Anda di halaman 1dari 21

DIPUBLIKASIKAN OLEH

FAKULTAS PARIWISATA UNIVERSITAS UDAYANA

Analisis Pariwisata terbit sebagai media komunikasi dan informasi ilmiah kepariwisataan, yang
memuat tentang hasil ringkasan penelitian, survei dan tulisan ilmiah populer kepariwisataan. Redaksi
menerima sumbangan tulisan para ahli, staf pengajar perguruan tinggi, praktisi, mahasiswa yang
peduli terhadap pengembangan pariwisata. Redaksi dapat menyingkat atau memperbaiki tulisan yang
akan dimuat tanpa mengubah maksud dan isinya.

SUSUNAN PENGURUS JURNAL ANALISIS PARIWISATA

Penanggung Jawab
Drs. I Putu Anom, M.Par. (Dekan Fakultas Pariwisata Universitas Udayana)

Penasehat
Dra. Ida Ayu Suryasih, M.Par. (Pembantu Dekan I Fakultas Pariwisata Universitas Udayana)
Dra. Ni Made Oka Karini, M.Par. (Pembantu Dekan II Fakultas Pariwisata Universitas Udayana)
I Nyoman Sudiarta, SE., M.Par. (Pembantu Dekan III Fakultas Pariwisata Universitas Udayana)

Ketua Dewan Penyunting


Drs. Ida Bagus Ketut Astina, M.Si.

Penyunting Ahli (Mitra Bestari)


▪ Prof. Adnyana Manuaba, ▪ Prof. Ir. Wiendu Nuryanti, M.Arch. Ph.D.
M.Hons.F.Erg.S.FIPS,SF. Universitas Gajah Mada
Universitas Udayana ▪ Prof. Dr. Ir. I Gede Pitana, M.Sc.
▪ Prof. Dr. I Wayan Ardika, MA. Universitas Udayana
Universitas Udayana ▪ Prof. Dr. I Made Sukarsa, SE., MS.
▪ Prof. Dr. Michael Hichcoch Universitas Udayana
University of North London ▪ Prof. Dr. I Nyoman Sirtha, SH., MS.
▪ Prof. Dae-Sik Je, M.Pd. Universitas Udayana
Young San University – Korsel. ▪ Dr. Hans-Henje Hild
SES Bonn – Germany

Penyunting Pelaksana
▪ I Wayan Suardana, SST.Par., M.Par. ▪ I Nyoman Sukma Arida, S.Si., M.Si.
▪ IGA. Oka Mahagangga, S.Sos., M.Si. ▪ Yayu Indrawati, SS., M.Par.
▪ I Made Kusuma Negara, SE., M.Par. ▪ I Gde Indra Bhaskara, SST.Par., M.Sc.
▪ Made Sukana, SST.Par., M.Par., MBA. ▪ I Gst. Bagus Sasrawan Mananda, SST.Par.

Tata Usaha dan Pemasaran


▪ AA. Ketut Muliatini, S.Pd. ▪ Wayan Sudarma, SH.
▪ AA. Ketut Muliatini, S.Pd. ▪ I Gusti Putu Setiawan, SH.

ALAMAT PENYUNTING DAN TATA USAHA


Fakultas Pariwisata Universitas Udayana
Jl. Dr. R. Goris 7 Denpasar Bali, Telp/Fax : 0361-223798
E-mail : analisispariwisata@par.unud.ac.id

Cover Depan Analisis Pariwisata : Pantai Lovina, Kab. Buleleng, Bali (Kusuma, 2008)
© Fakultas Pariwisata Universitas Udayana Denpasar, Juli 2012

VOL. 12, NO. 1, 2012


PENGANTAR REDAKSI ANALISIS PARIWISATA

Majalah Analisis Pariwisata Volume 12, Nomor 1, Tahun 2012 mengangkat topik, ”Pilihan
Pengembangan Pariwisata” sebagai suatu upaya publikasi temuan dari hasil penelitian terbaru. ”Pilihan
Pengembangan Pariwisata” diarahkan untuk kembali mengingatkan bahwa pariwisata senantiasa dinamis
namun tetap harus dipelajari dan dimaknai proses dari perjalanan kepariwistaan tersebut. Begitu banyak
”pilihan-pilihan” justru mengharuskan para pemegang kebijakan dan para praktisi semakin bijaksana dan
tidak hanya ”taken for granted” tanpa memilah dampak-dampak negatif yang mungkin ditimbulkan.

Tulisan pertama dari I Made Kusuma Negara berjudul ”Potensi Ikan Air Tawar di Danau Batur
sebagai Pengembangan Wisata Alternatif”. Dikatakan Kab. Bangli masih menyimpan potensi pariwisata
yaitu ikan air tawar, jika dikelola dengan baik diyakini akan mampu membantu meningkatkan PAD dari
sektor pariwisata.

Tulisan kedua masih menyinggung wisata alternatif berjudul ”Analisis Kelayakan Desa Bedulu
sebagai Desa Wisata di Kab. Gianyar (Kajian Aspek Pasar dan Pemasaran)” oleh I Gusti Putu Bagus
Sasrawan Mananda. Hasil penelitiannya menunjukkan pentingnya kajian aspek pasar dan pemasaran agar
pengembagan suatu wisata alternatif seperti desa wisata tidak mubazir.

Tulisan ketiga berjudul ”Desa Wisata Berbasis Masyarakat sebagai Model Pemberdayaan
Masyarakat di Desa Pinge” oleh I Made Adikampana. Desa wisata Pinge terletak di Kab. Tabanan dan saat
ini sedang giat menata desa untuk menarik perhatian wisatawan. Tulisan ini menekankan aspek
perencanaan pariwisata dengan perspektif pemberdayaan masyarakat.

Tulisan keempat berjudul ”Karakteristik Restoran India sebagai Sarana Wisata Baru di Kawasan
Wisata, Kuta, Nusa Dua dan Ubud oleh Ni Made Ariani dkk. Pangsa pasar wisatawan sebagai ”the sleeping
giant” menuntut praktisi pariwisata untuk menyiapkan infrastruktur memadai dalam kasus penelitian ini
adalah restoran India di Bali yang memiliki keseragaman karakter.

Tulisan kelima datang dari pulau Borneo berjudul,”Persepsi Pengunjung Terhadap Kualitas
Pelayanan pada Museum Mulawarman Tenggarong” oleh A. Rinto Dwi Atmojo. Disampaikan berdasarkan
persepsi pengunjung, pihak pengelola harus lebih memperhatikan aspek perawatan dan aspek promosi
untuk semakin meningkatkan kunjungan wisatawan lokal maupun mancanegara ke museum Mulawarman.

Tulisan keenam dari I Putu Anom M. Par, berjudul”Potensi Kepariwisataan Provinsi Sulawesi
Selatan” yang mengulas tentang beraneka potensi yang belum tergarap untuk pengembangan
kepariwisataan secara berkelanjutan di Provinsi Sulawesi Selatan.

Tulisan ketujuh dari I Gusti Agung Oka Mahagangga dkk berjudul”Peran dan Kendala Pemulihan
Pariwisata Bali Pascabom (Suatu Kasus Disparda Provinsi Bali)” mengungkapkan secara sintetis-diakronik
mengenai upaya dan kendala pemerintah mengatasi krisis pariwisata pascabom sebagai upaya
pembelajaran jika peristiwa serupa terulang maka sudah disiapkan langkah-langkah strategik untuk
mengatasinya.

Tulisan kedelapan berjudul”Prilaku Berbahasa Wisatawan Jepang di Bali sebagai Pencerminan


Karakteristik Wisatawan Jepang” oleh I Made Sendra yang disajikan secara komprehensif dan menarik
yang dapat dijadikan pedoman baku bagi para guide Jepang sebagai bekal komunikasi lintas budaya
dalam dunia kepariwisataan.

Beberapa tulisan ilmiah tersebut diharapkan mampu memenuhi dahaga para akademisi,
mahasiswa dan stakeholders pariwisata termasuk para praktisi yang hingga saat ini masih sulit
mendapatkan literatur-literatur ilmiah bidang pariwisata di Indonesia. Besar harapan tim redaksi agar
kedepannya segenap pihak, yang terjun di sektor primadona ini dapat menyumbangkan banyak
sumbangan pemikiran, kritik, saran dan masukan dalam tulisan ilmiah melalui jurnal majalah analisis
pariwisata, Fakultas Pariwisata-Universitas Udayana.

Denpasar, Juli 2012

Redaksi

VOL. 12, NO. 1, 2012


PERSYARATAN NASKAH UNTUK ANALISIS PARIWISATA

1. Naskah dapat berupa hasil penelitian atau kajian pustaka yang belum pernah dipublikasikan
sebelumnya.
2. Naskah ditulis dalam Bahasa Indonesia atau Bahasa Inggris (abstrak bahasa Inggris). Abstrak tidak
lebih dari 250 kata dengan disertai 3-5 istilah kunci (keywords). Naskah berupa ketikan asli dan
CD dengan jumlah maksimal 15 halaman ketikan A4 spasi 1½, kecuali abstrak, tabel dan
kepustakaan.
3. Naskah ditulis dengan batas 2,5 cm dari kiri dan 2 cm dari tepi kanan, bawah dan atas.
4. Judul singkat, jelas dan informatif serta ditulis dengan huruf besar. Judul yang terlalu panjang
harus dipecah menjadi judul utama dan anak judul.
5. Nama penulis tanpa gelar akademik, alamat e-mail dan asal instansi penulis ditulis lengkap.
6. Naskah hasil penelitian terdiri atau judul, nama penulis, abstrak, pendahuluan, tinjauan pustaka
dan metode, hasil dan pembahasan, simpulan dan saran serta kepustakaan.
7. Naskah kajian pustaka terdiri atas judul, nama penulis, abstrak, pendahuluan, masalah,
pembahasan, simpulan dan saran serta kepustakaan.
8. Tabel, grafik, histogram, sketsa dan gambar harus diberi judul serta keterangan yang jelas.
9. Dalam mengutip pendapat orang lain, dipakai sistem nama penulis dan tahun. Contoh : Astina
(1999); Suwena et al. (2001).
10. Kepustakaan memakai “harvard style” disusun menurut abjad nama penulis tanpa nomer urut.
a. Untuk buku : nama pokok dan inisial pengarang, tahun terbit, judul, jilid, edisi, tempat
terbit dan nama penerbit.
Picard, Michael. 1996. Cultural Tourism and Touristic Culture. Singapore: Archipelago
Press.
b. Karangan dalam buku : nama pokok dari inisial pengarang, tahun terbit, judul karangan,
inisial dan nama editor : judul buku, hal permulaan dan akhir karangan, tempat terbitan
dan nama penerbit.
McKean, Philip Frick. 1978. “Towards as Theoretical analysis of Tourism: Economic Dualism
and Cultural Involution in Bali”. Dalam Valena L. Smith (ed). Host and Guests: The
Antropology of Tourism. Philadelphia : University of Pensylvania Press.
c. Untuk artikel dalam jurnal: nama pokok dan inisial pengarang, tahun, judul karangan,
singkatan nama majalah, jilid (nomor), halaman permulaan dan akhir.
Pitana, I Gde. 1998. “Global Proces and Struggle for Identity: A Note on Cultural Tourism in
Bali, Indonesia” Journal of Island Studies, vol. I, no. 1, pp. 117-126.
d. Untuk Artikel dalam format elektronik : Nama pokok dan inisial, tahun, judul, waktu,
alamat situs.
Hudson, P. (1998, September 16 - last update), "PM, Costello liars: former bank chief", (The
Age), Available: http://www.theage.com.au/daily/980916/news/news2.html
(Accessed: 1998, September 16).
11. Dalam tata nama (nomenklatur) dan tata istilah, penulis harus mengikuti cara penulisan yang
baku untuk masing-masing bidang ilmu.
12. Dalam hal diperlukan ucapan terima kasih, supaya ditulis di bagian akhir naskah dengan
menyebutkan secara lengkap : nama, gelar dan penerima ucapan.

VOL. 12, NO. 1, 2012


DAFTAR ISI

POTENSI IKAN AIR TAWAR DI DANAU BATUR


SEBAGAI PENGEMBANGAN WISATA ALTERNATIF _________________ (1 – 12)
I Made Kusuma Negara

ANALISIS KELAYAKAN DESA BEDULU SEBAGAI DESA WISATA


DI KABUPATEN GIANYAR (KAJIAN ASPEK PASAR
DAN PEMASARAN) ________________________________________ (13 – 29)
I Gusti Putu Bagus Sasrawan Mananda

DESA WISATA BERBASIS MASYARAKAT


SEBAGAI MODEL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT
DI DESA PINGE ___________________________________________ (30 – 36)
I Made Adikampana

KARAKTERISTIK RESTORAN INDIA SEBAGAI SARANA


WISATA BARU DI KAWASAN WISATA KUTA,
NUSA DUA DAN UBUD _____________________________________ (37 – 46)
Ni Made Ariani, Ni Nyoman Sri Aryanti,
I Gusti Agung Oka Mahagangga

PERSEPSI PENGUNJUNG TERHADAP KUALITAS PELAYANAN


PADA MUSEUM MULAWARMAN TENGGARONG ___________________ (47 – 53)
A. Rinto Dwi Atmojo

POTENSI KEPARIWISATAAN PROVINSI SULAWESI SELATAN _________ (54 – 61)


I Putu Anom

PERAN DAN KENDALA PEMULIHAN PARIWISATA BALI PASCABOM


(SUATU KASUS DISPARDA PROVINSI BALI) ______________________ (62 – 78)
I Gusti Agung Oka Mahagangga, Putu Agus Wikanatha Sagita,
Ida Ayu Ratih

PERILAKU BERBAHASA WISATAWAN JEPANG DI BALI


SEBAGAI PENCERMINAN KARAKTERISTIK
WISATAWAN JEPANG ______________________________________ (79 – 93)
I Made Sendra

VOL. 12, NO. 1, 2012


Vol. 12 No. 1 Th. 2012, Hal. 62

PERAN DAN KENDALA PEMULIHAN PARIWISATA BALI PASCABOM


(SUATU KASUS DISPARDA PROVINSI BALI)

I Gusti Agung Oka Mahagangga


Putu Agus Wikanatha Sagita
oka_mahagangga@yahoo.com
Dosen Fakultas Pariwisata Unud
Ida Ayu Ratih
BAPUSDA Provinsi Bali

Abstract

Bali tourism has had an effect on all aspects of Balinese society by making Bali
vulnerable to security issues. The evidence of that occurred when the Bali bombing
tragedy happened on 12 October 2002 and October 2005, when bombs rocked the
tourism sector is confirmed by a decrease in the number of tourists. The purpose of
this study was to find the role and the constraints faced by the tourism department in
the recovery after the explosions so that the future role of tourism services can be
optimized and all constraints minimized. This study used a qualitative approach based
on primary data and secondary data obtained from the informant (purposive sampling).
The results suggest one role in the recovery of the tourism department after the Bali
bombing was to implement a policy of the central government which established a
recovery team together with Bali’s tourism stakeholders and the public. Constraints in
the department of tourism in Bali can be viewed internally and externally and in
essence, the tourism department in Bali should have greater power to control the
recovery of tourism but is in fact precisely the position of department of tourism sub-
ordinate positions.

Key words: role, constraints, tourism department, tourism recovery.

1.1 LATAR BELAKANG


Pariwisata merupakan keseluruhan kegiatan yang berhubungan dengan gerakan
penduduk di dalam atau di luar suatu negara, kota atau wilayah tertentu atau juga
dikatakan sebagai keseluruhan hubungan dengan gejala-gejala atau peristiwa yang
timbul dari kegiatan penduduk yang melakukan perjalanan tidak untuk menetap dan
tidak untuk mencari nafkah. Pariwisata lebih merupakan gejala yang berkaitan dengan
pergerakan manusia secara temporer dan spontan dalam rangka memenuhi kebutuhan
dan keinginan berekreasi. Upaya untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan berwisata
itu biasanya ditunjang oleh kemapanan ekonomi seseorang dan telah terpenuhinya
kebutuhan pokok dalam kehidupan sehari-hari, sehingga keinginan untuk mendapat
pengalaman baru atau melepaskan diri untuk sementara waktu dari rutinitas hidup
dapat terpenuhi. Pariwisata juga merupakan suatu kegiatan jasa yang dapat membuka
keterisolasian geografis dan sosial melalui bentuk-bentuk sosial dan budaya antara
penduduk lokal atau warga masyarakat dengan para wisatawan yang mengunjungi
wilayah tersebut. Terdapat tiga kekuatan yang mampu membuka keterisolasian suatu
Vol. 12 No. 1 Th. 2012, Hal. 63

masyarakat, yaitu pendidikan, perkembangan industri dan kontak budaya (Cholik, 1994
: 70).
Sejak tahun 1960-an pariwisata Indonesia telah tumbuh rata-rata mencapai 10
% (sepuluh persen) lebih setiap tahunnya, sampai dengan awal tahun 1969
perkembangan pariwisata Indonesia berjalan sangat lambat. Hal ini disebabkan karena
pemerintah Indonesia pada waktu itu kurang memperhatikan pariwisata sebagai salah
satu sumber penghasilan negara. Kemudian pada akhir tahun 1969 pemerintah mulai
memperhatikan sektor pariwisata secara teratur agar dapat menambah devisa negara,
di samping devisa dari minyak dan gas bumi (Samsurridjal, 1987 : 58).
Pembangunan Sektor Pariwisata di Bali menjadi sektor andalan yang mampu
meningkatkan devisa, mendorong pertumbuhan ekonomi masyarakat, perluasan
lapangan kerja dan kesempatan berusaha dalam rangka meningkatkan kesejahtraan
masyarakat untuk memupuk rasa cinta tanah air dan memperkaya kebudayaan daerah,
meningkatkan keanekaragaman obyek dan daya tarik wisata serta atraksi wisata, peran
serta aktif masyarakat dalam meningkatkan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan
tetap mempertahankan kelestarian dan mutu lingkungan hidup sangat diperlukan.
Pembangunan Sektor Pariwisata, memberikan manfaat ganda, yaitu bagi
pemerintah, masyarakat dan pihak swasta, sehingga pembangunan sektor pariwisata
selanjutnya harus mendapat dukungan dari pihak masyarakat, pihak swasta dan
pemerintah. Hal ini penting ditekankan, mengingat Provinsi Bali tidak memiliki sumber
daya alam yang dapat diandalkan untuk mendukung perkembangan ekonomi, sehingga
prioritas pembangunan Daerah Bali diletakkan pada pembangunan bidang ekonomi
dengan titik berat pada pembangunan Sektor Pertanian dalam arti luas ditunjang
dengan pembangunan Sektor Pariwisata dan Industri Kecil.
Pengembangan Sektor Pariwisata di Bali yang merupakan sektor andalan dan
mampu meningkatkan penerimaan devisa, mendorong pertumbuhan ekonomi
masyarakat, perluasan lapangan kerja dan kesempatan kerja dalam rangka
meningkatkan kesejahtraan masyarakat harus mendapat perhatian, karena dewasa ini
pertumbuhan Sektor Pariwisata Bali dapat dikatakan mengalami stagnasi bahkan
mengalami penurunan setelah terjadinya ledakan Bom tanggal 12 Oktober 2002 dan 1
Oktober 2005 di Kuta dan Jimbaran.
Keamanan dan kenyamanan merupakan kunci pokok dalam menarik kunjungan
wisatawan baik domestik maupun mancanegara. Meski promosi dilakukan dengan
gencar oleh pemerintah maupun pelaku industri pariwisata, jika keamanan belum
dapat diwujudkan hasil promosi tersebut tidak akan mendapatkan hasil maksimal.
Kunjungan wisatawan ke suatu negara juga tidak hanya berkaitan dengan keinginan
mereka pribadi melainkan juga berkaitan dengan hubungan politis antara negara asal
mereka dengan negara yang akan dikunjungi. Hubungan diplomatik antara negara
dalam pariwisata sangat besar pengaruhnya karena mereka tidak ingin warga
negaranya mengalami masalah di negara lain (travel advisory, travel warning, dll).
Apalagi negara tersebut diketahui sedang mengalami konflik (mis. Perang, kerusuhan)
atau wabah penyakit (mis. Virus SARS) yang beresiko terhadap warga negaranya
(Mahagangga, 2008).
Orang asing yang berniat berkunjung ke Bali ketika mengetahui situasi dan
kondisinya tidak aman dari media massa bahwa terjadi bom atau sering terjadi tindak
kriminal, bukannya tidak mungkin mereka akan mengalihkan waktu liburan mereka ke
daerah tujuan wisata lain. Hal ini dilakukan untuk memperkecil resiko terjadi hal-hal
yang tidak diinginkan (kecopetan, penipuan, pemerkosaan, perampokan, dll). Suatu
Vol. 12 No. 1 Th. 2012, Hal. 64

ancaman terhadap keamanan dan kenyamanan sangat berarti bagi setiap wisatawan
karena mereka mencari kepuasan berwisata bukan mencari masalah dalam berwisata
(Mahagangga, 2010).
Pertumbuhan pariwisata Bali dilihat dari angka kunjungan wisatawan setelah
tragedi Bom Bali I menurun tajam dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Padahal
dengan meningkatnya jumlah kunjungan wisatawan manca-negara ke Indonesia
memberikan banyak peluang bagi bangsa Indonesia untuk menambah usaha dan
mendapatkan pekerjaan dalam rangka meningkatkan kehidupan perekonomiannya.
Tetapi dengan terjadinya Bom Bali I dan Bom Bali II menunjukkan angka penurunan
yang berarti signifikan bagi seluruh aspek kehidupan di Bali khususnya dan di Indonesia
pada umumnya seperti dapat dilihat pada Tabel 1.1.

Tabel 1.1 Jumlah Kunjungan Wisatawan Mancanegara Langsung ke Bali


(2001-2005)

Jumlah Wisman Pertumbuhan


No Tahun
(Orang) (%)
1 2001 1.356.774 -
2 2002 1.285.844 -5,22
3 2003 993.029 -22,77
4 2004 1.458.309 46,85
5 2005 1.386.449 -4,93
6 2006 1.260.317 -9,10
7 2007 1.664.854 32,10
8 2008 1.968.892 18,26
9 2009 2.337.266 18,71
10 2010 2.592.405 10,92
11 2011 2.832.542 9,26
Rata-rata 8,55
Sumber : Disparda Bali, 2012.

Pada Tabel 1.1 menunjukan bahwa kunjungan wisatawan dari tahun 2002-2006
menurun secara signifikan. Penurunan ini diindikasikan sebagai dampak dari terjadinya
Bom Bali I dan II yang mempengaruhi kedatangan wisatawan berlibur ke Bali. Jumlah
kunjungan wisman yang langsung datang ke Bali dari tahun 2003 terjadi penurunan dan
tahun 2004 kembali meningkat. Penurunan yang sangat signifikan di tahun 2003 hampir
mencapai 23 % disebabkan oleh tragedi bom Bali I. Setahun kemudian di tahun 2004
terjadi peningkatan tajam hingga 46,85 % yang sangat melegakan segenap komponen
pariwisata di Bali. Akibat Tragedi Bom II di tahun 2005, tahun 2006 setelah
pemberlakuan travel warning dari beberapa negara maju, terjadi penurunan
kunjungan wisatawan mencapai hampir 10 %. Memasuki tahun 2007 terjadi peningkatan
relatif besar mencapai 32,10 % yang tidak terlepas dari upaya berbagai pihak termasuk
Disparda Provinsi Bali. Selanjutnya di tahun 2008 sampai 2011 terjadi peningkatan
kunjungan wisman yang cukup signifikan meskipun dunia sedang dilanda krisis global.
Peran Dinas Pariwisata Provinsi Bali (Disparda) sebagai perwakilan pemerintah
daerah menangani bidang kepariwisataan menjadi sangat penting untuk memulihkan
kepariwisataan Bali pascabom. Meskipun demikian, peran tersebut menemui banyak
kendala dalam pelaksanaannya karena pariwisata sebagai suatu sistem tidak hanya
Vol. 12 No. 1 Th. 2012, Hal. 65

berhubungan dengan satu elemen saja melainkan saling terkait dengan berbagai
elemen dan tidak dapat dipisahkan dari situasi-kondisi serta fenomena global.
Diperlukan suatu pendekatan bahkan strategi khusus bagi pemerintah daerah
Bali dalam hal ini Disparda Provinsi Bali untuk dapat memulihkan pariwisata Bali
pascabom. Pendekatan, strategi atau upaya Disparda Provinsi Bali dalam tulisan ini
akan dikaji, terutama berfokus kepada peran dan kendala yang dihadapi.

1.2 Rumusan Permasalahan


Berdasarkan uraian latar belakang di atas maka yang menjadi permasalahan
dalam penelitian ini adalah:
1. Apakah Peran Dinas Pariwisata Provinsi Bali (Disparda) dalam Memulihkan
Pariwisata Pascabom Bali?
2. Bagaimana Kendala Dinas Pariwisata Provinsi Bali (Disparda) dalam Memulihkan
Pariwisata Pascabom Bali?

1.3 Kerangka Konseptual Teoritis


Ada pun teori dan konsep yang digunakan sebagai payung dan pisau analisis
dalam tulisan ini adalah ; Teori Sistem (Parson, 1986), Pariwisata (UU RI No. 10 Tahun
2009), Kebijakan Pariwisata (Pendit, 1999), Kendala dan Pemulihan (Balai Pustaka,
2002), dan Peranan Sosial (Veeger, 1993).

1.4 Metode Penelitian


Tulisan ini menggunakan pendekatan kualitatif sebagai upaya memperoleh
pemahaman makna atas fenomena (Muhadjir, 1998). Unit analisisnya adalah peran dan
kendala Disparda Provinsi Bali dalam memulihkan pariwisata Bali Pascabom. Teknik
penentuan informan dilakukan secara purposive sampling (Koenjaraningrat, 1997),
Teknik Pengumpulan Data menggunakan metode observasi, wawancara dan studi
pustaka (Moloeong, 2005) dan Teknik Analisis Data Kualitatif yang menekankan
interpretasi dari hasil wawancara, hasil observasi, dan catatan lapangan sebagai suatu
data yang terpercaya (Geertz, 1995).

II. PEMBAHASAN
Praktisi pariwisata sangat merasakan penurunan pendapatan mereka setelah
bom Bali I (12 Oktober 2002) dan Bom Bali II (1 Oktober 2005). Pendapatan yang
menurun drastis dirasakan mulai dari pedagang acung, pengusaha art shop hingga
konglomerat yang bergerak di bidang jasa/hospitality (hotel, restoran, dll).
Tragedi Bom Bali tersebut dengan demikian secara nyata diakui mengakibatkan
berbagai hal yang sangat merugikan bagi perkembangan pariwisata Bali, yaitu :
1. Tingkat kunjungan wisatawan, baik wisatawan maca negara maupun wisatawan
domestik menjadi menurun.
2. Tingkat hunian kamar hotel menurun.
3. Banyak terjadinya pemutusan hubungan kerja karyawan pada berbagai usaha di
bidang kepariwisataan (atau paling tidak dirumahkan).
4. Investor tidak berani menanamkan modalnya di Bali karena keamanan tidak
terjamin.
Selain kenyataan tersebut, terjadi pergeseran pangsa pasar dari wisatawan
manca negara dari Eropa seperti Spanyol, Prancis, Inggris dan Jerman. Setelah tragedi
Bom Bali wisatawan manca negara yang lebih banyak berkunjung ke Bali adalah
Vol. 12 No. 1 Th. 2012, Hal. 66

wisatawan dari negara-negara Asia seperti Jepang, Cina, Taiwan dan Korea. Untuk itu,
maka segenap komponen masyarakat khususnya komponen pariwisata bersama-sama
dengan pemerintah daerah mempunyai kewajiban untuk mengupayakan pemulihan
kehidupan Sektor Pariwisata.
Pemerintah Daerah Provinsi Bali dalam hal ini Dinas Pariwisata sudah melakukan
berbagai upaya dalam pemulihan pariwisata pasca Bom Bali namun belum memberikan
hasil yang optimal. Pembangunan Pariwisata di Provinsi Bali menempati prioritas yang
menentukan, karena memberikan dampak ganda terhadap pembangunan sektor
lainnya, yang selama ini mengalami fluktuasi dalam hal jumlah wisatawan manca
negara yang berkunjung ke Bali.
Kebijakan Umum Anggaran Tahun 2008 Pemerintah Provinsi Bali dikemukakan
mengenai permasalahan yang dihadapi dalam Pengembangan Bidang Kepariwisataan
sebagai berikut :
1. Masih rendahnya daya saing industri pariwisata nasional dan belum optimalnya
sinergi pembangunan pariwisata dengan pembangunan sosial dan budaya.
2. Persaingan yang semakin ketat antara anegara-negara yang menjadi tujuan
wisata.
3. Belum mantapnya keamanan dan kenyamanan pada daerah tujuan wisata.
4. Belum meratanya penyebaran sarana dan prasarana pariwisata yang nenadai di
seluruh kabupaten/kota seperti; transportasi, akses informasi, sanitasi lingkungan
di beberapa obyek dan daya tarik wisata.
5. Kurangnya pengetahuan dan kemampuan tenaga kerja pariwisata atau rendahnya
daya saing sumber daya manusia pariwisata.
6. Belum optimalnya promosi pariwisata.
7. Terbatasnya bahan-bahan promosi pariwisata.
Kunjungan wisatawan ke Bali pasca teror bom Bali I dan II secara kuantitas
memang tidak menunjukkan penurunan berarti, tetapi secara kualitas terjadi
penurunan yang dirasakan oleh komponen pariwisata di Bali. Perkembangan Sektor
Pariwisata di Provinsi Bali sebagai sektor andalan dalam kerangka pembangunan
daerah, merupakan penggerak pembangunan di segala bidang dan sektor-sektor
lainnya, tetapi pascabom Bali mengalami stagnasi, sebagai permasalahan yang perlu
segera ditangani bersama oleh pemerintah, masyarakat dan swasta.

2.1 Peran Disparda Provinsi Bali dalam Memulihkan Keadaan Pascabom


Kunjungan langsung wisatawan ke Bali periode 2000-2004 merupakan tahun-
tahun sulit bagi perkembangan kepariwisataan Bali. Padahal data menunjukkan bahwa
pada tahun 2000 jumlah kunjungan langsung wisatawan mancanegara ke Bali
meningkat 4,21% yaitu sejumlah 1.355.799 orang pada tahun 1999 menjadi 1.412.839
orang pada tahun 2000 (Disparda, 2004). Pada tahun 2000 ini dinyatakan sebagai
kunjungan wisatawan mancanegara terbesar ke Bali secara kuantitas dibandingkan
tahun-tahun sebelumnya.
Para praktisi pariwisata pun seakan mengalami euphoria dengan harapan
kedepannya kunjungan wisatawan mancanegara akan bertambah jumlahnya. Aktifitas
kepariwisataan meningkat termasuk daya dukungnya yang menyerap tenaga kerja
cukup tinggi. Namun berbagai peristiwa teror yang mengguncang dunia dan Bali
menyurutkan harapan optimis tersebut. bom Bali 12 Oktober 2002 disusul dengan bom
Bali 1 Oktober 2005 mengurangi angka kunjungan langsung wisatawan mancanegara ke
Bali. Beberapa faktor lain diduga sebagai penyebab penurunan kunjungan wisatawan,
Vol. 12 No. 1 Th. 2012, Hal. 67

seperti krisis moneter yang melanda dunia dan stabilitas keamanan seperti peperangan
dan aksi terorisme.
Menyikapi situasi tersebut di atas, peran Disparda Provinsi Bali dituntut mampu
memberikan solusi untuk pemulihan pariwisata Bali sesuai dengan Tupoksi yang
dimiliki. Secara hierarki Kepala Dinas Pariwisata Provinsi Bali berada di bawah
Gubernur sebagai Kepala Daerah Tingkat I. Seluruh kebijakan yang dikeluarkan
Disparda harus berdasarkan persetujuan Gubernur melalui Sekda atau pun jika seorang
Kepala Dinas mempunyai suatu ide pembangunan pariwisata harus sepengetahuan
Gubernur atau Sekda dalam mengimplementasikan ide atau kebijakan tersebut.
Dalam pembangunan kepariwisataan, Disparda Provinsi Bali mempunyai
kedudukan dan peranan cukup signifikan mewujudkan pembangunan kepariwisataan
berkelanjutan, dengan diikuti oleh penyelanggaraan pemerintah yang akuntabel.
Pemerintah yang akuntabel atau good governance merupakan keharusan yang perlu
dilaksanakan dalam usaha mewujudkan aspirasi serta cita-cita masyarakat dalam
mencapai masa depan yang lebih baik (Lakip Disparda 2004).
Menyikapi tragedi bom, pemerintah berusaha memaksimalkan kinerjanya untuk
dapat meningkatkan angka kunjungan wisatawan mancanegara sebagai roda
pertumbuhan perekonomian di Bali. Kerja keras pemerintah yang mencakup menjaga
keamanan dan kenyaman, upaya promosi dan koordinasi dengan segenap komponen
masyarakat dinilai beragam. Ada yang berasumsi keseriusan Pemerintah Daerah dalam
recovery Bali sudah maksimal namun banyak pula yang mengatakan usaha pemerintah
dalam memulihkan pariwisata Bali tidak optimal sehingga perubahan untuk mencapai
target yang diharapkan berjalan sangat lambat. Kenyataannya, secara kuantitas hasil
yang terlihat pada saat penelitian dilaksanakan angka kunjungan langsung wisatawan
ke Bali sudah mulai pulih kembali (meskipun tidak sebaik kondisi sebelum bom Bali
2002), namun secara kualitas kiranya perlu dilaksanakan penelitian lanjutan yang
secara spesifik membahas permasalahan tersebut.
Kebijakan dari Pemerintah Pusat untuk memulihkan pariwisata Bali dengan
membentuk tim recovery untuk mengkaji dan memberikan solusi dengan segera untuk
mencegah pariwisata Bali tidak terpuruk. Kebijakan dari Pemerintah Pusat bersifat
umum dalam arti tidak langsung menangani permasalahan ini hingga ke tingkat bawah.
Tugas Pemerintah Provinsi bersama Pemerintah Kabupaten/Kota mengimplementasikan
kebijakan dari Pemerintah Pusat tersebut.
Kebijakan dari Pemerintah Pusat secara umum dapat dipilah menjadi dua
prioritas yaitu menyangkut keamanan dan promosi Bali sebagai daerah tujuan wisata
utama di Indonesia dan di dunia. Kebijakan dari Pemerintah Pusat dengan demikian
berjalan sesuai dengan koridor birokrasi dari atas ke bawah dan secara horizontal
harus pula dikoordinasikan dengan institusi lain sesuai dengan tugasnya untuk dapat
mewujudkan tujuan yang ingin dicapai bersama. Permasalahan keamanan menjadi
tanggungjawab Kepolisian Daerah Bali bersama-sama masyarakat untuk menciptakan
rasa nyaman bagi wisatawan. Promosi menjadi tanggungjawab Disparda Provinsi Bali
bersama stakeholders dalam mempublikasikan Bali ke dunia luar bahwa Bali sudah
aman dan layak untuk dikunjungi. Pemerintah Pusat juga dapat mengambil peran ini
dengan memanfaatkan kapasitas Hubungan Diplomatik yang dimiliki meyakinkan
kepada dunia bahwa Bali merupakan daerah kunjungan wisatawan yang masih tetap
menawan dan memikat dengan keunikan budaya yang dimiliki.
Kebijakan sangat memegang peranan penting dalam birokrasi moderen.
Implementasi dan koordinasi menjadi landasan birokrat dalam mencapai tujuan yang
Vol. 12 No. 1 Th. 2012, Hal. 68

ingin dicapai untuk melayani publik. Pola-pola kekuasaan (hirarki) tersusun sedemikian
untuk dapat memberikan hasil yang efektif dan efisen bahkan bila perlu diusahakan
memperoleh hasil maksimal. Analisis kebijakan adalah sebuah telaah krisis isu
kebijakan tertentu, dilakukan oleh analis dan para pihak yang dipengaruhi kebijakan,
menggunakan ragam pendekatan dan metode yang menghasilkan nasehat atau
rekomendasi kebijakan guna membantu pembuat kebijakan dan para pihak yang akan
dipengaruhi kebijakan dalam mencari solusi yang tepat atas masalah-masalah
kebijakan yang relevan. Wahab juga mengungkapkan ciri-ciri yang menonjol dari
kebijakan publik, yaitu; (1) merupakan rangkaian keputusan politik, (2) melibatkan
seorang aktor politik dan atau sekelompok lain, (3) sebagai proses pemilihan tujuan
dan sarana untuk mencapainya, (4) berlangsung dalam situasi tertentu, dan (5) ada
dalam lingkup atau batas-batas kekuasaan para aktor (Wahab, 1990 : 17). Artinya
kebijakan didesain sebagai tawaran jawaban terhadap masalah yang terjadi dan
dirancang untuk bisa menghasilkan efek sosial yang dikehendaki. Pandangan sebagai
bentuk intervensi sosial, dikembangkan dari pemikiran normatif yang menyepakati
kebijakan bukan sekedar sebagai sistem dimana aspirasi (tuntutan dan dukungan)
diartikulasikan oleh faktor-faktor kebijakan menjadi sebuah keputusan kebijakan
tetapi lebih sebagai bentuk aktivitas birokrasi pemerintah (Siagian, 2000 : 60).
Ada pun upaya kongkrit yang dilakukan Disparda Provinsi Bali dalam pemulihan
pariwisata pasca bom sebagai bagian dari kebijakan yang diterapkan adalah (1) upaya
pemulihan keamanan berkoordinasi dengan Polda , (2) upaya promosi dengan
melibatkan BTB, PHRI, stakeholders, Media Massa dan masyarakat, Tahap
Penyelamatan, Tahap Pemulihan, Tahap Normalisasi dan Tahap Pengembangan.
Peran Disparda Provinsi Bali dalam pemulihan pariwisata pascabom melalui
upaya pemulihan keamanan dan upaya promosi harus berhati-hati karena melibatkan
banyak hierarki birokrasi untuk menghindari benturan yang dapat menghambat kinerja
dan realisasi program. Adanya peran pemerintah pusat, peran aparat keamanan
(Polda), peran lembaga-lembaga pariwisata dan profesi, peran stakeholders
pariwisata, peran masyarakat lokal yang kesemuanya memiliki kepentingan dan tidak
menutup kemungkinan akan berjalan sendiri-sendiri dan sulit dikoordinir. Sangat
beralasan kemungkinan terjadi upaya pemulihan secara partial karena pemulihan
bukan hanya demi Bali tetapi demi usaha jasa yang dimiliki seperti hotel dan restoran.
Jika mereka menunggu upaya pemerintah dan tidak aktif menjemput bola, para
pengusaha takut bisnis mereka akan terancam bangkrut. Seperti hotel yang
berkualifikasi internasional tentunya akan memanfaatkan jejaring yang dimiliki untuk
dapat bertahan ditengah terpuruknya kondisi pariwisata Bali.
Standar kebijakan pariwisata yang diterapkan oleh pemerintah pusat maupun
daerah dengan demikian dituntut untuk mampu secara cepat, tepat dan fleksibel
menyikapi permasalahan pemulihan semacam ini kedepannya. Birokrasi yang terkesan
lamban dengan pola top down harus dikurangi dan disesuaikan dengan kondisi nyata.
Hal ini dapat dilakukan jika segenap pihak memiliki kesamaan visi dan misi serta
program kerja yang jelas sehingga dikemudian hari jika terjadi hal serupa maka akan
cepat dan tepa digunakan langkah-langkah strategis dengan mengandalkan kebijakan-
kebijakan pemerintah yang linear dan dituntut kemampuan pemerintah daerah untuk
berani mengambil keputusan dengan meminimalkan resiko. Hal yang harus dihindari
adalah lahirnya kebijakan-kebijakan yang justru menghambat upaya pemulihan karena
perbedaan persepsi yang justru nantinya akan merugikan segenap pihak.
Vol. 12 No. 1 Th. 2012, Hal. 69

Koordinasi merupakan kata kunci untuk mencapai keberhasilan dalam upaya


pemulihan pariwisata pascabom Bali. Kebijakan dari Pemerintah Pusat diteruskan oleh
Pemerintah Provinsi Bali melalui Disparda dan instansi terkait lainnya kemudian
dikoordinasikan bersama Pemerintah Kabupaten/Kota di Bali. Dalam kenyataannya
sangat sulit melakukan koordinasi yang baik diantara berbagai komponen karena
perbedaan cara pandang, sistem atau cara bekerja yang berbeda dan perbedaan
sasaran yang ingin dicapai. Disinilah tugas berat Disparda Provinsi agar dapat
mengakomodir perbedaan tersebut dengan meyakinkan segenap pihak tujuan yang
utama dari pemulihan pariwisata adalah meningkatkan jumlah kunjungan wisatawan
mancanegara maupun nusantara ke Bali.
Sejalan dengan UU. No.22 Tahun 1999 dan PP No. 25 Tahun 2000 tentang
Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Provinsi sebagai daerah Otonom
pembangunan pariwisata pascabom Bali diusahakan berjalan sesuai dengan koridor
tersebut. Pemerintah Provinsi dalam hal ini Disparda Provinsi Bali memiliki wewenang
di bawah Gubernur untuk berkoordinasi bersama Pemerintah Kabupaten/Kota untuk
memulihkan pariwisata pascabom Bali.
Koordinasi Disparda Provinsi tidak bersifat searah melainkan timbal-balik
sebagai upaya bersama membangun pariwisata Bali. Koordinasi diperlukan untuk dapat
menyusun rencana yang strategis dengan melibatkan stakeholders dan masyarakat
sebagai salah satu metode perencanaan yang terarah. Penyelenggaraan otonomi
daerah pascabom Bali semula dirasakan menimbulkan kesulitan tersendiri karena
pemberlakuan Undang-Undang yang baru sehingga sering terjadi salah interpretasi dan
menimbulkan penyimpangan dalam implementasi di lapangan. Namun berkat
pendekatan yang digunakan oleh Pemerintah Provinsi Bali yang bersifat membina
kesalahpahaman dapat diminimalkan terutama dalam pemulihan pariwisata Bali.
Kebijakan yang turun dari Pemerintah Pusat dengan dibentuknya tim recovery Bali
mengeluarkan langkah-langkah strategis yang dapat dipahami hingga ke tingkat
Pemerintah Kabupaten/Kota. Dalam hal ini Disparda Provinsi Bali selalu membuka diri
untuk menerima masukan dari para stakehloders untuk dapat diteruskan ke
Pemerintah Kabupaten/ Kota sehingga upaya pemulihan pariwisata pascabom tidak
berjalan sendiri-sendiri.
Kesadaran Pemerintah Daerah Bali untuk bersama-sama berusaha meningkatkan
citra pariwisata Bali menjadi senjata ampuh untuk mempercepat pemulihan.
Kabupaten Badung sebagai daerah penyumbang PAD terbesar karena memiliki daerah
kunjungan wisatawan yang terbesar, terlihat sangat aktif berkoordinasi dengan
Pemerintah Provinsi Bali dalam upaya pemulihan pascabom. Hubungan Pemerintah
Kabupaten bersama stakeholders terlaksana dengan baik dengan tidak melupakan
peran masyarakat. Sebagai penyumbang PAD terbesar yang bersumber dari pariwisata
usaha Pemkab Badung juga didukung oleh Pemkab/Kota se- Bali. Mereka menyadari
sepenuhnya bahwa Badung sebagai daerah tujuan wisata utama di Bali yang
memberikan kontribusi besar bagi pembangunan Bali pada umumnya harus didukung
bersama kebijakan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Provinsi Bali maupu Kebijakan
dari Pemerintah Pusat.
Koordinasi dengan pihak keamanan juga telah dilakukan oleh Disparda Provinsi
Bali dengan meyakinkan para stakeholders untuk turut berperan menjaga keamanan di
wilayah kerja masing-masing. Support kepada pihak keamanan diwujudkan pula
melalui bantuan informasi maupun materi sebagai motivator bagi aparat keamanan
untuk dapat bersama-sama bekerja secara maksimal. Pemasangan CCTV di beberapa
Vol. 12 No. 1 Th. 2012, Hal. 70

titik sentral yang dipandang rawan juga dikoordinasikan kepada pihak aparat
keamanan. Pemerintah Provinsi Bali melalui Disparda berharap dapat secara optimal
mewujudkan Bali yang aman dan nyaman. Tanpa keamanan yang terjamin dipastikan
citra pariwisata Bali akan semakin merosot yang berdampak kepada penurunan angka
kunjungan wisatawan. Hal ini berarti laju perekonomian Bali akan tersendat yang
berdampak pula kepada kesejahterahaan masyarakat yang semakin menurun.
Koordinasi bersama media massa baik lokal maupun asing dilakukan secara
sinergis untuk dapat memberikan pencitraan positif. Diusulkan kepada media massa
agar melaporkan atau menulis peristiwa positif pascabom Bali bukan sebaliknya
semakin memojokkan citra pariwisata Bali dengan pemberitaan yang tendensius.
Pelaksanaan upacara Kariphubhaya pascabom, toleransi antar etnis/umat beragama
yang harmonis, keindahan objek wisata dan keamanan Bali diharapkan dapat dimuat
sebagai berita yang menyejukkan bagi para calon wisatawan. Bahkan bertujuan pula
bagi negara-negara yang potensial sebagai pangsa pasar wisatawan. Hal ini bertujuan
agar negara-negara besar seperti Amerika Serikat yang semula mengeluarkan travel
warning dapat menurunkan level-nya menjadi travel advisory atau malah mencabut
peringatannya menjadi Bali sudah layak dikunjungi karena pemberitaan yang stabil dan
kondusif.

2.2 Kendala Internal dan Eksternal


Berdasarkan Hierarki dan Tupoksi kerja yang dimiliki, Disparda Provinsi Bali
harus berupaya berperan maksimal mewujudkan pembangunan pariwisata Bali secara
berkelanjutan. Dalam kasus pascabom Bali, peran Disparda Provinsi Bali seperti
disampaikan di atas harus menghindari benturan birokrasi, kebijakan, kepentingan,
dan perbedaan visi dan misi serta program kerja yang berjalan secara partial.
Berdasarkan hasil penelitian, terdapat beberapa kendala yang dihadapi Disparda
Provinsi Bali dalam pemulihan pariwisata pascabom. Kendala pemulihan dapat dilihat
secara internal maupun eksternal dalam proses perencanaan maupun pelaksanaannya.
Dalam upaya pemulihan pariwisata oleh Disparda Provinsi Bali kendala internal dan
eksternal tampak selalu berdampingan karena tidak terpisahkan sebagai suatu sistem
yang memerlukan koordinasi dalam menanganinya.
Pengakuan dari beberapa praktisi pariwisata di Bali upaya pemulihan pariwisata
dapat berjalan dengan cepat apabila ada goodwill dari pemerintah dan dukungan dari
segenap komponen. Selain promosi iklim investasi juga harus ditingkatkan sejalan
dengan meningkatnya stabilitas keamanan. Menyatunya persepsi untuk meningkatkan
kembali kunjungan wisatawan dan analisa pasar yang tepat diyakini kondisi pariwisata
Bali akan semakin membaik dari sebelumnya. Peran Disparda Provinsi Bali dapat
dirasakan oleh para stakeholders dengan berbagai kebijakan dan kemudahan yang
diberikan untuk dapat mendatangkan wisatawan sebanyak-banyaknya ke Bali.
Ada pun kendala internal adalah alur birokrasi sering menjadi kendala dalam
progress pariwisata khususnya dalam upaya promosi. Pariwisata Bali yang terpuruk
mesti segera dipulihkan karena pariwisata sudah menjadi produk penopang
perekonomian Bali. Bali masih sangat mengandalkan sektor pariwisata sebagai
penggerak perekonomian. Menyikapi hal ini Bali Tourism Board (BTB) pada tahun 2006
telah melakukan langkah pemulihan dengan melakukan road show ke kota-kota di
Australia. Berdasarkan data BTB pemulihan pariwisata pascabom yang dilakukan sejak
tahun 2002 sudah menunjukkan hasil yang cukup baik. Pihak BTB bersama stakeholders
lainnya bekerja keras berkoordinasi dengan Disparda Provinsi Bali bersama masyarakat
Vol. 12 No. 1 Th. 2012, Hal. 71

memulihkan kepariwisataan di Bali. Selanjutnya Disparda Provinsi dibawah koordinasi


Pemerintah Pusat memberikan persetujuan termasuk pengalokasian dana pemulihan
pariwisata tersebut.
BTB sebagai gabungan dari sejumlah organisasi kepariwisataan di Bali bertujuan
untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat dengan memfasilitasi industri dan
pemerintah dalam meningkatkan mutu objek wisata dan segenap faktor pendukungnya.
Visi BTB adalah menjadi organisasi yang mengelola daerah tujuan wisata secara
profesional dan memiliki daya saing dengan negara lain. Misi BTB adalah
mempromosikan, membangun dan mengelola Bali sebagai daerah tujuan wisata
unggulan. BTB sudah mengambil langkah-langkah strategis bersama Disparda Provinsi
Bali dengan menyusun rancangan aksi pemasaran, promosi Bali, merangsang
kedatangan wisatawan secara berkesinambungan, meningkatkan kesadaran masyarakat
Bali akan kepariwisataan, menjembatani dan mengaktifkan komunikasi dua arah serta
pertukaran ide antara pemerintah dan sektor swasta.
Seperti pada kasus menegangnya hubungan diplomatik Indonesia-Australia,
pihak BTB langsung mengambil langkah dengan mengadakan pertemuan bersama
praktisi pariwisata dari Australia. BTB Bali bertemu dengan maskapai penerbangan
Australia dan 30 praktisi pariwisata membahas operasional tim promosi Bali termasuk
membicarakan memburuknya hubungan bilateral kedua Negara agar tidak berdampak
kepada kunjungan wisatawan Australia ke Bali.
Upaya yang dilakukan praktisi pariwisata adalah ingin secara cepat dan mantap
memulihkan pariwisata Bali karena berhubungan erat dengan korporasi yang mereka
miliki. Oleh karena itu, tidaklah salah jika mereka juga turut memberikan bantuan
baik moril maupun materil kepada Disparda atau masyarakat untuk segera memulihkan
pariwisata Bali. Dalam banyak kasus para praktisi pariwisata memberikan bantuan
pemikiran maupun materi seperti dalam upaya promosi melalui Pesta Kesenian Bali
(PKB). Ketika pihak Pemerintah Provinsi kesulitan mempromosikan PKB karena alokasi
dana untuk promosi sangat minim, kerjasama dengan para stakeholders mampu
membantu promosi kepada para wisatawan. Para stakeholders mengakui seharusnya
pemerintah menyiapkan anggaran yang cukup untuk mempromosikan event-event
semacam PKB. Biaya promosi yang terbatas akan menyebabkan arah pemasaran
menjadi bias. Para stakeholders seperti ASITA dan PHRI sangat siap men-support
promosi yang arah dan jelas tujuannya. Kemampuan networking yang mereka miliki
terutama di luar negeri diyakini akan sangat membantu promosi Bali.
Kenyataannya, praktisi pariwisata sering bergerak lebih cepat dari pemerintah
karena mereka terdiri dari orang-orang professional yang berpengalaman di bidangnya
(pariwisata) yang secara langsung mempertaruhkan kapitalnya di dunia pariwisata.
Mereka melakukan reaksi cepat karena tidak ingin bangkrut, sehingga modalnya tidak
hilang melainkan dapat bertahan atau segera mendapatkan keuntungan. Seperti
langkah cepat Kamar Dagang dan Industri Bali (KADIN) mengadakan lobi kepada
Pemerintah Pusat dalam pemulihan pariwisata pascabom Bali.
Pihak stakeholders juga memberikan masukan kepada Pemerintah Daerah
terkait dengan pemulihan kepariwisataan di Bali. Pencairan dana recovery yang sering
terhambat karena masalah birokrasi juga dapat dilihat pada tahun 2006. Praktisi
pariwisata yang tergabung dalam Persatuan Hotel dan Restoran (PHRI) Bali
mengusulkan perlunya daerah memiliki pos dana tak terduga untuk membantu
recovery Bali. Selama ini recovery terbentur oleh minimnya biaya promosi dari pihak
pemerintah. Padahal Menbudpar saat itu sudah berjanji untuk meningkatkan biaya
Vol. 12 No. 1 Th. 2012, Hal. 72

promosi dari tahun ke tahun. Pihak pemerintah dalam hal ini Disparda Kabupaten
Badung menyambut positif usulan ini. Namun karena kesulitan membagi pos anggaran
yang kesemuanya sudah dibagi berdasarkan skala prioritas usulan ini sampai sekarang
belum terealisasi.
Apabila upaya yang dilakukan BTB dan PHRI Bali ditunjang oleh pemerataan
pendanaan, kemampuan SDM dan pembangunan pariwisata yang langsung dirasakan
oleh masyarakat setempat, peneliti berasumsi permasalahan seperti perlakuan tidak
sopan kepada wisatawan akan hilang karena masyarakat memperoleh profit dari
kemajuan pariwisata di desanya. Kesadaran masyarakat pun akan meningkat untuk
tetap menjaga keamanan dan kenyamanan di wilayahnya masing-masing.
Disparda Provinsi Bali sejak tahun 2003 menerapkan rencana strategik untuk
dapat bersinergi secara maksimal bersama stakeholders untuk memulihkan pariwisata
Bali. Pada tahun 2004 Disparda mengalokasikan dana sebesar Rp. 125.000.000 untuk
pembinaan usaha sarana pariwisata yang bertujuan untuk meningkatkan kesadaran
pengusaha mematuhi ketentuan yang berlaku. Dana sebesar Rp. 200.225.000
dialokasikan untuk pembinaan usaha jasa pariwisata yang bertujuan pula memberikan
pemahaman kepada praktisi usaha jasa pariwisata untuk mematuhi ketentuan yang
berlaku. Pembinaan berupa pelatihan atau sosialisasi diharapkan dapat memperbaiki
kualitas sarana dan jasa pariwisata pascabom Bali.
Program promosi bersama stakeholders juga dilakukan pada tahun 2004 dengan
melakukan promosi dalam dan luar negeri. Alokasi dana untuk promosi ini sebesar
1.935.168.000. Target yang ingin dicapai dalam promosi pariwisata untuk menyebarkan
informasi kepariwisataan untuk meningkatkan jumlah kunjungan wisatawan. Selain itu
program pelayanan informasi juga dikembangkan untuk mencetak brosur/cd sehingga
tersusun bahan promosi pariwisata yang mudah diterima oleh para wisatawan.
Hubungan antara Disparda dengan stakeholders sejatinya bersifat timbal balik
dengan menjaga keharmonisan keduabelahpihak. Disparda tidak dapat bergerak
mengambil kebijakan sendiri dalam mengambil keputusan seperti pada tragedi bom
Bali. Melainkan secara hirarki birokrasi mengikuti kebijakan dari Pemerintah Pusat dan
institusi terkait lainnya. Kebijakan dari atas tersebut baru dikondisikan sesuai dengan
keadaan yang di terjadi di Bali. Hal ini sering menjadi penghalang Disparda untuk
dapat mengambil langkah yang cepat dalam kondisi darurat. Banyak pertimbangan
yang mesti dipatuhi dan dilakukan untuk memecahkan suatu permasalahan.
Kesulitan Disparda Provinsi Bali bersama Disparda Kabupaten/Kota dalam
merespon permasalahan yang dihadapi industri pariwisata pascabom dapat diselesaikan
dengan interaksi antara keduabelah pihak. Disparda yang terbelit oleh hirarki birokrasi
dapat dibantu oleh stakeholders dengan langsung melobi ke Pemerintah Pusat.
Profesionalisme dalam berbisnis membuka jaringan ke Pemerintah Pusat maupun ke
jaringan bisnis Internasional.
Disinilah tampak bagaimana hegemoni kekuasaan secara praksis memiliki
kekuatan yag sulit dibendung. Tidak ada kekerasan tetapi yang terjadi adalah
keharusan (mungkin pemaksaaan secara halus) bahwa daerah mutlak menuruti
kebijakan dari Pemerintah Pusat. Di sisi lain Otonomi Daerah mengaburkan
pemerintahan di daerah antara Provinsi dan Kabupaten/Kota. Pada tataran ini kembali
hegemoni lahir dalam wujud yang berbeda sehingga sulit menemukan siapa yang
mengendalikan dan apa yang dikendalikan. Hegemoni adalah penghalusan kekuasaan,
artinya dalam kasus ini perang kekuasaan terjadi tanpa menghasilkan siapa
Vol. 12 No. 1 Th. 2012, Hal. 73

pemenangnya karena terikat dalam satu kesatuan yang berkesinambungan namun


penuh dengan kekukuhan pada ego sektoral.
Berbeda dengan stakeholders pariwisata yang mandiri dan profesional karena
mereka bergerak di ranah kapital yang menuntut mereka untuk dapat bertahan dalam
kondisi apapun. Perusahaan yang mereka miliki adalah aset dan investasi untuk
memperoleh keuntungan sebesar-besarnya sesuai dengan motif ekonomi. Oleh karena
itu tidaklah heran ketika terjadi tragesi bom mereka pun kebingungan dan berpikir
keras menyelamatkan perusahaan secara internal (efesiensi, inovasi, dll) maupun
eksternal (promosi, merger, dll). Langkah-langkah yang mereka lakukan lebih cepat
dari pihak pemerintah daerah yang terbelit oleh lingkaran birokrasi.
Ketergantungan diantara keduanya sebagai bagian dari suatu sistem menuntut
mereka harus berjalan bergandengan. Permasalahan yang sama dihadapi oleh Disparda
Provinsi dan stakeholders yaitu menurunnya kunjungan wisatawan yang berdampak
domino terhadap pembangunan Bali. Kedua komponen ini pun tidak dapat berjalan
sendiri-sendiri karena akan tetap memerlukan antara satu dengan lainnya.
Disparda Provinsi Bali juga masih menemui kendala dalam berkoordinasi dengan
Disparda Pemerintah Kabupaten/Kota se-Bali dalam kebijakan-kebijakan pariwisata.
Belum jelasnya kewenangan masing-masing pihak sering menimbulkan permasalahan di
lapangan. Kenyataan ini sering membingungkan stakeholders dalam berinvestasi
pascabom Bali. Belum lagi perubahan kebijakan dari pusat yang sewaktu-waktu dapat
merubah kebijakan terdahulu.
Interaksi antara Disparda Provinsi Bali bersama stakeholders pariwisata di Bali
saling menguntungkan keduabelah pihak. Disparda sebagai bagian dari pemerintah
menjalankan tugas dan fungsi di bidang pariwisata dan stakeholders menjalankan tugas
untuk kepentingan bisnis yang secara langsung memberikan kontribusi kepada
perekonomian daerah dan pembangunan di Bali. Hubungan harmonis ini berjalan
berdasarkan kepentingan yang sama yaitu memajukan pariwisata di Bali.
Kendala eksternal yang dihadapi dalam upaya pemulihan pascabom Bali, adalah
menurunnya kepercayaan pasar terhadap pariwisata Bali, koordinasi bersama
stakeholders yang juga terlihat dalam kendala internal di atas, termasuk koordinasi
dengan aparat keamanan dan koordinasi bersama masyarakat.
George Simmel (1994) dengan pendekatan teori interaksi mengidentifikasi dan
menganalisis bentuk yang berulang atau pola-pola sosial, yaitu proses interaksi timbal
balik dalam masyarakat. Pendekatan ini mengusahakan keseimbangan antara
pandangan nominalis (hanya percaya pada individu riil) dan pandangan realis atau teori
organik (realitas sosial bersifat independen dari individu yang membentuknya). Bentuk
dan pola diisoliasi dan proses interaksi dapat dibedakan dari isi kepentingan tujuan
atau maksud yang dicari melalui proses interaksi. Dalam proses sosial interaksi timbal-
balik, apakah terjadi dalam bentuk superordinasi atau subordinasi. Meskipun
superordinat bertujuan mengontrol subordinat dalam hal superordinat
mempertahankan keinginan subordinat.
Dinas Pariwisata Provinsi Bali memiliki tugas memajukan pembangunan
pariwisata sesuai dengan visi dan misi yang dimiliki. Peran Disparda dengan demikian
tidak terlepas dari stakeholders sebagai praktisi pariwisata dan masyarakat sebagai
bagian dari kepariwisataan itu sendiri. Hubungan ini idealnya dibangun berdasarkan
timbal balik yang saling menguntungkan untuk memajukan pariwisata di Bali.
Hasil observasi dan analisis dari peneliti, kemajuan pariwisata Bali sangat
berperan dalam segala aspek kehidupan masyarakatnya. Pemerintah Provinsi Bali
Vol. 12 No. 1 Th. 2012, Hal. 74

melalui Disparda memiliki peran superordinat dalam mengatur dan mengembangkan


kepariwisataan di Bali. Peran Disparda Provinsi Bali meliputi kehumasan pariwisata,
pengembangan objek pariwisata, usaha jasa dan sarana pariwisata, promosi dan
kualitas pariwisata dan sumber daya pariwisata.
Secara teori terlihat peran superordinat Disparda Provinsi Bali ini memberikan
kesan yang besar dalam mengatur dan mengembangkan kepariwisataan di Bali.
Stakeholders dan masyarakat terkesan berada pada posisi subordinat yang mengikuti
dan tunduk kepada segala kebijakan yang dilakukan Disparda Provinsi Bali.
Namun secara kondisi real di lapangan Disparda Provinsi Bali tidak dapat
berjalan sendiri dalam menjalankan tugas dan fungsinya. Stakeholders dan masyarakat
merupakan komponen yang sama pentingnya dengan Disparda sebagai penyelenggara
kepariwisataan. Jika Disparda berada pada posisi regulasi, pengawasan dan
pengembangan maka stakeholders dan masyarakat merupakan komponen yang
bersentuhan langsung dengan wisatawan.
Interaksi antara ketiga komponen dengan demikian saling tergantung antara
satu dengan lainnya. Disparda hanya mampu memberikan kebijakan dan pembinaan
terhadap kepariwisataan. Disparda Provinsi Bali tidak berwenang dan tidak memiliki
kapabilitas untuk menyelenggarakan usaha-usaha kepariwisataan.sedangkan
stakeholders memiliki peran signifikan sebagai penyelenggara kepariwisataan.
Masyarakat secara langsung maupun tidak langsung berhubungan erat dengan
kemajuan kepariwisataan karena pengaruh positif dari pariwisata pada suatu daerah
seyogyanya dirasakan pula oleh masyarakatnya.
Jika dikatakan stakeholders dalam interaksinya dengan Disparda berada pada
posisi subordinat, tampaknya tidak tepat. Dalam banyak hal stakeholders memiliki
kemampuan yang tidak dimiliki oleh Disparda Provinsi Bali. Misalkan dalam penyediaan
dan penyelenggaraan sektor pendukung pariwisata seperti, hotel dan restoran. Untuk
promosi dan kesuksesan usaha tersebut peran Disparda tidaklah terlalu besar dari sisi
praktisnya. Justru stakeholders melalui kemampuan management, Sdm dan promosi
mereka mampu menarik wisatawan untuk memanfaatkan fasilitas yang dimiliki.
Begitu pula dengan masyarakat, mereka memiliki kebebasan dalam
menciptakan dan mengembangkan kepariwisataan di masing-masing daerahnya.
Misalkan masyarakat mengembangkan atraksi wisata seperti seni pertunjukan Barong,
Disparda hanya sebatas memantau, membina dan berusaha mengembangkan melalui
hasil penelitian dan kebijakan yang dimiliki untuk menjaga keberlanjutan atraksi
wisata tersebut. Masyarakat memiliki keleluasaan dalam usaha promosi, hubungan
kerjasama dengan stakeholders dan hubungan langsung pula dengan para wisatawan.
Sangat sulit untuk mencari siapa yang memiliki power dan authority terkuat
dalam hal ini. Ketiga komponen tersebut terikat dalam hubungan yang jelas dan saling
memerlukan dalam melaksanakan masing-masing tugasnya. Keberlangsungan
pariwisata di Bali tidak akan pernah lepas dari peran ketiga kompoenen tersebut,
Disparda Provinsi Bali di tataran kebijakan, stakeholders dan masyarakat di tataran
penerapan kebijakan dan penyelenggaraan pariwisata. Dengan demikian meskipun
Disparda Provinsi Bali memiliki tugas untuk mengawasi kepariwisataan agar tidak
keluar dari visi dan misi yang dimiliki, tetapi dalam prakteknya Disparda tidak
membatasi atau mengurangi peran stakeholders dan masyarakat. Melainkan Disparda
hanya memberikan rambu-rambu yang patut diikuti oleh kedua komponen tersebut
agar kepariwisataan dapat berjalan dengan harmonis.
Vol. 12 No. 1 Th. 2012, Hal. 75

Hubungan timbal balik, ini merupakan keterkaitan yang tidak terpisahkan untuk
dapat mewujudkan pariwisata Bali yang maju dan berkesinambungan. Kelemahan
interaksi mungkin terdapat di Disparda Provinsi Bali karena dalam pelaksanaannya
sangat sulit mempersatukan stakeholders dan masyarakat untuk bersatu-padu
menjunjung visi dan misi dalam mewujudkan pariwisata Bali yang sejahtera dan
berkelanjutan. Di sisi lain Disparda Provinsi sering kesulitan membuat suatu
perencanaan dan pengembangan kepariwisataan ke depan karena sistem birokrasi yang
rumit dan keterbatasan pengetahuan untuk melihat pangsa pasar pariwisata serta
kecendrungan pendekatan pemasaran klasik masih digunakan , yaitu mengikuti trend
pasar bukan sebaliknya menciptakan produk pasar yang diyakini dapat menarik angka
kunjungan wisatawan.
Di sisi stakeholders terdapat kesulitan mereka dalam berinteraksi dengan
Disparda Provinsi Bali karena sistem kerja professional sangat berbeda dengan sistem
kerja professional. Ketika stakeholders memiliki ide-ide menarik untuk
mengembangkan pariwisata belum tentu dapat segera di fasilitasi oleh Disparda
Provinsi Bali. Sering stakeholders menganggap Disparda Provinsi Bali lambat dalam
mengambil keputusan sehingga berpengaruh kinerja mereka. Kenyataan ini sulit
dihindari karena paradigma antara birokta dan professional jelas berbeda dan titik
temunya adalah komunikasi yang terbuka diantara kedua komponen untuk menemukan
jalan tengah dalam menyelesaikan suatu permasalahan.
Kesulitan interaksi Disparda Provinsi Bali dengan masyarakat terletak pada
kurangnya sosialisasi Disparda dalam suatu kebijakan pariwisata. Masyarakat sering
merasakan ketidakpahaman mereka terhadap kebijakan-kebijakan atau peraturan yang
dianggap menyulitkan peran mereka dalam menjalankan sector kepariwisataan.
Pembinaan dari Disparda Provinsi Bali untuk secara rutin turun ke lapangan bersama
stakeholders secara berkesinambungan sangat diperlukan. Pembinaan kepada
masyarakat terkait sapta pesona misalnya hamper tidak terdengar gaungnya.
Kesadaran masyarakat dalam menjaga kebersihan dan keamanan di objek-objek wisata
masih sangat minim. Kesadaran mereka perlu ditingkatkan dengan sosialisasi dan
pembinaan intensif. Kesulitan Disparda dalam hal ini adalah kurangnya dana yang
dimiliki untuk melaksanakan pembinaan yang intens. Namun kesulitan ini sebenarnya
dapat di cari solusi dengan menggandeng stakeholders untuk bersama-sama
memberikan pembinaan dan support kepada masyarakat tentang apa dan bagaimana
memberikan rasa nyaman bagi wisatawan yang berkunjung ke daerah mereka.
Dari deskripsi diatas, mengutip pandangan Gramsci (Dalam Strinati, 2003 : 195)
bahwa hegemoni sebagai hasil kerja para intelektual atau mereka yang berkompeten
untuk mengajak masyarakatnya untuk mengimbangi kekuasaan pihak luar. Dalam
pengertian ini, diungkapkan bahwa seorang pencipta ide, pelaksana ide maupun
penafsir ide sebagai para intelektual yang terlibat dalam usaha mengukuhkan dan
menentang hegemoni yang ada di dalam institusi masyarakat sipil. interaksi antara
Disparda Provinsi Bali, stakeholders dan masyarakat yang terhegemoni adalah ketiga
komponen dalam situasi yang berbeda. Disparda berusaha menghegemoni stakeholders
dan masyarakat namun tidak memiliki peran yang sentral dalam interaksi karena
minimnya kekuatan dan kekuasaan yang dimiliki termasuk kemampuan SDM-nya.
Disparda pun akhirnya terhegemoni oleh stakeholders sebagai pemegang korporasi
yang menggerakkan pariwisata di Bali. Belum lagi hegemoni dari Pemerintah Pusat
seperti yang disampaikan pada Bab sebelumnya.
Vol. 12 No. 1 Th. 2012, Hal. 76

Stakeholders sebagai professional merasa memiliki kemampuan menghegemoni


Pemerintah (Disparda) dan masyarakat. Mereka memiliki kapital (modal) dan jejaring
untuk membangun korporasinya. Tetapi di sisi lain secara tidak langsung stakeholders
terhegemoni oleh pasar, artinya mereka juga dibawah kendali korporasi global yang
telah merentangkan sayapnya hingga ke Bali. Stakeholders pun tergantung kepada
korporasi-korporasi internasional yang memegang kendali pasar.
Masyarakat secara teoritis terlihat yang paling terhegemoni, namun seiring
kemajuan zaman, individu-individu di masyarakat semakin kritis sehingga mereka tidak
mau terhegemoni begitu saja. Sebagai kelompok sub ordinat (terpinggirkan)
masyarakat di Bali khususnya yang telah terlibat dalam pariwisata membangun
kekuatannya melalui desa pekraman untuk mengimbangi hegemoni dari Pemerintah
maupun stakeholders.

III. SIMPULAN DAN SARAN


3.1 Simpulan
Dari hasil pembahasan yang telah diuraikan di atas maka dapat ditarik
kesimpulan sebagai berikut :
1. Peran Disparda Provinsi Bali dalam pemulihan pariwisata Bali pascabom adalah
mengimplementasikan kebijakan dari pemerintah pusat yang telah membentuk tim
recovery pariwisata Bali. Melalui tim recovery Bali fokus pemulihan adalah upaya
pemulihan keamanan dan upaya pemulihan promosi. Peran Disparda dalam upaya
pemulihan keamanan bekerjasama dengan Polda Bali, praktisi pariwisata dan
masyarakat dan peran Disparda dalam upaya pemulihan promosi bekerjasama
dengan pemkab/pemkot se-Bali, lembaga pariwisata dan profesi, praktisi
pariwisata, dan masyarakat.
2. Kendala Disparda Provinsi Bali dalam menjalankan peran memulihkan pariwisata
Bali dapat dilihat secara internal dan eksternal yang pada intinya secara teori
Disparda Provinsi Bali memiliki kekuatan besar untuk mengendalikan pemulihan
pariwisata namun secara kenyataan justru posisi Disparda menempati posisi sub
ordinat. Mengakomodir berbagai kepentingan dan meng-koordinasikan agar selaras
secara vertikal-hierarkis ke atas dengan pemerintah pusat dan ke bawah dengan
pemkab/pemkot tidak mudah dalam pelaksanaannya. Secara horisontal, untuk
dapat menyamakan visi-misi dan program kerja dengan para praktisi pariwisata
dan masyarakat juga merupakan kendala yang sulit di atasi karena adanya
perbedaaan kepentingan.

3.2 Saran
Adapun saran yang dapat disampaikan sebagai rekomendasi sebagai hasil
analisis dari penelitian ini adalah :
1. Penyamaan visi-misi dan pembuatan program kerja terhadap segenap komponen
tentang pentingnya pariwisata Bali dari berbagai aspek untuk mencegah terjadinya
degradasi pendapatan utama masyarakat Bali kedepannya. Tanpa pariwisata Bali
akan kehilangan pendapatan utama masyarakatnya yang akan berpengaruh
terhadap PAD, proses pembangunan sektor lainnya dan kehidupan sosio-kultrual
masyarakat Bali pada umumnya.
2. Perlu menata ulang kembali sistem koordinasi yang disepakati bersama dalam
mewujudkan pariwisata Bali yang berkelanjutan sehingga secara teknis
terdeskripsikan Tupoksi/job description masing-masing komponen dengan
Vol. 12 No. 1 Th. 2012, Hal. 77

mengedepankan efisensi dan efektifitas kinerja. Hal ini penting untuk


mengantisipasi tragedi serupa sehingga kendala-kendala pemulihan pariwisata
dapat diminimalkan.
3. Pariwisata Bali sangat tergantung oleh pasar internasional dan kemampuan Bali
dalam mengelola kepariwisataannya. Diperlukan penelitian lanjutan mengenai
pemetaan sosial untuk melihat posisi Bali dari berbagai aspeknya sehingga akan
memudahkan segenap komponen menghadapi berbagai permasalahan dari inovasi,
keamanan, promosi hingga koordinasi untuk mewujudkan pembangunan pariwisata
yang dapat memberikan kesejahterahaan kepada masyarakat Bali pada khususnya
dan kepada Indonesia pada umumnya.

KEPUSTAKAAN

Anonim. 2010. Undang-Undang RI tentang Kepariwisatan Nomor 10 Tahun 2009. Jakarta


: Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata RI
______ .2002. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Depdiknas. Jakarta : PT. Balai Pustaka
______ .2003.Buletin Informasi, Pemerintah Provinsi Bali No. 3 Edisi Desember
______ . 2004. Dinas Pariwisata Provinsi Bali. Survai Kepariwisataan Bali di Bali Tahun
2004,Lama Tinggal, pengeluaran dan Karakteristik Wisatawan, Dinas Pariwisata
Provinsi Bali, Denpasar.
Appadurai, 1993. ”Disjuncture and Difference in the Global Cultural Economy” Dalam
Feathersone. Global Culture, Nationalism, Globalization and Modernity, PP:
295-310. London: SAGE Publication.
Agger, Ben, 2003,”Teori Sosial Kritis, Kritik, Penerapan dan Implikasinya” Yogyakarta :
LKPM.
Geertz, Clifford. 1995. Interpretasi Kebudayaan. Kanisius. Yogyakarta.
Ginanjar Kartasasmita. 1997. Pembangunan Untuk Rakyat, Memadukan Pertumbuhan
dan Pemerataan. Jakarta : PT.Pustaka Cidesindo.
Hamid, EA, Cholik. 1994. Pengetahuan Pariwisata. Jakarta : Yayasan Bhakti
Membangun.
Koentjaraningrat. 1997. Metode-Metode Penelitian Masyarakat. Jakarta : PT. Gramedia
Pustaka Utama.
Mahagangga, I Gst. Ag. Oka. 2008. Premanisme dan Pariwisata. Jurnal Analisis
Pariwisata. Vol. 8, No. 2. Denpasar : Fak. Pariwisata Unud.
______ . 2010. Premanisme, Pariwisata dan Media Massa. Jurnal Kepariwisataan
Indonesia, Jurnal Penelitian dan Pengembangan Kepariwisataan. Vol. 5 No. 3
September 2010. Jakarta : Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata
Moleong, Lexy J. 2005. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung : PT. Remaja
Rosdakarya.
Muhajir, H. Noeng. 1998. Metode Penelitian Kualitatif. Edisi III cetakan ke delapan.
Jakarta: Rake Sarasin.
Parson, Talcott. 1986. Fungsionarisme Imperatif, terjemahan Soerjono Soekanto, Seri
Pengenalan Sosiologi. Rajawali : Jakarta.
Pendit, N.S. 1999. Ilmu Pariwisata; Sebuah Pengantar Perdana. Jakarta : Pradnya
Paramita.
Samsurridjal, D Koelang HD. 1987. Peluang dibidang Pariwisata. Jakarta : Pradnya
Paramita.
Simmel, George. 1994. Sosiological Theory. New York : Harper-Collins.
Vol. 12 No. 1 Th. 2012, Hal. 78

Simon, Roger, 2001 `Gagasan-Gagasan Politik Gramsci`, Yogyakarta : Insist dan


Pustaka Belajar.
Soekamto, Soerjono. 1990. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta : PT. Raja Grapindo
Persada.
Tan Melly G, 1994, Penggunaan Data Kuantitatif. dalam Koentjaraningrat, Metode-
metode Penelitian Masyarakat. Jakarta : PT. Gramedia.
Yoeti, Oka A. 2000. Pengantar Ilmu Pariwisata. Jakarta : Pradnya Paramita.
Veeger Karel J. 1993. Pengantar Sosiologi. Jakarta : PT Gramedia.

Anda mungkin juga menyukai