Anda di halaman 1dari 6

UJIAN AKHIR SEMESTER GASAL

PROGRAM STUDI MAGISTER


HUKUM TAHUN AKADEMIK 2021/2022
Mata Kuliah : Hukum Kesehatan Pangan, Pemakaian Obat Dan Toksikologi
Hari/Tanggal : Sabtu, 12 Februari 2022
Waktu : Pkl. 10.00 – 11.00 WIB
Semester : III
Dosen Pengampu : 1. Prof. Dr. Sarsintorini Putra, SH., MH
2. Dr. dr. MC. Inge Hartini, M.Kes
BKU : Hukum Kesehatan
Sifat Ujian : Daring/Online
Petunjuk : Jawaban dikirim melalui email inge_hartini06@yahoo.co.id

1. Bahan Tambahan Pangan (BTP)


a. Apakah BTP itu ?
b. Peraturan perundang-undangan mana saja yang mengatur tentang BTP ?
c. Mengapa penggunaan borax dalam makanan selalu berulang ?
d. Menurut Anda, bagaimana cara efektif untuk menghentikan penggunaan borax dalam
makanan, yang bisa diterima semua pihak dan tidak merugikan mereka ?
e. Pihak-pihak mana saja yang bertanggung jawab terhadap peredaran makanan mengandung
BTP yang dilarang ?

2. Peredaran jamu yang mengandung BKO (Bahan Kimia Obat) makin marak. Mengapa hal
ini bisa terjadi ? Sebutkan peraturan perundang-undangan yang terkait dengan masalah ini. Siapa
saja yang harus bertanggung jawab terhadap peredaran jamu mengandung BKO ?

3. Apakah yang disebut pengobatan tradisional komplementer alternatif ? Sebutkan dasar


hukumnya. Siapa saja yang dapat menjadi Tenaga Pengobat Tradisional Komplementer
Alternatif
? Sebutkan persyaratannya

SOAL 4
BPOM Temukan Obat Palsu dan Tanpa Izin Edar Dijual Bebas di Purbalingga
Rabu, 15 Mei 2019

Merdeka.com - Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Wilayah Banyumas mendapati penjualan obat
palsu di Desa Losari, Kecamatan Rembang, Kabupaten Purbalingga. Selain itu, didapati juga obat tidak
memiliki izin edar.
Temuan ini bagian dari Pengawasan Obat-Obatan dan Pangan di Bulan Ramadan dan Menjelang Idul Fitri 1440
H. Pengawasan ini dilakukan sebab masih sering didapati penjualan obat-obatan keras yang semestinya tidak
dijual bebas.
Staf Pengawas Farmasi dan Makanan BPOM Wilayah Banyumas, Winanto, mengatakan temuan obat palsu dan
tanpa izin edar dijual di salah satu toko kelontong. Secara rinci, obat palsu yakni Ponstan dengan berlogo FM
palsu sebanyak 40 tablet. Sedang obat tanpa izin edar yakni osagi atau obat sakit gigi sebanyak 82 bungkus,
sulfural sebanyak empat bungkus dan antalgin 500 mg sebanyak 16 butir.

Pertanyaan
a. Apakah yang disebut obat ?
b. Sebutkan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang obat
c. Mengapa peredaran obat palsu dan obat yang tidak memiliki izin edar masih sering terjadi ?
d. Siapa saja yang bertanggung jawab terhadap kejadian ini ?
e. Apa sanksi hukum bagi pelaku, mulai produsen sampai dengan pengedar ?

**********************Selamat Mengerjakan dan Semoga Sukses************************


NAMA : NOVI EKO PUSPITASARI
BKU : HUKUM KESEHATAN
NPM : 120160029
MATA KULIAH : Hukum Kesehatan Pangan, Pemakaian Obat Dan Toksikologi
NAMA DOSEN : Prof. Dr. Sarsintorini Putra, SH., MH
Dr. dr. MC. Inge Hartini, M.Kes
1. Bahan Tambahan Pangan
a. BTP adalah Bahan tambahan pangan
b. Peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang BTP diatur dalam peraturan bahan
pengawsan obat dan makanan nomor 11 th 2019.
c. Penggunaan borax dalam makanan selalu berulang dikarenakan dalam prose pengawasan dan
pemberian sangsi kurang tegas sehingga mengakibatkan pelaku tidak jera.
d. Cara efektif untuk menghentikan penggunaan borax dalam makanan adalah bekerja sama
dengan instansi terkait dalam upaya mewujudkan perlindungan konsumen, membantu
konsumen dalam memperjuangkan haknya, melakukan pengawasan terhadap pengawsan
secara ketat terhadap penggunaan boraks, memberikan sangsi yang tegas sesuai dengan
peraturan
e. Yang bertanggung jawab terhadap peredaran makanan mengandung BTP adalah pelaku
usaha serta BPOM selaku pengawas tentang peredaran makanan
2. Peredaran jamu mengandung BKO makin marak karena Pengawasan yg kurang dan pemberian
sangsi yang tidak tegas. Peredaran jamu yang mengandung BKO (Bahan Kimia Obat) makin
marak terjadi karena adanya kecenderungan masyarakat untuk kembali menggunakan bahan-
bahan alami yang tersedia melimpah di sekitar kita. Kondisi ini membuat para produsen berusaha
meningkatkan kapasitas produksinya. Berkembangnya pasar bagi peedaran obat tradiosional juga
berperan dalam tumbuhnya industry baru di bidang obat tradisional. Kecenderungan Kembali ke
alam ini juga didasari alasan bahwa obat tradisional dari bahan alam lebih aman dan lebih murah
serta mudah didapat. Tapi karena kurangnya pengetahuan sehingga ada banyak oknum yang
menyalahgunakan kesempatan ini dengan memasukkan BKO ke dalam jamu.
Peraturan perundang-undangan yang terkait yaitu tentang perlindungan konsumen obat
tradisional BKO terdapat dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen dan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, dapat pula dijumpai
dalam UUD 1945, KUH Perdata, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan.
Yang harus bertanggung jawab terhadap peredaran jamu mengandung BKO adalah Badan
POM selaku badan yang memiliki otoritas didalam pengawasan obat dan makanan di Indonesia,
terus berupaya untuk memenuhi keinginan masyarakat dengan meningkatkan perannya didalam
melindungi masyarakat dari peredaran obat tradisional yang tidak memenuhi syarat mutu dan
keamanan. Disamping itu Badan POM juga berperan dalam membina industri maupun
importir/distributor secara komprehensif mulai dari pembuatan, peredaran serta distribusi, agar
masyarakat terhindar dari penggunaan obat tradisional yang berisiko bagi pemeliharaan
kesehatan. Pengawasan yang dilakukan oleh Badan POM dimulai sebelum produk beredar yaitu
dengan evaluasi produk pada saat pendaftaran (pre marketing evaluation/product safety
evaluation), inspeksi sarana produksi sampai kepada pengawasan produk di peredaran (post
marketing surveillance).
3. Yang disebut pengobatan adalah Pengobatan alternatif dan komplementer adalah pengobatan non
konvensional yang ditujukan untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat meliputi upaya
meningkatkan, mencegah, menyembuhkan penyakit dan memulihkan kesehatan yang diperoleh
melalui pendidikan terstruktur dengan kualitas, keamanan dan efektifitas yang tinggi yang
berlandaskan ilmu pengetahuan biomedik, yang belum diterima dalam kedokteran konvensional.
Dasar hukumnya peraturan meteri kesehatan Republik Indonesia nomor 15 th 2018 tentang
penyelenggaraan pelayanan kesehatan tradisional komplementer Tenaga Kesehatan Tradisional
komplementer adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan tradisional
serta memiliki pengetahuan dan/atau keterampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan
tradisional yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan
tradisional.Berdasarkan kualifikasi pendidikannya, Tenaga Kesehatan Tradisional terdiri atas: a.
Tenaga Kesehatan Tradisional profesi; dan b. Tenaga Kesehatan Tradisional vokasi. -9- (3)
Tenaga Kesehatan Tradisional profesi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a merupakan
Tenaga Kesehatan Tradisional lulusan pendidikan tinggi bidang kesehatan tradisional paling
rendah program pendidikan profesi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (4)
Tenaga Kesehatan Tradisional vokasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b merupakan
Tenaga Kesehatan Tradisional lulusan pendidikan tinggi paling rendah program diploma tiga
bidang kesehatan tradisional sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.Ketentuan
yang mengatur produksi dan peredaran kosmetika adalahn peraturan badan pengawas obat dan
makanan nomor 2 th 2020 tentang pengawasan produksi dan peredaran kosmetik
4. Pernyataan
a. Menurut Permenkes Nomor 72 Tahun 2016 Tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di
Rumah Sakit, Obat adalah bahan atau panduan bahan termasuk produk biologi yang
digunakan untuk mempengaruhi atau menyelidikisistem fisiologi atau keadaan patologi
dalam rangka penetapan diagnosis, pencegahan,penyembuhan,pemulihan,peningkatan
kesehatan dan konstrasepsi untuk manusia.
b. Peraturan perundang-undangan yang menjadi acuan adalah pp no 72 tahun 1998 tentang
pengamanan sediaan farmasi dan alkes, peraturan badan pengawas obat dan makanan nomor
7 th 2021
c. Peredaran obat palsu dan obat tidak memiliki izin edar sering terjadi karena sanksi tidak
tegas.
d. Pihak-pihak yang seharusnya bertanggungjawab yaitu pelaku, produsen,pengedar
e. Sanki hukum Pelanggaran ini dapat dikenai sanksi perdata dan pidana
Tindakan administratif sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat berupa: a. peringatan
secara tertulis; b. larangan mengedarkan untuk sementara waktu dan/atau perintah untuk
menarik produk sediaan farmasi dan alat kesehatan dari peredaran yang tidak memenuhi
persyaratan mutu, keamanan, dan kemanfaatan; c. perintah pemusnahan sediaan farmasi dan
alat kesehatan, jika terbukti tidak memenuhi persyaratan mutu, keamanan, dan kemanfaatan;
d. pencabutan sementara atau pencabutan tetap izin usaha industri, izin edar sediaan farmasi
dan alat kesehatan serta izin lain yang diberikan. Pasal 74 Barang siapa dengan sengaja
memproduksi dan/atau mengedarkan sediaan farmasi berupa obat atau bahan obat yang tidak
memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) huruf a,
dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling
banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 80
ayat (4) Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan. Pasal 75 Barang siapa
dengan sengaja: a. memproduksi dan/atau mengedarkan alat kesehatan yang tidak memenuhi
persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) huruf d; b.
mengedarkan sediaan farmasi dan alat kesehatan tanpa izin edar sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 9; dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau pidana
denda paling banyak Rp 140.000.000,00 (seratus empat puluh juta rupiah) sesuai dengan
ketentuan Pasal 81 ayat (2) Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan. 23
Pasal 76 Barang siapa dengan sengaja: a. memproduksi dan/atau mengedarkan sediaan
farmasi berupa obat tradisional yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) huruf b; b. memproduksi dan/atau mengedarkan sediaan
farmasi berupa kosmetika yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) huruf c; dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima)
tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) sesuai
dengan ketentuan Pasal 82 ayat (2) Undangundang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan.
Pasal 77 Barang siapa yang dengan sengaja mengedarkan sediaan farmasi dan alat kesehatan
yang tidak mencantumkan penandaan dan informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27
dan Pasal 28 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau pidana
denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) sesuai dengan ketentuan Pasal
82 ayat (2) Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan. Pasal 78 Berdasarkan
ketentuan Pasal 83 Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, ancaman
pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74, Pasal 75, Pasal 76 dan Pasal 77, ditambah
seperempat apabila menimbulkan luka berat atau sepertiga apabila menimbulkan kematian.

Anda mungkin juga menyukai