Anda di halaman 1dari 4

Menghitung PPh Badan BUT

Meskipun BUT adalah WP Luar Negeri, namun kewajibannya dipersamakan dengan WP Badan dalam negeri. Oleh
karenanya, BUT juga memiliki kewajiban seperti WP badan dalam negeri lainnya yaitu menghitung PPh Badan.
Namun, ada beberapa hal yang mesti diperhatikan pada saat menghitung PPh Badan BUT.

Bentuk usaha yang digunakan oleh WP luar negeri untuk melakukan kegiatan usaha di Indonesia memang memiliki
bermacam-macam kegiatan usaha dengan karakter bisnis yang berbeda. Dari sisi perlakuan perpajakannya, hal ini
tentu juga akan memengaruhi bagaimana aspek pajak yang muncul atas penghasilan yang diterima oleh BUT
tersebut di Indonesia.

Bagi BUT yang hanya menerima penghasilan yang sifatnya Final, maka tentunya BUT tidak lagi memiliki kewajiban
untuk menghitung PPh badan di akhir tahun. Misalnya, WP BUT yang bergerak di bidang jasa konstruksi yang
sudah dikenai PPh Final, maka tidak perlu menghitung penghasilan yang sudah kena PPh final tersebut dengan tarif
Pasal 17 Badan. Namun demikian perlu diingat bahwa BUT juga memiliki kewajiban untuk membayar pajak lagi
atas penghasilan setelah pajak. Hal ini berlaku untuk BUT yang penghasilannya dikenai PPh Final maupun BUT yang
penghasilan dikenai PPh Badan di akhir tahun.

Dengan banyaknya karakteristik bisnis BUT—dengan berbagai aspek pajaknya, pembahasan artikel ini akan
dipersempit ruang lingkup pembahasannya hanya terkait dengan penghitungan PPh Badan BUT secara umum
saja—tanpa mengulas lebih dalam penghitungan BUT yang memiliki karakteristik industri yang spesifik.

Kerangka Penghitungan PPh Badan BUT

Secara prinsip, karena BUT dipersamakan kewajibannya dengan WP Badan dalam negeri, maka tatacara
penghitungan PPh Badan BUT pun tidak jauh berbeda dari penghitungan PPh untuk WP Badan pada umumnya.
Dalam hal ini, penghitungan PPh Badan BUT didasarkan pada laporan laba-rugi komersial BUT yang harus
disesuaikan terlebih dahulu dengan ketentuan perpajakan.

Sebagian praktisi perpajakan memang ada yang berpendapat bahwa

Setelah diperoleh laba fiskal selanjutnya, bila dalam tahun-tahun sebelumnya BUT memiliki kompensasi kerugian
yang masih dapat diperhitungkan, maka penghasilan neto fiskal boleh dikurangi terlebih dahulu dengan
kompensasi rugi, sehingga selanjutnya akan diperoleh penghasilan kena pajak (PhKP). Berdasarkan uraian di atas,
maka uraian penghitungan PPh Badan BUT dapat dapat digambarkan sebagai berikut.

Laba/Rugi Rekonsilias Laba/Rugi Dikurangi Kompensasi PhKP


i Fiskal
Komersial Fiskal Rugi

x Trf 17

PPh Kredit PPh Dikurangi PPh Terutang


=
Kurang/LB
Penghasilan BUT

Pada dasarnya, BUT hanya akan dikenai PPh atas penghasilan yang diterima atau diperoleh dari Indonesia saja. Hal
ini bisa dipahami karena BUT sebenarnya adalah subjek pajak luar negeri—yang secara khusus diperlakukan
sebagai subjek pajak badan negeri. Subjek pajak BUT ini memang cukup unik dan sering kali menjadi bahan diskusi
di kalangan praktisi pajak mengenai status subjek pajak BUT.

Secara khusus, UU PPh kita juga mengatur mengenai penghasilan yang objek PPh dan biaya-biaya bagi BUT yang
diatur dalam Pasal 5 UU PPh. Dalam Pasal 5 ayat (1) UU PPh disebutkan bahwa yang menjadi objek PPh badi BUT
adalah:

a. Penghasilan dari usaha atau kegiatan BUT tersebut dan dari harta yang dimiliki dan atau dikuasai;
b. Penghasilan kantor pusat dari usaha atau kegiatan, penjualan barang, atau pemberian jasa di Indonesia yang
sejenis dengan yang dijalankan atau yang dilakukan oleh bentuk usaha tetap di Indonesia;
c. Penghasilan sebagaimana tersebut dalam Pasal 26 yang diterima atau diperoleh kantor pusat, sepanjang
terdapat hubungan efektif antara bentuk usaha tetap dengan harta atau kegiatan yang memberikan
penghasilan dimaksud.

Penarikan penghasilan dalam butir b dan c di atas merupakan penerapan dari konsep force of attraction rule yang
juga banyak dianut oleh banyak negara berkembang untuk mencegah penghindaran pajak oleh WP luar negeri.
Konsep ini didasarkan pada suatu asumsi bahwa pada hakekatnya usaha atau kegiatan yang dilakukan oleh Head
Office (kantor pusat) BUT yang memiliki persamaan dengan yang dilakukan oleh BUT-nya di Indonesia
(sebagaimana dimaksud dalam butir b dan c di atas), merupakan penghasilan bagi BUT di Indonesia.

Sesuai dengan butir b di atas, penghasilan kantor pusat yang berasal dari usaha atau kegiatan, penjualan barang
dan pemberian jasa, yang sejenis dengan yang dilakukan oleh BUT dianggap sebagai penghasilan BUT, karena pada
hakekatnya usaha atau kegiatan tersebut termasuk dalam ruang lingkup usaha atau kegiatan dan dapat dilakukan
oleh BUT. Usaha atau kegiatan yang sejenis dengan usaha atau kegiatan BUT, misalnya terjadi apabila sebuah bank
di luar Indonesia yang mempunyai BUT di Indonesia, memberikan pinjaman secara langsung tanpa melalui BUT-
nya kepada perusahaan di Indonesia.

Penjualan barang yang sejenis dengan yang dijual oleh BUT, misalnya kantor pusat di luar negeri yang mempunyai
bentuk usaha tetap di Indonesia menjual produk yang sama dengan produk yang dijual oleh BUT tersebut secara
langsung tanpa melalui BUT-nya kepada pembeli di Indonesia.

Pemberian jasa oleh kantor pusat yang sejenis dengan jasa yang diberikan oleh bentuk usaha tetap, misalnya
kantor pusat perusahaan konsultan di luar Indonesia memberikan konsultasi yang sama dengan jenis jasa yang
dilakukan bentuk usaha tetap tersebut secara langsung tanpa melalui BUT-nya kepada klien di Indonesia.

Sedangkan berdasarkan butir c di atas, Penghasilan seperti dimaksud dalam Pasal 26 yang diterima atau diperoleh
kantor pusat dianggap sebagai penghasilan bentuk usaha tetap di Indonesia, apabila terdapat hubungan efektif
antara harta atau kegiatan yang memberikan penghasilan dengan bentuk usaha tetap tersebut.

Misalnya, X Inc. menutup perjanjian lisensi dengan PT Y untuk mempergunakan merk dagang X Inc. Atas
penggunaan hak tersebut X Inc. menerima imbalan berupa royalti dari PT Y. Sehubungan dengan perjanjian
tersebut X Inc. juga memberikan jasa manajemen kepada PT Y melalui suatu bentuk usaha tetap di Indonesia,
dalam rangka pemasaran produk PT Y yang mempergunakan merk dagang tersebut.
Dalam hal demikian, penggunaan merk dagang oleh PT Y mempunyai hubungan efektif dengan bentuk usaha tetap
di Indonesia, dan oleh karena itu penghasilan X Inc. yang berupa royalti tersebut diperlakukan sebagai penghasilan
bentuk usaha tetap.

Biaya-Biaya BUT

Sesuai dengan Pasal 6 ayat (1) UU PPh, besarnya penghasilan kena pajak bagi WP dalam negeri dan BUT ditentukan
berdasarkan penghasilan bruto dikurangi dengan biaya untuk mendapatkan, menagih dan memelihara
penghasilan. Lebih lanjut dalam Pasal 9 UU PPh juga diatur mengenai biaya-biaya yang tidak boleh menjadi
pengurang penghasilan bruto bagi WP badan dalam negeri dan BUT.

Secara khusus, UU PPh kita pun juga mengatur mengenai ketentuan biaya-biaya yang boleh menjadi pengurang
penghasilan bruto bagi BUT yang ketentuannya juga diatur dalam Pasal 5 UU PPh. Dalam Pasal 5 ayat (2) UU PPh
juga dinyatakan bahwa biaya-biaya yang berkenaan dengan penghasilan ditarik ke Indonesia berdasarkan konsep
force of attraction rule di Indonesia juga boleh dibebankan sebagai biaya di Indonesia.

Hal ini tentu cukup adil bagi BUT, karena bila penghasilan dari transaksi yang dilakukan oleh head office BUT di
Indonesia harus dikenai pajak di Indonesia(dihitung pajaknya di Indonesia), maka sudah semestinya juga bila
biayanya juga ikut diperhitungkan di Indonesia.

Selain itu, BUT juga diperkenankan untuk membebankan biaya administrasi dari kantor pusatnya, sepanjang biaya
administrasi tersebut berkaitan dengan kegiatan usaha BUT di Indonesia. Ketentuan mengenai jenis dan biaya
administrasi kantor pusat yang boleh dibebankan sebagai biaya oleh BUT ini lebih lanjut diatur dalam Keputusan
Dirjen Pajak Nomor KEP-62/PJ/1995.

Dalam hal ini, biaya administrasi kantor pusat yang diperbolehkan untuk dikurangkan dari penghasilan bruto yang
diterima atau diperoleh suatu BUT di Indonesia adalah biaya administrasi yang dikeluarkan oleh kantor pusat yang
berkaitan dan dalam rangka untuk menunjang usaha atau kegiatan bentuk usaha tetap yang bersangkutan untuk
mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan.

Besarnya biaya administrasi kantor pusat yang diperbolehkan untuk dikurangkan dari penghasilan bruto di
Indonesia tersebut setinggi-tingginya adalah sebanding dengan besarnya peredaran usaha atau kegiatan BUT di
Indonesia terhadap seluruh peredaran usaha atau kegiatan perusahaan di seluruh dunia.

Selain itu, BUT di Indonesia yang mengurangkan biaya administrasi kantor pusat tersebut juga wajib
menyampaikan laporan keuangan konsolidasi atau kombinasi dari kantor pusat yang meliputi seluruh usaha
dan/atau kegiatan perusahaan di seluruh dunia untuk tahun pajak yang bersangkutan sebagai lampiran SPT
Tahunan PPh.

Laporan Keuangan konsolidasi atau kombinasi tersebut harus sudah diaudit oleh akuntan publik dan
mengungkapkan rincian peredaran usaha atau kegiatan perusahaan serta jenis dan besarnya biaya administrasi
yang dibebankan kepada masing-masing BUT di negara tempat perusahaan yang bersangkutan melakukan usaha
atau kegiatan.

Adapun pembayaran kepada kantor pusat (head office) yang tidak diperbolehkan dibebankan sebagai biaya, yaitu:

1. Royalti atau imbalan lainnya sehubungan dengan penggunaan harta, hak paten atau hak-hak lainnya;
2. Imbalan sehubungan dengan jasa manajemen atau jasa lainnya, dan
3. Bunga, kecuali bunga yang berkenaan dengan usaha perbankan.

Alasan tidak diperkenankannya pembayaran sebagaimana disebutkan di atas sebagai biaya BUT karena pada
dasarnya BUT merupakan satu entitas dengan head officenya di luar negeri. Sehingga pembayaran oleh BUT
kepada head office-nya tersebut hanya merupakan perputaran dana dalam satu perusahaan. Oleh karenanya, atas
biaya tersebut tidak diperkenankan sebagai pengurang dalam penghitungan PPh BUT.

Tarif dan Penghitungan PPh Badan BUT

Tarif yang digunakan untuk menghitung PPh Badan BUT adalah sebesar 25%. Dalam hal ini tarif untuk UMKM tidak
berlaku untuk BUT—meskipun omzet kegiatan usahanya di Indonesia tidak melebihi Rp50 miliar setahun—seperti
yang diatur dalam Pasal 31E UU PPh.

Contoh Penghitungan PhKP suatu BUT

1. Peredaran usaha bruto Rp 5.000.000.000,-


2. Biaya 3 M (mendapatkan, menagih dan memelihara Rp 3.800.000.000,- (+)
penghasilan)
Rp 1.200.000.000,-
3. Penjualan barang oleh kantor pusat yang sejenis dengan Rp 2000.000.000,-
barang yang dijual oleh BUT di Indonesia
4. Biaya 3 M penjualan barang oleh kantor pusat dengan Rp1.200.000.000,- (+)
barang sejenis yang dijual BUT di Indonesia
Rp 800.000.000,-
5. Dividen yang diterima atau diperoleh kantor pusat yang Rp 500.000.000,-
memiliki hubungan efektif dengan BUT
6. Biaya alokasi kantor pusat yang boleh menjadi biaya Rp1.500.000.000,- (-)
menurut Pasal 5 ayat (3) UU PPh
7. Penghasilan Kena Pajak BUT Rp 1.000.000.000,-

PPh terutang BUT = 25% x Rp1.000.000.000 = Rp250.000.000,-

Anda mungkin juga menyukai