Anda di halaman 1dari 9

NOTARIS PROGRESIF...!!

Habib Adjie
(Notaris dan PPAT di Kota Surabaya)

Pakar Sosiologi Hukum, Satjipto Rahardjo berpendapat bahwa,


kekuatan hukum progresif adalah kekuatan yang menolak dan
ingin mematahkan keadaan status quo, Mempertahankan status
quo adalah menerima normativitas dan sistem yang ada tanpa
ada usaha untuk melihat aneka kelemahan di dalamnya lalu
bertindak mengatasi Hampir tidak ada usaha untuk melakukan
perbaikan, yang ada hanya menjalankan hukum seperti apa
adanya dan secara biasa-biasa saja (business as usual) , (Kompas,
6 September 2004).
Selanjutnya dikatakan pula bahwa, hukum itu rentan terhadap
keadaan status quo. Bagi para penegak hukum mempertahankan
status quo lebih mudah dan aman daripada berinisiatif melakukan
perubahan dan pembaruan, Bekerja secara biasa-biasa saja sambil
menunggu pensiun lebih aman daripada bertingkah melakukan
perbaikan, (Kompas, 6 September 2004). Juga ditegaskan bahwa
Progresif itu adalah kreatif meninggalkan pikiran status quo yang
tidak banyak membatu membangkitkan bangsa kita dari
keterpurukan (Kompas, 5 Februari 2005). Dalam kalimat yang lain
bahwa hukum tidak harus steril dan unsur-unsur nonhukum, tapi hukum
juga harus memperhatikan dan menilai unsur-unsur yang dapat
mempengaruhi hukum.

Bekerja berdasarkan Normativitas (aturan/pasal) merupakan

1
kredo atau pegangan suci bagi Notaris dan PPAT dalam menjalankan

tugas dan jabatannya, daripada bekerja bertingkah melakukan

terobosan-terobosan untuk mengatasi berbagai kekurangan dalam

dunia hukum yang berkaitan dengan jabatan Notaris/PPAT. Dan

bekerja dengan menggunakan pendekatan melekat sebagaimana isi

pasal/aturan yang paling aman untuk Notaris/PPAT. Dengan bekerja

seperti itu sebenarnya Notaris/PPAT berada pada pihak yang

mempertahankan status quo.

Jika kita mengamati dalam dunia praktek Notaris/PPAT tidak

selamanya yang tercantum dalam aturan/pasal-pasal peraturan

perundang-undangan telah mengatur segalanya. Sebagai contoh saya

pernah menulis artikel yang berjudul Wewenang Notaris Dan Akta

Pernyataan Sebagai Ahli Waris Sebagai Pengganti Surat Keterangan

Waris (SKW), - (Renvoi, No. 21, Februari. Th.02/2005) sebagai

upaya untuk melakukan terobosan progresif dalam bidang pembuatan

bukti ahli waris untuk seluruh rakyat Indonesia tanpa berdasarkan etnis

(golongan penduduk) yang dibuat di hadapan Notaris dalam bentuk

akta pihak, dan hal tersebut sesuai dengan wewenang Notaris

berdasarkan pasal 15 ayat (1) UUJN, dan pembuatan SKW tersebut

tidak ada dasar hukumnya sama sekali, dan tugas Notaris adalah

membuat Akta bukan membuat Surat. Artikel tersebut disikapi secara

beragam, bagi Notaris yang progresif, substansi artikel tersebut perlu

dipertimbangkan dan jika disepakati oleh semua Notaris dapat

2
dilaksanakan, Tapi bagi Notaris yang mempertahankan status quo,

bahwa substansi artikel tersebut merupakan bentuk penyimpangan dari

kemapanan untuk hal yang telah dilakukan selama ini dalam

pembuatan bukti sebagai ahli waris, yaitu Notaris yang tetap

bertahan bahwa Notaris tetap mempunyai kewenangan untuk

membuat SKW. Notaris yang tetap mempertahankan status quo untuk

hal seperti itu, akan senantiasa reaksioner dan alergi dengan

perbedaan dan wacana baru dalam dunia Notaris.

Dalam praktek kita juga sering mengalami kejadian atau

persoalan jika ada seorang isteri atau suami akan menjual harta

bawaannya. Jika ada bukti bahwa harta yang akan dijual (misalnya

tanah) merupakan harta bawaan, tidak sulit untuk menentukan

bahwa yang dijuat tersebut harta bawaan suami atau isteri, sehingga

suami atau isteri dalam melakukan tindakan hukum apapun tanpa

persetujuan isteri atau suaminya. Yang terjadi jika tidak ada bukti

sama sekali, selain pengakuan lisan para pihak. Sudah tentu

pengakuan secara lisan sangat sulit untuk dijadikan pegangan

sebagai bukti. Dalam praktek jika terjadi seperti itu, ada Notaris

atau PPAT yang menyarankan terlebih dahulu meminta penetapan dari

pengadilan negeri. Saran seperti ini merupakan saran yang berlebihan,

bukan mempermudah masalah tapi memperumit dan memperpanjang

masalah dan menambah biaya. Untuk menyelesaikan hal tersebut di

atas sebenarnya suami atau isteri yang mempunyai harta bahwaan

3
untuk membuat Pernyataan Pengakuan Harta Bawaan dalam bentuk

akta otentik yang disaksikan dan dibenarkan oleh suami atau isterinya

atau saksi lainnya yang mengetahui hal tersebut. Ini sebenarnya

bentuk penyelesaian yang elegant untuk kedua belah pihak.

Contoh lainnya, jika ada sepasang suami - isteri dan sudah

mempunyai anak yang sudah dewasa dan harta bersama, tapi

mereka hanya menikah berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat (1)

Undang-undang Perkawinan, dan mereka tidak mencatatkan

perkawinan mereka berdasarkan Pasal 2 ayat (2) undang-undang

Perkawinan, dengan kata lain mereka tidak mempunyai bukti formal

(Surat/Akta Nikah) bahwa mereka suami isteri. Tapi dalam Kartu

Keluarga (KK) atau Kartu Susunan Keluarga (KSK.) mereka sebagai

suami - isteri. Jika mereka akan menjual harta bersamanya, dan salah

satu syarat yang diperlukan adalah Surat/Akta Nikah pasangan suami -

isteri tersebut, bagaimanakah membuktikan bahwa mereka suami-

isteri, padahal sudah jelas bahwa mereka tidak mempunyai Surat

Nikah..? Persoalan seperti ini dapat diselesaikan dalam 2 (dua) cara.

Pertama, agar pasangan suami - isteri tersebut membuat

penetapan perkawinan di Pengadilan Agama atau Pengadilan Negeri,

bukan dalam arti mengucapkan akad nikah kembali, tapi menetapkan

fakta yang sudah terjadi. Kedua dengan Akta Pernyataan dari

pasangan suami - isteri tersebut di hadapan Notaris, yang didukung

dengan para saksi dan keterangan dari kelurahan dan kecamatan

4
dimana mereka berdomisili bahwa mereka suami - isteri. Bahwa akta

yang dimaksud bukan mengesahkan perkawinan, tapi menuliskan

fakta. Perkawinan mereka telah sah berdasarkan ketentuan Pasal 2

ayat (1) Undang-undang Perkawinan.

Contoh-contoh di atas merupakan sebagian kecil saja tindakan

progresif yang dapat dilakukan oleh Notaris, bahkan jika mau kita

harus mengeksplorasi dan kemudian mengeksploitasi tindakan lain

yang dapat dilakukan dalam bentuk akta Notaris dengan

memperhatikan aturan hukum yang berlaku. Sudah tentu untuk

melakukan hal seperti itu diperlukan penelitian dan pengkajian yang

mendalam dan serius dari seluruh Notaris Indonesia.

Tidak dapat dipungkiri bahwa Notaris sebagai Plagiat dari

Notaris-notaris sebelumnya, hal ini tidak salah, sah-sah saja,

sehingga dalam membuat akta akan melihat contoh-contoh yang

dibuat oleh Notaris lainnya. Yang perlu diperhatikan yaitu jangan

karena tidak ada contoh dari Notaris lain, kita tidak mau dan tidak

mampu membuat akta. Fakta-fakta yang diberikan oleh mereka yang

datang kepada Notaris, harus mampu kita formulasikan ke dalam

bentuk akta. Kemampuan memformulasikan fakta-fakta tersebut

merupakan salah satu implementasi Notaris Progesif.

Untuk menjadi Notaris yang progresif kita tetap harus

memperhatikan rambu-rambu yang sudah ditentukan, seperti tersebut

dalam Pasal 15 ayat (1) UUJN, bahwa Notaris berwenang membuat

5
akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan ketetapan

yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan/atau yang

dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk menyimpan akta,

memberikan grosse, salinan dan kutipan akta, semuanya itu

sepanjang pembuatan akta-akta itu tidak juga ditugaskan atau

dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang

diterapkan oleh undang-undang.

Bahwa wewenang Notaris seperti tersebut di atas, merupakan

wewenang umum, sepanjang tidak dikecualikan kepada pejabat lain

menurut undang-undang Notaris dapat membuat akta yang

bersangkutan. Pengertian semacam ini seakan-akan menentukan

"sepanjang yang tidak dilarang berarti diperbolehkan". Untuk

mengimplementasikan kalimat tersebut kita harus memakai nalar

hukum.

Dalam Hukum Pidana kalimat tersebut dapat diterima, karena

dalam Hukum Pidana dikenal azas Legalitas. Misalnya menurut Pasal

284 KUHP, bahwa perzinahan yang dikategorikan sebagai tindak pidana

jika dilakukan oleh laki-laki dan perempuan, dimana salah seorang dari

mereka terikat perkawinan berdasarkan Pasal 27 KUHPerdata.

Sehingga bagi mereka yang melakukan hubungan layaknya suami isteri,

dan mereka tidak terikat dalam sebuah perkawinan. maka tindakan

mereka tidak memenuhi unsur sebagai suatu tindak pidana

sebagaimana ditentukan dalam Pasal 284 KUHPidana.

6
Dalam Hukum Administrasi kalimat tersebut tidak berlaku

sepenuhnya, karena dalam Hukum Administrasi dikenal asas-asas

pemerintahan yang baik. Bahwa sikap dan tindak pejabat

pemerintahan atau Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara harus

berdasarkan kewenangan yang diberikan kepada pejabat

pemerintahan atau Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tersebut,

sehingga jika pejabat pemerintahan atau Badan atau Pejabat Tata

Usaha Negara akan mengambil suatu tindakan diluar

kewenangannya akan diukur berdasarkan asas-asas pemerintahan

yang baik. Jika keputusan tersebut diterima oleh mereka atau pihak-

pihak tertentu, maka hal tersebut sesuai dengan asas-asas

pemerintahan yang baik, tapi jika tidak diterima, dapat dijadikan

dasar bahwa pejabat pemerintahan atau Badan atau Pejabat Tata

Usaha Negara tersebut telah melakukan perbuatan melanggar hukum

oleh pemerintah, dan mereka yang dirugikan atas tindakan tersebut

dapat menggugatnya dengan prosedur Keberatan atau Banding

Administrasi atau Gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara.

Dalam Hukum Perdata, kalimat tersebut harus dikaitkan

dengan ketentuan yang bersifat mengatur dan ketentuan yang

bersifat memaksa, contohnya Hukum Waris menurut KUHPerdata

merapakan ketentuan yang mengatur, sehingga tidak akan dikenakan

sanksi jika orang tidak membagi harta warisan berdasarkan ketentuan

dalam KUHPerdata, sedangkan dalam kententuan yang memaksa,

7
semua ketentuan harus dipenuhi, sehingga jika tidak dipenuhi

tindakan hukum yang bersangkutan batal demi hukum.

Bagi Notaris dalam mengimplementasikan kalimat tersebut harus

dihubungkan dengan substansi Pasal 15 ayat (1) UUJN tersebut tetap

harus dihubungkan dengan ketentuan Pasal 1868 KUHPerdata, yaitu :

1. akta harus dibuat oleh (door) atau di hadapan (ten overstaan)

seorang pejabat umum.

2. akta harus dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh undang undang.

3. pejabat umum oleh - atau di hadapan siapa akta dibuat, harus

mempunyai wewenang untuk membuat akta yang bersangkutan.

Wewenang Notaris yang tersebut dalam Pasal 15 ayat (1)

dengan batasan bahwa Notaris harus berwenang :

1. sepanjang yang menyangkut akta yang harus dibuat atau berwenang

membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan

ketetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan atau

dikehendaki oleh yang bersangkutan.

2. sepanjang mengenai subjek hukum (orang dan badan hukum) untuk

kepentingan siapa akta itu dibuat atau yang dikehendaki oleh yang

berkepentingan

3. sepanjang berwenang mengenai tempat, dimana akta itu dibuat,

hal ini sesuai dengan tempat kedudukan dan wilayah jabatan

Notaris.

4. sepanjang mengenai waktu pembuatan akta itu, dalam hal ini

8
Notaris harus menjamin kepastian waktu para penghadap yang

tercantum dalam akta.

Notaris progresif berarti progresif dalam pola pikir yang

senantiasa bertindak tidak hanya berpegang pada norma-norma hukum

positif, tapi juga senantiasa menggali berbagai bentuk tindakan hukum

yang dapat dituangkan atau diformulasikan dalam bentuk akta

otentik.

Notaris progresif juga progresif dalam pola tindak yang

profesional, dengan parameter bahwa kehadiran Notaris untuk

masyarakat, bukan masyarakat untuk Notaris. Sehingga memberikan

pelayanan terbaik dan memberikan kepuasan yang maksimal kepada

masyarakat merupakan implementasi pola tindak yang profesional.

Dalam dunia Notaris Indonesia yang sekarang berkembang bukan

Notaris Progresif, tapi yang berkembang yaitu Notaris Agresif yang

mencari klien dengan pola tindak sikut dan tendang ke kiri, sikut dan

tendang ke kanan, bergaya katak berenang digunakan, menyalahkan

akta Notaris lain. Dan dengan segala daya upaya digunakan...!

Majulah Notaris Indonesia.......!!!

-------------------------------

Anda mungkin juga menyukai