak. Pesan ini
menghendaki bagi siapapun yang tak ingin memperbaiki keadaan ada baiknya
diam dan jangan malah ikut menghancurkan gerakan anti korupsi.
Meskipun kebebasan akademik sebenarnya menghendaki keberpihakan
bagi gerakan anti korupsi sebagai hal utama namun diakui sulit mewujudkannya.
Pada titik tertentu “gerakan oposisi” yang muncul dari sesama akademisi harus
direspon posistif sebagai penyeimbang. Sebaik apapun sebuah gerakan secara
alamiah tetap membutuhkan oposan guna terus mengingatkan bahwa gerakan
ini tidaklah mudah. Perbedaan pendapat harus dijadikan sebagai alarm untuk
selalu berhati-hati. Dengan demikian konsistensi sikap gerakan dapat terus
dipertahankan.
5 Ibid, h. 39
Hasil penelitian justru dijadikan alat legitimasi bagi kekuasaan untuk
mengeluarkan kebijakan dan mungkin saja merugikan kepentingan publik yang
sangat besar. Bukan rahasia umum jika pendapat akademisi seringkali menjadi
pembenar bagi sebuah kezaliman. Perdebatan ranah akademik tak jarang
dilatarbelakangi bukan oleh kemurnian keilmuan akan tetapi lebih kepada
kepentingan siapa yang terlebih dahulu “memesan”.
Tidak hanya dari kalangan penguasa, dari kelompok pemodal pun
godaannya tak kalah menggiurkan. Pada sektor swasta kajian akademisi
seringkali digunakan untuk mengkounter perlawanan publik yang muncul.
Pendapat para ahli menjadi senjata ampuh guna meredam gugatan dari
masyarakat ataupun pihak pemerintah. Bahkan keberpihakan kepada kaum
kapitalis telah membunuh idealisme akademik yang begitu mulia yaitu sebesar-
besar untuk kesejahteraan rakyat.6
Untuk itu perlu kiranya pusat kajian menyusun kode etik bersama baik
tertulis maupun tidak tertulis. Selain itu diperlukan kesepahaman untuk
menunjukkan keberpihakan bagi gerakan anti korupsi yang bersandar pada
kepentingan masyarakat. Pusat studi harus terus menjaga konsistensi dalam
bersikap. Konsistensi tersebut sangat ditentukan oleh konsistensi dari personel
yang ada. Kompetisi yang tak sehat dan memunculkan saling tidak percaya harus
dihindari.
Keinginan untuk menahan diri dan menjadi “hebat” sendiri harus dapat
dikendalikan sedemikian rupa. Prinsip satu untuk bersama, bersama untuk satu
menjadi sesuatu yang penting dalam memperkuat integrasi pusat kajian.
Perbedaan pendapat sebagai wujud kebebasan akademik jangan dijadikan
sebagai perpecahan. Sepanjang masih dalam rangka mencapai tujuan bersama
maka perbedaan harus dipandang sebagai bentuk “checks and balances” internal.
Inti dari kebebasan akademik melekat tanggung jawab akademik. Secara
umum kekebasan dan tanggung jawab saling berkaitan karena dalam pengertian
kebebasan sudah termuat tanggung jawab. Kebebasan mengandaikan kewajiban
untuk bertanggung jawab. Semakin manusia menjadi bebas, ia semakin bersedia
6 Zaiyardam Zubir, Terjajah oleh Bangsa Sendiri : Perampasan Tanah Rakyat dan Pemihakan Kaum
Cendikiawan, Orasi ilmiah disampaikan dalam rangka Lustrum Ke XII Universitas Andalas, 2016.
untuk bertanggung jawab. Berkat akal budinya ia dapat meimilih ini atau itu
karena ia mengerti pilihan tersebut dan karena ia bebas memilihnya.7
Persoalan lain yang muncul adalah dalam upaya untuk terus bertahan
hidup maka diperlukan pembiayaan. Kondisi ini kadangkala memaksa pusat
kajian menjadi menjadi lembaga pemburu proyek. Padahal pusat kajian harus
mampu mengendalikan diri dari hal demikian. Jika virus ini telah menjangkit di
pusat kajian maka disanalah awal kematian gerakan anti korupsi. Sikap “project
oriented” pada suatu waktu akan “membunuh” objektivitas akademik. Kewajiban
mengungkap kebenaran tertutupi oleh tawaran finansial yang menggiurkan.
Akhirnya pusat kajian akan menjadi lembaga penjaja proposal dengan
menawarkan proposal kegiatan sebanyak-banyaknya.
Maraknya praktik tawar menawar harga untuk mengerjakan penelitian
menjadi hal yang lazim dilakukan. Tak sedikit lembaga kajian memasang tarif
fantastis untuk sebuah riset. Akibatnya hasil riset menjadi kurang berkualitas
dan malah merepotkan diri sendiri karena kewalahan dalam mempertanggung
jawabkan anggaran yang telah diterima.
Pusat studi dimanapun jelas membutuhkan pembiayaan akan tetapi uang
bukanlah segala-galanya. Dengan tidak bermaksud untuk menafikan
pembiayaan, sudah saatnya pusat kajian di kampus kembali merefleksikan diri
antara kewajiban akademik dan kebutuhan finansial. Secara akademik
sebenarnya dengan pembiayaan ataupun tidak seorang peneliti idealnya tetap
melakukan riset. Yang terjadi sebaliknya, ditentukan dulu tarifnya setelah itu
dilakukan kegiatan penelitian. Inilah kondisi paradox hari ini. Jika terus berlanjut
maka secara alamiah pusat kajian akan mengalami kematian dikarenakan
rusaknya kredibilitas.
Seorang akademisi/peneliti yang profesional harus terus berkarya tanpa
tergantung pada skema pembiayaan dari pihak manapun. Siapapun menyadari
hal ini mustahil dilakukan. Sudah saatnya penelitian lembaga pusat kajian tidak
berorientasi pada pemenuhan pundi-pundi materil semata. Untuk itu para
peneliti harus tetap berpegang teguh pada nilai-nilai moral dalam menjaga
profesionalitas. Jangan sampai pusat studi malah menjadi tempat terjadinya
praktik koruptif.
7 E.Y Kanter, Etika Profesi Hukum, Pendekatan Sosio-Religius, Storia Grafika, 2001, h. 16
Menurut Emil Durkheim setiap komunitas (termasuk komunitas profesi)
harus memiliki nilai- nilai yang disakralkan. Nilai kesakralan adalah nilai-nilai
paling ideal yang mutlak harus ditegakkan karena melalui nilai inilah komunitas
profesi itu dapat mengidentifikasikan diri mereka. Dengan kata lain, nilai
kesakralan merupakan moralitas terdalam (inner morality) yang tidak mungkin
dikesampingkan dengan alasan apapun juga.8
Selain nilai-nilai kesakralan dalam menjalankan profesi terutama sebagai
dosen dan peneliti pada pusat kajian terdapat nilai lain yang juga harus
dijunjung tinggi yakni solidaritas, landasan teori, kekuasaan, ekonomi dan
keterampilan. Shidarta mengurai masing-masing nilai dasar tersebut menjadi :
1. kesakralan meliputi : religious, jujur, bebas, adil, bijaksana;
2. solidaritas : terbuka, pengabdian, keutuhan korps, kolegial;
3. teori : obyektif (kebenaran), Methodologis (taat asas); berwawasan;
4. kekuasaan : tanggung jawab, wibawa, amanah;
5. ekonomi : sederhana, tidak berorientasi materi;
6. keterampilan : cermat dan cakap.
Keenam nilai dasar tersebut dapat dijadikan pegangan bagi seorang
peneliti. Sudah saatnya untuk mulai dipikirkan kembali apakah pusat kajian
masing-masing telah memiliki nilai dasar tersebut.
Di sisi lain sebagai penyandang profesi maka dosen dan peneliti pada
pusat studi/kajian di universitas terikat pada landasan intelektual, standar
kualifikasi, ruang lingkup pekerjaan dan kewajiban untuk mengabdi kepada
masyarakat.9 Manajemen organisai menjadi pengikat bekerjanya nilai-nilai dasar
dimaksud sebaliknya sehebat apapun ilmu manajemen organisasi jika tidak
dilandasi nilai-nilai yang benar maka semuanya hanya menjadi teori.
Ilmu manajemen organisasi sangat dibutuhkan dan berjalan beriringan
dengan nilai-nilai yang ada. Orang bijak selalu mengingatkan : kebajikan yang tak
terorganisir akan dikalahkan oleh kejahatan yang terorganisir. Dalam rangka
mengadopsi nilai dimaksud, sebaik apapun gerakan anti korupsi tanpa
konsolidasi dan manajemen yang baik maka dia akan dikalahkan oleh para
12 Ibid
13 Jeremy Pompe, Strategi Memberantas Korupsi (edisi ringkas), TII, 2003, h. 30
Sebagai gerakan bersama pusat studi kampus tidak boleh sibuk hanya
dengan hasil penelitian dan kajian ilmiah. Para peneliti pusat studi harus turun
gunung untuk mengkampanyekan hasil penelitiannya. Manakala seorang
akademisi telah selesai melakukan pengkajian maka wajib hukumnya untuk
terlibat dalam advokasi gerakan social kemasyarakatan.
Hasil penelitian harus dijadikan alat perubahan dan berkontribusi bagi
perbaikan bangsa dan negara. Hasil pengkajian harus dikampanyekan untuk
terus diperdebatkan dan didiskusikan dalam ruang publik sehingga siapapun
dapat berkontribusi untuk penyempurnaan. Hal tersebut akan memunculkan
sikap bersama untuk melakukan dorongan bagi perbaikan keadaan. Disinilah
konsolidasi gerakan akan terjadi secara sistematis, massif dan terstruktur.
Di sisi lain publikasi dan kampanye hasil penelitian menjadi mimbar
pertanggungjawaban akdemik dan akan mengingatkan si peneliti untuk tidak
main-main dengan penelitian yang dihasilkan. Hasil penelitian tidak hanya untuk
memperbanyak koleksi perpustakaan namun harus menjadi alat perubahan.
Untuk itu diperlukan kolaborasi dengan kalangan masyarakat sipil lainnya
sehingga gerakan anti korupsi akan semakin solid dan kolaboratif.
Kerja-kerja advokasi akan menggiring pusat studi bertindak bak
Organisasi Non Pemerintah. Koalisi dengan organisasi masyarakat sipil sesuatu
yang mutlak dilakukan. Untuk itu sebagai gerakan sosial seperti halnya ornop
maka pusat studi juga harus berperan dalam mengkonsolidasikan gerakan anti
korupsi. Apalagi di tengah pengkotak-kotakan masyarakat saat ini sudah saatnya
peran tersebut dikerjakan bersama dengan kalangan organisasi masyarakat sipil
lainnya.