Anda di halaman 1dari 13

PERATURAN BAHAN TAMBAHAN PANGAN

DOSEN PENGAMPU :

Dr. Fitry Tafzi, S.TP., M.Si

OLEH :

KELOMPOK 4

1. JUNITA FLUXCY FATRICIA (J1A119002)


2. YULI SUMITA (J1A119013)
3. SUMANRO FIRMANSIUS (J1A119023)
4. NABILLA RAHMA AULIA (J1A119026)
5. ADILLYA SAPUTRI (J1A119029)
6. PUTRI DIANA SARI (J1A119040)
7. APRILIANY AMANDA PUTRI (J1A119049)
8. ABELLA NISA FEBRIANA (J1A119069)

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL PERTANIAN

JURUSAN TEKNOLOGI PERTANIAN

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS JAMBI

2021
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Makanan merupakan suatu kebutuhan primer yang diperlukan untuk mendukung
proses kehidupan dan pertumbuhan manusia yang berkontribusi bagi kesehatan (Hughes,
1987). Dalam mewujudkan ketersediaan pangan yang cukup melalui produksi pangan
maka dari itu Bahan Tambahan Pangan (BTP) dapat sengaja ditambahkan. Peraturan
Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 033 Tahun 2012 menyatakan Bahan
Tambahan Pangan (BTP) adalah bahan yang ditambahkan ke dalam pangan untuk
mempengaruhi sifat atau bentuk pangan. Peran BTP yang sengaja ditambahkan ke dalam
pangan dengan tujuan dapat meningkatkan kualitas dari pangan tersebut, memperpanjang
umur simpan serta diharapkan dapat mempermudah dalam preparasi bahan pangan
(Cahyadi, 2009).
Bidang industri pangan yang semakin berkembang dituntut untuk menciptakan
inovasi pangan yang ingin diproduksi secara luas, hal ini memungkinkan semakin
meningkatnya penggunaan BTP. Berkembangnya produk pangan awet saat ini, mungkin
terjadi karena semakin tingginya kebutuhan masyarakat terhadap berbagai jenis makanan
yang praktis dan awet. Kesalahan teknologi dan penggunaan bahan tambahan yang
diterapkan, baik sengaja maupun tidak disengaja dapat menyebabkan gangguan pada
kesehatan atau keamanan konsumen. (Anggrahini, 2008). Pengaplikasian BTP ke dalam
suatu produk juga perlu adanya pengawasan baik dari produsen, maupun pengawasan
oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). BPOM berkewajiban melakukan
pemeriksaan keamanan bahan yang akan digunakan sebagai BTP yang belum diketahui
dampaknya bagi kesehatan manusia. Hal ini bertujuan agar pangan yang akan diproduksi
secara luas memiliki kualitas yang diinginkan serta aman dan bergizi. Pada dasarnya,
penggunaan BTP memiliki batas maksimum yang telah ditentukan yakni jumlah yang
telah disesuaikan fungsi teknologinya namun tetap aman dalam pangan.
Penggunaan bahan tambahan pangan yang baik dan sesuai dengan ketentuan, menjadi
harapan para konsumen. Untuk mewujudkan hak tersebut pastinya dipelukan pemahaman
khusus mengenai peraturan pelabelan BTP. Oleh karena itu, penulis ingin mengetahui
lebih lanjut mengenai isi peraturan pelabelan BTP berdasarkan Peraturan Kepala Badan
Pengawas Obat Dan Makanan Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2016, Peraturan
Badan Pengawas Obat Dan Makanan Nomor 31 Tahun 2018 dan Peraturan Badan
Pengawas Obat Dan Makanan Nomor 11 Tahun 2019 dan persamaan dan perbedaan dari
peraturan tersebut.

1.2 Tujuan

Tujuan dari penulisan makalah ini yaitu :

1.2.1 Untuk mengetahui isi peraturan pelabelan BTP berdasarkan Peraturan Kepala Badan
Pengawas Obat Dan Makanan Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2016, Peraturan
Badan Pengawas Obat Dan Makanan Nomor 31 Tahun 2018 dan Peraturan Badan
Pengawas Obat Dan Makanan Nomor 11 Tahun 2019.
1.2.2 Serta untuk mengetahui persamaan dan perbedaan dari perturan pelabelan BTP
berdasarkan Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat Dan Makanan Republik
Indonesia Nomor 23 Tahun 2016, Peraturan Badan Pengawas Obat Dan Makanan
Nomor 31 Tahun 2018 dan Peraturan Badan Pengawas Obat Dan Makanan Nomor 11
Tahun 2019.
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Isi Peraturan Pelabelan BTP berdasarkan Peraturan Kepala BPOM RI No. 23
Tahun 2016, Peraturan BPOM No. 31 Tahun 2018 dan Peraturan BPOM Nomor 11
Tahun 2019

2.1.1 Peraturan Kepala BPOM RI No. 23 Tahun 2016

Peraturan ini dibuat untuk melindungi masyarakt dari informasi yang tidak benar dan
menyesatkan dalam label dan iklan pangan olahan serta mengubah peraturan mengenai
larangan pencantuman informasi bebas BTP pada label dan iklan pangan yang sudah tidak
sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang pangan.

Bab 1 membahas mengenai ketentuan umum. Pasal 1 menjelaskan definisi/ arti dari
pangan, pangan olahan, bahan tambahan pangan, pewarna sintetis, pengawet, pemanis
buatan, penguat rasa, antioksidan, label pangan,dan iklan pangan.

Bab 2 membahas mengenai ruang lingkup. Pada pasal 2 menjalaskan bahwa peraturan
kepala badan mengatur pencantuman informasi tanpa BTP pada label dan iklan pangan.
Informasi tanpa BTP hanya diizinkan untuk jenis BTP seperti pemanis buatan, pengawet,
pewarna sintetis, antioksidan dan penguat rasa.

Bab 3 membahas mengenai persyaratan pada label dan iklan pangan. Pada pasal 3
disebutkan bahwa informasi tanpa BTP pada label dan iklan pangan hanya dicantumkan jika
produk akhir pangan olahan tidak mengandung BTP yang telah disebutkan. Pasal 4
menjelaskan mengenai pangan olahan yang mencantumkan infomasi tanpa BTP harus
memenuhi ketentuan di bidang label dan iklan pangan dan hanya dapat mencantumkan
informasi berupa keterangan seperti tanpa pemanis buatan, tanpa pengawet, tanpa pewarna
sintetis, tanpa antioksidan dan tanpa penguat rasa. Informasi tersebut dicantumkan setelah
daftar bahan yang digunakan. Pencamtuman informasi tanpa BTP tidak diizinkan
menggunakan pencantuman nama jenis BTP, dan untuk BTP berisian fungsi zat gizi maka hal
tersebut menyebabkan tidak diizinkannya mencantumkan informasi tanpa BTP yang
dimaksud dan harus sesuai dena label pangan yang disetujia dalam surat persetujuan.
Bab 4 membahas mengenai larangan. Pada pasal 5 disebutkan larangan
mencantunkan informasi tanpa BTP selain seperti yang terdpat pada pasal 4 dan meliputi
keterangan bebas BTP, tidak menggunakan BTP, tidak menambahkan BTP, tidak terdapat
BTP, tidak mengandung BTP, atau yan semakna.

Bab 5 membahas mengenai sanksi. Pada pasal 6 menyebutkan mengenai pelanggaran


terhadap peratuan ini dikenai sanksi administrative berupa peringatan tertulis, arangan
memproduksi atau perintah penarikanedar, perintah pemusnahan dan pencabutan izin edar.

Bab 6 membahas mengenai ketentuan penutup. Ada pasal 7 dijelaskan bahwa pada
saat peraturan ini berlaku maka peraturan BPOM no.17 tahun 2007 dicabut dan dinyatakan
tidak berlaku. Pada pasal 8 disebutkan bahwa peraturan ini mulai berlaku pada tanggal
diundangkan.

2.1.2 Peraturan BPOM No. 31 Tahun 2018

Peraturan ini dibuat bertujuan untuk membarikan informasi yang benar dan jelas
kepada masyarakat tentang setiap produk pangan olahan yang dikemas sebelum membali dan
mengonsumsi pangan olahan.

Bab 1 membahas mengenai ketentuan umum. Pada pasal 1 menjelaskan mengenai


definisi/arti dari pangan, pangan olahan, label pangan olahan, pangan olahan tertentu,
kategori pangan, gizi, kemasan pangan, bahan baku pangan, bahan tambahan pangan, BTP
campuran, BTP Ikutan, bahan penolong, produksi pangan, peredaran pangan, pangan iradiasi,
pangan produk rekayasa genetic, pangan olahan organik, allergen, vegan, informasi nilai gizi,
klaim, nomor izin edar, setiap orang, pelaku usaha pangan, dan kepala badan. Pada pasal 2
menjelaskan bahwa setiap orang yang memperoduksi pangan olahan dalam kemasan eceran
wajib mencantumkan label dan setiap orang yang mengimpor pangan ke dalam Indonesia
dalam kemasan eceran wajib mencantumkan label pada saat memasuki wilayah NKRI. Pada
pasal 3 menyebutkan bahwa label yang dicantumkan pada kemasan pangan wajib sesuai
dengan label yang disetujui pada saat izin edar dan wajib dicantumkan pada bagian kemasan
pangan yang mudah dilihat dan dibaca, tidak mudah lepas dari kemasan pangan serta tidak
mudah luntur atau rusak.

Bab 2 membahas mengenai kriteria label. Pasal 4 membahas mengenai kriteria label
yang umum yang mana disebutkan setiap label yang diperdagangkan wajib memuat
keterangan mengenai pangan olahan dengan benar dan tidak menyesatkan, meliputi
keterangan yang berbentuk tulisan, gambar, kombinasi keduanya atau bentuk lain. Pada pasal
5 disebutkan bahwa label harus memuat keteranga seperti nama roduk, daftar bahan yang
digunakan, berat bersih, tanggal dan kode produksi, keterangan kadaluarsa, nomor izin edar
dan asal-usul bahan pangan tertentu. Pada pasal 6 disebutkan jika pangan olahan dijual
kepada pelaku usaha untuk diolah kembali maka label harus memuat eterangan seperti nama
produk, berat bersih, nama dan alamat produksi, tanggal dan kode produksi, dn keterangan
kadaluarsa. Pada pasal 7 dijelaskn bahwa keterangan pada label harus ditulis dan dicetak
dalam bahasa Indonesia, atau dapat dicantumkan dalam bahaa asing dan bahasa daerah
sepanjang keterangan telah ada bahasa Indonesia. Pada pasal 8 menyebutkan bahwa gambar,
warna dan desain dapat digunakan sebagai latar belakang selama tidak mengaburkan tulisan.
Pada pasal 9 dijelaskan bahwa ketrangan pada label harus dicantumkan secara teratur, jelas
dan mudah dibaca. Tulisan harus dicantumkan dengan ukuran huruf paling kecil dama
dengan atau lebih besar dari huruf kecil “o” pada jenis huruf Aria; dengan ukuran 1 mm.
Pada pasal 10 membahas mengenai nama produk yang mana disebutkan nama produk terdiri
atas nama jenis pangan olahan dan nama dagang. Nama jenis wajib dicantumkan pada label
pangan olahan dan nama dagang dapat dicantumkan pada label pangan olahan. Pada pasal 11
dijelaskan bahwa nama jenis pangan olahan harus menunjukkan karakteristik spesifik dari
pangan olahan sesuai dengan kategori pangan meliputi pengertian dan karakteristik dasar
yang menunjukkan sifat dan keadaan sebenarnya. Penggunaan nama jenis pangan olahan
harus sesuai dengan SNI. Jika pangan olahan berupa minuman beralkohol maka pada label
dicantumkan “minuman beralkohol”. Pada pasal 12 disebutkan nama dagang tidak boleh
digunakan apabila memuat unsur bertentangan dengan ketentuan, tidak memiliki daya
embeda, telah menjadi milik umum, menggunakan nama jenis terkait pangan olaha
bersangkutan, menggunakan kata sifat yang mempengaruhi penafsiran lain, menggunakan
kata yang terkait aspek keamanan pangan atau gizi dan menggunakan nama dagang yang
telah mempunyai sertifikat merek untuk pangan olahan lain. Pada pasal 13 membahas
mengenai daftar bahan yang digunakan yag dijelaskan bahwa daftar bahan merupakan daftar
yang digunaka dalam kegiatan produksi pangan meliputi bahan aku, BTP dan bahan
penolong. Pada pasal 19 menjelaskan mengenai BTP meliputi BTP melalui penambahan
langsung dan BTP ikutan. Keterangan mengenai BTP harus dicntumkan dalam daftar bahan
yang digunakan meliputi nama golongan BTP, nama jenis BTP, nomor indeks pewarna BTP
serta nama kelompok perisa BTP. BTP ikutan harus dicantumkan setelah bahan yang
mengandung BTP, Btp ikutan hanya berupa BTP golongan antioksidan, peamanis, pengawet,
pewarna dan penguat rasa. Pada pasal 20 dijelaskan keterangan mengandung pemanis buatan
wajib dicantumkan tulisan “mengandung pemanis buatan”. Pada pasal 21 dijelaskan bahwa
BTP yang diperdagangkan secara eceran wajib mencantumkan tulisan Bahan Tambahan
Pangan, nama golongan BTP dan nama jenis BTP. Keterangan tentang BTP pemanis alami
atau buatan wajib dicantumkan seperti, kesetaraan kemanisan dibandingkan dengan gula
sukrosa dan tulisan “untuk penderita diabetes atau orang yang membutuhkan makanan
berkalori rendah” untuk TP pemanis buatan dalam bentuk Table-top, serta tulisan
“mengandung pemanis buatan, disarankan tidak dikonsumsi oleh anak di bawah 5 tahun, ibu
hamil dan ibu menyusui”. Keterangan BTP pemanis buatan aspartame wajib dicantumkan
peringatan “mengandung fenilalanin, tidak cocok untuk penderita fenilketonurik dan tidak
cocok digunakan untuk bahan yang akan dipanaskan”. Keterangan BTP pewarna wajib
mencantumkan nomor indeks, tulisan “pewarna pangan” dan logo huruf M di dalam
lingkaran hitam. Pencantuman gambar bahan pangan pada label BTP hanya boleh
dicantumkan jika BTP mengandung bahan pangan tersebut. Pada pasal 22 disebutkan untuk
table-top sweetener yang kemasannya terlalu kecil hanya wajib mencantumkan nama jenis
BTP, nama dan alamat produksi dan kesetaraan kemanisan terhadap sukrosa. Pada pasal 23
disebutkan pada label BTP campuran wajib dicantumkan tuisan “Bahan Tambahan Pangan
Campuran”, nama golongan BTP, jenis pangan olahan yang diizinkan menggunakan BTP
campurn dan takaran penggunaan dalam jenis pangan olahan. Pada pasal 2 disebutkan pada
label dapat dicantumkan keterangan tanpa BTP yang mana hanya untuk pangan olahan yang
tidak mengandung jenis BTP meliputi pemanis buatan, pengawet, pewarna sintetik,
antioksidan dan penguat rasa. Keterangan tanpa BTP meliputi tanpa pemanis buatan, tanpa
pengawet, tanpa pewarna sintetik, tanpa antioksidan dan tanpa penguat rasa. Pada pasal 38
disebutkan bahwa seiap orang yang emproduksi dan menggunakan bahan baku, BTP dan
bahan lain yang berasal dari produk rekayasa genetic wajib mencantumkan tulisan
“PRODUK REKAYASA GENETIK” pada label. Persyaratan dan tata cara pencantuman
keterangan produk rekayasa genetic dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.

Pada bab 5 pasal 67 yang membahas mengenai larangan menyebutkan keterangan


tanpa BTP meliputi penggunaan dan pencantuman nama jenis BTP, keterangan “bebas
BTP”, “tidak menggunakan BTP”, “tidak menambahkan BTP”, “tidak terdapat BTP”, “tidak
mengandung BTP”, atau yang semakna.

2.1.3 Peraturan BPOM Nomor 11 Tahun 2019


Peraturan ini dibuat untuk melindungi masyarakat dari penggunaan BTP yang tidak
memenuhi persyaratan keamanan, mutu dan gizi pangan.

Pada bab 1 (ketentuan umum) pasal 1 menjelaskan definisi / arti dari pangan, BTP
kategori pangan, zat gizi, golongan BTP, batas maksimal, BTP ikutan, ajudan BTP,
spesifikasi BTP, tabl-top sweetener, acceptable daily intake, ADI not specified, No ADI
allocated,asupan maksimal harian dan asupan maksimal mingguan. Pada bab 1 pasal 2
menjelaskan bahwa BTP bukan merupakan bahan baku pangan tetapi dapat memiliki nilai
gizi serta dijelaskan bahwa BTP digunakan sebagai sumber zat gizi. Bagian ini juga
menjelaskan bahwa BTP sengaja ditambahkan ke pangan untuk tujuan teknologi pembuatan,
pengolahan dsb agar dapat mnghasilkan suatu komponen atau mempengaruhi sifat pangan.

Pada bab 2 menjelaskan mengenai golongan BTP dan jenis BTP. Pada pasal 3
membahas mengenai golongan BTP. Dijelaskan bahwa BTP terdiri atas 27 golongan yaitu
antibuih, antikempal, antioksidan, bahan pengkarbonasi, garam pengemulsi, gas untuk
kemasan, humektan, pelapis, pemanis, pembawa, pembentuk gel, pembuih, pengatur
keasaman, pengawet, pengembang, pengemulsi, pengental, pengeras, penguat rasa, peningkat
volume,penstabil, peretensi warna, perisa, perlakuan tepung, pewarna, propelan,dan
sekuestran. Pada pasal 4 membahas mengenai tentang jenis BTP.

Pada bab 3 membahas mengenai batas maksimal penggunaan BTP. Pada pasal 5
menjelelaskan tentang batas maksimal penggunaan ditetapkan sesuai dengan jenis dari BTP
dan kategori pangan.

Pada bab 6 membahas mengenai BTP ikutan. Pada pasal 6 menjelaskan syarat untuk
BTP ikutan yang diizinkan seperti jenis dan batas maksimal BTP ikutan pada produk akhir
harus memenuhi ketentuan serta jenis dan batas maksimal BTP ikutan ikutan yang memenuhi
ketentuan bahan baku pangan dan tidak diatur dalam ketentuan. Bagian ini juga menjelaskan
perhitungan batas maksimal BTP menggunakan persentase penggunaan bahan baku pangan
dan komponen bahan penyusun terhadap batas maksimal BTP dalam bahan baku pangan dan
komponen bahan penyusun. Pada pasal 7 menjelaskan bahwa BTP ikutan idak diizinkan
terdapat pada kategori pangan 3.1 yaitu formula untuk bayi dan formula lanjuta serta formula
untuk kebutuhan medis khusus bayi. Dan pada kategori pangan 13.2 yaitu makanan bayi dan
anak dalam masa pertumbuhan. Namun, dikecualikan untuk BTP yang jenis dan batas
maksimalnya diatur pada kategori pangan 13.1 dan 13.2.
Pada bab 5 membahas mengenai ajudan BTP. Pasal 8 menjelaskan mengenai bagian
dari dan BTP yaitu bahan baku pangan dan BTP. Bahan baku pangan yang digunakan sebgai
ajudan BTP harus sesuai dengan ketentuan peratuan perundang-undangan, sedangkan BTP
yang digunakan sebagai ajudan BTp haru memnuhi persyaratn seperti jesninya sudah
diizinkan dan ADI Not specified.dan BTP yang mempunyai ADI numeric juga dapat
dijadikan ajudan BTP kecuali jenis BTP golongan penguat rasa, pewarna, perisa, pemanis
buatan dan glikosida steviol. Pada pasal 9 menjelaskan bahwa keberadaan BTP pada produk
pangan olahan akibat dari penggunaan ajudan BTP dianggap sebagai BTP ikutan.

Pada bab 6 membahas mengenai persyaratan penggunaan BTP. Pada pasal 10


menjelaskan bahwa BTP dapat digunakan secara tunggal atau campuran, namun jika secara
campuran harus berasal dari golongan yang sama dan penjumlahan hasil bagi masing-masing
BTP dangan batas maksimal penggunaannya lebih dari 1. Dikecualikan ntuk penggunaan
BTP pada kategori pangan dengan batas maksimal CPPB. Pasal 11 menjelaskan penggunaan
BTP campuran harus dibuktikan dengan sertifikat analisis kuantitatif yang harus diterbitkan
dari laboratorium yang ditunjuk oleh kepala badan. Untuk jenis BTP yang tidak bisa
dianalisis dapat dihitung berdasarkan penambahan BTP yang digunakan dalam pangan
kecuali untuk penggunaan BTP pada kategori pangan dengan batas maksimal CPPB. Pasal 12
menjelaskan bahwa penggunaan BTP pemanis dapat berupa Table-top sweetener yang hanya
boleh dikemas daam kemasan sekali pakai yang setara dengan 5 gram sampai 10 gram gula.
Pasal 13 menyebutkan bahwa BTP pemanis buatan tidak dapat digunakan pada produk
pangan khusus untuk bayi, anak batita, ibu hamil dan ibu menyusui. Pasal 14 menjelaskan
mengenai batas maksimal BTP pemanis jenis glikosida steviol yang dihitung sebagai
ekivalen steviol. Pasal 15 menyebutkan bahwa keberadaan BTP pembawa pada produk
pangan mengikuti BTP ikutan.

Pada bab 7 membahas mengenai tata cara memperoleh persetujuan. Pada pasal 16
membahas mengenai jenis dan penggunaan BTP dan BTP ikutan yang hanya boleh
digunakan sebagai BTP setelah mendapat persetujuan tertulis dari kepala badan dan untuk
mendapat persetujuan harus mengajukan permohonan tertulis kepada kepala badan disertai
dengan formulir. Keputusan dari kepala badan diberikan paling lama 85 hari kerja sejak
diterima permohonan lengkap.

Pada bab 8 membahas mengenai label dan iklan. Pada pasal 17 membahas mengenai
label yang mana dijelaskan bahwa pelabelan BTP dan pangan olahan yang mengandung BTP
harus memnuhi persyaratan label pangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan. Pada pasal 18 membahas mengenai iklan yang mana disebutkan bahwa periklanan
BTP dan pangan olahan yang mengantung BTP dilaksanakan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.

Bab 9 membahas mengenai produksi, pemasukan dan peredaran BTP. Pada pasal 19
disebutkan bahwa BTP yang akan diproduksi di wilayah Indonesia dan diedarkan wajib
memiliki izin edar dari kepala badan. Pada pasal 20 menjelaskan bahwa BTP yang akan
diproduksi di Indonesia harus memnuhi spesifikasi BTP seperti yang tercantum pada kodeks
makanan Indonesia. Jika belum terdaftar dalam kodeks makanan Indonesia maka digunakan
Compendium of food additive Specifications, Joint FAO/WHO Expert Committee on Food
Additives (JECFA). Jika belum terdapat dalam JECFA maka dapat menggunakan standar lain
melalui kajian.

Bab 10 membahas mengenai larangan. Pada pasal 21 menjelaskan bahwa penggunaan


BTP dilarang jika untuk tujuan seperti menyembunyikan penggunaan bahan baku yang tidak
memenuhi persyaratan, menyebunyikan cara kerja yang bertentangan dengan cara produksi
yang baik untuk pangan dan untuk menyembunyikan kerusakan pangan.

Bab 11 membahas mengenai pengawasan. Pada pasal 22 menyebutkan bahwa


pengawasan terhadap BTP dilakukan oleh kepala badan.

Bab 12 membahas mengenai ketentuan peralihan. Pada pasal 23 menyebutkan bahwa


pada saat peraturan ini berlaku maka BTP dan panan yang mengandun BTP yang telah
memiliki persetujuan harus menyesuailan dengan ketentua ini paling lama 24 bulan sejak
diberlakukannya peraturan in.

Bab 13 membahas mengenai ketentuan penutup. Pasal 24 menyebutkan bahwa pada


saat peraturan ini mulai berlaku maka peraturan peraturan terdahulu yang itdak sesuai dicabut
dan dinyatakan tidak berlaku lagi. Pasal 25 membahas mengenai pemberlakuannya peraturan
ini sejak tanggal diundangkan.

2.2 Persamaan dan Perbedaan Isi Peraturan Pelabelan BTP berdasarkan Peraturan
Kepala BPOM RI No. 23 Tahun 2016, Peraturan BPOM No. 31 Tahun 2018 dan
Peraturan BPOM Nomor 11 Tahun 2019
perbpom nomor 23 tahun 2016 peraturan ini mengacu pada aturan khusus dengan syarat,
larangan, sanksi dan jenis BTP yang diizinkan untuk informasi tanpa BTP pada label dan
iklan pangan sedangkan peraturan BPOM nomor 31 tahun 2018 peraturan ini mengacu secara
spesifik hanya pada bagian administrasi yaitu pelabelan olahan pangan yang berlaku setelah
menjadi produk sampai ke proses pemasaran, untuk peraturan BPOM nomor 23 tahun 2016
peraturan ini mengatur secara luas dan umum yang berkaitan dengan bahan tambahan pangan
mulai dari penggolongan BTP ke penggunaannya, ketentuan izin, persyaratan dan persetujuan
BTP serta larangan dalam pengawasan pengelolaan BTP pada industri pangan di Indonesia.

Selain itu juga perka BPOM nomor 23 tahun 2016 mengatur tentang pencantuman informasi
tanpa BTP pada label dan iklan pangan dimana informasi tanpa BTP tersebut hanya diizinkan
untuk lima jenis BTP.

Peraturan BPOM nomor 31 tahun 2018 menjembatani kepentingan produsen dan konsumen
sehingga tercipta perdagangan pangan yang jujur dan bertanggung jawab. Peraturan ini
meliputi istilah dan definisi, kriteria label, keterangan lain, ketentuan lain-lain, dan larangan
dalam label pangan olahan serta dilengkapi dengan penjelasan, contoh-contoh, dan ilustrasi
yang sesuai sehingga mudah dipahami.

Peraturan BPOM nomor 11 tahun 2019 mencakup tentang regulasi terkait penggunaan 26
golongan BTP (BTP yang diizinkan penggunaannya untuk pangan) dan batas maksimal
penggunaannya terdapat dalam Lampiran I sampai Lampiran VI Peraturan BPOM No. 11
Tahun 2019 tentang Bahan Tambahan Pangan.

Persamaan yang masih terdapat dalam peraturan BPOM nomor 23 tahun 2016 dengan
peraturan BPOM nomor 31 tahun 2018 dan juga peraturan BPOM nomor 11 tahun 2019,
masih sama-sama mengatur tentang penjaminan perlindungan kesehatan bagi masyarakat
untuk mengkonsumsi bahan pangan, serta mendapatkan informasi-informasi bahan pangan
tersebut melalui pelabelan dan juga termasuk bahan tambahan pangan yang di masukan
kedalam produk pangan.
BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Jadi perubahan yang di dapat dari peraturan antara isi Peraturan Pelabelan BTP berdasarkan
Peraturan Kepala BPOM RI No. 23 Tahun 2016, Peraturan BPOM No. 31 Tahun 2018 dan
Peraturan BPOM Nomor 11 Tahun 2019, adalah semakin luasnya pengaturan yang diatur dalam
pelabelan pada suatu bahan pangan, dimana di peraturan BPOM Nomor 11 tahun 2019 lebih banyak
dan lebih luas cakupan peraturan untuk menjaga konsumen atau masyarakat tentang bahan pangan
yang di konsumsinya.
DAFTAR PUSTAKA

Anggrahini, Sri. 2008. Keamanan Pangan Kaitannya dengan Penggunaan Bahan Tambahan dan

Kontaminan. Diakses di : http://lib.ugm.ac.id/digitasi/upload/732_pp0906016.pdf pada


tanggal 24 Mei 2013.

Cahyadi W. 2009. Analisis & Aspek Kesehatan Bahan Tambahan Pangan. Edisi Kedua. Jakarta:

Bumi Aksara. Halaman 134.

Hughes, C. 1987 The Additives Guide. Jhon Wiley and Sons, Chichester.

Anda mungkin juga menyukai