Anda di halaman 1dari 16

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Originalitas Penelitian


Originalitas penelitian menyajikan perbedaan dan persamaan bidang kajian yang
diteliti antara peneliti dengan peneliti-peneliti sebelumnya. Hal ini dimaksudkan untuk untuk
menghindari adanya pengulangan kajian terhadap hal-hal yang sama. Dengan demikian akan
diketahui sisi-sisi apa saja yang membedakan dan akan diketahui pula letak persamaan antara
penelitian peneliti dengan penelitian-penelitian terdahulu. Dalam hal ini akan lebih mudah
dipahami,jika peneliti menyajikannya dalam bentuk tabel dibandingkan dengan menyajikan
dalam bentuk paparan yang bersifat uraian. Oleh karena itu, peneliti memaparkannya dalam
bentuk tabel seperti dibawah ini :

No Nama Peneliti, Persamaan Perbedaan Originalitas


Tahun dan Judul Penelitian
penelitian
1. Novel Maulana, Menggunakan Iklan layanan Fenomena
2006, Representasi obyek masyarakat eksploitasi
Anak pada Iklan penelitian dengan anak-anak
Layanan sejenis yaitu menggunaka pada iklan
Masyarakat(Analisis iklan dan juga n analisis
Semiotika pada menggunakan pragmatik
Kisah Negeri di analisis dan semantik.
Ujung Karang semiotika
Nanggroe Aceh
Darussalam)
2. Ignatius Prasetyo Menggunakan Menggunaka Makna
Wicaksono, 2012, obyek n metode perempuan
Representasi penelitian yang penelitian Diletakkan
Eksploitasi sama yaitu Analisis sebagai
Perempuan dalam iklan Semiotika the second
Iklan (Analisis menggunakan Greimassian sex
Semiotika analisis tentang yang lemah
Greimassian tentang semiotika eksploitasi dan dianggap
Eksploitasi perempuan sebagai
Perempuan dalam dalam iklan pemuas
TVC Berrygood kebutuhan
Versi ”Bikin Good seks laki-laki
Mood”) semata
sebagai
bagian dari
daya tarik
pesan
penjualan.

3. Windha Larasanti, Mengunakan Komodifikasi Makna yang


2013, Komodifikasi metode anak dalam terdapat di
Anak dalam Iklan penelitian yang iklan dalam iklan
(Analisis Semiotika sama yaitu prudential mengenai
Roland Barthes pada Analisis komodifikasi
Iklan Prudential di Semiotika anak
Televisi versi Roland
mendengarkan cita- Barthes
cita mereka)

4. Anatamalia Mengunakan menggunaka makna


handayani, 2014, metode n enam eksploitasi
Representasi penelitian yang prosedur anak dalam
Eksploitasi Anak sama yaitu konotasi iklan dan
dalam Iklan Analisis barthes untuk unsure yang
(Analisis Semiotika Semiotika menganalisis terdapat
Roland Barthes Roland yaitu trick didalamnya.
dalam iklan 3indie+) Barthes effect, pose,
object,
photogenia,
aestheticism,
dan sintax.

2.2. PERIKLANAN
Periklanan (advertising) adalah bisnis ide dan kreatifitas (Roman, Maas &
Nisenholtz, 2005).Periklananmerupakan suatu upaya komunikasi yang dilakukan oleh
produsen kepada konsumen untuk meunjang proses pemasaran.
2.2.1. Pengertian Iklan
Klepper (seperti dikutip Liliweri, 1997:17) “Iklan atau advertising berasal dari
bahasa latin “avere” yang berarti mengoperkan gagasan dan pikiran kepada pihak
lain”. Wright (Seperti dikutip Liliweri, 1997:10) “iklan merupakan suatu proses
komunikasi yang mempunyai kekuatan yang sangat penting sebagai alat pemasaran
yang membantu menjual barang, memberikan layanan, serta gagasan atau ide-ide
melalui saluran tertentu dalam bentuk informasi yang persuasif”. Menurut Rhenald
Kasali (1992:21), secara sedrhana iklan didefinisikan sebagai pesan yang
menawarkan suatu produk yang ditujukan oleh suatu masyarakat lewat suatu media.
Namun demikian, untuk membedakannya dengan pengumuman biasa, iklan lebih
diarahkan untuk membujuk orang supaya membeli.
Ciri-ciri iklan yang baik
1. Etis, berkaitan dengan kepantasan.
2. Estetis, berkaitan dengan kelayakan (target market, target audiennya, kapan
harus ditayangkan).
3. Artistik, bernilai seni sehingga mengundang daya tarik khalayak.

2.2.2. Fungsi Iklan


Menurut Shimp, secara umum, periklanan memiliki beragam fungsi komunikasi yang
penting bagi perusahaan bisnis dan organisasi lainnya. Fungsi periklanan yaitu:

1. Informing, periklanan membuat konsumen sadar akan merek-merek baru,


mendidik mereka tentang berbagai fitur dan manfaat merek, serta
memfasilitasi penciptaan citra mereka yang positif.
2. Persuading, iklan yang efektif akan mampu mempersuasi (membujuk)
pelanggan untuk mencoba produk dan jasa yang ditawarkan.
3. Remiding, iklan menjaga agar iklan tetap terjaga dalam ingatan konsumen.
4. Adding Value, periklanan memberi nalai tambah nilai merek dengan
mempengaruhi persepsi konsumen.
5. Bantuan untuk upaya lain perusahaan, periklanan adalah pendamping dan
memfasilitasi upaya-upaya lain dari perusahaan dalam proses komunikasi
pemasaran.

Harold D. Laswell mengatakan bahwa cara yang baik untuk menjelaskan


komunikasi ialah dengan menjawab pertanyaan who says what, in which channel
to whom, with what effect, and in which channel. Dalam penjelasan ini Laswell
menunjukan sebuah kegiatan komunikasi yang menggunakan saluran-saluran
komunikasi. Saluran-saluran ini yang kemudian diwujudkan melalui penggunaan
sebuah media, yang salah satunya adalah media televisi. Jefkins (1997:109-110)
menyatakan bahwa terdapat beberapa keunggulan iklan televisi, diantaranya:

1. Kesan realistik, karena sifatnya yang visual, dan merupakan kombinasi warna-
warna,suara, dan gerakan, maka iklan-iklan televisi nampak begitu hidup dan
nyata
2. Masyarakat lebih tanggap, karena iklan televisi ditayangkan di rumah-rumah
dalam suasana yang serba santai atau rekreatif maka masyarakat lebih siap
untuk memberikan perhatian.
3. Repetisi atau pengulangan, iklan televisi bisa ditayangkan hingga beberapa
kali dalam sehari sampai dipandang cukup bermanfaat yang memungkinkan
sejumlah masyarakat untuk menyaksikannya, dan dalam frekuensi yang cukup
sehingga pengaruh iklan itu bangkit.

Iklan begitu penting dalam upaya memahami tatanan signifikansi modern, maka
tidak heran jika iklan menjadi sangat menarik bagi pakar semiotika. Dalam
periklanan, bahasa umunya merupakan sarana untuk menegaskan, mengacu atau
semata-mata untuk menyatakan makna subtekstual. Menurut Danesi, (2010:379-
380), ada banyak teknik verbal yang digunakan pengiklan untuk mewujudkan tujuan
ini dan secara lebih umum untuk memuaskan produk kedalam kesadaran sosial.

2.2.3. Kode Etik dan Sanksi dalam Periklanan


Untuk membuat konsumen tertarik, iklan harus dibuat menarik bahkan kadang
dramatis. Tapi iklan tidak diterima oleh target tertentu (langsung). Iklan
dikomunikasikan kepada khalayak luas (melalui media massa komunikasi iklan akan
diterima oleh semua orang: semua usia, golongan, suku, dan sebagainya). Sehingga
iklan harus memiliki etika, baik moral maupun bisnis.Sebelum ditayangkan, iklan
yang akan ditayangkan di televisi terlebih dulu akan masuk ke Lembaga Sensor Film
(LSF). Di LSF materi iklan akan dilihat dan dicermati sehingga materi iklan yang
tidak layak akan terkena sanksi yaitu pemotongan adegan atau jika perlu akan
diberikan sanksi penolakan penayangan.
Selain hal-hal tersebut EPI juga mengatur beberapa hal misalnya tentang tata karma
pemeran iklan yaitu Iklan tidak boleh memperlihatkan anak-anak dalam adegan-
adegan yang berbahaya.Dalam EPI juga diberikan beberapa prinsip tentang
keterlibatan anak-anak di bawah umur seperti antara lain:

a. Anak-anak tidak boleh digunakan untuk mengiklankan produk yang tidak layak
dikonsumsi oleh anak-anak, tanpa didampingi orang dewasa.
b. Iklan tidak boleh memperlihatkan anak-anak dalam adegan-adegan yang berbahaya,
menyesatkan atau tidak pantas dilakukan oleh anak-anak.
c. Iklan tidak boleh menampilkan anak-anak sebagai penganjur bagi penggunaan suatu
produk yang bukan untuk anak-anak.
d. Iklan tidak boleh menampilkan adegan yang mengeksploitasi daya rengek (pester
power) anak-anak dengan maksud memaksa para orang tua untuk mengabulkan
permintaan anak-anak mereka akan produk terkait (lihat halaman 34 EPI).

2.3. REPRESENTASI
Representasi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) berarti perbuatan
mewakili, keadaan mewakili, apa yang mewakili, perwakilan. Representasi di pahami sebagai
gambaran sesuatu yang akurat atau realita terdistorsi. Representasi tidak hanya berarti “to
presentasi”, “to image”, atau “to depict”. Representasi adalah sebuah cara dimana memaknai
apa yang telah diberikan pada benda yang digambarkan. Representasi merupakan hubungan
antara konsep-konsep dan bahasa yang menunjuk pada dunia yang sesungguhnya dari suatu
objek, realitas atau pada dunia imajiner tentang obyek fiktif, manusia atau peristiwa
(Hermawan, 2011:234).
Konsep lama mengenai representasi ini didasarkan pada premis bahwa ada sebuah gap
representasi yang menjelaskan perbedaan antara makna yang diberikan oleh representasi dan
arti benda yang sebenarnya digambarkan. Hall berargumentasi bahwa representasi harus
dipahami dari peran aktif dan kreatif orang memaknai dunia. Hall menunjukan bahwa sebuah
imaji akan memepunyai makna yang berbeda dan tidak ada garansi bahwa imaji akan
berfungsi atau bekerja sebagaimana mereka dikreasi atau dicipta.
Hall menyebut ‘representasi sebagai konstitutif’. Representasi tidak hadir sampai
setelah selesai direpresentasikan, representasi tidak terjadi setelah sebuah kejadian.
Representasi adalah konstitutif dari sebuah kejadian. Representasi adalah bagian dari objek
itu sendiri, ia adalah konstitutif darinya. Stuart Hall menganggap bahwa ada yang salah
dengan representasi kelompok minoritas dalam media, bahkan ia meyakini bahwa imaji-imaji
yang dimunculkan oleh media semakin memburuk. Hall mengamati bahwa media cenderung
sensitif pada gaya hidup kelas menengah keatas, mayoritas masyarakat yang sudah teratur.

2.4. EKSPLOITASI ANAK


Eksploitasi ‘exploitation’ yang berarti politik pemanfaatan yang secara sewenang-
wenang atau terlalu berlebihan terhadap sesuatu subyek eksploitasi hanya untuk kepentingan
ekonomi semata-mata tanpa mempertimbangan rasa kepatutan, keadilan serta kompensasi
kesejahteraan. Dalam realita kehidupan sehari-hari, anak banyak di jadikan sebagai “Senjata
Pencari Uang” bagi kalangan kaum dewasa. Eksploitasi anak adalah sikap diskriminatif atau
perlakuan sewenang-wenang terhadap anak. Hal ini biasa dilakukan oleh seseorang maupun
sekelompok orang dewasa dengan cara memaksa anak untuk melakukan sesuatu demi
kepentingan ekonomi, sosial ataupun politik. Pemerasan tenaga anak ini tentu tanpa
memperhatikan hak-hak anak dalam mendapatkan perlindungan sesuai dengan perkembangan
fisik, psikis & status sosialnya. Dengan kata lain eksploitasi anak dapat juga diartikan
dengan memanfaatkan anak secara tidak etis demi kebaikan ataupun keuntungan sendiri,
orang lain, maupun kepentingan bersama.

2.5. SEMIOTIKA
2.5.1. Pengertian Semiotika
Semiotik sebagai suatu model dari pengetahuan sosial memahami dunia sebagai
sistem hubungan yang memiliki unit dasar yang disebut dengan ‘tanda’. Menurut Saussure,
persepsi dan pandangan kita tentang realitas, dikonstruksikan oleh kata-kata dan tanda-tanda
yang lain yang digunakan dalam konteks sosial. Secara etimologis istilah semiotika berasal
dari bahasa Yunani “semeion” yang berarti ’tanda’(Sudjiman dan van Zoest, 1996: vii) atau
seme,yang berarti ”penafsir tanda” (Cobley dan Jansz, 1999: 4) (dalam Sobur, .2004: 16).
Semiotika kemudian didefinisikan sebagai studi tentang tanda dan cara tanda-tanda itu
bekerja.
Secara terminologis, semiotik didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari sederetan
luas objek-objek, peristiwa-peristiwa, seluruh kebudayaan sebagai tanda. Pada hakikatnya,
semiotik merupakan ilmu yang mempelajari tentang tanda-tanda, lambang-lambang, sistem-
sistemnya serta proses pelambangan.
Secara historis, semiotika menjadi disiplin yang dikenal luas oleh pengaruh dari dua
tokoh utama: Charles Sanders Peirce mewakili tradisi Amerika dan Ferdinand de Saussure
mewakili tradisi Eropa. Semiologi menurut Saussure seperti dikutip seperti dikutip Hidayat,
didasarkan pada anggapan bahwa selama perbuatan dan tingkah laku manusia membawa
makna atau selama berfungsi sebagai tanda, harus ada di belakangnya sistem perbedaan dan
konvensi yang memungkinkan makna itu. Di mana ada tanda di sana ada sistem (Hidayat,
1998:26). Sedangkan Peirce menyebut ilmu yang dibangunnya semiotika (semiotics). Bagi
Peirce yang ahli filsafat dan logika, penalaran manusia senantiasa dilakukan lewat tanda.
Artinya, manusia hanya dapat bernalar lewat tanda. Dalam pikirannya, logika sama dengan
semiotika dan semiotika dapat ditetapkan pada segala macam tanda (Berger, 2000:11-22).
Dalam perkembangan selanjutnya, istilah semiotika lebih populer daripada semiologi.
Semiotika adalah suatu ilmu atau metode analisis untuk mengkaji tanda. Tanda-tanda
adalah perangkat yang kita pakai dalam upaya berusaha mencari jalan di dunia ini, di tengah-
tengah manusia dan bersama-sama manusia. Semiotika, atau dalam istilah Barthes, semiologi,
pada dasarnya hendak mempelajari bagaimana kemanusiaan (humanity) memaknai hal-hal
(thing). Memaknai (to signify) dalam hal ini tidak dapat dicampuradukkan dengan
mengkomunikasikan (to comunicate). Memaknai berarti bahwa objek-objek tidak hanya
membawa informasi, dalam hal mana objek-objek itu hendak berkomunikasi, tetapi juga
mengkonstitusi sistem terstruktur dari tanda (Sobur, 2006:15).
Semiotika adalah ilmu yang mempelajari tentang tanda (sign), berfungsi tanda, dan
produksi makna. Tanda adalah sesuatu yang bagi seseorang berarti sesuatu yang lain. Dalam
pandangan Zoest, segala sesuatu yang dapat diamati atau dibuat teramati dapat disebut tanda.
Karena itu, tanda tidaklah terbatas pada benda. Adanya peristiwa, tidak adanya peristiwa,
struktur yang ditemukan adalah sesuatu, suatu kebiasaan, semua ini dapat disebut benda.
Sebuah bendera kecil, sebuah isyarat tangan, sebuah kata, suatu keheningan, suatu kebiasaan
makan, sebuah gejala mode, suatu gerak syaraf, peristiwa memerahnya wajah, suatu
kesukaan tertentu, letak bintang tertentu, suatu sikap, setangkah bunga, rambut uban, sikap
diam membisu, gagap. Bicara cepat, berjalan sempoyongan, menatap, api, putih, bentuk
bersudut tajam, kecepatan, kesabaran, kegilaan, kekhawatiran, kelengahan semuanya itu
dianggap sebagai tanda (Zoest, 1993:18).

2.5.2. Semiotika Roland Barthes


Menurut Saussure, tanda terdiri dari: Bunyi-bunyian dan gambar, disebut signifier
atau penanda, dan konsep-konsep dari bunyi-bunyian dan gambar, disebut signified, adalah
sebagai berikut:

Gambar 1. Elemen-elemen makna dari Saussure


Sumber : Alex Sobur , “Analisis Teks Media” (Bandung, Remaja Rosdakarya, 2004)

Saussure menyebut signifier sebagai bunyi atau coretan bermakna, sedangkan


signified adalah gambaran mental atau konsep sesuatu dari signified. Hubungan antara
keberadaan fisik tanda dan konsep mental tersebut dinamakan signification. Dengan kata lain,
signification adalah upaya dalam memberi makna terhadap dunia (Fiske, 1990:44). Roland
Barthes adalah penerus pemikiran Saussure. Saussure tertarik pada cara kompleks
pembentukan kalimat dan cara bentuk-bentuk kalimat menentukan makna, tetapi kurang
tertarik pada kenyataan bahwa kalimat yang sama bisa saja menyampaikan makna yang
berbeda pada orang yang berbeda situasinya dengan menekankan interaksi antara teks dengan
pengalaman personal dan kultural penggunanya, interaksi antara konvensi dalam teks dengan
konvensi yang dialami dan diharapkan oleh penggunanya. Gagasan Barthes ini dikenal
dengan “order of signification”, mencakup denotasi (makna sebenarnya sesuai kamus) dan
konotasi (makna ganda yang lahir dari pengalaman kultural dan personal).
Barthes dalam Sobur (2004: 15) menyebutkan bahwa semiotika merupakan suatu
ilmu atau metode analisis untuk mengkaji tanda. Semiotika pada dasarnya hendak
mempelajari bagaimana kemanusiaan (humanity) memaknai hal-hal (things). Memaknai
berarti bahwa objek-objek tidak hanya membawa informasi, dalam hal mana objek-objek itu
hendak berkomunikasi, tetapi juga mengkonstitusi sistem terstruktur dari tanda.
Barthes melakukan terobosan penting dalam tradisi semiotika konvensional yang
dahulu pernah berhenti pada kajian tentang bahasa. Semiotika model Barthes memungkinkan
kajian yang mampu menjangkau wilayah kebudayaan lain yang terkait dengan popular
culture dan media massa. Bahkan dalam pandangan George Ritzer (2003: 53), Barthes adalah
pengembang utama ide-ide Saussure pada semua area kehidupan sosial (Hermawan, 2011:
251).
Barthes melontarkan konsep tentang konotasi dan denotasi sebagai kunci dari
analisisnya. Fiske menyebut model ini sebagai signifikasi dua tahap (two order of
signification). Lewat model ini Barthes menjelaskan bahwa signifikasi tahap pertama
merupakan hubungan antara signifier (penanda) dan signified (petanda). Ini disebut Barthes
sebagai denotasi yaitu makna paling nyata dari tanda. Konotasi adalah istilah yang digunakan
Barthes untuk menunjukkan signifikasi tahap kedua. Konotasi mempunyai makna yang
subjektif atau paling tidak intersubjektif. Dengan kata lain, denotasi adalah apa yang
digambarkan tanda terhadap sebuah objek, sedangkan makna konotasi adalah bagaimana cara
menggambarkannya (Wibowo, 2011: 17).
Salah satu area penting yang dirambah Barthes dalam studinya tentang tanda adalah
peran pembaca (the reader). Konotasi, walaupun merupakan sifat asli tanda, membutuhkan
keaktifan pembaca agar dapat berfungsi. Barthes memperjelas sistem signifikasi dua tahap
dalam gambar berikut ini:

Gambar 2. Peta Tanda Roland Barthes


Sumber : Alex Sobur, “Semiotika Komunikasi” (Bandung, Remaja Rosdakarya,
2004)

Dari peta Barthes di atas terlihat bahwa tanda denotatif (3) terdiri atas penanda (1)
dan petanda (2). Penanda merupakan tanda yang kita persepsi yang dapat ditunjukkan dengan
warna atau rangkaian gambar yang ada dalam objek yang diteliti. Akan tetapi, pada saat
bersamaan, tanda denotatif adalah juga penanda konotatif (4). Sementara itu petanda
konotatif (5) menurut Barthes adalah mitos atau operasi ideologi.

1) Sistem Pemaknaan Tingkat Pertama (Denotasi)


Signifikasi tahap pertama merupakan hubungan antara signifier dan signified di dalam
sebuah tanda terhadap realitas eksternal. Barthes menyebutnya sebagai denotasi yaitu
makna paling nyata dari tanda. Jadi dalam konsep Barthes, tanda konotatif tidak sekedar
memiliki makna tambahan namun juga mengandung kedua bagian tanda denotatif yang
melandasi keberadaannya. Dalam hal ini, denotasi justru diasosiasikan dengan
ketertutupan makna (Sobur,2009:70).
Menurut Lyons (dalam Sobur,2009:263) denotasi adalah hubungan yang digunakan
dalam tingkat pertama pada kata yang secara bebas memegang peranan penting di dalam
ujaran.
Harimurti Krisdalaksana (dalam Sobur,2009:263) mendefinisikan denotasi sebagai
makna kata atau sekelompok kata yang didasarkan atas penunjukkan yang lugas pada
sesuatu di luar bahasa atau yang didasarkan atas konvensi tertentu dan sifatnya objektif.
Denotasi dimengerti sebagai makna harfiah, makna yang sesungguhnya bahkan kadang
juga dirancukan dengan referensi atau acuan. Proses signifikasi yang secara tradisional
disebut denotasi ini biasanya mengacu pada penggunaan bahasa dengan arti yang sesuai
dengan apa yang terucap. Di dalam semiologi Roland Barthes, denotasi merupakan
sistem signifikasi tingkat pertama sementara konotasi merupakan tingkat kedua.
Makna denotasi bersifat langsung yaitu makna khusus yang terdapat pada sebuah tanda
pada dasarnya meliputi hal-hal yang ditunjuk oleh kata-kata yang disebut sebagai makna
referensial, makna yang biasa kita temukan dalam kamus. Keraf (dalam Sobur,2009:265)
mengungkapkan bahwa makna denotasi (denotative meaning) disebut juga dengan
beberapa istilah seperti makna denotasional, makna kognitif, makna konseptual atau
ideasional, makna referensial atau makna proposisional. Disebut makna denotasional,
referensial, konseptual atau ideasional karena makna itu menunjuk pada (denote) kepada
satu referen, konsep, atau ide tertentu dari sebuah referen. Disebut makna kognitif karena
makan itu bertalian dengan kesadaran atau pengetahuan. Dan makna ini disebut juga
dengan makna proposisional pernyataan yang bersifat fakual.
Jika kita mengucapkan sebuah kata yang mendenotasikan suatu hal tertentu, maka itu
berarti kata tersebut menunjukkan, mengemukakan dan menunjuk pada hal itu sendiri.
Misalnya kata ‘ayam’ mendenotasikan atau merupakan sejenis unggas teretntu yang
memiliki ukuran tertentu, berbulu, berkotek dan menghasilkan telur.

2) Sistem Penandaan Tingkat Kedua (Konotasi)


Konotasi adalah istilah yang digunakan Barthes untuk menunjukkan signifikasin tahap
kedua. Hal ini menggambarkan interaksi yang terjadi ketika tanda bertemu dengan
perasaan atau emosi dari pembaca serta nilai-nilai dari kebudayaannya. Konotasi
mempunyai makna yang subjektif atau paling tidak intersubjektif. Dengan kata lain,
Fiske (dalam Sobur,2009:128) mengatakan bahwa denotasi adalah apa yang
digambarkan tanda terhadap sebuah objek sedangkan konotasi adalah bagaimana
menggambarkannya.
Konotasi menempatkan denotasi sebagai penanda terhadap petanda atau signified baru
sehingga melahirkan makna konotasi (second order signification). Penanda dalam
pemaknaan konotasi terbentuk melalui tanda denotasi yang digabungkan dengan petanda
baru atau tambahan sehingga tanda denotaso akan sangat menentukan signifikasi
selanjutnya.
Dalam kerangka Barthes,konotasi identik dengan operasi ideologi yang disebutnya
sebagai mitos dan berfungsi untuk mengungkapkan dan memberikan pembenaran bagi
nilai-nilai dominan yang berlaku dalam suatu periode tertentu. Konotasi mengacu pada
makna yang menempel pada suatu kata karena sejarah pemakainya.
Jika denotasi sebuah kata adalah objektif kata tersebut, maka konotasi sebuah kata
adalah makna subjektif atau emosionalnya. Arthur Asa Berger (Sobur,2009:263)
mengemukakan bahwa konotasi melibatkan simbol-simbol, historis dan hal-hal yang
berhubungan dengan emosional. Makna konotatif bersifat subjektif dalam pengertian
bahwa ada pergeseran dari makna umum (denotatif) karena sudah ada penambahan rasa
dan nilai tertentu. Kalau makna deotatif hampir bisa dimengerti banyak orang, maka
makna konotatif hanya bisa dicerna oleh mereka yang jumlahnya lebih kecil.
Keraf (dalam Sobur,2009:266) mengungkapkan bahwa konotasi atau makna konotatif
disebut juga makna konotasional, makna emotif atau makna evaluatif. Makna konotatif
adalah suatu jenis makna dimana stimulus dan respons mengandung nilai-nilai
emosional. Makna konotatif sebagaian terjadi karena pembicara ingin menimbulkan
perasaan setuju-tidak setuju, senang-tidak senang dan sebagainya pada pihak pendengar.
Konotasi sebagai makna kedua dari tanda dapat juga ditampilkan melalui teknik-teknik
visual. Dalam video maupun gambar terkandung level produksi yang berbeda (Framing,
lay out, technical treatment, choice). Untuk memunculkan sebuah makna konotasi,
Barthes (2010:6) menyusun tahap-tahap konotasi. Agar dipahami dengan jelas, tiga tahap
pertama (trick effect, pose and object) harus dibedakan dengan tiga tahap terakhir
(photogenia, aesthetisicm dan sintax). Tahap ini sudah sering didengar dan tidak
dijelaskan dengan detail, tetapi hanya diposisikan secara struktural.
a. Trick Effect ( efek tiruan)
Trick effect memanfaatkan kredibiltas yang dimiliki oleh foto. Trick effect
merupakan syarat konotasi yang melihat teknik-teknik visual yang terdapat
dalam shot. Seperti kita lihat merupakan kekuatan luar biasa denotasi untuk
mengelupas pesan yang seolah-olah hanya bersifat denotatif belaka, tetapi sarat
dengan muatan konotatif. Metode ini memanipulasi atau meniadakan beberapa
hal atau mengubah latar warna. Trick effect bisa mengubah hal penting dalam
suatu scene atau mungkin hanya berperan minor seperti pencahayaan atau
kontras warna.
b. Pose (sikap)
Ketika berbicara tentang pose, otomatis kita langsung teringat kepada objek
tubuh. Pose merupakan komunikasi non verbal yang dilihat melalui bahasa
tubuhnya. Metodenya misalnya dilakukan dengan cara menampilkan gambar
setengah tubuh, tatapan mata ke atas, kedua tangan menyatu. Gerakan-gerakan
diatas jika ditampilkan akan terlihat seseorang yang seolah-olah berdoa.
c. Object (objek)
Pengaturan sikap atau posisi objek mesti sunguuh-sungguh diperhatikan karena
makna akan diserap dari objek yang diambil. Daya tarik akan semakin besar
apabila objek yang digunakan bisa merujuk pada jejaring ide tertentu (rak buku
merujuk pada intelektualitas) atau kalau mau lebih rumit lagi, simbol-simbol
berkesan dalam masyarakat (pintu kamar gas yang menjadi tempat eksekusi
mati seorang tahanan merujuk pada pintu gerbang pemakaman dalam mitologi
kuno). Objek-objek ini bisa menjadi elemen luar biasa bagi proses pertandaan.
d. Photogenia ( fotogenia)
Teori tentang photogenia merupakan aspek-aspek teknis dalam produksi foto
seperti pencahayaan dan pencetakkan hasil ( Barthes, 2010;10). Dalam
photogenia, pesan konotatif adalah gambar itu sendiri yang ‘diperhalus’ dengan
teknik-teknik pencahayaan dan pengurangan bias cahaya. Melalui ‘permainan’
pencahayaan sebuah scene bisa ditampilkan secara lebih dramatis atau romantis.
e. Aesthetisicm (estetis)
Aestheticism erat kaitannya dengan ‘seni’. Aestheticism berhubungan dengan
keindahan. Dalam suatu scene bisa ditemukan gambaran yang sudah diatur
begitu rupa hingga tampak seperti lukisan. Ide-ide yang terkandung dalam
aestheticism mirip dengan seni lukis. Aestheticism melihat pada makna
keseluruhan makna gambar layaknya lukisan. Jika gambar biasa hanya
menampilkan sosok, benda, dan menawarkan fakta saja tetapi aestheticism
melihat secara keseluruhan. Gambar pedesaan di sore hari ketika matahari
terbenam misalnya bisa diartikan sebagai ketenangan atau kedamaian.
f. Sintax (sintaksis)
Sintax adalah gabungan yang membentuk makna. Jika kelima syarat diatas
hanya melihat scene per scene maka sintax melibatkan beberapa scene untuk
melihat makna yang terkandung di dalamnya.

3) Mitos
Budiman (dalam Sobur,2009:71) mengatakan dalam kerangka Barthes, konotasi identik
dengan operasi ideologi yang disebutnya sebagai mitos dan berfungsi untuk memberikan
pembenaran bagi nilai-nilai dominan yang berlaku pada periode tertentu. Di dalam mitos
juga terdapat pola tiga dimensi penanda, petanda, dan tanda. Namun Sobur (2009:71)
mengatakan sebagai suatu sistem yang unik, mitos dibangun oleh suatu rantai pemaknaan
yang telah ada sebelumnya. Dengan kata lain, mitos adalah juga suatu sistem
pemaknaaan tataran kedua.
Kata ‘mitos’ berasal dari bahasa Yunani ‘myhtos’ yang berarti ‘kata’, ‘ujaran’, ‘kisah
tentang dewa-dewa’. Sebuah mitos adalah narasi yang karakter-karakter utamanya adalah
para dewa, para pahlawan dan makhluk mistis, plotnya berputar disekitar asal muasal
benda-benda atau di sekitar makna benda-benda dan settingnya adalah dunia metafisika
yang dilawankan dengan dunia nyata. Pada tahap awal kebudayaan manusia, mitos
berfungsi sebagai teori asli mengenal dunia. Seluruh kebudayaan telah menciptakan
kisah-kisah untuk menjelaskan asal-usul mereka (Danesi, 2010:207). Menurut Urban
(Sobur, 2009:222) mitos adalah cara utama yang unik untuk memahami realitas. Menurut
Molinowski (Sobur, 2009:222) mitos adalah pernyataan purba tentang realitas yang lebih
relevan.
Mitos menciptakan suatu sistem pengetahuan metafisika untuk menjelaskan asal-usul,
tindakan dan karakter manusia selain fenomena dunia. Sistem ini adalah suatu sistem
yang secara instingtif kita ambil bahkan hingga saat ini untuk menyampaikan
pengetahuan tentang nilai-nilai dan moral awal kepada anak-anak. Di dalam mitos pula
sebuah petanda dapat memiliki beberapa penanda. Dengan mempelajari mitos, kita dapat
mempelajari bagaimana masyarakat yang berbeda menjawab pertanyaan-pertanyaan
dasar tentang dunia dan tempat bagi manusia di dalamnya. Kita dapat mengkaji mitos
untuk mempelajari bagaimana orang-orang mengembangkan suatu sistem sosial khusus
dengan banyak adat-istiadat dan cara hidup, dan juga memahami secara lebih baik nilai-
nilai yang mengikat para anggota masyarakat untuk menjadi satu kelompok.

Menurut Barthes pada saat media membagi pesan, maka pesan-pesan yang berdimensi
konotatif itulah yang menciptakan mitos. Pengertian mitos di sini tidak senantiasa
menunjuk pada mitologi dalam pengertian sehari-hari, seperti halnya cerita-cerita
tradisional, legenda dan sebagainya. Bagi Barthes, mitos adalah sebuah cara pemaknaan
dan ia menyatakan mitos secara lebih spesifik sebagai jenis pewacanaan atau tipe
wacana.
Barthes menyatakan bahwa mitos merupakan sistem komunikasi juga, karena mitos ini
pada akhirnya berfungsi sebagai penanda sebuah pesan tersendiri. Mitos tidaklah dapat
digambarkan melalui obyek pesannya, melainkan melalui cara pesan tersebut
disampaikan. Apapun dapat menjadi mitos, tergantung dari caranya ditekstualisasikan.
Sering dikatakan bahwa ideologi bersembunyi di balik mitos. Suatu mitos menyajikan
serangkaian kepercayaan mendasar yang terpendam dalam ketidaksadaran representator.
(Hermawan, 2011: 253).

2.5.3. Semiotika Iklan


Pada awalnya iklan dikenal oleh masyarakat melalui media yang terbatas. Iklan
dikenali pada media cetak seperti iklan pada Koran maupun iklan yang dipasang dalam suatu
media sebagai relief atau papan nama. Perkembangan iklan mengikuti perkembangan media
yang memuatnya sehingga saat ini iklan terus berevolusi bentuknya sesuai dengan industri
yang menaunginya. Berawal dari iklan yang dipasang melalui papan-papan pengumuman,
kemudian berkembang menjadi iklan yang disiarkan melalui radio dan berkembang lebih
jauh menjadi iklan yang ditayangkan pada televisi dan internet.
Sebagai sebuah bangunan representasi, iklan sebagai sistem pertandaan tidak hanya
mencerminkan realitas manfaat dari produk yang ditawarkan namun iklan juga
merepresentasikan maksud atau gagasan yang tersembunyi dari penggagasnya. Prinsip
semiotika iklan adalah bahwa iklan melibatkan tanda dan kode. Setiap bagian iklan menjadi
tanda, yang secara mendasar berarti sesuatu yang memproduksi makna. Dalam iklan kode-
kode yang secara jelas dapat dibaca adalah bahasa berupa narasi atau unsur tekstual, audio
dan audiovisual.
Iklan juga merupakan konstruksi realitas dalam media. Giacardi berpendapat bahwa
iklan adalah acuan, artinya iklan adalah diskursus tentang realitas yang menggambarkan,
memproyeksikan dan menstimulasi suatu dunia mimpi yang hiperrealistik. Menurutnya iklan
berusaha menciptakan suatu realitas namun realitas iklan sendiri selalu berbeda dari realitas
nyata yang ada di masyarakat. Suharko mengatakan iklan berusaha merepresentasikan
kenyataan yang hidup dalam masyarakat melalui simbol-simbol tertentu, sehingga mampu
menimbulkan impresi dalam benak konsumen bahwa citra produk yang ditampilkan adalah
juga bagian dari kesadaran budayanya (Wibowo, 2011: 128).
Konstruksi iklan atas realitas sosial terjadi melalui lima tahap. Yaitu (1) tahap
menyiapkan materi konstruksi iklan, (2) tahap sebaran konstruksi, (3) tahap pembentukan
konstruksi, (4) tahap konfirmasi dan (5) tahap perilaku keputusan konsumen. Dari tahapan
konstruksi ini yang menjadi penekanan dalam studi semiotika adalah pada tahap ke tiga, yaitu
pada saat terjadi pembentukan konstruksi. Pada tahap ini tanda dibentuk dan dikonstruksi
serta disampaikan pada khalayak melalui media yang terpilih. Tanda-tanda yang dikonstruksi
tersebut merupakan suatu sistem tanda yang dalam semiotika dipakai sebagai kajian utama.
Dalam hal ini akan dicari gambaran seperti apa tanda sebagai sebuah sistem dalam realitas
simbolik berupa teks iklan sehingga terjawab bagaimana sistem representasi yang terdapat
dalam konstruksi iklan tersebut (Wibowo, 2011: 129).
Untuk mengkaji iklan dalam perspektif semiotika, kita bisa mengkajinya lewat sistem
tanda dalam iklan. Iklan menggunakan sistem tanda yang terdiri atas lambang, baik tanda
verbal yang mencakup bahasa yang kita kenal maupun tanda non verbal yaitu bentuk dan
warna yang disajikan dalam iklan. Iklan juga menggunakan tiruan indeks, terutama dalam
iklan radio, televisi, dan film (Sobur, 2004: 116).
Membedah iklan sebagai objek semiotika mengedepankan perlakuan terhadap
keseluruhan tanda-tanda di dalamnya seperti layaknya teks tertulis. John Fiske (1991)
mengajukan tiga level kode yang dapat dimaknai dalam menggali makna-makna tersembunyi
dalam iklan televisi. Level pertama adalah “realitas”, meliputi tampilan visual semacam
penampilan, pakaian, make up, perilaku, pembicaraan, gesture, ekspresi, suara dan lain-lain.
Level yang bersifat permukaan ini merupakan level kode yang bersifat teknis. Level kedua
adalah “representasi” dimana penggunaan kamera, pencahayaan, editing, musikdan suara.
Anasir-anasir tersebut dapat merepresentasikan makna tentang situasi yang dibangun seperti
konflik, karakter, setting dan sebagainya. Level ketiga adalah “ideologi”. Sebagai level
terdalam, level ini merepresentasikan sejauh mana ideologi yang dibangun dalam sebuah
tayangan iklan (Hermawan, 2011: 248).

Anda mungkin juga menyukai