Anda di halaman 1dari 6

TAX TREATY

Mengenakan Pajak Laba Usaha Perusahaan Luar Negeri

Dengan adanya kebebasan atau keluasnyaaan perdagangan dan transaksi jasa lintas negara, banyak
perusahaan berskala besar mengembangkan usahanya dengan melakukan investasi langsung (foreign
direct investment) melalui pengoperasian bentuk usaha tetap dan pendirian anak perusahaan. Akan
tetapi, yang menjadi masalah adalah apabila perusahaan asing mendirikan bentuk usaha tetap (BUT) di
negara lain, dan menurut undang-undang negara lain itu penghasilan yang diterima BUT tersebut
dikenakan pajak, maka akan terjadi pengenaan pajak berganda, sedangkan BUT merupakan satu
kesatuan dengan perusahaan induknya. Berbeda dengan anak perusahaan (afiliasi) yang merupakan
entitas terpisah dari perusahaan induknya atau merupakan badan hukum sendiri yang menjadi subjek
pajak di negara lain, apabila dikenakan pajak di negara lain, tidak akan menimbulkan pengenaan pajak
berganda, karena pengenaan pajak berganda terjadi jika atas subjek pajak yang sama dan objek pajak
yang sama dikenakan pajak berkali-kali.
Perjanjian penghindaran pajak berganda (P3B) pada umumnya sebenarnya juga tidak membatasi suatu
negara untuk mengenakan pajak terhadap perusahaan yang menjalankan usaha melalui BUT di
negaranya (penentuan adanya bentuk usaha tetap akan dibahas pada edisi selanjutnya). Namun
demikian, P3B hanya mengatur prinsip-prinsip pemajakannya sebagaimana akan diuraikan bagian-
bagian berikut (Bbentuk P3B yang akan digunakan adalah P3B berdasarkan UN Model).

Penentuan Penghasilan BUT

Suatu hal yang wajar jika laba usaha suatu perusahaan dari kegiatan usaha yang dijalankan di negaranya
dikenakan pajak di sana. Namun demikian, apabila perusahaan itu menjalankan usaha di negara lain
melalui BUT, tidak dapat dihindari negara lain itu mengenakan pajak atas penghasilan yang diperoleh
BUT tersebut sesuai dengan undang-undang negara lain itu. Hal iniitu mungkin bisa dianggap wajar,
karena negara-negara pada umumnya suatu negara menganut sistem pemajakan dimana pajak akan
dikenakan terhadap penghasilan yang bersumber di negara tersebutnya akan dikenakan pajak. Yang
menjadi masalah adalah bagaimana seharusnya penentuan penghasilan kena pajak bagi BUT. Masalah
itu diatur dalam P3B Pasal 7 ayat (1) sebagai berikut:

“1. The profits of an enterprise of a Contracting State shall be taxable only in that State unless the
enterprise carries on business in the other State through a permanent establishment situated
therein. If the enterprise carries on business as foresaid, the profits of the enterprise may be taxed
in the other State but only so much on them as attributable to (a) that permanent establishment; (b)
sales in that other State of goods or merchandise of the same or similar kind as those sold through
that permanent establishment; or (c) other business activities carried on that other State of the
same or similar kind as effected through that permanent establishment.”

Laba perusahaan dari suatu negara perjanjian hanya akan dikenakan pajak di negara itu, kecuali jika
perusahaan tersebut menjalankan usaha di negara perjanjian lainnya melalui suatu bentuk usaha tetap.
Apabila perusahaan itu menjalankan usaha seperti dimaksud, laba perusahaan itu dapat dikenakan pajak
di negara lainnya, tetapi hanya sebesar bagian laba yang dianggap berasal dari (a) bentuk usaha tetap;
(b) penjualan barang-barang atau barang dagangan di negara lainnya, yang sejenis atau serupa seperti
yang dijual melalui bentuk usaha tetap; (c) kegiatan usaha lainnya yang dilakukan di negara lain yang
sejenis atau serupa seperti yang dilakukan melalui bentuk usaha tetap.

Dari ketentuan di atas, jelas bahwa P3B tidak membatasi secara penuh suatu negara untuk mengenakan
pajak atas penghasilan yang diperoleh BUT. Pembatasan hanya berlaku untuk penghasilan yang dapat
diperhitungkan untuk tujuan pengenaan pajak. Ketentuan P3B ini mengatur bahwa pengenaan pajak
tersebut tidak terhadap perusahaan yang memiliki BUT tetapi hanya terhadap laba usahanya melalui
BUT. Dengan kata lain, pengenaan pajak terhadap BUT mengesampingkan prinsip worldwide income
taxation (pengenaan pajak atas seluruh penghasilan dari dalam dan luar negeri). Pajak hanya akan
dikenakan oleh negara sumber terhadap penghasilan yang dapat diatribusi oleh BUT dari usahanya
maupun dari luar usahanya (attributable principle). Tetapi menyimpang dari itu, P3B juga menganut
prinsip force of attraction, sehingga bukan hanya penghasilan dari kegiatan usaha BUT yang dapat
dikenakan pajak oleh negara di mana BUT itu berada, tetapi juga penghasilan dari kegiatan usaha yang
dilakukan oleh kantor pusat di negara di mana BUT berada tanpa melalui BUT itu. Prinsip force of
attraction adalah pengembangan penentuan laba BUT sebagaimana yang terdapat dalam ketentuan P3B
TAX TREATY

OECD Model. UN Model commentary (penjelasan UN Model) menyebutkan bahwa prinsip force of
attraction diadopsi karena adanya argumentasi dari negara-negara berkembang (developing countries)
bahwa force of attraction dapat mencegah pengelakan pajak (tax avoidance). Mereka menganggap
bahwa bila kantor pusat sudah terlibat pada perdagangan dalam negeri di negara lain melalui BUT,
maka kantor pusat seharusnya melakukan perdagangannya melalui BUT itu. Apabila kantor pusat
melakukan transaksi secara langsung tanpa melalui BUT itu, maka kerugian penerimaan pajak negara
lain dapat terjadi. Sementara itu negara maju (developed countries) menganggap bahwa penerapan
prinsip force of attraction dapat menimbulkan pengenaan pajak atas penghasilan yang tidak ada
hubungannya dengan BUT. Oleh karena itu kemudian dicapai kesepakatan dimana penerapan prinsip
force of attraction dibatasi hanya atas penjualan atau kegiatan usaha yang sama atau sejenis dengan
yang dilakukan oleh BUT.
Prinsip lainnya yang juga diterapkan dalam penentuan penghasilan BUT adalah prinsip hubungan
efektif (effectively connected). Prinsip ini hampir sama dengan force of attraction, hanya saja
penghasilan yang ditarik kepada BUT adalah penghasilan modal yang mempunyai hubungan efektif
dengan BUT dan diperoleh dari sumber yang sama yang memberikan penghasilan kepada BUT. Untuk
jelasnya mengenai hubungan efektif ini dapat diberikan contoh sebagai berikut: X Inc. yang berada di
negara A menutup perjanjian lisensi dengan PT. Y yang berada di negara B untuk mempergunakan
merk dagang X Inc. Atas penggunaan hak tersebut X Inc. menerima imbalan berupa royalti dari PT. Y.
Sehubungan dengan perjanjian tersebut X Inc. juga memberikan jasa manajemen kepada PT. Y melalui
suatu BUT di Indonesia, dalam rangka pemasaran produk PT. Y yang mempergunakan merk dagang
tersebut. Berdasarkan transaksi tersebut berarti royalti yang diterima X Inc. mempunyai hubungan
efektif dengan BUT-nya, sehingga royalti itu menjadi penghasilan BUT.
Permasalahan dalam penentuan laba BUT mungkin terjadi apabila terdapat transaksi turn-key project,
yaitu pekerjaan konstruksi yang sebagian dilakukan di luar negara sumber dan sebagian lagi di negara
sumber. Sering kali kontrak turn-key project ditandatangani sebelum timbulnya BUT, dan dalam
kontrak disepakati bahwa barang-barang modal, pekerjaan arsitektur dan engineering dilakukan di luar
negara sumber. Dalam hal kemudian timbul BUT karena pekerjaan konstruksi dilanjutkannya di negara
sumber, maka negara-negara berkembang berpendapat bahwa yang harus dijadikan dasar pengenaan
pajak adalah seluruh nilai kontrak. Sedangkan negara-negara maju berpendapat bahwa yang harus
dijadikan dasar pengenaan pajak adalah nilai kontrak yang berkaitan dengan pekerjaan konstruksi yang
menyebabkan timbulnya BUT. Group of experts (para ahli fiskal) yang merancang UN Model
menganggap bahwa masalah ini kompleks dan secara potensial menimbulkan kontroversi. Oleh karena
itu, masalah ini hanya akan dipecahkan melalui perundingan bilateral.

Arm’s Length Rule

Untuk tujuan fiskal, BUT dianggap sebagai perusahaan yang berdiri sendiri yang terpisah dari
perusahaan induknya. Mengenai hal itu diatur dalam P3B Pasal 7 ayat (2) sebagai berikut:

“2. Where an enterprise of a Contracting State carries on business in the other State through a
permanent establishment situated therein, there shall in each Contracting State be attributed to that
permanent establishment the profits which it might be expected to make if it were distinct and
separate enterprise engaged in the same or similar activities under the same or similar conditions
and dealing independently with the enterprise of which it is a permanent establishment.”

Jika suatu perusahaan dari negara perjanjian menjalankan usaha di negara perjanjian lainnya melalui
bentuk usaha tetap yang berada di sana, maka yang akan diperhitungkan sebagai laba bentuk usaha tetap
ialah laba yang berasal dari bentuk usaha tetap tersebut, seandainya bentuk usaha tetap tersebut
merupakan suatu perusahaan lain yang terpisah dan berdiri sendiri, yang melakukan kegiatan-kegiatan
yang sama atau sejenis dalam keadaan yang sama atau serupa dan mengadakan hubungan dalam
keadaan yang bebas ikatan dengan perusahaan yang mempunyai bentuk usaha tetap itu.

Ketentuan di atas mengikuti aturan umum mengenai kewajaran transaksi antara penjual dan pembeli
yang tidak mempunyai hubungan istimewa (arm’s length rule). Berdasarkan aturan itu, laba yang dapat
diatribusi kepada BUT adalah laba yang seharusnya diterima oleh BUT seandainya BUT itu perusahaan
lain yang berdiri sendiri dan terpisah dari kantor pusatnya. Dengan demikian, apabila terdapat laba dari
hubungan transaksi dengan kantor pusatnya maupun kantor lain miliknya serta dengan pihak-pihak yang
independen, maka laba yang harus diperhitungkan oleh BUT adalah laba yang seharusnya diterimanya.
Laba tersebut harus dilaporkan dalam pembukuan sesuai dengan praktek yang berlaku umum, dan tidak
dimanipulasi untuk mengurangi beban pajak di negara tempat BUT itu. Berdasarkan arm’s length rule,
TAX TREATY

pejabat yang berwenang di negara tempat BUT diperkenankan untuk melakukan penyesuaian
pembukuan BUT, sehingga merefleksikan laba yang semestinya.
Jika BUT tidak melakukan pembukuan yang terpisah dengan kantor pusat, maka penentuan laba BUT
tetap harus memperhatikan kenyataan yang terjadi berdasarkan pencatatan dan dokumentasi (business
records) BUT, tidak secara langsung berdasarkan hipotesis.

Penentuan Laba Kena Pajak BUT

Untuk menentukan laba kena pajak BUT, maka biaya-biaya yang dikeluarkan untuk kepentingan usaha
BUT dapat dikurangkan dari penghasilan BUT. Namun tidak semua biaya-biaya yang dikeluarkan dapat
dikurangkan, karena diatur dalam undang-undang di negara tempat BUT yang diberikan hak pemajakan,
atau diatur dalam P3B sebagai berikut:

“3. In the determination of the profits of a permanent establishment, there shall be allowed as
deductions expenses which are incrured for the purposes of the business of the permanent
establishment including executive and general administrative expenses so incurred, whether in the
State in which the permanent establishment is situated or elsewhere. However, no such deduction
shall be allowed in respect of amounts, if any, paid (otherwise than towards reimbursement of
actual expenses) by permanent establishment to the head office of the enterprise or any other
offices, by way of royalties, fees, or other similar payments in return for the use of patents or other
rights, or by way of commision, for specific services performed or for management, or, except in
the case of banking enterprise, by way of interest on moneys lent to permanent establishment.
Likewise, no account shall be taken, in the determination of the profits of a permanent
establishment, for amounts charged (otherwise than towards reimbursement of actual expenses), by
the permanent establishment to the head office of the enterprise or any of its other offices, by way of
royalties, fees or other similar payments in return for specific services performed or for
management, or, except in the case of a banking enterprise by way of interest on money lent to head
office of the enterprise or any of its office.”

Dalam menentukan besarnya laba suatu bentuk usaha tetap, dapat dikurangkan biaya-biaya yang
dikeluarkan untuk kepentingan usaha dari bentuk usaha tetap itu, termasuk biaya-biaya pimpinan dan
biaya-biaya administrasi umum, baik yang dikeluarkan di negara di mana BUT berada maupun di
tempat lain. Namun pengurangan demikian tidak diperkenankan untuk pembayaran-pembayaran yang
dilakukan oleh bentuk usaha tetap kepada kantor pusatnya atau kantor-kantor lain miliknya ( selain
penggantian atas biaya yang benar-benar dikeluarkan) berupa royalti, imbalan, atau pembayaran-
pembayaran serupa lainnya, penggunaan paten atau hak-hak lainnya, atau berupa komisi, untuk jasa-jasa
khusus atau jasa manajemen, atau, kecuali dalam usaha perbankan, berupa bunga atas uang yang
dipinjamkan kepada bentuk usaha tetap. Sebaliknya, tidak akan diperhitungkan sebagai laba bentuk
usaha tetap, jumlah-jumlah yang dibayar oleh kantor pusat atau kantor-kantor lain miliknya (selain
penggantian atas biaya yang benar-benar dikeluarkan), berupa royalti, imbalan atau pembayaran jasa-
jasa khusus atau jasa manajemen, atau, kecuali dalam usaha perbankan, bunga atas uang yang
dipinjamkan kepada kantor pusat atau kantor-kantor lain miliknya.

Dari ketentuan di atas, dapat diketahui bahwa terhadap BUT ditentukan standar ganda, karena di
samping ia diperlakukan sebagai perusahaan yang berdiri sendiri dan terpisah (separate and
independent enterprise) dari kantor pusatnya, ia juga diperlakukan sebagai satu kesatuan entitas (single
entity) dengan kantor pusat. Kedua standar itu pada dasarnya diterapkan sehubungan dengan arm’s
length rule.
Penerapan arm’s length rule sangat penting dalam hubungannya dengan masalah pengurangan yang
dapat diperkenankan kepada BUT. Pada umumnya, dapat diterima bahwa dalam menghitung laba BUT,
pengurangan dapat berlaku atas biaya-biaya yang benar-benar dikeluarkan, di manapun timbulnya,
untuk kegiatan usaha BUT, termasuk biaya-biaya pimpinan dan biaya administrasi umum. Selain dari
apa yang disebut dengan biaya-biaya yang biasa itu (ordinary expenses), ada beberapa kriteria
pengeluaran yang dapat menimbulkan masalah khusus. Masalah itu termasuk pembayaran royalti dan
bunga semu (deemed interest and royalties) yang dibayarkan oleh BUT kepada kantor pusatnya atau
kantor lain milikinya sebagai imbalan atas uang yang dipinjamkan atau atas penggunaan hak paten.
Pembayaran lainnya menyangkut komisi untuk jasa khusus atau jasa manajemen yang dilakukan oleh
kantor pusat. Hal ini mengingat bahwa tidak seharusnya antara entitas yang sama terdapat pembebanan
biaya dimaksud dan juga dimungkinkan sulitnya menentukan kewajaran biaya itu, di samping karena
biaya-biaya itu merupakan perputaran dana dalam satu perusahaan. Dalam kasus-kasus tersebut,
TAX TREATY

pembayaran-pembayaran yang sebenarnya semu itu tidak diperkenankan menjadi pengurang dalam
menentukan laba BUT. Akan tetapi, alokasi atas pembayaran bunga dan royalti yang dibayarkan oleh
kantor pusat kepada pihak ketiga, dapat dikurangkan oleh BUT. Demikian pula penggantian atas biaya-
biaya yang dikeluarkan (reimbursement of actual expenses) oleh kantor pusat dapat dikurangkan oleh
BUT.
Sebaliknya pembayaran-pembayaran bunga dan royalti yang diperoleh dari kantor pusat tidak akan
diperhitungkan sebagai penghasilan BUT. Tetapi penggantian atas biaya yang dikeluarkan oleh BUT
akan dianggap sebagai penghasilan BUT.
Apabila kantor pusat dan BUT bergerak dalam bidang usaha perbankan, maka sudah sewajarnya di
antara keduanya akan membebankan bunga atas uang yang dipinjamkan, tetapi sepanjang bunga yang
dibebankan wajar (arm’s length) dan transaksi dilakukan dengan alasan komersial yang jelas. Dalam hal
ituini, pembayaran bunga yang dibayarkan oleh BUT (bank cabang luar negeri) sebagai imbalan atas
uang yang dipinjamkan oleh bank pusat dapat menjadi biaya yang mengurangi penghasilan BUT
tersebutitu. Apabila dapat diketahui bahwa transaksi pinjaman yang dilakukan antara kantor pusat bank
dan cabang bank luar negeri hanya ingin mengurangi beban pajak dengan cara membebankan bunga
yang tidak wajar maupun biaya piutang tak tertagih (bad loans), maka penyesuaian akan dilakukan oleh
negara yang dirugikan.

Apportionment Method

Menyimpang dari cara penentuan laba perusahaan sebagaimana yang telah ditentukan di atas, maka
negara sumber dapat menerapkan cara-cara lain berdasarkan perbandingan (apportionment) tertentu.
Hal ini diatur dalam P3B sebagai berikut:

“4. In so far as it has been customary in Contracting State to determine the profits to be attributed to a
permanent establishment on the basis of an apportionment of the total profits of the enterprise to its
various parts, nothing in paragraph 2 shall preclude that Contracting State from determining the
profits to be taxed by such an apportionment as may be customary; the method of apportionment
adopted shall, however, be such that the result shall in accordance with the principles contained in
this article.”

Sepanjang merupakan kelaziman di suatu negara untuk menentukan besarnya laba yang dianggap
berasal dari bentuk usaha tetap berdasarkan suatu pembagian secara sebanding atas seluruh laba
berbagai bagian dari perusahaan, maka ketentuan ayat 2 (berkaitan dengan penentuan laba BUT) tidak
akan menghalangi negara itu untuk menentukan besarnya laba yang akan dikenakan pajak berdasarkan
pembagian secara sebanding seperti yang lazim digunakan, namun, cara pembagian secara sebanding
tersebut harus sedemikian rupa sehingga hasilnya akan sesuai dengan prinsip-prinsip yang terkandung
dalam pasal ini.

Di negara-negara pada umumnya, besarnya laba BUT yang akan dikenakan pajak ditentukan
berdasarkan pembukuannya yang terpisah dari kantor pusat atau dengan perkiraan untuk menentukan
laba yang wajar (arm’s length). Akan tetapi beberapa negara menentukan laba yang akan dikenakan
pajak dengan cara perbandingan (apportionment) atas seluruh laba perusahaan. Cara ini berbeda dengan
prinsip attributable sebagaimana yang telah dijelaskan di atas, karena melalui cara apportionment, maka
laba kena pajak yang dihitung mungkin tidak menunjukkan kenyataan.
Berdasarkan ketentuan di atas, cara apportionment hanya dapat diterapkan apabila telah menjadi
kelaziman atau kebiasaan di suatu negara dalam menentukan besarnya laba BUT. Walaupun demikian,
cara itu harus sesuai dengan prinsip-prinsip yang terkandung dalam pasal ini, terutama berkaitan dengan
arm’s length rule. Misalnya seluruh laba perusahaan yang akan diperhitungkan haruslah laba yang
wajar.
Karakter penting dari metode apportionment adalah bagian laba yang sebanding dari seluruh perusahaan
dialokasikan kepada berbagai bagian perusahaan itu. Contohnya secara sederhana, X Ltd. yang berada
di negara A memperoleh total penerimaan sebesar $ 10.000.000. Dari penerimaan tersebut, bagian
sebesar $ 2.500.000 berasal dari BUT X Ltd. di negara B. Negara B menentukan laba kena pajak dengan
menggunakan cara apportionment, karena diasumsikan bahwa BUT X Ltd. akan mendapat bagian laba
berdasarkan perbandingan penerimaannya dengan total penerimaan seluruh perusahaan. Dalam hal ini,
negara B menghitung laba kena pajak BUT X Ltd. dengan cara berikut:
$ 2.500.000 x $ 2.500.000 = $ 625.000
$ 10.000.000.
TAX TREATY

Selain dengan kriteria penerimaan (turnover, commision), kriteria perbandingan lainnya yang utama
adalah berdasarkan biaya dan modal kerja.
Penentuan laba, baik berdasarkan perbandingan maupun pembukuan harus diterapkan secara taat asas,
kecuali ada alasan yang cukup untuk menyimpang. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 7 ayat (5) P3B
berikut:

“5. For the purposes of the preceding paragraphs, the profits to be attributable to the permanent
establishment shall be determined by the same method year by year unless there is good and
sufficient reason to the contrary.”

Untuk penerapan ayat-ayat terdahulu, besarnya laba yang dianggap berasal dari bentuk usaha tetap itu
setiap tahun akan ditetapkan dengan cara perhitungan yang sama kecuali jika terdapat alasan yang kuat
dan cukup untuk menyimpang dari cara perhitungan tersebut.

Pada dasarnya ketentuan ini ditetapkan untuk mencegah suatu negara mengubah cara penentuan laba
kena pajak, hanya karena suatu cara penentuan lebih menguntungkan pada suatu tahun pajak, demikian
pula pada tahun-tahun berikutnya. Oleh karena itu, ketentuan ini juga berfungsi sebagai kepastian
hukum.

Penghasilan yang Juga Diatur Dalam Pasal Lain

P3B biasanya tidak memberikan definisi ‘laba’ karena hal ini dianggap tidak perlu, dan dapat
dimengerti bahwa istilah itu mempunyai arti yang luas, termasuk semua penghasilan yang dapat
diperoleh perusahaan. Interpretasi yang luas tersebut, bagaimanapun, dapat menyebabkan ketidakpastian
dalam menerapkan P3B. Jika laba dari suatu perusahaan termasuk kategori penghasilan yang diatur
tersendiri dalam pasal lain, misalnya dividen, dapat dipertanyakan apakah pengenaan pajak atas laba itu
mengikuti ketentuan yang diatur dalam pasal tersendiri itu atau ketentuan dalam pasal mengenai laba
usaha. Untuk itu diperlukan dalam pasal mengenai laba usaha ketentuan yang menyangkut itu sebagai
berikut:

“6. Where profits include items of income which are dealt with separately in other articles of this
Convention, then the provisions of those articles shall not be affected by provisions of this articles.”

Jika di dalam jumlah laba terdapat jenis-jenis penghasilan yang diatur secara tersendiri pada pasal-pasal
lain dalam Persetujuan ini, maka ketentuan-ketentuan pada pasal-pasal itu tidak akan dipengaruhi oleh
ketentuan-ketentuan dalam pasal ini.

Dengan ketentuan di atas, pasal-pasal yang mengatur secara khusus atas jenis-jenis penghasilan tertentu
diberikan preferensi atau prioritas, kecuali kemudian dalam pasal-pasal khusus itu mengatur lain. Pada
dasarnya pasal ini berlaku terhadap penghasilan di bidang industri dan perdagangan, yang tidak
termasuk dalam kategori penghasilan yang diatur dalam pasal-pasal khusus.

Kesimpulan

1 Pasal 7 P3B UN Model mengatur tentang bagian laba yang dikenakan pajak terhadap perusahaan
yang merupakan penduduk suatu negara yang menjalankan usaha melalui BUT di negara lain.
2 Bagian laba tersebut tidak hanya bagian yang dianggap berasal dari kegiatan-kegiatan BUT itu,
tetapi juga bagian yang merupakan kegiatan-kegiatan kantor pusat yang tidak melalui BUT tetapi
yang sama atau sejenis dengan yang dijalankan BUT, dan juga penghasilan modal yang diterima
kantor pusat yang mempunyai hubungan efektif dengan BUT.
3 Dalam menghitung laba BUT ditetapkan bahwa BUT tersebut seharusnya mempunyai pembukuan
yang terpisah dan transaksi-transaksi yang dilakukan dengan kantor pusatnya harus berdasarkan
arm’s length rule.
4 Dalam menentukan besarnya laba kena pajak BUT, dapat dikurangkan biaya-biaya yang
dikeluarkan untuk kepentingan usaha dari bentuk usaha tetap itu baik yang dikeluarkan di negara di
mana BUT berada maupun di tempat lain. Namun pengurangan demikian tidak diperkenankan
untuk pembayaran-pembayaran yang dilakukan oleh BUT kepada kantor pusatnya atau kantor-
kantor lain miliknya (selain penggantian atas biaya yang benar-benar dikeluarkan) berupa royalti,
komisi untuk jasa-jasa khusus atau jasa manajemen, atau, bunga atas uang yang dipinjamkan
kepada bentuk usaha tetap, kecuali dalam usaha perbankan. Sebaliknya pembayaran-pembayaran
TAX TREATY

bunga dan royalti yang diperoleh dari kantor pusat tidak akan diperhitungkan sebagai penghasilan
BUT.
5 Terdapat kemungkinan menghitung bagian laba BUT dengan cara lain selain berdasarkan
pembukuan BUT, yaitu dengan cara suatu perbandingan dengan seluruh laba perusahaan. Berapa
besarnya laba yang merupakan bagian BUT ditentukan oleh perbandingan dari penerimaan atau
biaya atau modal kerja.
6 Cara apapun yang digunakan untuk menghitung laba kena pajak BUT, untuk memberikan kepastian
hukum, harus diterapkan secara taat asas.
7 Jika dalam jumlah bagian laba BUT terdapat penghasilan lain yang diatur secara khusus pada pasal
lain dalam Persetujuan, maka pengenaan pajaknya dapat dilakukan sesuai dengan pasal khusus itu,
kecuali diatur lain dalam pasal khusus itu.

Anda mungkin juga menyukai