1. Konstitusi di Indonesia:
a. UUD 1945 (BRI Tahun II, No. 7, 15 Februari 1946)
b. Konstitusi RIS (Keputusan Presiden No. 48 Tahun 1950, LN No. 3 Tahun 1950)
c. UUD Sementara RI (UU Nomor 7 Tahun 1950, LN No. 56 Tahun 1950)
d. UUD NRI Tahun 1945 (Keputusan Presiden No. 150 Tahun 1959, LN No. 75 Tahun
1959)
e. Perubahan Pertama UUD NRI Tahun 1945 (LN No. 11 Tahun 2006)
f. Perubahan Kedua UUD NRI Tahun 1945 (LN No. 12 Tahun 2006)
g. Perubahan Ketiga UUD NRI Tahun 1945 (LN No. 13 Tahun 2006)
h. Perubahan Keempat UUD NRI Tahun 1945 (LN No. 14 Tahun 2006)
2. Penggantian UUD: biasanya terjadi pada negara yang kondisi politiknya belom mapan
4. Dalam amandemen sebanyak 4 kali pada kurun waktu 1999-2002, UUD 1945 telah menjadi
undang-undang dasar yang sebenarnya sama sekali baru
5. Sejarah pembentukan dan penetapan UUD 1945 (Sri Soemantri, Prosedur dan Sistem
Perubahan Konstitusi)
Permulaan 1943 PM Hideki Tojo melalui Marsekal Hisaichi Terauchi memerintahkan
Panglima Kesatuan daerah ke-7 yang berkedudukan di Singapura untuk menyelidiki
pemberian kemerdekaan kepada bangsa Indonesia
Pemerintah Militer di Jawa berkesimpulan bahwa harus dilakukan 3 hal untuk membantu
tercapainya kemerdekaan, yaitu:
- Pembentukan lembaga penyelidik dan penasihat (Chuo Sangi0in)
- Penyerahan berangsur-angsur bidang pemerintahan dalam negeri
- Pengakuan terhadap kekuasaan para Raja di daerah Swapraja Surakarta dan
Yogyakarta
Ternyata hanya Birma (Myanmar) dan Filipina yang diputuskan untuk diberi
kemerdekaan, sedangkan Indonesia diputuskan secara berangsur-angsur agar
dimasukkan dalam wilayah Jepang
Pemerintah Militer Jepang di Jakarta kemudian mengutus delegasi Indonesia (Soekarno,
Moh. Hatta, dan Ki Bagus Hadikoesoemo) untuk berangkat ke Jepang pada 13
November 1943 dengan maksud menemui PM Hideki Tojo, agar bangsa Indonesia juga
mendapat kemerdekaan. Meski begitu, jawaban yang diterima ternyata belum pasti
BPUPK dilantik pada 28 Mei 1945 dengan beranggotakan 62 orang yang diketuai dr.
K.R.T. Radjiman Wedyodiningrat. Badan ini bertugas melakukan penyelidikan ke arah
tercapainya kemerdekaan
Sidang I (29 Mei – 1 Juni 1945): Pidato Soekarno tanggal 1 Juni dikenal sebagai Hari
Kelahiran Pancasila
Setelah Sidang I berakhir, ketua BPUPK kemudian membentuk Panitia Kecil (Panitia 8)
yang bertugas meneliti serta mempelajari usul-usul yang disampaikan para anggota,
melakukan inventarisasi, dan kemudian menyusunnya
Sidang II (10 – 16 Juli 1945): disampaikan hasil dari panitia 8 serta panitia 9 yang
berupa Rancangan Pembukaan yaitu Piagam Jakarta
- Dibentuk 3 panitia:
a. Panitia Perancang UUD
b. Panitia Pembelaan Tanah Air
c. Panitia Keuangan dan Perekonomian
- Dalam rapat tanggal 16 Juli 1945 dinyatakan bahwa Naskah Rancangan UUD
dengan perubahannya diterima sebulat-bulatnya
Dalam rapat Dewan Perang Tertinggi pada 17 Juli 1945, dikeluarkan resolusi yang
intinya adalah memberikan kemerdekaan bagi bekas wilayah Hindia Belanda dan
pembentukan PPKI di Pulau Jawa dengan anggotanya berasal dari seluruh wilayah
Nusantara. Badan ini direncanakan akan mengumumkan kemerdekaan Indonesia kelak
Tanggal 7 Agustus 1945 diadakan konferensi di Jakarta yang memutuskan bahwa
delegasi Indonesia akan pergi ke Tokyo untuk menerima kemerdekaan (seperti Birma).
Akan tetapi karena perjalanan sulit, akhirnya ditetapkan bahwa kunjungan ke Panglima
Daerah Selatan (Marsekal Terauchi) akan dilakukan lebih dahulu, dimana Terauchi
menyatakan bahwa tanggal kemerdekaan akan ditentukan Tokyo. Akan tetapi sebelum
tanggal kemerdekaan itu ditentukan, Jakarta harus membentuk PPKI serta Panitia Jepang
(bertugas meneliti putusan PPKI)
Tanggal 14 Agustus delegasi Indonesia tiba di Jakarta. Hiroshima dan Nagasaki dijatuhi
bom, tapi pejabat militer Jepang di Indonesia belum mengetahui hal tersebut
Rombongan Sukarno, Hatta, dan Radjiman tiba di Indonesia pada tanggal 14 Agustus
1945. Keesokan harinya mereka menghadap Laksamana Maeda untuk memastikan berita
akan kekalahan Jepang, akan tetapi tidak mendapat jawaban yang pasti. Hal tersebut
menyebabkan Soekarno tidak mempercayai informasi yang diberitahukan oleh golongan
pemuda ketika mereka mendatanginya pada malam di hari yang sama. Ia tetap berpegang
pada janji Jepang yang akan memerdekakan Indonesia dalam waktu singkat, sehingga
para pemuda akhirnya menculik Soekarno (Peristiwa Rengasdengklok).
PPKI hanya mengikuti hasil-hasil yang telah disepakati dalam BPUPK, sebagaimana
dikemukakan oleh Ketua PPKI Ir. Soekarno dalam Rapat Besar tanggal 18 Agustus 1945,
dengan acara Pengesahan UUD,
“Saya minta lagi kepada tuan – tuan sekalian, supaya misalnya mengenai Undang-
Undang Dasar, sedapat mungkin kita mengikuti garis-garis besar yang telah dirancangkan
oleh Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai dalam sidangnya yang kedua. Perobahan yang
penting-penting saja kita adakan dalam sidang kita sekarang. Urusan-urusan yang
hendaknya kita ke sampingkan, agar supaya kita sedapat mungkin pada hari ini pula
telah selesai dengan pekerjaan menyusun Undang-Undang Dasar dan memilih Presiden
dan Wakil Presiden.”
UUD 1945 (sebelum perubahan) yang disahkan PPKI pada tanggal 18 Agustus terdiri
dari Pembukaan dan Batang Tubuh.
Penjelasan kemudian menjadi bagian dari UUD 1945 secara resmi pada tanggal 15
Februari 1946, dicatat dalam Berita Republik Indonesia Tahun II Nomor 7. Walaupun
Penjelasan baru dimunculkan dalam Berita Republik Indonesia, akan tetapi sesuatu yang
tercantum dalam Penjelasan pada dasarnya merupakan hal-hal yang dibahas dalam
pembahasan pembentukan UUD dalam sidang BPUPK.
Dalam Ketetapan MPRS Nomor XX/MPRS/1966 tentang Memorandum DPR-GR
mengenai Sumber Tertib Hukum Republik Indonesia dan Tata Urutan Peraturan
Perundangan Republik Indonesia, mengenai Penjelasan UUD 1945 merupakan
penjelasan yang otentik, sehingga perlu didalami agar Batang Tubuh dapat lebih
dipahami.
Penjelasan dalam Berita Republik Indonesia Tahun II, Nomor 7 merupakan penjelasan
resmi UUD 1945.
Dalam Ketetapan MPRS Nomor XIV/MPRS/1966 tentang Pembentukan Panitia-panitia
Ad Hoc MPRS yang bertugas melakukan penelitian mengenai “Lembaga-Lembaga
Negara, Penyusunan Bagan Pembagian Kekuasaan di antara Lembaga-Lembaga Negara
Menurut Sistem UUD 1945, serta Penyusunan Rencana Penjelasan Pelengkap UUD 1945
dan Penyusunan Perincian Hak-hak Asasi Manusia” menugaskan pembentukan panitia
Ad Hoc untuk menyusun rencana penjelasan lengkap UUD 1945 agar bisa dipergunakan
di samping penjelasan resmi yang telah ada
Sistematika UUD 1945 terdiri dari Pembukaan, Batang Tubuh, dan Penjelasan.
Soepomo (Ketua Panitia Pembentuk UUD) mengemukakan bahwa pembukaan UUD
mengandung cita-cita luhur dan pokok-pokok pikiran tentang dasar dan sifat-sifatnya
negara Indonesia yang hendak dibentuk.
Cita-cita luhur yang terkandung dalam Pembukaan UUD 1945, adalah:
- melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia
- memajukan kesejahteraan umum
- mencerdaskan kehidupan bangsa
- ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian
abadi, dan keadilan sosial.
Dasar negara dimuat pula dalam Pembukaan UUD 1945, yaitu:
- Ketuhanan Yang Maha Esa
- Kemanusiaan yang adil dan beradab
- Persatuan Indonesia
- Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan
perwakilan
- Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
6. Pada pokoknya, UUD 1945 awal yang disahkan pada 18 Agustus 1945 merupakan UUD
yang bersifat sementara semata, di mana masa berlakunya direncanakan hanya terjadi
selama 2 x 6 bulan sesudah Perang Asia Timur Raya berakhir (perang berakhir pada
pertengahan Agustus 1945)
7. Dalam pasal 132 UUDS 1950, ditetapkan bahwa Majelis Konstituante diberi wewenang
untuk menetapkan pembentukan UUD baru. Namun, keberagaman aliran politik di dalam
lembaga tersebut menghambat kehadiran kesepakatan mengenai penyusunan dasar negara
yang baru.
8. Sejak 1957, Presiden Soekarno telah memperkenalkan konsep Demokrasi Terpimpin yang
dinilainya sesuai dengan karakteristik demokrasi di dunia timur.
10. Dalam UUDS 1950, Majelis Konstituante disebut sebagai pemegang kedaulatan rakyat
11. Sejarah Kembalinya ke UUD 1945 (Sebelum Perubahan / Amandemen):
Pemilu 1955 diselenggarakan untuk memilih anggota DPR juga anggota Konstituante
(dilantik 10 November 1956, dipilih 514 orang, diangkat 29 orang)
Perdebatan tentang dasar negara, yaitu antara Pancasila (PNI, PKI, Parkindo, Partai
Katolik, PSI, IPKI dan sejumlah partai kecil=273 suara), Islam (Masyumi, NU, PSII,
Perti dan sejumlah partai kecil=230 suara), serta Sosial Ekonomi (Partai Murba dan
Partai Buruh= 9 suara, namun kemudian menarik usulannya dan bergabung dengan
pengususul dasar negara kubu Pancasila)
6 Desember 1957 dibentuk Panitia Perumus Dasar Negara (18 orang)
“Negara RI berdasarkan atas kehendak menyusun masyarakat yang sosialistis yang ber-
Tuhan YME dengan pengertian bahwa akan terjaminlah keadilan sosial yang wajar dan
kemakmuran yang merata dengan dirahmati Tuhan Yang Maha Pengasih dan Penyayang
menurut Islam, Kristen, Katolik, dan lain-lain agama yang berada di tanah air kita.”
Dasar negara selanjutnya ialah: Persatuan bangsa yang diwujudkan dengan sifat-sifat
gotong royong, perikemanusiaan, kebangsaan, dan kerakyatan yang dipimpin oleh
hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan.”
- Rumusan belum disahkan karena sepakat untuk menyelesaikan pasal-pasal dalam
batang tubuh terlebih dahulu
- Pada 18 Februari 1959, Mr. Wilopo mengemukakan keyakinannya bahwa majelis
mampu melakukan tugasnya sampai batas akhir waktu yang telah disepakati bersama
Dalam Sidang tanggal 19 Februari 1959, Dewan Menteri mengambil keputusan dengan
suara bulat mengenai pelaksanaan demokrasi terpimpin dalam rangka kembali ke UUD
1945
Setelah terjadi kesepakatan antara Presiden dan Dewan Menteri, maka atas nama
Pemerintah PM Djuanda kemudian menyampaikan hal tersebut kepada sidang DPR
Setelah mengajukan hal yang sama kepada Sidang Paipurna Luar Biasa Konstituante (22
April 1959), Presiden Soekarno menegaskan tekad pemerintah untuk kembali ke UUD
1945 dalam rangka pelaksanaan Demokrasi Terpimpin
Dalam hal ini, Fraksi Islam sepakat menerima usul pemerintah tersebut, dengan satu usul
perubahan yakni dimasukkannya kembali kata-kata Ketuhanan dengan kewajiban
menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya pada sila pertama dan Pembukaan
UUD 1945
Pemungutan suara tentang setuju atau tidaknya kembali ke UUD 1945 kemudian
dilakukan sebanyak 3 kali, dan kesemuanya tidak mencapai kuorum (30 Mei 1959, 1
Juni 1959, dan 2 Juni 1959)
Peraturan Penguasa Perang Pusat/Kepala Staf Angkatan Darat tertanggal 3 Juni 1959
No. Prt/Peperpu/040/1959 tentang larangan adanya kegiatan-kegiatan politik.
Reses digunakan untuk mengadakan dialog dengan Pemerintah (27 Juni 1959), di mana
kemudian menghasilkan Dekret Presiden 5 juli 1959 yang berisi pembubaran
Konstituante dan kembali berlakunya UUD 1945
Keputusan Presiden RI No. 150 Tahun 1959 mengenai Dekret Presiden RI/Panglima
Tertinggi Angkatan Perang tentang Kembali Kepada UUD 1945 kemudian menetapkan
3 hal penting, yaitu:
- Menetapkan pembubaran Konstituante;
- Menetapkan Undang-undang Dasar 1945 berlaku lagi bagi segenap Bangsa
Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, terhitung mulai hari tanggal
penetapan Dekrit ini, dan tidak berlakunja lagi Undang-undang Dasar Sementara.
- Pembentukan Madjelis Permusjawaratan Rakjat Sementara, jang terdiri atas anggota-
anggota Dewan Perwakilan Rakjat ditambah dengan utusan-utusan dari daerah-
daerah dan golongan, serta pembentukan Dewan Pertimbangan Agung Sementara,
akan diselenggarakan dalam waktu jang sesingkat-singkatnja.
Pada awal era reformasi, berbagai elemen masyarakat menuntut agar berbagai kondisi
dan struktur ketatanegaraan pasca Orde Baru diperbaiki.
Tuntutan reformasi yang didesakkan antara lain berupa amandemen UUD 1945,
penghapusan Dwifungsi ABRI, penegakan supremasi hukum, penghormatan hak asasi
manusia (HAM), pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN), desentralisasi
dan hubungan yang adil antara Pusat dan Daerah (otonomi daerah), mewujudkan
kebebasan pers, dan mewujudkan kehidupan demokrasi.
Tuntutan terhadap perubahan UUD 1945 merupakan hal yang selama ini tidak
diapresiasi berdasarkan Ketetapan MPR RI Nomor IV/MPR/1983 tentang Referendum.
Dalam Pasal 1 Ketetapan MPR RI Nomor IV/MPR/1983 tentang Referendum diatur
bahwa: ”MPR berketetapan untuk mempertahankan UUD 1945, tidak berkehendak dan
tidak akan melakukan perubahan terhadapnya serta akan melaksanakannya secara murni
dan konsekuen.” Mengenai keharusan referendum diatur dalam Pasal 2, yaitu: ”Apabila
MPR berkehendak untuk merubah UUD 1945, terlebih dahulu harus meminta pendapat
rakyat melalui Referendum.”
Perubahan bertahap terhadap UUD 1945 dimulai sejak Oktober 1999 hingga tahun
2002. Dalam melakukan perubahan terhadap UUD 1945, Panitia Ad Hoc (PAH) I MPR
menyusun kesepakatan dasar berkaitan dengan perubahan UUD 1945, yaitu:
- Tidak mengubah Pembukaan UUD Negara RI Tahun 1945;
- Tetap mempertahankan NKRI;
- Mempertegas sistem pemerintahan presidensial;
- Penjelasan UUD Dasar Negara RI Tahun 1945 yang memuat hal-hal normatif akan
dimasukkan ke dalam pasal-pasal (Batang Tubuh)
- Melakukan perubahan dengan cara adendum (ketentuan akan adanya pasal
tambahan)
13. Perubahan UUD NRI Tahun 1945 (Jimly Asshiddique, Konstitusi dan Konstituisonalisme):
Perubahan Pertama ditetapkan oleh Sidang Umum MPR pada tahun 1999 (perubahan
dilakukan terhadap 9 pasal, dimana kesembilan pasal tersebut jika dirinci jumlah ayat
atau butir yang diaturnya maka isinya mencakup 16 ayat atau 16 butir ketentuan dasar)
Perubahan Kedua ditetapkan oleh Sidang Umum MPR pada tahun 2000 (perubahan
dilakukan terhadap 7 bab yang tersebar dalam 27 pasal, dimana keduapuluhtujuh pasal
tersebut jika dirinci jumlah ayat atau butir yang diaturnya maka isinya mencakup 59
ayat atau 59 butir ketentuan dasar)
MPR