Anda di halaman 1dari 15

KLIPING DIGITAL

10 TARI TRADISIONAL DI INDONESIA


SMP IT RAHMANIYAH BOARDING SCHOOL

DISUSUN OLEH:
NAMA : AISYAH NURULIZZAH PUTRI
KELAS : 7 AISYAH

MA’HAD RAHMANIYAH AL-ISLAMY


SMPIT RAHMANIYAH BOARDING SCHOOL
Jl. Kostrad Cilodong No. 25 Kelurahan Pabuaran Mekar, Kecamatan Cibinong, Kabupaten Bogor.
Telepon (021) 87905421
10 Tari Tradisional beserta sejarahnya

1. Tari Saman

Sejarah Tari saman


Tari Saman adalah tarian asli Aceh yang berasal dari dataran tinggi Gayo. Di masa lalu,
tarian ini banyak dilakukan pada perayaan acara-acara penting dalam adat masyarakat
Aceh. Salah satunya adalah pementasan Tari Saman yang ditampilkan pada perayaan
kelahiran Nabi Muhammad SAW.

Tarian Saman disebut-sebut sebagai evolusi tarian yang awalnya bernama Pok Pok Ane.
Pok Pok Ane adalah sebuah lagu yang berisi sajak serta dinyanyikan dengan iringan
tepukan tangan, tepukan paha, dan tepukan dada.

Kemudian gerakan tersebut diubah oleh Syeh Saman agar lebih indah dengan beberapa
penambahan variasi. Sehingga terciptalah Tari Saman dengan ciri khas tepukan paha dan
tepukan dada secara bergantian oleh tangan kanan dan kiri.

Saat ini Tari Saman menjadi tarian hiburan karena dapat dilakukan tanpa ikatan acara,
waktu dan upacara tertentu. Dengan kata lain, tarian ini dapat dibawakan dimana pun
pada setiap kesempatan.
2. Tari Piring

Sejarah Tari Piring

Masyarakat Minangkabau dulunya menciptakan Tari Piring sebagai ritual kepada dewa-
dewa untuk mengalirkan rasa syukur mereka ketika hasil panennya melimpah ruah.

Dalam melakukan ritual syukur tersebut, masyarakat Minangkabau membawa banyak


sesaji makanan yang ditaruh di berbagai piring. Piring-piring tersebut tidak hanya dibawa
begitu saja, namun dibawa dengan menggunakan gerakan yang khusus, unik dan teratur.
Gerakan-gerakan tersebut dilakukan dengan iringan musik sehingga menjadi gerakan
yang berirama sangat indah.

Jadi awalnya dulu, Tari Piring tidak sekedar membawa piring kosong seperti yang kita
tahu sekarang ini. Piringnya berisi hasil-hasil panen tergantung daerahnya masing-
masing. Ada yang berisi sayur, buah, dan aneka rupa hasil panen lainnya.

Tari Piring terus berkembang menjadi semakin besar hingga zaman kerajaan Sriwijaya.
Tarian tersebut kemudian tidak hanya sekedar menjadi ritual, namun juga dipentaskan
dalam rangka menyambut tamu dan memberikan penghiburan pada raja.

Pada abad ke 16, saat Kerajaan Sriwijaya dikalahkan oleh Majapahit, Tari Piring tetap
moncer. Tarian tersebut justru semakin dikenal di berbagai penjuru pulau Sumatera
dikarenakan tari tersebut dibawa oleh orang Sriwijaya yang melarikan diri ketika kerajaan
runtuh. Dari situlah Tari Piring semakin tersebar di semua Suku Minangkabau dengan
sentuhan dan pengaruh Melayu yang sangat kental.

Hingga kemudian agama Islam masuk ke Minangkabau, Tari Piring tidak ditampilkan
lagi sebagai bentuk ritual kepada dewa, namun hanya berupa hiburan untuk warga. Tari
tersebut dipentaskan pada acara-acara adat.
3. Tari Tor tor

Seajarah Tari Tortor

Tarian ini diperkirakan telah ada sejak zaman Batak purba. Pada masa itu, tarian tor tor
dijadikan sebagai tari persembahan bagi roh leluhur. Nama tari ini berasal dari kata tor
tor, yaitu bunyi hentakan kaki penari di lantai papan rumah adat Batak.

Ada pendapat dari seorang praktisi dan pecinta tari tor tor, bernama Togarma Naibaho.
Beliau memberikan pendapat bahwa tujuan tarian ini dulunya adalah untuk upacara
kematian, panen, penyembuhan, hiburan atau pesta muda-mudi. Selain itu, sebelum
melaksanakan tarian harus melalui ritual tertentu.

Hingga saat ini belum ada literatur ilmiah yang menjelaskan sejarah tari tor tor serta
gondang sembilan yang mengiringinya. Akan tetapi menurut Edi Setyawat, Guru Besar
Tari dari Universitas Indonesia, telah ada catatan dari zaman kolonial yang
mendeskripsikan perjalanan tarian tortor.

Meski berasal dari Batak, ternyata jika ditelusuri tarian ini mendapat pengaruh dari India,
bahkan lebih jauh lagi tarian ini juga memiliki kaitan dengan budaya Babilonia.

Ada pendapat yang memperkirakan jika tari tor tor ada sejak abad ke-13 Masehi dan telah
menjadi bagian dari kebudayaan Batak. Pendapat ini disampaikan oleh mantan anggota
anjungan Sumatera Utara periode 1973 hingga 2010, sekaligus pakar tor tor.

Perkembangan awal tarian ini dulunya hanya di kehidupan masyarakat Batak di kawasan
Samosir, Toba dan sebagaian kawasan Humbang. Dalam praktiknya, tarian tor-tor juga
melibatkan beberapa patung batu yang telah dimasuki roh dan patung tersebut akan
“menari”.
Kemudian tari tor tor mengalami transformasi seiring masuknya agama Kristen di
kawasan Silindung. Saat itu, budaya tor-tor lebih dikenal sebagai kesenian nyanyian dan
tari modern.

Tarian tor tor di Pahae dikenal dengan tarian gembira dan lagu berpantun yang disebut
tumba atau pahae do mula ni tumba.

Dari sinilah tari tor tor tidak lagi berkaitan dengan roh dan unsur gaib lain, akan tetapi
menjadi perangkat kebudayaan yang melekat dalam kehidupan masyarakat Batak.

4. Tari Gambyong

Sejarah Tari Gambyong


Tari gambyong, seperti yang diketahui berasal dari Jawa Tengah. Namun tepatnya,
sebenarnya tari ini berasal dari Surakarta.

Awalnya, tarian ini hanya sebuah tarian biasa yang dilakukan oleh rakyat di jalanan. Ya,
awalnya tari gambyong hanyalah sebuah tarian jalanan.

Sejarah mencatat bahwa tari gambyong adalah hasil dari pengembangan tari tayub yang
dikreasikan sedemikian rupa.

Tari gambyong biasanya dilakukan masyarakat pada saat upacara menanam padi atau
upacara panen padi. Masyarakat percaya bahwa ketika mereka melakukan tarian
gambyong, Dewi Sri yang dikenal sebagai Dewi Padi akan datang dan memberikan
berkah terhadap sawahnya.
Nama gambyong dari tari ini sebenarnya tidak begitu memiliki makna yang dalam.
Gambyong diambil dari nama seorang penari yang sangat terkenal pada masa itu, yaitu
Sri Gambyong.

Sri Gambyong memang seorang wanita yang sangat berbakat dalam menari dan suaranya
begitu merdu hingga menarik perhatian masyarakat Surakarta.

Sri Gambyong ini melakukan tarian tayub di jalanan sehari-harinya. Orang-orang yang
melihatnya, mempunyai pemikiran bahwa Sri Gambyong mempunyai ciri khas sendiri
dalam membawakan tarian tayub tersebut.

Sehingga Sri Gambyong yang awalnya hanya menarikan tari tayub, orang-orang
menganggapnya sebagai kreasi baru atau pengembangan dari tari tayub.

Nama Sri Gambyong melambung hingga mencapai telinga Sinuhun Paku Buwono IV
yang pada saat itu sedang menjalankan pemerintahan kesunanan Surakarta.

Sri Gambyong diminta untuk menyelenggarakan pementasan tarian di kraton Surakarta.


Sejak saat itulah, tarian yang dibawakan Sri Gambyong ini berubah nama menjadi tari
gambyong.

Awalnya, tarian gambyong ini adalah tarian rakyat yang dipentaskan untuk acara ritual
sebelum bercocok tanam. Masyarakat percaya dengan adanya tari gambyong sebelum
bercocok tanam, Dewi Sri akan memberikan kesuburan dan panen yang melimpah ruah.

Namun setelah kraton Surakarta menemukan tarian ini, mereka mematenkan tari
gambyong sebagai milik kraton. Mereka juga menata ulang gerakan-gerakan tari. Tarian
ini kemudian digunakan sebagai tarian hiburan dan penyambutan tamu kehormatan yang
datang ke kesunanan kraton Surakarta.

Seiring perkembangan jaman, tari gambyong tidak lagi hanya dikhususkan untuk
masyarakat kraton saja. Tarian ini mulai ditampilkan kembali di segala kalangan
termasuk masyarakat biasa. Tarian ini kemudian dikenal menjadi salah satu tarian
tradisional di Jawa Tengah.

Tarian gambyong memiliki gerakan dasar gerakan kepala dan tangan yang menjadi ciri
khas. Selain itu, tarian ini menonjolkan gerakan kaki, tangan, tubuh dan kepala.
Pandangan mata penari akan mengikuti secara konstan terhadap arah jari tangan seiring
gerakan tangan yang dibuat.
Untuk gerakan kaki, penari akan mengikuti alunan musik secara berirama dan harmonis.
Tari ini menggunakan alunan musik bertempo pelan. Sehingga para penari pun
memperagakan semua gerakan dengan halus, lemah gemulai. Ini menggambarkan sebuah
keindahan dan kelembutan sesosok wanita.

Tari gambyong terdiri dari bagian utama, yaitu maju beksan atau gerakan awal, beksan
atau gerakan utama dan mundur beksan atau gerakan penutup. Para penari pun
diharuskan untuk menunjukkan ekspresi yang lembut nan anggun ketika menari tarian
ini, tidak lupa dengan senyuman yang indah.

Meskipun tari gambyong ini merupakan tari tradisional, tidak sedikit gadis-gadis muda
yang tertarik untuk mempelajarinya.

Mereka merasa terhormat untuk bisa mempelajari warisan tarian khas Surakarta tersebut.
Sehingga di beberapa sanggar tari, tari gambyong memiliki kelas khusus untuk dipelajari.

Tari gambyong terus berkembang dan berinovasi seiring perkembangan jaman. Hal ini
menyebabkan tari ini memiliki beberapa jenis tarian seperti tari gambyong sala minulya,
gambyong ayun-ayun, gambyong dewandaru, gambyong gambirsawit, gambyong
apangkur, gambyong mudhatama dan gambyong campursari.

5. Tari Kecak
Sejarah Tari Kecak

Tari kecak pertama kali diciptakan oleh seorang seniman Bali bernama wayan limbad
pada tahun 1300-an.

Beliau juga yang mempopulerkan tarian ini hingga ke luar negeri dengan bantuan seorang
pelukis asal Jerman bernama Walter Spies.

Tarian ini diciptakan oleh Limbak dan Walter karena terinspirasi dari tradisi Sanghyang
dan bagian-bagian dari kisah Ramayana.

Sejarah nama tari kecak diambil dari ucapan para penari yang meneriakkan kata ” cak cak
cak” , saat pertunjukan tari ini berlangsung.

Selain bunyi – bunyian dari ucapan sang penari, nama tarian ini juga didukung oleh
kerincingan ornamen yang dipakai para penari di pergelangan kaki mereka. Sehingga
terciptalah suara yang khas dengan tarian Kecak.

Sejatinya, gerakan tangan yang dilakukan para penari ini menggambarkan sebuah cerita
Ramayana yaitu pada saat peristiwa penculikan Dewi Shinta oleh Rahwana.

Kisah itu disajikan dalam tarian kecak hingga akhir tarian yang menceritakan
pembebasan Dewi Shinta atas Rahwana.

Hingga saat ini perkembangan tari kecak masih bisa kita saksikan dalam pertunjukan-
pertunjukan yang sering kali diadakan di wisata Pulau Bali.

6. Tari Reog Ponorogo


Sejarah Tari Reog
Sejarah kesenian reog berasal dari cerita rakyat. Ada lima versi cerita yang berkembang
namun yang paling terkenal adalah cerita tentang pemberontakan Ki Ageng Kutu.
Diceritakan bahwa Ki Ageng Kutu yang merupakan seorang abdi kerajaan pada masa
Bhre Kertabumi pada abad ke-15. Ia murka akan pemerintahan sang raja korup yang
dipengaruhi sang istri raja majapahit yang berasal dari cina.

Ia yang meninggalkan sang raja dan mendirikan perguruan bela diri untuk memberontak.
Ia Sadar bahwa pasukannya terlalu kecil untuk melawan pasukan kerajaan, maka ia
membuat pertunjukan seni Reog yang merupakan sindiran kepada raja Kertabumi dan
kerajaannya.

“Singa barong”, raja hutan merupakan Ciri khas dalam pentas reog ini, yang menjadi
simbol untuk Kertabhumi, dan diatasnya ditancapkan bulu-bulu merak seperti kipas yang
menyimbolkan pengaruh kuat para rekan Cinanya yang mengatur dari atas segala gerak-
geriknya.

Simbol kekuatan pasukan Kerajaan Majapahit adalah jatilan yang menjadi perbandingan
kontras dengan kekuatan warok, sementara yang berada dibalik topeng badut merah dan
yang menopang topeng singabarong yang mencapai berat lebih dari 50 kg hanya dengan
menggunakan giginya adalah simbol untuk Ki Ageng Kutu.

7. Tari Kancet Papatai


Sejarah Tari Kancet Papatai

Dalam sejarahnya, tidak diketahui secara pasti kapan tari ini diciptakan. Beragam
pendapat turut mewarnai perihal kapan Kancet Papatai mulai ditarikan. Ada yang
berpendapat bahwa tari ini sudah ada sejak tahun 1948.

Disisi lain, banyak pendapat yang mengatakan bahwa tari ini mulai ditarikan pada kisaran
1970-an. Pada kisaran tahun tersebut (ada yang bilang 1976), Suku Dayak banyak yang
mendiami Apau Kayan yakni kawasan dataran tinggi di hulu Sungai Kayan dan
berbatasan langsung dengan Serawak, Malaysia.

Sayangnya, keragaman Suku Dayak yang ada sering menimbulkan peperangan antar
suku. Oleh karena sering mendapatkan serangan dari suku-suku lain, maka ditarikanlah
Tari Kancet Papatai sebagai simbol kejantanan dan keperkasaan kaum lelaki Kenyah
yang selalu siap bertempur dalam peperangan.

Secara simbolis, tari ini mewakili keberanian mereka yang setiap saat diharuskan untuk
mempertahankan wilayah agar tidak dikuasai oleh negara atau masyarakat lainnya. Selain
pada gerakan, simbol-simbol tersebut juga diperkuat oleh aksesoris yang dikenakan.

Di sisi lain, Suku Dayak Kenyah termasuk masyarakat yang memiliki rasa nasionalisme
yang tinggi. Rasa tersebut membuat mereka terpaksa hijrah demi keinginan untuk tetap
bergabung dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Untuk diketahui, sebelum tahun 1960-an, Suku Apo Kayan dan Kenyah banyak yang
berdomisili di Kutai Barat dan Manilau. Selanjutnya mereka memilih berpindah lantaran
tidak ingin bergabung dengan Malaysia yang menjanjikan harapan taraf ekonomi yang
tinggi.

Sejak saat itu, selama bertahun-tahun mereka menempuh perjalanan dan berpindah-
pindah hanya dengan berjalan kaki. Dalam usaha untuk menyambung hidup, mereka
singgah ditempat-tempat yang dilalui dengan berladang.

Usaha tersebut terus dilakukan hingga pada akhirnya mereka sampai di kawasan
Pampang di Samarinda Utara, sebagian lain ada yang bergerak ke hilir menuju Tanjung
Palas.

Meskipun sering berpindah-pindah, Suku Dayak Kenyah tetap bertahan pada budaya
leluhurnya, seperti bertenun, mengukir, membuat aneka kerajinan tangan, serta tetap
berusaha melestarikan tarian perang mereka, yakni Tari Kancet Papatai.

Tari Kancet Papatai sendiri saat ini semakin populer jika dibandingkan dengan ketika
orang Kenyah masih tinggal di Apau Kayan. Bahkan dikatakan sebagai ikon tari Perang
Kalimantan Timur.

Meskipun begitu, sejak awal, Kancet Papatai tetaplah mewakili keberanian orang Kenyah
dalam kancah peperangan antar suku. Dahulu tari ini menjadi bagian dari pesta
kemenangan.

Di masa sekarang, selain mereka telah mengikuti perkembangan zaman, popularitas tari
ini juga disebabkan oleh keberadaan Desa Pampang sebagai kawasan budaya yang
menjadi obyek wisata andalan Kota Samarinda.

8. Tari Jaipong
Sejarah Tari Jaipong
Sejarah Tari Jaipong mulai lahir melalui proses tangan kreatif dari seorang seniman
bernama H. Suanda sekitar tahun 1976 di Karawang.

Tari Jaipongan merupakan karya seni yang tercipta dengan menggabungkan beberapa
elemen seni tradisional karawang, seperti pencak silat, wayang golek, topeng banjet,
ketuk tilu dan lain-lain.

Di karawang tari jaipongan tumbuh dengan pesat sejak tahun 1976, dengan ditandai
munculnya rekaman jaipongan SUANDA GROUP dengan instrument sederhana, yang
terdiri dari beberapa alat musik seperti gendang, ketuk, kecrek, goong, rebab dan sinden
atau juru kawih.

Secara tak terduga, munculnya tari Jaipongan mendapatkan sambutan hangat dari
masyarakat.

Selanjutnya tari jaipongan menjadi sarana hiburan masyarakat karawang dan juga
memperoleh apresiasi yang cukup hangat dari seluruh masyarakat karawang.

Hal ini menjadi fenomena baru dalam ruang seni budaya karawang, khususnya seni
pertunjukan hiburan rakyat.

Pada saat itu, posisi tari jaipong menjadi alternatif seni pertunjukan dan hiburan dari pada
seni tradisi yang sudah tumbuh dan berkembang lebih dulu di karawang, seperti pencak
silat, topeng banjet, ketuk tilu, tarling dan wayang golek.
Menurut kutipan dari kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata daerah Karawang, Acep
Jamhuri “Jaipong itu asli Karawang yang lahir sejak tahun 1979, yang berasal dari tepak
Topeng.

Setelah itu, tari jaipong dibawa ke Bandung oleh seniman di sana, yaitu Gugum Gumilar.

Tarian ini kemudian dikemas dalam bentuk rekaman dan para seniman dari karawang
dibawa bersama Suwanda ke bandung.

Setelah sukses memperkenalkan tari Jaipong di bandung dan sudah mulai terkenal, yang
bagus malah Bandung.

Karawang hanya dikenal sebagai asal gendangnya atau nayaga (pemain musik).

Pada awalnya tarian Jaipong dibawa ke kota Bandung oleh seorang seniman bernama
Gugum Gumbira, sekitar tahun 1960-an.

Tujuannya adalah untuk mengembangkan tarian asal karawang dikota bandung dan
menciptakan suatu jenis musik dan tarian pergaulan yang dipelajari dari kekayaan seni
tradisi rakyat Nusantara, khususnya Jawa Barat.

Meskipun tari jaipong termasuk kreasi yang relatif baru, namun tari Jaipongan
dikembangkan berdasarkan kesenian rakyat yang sebelumnya sudah berkembang di
tengah masyarakat, seperti Ketuk Tilu, Kliningan, serta Ronggeng.

9. Tari Sekapur sirih


Sejarah Tari Sekapur Sirih

Tari ini merupakan hasil ciptakan dari seniman lokal yang bernama Firdaus Chatap.
Beliau adalah putra daerah yang sangat jenius sehingga dapat menghasilkan karya seni
tari sekapur sirih.

Ketika pertama kali diciptakan, gerakan tarian ini sangat sederhana. Akan tetapi
meskipun gerakannya sederhana, tarian ini memilki makna dalam yang disampaikan oleh
para penari.

Tarian ini mulai dikenalkan dan populer di masyarakat sekitar tahun 1962. Pada saat itu
tarian sengaja dibuat untuk menyambut kedatangan Presiden Republik Indonesia, Bapak
Soeharto dan Ibu Tien.

Selanjutnya tari sekapur sirih mengalami banyak perkembangan dan penyempurnaan,


seperti penambahan iringan musik yang menambah suasana pementasan semakin meriah
dan mampu memberi hiburan kepada tamu-tamu agung.

Pada tahun 1967 gerakan tarian ini ditata ulang oleh OK Hendrik BBA, serta musik
pengiringnya ditata oleh Taralamsyah Saragih dengan memasukkan unsur-unusur lagu
rakyat Jambi, terutama lahu ”Jeruk Purut” yang susunan liriknya dibantu Marzuki Lazim.
Sedangkan pemberi ide atau gagasan dilakukan oleh R.A Rachman. Kemudian pada
tahun 1981, tarian ini kembali mengalami perubahan gerakan karena dianggap kurang
sesuai dengan kebiasaan masyarakt Jambi, seprti gerak memakai stagen, memakai kalung
dan merapikan sanggul. Perubahan tersebut berpengaruh kepada durasi pementasan,
sehingga OK Hendrik menambah gerakan baru, yaitu meramu sirih.

Kemudian pada tahun 1981, tarian ini kembali mengalami perubahan gerakan karena
dianggap kurang sesuai dengan kebiasaan masyarakt Jambi, seprti gerak memakai stagen,
memakai kalung dan merapikan sanggul. Perubahan tersebut berpengaruh kepada durasi
pementasan, sehingga OK Hendrik menambah gerakan baru, yaitu meramu sirih.
10. Tari Topeng Betawi

Sejarah Tari Topeng Betawi


Dalam sejarahnya, kesenian topeng ini pertama kali diciptakan oleh Mak Kinang dan
Kong Djioen pada tahun 1930. Dikatakan bahwa lahirnya kesenian ini terinspirasi oleh
Tari Topeng Cirebon.

Menurut Kartini (1989:1), “tari kedok yang berkembang di wilayah budaya Betawi
pinggiran merupakan penyederhanaan dari tari topeng kecil Cirebon yang biasa terdiri
dari enam sampai delapan topeng“. Oleh karena itu, nama-nama topeng yang digunakan
sebagian ada kesamaan, seperti Topeng Panji dan Samba.

Ketika merujuk pada apa yang dikatakan Yahya Andi Saputra (2009:39), seiring
perkembangan ada beberapa jenis tarian yang termasuk dalam rumpun Topeng Betawi.
Beberapa variasi tersebut termasuk Lipet Gandes, Topeng Tunggal, Enjot-enjotan, Gegot,
Topeng Cantik, Topeng Putri, Topeng Ekspresi, Kang Aji, dan lain-lain.

Ada juga beberapa tari kreasi baru yang terinspirasi dari Tari Topeng, diantaranya
Ngarojeng, Doger Amprok, Gitek Balen, Kembang Lambang Sari, Nanak Ganjen dan
Topeng Sengget.

Anda mungkin juga menyukai