Peran Dan Kendala Pemulihan Pariwisata B
Peran Dan Kendala Pemulihan Pariwisata B
Analisis Pariwisata terbit sebagai media komunikasi dan informasi ilmiah kepariwisataan, yang
memuat tentang hasil ringkasan penelitian, survei dan tulisan ilmiah populer kepariwisataan. Redaksi
menerima sumbangan tulisan para ahli, staf pengajar perguruan tinggi, praktisi, mahasiswa yang
peduli terhadap pengembangan pariwisata. Redaksi dapat menyingkat atau memperbaiki tulisan yang
akan dimuat tanpa mengubah maksud dan isinya.
Penanggung Jawab
Drs. I Putu Anom, M.Par. (Dekan Fakultas Pariwisata Universitas Udayana)
Penasehat
Dra. Ida Ayu Suryasih, M.Par. (Pembantu Dekan I Fakultas Pariwisata Universitas Udayana)
Dra. Ni Made Oka Karini, M.Par. (Pembantu Dekan II Fakultas Pariwisata Universitas Udayana)
I Nyoman Sudiarta, SE., M.Par. (Pembantu Dekan III Fakultas Pariwisata Universitas Udayana)
Penyunting Pelaksana
▪ I Wayan Suardana, SST.Par., M.Par. ▪ I Nyoman Sukma Arida, S.Si., M.Si.
▪ IGA. Oka Mahagangga, S.Sos., M.Si. ▪ Yayu Indrawati, SS., M.Par.
▪ I Made Kusuma Negara, SE., M.Par. ▪ I Gde Indra Bhaskara, SST.Par., M.Sc.
▪ Made Sukana, SST.Par., M.Par., MBA. ▪ I Gst. Bagus Sasrawan Mananda, SST.Par.
Cover Depan Analisis Pariwisata : Pantai Lovina, Kab. Buleleng, Bali (Kusuma, 2008)
© Fakultas Pariwisata Universitas Udayana Denpasar, Juli 2012
Majalah Analisis Pariwisata Volume 12, Nomor 1, Tahun 2012 mengangkat topik, ”Pilihan
Pengembangan Pariwisata” sebagai suatu upaya publikasi temuan dari hasil penelitian terbaru. ”Pilihan
Pengembangan Pariwisata” diarahkan untuk kembali mengingatkan bahwa pariwisata senantiasa dinamis
namun tetap harus dipelajari dan dimaknai proses dari perjalanan kepariwistaan tersebut. Begitu banyak
”pilihan-pilihan” justru mengharuskan para pemegang kebijakan dan para praktisi semakin bijaksana dan
tidak hanya ”taken for granted” tanpa memilah dampak-dampak negatif yang mungkin ditimbulkan.
Tulisan pertama dari I Made Kusuma Negara berjudul ”Potensi Ikan Air Tawar di Danau Batur
sebagai Pengembangan Wisata Alternatif”. Dikatakan Kab. Bangli masih menyimpan potensi pariwisata
yaitu ikan air tawar, jika dikelola dengan baik diyakini akan mampu membantu meningkatkan PAD dari
sektor pariwisata.
Tulisan kedua masih menyinggung wisata alternatif berjudul ”Analisis Kelayakan Desa Bedulu
sebagai Desa Wisata di Kab. Gianyar (Kajian Aspek Pasar dan Pemasaran)” oleh I Gusti Putu Bagus
Sasrawan Mananda. Hasil penelitiannya menunjukkan pentingnya kajian aspek pasar dan pemasaran agar
pengembagan suatu wisata alternatif seperti desa wisata tidak mubazir.
Tulisan ketiga berjudul ”Desa Wisata Berbasis Masyarakat sebagai Model Pemberdayaan
Masyarakat di Desa Pinge” oleh I Made Adikampana. Desa wisata Pinge terletak di Kab. Tabanan dan saat
ini sedang giat menata desa untuk menarik perhatian wisatawan. Tulisan ini menekankan aspek
perencanaan pariwisata dengan perspektif pemberdayaan masyarakat.
Tulisan keempat berjudul ”Karakteristik Restoran India sebagai Sarana Wisata Baru di Kawasan
Wisata, Kuta, Nusa Dua dan Ubud oleh Ni Made Ariani dkk. Pangsa pasar wisatawan sebagai ”the sleeping
giant” menuntut praktisi pariwisata untuk menyiapkan infrastruktur memadai dalam kasus penelitian ini
adalah restoran India di Bali yang memiliki keseragaman karakter.
Tulisan kelima datang dari pulau Borneo berjudul,”Persepsi Pengunjung Terhadap Kualitas
Pelayanan pada Museum Mulawarman Tenggarong” oleh A. Rinto Dwi Atmojo. Disampaikan berdasarkan
persepsi pengunjung, pihak pengelola harus lebih memperhatikan aspek perawatan dan aspek promosi
untuk semakin meningkatkan kunjungan wisatawan lokal maupun mancanegara ke museum Mulawarman.
Tulisan keenam dari I Putu Anom M. Par, berjudul”Potensi Kepariwisataan Provinsi Sulawesi
Selatan” yang mengulas tentang beraneka potensi yang belum tergarap untuk pengembangan
kepariwisataan secara berkelanjutan di Provinsi Sulawesi Selatan.
Tulisan ketujuh dari I Gusti Agung Oka Mahagangga dkk berjudul”Peran dan Kendala Pemulihan
Pariwisata Bali Pascabom (Suatu Kasus Disparda Provinsi Bali)” mengungkapkan secara sintetis-diakronik
mengenai upaya dan kendala pemerintah mengatasi krisis pariwisata pascabom sebagai upaya
pembelajaran jika peristiwa serupa terulang maka sudah disiapkan langkah-langkah strategik untuk
mengatasinya.
Beberapa tulisan ilmiah tersebut diharapkan mampu memenuhi dahaga para akademisi,
mahasiswa dan stakeholders pariwisata termasuk para praktisi yang hingga saat ini masih sulit
mendapatkan literatur-literatur ilmiah bidang pariwisata di Indonesia. Besar harapan tim redaksi agar
kedepannya segenap pihak, yang terjun di sektor primadona ini dapat menyumbangkan banyak
sumbangan pemikiran, kritik, saran dan masukan dalam tulisan ilmiah melalui jurnal majalah analisis
pariwisata, Fakultas Pariwisata-Universitas Udayana.
Redaksi
1. Naskah dapat berupa hasil penelitian atau kajian pustaka yang belum pernah dipublikasikan
sebelumnya.
2. Naskah ditulis dalam Bahasa Indonesia atau Bahasa Inggris (abstrak bahasa Inggris). Abstrak tidak
lebih dari 250 kata dengan disertai 3-5 istilah kunci (keywords). Naskah berupa ketikan asli dan
CD dengan jumlah maksimal 15 halaman ketikan A4 spasi 1½, kecuali abstrak, tabel dan
kepustakaan.
3. Naskah ditulis dengan batas 2,5 cm dari kiri dan 2 cm dari tepi kanan, bawah dan atas.
4. Judul singkat, jelas dan informatif serta ditulis dengan huruf besar. Judul yang terlalu panjang
harus dipecah menjadi judul utama dan anak judul.
5. Nama penulis tanpa gelar akademik, alamat e-mail dan asal instansi penulis ditulis lengkap.
6. Naskah hasil penelitian terdiri atau judul, nama penulis, abstrak, pendahuluan, tinjauan pustaka
dan metode, hasil dan pembahasan, simpulan dan saran serta kepustakaan.
7. Naskah kajian pustaka terdiri atas judul, nama penulis, abstrak, pendahuluan, masalah,
pembahasan, simpulan dan saran serta kepustakaan.
8. Tabel, grafik, histogram, sketsa dan gambar harus diberi judul serta keterangan yang jelas.
9. Dalam mengutip pendapat orang lain, dipakai sistem nama penulis dan tahun. Contoh : Astina
(1999); Suwena et al. (2001).
10. Kepustakaan memakai “harvard style” disusun menurut abjad nama penulis tanpa nomer urut.
a. Untuk buku : nama pokok dan inisial pengarang, tahun terbit, judul, jilid, edisi, tempat
terbit dan nama penerbit.
Picard, Michael. 1996. Cultural Tourism and Touristic Culture. Singapore: Archipelago
Press.
b. Karangan dalam buku : nama pokok dari inisial pengarang, tahun terbit, judul karangan,
inisial dan nama editor : judul buku, hal permulaan dan akhir karangan, tempat terbitan
dan nama penerbit.
McKean, Philip Frick. 1978. “Towards as Theoretical analysis of Tourism: Economic Dualism
and Cultural Involution in Bali”. Dalam Valena L. Smith (ed). Host and Guests: The
Antropology of Tourism. Philadelphia : University of Pensylvania Press.
c. Untuk artikel dalam jurnal: nama pokok dan inisial pengarang, tahun, judul karangan,
singkatan nama majalah, jilid (nomor), halaman permulaan dan akhir.
Pitana, I Gde. 1998. “Global Proces and Struggle for Identity: A Note on Cultural Tourism in
Bali, Indonesia” Journal of Island Studies, vol. I, no. 1, pp. 117-126.
d. Untuk Artikel dalam format elektronik : Nama pokok dan inisial, tahun, judul, waktu,
alamat situs.
Hudson, P. (1998, September 16 - last update), "PM, Costello liars: former bank chief", (The
Age), Available: http://www.theage.com.au/daily/980916/news/news2.html
(Accessed: 1998, September 16).
11. Dalam tata nama (nomenklatur) dan tata istilah, penulis harus mengikuti cara penulisan yang
baku untuk masing-masing bidang ilmu.
12. Dalam hal diperlukan ucapan terima kasih, supaya ditulis di bagian akhir naskah dengan
menyebutkan secara lengkap : nama, gelar dan penerima ucapan.
Abstract
Bali tourism has had an effect on all aspects of Balinese society by making Bali
vulnerable to security issues. The evidence of that occurred when the Bali bombing
tragedy happened on 12 October 2002 and October 2005, when bombs rocked the
tourism sector is confirmed by a decrease in the number of tourists. The purpose of
this study was to find the role and the constraints faced by the tourism department in
the recovery after the explosions so that the future role of tourism services can be
optimized and all constraints minimized. This study used a qualitative approach based
on primary data and secondary data obtained from the informant (purposive sampling).
The results suggest one role in the recovery of the tourism department after the Bali
bombing was to implement a policy of the central government which established a
recovery team together with Bali’s tourism stakeholders and the public. Constraints in
the department of tourism in Bali can be viewed internally and externally and in
essence, the tourism department in Bali should have greater power to control the
recovery of tourism but is in fact precisely the position of department of tourism sub-
ordinate positions.
masyarakat, yaitu pendidikan, perkembangan industri dan kontak budaya (Cholik, 1994
: 70).
Sejak tahun 1960-an pariwisata Indonesia telah tumbuh rata-rata mencapai 10
% (sepuluh persen) lebih setiap tahunnya, sampai dengan awal tahun 1969
perkembangan pariwisata Indonesia berjalan sangat lambat. Hal ini disebabkan karena
pemerintah Indonesia pada waktu itu kurang memperhatikan pariwisata sebagai salah
satu sumber penghasilan negara. Kemudian pada akhir tahun 1969 pemerintah mulai
memperhatikan sektor pariwisata secara teratur agar dapat menambah devisa negara,
di samping devisa dari minyak dan gas bumi (Samsurridjal, 1987 : 58).
Pembangunan Sektor Pariwisata di Bali menjadi sektor andalan yang mampu
meningkatkan devisa, mendorong pertumbuhan ekonomi masyarakat, perluasan
lapangan kerja dan kesempatan berusaha dalam rangka meningkatkan kesejahtraan
masyarakat untuk memupuk rasa cinta tanah air dan memperkaya kebudayaan daerah,
meningkatkan keanekaragaman obyek dan daya tarik wisata serta atraksi wisata, peran
serta aktif masyarakat dalam meningkatkan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan
tetap mempertahankan kelestarian dan mutu lingkungan hidup sangat diperlukan.
Pembangunan Sektor Pariwisata, memberikan manfaat ganda, yaitu bagi
pemerintah, masyarakat dan pihak swasta, sehingga pembangunan sektor pariwisata
selanjutnya harus mendapat dukungan dari pihak masyarakat, pihak swasta dan
pemerintah. Hal ini penting ditekankan, mengingat Provinsi Bali tidak memiliki sumber
daya alam yang dapat diandalkan untuk mendukung perkembangan ekonomi, sehingga
prioritas pembangunan Daerah Bali diletakkan pada pembangunan bidang ekonomi
dengan titik berat pada pembangunan Sektor Pertanian dalam arti luas ditunjang
dengan pembangunan Sektor Pariwisata dan Industri Kecil.
Pengembangan Sektor Pariwisata di Bali yang merupakan sektor andalan dan
mampu meningkatkan penerimaan devisa, mendorong pertumbuhan ekonomi
masyarakat, perluasan lapangan kerja dan kesempatan kerja dalam rangka
meningkatkan kesejahtraan masyarakat harus mendapat perhatian, karena dewasa ini
pertumbuhan Sektor Pariwisata Bali dapat dikatakan mengalami stagnasi bahkan
mengalami penurunan setelah terjadinya ledakan Bom tanggal 12 Oktober 2002 dan 1
Oktober 2005 di Kuta dan Jimbaran.
Keamanan dan kenyamanan merupakan kunci pokok dalam menarik kunjungan
wisatawan baik domestik maupun mancanegara. Meski promosi dilakukan dengan
gencar oleh pemerintah maupun pelaku industri pariwisata, jika keamanan belum
dapat diwujudkan hasil promosi tersebut tidak akan mendapatkan hasil maksimal.
Kunjungan wisatawan ke suatu negara juga tidak hanya berkaitan dengan keinginan
mereka pribadi melainkan juga berkaitan dengan hubungan politis antara negara asal
mereka dengan negara yang akan dikunjungi. Hubungan diplomatik antara negara
dalam pariwisata sangat besar pengaruhnya karena mereka tidak ingin warga
negaranya mengalami masalah di negara lain (travel advisory, travel warning, dll).
Apalagi negara tersebut diketahui sedang mengalami konflik (mis. Perang, kerusuhan)
atau wabah penyakit (mis. Virus SARS) yang beresiko terhadap warga negaranya
(Mahagangga, 2008).
Orang asing yang berniat berkunjung ke Bali ketika mengetahui situasi dan
kondisinya tidak aman dari media massa bahwa terjadi bom atau sering terjadi tindak
kriminal, bukannya tidak mungkin mereka akan mengalihkan waktu liburan mereka ke
daerah tujuan wisata lain. Hal ini dilakukan untuk memperkecil resiko terjadi hal-hal
yang tidak diinginkan (kecopetan, penipuan, pemerkosaan, perampokan, dll). Suatu
Vol. 12 No. 1 Th. 2012, Hal. 64
ancaman terhadap keamanan dan kenyamanan sangat berarti bagi setiap wisatawan
karena mereka mencari kepuasan berwisata bukan mencari masalah dalam berwisata
(Mahagangga, 2010).
Pertumbuhan pariwisata Bali dilihat dari angka kunjungan wisatawan setelah
tragedi Bom Bali I menurun tajam dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Padahal
dengan meningkatnya jumlah kunjungan wisatawan manca-negara ke Indonesia
memberikan banyak peluang bagi bangsa Indonesia untuk menambah usaha dan
mendapatkan pekerjaan dalam rangka meningkatkan kehidupan perekonomiannya.
Tetapi dengan terjadinya Bom Bali I dan Bom Bali II menunjukkan angka penurunan
yang berarti signifikan bagi seluruh aspek kehidupan di Bali khususnya dan di Indonesia
pada umumnya seperti dapat dilihat pada Tabel 1.1.
Pada Tabel 1.1 menunjukan bahwa kunjungan wisatawan dari tahun 2002-2006
menurun secara signifikan. Penurunan ini diindikasikan sebagai dampak dari terjadinya
Bom Bali I dan II yang mempengaruhi kedatangan wisatawan berlibur ke Bali. Jumlah
kunjungan wisman yang langsung datang ke Bali dari tahun 2003 terjadi penurunan dan
tahun 2004 kembali meningkat. Penurunan yang sangat signifikan di tahun 2003 hampir
mencapai 23 % disebabkan oleh tragedi bom Bali I. Setahun kemudian di tahun 2004
terjadi peningkatan tajam hingga 46,85 % yang sangat melegakan segenap komponen
pariwisata di Bali. Akibat Tragedi Bom II di tahun 2005, tahun 2006 setelah
pemberlakuan travel warning dari beberapa negara maju, terjadi penurunan
kunjungan wisatawan mencapai hampir 10 %. Memasuki tahun 2007 terjadi peningkatan
relatif besar mencapai 32,10 % yang tidak terlepas dari upaya berbagai pihak termasuk
Disparda Provinsi Bali. Selanjutnya di tahun 2008 sampai 2011 terjadi peningkatan
kunjungan wisman yang cukup signifikan meskipun dunia sedang dilanda krisis global.
Peran Dinas Pariwisata Provinsi Bali (Disparda) sebagai perwakilan pemerintah
daerah menangani bidang kepariwisataan menjadi sangat penting untuk memulihkan
kepariwisataan Bali pascabom. Meskipun demikian, peran tersebut menemui banyak
kendala dalam pelaksanaannya karena pariwisata sebagai suatu sistem tidak hanya
Vol. 12 No. 1 Th. 2012, Hal. 65
berhubungan dengan satu elemen saja melainkan saling terkait dengan berbagai
elemen dan tidak dapat dipisahkan dari situasi-kondisi serta fenomena global.
Diperlukan suatu pendekatan bahkan strategi khusus bagi pemerintah daerah
Bali dalam hal ini Disparda Provinsi Bali untuk dapat memulihkan pariwisata Bali
pascabom. Pendekatan, strategi atau upaya Disparda Provinsi Bali dalam tulisan ini
akan dikaji, terutama berfokus kepada peran dan kendala yang dihadapi.
II. PEMBAHASAN
Praktisi pariwisata sangat merasakan penurunan pendapatan mereka setelah
bom Bali I (12 Oktober 2002) dan Bom Bali II (1 Oktober 2005). Pendapatan yang
menurun drastis dirasakan mulai dari pedagang acung, pengusaha art shop hingga
konglomerat yang bergerak di bidang jasa/hospitality (hotel, restoran, dll).
Tragedi Bom Bali tersebut dengan demikian secara nyata diakui mengakibatkan
berbagai hal yang sangat merugikan bagi perkembangan pariwisata Bali, yaitu :
1. Tingkat kunjungan wisatawan, baik wisatawan maca negara maupun wisatawan
domestik menjadi menurun.
2. Tingkat hunian kamar hotel menurun.
3. Banyak terjadinya pemutusan hubungan kerja karyawan pada berbagai usaha di
bidang kepariwisataan (atau paling tidak dirumahkan).
4. Investor tidak berani menanamkan modalnya di Bali karena keamanan tidak
terjamin.
Selain kenyataan tersebut, terjadi pergeseran pangsa pasar dari wisatawan
manca negara dari Eropa seperti Spanyol, Prancis, Inggris dan Jerman. Setelah tragedi
Bom Bali wisatawan manca negara yang lebih banyak berkunjung ke Bali adalah
Vol. 12 No. 1 Th. 2012, Hal. 66
wisatawan dari negara-negara Asia seperti Jepang, Cina, Taiwan dan Korea. Untuk itu,
maka segenap komponen masyarakat khususnya komponen pariwisata bersama-sama
dengan pemerintah daerah mempunyai kewajiban untuk mengupayakan pemulihan
kehidupan Sektor Pariwisata.
Pemerintah Daerah Provinsi Bali dalam hal ini Dinas Pariwisata sudah melakukan
berbagai upaya dalam pemulihan pariwisata pasca Bom Bali namun belum memberikan
hasil yang optimal. Pembangunan Pariwisata di Provinsi Bali menempati prioritas yang
menentukan, karena memberikan dampak ganda terhadap pembangunan sektor
lainnya, yang selama ini mengalami fluktuasi dalam hal jumlah wisatawan manca
negara yang berkunjung ke Bali.
Kebijakan Umum Anggaran Tahun 2008 Pemerintah Provinsi Bali dikemukakan
mengenai permasalahan yang dihadapi dalam Pengembangan Bidang Kepariwisataan
sebagai berikut :
1. Masih rendahnya daya saing industri pariwisata nasional dan belum optimalnya
sinergi pembangunan pariwisata dengan pembangunan sosial dan budaya.
2. Persaingan yang semakin ketat antara anegara-negara yang menjadi tujuan
wisata.
3. Belum mantapnya keamanan dan kenyamanan pada daerah tujuan wisata.
4. Belum meratanya penyebaran sarana dan prasarana pariwisata yang nenadai di
seluruh kabupaten/kota seperti; transportasi, akses informasi, sanitasi lingkungan
di beberapa obyek dan daya tarik wisata.
5. Kurangnya pengetahuan dan kemampuan tenaga kerja pariwisata atau rendahnya
daya saing sumber daya manusia pariwisata.
6. Belum optimalnya promosi pariwisata.
7. Terbatasnya bahan-bahan promosi pariwisata.
Kunjungan wisatawan ke Bali pasca teror bom Bali I dan II secara kuantitas
memang tidak menunjukkan penurunan berarti, tetapi secara kualitas terjadi
penurunan yang dirasakan oleh komponen pariwisata di Bali. Perkembangan Sektor
Pariwisata di Provinsi Bali sebagai sektor andalan dalam kerangka pembangunan
daerah, merupakan penggerak pembangunan di segala bidang dan sektor-sektor
lainnya, tetapi pascabom Bali mengalami stagnasi, sebagai permasalahan yang perlu
segera ditangani bersama oleh pemerintah, masyarakat dan swasta.
seperti krisis moneter yang melanda dunia dan stabilitas keamanan seperti peperangan
dan aksi terorisme.
Menyikapi situasi tersebut di atas, peran Disparda Provinsi Bali dituntut mampu
memberikan solusi untuk pemulihan pariwisata Bali sesuai dengan Tupoksi yang
dimiliki. Secara hierarki Kepala Dinas Pariwisata Provinsi Bali berada di bawah
Gubernur sebagai Kepala Daerah Tingkat I. Seluruh kebijakan yang dikeluarkan
Disparda harus berdasarkan persetujuan Gubernur melalui Sekda atau pun jika seorang
Kepala Dinas mempunyai suatu ide pembangunan pariwisata harus sepengetahuan
Gubernur atau Sekda dalam mengimplementasikan ide atau kebijakan tersebut.
Dalam pembangunan kepariwisataan, Disparda Provinsi Bali mempunyai
kedudukan dan peranan cukup signifikan mewujudkan pembangunan kepariwisataan
berkelanjutan, dengan diikuti oleh penyelanggaraan pemerintah yang akuntabel.
Pemerintah yang akuntabel atau good governance merupakan keharusan yang perlu
dilaksanakan dalam usaha mewujudkan aspirasi serta cita-cita masyarakat dalam
mencapai masa depan yang lebih baik (Lakip Disparda 2004).
Menyikapi tragedi bom, pemerintah berusaha memaksimalkan kinerjanya untuk
dapat meningkatkan angka kunjungan wisatawan mancanegara sebagai roda
pertumbuhan perekonomian di Bali. Kerja keras pemerintah yang mencakup menjaga
keamanan dan kenyaman, upaya promosi dan koordinasi dengan segenap komponen
masyarakat dinilai beragam. Ada yang berasumsi keseriusan Pemerintah Daerah dalam
recovery Bali sudah maksimal namun banyak pula yang mengatakan usaha pemerintah
dalam memulihkan pariwisata Bali tidak optimal sehingga perubahan untuk mencapai
target yang diharapkan berjalan sangat lambat. Kenyataannya, secara kuantitas hasil
yang terlihat pada saat penelitian dilaksanakan angka kunjungan langsung wisatawan
ke Bali sudah mulai pulih kembali (meskipun tidak sebaik kondisi sebelum bom Bali
2002), namun secara kualitas kiranya perlu dilaksanakan penelitian lanjutan yang
secara spesifik membahas permasalahan tersebut.
Kebijakan dari Pemerintah Pusat untuk memulihkan pariwisata Bali dengan
membentuk tim recovery untuk mengkaji dan memberikan solusi dengan segera untuk
mencegah pariwisata Bali tidak terpuruk. Kebijakan dari Pemerintah Pusat bersifat
umum dalam arti tidak langsung menangani permasalahan ini hingga ke tingkat bawah.
Tugas Pemerintah Provinsi bersama Pemerintah Kabupaten/Kota mengimplementasikan
kebijakan dari Pemerintah Pusat tersebut.
Kebijakan dari Pemerintah Pusat secara umum dapat dipilah menjadi dua
prioritas yaitu menyangkut keamanan dan promosi Bali sebagai daerah tujuan wisata
utama di Indonesia dan di dunia. Kebijakan dari Pemerintah Pusat dengan demikian
berjalan sesuai dengan koridor birokrasi dari atas ke bawah dan secara horizontal
harus pula dikoordinasikan dengan institusi lain sesuai dengan tugasnya untuk dapat
mewujudkan tujuan yang ingin dicapai bersama. Permasalahan keamanan menjadi
tanggungjawab Kepolisian Daerah Bali bersama-sama masyarakat untuk menciptakan
rasa nyaman bagi wisatawan. Promosi menjadi tanggungjawab Disparda Provinsi Bali
bersama stakeholders dalam mempublikasikan Bali ke dunia luar bahwa Bali sudah
aman dan layak untuk dikunjungi. Pemerintah Pusat juga dapat mengambil peran ini
dengan memanfaatkan kapasitas Hubungan Diplomatik yang dimiliki meyakinkan
kepada dunia bahwa Bali merupakan daerah kunjungan wisatawan yang masih tetap
menawan dan memikat dengan keunikan budaya yang dimiliki.
Kebijakan sangat memegang peranan penting dalam birokrasi moderen.
Implementasi dan koordinasi menjadi landasan birokrat dalam mencapai tujuan yang
Vol. 12 No. 1 Th. 2012, Hal. 68
ingin dicapai untuk melayani publik. Pola-pola kekuasaan (hirarki) tersusun sedemikian
untuk dapat memberikan hasil yang efektif dan efisen bahkan bila perlu diusahakan
memperoleh hasil maksimal. Analisis kebijakan adalah sebuah telaah krisis isu
kebijakan tertentu, dilakukan oleh analis dan para pihak yang dipengaruhi kebijakan,
menggunakan ragam pendekatan dan metode yang menghasilkan nasehat atau
rekomendasi kebijakan guna membantu pembuat kebijakan dan para pihak yang akan
dipengaruhi kebijakan dalam mencari solusi yang tepat atas masalah-masalah
kebijakan yang relevan. Wahab juga mengungkapkan ciri-ciri yang menonjol dari
kebijakan publik, yaitu; (1) merupakan rangkaian keputusan politik, (2) melibatkan
seorang aktor politik dan atau sekelompok lain, (3) sebagai proses pemilihan tujuan
dan sarana untuk mencapainya, (4) berlangsung dalam situasi tertentu, dan (5) ada
dalam lingkup atau batas-batas kekuasaan para aktor (Wahab, 1990 : 17). Artinya
kebijakan didesain sebagai tawaran jawaban terhadap masalah yang terjadi dan
dirancang untuk bisa menghasilkan efek sosial yang dikehendaki. Pandangan sebagai
bentuk intervensi sosial, dikembangkan dari pemikiran normatif yang menyepakati
kebijakan bukan sekedar sebagai sistem dimana aspirasi (tuntutan dan dukungan)
diartikulasikan oleh faktor-faktor kebijakan menjadi sebuah keputusan kebijakan
tetapi lebih sebagai bentuk aktivitas birokrasi pemerintah (Siagian, 2000 : 60).
Ada pun upaya kongkrit yang dilakukan Disparda Provinsi Bali dalam pemulihan
pariwisata pasca bom sebagai bagian dari kebijakan yang diterapkan adalah (1) upaya
pemulihan keamanan berkoordinasi dengan Polda , (2) upaya promosi dengan
melibatkan BTB, PHRI, stakeholders, Media Massa dan masyarakat, Tahap
Penyelamatan, Tahap Pemulihan, Tahap Normalisasi dan Tahap Pengembangan.
Peran Disparda Provinsi Bali dalam pemulihan pariwisata pascabom melalui
upaya pemulihan keamanan dan upaya promosi harus berhati-hati karena melibatkan
banyak hierarki birokrasi untuk menghindari benturan yang dapat menghambat kinerja
dan realisasi program. Adanya peran pemerintah pusat, peran aparat keamanan
(Polda), peran lembaga-lembaga pariwisata dan profesi, peran stakeholders
pariwisata, peran masyarakat lokal yang kesemuanya memiliki kepentingan dan tidak
menutup kemungkinan akan berjalan sendiri-sendiri dan sulit dikoordinir. Sangat
beralasan kemungkinan terjadi upaya pemulihan secara partial karena pemulihan
bukan hanya demi Bali tetapi demi usaha jasa yang dimiliki seperti hotel dan restoran.
Jika mereka menunggu upaya pemerintah dan tidak aktif menjemput bola, para
pengusaha takut bisnis mereka akan terancam bangkrut. Seperti hotel yang
berkualifikasi internasional tentunya akan memanfaatkan jejaring yang dimiliki untuk
dapat bertahan ditengah terpuruknya kondisi pariwisata Bali.
Standar kebijakan pariwisata yang diterapkan oleh pemerintah pusat maupun
daerah dengan demikian dituntut untuk mampu secara cepat, tepat dan fleksibel
menyikapi permasalahan pemulihan semacam ini kedepannya. Birokrasi yang terkesan
lamban dengan pola top down harus dikurangi dan disesuaikan dengan kondisi nyata.
Hal ini dapat dilakukan jika segenap pihak memiliki kesamaan visi dan misi serta
program kerja yang jelas sehingga dikemudian hari jika terjadi hal serupa maka akan
cepat dan tepa digunakan langkah-langkah strategis dengan mengandalkan kebijakan-
kebijakan pemerintah yang linear dan dituntut kemampuan pemerintah daerah untuk
berani mengambil keputusan dengan meminimalkan resiko. Hal yang harus dihindari
adalah lahirnya kebijakan-kebijakan yang justru menghambat upaya pemulihan karena
perbedaan persepsi yang justru nantinya akan merugikan segenap pihak.
Vol. 12 No. 1 Th. 2012, Hal. 69
titik sentral yang dipandang rawan juga dikoordinasikan kepada pihak aparat
keamanan. Pemerintah Provinsi Bali melalui Disparda berharap dapat secara optimal
mewujudkan Bali yang aman dan nyaman. Tanpa keamanan yang terjamin dipastikan
citra pariwisata Bali akan semakin merosot yang berdampak kepada penurunan angka
kunjungan wisatawan. Hal ini berarti laju perekonomian Bali akan tersendat yang
berdampak pula kepada kesejahterahaan masyarakat yang semakin menurun.
Koordinasi bersama media massa baik lokal maupun asing dilakukan secara
sinergis untuk dapat memberikan pencitraan positif. Diusulkan kepada media massa
agar melaporkan atau menulis peristiwa positif pascabom Bali bukan sebaliknya
semakin memojokkan citra pariwisata Bali dengan pemberitaan yang tendensius.
Pelaksanaan upacara Kariphubhaya pascabom, toleransi antar etnis/umat beragama
yang harmonis, keindahan objek wisata dan keamanan Bali diharapkan dapat dimuat
sebagai berita yang menyejukkan bagi para calon wisatawan. Bahkan bertujuan pula
bagi negara-negara yang potensial sebagai pangsa pasar wisatawan. Hal ini bertujuan
agar negara-negara besar seperti Amerika Serikat yang semula mengeluarkan travel
warning dapat menurunkan level-nya menjadi travel advisory atau malah mencabut
peringatannya menjadi Bali sudah layak dikunjungi karena pemberitaan yang stabil dan
kondusif.
promosi dari tahun ke tahun. Pihak pemerintah dalam hal ini Disparda Kabupaten
Badung menyambut positif usulan ini. Namun karena kesulitan membagi pos anggaran
yang kesemuanya sudah dibagi berdasarkan skala prioritas usulan ini sampai sekarang
belum terealisasi.
Apabila upaya yang dilakukan BTB dan PHRI Bali ditunjang oleh pemerataan
pendanaan, kemampuan SDM dan pembangunan pariwisata yang langsung dirasakan
oleh masyarakat setempat, peneliti berasumsi permasalahan seperti perlakuan tidak
sopan kepada wisatawan akan hilang karena masyarakat memperoleh profit dari
kemajuan pariwisata di desanya. Kesadaran masyarakat pun akan meningkat untuk
tetap menjaga keamanan dan kenyamanan di wilayahnya masing-masing.
Disparda Provinsi Bali sejak tahun 2003 menerapkan rencana strategik untuk
dapat bersinergi secara maksimal bersama stakeholders untuk memulihkan pariwisata
Bali. Pada tahun 2004 Disparda mengalokasikan dana sebesar Rp. 125.000.000 untuk
pembinaan usaha sarana pariwisata yang bertujuan untuk meningkatkan kesadaran
pengusaha mematuhi ketentuan yang berlaku. Dana sebesar Rp. 200.225.000
dialokasikan untuk pembinaan usaha jasa pariwisata yang bertujuan pula memberikan
pemahaman kepada praktisi usaha jasa pariwisata untuk mematuhi ketentuan yang
berlaku. Pembinaan berupa pelatihan atau sosialisasi diharapkan dapat memperbaiki
kualitas sarana dan jasa pariwisata pascabom Bali.
Program promosi bersama stakeholders juga dilakukan pada tahun 2004 dengan
melakukan promosi dalam dan luar negeri. Alokasi dana untuk promosi ini sebesar
1.935.168.000. Target yang ingin dicapai dalam promosi pariwisata untuk menyebarkan
informasi kepariwisataan untuk meningkatkan jumlah kunjungan wisatawan. Selain itu
program pelayanan informasi juga dikembangkan untuk mencetak brosur/cd sehingga
tersusun bahan promosi pariwisata yang mudah diterima oleh para wisatawan.
Hubungan antara Disparda dengan stakeholders sejatinya bersifat timbal balik
dengan menjaga keharmonisan keduabelahpihak. Disparda tidak dapat bergerak
mengambil kebijakan sendiri dalam mengambil keputusan seperti pada tragedi bom
Bali. Melainkan secara hirarki birokrasi mengikuti kebijakan dari Pemerintah Pusat dan
institusi terkait lainnya. Kebijakan dari atas tersebut baru dikondisikan sesuai dengan
keadaan yang di terjadi di Bali. Hal ini sering menjadi penghalang Disparda untuk
dapat mengambil langkah yang cepat dalam kondisi darurat. Banyak pertimbangan
yang mesti dipatuhi dan dilakukan untuk memecahkan suatu permasalahan.
Kesulitan Disparda Provinsi Bali bersama Disparda Kabupaten/Kota dalam
merespon permasalahan yang dihadapi industri pariwisata pascabom dapat diselesaikan
dengan interaksi antara keduabelah pihak. Disparda yang terbelit oleh hirarki birokrasi
dapat dibantu oleh stakeholders dengan langsung melobi ke Pemerintah Pusat.
Profesionalisme dalam berbisnis membuka jaringan ke Pemerintah Pusat maupun ke
jaringan bisnis Internasional.
Disinilah tampak bagaimana hegemoni kekuasaan secara praksis memiliki
kekuatan yag sulit dibendung. Tidak ada kekerasan tetapi yang terjadi adalah
keharusan (mungkin pemaksaaan secara halus) bahwa daerah mutlak menuruti
kebijakan dari Pemerintah Pusat. Di sisi lain Otonomi Daerah mengaburkan
pemerintahan di daerah antara Provinsi dan Kabupaten/Kota. Pada tataran ini kembali
hegemoni lahir dalam wujud yang berbeda sehingga sulit menemukan siapa yang
mengendalikan dan apa yang dikendalikan. Hegemoni adalah penghalusan kekuasaan,
artinya dalam kasus ini perang kekuasaan terjadi tanpa menghasilkan siapa
Vol. 12 No. 1 Th. 2012, Hal. 73
Hubungan timbal balik, ini merupakan keterkaitan yang tidak terpisahkan untuk
dapat mewujudkan pariwisata Bali yang maju dan berkesinambungan. Kelemahan
interaksi mungkin terdapat di Disparda Provinsi Bali karena dalam pelaksanaannya
sangat sulit mempersatukan stakeholders dan masyarakat untuk bersatu-padu
menjunjung visi dan misi dalam mewujudkan pariwisata Bali yang sejahtera dan
berkelanjutan. Di sisi lain Disparda Provinsi sering kesulitan membuat suatu
perencanaan dan pengembangan kepariwisataan ke depan karena sistem birokrasi yang
rumit dan keterbatasan pengetahuan untuk melihat pangsa pasar pariwisata serta
kecendrungan pendekatan pemasaran klasik masih digunakan , yaitu mengikuti trend
pasar bukan sebaliknya menciptakan produk pasar yang diyakini dapat menarik angka
kunjungan wisatawan.
Di sisi stakeholders terdapat kesulitan mereka dalam berinteraksi dengan
Disparda Provinsi Bali karena sistem kerja professional sangat berbeda dengan sistem
kerja professional. Ketika stakeholders memiliki ide-ide menarik untuk
mengembangkan pariwisata belum tentu dapat segera di fasilitasi oleh Disparda
Provinsi Bali. Sering stakeholders menganggap Disparda Provinsi Bali lambat dalam
mengambil keputusan sehingga berpengaruh kinerja mereka. Kenyataan ini sulit
dihindari karena paradigma antara birokta dan professional jelas berbeda dan titik
temunya adalah komunikasi yang terbuka diantara kedua komponen untuk menemukan
jalan tengah dalam menyelesaikan suatu permasalahan.
Kesulitan interaksi Disparda Provinsi Bali dengan masyarakat terletak pada
kurangnya sosialisasi Disparda dalam suatu kebijakan pariwisata. Masyarakat sering
merasakan ketidakpahaman mereka terhadap kebijakan-kebijakan atau peraturan yang
dianggap menyulitkan peran mereka dalam menjalankan sector kepariwisataan.
Pembinaan dari Disparda Provinsi Bali untuk secara rutin turun ke lapangan bersama
stakeholders secara berkesinambungan sangat diperlukan. Pembinaan kepada
masyarakat terkait sapta pesona misalnya hamper tidak terdengar gaungnya.
Kesadaran masyarakat dalam menjaga kebersihan dan keamanan di objek-objek wisata
masih sangat minim. Kesadaran mereka perlu ditingkatkan dengan sosialisasi dan
pembinaan intensif. Kesulitan Disparda dalam hal ini adalah kurangnya dana yang
dimiliki untuk melaksanakan pembinaan yang intens. Namun kesulitan ini sebenarnya
dapat di cari solusi dengan menggandeng stakeholders untuk bersama-sama
memberikan pembinaan dan support kepada masyarakat tentang apa dan bagaimana
memberikan rasa nyaman bagi wisatawan yang berkunjung ke daerah mereka.
Dari deskripsi diatas, mengutip pandangan Gramsci (Dalam Strinati, 2003 : 195)
bahwa hegemoni sebagai hasil kerja para intelektual atau mereka yang berkompeten
untuk mengajak masyarakatnya untuk mengimbangi kekuasaan pihak luar. Dalam
pengertian ini, diungkapkan bahwa seorang pencipta ide, pelaksana ide maupun
penafsir ide sebagai para intelektual yang terlibat dalam usaha mengukuhkan dan
menentang hegemoni yang ada di dalam institusi masyarakat sipil. interaksi antara
Disparda Provinsi Bali, stakeholders dan masyarakat yang terhegemoni adalah ketiga
komponen dalam situasi yang berbeda. Disparda berusaha menghegemoni stakeholders
dan masyarakat namun tidak memiliki peran yang sentral dalam interaksi karena
minimnya kekuatan dan kekuasaan yang dimiliki termasuk kemampuan SDM-nya.
Disparda pun akhirnya terhegemoni oleh stakeholders sebagai pemegang korporasi
yang menggerakkan pariwisata di Bali. Belum lagi hegemoni dari Pemerintah Pusat
seperti yang disampaikan pada Bab sebelumnya.
Vol. 12 No. 1 Th. 2012, Hal. 76
3.2 Saran
Adapun saran yang dapat disampaikan sebagai rekomendasi sebagai hasil
analisis dari penelitian ini adalah :
1. Penyamaan visi-misi dan pembuatan program kerja terhadap segenap komponen
tentang pentingnya pariwisata Bali dari berbagai aspek untuk mencegah terjadinya
degradasi pendapatan utama masyarakat Bali kedepannya. Tanpa pariwisata Bali
akan kehilangan pendapatan utama masyarakatnya yang akan berpengaruh
terhadap PAD, proses pembangunan sektor lainnya dan kehidupan sosio-kultrual
masyarakat Bali pada umumnya.
2. Perlu menata ulang kembali sistem koordinasi yang disepakati bersama dalam
mewujudkan pariwisata Bali yang berkelanjutan sehingga secara teknis
terdeskripsikan Tupoksi/job description masing-masing komponen dengan
Vol. 12 No. 1 Th. 2012, Hal. 77
KEPUSTAKAAN