Anda di halaman 1dari 63

SKMHT DENGAN DASAR PPJB,

EMANG BISA?
Dr. UDIN NARSUDIN, SH., M.Hum.
S-1 UNPAS BANDUNG
Spesialis Notariat dan Pertanahan UI
S-2 Hukum Bisnis UGM
S-3 Ilmu Hukum UNPAD
-Notaris dan PPAT Kota Tangsel
-Dosen MKn UNPAS, Dosen MKn UNS SOLO dan Dosen PDIH UKI
Notaris juga harus memahami Asas hukum dalam menjalankan kewenangannya.
Asas adalah suatu dalil umum yang dinyatakan dalam istilah umum tanpa mensyaratkan
cara-cara khusus mengenai pelaksanaannya yang diterapkan pada serangkaian perbuatan
untuk menjadi petunjuk yang tepat bagi perbuatan itu.
Asas hukum umum adalah norma dasar yang dijabarkan dari hukum positif dan yang
oleh ilmu hukum tidak dianggap berasal dari aturan-aturan yang lebih umum.
Asas hukum merupakan pengendapan hukum positif dalam suatu masyarakat. Asas
hukum tidak boleh dianggap sebagai norma norma hukum konkrit, akan tetapi perlu
dipandang sebagai dasar-dasar umum atau petunjuk-petunjuk bagi hukum yang berlaku.
Secara umum Orang tidak dapat melakukan suatu tindakan hukum apapun jika tidak ada
kewenangan pada dirinya. Ingat asas “nemo plus juris transfere potest quam habel”
artinya tidak seorangpun dapat mengalihkan atau memberikan sesuatu kepada orang
lain melebihi hak miliknya atau apa yang dia punyai.
Dan……tidak Bisa dipungkiri bahwa:
Jabatan notaris merupakan suatu jabatan mulia (officium nobile). Notaris disebut sebagai
pejabat mulia karena sangat erat hubungannya dengan kemanusiaan. Akta yang dibuat
oleh notaris dapat menjadi alas hukum atas status harta benda, hak dan kewajiban
seseorang.
Kekeliruan atas akta yang dibuat notaris dapat menyebabkan tercabutnya hak seseorang
atau terbebaninya seseorang atas suatu kewajiban, oleh karena itu notaris dalam
menjalankan tugas jabatannya harus mematuhi berbagai ketentuan yang tersebut dalam
undang-undang.
Notaris dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya dibatasi dengan informasi yang
diberikan oleh para pihak dihadapannya.
Artinya, seorang Notaris dalam menjalankan kewenangannya tersebut, hanya
berdasarkan keterangan yang diperoleh oleh para penghadap, tanpa menggunakan
“kreatifitas” dalam membuat akta.
Permasalahan yang seringkali terjadi adalah adanya “UPAYA” mempidanakan notaris
jika ditemukan adanya cacat formil di dalam Akta yang dibuatnya.
Memang Notaris dapat melakukan penemuan hukum, tetapi dengan pembatasan-
pembatasan yang sangat jelas.
Penemuan hukum adalah menemukannya hukum karena hukum itu tidak lengkap atau
tidak jelas. Hukum atau peraturan hukum tidak lengkap dan tidak jelas. Hukumnya itu
sudah ada, bukan tidak ada. Hukum atau peraturan hukum itu bertujuan untuk mengatur
kegiatan kehidupan manusia.
Penemuan hukum tentu tidak sama dengan penciptaan hukum, menemukan hukum
berarti menemukan hukum yang sudah ada, sedangkan menciptakan hukum berarti
menciptakan suatu hukum yang sebelumnya tidak ada.
Secara umum dikenal secara luas bahwa penemuan hukum hanya dilakukan oleh hakim,
sehingga ada yang berpendapat bahwa yang melakukan penemuan hukum hanya hakim.
Pertanyaannya apakah demikian?
Bahwa tidak hanya hakim yang melakukan penemuan hukum, karena sebagaimana
harus difahami bahwa tujuan menemukan hukum adalah untuk memecahkan masalah
hukum konkrit. Sehingga setiap profesi yang bekerja di bidang hukum (diantaranya
notaris) selalu akan menghadapi dan akan dihadapkan pada masalah-masalah hukum
konkrit untuk dipecahkan dan dicarikan hukumnya.
Yang dimaksud dengan masalah hukum konkrit tentu bukan hanya sengketa atau
pelanggaran atau kejahatan saja, tetapi masalah hukum yang memerlukan jawaban atau
penyelesaian.
Notaris dalam pelaksnaan jabatannya juga melakukan penemuan hukum. Pasal 15 ayat
(1) UUJN menyebutkan Notaris berwenang membuat akta otentik mengenai semua
perbuatan, perjanjian, dan ketetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-
undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan
dalam akta otentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan akta, menyimpan akta,
memberikan grosse, salinan dan kutipan akta, semuanya itu sepanjang pembuatan akta-
akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang
ditetapkan oleh undang-undang.
Berdasarkan ketentuan tersebut diatas artinya disamping hakim, yang melakukan
penemuan hukum adalah notaris melalui akta yang dibuatnya, dimana kewenangan
tersebut berdasarkan Pasal 15 ayat (1) UUJN.
Notaris menghadapi masalah konkrit yang diajukan oleh klien yang meminta dibuatkan
akta sesuai dengan keinginan mereka. Akan tetapi tentu sebelum membuat akta tersebut
notaris harus menilai dengan baik dan dengan dasar ilmu pengetahuan dan keahlian serta
pengalaman apakah bisa dibuatkan aktanya untuk kepentingan para pihak tersebut.
Karena masalah konkrit atau peristiwa hukum yang diajukan klien merupakan peristiwa
konkrit yang harus dipecahkan atau dirumuskan menjadi peristiwa hukum yang
merupakan kewenangan notaris yang tidak mudah, DALAM KONTEKS INILAH NOTARIS
MELAKUKAN PENEMUAN HUKUM.
Dalam beberapa tulisan saya sering melontarkan pertanyaan:
-Apakah Notaris boleh membuat akta affidavit?
-Apakah Notaris boleh membuat akta Pemutusan Hubungan Keluarga?
-Apakah Notaris boleh membuat akta PPJB atas apartemen yang baru berupa gambar/foto?
-Apakah Notaris boleh membuat akta Penolakan Waris?
-dan lain-lain.
Pertanyaan-pertanyaan tersebut merupakan bentuk teks-teks hukum sebagai bagian dari naskah
dialogis yang bertujuan menjawab persoalan yang bersifat konkrit dalam bentuk pembuatan akta
oleh notaris dalam rangka penemuan hukum.
Notaris yang setiap harinya melakukan penemuan hukum dengan jalan pembuatan akta berarti
membantu penegakan hukum yang kemudian menjadi faktor penting dalam efektivitas hukum.
Walaupun demikian menemukan hukum tidak berarti ASAL MENEMUKAN hukum, bukan pula
ASAL MENUANGKAN KEHENDAK PARA PIHAK DALAM AKTA NOTARIS, karena menemukan hukum
tentu ada aturan permainannya dimana penemuan hukum oleh notaris juga ada syaratnya yang
tidak boleh bertentangan dengan kewenangan notaris dan esensi penemuan hukum dalam akta
notaris tersebut yaitu tidak bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum dan
kesusilaan.
Agar notaris dapat melakukan penemuan hukum dengan baik, maka penguasaan ilmu
hukum dan keahlian lainnya dalam bidang kenotariatan, disamping sistem dan
perkembangan hukum harus selalu update. Sehingga tujuan akhirnya adalah dengan
penemuan hukum yang baik oleh notaris maka NOTARIS DAPAT MEMBERIKAN
SUMBANGAN DALAM PENEGAKAN HUKUM DENGAN JALAN PENEMUAN HUKUM.
Nah…..sudah sangat jelas Batasan-batasannya…
Dr. Habib Ajie mengatakan bahwa Pelaksanaan tugas jabatan Notaris merupakan
pelaksanaan tugas jabatan yang Esoterik, artinya diperlukan pendidikan khusus dan
kemampuan yang memadai untuk menjalankannya.
Oleh karena itu, Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya harus mematuhi berbagai
ketentuan yang tersebut dalam UUJN, sehingga dalam hal ini diperlukan kecermatan,
ketelitian dan ketepatan tidak hanya dalam teknik administratif membuat akta, tapi juga
penerapan berbagai aturan hukum yang tertuang dalam akta yang bersangkutan untuk
para penghadap, dan kemampuan menguasai keilmuan bidang Notaris secara khusus
dan hukum pada umumnya.
Berkaitan dengan hal tersebut maka pasti akan selalu berhubungan dengan tanggung
jawab. Setiap penggunaan wewenang oleh Notaris selalu disertai tanggung jawab,
sesuai dengan prinsip DEEN BEVOEGHEID ZONDER VERANTWOORDENLIJKHEID (tidak
ada kewenangan tanpa pertanggungjawaban).
Karena wewenang itu melekat pada jabatan, maka oleh karena itu pelaksanaan jabatan
selalu akan diikuti dengan pertanggung jawaban.
Saya coba buka pemahaman terkait materi yang dibahas:
1. Bolehkan Notaris membuat Akta Pengikatan Jual Beli dari pengembang (developer)
kepada konsumen, padahal dipastikan status tanahnya masih dalam proses pembuatan
sertipikat di BPN dan kemudian akan dilanjutkan dengan pengikatan jaminan pada
KREDITOR dengan menanda-tangani SKMHT?
Bahwa tugas jabatan notaris adalah memformulasikan keinginan/tindakan para pihak ke
dalam akta otentik, dengan memperhatikan aturan hukum yang berlaku. Yang dihasilkan
oleh notaris adalah dalam bentuk akta notaris sebagai akta otentik mempunyai kekuatan
pembuktian yang sempurna. Sehingga tidak perlu dibuktikan atau ditambah dengan alat
bukti lainnya.
Akan tetapi dalam pembuatannya harus selalu memperhatikan ketentuan perundang-undangan
yang berlaku, ingat selalu dengan sumpah jabatan:
Pasal 4 ayat (2) UUJN:
Sumpah/janji sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berbunyi sebagai berikut: "Saya
bersumpah/berjanji:
-Bahwa saya akan patuh dan setia kepada Negara Republik Indonesia, Pancasila dan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang tentang Jabatan Notaris
serta peraturan perundang-undangan lainnya.
-Bahwa saya akan menjalankan jabatan saya dengan amanah, jujur, saksama, mandiri, dan tidak
berpihak.
-Bahwa saya akan menjaga sikap, tingkah laku saya, dan akan menjalankan kewajiban saya sesuai
dengan kode etik profesi, kehormatan, martabat, dan tanggung jawab saya sebagai Notaris.
-Bahwa saya akan merahasiakan isi akta dan keterangan yang diperoleh dalam pelaksanaan
jabatan saya.
-Bahwa saya untuk dapat diangkat dalam jabatan ini, baik secara langsung maupun tidak langsung,
dengan nama atau dalih apa pun, tidak pernah dan tidak akan memberikan atau menjanjikan
sesuatu kepada siapa pun."
Oleh karena itu maka sebelum membuat akta Pengikatan Jual Beli terkait dengan objek
tanahnya belum jelas kepemilikan hak atas tanahnya, apalagi pengembang tersebut
selaku penjual belum mendapatkan SKPH (Surat Keputusan Pemberian Hak) yang
dikeluarkan BPN.
Dapat diperhatikan ketentuan berikut :
Pasal 42 ayat 2 huruf b UU No. 1/2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman
menyebutkan : “Perjanjian pendahuluan jual beli sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan setelah memenuhi persyaratan kepastian atas status kepemilikan tanah” Tanpa
adanya kepastian atas status pemilikan tanah siapapun tidak dapat melakukan penjualan
atas tanah, demikian pula dengan penjualan rumah yang berdiri diatas tanah tersebut.
Pasal 137 UU No. 1/2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman menyatakan :
Setiap orang dilarang menjual satuan lingkungan perumahan atau Lisiba yang belum
menyelesaikan status hak atas tanahnya.
Pasal 154 UU No. 1/2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman menyatakan :
Setiap orang yang menjual satuan lingkungan perumahan atau Lisiba yang belum
menyelesaikan status ha katas tanahnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 137,
dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp.
5.000.000.000,- (lima milyar rupiah).
Dalam kaitannya dengan pengikatan jaminan atas objek tersebut, maka selalu ingat asas
spesialitet, bahwa hak tanggungan, hak fidusia, dan hipotek hanya dapat dibebankan
atas persil atau atas barang-barang yang sudah terdaftar atas nama orang tertentu;
Dalam konteks hak atas tanah maka Hak Tanggungan Hanya Dibebankan Pada Hak Atas
Tanah Yang Telah Ada.
Pasal 8 Ayat (2) UUHT, menentukan bahwa kewenangan untuk melakukan perbuatan
hukum terhadap objek Hak Tanggungan harus ada pada pemberi Hak Tanggungan pada
saat pendaftaran Hak Tanggungan dilakukan. Berhubungan dengan ketentuan itu, maka
Hak Tanggungan hanya dapat dibebankan pada Hak Atas Tanah yang telah dimiliki oleh
pemegang Hak Tanggungan. Oleh karena itu, Hak Atas Tanah yang baru akan dipunyai
oleh seseorang dikemudian hari tidak dapat dijaminkan dengan Hak Tanggungan bagi
pelunasan suatu utang.
Begitu pula tidak mungkin untuk membebankan Hak Tanggungan pada suatu Hak Atas
Tanah yang baru akan ada dikemudian hari.
Jadi mana bisa dengan dasar PPJB kemudian dibuat akta SKMHT
2. Kenapa SHT yang dibuat berdasarkan SKMHT yang jangka waktunya sudah lewat 2
hari dan PPAT sudah mendaftarkannya ke Kantah, kemudian Kantah setempat sudah
menerbitkan Sertipikat Hak Tanggungan akan tetapi ketika akan dilakukan eksekusi
tidak bisa dilakukan eksekusi?
Kejadian nyata yang bisa saja tidak disadari, karena dalam SKMHT-nya tidak disebutkan
tanggal berakhirnya (kosong) padahal bukan berarti karena kosong kita tidak bisa
menghitung jangka waktu SKMHT tersebut.
Apabila kita lihat ketentuan dalam UU 4/1996 :
Pasal 8
1. Pemberi Hak Tanggungan adalah orang perseorangan atau badan hukum yang
mempunyai kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap obyek Hak
Tanggungan yang bersangkutan.
2. Kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap obyek Hak Tanggungan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus ada pada pemberi Hak Tanggungan pada saat
pendaftaran Hak Tanggungan dilakukan.
Pasal 11
1. Di dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan wajib dicantumkan:
a. nama dan identitas pemegang dan pemberi Hak Tanggungan;
b. domisili pihak-pihak sebagaimana dimaksud pada huruf a, dan apabila di antara mereka ada
yang berdomisili di luar Indonesia, baginya harus pula dicantumkan suatu domisili pilihan di
Indonesia, dan dalam hal domisili pilihan itu tidak dicantumkan, kantor PPAT tempat pembuatan
Akta Pemberian Hak Tanggungan dianggap sebagai domisili yang dipilih;
c. penunjukan secara jelas utang atau utang-utang yang dijamin sebagaimana dimaksud dalam
Pasal
3 dan Pasal 10 ayat (1);
d. nilai tanggungan;
e. uraian yang jelas mengenai obyek Hak Tanggungan.
Apabila kita lihat ketentuan diatas adalah bersifat Kumulatif, oleh karena itu harus lengkap
dicantumkan, sehingga apabila lalai mencantumkan salah satu diantaranya, mengakibatkan APHT
batal demi hukum (lihat penjelasan Pasal 11 ayat (1) UUHT).
Pasal 15 ayat :
3. Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan mengenai hak atas tanah yang sudah
terdaftar wajib diikuti dengan pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan selambat-
lambatnya 1 (satu) bulan sesudah diberikan.
4. Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan mengenai hak atas tanah yang belum
terdaftar wajib diikuti dengan pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan selambat-
lambatnya 3 (tiga) bulan sesudah diberikan.
6. Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan yang tidak diikuti dengan pembuatan Akta
Pemberian Hak Tanggungan dalam waktu yang ditentukan sebagaimana yang dimaksud
pada ayat (3) atau ayat (4), atau waktu yang ditentukan menurut ketentuan sebagaimana
yang dimaksud pada ayat (5) batal demi hukum.
Memang disebutkan bahwa berdasarkan Pasal 13 UUHT, pendaftaran HT merupakan syarat
imperatif, artinya wajib didaftarkan di Kantor Pertanahan, yang menurut penjelasan Pasal 13
ayat (1) UUHT, pendaftaran merupakan aplikasi dari asas Publisitas, serta sekaligus merupakan
syarat mutlak untuk lahirnya dan mengikatnya HT kepada Pihak Ketiga.
Terdapat kewajiban PPAT sebagai pembuat APHT berdasarkan Pasal 13 ayat (2), dimana PPAT
yang bertindak membuat APHT wajib mengirimkan APHT dan warkah pendukungnya yang
diperlukan kepada Kantor Pertanahan. Pengiriman tersebut dilakukan selambat-lambatnya 7 hari
kerja dari tanggal penanda-tanganan, dan PPAT yang lalai memenuhi kewajiban tersebut
diancam dengan sanksi.
Sedangkan kewajiban Kantor Pertanahan diatur dalam Pasal 13 ayat (3), yaitu mendaftarkan HT,
Kantor Pertanahan membuat Buku Tanah HT, mencatat Buku Tanah HT atas tanah yang menjadi
objek HT, menyalin catatan tersebut pada sertipikat hat atas tanah ybs. Tanggal Buku Tanah HT
menurut Pasal 13 ayat (4) dan ayat (5) adalah tanggal hari ke 7 setelah penerimaan secara
lengkap surat-surat yang diperlukan bagi pendaftaran, jika hari ke 7 jatuh pada hari libur, Huku
Tanah HT diberi tanggal pada hari kerja berikutnya, oleh karena itu efektifnya HT terhitung dari
tanggal Buku Tanah HT. Asas openbaar dan perlindungan hukum (legal protection), terhitung
dari tanggal penerimaan pendaftaran.
Dari penjelasan tersebut diatas sangat jelas peran dari PPAT dan Kantor Pertanahan, dan
fungsi sertipikat HT
-Menjadi Bukti HT;
-Menjadi Landasan kekuatan eksekutorial
Kesimpulan : APHT yang dibuat berdasarkan SKHMT yang sudah berakhir adalah Batal
Demi Hukum, sehingga kalaupun sudah menjadi SHT, maka SHT-nya juga tidak memiliki
kekuatan hukum, dan tidak mempunyai kekuatan eksekutorial.
Apa itu SKMHT dan kenapa harus dibuat SKMHT?
Surat Kuasa Untuk Memberikan Hak Tanggungan (SKMHT) adalah Surat atau Akta yang
berisikan pemberian kuasa yang diberikan oleh Pemberi Agunan/Pemilik Tanah (Pemberi
Kuasa) kepada Pihak Penerima Kuasa untuk mewakili Pemberi Kuasa guna melakukan
pemberian Hak Tanggungan kepada Kreditor atas tanah milik Pemberi Kuasa.

Berdasarkan pengertian yang saya kemukakan di atas maka segala bentuk kuasa yang
diberikan oleh Pemilik Tanah kepada pihak lain untuk mewakili Pemilik Tanah guna
menjaminkan tanah miliknya, apabila pemberian jaminan tersebut dilakukan dengan
dibebani Hak Tanggungan maka kuasa tersebut termasuk dalam SKMHT.
Pembuatan SKMHT harus memenuhi ketentuan yang ditetapkan dalam peraturan
perundang-undangan yang berlaku dan harus dipatuhi oleh setiap Notaris atau PPAT yang
akan membuat SKMHT tersebut atau harus dipatuhi oleh PPAT yang akan membuat APHT
yang dibuat berdasarkan SKMHT.
Jika Notaris atau PPAT yang akan membuat SKMHT atau PPAT yang akan membuat APHT
menemukan pembuatan SKMHT yang tidak sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku maka Notaris atau PPAT tersebut harus menolak
pembuatan akta yang bersangkutan. Karena adanya penyimpangan dalam pembuatan
SKMHT yang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku dapat berakibat fatal terhadapan akta yang dibuat dan karenanya dapat
membawa akibat hukum tertentuan kepada Notaris atau PPAT yang membuat akta
tersebut.
Pasal 15 ayat 1 UUHT menentukan syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk pembuatan akta
SKMHT tersebut yaitu:
1. tidak memuat kuasa untuk melakukan perbuatan hukum lain daripada membebankan Hak
anggungan;
2. tidak memuat kuasa substitusi;
3. mencantumkan secara jelas obyek Hak Tanggungan, jumlah utang dan nama serta identitas
kreditornya, nama dan identitas debitor apabila debitor bukan pemberi Hak Tanggungan.
Sehubungan dengan syarat yang ditentukan dalam Pasal 15 ayat 1 UUHT tersebut maka jelas
bahwa di dalam SKMHT tidak boleh dicantumkan kuasa untuk melakukan perbuatan hukum lain
misalnya di dalamnya ada pemberian kuasa dari Pemilik Tanah kepada Penerima Kuasa untuk
menjual tanah tersebut seperti lazimnya yang terdapat dalam kuasa untuk menjual.
SKMHT juga tidak boleh memuat kuasa substitusi dalam arti didalamnya terdapat klausul yang
memungkinkan Penerima Kuasa mensubstitusikan atau mengalihkan kuasanya kepada pihak
lain.Tidak termasuk dalam pengertian substitusi tersebut jika penerima kuasa memberi kuasa
kepada pihak lain dalam rangka penugasan untuk bertindak mewakilinya, misalnya Direksi Bank
menugaskan pelaksanaan kuasa yang diterimanya kepada Kepala Cabangnya atau pihak lain.
Syarat terakhir yang ditentukan dalam Pasal 15 ayat 1 UUHT yang menentukan SKMHT
harus mencantumkan secara jelas obyek Hak Tanggungan, jumlah utang dan nama serta
identitas kreditornya, nama dan identitas debitor apabila debitor bukan pemberi Hak
Tanggungan meruapakan syarat yang sangat penting untuk diperhatikan oleh Notarius
Syarat ini menunjukan bahwa dalam pembuatan SKMHT harus jelas terlebih dahulu
adanya hubungan utang piutang antara Debitor dengan Kreditor. Harus jelas tanah yang
akan dibebani Hak Tangungan yang akan dipakai sebagai jaminan bagi pelunasan utang
tersebut.
Syarat ini berarti mensyaratkan bahwa untuk pembuatan SKMHT sekurang-kurangnya
harus telah ada perjanjian yang telah disepakati/ditandatangani oleh Debitor dan Kreditor
berkaitan dengan utang piutang terbut. Hal ini untuk memberi perlindungan hukum
kepada Pemberi Hak Tanggungan.
Berdasarkan Pasal 51 UUPA ditentukan bahwa Hak Tanggungan dapat dibebankan kepada
Hak Milik, Hak Guna Usaha dan Hak Guna Bangunan yang diatur dengan undang-undang.
Berdasarkan amanat Pasal 51 UUPA inilah, maka diundangkan Undang-Undang Nomor 4
Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan
Dengan Tanah (UUHT).
Hak Tanggungan sendiri bersifat memaksa (dwingen recht) dimana HT sebagai suatu
lembaga jaminan kebendaan yang memiliki sifat khusus diantaranya adalah bahwa HT
besifat memaksa (dwingen recht). Walaupun tidak secara eksplisit menyatakan dirinya
sebagai suatu ketentuan yang bersifat memaksa, namun dari beberapa ketentuan yang
diatur dalam berbagai pasal dalam UUHT dapat diketahui bahwa UUHT bersifat memaksa.
Pasal 6 UUHT menyatakan :
Apabila debitor cidera janji, pemegang Hak Tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual
obyek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil
pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut.
Pasal 12 UUHT menyatakan :
Janji yang memberikan kewenangan kepada pemegang Hak Tanggungan untuk memiliki obyek Hak
Tanggungan apabila debitor cidera janji, batal demi hukum.
Pasal 13 UUHT menyatakan :
(1). Pemberian Hak Tanggungan wajib didaftarkan pada Kantor Pertanahan.
(2). Selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja setelah penandatanganan Akta Pemberian Hak
Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2), PPAT wajib mengirimkan Akta
Pemberian Hak Tanggungan yang bersangkutan dan warkah lain yang diperlukan kepada Kantor
Pertanahan.
(3). Pendaftaran Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Kantor
Pertanahan dengan membuatkan buku tanah Hak Tanggungan dan mencatatnya dalam buku tanah
hak atas tanah yang menjadi obyek Hak Tanggungan serta menyalin catatan tersebut pada
sertifikat hak atas tanah yang bersangkutan.
(4). Tanggal buku tanah Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) adalah
tanggal hari ketujuh setelah penerimaan secara lengkap surat-surat yang diperlukan bagi
pendaftarannya dan jika hari ketujuh itu jatuh pada hari libur, buku tanah yang
bersangkutan diberi bertanggal hari kerja berikutnya.
(5). Hak Tanggungan lahir pada hari tanggal buku tanah Hak Tanggungan sebagaimana
dimaksud pada ayat (4).
Pasal 14 UUHT menyatakan:
(1). Sebagai tanda bukti adanya Hak Tanggungan, Kantor Pertanahan menerbitkan
sertifikat Hak Tanggungan sesuai dengan peraturan per- undang-undangan yang berlaku.
(2). Sertifikat Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat irah-irah
dengan kata-kata "DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA".
(3). Sertifikat Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mempunyai kekuatan
eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan
hukum tetap dan berlaku sebagai pengganti grosse acte Hypotheek sepanjang mengenai
hak atas tanah.
4). Kecuali apabila diperjanjikan lain, sertifikat hak atas tanah yang telah dibubuhi
catatan pembebanan Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (3)
dikembalikan kepada pemegang hak atas tanah yang bersangkutan.
(5). Sertifikat Hak Tanggungan diserahkan kepada pemegang Hak Tanggungan.
Berdasarkan rumusan pasal-pasal sebagaimana tersebut diatas tidak dimungkinkan
dilakukan penyimpangan terhadap UUHT, sehingga dapat disimpulkan bahwa HT bersifat
memaksa (dwingen recht).
UUHT juga menegaskan siapa PPAT dan bagaimana kedudukan PPAT sebagaimana
ditentukan dalam Pasal 1 angka 4, yaitu: "Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) yaitu
pejabat umum yang diberi wewenang untuk membuat akta pemindahan hak atas tanah,
akta pembebanan hak atas tanah dan akta pemberian kuasa membebankan Hak
Tanggungan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku".
Pemberian hak Tanggungan didahului dengan janji untuk memberikan hak Tanggungan
sebagai jaminan pelunasan utang tertentu, yang dituangkan di dalam dan merupakan
bagian tak terpisahkan dari perjanjian utang-piutang yang berangkutan atau perjanjian
lainnya yang menimbulkan utang tersebut (oleh karenanya dikatakan bahwa APHT adalah
perjanjian accesoir yang mengikuti perjanjian pokoknya yang berupa perjanjian utang
piutang).
Setelah Akta Pemberian Hak Tanggungan selesai, kemudian di daftarkan pada Kantar
pertanahan untuk memenuhi asas Publisitas.
Asas-Asas Hukum Kebendaan dalam Hak Tanggungan
1. Hak Tanggungan Memberikan Kedudukan Hak Yang Diutamakan
Asas Droit De Preference artinya bahwa jika debitor cidera janji, kreditor pemegang Hak
Tanggungan berhak menjual melalui pelelangan umum tanah yang dijadikan jaminan
menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan, dengan hak
mendahulu dari pada kreditor-kreditor yang lain.
Kedudukan diutamakan tersebut sudah barang tentu tidak mengurangi preferensi piutang-
piutang negara menurut ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku. Mengenai pengertian
kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor lain,
aplikasinya dapat ditemukan dalam Pasal 20 Ayat (1) UUHT.
Pasal 20 UUHT menjelaskan bahwa pada dasarnya Hak Tanggungan diberikan sebagai
jaminan pelunasan utang, yang bersifat mengutamakan/mendahulukan kreditor
pemegang Hak Tanggungan untuk menjual tanah yang menjadi obyek Hak Tanggungan.
Ini dapat pula diartikan bahwa kreditor berhak mengambil pelunasan piutang yang
dijamin dari hasil penjualan obyek Hak Tanggungan. Apabila hasil penjualan itu lebih besar
dari pada piutang tersebut dan uang setinggi-tingginya sebesar nilai tanggungan, maka
sisanya menjadi hak pemberi Hak Tanggungan.
2. Tidak dapat dibagi-bagi (Onsplitsbaarheid).
Bermakna bahwa Hak Tanggungan membebani secara utuh obyek Hak Tanggungan dan
setiap bagian dari padanya. Meskipun sebagian utang yang dijaminkan telah dilunasi,
tidak berarti bahwa sebagian obyek Hak Tanggungan tersebut telah dinyatakan lunas,
karena Hak Tanggungan itu tetap membebani seluruh obyek Hak Tanggungan untuk sisa
utang yang belum dilunasi.
Sebagai contoh yaitu hutang 100 juta dijamin dengan Hak Tanggungan atas tanah Hak
Milik seluas 1.000 M². Misalnya utang telah dibayar sebagian sebesar 20 juta. Pelunasan
utang 20 juta tersebut tidak berarti terbebasnya sebagian tanah (misalnya 200m²) dari
beban Hak Tanggungan yang seluruhnya 1.000m².
Meskipun Hak Tanggungan menganut asas tidak dapat dibagi-bagi, tetapi dalam Pasal 2
Ayat (2) UUHT, terdapat suatu dispensasi atas pemberlakuan asas ini tersebut
diperjanjikan secara tegas dalam APHT yang bersangkutan.
Pengecualian dari asas tidak dapat dibagi-bagi ini, dimaksudkan sebagai solusi untuk
menampung kebutuhan perkembangan dunia perkreditan, antara lain untuk
mengakomodasi keperluan pendanaan pembangunan kompleks perumahan yang semula
menggunakan kredit untuk pembangunan seluruh kompleks kemudian akan dijual kepada
pemakai satu-persatu, sedangkan untuk pembayarannya pemakai akhir ini juga
menggunakan kredit dengan jaminan rumah yang bersangkutan.
Sesuai ketentuan ayat ini apabila Hak Tanggungan itu dibebankan pada beberapa Hak Atas
Tanah yang terdiri dari beberapa bagian yang masing-masing merupakan suatu kesatuan
yang berdiri sendiri dan dapat dinilai secara tersendiri, asas tidak dapat dibagi-bagi ini
dapat disimpangi asal hal itu diperjanjikan secara tegas dalam APHT yang bersangkutan.
3. Hak Tanggungan Hanya Dibebankan Pada Hak Atas Tanah Yang Telah Ada
Pasal 8 Ayat (2) UUHT, menentukan bahwa kewenangan untuk melakukan perbuatan
hukum terhadap objek Hak Tanggungan harus ada pada pemberi Hak Tanggungan pada
saat pendaftaran Hak Tanggungan dilakukan.
Berhubungan dengan ketentuan itu, maka Hak Tanggungan hanya dapat dibebankan
pada Hak Atas Tanah yang telah dimiliki oleh pemegang Hak Tanggungan.
Oleh karena itu, Hak Atas Tanah yang baru akan dipunyai oleh seseorang dikemudian
hari tidak dapat dijaminkan dengan Hak Tanggungan bagi pelunasan suatu utang.
Begitu pula tidak mungkin untuk membebankan Hak Tanggungan pada suatu Hak Atas
Tanah yang baru akan ada dikemudian hari.
4. Hak Tanggungan Dapat Dibebankan Selain Atas Tanahnya Juga Benda-Benda Yang
Berkaitan Dengan Tanah Tersebut.
Hak Tanggungan dapat dibebankan bukan saja pada Hak Atas Tanah yang menjadi obyek
Hak Tanggungan, tetapi juga berikut bangunan, tanaman, maupun hasil karya yang
merupakan satu kesatuan dengan tanah tersebut.
Dalam UUHT, hal-hal ikutan seperti yang disebutkan di atas disebut sebagai “benda-
benda yang berkaitan dengan tanah”. Hal ini telah diatur dalam Pasal 4 Ayat (4) UUHT
yang menyatakan sebagai berikut : “Hak Tanggungan dapat juga dibebankan pada Hak
Atas Tanah berikut bangunan, tanaman dan hasil karya yang telah ada atau akan ada yang
merupakan kesatuan dengan tanah tersebut dan merupakan milik pemegang Hak Atas
Tanah yang pembebanannya dengan tegas dinyatakan di dalam Akta Pemberian Hak
Tanggungan.”
Selanjutnya dalam Ayat (5) pada intinya dikatakan bahwa benda-benda yang berkaitan
dengan tanah yang dapat dibebani pula dengan Hak Tanggungan itu bukan saja terbatas
pada benda-benda yang merupakan milik pemegang Hak Atas Tanah yang bersangkutan,
tetapi juga yang bukan dimiliki oleh pemegang Hak Atas Tanah tersebut.
5. Hak Tanggungan Dapat Dibebankan Juga Atas Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan
Tanah Yang Baru Akan Ada Di Kemudian Hari.
Selain dapat dibebankan atas benda-benda yang berkaitan dengan tanah yang sudah ada,
Pasal 4 ayat (4) UUHT juga memungkinkan Hak Tanggungan dapat dibebankan pula atas
benda-benda yang berkaitan dengan tanah tersebut sekalipun benda-benda tersebut
belum ada, tetapi baru akan ada dikemudian hari.
Pengertian “yang baru akan ada” ialah benda-benda yang pada saat Hak Tanggungan
dibebankan belum ada sebagai bagian dari tanah (Hak Atas Tanah) yang dibebani Hak
Tanggungan tersebut. Misalnya karena benda-benda tersebut baru ditanam (untuk
tanaman) atau baru dibangun (untuk bangunan dan hasil karya) kemudian setelah Hak
Tanggungan itu dibebankan atas tanah (Hak Atas Tanah) tersebut.
6. Perjanjian Hak Tanggungan Adalah Perjanjian Accesoir
Perjanjian Hak Tanggungan bukan merupakan perjanjian yang berdiri sendiri, tetapi
keberadaannya adalah karena adanya perjanjian lain, yang disebut Perjanjian Induk.
Perjanjian Induk bagi perjanjian Hak Tanggungan adalah perjanjian utang piutang yang
menimbulkan utang yang dijamin itu. Dengan kata lain perjanjian Hak Tanggungan adalah
perjanjian Accesoir.
Dalam butir 8 Penjelasan Umum UUHT disebutkan : “Oleh karena Hak Tanggungan
menurut sifatnya merupakan ikutan atau Accesoir pada suatu piutang tertentu, yang
didasarkan pada suatu perjanjian utang piutang atau perjanjian lain, maka kelahiran dan
keberadaannya ditentukan oleh adanya piutang yang dijamin pelunasannya.”
Selain penegasan yang termuat dalam butir 8 Penjelasan Umum UUHT di atas, secara
tegas diatur dalam Pasal 10 Ayat (1) dan Pasal 18 Ayat (1) UUHT.
Dalam Pasal 10 ayat (1) dinyatakan bahwa “Pemberian Hak Tanggungan didahului
dengan janji untuk memberikan Hak Tanggungan sebagai jaminan pelunasan utang
tertentu, yang dituangkan di dalam dan merupakan bagian tak terpisahkan dari
perjanjian utang piutang yang bersangkutan atau perjanjian lainnya yang menimbulkan
utang tersebut,” sedangkan Pasal 18 Ayat (1) Huruf a menyatakan bahwa “Hak
Tanggungan hapus karena hapusnya utang yang dijamin dengan Hak Tanggungan.”
7. Hak Tanggungan Dapat Dijadikan Jaminan Untuk Utang Yang Akan Ada
Salah satu keistimewaan dari Hak Tanggungan adalah diperbolehkannya menjaminkan
utang yang akan ada. Hak Jaminan dapat dijadikan jaminan untuk:
a. Utang yang telah ada, artinya besarnya utang yang telah ditentukan dalam perjanjian
kredit.
b. Utang yang baru akan ada, tetapi telah diperjanjikan sebelumnya dengan jumlah
tertentu. “Utang yang dijamin pelunasannya dengan Hak Tanggungan dapat berupa utang
yang telah ada atau yang telah diperjanjikan dengan jumlah tertentu atau jumlah yang
pada saat permohonan eksekusi Hak Tanggungan diajukan dapat ditentukan berdasarkan
perjanjian utang piutang atau perjanjian lain yang menimbulkan hubungan utang piutang
yang bersangkutan” (Pasal 3 Ayat (1) UUHT).
Berdasarkan ketentuan yang termuat dalam Pasal 3 Ayat (1) tersebut di atas, dapat
disimpulkan bahwa utang yang dapat dijamin dengan Hak Tanggungan dapat berupa
utang yang sudah ada maupun yang belum ada, termasuk yang baru akan ada
dikemudian hari, tetapi harus didahului dengan perjanjian sebelumnya.
Pemberlakuan ketentuan dalam Pasal 3 Ayat (1) UUHT ini lebih didasarkan pada
kebutuhan akan fasilitas-fasilitas pembiayaan dalam dunia perbankan berkenaan dengan
timbulnya utang dari nasabah bank sebagai akibat dilakukannya pencairan atas suatu
garansi bank.
Juga untuk menampung timbulnya utang sebagai akibat pembebanan bunga atas
pinjaman pokok dan pembebanan ongkos-ongkos lain yang jumlahnya baru dapat
ditentukan kemudian.
8. Hak Tanggungan Dapat Menjamin Lebih Dari Satu Utang
Pasal 3 ayat (2) UUHT menentukan sebagai berikut : “Hak Tanggungan dapat diberikan
untuk suatu utang yang berasal dari satu hubungan hukum atau untuk satu utang atau
lebih yang berasal dari beberapa hubungan hukum.”
Pasal 3 ayat (2) UUHT, memungkinkan pemberian satu Hak Tanggungan untuk :
1. Beberapa kreditor yang memberikan utang kepada satu debitor berdasarkan satu
perjanjian utang piutang. Sebagai contoh Bank A, Bank B dan Bank C secara bersama-sama
memberikan kredit kepada PT X yang dimuat dalam satu perjanjian dengan jaminan Hak
Tanggungan. Hak Tanggungan tersebut menjamin ketiga kreditur dengan kedudukan dan
hak yang sama untuk mendapatkan pelunasan dari hasil penjualan jaminan Hak
Tanggungan jika debitur cidera janji.
2. Beberapa kreditor yang memberikan utang kepada satu debitor berdasarkan beberapa
perjanjian utang piutang bilateral antara masing-masing kreditor dengan debitor yang
bersangkutan. Hal ini menimbulkan Hak Tanggungan peringkat I untuk kreditur sebagai
penerima Hak Tanggungan yang pertama dan Hak Tanggungan peringkat II untuk kreditur
sebagai penerima Hak Tanggungan yang sesudahnya dan seterusnya.
Sebagai contoh Bank A memberi kredit kepada PT X dengan jaminan hak atas tanah seluas
1.000 m² yang diikat Hak Tanggungan. Kemudian Bank B juga memberikan kredit kepada
PT X dengan jaminan yang sama. Hal ini menimbulkan Hak Tanggungan peringkat I untuk
Bank A dan Hak Tanggungan peringkat II untuk Bank B.
3. Hak Tanggungan dapat menjamin lebih dari satu utang.
Dengan demikian maka pemberian Hak Tanggungan dapat untuk beberapa kreditor yang
memberikan utang kepada satu debitor berdasarkan satu perjanjian utang piutang atau
dapat juga untuk beberapa kreditor yang memberikan utang kepada satu debitor
berdasarkan beberapa perjanjian utang piutang bilateral antara mesing-masing kreditor
dengan debitor yang bersangkutan (Pasal 3 ayat (2) UUHT).
9. Hak Tanggungan Mengikuti Obyeknya Dalam Tangan Siapapun Objek Hak
Tanggungan Itu Berada
Dengan demikian maka Hak Tanggungan tidak akan berakhir sekalipun objek Hak
Tanggungan itu beralih kepada pihak lain oleh sebab apapun juga (Droit De Suite, Pasal 7
UUHT).
Asas ini memberikan kepastian kepada kreditor mengenai haknya untuk memperoleh
pelunasan dari hasil penjualan atas tanah atau Hak Atas Tanah yang menjadi objek Hak
Tanggungan itu bila debitor cidera janji, sekalipun tanah atau Hak Atas Tanah yang
menjadi objek Hak Tanggungan itu dijual oleh pemiliknya kepada pihak ketiga.
Asas ini seperti halnya dalam Hipotek, memberikan Hak Kebendaan (Zakelijkrecht). Hak
Kebendaan dibedakan dengan Hak Perorangan (Persoonlijkrecht).
Hak Kebendaan adalah Hak Mutlak, artinya hak ini dapat dipertahankan terhadap
siapapun, pemegang hak tersebut berhak untuk menuntut siapapun juga yang
mengganggu haknya itu, dilihat secara pasif setiap orang wajib menghormati hak itu.
Sedangkan Hak Perorangan adalah relatif, artinya hak ini hanya dapat dipertahankan
terhadap debitor tertentu saja, hak tersebut hanya dapat dipertahankan terhadap
debitor itu saja, secara pasif dapat dikatakan bahwa seseorang tertentu wajib melakukan
prestasi terhadap pemilik dari hak itu.
10. Di Atas Hak Tanggungan Tidak Dapat Diletakkan Sita Oleh Peradilan
Tidak dapat diletakkan sita atas Hak Tanggungan, baik sita jaminan maupun sita eksekusi,
meskipun dengan alasan untuk memenuhi kepentingan pihak ketiga, karena tujuan dari
hak jaminan pada umumnya dan pada khususnya Hak Tanggungan itu sendiri.
Tujuan dari Hak Tanggungan adalah untuk memberikan jaminan yang kuat bagi kreditor
yang menjadi pemegang Hak Tanggungan itu untuk didahulukan dari kreditor-kreditor
lain.
Bila terhadap Hak Tanggungan dimungkinkan sita oleh pengadilan, maka berarti
pengadilan mengabaikan, bahkan meniadakan kedudukan yang diutamakan dari kreditor
pemegang Hak Tanggungan. Penegasan dalam UUHT bahwa Hak Tanggungan tidak dapat
diletakkan sita, dapat memberikan kepastian hukum bagi semua pihak, apabila tidak
ditegaskan maka akan timbul perbedaan menyangkut penafsiran hukum.
11. Hak Tanggungan Hanya Dapat Dibebankan Atas Tanah Tertentu.
Asas spesialitas ini diatur dalam Pasal 8 dan Pasal 11 ayat (1) huruf e UUHT.
Hak Tanggungan hanya dapat dibebankan atas tanah yang telah ditentukan secara spesifik,
artinya tanah yang akan dibebankan Hak Tanggungan telah ada dan telah ditentukan pula
tanah yang mana.
Lebih lanjut dapat dijelaskan bahwa spesifikasi yang dimaksud disini adalah lebih kepada
hal-hal yang berhubungan dengan ciri-ciri fisik dari obyek yang dijadikan jaminan,
misalnya Hak Atas Tanah berupa : Hak Milik, Hak Guna Bangunan atau Hak Guna Usaha,
Tanggal Penerbitannya, tentang Luasnya Letaknya, Batas-Batasnya dan lain sebagainya.
Jadi dalam Akta Hak Tanggungan harus diuraikan secara spesifik Hak Atas Tanah yang
dibebani Hak Tanggungan. Hal ini sangat penting karena uraian tentang data fisik tersebut
akan dimuat dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan.
12. Hak Tanggungan Wajib Didaftarkan.
Terhadap Hak Tanggungan berlaku Asas Publisitas atau Asas Keterbukaan.
Menurut Pasal 13 UUHT, pemberian Hak Tanggungan wajib didaftarkan pada Kantor
Pertanahan, dimana merupakan syarat mutlak untuk lahirnya Hak Tanggungan dan
mengikatkan Hak Tanggungan terhadap pihak ketiga dan di dalam Akta Pemberian Hak
Tanggungan (APHT) wajib dicantumkan secara lengkap, baik mengenai subyek, obyek,
termasuk utang yang dijamin dengan Hak Tanggungan, serta kewajiban untuk
mendaftarkan pemberian Hak Tanggungan tersebut pada Kantor Pertanahan setempat.
Pendaftaran ini dimaksudkan sebagai suatu pengumuman yang bersifat ke dalam yaitu
menyangkut para pihak, maupun terhadap masyarakat luas.
Tidaklah adil bagi pihak ketiga untuk terikat dengan pembebanan suatu Hak Tanggungan
atas suatu objek Hak Tanggungan apabila pihak ketiga tidak dimungkinkan untuk
mengetahui tentang pembebanan Hak Tanggungan.
Hanya dengan cara pencatatan atau pendaftaran yang terbuka bagi umum yang
memungkinkan pihak ketiga dapat mengetahui tentang adanya pembebanan Hak
Tanggungan atas suatu Hak Atas Tanah.
14. Hak Tanggungan Tidak Boleh Diperjanjikan Untuk Dimiliki Sendiri Oleh Pemisahan
Hak Tanggungan Apabila Cedera Janji.
Hak Tanggungan berisi hak untuk melunasi utang dari hasil penjualan benda jaminan dan
tidak memberikan hak bagi kreditur untuk memiliki benda jaminan (Pasal 12 UUHT). Sifat
ini sesuai tujuan Hak Tanggungan yaitu untuk menjamin pelunasan utang jika debitur
cidera janji dengan mengambil hasil penjualan benda jaminan itu, bukan untuk dimiliki
kreditur sebagai pemegang Hak Tanggungan.
Bila debitur setuju memberikan atau mencantumkan janji bahwa benda jaminan akan
menjadi milik kreditur jika debitur cidera janji, maka janji ini oleh UU dinyatakan batal
demi hukum. Larangan pencantuman janji ini dimaksudkan untuk melindungi debitor,
agar dalam kedudukannya yang lemah dalam menghadapi kreditor karena dalam keadaan
sangat membutuhkan utang (kredit) terpaksa menerima janji dengan persyaratan yang
berat dan merugikan bagi dirinya.
15. Pelaksanaan Eksekusi Hak Tanggungan Mudah Dan Pasti.
Apabila debitor cidera janji, pemegang Hak Tanggungan pertama berhak untuk menjual
obyek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum serta
mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan/pelelangan tersebut.
Hal ini telah diatur dalam Pasal 6 UUHT. Selanjutnya dapat dikatakan bahwa hak untuk
menjual obyek Hak Tanggungan yang diberikan kepada pemegang Hak Tanggungan,
merupakan perwujudan dari kedudukan diutamakan yang dipunyai oleh pemegang Hak
Tanggungan atau pemegang Hak Tanggungan pertama apabila pemegang Hak
Tanggungan lebih dari satu.
Hak yang dipunyai oleh pemegang Hak Tanggungan/pemegang Hak Tanggungan yang
pertama dalam menjual obyek Hak Tanggungan, mutlak didahului dengan janji-janji
sebelumnya yang dicantumkan dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT). Penjualan
yang dilakukan oleh pemegang Hak Tanggungan maupun pemegang Hak Tanggungan yang
pertama, tidak perlu meminta persetujuan dari pemegang Hak Tanggungan, termasuk
penetapan dari pengadilan.
Hal ini dimungkinkan karena Irah-Irah dengan kata-kata “DEMI KEADILAN BERDASARKAN
KETUHANAN YANG MAHA ESA”, yang terdapat dalam Sertipikat Hak Tanggungan yang
dikeluarkan oleh Kantor Pertanahan, mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan
putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dan berlaku sebagai
pengganti Grosse Acte Hypotheek sepanjang mengenai Hak Atas Tanah.
Unsur-unsur dalam perjanjian
Unsur-unsur yang terdapat dalam suatu perjanjian adalah :
Adalah pihak yang saling berjanji;
Ada persetujuan;
Ada tujuan yang hendak dicapai;
Ada prestasi yang akan dilaksanakan atau kewajiban untuk melaksanakan objek perjanjian;
Ada bentuk tertentu (lisan atau tertulis);
Ada syarat tertentu yaitu syarat pokok dari perjanjian yang menjadi objek perjanjian serta
syarat tambahan atau pelengkap.
Dalam Hukum Perjanjian dikenal Perjanjian Pokok dan Perjanjian Bantuan. Perjanjian
Pokok adalah perjanjian yang mempunyai alasan sendiri untuk adanya perjanjian tersebut.
Perjanjian Bantuan berfungsi dan mempunyai tujuan untuk mempersiapkan, menegaskan,
memperkuat, mengatur, mengubah atau menyelesaikan suatu hubungan hukum.
Sebagai perjanjian bantuan, maka perjanjian tersebut dapat berupa perjanjian
pendahuluan, yaitu suatu perjanjian dimana para pihak saling mengikatkan diri untuk
terjadinya suatu perjanjian baru/pokok yang merupakan tujuan dari para pihak,
contohnya Perjanjian Pengikatan Jual Beli.
Oleh karena itu Perjanjian Pengikatan Jual Beli adalah suatu perjanjian obligatoir dengan
tidak mengurangi, baik unsur-unsur perjanjian, syarat sahnya perjanjian maupun asas-
asas hukum perjanjian.
Perjanjian Pengikatan Jual Beli adalah perjanjian bantuan yang berfungsi sebagai
perjanjian pendahuluan dan bentuknya tidak dibatasi.
Pada umumnya suatu perjanjian pengikatan jual beli mengandung janji-janji yang harus
dipenuhi terlebih dahulu oleh salah satu pihak atau para pihak sebelum dapat
dilakukannya perjanjian pokok yang merupakan tujuan akhir dari para pihak.
Persyaratan tersebut dapat macam-macam. Dapat dicontohkan bahwa untuk terjadinya
jual beli tanah hak dihadapan PPAT harus telah dilunasi harga jual belinya, atau mungkin
saja ada keadaan dimana penjual yang sertipikat hak atas tanahnya sedang dalam
penyelesaian di Kantor BPN, tetapi penjual bermaksud untuk menjual tanah tersebut.
Guna mengatasi hal tersebut maka dibuatlah suatu perjanjian pengikatan jual beli sebagai
perjanjian pendahuluan untuk sementara menantikan dipenuhinya syarat untuk
perjanjian pokoknya yaitu jual beli dihadapan PPAT.
Bahwa Perjanjian Pengikatan Jual Beli adalah perjanjian pendahuluan, maka didalam
perjanjian tersebut memuat janji-janji dari para pihak yang mengandung ketentuan-
ketentuan manakala ada syarat-syarat untuk jual beli dihadapan PPAT telah terpenuhi.
Apabila syarat-syarat untuk jual beli telah dipenuhi dapat datang lagi untuk
melaksanakan jual belinya dihadapan PPAT, atau ada kemungkinan bahwa bakal
penjualnya berhalangan untuk datang kembali untuk pelaksanaan penanda-tanganan
akta jual belinya.
Oleh karenanya guna mengatasi hal tersebut maka pembeli diberi kuasa untuk melakukan
jual belinya sendiri, baik mewakili calon penjual maupun dirinya sendiri selaku pembeli
dihadapan pejabat yang berwenang.
Dalam hal perjanjian pengikatan jual beli tersebut dibuat dihadapan notaris, maka
tentunya notaris telah mengantisipasi keadaan tersebut dengan memberikan kuasa-
kuasa yang dimaksud agar calon pembeli tidak dirugikan haknya mengingat telah
dipenuhi syarat-syarat untuk jual belinya dihadapan pejabat yang berwenang.
Kuasa-kuasa tersebut diberikan dengan ketentuan bahwa kuasa mana tidak dapat
dicabut kembali, kuasa mana berlaku apabila syarat tangguh atas jual belinya telah
dipenuhi.
Perjanjian pengikatan jual beli, merupakan perjanjian yang tidak berbeda dengan
perjanjian pada umumnya. Perjanjian pengikatan jual beli merupakan suatu terobosan
baru yang lahir sebagai akibat terhambatnya atau terdapatnya beberapa persyaratan
yang berkaitan dengan jual beli hak atas tanah dan bangunan yang akhirnya menghambat
penyelesaian transaksi dalam jual beli.
Persyaratan tersebut ada yang lahir dari peraturan perundang-undangan yang ada dan
ada juga yang timbul sebagai kesepakatan para pihak yang akan melakukan jual beli hak
atas tanah. Umumnya persyaratan yang sering timbul adalah persyaratan yang lahir dari
kesepakatan para pihak yang akan melakukan jual beli,
PJB menurut Prof. Subekti, dikatakan:
Perjanjian pengikatan jual beli adalah perjanjian antar pihak penjual dan pihak pembeli
sebelum dilaksanakannya jual beli dikarenakan adanya unsur-unsur yang harus dipenuhi
terlebih dahulu untuk untuk dapat dilakukan jual beli antara lain adalah sertifikat belum
ada karena masih dalam proses, belum terjadinya pelunasan harga.
PJB menurut DR. Herlien Budiono:
Perjanjian pengikatan jual beli adalah perjanjian bantuan yang berfungsi sebagai
perjanjian pendahuluan yang bentuknya bebas.
PJB menurut Prof. Hikmahanto Juwana:
Perjanjian pengikatan adalah suatu perbuatan hukum yang dilakukan oleh dua atau lebih
dimana masing-masing pihak yang ada didalamnya dituntut untuk melakukan satu atau
lebih prestasi.
Pengikatan Jual Beli bukan merupakan Pengalihan Hak, karena sebagaimana ketentuan
Pasal 37 ayat (1) PP No. 24 Tahun 1997, yaitu: “Peralihan hak atas tanah dan hak milik atas
satuan rumah susun melalui jual beli, tukar menukar, hibah, pemasukan dalam
perusahaan dan perbuatan hukum pemindahan hak lainnya, kecuali pemindahan hak
melalui lelang hanya dapat didaftarkan jika dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh PPAT
yang berwenang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku”.
Simpulan:
Dari rangkaian penjelasan tersebut diatas: PJB TIDAK BISA DIJADIKAN DASAR UNTUK
SKMHT apalagi APHT.

Anda mungkin juga menyukai