TINJAUAN PUSTAKA
2.2. PERIKLANAN
Periklanan (advertising) adalah bisnis ide dan kreatifitas (Roman, Maas &
Nisenholtz, 2005).Periklananmerupakan suatu upaya komunikasi yang dilakukan oleh
produsen kepada konsumen untuk meunjang proses pemasaran.
2.2.1. Pengertian Iklan
Klepper (seperti dikutip Liliweri, 1997:17) “Iklan atau advertising berasal dari
bahasa latin “avere” yang berarti mengoperkan gagasan dan pikiran kepada pihak
lain”. Wright (Seperti dikutip Liliweri, 1997:10) “iklan merupakan suatu proses
komunikasi yang mempunyai kekuatan yang sangat penting sebagai alat pemasaran
yang membantu menjual barang, memberikan layanan, serta gagasan atau ide-ide
melalui saluran tertentu dalam bentuk informasi yang persuasif”. Menurut Rhenald
Kasali (1992:21), secara sedrhana iklan didefinisikan sebagai pesan yang
menawarkan suatu produk yang ditujukan oleh suatu masyarakat lewat suatu media.
Namun demikian, untuk membedakannya dengan pengumuman biasa, iklan lebih
diarahkan untuk membujuk orang supaya membeli.
Ciri-ciri iklan yang baik
1. Etis, berkaitan dengan kepantasan.
2. Estetis, berkaitan dengan kelayakan (target market, target audiennya, kapan
harus ditayangkan).
3. Artistik, bernilai seni sehingga mengundang daya tarik khalayak.
1. Kesan realistik, karena sifatnya yang visual, dan merupakan kombinasi warna-
warna,suara, dan gerakan, maka iklan-iklan televisi nampak begitu hidup dan
nyata
2. Masyarakat lebih tanggap, karena iklan televisi ditayangkan di rumah-rumah
dalam suasana yang serba santai atau rekreatif maka masyarakat lebih siap
untuk memberikan perhatian.
3. Repetisi atau pengulangan, iklan televisi bisa ditayangkan hingga beberapa
kali dalam sehari sampai dipandang cukup bermanfaat yang memungkinkan
sejumlah masyarakat untuk menyaksikannya, dan dalam frekuensi yang cukup
sehingga pengaruh iklan itu bangkit.
Iklan begitu penting dalam upaya memahami tatanan signifikansi modern, maka
tidak heran jika iklan menjadi sangat menarik bagi pakar semiotika. Dalam
periklanan, bahasa umunya merupakan sarana untuk menegaskan, mengacu atau
semata-mata untuk menyatakan makna subtekstual. Menurut Danesi, (2010:379-
380), ada banyak teknik verbal yang digunakan pengiklan untuk mewujudkan tujuan
ini dan secara lebih umum untuk memuaskan produk kedalam kesadaran sosial.
a. Anak-anak tidak boleh digunakan untuk mengiklankan produk yang tidak layak
dikonsumsi oleh anak-anak, tanpa didampingi orang dewasa.
b. Iklan tidak boleh memperlihatkan anak-anak dalam adegan-adegan yang berbahaya,
menyesatkan atau tidak pantas dilakukan oleh anak-anak.
c. Iklan tidak boleh menampilkan anak-anak sebagai penganjur bagi penggunaan suatu
produk yang bukan untuk anak-anak.
d. Iklan tidak boleh menampilkan adegan yang mengeksploitasi daya rengek (pester
power) anak-anak dengan maksud memaksa para orang tua untuk mengabulkan
permintaan anak-anak mereka akan produk terkait (lihat halaman 34 EPI).
2.3. REPRESENTASI
Representasi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) berarti perbuatan
mewakili, keadaan mewakili, apa yang mewakili, perwakilan. Representasi di pahami sebagai
gambaran sesuatu yang akurat atau realita terdistorsi. Representasi tidak hanya berarti “to
presentasi”, “to image”, atau “to depict”. Representasi adalah sebuah cara dimana memaknai
apa yang telah diberikan pada benda yang digambarkan. Representasi merupakan hubungan
antara konsep-konsep dan bahasa yang menunjuk pada dunia yang sesungguhnya dari suatu
objek, realitas atau pada dunia imajiner tentang obyek fiktif, manusia atau peristiwa
(Hermawan, 2011:234).
Konsep lama mengenai representasi ini didasarkan pada premis bahwa ada sebuah gap
representasi yang menjelaskan perbedaan antara makna yang diberikan oleh representasi dan
arti benda yang sebenarnya digambarkan. Hall berargumentasi bahwa representasi harus
dipahami dari peran aktif dan kreatif orang memaknai dunia. Hall menunjukan bahwa sebuah
imaji akan memepunyai makna yang berbeda dan tidak ada garansi bahwa imaji akan
berfungsi atau bekerja sebagaimana mereka dikreasi atau dicipta.
Hall menyebut ‘representasi sebagai konstitutif’. Representasi tidak hadir sampai
setelah selesai direpresentasikan, representasi tidak terjadi setelah sebuah kejadian.
Representasi adalah konstitutif dari sebuah kejadian. Representasi adalah bagian dari objek
itu sendiri, ia adalah konstitutif darinya. Stuart Hall menganggap bahwa ada yang salah
dengan representasi kelompok minoritas dalam media, bahkan ia meyakini bahwa imaji-imaji
yang dimunculkan oleh media semakin memburuk. Hall mengamati bahwa media cenderung
sensitif pada gaya hidup kelas menengah keatas, mayoritas masyarakat yang sudah teratur.
2.5. SEMIOTIKA
2.5.1. Pengertian Semiotika
Semiotik sebagai suatu model dari pengetahuan sosial memahami dunia sebagai
sistem hubungan yang memiliki unit dasar yang disebut dengan ‘tanda’. Menurut Saussure,
persepsi dan pandangan kita tentang realitas, dikonstruksikan oleh kata-kata dan tanda-tanda
yang lain yang digunakan dalam konteks sosial. Secara etimologis istilah semiotika berasal
dari bahasa Yunani “semeion” yang berarti ’tanda’(Sudjiman dan van Zoest, 1996: vii) atau
seme,yang berarti ”penafsir tanda” (Cobley dan Jansz, 1999: 4) (dalam Sobur, .2004: 16).
Semiotika kemudian didefinisikan sebagai studi tentang tanda dan cara tanda-tanda itu
bekerja.
Secara terminologis, semiotik didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari sederetan
luas objek-objek, peristiwa-peristiwa, seluruh kebudayaan sebagai tanda. Pada hakikatnya,
semiotik merupakan ilmu yang mempelajari tentang tanda-tanda, lambang-lambang, sistem-
sistemnya serta proses pelambangan.
Secara historis, semiotika menjadi disiplin yang dikenal luas oleh pengaruh dari dua
tokoh utama: Charles Sanders Peirce mewakili tradisi Amerika dan Ferdinand de Saussure
mewakili tradisi Eropa. Semiologi menurut Saussure seperti dikutip seperti dikutip Hidayat,
didasarkan pada anggapan bahwa selama perbuatan dan tingkah laku manusia membawa
makna atau selama berfungsi sebagai tanda, harus ada di belakangnya sistem perbedaan dan
konvensi yang memungkinkan makna itu. Di mana ada tanda di sana ada sistem (Hidayat,
1998:26). Sedangkan Peirce menyebut ilmu yang dibangunnya semiotika (semiotics). Bagi
Peirce yang ahli filsafat dan logika, penalaran manusia senantiasa dilakukan lewat tanda.
Artinya, manusia hanya dapat bernalar lewat tanda. Dalam pikirannya, logika sama dengan
semiotika dan semiotika dapat ditetapkan pada segala macam tanda (Berger, 2000:11-22).
Dalam perkembangan selanjutnya, istilah semiotika lebih populer daripada semiologi.
Semiotika adalah suatu ilmu atau metode analisis untuk mengkaji tanda. Tanda-tanda
adalah perangkat yang kita pakai dalam upaya berusaha mencari jalan di dunia ini, di tengah-
tengah manusia dan bersama-sama manusia. Semiotika, atau dalam istilah Barthes, semiologi,
pada dasarnya hendak mempelajari bagaimana kemanusiaan (humanity) memaknai hal-hal
(thing). Memaknai (to signify) dalam hal ini tidak dapat dicampuradukkan dengan
mengkomunikasikan (to comunicate). Memaknai berarti bahwa objek-objek tidak hanya
membawa informasi, dalam hal mana objek-objek itu hendak berkomunikasi, tetapi juga
mengkonstitusi sistem terstruktur dari tanda (Sobur, 2006:15).
Semiotika adalah ilmu yang mempelajari tentang tanda (sign), berfungsi tanda, dan
produksi makna. Tanda adalah sesuatu yang bagi seseorang berarti sesuatu yang lain. Dalam
pandangan Zoest, segala sesuatu yang dapat diamati atau dibuat teramati dapat disebut tanda.
Karena itu, tanda tidaklah terbatas pada benda. Adanya peristiwa, tidak adanya peristiwa,
struktur yang ditemukan adalah sesuatu, suatu kebiasaan, semua ini dapat disebut benda.
Sebuah bendera kecil, sebuah isyarat tangan, sebuah kata, suatu keheningan, suatu kebiasaan
makan, sebuah gejala mode, suatu gerak syaraf, peristiwa memerahnya wajah, suatu
kesukaan tertentu, letak bintang tertentu, suatu sikap, setangkah bunga, rambut uban, sikap
diam membisu, gagap. Bicara cepat, berjalan sempoyongan, menatap, api, putih, bentuk
bersudut tajam, kecepatan, kesabaran, kegilaan, kekhawatiran, kelengahan semuanya itu
dianggap sebagai tanda (Zoest, 1993:18).
Dari peta Barthes di atas terlihat bahwa tanda denotatif (3) terdiri atas penanda (1)
dan petanda (2). Penanda merupakan tanda yang kita persepsi yang dapat ditunjukkan dengan
warna atau rangkaian gambar yang ada dalam objek yang diteliti. Akan tetapi, pada saat
bersamaan, tanda denotatif adalah juga penanda konotatif (4). Sementara itu petanda
konotatif (5) menurut Barthes adalah mitos atau operasi ideologi.
3) Mitos
Budiman (dalam Sobur,2009:71) mengatakan dalam kerangka Barthes, konotasi identik
dengan operasi ideologi yang disebutnya sebagai mitos dan berfungsi untuk memberikan
pembenaran bagi nilai-nilai dominan yang berlaku pada periode tertentu. Di dalam mitos
juga terdapat pola tiga dimensi penanda, petanda, dan tanda. Namun Sobur (2009:71)
mengatakan sebagai suatu sistem yang unik, mitos dibangun oleh suatu rantai pemaknaan
yang telah ada sebelumnya. Dengan kata lain, mitos adalah juga suatu sistem
pemaknaaan tataran kedua.
Kata ‘mitos’ berasal dari bahasa Yunani ‘myhtos’ yang berarti ‘kata’, ‘ujaran’, ‘kisah
tentang dewa-dewa’. Sebuah mitos adalah narasi yang karakter-karakter utamanya adalah
para dewa, para pahlawan dan makhluk mistis, plotnya berputar disekitar asal muasal
benda-benda atau di sekitar makna benda-benda dan settingnya adalah dunia metafisika
yang dilawankan dengan dunia nyata. Pada tahap awal kebudayaan manusia, mitos
berfungsi sebagai teori asli mengenal dunia. Seluruh kebudayaan telah menciptakan
kisah-kisah untuk menjelaskan asal-usul mereka (Danesi, 2010:207). Menurut Urban
(Sobur, 2009:222) mitos adalah cara utama yang unik untuk memahami realitas. Menurut
Molinowski (Sobur, 2009:222) mitos adalah pernyataan purba tentang realitas yang lebih
relevan.
Mitos menciptakan suatu sistem pengetahuan metafisika untuk menjelaskan asal-usul,
tindakan dan karakter manusia selain fenomena dunia. Sistem ini adalah suatu sistem
yang secara instingtif kita ambil bahkan hingga saat ini untuk menyampaikan
pengetahuan tentang nilai-nilai dan moral awal kepada anak-anak. Di dalam mitos pula
sebuah petanda dapat memiliki beberapa penanda. Dengan mempelajari mitos, kita dapat
mempelajari bagaimana masyarakat yang berbeda menjawab pertanyaan-pertanyaan
dasar tentang dunia dan tempat bagi manusia di dalamnya. Kita dapat mengkaji mitos
untuk mempelajari bagaimana orang-orang mengembangkan suatu sistem sosial khusus
dengan banyak adat-istiadat dan cara hidup, dan juga memahami secara lebih baik nilai-
nilai yang mengikat para anggota masyarakat untuk menjadi satu kelompok.
Menurut Barthes pada saat media membagi pesan, maka pesan-pesan yang berdimensi
konotatif itulah yang menciptakan mitos. Pengertian mitos di sini tidak senantiasa
menunjuk pada mitologi dalam pengertian sehari-hari, seperti halnya cerita-cerita
tradisional, legenda dan sebagainya. Bagi Barthes, mitos adalah sebuah cara pemaknaan
dan ia menyatakan mitos secara lebih spesifik sebagai jenis pewacanaan atau tipe
wacana.
Barthes menyatakan bahwa mitos merupakan sistem komunikasi juga, karena mitos ini
pada akhirnya berfungsi sebagai penanda sebuah pesan tersendiri. Mitos tidaklah dapat
digambarkan melalui obyek pesannya, melainkan melalui cara pesan tersebut
disampaikan. Apapun dapat menjadi mitos, tergantung dari caranya ditekstualisasikan.
Sering dikatakan bahwa ideologi bersembunyi di balik mitos. Suatu mitos menyajikan
serangkaian kepercayaan mendasar yang terpendam dalam ketidaksadaran representator.
(Hermawan, 2011: 253).