Anda di halaman 1dari 5

ARTIKEL 1 >>> TENTANG PERTANGGUNG JAWABAB HUTANG SETELAH PERCERAIAN

Pertanyaan :
Konsekuensi Hukum Perjanjian Kartu Kredit Terhadap Suami/Istri
Apakah kartu kredit yang dimiliki atas nama masing-masing, dan tanpa persetujuan/sepengetahuan kedua belah pihak, punya
konsekuensi hukum langsung terhadap keduanya? (Bila utang yang terjadi masih dalam ikatan perkawinan). Bila telah bercerai
apakah bank mempunyai hak untuk menagih ke salah satu pihak, dan dapat menyita harta benda milik dari yang tidak memiliki
utang kartu kredit tersebut?

Jawaban :
1. Kartu kredit yang dimiliki atas nama masing-masing tanpa persetujuan pasangan dalam
perkawinan memiliki konsekuensi hukum. Karena sebagaimana diatur dalam Pasal 36 ayat
(1) UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“UUP”), “mengenai harta bersama suami
atau istri dapat bertindak atas perjanjian kedua belah pihak.” Artinya, penggunaan harta
bersama harus dilakukan atas persetujuan pasangan perkawinan tersebut, kecuali bila
mengenai harta bersama diperjanjikan lain dalam perjanjian kawin sebagaimana diatur
dalam Pasal 29 UUP.

Mahkamah Agung (“MA”) pernah mengadili kasus serupa mengenai penggunaan harta
bersama tanpa sepengetahuan suami/istri. Pada kasus tersebut seorang suami menjual
tanah yang merupakan harta bersama dalam perkawinan tanpa persetujuan istrinya. Pada
akhirnya, dalam Putusan Mahkamah Agung No. Reg: 2691 PK/Pdt/1996 dinyatakan
bahwa, “Tindakan terhadap harta bersama oleh suami atau isteri harus mendapat
persetujuan suami isteri.” MA lebih lanjut berpendapat bahwa, karena belum ada
persetujuan isteri maka tindakan seorang suami (Tergugat I) yang membuat perjanjian atas
harta bersama (tanah) adalah tidak sah menurut hukum.

Dalam kasus Anda, perjanjian pembuatan kartu kredit tersebut dianggap cacat hukum,
karena perjanjian dibuat tanpa persetujuan dari pasangan suami/istri, sehingga tidak
terpenuhinya syarat sah perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata (“KUHPer”), yaitu mengenai kausa yang halal. Sebab Pasal
1337 KUHPer sudah menentukan bahwa, ”Suatu sebab adalah terlarang, apabila
dilarang oleh undang-undang, atau apabila berlawanan dengan kesusilaan baik atau
ketertiban umum.” Sementara, ketentuan Pasal 36 ayat (1) UUP mengharuskan
penggunaan harta bersama dilakukan suami atau istri atas dasar perjanjian kedua belah
pihak. Artinya, jika ditafsirkan secara a contrario Pasal 36 ayat (1) UUP melarang
penggunaan harta bersama tanpa persetujuan dari pasangan suami/istri.

Pada praktik umumnya, sebagaimana dijelaskan dalam artikel Perjanjian Gadai Deposito
Tanpa Tanda Tangan Istri, pihak bank tidak akan memberikan pinjaman apabila tidak ada
persetujuan dari pasangan (suami/istri) debitur. Kecuali, ada perjanjian pisah harta di antara
suami dan istri yang dibuktikan dengan melampirkan akta perjanjian pisah harta pada saat
mengajukan permohonan kredit.

Penolakan bank untuk memberikan kredit tersebut terkait pengaturan Pasal 8 ayat (1) UU
No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas UU No. 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan (“UU Perbankan”) yang mewajibkan bank untuk memiliki
keyakinan berdasarkan analisis yang mendalam atas itikad dan kemampuan serta
kesanggupan nasabah debitur untuk melunasi utangnya sesuai dengan yang
diperjanjian.

Jadi, pihak bank akan menganggap kartu kredit yang dibuat tanpa persetujuan suami/istri
akan menambah resiko bank. Karena ada kemungkinan bank akan menghadapi kendala
ketika melakukan penagihan, yaitu adanya keberatan dari pihak suami/istri dari pemegang
kartu kredit yang mengklaim bahwa harta yang digunakan untuk membayar kartu kredit
adalah harta bersama.

2. Mengenai harta bersama setelah perceraian, sesuai pengaturan Pasal 37


UUPjuncto Pasal 126 KUHPer menyatakan persatuan demi hukum (harta bersama)
menjadi bubar salah satunya karena perceraian. Kemudian ditentukan lebih lanjut
dalam Pasal 128 KUHPer bahwa, “setelah bubarnya persatuan, maka harta benda
kesatuan dibagi dua antara suami dan istri...” Artinya, setelah perceraian pasangan suami-
istri tersebut berhak membagi harta bersama. Sehingga tidak ada lagi harta bersama di
antara mereka. Konsep pembagian harta bersama setelah perceraian pernah juga dibahas
dalam artikel Pembagian Harta.

Setelah pasangan suami/istri itu bercerai, pihak bank hanya berhak melakukan penagihan
kepada pihak yang membuat perjanjian kartu kredit. Karena sesuai dengan
pengaturan Pasal 1338 KUHPer, “semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku
sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.” Artinya, perjanjian kredit antara
bank dengan pemegang kartu kredit hanya menimbulkan hak dan kewajiban di antara bank
dengan pemegang kartu kredit. Sehingga Bank tidak berhak untuk melakukan penagihan
kepada suami/istri dari pemegang kartu kredit, karena orang tersebut bukanlah salah satu
pihak dalam perjanjian.

Lebih lanjut, dalam perjanjian kartu kredit, kecuali ditentukan lain dalam perjanjian kartu
kredit, umumnya kartu kredit dibuat tanpa adanya jaminan. Artinya, bank dalam hal ini
berkedudukan sebagai kreditor konkuren, sehingga bank tidak memiliki kedudukan yang
diutamakan dalam penagihan utang seperti misalnya dalam perjanjian kredit (pinjaman)
dengan jaminan hak tanggungan.

Karena kedudukan bank dalam perjanjian kartu kredit adalah sebagai kreditor konkuren,
maka pihak bank tidak berhak melakukan penyitaan terhadap barang-barang milik
pemegang kartu kredit, kecuali bila dilakukan atas putusan pengadilan. Artinya, untuk
melakukan penyitaan maka pihak bank perlu melakukan gugatan perdata di pengadilan
negeri.

Maka menurut hemat kami, Anda tidak perlu khawatir pihak bank akan melakukan
penagihan hutang yang dibuat oleh mantan pasangan anda, karena pihak bank tidak
berhak melakukan penagihan hutang mantan pasangan Anda kepada Anda.
Sekian jawaban dari kami, semoga membantu.

ARTIKEL 2 >>> TENTANG PERTANGGUNG JAWABAB HUTANG SETELAH PERCERAIAN

Pertanyaan :
Apakah Utang Isteri Juga Merupakan Utang Suami?
Langsung saja ke pertanyaan: 1. Kalau isteri meminjam uang dengan membuat perjanjian dengan pemilik dana tanpa
sepengetahuan suami, apakah suami bertanggung jawab atas utang itu? 2. Kalau isteri menjaminkan harta gono gini (rumah)
karena meminjam uang tapi suami tidak mengetahui (perjanjian dilakukan di notaris tanpa persetujuan suami), apakah rumah
bisa disita untuk melunasi utang tersebut?

Jawaban :

Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran dari artikel dengan judul sama yang
dibuat oleh Letezia Tobing, S.H., M.Kn. dan pernah dipublikasikan pada Senin,
05 November 2012.

Intisari:

Utang yang dibuat oleh isteri tanpa sepengetahuan dan tanpa persetujuan suami, tidak
dapat dipertanggungjawabkan kepada harta suami (utang pribadi tidak dapat diambil
pelunasannya dari harta pribadi pasangan), dan tidak dapat diambil pelunasannya dari
harta bersama (akibat tidak adanya persetujuan).

Kemudian mengenai penjaminan rumah, pemberi hak tanggungan (dalam hal ini
objeknya adalah rumah sebagai harta bersama) adalah orang perseorangan atau badan
hukum yang mempunyai kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum
terhadap obyek hak tanggungan yang bersangkutan. Dalam hal ini, isteri tidak
memiliki kewenangan untuk bertindak sendiri atas harta bersama. Tindakan hukum
berkaitan dengan harta bersama harus dilakukan dengan persetujuan pasangan.

Jadi, karena tidak ada persetujuan pasangan, penjaminan rumah dengan hak
tanggungan tersebut tidak sah secara hukum, yang mengakibatkan rumah tersebut tidak
dapat dieksekusi apabila isteri tidak dapat membayar utangnya.

Penjelasan lebih lanjut, dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini.

Ulasan:

Terima kasih atas pertanyaan Anda.

Harta Benda dalam Perkawinan


Dalam Pasal 35 dan Pasal 36 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan (“UU Perkawinan”) diatur mengenai harta benda dalam perkawinan.
Harta benda dalam perkawinan terdiri dari harta bersama dan harta bawaan. Harta
bersama adalah harta benda yang diperoleh selama perkawinan, yang terhadap harta
bersama tersebut, suami atau isteri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah
pihak.

Sedangkan, harta bawaan adalah harta yang dibawa oleh masing-masing suami dan
isteri sebelum perkawinan dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai
hadiah atau warisan. Harta bawaan ini berada di bawah penguasaan masing-masing
sepanjang suami dan isteri tidak menentukan lain. Atas harta bawaan ini, suami dan
isteri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum.

Artinya, penggunaan harta bersama harus dilakukan atas persetujuan pasangan


perkawinan tersebut, kecuali bila mengenai harta bersama diperjanjikan lain dalam
perjanjian kawin sebagaimana diatur dalam Pasal 29 UU Perkawinan jo. Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015:

(1) Pada waktu, sebelum dilangsungkan, atau selama dalam ikatan


perkawinan, kedua belah pihak atas persetujuan bersama dapat
mengajukan perjanjian tertulis yang disahkan oleh Pegawai pencatat
perkawinan atau notaris, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak
ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut.
(2) Perjanjian tersebut tidak dapat disahkan bilamana melanggar batas-batas
hukum, agama dan kesusilaan.
(3) Perjanjian tersebut mulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan, kecuali
ditentukan lain dalam Perjanjian Perkawinan.
(4) Selama perkawinan berlangsung, perjanjian perkawinan dapat
mengenai harta perkawinan atau perjanjian lainnya, tidak dapat diubah
atau dicabut, kecuali bila dari kedua belah pihak ada persetujuan untuk
mengubah atau mencabut, dan perubahan atau pencabutan itu tidak
merugikan pihak ketiga.

Penjelasan selengkapnya simak dalam artikel Tentang Percampuran Harta Istri dan
Suami Karena Perkawinan.

Utang Pribadi Istri


Mengenai utang dalam perkawinan, oleh Prof. Subekti, S.H. dalam bukunya Pokok-
Pokok Hukum Perdata (hal. 34), dibedakan menjadi 2 (dua) yaitu utang pribadi
(utang prive) dan utang persatuan (utang gemeenschap, yaitu suatu utang untuk
keperluan bersama).

Menurut Subekti, untuk suatu utang pribadi harus dituntut suami atau isteri yang
membuat utang tersebut, sedangkan yang harus disita pertama-tama adalah
benda prive (benda pribadi). Apabila tidak terdapat benda pribadi atau ada tetapi tidak
mencukupi, maka dapatlah benda bersama disita juga. Akan tetapi, jika suami yang
membuat utang, benda pribadi isteri tidak dapat disita, dan begitu pula sebaliknya.
Sedangkan untuk utang persatuan, yang pertama-tama harus disita adalah
benda gemeenschap (benda bersama) dan apabila tidak mencukupi, maka benda pribadi
suami atau isteri yang membuat utang itu disita pula.

Dalam hal ini, utang pribadi yang bisa dimintai pelunasannya dari harta bersama
adalah utang pribadi yang berasal dari perjanjian utang piutang dengan
persetujuan pasangan. Ini merupakan hal yang logis karena utang yang dibuat oleh
suami/isteri dapat berdampak pada harta bersama apabila suami atau isteri tidak dapat
melunasinya, dan untuk bertindak atas harta bersama diperlukan persetujuan pasangan.

Oleh karena itu, utang yang dibuat oleh isteri tanpa sepengetahuan dan tanpa
persetujuan suami, tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada harta suami (utang
pribadi tidak dapat diambil pelunasannya dari harta pribadi pasangan), dan tidak dapat
diambil pelunasannya dari harta bersama (akibat tidak adanya persetujuan).

Penjaminan Rumah Tanpa Persetujuan Pasangan


Sedangkan, mengenai penjaminan rumah (harta gono gini atau harta bersama), kami
asumsikan dengan menggunakan hak tanggungan karena untuk penjaminan tanah dan
bangunan menggunakan hak tanggungan. Berkaitan dengan penjelasan mengenai harta
bersama di atas, maka penjaminan rumah tanpa sepengetahuan suami (kami asumsikan
tidak ada persetujuan suami juga) berakibat penjaminan rumah tersebut tidak sah.

Mengutip pada artikel Konsekuensi Hukum Perjanjian Kartu Kredit Terhadap


Suami/Isteri, Mahkamah Agung (“MA”) pernah mengadili kasus serupa mengenai
penggunaan harta bersama tanpa sepengetahuan suami/isteri. Pada kasus tersebut
seorang suami menjual tanah yang merupakan harta bersama dalam perkawinan tanpa
persetujuan isterinya. Pada akhirnya, dalam Putusan Mahkamah Agung No. Reg: 2691
PK/Pdt/1996 dinyatakan bahwa, “Tindakan terhadap harta bersama oleh suami atau
isteri harus mendapat persetujuan suami isteri.” MA lebih lanjut berpendapat bahwa,
karena belum ada persetujuan isteri maka tindakan seorang suami (Tergugat I) yang
membuat perjanjian atas harta bersama (tanah) adalah tidak sah menurut hukum.

Lebih lanjut, artikel tersebut juga menghubungkan Pasal 1320 Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata (“KUHPer”) dengan perjanjian (berkaitan dengan harta bersama)
yang dibuat tanpa persetujuan pasangan. Apabila kita hubungkan dengan perjanjian
penjaminan rumah tersebut (penjaminan dengan hak tanggungan) maka perjanjian
penjaminan tersebut dianggap cacat hukum karena perjanjian dibuat tanpa persetujuan
dari suami, sehingga tidak terpenuhinya syarat sah perjanjian sebagaimana diatur
dalam Pasal 1320 KUHPer, yaitu mengenai kausa yang halal.

Sebab Pasal 1337 KUHPer sudah menentukan bahwa, ”Suatu sebab adalah
terlarang, apabila dilarang oleh undang-undang, atau apabila berlawanan dengan
kesusilaan baik atau ketertiban umum.” Sementara, ketentuan Pasal 36 ayat (1) UU
Perkawinanmengharuskan penggunaan harta bersama dilakukan suami atau isteri atas
dasar persetujuan kedua belah pihak. Artinya, jika ditafsirkan secara a contrario, Pasal
36 ayat (1) UU Perkawinan melarang penggunaan harta bersama tanpa persetujuan dari
pasangan suami/isteri.

Hal ini juga didukung oleh ketentuan Pasal 8 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996
tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan
Dengan Tanah yang mengatakan pemberi hak tanggungan adalah orang
perseorangan atau badan hukum yang mempunyai kewenangan untuk melakukan
perbuatan hukum terhadap obyek hak tanggungan yang bersangkutan. Dalam hal
ini, isteri tidak memiliki kewenangan untuk bertindak sendiri atas harta
bersama. Tindakan hukum berkaitan dengan harta bersama harus dilakukan dengan
persetujuan pasangan.

Jadi, karena tidak ada persetujuan pasangan, penjaminan rumah dengan hak
tanggungan tersebut tidak sah menurut hukum, yang mengakibatkan rumah tersebut
tidak dapat dieksekusi apabila isteri tidak dapat membayar utangnya.

Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

Anda mungkin juga menyukai