Anda di halaman 1dari 17

Platyhelminthes merupakan kelompok cacing yang struktur tubuhnya paling sederhana.

Kata
Platyhelminthes berasal dari bahasa Latin, platy (pipih) dan helminthes (cacing atau vermes),
sehingga kelompok ini disebut cacing pipih. Dibandingkan dengan Filum Porifera
dan Cnidaria, organisasi tubuh cacing pipih ini sudah sedikit lebih maju. Platyhelminthes
memiliki tubuh pipih, lunak, simetri bilateral dan bersifat hermaprodit. Tubuh dapat
dibedakan dengan tegas antara posterior dan anterior, dorsal dan ventral. Bersifat tripoblastik,
dinding tubuh terdiri atas 3 lapisan, yaitu ektoderm, mesoderm, dan endoderm. (Baca juga
: Hewan Invertebrata)

Sistem pencernaan makanan gastrovaskuler, tidak memiliki rongga tubuh. Alat ekskresi
berupa sel-sel api dan belum punya alat peredaran darah maupun alat respirasi. Sistem
syarafnya disebut sistem syaraf tangga tali, terdiri atas sepasang ganglion (simpul syaraf )
anterior yang dihubungkan oleh satu sampai tiga pasang tali saraf memanjang.

Platyhelminthes atau Cacing pipih tidak bersegmen, merupakan cacing berbentuk simetris
bilateral dan tidak memiliki coelom (acoelomate) tetapi memiliki tiga lapisan germinal.
Beberapa jenis hidup secara bebas dan banyak yang bersifat parasit. Cacing pipih memiliki
sistem saraf cephalized yang terdiri dari ganglion kepala, biasanya menempel pada saraf
longitudinal yang saling berhubungan di seluruh tubuh dengan cabang yang melintang.
Ekskresi dan osmoregulasi pada cacing pipih dikendalikan oleh "sel api" (flame cells) yang
terletak di protonephridia (beberapa jenis cacing pipih ada yang tidak memiliki
protonephridia). Cacing pipih tidak memiliki sistem pernafasan atau peredaran darah, fungsi-
fungsi tersebut diganti dengan penyerapan melalui permukaan tubuh. Jenis cacing pipih non-
parasit memiliki tubuh yang sangat sederhana (tidak memiliki usus yang lengkap), bahkan
pada spesies parasit, jaringan usus tersebut sangat tidak lengkap. [1]

1. Karakteristik Umum
Kurangnya organ peredaran darah dan pernapasan membuat platyhelminthes membatasi
ukuran dan bentuknya, sehingga memungkinkan mereka untuk melakukan pemasukan
oksigen dan pengeluaran karbondioksida pada semua bagian tubuhnya dengan proses difusi
sederhana. Oleh karena itu, ukuran cacing ini banyak yang mikroskopis dan spesies yang
berukuran besar memiliki bentuk seperti pita atau daun yang datar. Ususnya memiliki banyak
cabang, sehingga nutrisi dapat menyebar ke seluruh bagian tubuh [2,3]. Respirasi dilakukan
melalui seluruh permukaan tubuh sehingga membuat mereka rentan terhadap kehilangan
cairan dan akibatnya habitat mereka menjadi terbatas. Cacing ini lebih sering hidup pada
lingkungan yang lembab, seperti pada sampah daun atau tanah, dan sebagai parasit pada
hewan lain. [2,4]

Ruang di antara kulit dan usus berupa mesenkim, yaitu jaringan ikat yang terbuat dari sel dan
diperkuat oleh serat kolagen yang berfungsi seperti kerangka. Mesenkim menyediakan
tempat penempelan untuk otot. Mesenkim berisi semua organ internal dan juga menjadi
tempat terjadinya sirkulasi oksigen, nutrisi dan produk-produk limbah. Mesenkim terdiri dari
dua jenis sel utama, yaitu sel tetap, beberapa di antaranya memiliki vakuola berisi cairan, dan
sel-sel punca (stem cells), yang dapat berubah menjadi semua jenis sel lain, dan digunakan
untuk regenerasi regenerasi setelah mengalami cedera atau reproduksi aseksual [2,4]

Kebanyakan platyhelminthes tidak memiliki anus sehingga material yang tercerna


dikeluarkan melalui mulut. Namun, beberapa spesies yang berukuran panjang memiliki anus
dan beberapa spesies lainnya memiliki usus bercabang yang kompleks dengan lebih dari satu
anus, karena akan menyulitkan bagi beberapa spesies ini jika ekskresi juga harus dilakukan
melalui mulut. [2,5] Usus dilapisi dengan satu lapisan sel endodermal yang berfungi
menyerap dan mencerna makanan. Beberapa spesies memecah dan melembutkan makanan
dengan mensekresi enzim didalam usus atau faring (tenggorokan). [2,4]

Semua hewan perlu menjaga konsentrasi zat terlarut di dalam cairan tubuhnya pada tingkat
yang cukup konstan. Parasit internal dan hewan laut hidup di lingkungan dengan konsentrasi
bahan terlarut yang tinggi, dan umumnya membiarkan jaringan mereka memiliki tingkat
konsentrasi yang sama dengan lingkungannya, sedangkan hewan air tawar perlu mencegah
cairan tubuh mereka menjadi terlalu encer. Walau ada perbedaan pada lingkungan, sebagian
platyhelminthes menggunakan sistem yang sama untuk mengontrol konsentrasi cairan tubuh
mereka. Mereka menggunakan “sel api”, disebut demikian karena pergerakan flagela mereka
tampak seperti nyala lilin yang berkedip-kedip. Sel api mengekstrak air dari mesenkim yang
mengandung limbah dan beberapa bahan yang dapat digunakan kembali, kemudian didorong
menuju ke jaringan sel-sel tabung yang dilapisi dengan flagela dan mikrovili. Flagela sel
tabung yang mendorong air menuju keluar disebut nefridiopora, sementara mikrovili
menyerap kembali bahan yang dapat digunakan kembali dan air sebanyak yang dibutuhkan
untuk menjaga cairan tubuh pada konsentrasi yang tepat. Kombinasi dari sel api dan sel
tabung disebut protonefredia. [2,4] [2,6]

Pada semua platyhelminthes, sistem saraf terkonsentrasi di ujung kepala, mirip yang ada pada
filum Acoel, yang memiliki jaring saraf lebih mirip dengan cnidaria dan ctenophores, tapi
terkonsentrasi di sekitar kepala. Platyhelminthes lain memiliki cincin ganglia di kepala dan
batang saraf utama yang ada di sepanjang tubuh mereka. [2,4] [2,5]

2. Sistem Pencernaan
Rongga pencernaan hanya memiliki satu lubang untuk kedua ingesti (asupan nutrisi) dan
egesti (pengeluaran), sebagai akibatnya, makanan tidak dapat diproses secara terus menerus.
[2]

3. Alat Gerak
Pergerakan pada beberapa cacing pipih dikendalikan oleh lapisan otot longitudinal,
melingkar, dan miring. Sedangkan jenis lainnya bergerak sepanjang jalur lendir dengan
gerakan silia epidermal. Perkembangan dari arah gerakan berhubungan dengan cephalization.
Pada beberapa cacing pipih, proses cephalization sudah mencakup perkembangan di wilayah
kepala berupa organ peka cahaya yang disebut ocelli. Beberapa organ penginderaan yang ada
pada beberapa anggota cacing pipih (tidak selalu di kepala) meliputi kemoreseptor, reseptor
keseimbangan (statocysts), dan reseptor yang merasakan pergerakan air (rheoreceptors). [1]

4. Reproduksi
Kebanyakan cacing pipih dapat bereproduksi secara seksual atau aseksual, kebanyakan
monoecious. Sebagian besar telah mengembangkan cara untuk menghindari fertilisasi sendiri
(self-fertilization). Perkembangannya dapat secara langsung (telur menetas menjadi cacing
kecil yang menyerupai cacing dewasa) atau tidak langsung (dengan bentuk larva bersilia). [1]
5. Interaksi dengan Manusia
Sebagian besar cacing pipih berupa parasit, beberapa di antaranya memberikan efek yang
sangat buruk bagi populasi manusia. [1]

Lebih dari setengah spesies cacing pipih yang dikenal merupakan parasit, dan beberapa
spesies bahaya besar bagi manusia dan hewan ternak. Peyekit Schistosomiasis disebabkan
oleh satu genus dari trematoda, penyakit ini merupakan nomor 2 paling dahsyat dari semua
penyakit manusia yang disebabkan oleh parasit (hanya dilampaui oleh malaria).
Neurocysticercosis, terjadi ketika larva cacing pita babi Taenia solium menembus sistem
saraf pusat, hal ini merupakan penyebab utama terjadinya epilepsi di seluruh dunia. Ancaman
parasit platyhelminthes pada manusia di negara maju meningkat karena pertanian organik.
Hal ini disebabkan karena, popularitas makanan mentah atau yang dimasak sebentar, dan
impor makanan dari daerah yang berisiko tinggi terjangkit platyhelminthes. Pada negara-
negara kurang berkembang, orang sering tidak mampu membayar bahan bakar yang
dibutuhkan untuk memasak makanan secara menyeluruh, dan pasokan air serta proyek irigasi
yang buruk seiring dengan sanitasi yang buruk dan pertanian tidak higienis meningkatkan
ancaman risiko terjangkit cacing ini. [2]

Dua spesies planaria telah digunakan dengan sukses di Filipina, Indonesia, Hawaii, Papua
Nugini, dan Guam untuk mengendalikan populasi dari bekicot Afrika Achatina fulica, yang
menggusur populasi siput asli. Namun, sekarang ada kekhawatiran bahwa planaria ini sendiri
kemungkinan menjadi ancaman serius bagi populasi siput asli di daerah tesebut. Di barat laut
Eropa, ada kekhawatiran tentang penyebaran cacing planaria Selandia Baru, Arthurdendyus
triangulatus, yang memangsa cacing tanah. [2]

6. Kelas dari Filum Platyhelminthes


Berdasarkan bentuk tubuh dan sifat hidupnya, Platyhelminthes dibagi menjadi tiga kelas
yaitu, Kelas Turbellaria, Kelas Trematoda, dan Kelas Cestoda. Berikut penjelasan untuk
masing-masing kelas tersebut.

6.1. Kelas Turbellaria

Sebagian besar anggota Turbellaria hidup bebas, hanya beberapa yang parasit. Bisa ditemui
di ekosistem air tawar, air laut, maupun terestrial. Tubuhnya berbentuk seperti daun, tidak
bersegmen, pada epidermis terdapat bulu-bulu getar, dan intestinumnya bercabang. Panjang
tubuhnya berkisar 6-15 mm dan tidak memiliki darah.Tubuh berwarna gelap, coklat dan abu-
abu bernapas secara difusi pada permukaan seluruh tubuh. Contoh anggota kelas ini adalah
Dugesia trigina, yang lebih dikenal dengan nama Planaria (Gambar 1). Cacing planaria hidup
bebas di air tawar yang jernih dan mengalir sepanjang tahun, menempel pada batu atau
dedaunan yang jatuh.
Gambar 1. Dugesia tigrina (Planaria) (jcoll.org)

6.1.1. Karakteristik Umum

Turbellaria terdiri dari sekitar 4.500 spesies, [5,7] sebagian besar hidup bebas, dengan ukuran
panjang antara 1 mm (0,039 in) sampai 600 mm (24 in). Sebagian besar adalah predator atau
pemakan bangkai. Spesies yang ada di darat sebagian besar aktif di malam hari dan tinggal di
lingkungan yang lembab seperti pada sampah daun atau kayu yang membusuk. Beberapa ada
yang bersimbiosis dengan hewan lain seperti krustasea, dan beberapa lainnya bersifat parasit.
Turbellaria yang hidup bebas, biasanya berwarna hitam, coklat atau abu-abu, tetapi beberapa
jenis yang lebih besar berwarna cerah. [2]

Turbellaria tidak memiliki kutikula (lapisan luar berupa bahan organik yang bersifat non-
seluler). Pada beberapa spesies kulitnya berupa syncitium (kumpulan sel-sel dengan beberapa
inti dan membran eksternal tunggal bersama). Namun, kulit pada sebagian besar spesies ini
terdiri dari satu lapisan sel, yang masing-masing pada umumnya memiliki beberapa silia
("rambut" kecil yang bergerak). Pada beberapa spesies berukuran besar permukaan atas
tubuhnya tidak memiliki silia. Kulit ini juga ditutupi dengan mikrovili yang ada di antara
silia. Turbellaria memiliki banyak kelenjar, biasanya berada di dalam lapisan otot di bawah
kulit dan terhubung ke permukaan melalui pori-pori yang merupakan tempat untuk
mengeluarkan lendir, perekat, dan zat lainnya. [5,7]

Spesies akuatik berukuran kecil menggunakan silia untuk bergerak, sementara yang lebih
besar menggunakan gerakan otot dari seluruh tubuh untuk merayap atau berenang. Beberapa
mampu menggali, melekatkan bagian ujung belakang di bawah liang kemudian meregangkan
kepala untuk mengambil makanan dan kemudian menariknya kembali ke bawah. Beberapa
spesies darat mengeluarkan benang dari lendir yang digunakan sebagai tali untuk memanjat
dari satu daun ke yang lain. [5,7]

Beberapa Turbellaria memiliki kerangka spikular, sehingga memberikan bentuk annular


(seperti cincin). [5,7]

6.1.2. Pola Makan dan Pencernaan

Convoluta roscoffensis dapat menelan sel dari Tetraselmis (alga hijau) dan pada saat dewasa
spesies ini menggunakaan alga tersebut sebagai endosymbiont untuk menyediakan makanan.
Pada filum Acoel lainnya, ususnya dilapisi oleh syncitium. Turbellaria memiliki faring
sederhana yang dilapisi silia dan menggunakan silia untuk menyapu partikel makanan dan
mangsa kecil ke dalam mulutnya. Mulut ini biasanya berada di bagian tengah bawah dari
tubuhnya.
Kebanyakan Turbellaria merupakan karnivora, mereka memangsa invertebrata kecil,
protozoa, atau memakan bangkai hewan yang mati. Beberapa spesies memakan hewan yang
lebih besar, termasuk tiram dan teritip. Bdelloura, bersimbiosis komensialisme pada insang
kepiting tapal kuda. Turbellaria jenis ini biasanya memiliki faring eversible.[2] Microstomum
caudatum merupakan spesies air tawar yang dapat membuka mulutnya hampir selebar
panjang tubuhnya, dan mampu menelan mangsa sebesar tubuhnya. [5,7]

Usus dilapisi oleh sel fagosit yang menangkap partikel makanan yang sebagian telah dicerna
oleh enzim di dalam usus. Pencernaan kemudian diselesaikan di dalam sel fagosit dan nutrisi
disebar ke seluruh tubuh.

6.1.3. Sistem Saraf

Pada filum Acoel, setidaknya ada konsentrasi jaringan saraf di daerah kepala, yang memiliki
jaringan saraf lebih mirip dengan cnidaria dan ctenophores, tapi memadat di sekitar kepala.
Turbellaria memiliki otak yang berbeda, meskipun relatif sederhana dalam struktur. Terdapat
1-4 pasang tali saraf dari otak hingga di sepanjang tubuh, dengan banyaknya percabangan
syaraf yang lebih kecil. Tidak seperti hewan yang lebih kompleks, seperti Annelida, tidak ada
ganglia pada pita saraf, selain yang membentuk otak. [7,8]

Kebanyakan Turbellaria memiliki ocelli ("mata kecil"), satu pasang di sebagian besar spesies,
tapi dua atau bahkan tiga pasang pada beberapa spesies. Beberapa spesies dengan ukuran
besar memiliki banyak mata di bagian atas otak; pada tentakel, atau di sepanjang tepi tubuh.
Ocelli hanya bisa membedakan arah datangnya cahaya, sehingga memungkinkan hewan ini
untuk menghindarinya. [7,8]

Beberapa kelompok, terutama catenulida, acoelomorpha dan seriate memiliki statocysts,


(ruangan berisi cairan yang mengandung partikel padat). Statocysts dianggap sebagai sensor
keseimbangan dan pergerakan, pada medusae, cnidaria, dan ctenophores, statocysts juga
memiliki fungsi yang sama. Namun, statocysts pada turbellaria tidak memiliki silia sensorik,
dan tidak diketahui bagaimana mereka merasakan gerakan dan posisi dari partikel padat.

Sebagian besar spesies memiliki sel sensor sentuhan bersilia yang tersebar di seluruh tubuh
mereka, terutama pada tentakel dan di sekitar tepi tubuh. Sel-sel khusus di dalam lubang atau
lekukan pada kepala ini kemungkinan merupakan sensor penciuman. [5,7]

6.1.5. Reproduksi

Kebanyakan Turbellaria berkembang biak dengan mengkloning dirinya, sedangkan pada jenis
Acoel, berkembang biak dengan tunas. Planaria genus Dugesia merupakan perwakilan genus
yang terkenal dari kelas Turbellaria. [5,7]

Semua Turbellaria merupakan organisme hermafrodit, memiliki sel-sel reproduksi jantan dan
betina, dan membuahi telurnya secara internal melalui kopulasi. [5,7] Beberapa spesies
akuatik yang lebih besar melakukan perkawinan dengan penis fencing / adu penis, duel di
mana setiap individu mencoba untuk menghamili yang lain, individu yang kalah mengadopsi
peran perempuan untuk mengembangkan telur. [7,9]

Meskipun pada filum Acoel, gonadnya tidak dapat dibedakan, pada Turbellaria lainnya ada
satu pasang atau lebih testis dan ovarium. Saluran sperma melalui vesikula seminalis, menuju
ke otot penis. Pada banyak spesies, jauh lebih rumit dengan adanya penambahan kelenjar
aksesori atau struktur yang lain. Penis terletak di dalam rongga, dan dapat berereksi melalui
sebuah lubang di bagian bawah posterior hewan. Pada sebagian besar spesies, sel sperma
memiliki dua ekor. [7,8]

Pada kebanyakan platyhelminthes, ovarium dibagi menjadi dua, salah satu menghasilkan
ovum, dan satunya lagi memproduksi sel kuning telur khusus, yang digunakan untuk
memelihara perkembangan embrio. Banyak spesies Turbellaria memiliki sistem reproduksi
seperti ini, akan tetapi pada beberapa spesies tampaknya memiliki sistem reproduksi yang
lebih primitif. Ada spesies yang indung telurnya tidak terbagi, dan sel telurnya sudah
mengandung kuning telur di dalam sitoplasma mereka sendiri, seperti yang terjadi pada
sebagian besar hewan lain. Pada sistem reproduksi lainnya, ovarium memiliki saluran telur
yang menuju ke bursa untuk mendepositkan (menyimpan) sperma. Bursa adalah bagian dari
sistem reproduksi betina dan berfungsi menyimpan sperma dimana perkembangannya sangat
beragam dan kemungkinan memiliki daerah sekunder atau aksesori. Bursa ini pada gilirannya
terhubung ke vagina yang membuka di depan penis. Pada beberapa kasus, ada juga
struktur/organ lain yang digunakan untuk penyimpanan sperma selain bursa, atau bahkan
rahim untuk penyimpanan telur yang telah matang. [7,8]

Pada sebagian besar spesies "miniatur organisme dewasa" muncul ketika telur menetas, tetapi
spesies dengan ukuran yang besar menghasilkan beberapa plankton seperti larva. [5,7]

6.2. Kelas Trematoda

Trematoda merupakan cacing parasit pada vertebrata. Tubuhnya tertutup lapisan-lapisan


kutikula. Kelompok ini disebut juga sebagai cacing penghisap, karena mempunyai alat
penghisap atau sucker.

Trematoda merupakan kelas di dalam filum Platyhelminthes yang terdiri dari tiga kelompok
cacing pipih parasit, sering disebut juga sebagai "flukes". Kelompok-kelompok dari cacing
parasit tersebut adalah Cestoda, Monogenea dan Trematoda. [10]

6.2.1. Taksonomi dan Biodiversitas

Trematoda atau “flukes” diperkirakan mencapai 18.000 [10,11] hingga 24.000 [10,12]
spesies, dan dibagi menjadi dua subkelas. Hampir semua trematoda adalah parasit pada
moluska dan vertebrata. Aspidogastrea, yang terdiri dari sekitar 100 spesies, merupakan
parasit obligat pada moluska yang juga dapat menginfeksi kura-kura dan ikan, termasuk ikan
bertulang rawan. Digenea, yang merupakan kelompok dengan keanekaragaman mayoritas
pada trematoda, adalah parasit obligat dari moluska dan vertebrata, tetapi Digenea jarang
menjadi parasit pada ikan bertulang rawan.

Sebelumnya, Monogenea termasuk di dalam Trematoda, dengan dasar bahwa cacing ini juga
merupakan parasit berbentuk ulat (vermiform), namun studi filogenetik modern telah
menjadikan kelompok menjadi kelas tersendiri di dalam filum Platyhelminthes, bersama
dengan Cestoda

Trematoda berbentuk oval dan memiliki bentuk seperti cacing, biasanya panjangnya tidak
lebih dari beberapa sentimeter. Fitur eksternal yang paling khas pada Trematoda adalah
adannya dua pengisap, satu dekat dengan mulut, dan yang lainnya berada di bagian bawah.
[10,13]

Permukaan tubuh trematoda terdiri dari syncitial tegument kuat yang membantu melindungi
terhadap enzim pencernaan usus hewan. Permukaan syncitial tegument ini berfungsi untuk
pertukaran gas (tidak ada organ pernapasan pada Trematoda) [10,13].

Mulutnya terletak di ujung depan, berupa otot yang disokong oleh faring. Faring terhubung
melalui esofagus pendek yang disebut caeca. Caeca bercabang pada beberapa spesies. Seperti
cacing pipih lainnya, Trematoda tidak memiliki anus, sehingga sisa limbah pencernaan
dikeluarkan melalui mulut. [10,13]

Meskipun ekskresi limbah nitrogen sebagian besar terjadi melalui Tegument, Trematoda
memiliki sistem ekskretoris, terutama yang berkaitan dengan osmoregulasi. Sistem eksretoris
ini terdiri dari dua atau lebih protonephridia, yang terletak pada setiap lubang di sisi bagian
tubuh dan menjadi duktus pengumpul (collecting duct). Kedua saluran pengumpul biasanya
bertemu di kandung kemih tunggal, membuka ke luar melalui satu atau dua pori-pori di
dekat ujung posterior hewan. [10,13]

Otak pada Trematoda terdiri dari sepasang ganglia yang berada di wilayah kepala. Dari
masing-masing ganglia tersebut terdapat dua atau tiga pasang tali saraf yang menjalar ke
seluruh bagian tubuh. Tali saraf yang menjalar di sepanjang permukaan ventral adalah selalu
yang terbesar, sedangkan tali saraf punggung / dorsal hanya ada pada Aspidogastrea.
Trematoda pada umumnya kekurangan organ penginderaan khusus, meskipun ada beberapa
spesies ektoparasit yang memiliki satu atau dua pasang ocelli sederhana. [10,13]

6.2.2. Sistem Reproduksi

Kebanyakan trematoda merupakan hermafrodit (memiliki organ reproduksi jantan dan betina
di dalam satu tubuh). Biasanya memiliki dua testis, dengan saluran sperma yang bergabung
bersama di bawah tubuh bagian tengah depan. Sistem ini bervariasi secara struktur di antara
spesies, tetapi sistem ini biasanya sudah mencakup kantung penyimpanan sperma dan
kelenjar aksesori, sebagai tambahan organ kopulasi, baik yang reversible (disebut sebagai
cirrus), atau non-eversible (disebut sebagai penis). [10,13]

Biasanya Trematoda hanya memiliki ovarium tunggal, yang terhubung melalui sepasang
saluran menuju ke sejumlah kelenjar vitelline di kedua sisi tubuh, yang menghasilkan sel
kuning telur (yolk cell). Telur lepas dari ovarium menuju ke dalam wadah yang disebut
ootype atau kelenjar Mehlis (kelenjar di mana pembuahan terjadi). Kelenjar membuka
menjadi uterus memanjang yang membuka ke luar, berdekatan dengan organ jantan. Ovarium
sering juga dikaitkan dengan kantung penyimpanan sperma dan saluran kopulasi yang disebut
kanal Laurer. [10,13]

6.2.3. Siklus Hidup

Hampir semua trematoda menginfeksi moluska sebagai inang pertama pada siklus hidupnya,
dan sebagian besar memiliki siklus hidup kompleks yang melibatkan jenis inang lainnya.
Kebanyakan trematoda merupakan monoeciuos dan bergantian bereproduksi secara seksual
dan aseksual, kecuali pada Aspidogastrea yang tidak memiliki reproduksi aseksual dan
Schistosomatidae yang bersifat dioecious (organ reproduksi jantan dan betina terpisah). [10]
Di dalam definitive host (inang, dimana parasit mencapai kematangan dan, jika mungkin,
bereproduksi secara seksual), di mana reproduksi seksual terjadi, telur biasanya keluar
bersamaan dengan feses dari inang. Telur yang dilepaskan di air membentuk larva yang
mampu berenang bebas dan bersifat infektif ke intermediate host (inang perantara), di mana
reproduksi aseksual terjadi. [10]

Sebuah spesies yang mencontohkan siklus hidup yang luar biasa dari trematoda adalah cacing
pada burung, Leucochloridium paradoxum. Berbagai jenis burung hutan bertindak sebagai
inang definitive bagi spesies tersebut, sementara berbagai jenis siput merupakan inang
tempat parasit tumbuh (intermediate host). Parasit dewasa di dalam usus burung
memproduksi telur dan pada akhirnya telur tersebut akan berakhir di tanah keluar bersamaan
dengan feses burung. Beberapa telur ditelan oleh siput dan di dalam siput mereka menetas
menjadi larva kecil transparan (mirasidium). Larva ini tumbuh dan memiliki bentuk seperti
kantung. Tahap ini dikenal sebagai sporocyst, sporocyst ini kemudian akan membentuk tubuh
sentral pada kelenjar pencernaan siput yang membentang menjadi kantung perindukan di
kepala , otot kaki dan tangkai mata siput. Parasit bereplikasi sendiri pada bagian tubuh pusat
sporocyst, menghasilkan banyak embrio kecil (redia). Embrio ini akan pindah menuju ke
kantung perindukan dan berkembang dewasa menjadi cercaria. [10]

6.2.4. Infeksi

Infeksi pada manusia kerap terjadi di Asia, Afrika, Amerika Selatan, dan Timur Tengah.
Namun, Trematoda dapat ditemukan pada semua tempat dimana limbah / kotoran manusia
digunakan sebagai pupuk. Schistosomasis (dikenal juga dengan bilharzia, bilharziosis atau
demam siput) merupakan salah satu contoh penyakit parasitik yang disebabkan oleh salah
satu spesies Trematoda, sebuah spesies cacing parasit dari genus Schistosoma. [10]

6.2.5. SubKelas dari Kelas Trematoda

6.2.5.1. Digenea

Digenea memiliki sekitar 11.000 spesies lebih banyak dari semua gabungan spesies
platyhelminthes lainnya. Digenea dewasa, biasanya memiliki dua holdfasts, sebuah cincin di
sekitar mulut dan pengisap di bagian tengah bawah yang berukuran lebih besar.[2,3]
Meskipun nama "Digeneans" berarti "dua generasi", sebagian besar memiliki siklus hidup
yang sangat kompleks hingga mencapai tujuh tahap (tergantung pada kondisi lingkungan
yang ditemui pada tahap awal), yang paling penting adalah, apakah telur disimpan di darat
atau di air. Tahap peralihan mentransfer parasit dari satu inang ke inang yang lain. Definitive
host, yang merupakan tempat perkembangan menuju organisme dewasa berupa vertebrata
darat, inang pertama pada tahap remaja biasanya siput yang dapat hidup di darat atau di air,
dan pada banyak kasus ikan atau arthropoda adalah inang kedua. [2,5]

Sebuah ilustrasi yang menunjukkan siklus hidup dari intestinal fluke (cacing yang hidup di
usus), Metagonimus. Cacing ini menetas di dalam usus siput, berpindah ke ikan, di mana ia
menembus tubuh dan encyst (membentuk kantong perindukan) pada daging; kemudian
bergerak ke usus kecil hewan darat yang memakan ikan mentah; dan kemudian menghasilkan
telur yang dikeluarkan melalui feses dan kemudian dicerna kembali oleh siput. Schistosomes,
yang merupakan penyebab penyakit tropis, bilharzia, termasuk di dalam kelompok ini [2,14].

Cacing dewasa memiliki panjang antara 0,2 mm (0,0079 in) dan 6 mm (0.24 in). Stu individu
Digenea dewasa individu hanya memiliki satu alat reproduksi (jantan / betina), dan pada
beberapa spesies, betina hidup pada celah tertutup yang berada di sepanjang tubuh organisme
jantan, dan secara periodik keluar untuk bertelur. Pada semua spesies, organisme dewasa
memiliki sistem reproduksi yang kompleks dan dapat menghasilkan antara 10.000-100.000
kali lebih banyak telur sebagai cacing pipih yang hidup bebas. Selain itu, pada tahap
peralihan mereka hidup di dalam siput dan bereproduksi secara aseksual. [2,5]

Spesies dewasa dari spesies yang berbeda menempati bagian / tempat yang berbeda pada
inang definitive, misalnya usus, paru-paru, pembuluh darah besar, [2,3] dan hati [2,5].
Organisme dewasa menggunakan faring berotot berukuran relatif besar untuk menelan sel,
fragmen sel, lendir, cairan tubuh atau darah. Pada organisme dewasa dan organisme yang
hidup di siput, syncytium eksternalnya mampu menyerap nutrisi terlarut dari inangnya.
Digenea dewasa dapat hidup tanpa oksigen untuk waktu yang lama. [2,5]

6.2.5.2. Aspidogastrea

Anggota dari kelompok kecil ini memiliki sebuah pengisap tunggal atau deretan pengisap
yang berada bagian bawah tubuh. [1,5] Mereka menginfeksi usus ikan bertulang belakang,
ikan bertulang rawan, kura-kura, dan rongga tubuh bivalvia dan gastropoda (baik air laut
maupun air tawar). [2,3] Telur mereka menghasilkan larva bersilia yang mampu berenang,
dan pada siklus hidupnya memiliki satu atau dua inang. [2,5]

6.2.6. Contoh Spesies Kelas Trematoda

Contoh anggota kelas ini adalah cacing hati (Fasciola hepatica) dan Clonorchis sinensis.
Untuk lebih memahami kedua spesies tersebut cermati uraian berikut.

1) Fasciola hepatica

Cacing ini hidup sebagai parasit di dalam hati manusia dan hewan ternak seperti sapi, babi,
dan kerbau. Tubuhnya mencapai panjang 2-5 cm, dilengkapi alat penghisap yang letaknya
mengelilingi mulut dan di dekat perut (Gambar 2). Cacing hati berkembangbiak secara
seksual dengan pembuahan silang atau pembuahan sendiri (hermaprodit).

Gambar 2. Cacing hati (Fasciola hepatica) (Wikimedia Commons)


Fasciola hepatica memiliki siklus hidup mulai dari dalam tubuh inangnya, ketika keluar dari
tubuh inang, sampai kemudian masuk kembali sebagai parasit di tubuh inang yang baru.
Perhatikan Gambar 3. Di dalam tubuh inangnya, cacing dewasa memproduksi sperma dan
ovum kemudian melakukan pembuahan. Telur yang telah dibuahi kemudian keluar dari
tubuh inang bersama feses (kotoran). Bila jatuh di tempat yang sesuai, telur ini akan menetas
dan menjadi mirasidium (larva bersilia). Mirasidium kemudian berenang di perairan selama
8-20 jam. Bila menemukan siput air (Lymnaea javanica), mirasidium akan masuk ke tubuh
siput tersebut, tetapi bila tidak bertemu siput air mirasidum akan mati. Di dalam tubuh siput,
mirasidium kemudian tumbuh menjadi sporoskista. Sporokista kemudian berpartenogenesis
menjadi redia dan kemudian menjadi serkaria.

Gambar 3. Siklus hidup cacing Fasciola hepatica


Serkaria membentuk ekor dan keluar menembus tubuh siput, kemudian berenang beberapa
lama sehingga melepaskan ekornya di rumput dan tumbuhan air untuk menjadi
metaserkaria. Metaserkaria kemudian membungkus diri dengan kista (cyste) sehingga dapat
bertahan pada rumput atau tumbuhan lain, menunggu termakan oleh hewan. Ketika kista ikut
termakan bersama tumbuhan, kista akan menembus dinding usus lalu masuk ke hati,
kemudian berkembang hingga dewasa dan bertelur kembali mengulang siklus yang sama.

2) Clonorchis sinensis

Cacing ini hidup di dalam hati dan saluran empedu manusia, anjing, atau kucing. Siklus
hidupnya mirip dengan cacing hati. Inang perantaranya adalah siput, ikan, atau udang. Siklus
hidup Chlonorchis sinensis dijelaskan dengan Gambar 4.
Gambar 4. Siklus hidup Chlonorchis sinensis
6.3. Kelas Cestoda

Cacing ini mempunyai bentuk tubuh pipih panjang menyerupai pita sehingga disebut juga
sebagai cacing pita. Tubuhnya dapat dibedakan menjadi dua bagian, yaitu skoleks (kepala)
dan strobilus. Setiap strobilus terdiri atas rangkaian segmen-segmen yang disebut proglotid.
Proglotid dibentuk melalui pembelahan tranversal di daerah leher, dan masing-masing berisi
kelengkapan kelamin jantan dan betina, sehingga setiap proglotid dapat dipandang sebagai
satu individu. Cacing ini hidup sebagai parasit pada babi atau sapi.

Cestoda (Cestoidea) adalah nama yang diberikan untuk kelas cacing pipih parasit dari filum
Platyhelminthes, dan biasa disebut cacing pita. Anggota dari Cestoda dewasa hidup di dalam
saluran pencernaan vertebrata, dan pada saat juveni sering berada di dalam tubuh berbagai
hewan. Lebih dari seribu spesies Cestoda telah dideskripsikan, dan semua spesies vertebrata
dapat dijadikan inang oleh setidaknya satu spesies cacing pita. Beberapa spesies parasit pada
manusia, karena mengkonsumsi daging yang tidak diamasak dengan baik seperti daging babi
(Taenia solium), daging sapi (T. saginata), dan ikan (Diphyllobothrium spp.), atau bisa juga
mengkonsumsi makanan yang disiapkan dalam kondisi kebersihan yang buruk (Hymenolepis
spp. ; Echinococcus spp. ).

T. saginata, cacing pita dari sapi, dapat tumbuh sampai 20 m (65 kaki), spesies terbesar,
cacing pita paus, Polygonoporus giganticus, dapat tumbuh sampai 30 m (100 ft) [15, 16, 17].

Cacing pita parasit pada vertebrata memiliki sejarah panjang: fosil dari telur Cestoda, salah
satu telurnya memiliki larva yang berkembang, telah ditemukan dalam fosil kotoran
(coprolita) dari hiu pada periode pertengahan sampai akhir Permian, sekitar 270 juta tahun
[15, 18].

Kingdom : Animalia

Filum : Platyhelminthes

Kelas : Cestoda

Subkelas :
Cestodaria
Eucestoda

Ordo dari Cestodaria :

Amphilinidea
Gyrocotylidea

Ordo dari Eucestoda

Aporidea
Caryophyllidea
Cyclophyllidea
Diphyllidea
Lecanicephalidea
Litobothridea
Nippotaeniidea
Proteocephalidea
Pseudophyllidea
Spathebothriidea
Tetraphyllidea
Trypanorhyncha

6.3.1. Anatomi

a. Scolex

Scolex cacing ("kepala") menempel ke usus inang definitive (inang tetap). Pada beberapa
spesies, scolex ini didominasi oleh bothria (tentakel) yang berfungsi sebagai penghisap.
Spesies lain memiliki kait dan pengisap yang membantu untuk menempel. Cestoda
Cyclophyllid dapat diidentifikasi oleh adanya empat pengisap pada scolex mereka [15, 19].
scolex ini berasal dari sel-sel yang berasal dari bagian posterior.

Scolex merupakan bagian yang paling khas dari cacing pita dewasa, seringkali hal ini tidak
disadari pada pemeriksaan klinik karena bagian ini berada di dalam tubuh pasien. Dengan
demikian, mengidentifikasi telur dan proglottids dalam kotoran pasien merupakan hal yang
penting untuk mengetahui infeksi cacing ini.

b. Sistem Saraf dan Tubuh

Pusat saraf utama Cestoda adalah sebuah ganglion otak di dalam scolex. Saraf motorik dan
sensorik tergantung pada jumlah dan kompleksitas dari scolex tersebut. Saraf yang lebih kecil
berasal dari Commissures (istilah) yang berfungsi memasok otot tubuh dan merupakan ujung
saraf sensorik. Bagian cirrus (istilah) dan vagina memiliki saraf, dan memiliki ujung sensorik
di sekitar pori genital yang lebih banyak dibandingkan daerah lain. Fungsi sensorik meliputi
tactoreception dan chemoreception . Beberapa saraf hanya bersifat sementara.

c. Proglottid
Tubuh Cestoda terdiri dari segmen yang berurutan (proglottids). Jumlah dari proglottid
disebut Strobila (tipis dan menyerupai sepotong pita). Seperti pada beberapa cacing pipih
lainnya, Cestoda menggunakan sel api (protonephridia), yang terletak di proglottid, untuk
ekskresi. Proglottid matang dilepaskan dari ujung posterior cacing pita dan keluar bersamaan
dengan feses inangnya.

Oleh karena setiap proglottid berisi organ reproduksi jantan dan betian, mereka bisa
bereproduksi secara mandiri. Beberapa ahli biologi telah menyatakan bahwa, tiap-tiap
proglottods tidak harus dianggap sebagai organisme tunggal, dan bahwa cacing pita
sebenarnya merupakan koloni dari proglottids.

Tata letak proglottid terdiri dari dua bentuk, craspedota (proglottid yang tumpang tindih oleh
proglottid sebelumnya, dan acraspedote (proglottid yang tidak tumpang tindih). [15, 20]

Setelah menempel pada dinding usus inang, cacing pita menyerap nutrisi melalui dinding
usudari makanan yang dicerna oleh inangnya dan mulai menumbuhkan ekor yang panjang,
dimana setiap segmen mengandung sistem pencernaan independen dan saluran reproduksi.
Segmen yang berusia tua didorong ke arah ujung ekor dimana segmen baru diproduksi oleh
segmen tersebut. Pada saat segmen telah mencapai ujung ekor, hanya saluran reproduksi yang
tersisa. Kemudian keluar bersama feses dengan membawa telur cacing pita ke inang
berikutnya, karena pada saat itu, proglottid pada dasarnya adalah sebuah kantung telur. [15,
21]

d. Reproduksi

Cacing pita sejati merupakan organisme hermafrodit, mereka memiliki sistem reproduksi
jantan dan betina di dalam tubuh mereka. Sistem reproduksi mencakup satu atau banyak
testis, cirrus, vas deferens and vesikula seminalis sebagai organ jantan. Sedangkan ovarium
memiliki saluran telur dan rahim yang saling berhubungan berfungsi sebagai organ jantan.
Ada bukaan / lubang eksternal yang secara umum digunakan untuk sistem reproduksi jantan
dan betina, yang dikenal sebagai pori genital. Pori genital terletak pada bukaan permukaan
atrium berbentuk cangkir [15, 22] [15, 23]. Meskipun secara seksual merka adalah
hermafrodit, pembuahan sendiri merupakan fenomena langka. Fertilisasi silang antara dua
individu merupakan hal yang sering dilakukan untuk bereproduksi, hal ini dilakukan agar
dapat terjadi hibridisasi. Selama kopulasi, cirrus dari satu individu terhubung dengan individu
lain melalui pori genital, dan kemudian terjadi pertukaran spermatozoa.

e. Siklus Hidup

Siklus hidup cacing pita sangat sederhana, dalam artian bahwa tidak ada fase aseksual seperti
pada cacing pipih lainnya. Akan tetapi memiliki kerumitan tersendiri dimana setidaknya
diperlukan satu inang perantara dan satu inang tetap (definitive host). Pola siklus hidup ini
telah menjadi kriteria penting untuk mengetahui evolusi pada Platyhelminthes. [15, 24]
Banyak cacing pita memiliki dua tahap siklus hidup dengan dua jenis inang. Cacing Taenia
saginata dewasa hidup di dalam usus primata seperti manusia, tetapi yang ebih
mengkhawatirkan adalah Taenia solium, karena dapat membentuk kista dalam otak manusia.
Proglottid meninggalkan tubuh melalui anus dan jatuh ke tanah, di mana mereka dapat masuk
bersamaan rumput yang dimakan oleh hewan seperti sapi. Sapi dan hewan lain yang
memakan proglottids ini dikenal sebagai inang perantara. Juvenil bermigrasi dan menetap
sebagai kista di antara jaringan tubuh inang seperti otot. Mereka menyebabkan kerusakan
lebih parah pada inang perantara dibandingkan pada inang tetap. Parasit melengkapi siklus
hidupnya ketika inang perantara memberikan parasit ke inang tetap. Hal ini biasanya terjadi
karena, inang tetap memakan inang perantara yang terinfeksi. Misalnya seperti manusia yang
lebih cenderung menyukai makan daging setengah mentah. [15, 25]

f. Contoh Spesies Kelas Cestoda

Contoh anggota kelas ini adalah Taenia solium dan Taenia saginata. Berikut uraian kedua
jenis cacing tersebut.

1) Cacing pita babi (Taenia solium)

Cacing pita ini hidup pada saluran pencernaan babi dan bisa menular ke manusia. Panjang
tubuhnya mencapai 3 m. Pada bagian kepala atau skoleks terdapat empat buah sucker dan
kumpulan alat kait atau rostelum. Di sebelah belakang skoleks terdapat leher atau daerah
perpanjangan (strobillus). Dari daerah inilah proglotid terbentuk melalui pembelahan
transversal. Dalam kondisi yang optimal panjang tubuh cacing pita babi dapat mencapai 2,5-
3 m dengan jumlah proglotid mencapai 1.000 buah. Cacing ini memiliki siklus hidup seperti
pada Gambar 5.

Gambar 5. Siklus hidup Taenia solium


2) Cacing pita sapi (Taenia saginata)

Taenia saginata tidak mempunyai rostelum (kait) pada skoleknya, dan secara umum
tubuhnya mirip dengan T. solium. Cacing dewasa hidup sebagai parasit dalam usus manusia,
masuk ke dalam tubuh manusia melalui sapi sebagai hospes intermediet. Cacing ini
tidak begitu berbahaya dibandingkan T. solium. Namun demikian cacing ini tetap
merugikan, karena menghambat penyerapan makanan dalam tubuh manusia.
Gambar 6.Siklus hidup Taenia saginata
Siklus hidup cacing ini dimulai dari terlepasnya proglotid tua bersama feses
manusia (Gambar 6). Di dalam setiap proglotid terdapat ribuan telur yang telah dibuahi
(zigot). Zigot tersebut kemudian berkembang menjadi larva onkosfer di dalam kulit telur. Jika
telur tersebut termakan sapi, larva onkosfer akan menembus usus masuk ke dalam
pembuluh darah atau pembuluh limfa dan akhirnya sampai di otot lurik. Di dalam otot sapi,
larva onkosfer berubah menjadi kista dan berkembang menjadi cacing gelembung atau
sisteserkus yang membentuk skoleks pada dindingnya. Ketika daging sapi tersebut dimakan
manusia (kemungkinan sisteserkus masih hidup), di dalam usus manusia skoleks tersebut
akan keluar lantas menempel pada dinding usus, kemudian tumbuh dewasa dan membentuk
proglotidproglotid baru. Kemudian siklus hidupnya terulang kembali.

6.4. Kelas Monogenea

6.4.1. Ciri-ciri Kelas Monogenea

Monogenea merupakan cacing pipih parasit yang berukuran sangat kecil, cacing ini
ditemukan terutama pada kulit atau insang ikan. Cacing ini jarang memiliki ukuran lebih dari
2 cm. Beberapa spesies yang menginfeksi ikan laut tertentu berukuran lebih besar dan cacing
yang hidup di laut pada umumnya lebih besar daripada yang ditemukan pada inang air tawar.
Monogenean kurang dalam sistem pernapasan, tulang dan peredaran darah dan tidak
memiliki penghisap oral (kurang begitu berkembang). [26, 27] Monogenea menempel pada
inang menggunakan kait, penjepit dan berbagai struktur khusus lainnya. Mereka secara
dramatis mampu memanjang dan memperpendek ketika bergerak. Ahli biologi perlu
memastikan bahwa spesimen ini benar-benar dalam kondisi relaks sebelum pengukuran
dilakukan. [26, 28]

Seperti semua ektoparasit, Monogenea memiliki struktur untuk menempel yang berkembang
dengan baik. Struktur anterior secara kolektif disebut prohaptor, sedangkan yang posterior
secara kolektif disebut opisthaptor. Bagian posterior opishaptor denga bentuk seperti kait,
jangkar, penjepit, dll biasanya merupakan organ penempelan utama.
Seperti cacing pipih lainnya, Monogenea tidak memiliki rongga tubuh sejati (coelom).
Mereka memiliki sistem pencernaan sederhana yang terdiri dari bukaan mulut dengan faring
berotot dan usus tanpa bukaan akhir (anus). Umumnya, mereka juga bersifat hermafrodit
dengan organ reproduksi fungsional dari kedua jenis kelamin yang ada pada satu individu.
Kebanyakan spesies bertelur (ovipar) tetapi beberapa diantaranya beranak (vivipar).
Monogenea merupakan Platyhelminthes, oleh karena itu Monogenea adalah salah satu
invertebrata terendah yang memiliki tiga lapisan kulit embrionik; endoderm, mesoderm, dan
ektoderm. Selain itu, mereka memiliki kepala yang berisi organ-organ penginderaan dan
jaringan saraf (otak).

6.4.2. Sistematika Dan Evolusi

Nenek moyang Monogenea kemungkinan adalah cacing pipih yang hidup bebas, yang mirip
dengan Turbellaria modern. Menurut pandangan yang lebih diterima secara luas, "rhabdocoel
Turbellaria memunculkan Monogenea, hal ini, pada gilirannya, memunculkan Digenea yang
merupakan asal munculnya Cestoda. Pandangan lainnya adalah bahwa, nenek moyang
rhabdocoel memunculkan dua jalur; satu memunculkan Monogenea yang memunculkan
Digenea, dan jalur lain memunculkan Cestoda "[26, 27].

Monogenea memiliki sekitar 50 famili dan ribuan spesies yang telah dideskripsikan.

Beberapa ahli parasit (parasitologi) membagi Monogenea menjadi dua (atau tiga) subkelas
berdasarkan kompleksitas haptor mereka: Monopisthocotylea memiliki satu bagian utama
pada haptor, sering berupa kait atau cakram yang besar; sedangkan Polyopisthocotylea
memiliki beberapa bagian pada haptor, biasanya berupa penjepit. Kelompok ini juga dikenal
sebagai Polyonchoinea dan Heteronchoinea. Polyopisthocotyleans hampir secara eksklusif
merupakan penghisap darah yang tinggal di insang, sedangkan Monopisthocotyleans dapat
hidup pada insang, kulit dan sirip.

Monopisthocotylea :

1. Genus Gyrodactylus, tidak memiliki titik mata dan bersifat vivipar (beranak).
2. Genus Dactylogyrus, memiliki empat titik mata dan bersifat ovipar. Genus ini
merupakan genera metazoa yang paling banyak, dimana setidaknya memiliki 970
species.
3. Genus Neobenedenia, berukuran lebih besar dan hidup pada kulit spesies laut tropis,
menyebabkan infeksi yang parah pada budidaya hewan laut.

Semua genus diatas dapat menyebabkan epizootik (penyakit yang muncul sebagai kasus baru
pada populasi hewan tertentu, selama periode tertentu) pada budidaya ikan air.

Polyopisthocotylea :

1. Genus Diclidophora, kebanyakan ditemukan pada ikan laut dan ikan air tawar primitif
seperti ikan sturgeon dan paddlefish.
2. Genus Protopolystoma, ditemukan pada katak bercakar (spesies Xenopus species).

6.4.3. Ekologi Dan Siklus Hidup


Monogenea memiliki siklus hidup yang paling sederhana di antara Platyhelminthes yang
bersifat parasit. Mereka tidak memiliki inang perantara dan bersifat ektoparasit pada ikan
(kadang-kadang ada di kandung kemih dan rektum vertebrata berdarah dingin). Meskipun
mereka hermafrodit, sistem reproduksi jantan berfungsi terlebih dahulu sebelum bagian
reproduksi betina. Telur yang menetas melepaskan larva yang sangat bersilia dikenal sebagai
oncomiracidium. Oncomiracidium ini memiliki banyak kait posterior dan umumnya
merupakan tahap kehidupan yang bertanggung jawab untuk transmisi dari inang ke inang.

Tidak ada monogenean yang diketahui menginfeksi burung, tapi ada satu spesies
(Oculotrema hippopotami) yang menginfeksi mamalia, yaitu menjadi parasit pada mata kuda
nil.

Sejauh yang diketahui, tidak ada Monogenea yang menginfeksi burung, tetapi ada satu
spesies yang menginfeksi mamalia, spesies ini merupakan parasit pada mata kuda nil.

Penyakit Cacing Lintah Pertama di Indonesia

Penyakit ini pertama kali ditemukan di Kalimantan Selatan pada pertengahan tahun 2000 dan
bersifat endemik. Penyebabnya adalah Fasciolopsis buski, jenis cacing yang
mampu menghasilkan jutaan telur yang sangat kecil dan telur-telur tersebut hanya ditemukan
pada umbi teratai. Umbi tersebut sangat digemari oleh warga, terutama anak-anak
yang sering memakannya tanpa dimasak terlebih dahulu, sehingga mempercepat penyebaran
penyakit ini. Cacing tersebut juga menyebar melalui tinja manusia dengan bekicot sebagai
hewan perantara nya. Meskipun tidak mematikan, penyakit ini ditangani serius oleh
pemerintah karena menimbul kan dampak yang sangat gawat, yaitu memperlambat
partumbuhan dan menurun kan tingkat kecerdasan. (www.jawapos.co.id)

Anonim.2012. Sumber: http://perpustakaancyber.blogspot.com/2012/12/filum-platyhelminthes-


siklus-hidup-ciri-ciri-klasifikasi-reproduksi-contoh.html (diakses tanggal 26 Oktober 2014)

Anda mungkin juga menyukai