Anda di halaman 1dari 4

HBA

Alam Galaxy - Ravenala Gallery, Jalan Alam Sambi


Asri Barat 1/2 - Blok D2-A7, Kelurahan/Kecamatan
Sambikerep – 60217, Kota Surabaya – Jawa Timur.
031 – 7425466, 08121652894, 08113337243.
e-mail : adjieku61@gmail.com
HABIB ADJIE
PENDIRIAN PT/CV OLEH SUAMI-ISTERI :
BOLEHKAH SUAMI-ISTERI MENDIRIKAN CV/PT ?

Habib Adjie
(Program Studi Magister Kenotariatan
Fakultas Hukum Universitas Narotama (Unnar) Surabaya)

e-mail : adjieku61@gmail.com

• Ketika datang seorang lelaki dan seorang wanita ke kantor Notaris, setelah kita
ajak bicara atau mengutarakan maksudnya ternyata akan mendirikan
perseroan komanditer (C.V.) atau perseroan terbatas (P.T.), dan juga ternyata
mereka mengaku sebagai suami-isteri, bagaimanakah keputusan yang akan
diambil Notaris berkaitan dengan hal tersebut ?
• Dalam praktek Notaris mengenai suami dan isteri yang mendirikan C.V. ataupun
yang mendirikan dan selaku pemegang saham dalam P.T, ada 3 (tiga)
pendapat atau sikap, yaitu :
1. Ada Notaris yang tidak pernah sama sekali melayani atau menolak
pendirian C.V. atau P.T, yang pendirinya suami-isteri jika tanpa ada
perjanjian perkawinan diantara suami-isteri.
2. Ada Notaris melayani pendirian C.V. atau P.T. yang pendirinya suami-isteri
dengan syarat memasukkan pihak ketiga atau lebih sebagai pendiri atau
sebagai pemegang saham dalam perseroan tersebut.
3. Notaris melayani pendirian C.V. atau P.T. yang pendirinya suami-isteri
meskipun tidak ada perjanjian perkawinan diantara suami-isteri tersebut
atau tidak perlu memasukkan pihak ketiga atau lebih.
• Atas ketiga sikap tersebut yang menyebutkan secara tegas yang melarang atau
membolehkan tidak ada pengaturannya secara tegas dalam peraturan
perundang-undangan yang ada, tapi hanya merupakan penafsiran saja atau
kebiasaan para Notaris saja terdahulu yang kemudian dan terus-menerus diikuti
para Notaris sampai sekarang, mungkin bahkan yang akan datang, sehingga
bisa saja kita mengatakan ketiga sikap tersebut menjadi sesuatu yang benar,
sepanjang konsisten dengan sikap tersebut, dengan catatan tidak menyalahkan
sikap yang lainnya yang berbeda satu dengan yang lainnya.
• Substansi tulisan ini mencoba mengkaji secara singkat, dengan cara
merelasikan hubungan hukum dengan menafsirkan peraturan perundang-
undangan yang ada, misalnya mengenai perjanjian perkawinan, harta bersama
(gono-gini) dalam perkawinan.
• Terhadap sikap yang pertama, ada Notaris dalam menjalankan tugas
jabatannya, menolak melayani masyarakat untuk membuat akta Perseroan
Komanditer (C.V.), dan Perseroan Terbatas (P.T.). jika para pendirinya suami-
isteri dan mereka tidak pernah atau tidak membuat perjanjian perkawinan.
Sikap seperti didasari oleh suatu pengertian atau pemahaman bahwa jika
suami-isteri (sebagai subjek hukum) tidak membuat perjanjian pisah harta,
maka dalam perkawinan mereka terjadi persatuan harta sepenuhnya yang
terikat dan dianggap satu subjek hukum, artinya segala tindakkan hukum yang
akan dilakukan oleh suami atau isteri wajib saling memberikan persetujuan.
Sedangkan dalam hal ini, bahwa C.V. atau P.T. didirikan berdasarkan perjanjian
yang didirikan oleh dua orang atau lebih dan masing-masing pendiri harus
menyisihkan harta kekayaannya sebagai kekayaan awal C.V. atau P.T.
tersebut. Dengan tidak adanya perjanjian perkawinan maka tidak ada
pemisahan yang tegas, mana harta suami dan mana harta isteri.
• Notaris yang mengambil sikap yang pertama ini harus konsisten, bukan hanya
tidak melayani pendirian pertama kali saja, tapi juga jangan melayani
perubahan-perubahan apapun yang dilakukan C.V. atau P.T. termasuk
misalnya ada C.V. atau P.T, yang mendapat kucuran kredit dari sebuah bank,
ketika diteliti ternyata pendiri atau pemegang sahamnya suami isteri, atau ketika
P.T. akan menjual atau membeli sebidang tanah, maka Notaris yang
bersangkutan harus konsisten untuk tidak melayaninya. Tapi juga dalam
praktek, tidak hanya menerima pembuatan pertama kali, tapi akan melayani
perubahan apapun, dengan alasan pendirian pertama kali dibuat oleh Notaris
lain. Sikap tidak menerima pendirian pertama kali, tapi menerima perubahan
apapun, jika pendirian pertama kalinya dibuat Notaris lain, hal ini menunjukkan
ketidak konsistenan Notaris yang bersangkutan, yang secara diam-diam dapat
dikualifikasikan setuju dengan pendapat yang ketiga.
• Terhadap sikap yang nomor 2 (dua) pun perlu dikaji lebih jauh, artinya
meskipun memasukkan pihak ketiga atau lebih, apakah kemudian secara serta
merta terjadi pemisahan harta suami dan isteri yang bersangkutan ? Bahkan
tidak ada pengaruh apa-apa terhadap harta suami-isteri tersebut, tetap saja
terjadi persatuan harta benda perkawinan.
• Demikian pula dengan sikap yang ketiga, ada atau tidak perjanjian perkawinan,
ada atau pihak ketiga masuk sebagai pendiri, sepanjang pendiri dua orang
meskipun itu suami-isteri tetap dilayani dalam membuat C,V. atau P.T. dengan
alasan bahwa C.V. atau P.T. adalah perjanjian dua orang atau lebih dan suami-
isteri tersebut sebagai subjek hukum yang hak dan kewajiban menurut hukum.
Bahkan dalam pendirian P.T. Kementerian Hukum dan HAM RI – SABH tidak
pernah mempersoalkan pendirinya suami-isteri atau bukan, kebadanhukuman
P.T. yang bersangkutan tetap disahkan.
• Adanya sikap atau keputusan yang berbeda tersebut, secara langsung dapat
membingungkan masyarakat yang akan mendirikan C.V. atau P.T. yang
pendirinya suami isteri. Masyarakat akan menilai, ternyata, misalnya Notaris
dalam satu wilayah jabatan yang sama, akan mempunyai sikap yang berbeda
terhadap pendirian C.V. atau P.T. yang pendirinya suami isteri.
• Jika kita ingin mengatakan dan menyatakan bahwa sikap pertama atau kedua
yang benar menurut hukum, maka siapakah atau lembaga mana yang harus
menegakkan kedua sikap tersebut, sementara pada sisi yang lain ada Notaris
yang mengambil sikap yang ketiga, jika sikap ketiga yang diambil dan salah
menurut hukum, maka siapakah atau lembaga mana yang harus menilai bahwa
sikap yang ketiga tersebut salah ? Sudah Notaris yang satu dengan Notaris
yang lain tidak punya kewenangan untuk mengklaim bahwa sikap dirinya yang
benar menurut hukum, karena ketiga sikap tersebut berada pada area abu-abu,
yaitu pada area penafsiran hukum yang dilakukan oleh Notaris yang
bersangkutan dan tidak berdasarkan pada legal normatif yang jelas dan tegas.
• Atas ketiga sikap yang berbeda tersebut harus ada kejelasan, apakah sikap

1
pertama dan kedua yang dibenarkan dan sikap yang ketiga tidak benar menurut
hukum. Sudah tentu penegasan atas sikap-sikap atau pendapat tersebut harus
disertai dengan sanksi yang jelas dan tegas jika ada yang melanggarnya dari
lembaga yang diberi kewenangan untuk hal tersebut.
• Bahwa ketiga sikap tersebut sudah mendarah daging dalam praktek Notaris,
bahkan Notaris yang datang kemudian mengikuti apa adanya atau copy paste
saja, tanpa mengkaji terlebih dahulu ada atau tidak ada aturan hukum yang
dapat dijadikan dasar untuk melakukan penafsiran. Dan tidak ada larangan
untuk mengambil salah satu sikap tersebut, yang penting Notaris yang
bersangkutan konsekuen dan konsisten dengan sikap yang diambilnya tersebut.
• Dalam kaitan ini perlu dipahami mengenai sikap yang pertama bahwa sejak
awal memang sudah dibuat perjanjian perkawinan dan ada pemisahan harta
benda perkawinan, sehingga tidak dipermasalah lebih jauh, tapi mengenai sikap
yang kedua, apakah dengan memasukkan pihak ketiga atau lebih secara serta
merta bagi suami isteri tersebut telah terjadi atau timbul secara tegas
pemisahan harta bersama dalam perkawinan ? Bahwa pemisahan harta
bersama perkawinan harus dinyatakan secara tegas dalam akta tersendiri dan
harus dibuat sebelum perkawinan dilangsungkan dan didaftarkan pada Kantor
Urusan Agama (KUA) setempat untuk yang beragama Islam atau Kantor
Catatan Sipil setempat. Berdasarkan alasan tersebut tidak bisa dengan
memasukkan pihak ketiga atau lebih telah terjadi pemisahan harta bersama
perkawinan, karena tindakkan hukum tersebut harus dinyatakan secara tegas
dalam akta tersendiri.
• Terhadap sikap yang kedua ini perlu diberikan catatan tersendiri, jika ternyata
pihak ketiga atau lebih yang dimasukkan sebagai pendiri tadi, ternyata
kemudian keluar atau mengundurkan diri (dalam C.V.) tanpa ada penggantinya
atau saham (dalam P.T.) yang dia miliki jual kepada suami atau isteri tersebut,
bukankah kedudukan hukumnya menjadi sama dengan mendirikan C.V. dan
P.T. tadi tanpa adanya perjanjian perkawinan atau pada akhirnya sama saja
kedudukan hukumnya dengan sikap yang ketiga ?
• Beragamnya sikap Notaris tersebut sudah tentu harus ada ketegasan dari
komunitas Notaris sendiri, apakah sepakat akan menentukan sikap yang
pertama dan kedua saja yang benar menurut, yang ketiga tidak benar menurut
hukum, dan sudah tentu harus ada ketegasan jika ternyata ada Notaris
mengambil sikap yang ketiga. Sudah tentu pula sangat tidak mungkin untuk
melakukan tindakkan hukum seperti itu, karena ketiga sikap tersebut sudah
merupakan Living Law (hukum yang hidup) dalam praktek Notaris dan secara
hukum jarang yang mempermasalahkannya, misalnya dengan membawanya ke
ranah pengadilan.
• Menyikapi ketiga sikap tersebut, seharusnya kita para Notaris memperkenalkan
teori baru, bahwa suami-isteri boleh saja mendirikan C.V. atau P.T. tanpa perlu
mempersoalkan ada atau tidak ada perjanjian kawin atau tanpa memasukkan
pihak lainnya. Teori ini perlu dibuat agar sikap yang ketiga ini setara dengan
sikap yang pertama atau kedua, artinya dibenarkan menurut hukum, dalam hal
ini dengan melakukan penafsiran hukum.
• Ketika suami isteri mendirikan C.V. atau P.T. dan modal para pendiri tercantum
dalam pembukuan C.V. yang bersangkutan dan untuk P.T. tercantum dalam
anggaran dasarnya dengan jumlah yang sudah ditentukan besarnya, maka
pada saat itu dapat saja ”dianggap” suami isteri tersebut telah memisahkan
sebagian harta bersama menjadi milik masing-masing sebagai modal dari C.V.
atau P.T. yang mereka dirikan.

2
• Bahwa suami isteri tersebut dianggap telah memisahkan sebagian harta
bersamanya tersebut akan berlangsung sampai dengan mereka bercerai atau
salah satu atau keduanya meninggal dunia sehingga terjadi pewarisan. Kenapa
harus ada batasan sampai mereka bercerai ? Hal ini dikaitkan dengan suami
atau isteri atas harta bersama perkawinan jika mereka bercerai, yaitu suami
atau isteri masing-masing berhak setengah dari harta bersama tersebut.
Sehingga sejumlah modal yang telah mereka sisihkan sebagai modal C.V. atau
P.T. sebagai bagian dari harta bersama tersebut yang telah mereka ambil
diawal. Jika ternyata setelah mereka bercerai terjadi pembagian yang tidak
sama, maka antar suami isteri harus memotong bagiannya, agar pada akhirnya
menjadi bagian yang sama besar dari harta bersama perkawinan setelah
perceraian tersebut. Demikian pula jika suami atau isteri meninggal dunia,
suami atau isteri berhak atas setengah dari harta bersama ditambah haknya
dari harta warisan suami atau isteri.
• Teori tersebut, saya namakan Teori Anggapan (atau Teori Habib Adjie saja),
bagi Notaris yang mengambil sikap yang pertama dan atau yang kedua sudah
pasti tidak akan setuju atau berpikir berkali-kali untuk menyatakan tidak setuju,
dan teori ini tidak bermaksud untuk merubah sikap dan pikiran Notaris yang
telah mengambil keputusan terhadap sikap yang pertama dan atau yang kedua,
tapi teori ini akan memberikan pengertian dan pemahaman bahwa suami dan
isteri tanpa perlu ada perjanjian perkawinan dan tanpa perlu memasukkan pihak
ketiga atau lebih ke dalam pendirian tersebut, bisa mendirikan C.V. atau P.T.
dengan alasan sebagaimana tersebut di atas.
• Pembentukan teori dalam bidang kenotariatan atau Hukum Kenotariatan
bagaikan Snowball yang makin lama makin membesar untuk kemudian menjadi
sebuah teori yang ajeg. Makin lama makin besar banyak yang sependapat atau
yang tidak sependapat akan berjalan sesuai dengan praktek Notaris. Praktek
dari dunia Notaris dan pengalaman para Notaris dapat melahirkan teori baru
seperti tersebut di atas.
• Dalam praktek Notaris, sering dilakukan pendirian perseroan terbatas dengan
pemegang saham suami-isteri saja, dan diantara suami-isteri tersebut tanpa
ada Perjanjian Perkawinan berupa pisah harta, sehingga diantara mereka tidak
jelas, apakah yang disetorkan tersebut berasal dari harta gono-gini atau bukan,
padahal prinsip perseroan terbatas harus ada. pemisahan yang tegas antara
harta perseroan dan harta pribadi para pemegang saham. Dalam kaitan ini perlu
dikembangkan suatu Teori Anggapan, yaitu suami-isteri boleh saja mendirikan
peseroan terbatas, dan hanya mereka berdua sebagai pemegang sahamnya,
dan diantara mereka tidak ada perjanjian perkawinan berupa pisah harta, pada
saat pendirian perseroan terbatas diantara suami-isteri tersebut harus dianggap
telah terjadi pisah harta sebesar saham yang disetorkan ke dalam perseroan.
Hal ini terbukti ketika ada pembagian Dividen untuk para pemegang saham,
atau ketika dialihkan (dijual, dihibahkan, diwariskan), atau dijaminkan atau
ketika diantara mereka terjadi perceraian, maka para pemegang saham (atau
suami-isteri tersebut) akan mendapat haknya sebagaimana mestinya tanpa
perlu saling memberikan persetujuan.
• Saya hanya berpendapat, rekan-rekan dapat memutuskan sendiri mau pakai
teori dan dipraktekkan yang mana……. ?

Anda mungkin juga menyukai