PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Seiring berjalannya waktu dan semakin pesatnya tingkat intelektualitas serta kualitas
kehidupan, maka pendidikan pun menjadi lebih kompleks. Oleh karena itu, tentu saja hal
ini membutuhkan sebuah desain pendidikan yang tepat dan sesuai dengan kondisinya.
Sehingga berbagai teori, metode dan desain pembelajaran serta pengajaran pun dibuat
dan diciptakan untuk mengapresiasikan semakin beragamnya tingkat kebutuhan dan
kerumitan permasalahan pendidikan. Jadi memang itulah yang menjadi esensi
pendidikan itu sendiri, yakni bagaimana menciptakan sebuah kehidupan lebih baik yang
tercipta dari proses pendidikan yang kontekstual dan mampu menyerap aspirasi zaman
dengan tepat dan sesuai. Guru di dalam melaksanakan pembelajaran, juga harus bisa
memilih maupun menetapkan suatu pendekatan pembelajaran yang tepat di kelas
sehingga hasil pembelajaran lebih optimal, selayaknya seseorang dalam menjalankan
kehidupannya sehari-hari yang harus mampu menetapkan sasaran yang hendak dicapai.
Guru pun demikian, harus bisa menetapkan pendekatan pembelajaran yang tepat.
Masing-masing individu akan memilih cara dan gayanya sendiri untuk belajar dan
mengajar, namun setidak-tidaknya ada karakteristik tertentu dalam pendekatan
pembelajaran tertentu yang khas dibandingkan dengan pendekatan lain. Salah satu
contoh pendekatan pembelajaran adalah pendekatan konstruktivisme. Martin. Et. Al
(dalam Gerson Ratumanan, 2002) mengemukakan bahwa konstruktivisme menekankan
pentingnya setiap siswa aktif mengkonstruksikan pengetahuan melalui hubungan saling
mempengaruhi dari belajar sebelumnya dengan belajar baru. Hubungan tersebut
dikonstruksikan oleh siswa untuk kepentingan mereka sendiri. Elemen kuncinya adalah
bahwa orang belajar secara aktif mengkonstruksikan pengetahuan mereka sendiri,
membandingkan informasi baru dengan pemahaman sebelumnya dan menggunakannya
untuk menghasilkan pemahaman baru. Untuk itu, setiap pelajaran di sekolah perlu
diarahkan untuk selalu mendidik siswa agar mengkonstruksikan pengetahuannya.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana definisi dan konsep dasar dari teori konstruktivisme ?
2. Bagaimana hakikat pembelajaran konstruktivisme ?
3. Bagaimana tokoh-tokoh dan teori aliran konstruktivisme ?
1
4. Bagaimana aspek-aspek pembelajaran konstruktivisme ?
5. Bagaimana prinsip-prinsip pembelajaran konstruktivisme ?
6. Bagaimana aplikasi teori konstruktivisme terhadap pembelajaran IPA SD ?
7. Bagaimana kelebihan dan kekurangan teori belajar konstruktivisme ?
C. TUJUAN PENULISAN
1. Mengetahui definisi dan konsep dasar dari teori konstruktivisme
2. Mengetahui hakikat pembelajaran konstruktivisme
3. Mengetahui tokoh-tokoh dan teori aliran konstruktivisme
4. Mengetahui aspek-aspek pembelajaran konstruktivisme
5. Mengetahui prinsip-prinsip pembelajaran konstruktivisme
6. Mengetahui aplikasi teori konstruktivisme terhadap pembelajaran IPA SD
7. Mengetahui kelebihan dan kekurangan teori belajar konstruktivisme
2
BAB II
PEMBAHASAN
3
melibatkan peserta didik untuk membina sendiri secara aktif pengetahuan dengan
menggunakan pengetahuan yang telah ada dalam diri mereka masing-masing. Peserta
didik akan mengaitkan materi pembelajaran baru dengan materi pembelajaran lama yang
telah ada.
Konstruktivisme adalah tidak lebih daripada satu komitmen terhadap pandangan
bahwa manusia membina pengetahuan sendiri. Ini bermakna bahwa sesuatu pengetahuan
yang dipunyai oleh seseorang individu adalah hasil daripada aktivitas yang dilakukan
oleh individu tersebut, dan bukan sesuatu maklumat atau pengajaran yang diterima
secara pasif daripada luar. Pengetahuan tidak boleh dipindahkan daripada pemikiran
seseorang individu kepada pemikiran individu yang lain. Sebaliknya setiap insan
membentuk pengetahuan sendiri dengan menggunakan pengalamannya secara terpilih.
Keaktifan peserta didik menjadi syarat utama dalam proses pembelajaran menurut
teori konstruktivisme. Peranan guru hanya sebagai fasilitator atau pencipta kondisi
belajar yang memungkinkan peserta didik secara aktif mencari sendiri informasi,
mengasimilasi dan mengadaptasi sendiri informasi, dan mengonstruksinya menjadi
pengetahuan yang baru berdasarkan pengetahuan yang telah dimiliki masing-masing.
Dengan kata lain, dalam pembelajaran konstruktivisme peserta didik memegang peran
kunci dalam mencapai kesuksesan belajarnya, sedangkan guru hanya berperan sebagai
fasilitator.
Terdapat kekhususan pandangan tentang belajar dalam teori belajar konstruktivisme
apabila dibandingkan dengan teori belajar behaviorisme dan kognitivisme. Teori belajar
behaviorisme lebih memperhatikan tingkah laku yang teramati, dan teori belajar
kognitivisme lebih memperhatikan tingkah laku dalam memproses informasi atau
pengetahuan yang sedang dipelajari peserta didik tanpa mempertimbangkan pengetahuan
atau informasi yang telah dikuasai sebelumnya. Sedangkan teori belajar konstruktivisme
berangkat dari asumsi bahwa peserta didik memiliki kemampuan untuk membangun
pengetahuan yang baru berdasarkan pengetahuan yang telah dikuasai sebelumnya.
Pengetahuan yang telah dimiliki sebelumnya akan menjadi modal yang berharga bagi
peserta didik dalam mengkontruksi menjadi pengetahuan yang baru. Rekonstruksi
pengetahuan baru merupakan gabungan dari pengetahuan sebelumnya dengan
pengalaman yang dialami saat ini. Proses rekonstruksi pengetahuan baru peserta didik
dilakukan melalui proses pembelajaran yang dilaksanakan baik itu bersama guru, teman,
orang tua maupun berasal dari proses belajar sendiri.
4
Pengetahuan tidak dapat dipindahkan begitu saja dari pikiran guru ke peserta didik.
Artinya, bahwa peserta didik harus aktif secara mental membangun struktur
pengetahuannya berdasarkan kematangan kognitif yang dimilikinya. Dengan kata lain,
peserta didik tidak diharapkan sebagai botol-botol kecil yang siap diisi dengan berbagai
ilmu pengetahuan sesuai dengan kehendak guru. Keaktifan peserta didik dalam
mengkontruksi pengetahuannya akan sangat membantu dalam proses pembelajaran
sehingga peserta didik akan mendapatkan pengetahuan baru yang dibutuhkannya.
Sehubungan dengan hal itu, Tasker mengemukakan tiga penekanan dalam teori
belajar konstruktivisme sebagai berikut :
1. Peran aktif peserta didik dalam mengkontruksi pengetahuan secara bermakna
2. Pentingnya membuat kaitan antara gagasan dalam pengkonstruksian secara bermakna
3. Mengaitkan antara gagasan dengan informasi baru yang diterima.
5
pengembangan konsep baru. Karenanya aksentuasi dari mendidik dan mengajar
tidak terfokus pada si pendidik melainkan pada pembelajar.
Beberapa hal yang mendapat perhatian pembelajaran konstruktivistik, yaitu:
a. Mengutamakan pembelajaran yang bersifat nyata dalam konteks yang relevan;
b. Mengutamakan proses;
c. Menanamkan pembelajaran dalam konteks pengalaman sosial;
d. Pembelajaran dilakukan dalam upaya mengkonstruksikan pengalaman.
Hakikat pembelajaran konstruktivistik oleh Brooks & Brooks dalam Degeng
mengatakan bahwa pengetahuan adalah nonobjective, bersifat temporer, selalu
berubah, dan tidak menentu.
C. TOKOH-TOKOH DAN TEORI ALIRAN KONSTRUKTIVISME
Teori konstruktivisme disdefinisikan sebagai pembelajaran yang bersifat generatif, yaitu
tindakan mencipta sesuatu makna dari apa yang dipelajari.
Tokoh-tokoh konstruktivisme diantaranya, adalah:
1. John Dewey
Teori belajar nya, yaitu pembelajaran demokratis. Dalam demokrasi dan pendidikan
Dewey menyampaikan pandangan bahwa sekolah seharusnya mencerminkan
masyarakat yang lebih besar dan kelas merupakan laboratorium untuk memecahkan
masalah kehidupan nyata. Ilmu mendidik Dewey menganjurkan pembelajar untuk
mendorong pelajar terlibat dalam proyek atau tugas berorientasi masalah dan
membantu mereka menyelidiki masalah-masalah intelektual dan sosial. Dewey juga
menyatakan bahwa pembelajran disekolah seharusnya lebih memiliki manfaat
daripada abstrak.
2. Jean Piaget
Teori belajar koonstruktivistik yang dikembangkan oleh Piaget dikenal dengan nama
konstruktivistik kognitif (personal constructivism). Teorinya berisi konsep-konsep
utama dibidang psikologi perkembangan dan berkenaan dengan pertumbuhan
intelegensi, yang untuk Piaget berarti kemampuan untuk secara lebih akurat
mempresentasikan dunia, dan mengerjaan operasi-operasi logis dari representasi-
representasi konsep realitas dunia.
Lebih jauh Piaget mengemukakan bahwa pengetahuan tidak diperoleh secara pasif
oleh seseorang melainkan melalui tindakan. Dari pandangan Piaget tentang tahap
perkembangan kognitif anak dapat dipahami bahwa pada tahap tertentu cara maupun
6
kemampuan anak mengkonstruksi ilmu berbeda-beda berdasarkan kematangan
intelektual anak. Pada teori ini konsekuensinya adalah siswa harus memiliki
keterampilan untuk menyesuaikan diri atau adaptasi secara tepat.
3. Lev Vygotsky
Teori belajar Vygotsky menekankan pada sosiokultural dan pembelajaran. Siswa
dalam mengkonstruksi pengetahuannya dipengaruhi oleh lingkungan sosial
disekitarnya. Pengetahuan, sikap, pemikiran, tata nilaii yang dimiliki siswa akan
berkembang melalui proses interaksi, konsep terpenting dalam teori Vygotsky yaitu
Zone Of Proximal Development (ZPD) dan Scaffolding, Zone Of Proximal
Development adalah jarak antara perkembangan potensial dimana siswa mampu
mengkonstruksikan pengetahuan dibawah bimbingan orang dewasa. Sedangkan
Scaffolding merupakan pemberian kepada peserta didik selama tahap-tahap awal
pembelajaran, kemudian mengurangi bantuan dan memberikan kesempatan untuk
mengambil alih tanggung jawab yang makin besar setelah dapat melakukannya
sendiri.
4. Jerome Bruner
Bruner adalah seorang ahli psikologi perkembangan dan psikologi belajar kognitif.
Ia telah mengembangkan suatu model instruksional kognitif yang sagat berpengaruh
yang disebut dengan belajar penemuan. Bruner menganggap bahwa belajar
penemuan sesuai dengan pencarian pengetahuan secara aktif oleh manusia dan
dengan sendirinya memberikan hasil yang lebih baik.
7
salah satu proses individu dalam mengadaptasikan dan mengorganisasikan diri dengan
lingkungan baru.
Akomodasi terjadi untuk membentuk skema baru yang cocok dengan rangsangan
yang baru atau memodifikasi skema yang telah ada sehingga cocok dengan rangsangan
itu. Penyebabnya dalam menghadapi rangsangan atau pengalaman baru seseorang tidak
dapat mengasimilasikan pengalaman barunya dengan skemata yang telah dipunyai,
karena pengalaman barunya sama sekali tidak cocok dengan skema yang telah ada. Bagi
Piaget, adaptasi merupakan suatu kesetimbangan antara asimilasi dan akomodasi. Karena
bila dalam proses asimilasi seseorang tidak dapat mengadakan adaptasi terhadap
lingkungannya maka terjadilah ketidaksetimbangan (disequilibrium).
E. PRINSIP-PRINSIP PEMBELAJARAN KONSTRUKTIVISME
1. Siswa membawa pengetahuan awal yang khas dan keyakinan-keyakinan pada siatusi
pembelajaran.
2. Pengetahuan dibangun secara unik dan individu/personal, dalam berbagai cara, lewat
berbagai perangkat, sumber-sumber, konteks.
3. Belajar merupakan proses yang aktif dan reflektif.
4. Belajar adalah proses membangun. Kita dapat mempertimbangkan keyakinan dengan
mengasimilasi, mengakomodasi, atau bahkan menolak informasi baru.
5. Interaksi sosial mengenalkan perspektif ganda pada pembelajaran.
6. Belajar dikendalikan secara internal dan dimediasi oleh siswa.
Dalam kelas konstruktivisme para siswa adalah bintang dalam kelas-kelas mereka yang
berpusat pada siswa (learner/student centered). Mereka mengungkapkan pengetahuan
dan informasi pengalaman masa lalu, dari apa yang mereka dengar dan diskusikan.
8
belajar tersebut berkenaan dengan kesiapan anak untuk belajar, yang dikemas dalam
tahap perkembangan intelektual dari lahir hingga dewasa. Setiap tahap
perkembangan intelektual ini dilengkapi dengan ciri-ciri tertentu dalam
mengonstruksi ilmu pengetahuan. Pada tahap sensor motorik, anak berpikir melalui
gerakan atau perbuatan (Ruseffendi dalam Hamzah, 2004).
Menurut Piaget, pengkonstruksian pengetahuan dibangun dalam pikiran siswa
melalui proses asimilasi, akomodasi, dan ekuilibrasi. Asimilasi merupakan proses
penyatuan atau pengintegrasian informasi baru ke dalam struktur kognitif yang telah
dimiliki. Akomodasi merupakan proses penyesuaian struktur kognitif ke dalam
situasi yang baru. Ekuilibrasi merupakan proses penyesuaian berkesinambungan
antara asimilasi dan akomodasi. Apabila dengan asimilasi seseorang tidak dapat
mengadakan adaptasi dengan lingkungannya, terjadilah ketidakseimbangan
(diliquibrasi). Jadi, seseorang yang mengalami equilibrasi akan mengalami
perubahan intelektual yang lebih tinggi. Jean Piaget mengemukakan empat periode
perkembangan kognitif anak, yaitu: periode sensorimotorik (0-2 tahun), periode
praoperasional (2-7 tahun), periode operasional konkret (7-11/12 tahun), dan periode
operasional formal (12 tahun ke atas). Anak SD tidak berada pada tahap
sensorimotorik, namun penting untuk diketahui karena perkembangan pola pikirnya
melalui pengalaman fisik berlanjut sampai tahap operasional. Anak usia sekolah
dasar berada pada tahap operasional konkret. Pada tahap ini, anak masih sangat
membutuhkan benda-benda konkret untuk membantu pengembangan kemampuan
intelektualnya. Pada akhir tahap operasional konkret, mereka telah dapat memahami
tentang perkalian, menulis dan berkorespondensi, dan mulai dapat berpikir abstrak
yang sederhana, misalnya memahami konsep berat, gaya, dan ruang. Anak mulai
memecahkan masalah khusus, mempelajari keterampilan, dan kecakapan berpikir
logis yang membantu mereka memaknai pengalaman. Tahap ini merupakan
perkembangan dari tahap praoperasional yang dimulai dengan proses internalisasi
melalui pancaindra sampai ke otak.
2. Aplikasi Pembelajaran IPA di Sekolah Dasar
Teori perkembangan Piaget yang dikemukakan sebelumnya memberikan
inspirasi tentang pentingnya pemahaman guru terhadap perkembangan dan eksistensi
siswa, pemilihan bahan pembelajaran, penentuan strategi pembelajaran dalam upaya
9
mewujudkan proses pembelajaran yang optimal. Pembelajaran IPA yang dihubungkan
dengan teori Piaget, dilihat dari beberapa aspek, yaitu :
a. Belajar melalui perbuatan (pengalaman langsung)
Belajar merupakan proses transfer pengetahuan dari guru kepada siswanya. Piaget
mengatakan bahwa pengalaman langsung memegang peranan penting sebagai
pendorong lajunya perkembangan kognitif siswa. Pengetahuan yang diperoleh
akan tersimpan kuat dalam struktur ingatan mereka melalui pengalaman
langsung. Pengalaman ini terjadi secara spontan dari kecil (sejak lahir) sampai
berumur 12 tahun. Efisiensi pengalaman langsung pada anak tergantung pada
konsistensi antara hubungan metode dan objek yang sesuai dengan tingkat
perkembangan kognitif anak. Anak akan siap mengembangkan konsep tertentu
jika ia telah memiliki struktur kognitif yang bersifat hierarkis dan integratif.
b. Perlu berbagai variasi kegiatan dalam proses belajar
Berbagai macam kegiatan yang dilakukan bertujuan untuk merangsang aspek
psikomotorik anak, serta menghindari kondisi yang menjenuhkan. Siswa SD pada
kelas rendah (1, 2, dan 3) masih senang bermain, di sinilah guru harus berperan
sebagai pengatur agar transfer pengetahuan tetap dapat dilakukan. Metode joyfull
learning bisa menjadikan pembelajaran menyenangkan. Guru harus menciptakan
kondisi yang menyenangkan dengan memfasilitasi siswa dengan berbagai macam
kegiatan serta memperlihatkan benda-benda konkret yang dapat diamati, dialami,
atau dicoba oleh siswa selama proses pembelajaran. Hal ini akan memberikan
kesan bagi siswa bahwa belajar sains sangat menyenangkan. Benda-benda
konkret yang dimaksud tidak hanya KIT IPA yang sudah tersedia di laboratorium,
namun guru bisa membuat alat peraga sederhana, misalnya kincir air pembangkit
energi listrik dari barang bekas.
c. Guru perlu mengenal tingkat perkembangan siswanya
Perkembangan ini meliputi dua aspek, yakni perkembangan intelektual dan fisik.
Perkembangan fisik yang normal ternyata mempengaruhi tingkah laku anak.
Berkembangnya sistem syaraf akan berdampak pada peningkatan intelegensi
siswa, sehingga timbul polapola tingkah laku yang baru. Pertumbuhan otot akan
membawa perubahan dalam kemampuan motorik yang tercermin dalam
perubahan sosialisasi siswa. Secara psikomotorik, permainan anak pada semua
tahapan usia sangat bergantung pada perkembangan otot-ototnya, terutama dalam
10
permainan dan olahraga. Anak usia SD mayoritas berada pada tahap operasional
konkret. Mereka mampu berpikir atas dasar pengalaman nyata/ konkret.
d. Perlu latihan yang berulang untuk pengembangan berpikir operasional
Berdasarkan teori ini, belajar adalah melatih daya-daya yang ada pada manusia
yang meliputi: daya berpikir, mengingat, mengamati, menghapal, menanggapi,
dan sebagainya. Daya tersebut akan berkembang melalui banyak latihan, dan
sebaliknya akan berkurang jika tidak pernah dilatih.
11
Sejalan dengan perkembangan di atas, Tobin dan Timon (Dalam Hamzah, 2004)
mengatakan bahwa pembelajaran dengan teori belajar kontuktivisme meliputi 4
kegiatan, antara lain :
a. Berkaitan dengan prior knowledge siswa
b. Mengandung kegiatan pengalaman nyata (experience)
c. Terjadi interaksi sosial (social interaction)
d. Terbentuknya kepekaan (sense making)
12
d. Kemahiran sosial, diperoleh apabila berinteraksi dengan rekan dan guru dalam
membina pengetahuan baru
e. Seronok, mereka akan paham, ingat, yakin, dan berinteraksi maka akan timbul
semangat dalam belajar dan membina pengetahuan baru. Jadi mereka akan berasa
seronok belajar dalam membina pengetahuan baru
2. Kekurangan Teori Belajar Konstruktivistik anatara lain :
a. Peran guru sebagai pendidik itu sepertinya kurang begitu mendukung,karena teori
ini menanamkan supaya siswa membangun pengetahuan sendiri, hal ini pasti
membutuhkan waktu yang lama apalagi untuk siswa yang malas
b. Lebih luas cakupan makna dan sulit dipahami
c. Teori tidak menyeluruh untuk semua tingkat pendidikan
d. Sulit dipraktikkan
e. Beberapa prinsip seperti inteligensi sulit dipahami dan pembahasannya masih
belum tuntas
f. Siswa membuat pengetauan dengan ide mereka msing-masing, oleh karena itu
pendapat siswa berbeda dengan pendapat para ahli
13
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Teori Konstruktivisme didefinisikan sebagai pembelajaran yang bersifat generatif,
yaitu tindakan mencipta sesuatu makna dari apa yang dipelajari. Tokoh-tokoh
konstruktivisme diantaranya, adalah: John Dewey, Jean Piaget, Lev Vygotsky,
Jerome Bruner. Menurut Fornot aspek aspek pembelajaran adalah sebagai berikut:
(1) adaptasi (adaptation), (2) konsep pada lingkungan (the concept of
envieronmet), dan (3) pembentukan makna (the construction of meaning). Dalam
kelas konstruktivisme para siswa adalah bintang dalam kelas-kelas mereka yang
berpusat pada siswa (learner/student centered).
14
DAFTAR PUSTAKA
15