Anda di halaman 1dari 13

LAPORAN PENDAHULUAN

CONGESTIVE HEART FAILURE (CHF)

Disusun Oleh :

Kelompok 2

1. Putri Febriana Rosada (P1337420119315)

2. Sri Wahyu Lestari (P1337420119316)

3. Salsabila Morriska (P1337420119317)

4. Yulia Dwi Ariani (P1337420119318)

5. Rina Pebriani (P1337420119319)

6. May Dinda Indriya Anggraeni (P1337420119320)

7. Mutiara Lisa Septanti (P1337420119322)

8. Nazalatul Syahidah (P1337420119323)

9. Farah Amalia (P1337420119324)

10. Taritsa Ariestianingrum (P1337420119325)

11. Mona Laila Ikhsanirizqiana (P1337420119326)

12. Vina Kristiana (P1337420119327)

D III KEPERAWATAN SEMARANG


POLITEKNIK KESEHATAN KEMENTRIAN KESEHATAN SEMARANG

TAHUN AJARAN 2020/2021

A. DEFINISI
Congestive Heart Failure (CHF) adalah gangguan multisistem yang terjadi
apabila jantung tidak lagi mampu menyemprotkan darah yang mengalir ke
dalamnya melalui sistem vena. (Robbins, 2007). Menurut J. Charles Reeves
(2001) dalam Wijaya & Yessi (2013), CHF adalah kondisi dimana fungsi
jantung sebagai pemompa untuk mengantarkan darah yang kaya oksigen ke
tubuh tidak cukup untuk memenuhi keperluan-keperluan tubuh.
Menurut Smeltzert & Bare (2013) CHF adalah ketidakmampuan jantung
untuk memompa darah dalam jumlah cukup untuk memenuhi kebutuhan oksigen
dan nutrisi yang dibutuhkan oleh jaringan. CHF merupakan suatu keadaan
patologis di mana kelainan fungsi jantung menyebabkan kegagalan jantung
untuk memompa darah untuk memenuhi kebutuhan jaringan, atau hanya dapat
memenuhi kebutuhan jaringan dengan meningkatkan tekanan pengisian
(Muttaqin,2012).
B. KLASIFIKASI

Berdasarkan American Heart Association (Yancy et al., 2013), klasifikasi


dari gagal jantung kongestif yaitu sebagai berikut :

a. Stage A
Stage A merupakan klasifikasi dimana pasien mempunyai resiko tinggi, tetapi
belum ditemukannya kerusakan struktural pada jantung serta tanpa adanya
tanda dan gejala (symptom) dari gagal jantung tersebut. Pasien yang
didiagnosa gagal jantung stage A umumnya terjadi pada pasien dengan
hipertensi, penyakit jantung koroner, diabetes melitus, atau pasien yang
mengalami keracunan pada jantungnya (cardiotoxins).
b. Stage B
Pasien dikatakan mengalami gagal jantung stage B apabila ditemukan adanya
kerusakan struktural pada jantung tetapi tanpa menunjukkan tanda dan gejala
dari gagal jantung tersebut. Stage B pada umumnya ditemukan pada pasien
dengan infark miokard, disfungsi sistolik pada ventrikel kiri ataupun penyakit
valvular asimptomatik.
c. Stage C
Stage C menunjukkan bahwa telah terjadi kerusakan struktural pada jantung
bersamaan dengan munculnya gejala sesaat ataupun setelah terjadi kerusakan.
dapat berupa nafas pendek, lemah, tidak dapat melakukan aktivitas berat.
d. Stage D
Pasien dengan stage D adalah pasien yang membutuhkan penanganan ataupun
intervensi khusus dan gejala dapat timbul bahkan pada saat keadaan istirahat,
serta pasien yang perlu dimonitoring secara ketat

The New York Heart Association (Yancy et al., 2013) mengklasifikasikan


gagal jantung dalam empat kelas, meliputi :

a) Kelas I Aktivitas fisik tidak dibatasi, melakukan aktivitas fisik secara


normal tidak menyebabkan dyspnea, kelelahan, atau palpitasi.
b) Kelas II Aktivitas fisik sedikit dibatasi, melakukan aktivitas fisik secara
normal menyebabkan kelelahan, dyspnea, palpitasi, serta angina pektoris
(mild CHF).
c) Kelas III Aktivitas fisik sangat dibatasi, melakukan aktivitas fisik sedikit
saja mampu menimbulkan gejala yang berat (moderate CHF).
d) Kelas IV Pasien dengan diagnosa kelas IV tidak dapat melakukan aktivitas
fisik apapun, bahkan dalam keadaan istirahat mampu menimbulkan gejala
yang berat (severe CHF).

Klasifikasi gagal jantung baik klasifikasi menurut AHA maupun NYHA


memiliki perbedaan yang tidak signifikan.Klasifikasi menurut AHA berfokus pada
faktor resiko dan abnormalitas struktural jantung, sedangkan klasifikasi menurut
NYHA berfokus pada pembatasan aktivitas dan gejala yang ditimbulkan yang pada
akhirnya kedua macam klasifikasi ini menentukan seberapa berat gagal jantung
yang dialami oleh pasien.

C. PATOFISIOLOGI

Menurut Smeltzer & Bare (2013), patofisiologi CHF yaitu: Mekanisme


yang mendasari Heart Failure (HF) meliputi gangguan kemampuan kontraktilitas
jantung, yang menyebabkan curah jantung lebih dari curah jantung normal. Konsep
curah jantung yang baik dijelaskan dengan persamaan CO = HR x SV di mana
curah jantung (CO : Cardiac Output) dalah fungsi frekuensi jantung (HR : Heart
Rate) Xvolume sekuncup (SV : Stroke Volume).
Frekuensi jantung adalah fungsi sistem saraf otonom. Bila curah jantung
berkurang, sistem saraf simpatis akan mempercepat frekuensi jantung untuk
mempertahankan curah jantung. Bila mekanisme kompensasi ini gagal untuk
mempertahankan perfusi jaringan yang memadai, maka volume sekuncup
jantunglah yang harus menyesuaikan diri untuk mempertahankan curah jantung.
Tetapi pada CHF dengan masalah utama kerusakan dan kekakuan serabut otot
jantung, volume sekuncup berkurang dan curah jantung normal masih dapat
dipertahankan.
Volume sekuncup jumlah darah yang dipompa pada setiap kontraksi
tergantung pada tiga faktor; preload; kontraktilitas dan afterload. Preload adalah
sinonim dengan hukum Starling pada jantung yang menyatakan bahwa jumlah
darah yang mengisi jantung berbanding langsung dengan tekanan yang ditimbulkan
oleh panjangnya regangan serabut jantung. Kontraktilitas mengacu pada perubahan
kekuatan kontraktilitas yang terjadi pada tingkat sel dan berhubungan dengan
perubahan panjang serabut jantung dan kadar kalsium. Afterload mengacu pada
besarnya tekanan ventrikel yang harus dihasilkan untuk memompa darah melawan
perbedaan tekanan yang ditimbulkan oleh tekanan arteriole. (Brunner and
Suddarth, 2013)
Menurut Wijaya & Yessi (2013), patofisiologi CHF yaitu:
a. Mekanisme Dasar

Kelainan kontraktilitas pada gagal jantung akan mengganggu kemampuan


pengosongan ventrikel. Kontraktilitas ventrikel kiri yang menurun
mengurangi cardiak output dan meningkatkan volume ventrikel. Dengan
meningkatnya EDV (volume akhir diastolic ventrikel) maka terjadi pula
peningkatan tekanan akhir diastolik kiri (LEDV). Dengan meningkatnya
LEDV , maka terjadi pula peningkatan tekanan atrium (LAP) karena atrium
dan ventrikel berhubungan langsung kedalam anyaman vaskuler paru-paru
meningkatkan tekanan kapiler dan penapatu-paru. Jika tekanan hidrostatik
dari anyaman kapiler paru-paru melebihi tekanan osmotik kapiler, makan
akan terjadi edema interstitial. Peningkatan tekanan lebih lanjut dapat
mengakibatkan cairan merembes ke alveoli dan terjadilah edema paru.
Tekanan arteri paru-paru dapat meningkat akibat peningkatan kronis tekanan
vena paru. Hipertensi pulmonalis meningkatkan tekanan terhadap ejeksi
ventrikel kanan. Serangkaian kejadian seperti yang terjadi pada jantung kiri,
juga akan terjadi pada jantung kanan yang akhirnya akan menyebabkan
edema dan kongesti sistemik.
Perkembangan dari edema dan kongesti sistemik atau paru dapat diperberat
oleh regurgitasi fungsional dari katup-katup trikuspidalis atau mitralis secara
bergantian. Regurgitasi fungsional dapat disebabkan oleh dilatasi anulus
katup atroventrikularis, atau perubahan orientasi otot palpilaris dan korda
tendinae akibat dilatasi ruang.

b. Respon kompensatorik

1. Meningkatnya aktivitas adrenergik simpatis

Menurunnya cardiac output akan meningkatkan aktivitas adrenergik


simpatik yang dengan merangsang pengeluaran katekolamin dan saraf-
saraf adrenergik jantung dan medula adrenal. Denyut jantung dan
kekuatan kontraktilitas akan meningkat untuk menambah curah jantung.
Selain itu juga terjadi vasokonstriksi arteri perifer untuk menstabilkan
tekanan arteri dan redistribusi volume darah dengan mengurangi aliran
darah ke organ–organ yang metabolismenya rendah (kulit dan ginjal)
untuk mempertahankan perfusi ke jantung dan otak. Venokonstriksi
akan meningkatkan aliran balik vena ke sisi kanan jantung, untuk
selanjutnya menambah kekuatan kontriksi.

2. Meningkatnya beban awal akibat aktivitas sistem renin-angiotensin


aldosteron (RAA)
Aktivitas sistem RAA menyebabkan retensi natrium dan air oleh ginjal,
meningkatkan volume ventrikel dan regangan serabut. Peningkatan
beban awal ini akan menambah kontraktilitas miokardium.

3. Atropi ventrikel Respon kompensatorik terakhir pada heart failure


adalah hidrotropi miokardium akan bertambah tebalnya dinding .

4. Efek negatif dari respon kompensatorik


Pada awalnya respon kompensatorik sirkulasi memiliki efek yang
menguntungkan, namun pada akhirnya mekanisme kompensatorik dapat
menimbulkan gejala, meningkatkan kerja jantung, dan memperburuk
derajat gagal jantung. Resistensi jantung yang bertujuan untuk
meningkatkan kekuatan kontraktilitas dini menyebabkan terbentuknya
edema dan kongesti vena paru dan sistemik. Vasokonstriksi arteri dan
redistribusi aliran darah mengganggu perfusi jaringan pada anyaman
vaskuler yang terkena,serta menimbulkan gejala dan tanda (kekurangan
jumlah keluaran urine dan kelemahan tubuh). Vasokonstriksi arteri juga
meningkatkan beban akhir dengan memperbesar resistensi terhadap
ejeksi ventrikel, beban akhir juga meningkat karena dilatasi ruang
jantung.
Akibatnya, kerja jantung dan kebutuhan miokard akan oksigen (MVO2)
juga meningkat. Hipertrofi miokardium dan rangsangan simpatis lebih
lanjut akan meningkatkan kebutuhan oksigen miokardium. Jika
peningkatan ini tidak dapat dipenuhi dengan meningkatkan suplai
oksigen miokardium maka akan terjadi iskemia miokard.
Akhirnyadapat timbul beban miokard yang tinggi dan serangan gagal
jantung yang berulang.

D. PATHWAY
E. ETIOLOGI

Penyebab CHF menurut Keith et all (2008) :


1. Hipertensi (10-15%)
2. Kardiomiopati (dilatasi, hipertrofik, restriktif)
3. Penyakit katup jantung (mitral dan aorta)
4. Kongenital (defek septum atrium) (atrial septal defect/ASD), (VSD ventricle
septal defect)
5. Aritmia (persisten)
6. Alkohol
7. Obat-obatan
8. Kondisi curah jantung tinggi
9. Perikardium (konstriksi atau efusi)
10. Gagal jantung kanan (hipertensi paru)
F. MANIFESTASI KLINIS
MenurutAru (2009) dalamNurarifdanKusuma (2015)
1. Kriteria Major
a. Edema paruakut
b. Paroksismal nocturnal dyspnea
c. Ronkiparu
d. Distensia vena leher
e. Peninggian vena jugularis
f. Kardiomegali
g. Reflukshepatojugular
h. Gallop S3
2. Kriteria Minor
a. Edema ekstremitas
b. Dispnead’effort
c. Batukmalamhari
d. Takikardia (> 120x/menit)
e. Hepatomegali
f. Efusipleura
g. Menurunnyakapasitas vital 1/3 dari normal
3. Major atau minor
Menurunnya berat badan lebih dari sama dengan 4,5 kg dalam 5 hari
pengobatan. Diagnosa gagal jantung ditegakkan minimal ada 1 kriteria
majordan 2 kriteria minor.
G. PENATALAKSANAAN
Menurut kasron (2012), penatalaksanaan CHF meliputi:
1. Non Farmakologi
a. CHF Kronik
1) Meningkatkan oksigenasi dengan pemberian oksigen dan menurunkan
konsumsi oksigen melalui istirahat atau pembatasan aktivitas.
2) Diet pembatasan natrium (<4 gr/hari) untuk menurunkan edema.
3) Menghentikan obat-obatan yang mempengaruhi NSAID karena efek
prostaglandin pada ginjal menyebabkan retensi air dan natrium.
4) Pembatasan cairan (± 1200-1500 cc/hari).
5) Olahraga secara teratur.
b. CHF Akut
1) Oksigenasi (ventilasi mekanik)
2) Pembatasan cairan (1,5 liter/hari)
2. Farmakologi
Tujuan : Untuk mengurangi afterload dan preload
a. First line drgs; diuretic.
Tujuan : Mengurangi afterload pada disfungsi sistolik dan mengurangi
kongesti pulmonal pada disfungsi diastolic. Obatnya adalah : thiazide
diurestics untuk CHF sedang, loop diuretic, metolazon (kombinasi dari
loop diuretic untuk meningkatkan pengeluarn cairan), kalium-sparing
diuretic.
b. Second line drugs; ACE inhibitor.
Tujuan : membantu meningkatan COP dan menurunkan kerja jantung.
Obatnya adalah :
1) Digoxin : meningkatkan kontraktilitas. Obat ini tidak digunakan unutk
kegagalan diastic yang mana dibutuhkan pengembangan ventrikel
untuk relaksasi.
2) Hidralazin : menururnkan afterload pada disfungsi sitolik.

3) Isobarbide dinitrat : mengurangi preload dan afterload untuk disfungsi


sistolik, hindari vasodilator pada disfungsi sistolik.

4) Calsium Chanel Blocker : untuk kegagalan diastolic, meningkatkan


relaksasi dan pengisisan ventrikel (jangan dipakai pada CHF kronik).

5) Beta Blocker : sering dikontraindikasikan karena menekan respon


miokard. Digunakan pada disfungsi diatolic untuk mengurangi HR,
mencegah iskemi miokard, menurunkan TD, hipertofi ventrikel kiri.

3. Pendidikan Kesehatan

a. Informasikan pada pasien, keluarga dan pemberi perawatan tentang


penyakit dan penanganannya.

b. Monitoring difokuskan pada : monitoring BB setiap hari dan intake


natrium.

c. Diet yang sesuai untuk lansia CHF : pemberian makanan tambahan yang
banyak mengandung kalium seperti; pisang,jeruk, dan lain-lain

d. Teknik konservasi energi dan latihan aktivitas yang dapat ditoleransi


dengan bantuan terapi.
H. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Radiografi toraks sering kali menunjukkan kardio megali (rasio kardio torasik
(CTR) >50%), terutama bila gagal jantung sudah kronis. Ukuran jantung yang
normal tidak menyingkirkan diagnosis dan bisa didapatkan pada gagal jantung
kiri akut, seperti yang terjadi pada infarkmiokard, regurgitasi katupakut, atau
defek septum ventrikel (VSD) pascainfark. Kar diomegali dapat disebabkan
oleh dilatasi ventrikel kiri atau kanan, LVH, atau kadang oleh efusi perikard.
Derajat kardiomegali tidak berhubungan dengan fungsi ventrikel kiri.
Normalnya, perfusi paru terlihat lebih banyak di basis paru, namun dengan
kongesti vena paru (gagal LV) timbul diversilobus atas dan, ketika tekanan
vena pulmonalis meningkat melebihi 20 mmHg, terjadi edema interstisial yang
menyebabkan garis septal (Kerley B) terutama pada basis. Ketika tekanan.
Meningkat melebihi 25 mmHg, terjadi edema hilar dengan distribusi kupu-
kupu atau sayap kelelawar, dan edema peri vaskular menyebabkan gambaran
awan pada pembuluh darah. Pembesaran vena kava superior (superior vena
cava/SVC) dan vena azigos dapat terlihat. Bila gagal jantung menyebab
kanefusi pleura, makal biasanya bilateral namun bila unilateral cenderung lebih
sering terjadi pada sisi kanan, Efusi sisi kiri unilateral harus mem- buat seorang
dokter berpikir mengenail kemungkinan penyebab lain sepertike- ganasan atau
infark paru.
2. Elektro kardiografi memperlihatkan beberapa abnormalitas pada sebagian
besar pasien (80-90%), termasuk gelombang Q. perubahan ST-T, hipertrofi
LV, gangguan konduksi, aritmia.
3. Ekokardiografi harus dilakukan pada semua pasien dengan dugaan klinis gagal
jantung. Dimensi ruang jantung, fungsi ventrikel (sistolik dan diastolik), dan ab
normalitas gerakan dinding dapat dinilai, dan penyakit katup jantung dapat di
singkirkan. Regurgitasi mitral seringkali disebabkan pembesaran ventrikel kiri
yang menyebabkan dilatasi anulus mitral. EKG ambulatori harus dilakukan
jika diduga terdapat aritmia.
4. Tes darah direkomendasikan untuk menyingkirkan anemia dan menilai fungsi
ginjal sebelum terapi dimulai. Disfungsi tiroid (baikhiper- maupun hipotiroidis
me) dapat menyebabkan gagal jantung sehingga pemeriksaan fungsitiroid
harus selalu dilakukan. Di masa datang, pengukuran penanda biokimiawi
(seperti pep tidanatriuretik) dapat terbukti berguna dalam diagnosis gagal
jantung dan me monitor progresivitasnya.
5. Pencitraan radionuklida menyediakan metode lain untuk menilai fungsi
ventrikel (ventrikulograf) dan sangat berguna ketika citra yang memadai dari
ekokardiografi sulit diperoleh. Pemindaian perfusi miokard dapat membantu
dalam menilai kebermaknaan fungsional penyakit jantung koroner.
6. Kateterisasi jantung harus dilakukan pada dugaan penyakit jantung koroner,
pada kasus kardiomiopati atau miokarditis yang jarang, yang membutuhkan
biopsimiokard, atau bila penilaian resistensi vaskular paru dibutuhkan sebelum
mempertimbangkan transplantasi jantung. Bila kateterisasi jantung
diindikasikan. Biasanya dilakukan ventrikulo grafikontras dan juga
memberikan pengukuran fungsi LV lain.
7. Tes latihan fisik seringkali dilakukan, untuk menilai adanya iskemia
miokarddan pada beberapa kasus untuk mengukur konsumsi oksigen
maksimum (VO₂maks). Ini adalah kadar di mana konsumsi oksigen lebih
lanjut tidak akan meningkat meskipun terdapat peningkatan latihan. Lebih
lanjut. VO₂ maks merepresentasikan batas toleransi latihan aerobik dan sering
menurun pada gagal jantung.
I. KOMPLIKASI
1. Tromboemboli adalah risiko terjadinya bekuan vena (thrombosis vena dalam
atau deep venous thrombosis dan emboli paru atau EP) dan emboli sistemik
tinggi, terutama pada CHF berat. Bisa diturunkan dengan pemberian warfarin.

2. Komplikasi fibrilasi atrium sering terjadi pada CHF yang bisa menyebabkan
perburukan dramatis. Hal tersebut indikasi pemantauan denyut jantung
(dengan digoxin atau β blocker dan pemberian warfarin).

3. Kegagalan pompa progresif bisa terjadi karena penggunaan diuretik dengan


dosis ditinggikan.

4. Aritmia ventrikel sering dijumpai, bisa menyebabkan sinkop atau sudden


cardiac death (25-50% kematian CHF). Pada pasien yang berhasil diresusitasi,
amiodaron, β blocker, dan vebrilator yang ditanam mungkin turut mempunyai
peranan.

J. FAKTOR RESIKO
a. Faktor resiko mayor meliputi usia, jenis kelamin, hipertensi, hipertrofi
pada LV, infark miokard, obesitas, diabetes.
b. Faktor resiko minor meliputi merokok, dislipidemia, gagal ginjal
kronik, albuminuria, anemia, stress, lifestyle yang buruk.
c. Sistem imun, yaitu adanya hipersensitifitas.
d. Infeksi yang disebabkan oleh virus, parasit, bakteri.
e. Toksik yang disebabkan karena pemberian agen kemoterapi
(antrasiklin, siklofosfamid, 5 FU), terapi target kanker (transtuzumab,
tyrosine kinase inhibitor), NSAID, kokain, alkohol.
f. Faktor genetik seperti riwayat dari keluarga.
(Ford et al., 2015)
K. DAMPAK
Jika otot jantung mengalami kerusakan, maka jantung akan sulit
memompa darah dengan baik. Akibatnya pasokan darah ke organ-organ
tubuh akan terganggu. Rusaknya otot jantung bisa disebabkan oleh banyak
hal diantaranya faktor bawaan lahir, peradangan oto tjantung, kelainan
jaringan ikat, hingga hiperensi kronis. Kondisi seperti ini biasanya dapat
dikenali dengan munculnya bebrapa gejala seperti :
1. Sesak nafas
2. Bengkak pada bagian tubuh, mislanya pergelangan kaki
3. Janung berdebar sangat cepat
4. Nafsu makan berkurang
5. Batuk yang tak kunjung membaik dan dirasakan membera d malam hari

Efek dari gagal jantung itu sendiri adalah kehilangan nafsu makan,
mual, sering kencing di malam hari, tapi berat badan naik karena
penimbunan cairan berbahaya dan organ dalam tubuh yang membengkak.
Ketika jantung kiri gagal, aliran darah keparu – paru akan lebih stagnan.
Faktor resiko dapat dibagi menjadi 2 yaitu yang tidak dapat
dimodifikasi dan yang dapat dimodifikasi :
 Yang tidak dapat dimodifikasi antara lain adalah jenis kelamin lai-laki
dan usia. Data menunjukan bahwa laki-laki jauh lebih banyak
menderit apenyakit jantung korener dia bandingakan wanita. Wanita
baru banyak menderita penyakit jantung korener setelah menepouse
yaitu diatas usia 50 tahun.
 Usia juga merupakan faktor resiko yang tidak dapat dimodofikasi.
Semakin lanjut usia ,semakin tinggi kemungkinan terjadinya penyakit
jantung coroner beberapa buku mengatakan bahwa penyakit jantung
coroner diakibakan oleh faktor genetic atau keturunan. Misalnya,
mereka yang masih berusia muda namun menderita penyakit jantung
coroner tanpa faktor.
DAFTAR PUSTAKA

( Wilkinson & Ahern, 2014) (SDKI DPP, 2016)


Nurarif, A. H., & Kusuma, H. (2015). Aplikasi Asuhan Keperawatan
Berdasarkan Diagnosa Medis & NANDA NIC-NOC (1 st ed.). Yogyakarta: Mediaction.
Leatham, Aubrey. 2003. Kardiologi. Jakarta : Erlangga
Ford, I., Robertson, M., Komadja, M., Bohm, M., Borer, J.S., Tavazzi, L.,
Swedberg, K. (2015).Top ten risk factors for morbidity and mortality in patients
with chronicsystolic heart failure and elevated heart rate: The SHIFT Risk
Model. IJC. 184. 163-169.
Peter Kabo. 2008 .MengungkappengobatanPenyakitJantungKoroner.
PT.GramediaPustakaUtama . Jakarta

Anda mungkin juga menyukai