Anda di halaman 1dari 2

Warga Sumbang Mobil dan Motor sebagai Ambulans Desa

TINGGINYA tingkat kematian ibu dan anak, di saat masa kehamilan maupun melahirkan, menjadi
momok menakutkan bagi warga. Bagi petugas kesehatan, kondisi ini akan menjadi preseden buruk
sebagai bentuk ketidakmampuan untuk memberi pelayanan prima kepada masyarakat.
Di Bone misalnya, risiko kematian ibu dan anak, baik di saat hamil maupun melahirkan masih
tergolong rawan. Penyebabnya beragam. Namun, secara umum disebabkan karena lambatnya
pertolongan medis atau jauhnya lokasi rumah sakit atau puskesmas dengan rumah warga.
 
Mereka yang menjadi korban rata-rata warga desa yang nyaris tidak terjangkau kendaraan. Warga
desa juga masih percaya dukun ketimbang harus melahirkan di rumah sakit. Terkadang, jika
menghadapi masalah besar di dukun, mereka baru meminta bantuan dokter dan pihak rumah sakit.

Kondisi ini membuat pemerintah prihatin dan berupaya memberi kesadaran kepada warga untuk
tetap menggunakan jasa medis sebagai tindakan mencegah tingginya risiko kematian ibu dan bayi.
Pemkab Bone mulai menyiasati kondisi ini dengan membentuk kemitraan medis dan warga melalui
jasa kepala desa.

Sebagai langkah awal, Kecamatan Dua Boccoe dan Ponre menjadi lokasi percontohan. Setelah
melalui berbagai tahapan sosialisasi, akhirnya warga bersedia untuk ikut berpartisipasi.
"Bentuk partisipasinya, warga bersedia jika mobilnya digunakan menjadi ambulans desa. Di Dua
Boccoe ini, seluruh desa sudah ada ambulans desanya. Uniknya karena, ambulans itu berpelat
hitam. Artinya, itu milik pribadi warga yang dapat digunakan sewaktu-waktu ada ibu hamil yang
mau diantar ke rumah sakit," kata Camat Dua Boccoe, A Maskul, di rumahnya, Sabtu (3/5).

Menurut Maskul, selain mobil, ada juga sepeda motor dan becak motor (bentor). Sebagai penanda,
kendaraan itu diberikan stiker berlambang palang merah. Di tengah gambar palang merah itu
bertuliskan Iyapa Mantaraki (bahas bugis: saya yang mengantar Anda).
"Sudah banyak ambulans seperti itu dan dapat digunakan oleh siapa saja warga yang membutuhkan
tanpa mengeluarkan biaya. Kalau mau kasih uang bensin kepada pemiliknya, silakan saja. Tapi,
dalam kesepakatannya, itu tidak dibayar," katanya.

Kepala Sub Dinas Kesehatan Keluarga dan Masyarakat Dinas Kesehatan Bone, Herniati Tjangkina,
mengatakan, adanya partisipasi warga itu sangat berpengaruh dalam tingkat kematian ibu hamil dan
anak hingga tahun 2008 ini. (Tribun)

Ambulance Desa dialihfungsikan jadi angkutan barang

Foto: Ali Ghufron-ip


BREBES - Sebanyak 25 unit kendaran bermotor roda tiga (Tossa) yang dibeli dengan anggaran
daerah pada tahun 2007 akan dijadikan ’’Ambulance Desa” oleh Dinas Kesehatan Kabupaten
(DKK) Brebes. Namun akibat proses kepengurusan STNK kendaraan tersebut tidak kunjung
beres, maka ada niatan dialihfungsikan menjadi alat angkut barang. Kini semua unit kendaran
tersebut hanya diparkir di halaman Gedung Islamic Centre Brebes. Beberapa bagian komponen
sudah tampak berkarat. Awalnya dengan dalih peningkatan pelayanan kesehatan terhadap
masyarakat DKK mengajukan usulan anggaran pengadaan 25 unit ’’Ambulance Desa” senilai Rp
600 juta, kemudian DPRD setuju.
Dan pada awal tahun 2008 datanglah 25 unit sepeda motor roda tiga merek Samson buatan PT
Vivamas Qingqi Motor, dengan bak belakang dari plat seng cat putih dengan tulisan ’’Ambulance
Desa Kabupaten Brebes tahun 2007”.

Harga resmi motor tersebut di pasaran sekitar Rp 19 juta, spesifikasi per unit ambulan kapasitas
mesin 125 cc, kecepatan maksimal 65 km/jam dan daya angkut 400 kg. Bak belakang
dimodifikasi menjadi ruang kecil, kotak kecil untuk penyimpanan obat dan tempat berbaring
pasien. Kesemuanya jauh dari standard ambulan sesungguhnya, faktor kenyamanan pasien dan
peralatan medis tak ada.

Belum usai permasalahan modifikasi unit ambulance tersebut pihak Polres Brebes enggan
mengeluarkan STNK, Kapolres Brebes AKBP Drs Firli MSi beralasan ada prosedur yang belum
dipenuhi oleh DKK. Melalui Kasat Lantas AKP Arief Bachtiar SIK, menyatakan ambulance tersebut
bertentangan dengan Undang-Ungang (UU) Lalu Lintas Nomor 14 Tahun 1992 dan PP Nomor 44
Tahun 1993, tentang Kendaraan dan Pengemudi Umum. ’’Karena bertentangan dengan aturan
resmi maka proses STNK bermasalah,” ujar Arief.

Padahal, Kepala DKK dr Laode Budiyono MPh sudah menyatakan surat-surat kendaran sedang
diurus pihak kepolisian. ’’Tidak ada masalah soal STNK, lagi diurus pihak kepo-lisian,” ujar Laode.

Kebutuhan medis
Uniknya pejabat pelaksana teknis kegiatan DKK dr Gunadi menyatakan, pihaknya akan alih fungsi
ambulan tersebut menjadi kendaraan pengangkut barang kebutuhan medis dan alat kesehatan.

’’Konsep awalnya untuk pelayanan dan penanganan ibu hamil di pelosok pedesaan, karena
terbentur aturan resmi maka konsep semula diubah menjadi kendaraan angkut barang obat-oba-
tan dan alat kesehatan,” kata Gunadi.

Menanggapi mubazirnya proyek tersebut anggota DPRD Komisi B Ir Abdullah Syafa’at mengkritik
keras hasil kerja DKK. ’’Ambulan tersebut hingga kini tidak dioperasionalkan. Ini karena tidak
adanya koordinasi instansi terkait atas pelaksanaan proyek itu. Bisa jadi kepala daerah atau
bupati tidak segera bertindak untuk memecahkan masalah tersebut,” kata Syafa’at.

Dengan adanya perubahan konsep dari kendaraan angkutan ibu hamil menjadi angkutan barang
maka tulisan berwarna hijau pada bak belakang pun mulai ditutupi dengan cat putih oleh
petugas DKK, hasilnya lebih mirip 25 unit sepeda motor rida tiga milik salesman penyedia permen
dan shampo. ron-ip

Anda mungkin juga menyukai