Anda di halaman 1dari 41

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Sejalan dengan kemajuan teknologi informasi dan entry barrier yang

semakin tipis dalam perdagangan internasional, membuat produk obat dan

makanan dalam waktu yang singkat menyebar berbagai Negara dengan

jaringan distribusi yang luas dan mampu menjangkau seluruh masyarakat.

Konsumsi masyarakat produk-produk, termasuk cenderung terus meningkat

seiring gaya hidup masyarakat termasuk pola konsumsinya. Sementara itu

pengetahuan masyarakat masih memadai untuk dapat memilih dan

menggunakan produk secara benar dan aman. Dengan demikian peranan

kesehatan sangatlah diperlukan dengan menyelenggarakan upaya kesehatan

secara menyeluruh dan terpadu (Kayne, 2010).

Salah satu upaya yang dilakukan untuk mencapai tujuan pembangunan

kesehatan adalah melalui peningkatan pengendalian pengadaan, pegaturan

penggunaan dan pengawasan pembekalan farmasi dan makanan yang

dilakukan oleh Badan Pengawasan Obat dan Makanan (Badan POM)

sehingga sarana, prasarana dan kinerja sumber daya manusia dalam

pengawasan obat dan makanan dan pembekalan farmasi lainnya harus terus

ditingkatkan sehingga dapat mendukung kelancaran upaya yang dilakukan.

Sebagai sarana pemeriksaan dan pengujian baik secara kualitatif maupun

kuantitatif, laboratorium balai POM dilengkapi dengan beberapa instrument

seperti: HPLC, spektrofometri, UV-Vis, densitometer, disolution, test

1
apparatus, nitrogen determinator aparatus, water destilation apparatus,

centrifuge ultrasonic bath, laminair air flow, analitycal balance, autoklaf,

lemari asam, kromatografi gas, dan AAS (BPOM, 2001).

Perubahan teknologi produksi, sistem perdagangan internasional, dan

gaya hidup konsumen tersebut pada realitasnya meningkatkan resiko dengan

implikasi yang luas pada kesehatan keselamatan konsumen, balai POM

merupakan badan pemerintahan non departemen yang mempunyai tugas

pokok, Visi dan Misi terhadap pengawasan baik produksi maupun distribusi

produk-produk obat, kosmetik, obat tradisional, suplemen dan makanan

(Siregar, S.J.P, 2010).

Oleh karena itu di bentuk Balai POM untuk memenuhi kebutuhan

masyarakat dalam hal informasi yang benar dan jujur serta pemecahan

masalah pengaduan yang menyangkut berbagai hal produk-produk obat,

makanan, kosmetik, obat tradisional, dan suplemen makanan, membuka akses

seluas-luasnya kepada masyarakat atau konsumen untuk bertanya atau

menyampaikan keluhan (BPOM, 2001).

B. TUJUAN dan MANFAAT

1) Tujuan

Adapun tujuan yang ingin dicapai antara lain :

a) Untuk meningkatkan pemahaman mahasiswa tentang tugas dan

fungsi Balai POM.

b) Untuk meningkatkan keterampilan mahasiswa dalam pengujian obat

di Laboratorium Balai POM Kendari.

2
2) Manfaat

a) Bagi Instansi

Hasil praktek kerja lapangan diharapkan dapat menjadi informasi

dan sebagai masukkan bagi instansi terkait dalam hal ini Balai POM

Kota Kendari sebagai tempat pengawasan obat tradisional.

b) Bagi mahasiswa

Hasil praktek kerja lapangan diharapkan dapat menambah

pengalaman dan wawasan keilmuan tentang kegiatan di

Laboratorium Terapeutik Balai POM Kota Kendari berupa

pengujian-pengujian Obat Tradisional.

c) Bagi Akademik

Hasil praktek kerja lapangan ini diharapkan dapat menambahkan

informasi keimuan bidang kesehatan khususnya farmasi terkait

analisis dan pengujian obat tradisional.

3
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tugas, Fungsi, dan Kewenangan BPOM

Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) adalah institusi pemerintah

yang mempunyai wewenang dalam pengawasan obat dan makanan di

Indonesia, ditetapkan sebagai Lembaga Pemerintah Non Dapertemen (LPND)

dan sekarang Lembaga Pemerintah Non Kementerian (LPNK) berdasarkan

pasal 25 ayat 1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 2008

tentang Kementerian Negara dan Lembaga Pemerintah Non Kementerian

dilaksanakan secara sinergis sebagai satu sistem pemerintahan dalam Negara

Kesatuan Republik Indonesia sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan.

Institusi ini bertanggung jawab secara langsng kepada Presiden, dikoordinasi

dengan Menteri Kesehatan dan dikepalai oleh pejabat setingkat Menteri.

Dalam melaksanakan tanggung jawabnya BPOM memiliki tugas, fungsi

dan kewenangan sebagai berikut:

1. Tugas BPOM

a. Tugas Utama BPOM

Berdasarkan Pasal 2 Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2017,

BPOM mempunyai tugas menyelenggarakan tugas pemerintah di

bidang pengawasan obat dan makanan sesuai dengan ketentuan

peraturan perundang-undangan.

4
b. Tugas Balai POM

Berdasarkan Pasal 2 Peraturan Kepala BPOM Nomor 14 Tahun

2014, Unit Pelaksana Teknis di lingkungan BPOM mempunyai tugas

melaksanakan kebijakan dibidang pengawasan obat dan makanan,

yang meliputi pengawasan atas produk terapetik, narkotika,

psikotropika, zat adiktif, obat tradisional, kosmetik, produk

komplemen serta pengawasan atas keamanan pangan dan bahan

berbahaya.

2. Fungsi BPOM

a. Fungsi Utama BPOM

Berdasarakan Pasal 3 Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2017,

BPOM mempunyai fungsi :

1) Penyusunan kebijakan nasional di bidang pengawasan obat dan

makanan.

2) Pelaksanaan kebijakan nasional di bidang pengawasan obat dan

makanan.

3) Penyusunan dan penetapan norma, standar, prosedur, dan criteria

di bidang pengawasan sebelum beredar dan pengawasan selama

beredar.

4) Pelaksanaan pengawasan sebelum beredar dan penggawasan

selama beredar.

5) Koordinasi pelaksanaan pengawasan obat dan makanan dengan

instansi pemerintah pusat dan daerah.

5
6) Pemberian bimbingan teknis dan supervise di bidang pengawasan

obat dan makanan.

7) Pelaksanaan peningdakan terhadap pelanggaran ketentuan

peraturan perundang-undangan di bidang pengawasan obat dan

makanan.

8) Koordinasi pelaksanaan tugas, pembinaan, dan pemberian

dukungan administrasi kepada seluruh unsure organisasi di

lingkungan BPOM.

9) Pengolahan barang milik/kekayaan Negara yang menjadi

tanggung jawab BPOM.

10) Pengawasan atas pelaksanaan tugas di ingkugan BPOM; dan

11) Pelaksanaan dukungan yang bersifat substantive kepada seluruh

unsure organisasi dilingkungan BPOM.

b. Fungsi Balai POM

Berdasarkan Pasal 3 Peraturan Kepala BPOM Nomor 14 Tahun

2014, Unit Pelaksana Teknis di lingkungan BPOM mempunyai

fungsi:

1) Penyusunan rencana dan program pengawasan obat dan makanan.

2) Pelaksanaan pemeriksaan secara laboratorium, pengujian dan

penilaian mutu produk terapetik, narkotika, psikotropika zat

adiktif, obat tradisional, kosmetik, produk komplemen, pangan

dan bahan berbahaya.

6
3) Pelaksanaan pemeriksaanlaboratorium, pengujian dan penilaian

mutu produk secara mikrobiologi.

4) Pelaksanaan pemeriksaan setempat, pengambilan contoh dan

pemeriksaan sarana produksi dan distribusi

5) Investigasi dan penyidikan pada kasus pelanggaran hukum.

6) Pelaksanaan sertifikasi produk, sarana produksi dan distribusi

tertentu yang ditetapkan oleh Kepala Badan Pengawas Obat dan

Makanan

7) Pelaksanaan kegiatan layanan informasi konsumen.

8) Evaluasi dan penyusunan laporan pengujian obat dan makanan.

9) Pelaksanaan urusan tata usaha dan kerumahtanggaan.

10) Pelaksanaan tugas lain yang ditetapkan oleh Kepala Badan

Pengawas Obat dan Makanan, sesuai dengan bidang tugasnya.

3. Kewenangan BPOM

Berdasarkan Keputusan Kepala BPOM N0M0R : 42017/SK/KBPOM,

dalam menyelenggarakan fungsinya, BPOM mempunyai kewenangan :

a. Menerbitkan izin edar produk dan sertifikat sesuai dengan standar dan

persyaratan keamanan, khasiat/manfaat dan mutu, serta pengujian obat

dan makanan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

b. Melakukan inteljen dan penyidikan di bidang pengawasan obat dan

makanan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan-undangan;

dan

7
c. Pemberian sanksi administrative sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan.

B. OBAT TRADISIONAL

Menurut peraturan menteri kesehatan republik Indonesia nomor 007

tahun 2012 tentang registrasi obat tradisional adalah bahan atau ramuan

bahan yang berupa bahan tumbuha, bahan hewan, bahan mineral, sediaan

sarian (galenik) atau campuran dari bahan tersebut yang secara turun

temurun telah digunakan untuk pengobatan, dan dapat diterapkan sesuai

dengan norma yang telah berlaku di masyarakat. Dalam pembuatan obat

tradisional bahan-bahan yang digunakan tidak mengandung bahan kimia

sintetik. Obat tradisional terbuat dari campuran berbagai tumbuhan yang

dapat dibuat menjadi bentuk sediaan yang bervariasi diantaranya adalah

kapsul, tablet, pil, dan lain-lain. Menurut WHO, obat tradisional telah

digunakan secara luas di dunia sejak hampir 20 tahun. Pada negara-negara

seperti Ghana, Mali, Nigeria, dan Zambia, penggunaan obat tradisional

mencapai 60% dan sekitar 80% populasi di banyak negara menggunakan

obat tradisional sebagai perlindungan kesehatan mereka (Kayne, 2010).

Penggunaan obat tradisional secara luas oleh masyarakat disebabkan

selain karena alami, mudah didapat, serta harganya yang murah,

penggunaan obat ramuan tumbuhan secara tradisional ini tidak

menghasilkan efek samping yang ditimbulkan seperti yang sering terjadi

pada pengobatan secara kimiawi, selain itu masih banyak orang yang

8
beranggapan bahwa penggunaan obat tradisional lebih aman dibandingkan

dengan obat sintesis (Thomas A.N.S, 1989).

Penggolongan obat tradisional terbagi atas :

1. Jamu

Menurut peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor 246

tahun 1992, pengertian jamu adalah obat tradisional yang bahan bakunya

simplisia yang sebagian besar belum mengalami standarisasi dan belum

pernah diteliti, bentuk sediaan masih sederhana berupa serbuk seduhan,

rajangan untuk seduhan, dan sebagainya.

2. Obat Herbal Terstandar (OHT)

Obat herbal terstandar merupakan obat tradisional yang disajikan dari

hasil ekstraksi atau penyarian bahan alam, baik tanaman oba, hewan,

maupun mineral. Yang ditunjang dengan pembuktian ilmiah berupa

penelitian praklinis (Lestari, 2007).

3. Fitofarmaka

Fitofarmaka merupakan obat tradisional yang memiliki khasiat,

keamanan, serta standar proses pembuatan dan bahannya telah diuji

secara praklinis dan klinis (Yuliarti, 2008).

C. KROMATOGRAF LAPIS TIPIS

Kromatografi lapis tipis adalah prosedur pemisahan zat terlarut oleh

suatu proses migrasi diferensial dinamis dalam system yang terdiri dari dua

fase atau lebih, salah satunya bergerak berkesinambungan dalam arah

tertentu dan didalam zat-zat itu menunjukkan perbedaan mobilitas yang

9
disebabkan adanya perbedaan dalam adsorbs, partisi, tekanan uap, ukuran

molekul atau kerapatan ion, sehingga masing-masing zat dapat diidentifikasi

dengan metode analitik (Direktorat jendral pengawasan obat dan makanan

RI, 1995). Teknik kromatografi biasanya membutuhkan zat terlarut yang

terdistribusi antara dua fase yaitu fase diam dan fase gerak. Fase diam yang

digunakan dalam KLT merupakan penjerap berukuran kecil dengan diameter

partikel antara 10 sampai 30 µm. Semakin kecil ukuran partikel dan semakin

sempit kisaran ukuran fase diam, maka semakin baik kinerja KLT dalam hal

efisiensi dan resolusinya, jika sampel yang digunakan terlalu banyak maka

akan menurunkan resolusinya.

Penotolan sampel yang tidak tepat akan menyebabkan bercak yang

melebar dan puncak ganda. Penjerap yang paling sering digunakan adalah

silica dan serbuk selulosa, sedangkan mekanisme yang utama dalam KLT

adalah partisi dan adsorbsi. Fase gerak merupakan pelarut pengembang yang

akan bergerak sepanjang fase diam karena pengaruh kapiler pada

pengembangan secara mekanik atau (ascending) atau karna pengaruh

gravitasi pada pengembangan secara menurun (descending) (Gandjar dan

Rohman, 2007).

Kromatografi dapat dibedakan dalam beberapa macam tergantung dari

pengelompokannya. Berdasarkan pada mekanisme pemisahannya

kromatografi dibedakan menjadi : kromatografi adsorbs ; kromatografi

partisi ; kromatografi pasangan ion ; kromatografi penukar ion ;

kromatografi eksklusi ukuran dan kromatografi afinitas. Berdasarkan pada

10
penggunaan alat yang digunakan dapat dibedakan menjadi : kromatografi

kertas ; kromatografi lapis tipis (KLT) ; kromatografi cair kinerja tinggi

(KCKT) dan kromatografi gas (Gandjar dan Rohman, 2007).

Parameter dari kromatografi lapis tipis adalah factor retensi (Rf)

merupakan perbandingan jarak yang ditempuh solute dengan jarak yang

ditempuh fase gerak. Adapun rumusnya sebagai berikut :

jarak yang ditempuh solut (cm)


Rf =
jarak yang ditempuh fase gerak ( cm)

Nilai Rf biasanya lebih kecil dari satu, sedangkan jika dikalikan

dengan 100 akan bernilai 1 – 100, sehingga parameter ini dapat digunakan

untuk perhitungan kualitatif dalam pegujian sampel pada kromatografi lapis

tipis (Sumarno, 2001). Pada Rf kurang 0,2 belum terjadi kesetimbangan

antara komponen senyawa dengan fase diam dan fase gerak sehingga bentuk

noda biasanya kurang simetris. Pada bilangan Rf diatas 0,8 noda analit

akann diganggu oleh absorbansi pengotor lempeng fase diam yang teramati

pada visualisasi dengan lampu UV (Wulandari, 2011).

11
BAB III

PELAKSANAAN PKL

A. Lokasi PKL

Pelaksanaan praktek kerja lapangan (PKL) di Balai POM Kota Kendari

yang terletak di Kompleks Perkantoran Bumi Praja Andonohu Kendari,

Sulawesi Tenggara. PKL dilakukan dilaboratorium Obat Tradisional Balai

POM kendari.

B. Gambaran Balai POM Kendari

Balai Pengawasan Obat dan Makanan di Kendari terbentuk

berdasarkan Surat Keputusan Kepala Badan POM RI Nomor

05018/SK/KBPOM Tahun 2001. Jo SK Kepala Badan POM RI Nomor

HK.0005.21.4232 Tahun 2004 tentang perubahan Organisasi dan Tata Kerja

Unit Pelaksana Teknis di Lingkungan Badan POM.

Balai Pengawas Obat Makanan (BPOM) Kendari merupakan salah

satu Unit Pelaksana Teknis (UPT) Balai POM yang mempunyai peranan

penting sebagai perpanjangan tangan dari Badan POM dalam melaksanakan

kebijakan di bidang pengawasan produk terapetik, narkotika, psikotropika

dan zat adiktif lain, obat tradisional, kosmetika, produk komplemen,

keamanan pangan dan bahan berbahaya.

12
1. Visi dan Misi Balai POM Kendari

a. Visi

“Obat dan Makanan Aman, meningkatkan kesehatan masyarakat

dan daya saing bangsa”.

Proses penjaminan pengawasan Obat dan Makanan harus

melibatkan masyarakat dan pemangku kepentingan serta dilaksanakan

secara akuntabel serta diarahkan untuk menyelesaikan permasalahan

kesehatan yang lebih baik.Sejalan dengan itu, maka pengertian kata aman

dan daya saing adalah sebagai berikut :

Aman : Kemungkinan resiko timbul pada penggunaan Obat dan

Makanan telah melalui analia dan kajian, sehingga resiko yang mungkin

masih timbul adalah seminimal mungkin/dapat ditoleransi/tidak

membahayakan saat digunakan pada manusia. Dapat juga diartikan

bahwa khasiat/manfaat Obat dan Makanan meyakinkan,keamanan

memadai.dan mutunya terjamin.

Daya Saing : Kemampuan menghasilkan produk barang dan jasa

yang telah memenuhi standar,baik standar nasional maupun

internasional, sehingga produk lokal unggul dalam menghadapi pesaing

di masa depan

b. Misi

Meningkatkan sistem pengawasan obat dan makanan berbasis

risiko untuk melindungi masyarakat.

13
a) Meningkatkan sistem pengawasan Obat dan Makanan berbasis risiko

untuk melindungi masyarakat.

Pengawasan Obat dan Makanan merupakan pengawasan

komprehensif mencakup pemeriksaan sarana produksi dan distribusi,

sampling dan pengujian produk serta penegakan hukum. Dengan

penjaminan mutu produk Obat dan Makanan yang konsisten, yaitu

memenuhi standar aman, berkhasiat/bermanfaat, dan bermutu

diharapkan Balai POM di Kendari mampu melindungi masyarakat

dengan optimal. Satu sisi tantangan dalam pengawasan Obat dan

Makanan semakin tinggi, sementara sumber daya yang dimiliki

terbatas, maka perlu adanya prioritas dalam penyelenggaraan tugas.

Untuk itu pengawasan Obat dan Makanan seharusnya didesain

berdasarkan analisis resiko untuk mengoptimalkan seluruh sumber

daya yang dimiliki secara proporsional untuk mencapai tujuan sasaran

Strategis ini.

b) Mendorong kemandirian pelaku usaha dalam memberikan jaminan

keamanan obat dan makanan serta memperkuat kemitraan dengan

pemangku kepentingan.

Dalam 5 (lima) tahun ke depan, paradigma pengawasan Obat

dan Makanan akan menjadi pro active kontrol dengan mendorong

penerapan risk manajemen program oleh industri. Sebagai salah satu

pilar sistem pengawasan Obat dan Makanan, pelaku usaha harus

bertanggung jawab memenuhi standard dan persyaratan sesuai dengan

14
ketentuan yang berlaku terkait dengan produksi dan distribusi Obat

dan Makanan sehingga menjamin Obat dan Makanan yang diproduksi

dan diedarkan aman, berkhasiat/bermanfaat, dan bermutu. Sebagai

lembaga pengawas, Balai POM harus mampu membina dan

mendorong pelaku usaha untuk dapat memberikan produk yang aman,

berkhasiat/bermanfaat, dan bermutu. Pilar yang lain, masyarakat

diharapkan memilih dan menggunakan Obat dan Makanan yang

memenuhi standard dan diberi kemudahan akses informasi dan

komunikasi terkait Obat dan Makanan.

c) Meningkatkan kapasitas kelembagaan BPOM.

Untuk mendorong misi pertama dan kedua, diperlukan sumber

daya yang memadai dalam mencapai kapasitas kelembagaan yang

kuat. Kelembagaan tersebut meliputi struktur yang kaya dengan

fungsi.

15
2. Struktur Organisasi Balai POM kendari

KEPALA BALAI POM

KEPALA SUB BAGIAN


TATA USASAHA

KEPALA SEKSI KEPALA SEKSI KEPALA SEKSI KEPALA SEKSI KEPALA SEKSI
PEMERIKSAAN SERTIFIKASI PENGUJIAN PENGUJIAN PENGUJIAN
DAN MIKROBIOLOGI
PENYIDIKAN DAN TERAPETIK, PANGAN DAN
PELAYANAN NARKOTIK BAHAN
KONSUMEN KONSUMEN, BERBAHAYA
KOSMETIK,
OBAT
TRADISIONAL
DAN PRODUK
KOMPLEMEN

KELOMPOK JABATAN FUNGSIONAL


PENGAWAS FARMASI DAN MAKANAN

Gambar 1. Struktur Umum Organisasi Balai POM Kota Kendari

3. Gambaran TERANOKOKO

TERANOKOKO merupakan Bidang Pengujian Produk Terapetik,

Narkotika, Obat Tradisional, Kosmetik dan Produk Komplemen mempunyai

tugas melaksanakan penyusunan rencana dan program, evaluasi dan laporan

pelaksanaan pemeriksaan secara laboratorium, pengujian dan penilaian mutu

di bidang produk terapetik Narkotika, Obat Tradisional, Kosmetik dan Produk

16
Komplemen.Teranakoko dipimpin oleh seorang kepala seksi dimana kepala

seksi teranokoko ini membawahi 3 laboratorium yaitu Laboratorium Obat

Tradisional, Laboratorium Kosmetik, dan Laboratorium Terapetik.

1. Gambaran Laboratorium Obat Tradisional

Sampel bahan obat yang akan diuji yaitu sampel yang beredar

dipasaran, dimana sampel ini disampling oleh seksi PEMDIK kemudian

diserahkan ke Laboratorium Obat Tradisional untuk diuji. Dalam

pengujian Obat Tradisional yang dilakukan untuk menguji BKO (bahan

kimia obat) yang ada dalam sediaan obat tradisional seperti jamu, baik

dalam bentuk padat, cair atau semi solid dengan menggunakan beberapa

metode. Dalam pengujian Obat Tradisional, telah banyak berkembang

diantaranya; Kromatograi Cair Kinerja Tinggi (KCKT)/ HPLC (High

performance liquid chromatography), Kromatografi gas, Kromatografi

lapis tipis (KLT)-densitometri.

a. Kromatograi Cair Kinerja Tinggi (KCKT)/ HPLC (High performance

liquid chromatography).

Merupakan bentuk kromatografi kolom yang memompa campuran

sampel atau analit dalam suatu pelarut (dikenal sebagai fase gerak)

pada tekanan tinggi melalui kolom kromatografi dengan bahan

kemasan (fase padat).

b. Kromatografi cair-spektrometri massa (LC-MS)

Adalah teknik kimia analisis yang merupakan penggabungan dari

pemisahan fisik menggunakan kromatografi cair dan deteksi massa

17
molekul dengan spektrometri massa. Keunggulan dari teknik ini

adalah spesifitas dan sensitivitas pengukuran yang dihasilkan sangat

tinggi dibandingkan teknik kimia analis lainnya.

c. Kromatografi lapis tipis (KLT)-densitometri

Densitometri merupakan metode analisis instrumental yang

didasarkan pada interaksi radiasi elektromagnetik dengan analit yang

merupakan bercak pada KLT. Densitometri dimaksudkan untuk

analisis kuantitatif analit dengan kadar kecil, yang sebelumnya

dilakukan pemisahan dngan Kromatografi Lapis Tipis (KLT).

Densitometri lebih dititik beratkan untuk analisis kuantitatif analit-

analit dengan kadar yang sangat kecil yang perlu dilakukan

pemisahan terlebih dahulu dengan KLT. Densitometri merupakan

metode penetapan kadar suatu senyawa pada lempeng kromatografi,

menggunakan instrumen TLC scanner, pengukuran dilakukan dengan

cara mengukur serapan analit (cahaya yang diukur dapat berupa

cahaya yang dipantulkan atau yang diteruskan), pemadaman

fluoresensi untuk lapisan yang mengandung bahan berfluoresensi

analit atau hasil reaksi analit. Densitrometri adalah alat pelacak

kuantitatif yang sangat terkenal, alat ini dilengkapi dengan

spektrofotometer yang oenjang gelombangnya dapat diatur dari 200-

700 nm.

18
C. PELAKSANAAN PKL ( praktek kerja lapangan )

Selama kegiatan praktek kerja lapangan di Balai POM kendari, banyak

mendapat pengalaman dan pembelajaran dalam dunia kerja yang nyata.

Kegiatan belajar dan mengajar sangat berpengaruh terhadap kegiatan praktek

kerja industri, karena dapat memberikan kesempatan kepada mahasiswa (i)

untuk menyesuaikan diri pada suasana lingkungan kerja yang sebenarnya.

Berikut ini adalah kegiatan yang dilakukan selama melaksanakan PKL Yang

bertempat di BPOM kendari khususnya laboratorium Obat trasional yang

dilaksanakan dari tanggal 07 mei – 28 mei 2018.

1. Pengenalan laboratorium obat tradisional

Sebelum dilakukan praktek kerja lapangan hal yang pertama di

lakukan yaitu pengenalan alat laboratorium yang di gunakan dalam

laboratorium obat tradisional. Adapun alat-alat yang di kenalkan yaitu

diantaranya spektrofotometri, water bath, rotavapor, disintegrator dan

ultrasonic.

2. Kegiatan dalam laboratorium

Kegiatan yang di lakukan dalam laboratorium obat tradisional

meliputi uji identifikasi BKO, penetapan kadar air, salah satu BKO yang

di lakukan pengujian adalah sebagai berikut :

a. Identifikasi klorfeniramin maleat (CTM) dalam obat tradisional

sediaan padat secara kromatografi lapis tipis

b. Identifikasi parasetamol dalam obat tradisional sediaan padat secara

kromatografi lapis tipis

19
c. Identifikasi piroxicam dalam obat tradisional sediaan padat secara

kormatografi lapis tipis

LAPORAN KEGIATAN

I. Gelombang I (Identifikasi Klorfeniramin Maleat (CTM) Dalam Obat

Tradisional Sediaan Padat Secara Kromatografi Lapis Tipis)

A. Alat, Bahan dan Baku Pembanding

1) Alat

Seperangkat peralatan KLT (Kromatografi Lapis Tipis).

2) Bahan

Lempeng silika gel 60 F254

3) Baku Pembanding

Klorfeniramin Maleat (CTM) BFI.

B. Pereaksi

Air bebas mineral; eter; etanol; metanol; kloroform; diklorometan; asam

asetat glasial untuk klorfeniramin maleat (CTM) BFI

1) Larutan natrium hidroksida 1N

2) Larutan asam hidroklorida 1N.

C. Prosedur Kerja

1) Larutan Uji

a) Serbuk sampel x dihomogenkan, ditimbang seksama setara

dengan satu atau dua dosis

b) Dimasukkan ke dalam labu Erlenmeyer 250 mL

c) Ditambah 50 mL air bebas mineral

20
d) Diasamkan dengan larutan asam hidroklorida 1 N sampai pH 1-

2 sambil dikocok selama 30 menit

e) Larutan disaring atau disentrifus selama 15 menit dengan

kecepatan 3000 rpm

f) Filtrat yang diperoleh dimasukkan ke dalam corong pisah 250

mL, kemudian dibasakan dengan penambahan larutan natrium

hidroksida 1 N sampai pH 11-12

g) Selanjutnya diekstraksi tiga kali, tiap kali dengan 50 mL eter

h) Ekstrak eter dikumpulkan kemudian diuapkan di atas tangas air

pada suhu 60-70oC

i) Sisa yang diperoleh dilarutkan dengan etanol hingga 5,0 mL

dan disaring bila perlu.

2) Larutan Baku

a) Ditimbang saksama 5 mg baku CTM

b) Dimasukkan ke dalam labu tentukur 5 mL terpisah

c) Ditambahkan 2 mL etanol

d) Disonikasi hingga larut

e) Diencerkan sampai tanda.

3) Cara Penetapan Secara KLT

Larutan uji, larutan baku dan dilakukan KLT sebagai berikut:

Fase diam : Lempeng silika gel 60 F254 ukuran 20x10 cm

atau disesuaikan.

21
Fase gerak

a) Eluen A : Kloroform – metanol (90 : 10)

b) Eluen B : Diklorometan – metanol – asam asetat

glasial (90 : 10 : 10)

Aplikasi Sampel : Vol. Penotolan : 10 µl

Tipe penotolan : Pita / titik

Eluasi : Jarak Rambat : 7,5 cm

Penjenuhan : Deteksi penjenuhan dengan

kertas saring

Pengeringan : Dikeringkan pada suhu

kamar.

Deteksi Bercak : Cahaya ultra violet pada panjang gelombang

254 nm.

Bercak diamati dan direkam. Bercak yang sejajar dengan larutan baku,

kemudian dihitung nilai hRf atau Rf masing-masing.

D. Interprestasi Hasil

Hasil uji dinyatakan negatif jika nilai Rf dari bercak larutan uji tidak

sama dengan bercaklarutan baku.

22
II. Gelombang II (Identifikasi Parasetamol Dalam Obat Tradisional Sediaan

Padat Secara Kromatografi Lapis Tipis)

A. Alat, Bahan dan Baku Pembanding

a. Alat

Seperangkat peralatan KLT (Kromatografi Lapis Tipis).

b. Bahan

Lempeng silika gel 60 F254

c. Baku Pembanding

Parsetamol BFI

B. Pereaksi

Air bebas mineral ; ammonia ; eter ; etanol ; etil asetat ; methanol ;

klorofom.

Pembuatan larutan :

a) Larutan natrium hidroksida 1N

b) Larutan asam hidroklorida 1N.

C. Prosedur Kerja

a. Larutan Uji

1. Serbuk sampel x dihomogenkan, ditimbang seksama setara

dengan satu atau dua dosis

2. Dimasukkan ke dalam labu erlenmeyer 250 mL

3. Ditambah 50 mL air bebas mineral

4. Dibasakan dengan larutan natrium hidroksida 1 N sampai pH

10-11, lalu dikocok selama 30 menit.

23
5. Larutan disaring atau disentrifus selama 15 menit dengan

kecepatan 3000 rpm

6. Filtrat yang diperoleh dimasukkan ke dalam corong pisah 250

mL, kemudian diasamkan dengan penambahan larutan asam

hidroksida 1 N sampai pH 1-2.

7. Selanjutnya diekstraksi tiga kali, tiap kali dengan 50 mL eter

8. Ekstrak eter dikumpulkan kemudian diuapkan di atas tangas air

pada suhu 60-70oC

9. Sisa yang diperoleh dilarutkan dengan etanol hingga 5,0 mL

dan disaring bila perlu.

b. Larutan Baku

1. Ditimbang saksama 5 mg baku parasetamol

2. Dimasukkan ke dalam labu tentukur 5 mL

3. Ditambahkan 2 mL etanol

4. Disonikasi hingga larut

5. Diencerkan sampai tanda.

c. Cara Penetapan Secara KLT

Larutan uji dan larutan baku dilakukan KLT sebagai berikut:

Fase diam : Lempeng silika gel 60 F254 ukuran 20x10 cm

atau disesuaikan.

Fase gerak

a) Eluen A : Etil asetat : methanol : ammonia (80 : 10 : 10)

b) Eluen B : Kloroform : methanol (90 : 10)

24
Aplikasi Sampel : Vol. Penotolan : 10 µl

Tipe penotolan : Pita / titik

Eluasi : Otomatis Manual


Jarak rambat 7,5 cm 15 cm
Waktu 20 menit Deteksi
penjenuhan penjenuhan
dengan kertas
saring
Waktu 5 menit Dikeringka
pengeringan pada suhu ruang

Deteksi Bercak : Cahaya ultra violet pada panjang gelombang

254 nm.

Bercak diamati dan direkam. Bercak yang sejajar dengan larutan baku,

kemudian dihitung nilai hRf atau Rf masing-masing.

D. Interprestasi Hasil

Hasil uji dinyatakan negatif jika nilai Rf dari bercak larutan uji tidak

sama dengan bercak larutan baku.

25
III. Gelombang III (Identifikasi Piroxicam dalam Obat Tradisional Sediaan

Padat secara Kromatografi Lapis Tipis)

A. Alat, Bahan Dan Baku Pembanding

1. Alat

Seperangkat peralatan KLT (Kromatografi Lapis Tipis).

2. Bahan

Lempeng silika gel 60 F254

3. Baku Pembanding

Piroxicam BFI.

B. Pereaksi

Air bebas mineral; eter; etanol; metanol; kloroform; diklorometan; asam

asetat glasial untuk Piroxicam BFI

3) Larutan natrium hidroksida 1N

4) Larutan asam hidroklorida 1N.

C. Prosedur Kerja

1. Larutan Uji

a. Penetapan bobot rata-rata terlebih dahulu dilakukan minimal 10

bungkus/kapsul tablet

b. Sejumlah serbuk obat tradisional dihomegenkan kemudian

ditimbang seksama setara dengan satu atau dua dosis

c. Dimasukkan kedalam erlenmeyer 250 mL, kemudian tambahkan

50 mL air bebas mineral, dibasahkan natrium hidroksida 1 N

sampai pH 10-11 lalu dikocok selama 30 menit, selanjutnya

26
larutan disaring disentrifus selama 15 menit dengan kecepatan

3000 rpm

d. Filtrat yang diperoleh dimasukkan kedalam corong pisah 250

mL kemudian diasamkan dengan penambahan larutan

hidroksida 1 N sampai ph 1-2.

e. Selanjutnya diekstraksi 3 kali, tiap kali dengan 50 mL eter.

Ekstrak eter dikumpulkan kemudian diuapkan diatas tangas air

pada suhu 60-70oC atau diaupkan dengan penguap putar vakum

pada suhu 55oC sampai kering. Sisa yang diperoleh dilarutkan

dengan etanol hingga 50 mL dan disaring bila perlu.

2. Larutan baku

a. Ditimbang seksama 5 mL piroxikam dan dimasukan kedalam

labu tentu ukur 5 mL secara terpisah

b. Kemudian ditambahkan 2 mL etanol, sonikasi hingga larut,

encerkan dengan etanol sampai tanda batas.

3. Cara penetapan secara KLT

a. Secara KLT (Kromatografi Lapis Tipis)

Larutan uji dan larutan baku ditotolkan secara terpisah dan

dilakukan KLT sebagai berikut.

Fase diam : Lempeng silika gel 60 F254 ukuran 20 x 10 cm atau

disesuaikan

Fase gerak

a. Eluen A : Etil asetat – metanol – amonia ( 80 : 10 : 10 )

27
b. Eluen B : Kloroform – metanol ( 90 : 10 )

Aplikasi : - Volume penotolan : 10 mL, 20 mL, ( untuk

pengujian piroksikam)

Sampel : - tipe penotolan : pita/titik

Elusi : Otomatis ; 7,5 cm, 20 menit dan 5 menit

D. Interpretasi Hasil

Hasil uji dinyatakan negatif jika nilai Rf dari bercak larutan uji tidak sama

dengan bercak larutan baku

28
BAB IV

PEMBAHASAN

Tujuan dari praktek kerja lapangan ini adalah agar mahasiswa dapat

mengidentifikasi bahan kimia obat yang ada di dalam suatu sediaan obat

tradisional, dalam hal ini adalah jamu. Bahan kimia obat (BKO) merupakan zat-

zat kimia yang digunakan sebagai bahan utama obat kimiawi yang biasanya

ditambahkan dalam sediaan obat tradisional/jamu untuk memperkuat indikasi dari

obat tradisional tersebut. Obat tradisional yang biasa mengandung BKO adalah

yang memiliki indikasi untuk rematik, pennghilag rasa sakit, dan afrodisiak

(BPOM, 2013). Jamu yang mengandung bahan kimia obat sulit dibedakan dengan

jamu yang tidak mengandung bahan kimia obat. Bahan kimia obat yang

dicampurkan pada jamu dosisnya tidak terukur dan menghasilkan pencampuran

yang tidak homogen maka dosis bahan kimia obat pada setiap kemasan bisa

berbeda. Hal ini bisa berbahaya karena memungkinkan konsumen

mengkonsusmsi bahan kimia obat secara berlebihan.

Pada praktek kerja lapangan ini gelombang 1, gelombang 2 dan gelombang

3 melalukan identifikasi sampel yang diduga mengandung bahan kimia obat

Klorfeniramin Maleat (CTM), Parasetamol dan Piroxicam. CTM memiliki efek

Antihistamin. Antihistamin adalah obat atau komponen obat yang berfungsi untuk

menghalangi kerja zat histamin dan dipakai khususnya untuk mengobati alergi.

Antihistamin bekerja dengan cara memblokir zat histamin yang diproduksi tubuh.

Parasetamol atau acetaminophen adalah obat yang mempunyai efek mengurangi

nyeri (analgesik) dan menurunkan demam (antipiretik). Kemudian parasetamol

29
mengurangi nyeri dengan cara menghambat implus/rangsang nyeri diperifer.

Parasetamol menurunkan demam dengan cara menghambat pusat pengatur panas

tubuh dihipotalamus. Piroxicam bekerja dengan menghambat sintesa

prostaglandin dengan cara menghambat kerja enzim cyclooxygenase (COX),

COX-1 dan COX-2 pada jalur arachidonat tidak melalui jalur opiate, menghambat

siklooksigenase-1 dan tindakan farmakologis mirip dengan NSAID prototipikal

lainnya; memiliki aktifitas anti-inflamasi, analgesic dan antipiretik.

Penggunaan CTM yang berlebihan dapat menyebabkan sedasi, gangguan

saluran cerna, hipotensi, kelemahan otot, nyeri kepala, reaksi alergi, dan

kerusakan ginjal maupun hati. Penggunaan parasetamol secara berlebihan akan

menyebabkan hepatotoksik yang merupakan suatu tanda khas dari overdosis

parasetamol. Dampak pada ginjal yang disebabkan overdosis parasetamol lebih

jarang ditemukan dibanding dampak hati. Penggunaan piroxicam secara

berlebihan akan menyebabkan gagal ginjal, hipertensi, diare dan anemia.

Kromatografi lapis tipis adalah prosedur pemisahan zat terlarut oleh suatu

proses migrasi diferensial dinamis dalam system yang terdiri dari dua fase atau

lebih, salah satunya bergerak berkesinambungan dalam arah tertentu dan didalam

zat-zat itu menunjukkan perbedaan mobilitas yang disebabkan adanya perbedaan

dalam adsorbs, partisi, tekanan uap, ukuran molekul atau kerapatan ion, sehingga

masing-masing zat dapat diidentifikasi dengan metode analitik (Direktorat jendral

pengawasan obat dan makanan RI, 1995).

30
1. Gelombang 1 (identifikasi klorfeniramine maleat (CTM))

Pada identifikasi CTM langkah pertama yang dilakukan adalah serbuk

obat tradisional dihomogenkan kemudian ditimbang saksama setara dengan

satu atau dua dosis. Setelah itu dilakukan ekstraksi (digojog 30 menit) untuk

larutan dengan menggunakan pelarut eter sebanyak 50 mL. Ekstraksi tersebut

bertujuan untuk mendapatkan senyawa kimia dalam satu sampel

menggunakan cairan penyari yang sesuai. Penggunaan pelarut eter diharapkan

mampu menyari senyawa CTM yang terkandung dalam sampel.

Hasil ekstraksi kemudian disaring dan diperoleh filtrat. Selanjutnya

filtrat diuapkan sampai kering untuk menghilangkan sisa-sisa pelarutnya,

sehingga akan diidentifikasi murni senyawa yang terkandung dalam sampel.

Sisa-sisa pelarut dikhawatirkan mengganggu atau mengacaukan proses

identifikasi selanjutnya. Kemudian sisa penguapan tersebut dilarutkan dengan

etanol hingga 5 mL dan dimasukkan ke dalam flakon sebagai sampel untuk uji

KLT (kromatografi lapis tipis).

Identifikasi bahan kimia obat pada praktikum kali ini menggunakan

metode kromatografi lapis tipis. Dipilih metode ini karena pelaksanaan KLT

relatif lebih mudah, peralatannya lebih sederhana, banyak digunakan untuk

tujuan analisis dan KLT lebih fleksibel dalam pemilihan fase gerak. Selain itu

KLT juga memiliki post chromatography yang beraneka ragam yang dapat

meningkatkan sensitifitas dan selektifitas deteksi. Pada uji KLT ini digunakan

fase diam silika F254 dengan jumlah sampel masing-masing preparasi dilkukan

secara duplo.

31
Pengujian KLT terdapat 2 macam larutan yang akan diuji melalui

analisis kualitatif dengan kromatografi lapis tipis (KLT). Kromatogafi Lapis

Tipis menggunakan fase diam Silika gel F254 dan 2 fase gerak yaitu kloroform

– metanol (90 : 10) dan diklorometan – metanol – asam asetat glasial (90 :

10 : 10) dengan jarak pengembangan 7,5 cm. Dari hasil kromatogram yang

diperoleh dapat dilakukan analisis ada tidaknya kandungan CTM dalam

sediaan obat tradisional tersebut. Pada praktikum ini digunakan 2 macam

larutan, yakni:

a) Larutan A, berisi sampel jamu

b) Larutan B, merupakan baku CTM standar.

Setelah itu dilakukan elusi plat KLT dengan 2 fase gerak kloroform-

metanol (90 : 10) dan diklorometan-metanol-asam asetat glasial (90 : 10 : 1),

dengan jarak pengembangan 7,5 cm. Pemilihan fase gerak ini pada dasarnya

ditujukan untuk dapat memisahkan bahan kimia obat (CTM) dengan matrik

secara sempurna, sehingga kita dapat membandingkan secara jelas antara

sampel dan standar untuk dapat mengambil keputusan dalam sampel obat

tradisional mengandung CTM atau tidak.

Pada plat terlihat adanya beberapa bercak pada eluen diklorometan-

metanol-asam asetat glasial (90 : 10 : 10). Bercak-bercak tersebut memiliki Rf

sampel A 0,86 dan 0,87, sampel B Rfnya 0,86 dan 0,85, sampel C memiliki

nilai Rf 0,86 dan 0,87. Pada spot standar terlihat adanya bercak dengan nilai

Rf 0,84. Kemudian pada eluen kloroform-metanol (90 : 10). Pada sampel A, B

32
dan C tidak terdapat bercak sehingga tidak memiliki nilai Rf. Adapun pada

baku CTM terlihat adanya bercak dengan nilai Rf 0,53.

Hasil elusi menunjukkan bahwa bercak yang dimiliki oleh yang larutan

baku CTM tidak ada yang sejajar dengan larutan sampel yang diidentifikasi.

Nilai Rf yang dieroleh adalah Rf 0,84, dari hasil tersebut dapat ditarik

kesimpulan bahwa pada sampel obat tradisional yang diperiksa tidak

mengandung CTM.

2. Gelombang 2 (identifikasi parasetamol)

Pada identifiksi Parasetamol langkah pertama yang dilakukan adalah

serbuk obat tradisional dihomogenkan kemudian ditimbang saksama setara

dengan satu atau dua dosis. Setelah itu dilakukan ekstraksi (digojog 30 menit)

untuk larutan dengan menggunakan pelarut eter sebanyak 50 mL. Ekstraksi

tersebut bertujuan untuk mendapatkan senyawa kimia dalam satu sampel

menggunakan cairan penyari yang sesuai. Penggunaan pelarut eter diharapkan

mampu menyari senyawa paracetamo yang terkandung dalam sampel.

Hasil ekstraksi kemudian disaring dan diperoleh filtrat. Selanjutnya

filtrat diuapkan sampai kering untuk menghilangkan sisa-sisa pelarutnya,

sehingga akan diidentifikasi murni senyawa yang terkandung dalam sampel.

Sisa-sisa pelarut dikhawatirkan mengganggu atau mengacaukan proses

identifikasi selanjutnya. Kemudian sisa penguapan tersebut dilarutkan dengan

etanol hingga 5,0 mL dan dimasukkan ke dalam flakon sebagai sampel untuk

uji KLT (kromatografi lapis tipis).

33
Identifikasi bahan kimia obat pada praktikum kali ini menggunakan

metode kromatografi lapis tipis. Dipilih metode ini karena pelaksanaan KLT

relatif lebih mudah, peralatannya lebih sederhana, banyak digunakan untuk

tujuan analisis dan KLT lebih fleksibel dalam pemilihan fase gerak. Selain itu

KLT juga memiliki post chromatography yang beraneka ragam yang dapat

meningkatkan sensitifitas dan selektifitas deteksi. Pada uji KLT ini digunakan

fase diam silika F254 dengan jumlah sampel masing-masing preparasi dilkukan

secara duplo.

Pengujian KLT terdapat 2 macam larutan yang akan diuji melalui

analisis kualitatif dengan kromatografi lapis tipis (KLT). Kromatogafi lapis

tipis menggunakan fase diam Silika gel F254 dan 2 fase gerak yaitu etil asetat –

methanol – ammonia (80 : 10 : 10) dan kloroform – methanol (90 : 10) dengan

jarak pengembangan 7,5 cm. Dari hasil kromatogram yang diperoleh dapat

dilakukan analisis ada tidaknya kandungan Parasetamol dalam sediaan obat

tradisional tersebut. Pada praktikum ini digunakan 2 macam larutan, yakni:

1. Larutan A, berisi sampel jamu

2. Larutan B, merupakan baku parasetamol standar.

Setelah dilakukan elusi plat KLT dengan 2 fase gerak etil asetat –

metanol – amonia (80 : 10 : 10) dan kloroform – metanol (90 : 10) dengan

jarak pengembangan 7,5 cm. Pemilihan fase gerak ini pada dasarnya ditujukan

untuk dapat memisahkan bahan kimia obat Parasetamol dengan matrik secara

sempurna, sehingga kita dapat membandingkan secara jelas antara sampel dan

34
standar untuk dapat mengambil keputusan dalam sampel obat tradisional

mengandung parasetamol atau tidak.

Pada plat terlihat adanya beberapa bercak pada eluen kloroform –

metanol (90 : 10). Bercak-bercak tersebut memiliki nilai Rf sampel X 0,93 dan

0,92, sampel Y Rfnya yaitu 0,23:0,25 dan 0,23:0,27 sampel Z memiliki nilai

Rf 0,88 dan 0,91. Pada baku parasetamol terlihat adanya bercak dengan nilai

Rf 0,41. Kemudian pada eluen etil asetat – metanol – amonia (80 : 10 : 10).

Bercak-bercak tersebut memiliki nilai Rf sampel X 0,95 dan 0,96, sampel Y

dengan nilai Rf 0,88 dan 0,91, sampel Z memiliki nilai Rf 0,96 dan 0,96.

Adapun pada baku parasetamol terlihat adanya bercak dengan nilai Rf 0,89.

Hasil elusi menunjukkan bahwa bercak yang dimiliki oleh yang larutan

baku parasetamol tidak ada yang sejajar dengan larutan sampel yang

diidentifikasi. Nilai Rf yang dieroleh adalah Rf 0,41 dan Rf 0,89, dari hasil

tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa pada sampel obat tradisional yang

diperiksa tidak mengandung parasetamol.

3. Gelombang 3 (identifikasi piroxicam)

Pada identifiksi piroxicam langkah pertama yang dilakukan adalah

serbuk obat tradisional dihomogenkan kemudian ditimbang saksama setara

dengan satu atau dua dosis. Setelah itu dilakukan ekstraksi (digojog 30 menit)

untuk larutan dengan menggunakan pelarut eter sebanyak 50 mL. Ekstraksi

tersebut bertujuan untuk mendapatkan senyawa kimia dalam satu sampel

menggunakan cairan penyari yang sesuai. Penggunaan pelarut eter diharapkan

mampu menyari piroxicam yang terkandung dalam sampel.

35
Hasil ekstraksi kemudian disaring dan diperoleh filtrat. Selanjutnya

filtrat diuapkan sampai kering untuk menghilangkan sisa-sisa pelarutnya,

sehingga akan diidentifikasi murni senyawa yang terkandung dalam sampel.

Sisa-sisa pelarut dikhawatirkan mengganggu atau mengacaukan proses

identifikasi selanjutnya. Kemudian sisa penguapan tersebut dilarutkan dengan

etanol hingga 5,0 mL dan dimasukkan ke dalam flakon sebagai sampel untuk

uji KLT (kromatografi lapis tipis).

Identifikasi bahan kimia obat pada praktikum kali ini menggunakan

metode kromatografi lapis tipis. Dipilih metode ini karena pelaksanaan KLT

relatif lebih mudah, peralatannya lebih sederhana, banyak digunakan untuk

tujuan analisis dan KLT lebih fleksibel dalam pemilihan fase gerak. Selain itu

KLT juga memiliki post chromatography yang beraneka ragam yang dapat

meningkatkan sensitifitas dan selektifitas deteksi. Pada uji KLT ini digunakan

fase diam silika F254 dengan jumlah sampel masing-masing preparasi dilkukan

secara duplo.

Pegujian KLT dilakukan terdapat 2 macam larutan yang akan diuji

melalui analisis kualitatif dengan kromatografi lapis tipis (KLT). Kromatogafi

lapis tipis menggunakan fase diam Silika gel F 254 dan 2 fase gerak yaitu Etil

asetat – methanol – ammonia (80 : 10 : 10) dan kloroform – methanol (90 :

10) dengan jarak pengembangan 7,5 cm. Dari hasil kromatogram yang

diperoleh dapat dilakukan analisis ada tidaknya kandungan Piroxicam dalam

sediaan obat tradisional tersebut. Pada praktikum ini digunakan 2 macam

larutan, yakni:

36
1. Larutan A, berisi sampel jamu

2. Larutan B, merupakan baku piroxicam standar.

Setelah dilakukan elusi plat KLT dengan 2 fase gerak etil asetat –

metanol – amonia (80 : 10 : 10) dan kloroform – metanol (90 : 10) dengan

jarak pengembangan 7,5 cm. Pemilihan fase gerak ini pada dasarnya ditujukan

untuk dapat memisahkan bahan kimia obat piroxicam dengan matriknya

sehingga kita dapat membandingkan secara jelas antara sampel dan standar

untuk dapat mengambil keputusan dalam sampel obat tradisional mengandung

piroxicam atau tidak.

Pada plat terlihat adanya beberapa bercak pada eluen kloroform –

metanol (90 : 10). Bercak-bercak tersebut memiliki nilai Rf sampel X 0,92 dan

0,92, sampel Y Rfnya yaitu 0,23, dan 0,23, sampel Z yaitu 0,91 dan 0,91. Pada

baku piroxicam terlihat adanya bercak dengan nilai Rf 0,89. Kemudian pada

eluen etil asetat – metanol – amonia (80 : 10 : 10). Bercak-bercak tersebut

memiliki nilai Rf sampel X 0,95 dan 0,95, sampel Y Rfnya yaitu 0,89 dan

0,89, sampel Z memiliki nilai Rf 0,93 dan 0,93. Adapun pada baku piroxicam

terlihat adanya bercak dengan nilai Rf 0,27.

Hasil elusi menunjukkan bahwa bercak yang dimiliki oleh yang larutan

baku piroxicam tidak ada yang sejajar dengan larutan sampel yang

diidentifikasi. Nilai Rf yang dieroleh adalah Rf 0,89 dan Rf 0,27, dari hasil

tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa pada sampel obat tradisional yang

diperiksa tidak mengandung piroxicam.

37
Inti dari identifikasi ini adalah dibutuhkan suatu kecermatan dan ketelitian

dalam mengidentifikasi suatu bahan kimia obat yang mungkin sengaja

ditambahkan pada suatu produk obat tradisional. Tahap analisis harus

dilaksanakan satu per satu dengan hati-hati, penggantian sistem fase gerak dan

kejenuhan dari chamber juga dapat mempengaruhi hasil elusi dilakukan sebagai

upaya untuk memperoleh pemisahan yang sempurna. Sehingga keputusan yang

kita ambil, didasari data yang akurat dan tidak merugikan salah satu pihak baik

produsen ataupun konsumen.

38
BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Adapun kesimpulan dari Praktek Kerja Lapangan (PKL) yang telah

dilaksanakan ialah :

1. Adapun tugas Balai POM yaitu melakukan pengawasan obat dan makanan

sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, serta

berfungsi dalam pelaksanaan pemeriksaan laboratorium, pengujian dan

penilaian mutu produk, pelaksanaan sertifikasi produk, layanan informasi

konsumen, hingga evaluasi dan penyusunan laporan pengujian obat dan

makanan.

2. Beberapa kegiatan yang dilakukan di Laboratorium Obat tradisional yaitu

pengenalan alat-alat laboratorium serta fungsi dan cara kerjanya. Melakukan

Identifikasi klorfeniramin maleat (CTM), parasetamol, dan piroxicam pada

obat tradisional sediaan padat dengan metode kromatografi lapis tipis.

3. Obat tradisional adalah bahan atau ramuan bahan yang berupa bahan

tumbuhan, bahan mineral ediaan sarian (galenik), atau campuran bahan

tersebut yang secara turun-temurun yang telah digunakan untuk pengobatan

berdasarkan pengalaman. Pada umumnya obat tradisional diracik dari

ramuan bahan tumbuh-tumbuhan, yang sering disebut dengan tanaman obat.

4. Pada identifikasi CTM menggunakan elusi fase gerak kloroform - metanol

(90 : 10) dan diklorometan – metanol - asam asetat glasial (90 : 10 : 10).

Pada skrining parasetamol menggunakan elusi etil asetat – kloroform –

39
amonia (80 : 10 : 10) dan kloroform – metanol (90 : 10). Pada skrining

piroxicam menggunakan elusi kloroform – metanol (90 : 10) dan etil asetat –

methanol – amonia (90 : 10 : 10).

5. Sampel obat jamu yang telah diidentifikasi tidak mengandung bahan kimia

obat CTM, parasetamol dan piroxicam.

B. Saran

Adapun saran yang diberikan yaitu pihak kampus agar memperhatikan

waktu yang tepat saat menurunkan mahasiswa di BPOM agar mahasiswa yang

melaksanakan PKL dapat fokus menimbah ilmu di Balai POM Kota Kendari.

40
DAFTAR PUSTAKA

Badan Pengawas Obat dan Makanan. 2001. Organisasi dan Tata Kerja Badan
Pengawas Obat dan Makanan. BPOM. Jakarta.

Ditjen, POM. 1995. Farmakope Indonesia. Edisi IV. Jakarta: Departemen


Kesehatan.

Kementrian Kesehatan RI. 2014. Farmakope Indonesia Edisi V. Jakarta.

Kementrian Kesehatan Indonesia. 2001. Keputusan Presiden Republik Indonesia


Nomor 103 Tahun 2001 Tentang Kedudukan, Fungsi, Kewenangan,
Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Lembaga Pemerintah Non
Departemen. Jakarta.

Munson, J. W. 1991. Analisis Farmasi Metode Modern. Surabaya: Airlangga


University Press.

Rohman, A. 2007. Kimia Farmasi Analisis : Kromatografi Lapis Tipis.


Yogyakarta : Pustaka Pelajar.

Rohman, A. 2009. Kromatografi Untuk Analisis Obat. Yogyakarta: Graha Ilmu.

Sastrohamidjojo, H. 1985. Kromatografi. Yogyakarta: Liberty.

Siregar, C.J.P. 2010. Teknologi Farmasi Sediaan Tablet. Dasar-Dasar Praktis.


Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.

41

Anda mungkin juga menyukai