b.
3. Metode Biaya-Plus (cost plus method) ini menentukan harga transfer yang
menambahkan laba kotor dari transaksi antara perusahaan wajib pajak tidak terafiliasi
yang sebanding terhadap biaya yang ditanggung dalam transaksi afiliasi.
Adapun metode ini tepat digunakan ketika barang setengah jadi dijual kepada pihak yang
terafiliasi (memiliki hubungan spesial)
Selain itu pihak yang terafiliasi (memiliki hubungan spesial) memiliki kontrak jangka
panjang atau kontrak perjanjian penggunaan fasilitas bersama.
Metode ini sangat efektif apabila digunakan pada usaha dengan transaksi penyedia jasa.
CONTOH:
PT A memproduksi barang dengan biaya Rp 500.000 dan menyerahkan barang tersebut
kepada rekan istimewanya, PT B dengan harga Rp. 900.000
Di sisi lain, PT Y juga memproduksi barang yang sama dengan biaya Rp 600.000 dan
menjualnya ke PT Z yang tidak memiliki hubungan istimewa dengan harga Rp. 900.000.
Jika dilihat dari rasio laba kotor penjualan PT Y, maka didapat 50% (30:60)
Dengan analisis biaya-plus ini, dapat diketahui harga transfer wajar PT A ke PT B
adalah:
Rp.500.000 + (50% x Rp 500.000) = Rp. 750.000.
Sehingga kesimpulannya, transfer pricing PT A ke PT B dianggap terlalu mahal dan
memerlukan audit dari kantor pajak.
CONTOH:
Berikut ini akan diuraikan beberapa contoh upaya penyalahgunaan P3B:
1) Transaksi yang tidak mempunyai substansi ekonomi dilakukan dengan
menggunakan struktur atau skema sedemikian rupa, semata-mata dengan maksud
untuk memperoleh manfaat dari Tax Treaty ini.
2) Transaksi dengan struktur atau skema yang memiliki format hukum (legal form)
berbeda dengan substansi ekonomisnya (economic substance) sedemukian rupa,
semata-mata bermaksud untuk memperoleh manfaat tax treaty.
3) Penerima manfaat P3B bukan merupakan pemilik yang sesungguhnya atas manfaat
ekonomis dari suatu transaksi (beneficial owner).
5. BUT ini ditandai dengan adanya fasilitas fisik atau aset yang merupakan tempat untuk
menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di suatu negara. Sehingga BUT tipe ini
sering juga disebut sebagai BUT Tipe Aset/Aktiva. BUT ini mulai timbul ketika
aktivitas melalui tempat yang tetap dimulai, yang dapat diketahui pada saat
orang/perusahaan tersebut menyiapkan tempat tersebut. Yang termasuk dalam BUT Tipe
ini adalah:
a. tempat kedudukan manajemen
b. cabang perusahaan
c. kantor perwakilan
d. gedung kantor
e. pabrik
f. bengkel
g. gudang
h. ruang untuk promosi dan penjualan
i. pertambangan dan penggalian sumber alam
j. wilayah kerja pertambangan minyak dan gas bumi
k. perikanan, peternakan, pertanian, perkebunan, atau kehutanan
l. komputer, agen elektronik, atau peralatan otomatis yang dimiliki, disewa, atau
digunakan oleh penyelenggara transaksi elektronik untuk menjalankan kegiatan usaha
melalui internet.
6. Hak pemajakana ekslusif adalah “istilah ekslusif” karena hanya sedikit jumlah Wajib
Pajak yang terlibat dalam transaksi internasional. Pajak internasional merupakan
kesepakatan perpajakan antarnegara yang mempunyai Persetujuan Penghindaran Pajak
Berganda (P3B) dan dilakukan sesuai dengan ketentuan dalam Konvensi Wina.
Persetujuan ini mengakibatkan peraturan pajak yang berlaku di suatu negara tidak
berlaku atas penduduk atau organisasi asing, apabila sudah disepakati perjanjian bilateral
khusus antar kedua negara yang memiliki kesepakatan tersebut.
7. Arm’s Length Principle (Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha) adalah prinsip yang
mengatur bahwa dalam hal kondisi dalam transaksi yang dilakukan antara para pihak
yang mempunyai Hubungan Istimewa sama atau sebanding dengan kondisi dalam
transaksi yang dilakukan antara para pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa
yang dijadikan sebagai pembanding, harga atau laba dalam transaksi yang dilakukan
antara para pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa dimaksud harus sama dengan
atau berada dalam rentang harga atau rentang laba dalam transaksi yang dilakukan antara
para pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa yang dijadikan sebagai
pembanding.
CONTOH:
Transaksi yang dilakukan oleh Wajib Pajak dengan pihak-pihak yang mempunyai
Hubungan Istimewa yang mempunyai nilai penghasilan atau pengeluaran tidak
melampaui Rp 10 .000.000,00 (sepuluh juta rupiah) tidak diwajibkan memenuhi
kewajiban sebagaimana dimaksud di atas, namun Wajib Pajak tetap diwajibkan
memenuhi ketentuan Pasal 28 Undang-Undang KUP.
CONTOH:
Pembanding metode CUP ini dapat menggunakan pembanding internal maupun
pembanding eksternal. Sebagai contoh sederhana pembanding internal, PT A menjual
produk X ke PT B (Pihak afiliasi) sebesar Rp. 1.000/unit dan juga ke PT C (pihak
independen) sebesar Rp. 1.600/unit. Karakteristik produk yang dijual dan ketentuan
kontrak kepada PT B dan PT C sama, selain itu fungsi aset dan risiko, strategi bisnis dan
situasi ekonomi saat penjualan PT A kepada PT B dan PT C memiliki kesebandingan
yang tinggi. Dalam kasus ini, metode CUP dapat diaplikasikan sehingga harga wajar PT
A kepada PT B (pihak afiliasi) seharusnya Rp. 1.600/unit. Namun perlu dipertimbangkan
juga apakah perbedaan volume penjualan akan memengaruhi tingkat harga jualnya atau
tingkat diskon di pasar pihak independen.
9. a. Thin capitalization adalah keadaan dimana sebuah perusahaan memiliki utang yang
lebih besar ketika dibandingkan dengan modal yang tersedia. Thin capitalization atau
Thin Capitalization Rules (TCR) juga berlaku untuk kondisi peminjaman modal secara
terselubung yang melampaui batas kewajaran. Konsep ini biasa digunakan oleh
perusahaan multinasional.
b. Di Indonesia, hal ini telah dilakukan pemerintah pada tahun 1984 dengan merilis
Keputusan Menteri Keuangan nomor 1002/KMK.04/1984 yang mengatur bahwa
biaya utang hanya dapat diakui sebesar biaya utang pada struktur modal berbanding
utang 3:1, namun setahun kemudian pemerintah kemudian membekukan peraturan
tersebut (Darussalam dan Kristiaji, 2015). Hal ini disebabkan oleh penurunan
perkembangan ekonomi pada tahun 1984. Kemudian, pada tanggal 09 September
2015 lalu kementerian keuangan kembali merilis peraturan menteri keuangan nomor
169/PMK.010/2015 (selanjutnya PMK169) yang mengatur hal yang sama dengan
ketentuan yang berbeda. Pada PMK169 pemerintah mengatur bahwa struktur modal
yang biayanya dapat dibiayakan adalah sebesar 4:1 (Kementerian Keuangan, 2015).
Selain itu maka biaya utang tidak lagi menjadi pengurang pada penghasilan neto
perusahaan. Akibatnya tentu saja meningkatkan penerimaan pajak penghasilan yang
diterima oleh pemerintah sekaligus meningkatkan biaya pajak yang dibayarkan oleh
perusahaan.
10. Pasal 15 UN Model, istilah yang digunakan adalah ‘Dependent Personal Services’.
Prinsip umum pemajakan atas penghasilan karyawan sebagaimana diatur dalam Pasal 15
ayat (1) OECD Model dan UN Model adalah hak pemajakan eksklusif diberikan kepada
negara domisili pekerja. Namun, ketika pekerjaan dilakukan di negara lainnya (negara
sumber penghasilan), negara sumber penghasilan (selaku negara tempat aktivitas
pekerjaan dilakukan) juga diberikan hak pemajakan. Prinsip ini dikenal dengan sebutan
‘principle of the place of work’.
Independent personal services. Ketentuan mengenai pemajakan atas penghasilan dari
pekerjaan bebas saat ini hanya terdapat dalam UN Model, yaitu diatur dalam Pasal 14.
Dalam Pasal 14 ayat (1) UN Model diatur mengenai prinsip umum pemajakan atas
penghasilan dari pekerjaan bebas. Berdasarkan pasal ini, penghasilan yang diperoleh oleh
orang pribadi (individu) dari pemberian jasa profesional (professional services) atau
pekerjaan bebas lainnya hanya dapat dikenakan pajak (‘shall be taxable only’) di negara
di mana orang pribadi tersebut menjadi subjek pajak dalam negeri atau di negara
domisili.
11. Controlled Foreign Corporation (CFC) adalah perusahaan yang berkedudukan di luar
negeri (offshore company) yang kepemilikannya dikuasai oleh Wajib Pajak Dalam
Negeri. CFC dibuat sebagai alat untuk menangguhkan kewajiban pajak atas penghasilan
dari operasi perusahaan tersebut dengan cara menangguhkan pendistribusian dividen ke
pemegang saham.
CONTOH:
Ketentuan CFC Indonesia menerapkan pendekatan pada entitas yang berkedudukan di
negara tertentu (designated jurisdiction) dan pengecualian terhadap badan WPLN masuk
bursa. Kedudukan negara-negara tertentu itu tertuang dalam Lampiran KMK No.
650/KMK.04/1994. Pasal 18 ayat 2 UU PPh Nomor 17 Tahun 2000 mengecualikan
aturan pemajakan dipercepat (akrual) terhadap badan yang menjual sahamnya di Bursa
Efek (perusahaan masuk bursa). Ketentuan tersebut tidak menyebut jumlah kuantitatif
maupun kualitatif porsi saham yang diperdagangkan di bursa efek dan tempat bursa
tersebut berada (di Indonesia atau dinegara lain). Dengan demikian, seberapa pun jumlah
saham yang diperdagangkan di bursa, pengecualian dari percepatan pemajakan dividen
tersebut tetap berlaku. Hal ini mendorong perusahaan untuk memperdagangkan
sahamnya di bursa, dan barangkali ketentuan tersebut dapat mendorong perusahaan
untuk lebih transparan dan seluas mungkin mengikutsertakan masyarakat dalam
pengendalian badan tersebut.
12. AA