Anda di halaman 1dari 22

TUGAS UNDANG UNDANG & ETIKA KESEHATAN PELANGGARAN PEMAMBAHAN BAHAN KIMIA OBAT DALAM OBAT TRADISIONAL

OLEH : Ketut Maryana Pratama A.A. Ria Asmara I Gusti Ayu Agung Septiari Ketut Sri Puspitasari M. Ivan Iswandi Ni Made Dwi Dianthy M Made Mandala Putra Angelia Putri Moeliono Adelia Viviandari Ni Putu Pricilia Andhika Dewi 0908505051 1008505039 1008505040 1008505041 1008505042 1008505044 1008505045 1008505046 1008505047 1008505048

JURUSAN FARMASI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS UDAYANA 2013

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penggunaan obat tradisional di Indonesia diketahui cenderung meningkat karena adanya isu back to nature serta anggapan masyarakat bahwa penggunaan tanaman obat atau obat tradisional relatif aman tanpa efek samping dan memiliki khasiat yang sama dengan obat sintesis. Salah satu jenis obat tradisional yang telah dikenal luas dan menjadi pilihan alternatif untuk pengobatan di Indonesia adalah jamu (Kumala-Sari, 2006; Dewoto, 2007). Obat tradisional didefinisikan sebagai bahan atau ramuan bahan yang berupa bahan tumbuhan, bahan hewan, bahan mineral, sediaan sarian (galenik), atau campuran dari bahan tersebut yang secara turun temurun telah digunakan untuk pengobatan, dan dapat diterapkan sesuai dengan norma yang berlaku di masyarakat (Menkes, 2007). Obat tradisional seara luas masih digunakan terutama di daerah pedesaan, dan dalam beberapa tahun terakhir tren back to nature membuat penggunaan obat tradisional mengalami peningkatan. Hal ini terlihat dari perkembangan produksi obat tradisional yang berasal dari 900 industri kecil dan 130 industri menengah, 69 diantaranya telah bersertifikat Good Traditional Medicine Manufacturing Practice (GTMMP). Sementara itu, tuntutan penggunaan obat tradisional oleh masyarakat yang semakin meningkat tidak diiringi dengan peningkatan mutu dari obat tersebut. Peningkatan mutu obat tradisional dapat dipengaruhi beberapa factor seperti terbatasnya dana serta standarisasi yang dirasa masih kurang, sehinga akan dapat memberi celah untuk beberapa produsen menambahkan zat kimia sintetis/bahan kimia obat untuk memberikan efek terapetik tertentu dari obat tradisional yang diproduksinya (Kepmenkes, 2007).

Penambahan bahan kimia obat ke dalam obat tradisional akan menyebabkan mutu dan keamanan obat tradisional akan menurun sehingga akan dapat membahayakan konsumen serta menghambat perkembangan industri obat tradisional. Berdasarkan uraian diatas, maka pada makalah ini dibahas mengenai perundang-undangan yang terkait dengan produksi obat tradisional, kasus yang terjadi, serta proses hukumnya di Indonesia. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan pendahuluan di atas, maka dapat dirumuskan masalah sebagai berikut: 1. Bagaimana perundang-undangan tentang obat tradisional di Indonesia? 2. Bagaimana penyimpangan produksi obat tradisional khususnya penambahan bahan kimia obat dalam obat tradisional? 3. Bagaimana proses hukum terkait dengan penyimpangan produksi obat tradisional? 1.3 Tujuan Adapun tujuan dari makalah ini adalah sebagai berikut: 1. Mengetahui peraturan perundang-undangan yang mengatur produksi obat tradisional di Indonesia 2. Mengetahui penyimpangan produksi obat tradisional tradisional khususnya penambahan bahan kimia obat dalam obat tradisional 3. Mengetahui proses hukum terkait dengan penyimpangan produksi obat tradisional.

BAB II PEMBAHASAN 2.1 Perundang-undangan Obat Tradisional Berdasarkan UU no. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan dan Kepmenkes NOMOR:661/MENKES/SK/VII/1994, obat tradisional didefinisikan sebagai bahan atau ramuan bahan yang berupa bahan tumbuhan, bahan hewan, bahan mineral, sediaan galenik atau campuran dari bahan-bahan tersebut, yang secara tradisional telah digunakan untuk pengobatan berdasarkan pengalaman. Beberapa bentuk sediaan obat tradisional adalah rajangan, serbuk, pil, dodol atau jenang, pastiles, kapsul, tablet, cairan obat dalam, sari jamu, parem, pilis, dan tapel, koyok, cairan obat luar, serta salep/krim. Pada Permenkes No. 246/Menkes/Per/V/1990 tersebut terdapat penjelasan mengenai persyaratan dan larangan bagi obat tradisional yaitu sebagai berikut: Pasal 23 Untuk pendaftaran Obat Tradisional dimaksud dalam Pasal 3 obat tradisional harus memenuhi persyaratan: a. Secara empirik terbukti aman dan bermanfaat untuk digunakan manusia; b. Bahan obat tradisional dan proses produksi yang digunakan memenuhi persyaratan yang ditetapkan; c. Tidak mengandung bahan kimia sintetik atau hasil isolasi yang berkhasiat sebagai obat; d. Tidak mengandung bahan yang tergolong obat keras atau narkotika. Pasal 39 (1) Industri Obat Tradisional atau lndustri Kecil Obat Tradisional dilarang memproduksi: a. segala jenis obat tradisional yang mengandung bahan kimia hasil isolasi atau sintetik yang berkhasiat obat;

b. obat tradisional dalam bentuk supositoria, intravaginal, tetes mata atau sediaan parenteral; c. obat tradisional dalam bentuk cairan obat dalam yang mengandung etanol dengan kadar lebih dari 1%. (2) lndustri Kecil Obat Tradisional dilarang memproduksi Obat Tradisional Lisensi. Pasal 40 Obat Tradisional tidak boleh mengandung bahan lain yang tidak tercantum dalam komposisi sebagaimana yang dilaporkan dalam permohonan pendaftaran. Pada Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia Nomor: HK.00.05.41.1384 tentang Kriteria dan Tata Laksana Pendaftaran Obat Tradisional, Obat Herbal Terstandar, dan Fitofarmaka disebutkan sebagai berikut: Pasal 34 (1) Obat tradisional, obat herbal terstandar dan fitofarmaka dilarang mengandung : a. bahan kimia hasil isolasi atau sintetik berkhasiat obat; b. narkotika atau psikotropika; c. bahan yang dilarang seperti tercantum pada Lampiran 14; d. hewan atau tumbuhan yang dilindungi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang undangan yang berlaku. (2) Obat tradisional dilarang dalam bentuk sediaan : a. intravaginal; b. tetes mata; c. parenteral; d. supositoria, kecuali digunakan untuk wasir.

(3) Obat tradisional, obat herbal terstandar dan fitofarmaka dalam bentuk sediaan cairan obat dalam tidak boleh mengandung etil alkohol dengan kadar lebih besar dari 1% (satu persen), kecuali dalam bentuk sediaan tingtur yang pemakaiannya dengan pengenceran. Pasal 4 Untuk dapat memiliki izin edar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 obat tradisional, obat herbal terstandar dan fitofarmaka harus memenuhi kriteria sebagai berikut : a. Menggunakan bahan berkhasiat dan bahan tambahan yang memenuhi persyaratan mutu, keamanan dan kemanfaatan / khasiat; b. Dibuat sesuai dengan ketentuan tentang Pedoman Cara Pembuatan Obat Tradisional yang Baik atau Cara Pembuatan Obat yang Baik yang berlaku; c. Penandaan berisi informasi yang lengkap dan obyektif yang dapat menjamin penggunaan obat tradisional, obat herbal dalam rangka pendaftaran. Pasal 35 (1) Pelanggaran terhadap ketentuan dalam peraturan ini dapat dikenai sanksi administratif berupa : a. peringatan tertulis; b. penarikan obat tradisional, obat herbal terstandar dan fitofarmaka dari peredaran termasuk penarikan iklan; c. penghentian sementara kegiatan pembuatan, distribusi, penyimpanan, pengangkutan dan penyerahan obat tradisional, obat herbal terstandar dan fitofarmaka dan impor obat tradisional; d. pembekuan dan atau pencabutan izin edar obat tradisional, obat herbal terstandar dan fitofarmaka. terstandar dan fitofarmaka secara tepat, rasional dan aman sesuai dengan hasil evaluasi

(2) Selain dikenai sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikenai sanksi pidana sesuai ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku. 2.2 Bahan Obat Kimia dalam Obat Tradisional 2.2.1 Obat Tradisional (OT) Obat tradisional bermanfaat untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat dalam upaya preventif dan promotif bila digunakan secara tepat dan dibuat oleh apoteker yang profesional. Namun dalam pelaksanaannya obat tradisional yang beredar dipasara disalahgunakan dengan penambahan zat kimia/obat keras dengan dosis tidak terukur untuk mempercepat efek farmakologisnya, tanpa melihat efek samping yang dapat terjadi akibat dosis yang tidak tepat dan belum terdapatnya uji klinis. Berdasarkan UU No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan dan Kepmenkes NOMOR:661/MENKES/SK/VII/1994, obat tradisional didefinisikan sebagai bahan atau ramuan bahan yang berupa bahan tumbuhan, bahan hewan, bahan mineral, sediaan galenik atau campuran dari bahan-bahan tersebut, yang secara tradisional telah digunakan untuk pengobatan berdasarkan pengalaman. Dalam Pasal 7 SK Nomor 007 Tahun 2012 Tentang Registrasi Obat Tradisional, menyatakan bahwa obat tradisional dilarang mengandung bahan kimia obat yang merupakan hasil isolasi atau sintetik berkhasiat obat.
2.2.2 Bahan Obat Kimia (BKO)

Kini obat tradisional, termasuk herbal, dengan mudah dapat kita temukan disekitar kita, mulai dari herbal dan obat tradisional yang diracik sendiri oleh penjualnya sampai berbagai jenis obat tradisional yang diracik dan diproduksi secara modern oleh pabrik besar. Untuk mendapatkan obat tradisional yang aman dan berkhasiat kita perlu jeli

karena seringkali bebarapa bahan berbahaya yang diselipkan didalamnya. Hal ini mengingat penelitian dan pengawasan tentang obat tradisional belum bnyak dilakukan sebagaimmana obat-obatan medis (obat apotek). Oleh karena itu, bahan berbahya sering ditemukan didalam obat tradisional. Selain itu, sering pula kita temukan obat tradisional palsu ataupun obat tradisional merek tertentu yang diproduksi oleh produsen lain yang tidak bertanggungjawab. Beberapa bahan berbahaya yang sering ditemukan dalam sejumlah obat tradisional diantaranya: Beberapa jenis obat tradisional dinilai berbahaya karena mengandung bahan kimia obat (BKO). Menurut temuan BPOM, obat tradisional yang sering dicemari BKO umumnya adalah obat tradisional pada beberapa jenis berikut ini: Klaim kegunaan obat tradisional Pegal linu/ encok/ rematik BKO yang sering ditambahkan Fenilbutason, antalgin, diklofenak sodium, piroksikam, parasetamol, Pelangsing Peningkat stamina/ obat kuat pria Kencing manis/ diabetes Sesak napas/ asma prednisone, atau deksametason Sibutramin hidroklorida Sildenafil sitrat Glibenklamid Teofilin

Berikut ini penjelasan selengkapnya dari Sembilan obat kimia dibalik kemanjuran obat tradisional palsu yang dirazia oleh BPOM. a. Silbutamin hidroklorida Bahan ini dicampurkn kedalam jamu pelangsing. Bahan ini merupakan obat keras yang hanya boleh digunakan dengan resep dokter, dengan dosis maksimal 15 mg per hari. Penggunaan silbutamin hidroklorida dosis tinggi beresiko meningkatkan tekanan darah (hipertensi) dan denyut jantung serta sulit tidur. Bahan ini tidak boleh

digunakan sembarangan oleh penderita gagal jantung, stroke dan dneyut jantung yang tidak beraturan. b. Sildenafil sitrat Bahna ini diampurkan dalam jamu kuat pria. Obat ini lebih dikenal dengan patennya, yakni Viagra. Obat in merupakan obat keras yang hanya boleh digunakan dengan resep dokter untuk mengatasi gangguan ereksi. Penggunaan yang kurang tepat dapat mengakibatkan gangguan penglihatan, gangguan pencernaan, sakit kepala, reaksi hipersensitifitas, ereksi lebih dari 4 jam bahkan kematian. Obat ini tidak boleh digunakan untuk sesorang yang mengalami gagal jantung,, stroke, penderita tekanan darah dibawah 90/50 mmHg. Sildenafil sitrat memiliki efek sampng timbulnya sakit kepala, pusing, dyspepsia, mula, nyeri perut, gangguan penglihatan, rhinitis (radang hidung), infark miokard, nyeri dada, palpitasi (denyut jantung cepat) dan kematian. c. Siproheptadin hidroklorida Bahn ini dicampurkan dalam jamu pelangsing dan merupakan obat antialergi. Overdosis dapat menyebabkan depresi, mulut kering, diare dan berkurangnya sel darah putih. Efek samping siproheptadin hidroklorida diantaranya mual, muntah, mulut kering, diare, anemia hemolitik, leucopenia, agranulositosis dan trombositopenia. d. Fenilbutason Bahan ini dicampurkan dalam jamu pegal linu, rematik dan asam urat serta merupakan jamu kortikosteroid yang berperan mengatasi peradangan. Penggunaan yang kurang tepat dapat menyebabkan mual, muntah, ruam kulit, muka sembap (moon face), bengkaka tubuh karena penumpukan cairan (edema), perdarahan lambung, hepatitis, radang

ginjal, gagal ginjal dan berkurangnya jumlah leukosit (leucopenia). Fenilbutason memiliki efek samping yang menyebabkan mual, muntah, ruam kulit, retensi cairan dan elektrolit (edema), perdarahan lambung, nyeri lambung dengan perdarahan atau perforasi, reaksi hipersensitifitas, hepatitis, nefritis, gagal ginjal, leucopenia, anemia aplastik, agranulositosis, dan lain-lain. e. Prednison Bahan ini dicampurkan dalam jamu pegal linu, rematik, asam urat, sesak napas. Hampir sama seperti fenilbutason, prednisone juga termsuk golongan kortikosteroid untuk mengatasi peradangan. Prednison memiliki efek samping menyebabkan moon face, gangguan saluran cerna seperti mual dan tukak lambung, gangguan musculoskeletal seperti osteoporosis, ganguan endokrin seperti gangguan haid, gangguan neuropsikiatri seperti ketergantungan psikis, depresi dan insomnia, gangguan penglihatan seperti glaucoma dan ganggua keseimbangan elektrolit dan cairan. f. Asam mefenamat Bahna ini dicampurkan dalam jamu pegal linu dan asam urat dan erupakan obat analgesic yang diresepkan oleh dokter. Obat ini menimbulkan trombositopenia efek samping mengantuk, trombosit diare, dalam ruam darah), kulit, anemia (berkurangnya

hemolitik dan kejang. bat ini tidak boleh dikonsumsi oleh penderita tukak lambung atau usu, asma dan gangguan ginjal. g. Metampiron Bahan ini dicampurkan dalam jamu pegal linu dan asam urat dan merupakan obat analgesic yang diresepka oleh dokter. Obat ini

10

menimbulkan efek samping berupa gangguan saluran cerna seperti mual, perdarahan lambung, rasa terbakar, seta gangguan system saraf seperti tinnitus (rasa berdenging) dan neuropati, gangguan darah, agranulositosis, gangguan ginjal, syok, kematian dan lain-lain. h. Teofilin Bahan ini biasa dicampurkan dalam jamu sesak napas dan merupakan obat untuk melonggarkan saluran pernapasan (bronkodilator). Obat yang dulu digunkan untuk mengobati asma telah ditarik dari peredaran dan menjadi obat bebas terbatas karena menimbulkan efek samping yang berbahaya diantaranya mual, sakit kepala, insomnia, denyut jantung yang cepat dan tidak teratur, palpitassi, mual, gangguan saluran cerna, sakit kepala dan insomnia. i. Parasetamol Bahan ini biasa dicampurkan dalam jamu pegal linu danasam urat. Nama lainnya adalah asetaminofen. Obat ini merupakan obat analgesic (penghilang nyeri) dan antipiretik (penurun panas). Dalam dosis normal, parasetamol tidak mengganggu aliran darah atau ginjal. Namun penggunaan dalam waktu lama dapat merusak organ hati. (Nurheti, 2007).

2.3 Kasus dan Pembahasan 2.3.1 Kasus BKO OT Dihimpun dari berita elektronik Detik dan Kompas yang memberitakan bahwa sampai saat ini masih banyak jamu kemasan yang mencampurkan bahan kimia obat ke dalam jamu. Kasus ini sebenarnya telah terjadi sejak lama, tetapi peredaran jamu

11

yang mengandung zat kimia selalu ada dengan nama yang lain. Hai ini menjadi bukti bahwa para produsen jamu yang menyatakan menggunakan zat alami (semacam herbal) dalam produknya tidak percaya diri dengan kasiat jamu yang diproduksinya, sehingga merasa perlu menambahkan zat kimia yang mempunyai efek lebih cepat. Obat tradisional yang dicampur dengan bahan kimia obat juga tak kalah berbahayanya. Bila dikonsumsi lama bisa menimbulkan sakit liver, gagal ginjal, tukak lambung sampai muntah darah, dan juga pecahnya pembuluh darah di otak. Karena sebetulnya penggunaan obat kimia harus atas pengawasan dokter dan tidak boleh digunakan untuk jangka panjang. Yayasan Pemberdayaan Konsumen Kesehatan Indonesia (YPKKI) dengan Marius Widjajarta sebagai ketuanya melakukan survei lapangan di 5 kota yaitu Jakarta, Bandung, Semarang, Yogyakarta, dan Surabaya. Mereka melakukan survei produk yang sudah di-public warning oleh Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) pada 2001-2012, namun kenyataannya masih banyak beredar jamu yang berbahaya di pasaran. Menurut Marius Widjajarta, bahan kimia yang terkandung di jamu berbahaya itu misalnya yang termasuk golongan analgetik dengan resep dokter. YPKKI juga menemukan kandungan obat pelangsing yang sudah ditarik BPOM pada 18 Oktober 2010 di dalam produk jamu, dan bahkan menemukan obat-obatan dari China yang mengandung bahan kimia obat. Di daerah lain, Dinas Kesehatan Wonosobo, Jawa Tengah mengingatkan warga terkait peredaran 29 merk obat tradisional yang mengandung bahan kimia obat (BKO). Jamu-jamu tersebut dinilai berbahaya bahkan jika digunakan tidak dengan dosis yang benar bisa menyebabkan kematian. Kepala Dinas Kesehatan Wonosobo dr. Okie Hapsoro, Selasa (19/2/2013) mengatakan hal tersebut menindaklanjuti peringatan publik dari Balai Besar Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) Republik Indonesia. Peringatan tersebut terkait peredaran obat tradisional dan suplemen makanan yang mengandung BKO. "Obat tradisional maupun suplemen makanan yang mengandung BKO memiliki

12

resiko dan efek samping negatif bila dikonsumsi tanpa pengawasan dokter. Beberapa contoh zat kimia yang memiliki efek samping di antaranya adalah Sibutramin Hidroklorida," jelasnya. 2.3.2 Kajian Pelanggaran Etika dan Undang-Undang Pelanggaran-pelanggaran yang terkait mengenai proses kasus yang tercantum di atas adalah: 1. Persyaratan usaha industri obat tradisional dan usaha industri kecil obat tradisional (SK NOMOR 007 TAHUN 2012 TENTANG REGISTRASI OBAT TRADISIONAL). Pasal 7 1. Obat tradisional dilarang mengandung: a. Etil alkohol lebih dari 1%, kecuali dalam bentuk sediaan tingtur yang pemakaiannya dengan pengenceran; b. bahan kimia obat yang merupakan hasil isolasi atau sintetik berkhasiat obat; c. narkotika atau psikotropika; dan/atau d. bahan lain yang berdasarkan pertimbangan kesehatan dan/atau berdasarkan penelitian membahayakan kesehatan. 2. Bahan lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d ditetapkan dengan Peraturan Kepala Badan. Analisa Kasus: Dalam kasus, ditemukan obat tradisional yang mengandung BKO di pasaran. Obat tradisional tersebut dicampur dengan campuran bahan kimia obat yang memiliki khasiat obat, dimana obat tradisional seharusnya memiliki efek samping yang lebih ringan dibandingkan obat sintetik. Dilihat dari kasus tersebut, maka obat

13

tradisional yang mengandung bahan kimia obat tersebut telah melanggar pasal 7 ayat 1 sesuai peraturan diatas.

2. UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen Pasal 4a Hak konsumen adalah : Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa. Analisa Kasus: Berdasarkan kasus tersebut, beredarnya obat tradisional yang mengandung BKO dengan jelas melanggar hak konsumen sebagaimana yang tercantum pada Pasal 4a di mana memproduksi obat tradisional bercampur bahan kimia obat dapat membahayakan keselamatan konsumen.

3. Peraturan Pemerintah No. 51 Tahun 2009 tentang pekerjaan kefarmasian Bagian Ketiga mengenai pekerjaan kefarmasian dalam produksi sediaan farmasi Pasal 7 ayat (1) Pekerjaan kefarmasian dalam produksi sediaan farmasi harus memiliki apoteker penanggung jawab Pasal 9 ayat (2) Industri obat tradisional dan pabrik kosmetika harus memiliki sekurang-kurangnya 1 (satu) orang apoteker sebagai penanggung jawab Analisa Kasus:

14

Dalam kasus tersebut, beredarnya obat tradisional mengandung BKO telah melanggar PP 51/2009 Pasal 7 ayat (1) dan Pasal 9 ayat (2). Dimana sebuah pabrik yang memproduksi pabrik wajib mempekerjakan sekurang-kurangnya 1 apoteker sebagai penanggung jawab produksi. Jika hal ini tidak dipenuhi dapat menyebabkan produksi tersebut tidak memenuhi persyaratan CPOTB (Cara Pembuatan Obat Tradisional yang Baik). 4. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 006 tahun 2012 Tentang Industri dan usaha obat tradisional Pasal 33 Setiap industri dan usaha obat tradisional berkewajiban: a. Menjamin keamanan, khasiat/manfaat dan mutu produk obat tradisional yang dihasilkan; b. Melakukan penarikan produk obat tradisional yang tidak memenuhi ketentuan keamanan, khasiat/manfaat dan mutu dari peredaran; dan c. Memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan lain yang berlaku. Pasal 34 (1) Setiap IOT dan IEBA wajib memiliki sekurang-kurangnya 1 (satu) orang Apoteker Warga Negara Indonesia sebagai Penanggung Jawab. (2) Setiap UKOT wajib memiliki sekurang-kurangnya 1 (satu) orang Tenaga Teknis Kefarmasian Warga Negara Indonesia sebagai Penanggung Jawab yang memiliki sertifikat pelatihan CPOTB. Pasal 37 (1) Setiap industri dan usaha obat tradisional dilarang membuat:

15

a. segala jenis obat tradisional yang mengandung bahan kimia hasil isolasi atau sintetik yang berkhasiat obat; b. obat tradisional dalam bentuk intravaginal, tetes mata, sediaan parenteral, supositoria kecuali untuk wasir; dan/atau c. obat tradisional dalam bentuk cairan obat dalam yang mengandung etanol dengan kadar lebih dari 1% (satu persen). Analisa Kasus: Berdasarkan kasus, UKOT atau IOT yang memproduksi obat tradisional yang mengandung BKO telah melanggar PerMenKes Nomor 006 Tahun 2012 ini karena tidak menjamin keamanan produk yang dihasilkan dan menambahkan bahan kimia hasil isolasi atau sintetik yang berkhasiat obat ke dalam obat tradisional. 2.3.3 Proses Hukum Penyimpangan Produksi Obat Tradisional oleh BPOM dan POLRI Sebagai institusi yang mempunyai tugas pokok melakukan pengawasan terhadap obat dan makanan, termasuk dalam kasus OT-BKO, Badan POM akan menindaklanjuti setiap pelanggaran di bidang obat dan makanan dengan pemberian sanksi administratif dan sanksi pro-justitia / penyidikan. Apabila dalam pengawasan rutin oleh bagian Pemdik BPOM atau berdasarkan laporan masyarakat ditemukan suatu kasus, maka BPOM dapat memberikan sanksi administratif berupa pemberian surat teguran, surat peringatan, pemusnahan produk, sampai pencabutan izin. Pemilik sarana juga akan diminta membuat surat pernyataan yang menyebutkan bahwa pemilik tidak akan mengulangi perbuatan melanggar hukum lagi, dan jika mengulangi perbuatannya maka pemilik bersedia untuk diajukan ke pengadilan untuk proses pro justisia.

16

Sarana-sarana yang bermasalah seperti toko jamu tersebut biasanya diawasi dan diperiksa kembali dalam kurun waktu minimal enam bulan. Jika pada saat pemeriksaan ulang yang dilakukan, tidak ditemukan pelanggaran lagi, maka kasus tidak dilanjutkan. Namun, jika pada saat pemeriksaan ulang masih ditemukan pelanggaran, maka pemilik akan diberikan sanksi hukum atau pro justisia. Petugas Pemdik BPOM yang melakukan sidak pada saat itu dapat melakukan tindakan tegas. Petugas dapat melakukan penanganan TKP dengan menggeledah dan menyita barang bukti dari sarana tersebut. Tindakan-tindakan yang dilakukan nantinya didokumentasikan dalam suatu Laporan Kejadian yang merupakan suatu laporan tertulis yang dibuat oleh petugas tentang adanya suatu perstiwa yang diduga sebagai tindak pidana, baik yang ditemukan sendiri maupun melalui pemberitahuan yang disampaikan oleh seseorang karena hak atau kewajiban berdasarkan undang-undang. Laporan Kejadian ini menjadi salah satu dasar dalam membawa kasus ini ke pengadilan. Laporan Kejadian ini nantinya akan diterima oleh Kepala Balai Besar POM untuk ditindaklanjuti. Kepala Balai Besar POM akan mengeluarkan Surat Perintah Dimulainya Penyidikan kepada PPNS BPOM. Dengan adanya surat perintah ini, penyidikan terhadap suatu kasus akan dimulai. Dalam pelaksanaan tugas penyidikan ini, PPNS BPOM berada di bawah koordinasi dan pengawasan penyidik POLRI. Jika perkara yang ditangani PPNS BPOM menyangkut beberapa kewenangan atau menyangkut undang-undang diluar kewenangannya maka dapat dilakukan pelimpahan penyidikan kepada penyidik POLRI. PPNS dan penyidik POLRI memantau proses hukum selanjutnya sampai vonis yang ditetapkan (BPOM RI, 2012). Adapun tahapan penyidikan kasus yang melibatkan kerjasama antara penyidik BPOM dengan penyidik POLRI digambarkan dalam skema berikut:

17

Gambar 1. Skema Penyidikan Tindak Pidana Obat dan Makanan (BPOM RI, 2012) Berdasarkan skema di atas, setelah dibuat Laporan Kejadian maka tahap selanjutnya dapat dilakukan investigasi awal yang merupakan suatu kegiatan yang bertujuan untuk mencari dan mengumpulkan bukti permulaan terhadap adanya dugaan suatu tindak pidana untuk dapat mengungkap kasuskasus tindak pidana di bidang obat dan makanan, yang bermuara pada diketahuinya aktor utama, modus operandi dan luas jaringannya. Investigasi ini dilakukan dengan menggunakan SPDP (Surat Perintah Dimulainya Penyidikan) yang dikeluarkan Kepala Balai Besar POM seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Dalam Keputusan Bersama Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan No IIK.00.04.72.02578 tanggal 16 Agustus 2002 Pasal 5 Ayat 1 disebutkan bahwa dalam hal ditemukan adanya kasus yang berindikasikan tindak pidana, maka BPOM dapat menangani sesuai lingkup tugasnya dan dalam hal-hal tertentu BPOM dapat bersama POLRI atau menyerahkan penanganan sepenuhnya kepada POLRI.

18

Penyidikan lebih lanjut dapat dilakukan melalui upaya paksa seperti pemanggilan, penangkapan dan penahanan (dengan bantuan POLRI), serta penggeledahan dan penyitaan. Dari hasil investigasi, dilakukan pemeriksaan terhadap saksi, ahli, maupun tersangka. Tahap akhir dari penyidikan adalah penyelesaian dan pengiriman berkas perkara. Berkas perkara memuat iktisar atau kesimpulan kasus yang ditangani yang dituangkan dalam resume yang telah ditentukan penulisannya. Jika kesimpulan dari penyidikan tersebut tidak menunjukkan bukti yang kuat, dianggap bukan merupakan suatu tindak pidana, maupun harus dihentikan demi hukum, maka penyidik BPOM dapat mengeluarkan surat penghentian penyidikan (SP3). Namun, jika dari hasil penyidikan disimpulkan bahwa kasus tersebut merupakan suatu tindak pidana maka kasus dapat dilimpahkan kepada kejaksaan melalui Korwas PPNS. Langkah selanjutnya dilakukan penyerahan perkara yaitu pelimpahan tanggung jawab suatu perkara dari penyidik ke penuntut umum. Jika berkas perkara dirasa belum lengkap (P-19), maka dilakukan investigasi kembali untuk melengkapi berkas. Jika berkas perkara telah lengkap (P-21), maka tersangka dan barang bukti diserahkan ke pengadilan untuk menjalani proses hukum.

19

BAB III PENUTUP 3.1 Kesimpulan 3.1.1 Peraturan perundang-undangan yang mengatur produksi obat tradisional di Indonesia adalah Permenkes No. 246/Menkes/Per/V/1990 pasal 23, 39, dan 40 yang memuat penjelasan mengenai persyaratan dan larangan bagi obat tradisional dan Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia Nomor: HK.00.05.41.1384 pasal 34, 4, dan 35 yang memuat penjelasan tentang Kriteria dan Tata Laksana Pendaftaran Obat Tradisional, Obat Herbal Terstandar, dan Fitofarmaka. 3.1.2 Penyimpangan produksi obat tradisional khususnya penambahan bahan kimia obat dalam obat tradisional di Indonesia telah menyalahi berbagai macam peraturan perundang-undangan diantaranya SK Nomor 007 Tahun 2012 tentang Registrasi Obat Tradisional Pasal 7, UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen Pasal 4a, PP No. 51 Tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian Pasal 7 Ayat 1 dan Pasal 9 Ayat 2, dan Peraturan Menkes RI Nomor 006 tahun 2012 tentang Industri dan usaha obat tradisional pasal 33 dan 37. 3.1.3 Proses Hukum Penyimpangan Produksi Obat Tradisional ditangani oleh BPOM dan POLRI. 3.2 Saran 3.2.1 Diperlukan peningkatan kesigapan dan kewaspadaan masyarakat serta badanbadan terkait yang berwenang seperti BPOM dan POLRI untuk mencegah serta menggagalkan peredaran Obat Tradisional (OT) yang mengandung Bahan Kimia Obat (BKO).

20

3.2.2

Diperlukan sanksi hukum yang tegas bagi para produsen yang memproduksi sediaan OT (Obat Tradisional) yang mengandung BKO (Bahan Kimia Obat) untuk memberikan efek jera pada produsen tersebut.

21

Daftar pustaka BPOM RI. 2012. Modul Materi Ujian Perpindahan Jabatan Fungsional Pengawas Farmasi dan Makanan Terampil ke Ahli Pegawai Negeri Sipil (PNS) Badan POM RI, Mata Pelajaran : Konsep Dasar Penyidikan. Jakarta: BPOM. Dewoto, H. R. 2007. Pengembangan Obat Tradisional Indonesia Menjadi Fitofarmaka. Maj Kedokt Indon, Volum: 57, Nomor: 7, Juli 2007 Kepmenkes, 2007. Keputusan Menteri kesehatan republic Indonesia Nomor 381/menkes/SK/III/2007 tentang Kebijakan Obat Tradisional MenKes RI. 2007. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 381/Menkes/SK/III/2007 Tentang Kebijakan Obat Tradisional Nasional . Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Kumala-sari, l. O. R. 2006. Pemanfaatan obat tradisional dengan pertimbangan manfaat dan keamanannya. Majalah ilmu kefarmasian, vol. Iii, no.1, april 2006, 01 07. ISSN : 1693-9883. MenKes RI. 2012. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 006 Tahun 2012 Tentang Industri dan Usaha Obat Tradisional. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia MenKes RI. 2012. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 007 Tahun 2012 Tentang Registrasi Obat Tradisional. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia Presiden RI . 2009. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 51 Tahun 2009 Tentang Pekerjaan Kefarmasian. Jakarta: Negara Republik Indonesia Undang - Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen Yuliarti, Nurheti. 2007. Sehat, Cantik, Bugar dengan Herbal dan Obat Tradisional . Jakarta: Penerbit Andi

22

Anda mungkin juga menyukai