STATUS PASIEN
2.2 Anamnesis
Anamnesis dilakukan secara alloanamnesis kepada Ibu pasien pada hari Kamis 28 April
2018.
Keluhan Utama:
Kejang sejak 1 jam SMRS
Riwayat Pengobatan:
Tidak pernah mengkonsumsi obat-obatan jangka panjang
Riwayat Alergi:
Pasien tidak ada alergi obat, makanan, cuaca dan debu
Riwayat Psikososial:
Pasien tinggal dirumah sederhana bersama kedua orangtua. Kondisi lingkungan rumah
ramai penduduk, jarak antar rumah berdekatan. Lingkungan bersih. Sumber air bersih
dari PAM, terjapat jamban bersih, dan sumber air bersih dari air isi ulang.
Riwayat Kehamilan :
Os merupakan anak pertama, periksa kehamilan rutin ke bidan, tidak ada riwayat
trauma/infeksi atau penyulit selama kehamilan. Tekanan darah ibu dinyatakan normal.
Perkembangan kehamilan normal.
Riwayat Kelahiran :
An. Lahir secara spontan pervaginam
Langsung menangis, sianosis (-), dan tidak ada komplikasi lain
BB lahir = 3300 gram
PB lahir = 50 cm
3
Riwayat pemberian makanan :
- Pasien mendapatkan ASI ekslusif sampai saat ini.
Riwayat Imunisasi :
- Hepatitis B : 1 kali saat lahir
- BCG : 1 kali usia 2 bulan
- DPT : 1 kali usia 2 bulan
- Polio : 1 kali usia 2 bulan
Kesan: Imunisasi belum lengkap
Status Antropometri :
BB : 7,3 kg
TB : 65 cm
BB/U : 7,3/6,4 x 100% = 114% (BB normal)
TB/U : 65/63 x 100% = 103 % (TB normal)
BB/TB : 7,3/7,1 x 100% = 102% (normal)
Kesan : Gizi baik
Status Generalis :
Kepala : Normochepal, Ubun-ubun sudah tertutup, Rambut
Hitam, Tidak mudah dicabut.
Mata : Mata cekung (-/-), Konjungtiva Anemis (-/-),
Sklera Ikterik (-/-),Edema palpebra (-/-)
Hidung : Normonasi, Epitaksis (-/-), Penafasan cuping
hidung (-/-), sekret (-/-) warna bening
Telinga : Normotia, Sekret (-/-), Darah (-/-)
Mulut : Mukosa bibir lembab, lidah kotor (-) Perdarahan
gusi (-), stomatitis (-)
Tenggorok: Faring hiperemis (+), Tonsil (T1/T1),
permukaan tonsil licin
Leher : KGB (-), Pembesaran Tiroid (-)
Paru-Paru
Inspeksi : Terlihat pergerakan dinding thorax yang
simetris, retraksi (-)
Palpasi : Tidak ada bagian dinding thorax yang
tertinggal, vocal fremitus simetris
Perkusi : Terdengar sonor di seluruh lapang paru
5
Auskultasi : vesikuler (+/+), wheezing (-/-), ronkhi (-/-)
Jantung
Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : Ictus cordis tidak teraba
Perkusi : Batas atas = ICS II linea parasternal
sinistra
Batas kanan = ICS IV linea parasternal
dextra
Batas kiri = ICS IV linea midclavicula
sinistra
Auskultasi : BJ 1 & 2 reguler, murmur (-), gallop (-)
Abdomen
Inspeksi : permukaan datar
Auskultasi : BU (+) normal
Perkusi : Timpani pada seluruh lapang abdomen
Palpasi : nyeri tekan (-), turgor kembali cepat,
hepatomegali (-), spleenomegali (-)
Ekstremitas atas
Akral : hangat
Edema : -/-
Sianosis : -/-
RCT : <2 detik
Ekstremitas bawah
Akral : hangat
Edema : -/-
Sianosis : -/-
RCT : <2 detik
Genitalia: Tidak ada fimosis, tidak ada tanda-tanda
peradangan
Status Neurologis :
Refleks fisiologis : Biceps ++/++
6
Triceps ++/++
Patella ++/++
Achilles ++/++
Refleks Patologis : (-)
Tanda Rangsang Meningeal : kaku kuduk (-)
Kernig sign (-)
Lasegue sign (-)
Brudzinki 1 (-)
Brudzinki 2 (-)
HEMATOLOGI LENGKAP
MCV 80 80-94
DIFFERENTIAL
7
ABSOLUT
KIMIA KLINIK
2.5 Resume
Os datang dengan keluhan kejang 1 jam SMRS. Ibu mengatakan bahwa anaknya kejang
1 kali. Dimana kejang yang dialami +2 menit seluruh tubuh, mata mendelik ke atas tanpa
adanya kebiruan pada seluruh tubuh. Setelah kejang berhenti anak langsung menangis
spontan dan seperti keadaan biasa kembali. Sebelum mengalami kejang pasien mengalami
demam sejak 3 hari SMRS. Demam tinggi 39,6 oC sudah diberi obat penurun panas namun
suhunya tidak turun. Keluhan ini juga disertai dengan batuk pilek 5 hari SMRS. Os sudah
berobat ke klinik untuk mengobati batuk pileknya dan diberikan obat batuk, namun batuk dan
pilek yang dirasakan belum membaik. Tanda vital (nadi : 137x/mnt, p : 42 x/mnt, s : 370oC),
pemeriksaan fisik tampak faring hiperemis. Pemeriksaan laboraorium (leukosit : 16.100)
8
2.8 Tatalaksana
- IVFD D 1-4 : 30 tpm
- O2 1-2 lt/mnt
- Cefotaxime 2x 365 mg
- Diazepam 3,6 mg (b/k)
- Paracetamol 4 x 0,7 cc (b/p)
2.9 Follow up
Tanggal S O A P
28/04/2018 - Kejang (-) KU: Tampak sakit sedang KDS Inf D 1-4
dengan
- Demam (-) Kesadaran: Composmentis ISPA Cefotaxime
2x365 mg
- Batuk (+) HR: 133 x/m
O2 1-2 lt/mnt
- Pilek (+) RR: 42 x/m
Diazepam 3,6
- BAB dan BAK S: 36,9o C mg
dalam batas normal
Faring hiperemis (+),
Sekret (+/+)
30/04/2018 - Kejang (-) KU: Tampak sakit sedang KDS Inf D 1-4
Sekret (+/+)
Tanggal 28/4/2018
URINE RUTIN Hasil Nilai rujukan
9
KIMIA URINE
pH 8.0 4.6-8.0
MIKROSKOPIK
Epitel 0-1
Tanggal 28/4/2018
MAKROSKOPIS FESES
10
Darah Negative Negative
MIKROSKOPIS FESES
2.10 Prognosis
11
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1 DEFINISI
Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi pada anak berumur 6 bulan
sampai 5 tahun yang mengalami kenaikan suhu tubuh (suhu di atas 38 0C, dengan metode
pengukuran suhu apa pun) yang tidak disebabkan oleh proses intrakranial.
Keterangan :
1. Kejang terjadi karena kenaikan suhu tubuh, bukan karena gangguan elektrolit atau
metabolik lainnya
2. Bila ada riwayat kejang tanpa demam sebelumnya maka tidak disebut sebagai kejang
demam
3. Anak berumur antara 1-6 bulan masih dapat mengalami kejang demam, namun jarang
sekali. National Institute of Health (1980) menggunakan batasan lebih dari 3 bulan,
sedangkan Nelson dan Ellenburg (1978), serta International League of Epilepsy (1993)
menggunakan batasan usia lebih dari 1 bulan. Bila anak berumur kurang dari 6 bulan
12
mengalami kejang didahului demam, pikirkan kemungkinan lain, terutama infeksi
susunan saraf pusat.
Pada kasus, pasien mengalami kejang disertai dengan kenaikan suhu 39,60C (pengukuran
axilla) dan tidak disebabkan karena proses intrakranial
3.2 EPIDEMIOLOGI
Kejang demam terjadi pada 2-4% populasi anak usia 6 bulan – 5 tahun. Kejang
demam tidak berhubungan dengan adanya kerusakan otak dan hanya sebagian kecil saja
yang akan berkembang menjadi epilepsi. Insiden kejang demam 2,2-5% pada anak dibawah
usia 5 tahun. Anak laki-laki lebih sering dari pada perempuan dengan perbandingan 1,2-1,6 :
1.
Pada kasus, usia pasien berada pada populasi anak yang memungkinkan terjadi kejang
demam yakni usia 3 tahun 8 bulan dan pasien berjenis kelamin laki-laki dimana laki-laki
lebih sering terkena kejang demam.
3.3 ETIOLOGI
Kejang disertai demam dapat disebabkan oleh infeksi susunan saraf (meningitis,
ensefalitis, atau abses otak), epilepsi yang belum terdiagnosis yang dicetuskan oleh demam,
atau kejang demam sederhana.Yang disebutkan terakhir merupakan predisposisi genetik
terhadap kejang dicetuskan oleh demam yang sering didapatkan pada anak berusia 6 bulan
sampai 6 tahun. Keadaan ini terjadi pada 2% sampai 4% anak; sebagian besar antara usia 1
sampai 2 tahun (usia rata-rata 22 bulan).
Semua jenis infeksi yang bersumber di luar susunan saraf pusat yang menimbulkan
demam dapat menyebabkan kejang demam, misalnya tonsilitis (peradangan pada amandel),
infeksi pada telinga, dan infeksi saluran pernafasan lainnya. Penyakit yang paling sering
menimbulkan kejang demam adalah infeksi saluran pernapasan akut, otitis media akut,
pneumonia, gastroenteritis akut, bronchitis, dan infeksi saluran kemih.
Pada kasus, pasien mengeluhkan gejala infeksi saluran pernafasan akut yakni batuk dan
pilek, hal ini dapat menjadi peyebab terjadinya kejang demam.
3.4 KLASIFIKASI
13
Kejang demam dibagi atas :
Kejang demam sederhana (simple febrile seizure)
Kejang demam yang bersifat umum (bangkitan kejang tonik – klonik), tanpa
gerakan fokal, berlangsung singkat (< 15 menit), dan hanya sekali / tidak berulang
dalam 24 jam.Sebanyak 80 – 90% diantara seluruh kejang demam merupakan kejang
demam sederhana.
Kejang demam kompleks (complex febrile seizure)
Kejang demam fokal atau parsial satu sisi, atau kejang umum didahului
kejang parsial, berlangsung lama (> 15 menit),dan kejang berulang dalam 24 jam.
Anak biasanya berusia antara 6 bulan sampai 3 tahun dan tersering pada usia 18
bulan. Bila kejang demam berlangsung terus sampai usia di atas 6 tahun atau pernah
mengalami kejang tanpa demam baik tonik klonik, mioklonik, absens atau atonik,
maka diklasifikasikan sebagai Generalized epilepsy with seizure plus (GEFS+).
Pada kasus, pasien mengalami kejang yang berlangsung 1x, bersifat umum dengan durasi ±
8 menit
3.6 PATOFISIOLOGI
Untuk mempertahankan kelangsungan hidup sel atau organ otak diperlukan suatu
energi, yang di dapat dari metabolisme. Bahan baku untuk metabolisme otak yang terpenting
adalah glukosa. Sifat proses itu adalah oksidasi dimana oksigen disediakan dengan perantara
fungsi paru – paru dan diteruskan ke otak melalui sistem kardiovaskular. Jadi sumber energi
otak adalah glukosa yang melalui proses oksidasi dipecah menjadi CO2 dan air.
Sel dikelilingi oleh suatu membran yang terdiri dari permukaan dalam adalah limpoid
dan permukaan luar adalah ionik. Dalam keadaan normal membran sel neuron dapat dilalui
dengan mudah oleh kalium ( K+) dan sangat sulit dilalui oleh ion Natrium ( Na+) dan
elektrolit lainnya. Akibatnya konsentrasi K+ dalam sel neuron tinggi dan konsentrasi Na+
rendah, sedangkan diluar sel neuron terdapat keadaan sebaliknya. Karena perbedaan jenis
dan konsentrasi ion didalam dan diluar sel, maka terdapat perbedaan potensial yang disebut
potensial membran dari sel neuron. Untuk menjaga keseimbangan potensial membran ini
diperlukan energi dan bantuan enzim Na– K – ATPase yang terdapat pada permukaan sel.
Keseimbangan potensial membran ini dapat dirubah oleh adanya:
15
1. Perubahan ion diruang ekstraseluler
2. Ragsangan yang datangnya mendadak misalnya mekanis, kimiawi atau aliran listrik
dari sekitarnya.
3. Perubahan patofisiologi dari membran sendiri karena penyakit atau keturunan.
Pada keadaan demam kenaikan suhu 1o C akan mengakibatkan kenaikan metabolisme basal
10% - 15% dan kebutuhan oksigen akan meningkat 20%. Pada seorang anak berumur 3
tahun sirkulasi otak mencapai 65% dari seluruh tubuh, dibandingkan dengan orang dewasa
yang hanya 15%. Jadi pada kenaikan suhu tubuh tertentu dapat terjadi perubahan
keseimbangan dari membran sel neuron dan dalam waktu yang singkat terjadi difusi dari ion
kalium maupun ion natrium melalui membran tadi, dengan akibat terjadi lepas muatan
listrik. Lepas muatan listrik ini demikian besarnya sehingga dapat meluas ke seluruh sel
maupun ke membran sel tetangganya dengan bantuan bahan yang disebut neurotrasmitter
dan terjadilah kejang.
Tiap anak mempunyai ambang kejang yang berbeda dan tergantung tinggi rendahnya
ambang kejang seeorang anak menderita kejang pada kenaikan suhu tertentu. Pada anak
dengan ambang kejang yang rendah, kejang telah terjadi pada suhu 38°C sedangkan pada
anak dengan ambang kejang yang tinggi, kejang baru terjadi pada suhu 40°C atau lebih. Dari
kenyataan inilah dapatlah disimpulkan bahwa terulangnya kejang demam lebih sering terjadi
pada ambang kejang yang rendah sehingga dalam penanggulangannya perlu diperhatikan
pada tingkat suhu berapa penderita kejang.
Kejang demam yang berlangsung singkat pada umumnya tidak berbahaya dan tidak
menimbulkan gejala sisa. Tetapi pada kejang yang berlangsung lama (lebih dari 15 menit)
biasanya disertai terjadinya apnea, meningkatnya kebutuhan oksigen dan energi untuk
kontraksi otot skelet yang akhirnya terjadi hipoksemia, hiperkapnia, asidosis laktat
disebabkan oleh metabolisme anaerobik, hipotensi arterial disertai denyut jantung yang tidak
teratur dan suhu tubuh makin meningkatnya aktifitas otot dan selanjutnya menyebabkan
metabolisme otak meningkat. Rangkaian kejadian di atas adalah faktor penyebab hingga
terjadinya kerusakan neuron otak selama berlangsungnya kejang lama.
Faktor terpenting adalah gangguan peredaran darah yang mengakibatkan hipoksia
sehingga meninggikan permeabilitas kapiler dan timbul edema otak yang mengakibatkan
kerusakan sel neuron otak.Kerusakan pada daerah mesial lobus temporalis setelah mendapat
16
serangan kejang yang berlangsung lama dapat menjadi “matang” di kemudian hari, sehingga
terjadi serangan epilepsi yang spontan.Jadi kejang demam yang berlangsung lama dapat
menyebabkan kelainan anatomis di otak hingga terjadi epilepsi.
3.8 DIAGNOSIS
Beberapa hal dapat mengarahkan untuk dapat menentukan diagnosis kejang demam
antara lain :
Anamnesis
Adanya kejang, jenis kejang, kesadaran, lama kejang, frekuensi dalam 24 jam,
interval, keadaan anak pasca kejang.
Suhu sebelum dan saat kejang
Lama timbulnya dari demam ke kejang
Penyebab demam di luar infeksi SSP ( gejala infeksi saluran napas akut/ ISPA,
infeksi saluran kemih/ ISK, otitis media akut/ OMA, dll.)
Riwayat perkembangan, riwayat kejang demam dan epilepsi dalam keluarga
17
Singkirkan penyebab kejang yang lain (misalnya diare/ muntah yang
mengakibatkan gangguan elektrolit, sesak yang mengakibatkan hipoksemia,
asupan kurang yang dapat menyebabkan hipoglikemia)
Gambaran Klinis, yang dapat dijumpai pada os kejang demam adalah:
Suhu tubuh mencapai 39°C.
Anak sering kehilangan kesadaran saat kejang.
Kepala anak sering terlempar keatas, mata mendelik, tungkai dan lengan mulai
kaku, bagian tubuh anak menjadi berguncang. Gejala kejang tergantung pada jenis
kejang.
Kulit pucat dan mungkin menjadi biru.
Serangan terjadi beberapa menit setelah anak itu sadar.
Pemeriksaan Fisik
Kesadaran: Apakah terdapat penurunan kesadaran, suhu tubuh : apakah terdapat
demam.
Tanda rangsang meningeal: Kaku kuduk, Bruzinski I dan II, Kernique, Laseque.
Pemeriksaan nervus kranialis
Tanda peningkatan tekanan intrakranial: ubun–ubun besar (UUB) memnonjol, papil
edema.
Tanda infeksi di luar SSP : ISPA, OMA, ISK, dll.
Pemeriksaan neurologis : tonus, motorik, reflex fisiologis, reflex patologis.
Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan Laboratorium
Dilakukan sesuai indikasi untuk mencari penyebab demam atau kejang. Pemeriksaan
dapat meliputi darah perifer lengkap, gula darah, elektrolit, urinalisis dan biakan
darah, urin atau feses.
b. Pungsi Lumbal
Pemeriksaan cairan serebrospinal dilakukan untuk menegakkan/menyingkirkan
kemungkinan meningitis. Pada bayi kecil seringkali sulit untuk menegakkan atau
menyingkirkan diagnosis meningitis karena manifestasi klinisnya tidak jelas. Jika
18
yakin bukan meningitis secara klinis tidak perlu dilakukan pungsi lumbal. Indikasi
pungsi lumbal :
Terdapat tanda dan gejala rangsang meningeal
Terdapat kecurigaan adanya infeksi SSP berdasarkan anamnesis dan
pemeriksaan klinis
Dipertimbangkan pada anak dengan kejang disertai demam yang sebelumnya
telah mendapat antibiotik dan antibiotik tersebut dapat mengaburkan tanda dan
gejala meningitis.
3.9 PENATALAKSANAAN
19
Biasanya kejang demam berlangsung singat dan pada waktu os datang kejang sudah
berhenti.Apabila datang dalam keadaan kejang, obat yang paling cepat untuk menghentikan
kejang adalah diazepam yang diberikan secara intravena. Dosis diazepam intravena adalah
0,2-0,5 mg/kg perlahan-lahan dengan kecepatan 12 mg/menit atau dalam waktu 3-5 menit,
dengan dosis maksimal 10 mg.
Obat yang praktis dan dapat diberikan oleh orangtua atau di rumah adalah diazepam
rektal. Dosis diazepam rektal adalah 0,5-0,75 mg/kg atau diazepam rektal 5 mg untuk anak
dengan berat badan kurang dari 12 kg dan 10 mg untuk berat badan lebih dari 12 kg.Bila
setelah pemberian diazepam rektal kejang belum berhenti, dapat diulang lagi dengan cara
dan dosis yang sama dengan interval waktu 5 menit.
Bila setelah 2 kali pemberian diazepam rektal masih tetap kejang, dianjurkan ke
rumah sakit, lanjut tata laksana status epileptikus. Di rumah sakit dapat diberikan diazepam
intravena dengan dosis 0,3-0,5 mg/kg.
Bila kejang tetap belum berhenti, berikan fenitoin secara intravena dengan dosis awal
10-20 mg/kg/kali dengan kecepatan 1mg/kg/menit atau kurang dari 50 mg/menit. Bila
kejang berhenti dosis selanjutnya adalah 48 mg/kg/hari, dimulai 12 jam setelah dosis awal.
Bila dengan fenitoin kejang belum berhenti, maka os harus dirawat di ruang rawat
intensif.Bila kejang telah berhenti, pemberian obat selanjutnya tergantung dari jenis kejang
demam, apakah kejang demam sederhana atau kompleks dan faktor risikonya.
Antikonvulsan rumat
Berdasarkan bukti ilmiah bahwa kejang demam tidak berbahaya dan penggunaan
obat dapat menyebabkan efek samping yang tidak diinginkan, maka pengobatan rumat
hanya diberikan terhadap kasus selektif dalam jangka pendek. Indikasi pengobatan
rumat :
1. Kejang fokal
2. Kejang lama > 15 menit
3. Terdapat kelainan neurologis yang nyata sebelum atau sesudah kejang, misalnya
palsi serebral, hidrosefalus, hemiparesis.
Pemberian obat fenobarbital atau asam valproat setiap hari efektif dalam
menurunkan risiko berulangnya kejang. Namun, pemakaian fenobarbital setiap hari dapat
menimbulkan gangguan perilaku dan kesulitan belajar pada 40-50% kasus. Obat pilihan
saat ini adalah asam valproat. Pada sebagian kecil kasusm terutama yang berumur kurang
dari 2 tahun, asam valproat dapat menyebabkan gangguan fungsi hati. Dosis asam
valproat adalah 3-4 mg/kg/hari dalam 1-2 dosis. Pengobatan dilakukan selama 1 tahun,
penghentian pengobatan rumat untuk kejang demam tidak membutuhkan tapering off,
namun dilakukan pada saat anak sedang tidak demam.
21
Gambar 3.1 Algoritma tata laksana kejang akut dan status epileptikus
22
5. Pemberian obat untuk mencegah rekurensi memang efektif tetapi harus diingat adanya
efek samping obat.
3.11 PROGNOSIS
Dengan penanggulangan yang tepat dan cepat, prognosisnya baik dan tidak
menyebabkan kematian. Frekuensi berulangnya kejang berkisar antara 25-50%, umumnya
terjadi pada 6 bulan pertama. Risiko untuk mendapatkan epilepsi rendah.
23