Anda di halaman 1dari 19

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Klasifikasi dan Deskripsi Tikus Putih

Menurut Krinke (2000) klasifikasi tikus putih (Rattus norvegicus) adalah

sebagai berikut:

Kingdom : Animalia

Phylum : Chordata

Subphylum : Vertebrata

Class : Mammalia

Ordo : Rodentia

Family : Muridae

Genus : Rattus

Species : Rattus norvegicus

Tikus merupakan hewan mamalia yang sering digunakan dalam berbagai

penelitian ilmiah karena memiliki daya adaptasi yang baik. Tikus yang banyak

digunakan pada penelitian adalah tikus putih (Rattus norvegicus). Keunggulan

dari tikus putih antara lain tubuhnya kecil sehingga mudah dalam penanganan dan

pemeliharaannya, sehat dan bersih, kemampuan reproduksi tinggi dengan masa

kebuntingan singkat. Data mengenai biologi tikus putih dapat dilihat pada tabel

2.1

6
Tabel 2.1.
Biologi Tikus Putih

Kriteria Nilai

Berat badan dewasa 451-520 g jantan, 250-300g betina


Berat lahir 5-6 g
Lama siklus birahi 4-5 hari
Lama kebuntingan 21-23 hari
Oestrus postpartum Fertil
Jumlah anak 6-12 ekor
Umur sapih 21 hari
Waktu pemeliharaan komersial 7-10 liter/4-5 bulan
Komposisi susu 13% lemak, 9,7 protein, 3,2% laktosa

Sumber: Malole dan Pramono (1989)

Standar perawatan dari tikus putih sebagai hewan percobaan meliputi

makanan, minuman, dan lingkungan pada kandang. Lingkungan pada kandang

dibuat senyaman mungkin dengan mengatur temperatur, kelembaban, dan

intensitas cahaya. Temperatur kandang yang diperlukan untuk perawatan tikus

putih adalah 25-260C dengan rata-rata kelembaban 40-60%. Intensitas cahaya

yang diperlukan adalah 75-125 fc, dengan siklus 12 jam terang dan 12 jam gelap.

Tikus putih memerlukan asupan makanan sebanyak 5 gram/100 gram berat badan

dan konsumsi cairan 8-11ml/gram berat badan selama 24 jam (Fox et al., 1984).

2.2. Tanaman Lamtoro Sebagai Hijauan Ternak

Secara umum ternak tidak dapat melangsungkan kehidupan tanpa adanya

asupan pakan. Produktivitas ternak tinggi jika asupan pakannya seimbang yakni

7
tercukupi baik dari segi kualitas maupun kuantitas pakan. Pakan memiliki peran

yang penting bagi ternak, baik bagi pemenuhan kebutuhan hidup pokok, bunting,

laktasi, produksi (telur, daging dan susu) maupun untuk kepentingan kesehatan

ternak. Jenis pakan yang umumnya diberikan pada ternak adalah hijauan dan

konsentrat (Kanisius, 1983).

Hijauan adalah salah satu bahan makanan ternak yang sangat diperlukan

dan besar manfaatnya bagi kehidupan dan kelangsungan populasi ternak. Hijauan

merupakan semua bentuk bahan pakan yang berasal dari tanaman atau rumput

termasuk leguminosa baik yang belum dipotong maupun yang dipotong dari lahan

dalam keadaan segar (Akoso, 1996). Hijauan juga dapat diartikan sebagai segala

bahan makanan yang tergolong pakan kasar yang berasal dari bagian vegetatif

tanaman yang berupa bagian hijau yang meliputi daun, batang, kemungkinan juga

sedikit bercampur bagian generatif (Reksohadiprodjo, 1985).

Hijauan yang diberikan pada ternak terdapat dalam bentuk hijauan segar

dan hijauan kering. Hijauan segar merupakan bahan pakan ternak yang diberikan

pada ternak dalam bentuk segar, baik dipotong dengan bantuan manusia atau

langsung disengut oleh ternak dari lahan hijauan. Hijauan segar umumnya terdiri

dari daun-daunan yang berasal dari rumput-rumputan (Gramineae) dan tanaman

biji-bijian atau kacang-kacangan (Leguminosa). Sedangkan hijauan kering adalah

hijauan yang diberikan ke ternak dalam bentuk kering atau disebut juga jerami

kering (Reksohadiprodjo, 1985).

Kendala utama dalam penyediaan hijauan pakan ternak adalah

produksinya tidak dapat tetap sepanjang tahun. Pada saat musim penghujan,

8
produksi hijauan makanan ternak akan melimpah, sebaliknya pada saat musim

kemarau tingkat produksinya akan rendah, atau bahkan dapat berkurang sama

sekali (Sumarno, 1998). Pemanfaatan tanaman lamtoro dapat digunakan sebagai

salah satu alternatif untuk menutup kekurangan jumlah maupun mutu hijauan

pada musim kemarau.

Tanaman lamtoro merupakan tanaman perdu atau pohon yang banyak

tersebar dan tumbuh dengan baik di daerah tropis maupun subtropis. Klasifikasi

dari tanaman lamtoro menurut Tjitrosoepomo (1989) adalah sebagai berikut:

Kingdom : Plantae

Divisi : Spermatophyta

Subdivisi : Angiospermae

Class : Dicotyledoneae

Subclass : Dialypetalae

Ordo : Rosales

Famili : Leguminosae

Subfamili : Mimosoideae

Genus : Leucaena

Spesies : Leucaena leucocephala Lamk. de Wit

Di Indonesia lamtoro (Leucaena leucocephala Lamk. de Wit) dikenal

dengan berbagai nama seperti pete cina, pete selong, kamlandingan, selamtara,

metir atau kalandengan, palanding dan peuteuy selong. Di beberapa Negara

lamtoro juga dikenal dengan nama petai belalang, ipil-ipil (Malaysia), ka-

thum’theet (Kamboja), wild tamaring (Inggris), guaje, huaxin, leadtree, leusena

9
(Amerika Latin), koa hoale (Hawai), kubabul (India), krathin, to-bao (Thailand),

tangan-tangan (Pasifik) (t’Mannetje dan Jones, 1992).

Lamtoro biasanya tumbuh ditanah netral atau basa. Akarnya dapat

menembus lapisan tanah paling keras. Tanaman lamtoro tahan terhadap

kekeringan dengan curah hujan 200 mm per-tahun terutama setelah tinggi

pohonnya mencapai 1 m. Lamtoro dapat tumbuh dengan baik didaerah dengan

curah hujan 600-1500 mm per-tahun. Lamtoro mempunyai akar tunggang yang

kuat dan berakar serabut sedikit. Panjang akarnya bisa mencapai 2/3 dari tinggi

pohonnya. Dengan demikian lamtoro dapat menghisap air dan zat-zat makanan

jauh kedalam tanah dimana tanaman lain tidak dapat mencapainya. Pada akar

juga terdapat bintil-bintil dimana bakteri Rhizobium hidup secara saling

menguntungkan sehingga tanaman ini dapat mengikat zat nitrogen dari udara.

Gambar 2.1. Tanaman lamtoro (Leucaena leucocephala Lamk. de Wit)


Sumber: koleksi pribadi (Padmiswari, 2015)

10
2.3. Kandungan Nutrien dan Zat Anti Nutrisi Daun Lamtoro

Tanaman lamtoro diketahui banyak mengandung protein dan sangat baik

digunakan sebagai pakan ternak. Tanaman lamtoro juga mempunyai tingkat

palatabilitas yang tinggi, pertumbuhannya cepat dan mudah tumbuh serta

merupakan tumbuhan yang hidup subur pada daerah tropis (Widodo, 2005).

Pemberian daun lamtoro dalam kondisi kering tidak mempengaruhi palatabilitas.

Selain itu pemberian daun lamtoro kering yang dicampurkan homogen dengan

konsentrat membuat tekstur pakan perlakuan relatif sama (Suprayitno, 1981).

Tanaman lamtoro memiliki nilai gizi yang cukup baik sebagai pakan

ternak. Kandungan nutrisi dari tanaman lamtoro dapat dilihat dari pada tabel 2.1.

Menurut Jones (1994) dan Haryanto (1993), daun lamtoro merupakan sumber

protein yang baik untuk ternak ruminansia yang mengandung protein yang relatif

rendah tingkat pemecahannya di dalam rumen. Kandungan proteinnya berkisar

antara 25-35% dari bahan kering, sedangkan kalsium dan fosfomya berturut-turut

antara 1,9-3,2% dan 0,15-0,35% dari bahan kering (Askar, 1997). Tanaman

lamtoro juga memiliki kandungan karbohidrat 18,6%, gula tereduksi 4,2%,

sukrosa oligosakarida 1,2%, rafinosa 0,6%, stacyosa 1,0%, dan oligosakarida

2,8%. Kisaran ini disebabkan oleh perbedaan varitas, kesuburan tanah, umur

panen (daun muda akan mengandung protein yang lebih tinggi daripada daun tua),

iklim serta komposisi campuran daun dan tangkai daun.

Daun lamtoro juga mengandung mineral, vitamin A dan β-karoten serta

mengandung xantofil yang lebih tinggi dibandingkan dengan jagung kuning

(Laconi dan Widiyastuti, 2010). Kandungan mineral lainnya seperti Fe, Co, dan

11
Mn masih berada diambang batas yang tidak membahayakan untuk dijadikan

pakan (Mathius, 1993).

Tabel 2.2.
Kandungan Nutrien Daun Lamtoro

1 2 3*) 4**)
………............. % bahan ………………
kering
Bahan kering - - 29,10 35,67
Proten kasar 29,82 32,12 34,57 37,48
Lemak 5,24 3,55 2,23 2,97
Serat kasar 19,61 21,65 - -
NDF 39,94 43,23 38,6 52,68
ADF 14,4 27,28 34,38 42,93
Hemiselulosa - - 4,22 9,55
Selulosa 9,14 17,14 - -
Abu 6,12 6,47 4,85 44,93
Lignin 5,15 9,81 - -
Kalsium 1,20 1,14 0,47 0,10
Pospor 0,22 0,13 0,79 0,55
Energi (kal/g) 4701 4824 - -
Sumber:
1 dan 2 Askar (1997)
3 dan 4 Toruan dan Suhendi (1991) *Daun lamtoro muda **Daun lamtoro tua

Lamtoro termasuk hijauan yang bernilai gizi tinggi namun

pemanfaatannya sebagai pakan ternak pemberiannya perlu dibatasi. Lamtoro

mengandung beberapa zat antinutrisi salah satunya yaitu mimosin. Mimosin

merupakan senyawa yang tergolong dalam asam amino aromatik dengan rumus

kimia β-N-(3-hydroxypyridone-4)-α-amino-propenoic acid yang dapat menjadi

racun bagi ternak (Brewbaker dan Hylin, 1965).

12
Mimosin mempunyai struktur yang sama dengan tyrosine dan telah

diketahui dapat menggantikan asam amino namun penggantiannya dapat

menyebabkan hilangnya enzim dan aktifitas fungsional dari protein (Puchala et

al., 2005). Mimosin merupakan sumber toksin terbesar dari tepung daun lamtoro,

mimosin juga terdapat pada semua bagian dari tanaman yang tergolong dalam

family leguminosae namun dengan kadar yang bervariasi. 3,4-DHP diduga

terdapat juga pada daun dari family leguminosae sebagai aktifitas enzim pasca

panen (D’Mello et al., 1991).

Mimosin bersifat antimitosis yang akan mempengaruhi sintesis potein

dalam mengatur translasi mRNA yang menyebabkan penghambatan replikasi

DNA (Wang et al., 2000). Mimosin juga dapat menyebabkan gangguan pada

membrane sel sehingga dapat menghentikan pembelahan sel dan menghambat

perkembangan sel termasuk embrio dan spermatogenesis (Ouhibi et al., 1994).

Pemanfaatan tanaman lamtoro sebagai pakan ternak menjadi terbatas

karena menimbulkan pengaruh negatif pada ternak ruminansia maupun non

ruminansia pada hewan percobaan. Pada ternak ruminansia pemberian lamtoro

menyebabkan pembengkakan kelenjar tiroid (gondok), penurunan kadar

Triiodotironin (T3) dan Tiroksin (T4) serum darah (Gosh dan Bandyopadhyay,

2007). Penelitian lain juga menyebutkan bahwa ternak ruminansia yang

mengkonsumsi mimosin pada level tinggi menunjukkan gejala kehilangan rambut

(Tomaszewska et al., 1993). Pemberian tepung daun lamtoro yang dikeringkan

dengan sinar matahari juga dapat menyebabkan terjadinya paralisis pada tungkai

belakang pada babi (Zakayo et al., 2000). Pada daerah beriklim sedang efek

13
mimosin lebih sering terjadi daripada ternak di daerah tropis (Soebarinoto et al.,

1991).

Pengaruh negatif dari pemberian lamtoro memberi efek yang sama pada

hewan monogastrik seperti menyebabkan gondok, kerontokan rambut, penurunan

pertumbuhan dan fertilitas, bahkan sampai kematian. Hewan monogastrik tidak

toleran terhadap pakan yang mengandung lebih dari 10% tepung daun lamtoro

(Rai et al., 1992). Berdasarkan penelitian makanan tikus yang diberi mimosin

sebanyak 5 g/kg berat badan dapat menyebabkan siklus estrus yang tidak teratur

sedangkan pada dosis yang lebih tinggi (10 g/kg) mengakibatkan terhentinya

siklus estrus (D’Mello et al., 1991).

2.4. Upaya Penurunan Kadar Mimosin Pada Lamtoro

Untuk memperkecil kandungan mimosin pada lamtoro telah banyak

dilakukan dengan berbagai penelitian dan pengembangan metode sehingga dapat

mengurangi pengaruh negatif apabila diberikan pada ternak. Penurunan kadar

mimosin yang dilakukan dengan cara pengeringan dibawah sinar matahari,

perendaman dengan air, dan penambahan dengan FeSO4 diketahui telah terbukti

dapat menurunkan kadar mimosin (Chanchay dan Poosaran, 2009). Sehingga

pemberian tepung daun lamtoro hasil perendaman air berdampak baik terhadap

konsumsi pakan, pertambahan bobot badan dan Feed Conversion Efficieny pada

babi (Zakayo et al., 2000).

Metode lain yang dapat dilakukan untuk mengurangi kadar mimosin pada

lamtoro adalah perendaman dengan air panas. Perendaman daun lamtoro dengan

air panas pada suhu 700C selama 15 menit diketahui dapat menurunkan kadar

14
mimosin sebanyak 36,90%. Penurunan kadar mimosin pada daun lamtoro juga

dapat dilakukan dengan dikeringkan pada oven dengan suhu 700C selama 12 jam.

Penurunan kadar mimosin dengan cara ini adalah sebanyak 28,06%. Sedangkan,

penurunan kadar mimosin dengan cara menyemprotkan NaOH 5% pada daun

lamtoro adalah sebanyak 28.71% (Laconi dan Widyastuti, 2010).

Perendaman daun lamtoro dengan air panas suhu 700C selama 10 menit

diketahui mampu menurunkan kadar mimosin dan tannin lebih banyak

dibandingkan dengan perlakuan pengeringan dengan sinar matahari (Fameyi et

al., 2011). Hal senada juga dilaporkan oleh Kumar (2013), bahwa efek mimosin

pada daun lamtoro dapat diturunkan dengan perlakuan panas atau dengan

suplementasi ion-ion besi seperti Fe2+. AL3+ dan Zn2+.

Perendaman daun lamtoro dengan air selama 12 jam pada suhu 18-190C

dapat mereduksi mimosin sebesar 52,24% (Laconi dan Widiyastuti, 2010). Cara

ini dianggap paling efektif untuk mereduksi mimosin pada daun lamtoro. Namun,

perendalam dalam jangka waktu lebih dari 12 jam diduga dapat menurunkan

kandungan nutrien yang lain yang dibuktikan dengan lebih cepat membusuknya

daun selama proses pengeringan.

Penelitian Wiratmini (2014) juga menyebutkan bahwa perendaman daun

lamtoro dengan air selama 12 jam dapat mereduksi mimosin sebanyak 73%

dibandingkan dengan sebelum direndam. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa

pemberian tepung daun lamtoro hasil perendaman sampai aras 22,5% tidak

menghambat perkembangan embrio tikus putih.

15
2.5. Perilaku Kawin Tikus Jantan
Perilaku kawin merupakan tindakan atau tingkah laku dimana gamet

jantan dan betina dipertemukan dengan diikuti peleburan materi genetis serta

dapat melestarikan spesiesnya (McFarland, 1985). Perilaku kawin pada tikus

jantan dapat dipengaruhi oleh rangsangan yang dapat memicu libido (Pfaus et al,

2001). Tikus jantan akan terlebih dahulu terlibat dalam persaingan untuk menarik

perhatian dari tikus betina dan untuk mempertahankan wilayahnya dari tikus

jantan lainnya. Dalam mempertahankan wilayahnya, sering terjadi perkelahian

antar jantan. Setelah berhail mendapatkan perhatian dari tikus betina, tikus jantan

akan memulai untuk mencumbu tikus betina kemudian melakukan pendekatan

untuk melakukan kopulasi.

Spermatogenesis dan pematangan spermatozoa yang dikontrol oleh

hormon testosteron melalui sel leydig dapat mempengaruhi sistem saraf pusat

termasuk pengaruhnya terhadap libido atau dorongan seksual dan perilaku

seksual, merangsang metabolisme tubuh khususnya yang berhubungan dengan

sintesis protein dan pertumbuhan otot, serta mempengaruhi karakteristik seks

sekunder (Martini, 2001).

Perilaku tikus jantan dapat dibedakan menjadi dua yaitu perilaku

prekopulasi dan perilaku kopulasi. Perilaku prekopulasi merupakan tahap

percumbuan dengan menunjukkan perilaku mengendus bau yang dikeluarkan oleh

betina (Yakubu and Akanji, 2010). Tikus jantan akan terangsang apabila betina

mensekresikan pheromon yang dihasilkan oleh kelenjar preputial yang

diekskresikan melalui urin sehingga dapat menyebabkan jantan memeriksa daerah

16
genital betina dan merangsang jantan untuk melakukan kissing vagina pada betina

(Nainggolan dan Simanjuntak, 2005).

Setelah melakukan percumbuan, tikus memperlihatkan perilaku kopulasi

yang terdiri dari beberapa seri ejakulasi. Satu seri ejakulasi terdiri dari mount,

intromission dan ejakulasi. Mount merupakan perilaku dimana jantan mengambil

posisi kopulasi pada punggung betina dan memegang panggul betina serta

melakukan pelvic thrusting. Intromission merupakan perilaku jantan dimana

jantan mengambil posisi kopulasi pada punggung betina dan memegang panggul

betina, pelvic thrusting dan penetrasi betina. Ejakulasi adalah pengeluaran sekresi

dari kelenjar prostat, vesikula seminalis, kelenjar koagulum dan sperma. Sekret ini

akan menggumpal dan membentuk copulatory plug atau sumbat vagina (Kenyon,

2000).

Motivasi seksual merupakan kecenderungan jantan untuk mencari dan

mendapatkan betina yang akan diajak kawin (Pfaus, 1996). Motivasi seksual pada

jantan berhubungan dengan waktu yang dibutuhkan untuk mount dan

intromission. Semakin tinggi motivasi seksual akan ditunjukkan dengan waktu

mount dan intromission yang semakin singkat (Sudwan et al, 2006).

Kopulasi untuk mendapatkan gambaran tentang libido pada hewan

percobaan dapat dilihat dengan banyaknya jumlah pendekatan (introduksi) dan

penunggangan (climbing). Perilaku pendekatan (introduksi) pada tikus

diperlihatkan dengan mencium kelamin tikus betina (kissing vagina). Munculnya

gairah seksual pada tikus jantan dapat dipengaruhi oleh faktor hormonal, kondisi

17
tubuh, umur, dan non hormonal termasuk suhu, ketinggian, cahaya, luas kandang

dan faktor tikus betina (Arthur, 1996).

2.6. Perilaku Kawin Tikus Betina

Hewan betina dewasa memiliki fase seksual yang dikenali dengan adanya

siklus reproduksi. Siklus reproduksi adalah siklus seksual yang terdapat pada

hewan betina dewasa yang meliputi perubahan pada organ reproduksi tertentu

seperti ovarium, uterus dan vagina (Partodiharjo, 1992).

Perilaku kawin tikus betina dapat dibedakan menjadi dua yaitu perilaku

prekopulasi dan perilaku kopulasi. Perilaku kawin ini akan muncul jika tikus

dalam keadaan estrus. Siklus estrus adalah siklus reproduksi yang terdapat pada

hewan mammalia betina dewasa bukan primata. Siklus estrus ditandai dengan

adanya estrus (birahi). Hewan betina akan bersifat reseptif terhadap hewan jantan

dan kopulasinya kemungkinan fertil karena dalam ovarium terjadi ovulasi dan

uterus berada dalam kondisi yang tepat untuk implantasi (Katzung, 2002). Dari

satu estrus ke estrus berikutnya disebut satu siklus estrus. Pada tikus panjang satu

siklus estrus selama 4-5 hari. Siklus estrus dibagi kedalam beberapa tahap yaitu:

proestrus, estrus, metestrus dan diestrus (Partodiharjo, 1992). Tahap-tahap siklus

estrus dapat dilihat dengan membuat apusan vagina. Pada saat estrus, apusan

vagina memperlihatkan sel-sel epitel yang menanduk, penyatuan sebaiknya

dilakukan pada saat estrus awal. Pada saat estrus, vulva hewan betina biasanya

merah dan bengkak. Adanya sumbat vagina setelah penyatuan menandakan bahwa

kopulasi sudah berlangsung dan hari tersebut ditentukan sebagai hari kehamilan

ke nol.

18
Menurut Pfaus (1996) perilaku kawin tikus betina dapat dibedakan

menjadi atraktif, proseptif dan reseptif. Atraktif adalah perubahan fisiologis dan

perilaku yang mempengaruhi jantan sehingga tertarik dengan tikus betina.

Proseptif adalah suatu perilaku yang menunjukkan keinginan betina untuk

melakukan kopulasi dengan jantan. Proseptif biasanya diawali dengan

pendekatan, orientasi dan berlarian. Hal ini bertujuan untuk merangsang tikus

jantan untuk mengejar betina dan melakukan kopulasi. Perilaku reseptif adalah

perilaku yang menunjukkan kemampuan betina untuk melakukan kopulasi

(Kenyon, 2000). Perilaku reseptif ditunjukkan dengan postur tubuh lordosis pada

mencit betina. Postur tubuh lordosis terjadi ketika jantan melakukan posisi

kopulasi pada betina yang bersifat reseptif.

Kopulasi tejadi saat tikus betina pada siklus estrus. Periode estrus pada

tikus betina terjadi selam 9-15 jam yang ditandai dengan peningkatan aktifitas,

telinga bergetar saat digoyangkan punggungnya, stimulasi pada pelvic akan

menyebabkan posisi tikus menjadi lordosis, vulva membengkak dan berwarna

merah serta pada apusan vagina didapat gambaran 100% sel epitel menanduk

(Arthur, 1996).

Tahap estrus merupakan masa keinginan kawin, yang ditandai dengan

perilaku kopulasi atau lordosis. Pada fase ini estrogen mencapai konsentrasi

tertinggi pada waktu terbentuknya folikel de graaf yang berisi ovum sehingga

merangsang hipofisis anterior mensekresikan LH yang diperlukan untuk ovulasi

(Turner dan Bagnara, 1988).

19
2.7. Testis

2.7.1. Struktur Anatomi Testis

Testis merupakan organ kelamin primer jantan yang mempunyai dua

fungsi yaitu menghasilkan spermatozoa atau sel-sel kelamin jantan dan

mensekresikan hormon kelamin jantan yaitu testosteron. Struktur dari testis

(Gambar 2.2) yaitu:

a. Tunika albuginea, merupakan pembungkus langsung testis.

Permukaannya licin karena banyak mengandung pembuluh darah.

b. Septum testis.

c. Tubulus seminiferus, merupakan tabung (saluran) kecil panjang

berkelok-kelok dan merupakan isi dari lobulus.

d. Rete testis, merupakan saluran penghubung antara epididimis dengan

lobulus.

e. Ductus efferentis.

f. Caput epididimis, membentuk suatu tonjolan dasar dan agak berbentuk

mangkuk yang dimulai pada ujung proximal testis.

g. Corpus epididimis, bagian bawah terentang ke bawah, sejajar dengan

jalannya vasdeferens, memanjang sampai melewati testis, dibagian

bawah epididimis membelok ke atas.

h. Cauda epididimis, merupakan bagian epididimis yang terletak pada

bagian bawah testis yang membelok ke atas.

i. Vasdeferens, terentang dari ekor epididimis sampai urethra (Toelihere,

1979).

20
Gambar 2.2. Struktur Anatomi Testis
Sumber: Campbell et al. (2011)

2.7.2. Struktur Histologi Testis

Secara histologi genitalia pada jantan terdiri atas testis, duktus genitalis,

kelenjar-kelenjar tambahan dan penis. Testis merupakan kelenjar tubuler komplek

yang memiliki dua fungsi yaitu untuk reproduksi dan hormonal.

Tubulus seminiferus, merupakan bagian testis yang berisi sel berlapis

kompleks, bergaris tengah sekitar 150-250 µm dan panjang 30-70 cm. Tubulus

seminiferus memiliki cabang dan berujung buntu. Pada ujung-ujung apikal tiap

tubulus, lumen menyempit dan epitel yang membatasi dengan segera berubah

menjadi lapisan selapis kubus yang mempunyai satu flagela. Segmen yang pendek

ini dikenal sebagai tubulus rectus yang berfungsi untuk menghubungkan tubulus

seminiferus dengan rete testis (Rugh, 1967).

21
Tubulus seminiferus terdiri dari beberapa bagian yaitu tunika fibrosa yang

terdiri atas beberapa lapisan fibroblast yang melekat pada jaringan penyambung

dekat dengan lamina basalis, lamina basalis, dan epitel germinativum dimana pada

daerah epitel germinativum terdapat dua jenis sel yaitu sel-sel sertoli

(penyongkong) dan sel-sel yang merupakan turunan spermatozoatogenik atau

seminal (Rugh, 1967).

Tubulus seminiferus mengisi 60-80% dari volume testis total. Tubulus

seminiferus terdiri dari sel germinativum yang berproliferasi dan dua jenis sel

somatik yaitu sel peritubular (epitel germinal) dan sel sertoli yang tidak

berproliferasi. Sel peritubular (epitel germinal) adalah sel yang mengisi dari

dinding tubulus seminiferus. Sel ini terdiri dari 6 lapisan konsentris yang

dipisahkan satu sama lain oleh serat kolagen. Sel ini menghasilkan protein

kontraktil yang fungsinya adalah mengantar sperma untuk keluar dari tubulus

seminiferus menuju ductus efferent melalui kontraksi peristaltic dari tubulus.

Sel sertoli merupakan sel somatik yang terletak didalam epitel

germinativum. Sel sertoli mensintesis dan mensekresikan zat kimiawi seperti

protein, sitokin, growth factors, opioid, steroid, prostaglandin, dan lain-lain.

Fungsi utama dari sel sertoli adalah mengkoordinasi proses spermatogenik. Fungsi

penting sertoli lainnya adalah bertanggung jawab dalam produksi dari sperma.

Menurut Guyton and Hall (1997), jumlah sel sertoli yang banyak menghasilkan

jumlah sperma yang lebih tinggi dengan asumsi bahwa sel sertoli dalam keadaan

normal. Jika terjadi penurunan jumlah sel sertoli maka produksi sperma juga

22
terganggu. Proliferasi dari sel Sertoli pada masa prepubertas dipengaruhi oleh

androgen dan FSH (follicle stimulating hormone).

Pada tubulus seminiferus terjadi proses spermatogenesis (Gambar 2.3) dan

dapat dibagi menjadi 3 tahap yaitu:

a. Proliferasi yaitu spermatogonia mengalami pembelahan beberapa kali

sehingga menghasilkan spermatogonia tipe A2, A3, A4. Spermatogonia

A4 kemudian akan mengalami pembelahan menghasilkan spermatogonia

intermediet yang akan membelah lagi menghasilkan spermatogonia tipe B.

Spermatogonia tipe B akan mengalami miosis dan menghasilkan

spermatosit primer (Gilbert, 1995).

b. Meiosis, terdiri dari dua fase yaitu meiosis I dan meiosis II. Meiosis I

maupun II sama-sama mengalamai tahap profase, metaphase, anafase, dan

telofase. Hasil akhir meiosis I akan menghasilkan spermatosit sekunder

(masing-masing dengan 23 kromosom ganda) dan diikuti dengan

pengurangan jumlah DNA persel (dari 4n menjadi 2n). Spermatosit

sekunder kemudian memasuki meiosis II sehingga terjadi pembelahan

sehingga terbentuk spermatid (masing-masing dengan 23 kromosom

tunggal) yang haploid (Johnson dan Everitt, 1990).

c. Spermiogenesis, merupakan suatu proses morfologik yang mengubah

spermatid bulat menjadi sel spermatozoa yang memanjang. Sel

spermatozoa ini memiliki empat bagian yaitu kepala, akrosom, bagian

tengah, dan ekor. Bagian kepala terdiri dari nukleus yang mengandung

informasi genetik. Akrosom suatu vesikel yang berisi enzim yang

23
digunakan untuk menembus ovum. Mobilitas spermatozoa dihasilkan oleh

ekor, pergerakan pada ekor terjadi akibat pergeseran relative dari

mikrotubulus-mikrotubulus. Pergeseran tersebut dijalankan oleh energi

yang dihasilkan oleh mitokondria yang terkonsentrasi dibagian tengah

spermatozoa.

Gambar 2.3. Proses Spermatogenesis


Sumber: Campbell et al. (2011)

24

Anda mungkin juga menyukai