Anda di halaman 1dari 2

Pertemuan VI

Pak Abdul

 Masalah kecakapan seorang istri terdapat pada 1330 BW. Hukum keluarga di
dalam KUHPerdata termasuk ke dalam hukum orang, karena perkawinan
menentukan kecakapan seseorang. Bahwa seorang perempuan yang sudah cakap
melakukan perkawinan, di katakan BW bahwa ia tidak cakap melakukan perbuatan
hukum, karena konsep di BW, istri hanya bisa melakukan perbuatan hukum atas
kedudukan suami. Namun hal ini sudah tidak berlaku lagi karena ada SEMA no. 3
dan UU 1/74 yang mengatur bahwa perempuan yang sudah menikah juga cakap
dalam melakukan perbuatan hukum.
 Tidak selalu umur yang sudah dewasa yang sudah masuk ke dalam syarat
kecakapan, tetapu untuk peristiwa tertentu ia tidak berwenang. Ada perbedaan
antara kecakapan dengan kewenangan. Yang cakap belum tentu memiliki
wewenang.
 Yang perlu di ingat bahwa sesorang yang umurnya belum masuk ke batas dewasa,
namun sudah menikah, maka dianggap sudah dewasa. Apabila pernikahan mereka
berakhir namun belum genap ke usia 20 tahun, statusnya tidak akan kembali lagi
ke “belum dewasa”.
 Ketentuan di dalam BW ps. 151 ada catatan yang perlu diperhatikan,
a. “dibantu” bukan diwakili, dalam hal ini calon yang menikah yang blm dewasa
akan bertindak secara sendiri, namun “dibantu”. Kalau di wakili maka makna
nya akan berbeda terkait dengan bertindak itu.
 Ketentuan di dalam BW ps. 897, para belum dewasa tidak bisa membuat surat
wasiat, a contrario: mereka yg sudah berumur 18 tahun memiliki kewenangan
untuk membuat surat wasiat. Masalah kedewasaan ini dengan berlakunya uu
1/74, dimana uu tsb scr tdk langsung mengatur mengenai kedewasaan, uu ini
berarti menganut asas lain mengenai kedewasaan (penjelasan pasal 47 ayat (1)
dan ayat (2), pasal 50).
 Kalau ikut BW, suami memang memegang kekuasaan marital macht, namun seiring
dengan perkembangannya, marital macht ini, istri kemudian mempunyai
kewenangan. Lalu, kewenangan2 seperti apa yang dimiliki oleh si istri?
 Kasus : Notaris di datangi pihak2 yang aset dan harta yang atas nama mereka
bersama. Kemudian si suami ingin membuat akta hibah untuk istrinya. Suami mau
menghibahkan tanahnya ke istri, namun pada saat pembelian, sebetulnya semua
pembelian itu dilakukan oleh si istri, kalau anda sebagai Notaris nya, anda akan
menerima Akta Pengikatan Hibah tsb atau menolak? Boleh tidak kalau notaris
bilang bahwa itu memang harta si istri, padahal ada perjanjian kawin harta
bersama. Kemudian dipermasalahkan di MPD bahwa ada akta pengikatan hibah
tsb.
Catatan: ada pembuktiannya bahwa harta itu memang milik istri.

Jawab: ......
1. Ada larangan/pengecualian mengenai hibah
2. Apakah Notaris memiliki kewenangan untuk menentukan apakah harta ini
harta bersama atau harta bawaan?
3. Kalau dikaitkan dengan UUJN, bahwa Notaris harus berhati2 dalam pembuatan
akta, maka perbuatan mengkroscek/dengan menilai apabila harta tsb adalah
harta bersama atau harta bawaan itu merupakan tindakan dari kehati2an
Notaris tsb. (Kalau menerima: maka blm ada kehati2an)
 Bahwa dalam melakukan jabatan sbg notaris, maka notaris tidak memiliki
kewenangan untuk melakukan penilaian thd status hukumnya. Ada 1 hal yang
kurang hati2, scr prosedural dan scr substansial.
Dimana scr substansial, apakah notaris tau ada larangan ttg hibah. Atau ada pasal
lain yang menentukan bahwa hibah ini boleh dilakukan.
Scr prosedural, harus melihat lagi, bahwa di surat tanah tsb atas nama berdua.
Tidak boleh ada judgement disini bahwa itu harta siapa.
Notaris sbg pihak ketiga tidak memiliki kewenangan untuk memastikan apakah
harta tsb punya siapa. Karena Notaris tidak boleh memihak, kalau lihat dari
aktanya harta itu punya siapa, maka disini Notaris sudah melakukan keberpihakan.

Anda mungkin juga menyukai