Anda di halaman 1dari 137

i

ISBN: 978-602-52060-4-7

ANALISIS DATA KUALITATIF


ILMU PENDIDIKAN TEOLOGI

Oleh: Hengki Wijaya

© Sekolah Tinggi Theologia Jaffray


Jalan Gunung Merapi No. 103 Makassar
Sulawesi Selatan, Indonesia
Telepon : 0411-3624129
E-mail : sttjaffraymakassar@gmail.com
Website: www.sttjaffray.ac.id

Setting/layout: Hengki Wijaya


Desain Sampul: Rizky P. Satria

Dilarang mereproduksi sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa


izin tertulis dari penulis dan penerbit.

ii
KATA PENGANTAR

Pujian dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang


Maha Esa atas segala kemurahan dan anugerah-Nya yang Dia
berikan kepada hamba-Nya ini sehingga buku ajar ini untuk mata
kuliah Metodologi Penelitian Teologi/Sosial secara khusus analisis
data kualitatif dapat diselesaikan dengan baik. Semua ini terjadi
atas dukungan doa, hikmat yang diberikan oleh Yang Maha Kuasa.

Terima kasih yang sedalam-dalamnya penulis sampaikan


kepada Bapak Prof. Dr. Sapto Haryoko, M.Pd yang telah
memberikan masukan dan motivasi yang membangun bagi penulis
untuk menyelesaikan buku ajar ini dengan baik. Terima kasih
kepada Ketua Sekolah Tinggi Filsafat Theologia Jaffray Makassar,
bapak Dr. Peniel C. D. Maiaweng yang memberikan kesempatan
kepada saya untuk berkarya melalui penulisan buku. Terima kasih
juga untuk mahasiswa STFT Jaffray Makassar dan mahasiswa S3
Ilmu Pendidikan angkatan 2017.

Kiranya buku ajar ini bermanfaat bagi semua pembaca,


khususnya bagi insan akademis yang saya banggakan. Doa
penulis, buku ini memberikan berkat yang melimpah bagi yang
membacanya.

Makassar, 10 Juni 2018

Penulis,

Hengki Wijaya, M.Th

iii
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1.1. Pembatasan Masalah Dalam Penelitian


Kuantitatif 4
Gambar 1.2. Menentukan Fokus (satu domain) 5
Gambar 2.1. Situasi Sosial (Social Situation) 10
Gambar 2.2. Model Generalisasi Penelitian Kualitatif.
Sampel Representatif Hasilnya
Digeneralisasikan Ke Populasi 11
Gambar 2.3. Model Generalisasi Penelitian Kualitatif.
Sampel Purposive Hasil Dari A Dapat
Ditransferkan Hanya Ke B, C, D 12
Gambar 2.4. Proses Pengambilan Sampel Sumber Data
Dalam Penelitian Kualitatif, Purposive
Dan Snowball 19
Gambar 3.1. Macam-macam Teknik Pembangkitan Data 24
Gambar 3.2. Macam-macam Teknik Observasi 30
Gambar 3.3. Hubungan antara tahap penelitian dengan
Waktu Yang diperlukan untuk observasi 37
Gambar 3.4. Triangulasi “Teknik” Pengumpulan Data
(Bermacam-Macam Cara Pada Sumber Yang
Sama) 48
Gambar 3.5. Triangulasi “Sumber” Pengumpulan Data.
(Satu Teknik Pengumpulan Data Pada
Bermacam-Macam Sumber Data A, B, C) 48
Gambar 4.1. Komponen Dalam Analisis Data (Flow Model) 55
Gambar 4.2. Komponen Dalam Analisis Data (Interactive
Model) 55
Gambar 4.3. Data Display Menggunakan Diagram Tulang
Ikan, Tentang Beberapa Kesalahan Yang
Memengaruhi Reject 59
Gambar 4.4. Analisis Data Kualitatif Model Spradley (1980) 66
Gambar 4.5. Elemen dalam Domain 68
Gambar 6.1. Uji Keabsahan Data dalam Penelitian Kualitatif 115
Gambar 6.2. Uji Kredibilitas Data Dalam Penelitian Kualitatif 116
Gambar 6.3. Triangulasi Dengan Tiga Sumber Data 119
Gambar 6.4. Triangulasi Dengan Tiga Teknik Pengumpulan 120
Gambar 6.5. Triangulasi Dengan Tiga Waktu Pengumpulan
Data 120

iv
DAFTAR ISI

Judul Buku i
Kata Pengantar iii
Daftar Gambar iv
Daftar Isi v

Bab 1 Masalah Dan Fokus Dalam Penelitian Kualitatif 1


A. Masalah dalam Penelitian Kualitatif 1
B. Fokus penelitian 3

Bab 2 Populasi dan Sampel 9


A. Pengertian Populasi dan Sampel 9
B. Teknik Pengambilan Sampel 17

BAB 3 Instrumen Dan Pembangkitan Data 21


A. Instrumen Penelitian 21
B. Pembangkitan Data 24
1. Pembangkitan Data dengan Observasi 27
2. Pembangkitan Data dengan Wawancara 36
3. Pembangkitan Data dengan Dokumen 46
4. Triangulasi 47

BAB 4 Teknik Analisis Data 51


A. Pendahuluan 51
B. Proses Analisis Data 53
1. Analisis Sebelum di Lapangan 53
2. Analisis Model Miles and Huberman 54
3. Analisis Data Model Spradley 60
4. Studi Kasus 71
5. Analisis Life Story 75
6. Analisis Data Kualitatif Grounded Theory 79
7. Focus Group Discussion 82
8. Fenomenologi 86
9. Analisis Wacana 89
10. Teori Penafsiran Teks (Hermeneutik) 91

v
11. Hermeneutik dalam Alkitab 94
12. Analisis Data Melalui NVivo Queries 105

BAB 5 Prosedur Analisis Data Kualitatif 109


A. Prosedur Analisis Fenomenologi 109
B. Prosedur Analisis Struktural 110
C. Prosedur Analisis Etnografi 111
D. Prosedur Membuat Model Nvivo 112

Bab 6 Validitas (Transferabilitas) Reliabilitas (Dependabilitas),


Objektivitas (Konfirmabilitas) 113
A. Pengertian 113
B. Pengujian Validitas dan Reliabilitas Penelitian
Kualitatif 115
1. Uji Kredibilitas 115
2. Pengujian Transferability 123
3. Pengujian Dependability 123
4. Pengujian Konfirmability 124

Daftar Pustaka 125

Riwayat Hidup 129

vi
Bab 1
Masalah Dan Fokus Dalam
Penelitian Kualitatif

A. Masalah dalam Penelitian Kualitatif

Masalah (problem) adalah persoalan yang harus dipecahkan


atau diperoleh solusi untuk menyelesaikannya. Masalah-masalah
itu bisa saja sudah muncul dan tampak terlihat oleh mata semua
orang seperti isu-isu, kesulitan-kesulitan, fenomena-fenomena, dan
perilaku-perilaku masa kini. Masalah adalah merupakan
penyimpangan antara yang seharusnya dengan yang terjadi.

Setiap penelitian yang dilakukan oleh peneliti apakah itu


penelitian kuantitatif maupun kualitatif selalu dimulai dari suatu
masalah. Masalah itu terdapat di lapangan dan tidak diciptakan oleh
peneliti supaya ada masalah. Namun terdapat perbedaan yang
mendasar antara “masalah” dalam penelitian kuantitatif dan
“masalah” dalam penelitian kualitatif. Kalau dalam penelitian kuan-
titatif, “masalah” yang dapat dipecahkan melalui penelitian harus
jelas, spesifik, dan dianggap tidak berubah, tetapi dalam penelitian
kualitatif “masalah” yang dibawa oleh peneliti masih remang-
remang, bahkan gelap, kompleks, dan dinamis. Oleh karena itu,
“masalah” dalam penelitian kualitatif masih bersifat sementara,
tentatif, dan akan berkembang atau berganti setelah peneliti berada
dilapangan (Sugiyono, 2014). Oleh karena itu, istilah “latar belakang
masalah” yang digunakan dalam penelitian kuantitatif berbeda
dengan pengertian yang digunakan dalam penelitian kualitatif.
Dalam penelitian kualitatif digunakan istilah “latar”. Peneliti
memasuki lapangan dapat saja masalahnya tidak berubah (tetap),
bisa berkembang, dan bisa saja masalah diganti. Dengan demikian,
latar penelitian kualitatif dapat saja berkembang dan berganti
setelah peneliti melaksanakan penelitiannya.

1
Dalam usulan penelitian, sebaiknya masalah tersebut perlu
ditunjukkan dengan data. Data tentang masalah bisa berasal dari
dokumentasi hasil penelitian, pengawasan, evaluasi, pengamatan
pendahuluan, dan pernyataan orang-orang yang dapat dipercaya.
Namun perlu diingat bahwa masalah dalam penelitian kualitatif
ditampilkan apa adanya tanpa ada intervensi data penelitian dan
pengkondisian data di lapangan (setting). Hal ini yang menyebab-
kan peneliti dapat terjebak ke dalam penelitian kuantitatif padahal
sesungguhnya yang dikehendaki adalah penelitian kualitatif.

Masalah dalam penelitian kualitatif yang disebut “latar” harus


menghindari data-data statistika, istilah-istilah yang dapat dimaknai
lebih mengarah kepada penelitian kuantitatif, dan masalah-masalah
yang unik. Masalah-masalah yang unik adalah masalah-masalah
yang tidak biasa dalam kehidupan sosial masyarakat, masalah yang
timbul akibat perubahan sosial. Adanya masalah-masalah yang
belum terjawab dengan penyajian angka-angka dalam studi sosial
yaitu sulitnya mengenali kondisi sosial yang terjadi. Banyak angka-
angka statistika yang tidak sesuai dengan perkiraan sebelumnya,
banyak fenomena sosial yang tidak dapat diramalkan hanya dengan
angka-angka statistika, sebab fenomena sosial dapat berubah
dengan cepat, dan dipengaruhi oleh banyak faktor. Perilaku sosial
manusia sangat sulit diramalkan hanya dengan melihat
kecenderungan angka yang ada, sementara pemaknaan budaya
lokal, faktor sosiologis, dan pemaknaan budaya global menjadi
sangat dominan.

Sebagai contoh dalam dunia hukum, sesuatu yang benar


menjadi betul-betul benar, karena kebanyakan orang mengatakan
benar. Masalah hukum sebagai studi-studi ilmu sosial telah
bergeser dari pemahaman positivistik-normatif ke arah positivistik-
sosiologis di mana makna memegang peran yang sangat penting.
Dalam studi-studi hukum kontemporer, makna kebenaran tidak saja
dikonstruksi berdasarkan hukum positif, namun juga diwarnai oleh
hegemoni para elite penguasa yang berdiri di samping kapitalis.
Walaupun bukan satu-satunya elite dan kapitalis yang memiliki
kapasitas menjadi penentu kebenaran menjadi realitas yang tak
bisa dikesampingkan sementara kebenaran hukum-hukum positif
juga menjadi pegangan masyarakat secara luas. Oleh karena itu,
banyak orang mulai bertanya-tanya, mungkinkah kebenaran hukum
positif lepas dari kenyataan sosiologis, mungkinkah hukum positif
tidak ada hubungan dengan rasa keadilan yang ada di masyarakat

2
itu sendiri. Jawabannya selalu ada pada bagaimana sesungguhnya
persoalan-persoalan itu dilihat tidak sekadar hukum objektif-
positivistik akan tetapi lebih kepada jawaban yang bermakna
sosiologis (Bungin, 2015).

Penelitian kualitatif yang merubah masalah atau ganti judul


penelitiannya setelah memasuki lapangan penelitian atau setelah
selesai, merupakan peneliti kualitatif yang lebih baik, karena ia
dipandang mampu melepaskan apa yang telah dipikirkan
sebelumnya, dan selanjutnya mampu melihat fenomena secara
lebih luas dan mendalam sesuai dengan apa yang terjadi dan
berkembang pada situasi sosial (Sugiyono, 2014).

Pengusulan proposal penelitian sebaiknya masalah tersebut


perlu ditunjukkan dengan data. Data penelitian kualitatif yang
disajikan dalam “latar” bukanlah data penelitian yang bersumber
dari buku-buku atau jurnal-jurnal melainkan data yang bersumber
dari dokumentasi hasil penelitian sebelumnya yang lebih spesifik
berkaitan dengan latar penelitian peneliti, hasil pengawasan,
evaluasi, pengamatan pendahuluan, dan pernyataan orang-orang
yang patut dipercaya. Data ini sebisa mungkin menghindari data-
data yang sudah menjadi “setting” peneliti sehingga data tersebut
tidak ditampilkan apa adanya. Misalnya data-data itu bersumber
dari data statistika pemerintah yang tentunya akan berbeda dengan
hasil pengamatan dan observasi peneliti di lapangan.

B. Fokus Penelitian

Dalam pandangan penelitian kualitatif, gejala dari suatu


objek itu bersifat holistik (menyeluruh, tidak dapat dipisah-
pisahkan), sehingga peneliti kualitatif tidak akan menetapkan
penelitiannya hanya berdasarkan variabel penelitian, tetapi ke-
seluruhan situasi sosial yang diteliti yang meliputi aspek tempat
(place), pelaku (actor), dan aktivitas (activity) yang berinteraksi
secara sinergis. Situasi sosial ini di dalam kelas adalah ruang kelas,
guru-murid, serta aktivitas proses belajar mengajar (Sugiyono,
2014). Oleh karena itu, latar dalam penelitian kualitatif lebih luas
daripada penelitian kuantitatif.

3
Luasnya masalah dalam penelitian kualitatif, maka peneliti
akan membatasi penelitian dalam satu atau lebih variabel. Dengan
demikian dalam penelitian kuantitatif ada yang disebut batasan
masalah. Batasan masalah dalam penelitian kualitatif disebut
dengan fokus, yang berisi pokok masalah yang masih bersifat
umum. Batasan masalah dan fokus dapat digambarkan seperti
gambar 1 berikut.
Objek penelitian
12 variabel
A B C D E F
G H G H I J

Dibatasi menjadi dua


variabel A dan E

A E

Gambar 1.1. Pembatasan masalah dalam penelitian kuantitatif


Pembatasan dalam penelitian kuantitatif lebih didasarkan
pada tingkat kepentingan, urgensi dan feasebilitas masalah yang
akan dipecahkan, selain juga faktor keterbatasan tenaga, dana dan
waktu. Suatu masalah dikatakan penting apabila masalah tersebut
tidak dipecahkan melalui penelitian, maka akan semakin menimbul-
kan masalah baru. Masalah dikatakan urgen (mendesak) apabila
masalah tersebut tidak segera dipecahkan melalui penelitian, maka
akan semakin kehilangan berbagai kesempatan untuk mengatasi.
Masalah dikatakan feasible apabila terdapat berbagai sumber daya
untuk memecahkan masalah tersebut. Untuk menilai masalah
tersebut penting, urgen, dan feasible, maka perlu di-lakukan melalui
analisis masalah (Sugiyono, 2014).

Dalam mempertajam penelitian, peneliti kualitatif menetap-


kan fokus. Spradley menyatakan bahwa “A focused refer to a single
cultural domain or a few related domains” maksudnya adalah bahwa

4
fokus itu merupakan domain tunggal atau beberapa domain yang
terkait dari situasi sosial. Dalam penelitian kualitatif, penentuan
fokus dalam proposal lebih didasarkan pada tingkat kebaruan
informasi yang akan diperoleh dari situasi sosial (lapangan).
Aktivitas (At)

Situasi
Sosial
(KS)

Orang/aktor (A) Tempat (P)

Situasi sosial di kategorikan menjadi KS1, KS2, KS3

At At At

KS 2

A P A P A P

Penelitian memfokuskan pada situasi sosial 2

At

KS

A P
Gambar 1.2. Menentukan Fokus (satu domain)

5
Kebaruan informasi itu bisa berupa upaya untuk memahami
secara lebih luas dan mendalam tentang situasi sosial dalam
lembaga pendidikan, tetapi juga ada keinginan untuk menghasilkan
hipotesis atau ilmu baru dari situasi sosial yang diteliti. Fokus yang
sebenarnya dalam penelitian kualitatif diperoleh setelah peneliti
melakukan grand tour observation dan grand tour question atau
yang disebut dengan penjelajahan umum. Dari penjelajahan umum
ini peneliti akan memperoleh gambaran umum menyeluruh yang
masih pada tahap permukaan tentang situasi sosial. Untuk dapat
memahami secara lebih luas dan mendalam, maka diperlukan
pemilihan fokus penelitian (Sugiyono, 2014).

Spradley dalam Sanapiah Faisal (1988) dikutip oleh


Sugiyono (2014) mengemukakan empat alternatif untuk menetap-
kan fokus yaitu:
1. Menetapkan fokus pada permasalahan yang disarankan oleh
informan. Informan ini dalam lembaga pendidikan, bisa kepala
sekolah, guru, orang tua murid, murid, pakar pendidikan dan
sebagainya.
2. Menetapkan fokus berdasarkan domain-domain tertentu
organizing domain. Domain dalam pendidikan ini bisa kurikulum,
proses belajar mengajar, sarana prasarana, tenaga pendidik dan
kependidikan, manajemen, pembiayaan, sistem evaluasi,
pandangan hidup kompetensi dan sebagainya.
3. Menetapkan fokus yang memiliki nilai temuan untuk
pengembangan Iptek. Temuan berarti sebelumnya belum
pernah ada. Temuan ini dalam pendidikan misalnya menemu-
kan metode mengajar matematika yang mudah dipahami dan
menyenangkan.
4. Menetapkan fokus berdasarkan permasalahan yang terkait
dengan teori-teori yang telah ada. Penelitian ini bersifat
pengembangan, yaitu ingin melengkapi dan memperluas teori
yang telah ada.
Di dalam rancangan penelitian yang menggunakan
pendekatan kuantitatif (quanitative appoach) dikenal istilah
“rumusan masalah” atau “permasalahan”, tetapi di dalam
pendekatan kualitatif (quanitative appoach) hal itu lazim dikenal
dengan istilah “fokus kajian” (Bungin, 2015). Di dalam rancangan
penelitian kualitatif, fokus kajian penelitian dan/atau pokok soal
yang hendak diteliti, mengandung penjelasan mengenai dimensi-
dimensi apa yang menjadi pusat perhatian serta yang dibahas

6
secara mendalam dan tuntas. Peneliti sosial diharapkan jeli dan
peka menangkap fenomenan-fenomenan yang muncul dalam
ranah kehidupan sosial (Bungin, 2015).

Bungin (2015), ada semacam kesepahaman umum dalam


hubungan ini yang patut dipertimbangkan di dalam memilih dan
merumuskan fokus kajian penelitian yakni:
1) Fenomena yang hendak diteliti itu mengisyaratkan nilai temuan
yang signifikan dan bermanfaat baik bagi pengembang teori ilmu
pengetahuan maupun bagi kepentingan pemecahan masalah
didalam masyrakat;
2) Fenomena yang dipilih sebagai fokus kajian haruslah benar-
benar kasat mata (dapat diobservasi), bukan sesuatu yang
sangat abstrak dan sulit ditemukan dalam dalam kenyataan
sosial;
3) Merupakan fenomena baru yang mengisyaratkan keunikan dan
“ketidakberesan sosial” tertentu, dan bukan sekadar
pengulangan semata;
4) Fenomena sosial tersebut memberikan suatu kepastian tentang
waktu yang dibutuhkan untuk diselesaikan dalam satu proses
penelitian;
5) Kemungkinan tersedia referensi teoretik yang dapat digunakan
sebagai perspektif untuk memahami atau “menjelaskannya”;
6) Fenomena yang diangkat tidak bertentangan dengan nilai-nilai
moral dan etika masyarakat;
7) Fenomena tersebut diharapkan benar-benar menarik untuk
diteliti dan diminati oleh peneliti;
8) Ada relevansinya dengan bidang atau disiplin ilmu yang ditekuni
peneliti;
9) Tersedia akses bagi peneliti dalam upaya pembangkitan data.

Masalah pada penelitian kualitatif bertumpu pada suatu


fokus. Adapun maksud dalam merumuskan masalah penelitian
dengan jalan memanfaatkan fokus yaitu: pertama, penetapan fokus
dapat membatasi studi; kedua, penetapan fokus berfungsi untuk
memenuhi inklusi-inklusi atau kriteria masuk-keluar (inclusion-
exlusion criteria) atau informasi baru yang diperoleh di lapangan
sebagaimana dikemukakan Moleong (2004) yang dikutip oleh
Rosyadi dan Nurzaman (2014). Dalam metode kualitatif, fokus
penelitian berguna untuk membatasi bidang inquiry. Tanpa adanya
fokus penelitian, peneliti akan terjebak oleh banyaknya data yang
diperoleh di lapangan. Oleh karena itu fokus penelitian akan

7
berperan sangat penting dalam memandang dan mengarahkan
penelitian.

Sebagai contoh penelitian Laily (2014), fokus dalam


penelitian ini adalah penerimaan diri pada ibu yang memiliki anak
retardasi mental dengan level retardasi mental sedang. Guna
mendalami fokus tersebut penelitian ini akan menggunakan metode
kualitatif. Penelitian kualitatif dipilih karena fenomena yang diamati
perlu pengamatan terbuka, lebih mudah berhadapan dengan
realitas, kedekatan emosional antara peneliti dan responden
sehingga didapatkan data yang mendalam. Penelitian kualitatif
memiliki tujuan untuk mengeksplorasi kekhasan pengalaman
seseorang ketika mengalami suatu fenomena sehingga fenomena
tersebut dapat dibuka dan dipilih sehingga dicapai suatu
pemahaman yang ada.

Lincoln dan Guba dalam Sugiyono (2014), rumusan


masalah yang merupakan fokus penelitian masih bersifat
sementara dan akan berkembang setelah peneliti masuk lapangan
atau situasi sosial tertentu. Namun demikian setiap peneliti baik
peneliti kuantitatif maupun kualitatif harus membuat rumusan
masalah. Pertanyaan penelitian kualitatif dirumuskan dengan
maksud untuk lebih memahami gejala yang masih remang-remang,
tidak teramati, dinamis dan kompleks, sehingga setelah diteliti
menjadi lebih jelas apa yang ada dalam situasi sosial tersebut.
Peneliti yang menggunakan pendekatan kualitatif, pada tahap awal
penelitiannya, kemungkinan belum memiliki gambaran yang jelas
tentang aspek-aspek masalah sambil menggumpulkan data.
Proses seperti ini disebut “emergen design”.

Dalam penelitian kualitatif, karena masalah yang dibawa


oleh peneliti masih bersifat sementara, dan bersifat holistik
(menyeluruh), maka judul dalam penelitian kualitatif yang
dirumuskan dalam proposal juga masih bersifat sementara, dan
berkembang setelah memasuki lapangan. Judul penelitian kualitatif
harus berfokus pada tema penelitian secara holistik. Judul masih
bersifat fleksibel karena dapat berubah ketika peneliti ada di
lapangan.

8
Bab 2
Populasi dan Sampel

A. Pengertian Populasi dan Sampel

Terdapat perbedaan yang mendasar dalam pengertian


antara pengertian “populasi dan sampel” dalam penelitian kuantitatif
dan kualitatif. Dalam penelitian kuantitatif, populasi diartikan
sebagai wilayah generalisasi yang terdiri atas: objek/subjek yang
mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh
peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya.
Sampel adalah sebagian dari populasi itu. Populasi itu misalnya
penduduk di wilayah tertentu, jumlah pegawai pada organisasi
tertentu, jumlah guru dan murid disekolah tertentu dan sebagainya.

Dalam penelitian kualitatif tidak menggunakan istilah


populasi, tetapi oleh Spradley dinamakan “social situation” atau
situasi sosial yang terdiri atas tiga elemen yaitu: tempat (place),
pelaku (actors), dan aktivitas (activity) yang berinteraksi secara
sinergis. Situasi sosial tersebut, dapat di rumah berikut keluarga
dan aktivitasnya, atau orang-orang di sudut-sudut jalan yang
sedang ngobrol, atau di tempat kerja, di kota, desa, di sekolah atau
wilayah suatu Negara. Situasi sosial tersebut, dapat dinyatakan
sebagai objek peneliti yang ingin difahami secara lebih mendalam
“apa yang terjadi” di dalamnya. Pada situasi sosial atau objek
penelitian ini peneliti dapat mengamati secara mendalam aktivitas
(activity) orang-orang (actors) yang ada pada tempat (place)
tertentu. Situasi sosial seperti ditunjukkan pada gambar 2.1.

Tetapi sebenarnya objek penelitian kualitatif, juga bukan


semata-mata pada situasi sosial yang terdiri atas tiga elemen
tersebut, tetapi juga bisa berupa peristiwa alam, tumbuh-tumbuhan,
kinerja mesin, menelusuri rusaknya alam adalah merupakan proses
penelitian kualitatif.

9
Place/Tempat

Social
Situation
Activity/
Aktor/orang
aktivitas
Gambar 2.1. Situasi Sosial (Social Situation)

Dalam penelitian kualitatif tidak menggunakan populasi,


karena penelitian kualitatif berangkat dari kasus tertentu yang ada
pada situasi sosial tertentu dan hasil kajiannya tidak akan
diberlakukan ke populasi, tetapi ditransferkan ke tempat lain pada
situasi sosial pada kasus yang dipelajari. Sampel dalam penelitian
kualitatif bukan dinamakan responden, tetapi sebagai key person,
narasumber, atau partisipan, informan, teman dan guru dalam
penelitian. Sampel dalam penelitian kualitatif, juga bukan disebut
sampel statistik, tetapi sampel teoritis, karena tujuan penelitian
kualitatif adalah untuk menghasilkan teori. Sampel dalam penelitian
kualitatif juga disebut sebagai sampel konstruktif, karena sumber
data dari sampel itu dapat dikontruksikan fenomena yang semula
masih belum jelas.

Berdasarkan hal tersebut, maka model penelitian kuantitatif


dan kualitatif dapat digambarkan seperti gambar 2.2. dan 2.3. Pada
gambar 2.2 terlihat bahwa, penelitian berangkat dari populasi
tertentu, tetapi karena keterbatasan tenaga, dana, waktu dan
pikiran, maka peneliti menggunakan sampel sebagai objek yang
dipelajari atau sebagai sumber data. Pengambilan sampel secara
random. Berdasarkan data dari sampel tersebut selanjutnya
digeneralisasikan ke populasi, dimana sampel tersebut diambil.

10
reduksi
Populasi

sampel

generalisasi

Gambar 2.2. Model Generalisasi Penelitian Kualitatif. Sampel


Representatif Hasilnya Digeneralisasikan Ke Populasi (Sugiyono,
2014)

Pada penelitian kualitatif, peneliti memasuki situasi sosial


tertentu, yang dapat berupa lembaga pendidikan tertentu,
melakukan observasi dan wawancara kepada orang-orang yang
dipandang tahu tentang situasi sosial tertentu. Penentuan sumber
data pada orang yang diwawancarai dilakukan secara purposive,
yaitu dipilih dengan pertimbangan dan tujuan tertentu. Hasil
penelitian tidak akan digeneralisasikan ke populasi karena
pengambilan sampel tidak diambil secara random. Hasil penelitian
dengan metode kualitatif hanya berlaku untuk situasi sosial
tersebut. Hasil penelitian tersebut dapat ditransferkan atau
diterapkan ke situasi sosial (tempat lain) lain, apabila situasi sosial
lain tersebut memiliki kemiripan atau kesamaan dengan situasi
sosial yang diteliti.

Peneliti harus memiliki kemampuan dan informasi yang


memadai untuk menentukan sampel atau informan yang sesuai
dengan latar penelitian peneliti supaya data yang ada pada
informan dapat dibangkitkan dan dari informan tersebut dapat
secara induktif diperoleh data-data yang lainnya.

11
B

A E
C

Gambar 2.3. Model Generalisasi Penelitian Kualitatif. Sampel


Purposive Hasil Dari A Dapat Ditransferkan Hanya Ke B, C, D
(Sugiyono, 2014)

Dalam konteks penelitian kualitatif, penentuan sampel lebih


tepat tidak didasarkan pada teknik penarikan sampel peluang
(probability sampling), hal ini disebabkan karena penelitian kualitatif
melihat proses sampling sebagai parameter populasi yang dinamis
(McMillan dan Schumacher, 2001). Hal ini dapat dipahami karena
kekuatan dari penelitian kualitatif terletak pada kekayaan informasi
yang dimiliki oleh responden, dari kasus yang diteliti, dan
kemampuan analitis peneliti. Artinya dalam penelitian kualitatif,
masalah yang dihadapi dalam penarikan sampel, ditentukan oleh
pertimbangan-pertimbangan (judgement) peneliti, berkaitan dengan
perlunya memperoleh informasi yang lengkap dan mencukupi,
sesuai dengan tujuan atau masalah penelitian. Dengan demikian,
logika ukuran sampel (banyak sedikitnya ukuran sampel)
dibatasi/dihubungkan dengan tujuan penelitian, masalah penelitian,
teknik pembangkitan data, dan keberadaan kasus yang kaya akan
informasi (atau oleh kecukupan informasi yang diperoleh).

Alasan lain lebih tepatnya sampling nonprobability dalam


penelitian kualitatif adalah adanya ukuran populasi (parameter)
yang tidak dapat dihitung (populasi tak terhingga/infinite
population), yaitu ukuran populasi yang sudah sedemikian
besarnya/tidak diketahui di mana keberadaanya/kondisi karak-
teristik elemen populasinya tidak dapat diidentifikasi dengan jelas,
sehingga sudah dan atau tidak bisa dihitung (uncountable).

12
Oleh karena itu probability sampling, yang mensyaratkan
pemilihan sampel dilakukan secara acak dan dilakukan secara
objektif, dalam arti tidak didasarkan semata-mata pada keinginan
peneliti, sehingga setiap anggota populasi memiliki kesempatan
tertentu untuk terpilih sebagai sampel, kurang relevan atau kurang
tepat dilakukan dalam penelitian kualitatif.

Dalam proses penentuan sampel seperti dijelaskan di atas,


beberapa besar sampel tidak dapat ditentukan sebelumnya. Seperti
telah dikutip di atas, dalam sampel purposive, besar sampel
ditentukan. Dalam penelitian empirik, sampling diartikan sebagai
proses pemilihan atau penentuan sampel (contoh). Secara
konvensional, konsep sampel (contoh) menunjuk pada bagian dari
penelitian kualitatif tidak bermaksud untuk menggambarkan
karakteristik populasi atau menarik generalisasi kesimpulan yang
berlaku bagi suatu populasi, melainkan lebih terfokus kepada
representasi terhadap fenomena sosial. Penelitian kualitatif bertolak
dari asumsi tentang realitas atau fenomena sosial yang bersifat unik
dan kompleks. Padanya terdapat regularitas atau pola tertentu,
namun penuh dengan variasi (keragaman). Data atau informasi
harus ditelusuri seluas-luasnya (dan sedalam mungkin) sesuai
dengan variasi yang ada. Hanya dengan cara demikian, peneliti
mampu mendeskripsikan fenomena yang diteliti secara utuh.

Berkenan dengan tujuan penelitian kualitatif di atas, maka


dalam prosedur sampling yang terpenting adalah bagaimana
menentukan informan kunci (key informan) atau situasi sosial
tertentu yang sarat informasi sesuai dengan fokus penelitian. Teknik
pemilihan sampel secara acak (seperti yang lazim digunakan dalam
penelitian kuantitatif), dengan sendirinya tidak relevan. Untuk
memilih sampel (dalam hal ini informan kunci atau situasi sosial)
lebih tepat dilakukan secara sengaja (pureposive sampling).
Selanjutnya, bilamana dalam proses pembangkitan data sudah
tidak lagi ditemukan variasi informasi, maka peneliti tidak perlu lagi
untuk mencari informan baru, proses pembangkitan informasi
dianggap sudah selesai. Dengan demikian, penelitian kualitatif tidak
dipersoalkan jumlah sampel. Dalam hal ini, jumlah sampel
(informan) bisa sedikit, tetapi juga bisa banyak, terutama tergantung
dari: a) tepat tidaknya pemilihan informan kunci, dan b)
kompleksitas dan keragaman fenomena sosial yang diteliti.
Sampai dengan berakhirnya pembangkitan informasi,
umumnya terdapat tiga tahap pemilihan sampel dalam penelitian

13
kualitatif, yakni: a) pemilihan sampel awal, apakah itu informan
(untuk diwawancarai) atau suatu situasi sosial (untuk diobservasi)
yang terkait dengan fokus penelitian; b) pemilihan sampel lanjutan
guna memperluas deskripsi informasi dan melacak variasi informasi
yang mungkin ada; c) menghentikan pemilihan sampel lanjutan
bilamana dianggap sudah tidak ditemukan lagi variasi informasi
(sudah terjadi replikasi perolehan informasi). Dalam menempuh tiga
tahapan tersebut, prosedur pemilihan sampel dalam penelitian
kualitatif yang lazim digunakan adalah melalui teknik snowball
sampling.

Salah satu hal yang perlu diperhatikan dalam sampling pada


penelitian kualitatif adalah pemilihan sampel awal, apakah itu
merupakan informan kunci atau suatu situasi sosial. Ketepatan
dalam pemilihan sampel awal ini akan berpengaruh terhadap
keberhasilan sampling dan kelancaran pembangkitan informasi,
yang ada gilirannya akan menentukan efisiensi dan efektivitas
penelitian. Dalam kaitan ini Spradley (1980) mengusulkan lima
kriteria untuk pemilihan sampel informan awal dan tujuh kriteria
untuk sampel situasi sosial awal, sebagai berikut:
Untuk sampel informasi awal:
1) Subjek yang telah cukup lama dan intensif menyatu dengan
kegiatan atau medan aktivitas yang menjadi informasi,
melainkan juga menghayati secara sungguh-sungguh sebagai
akibat dari keterlibatannya yang cukup lama dengan lingkungan
atau kegiatan yang bersangkutan. Ini biasanya ditandai oleh
kemampuannya dalam memberikan informasi (hapal “di luar
kepala”) tentang sesuatu yang ditanyakan.
2) Subjek yang masih terlibat secara penuh/aktif pada lingkungan
atau kegiatan yang menjadi perhatian peneliti. Mereka yang
sudah tidak aktif, biasanya informasinya terbatas dan kurang
akurat, kecuali jika peneliti ingin menggali informasi tentang
pengalaman mereka.
3) Subjek yang mempunyai cukup banyak waktu atau kesempatan
untuk diwawancarai.
4) Subjek yang dalam memberikan informasi tidak cenderung
diolah atau dipersiapkan terlebih dahulu. Mereka ini tergolong
“lugu” (apa adanya) dalam memberikan informasi. Persyaratan
ini cukup penting, terutama bagi peneliti pemula, dan berkaitan
dengan upaya untuk memperoleh informasi yang lebih faktual.
5) Subjek yang sebelumnya tergolong masih “asing” dengan
penelitian, sehingga peneliti merasa lebih tertantang untuk

14
“belajar” sebanyak mungkin dari subjek yang berfungsi sebagai
“guru baru” bagi peneliti. Pengalaman menunjukkan,
persyaratan ini terbukti merupakan salah satu faktor penting dari
produktivitas perolehan informasi di lapangan.

Kelima kategori subjek atau informan di atas perlu


memperoleh perhatian dalam sampling penelitian kualitatif, terlebih-
lebih bagi peneliti pemula. Khususnya dalam penggunaan teknik
snowball sampling, variasi sampel informan memang diperlukan
agar tidak terbatas pada sekelompok individu saja yang seringkali
memiliki kepentingan tertentu, sehingga hasil penelitian menjadi
bias. Terlepas dari semua, subjek dalam penelitian kualitatif (baik
yang dipilih sebagai sampel informan awal atau informan
berikutnya), harus benar-benar memiliki predikat sebagai key
informan yang sarat dengan informasi yang diperlukan sesuai
dengan tujuan penelitian (Bungin, 2015).

Bungin (2015), untuk sampel situasi sosial awal:

1) Situasi sosial yang relatif banyak merangkum informasi tentang


domain-domain yang tercakup dalam topik penelitian (organizing
domain). Situasi sosial ini ibarat “muara” bagi domain-domain
yang lain.

2) Situasi sosial yang cukup sederhana untuk diamati (simplicity).


Hal ini berkaitan dengan keterbatasan peneliti dalam mengamati
situasi sosial yang sangat kompleks dan bermobilitas tinggi.

3) Situasi sosial yang relatif mudah dimasuki (accessibility). Hal ini


disebabkan karena adanya keragaman aksesibilitas situasi
sosial di lapangan. Ada situasi sosial yang sulit yang mudah
dimasuki oleh siapapun.

4) Situasi sosial yang diperkenankan untuk diamati (permisi-


veness). Tidak semua situasi sosial terbuka untuk umum atau
orang luar (peneliti), sehingga tidak mungkin untuk diobservasi.
Selain itu ada pula situasi sosial yang dapat diamati orang luar,
tetapi dengan persyaratan tertentu yang aman ketat, misalnya
memerlukan izin khusus. Yang dapat diamati secara leluasa
hanyalah situasi sosial yang memang diperkenankan, baik
menurut etika/moral maupun aturan hukum/birokrasi yang
berlaku.

15
5) Situasi sosial yang tergolong tidak menimbulkan gangguan
situasi apabila observasi (unobstrusiveness) berjalan secara
wajar dan alamiah. Hasilnya tentu akan lebih baik bilamana
peneliti mampu “menyamarkan” kehadirannya dalam situasi
sosial tersebut.

6) Situasi sosial yang berlangsung relatif sering atau berulang


(frequently recurring activities). Persyaratan ini mengingat ada-
nya keterbatasan tenaga dan waktu pada peneliti untuk berada
di tempat penelitian, sehingga logis apabila memilih situasi sosial
yang sering terjadi secara berulang-ulang.

7) Situasi sosial yang memudahkan peneliti sekiranya hendak


berpartisipasi (easy of participation). Ini erat kaitannya dengan
aplikasi metode observasi partisipatif.

Dalam Bungin (2015), khusus untuk pengamatan situasi


sosial, bilamana menggunakan teknik snowball sampling, maka
pengamatan untuk situasi sosial lanjutan (setelah situasi sosial
awal), penyebarannya dapat diarahkan sebagai berikut:

a) Situasi sosial yang tergolong sehimpunan dengan sampel situasi


sosial awal. Ukuran sehimpunan tidaknya, antara lain dapat
dijajaki dari pandangan beberapa informan pada situasi sosial
setempat.

b) Situasi sosial yang secara struktural tidak terjalin, malahan


mungkin berada di bawa “atap lain”, akan tetapi secara material
memikili jalinan fungsional, yaitu sebagai akibat kegandaan
partisipasi para partisipan/informal pada situasi sosial.

c) Situasi sosial yang kegiatannya memiliki kemiripan dengan


sampel situasi sosial awal.

Bergulirnya pemilihan sampel melalui teknik snowball


sampling tersebut di muka, baik untuk sampel informan maupun
situasi sosial, pada akhirnya akan sampai pada suatu batas di mana
tidak dijumpai lagi variasi informasi (terjadi kejenuhan informasi).
Pada saat seperti ini, pemilihan sampel baru tidak diperlukan lagi,
dengan perkataan lain, kegiatan pembangkitan data atau informasi
di lapangan dianggap berakhir.

16
Penentuan sampel dalam penelitian kualitatif sangat tepat
jika didasarkan pada tujuan atau masalah penelitian, yang
menggunakan pertimbangan-pertimbangan dari peneliti itu sendiri,
dalam rangka memperoleh ketepatan dan kecukupan informasi
yang dibutuhkan sesuai dengan tujuan atau masalah yang dikaji.
Sehingga penarikan sampel yang tepat adalah penarikan sampel
berdasarkan tujuan (judgement sampling atau purposive sampling
atau snowball sampling). Penentuan sampel berdasarkan tujuan,
adalah “memilih kasus yang kaya informasi untuk diteliti secara
mendalam.” (Patton, 1990), ketika seseorang ingin memahami
sesuatu tentang kasus tersebut tanpa harus melakukan
generalisasi terhadap semua kasus yang sama. Penentuan sampel
berdasarkan tujuan dilakukan untuk meningkatkan kegunaan
informasi yang didapat dari sampel yang kecil. Penentuan sampel
berdasarkan tujuan mengharuskan bahwa informasi yang didapat
tentang variasi diantara sub unit sebelum sampel dipilih. Penelitian
kemudian mencari orang, kelompok, tempat, kejadian untuk diteliti
yang dapat memberikan banyak informasi.

Dengan kata lain, peneliti memilih sampel yang mempunyai


pengetahuan dan informasi tentang fenomena yang sedang diteliti.
Tipe-tipe penentuan sampel yang termasuk dalam purposive
sampling diantaranya pemilihan lokasi, sampling komprehensif,
sampling network, dan sampling berdasarkan jenis kasus (McMillan
dan Schumacher, 2001).

B. Teknik Pengambilan Sampel

Dalam penelitian kualitatif, teknik sampling yang sering


digunakan adalah purposive sampling, dan snowball sampling.
Seperti telah dikemukakan bahwa, purposive sampling adalah
teknik pengambilan sampel sumber data dengan pertimbangan
tertentu. Pertimbangan tertentu ini, misalnya orang tersebut yang
dianggap paling tahu tentang apa yang kita harapkan, atau mungkin
dia sebagai penguasa sehingga akan memudahkan peneliti
menjelajahi objek/situasi sosial yang diteliti. Snowball sampling
adalah teknik pengambilan sampel sumber data, yang pada
awalnya jumlahnya sedikit, lama-lama menjadi besar. Hal ini
dilakukan karena dari jumlah sumber data yang sedikit itu tersebut
belum mampu memberikan data yang lengkap, maka mencari
orang lain lagi yang dapat digunakan sebagai sumber data. Dengan

17
demikian jumlah sampel sumber data akan semakin besar, seperti
bola salju yang menggelinding, lama-lama menjadi besar.

Lincoln dan Guba (1985) mengemukakan bahwa


“Naturalistic sampling is, then, very different from conventional
sampling. It is based on informational, not statistical, considerations.
Its purpose is to maximize information, not to facilitate
generalization”. Penentuan sampel dalam penelitian kualitatif
(naturalistik) sangat berbeda dengan penentuan sampel dalam
penelitian konvensional (kuantitatif). Penentuan sampel dalam
penelitian kualitatif tidak didasarkan perhitungan statistik. Sampel
yang dipilih berfungsi untuk mendapatkan informasi yang
maksimum, bukan untuk digeneralisasikan.

Oleh karena itu, menurut Lincoln dan Guba (1985), dalam


penelitian naturalistik, spesifikasi sampel tidak dapat ditentukan
sebelumnya. Ciri-ciri khusus sampel purposive, yaitu 1) Emergent
sampling design/sementara 2) Serial selection of sample
units/menggelinding seperti bola salju (snow ball) 3) Continuous
adjustment or ‘focusing’ of the sample/disesuaikan dengan
kebutuhan 4) Selection to the point of redundancy/dipilih sampai
jenuh (Lincoln dan Guba, 1985).

Penentuan sampel dalam penelitian kualitatif dilakukan saat


peneliti mulai memasuki lapangan dan selama penelitian
berlangsung (emergent sampling design). Caranya yaitu, peneliti
memilih orang tertentu yang dipertimbangkan akan memberikan
data yang diperlukan; selanjutnya berdasarkan data atau informasi
yang diperoleh dari sampel sebelumnya itu, peneliti dapat
menerapkan sampel lainnya yang dipertimbangkan akan
memberikan data lebih lengkap. Praktik seperti inilah yang disebut
sebagai “serial selection of sample units” (Lincoln dan Guba, 1985),
atau dalam kata-kata Bogdan dan Biklen (1982) dinamakan
snowball sampling technique. Unit sampel yang dipilih makin lama
makin terarah sejalan dengan makin terarahnya fokus penelitian.
Proses ini dinamakan Bodan dan Biklen (1982) sebagai “continuous
adjustment of ‘focusing’ of the sample”.

Oleh pertimbangan informasi. Seperti ditegaskan oleh


Lincoln dan Guba (1985) bahwa “If the purpose is to maximize
information, then sampling is terminated when no new information

18
is forth-coming from newly sampled units; thus redundancy is the
primary criterion.”
Dalam hubungan ini, Nasution (1988) menjelaskan bahwa
penentuan unit sampel (responden) dianggap telah sampai kepada
taraf redundancy ( datanya telah jenuh, ditambah sampel lagi tidak
memberikan informasi yang baru), artinya bahwa dengan
menggunakan sumber data selanjutnya boleh dikatakan tidak lagi
diperoleh tambahan informasi baru yang berarti.
Dalam proposal penelitian kualitatif, sampel sumber data
yang dikemukakan masih bersifat sementara. Namun demikian
pembuat proposal perlu menyebutkan siapa yang kemungkinan
akan digunakan sebagai sumber data. Misalnya akan meneliti gaya
belajar anak jenius, maka kemungkinan sampel sumber datanya
adalah orang-orang yang dianggap jenius, keluarga, guru yang
membimbing, serta kawan-kawan dekatnya. Selanjutnya misalnya
meneliti tentang gaya kepemimpinan seseorang, maka
kemungkinan sampel sumber datanya adalah pimpinan yang
bersangkutan, bawahan, atasan, dan teman sejawatnya yang
dianggap paling tahu tentang gaya kepemimpinan yang diteliti.
Teknik pengambilan sampel sumber data dalam penelitian
kualitatif yang bersifat purposive dan snowball itu dapat
digambarkan seperti 2.4. berikut.

I
G J
B

H
A D E

C F

Gambar 2.4. Proses Pengambilan Sampel Sumber Data Dalm


Penelitian Kualitatif, Purposive Dan Snowball
Berdasarkan gambar 2.4. tersebut di atas dapat dijelaskan
sebagai berikut. Dalam proposal penelitian, peneliti telah
merencanakan A sebagai orang pertama sebagai sumber data.

19
Informan awal ini sebaiknya dipilih orang yang bisa “membukakan
pintu” untuk mengenali keseluruhan medan secara luas (mereka
yang tertolong gatekeepers dan knowledgeable informant/informan
yang cerdas). Selanjutnya oleh A disarankan ke B dan C. Dari C
dan B belum memperoleh data yang lengkap, maka peneliti ke F
dan G. dari F dan G belum memperolah data yang akurat, maka
peneliti pergi ke E, selanjutnya ke H, ke G, ke I terakhir ke J. Setelah
sampai J data sudah jenuh, sehingga sampel sumber data sudah
mencukupi, dan tidak perlu menambah sampel yang baru
(Sugiyono, 2014).

Spradley dalam Sanafiah Faisal (1990) mengemukakan


bahwa, situasi sosial untuk sampel awal sangat disarankan suatu
situasi sosial yang didalamnya menjadi semacam muara dari
banyak domain lainnya. Selanjutnya dinyatakan bahwa, sampel
sebagai sumber data atau sebagai informan sebaiknya yang
memenuhi kriteria sebagai berikut.

1. Mereka yang menguasai atau memahami sesuatu melalui


proses enkulturasi, sehingga sesuatu itu bukan sekadar
diketahui, tetapi juga dihayatinya.
2. Mereka yang tertolong masih sedang berkecimpung atau terlibat
pada kegiatan yang tengah diteliti.
3. Mereka yang mempunyai waktu yang memadai untuk dimintai
informasi.
4. Mereka yang tidak cenderung menyampaikan informasi hasil
“kemasannya” sendiri.
5. Mereka yang pada mulanya tertolong “cukup asing” dengan
peneliti sehingga lebih menggairahkan untuk dijadikan semacam
guru atau narasumber.

Bila pemilihan sampel atau informan benar-benar jatuh pada


subjek yang benar-benar menguasai situasi sosial yang diteliti
(objek), maka merupakan keuntungan bagi peneliti, karena tidak
memerlukan banyak sampel lagi, sehingga penelitian cepat selesai.
Jadi yang menjadi kepedulian bagi peneliti kualitatif adalah “tuntas
dan kepastian” perolehan informasi dengan keragaman variasi
yang ada, bukan banyaknya sampel sumber data.

20
BAB 3
Instrumen Dan Pembangkitan Data

A. Instrumen Penelitian

Pada penelitian kuantitatif, kualitas instrumen penelitian


berkenaan dengan validitas dan reliabilitas instrumen dan kualitas
pembangkitan data berkenaan ketepatan cara-cara yang digunakan
untuk mengumpulkan data. Oleh karena itu instrumen yang telah
teruji validitas dan reliabilitasnya belum tentu dapat menghasilkan
data yang valid dan reliabel, apabila instrumen tersebut tidak
digunakan secara tepat dalam pembangkitan datanya instrumen
dalam penelitian kuantitatif dapat berupa tes, pedoman wawancara,
pedoman observasi, dan kuesioner.

Sedangkan dalam penelitian kualitatif yang menjadi


instrumen atau alat penelitian adalah peneliti itu sendiri. Oleh
karena itu peneliti sebagai instrumen juga harus “divalidasi”
seberapa jauh peneliti kualitatif siap melakukan penelitian yang
selanjutnya terjun ke lapangan. Validasi terhadap peneliti sebagai
instrumen meliputi validasi terhadap pemahaman metode penelitian
kualitatif pengawasan wawasan terhadap bidang yang diteliti
kesiapan peneliti untuk memasuki objek penelitian baik secara
akademik maupun logistiknya. Yang melakukan validasi adalah
peneliti sendiri, melalui evaluasi diri seberapa jauh pemahaman
terhadap metode kualitatif penguasaan teori penguasaan terhadap
bidang yang diteliti serta kesiapan dan bekal memasuki lapangan.
Peneliti kualitatif sebagai human instrumen, berfungsi menetapkan
fokus penelitian, memilih informan sebagai sumber data, melaku-
kan pembangkitan data, menilai kualitas data, analisis data,
menafsirkan data dan membuat kesimpulan atas semuanya
(Sugiyono, 2014).

Dalam penelitian kualitatif segala sesuatu yang akan dicari


dari objek penelitian belum jelas dan pasti masalahnya, sumber
datanya, hasil yang diharapkan semuanya belum jelas. Rancangan
penelitian masih bersifat sementara dan akan berkembang setelah

21
peneliti memasuki objek penelitian. Selain itu dalam memandang
realitas, penelitian kualitatif berasumsi bahwa realitas itu bersifat
holistik (menyeluruh), dinamis, tidak dapat dipisah-pisahkan ke
dalam variabel-variabel penelitian. Kalaupun dapat dipisah-
pisahkan, variabelnya akan banyak sekali. Dengan demikian dalam
penelitian kualitatif ini belum dapat dikembangkan instrumen
penelitian sebelum masalah yang diteliti jelas sama sekali. Oleh
karena itu dalam penelitian kualitatif “the researcher is the key
instrumen”. Peneliti adalah merupakan instrumen kunci dalam
penelitian kualitatif (Sugiyono, 2014).

Dalam hal instrumen penelitian kualitatif, Lincoln and Guba


(1986) menyatakan bahwa:

“The instrument of choice in naturalistic inquary is the human.


We shall see that other forms of instrumentation may be used
in later phases of the inquary, but the human is the initial and
continuing mainstay. But if the human instrumen has been
used extensively in earlier stages of inquary, so that an
instrument can be constructed that is grounded in the data that
the human instrumen has product.”

Selanjutnya Nasution (1988) menyatakan:

“Dalam penelitian kualitatif, tidak ada pilihan lain daripada


menjadi manusia sebagai instrumen penelitian utama.
Alasannya ialah bahwa, segala sesuatu belum mempunyai
bentuk yang pasti. Masalah, fokus penelitian, prosedur
penelitian, hipotesis yang digunakan, bahkan hasil yang
diharapkan, itu semuanya tidak dapat ditentukan secara pasti
dan jelas sebelumnya. Segala sesuatu masih perlu
dikembangkan sepanjang penelitian itu. Dalam keadaan yang
serba tidak pasti dan tidak jelas itu, tidak ada pilihan lain dan
hanya peneliti itu sendiri sebagai alat satu-satunya yang
dapat mencapainya.”

Berdasarkan dua pernyataan tersebut dapat dipahami


bahwa, dalam penelitian kualitatif pada awalnya di mana
permasalahan belum jelas dan pasti, maka yang menjadi instrumen
adalah peneliti sendiri. Tetapi setelah masalahnya yang akan
dipelajari jelas, maka dapat dikembangkan suatu instrumen.

22
Dalam penelitian kualitatif instrumen utamanya adalah
peneliti sendiri, namun selanjutnya setelah fokus penelitian menjadi
jelas, maka kemungkinan akan dikembangkan instrumen penelitian
sederhana, yang diharapkan dapat melengkapi data dan
membandingkan dengan data yang telah ditemukan melalui
observasi dan wawancara. Peneliti akan terjun ke lapangan sendiri,
baik pada grand tour question, tahap focused and selection,
melakukan pembangkitan data, analisis dan membuat kesimpulan.

Menurut Nasution (1988) peneliti sebagai instrumen


penelitian serasi untuk penelitian serupa karena memiliki ciri-ciri
sebagai berikut:

1. Peneliti sebagai alat peka dan dapat bereaksi terhadap segala


stimulus dari lingkungan yang harus diperkirakannya bermakna
atau tidak bagi penelitian;

2. Peneliti sebagai alat dapat menyesuaikan diri terhadap semua


aspek keadaan dan dapat mengumpulkan aneka ragam data
sekaligus;

3. Tiap situasi merupakan keseluruhannya. Tidak ada suatu


instrumen berupa tes atau angket yang dapat menangkap
keseluruhan situasi, kecuali manusia;

4. Suatu situasi yang melibatkan interaksi manusia, tidak dapat


difahami dengan pengetahuan semata. Untuk memahaminya
kita perlu sering merasakannya, menyelami berdasarkan
pengetahuan kita;

5. Peneliti sebagai instrumen dapat segera menganalisis data yang


diperoleh. Ia dapat menafsirkannya melahirkan hipotesis dengan
segera untuk menentukan arah pengamatan untuk mengetes
hipotesis yang timbul seketika.

6. Hanya manusia sebagai instrumen dapat mengambil kesimpulan


berdasarkan data yang dikumpulkan pada suatu saat dan
menggunakan segera sebagai balikan untuk memperoleh
penegasan perubahan perbaikan.

7. Dengan manusia sebagai instrumen respons yang aneh yang


menyimpan justru diberi perhatian. Respons yang lain daripada

23
yang lain, bahkan yang bertentangan dipakai untuk memper-
tinggi tingkat kepercayaan dan tingkat pemahaman mengenai
aspek yang diteliti.

B. Pembangkitan Data

Pembangkitan data dapat dilakukan dalam berbagai setting,


berbagai sumber, dan berbagai cara. Bila dilihat dari setting-nya,
data dapat dikumpulkan pada setting alamiah (natural setting), pada
laboraturium dengan metode eksprimen, di sekolah dengan tenaga
pendidikan dan kependidikan, di rumah dengan berbagai
responden, pada suatu seminar, diskusi, di jalan dan lain-lain. Bila
di lihat dari sumber datanya, maka pembangkitan data dapat
menggunakan sumber primer, dan sumber sekunder. Sumber
primer adalah sumber data yang lansung memberikan data kepada
pengumpul data. Dan sumber sekunder merupakan sumber-
sumber yang tidak langsung memberikan data kepada pengumpul
data, misalnya lewat orang lain atau lewat dokumen. Selanjutnya
bila dilihat dari segi cara atau teknik pembangkitan data dapat
dilakukan dengan observasi (pengamatan) interview (wawancara),
kuesioner (angket), dokumentasi, dan gabungan/triangulasi.

Observasi

Wawancara

Macam teknik
pembangkitan
data Dokumentasi

Trigulasi/gabungan

Gambar 3.1. Macam-macam Pembangkitan Data

24
Hanurawan (2016), metode pengumpulan data atau
pembangkitan data itu dapat dipilih salah satu atau dapat dipilih
lebih dari satu secara simultan. Pemilihan lebih dari satu alat
pengumpul data atau pembangkit data dimungkinkan karena
penelitian kualitatif adalah penelitian yang menggunakan metode
bervariasi, termasuk dalam bervariasi dalam membangkitkan data.
Dalam pengumpulan data sangat bergantung pada latar masalah,
tujuan, dan kebutuhan penelitian.

Creswell (2017) dalam buku Research Design Pendekatan


Metode Kualitatif, Kuantitatif, dan Campuran menjelaskan
karakteristik-karakteristik data kualitatif:

Pertama, lingkungan alamiah (natural setting): para


peneliti kualitatif cenderung mengumpulkan data lapangan di lokasi
di mana para partisipan mengalami isu atau masalah yang akan
diteliti peneliti kualitatif tidak membawa individu-individu ini ke
dalam laboratorium atau dalam situasi yang telah di-setting
sebelumnya; tidak pula membagikan instrumen-instrumen kepada
mereka informasi yang dikumpulkan dengan berbicara langsung
kepada orang-orang dan melihat mereka bertingkah laku dalam
konteks natural inilah yang menjadi karakteristik utama penelitian
kualitatif. Dalam lingkungan yang alamiah para peneliti kualitatif
melakukan interaksi face-to-face sepanjang penelitian.

Kedua, peneliti sebagai instrumen kunci (research as


key instrument): para peneliti kualitatif mengumpulkan sendiri data
melalui dokumentasi, observasi perilaku, atau wawancara dengan
para partisipan. Mereka bisa saja menggunakan protokol sejenis
instrumen untuk mengumpulkan data tetapi diri merekalah yang
sebenarnya menjadi satu-satunya instrumen dalam mengumpulkan
informasi. Mereka pada umumnya tidak menggunakan kuesioner
atau instrumen yang dibuat oleh peneliti lain.

Ketiga, beragam sumber data (multiple sources of data):


para peneliti kualitatif biasanya memilih mengumpulkan data dari
beragam sumber, seperti wawancara, observasi, dokumentasi, dan
informasi audiovisual ketimbang hanya bertumpu pada satu sumber
data saja. Kemudian peneliti mereviu semua data tersebut,
memberikan makna, dan mengolahnya ke dalam kategori atau tema
yang melintasi semua sumber data.

25
Keempat, analisis data induktif dan deduktif (induktive
and deductive data analysis): para peneliti kualitatif membangun
pola kategori dan temanya dari bawah ke atas induktif dengan
mengolah data ke dalam unit-unit informasi yang lebih abstrak.
Proses induktif ini mengilustrasikan usaha peneliti dalam mengelola
secara berulang-ulang tema dan database penelitian hingga peneliti
berhasil membangun serangkaian tema yang utuh. Kemudian
secara deduktif, para peneliti melihat kembali mereka dari tema-
tema untuk menentukan apakah lebih banyak bukti dapat
mendukung setiap tema dan apakah mereka perlu menggabungkan
informasi tambahan. Dengan demikian, ketika proses dimulai
secara induktif, pemikiran deduktif juga berperan penting ketika
analisis bergerak maju.

Kelima, makna dari para partisipan (participants’


meaning): dalam keseluruhan proses penelitian kualitatif, peneliti
terus fokus pada usaha mempelajari makna yang disampaikan para
partisipan tentang masalah atau isu penelitian, bukan makna yang
disampaikan oleh peneliti atau penulis lain dalam literatur-literatur
tertentu.

Keenam, rancangan yang berkembang (emergent


design): bagi para peneliti kualitatif proses penelitian selalu
berkembang dinamis. Hal ini berarti bahwa rencana awal penelitian
tidak bisa secara ketat dipatuhi semua tahap dalam proses ini bisa
saja berubah setelah peneliti masuk ke lapangan dan mulai
mengumpulkan data. Misalnya, pertanyaan-pertanyaan bisa saja
berubah, strategi pembangkitan data juga bisa berganti, dan
individu-individu yang diteliti serta lokasi yang dikunjungi juga bisa
berubah sewaktu-waktu. Gagasan utama dibalik penelitian kualitatif
sebenarnya adalah mengkaji masalah atau isu dari para partisipan
dan melakukan penelitian untuk memperoleh informasi mengenai
masalah tersebut.

Ketujuh, refleksivitas (reflexivity): dalam penelitian kualitatif


peneliti merefleksikan bagaimana peran mereka dalam penelitian
dan latar belakang pribadi, budaya, dan pengalamannya
berpotensi, membentuk interpretasi seperti tema-tema yang
mereka kembangkan dan makna-makna yang mereka anggap
sebagai sumber data. Aspek metode ini lebih dari sekadar bias dan
nilai yang berkembang dalam penelitian, tetapi bagaimana latar
belakang peneliti sebetulnya dapat membentuk arah penelitian.

26
Kedelapan, pandangan menyeluruh (holistic account): para
peneliti kualitatif berusaha membuat gambaran kompleks dari suatu
masalah atau isu yang diteliti hal ini melibatkan usaha pelaporan
perspektif-perspektif pengindentifikasian faktor-faktor yang terkait
dengan situasi tertentu, dan secara umum usaha membuat sketsa
atau gambar yang besar yang muncul untuk itulah para peneliti
kualitatif diharapkan dapat membuat suatu model visual dari
berbagai aspek mengenai proses atau fenomena utama yang
diteliti. Model inilah yang akan membantu mereka membangun
gambaran holistik.

1. Pembangkitan Data dengan Observasi

a. Macam-macam Observasi

Semua jenis data ini memiliki satu aspek kunci secara umum
analisisnya terutama tergantung pada keterampilan integratif dan
interpretatif dari peneliti interpretasi diperlukan karena data yang
dikumpulkan jarang berbentuk angka yang karena data kaya rincian
dan panjang (Gay & Airasian, 2000).

Ketika peneliti mengumpulkan data untuk tujuan penelitian


ilmiah kadang-kadang yang perlu memperhatikan sendiri berbagai
fenomena, atau kadang-kadang menggunakan pengamatan orang
lain. Observasi atau pengamatan dapat didefinisikan sebagai
perhatian yang terfokus pada kejadian, gejala, atau sesuatu.
Adapun observasi ilmiah adalah perhatian terfokus terhadap gejala
kejadian atau sesuatu dengan maksud menafsirkannya,
mengungkapkan faktor-faktor penyebabnya dan menemukan
kaidah-kaidah yang mengaturnya (Garayibah, et al., 1981).

Nasution (1988) menyatakan bahwa, observasi adalah


dasar semua pengetahuan. Para ilmuwan hanya dapat bekerja
berdasarkan data, yaitu fakta mengenai dunia kenyataan yang
diperoleh melalui observasi. Data itu dikumpulkan dan sering
dengan bantuan berbagai alat yang sangat canggih, sehingga
benda-benda yang sangat kecil (proton dan elektron) maupun yang
sangat jauh (benda ruang angkasa) dapat diobservasi dengan jelas.

Marshall (1995) menyatakan bahwa “through observation,


the researcher learn about behavior and the meaning attached to

27
those behavior’’. Melalui observasi, peneliti belajar tentang prilaku,
dan makna dari perilaku tersebut.

Sanafiah Faisal (1990) mengklasifikasikan observasi


menjadi observasi berpartisipasi (participant observation),
observasi yang secara terang-terangan dan tersamar (overt
observation dan convert observation), dan observasi yang tak
berstruktur (unstruktured observation). Selanjutnya Spradley,
dalam Susan Stainback (1988) membagi observasi berpartisipasi
menjadi empat, yaitu pasive participation, moderate participation,
active participation, dan complete participation.

1) Observasi Partisipatif dan Non-Partisipan

Dalam observasi ini, peneliti terlibat dengan kegiatan sehari-


hari orang yang sedang diamati atau yang digunakan sebagai
sumber data penelitian. Sambil melakukan pengamatan, peneliti
ikut melakukan apa yang dikerjakan oleh sumber data, dan ikut
merasakan suka dukanya. Dengan observasi partisipan ini, maka
data yang diperoleh akan lebih lengkap, tajam, dan sampai
mengetahui pada tingkat makna dari setiap perilaku yang yang
tampak.

Dalam suatu perusahaan atau lembaga pendidikan


misalnya, peneliti dapat berperan sebagai guru, ia dapat mengamati
bagaimana perilaku guru dan murid dalam pembelajaran,
bagaimana semangat belajar murid, bagaimana hubungan satu
guru dengan guru lain, hubungan karyawan dengan pengawas dan
pimpinan, keluhan dalam melaksanakan pekerjaan dan lain-lain.

Observasi partisipan adalah observasi yang dilakukan oleh


peneliti yang berperan sebagai anggota yang berperan serta dalam
kehidupan masyarakat topik penelitian. Biasanya peneliti tinggal
atau hidup bersama anggota masyarakat dan ikut terlibat dalam
semua aktivitas dan perasaan mereka selanjutnya peneliti
memainkan dua peran yaitu: pertama, berperan sebagai anggota
peserta dalam kehidupan masyarakat, dan kedua, sebagai peneliti
yang mengumpulkan data tentang perilaku masyarakat dan perilaku
individunya (Sugiyono, 2014).

Observasi partisipan memiliki kelebihan terutama


keterpercayaan data dan kelengkapannya karena dikumpulkan dari

28
lingkungannya yang alami, demikian pula observasi partisipan
memberikan kesempatan yang luas bagi peneliti sebagai anggota
dalam masyarakat tersebut untuk mengamati aspek-aspek perilaku
yang tersembunyi atau tertutup dan dapat memahami perilaku
individunya dalam bentuk yang lebih dalam dan dapat membaca
makna-makna yang terlukis dari wajah individunya dan dapat
mendiskusikan topik-topik yang dirasakan tidak mungkin dilakukan
oleh peneliti asing dari masyarakat yang dijauhinya di pihak lain
observasi partisipan juga mempunyai beberapa kritikan diantaranya
yang terpenting adalah bias dalam data yang terkumpul munculnya
masalah etika seperti menurut peneliti sebagai “mata-mata”
terhadap suatu kelompok yang tidak diketahui identitas sebenarnya
dan pada dasarnya teknik ini sulit untuk diterapkan di samping
keterampilan yang tinggi yang diperlukan nya seperti kemampuan
untuk masuk ke dalam suatu kelompok masyarakat tanpa
menimbulkan kecurigaan dan ketakutan yang menghadapkan
peneliti pada bahaya-bahaya yang kadangkala dapat
menyerangnya bila identitas atau profesi sebenarnya dapat
diketahui masyarakat (Emzir, 2016).

Sebagai contoh dalam studi kasus pendidikan anak usia


dini, pengamatan partisipan mengharuskan peneliti untuk berada
bersama dalam semua proses dengan peran yang makin besar.
Peneliti mesti mengajar, bukan sekadar ikut mengajar. Peneliti juga
terlibat penuh dalam berbagai aktvitas, bahkan berkunjung ke
rumah keluarga anak. Peneliti tidak hanya mengenal anak itu
sendiri, tetapi juga diterima sebagai orang dalam (dapat dianggap
sebagai keluarga dekat oleh keluarga anak). Peneliti juga terlibat
secara fisik dan mental (Putra, Dwilestari, 2013).

Observasi non-partisipan adalah observasi yang menjadi-


kan peneliti sebagai penonton atau penyakit terhadap gejala atau
kejadian yang menjadi topik penelitian. Dalam observasi jenis ini
peneliti melihat atau mendengarkan pada situasi sosial tertentu
tanpa partisipasi aktif di dalamnya peneliti berada jauh dari
fenomena topik yang diteliti. Sebagai contoh peneliti memerhatikan
aktivitas kelompok dari individu-individu mempergunakan kaca satu
arah atau mendengarkan percakapan mereka di balik tabir
observasi non-partisipan memiliki kelebihan dari sudut objektivitas
karena jauhnya peneliti dari fenomena topik yang diteliti mengurangi
bias pengaruh peneliti pada fenomena tersebut. Akan tetapi,
observasi non-partisipan juga dapat menyulitkan peneliti dalam

29
memahami hakikat situasi atau dalam memahami semua aspek dari
topik penelitian karena peneliti tidak dapat membaca makna yang
terkandung dalam perilaku gerak ungkapan dan wajah mereka
(Emzir, 2016).

Gambar 3.2. Macam-macam teknik observasi

Susan Stainback (1988) menyatakan “In participant


observation, the researcher observes what people do, listen to what
they say, and participates in their activities’’ Dalam observasi
partisipatif, peneliti mengamati apa yang dikerjakan orang,
mendengarkan apa yang mereka ucapkan, dan berpartisipasi
dalam aktivitas mereka.

Stainback (1988) menggolongkan menjadi empat, yaitu


partisipasi pasif, partisipasi moderat, observasi yang terus terang
dan tersamar, dan obsevasi yang lengkap.

a) Partisipasi pasif (passive participation), means the research is


present at the scene of action but does not interact or participate.
Jadi dalam hal ini peneliti datang di tempat kegiatan orang yang
diamati, tetapi tidak ikut terlibat dalam kegiatan tersebut.

30
b) Partisipasi moderat (moderate participation): means that the
research maintains a balance between being insider and being
outsider. Dalam observasi ini terdapat keseimbangan antara
peneliti menjadi orang dalam dengan orang luar. Peneliti dalam
mengumpulkan data ikut observasi partisipatif dalam beberapa
kegiatan, tetapi tidak semuanya.

c) Partisipasi aktif (active participation): means that the research


generally does what others in the setting do. Dalam observasi ini
peneliti ikut melakukan apa yang dilakukan oleh narasumber,
tetapi belum sepenuhnya lengkap.

d) Partisipasi lengkap (complete participation): means the


researcher is natural participant. This is the highest level of
involvement. Dalam melakukan pembangkitan data, peneliti
sudah terlibat sepenuhnya terhadap apa yang dilakukan sumber
data. Jadi suasananya sudah natural, peneliti tidak terlihat
melakukan penelitian. Hal ini merupakan keterlibatan peneliti
yang tertinggi terhadap aktivitas kehidupan yang di teliti.

2) Observasi Terus Terang atau Tersamar

Dalam hal ini, peneliti dalam melakukan pembangkitan data


menyatakan terus terang kepada sumber data, bahwa ia sedang
melakukan penelitian. Jadi mereka yang di teliti harus mengetahui
sejak awal sampai akhir tentang aktivitas peneliti. Tetapi dalam
suatu saat peneliti juga tidak terus terang atau tersamar dalam
observasi, hal ini untuk menghindari kalau suatu data yang dicari
merupakan data yang masih dirahasiakan. Kemungkinan kalau
dilakukan dengan terus terang, maka peneliti tidak akan di ijinkan
untuk melakukan observasi (Sugiyono, 2014).

3) Observasi Tak Berstruktur

Observasi dalam penelitian kualitatif dilakukan dengan tidak


berstruktur, karena fokus penelitian belum jelas. Fokus observasi
akan berkembang selama kegiatan observasi berlangsung. Kalau
masalah penelitian sudah jelas seperti dalam penelitian kuantitatif,
maka observasi dapat dilakukan secara berstruktur dengan
menggunakan pedoman observasi.

31
Observasi tidak terstruktur adalah observasi yang tidak
dipersiapkan secara sistematis tentang apa yang akan diobservasi.
Hal ini dilakukan karena peneliti tidak tahu secara pasti tentang apa
yang akan diamati. Dalam melakukan pengamatan peneliti tidak
menggunakan instrument yang telah baku, tetapi hanya berupa
rambu-rambu pengamatan.

Dalam suatu pameran produk industri dari berbagai negara


misalnya, peneliti belum tahu pasti apa yang akan diamati. Oleh
karena itu peneliti dapat melakukan pengamatan bebas, mencatat
apa yang tertarik, melakukan analisis dan kemudian dibuat
kesimpulan, atau mungkin peneliti akan melakukan penelitian pada
lembaga pendidikan asing yang belum dikenalnya, maka peneliti
akan melakukan observasi tidak terstruktur.

b. Manfaat Observasi

Menurut Patton dalam Nasution (1988), manfaat observasi


adalah sebagai berikut.

1) Dengan observasi di lapangan peneliti akan lebih mampu


memahami konteks data dalam keseluruhan situasi sosial, jadi
akan dapat diperoleh pandangan yang holistik atau menyeluruh;

2) Dengan observasi maka akan diperoleh pengalaman langsung,


sehingga memungkinkan peneliti menggunakan pendekatan
induktif, jadi tidak dipengaruhi oleh konsep atau pandangan
sebelumnya. Pendekatan induktif membuka kemungkinan
melakukan penemuan atau discovery;

3) Dengan observasi, peneliti dapat melihat hal-hal yang kurang


atau tidak diamati orang lain, khususnya orang yang berada
dalam lingkungan itu, karena telah dianggap “biasa” dan karena
itu tidak akan terungkapkan dalam wawancara;

4) Dengan observasi, peneliti dapat menemukan hal-hal yang


sedianya tidak akan terungkapkan oleh responden dalam
wawancara karena bersifat sensitif atau ingin ditutupi karena
dapat merugikan nama lembaga;

32
5) Dengan observasi, peneliti dapat menemukan hal-hal yang di
luar persepsi responden, sehingga peneliti memperoleh gambar-
an yang lebih komprehensif;

6) Melalui pengamatan di lapangan, peneliti tidak hanya


mengumpulkan daya yang kaya, tetapi juga memperoleh kesan-
kesan pribadi, dan merasakan suasana situasi sosial yang
diteliti.

c. Objek Observasi
Objek penelitian dalam penelitian kualitatif yang diobservasi
menurut Spradley dinamakan situasi sosial, yang terdiri atas tiga
komponen yaitu place (tempat), actor (pelaku), dan activities
(aktivitas).
1) Place, atau dimana tempat interaksi dalam situasi sosial sedang
berlangsung. Dalam pendidikan bisa diruang kelas dan bengkel.
2) Actor, pelaku atau orang-orang yang sedang memainkan peran
tertentu, seperti guru, kepala sekolah, pengawas, orang tua
murid.
3) Activity, atau kegiatan yang dilakukan oleh aktor dalam situasi
sosial yang sedang berlangsung, seperti kegiatan belajar
mengajar.
Sugiyono (2014), tiga elemen tersebut, dapat diperluas,
sehingga apa yang dapat kita amati adalah:
1) Space: the physical: ruang dalam aspek fisiknya;
2) Actor: the people involve: yaitu semua orang yang terlibat dalam
situasi social;
3) Activity: a set of related acts people do: seperangkat kegiatan
yang dilakukan orang;
4) Object: the physical things that are present: yaitu benda-benda
yang terdapat ditempat itu;
5) Act: single actions that people do, yaitu perbuatan atau tindakan-
tindakan tertentu;
6) Event: a set of related activities that people carry out, yaitu
rangkaian aktivitas yang dikerjakan orang-orang;
7) Time: the sequencing that takes place over time, yaitu urutan
kegiatan;

33
8) Goal: the things people are trying to occomplish, yaitu tujuan
yang ingin dicapai orang-orang;
9) Feeling: the emotion felt and expressed, emosi yang dirasakan
dan diekspresikan oleh orang-orang.
Dalam melakukan pengamatan kita dapat menentukan pola
sendiri, berdasarkan pola diatas. Misalnya akan melakukan
pengamatan terhadap situasi sosial bidang pendidikan, maka place
nya adalah lingkungan fisik sekolah, actor nya adalah para guru,
kepala sekolah, murid dan orang-orang yang ada dilingkungan
dengan segala karakteristiknya, activiti nya adalah kegiatan belajar
mengajar, pelaksanaan manajemen sekolah, komunikasi sekolah
dengan lingkungan dan lain-lain.
d. Kelebihan dan Kekurangan Observasi
Emzir (2016), apabila peneliti menggunakan instrumen ini
peneliti akan menemukan bahwa observasi mempunyai kelebihan
sebagai berikut:

Pertama, observasi merupakan cara langsung paling baik


untuk meneliti berbagai macam fenomena atau gejala karena
terdapat berbagai perilaku manusia yang tidak mungkin dipelajari
kecuali dengan cara ini.

Kedua, observasi tidak memerlukan usaha yang besar dari


pihak pelaku observasi bila dibandingkan dengan teknik lain.

Ketiga, observasi yang memungkinkan penelitian


memberikan data di bawah kondisi perilaku yang dikenal.

Keempat, observasi memungkinkan penelitian


mengumpulkan hakikat perilaku pada saat yang sama dengan
waktu yang diperolehnya.

Kelima, observasi tidak banyak bergantung pada


pengambilan kesimpulan.

Keenam, observasi membolehkan pengolahan data dan


informasi dari yang tersedia agar individu tidak perlu memikirkan
topik penelitian ketika dilakukan wawancara pribadi atau surat
menyurat.

34
Emzir (2016), teknik observasi juga mempunyai beberapa
kelemahan diantaranya: Pertama, kadang-kadang ketergantungan
individu pada topik penelitian diberikan penelitian dapat
memberikan dampak tidak baik. Misalnya ketika mereka merasa
bahwa perilaku mereka diawasi; Kedua, adalah hal sulit terjadinya
suatu kejadian yang dapat diperkirakan sebelumnya agar peneliti
hadir pada waktu itu kebanyakan waktu menunggu memakan waktu
lama; Ketiga, sebagian kadang-kadang terhambat oleh faktor-faktor
yang tidak diharapkan proses pelaksanaan observasi seperti
perubahan cuaca dan terjadi kejadian-kejadian lain sebagai
pengganti; Keempat, teknik ini sangat terikat pada waktu waktu dan
tempat kadang-kadang kejadian dalam waktu tahunan atau terjadi
pada berbagai tempat yang menjadikan tugas peneliti sulit; Kelima,
diketahui bahwa terdapat sebagian kejadian yang tidak mungkin
diamati secara langsung yang hanya dapat diperoleh informasinya
melalui surat-menyurat atau wawancara pribadi seperti kejadian-
kejadian yang berhubungan dengan kehidupan pribadi individu

e. Tahapan Observasi
Menurut Spradley (1980), Tahapan observasi ada tiga yaitu
1) observasi deskriptif, 2) observasi terfokus 3) observasi terseleksi.
Tahap observasi memiliki tiga tahap yaitu tahap deskripsi yaitu
memasuki situasi sosial yang terdiri atas adanya tempat, aktor, dan
aktivitas. Pada tahap ini data masih acak dan beragam sehingga
perlu dilakukan reduksi. Pada tahap reduksi adalah menentukan
fokus dengan memilih diantara yang telah dideskripsikan sehingga
data yang beragam sudah mulai terfokus. Selanjutnya memasuki
tahap seleksi dilakukan proses mengurai fokus menjadi komponen
yang lebih rinci.
1) Observasi deskriptif
Observasi deskriptif dilakukan penelitian pada saat
memasuki situasi sosial tertentu sebagai objek penelitian. Pada
tahap ini peneliti belum membawa masalah yang akan diteliti, maka
peneliti melakukan penjelajahan umum, dan menyeluruh,
melakukan deskripsi terhadap semua yang dilihat, didengar, dan
dirasakan. Oleh karena itu, hasil dari observasi ini disimpulkan

35
dalam keadaan yang belum tertata. Observasi tahap ini sering
disebut sebagai grand tour observation, dan peneliti menghasilkan
kesimpulan pertama. Bila dilihat dari segi analisis maka peneliti
melakukan analisis maka peneliti melakukan analisis domain,
sehingga mampu mendeskripsikan terhadap semua yang ditemui
(Sugiyono, 2014).
2) Observasi Terfokus
Observasi terfokus pada tahap ini peneliti sudah melakukan mini
tour observation yaitu suatu observasi yang telah dipersempit untuk
difokuskan pada aspek tertentu. Observasi ini juga dinamakan
observasi terfokus karena pada tahap ini peneliti melakukan analisis
taksonomi sehingga dapat menemukan fokus (Sugiyono, 2014)
3) Observasi Terseleksi
Observasi seleksi pada tahap observasi ini meneliti telah
menguraikan fokus yang ditemukan sehingga datanya lebih rinci
dengan melakukan analisis komponensial terhadap fokus maka
pada tahap ini peneliti telah menemukan karakteristik kontras
kontras atau perbedaan dan kesamaan terkategori serta
menemukan hubungan antara satu kategori dengan kategori yang
lain pada tahap ini diharapkan peneliti telah dapat menemukan
pemahaman yang dalam atau hipotesis (Sugiyono, 2014).
2. Pembangkitan Data dengan Wawancara
Wawancara digunakan sebagai teknik pembangkitan data
apabila peneliti ingin melakukan studi pendahuluan untuk
menemukan permasalahan yang harus diteliti tetapi juga apabila
peneliti ingin mengetahui hal-hal dari responden yang lebih
mendalam ini pengumpulan data ini berdasarkan diri pada laporan
tentang diri sendiri atau self-report atau setidaknya pada
pengetahuan dan atau keyakinan pribadi.

36
Gambar 3.3. Hubungan antara tahap penelitian dengan waktu
Yang diperlukan untuk observasi (Sugiyono, 2014).

Susan Stanback (1988) mengemukakan bahwa:


interviewing provide the researcher a means to gain a deeper
undersanding of how the participant interpret a situatiaon or
phenomenon than can be gained througth observation alon. Jadi
dengan wawancara, maka peneliti akan mengetahui hal-hal yang
lebih mendalam tentang partisipan dalam menginterprestasikan
situasi dan fenomena yang terjadi, di mana hal ini tidak bisa
ditemukan melalui observasi.
Selanjutnya Esterbreg (2002) menyatakan bahwa
“interviewing is at the heart of social research. If you look through
almost any sociological, you will find that much social reseach is
based on interview, either standardized or more in-depth”. Interview
merupakan hatinya penelitian sosial. Bila anda lihat jurnal dalam
ilmu sosial, maka akan anda temui semua penelitian sosial
didasarkan pada interview, baik yang standar maupun yang dalam.
Dalam penelitan kualitatif, sering menggabungkan teknik
observasi partisipasif dengan wawancara mendalam. Selama
melakukan observasi, peneliti juga melakukan interview kepada
orang-orang ada di dalamnya.

37
a. Macam-macam Wawancara

Esterbreg (2002), mengemukakan beberapa wawancara,


yaitu wawancara instruktur, semi terstruktur, dan tidak terstruktur.
1) Wawancara terstruktur (Structured interview)

Wawancara terstruktur digunakan sebagai teknik


pembangkitan data, bila peneliti atau pengumpul data mengetahui
dengan pasti tentang informasi apa yang akan diperoleh. Oleh
karena itu dalam melakukan wawancara, pengumpul data
menyiapkan instrumen penelitian berupa pertanyaan-pertanyaan
tertulis yang alternatif jawabannya pun telah disiapkan. Dengan
wawancara terstruktur ini setiap responden diberi pertanyaan yang
sama, dan pengumpul data mencatatnya. Dengan wawancara
terstruktur ini pula, pengumpul dapat menggunakan beberapa
wawancara sebagai pengumpul data. Supaya setiap pewawancara
mempunyai keterampilan yang sama, maka diperlukan training
kepada calon pewawancara.

Dalam melakukan wawancara, selain harus membawa


instrumen sebagai pedoman untuk wawancara, maka pengumpul
data juga dapat menggunakan alat bantu seperti tipe recorder,
gambar brosur dan material lain yang dapat membantu
pelaksanaan wawancara menjadi lancar. Peneliti bidang
pembangunan misalnya, bila akan melakukan penelitian untuk
mengetahui respon masyarakat terhadap berbagai pembangunan
yang telah dilakukan untuk meningkatkan kesejahteraan
masyarakat, maka perlu membawa foto-foto atau brosur tentang
berbagi jenis pembangunan yang telah dilakukan. Misalnya
pembangunan gedung sekolah, bendungan untuk pengairan
sawah-sawah, pengembangan pembangkit tenaga listrik dan lain-
lain.

2) Wawancara Semiterstruktur (Semistructure Interview)


Jenis wawancara ini sudah termasuk dalam kategori in-
depth interview, di mana dalam pelaksanaannya lebih bebas bila
dibandingkan dengan wawancara terstruktur. Tujuan dari
wawancara jenis ini adalah untuk menemukan permasalahan
secara lebih terbuka, di mana pihak yang diajak wawancara diminta
pendapat, dan ide-idenya. Dalam melakukan wawancara, peneliti
perlu mendengarkan secara teliti dan mencatat apa yang
dikemukakan oleh informan.

38
3) Wawancara tak berstruktur (unstructured interview)

Wawancara tidak terstruktur adalah wawancara yang bebas


di mana peneliti tidak menggunakan pedoman wawancara yang
telah tersusun secara sistematis dan lengkap untuk pengumpulan
datanya. Pedoman wawancara yang digunakan hanya berupa
garis-garis besar permasalahan yang akan ditanyakan.

Wawancara tidak terstruktur atau terbuka, sering digunakan


dalam penelitian pendahuluan atau malahan untuk penelitian yang
lebih mendalam tentang subyek yang teliti. Pada penelitian
pendahuluan, penelitian berusaha mendapatkan informasi awal
tentang berbagi isu atau permasalahan yang ada pada objek,
sehingga peneliti dapat menentukan secara pasti permasalahan
atau variabel apa yang lebih lengkap, maka peneliti perlu
melakukan wawancara kepada pihak-pihak yang mewakili berbagai
tingkatan yang ada dalam objek. Misalnya akan melakukan
penelitian tentang iklim kerja perusahaan, maka dapat dilakukan
wawancara dengan pekerja tingkat bawah, supervisor, dan
manajer.

Untuk mendapat informasi yang lebih dalam tentang


responden, maka peneliti dapat juga menggunakan wawancara
tidak terstruktur. Misalnya seseorang yang dicurigai sebagai
penjahat, maka peneliti akan melakukan wawancara tidak
terstruktur secara mendalam, sampai diperoleh keterangan bahwa
orang tersebut penjahat atau bukan.

Dalam wawancara tidak terstruktur, peneliti belum


mengetahui secara pasti data apa yang akan diperoleh, sehingga
peneliti lebih banyak mendengarkan apa yang diceritakan oleh
responden. Berdasarkan analisis terhadap setiap jawaban dari
responden tersebut, maka peneliti dapat mengajukan berbagai
pertanyaan berikutnya yang lebih terarah pada suatu tujuan. Dalam
melakukan wawancara peneliti dapat menggunakan cara “berputar-
putar baru menukik” artinya pada awal wawancara, yang
dibicarakan adalah hal-hal yang tidak terkait dengan tujuan, dan bila
sudah terbuka kesempatan untuk menanyakan sesuatu yang
menjadi tujuan, maka segera ditanyakan.

Wawancara baik yang dilakukan dengan face to face


maupun yang menggunakan pesawat telepon, akan selalu terjadi

39
kontak pribadi, oleh karena itu pewawancara perlu memahami
situasi dan kondisi sehingga dapat memilih waktu yang tepat kapan
dan di mana melakukan wawancara. Pada saat responden sedang
sibuk bekerja, sedang mempunyai masalah berat, sedang mulai
istirahat, sedang tidak sehat, atau sedang marah, maka harus hati-
hati dalam melakukan wawancara. Kalau dipaksakan wawancara
dalam kondisi seperti itu, maka akan menghasilkan data yang tidak
valid dan akurat.

Bila responden yang akan diwawancarai telah ditentukan


orangnya, maka sebaiknya sebelum melakukan wawancara,
pewawancara minta waktu terlebih dulu, kapan dan dimana bisa
melakukan wawancara. Dengan cara ini, maka suasana
wawancara akan lebih baik, sehingga data yang diperoleh akan
lebih lengkap dan valid.

Informasi atau data yang diperoleh dari wawancara sering


bias. Bias adalah menyimpang dari yang seharusnya, sehingga
dapat dinyatakan data tersebut subjektif dan tidak akurat.
Kebiasaan data ini akan tergantung pada pewawancara, yang
diwawancarai (responden) dan situasi & kondisi pada saat
wawancara. Pewawancara yang tidak dalam posisi netral, misalnya
ada maksud tertentu, diberi sponsor akan memberikan interpretasi
data yang berbeda dengan apa yang disampaikan oleh responden.
Responden akan memberikan data yang bias, bila responden tidak
dapat menangkap dengan jelas apa yang ditanyakan peneliti atau
pewawancara. Oleh karena itu peneliti jangan memberi pertanyaan
yang bias. Selanjutnya situasi dan kondisi seperti yang juga telah
dikemukakan di atas, sangat mempengaruhi proses wawancara,
yang pada akhirnya juga akan mempengaruhi validitas data.

b. Langkah-langkah Wawancara

Lincoln and Guba dalam Sanapiah Faisal (1990),


mengemukakan ada tujuh langkah dalam penggunaan wawancara
untuk mengumpulkan data dalam penelitian kualitatif, yaitu:

1) Menetapkan kepada siapa wawancara itu akan dilakukan


2) Menyiapkan pokok-pokok masalah yang akan menjadi bahan
pembicaraan
3) Mengawali atau membuka alur wawancara
4) Melangsungkan alur wawancara

40
5) Mengkonfirmasikan hasil wawancara dan mengakhirinya
6) Menuliskan hasil wawancara ke dalam catatan lapangan
7) Mengidentifikasi tindak lanjut hasil wawancara yang telah
diperoleh.

c. Jenis-Jenis Pertanyaan Dalam Wawancara

Patton dalam Molleong (2002) menggolongkan enam jenis


pertanyaan yang saling berkaitan yaitu:

1) Pertanyaan yang berkaitan dengan pengalaman


Pertanyaan ini digunakan untuk mengungkapkan
pengalaman yang telah dialami oleh informan atau subyek yang
diteliti dalam hidupnya, baik dalam kehidupan pada waktu masih
kanak-kanak, selama di sekolah, di masyarakat, di tempat kerja
dan lain-lain. Hasil dari wawancara ini, selanjutnya peneliti
dapat mengkonstruksi profil kehidupan seseorang sejak lahir
hayatnya. Contoh: bagaimana pengalaman bapak selama
menjabat lurah di sini?

2) Pertanyaan yang berkaitan dengan pendapat


Ada kalanya peneliti ingin minta pendapat kepada informan
terhadap data yang diperoleh dari sumber tertentu. Oleh karena
itu peneliti pertanyaan yang dilontarkan kepada informan
berkenaan dengan pendapatnya tentang data tersebut. Sebagai
contoh: bagaimana pendapat anda terhadap pernyataan pak
Lurah yang menyatakan bahwa masyarakat di sini partisipasi
dalam pembangunan cukup tinggi. Bagaimana pendapat anda
terhadap kebijakan kenaikan harga bahan bakar minyak
(BBM)?

3) Pertanyaan yang berkaitan dengan perasaan


Mendapatkan data tentang perasaan orang yang sifatnya
afektif lebih sulit dibandingkan mendapatkan data yang sifatnya
kognitif atau psikomotorik. Namun demikian perasaan orang
yang sedang susah atau senang dapat terlihat dari ekspresi
wajahnya. Oleh karena itu pertanyaan yang digunakan untuk
mengungkapkan perasaan seseorang menggunakan
pertanyaan yang tidak langsung. Pada awalnya dilakukan
percakapan yang biasa, dan lama-lama diarahkan pada
pertanyaan yang digunakan untuk mengungkapkan perasaan.

41
Contoh, sepertinya ada masalah, apa yang sedang anda
rasakan? Bagaimana rasanya menjadi relawan di Aceh?

4) Pertanyaan tentang pengetahuan


Pertanyaan digunakan untuk mengungkapkan pengetahuan
informan suatu kasus atau peristiwa yang mungkin diketahui.
Mereka ini dipilih menjadi narasumber karena diduga ia ikut
terlibat dalam peristiwa tersebut. Contoh pertanyaan:
bagaimana proses terjadinya gempa tsunami? berapa orang di
sini yang terkena? berapa bangunan rumah penduduk dan
bangunan pemerintah yang rusak?

5) Pertanyaan yang berkenaan dengan indera


Pertanyaan ini digunakan untuk mengungkapkan data atau
informasi karena yang bersangkutan melihat, mendengarkan,
meraba dan mencium suatu peristiwa. Pada saat Anda melihat
akibat gempa di Pulau Nias, bagaimana peran pemerintah
daerah. Anda kan telah mencium minyak wangi itu, bagaimana
baunya? Anda kan telah makan buah itu, bagaimana rasanya?

6) Pertanyaan berkaitan dengan Latar Belakang atau Demografi


Pertanyaan ini digunakan untuk mengungkapkan latar
belakang subyek yang dipelajari yang meliputi status sosial
ekonomi, latar belakang pendidikan, asal usul, tempat lahir,
usia, pekerjaan dan lain-lain. Contoh pertanyaan: di mana dia
dilahirkan? Sekarang usianya berapa? Bekerja dimana?
Sedang menjabat apa sekarang? dan lain-lain.

Selanjutnya Guba dan Lincoln dalam Moleong (2002)


mengklasifikasikan jenis-jenis pertanyaan untuk wawancara
sebagai berikut.

1) Pertanyaan hipotesis: jika modal asing masuk ke sini,


bagaimana dinamika kehidupan masyarakat nanti?

2) Pertanyaan yang mempersoalkan sesuatu yang ideal dan


informan diminta untuk memberikan respon. Anggaran
pendidikan akan dinaikan sampai 20% dari APBN, bagaimana
pendapat Anda?

3) Pertanyaan yang menantang informan untuk merespon dengan


memberikan hipotesis alternatif. Adakah alternatif lain cara

42
mengatur lalu lintas supaya tidak macet? Bagaimana cara
penerimaan pegawai yang bebas dari KKN?

4) Pertanyaan interpretatif adalah suatu pertanyaan yang


menyarankan kepada informan untuk memberikan
interprestasinya tentang suatu kejadian. Menurut anda,
bagaimana pembangunan dalam berbagai bidang setelah
otonomi daerah?

5) Pertanyaan yang memberikan saran. Apakah saran yang anda


berikan dalam rangka pemilihan Kepala Daerah secara
langsung?

6) Pertanyaan untuk mendapatkan suatu alasan. Mengapa anda


tidak ikut kerja bakti di hari minggu kemarin?

7) Pertanyaan untuk mendapatkan argumentasi. Bagaimana


pendapat anda bila tempat ini akan dibangun mall?

8) Pertanyaan untuk mengungkap sumber data tambahan. Saya


telah menanyakan peristiwa itu kepada pak Lurah, mungkin
ada orang lain yang lebih tahu?

9) Pertanyaan yang mengungkapkan kepercayaan terhadap


sesuatu? Apakah anda yakin kalau kebijakan menaikan BBM
dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat miskin?

10) Pertanyaan yang mengarahkan, dalam hal ini informan diminta


untuk memberikan informasi tambahan. Saya telah
mendapatkan data kenakalan remaja di sini dari pak RT,
apakah anda punya tambahan informasi?

d. Alat-alat Wawancara

Hasil wawancara dapat terekam dengan baik apabila


didukung dengan alat-alat wawancara supaya peneliti memiliki bukti
bahwa telah melakukan wawancara kepada informan atau sumber
data maka diperlukan alat-alat pendukung sebagai berikut:

1) Buku catatan berfungsi untuk mencatat semua percakapan


dengan sumber data sekarang sudah banyak komputer yang
kecil atau notebook yang dapat digunakan untuk membantu

43
mencatat data hasil wawancara. Untuk saat ini sudah ada juga
aplikasi pada handphone yang bisa mengubah suara menjadi
kata-kata secara jelas.

2) Tape recorder berfungsi untuk merekam semua percakapan


atau pembicaraan yang perlu disampaikan kepada informan
apakah dibolehkan atau tidak alat perekam ini digunakan pada
saat wawancara dengan informan.

3) Kamera untuk memotret kalau peneliti sedang melakukan


pembicaraan dengan informan. Namun perlu diingat bahwa foto
tersebut sebaiknya diambil secara alamiah dan bukan di-setting
sekalipun untuk keperluan dokumentasi.

Metode pengumpulan data atau pembangkitan data yang


dapat digunakan adalah sebagai berikut: (Hanurawan, 2016)

1) Observasi non partisipasi. Peneliti atau observer melakukan


pengamatan tanpa melakukan partisipasi terhadap aktivitas-
aktivitas sosial budaya dalam kelompok etnis yang diteliti;

2) Observasi partisipasi. Peneliti atau observer melakukan


pengamatan dengan melakukan partisipasi terhadap aktivitas-
aktivitas sosial budaya dalam kelompok etnis yang diteliti.

3) Wawancara mendalam. Wawancara mendalam umumnya


disesuaikan dengan tujuan-tujuan atau pertanyaan-pertanyaan
penelitian. Apabila memungkinkan selama proses wawancara
mendalam dalam penelitian etnografi dilakukan perekaman
secara audio dan segera setelah itu ditranskripsi untuk
kemudahan proses analisis.

4) Dokumen yang ada dalam sebuah kelompok etnik dalam


konteks yang bersifat alamiah (terjadi dalam kehidupan sehari-
hari). Dokumen tentang komunitas, partisipan, institusi, dan
praktik kebudayaan sangat penting bagi ketercapaian tujuan
penelitian etnografi dalam bidang psikologi.

5) Rekaman audio dan video. Alat pengumpul data ini sangat


berguna dalam proses pengumpulan data dan analisis data
karena memberikan jaminan keakuratan data dan

44
memungkinkan untuk diulang-ulang pada kesempatan lain
apabila diperlukan.

e. Mencatat Hasil Wawancara


Hasil wawancara segera harus dicatat setelah selesai
melakukan wawancara supaya tidak lupa. Karena wawancara
dilakukan secara terbuka dan tidak berstruktur, maka peneliti perlu
membuat rangkuman yang lebih sistematis terhadap hasil
wawancara. Dari berbagai sumber data perlu dicatat mana data
yang dianggap penting, yang tidak penting, data yang sama
dikelompokkan hubungan satu data dengan data yang lain perlu
dikonstruksikan sehingga menghasilkan pola dan makna tertentu
data yang masih diragukan perlu ditanyakan kembali kepada
sumber data lama atau yang baru agar memperoleh ketuntasan dan
kepastian (Sugiyono, 2014).

f. Kelebihan dan Kekurangan Wawancara


Emzir (2016), kemampuan peneliti menggunakan instrumen
wawancara pribadi secara ilmiah dan objektif tergantung pada tiga
hal berikut yaitu: 1) kemampuan orang yang melaksanakan
wawancara (baik peneliti sendiri maupun yang lain) masuk ke dalam
diskusi atau percakapan bertujuan; 2) kompetensinya dalam
menganalisis maksud pandangan pokok yang terdapat dalam
wawancara; dan 3) kecermatan atau ketelitiannya dalam mencatat
hasil wawancara. Selanjutnya Emzir (2016), apabila ketiga hal ini
kita jadikan pelajaran maka kita dapat menyimpulkan kelebihan dari
instrumen pembangkitan data melalui wawancara pribadi sebagai
berikut:
Pertama, wawancara merupakan instrumen yang paling
baik untuk memilih dan menilai karakteristik pribadi.
Kedua, wawancara mempunyai manfaat yang besar dalam
mengidentifikasi dan mengatasi masalah-masalah kemanusiaan
khususnya masalah afektif.
Ketiga, wawancara mempunyai manfaat yang besar dalam
konsultasi.

45
Keempat, wawancara membekali peneliti dengan informasi
tambahan untuk memperkuat data yang diperoleh melalui
instrumen lain.
Kelima, kadang-kadang peneliti menggunakan wawancara
bersama-sama dengan observasi untuk memperkuat validitas data
yang diperoleh melalui informasi.
Keenam, wawancara merupakan satu-satunya instrumen
untuk pengumpulan data pada masyarakat buta huruf.
Di samping kelebihan di atas wawancara juga mempunyai
kelemahan diantaranya adalah sebagai berikut:
Pertama, keberhasilan wawancara sangat tergantung pada
kemauan informan dalam bekerja sama dan memberikan informasi
yang dapat dipercaya dan teliti. Kedua, wawancara terpengaruh
oleh keadaan diri dan faktor-faktor lain yang memengaruhi pribadi
yang melakukan wawancara atau informan atau keduanya
sekaligus dan selanjutnya mengandung bias pribadi yang sangat
tinggi pada data atau subjektivitas pribadi pada data. Ketiga,
wawancara terpengaruh oleh antusias informan pada dirinya
keinginannya untuk tampil positif, keragu-raguannya dalam
memberikan informasi, dan motivasinya untuk disukai orang yang
melakukan wawancara. Berdasarkan hal ini, kita mengingatkan
peneliti bahwa setiap informan mewarnai kebenaran atau hakikat
yang dibicarakannya sesuai dengan yang disangkanya benar.

3. Pembangkitan Data dengan Dokumen

Dokumen merupakan catatan peristiwa yang sudah berlalu


dokumen bisa berbentuk tulisan gambar atau karya-karya
monumental dari seseorang. Dokumen yang berbentuk tulisan
misalnya catatan harian sejarah kehidupan, cerita, biografi,
peraturan, kebijakan. Dokumen yang berbentuk gambar misalnya
foto, gambar hidup, sketsa, dan lain-lain dokumen yang berbentuk
karya misalnya karya seni yang dapat berupa gambar, patung, film
dan lain-lain. Dokumen-dokumen ini dapat menambah pemahaman
atau informasi penelitian karena perhatian peneliti kualitatif telah
dan selalu difokuskan pada orang baik yang melek huruf maupun

46
yang buta huruf tidak semua proyek penelitian akan memiliki
dokumen-dokumen lokasi yang tersedia (Emzir, 2016).

Dokumen-dokumen yang mungkin tersedia mencakup iklan,


deskripsi kerja, laporan tahunan, memo, arsip sekolah, kores-
pondensi, brosur informasi materi pengajaran laporan berkala
website, paket orientasi atau rekruitmen, kontrak, catatan proses
pengadilan, dan banyak jenis item tertulis lainnya (Emzir, 2016).
Masalah pribadi dan hak cipta mungkin berimplikasi pada
pengumpulan dokumen maka penting untuk menanyakan hal ini
ketika anda menemukan atau diberikan dokumen apabila anda
diberikan untuk mencakup apa yang dipelajari dari dokumen-
dokumen ini dalam tulisan air anda maka dokumen tersebut harus
dikutip secara memadai dan dimasukkan dalam daftar pustaka dari
tulisan lahir tersebut jika anda tidak memperoleh izin jangan
gunakan dokumen tersebut dengan cara apapun (Genzuk, 2003).

4. Triangulasi

Dalam teknik pembangkitan data, triangulasi diartikan


sebagai teknik pengumpulan data yang bersifat menggabungkan
dari berbagai teknik pengumpulan data dan sumber data yang telah
ada. Bila peneliti melakukan pengumpulan data dengan triangulasi,
maka sebenarnya peneliti mengumpulkan data yang sekaligus
menguji kredibilitas data, yaitu mengecek kredibilitas data berbagai
teknik pengumpulan data dan berbagai sumber data.

Triangulasi teknik, berarti peneliti menggunakan teknik


pengumpulan data yang berbeda-beda untuk mendapatkan data
dari sumber yang sama. Peneliti menggunakan observasi
partisipatif, wawancara mendalam, dan dokumentasi untuk sumber
data yang secara serempak. Triangulasi sumber berarti, untuk
mendapatkan data dari sumber yang berbeda-beda dengan teknik
yang sama. Hal ini dapat digambarkan seperti gambar 12.6a dan
12.6b berikut.

Dalam hal triangulasi, Susan Stainback (1988) menyatakan


bahwa “ the aim is not to determine the truth about some social
phenomenon, rather the purpose of triangulation is not increase
one’s understanding of what ever is being investegated”. Tujuan
dari triangulasi bukan untuk mencari kebenaran tentang beberapa

47
fenomena, tetapi lebih pada peningkatan pemahaman peneliti
terhadap apa yang telah ditemukan. Selanjutnya Bogdan
menyatakan “ what the qualitative researcher is interested in is not
truth per se, but rather perspectives. Thus, rather than trying to
determine the “truth” of people’s perceptions, the purpose of
corroboration is to help researchers increase their understanding
and the probability that their finding will be seen as credible or
worthy of concideration by others"

Observasi
partisipatif

Wawancara
Sumber
mendalam
Data
sama

Dokumentasi

Gambar 3.4. Triangulasi “Teknik” Pengumpulan Data (Bermacam-


Macam Cara Pada Sumber Yang Sama)

A
Wawancara
mendalam
B

Gambar 3.5. Triangulasi “Sumber” Pengumpulan Data. (Satu


Teknik Pengumpulan Data Pada Bermacam-Macam Sumber Data
A, B, C)

48
Teknik triangulasi lebih mengutamakan efektivitas proses
dan hasil yang diinginkan. Oleh karena itu, triangulasi dapat
dilakukan dengan menguji apakah proses dan hasil metode yang
digunakan sudah berjalan dengan baik. Seperti (1) Umpamanya
peneliti menggunakan wawancara mendalam dan observasi
partisipasi untuk pengumpulan data. Pastikan apakah setiap hari
telah terhimpun catatan harian wawancara dengan informan serta
catatan harian observasi. (2) Setelah itu dilakukan uji silang
terhadap materi catatan-catatan harian itu untuk memastikan tidak
ada informasi yang bertentangan antara catatan harian wawancara
dan catatan harian observasi. Apabila ternyata antara catatan
harian kedua metode ada yang tidak relevan, peneliti harus
menginformasikan perbedaan itu kepada informan. (3) Hasil
konfirmasi itu perlu diuji lagi dengan informasi-informasi
sebelumnya karena bisa jadi hasil konermasi itu bertentangan
dengan informasi-informasi yang telah dihimpun sebelumnya dari
informan atau dari sumber-sumber lain. Apabila ada yang berbeda,
penelitian terus menelusuri perbedaan-perbedaan itu sampai
penelitian menemukan sumber perbedaan dan materi
perbedaannya, kemudian dilakukan konfirmasi dengan informan
dan sumber-sumber lain.

Proses triangulasi tersebut di atas dilakukan terus-menerus


sepanjang proses mengumpulkan data dan analisis data, sampai
suatu saat peneliti yakin bahwa sudah tidak ada lagi perbedaan-
perbedaan, dan tidak ada lagi yang perlu dikonfirmasikan kepada
informan.

Triangulasi juga dapat dilakukan dengan menguji


pemahaman peneliti dengan pemahaman informan tentang hal-hal
yang diinformasikan informan kepada peneliti. Hal ini perlu
dilakukan mengingat dalam penelitian kualitatif, persoalan
pemahaman makna suatu hal bisa jadi berbeda antara orang satu
dan lainnya. Termasuk juga umpamanya adalah kemungkinan
perbedaan pemahaman pemaknaan antara informan dan peneliti.
Sebagai contoh soal pemaknaan. Pada daerah-daerah tertentu
Indonesia secara budaya tidak memiliki perbedaan kata warna
“hijau”. Semua warna hijau disebut dengan kata “biru”, sehingga
apabila informan menyebutkan warna biru, akan ada kesalahan

49
pemahaman warna biru antara informan dan peneliti. Begitu pula
pada hal-hal lain yang dapat menimbulkan pemaknaan ganda oleh
informan maupun peneliti. Untuk masalah seperti ini, triangulasi
dapat dilakukan melalui dua cara, yaitu pertama, dilakukan setelah
wawancara atau observasi dilakukan. Peneliti langsung, melakukan
uji pemahaman kepada informan. Namun, apabila wawancara itu
akan dilakukan beberapa kali, di mana peneliti sendiri belum bisa
memastikan kapan wawancara itu akan berakhir, uji pemahaman
akan dilakukan pada wawancara berikutnya. Uji pemahaman dapat
pula dilakukan di akhir penelitian ketika semua informan sudah
dipresentasikan dalam draf laporan, kemudian sebelum hasil
penelitian itu dipublikasikan, peneliti dapat meminta informan untuk
membaca kembali draf laporan penelitian itu. Langkah yang terakhir
ini biasanya yang paling komprehensif bagi informan untuk menguji
apakah semua informasi yang diberikan dipahami secara benar
oleh peneliti berdasarkan apa yang dimaksudkan pula oleh
informan. Langkah yang terakhir ini pula bermanfaat untuk
mengonfirmasikan berbagai informasi yang peneliti peroleh dari
informan lain bahkan sumber-sumber lain kerena bisa jadi pada
tahap akhir semacam ini masih ada saja perbedaan-perbedaan
informasi maupun pemaknaan informasi yang terjadi di antara
kedua (berbagai) belah pihak.

Apabila proses uji akhir ini dilakukan tanpa komplain dan


komentar dari informan, maka draf laporan sudah dapat
dipresentasikan. Namun, apabila ada komplain dan komentar dari
informan, peneliti harus menelusuri komplain dan komentar itu.
Peneliti berkewajiban mencari di mana sumber kesalahan informasi
dan pemahaman sehingga muncul komplain dan komentar
informan. Untuk itu, peneliti mengulangi lagi proses-proses
sebagaimana yang telah dijelaskan di atas ketika harus melakukan
triangulasi.

Uji kebebasan melalui triangulasi ini dilakukan karena dalam


penelitian kualitatif, untuk menguji kebebasan informasi tidak dapat
dilakukan dengan alat-alat uji statistik. Begitu pula materi kebenaran
tergantung pada kebenaran intersubjektif oleh karena itu, sesuatu
yang dianggap benar apabila kebenaran itu mewakili kebenaran
orang banyak atau kebenaran stakeholder. Kebenaran bukan saja
muncul dari wancana etik, namun juga menjadi wancana etik dari
masyarakat yang diteliti.

50
BAB 4
Teknik Analisis Data

A. Pendahuluan

Dalam penelitian kualitatif, data diperoleh dari berbagai


sumber, dengan menggunakan teknik pengumpulan data yang
bermacam-macam (triangulasi), dan dilakukan secara terus
menerus sampai datanya jenuh. Dengan pengamatan yang terus
menerus tersebut mengakibatkan variasi data tinggi sekali. Data
yang diperoleh pada umumnya adalah data kualitatif (walaupun
tidak menolak data kuantitatif). sehingga teknik analisis data yang
digunakan belum ada polanya yang jelas. Oleh karena itu sering
mengalami kesulitan dalam melakukan analisis. seperti dinyatakan
oleh Miles and Huberman (1984), bahwa “The most serious and
central difficulty in the use of qualitative data is that methods of
analysis are not well formulate”. Yang paling serius dan sulit dalam
analisis data kualitatif adalah karena, metode analisis belum
dirumuskan dengan baik. Selanjutnya Susan Stainback
menyatakan: “There are no guidelines in qualitative research for
determining how much data and data analysis are necessary to
support and assertion, conclusion, or theory”. Belum ada panduan
dalam penelitian kualitatif untuk menentukan berapa banyak data
dan analisis yang diperlukan untuk mendukung kesimpulan atau
teori. Selanjutnya Natution (1988), menyatakan bahwa:

“Melakukan analisis adalah pekerjaan yang sulit, memerlukan


kerja keras. Analisis memerlukan daya kreatif serta
kemampuan intelektual yang tinggi. Tidak ada cara tertentu
yang dapat diikuti untuk mengadakan analisis, sehingga setiap
peneliti harus mencari sendiri metode yang dirasakan cocok
dengan sifat penelitiannya. Bahan yang sama bisa
diklasifikasikan lain oleh peneliti yang berbeda”

Dalam hal analisis data kualitatif, Bogdan menyatakan


bahwa “Data analysis is the process of systematically searching and

51
arranging the interview transcripsts, fieldnotes, and other materials
that you accumulate to increase your own understanding of them
and to enable you to present what you have discovered to others”.
Analisis data adalah proses mencari dan menyusun secara
sistematis data yang diperoleh dari hasil wawancara, catatan
lapangan, dan bahan-bahan lain, sehingga dapat mudah
dipahami,dan temuannya dapat diinformasikan kepada orang lain.
Analisis data dilakukan dengan mengorganisasikan data,
menjabarkannya ke dalam unit-unit, melakukan sintesa, menyusun
ke dalam pola, memilih mana yang penting dan yang akan
dipelajari, dan membuat kesimpulan yang dapat diceritakan kepada
orang lain.

Susan Stainback (1988), mengemukakan bahwa “Data


analysis is critical to the qualitative research process. It is to
recognition, study, and understanding of interrelationship and
concept in your data that hypotheses and assertions can be
developed and evaluated”. Analisis data merupakan hal yang kritis
dalam proses penelitian kualitatif. Analisis digunakan untuk
memahami hubungan dan konsep dalam data sehingga hipotesis
dapat dikembangkan dan dievaluasi.

Spradley (1980) menyatakan bahwa : “Analysis of any kind


involve a way of thinking. If refers to the systematic examination of
something to determine its parts, the relation among parts,and the
relationship to the whole. Analysis is a search for patterns”. Analisis
dalam penelitian jenis apapun adalah merupakan cara berfikir. Hal
itu berkaitan dengan pengujian secara sistematis terhadap sesuatu
untuk menentukan bagian, hubungan antar bagian, dan
hubungannya dengan keseluruhan. Analisis adalah untuk mencari
pola.

Berdasarkan hal tersebut di atas dapat dikemukakan di sini


bahwa, analisis data adalah proses mencari dan menyusun secara
sistematis data yang diperoleh data hasil wawancara, catatan
lapangan, dan dokumentasi, dengan cara mengorganisasikan data
ke dalam kategori, menjabarkan ke dalam unit-unit, melakukan
sintesa, menyusun ke dalam pola, memilih mana yang penting dan

52
yang akan dipelajari, dan membuat kesimpulan sehingga mudah
difahami oleh diri sendiri maupun orang lain (Sgiyono, 2014).

Analisis data kualitatif adalah bersifat induktif, yaitu suatu


analisis berdasarkan data yang diperoleh, selanjutnya dikembang-
kan pola hubungan tertentu atau menjadi hipotesis. Berdasarkan
hipotesis yang dirumuskan berdasarkan data tersebut, selanjutnya
dicarikan data lagi secara berulang-ulang sehingga selanjutnya
dapat disimpulkan apakah hipotesis tersebut diterima atau ditolak
berdasarkan data yang terkumpul. Bila berdasarkan data yang
dapat dikumpulkan secara berulang-ulang dengan teknik
triangulasi, ternyata hipotesis diterima, maka hipotesis tersebut
berkembang menjadi teori.

B. Proses Analisis Data

Analisis data dalam penelitian kualitatif dilakukan sejak


memasuki lapangan, selama di lapangan, dan setelah selesai di
lapangan. Dalam hal ini, Nasution (1988) menyatakan ”Analisis
telah mulai sejak merumuskan dan menjelaskan masalah, sebelum
terjun ke lapangan, dan langsung terus sampai penulisan hasil
penelitian. Analisis data menjadi pegangan bagi penelitian
selanjutnya sampai jika mungkin, teori yang grounded”. Namun
dalam penelitian kualitatif, analisis data lebih difokuskan selama
proses di lapangan bersama dengan pengumpulan data. In fact,
data analysis in qualitative research is an ongoing activity that
occurs throughout the investigative process rather than after
process. Dalam kenyataannya analisis data kualitatif berlangsung
selama proses pengumpulan data dari pada setelah selesai
pengumpulan data.

1. Analisis Sebelum di Lapangan

Penelitian kualitatif telah melakukan analisis data sebelum


peneliti memasuki lapangan. Analisis dilakukan terhadap data hasil
studi pendahuluan, atau data sekunder, yang akan digunakan untuk
menentukan fokus penelitian. Namun demikian fokus penelitian ini
masih bersifat sementara, dan akan berkembang setelah peneliti

53
masuk dan selama di lapangan. Jadi ibarat seseorang ingin mencari
pohon jati di suatu hutan. Berdasarkan karakteristik tanah dan iklim,
maka dapat diduga bahwa hutan tersebut ada pohon jatinya. Oleh
karena itu peneliti dalam membuat proposal penelitian, fokusnya
adalah ingin menemukan pohon jati pada hutan tersebut, berikut
karakteristiknya.

Setelah peneliti masuk ke hutan beberapa lama, ternyata


hutan tersebut tidak ada pohon jatinya. Kalau peneliti kuantitatif
tentu akan membatalkan penelitiannya. Tetapi kalau peneliti
kualitatif tidak, karena fokus penelitian bersifat sementara dan akan
berkembang setelah di lapangan. Bagi peneliti kualitatif, kalau fokus
penelitian yang dirumuskan pada proposal tidak ada di lapangan,
maka peneliti akan merubah fokusnya, tidak lagi mencari kayu jati
lagi di hutan, tetapi akan berubah dan mungkin setelah masuk hutan
tidak lagi tertarik pada kayu jati lagi, tetapi beralih lagi ke pohon-
pohon yang lain, bahkan juga mengamati binatang yang ada di
hutan tersebut.

2. Analisis Model Miles and Huberman

Analisis data dalam penelitian kualitatif, dilakukan pada saat


pengumpulan data berlangsung dan setelah selesai pengumpulan
data dalam periode tertentu. Pada saat wawancara, peneliti sudah
melakukan analisis terhadap jawaban yang diwawancarai. Bila
jawaban yang diwawancarai setelah dianalisis terasa belum
memuaskan, maka peneliti akan melanjutkan pertanyaan lagi,
sampai tahap tertentu, diperoleh data yang dianggap kredibel. Miles
and Hubermen (1984), mengemukakan bahwa aktivitas dalam
analisis data kualitatif dilakukan secara interaktif dan berlangsung
secara terus menerus sampai tuntas, sehingga datanya sudah
jenuh. Aktivitas dalam analisis data, yaitu data reduction, data
display, dan conclusion drawing/verification.

54
Langkah-langkah analisis ditunjukkan pada gambar 4.1.
berikut.

Periode pengumpulan
………………………………...
Reduksi data

Antisipasi Selama Setelah

Display data
ANALISIS
Selama Setelah

Kesimpulan/vertifikasi

Selama Setelah

Gambar 4.1. Komponen dalam analisis data (flow model)

Model interaktif dalam analisis data ditunjukkan pada


gambar 4.2. berikut.

data data
collection Display

data
reduction
conclusions:drawing/
verifyng

Gambar 4.2. komponen dalam analisis data (interactive medel)

55
a. Reduction Data (Reduksi Data)

Data yang diperoleh dari lapangan jumlahnya cukup


banyak,untuk itu maka perlu dicatat secara teliti dan rinci. seperti
telah dikemukakan, makin lama peneliti ke lapangan, maka jumlah
data akan makin banyak, kompleks dan rumit. Untuk itu perlu
segera dilakukan analisis data melalui reduksi data. Mereduksi data
berarti merangkum memilih hal-hal yang pokok memfokuskan pada
hal-hal peru yang penting, dicari tema dan polanya dan membuang
yang tidak perlu. Dengan demikian data yang telah direduksi akan
memberikan gambaran yang lebih jelas, dan mempermudah
peneliti untuk melakukan pengumpulan data selanjutnya, dan
mencarinya, bila diperlukan. Reduksi data dapat dibantu dengan
peralatan elektronik seperti komputer mini, dengan memberikan
kode pada aspek-aspek tertentu.

Dalam suatu situasi sosial tertentu, peneliti dalam


mereduksi data mungkin akan memfokuskan pada murid dari
keluarga orang tua miskin, pekerjaan sehari-hari dikerjakan, dan
rumah tinggalnya. Dalam bidang manajemen, dalam mereduksi
data mungkin peneliti akan memfokuskan pada bidang
pengawasan, dengan melihat perilaku orang-orang yang jadi
penggawas, metode kerja, tempat kerja interaksi antara pengawas
dengan yang diawasi, serta hasil pengawasan. Dalam bidang
pendidikan, setelah peneliti memasuki setting sekolah sebagai
tempat penelitian, maka dalam mereduksi data peneliti akan
memfokuskan pada murid-murid yang memiliki kecerdasan tinggi
dengan mengkategorikan pada aspek, gaya belajar, perilaku sosial,
interaksi dengan keluarga dan lingkungan, dan perilaku di kelas.

Dalam mereduksi data, setiap peneliti akan dipandu oleh


tujuan yang akan dicapai. Tujuan utama dari penelitian kualitatif
adalah pada semua. Oleh karena itu, kalau peneliti dalam
melakukan penelitian, menemukan segala sesuatu yang dipandang
asing, tidak dikenal, belum memiliki pola, justru itulah yang harus
dijadikan perhatian peneliti dalam melakukan penelitian di hutan
maka pohon-pohon atau tumbuh-tumbuhan dan binatang-binatang
yang belum dikenal selama ini, justru dijadikan fokus untuk
pengamatan selanjutnya.

Reduksi data adalah suatu bentuk analisis yang


mempertajam, memilih, memfokuskan, membuang, dan menyusun

56
data dalam suatu cara di mana kesimpulan akhir dapat
digambarkan dan diverifikasikan (Emzir, 2016). Sugiyono (2014),
Reduksi data merupakan proses berpikir sensitif yang memerlukan
kecerdasan dan keluasan dan kedalaman wawasan yang tinggi.
Bagi peneliti yang masih baru, dalam melakukan reduksi data dapat
mendiskusikan pada teman atau orang lain, yang dipandang ahli.
Melalui diskusi, itu maka wawasan peneliti akan berkembang,
sehinga dapat mereduksi data-data yang memiliki nilai temuan dan
pengembangan teori yang signifikan. Oleh karena itu, proses
reduksi data adalah proses ketat yang dilakukan oleh peneliti untuk
mereduksi data-data untuk menghasilkan data-data yang memiliki
nilai temuan dan kebaruan dalam pengembangan teori yang dapat
digambarkan dan diverifikasikan serta disimpulkan.
Hasil pengumpulan data tersebut tentu saja perlu direduksi
(data reduction). Istilah reduksi data dalam penelitian kualitatif dapat
disejajarkan maknanya dengan istilah pengelolaan data (mulai dari
editing, koding, hingga tabulasi data) dalam penilitian kuantitatif. Ia
mencakup kegiatan mengikhtiarkan hasil pengumpulan data
selengkap mungkin, dan memilahnya ke dalam satuan konsep
tertentu, kategori tertentu, atau tema tertentu (Bungin, 2015)
Seperangkat hasil reduksi data juga perlu diorganisasikan
kedalam suatu bentuk tertentu (display data) sehingga terlihat
sosoknya secara lebih utuh. Itu mirip semacam pembuatan tabel
atau diagram dalam tradisi penelitian kuantitatif. Ia bisa berbentuk
sketsa, sinopsi, matriks, atau bentuk-bentuk lain; itu sangat
diperlukan untuk memudahkan upaya pemaparan dan penegasan
kesimpulan (conclution drawing and verification).

b. Data Display (Penyajian Data)

Langkah utama kedua dari kegiatan analisis data adalah


model data. Kita mendefinisikan “model” sebagai suatu kumpulan
informasi yang tersusun yang membolehkan pendeskripsian
kesimpulan dan pengambilan tindakan (Emzir, 2016). Model dalam
kehidupan sehari-hari berbeda-beda dari pengukur bensin, surat
kabar, sampai layar komputer. Melihat sebuah tayangan membantu
kita memahami apa yang terjadi dalam melakukan sesuatu analisis
lanjutan atau tindakan dasarkan pada pemahaman tersebut.
Penyajian data dalam penelitian kualitatif dapat dilakukan
dalam bentuk uraian singkat, bagan, hubungan antara kategori

57
flowchart dan sejenisnya. Miles dan Hubermen (1984) yang paling
sering digunakan untuk menyajikan data dalam penelitian kualitatif
adalah dengan teks yang bersifat naratif. Dengan menyajikan data
maka akan memudahkan untuk memahami apa yang terjadi,
merencanakan kerja selanjutnya berdasarkan apa yang telah
dipahami tersebut.

Selanjutnya Miles dan Hubermen (1984) menyarankan


dalam melakukan display data, selain dengan teksnya naratif juga
dapat berupa grafik, matrik, Network (jejaring kerja), dan chart.
Untuk mengecek apakah peneliti telah memahami apa yang
disajikan maka perlu dijawab pertanyaan berikut: Apakah Anda tahu
apa ini selalu disajikan?

Dalam praktiknya tidak semudah ilustrasi yang diberikan


karena fenomena sosial bersifat kompleks, dan dinamis sehingga
apa yang ditemukan pada saat memasuki lapangan dan setelah
berlangsung agak lama di lapangan akan mengalami perkembang-
an data. Untuk , maka peneliti harus selalu mengerti apa yang telah
ditemukan pada saat memasuki lapangan yang masih bersifat
hipotetik itu berkembang atau tidak. Bila setelah lama memasuki
lapangan ternyata hipotesis yang dirumuskan selalu didukung oleh
data pada saat dikumpulkan di lapangan, maka hipotesis tersebut
terbukti, dan akan berkembang menjadi teori yang grounded. Teori
Grounded adalah teori yang ditemukan secara induktif berdasarkan
data-data yang ditemukan di lapangan, dan selanjutnya diuji melalui
pengumpulan data yang terus-menerus.

Salah satu hasil penelitian Suroso (1999) tentang struktur


pendidikan tenaga kerja pada industri modern, bidang produksi dan
teknologi. Berdasarkan data yang terkumpul dan setelah dianalisis,
selanjutnya dapat dikategorikan bahwa, penyebab utama yang
mempengaruhi benda kerja yang dihasilkan oleh pekerja menjadi
rusak (reject) sehingga tidak diterima, dapat dikelompokkan
menjadi adanya empat kesalahan. Kesalahan pertama, yaitu
kesalahan langsung dari pekerja/operator mesin, kesalahan
operator tidak langsung, kesalahan di luar operator, dan kesalahan
yang tidak diketahui. Setiap kategori kesalahan dapat dijabarkan
pada kesalahan-kesalahan yang lebih kecil. Sebagai contoh,
kesalahan yang disebabkan oleh kesalahan operator langsung,

58
adalah kesalahan menge-set fixture, membaca proses kerja,
mengoperasikan mesin, repair benda kerja dan lain-lain.

Reject

Gambar 4.3. Data display menggunakan diagram tulang ikan,


tentang beberapa kesalahan yang mempengaruhi reject
c. Penarikan Kesimpulan/Verifikasi
Langkah ketiga dalam analisis data kualitatif menurut Miles
dan Huberman (1984) adalah penarikan kesimpulan dan verifikasi.
Kesimpulan awal yang dikemukakan masih bersifat sementara, dan
akan berubah bila tidak ditemukan bukti-bukti yang kuat yang
mendukung pada tahap pengumpulan data berikutnya. Tetapi apa
bila kesimpulan yang dikemukakan pada tahap awal, didukung oleh
bukti-bukti yang valid dan konsisten saat peneliti kembali ke
lapangan mengumpulkan data, maka kesimpulan yang
dikemukakan merupakan kesimpulan yang kredibel.
Sugiyono (2014), kesimpulan dalam penelitian kualitatif
mungkin dapat menjawab rumusan masalah yang dirumuskan
sejak awal, tetapi mungkin juga tidak, karena seperti telah
dikemukakan bahwa masalah dan rumusan masalah dalam
penelitian kualitatif masih bersifat sementara dan akan berkembang
setelah penelitian berada di lapangan. Kesimpulan dalam penelitian
kualitatif yang diharapkan adalah merupakan temuan baru yang
sebelumnya belum pernah ada. Temuan dapat berupa deskripsi

59
atau gambaran suatu objek yang sebelumnya masih remang-
remang atau gelap sehingga setelah diteliti menjadi jelas, dapat
berupa hubungan kausal atau interaktif, hipotesis atau teori. Emzir
(2016), secara singkat makna muncul dari data yang telah teruji
kepercayaannya, kekuatannya, konfirmabilitasnya yaitu validitas-
nya.

3. Analisis Data Model Spradley

Model etnografi atau etnometodologi adalah model


penelitian kualitatif yang memiliki tujuan mendeskripsikan
karakteristik kultural yang terdapat dalam diri individu atau
sekelompok orang yang menjadi anggota sebuah kelompok
masyarakat kultural (Hanurawan, 2016; Johnson & Christensen,
2004). Sedangkan Michael Burawoy mendefinisikan etnografi
sebagai “mempelajari orang di ruang dan waktu mereka sendiri,
dalam kehidupan sehari-hari mereka sendiri” (Hallett and Barber,
2014;Burawoy et al 1991:). Selanjutnya Burawoy berpendapat
bahwa etnografer harus mempelajari “habitat alami” mereka untuk
memahami celah antara praktik dan wacana, dan untuk
menempatkan pekerjaan terkecil sehari-hari secara mendalam
yang lebih besar dari pada struktur sosial (Hallett and Barber, 2014).

Penelitian etnografi adalah genre penelitian kualitatif, yang


dikembangkan dari metodologi antropologi. Penelitian ini
menyelidiki masyarakat dan budaya dengan pengujian manusia,
interpersonal, sosial dan budaya dalam segala kerumitannya.
Etnografi adalah pendekatan penelitian yang mengacu pada proses
dan metode menurut penelitian yang dilakukan dan hasilnya
(Shagrir, 2017). Selain itu metodologi yang bersangkutan dengan
mendeskripsikan orang dan bagaimana perilaku mereka, baik
sebagai individu atau sebagai bagian dari kelompok, dipengaruhi
oleh budaya atau subkultur dimana mereka tinggal dan bergerak
(Draper, 2015; Hammersley and Atkinson, 2007).

Metode etnografi adalah fondasi dari ilmu antropologi dan


sosiologi, teori ilmu sosial, dan hal ini berkontribusi terhadap
kuantifikasi kerja lapangan ilmu sosial dan fondasi campuran dan
desain metode ganda (Morse, 2015). James P. Spradley, dengan
metode etnografinya, telah mengambil bagian penting di dalam
merubah citra antropologi menjadi alat penting untuk memahami
masyarakat yang saat ini sedang berkembang dan masyarakat

60
yang multikultural di seluruh dunia. Bahkan, hampir semua
antropolog sepakat bahwa etnografi menjadi dasar antropologi
kultural (Koeswinarno, 2015).

Etnografi adalah studi tentang bagaimana partisipan


berpartisipasi dalam praktik sosial setiap hari (Dervin and Dyer,
2016; Garvinkel, 1967). Sadewo mengutip definisi Keesing (1989),
bahwa etnografi adalah pembuatan dokumentasi dan analisis
budaya tertentu dengan mengadakan penelitian lapangan. Sadewo
menjelaskan definisi tersebut bahwa etnografi adalah pelukisan
yang sistematis dan analisis suatu kebudayaan kelompok,
masyarakat atau suku bangsa yang dihimpun dari lapangan dalam
kurun waktu yang sama (Bungin, 2015).

Etnografi adalah metodologi yang didasarkan pada


pengamatan langsung. Tentu saja saat melakukan etnografi juga
penting untuk mendengarkan percakapan para aktor ‘di atas
panggung’, membaca dokumen yang dihasilkan di lapangan sambil
mempelajarinya, dan mengajukan pertanyaan kepada orang lain.
Namun yang paling membedakan etnografi dari metodologi lainnya
adalah peran yang lebih aktif ditugaskan pada gaya kognitif untuk
mengamati, melihat, dan meneliti. Etnografi, seperti metodologi
lainnya, bukan sekadar instrumen pengumpulan data. Etnografi
lahir pada suatu momen tertentu dalam sejarah masyarakat dan
mewujudkan beberapa ciri khas budayanya (Silverman, 2017).
Etnografi mencakup studi intensif tentang orang-orang dalam
konteks budaya mereka; Ini bertujuan untuk membangun laporan
deskriptif rinci tentang kehidupan sosial dan budaya yang
mengintegrasikan beberapa metode kualitatif (Awah, 2014).

Penulis menyimpulkan bahwa model etnografi adalah studi


kualitatif terhadap diri individu atau sekelompok dengan tujuan
mendeskripsikan karakteristik kultural lebih mendalam secara
sistematis dalam ruang dan waktu mereka sendiri.

Ada dua landasan teori yang memberikan penjelasan


tentang model etnografi, yaitu interaksi simbolik dan aliran
fenomenologi, termasuk konstruksi sosial dan etnometodologi.
Sadewo dalam Burhan Bungin (2015) bahwa pemikiran James P.
Spradley (1979) dilandasi oleh teori interaksi simbolik. Dalam teori
ini, budaya dipandang sebagai sistem simbolik dimana makna tidak
berada dalam benak manusia, tetapi simbol dan makna itu terbagi

61
dalam benak manusia, tetapi simbol dan makna itu terbagi dalam
aktor sosial di antara, bukan di dalam, dan mereka adalah umum,
tidak mempribadi. Budaya juga merupakan pengetahuan yang
didapat seseorang untuk meng-interpretasikan pengalaman dan
menyimpulkan perilaku sosial. Teori ini mempunyai tiga premis
yaitu: 1) tindakan manusia terhadap sesuatu didasarkan atas
makna yang berarti baginya; 2) makna sesuatu itu diderivikasikan
dari atau lahir di antara mereka dan makna tersebut digunakan dan
dimodifikasi melalui proses interpretasi yang digunakan manusia
untuk menjelaskan sesuatu yang ditemui.

Penelitian etnografi dengan dilandasi oleh pemikiran


fenomenologi. Dalam memahami budaya, maka tahap-tahap yang
harus dilalui, dimulai dari rincian (breakdown), resolusi (resolution),
dan akhirnya pertalian (coherence). Hasil akhirnya adalah pertalian
di mana memperlihatkan 1) mengapa suatu resolusi lebih baik dari
yang lainnya; 2) menghubungkan suatu resolusi dengan
pengetahuan yang lebih yang menyusun suatu tradisi; dan
menjelaskan dan menerangkan, menampilkan reaksi dari anggota
masyarakat yang diteliti (Sadewo dalam Bungin, 2015).

Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian


etnografi adalah teknik analisis tematik etnografi dalam upaya
mendeskripsikan secara menyeluruh karateristik kultural yang
memengaruhi perilaku sosial individu. Fokus utama laporan
penelitian adalah narasi deskriptif tentang konteks dan tema-tema
kultural yang memengaruhi perilaku sosial individu. Fokus ini sesuai
dengan pengertian etnografi yang berarti penelitian untuk
menemukan dan mendeskripsikan secara komprehensif fenomena
budaya dari sebuah kelompok (Hanurawan, 2016).

Hanurawan (2016:91), teknik analisis tematik etnografi


dilakukan melalui prosedur:

a. Peneliti membuat daftar kategori yang menonjol sesuai dengan


tujuan penelitian yang terdapat dalam data-data hasil
pengumpulan data (hasil observasi, wawancara, dokumen, dan
rekaman audio dan video). Daftar kategori itu adalah fenomena
perilaku atau kejiwaan yang spesifik suatu kelompok
kebudayaan tertentu atau etnik tertentu.

b. Peneliti memberi label terhadap kategori-kategori yang muncul.

62
c. Berdasarkan pada daftar kategori yang menonjol tersebut maka
kemudian peneliti membuat kesimpulan-kesimpulan hasil-hasil
penelitian.

Berikut ini adalah langkah-langkah pengembangan


penelitian etnografi menurut Spradley (2007):

1. Menetapkan informan
Ada lima syarat minimal untuk memilih informan, yaitu: a)
enkulturasi penuh, artinya mengetahui budaya miliknya dengan
baik; b) keterlibatan langsung; c) suasana budaya yang tidak
dikenal, biasanya akan semakin menerima tindak budaya
sebagaimana adanya, dia tidak akan basa-basi; d) memiliki
waktu yang cukup; e) non-analitis.

2. Melakukan wawancara kepada informan


Wawancara etnografis merupakan jenis peristiwa percakapan
(speech event) yang khusus. Tiga unsur yang penting dalam
wawancara etnografis adalah tujuan yang eksplisit, penjelasan
dan pertanyaannya yang bersifat etnografis.

3. Membuat catatan etnografis


Sebuah catatan etnografis meliputi catatan lapangan, alat
perekam gambar, artefak dan benda lain yang men-
dokumentasikan suasana budaya yang dipelajari.

4. Mengajukan pertanyaan deskriptif


Pertanyaan deskriptif mengambil “keuntungan dari kekuatan
bahasa untuk menafsirkan setting.” Etnografer perlu untuk
mengetahui paling tidak satu setting yang di dalamnya informan
melakukan aktivitas rutinnya.

5. Melakukan analisis wawancara etnografis.


Analisis ini merupakan penyelidikan berbagai bagian sebagai-
mana yang dikonseptualisasikan oleh informan.

6. Membuat analisis domain.


Analisis ini dilakukan untuk mencari domain awal yang
memfokuskan pada domain-domain yang merupakan nama-
nama benda.
7. Mengajukan pertanyaan struktural yang merupakan tahap
lanjut setelah mengidentifikasi domain.

63
8. Membuat analisis taksonomik.
Ada lima langkah penting membuat taksonomi, yaitu: (a) pilih
sebuah domain analisis taksonomi, (b) identifikasi kerangka
substitusi yang tepat untuk analisis, (c) cari subset di antara
beberapa istilah tercakup, (d) cari domain yang lebih besar, (f)
buatlah taksonomi sementara.

9. Mengajukan pertanyaan kontras dimana makna sebuah simbol


diyakini dapat ditemukan dengan menemukan bagaimana
sebuah simbol berbeda dari simbol-simbol yang lain.

10. Membuat analisis komponen.


Analisis komponen merupakan suatu pencarian sistematik
berbagai atribut (komponen makna) yang berhubungan dengan
simbol-simbol budaya.

11. Menemukan tema-tema budaya.

12. Langkah terakhirnya yakni menulis sebuah etnografi.

Spradley dalam (Ary dkk., 2010:462). Prosedur siklus


penelitian etnografi mencakup enam langkah yaitu:

1. Memilih proyek etnografi.


Ruang lingkup proyek-proyek ini dapat sangat bervariasi dari
mempelajari keseluruhan masyarakat yang kompleks, seperti
kelompok berburu Inuit di Alaska, hingga mempelajari situasi
sosial tunggal atau lembaga, seperti bar perkotaan, per-
saudaraan, atau taman bermain sekolah. Para pemula akan
bijaksana untuk membatasi ruang lingkupnya proyek untuk
situasi sosial tunggal sehingga dapat diselesaikan dalam waktu
yang wajar. Sebuah situasi sosial selalu memiliki tiga komponen:
tempat, pelaku, dan kegiatan.

2. Mengajukan pertanyaan etnografis.


Peneliti memiliki pertanyaan dalam pikirannya untuk mem-
bimbing apa yang ingin dia lihat, dia dengar dan data yang ingin
dikumpulkan.

3. Mengumpulkan data etnografi.

64
Peneliti melakukan penelitian lapangan untuk mengetahui
kegiatan orang-orang, karakteristik fisik, dan bagaimana rasanya
menjadi bagian dari situasi. Langkah ini biasanya dimulai dengan
gambaran yang terdiri dari pengamatan deskriptif yang luas.
Kemudian, setelah melihat data, peneliti berpindah ke
pengamatan yang lebih terfokus. Di sini, peneliti menggunakan
observasi partisipan, wawancara mendalam, dan sebagainya
untuk mengumpulkan data.

4. Membuat catatan etnografis.


Langkah ini termasuk mengambil catatan lapangan dan foto,
membuat peta, dan menggunakan cara lain yang sesuai untuk
merekam pengamatan.

5. Menganalisis data etnografi.


Penelitian lapangan selalu diikuti dengan analisis data, yang
mengarah ke pertanyaan-pertanyaan baru dan hipotesis baru,
pengumpulan lebih banyak data dan catatan lapangan, serta
analisis yang lebih mendalam. Siklus tersebut terus berlanjut
sampai proyek selesai.

6. Menulis etnografi.
Etnografi harus ditulis, sehingga budaya atau kelompok dapat
dibawa ke kehidupan nyata, membuat pembaca merasa bahwa
mereka memahami orang-orang dan cara hidup mereka atau
situasi dan orang-orang di dalamnya. Laporan etnografis dapat
berbentuk panjang dari beberapa halaman untuk satu atau dua
volume. Penulisan harus rinci dan konkret, tidak umum atau
samar.

Analisis domain merupakan langkah pertama dalam


penelitian kualitatif. Langkah selanjutnya adalah analisis taksonomi
yang aktivitasnya adalah mencari bagaimana domain yang dipilih
itu dijabarkan menjadi lebih rinci. Selanjutnya analisis komponensial
aktivitasnya adalah mencari perbedaan yang spesifik setiap rincian
yang dihasilkan dari analisis taksonomi. Yang terakhir adalah
analisis tema, yang aktivitasnya adalah mencari hubungan di antara
domain, dan bagaimana hubungannya dengan keseluruhan,
selanjutnya dirumuskan dalam suatu tema atau judul penelitian.
Dalam hal tema spradley (1980) menyatakan: “Theme as: a
postulate or position, declare or implied, and usully cntrolling

65
behavior or stumulating activity, which tacitly approved or openly
promoted in society”

Analisis domain (domain analysis).


Memperoleh gambaran yang umum
dan menyeluruh dari objek/ penellitian
atau situasi sosial. Ditemukan berbagai
domain atau kategori. Diperoleh
pertanyaan grand dan minitour. Peneliti
menetapkan domain tertentu sebagai
pijakan untuk penelitian selanjutnya.
makin banyak domain yang dipilih,
maka akan semakin banyak waktu
yang diperlukan untuk penelitian

Analisis taksonomi (Taxsonomic


Analisis Analisys). Domain yang dipilih tersebut
data selanjutnya dijabarkan menjadi lebih
kualitatif rinci, untuk mengetahui stuktur
internalnya. Dilakukan dengan
observasi terfokus.

Analisis komponensial

(Componensial analysis). Mencari ciri


spesifik pada setiap struktur internal
dengan cara mengkontraskan antar
elemen. Dilakukan melalui observasi
dan wawancara terseleksi dengan
pertanyaan yang mengkontraskan
(contras question)

Analisis tema kultural

( discovering cultural theme). Mencari


hubungan di antara domain, dan
bagaimana hubungan dengan
keseluruhan, dan selanjutnya
dinyatakan ke dalam tema/judul
penelitian

Gambar 4.4. Analisis Data Kualitatif Model Spradley (1980).

66
Analisis domain pada umumnya dilakukan untuk
memperoleh gambaran yang umum dan menyeluruh tentang situasi
sosial yang diteliti atau objek penelitian. Data diperoleh dari grand
tour dan minitour question. Hasilnya berupa gambaran umum
tentang objek yang diteliti, yang sebelumnya belum pernah
diketahui. Dalam analisis ini informasi yang diperoleh belum
mendalam, masih dipermukaan, namun sudah menemukan
domain-domain atau kategori dari situasi sosial yang diteliti.

Dalam situasi sosial terdapat ratusan atau ribuan kategori. A


category is an array of diffrant objects thet are treated as if they were
equivalent (Spradley, 1984). Suatu domain adalah merupakan
kategori budaya (culture category) terdiri atas tiga elemen yaitu:
cover term, included terms, dan semantic relationship. Cover term
adalah nama suatu domain budaya, included terms nama-nama
yang lebih rinci yang ada dalam suatu kategori. Elemen ke tiga dari
seluruh domain budaya adalah hubungan semantik antara kategori.
Mencari hubungan semantik ini merupakan hal yang penting untuk
menemukan berbagai domain budaya. Kedudukan cover term,
included terms, dan semantic relationship.

Untuk menemukan domain dari konteks sosial/objek yang


diteliti, Spradley menyarankan untuk melakukan analisis hubungan
sematik antara kategori, yang meliputi sembilan tipe. Tipe
hubungan ini bersifat universal, yang dapat digunakan untuk
berbagai jenis situasi sosial.

Sembilan tipe hubungan sistemais yang dapat digunakan


untuk menelusuri dominan yang ada (Faisal, 1990), yakni:
1. Jenis (Strict Inclution) X adalah jenis dari Y
2. Ruang (Spation) X adalah tempat di Y
X adalah bagian dari Y
3. Sebab-Akibat (Couse-Effect) X adalah akibat/hasil dari Y
X adalah sebab dari Y
4. Rasional atau alasan (Rationale) X merupakan tempat
melakukan Y
Lokasi untuk Melakukan sesuatu (Location for Action)
X merupakan tempat melakukan Y
5. Cara ke Tujuan (Means-End) X merupakan cara untuk
melakukan/mencapai Y

67
6. Fungsi (Function) X digunakan untuk Y
7. Urutan (Sequence) X merupakan urutan/tahap
dalam Y
8. Atribut atau karakteristik X merupakan suatu atribut
atau karakteristik Y
(Atribution)

Analisis dominan ini jelas belum rinci dan mendalam karena


merupakan produk kegiatan penjelajah. Analisis lebih lanjut adalah
analisis taksonomis. Dalam analisis ini domiman-dominan yang
dipilih dicetak secara lebih rinci dan mendalam stuktur internalnya.
Untuk itu, dilakukan wawancara secara mendalam dan observasi
dengan catatan lapangannya. Peneliti tidak hanya berhenti untuk
mengetahui sejumlah kategori/simbol yang tercakup dalam
dominan, tetapi melacak kemungkinan sub-sub set yang mungkin
dan disajikan dalam bentuk diagram kotak, garis-garis dan simpul-
simpul atau bentuk outline. Jadi, dalam analisis dominan dengan
“mengorganisasikan atau menghimpun elemen-elemen yang
berkesamaan di suatu dominan” (organizes similiarities among
elements in domain).

DOMAIN

Tenaga kependidikan Cover term, nama domain


budaya

is kind of Sematic relationship (hub


semantik), antar kategori

Guru, kepala sekolah Included term, rincian


laboran , dan lain-lain domain

Gambar 4.5. Elemen dalam Domain


Kesembilan hubungan semantic tersebut, adalah: strict
inclusion (jenis), spatial (ruang), cause effect (sebab akibat),
rationale (rasional) location for action (lokasi untuk melakukan

68
sesuatu), function (fungsi), means-end (cara mencapai tujuan),
sequence (urutan), attribution (atribut).

b. Analisis Taksonomi

Setelah peneliti melakukan analisis domain, sehingga


ditemukan domain-domain atau kategori dari situasi sosial tertentu,
maka selanjutnya domain yang dipilih oleh peneliti dan selanjutnya
ditetapkan sebagai fokus peneliti, perlu diperdalam lagi melalui
pengumpulan data yang dilakukan secara terus menerus melalui
pengamatan, wawancara mendalam dan dokumentasi sehingga
data yang terkumpul menjadi banyak. Oleh karena itu pada tahap
ini diperlukan analisis lagi yang disebut dengan analisis taksonomi.

Analisis taksonomi adalah analisis terhadap keseluruhan


data yang terkumpul berdasarkan domain yang telah ditetapkan.
Dengan demikian domain yang telah ditetapkan menjadi cover term
oleh peneliti dapat diuraikan secara lebih rinci dan mendalam
melalui analisis taksonomi ini. Hasil analisis taksonomi dapat
disajikan dalam bentuk diagram kotak (box diagram), diagram garis
dan simpul (lines and node diagram)

c. Analisis Komponensial

Dalam analisis taksonomi, yang diurai adalah domain yang


telah ditetapkan menjadi fokus. Melalui analisis taksonomi, setiap
domain dicari elemen yang serupa atau serumpun. Ini diperoleh
melalui observasi dan wawancara serta dokumentasi yang terfokus.

Pada analisis komponensial, yan dicari untuk diorganisasikan


dalam domain bukanlah keserupaan dalam domain, tetapi justru
yang memiliki perbedaan atau yang kontras. Data ini dicari melalui
observasi, wawancara dan dokumentasi yang terseleksi. Dengan
teknik pengumpulan data yang bersifat triangulasi tersebut,
sejumlah dimensi yang spesifik dan berbeda pada setiap elemen
akan dapat ditemukan. Sebagai contoh, dalam analisis taksonomi
telah ditemukan berbagai jenjang dan jenis pendidikan.
Berdasarkan jenjang dan jenis pendidikan tersebut, selanjutnya
dicari elemen yang spesifik dan kontras pada tujuan sekolah,
kurikulum, peserta didik, tenaga kependidikan dan sistem
manajemennya (Sugiyono, 2014).

69
Bungin (2015), teknik Analisis Komponensial baru layak
dilakukan kalau seluruh kegiatan observasi dan wawancara yang
berulang-ulang telah memperoleh hasil maksimal sesuai dengan
yang diharapkan dalam penelitian. Kegiatan analisis dapat dimulai
dengan menggunakan beberapa tahap yaitu:

1. Penggelaran Hasil Observasi dan Wawancara.


Hasil observasi dan wawancara yang dilakukan berkali-kali,
digelarkan dalam lembaran-lembaran yang mudah dibaca. Data-
data tersebut pada tahap ini tidak perlu dikelompokkan sesuai
dengan domain dana tau sub-domain yang telah dipilih, yang
penting bahwa hasil-hasil observasi dan wawancara dapat
dibaca dengan mudah. Dari data-data pada tahap ini
sesungguhnya peneliti telah dapat melakukan editing terbatas
pada data tersebut.

2. Pemilahan Hasil Observasi dan Wawancara


Penelitian selanjutnya melakukan pemilahan terhadap hasil
wawancara. Artinya, hasil wawancara tersebut dipilah menurut
domain dan atau sub-domain tanpa harus mempersoalkan dari
elemen mana sub-sub domain itu berasal.

3. Menemukan Elemen-elemen Kontras


Pada tahap ini, peneliti dapat membuat tabel tertentu yang
dipakai untuk mencari dan menempatkan pilahan sub-domain
yang telah ditemukan elemen kontras.

d. Analisis Tema Budaya

Analisis tema atau discovering cultural themes,


sesungguhnya merupakan upaya mencari “benang merah” yang
mengintegrasikan lintas domain yang ada (Sanapiah Faisal, 1990).
Dengan ditemukan benang merah dari hasil analisis domain,
taksonomi, dan komponensial tersebut, maka selanjutnya akan
dapat tersusun suatu “konstruksi bangunan” situasi sosial/objek
penelitian yang sebelumnya masih gelap atau remang-remang,
dan setelah dilakukan penelitian, maka menjadi lebih terang dan
jelas.

70
4. Studi Kasus

Studi kasus ialah penelitian empiris yang menyelidiki gejala


di dalam konteksnya, yaitu di dalam kehidupan nyata, khususnya
ketika garis batas antatra gejala dan konteks tidak jelas (Yin,
1994). Studi kasus meliputi studi kasus tunggal dan jamak (metode
kasus perbandingan). Riset studi kasus dapat juga membatasi diri
pada bukti-bukti kuantitatif, kualitatif, agar studi kasus dianggap
sebagai metode tanpa mengimplikasikan bentuk pengumpulan
data tertentu, baik kuantitatif maupun kualitatif (1994). Namun,
untuk alasan praktis, tanpa bermaksud menyangkal pendapat Yin,
dalam buku ini riset studi kasus dikelompokan di bawah riset
kualitatif.

Robert K. Yin memisahkan riset studi kasus dari studi


sebagai alat pengajaran, dari etnografis dan observasi partisipasi,
dan dari metode-metode kualitatif. Namun, ia mengakui bahwa ada
tumpang-tindih di antara studi kasus dan dua penelitian terakhir. Ia
menegaskan bahwa studi kasus memiliki ciri-ciri yang berbeda dari
yang lain sepanjang fase-fase risetnya, yaitu dalam definisi
masalah, rancangan, pengumpulan data, analisis data, komposisi,
dan pelaporan (1994:xiv).

Menurut Yin, secara umum, studi kasus adalah strategi


yang lebih baik jika dipakai untuk jenis pertanyaan “bagaimana”
atau “mengapa”, jika peneliti memiliki pengendalian yang sedikit
atas kejadian yang menyatakan gejala, dan jika pusat perhatian
adalah gejala kontemporer (bukan historis) dalam sebuah konteks
kehidupan yang sebenarnya (1994). Studi kasus, seperti halnya
riset dengan eksprimen, survei, riset historis, dan riset analisis
arsip, dapat dipakai untuk berbagai tujuan, yaitu eksploratori,
deskriptif, dan eksplanatori (Yin, 1994).

Berikut beberapa jenis studi kasus:


1. Studi kasus dengan rancangan kasus tunggal yang holistik
(unit analisis tunggal).
2. Studi kasus dengan rancangan kasus jamak yang holistik.
3. Studi kasus dengan rancangan kasus tunggal berlapis (unit
analisis jamak, yaitu unit dan bagian-bagiannya terpisah).
4. Studi kasus dengan kasus jamak berlapis.

71
Setiap jenis studi kasus tersebut dapat ditinjau dari tujuan
eskploratori, deskriptif, dan eksplanatori. Jadi, keseluruhannya ada
dua belas macam riset studi kasus.
Pembagian studi kasus menurut Stake dalam Denzin dan
Lincoln (1994:237) adalah sebagai berikut.

1. Studi kasus intrinsik ialah studi yang dilakukan karena kasus


tertentu ingin dimengerti dengan lebih baik, bukan karena kasus
itu mewakili kasus yang lain atau menjadi contoh / ciri masalah
tersebut.
2. Studi kasus instrumental ialah studi yang dilakukan pada
sebuah kasus karena kasus tersebut menyediakan kejelasan
masalah atau perbaikan bagi sebuah teori.
3. Studi kasus kolektif ialah studi karena instrumental yang
diperluas ke beberapa kasus untuk mendapatkan pengertian
dan teori yang lebih baik.

Yin (1994), unsur-unsur penting dalam rancangan


penelitian dengan metode studi kasus adalah sebagai berikut:
1. Pertanyaan penelitian.
2. Proposisi-proposisinya (jika ada).
3. Unit (atau unit-unit analisisnya).
4. Pengaitan data logis dengan proposisi-proposisi.
5. Kriteria untuk mengartikan penemuan-penemuan (Yin, 1994).
Penjelasan Yin dan pakar lain untuk setiap komponen tersebut
dapat diringkaskan sebagai berikut:

1. Rancangan studi kasus lebih cocok untuk penelitian dengan


pertanyaan “bagaimana” dan “mengapa”.

2. Proposi-proposi akan mencerminkan pokok permasalahan


teoretis dan akan menunjukkan apa yang diteliti atau di mana
peneliti mencari bukti-bukti yang cocok. Jika proposi tidak
diperlukan karena topik adalah subjek eksplorasi (studi
eksploratif), peneliti perlu menyatakan tujuan penelitian.

3. Unit analisis (objek penelitian) dalam riset dengan metode


studi kasus adalah apa yang menjadi kasus, yaitu sesuai
dengan pertanyaan penelitian. Kasus itu sendiri bisa seorang
atau beberapa orang, peristiwa, entitas (apa yang ada, seperti
keputusan, program, proses implementasi, dan perubahan
keorganisasian). Stake (Denzin dan Lincoln, 1994:244)

72
berpendapat bahwa penentuan objek penelitian adalah
langkah pertama, baru kemudian disusul dengan penentuan
pertanyaan penelitian. Namun, bergantung kepada peneliti,
yang mana yang akan ditentukan secara formal lebih dahulu.

4. Pengaitan data dengan proposisi, misalnya dengan cara


pencarian dan pencocokan pola yang ada dalam data. Pola
yang dihasilkan (misalnya, digambarkan dalam bentuk
diagram) dicocokkan dengan pola ideal dan pola yang tidak
disukai. Data tentunya harus dikumpulkan dahulu dengan
pengulangan-pengulangan prosedur pengamatan (triangulasi)
sehingga beberapa dasar penafsiran ditemukan. Data khusus
mengenai kasus yang dapat dicari. Menurut Stake, adalah
sifatnya, latar belakang sejarahnya, tempat fisiknya, konteks
yang lain (termasuk ekonomi, politik, hukum, dan estetika),
kasus-kasus lain yang sama, dan informan yang
memungkinkan kasus dapat diketahui (Denzin dan Lincoln,
1994:238).

5. Kriteria untuk mengartikan pertemuan penelitian (dalam


contoh sebelumnya adalah hasil pencocokan) menentukan
seberapa dekat kecocokan pola dan dapat dikatakan cocok.
Selanjutnya, generalisasi hasil studi tidak dengan generalisasi
statistik karena kasus bukanlah sampel. Generalisasi hasil
yang benar dalam studi kasus adalah generalisasi analitis,
yaitu memakai teori terdahulu yang telah berkembang sebagai
pola pembanding. Jika dua atau lebih studi kasus ternyata
mendukung teori yang sama, hasil itu dapat dinyatakan
menguatkan teori, apa lagi jika hasil itu sekaligus tidak
mendukung teori rival (teori yang berbeda).

Bogdan dan Biklen (1982), mencoba mengklasifikasikan


tipe-tipe studi kasus ke dalam enam tipologi. Keenam tipologi ini
merupakan single case studies, studi kasus tunggal.

Pertama, studi kasus kesejarahan sebuah organisasi. Yang


dituntut dalam studi khusus jenis ini adalah pemusatan perhatian
mengenai perjalanan dan perkembangan sejarah organisasi sosial
tertentu dan dalam jangka waktu tertentu pula. Melakukan studi
macam Ini selain memerlukan sumber-sumber informasi dan
bahan-bahan yang akurat dan terpercaya, juga membutuhkan

73
kecermatan dalam merinci secara sistematik perkembangan dari
tahap-tahap sebuah organisasi sosial. Untuk memastikan
ketersediaan bahan-bahan dan sumber informasi yang diperlukan,
agaknya penting studi pendahuluan dalam studi kasus tipe pertama
ini.

Kedua, studi kasus observasi. Yang lebih ditekankan di sini


adalah kemampuan seorang peneliti menggunakan teknik
observasi dalam kegiatan penelitian. Dengan teknik observasi
partisipan diharapkan dapat dijaring keterangan-keterangan empiris
yang detail dan aktual dari unit analisis penelitian, apakah itu
menyangkut kehidupan individu maupun unit-unit sosial tertentu
dalam masyarakat.

Ketiga, studi kasus life history. Studi ini mencoba


mentingkap secara lengkap dan rinci kisah perjalanan hidup
seseorang sesuai dengan tahap-tahap, dinamika dan liku-liku yang
mengharu biru kehidupannya. Seseorang yang dimaksud tentu
tidak sembarang orang melakukan yang memiliki keuikan yang
menonjol dan luar biasa dalam konteks kehidupan masyarakat.
Misalnya, tentang kehadirannya memberi makna tersendiri
sekaligus sangat mewarnai perubahan-perubahan dalam
masyarakat. Melakukan studi kasus life history ini dapat bersandar
pada dokumen-dokumen pribadi yang bersangkutan serta dengan
melakukan wawancara mendalam kepada orang pertama sebagai
sumber pertama.

Keempat, studi kasus komunitas sosial atau kemasyarakatan.


Seseorang peneliti yang berpengalaman serta memiliki kepekaan
dan ketajaman naluriah sebagai peneliti seingkali mampu melihat
sisi-sisi unik tapi bermakna dari lingkungan sosial sekitarnya di
dalam komunitas di mana dia hidup dan bergaul sehari-hari.
Kenyataan tersebut dapat dijadikan pusat perhatian untuk
melakukan studi kasus komunitas sosial atau kemasyarakatan.

Kelima, studi kasus analisis situasional. Kehidupan sosial


yang dinamis dan selalu menggapai perubahan demi perubahan
tentu saja mengisyaratkan adanya letusan-letusan situasi dalam
bentuk peristiwa-peristiwa atau katakanlah fenomena sosial
tertentu. Misalnya, krisis politik yang melanda negeri ini disertai

74
berbagai isu berseliweran tak karuan seperti akan ada kerusuhan,
penjarahan massal dan sebagainya, telah membuat orang-orang
keturunan Cina di berbagai kota besar ramai-ramai mengungsi ke
kota lain yang dianggap aman bahkan tidak sedikit yang keluar
negeri. Contoh lain, datangnya era reformasi ditengah badai krisis
ekonomi dan politik saat ini justru disikapi oleh kalangan elite
masyarakat dengan mendirikan partai politik. Fenomena demikian
sesungguhnya menggambarkan sebuah situasi sosial macam apa?
Hal ini menarik diteliti untuk menggambarkan sebuah situasi sosial
yang telah dan berlangsung.

Keenam, studi kasus mikroetnografi. Studi kasus tataran ini


dilakukan terhadap sebuah unit sosial terkecil. Katakanlah sebuah
sisi tertentu dalam kehidupan sebuah komunitas atau organisasi
atau bahkan seorang individu.

5. Analisis Life Story

Banyak peneliti menggunakan cara mereka sendiri untuk


menggunakan Life History. Salah satu contohnya adalah
pengalaman Oscar Lewis. Penelitian yang akhirnya menghasilkan
karya buka La Vida ini memulai penelitian dengan menggunakan
wawancara mendalam kepada kelima tokoh dari Rios. Sebelum
wawancara terhadap seratus keluarga Rios, Lewis telah meneliti
menggunakan angket, observasi dan wawancara terhadap seratus
keluarga Slum di kota San Juan, Puetto Riko, kota di mana keluarga
Rios berasal. Adapun angket yang dipergunakan dimaksud untuk
mengumpulkan data umur, pekerjaan, agama, komposisi rumah
tangga, ekonomi rumah tangga, tingkat kemakmuran, migrasi dan
hubungan dengan kerabat-kerabat di kota New York, pola
pergaulan dengan tetangga, pandangan politik, pola rekreasi dan
sebagainya. Kemudian sesudah pengetahuan umumnya mengenai
kehidupan sosial dan kebudayaan di daerah slum itu didapat,
barulah diseleksi sepuluh keluarga untuk penelitian yang mendalam
dengan metode observasi, wawancara dan test psikologis. Juga
diseleksi delapan keluarga yang telah pindah ke kota New York dan
mempunyai hubungan kekerabatan dan kontak dengan salah
metode kualitatif yang sama intensifnya dengan apa yang dilakukan
di San Juan. Akhirnya barulah diseleksi lagi di antara ke dua puluh
tujuh keluarga tersebut ke lima orang dari keluarga Rios tadi untuk
diteliti Life History-nya (Bungin, 2015).

75
Secara lebih khusus penggunaan pendekatan Life History
dapat dilakukan dengan menggunakan otobiografi, pengalaman
hidup pimpinan masyarakat, suatu peristiwa luar biasa yang terjadi
di masyarakat, atau bahkan dapat digunakan kejadian dalam hal-
hal tertentu sebagai fokus.

Oscar Lewis, menggunakan cara yang disebut dengan


“Rekonstruksi Hari Kemarin” (Reconstruction of days) cara ini
dimaksud dalam kunjungan wawancara selama satu atau dua
minggu tiap hari, si informan ditanya untuk menceritakan secara
detail apakah yang dialami pada hari sebelumnya, dari pagi saat
bangun tidur sampai malam hari saat akan tidur, bahkan sering
ditanya juga apa yang diimpikan waktu mereka tidur. Dalam
wawancara rekonstruksi hari kemarin, tidak hanya ditanyakan
mengenai peristiwa dan kejadian saja, melainkan juga isi
pembicaraan dengan orang lain yang dijumpai oleh si informan
pada hari kemarin, bahkan semua emosi yang dialaminya selama
sehari itu. Lewis menggunakan wawancara ini selama empat belas
hari. Menurut pengalaman Lewis, kadang ia memperoleh data yang
tidak mungkin didapatnya dengan menggunakan metode atau
pendekatan lain (Bungin, 2015).

Lewis dalam Koentjaraningrat (1977), Reconstruction of


days memiliki keuntungan tertentu bagi peneliti dalam
pengumpulan data di lapangan, seperti:

1. Typicality; hari-hari yang telah dipilih untuk observasi dan


kemudian dideskripsikan dapat ditinjau dalam perspektif yang
lebih tepat sepanjang ada hubungan dengan Typicality, artinya
bagaimana hari tersebut dapat disifatkan, sebagai hari yang
normal, yang biasa, yang tidak biasa. Yang mungkin timbul
karena kehadiran peneliti dalam keluarga yang menjadi objek
penelitian, lebih dapat ditafsirkan secara tepat.

2. Hari-hari yang direkonstruksikan membawa pengertian baru


mengenai kehidupan (seseorang) keluarga yang sewaktu-waktu
membuka lapangan penelitian yang sama sekali baru.

3. Pertanyaan penelitian yang berulang-ulang, yang diadakan


melalui wawancara pada setiap pagi, memberi kesadaran pada
informan mengenai data macam apa yang diinginkan oleh

76
peneliti. Hal ini juga dapat menerbitkan cerita mengenai
pengalaman pada hari sebelumnya.

Sehubungan kedekatan Life History dengan studi kasus,


pengalaman Oscar Lewis dalam studinya mengenai 5 keluarga di
Meksiko, menggunakan empat pendekatan untuk mengungkapkan
pengalaman secara utuh mengenai kehidupan keluarga Meksiko
tersebut. Lewis dalam Vrendenbregt (1978), pendekatan itu adalah
sebagai berikut:

1. Pendekatan tematis (Tipical Appoarch)


Aktivitas (seseorang) keluarga dideskripsikan berdasarkan
sejumlah tema (topics) yang menggunakan konsep-konsep yang
biasanya dipakai untuk mempelajari suatu keluarga atau
komuniti, seperti hubungan sosial, hubungan antar anggota
keluarga, agama, kultur materil dan sebagainya. Pendekatan ini
bersifat analitis sehingga dapat membedakan antara subkultur
keluarga dan kultur yang lebih umum.

2. Pendekatan otobiografi
Pendekatan ini sangat luas dan intensif dari masing-masing
anggota keluarga. Teknik ini digunakan untuk memahami
penilaian keluarga berdasarkan pendapat masing-masing
anggota keluarga. Pandangan yang bebas dari masing-masing
anggota keluarga mengenai keluarganya membantu menguji
validitas dan reabilitas dari data yang diperoleh dari teknik ini.

3. Pendekatan masalah khusus


Pendekatan yang bertujuan untuk mempelajari secara intensif
suatu masalah khusus atau kejadian yang luar biasa atau
kejadian yang gawat yang menyangkut keluarga. Bagaimana
suatu keluarga menghadapi persoalan baru yang sangat khusus
dan bahkan luar biasa, dapat mengungkapkan aspek-aspek
yang laten dari psiko dinamika suatu keluarga.

4. Pendekatan Construction of Days


Pendekatan ini telah disebutkan diatas, namun yang perlu
diingat bahwa Construction of days, tidak terbatas pada
bagaimana informan menceritakan apa yang dialaminya pada
hari kemarin, namun dapat pula dipilih hari-hari tertentu secara
sembarangan seperti umpamanya suatu hari yang biasa saja

77
tanpa kejadian yang luar biasa (a typical day). Namun dapat juga
dipilih suatu hari yang berbeda dengan hari-hari biasa, seperti
hari perkawinan, kelahiran anak, suatu pesta keluarga, atau hari
saat pindah ke rumah baru.

Koentjaraningrat dalam Bungin (2015), mencatat beberapa


faedah Life History bagi penelitian sosial, terutama dilihat dari
materi pendekatan ini:

1. Data Life History penting bagi peneliti untuk memperoleh


pandangan dari dalam mengenai gejala dalam suatu masyarakat
melalui pandangan diri para warga sebagai partisipan dari
masyarakat yang bersangkutan.

2. Data Life History penting bagi peneliti untuk mencari pengertian


mengenai masalah individu warga masyarakat yang suka
berkelakuan menyimpang dari yang biasa, dan mengenai
masalah peranan deviant individual seperti sebagai pendorong
gagasan baru, perubahan masyarakat dan kebudayaan.

3. Data Life History penting bagi penelitian untuk memperoleh


pemahaman yang mendalam tentang hal-hal psikologis yang tak
mudah diperoleh melalui observasi, atau melalui metode
interview langsung.

4. Data Life History penting bagi peneliti untuk mendapat gambaran


yang lebih mendalam mengenai detail dari persoalan yang tidak
mudah untuk diceritakan kepada orang lain, seperti umpamanya
cara hidup anak nakal, gelandangan, pelacur, penjahat dan
sebagainya, atau pemahaman mengenai persoalan mengapa
masyarakat tersebut menjadi miskin, masyarakat tertentu
menjadi pencuri, perampok dan sebagainya.

78
6. Analisis Data Kualitatif Grounded Theory

Penelitian teori grounded diintrodusir oleh Glaser dan


Strauss melalui karya monumental mereka The discovery of
grounded Theory (1967). Sesuai dengan judul karya tersebut,
Glaser dan Strauss berupaya mengenalkan suatu corak penelitian
untuk menemukan teori berdasarkan data. Menemukan teori
berdasarkan data yang diperkenalkan Glaser dan Strauss tersebut
merupakan barang baru, dan boleh dikatakan berlawanan sama
sekali dengan pendekatan klasik (classical approach) yang telah
berlangsung sedemikian mapan dalam ilmu dunia pengetahuan.
Penelitian teori grounded yang ditawarkan Glaser dan Strauss
memang dimaksudkan sebagai pendekatan alternatif terhadap
pendekatan klasik.

Pada pendekatan klasik, suatu penelitian menggunakan


logika deduktiko-hipotetiko-vertifikatif. Dalam penerapan logika
tersebut, penelitian dirancang untuk memverifikasi benar salahnya
hipotesis yang diderivasi dari suatu teori. Penelitian berpola
demikian lazim disebut dengan istilah penelitian verifikatif atau studi
verifikatif. Di tahap ini, peneliti merumuskan definisi konseptual dari
konsep-konsep yang secara teoritis diperkirakan saling
berhubungan satu sama lain. Kemudian merumuskan proposisi
(hipotesis level konseptual) yang menyatakan bagaimana
kecenderungan hubungan antar konsep dimaksud. Tahap kedua
merupakan upaya menjembatani kesenjangan (gap) antara level
konseptual-teoritikal dan level empirikal (level data). Di tahap ini
lazimnya berupa usaha penyusunan definisi operasional,
menentukan cara beserta ukuran untuk mengukur konsep-konsep
secara empiris. Tahap ketiga atau terakhir adalah mengumpulkan
data dan menganalisisnya untuk menguji benar-salahnya suatu
hipotesis (Bungin, 2015)

Pendekatan klasik yang bergerak dari level konseptual-


teoritikal ke level empirikal (data) semacam itu, oleh Strauss dan
Glaser (1967), digugat dengan menumpahkan berbagai rupa titik
lemahnya. Sebagai gantinya, mereka menawarkan suatu

79
pendekatan baru yang bukan bergerak dari “level atas” ke “level
bawah”, melainkan bergerak sebaliknya, yaitu dari level empirikal
menuju ke level konseptual-teoritikal. Itulah yang mereka sebut
penelitian teori grounded, atau penelitian untuk menemukan teori
berdasarkan data (The Discovery of Grounded Theory). Pada
pendekatan ini, dari datalah suatu konsep dibangun. Dari datalah
suatu hipotesis dibangun. Dan, dari datalah suatu teori dibangun.

Pada penelitian teori grounded, penelitian langsung terjun


ke lapangan tanpa membawa rancangan konseptual, teori, dan
hipotesis tertentu. Secara propokatif malah sering dikatakan supaya
peneliti masuk ke lapangan dengan “kepala kosong”, tanpa
membawa apapun yang sifatnya a priori, apakah itu konsep, teori,
ataukah hipotesis. Sebab, dengan membawa konsep, teori,
hipotesis bersifat a priori dikuatirkan akan terjebak pada “penyakit”
studi verifikatif yang memaksakan level empirikal menyesuaikan diri
dengan “apa maunya” level konseptual-teoritikal (Bungin, 2015).

Dengan keadaan “kepala kosong”, peneliti diharapkan bisa


sepenuhnya terpancang kepada kenyataan berdasarkan data
lapangan itu sendiri, baik dalan mendeskripsikan apa yang terjadi
maupun dalam menjelaskan “mengapa”. Dengan demikian, apa
yang ditemukan (berupa konsep, hipotesis, teori) benar-benar
berdasarkan data hasil observasi yang dikembangkan secara
induktif. Itulah yang dilakukan Glaser dan Strauss ketika mereka
meneliti pasien-pasien rumah sakit yang tengah sekarat.

Penemuan teori berdasarkan data (The Discovery of


Grounded Theory) dicontohkan oleh Glaser dan Strauss
berdasarkan pengalaman penelitian mereka terhadap para pasien
yang tengah sekarat. Kedua peneliti tersebut menyaksikan
(berdasarkan hasil observasi) suatu fenomena tersebut
menyaksikan staf rumah sakit terhadap para pasien yang tengah
sekarat (dying patients).

80
Fenomena tersebut mengundang rasa ingin tahu Glaser dan
Strauss, dan mereka tertarik untuk menemukan suatu jawaban
mengapa staf rumah sakit memberikan pelayanan berbeda kepada
para pasien yang kondisinya sama-sama keadaan sekarat. Dari
situlah mereka mengambil ancang-ancang untuk mengumpulkan
data mengenai hal tersebut. Mereka melacak apa yang dilakukan
staf rumah sakit (dalam kerangka pelayanan) terhadap para pasien
sekarat. Kualitas pelayanan staf rumah sakit tampaknya memang
berbeda terhadap para pasien sekarat. Ada yang kualitas
pelayanannya tergolong kurang baik.

Mengapa kualitas pelayanan yang diberikan pada pasien


sekarat itu berbeda-beda? Apakah yang bisa menjelaskan
fenomena tersebut? Data apakah yang bisa memberikan jawaban
terhadap fenomena tersebut?

Untuk itu, Glaser dan Strauss mencoba merekam secara


cermat peristiwa interaksi staf rumah sakit (selaku pemberi layanan)
dengan keluarga para pasien yang dengan setia mendampingi sang
pasien. Simbol-simbol yang muncul dalam peristiwa interaksi,
misalnya ucapan dokter yang menyatakan “waduh kasihan,
anaknya masih kecil-kecil”, simbol yang muncul saat interaksi,
ternyata mengarah sebagai indikasi tentang persepsi staf rumah
sakit tentang seberapa penting “nilai guna” sang pasien sekarat itu
bagi keluarga beserta tempat kerja mereka masing-masing. Sesuai
dengan data yang mereka kumpulkan itu, Glaser dan Strauss lalu
memunculkan konsep dan kategori tentang “kerugian sosial” (social
loss). Ada pasien-pasien sekarat yang oleh staf rumah sakit
dipersepsi besar nilai kerugian sosialnya manakala sang pasien
sampai meninggal dunia. Dan, ada pula pasien-pasien yang
dipersepsi kecil nilai kerugian sosialnya manakala sang pasien
sampai meninggal dunia. Persepsi tentang besar-kecil nilai
kerugian sosial tersebut, oleh Glaser dan Strauss ditempatkan
sebagai suatu kategori (lazim disebut variabel dalam penelitian
kuantitatif) yang diperkirakan bisa menjelaskan mengapa terjadi
perbedaan kualitas pelayanan terhadap para pasien. Sebab,

81
indikasi ke arah itu memang kuat, dan itulah yang dikembangkan
menjadi hipotesis.

Data tentang kualitas pelayanan yang diberikan staf rumah


sakit kepada pasien, dan data tentang persepsi staf rumah sakit
mengenai besar-kecil nilai kerugian sosial sang pasien, ternyata
secara meyakinkan saling berhubungan satu sama lain. Pasien-
pasien yang dipersepsi besar nilai kerugian sosialnya cenderung
tergolong baik kualitas pelayanan yang diperoleh, sedangkan para
pasien yang dipersepsi kecil nilai kerugian sosialnya condong
tergolong kurang baik kualitas pelayanan yang diperoleh. Berarti,
persepsi staf rumah sakit tentang besar-kecil nilai kerugian sosial
pasien menentukan bagaimana kualitas pelayanan yang mereka
berikan kepada masing-masing pasien. Itulah inti teori yang
ditemukan Gleser dan Strauss. Suatu teori yang dibangun
berdasarkan data, atau sepenuhnya dikembangkan secara induktif
berdasarkan hasil observasi. Dengan pengalaman tersebut, Glaser
dan Strauss lalu menawarkan suatu corak penelitian “jenis baru”,
yang hingga sekarang populer dengan sebutan penelitian
grounded, atau lebih tepatnya ”penelitian untuk menemukan teori
grounded”. Untuk lebih ringkas, barangkali tak terlampau salah bila
dinamakan “Penelitian Teori Grounded”.

7. Focus Group Discussion

Focus Group Discussion (FGD) adalah sebuah teknik


pengumpulan data yang umumnya dilakukan pada penelitian
kualitatif dengan tujuan menemukan makna sebuah tema menurut
pemahaman sebuah kelompok. Teknik ini digunakan untuk
mengungkap pemaknaan dari suatu kelompok berdasarkan hasil
diskusi yang terpusat pada suatu permasalahan tertentu. FGD juga
dimaksudkan untuk menghindari pemaknaan yang salah dari
seorang peneliti terhadap fokus masalah yang sedang diteliti.

Lebih jauh lagi teknik ini digunakan untuk menarik


kesimpulan terhadap makna-makna intersubyektif yang sulit
dimaknakan sendiri oleh peneliti karena dihalangi oleh
ketidaktahuan peneliti terhadap makna sesungguhnya dari orang-

82
orang di sekitar sebuah fenomena yang sedang diteliti serta sejauh
mungkin peneliti menghindari diri dari dorongan subjektivitas
peneliti tersebut.

Bungin (2015), bangunan FGD dibangun berdasarkan


asumsi:

a) Keterbatasan individu selalu tersembunyi pada ketidaktahuan


kelemahan pribadi tersebut;
b) Masing-masing anggota kelompok saling memberi
pengetahuan satu dengan yang lainya dalam pergaulan
kelompok;
c) Setiap individu dikontrol oleh individu lain, sehingga ia
berupaya agar menjadi yang terbaik;
d) Kelemahan subjektif terletak pada kelemahan individu yang
sulit dikontrol oleh individu yang bersangkutan;
e) Intersubjektif selalu mendekati kebenaran yang terbaik (pada
saat itu).

Di luar asumsi di atas, pandangan yang menyatakan


kelompok memiliki pemikiran yang lebih sempurna dari individu,
memiliki kebenaran yang relatif tidak terbantahkan. Karena
umumnya kelebihan berpikir individu selalu dibatasi oleh bingkai
berpikir pribadi (frame of reference). Batasan-batasan ini membuat
seseorang menjadi egois, berpikir sempit, berpikir terbatas, bahkan
menghalangi progresivitas individu. Pada umumnya individu hanya
mampu memahami penomena dari sisi di mana individu berada.
Sehingga kehadiran orang lain dari luar pribadi menjadi “penolong”
terhadap kelemahan keritikal yang dimiliki individu. Dengan
demikian, pemaknaan yang di hasilkan oleh teknis ini adalah
pemaknaan intersubjektif, yang mana bisa jadi peran subyektivitas
peneliti lebih kurang kecil atau lebih besar, tergantung seberapa
jauh peran kelompok dalam proses-proses diskusi. Berdasarkan hal
itu, penggunaan FGD dimulai dari pertimbangan apakah teknik ini
memang tepat digunakan dalam satu kasus penelitian, terutama
apabila penelitian itu membutuhkan pemaknaan intersubyektif.
Sebagai mana diketahui, FGD digunakan hanya untuk
mengungkapkan fenomena yang meminta tanggapan (pemecahan)
kelompok (Bungin, 2015).

83
Fokus diskusi dalam FGD adalah fenomena yang dirasakan
banyak orang, atau pemunculanya dilakukan oleh banyak orang,
atau melibatkan banyak orang, bahkan fenomena itu berlangsung
di antara banyak orang, seperti umpamanya kenakalan anak,
televisi, radio, kriminalitas, pendidikan anak, moneter dan
sebagainya.

Bungin (2015), ada beberapa cara penggunaan FGD


sebagai berikut:

Pertama, FGD harus memiliki tujuan. Tujuan FGD ini harus


diketahui oleh peserta FGD melalui pemberitahuan yang dilakukan
sebelum hari pelaksanaan FGD atau pada saat FGD akan
dilaksanakan.

Kedua, FGD tidak bisa dilepas dari interview pribadi, artinya


pada proses pelaksanaan FGD proses interview pribadi menjadi
teknik-teknik penting yang digunakan untuk mencoba meng-
ungkapkan persoalan sebenarnya.

Ketiga, hasil FGD juga akan sangat bermakna, apabila


penggunaannya dihubungkan dengan metode lain seperti
observasi partisipasi. Metode observasi partisipasi ini merupakan
metode yang umum digunakan untuk mengamati dan ikut terlibat
dalam peristiwa-peristiwa yang dialami oleh orang-orang tertentu
yang masalahnya sedang menjadi fokus diskusi.

Keempat, penggunaan FGD juga akan semakin


berkembang apabila metode ini dapat menggunakan bahan -bahan
atau hasil survey yang berhubungan dengan fokus FGD kali ini. Ada
tiga cara mendasar di mana bahan-bahan survey daat digunakan
untuk FGD, yaitu: (a) melalui penengkapan semua wilayah
kebutuhan yang sudah terukur dalam survey yang dibutuhkan oleh
FGD; (b) melalui pembatasan dimensi-dimensi yang diperbesar dari
wilayah kebutuhan itu yang dibutuhkan oleh FGD; (c) melalui
pemberian item yang tersusun secara efektif , ini dimaksud agar
pengalaman atau hasil survey itu dapat dimanfaatkan dalam FGD
sesuai fokus kebutuhan.

84
Kelima, penggunaan FGD juga dapat dimanfaatkan bahan-
bahan eksperimen atau dapat dihubungkan dengan teknik
eksperimen. Penggunaan FGD dengan memanfaatkan eksperimen
dikhususkan pada tujuan-tujuan tertentu.

Ada dua tahapan utama FGD sebagai berikut.


1) Tahap diskusi dengan melibatkan berbagai anggota FGD yang
diperoleh berdasarkan kemampuan dan kompetensi formal
serta kompetensi pengasaan fokus masalah FGD.
2) Tahap analisis hasil FGD, pada tahap ini dibagi dua tahap yaitu
tahap analisis mikro dan tahap analisis makro.

Pada tahap analisis mikro, FGD memiliki langkah-langkah


analisis sebagai berikut: Pertama, melakukan coding terhadap
sikap, pendapat peserta yang memiliki kesamaan. Kedua,
menentukan kesamaan sikap dan pendapat berdasarkan konteks
yang berbeda. Ketiga, menentukan persamaan istilah yang
digunakan termasuk perbedaan pendapat terhadap istilah yang
sama tadi. Keempat, melakukan klasifikasi dan kategorisasi
terhadap sikap dan pendapat peserta FGD berdasarkan alur
diskusi. Kelima, mencari hubungan di antara masing-masing
kategorisasi yang ada untuk menentukan bentuk bangunan hasil
diskusi atau sikap dan pendapat kelompok terhadap masalah yang
didiskusikan. Keenam, menyiapkan draf besar untuk mendapat
masukan lebih luas, sebelum diseminarkan dalam forum yang lebih
luas.

Pada tahap analisis makro, FGD (terutama pada tahap


kelima dan keenam). Pada tahap ini peneliti tidak saja dapat
menemukan hubungan antara masing-masing kategorisasi , namun
juga dapat mengabstraksikan hubungan-hubungan itu pada tingkat
yang lebih substansial, hubungan antara fenomena- fenomena
budaya dan sosial terhadap kategorisasi itu, bahkan abstraksi itu
sampai pada tingkat mengkonstruk pengetahuan baru,
mendekonstruksi teori, dan merekonstruksi teori-teori baru.

85
8. Fenomenologi

Dalam penelitian fenomenologi, peneliti hendak menjawab


pertanyaan tentang bagaimana masing-masing individu
memberikan makna dari setiap peristiwa dan atau pengalaman
hidup yang mereka alami. Itulah sebabnya mengapa dalam sudut
pandang fenomenologi, psikologi merupakan studi tenang prilaku
dan pengalaman manusia (the study of human behavior and
experience) (Bandur, 2016).

Dalam penelitian fenomenologi, pengalaman manusia


diperiksa melalui penjelasan terperinci dari orang yang diselidiki.
Prosedurnya meliputi penyelidikan sejumlah kecil orang serta
melalui keterlibatan yang lama dan luas untuk mengembangkan
pola dan pertalian makna. Dalam proses tersebut, peneliti
mengesampingkan pengalamannya sendiri agar dapat memahami
pengalaman informan.

Holstein dan Gubrium dalam Denzin dan Lincoln, (1994).


Pengalaman tersebut, yang disebut dunia kehidupan, adalah dunia
pengalaman yang diterima begitu saja oleh seseorang yang
dihasilkan dan dialami oleh anggota-anggota kelompok orang itu.
Pengalaman tersebut ditentukan oleh kumpulan pengetahuan
berupa gambaran, teori, ide, nilai, dan sikap yang berasal dari
masyarakat. Pengetahuan itu jugalah yang dipakai menafsirkan
pengalaman, memahami intensi dan motivasi orang lain, mencapai
pengertian antarsubjektif, dan mengoordinasikan tindakan.

Sesuai dengan penjelasan Rudestam dan Newton (1992),


pusat perhatian penelitian dengan metode fenomenologi adalah
pengalaman orang setempat mungkin, seperti yang dialami orang
itu (mengutip Polkinghorne, 1989). Dengan kata lain, peneliti
berusaha menggambarkan dan menjelaskan makna pengalaman
manusia. Peneliti dengan penelitian fenomenologi juga berupaya
untuk memperoleh apa yang ada di balik penggambaran orang
mengenai pengalamannya, yaitu sampai pada struktur yang
mendasari kesadaran. Untuk itu, peneliti biasanya memakai

86
wawancara atau percakapan panjang sebagai sumber data
mereka.

Rudestam dan Newton (1992:34) meringkaskan dimensi


penting yang membedakan rancangan fenomenologi dengan
rancangan kualitatif yang lain. Perbedaan tersebut adalah sebagai
berikut.

1. Masalah dan perhatian peneliti. Penelitian fenomenologi


memerhatikan penjelasan pengalaman nyata orang sebebas
mungkin dari teori dan konstruk sosial. Penelitian tersebut juga
memerhatikan pemeriksaan gejala kemanusiaan yang
dinyatakan melalui individu.

2. Sifat pengetahuan. Penelitian fenomenologi tidak berminat pada


penjelasan apa yang menyebabkan timbulnya sesuatu), tetapi
berminat pada apakah sesuatu itu. Dengan kata lain, berminat
pada sifat-sifat esensial dari pengalaman atau kesadaran.

3. Hubungan peneliti dan pokok penelitian. Peneliti fenomenologi


adalah sekutu pencipta kisah yang biasanya dihasilkan melalui
wawancara.

Penelitian fenomenologi pada hakekatnya adalah


berhubungan dengan interpretasi terhadap realitas. Feno-
menologi mencari jawaban tentang makna dari suatu fenomena.

Pada dasarnya, ada dua hal utama yang menjadi fokus


dalam penelitian fenomenologi yakni:

a. Textural description: apa yang dialami oleh subjek penelitian


tentang sebuah fenomena. Apa yang dialami adalah aspek
objektif, data yang yang bersifat faktual, hal yang terjadi secara
empiris.
b. Structural description: bagaimana subjek mengalami dan
memaknai pengalamannya. Deskripsi ini berisi aspek subjektif.
Aspek ini menyangkut pendapat, penilaian, perasaan, harapan,

87
serta respons subjektif lainnya dari subjek penelitian berkaitan
dengan pengalamannya itu (Hasbiansyah, 2008:171).

Penentuan informan dalam penelitian fenomenologi


bergantung pada kapabilitas orang yang akan diwawancarai untuk
dapat mengartikulasikannya pengalaman hidupnya (lihat Creswell,
1998). Lebih lanjut Creswell (1998) persyaratan informan yang baik
adalah: “...all individuals studied represent people who have
experienced the phenomenon”.

Sedangkan lokasi penelitian bisa di suatu tempat tertentu


atau tersebar, dengan memperhatikan individu yang akan dijadikan
informan. Masalah jumlah bukanlah hal yang utama walaupun
Creswell mengatakan bahwa jumlah informan cukup sebanyak 10
orang (Cresswell, 1998), yang paling penting adalah terjadinya
kejenuhan data (reduksi data).

Creswell (1998), menjelaskan tentang teknik analisis data


dalam kajian fenomenologi sebagai berikut:

a. Peneliti mendeskripsikan sepenuhnya fenomena yang dialami


subjek penelitian.

b. Peneliti kemudian menemukan pernyataan (hasil wawancara)


tentang bagaimana orang-orang menemukan topik, rinci
pernyataan-pernyataan tersebut dan perlakuan setiap pernyata-
an memiliki nilai yang setara, kemudian rincian tersebut
dikembangkan dengan tidak melakukan pengulangan.

c. Pernyataan-pernyataan tersebut kemudian dikelompokkan


dalam unit-unit bermakna, peneliti merinci unit-unit tersebut dan
menuliskan sebuah penjelasan teks tentang pengalaman yang
disertai contoh dengan seksama.

d. Peneliti kemudian merefleksikan pemikirannya dengan meng-


gunakan variasi imajinatif (imaginative variation) atau deskripsi
struktural (structural description), mencari keseluruhan makna

88
yang memungkinkan dan melalui perspektif yang divergen
(divergent perspectives), mempertimbangkan kerangka rujukan
atas gejala (phenomenon), dan mengkonstruksikan bagaimana
gejala tersebut dialami.

e. Peneliti kemudian mengkonstruksi seluruh penjelasan tentang


makna dan esensi pengalamannya.

f. Peneliti melaporkan hasil penelitiannya. Laporan tersebut


menunjukkan adanya kesatuan makna berdasarkan
pengalaman seluruh informan. Setelah itu, kemudian tulis
deskripsi gabungannya.

9. Analisis Wacana

Analisis struktural seperti halnya analisis wacana memiliki


perbedaan pendekatan terhadap teks dengan analisis isi.
Setidaknya ada tiga perbedaan;

Pertama adalah persoalan kualifikasi. Analisis isi tradisional


pada dasarnya bersifat item-item (itemize) serta mengunakan
perhitungan dengan angka-angka (enumerate). Sebaliknya,
analisis struktural sangat jarang mengunakan perhitungan dengan
angka. Apapun soalnya, tidak ada alasan bahwa item yang kerap
muncul adalah paling penting dan paling signifikan terhadap teks.
Akan tetapi, tempat yang diduduki melalui unsur-unsur yang
berbeda, jauh lebih penting ketimbang jumlah waktu
kemunculannya.

Kedua adalah bagaimana mempertimbangkan bentuk


(form) atau gaya (style) dalam komunikasi. Perbedaan antara isi
dan bentuk, pada umunya dianggap sebagai perbedaan antara “apa
yang dikatakan seseorang” dengan “bagaimana seorang
mengatakannya.”

Ketiga, analisis struktural lebih mengutamakan persoalan isi


yang tersembunyi (latent content) dari komunikasi. Sementara,

89
tujuan dari analisis isi konvensional adalah mendeskripsikan isi
yang tampak (manifest content) dari komunikasi (Irwanto, 1999).

Kasiyanto dalam Bungin (2015), dari ciri-ciri itu analisis


wacana juga dapat dikategorikan sebagai kelompok metode
beraliran kritis dalam penelitian komunikasi.

Pertama, aliran kritis lebih menekankan pada unsur-unsur


filosofis komunikasi. Pernyataan-pernyataan yang sering dikemuka-
kan oleh kaum kristis adalah, siapa yang mengontrol arus
komunikasi; ideologi apa yang ada dibalik media?

Kedua, aliran kritis melihat struktur sosial sebagai konteks


yang sangat menentukan realitas, proses, dan dinamika komunikasi
manusia (termasuk komunikasi massa). Bagi aliran ini, suatu
penelitian komunikasi manusia, khususnya komunikasi massa yang
mengabaikan struktur sosial sebagai variabel berpengaruh, bahwa
penelitian tersebut a-historis dan a-kritis.

Ketiga, aliran kristis lebih memusatkan perhatiannya pada


siapa yang mengendalikan komunikasi. Aliran ini beranggapan
bahwa komunikasi hanya dimanfaatkan oleh kelas yang berkuasa,
baik untuk mempertahankan kekuasaannya maupun untuk
merepresi pihak-pihak yang menentangnya.

Keempat, aliran kritis sangat yakin dengan anggapan bahwa


teori komunikasi manusia, khususnya teori-teori komunikasi massa,
tidak mungkin akan dapat menjelaskan realitas secara utuh dan
kritis apabila ia mengabaikan teori-teori tentang masyarakat. Oleh
karena itu, teori komunikasi massa harus selalu berdampingan
dengan teori-teori sosial (Abar, 1999).

Analisis wacana juga termasuk dalam pendekatan


konstruksionisme. Fokus dari pendekatan ini adalah bagaimana
pesan politik dibuat/diciptakan oleh komunikator dan bagaimana
pesan itu secara aktif ditafsirkan oleh individu sebagai penerima.
Pendekatan kostruksionis memusatkan perhatian kepada bagai-

90
mana seseorang membuat gambaran mengenai sebuah peristiwa
politik, personalitas, konstruksi melalui manarealitas politik dibentuk
dan dibuahi. Semua individu, lembaga atau sekelompok mem-
punyai peran yang sama dalam menafsirkan dan mengkonstruksi
peristiwa politik (Eriyanto, 2000).

Ada dua karakteristik penting dari pendekatan konstruksi-


onis:

Pertama, pendekatan konstruksionis menekankan pada


politik pemaknaan dan proses bagaimana seorang membuat
gambaran tentang realitas politik. Kata makna itu sendiri menunjuk
pada sesuatu yang diharapkan untuk ditampilkan, khususnya
melalui bahasa. Makna bukanlah suatu yang absolut, konsep statik
yang ditemukan dalam suatu pesan. Makna adalah suatu proses
aktif yang ditafsirkan seorang dalam suatu pesan.

Kedua, pendekatan konstruksionis memandang kegiatan


komunikasi sebagai proses yang terus menerus dan dinamis.
Pendekatan konstruksionis tidak melihat media sebagai faktor
penting, karena media itu sendiri bukanlah suatu yang netral.
Perhatian justru ditekankan pada sumber dan khalayak. Dari sisi
sumber (komunikator), pendekatan konstruksionis memeriksa
pembentukan bagaimana pesan ditampilkan, dan dalam sisi
penerima ia memeriksa bagaimana konstruksi makna individu
ketika menerima pesan.

10. Teori Penafsiran Teks (Hermeneutik)

Seorang penafsir yang berada dalam suatu lingkup sosial


tertentu akan memberikan tafsir yang berbeda dengan orang yang
memiliki lingkup sosial yang lainnya meskipun simbol yang
ditafsirkan sama. Kondisi sosial seseorang memiliki fungsi dominan
dalam proses penafsir. Premis ketiga, “makna ditangani atau
dimodifikasikan melalui suatu penafsipan yang digunakan oleh
orang lain dalam kaitannya dengan berbagai hal yang dia hadapi”.
Proses penafsiran merupakan langkah terpenting untuk

91
menemukan makna suatu simbol, fenomena sosial, kondisi
psikologis, kepentingan dan stok ilmu pengetahuan dari penafsir
merupakan hal penting yang mempengaruhi proses penafsiran.

Masalah tafsir-menafsir adalah masalah kejelian, sehingga


bagi para peneliti diperlukan suatu proses dialog ilmu yang terus-
menerus. Tafsir-menafsir menyangkut peneliti dan “orang lain”,
sehingga representasi kedudukan peneliti menjadi bagian penting
dari sebuah penelitian. Selanjutnya model hermeneutik.
Hermeneutik merupakan salah satu soal penelitian yang berkaitan
dengan upaya menafsirkan sesuatu.

Teori hermeneutik menurut Madison, terfokus pada


persoalan-persoalan umum interprestasi sebagai metode human
sciences yang merupakan soal perpotongan antara kajian
fenomenologi dengan linguistik, perpotongan semantik dengan
kritik ideologi, strukturalisme dengan analisis konsep. Berkaitan
dengan itu Ricoeur mendefinisikan hermeneutik adalah ilmu yang
secara oprasional membahas teori pemahaman, khususnya dalam
hubungannya dengan interpretasi (secara khusus adalah
interpretasi teks).

Schleirmacher hermeneutik hanya berurusan dengan seni


memahami (art of understanding). Scheimacher melihat bahwa
persoalan pemahaman tidak berdiri sendiri, tetapi saling berkaitan
dengan interpretasi.

Konsep interaksi simbolik bertolak dari setidak-tidaknya


tujuh proposisi dasar; Pertama, bahwa perilaku manusia itu
mempunyai makna di balik yang menggejala. Kedua; pemaknaan
kemanusiaan perlu dicari sumbernya pada interaksi sosial manusia.
Ketiga, bahwa masyarakat manusia itu merupakan proses yang
berkembang holistik, tak terpisah, tidak linier dan tidak terduga.
Keempat, perilaku manusia itu berlaku berdasarkan penafsiran
phenomenologik, yaitu berlangsung atas maksud pemaknaan dan
tujuan, bukan berdasarkan atas proses mekanik dan otomatik.
Kelima; konsep manusia itu berkembang dialektik. Keenam;
perilaku manusia itu wajar dan konstruktif kreatif, bukan elementer-

92
reaktif. Ketujuh, metode introfeksi simpathik dengan menekankan
pada pendekatan intuitif perlu digunakan untuk menangkap makna.

Analisis wacana sangat dekat dengan prinsip metode


interaksi simbolik; Pertama, simbol dan interaksi itu menyatukan.
Kedua, karena simbol dan makna itu tak lepas dari sikap pribadi,
maka jati diri subjek dapat ditangkap. Ketiga, adalah peneliti harus
sekaligus mengaitkan antara simbol dengan jati diri dengan
lingkungan sosialnya. Keempat, hendaknya direkam situasi yang
menggambarkan simbol dan maknanya, bukan hanya merekam
fakta sensual saja.

John Dewey mengemukakan bahwa semua organisme


berperan dalam membentuk lingkungannya. Prinsip ini berlandas-
kan suatu teori pengenalan, yang tidak memahami pikiran manusia
sebagai fotocopy atau pencerminan dunia luar, melainkan sebagai
hasil kegiatan/aktivitas manusia itu sendiri. Jadi proposisi paling
mendasar dari interaksi simbolik adalah: perilaku dan interaksi
manusia itu dapat diperbedakan karena ditampilkan lewat simbol
dan maknanya. Blummer, mengidentifikasi interaksionisme simbol
pada tiga premis utama. Premis pertama, “manusia melakukan
berbagai hal atas dasar makna yang diberikan oleh berbagai hal itu
kepada mereka”. Premis kedua, “makna berbagai hal itu berasal
dari, atau muncul dari interaksi.

Untuk lebih jelasnya, maka masing-masing elemen wacana


semantik, seperti latar, detail, ilustrasi, maksud, pengandaian, dan
penalaran Eriyanto menjelaskan sebagai berikut:

1. Latar, merupakan wacana yang dapat menjadi alasan


pembenaran gagasan yang diajukan dalam suatu teks.

2. Detail, berhubungan dengan kontrol informasi yang ditampilkan


seseorang (komunikator). Komunikator akan menampilkan
secara berlebihan informasi yang menguntungkan dirinya atau
citra yang baik. Sebaliknya ia akan menampilkan informasi
dalam jumlah sedikit (bahkan jika perlu tidak ditampilkan) kalau
hal itu merugikan argumentasinya.

93
3. Ilustrasi dan maksud, sebenarnya hampir mirip dengan detail,
tetapi kalau ilustrasi berhubungan dengan apakah informasi
tertentu disertai contoh atau tidak. Sementara elemen maksud
melihat apakah teks itu disampaikan secara eksplisit atau tidak,
apakah fakta disajikan secara telanjang ataukah tidak.
Umumnya informasi yang menguntungkan komunikator akan
diuraikan secara eksplisit dan jelas, sebaliknya informasi yang
merugikan akan diuraikan secara tersamar, implisit dan
tersembunyi. Tujuan akhirnya adalah publik hanya disajikan
informasi yang menguntungkan komunikator.

4. Pengandaian dan penalaran, adalah strategi yang dapat


memberi citra tertentu ketika diterima khalayak. Pengandaian
hadir dengan memberi pernyataan yang dipandang terpercaya
dan karenanya tidak perlu dipertanyakan. Hampir mirip dengan
elemen pengandaian adalah penalaran, yang digunakan untuk
memberi basis rasional, sehingga teks yang disajikan
komunikator tampak benar dan meyakinkan.

11. Hermeneutik dalam Alkitab

Menerjemahkan Alkitab atau bagiannya bukanlah pekerjaan


yang mudah. Banyak masalah yang muncul berkenaan dengan
penerjemahan Alkitab. Misalnya, satu terjemahan belum tentu
diterima sebagai terjemahan yang benar oleh semua orang. Hal itu
terbukti dari banyaknya versi King James sebagai satu-satunya
terjemahan yang berwibawa dan menganggap terjemahan lain
sebagai pengurangan, penambahan, dan pemutar balikan firman
Allah. Tidak mengherankan jika penerjemahan menjadi sumber
untuk mendapatkan masalah dalam penelitian biblika (Subagyo,
2004).

Peneliti teologi biblika yang hendak melakukan penelitian


penerjemahan tentu saja harus menguasai Bahasa asli Alkitab,
sebagai bahasa sumber, dan menguasai bahasa sasaran.
Pemahaman atas bahasa Ibrani dan Yunani membuat si peneliti
bisa mengetahui adanya masalah dalam terjemahan ayat atau
perikop tertentu dalam Alkitab. Mungkin terjemahan itu benar
terhadap bahasa sumbernya, tetapi maknanya dalam bahasa

94
sasaran tidak jelas. Mungkin juga terjemahan itu jelas maknanya,
tetapi menyimpang dari makna dalam bahasa sumber. Pemahaman
terhadap bahasa asli Alkitab membuat si peneliti bisa mengetahui
beberapa kemungkinan penerjemahan dari sebuah kata atau
rangkaian kata (Subagyo, 2004).

Penelitian penerjemahan dilakukan dengan tujuan untuk


menghasilkan terjemahan yang benar dan maknanya dapat
dipahami sesuai dengan bahasa sumber (bukan sekadar
pengalihan bahasa secara harifah). Untuk itu, Bolich (1986)
menyebutkan beberapa prinsip dan langkah penerjemahan yang
dapat memberi petunjuk mengenai data yang harus ditemukan
dalam teks yang akan diterjemahkan. Data tersebut adalah arti asli,
bentuk dan isi, kesan aural dan visual, keterangan mengenai latar
belakang, sintaks, dan tata bahasa.

Eksegesis dan bukan eisegesis. Secara sederhana,


eksegesis adalah penafsiran yang diperoleh dengan meneliti,
mengurai teks dalam Alkitab tanpa terpengaruh oleh sumber
bacaan atau pandangan orang lain mengenai teks tersebut.
Sebaliknya eisegesis adalah memasukkan pandangan dari luar ke
dalam Alkitab; dapat juga dikatakan adalah penafsiran sendiri dan
mencari ayat-ayat pendukung dalam Alkitab. Eksegesis adalah
salah satu cara hermeneutik yang berpikiran induktif. Apa yang
dikatakan teks dalam Alkitab maka itulah yang akan dijabarkan dari
sumber kata, budaya, tradisi, sejarah, dan maksud penulis pada
masanya

a. Kritik Teks

Kritik (criticism) atau kritik biblical (biblical criticism alih-alih


dipakai juga istilah historical criticism) adalah istilah umum yang
menunjuk pada analisis ayat-ayat Alkitab atau semua metodologi
yang diterapkan untuk menyelidiki teks biblikal. Di samping kritik
teks, banyak kritik lainnya, seperti kritik kanonik, bentuk, gramatik-
historis, kewacanaan (sastra, naratif), redaksi (komposisi), retorik,
sumber, structural (stailistik), dan tradisi (Huey dan Corley, 1983).

Kritik teks ialah ilmu yang berupaya menyusun dan


menetapkan kembali teks asli Alkitab sedekat mungkin.
Prosedurnya meliputi penyusunan kembali sejarah pemindahan
dan penilaian dari nilai relative naskah-naskah. Kritik itu di sebut

95
kritik rendah (lower criticism) yang di pertentangkan dengan kritik
tinggi (higher criticism), yang menangani soal-soal latar belakang
sejarah, penulisan, dan tanggal penulisan (Huey dan Corley 1983).

Menurut prosedur evaluasi teks yang di jelaskan Bolich


(1986), data yang harus di temukan dalam melakukan kritik teks
adalah adanya bukti internal sebagai berikut.

1. Teks mengalami perubahan secara tidak sengaja dalam proses


penyalinan, seperti kesalahan penglihatan, kesalahan pen-
dengaran, kesalahan pengingatan, atau kesalahan pemahaman.

2. Teks mengalami perubahan secara sengaja dalam proses


penyalinan, seperti pembetulan karena alasan tata bahasa/ilmu
bahasa dan karena pertimbangan doktrinal. Di samping itu, teks
juga mengalami perubahan karena penyalinan bermaksud untuk
membetulkan kesalahan naskah, menghapus ketidakcocokan
yang nyata, menggabungkan dua atau lebih teks yang ber-
variasi menjadi satu teks, harmonisasi, liturgis, memperluas atau
membulatkan teks, memecahkan kesulitan-kesulitan historis dan
geografis, serta untuk mengubah acuan kutipan. Dalam hal itu
peneliti perlu memastikan apakah teks itu memang ditulis oleh
orang yang di anggap menulisnya atau tidak, yaitu berdasarkan
gaya dan kosakata, konteks langsung, pemakaian kata-kata di
bagian lain oleh penulis, pengaruh masyarakat, dan tradisi
tertentu. Peneliti juga perlu memastikan ada tidaknya perubahan
dalam teks asli melalui proses penyalinan tersebut. Itu berarti
peneliti perlu menentukan bunyi teks yang asli (yang lebih
pendek dan lebih sulit, yang paling tidak dapat dijelaskan dari
segi perubahan yang mungkin terjadi, dan yang paling baik
menjelaskan yang lain).

b. Kritik Sumber

Kritik sumber ialah metodologi analisis yang dipakai dalam


penyelidikan buku-buku biblikal untuk menemukan dokumen-
dokumen (atau sumber-sumber) yang telah dipakai dalam
penyusunan wacana tertulis (Huey dan Corley, 1983). Kritik sumber
merupakan aspek khusus dari kritik sastra. Dengan demikian, kritik
itu menyelidiki ciri-ciri kewacanaan sebuah teks, khususnya
struktur, gaya, penggunaan kata-kata, sudut pandang, pengulang-
an kata-kata dan penalaran (Huey dan Corley, 1983).

96
Menurut Bolich dalam Subagyo (2004), data yang harus
ditemukan peneliti dalam melakukan kritik sumber adalah ada
tidaknya sumber (sumber sekuler, seperti daftar, tanda terima,
dokumen perusahaan, dokumen administrasi, surat pribadi,
dokumen hukum, dokumen kenegaraan, perjanjian, alat bantu
penulisan, dokumen kesehatan, astrologi dan astronomi, sejarah,
pidato, karya puitis, kisah, dokumen aliran kepercayaan, teologi,
syair keagamaan, musik keagamaan, tulisan-tulisan pada mata
uang, tulisan pada medali, tulisan pada cap kerajaan, tulisan pada
bangunan, dan tulisan pada batu nisan). Berdasarkan hal tersebut,
peneliti mendaftarkan faktor-faktor yang menunjukan dipakainya
sumber tertentu dan mempertimbangkan validitasnya dari segi
penulis atau pemakai sumber. Peneliti kemudian menentukan sifat
sumber (apakah sumber itu berdiri sendiri, dimana sumber itu paling
muncul, apa hubunganya dengan sumber lain, apakah keterangan
mengenai sumber itu dapat diperoleh dari dokumen-dokumen lain,
apakah ciri-ciri kesusastraan dan tema khusus dari sumber itu.
Apakah isi atau pesan aslinya, dan apakah tujuan serta maknanya).
Akhirnya, peneliti menentukan pemakaian sumber, yaitu
memisahkan sumber dari sumbangan si penulis, memperhatikan
bagaimana sumber itu dipakai dan dibentuk oleh penulis sebagai
editor, dan memperhatikan proses dan produk penulis itu sendiri.

c. Kritik Bentuk

Kritik bentuk ialah analisis sebuah teks menurut bentuk-


bentuk khas yang digunakan orang, dalam konteks budaya tertentu,
untuk menyatakan dirinya secara kebahasaan (Huey dan Corley,
1983). Menurut Bolich (1986), data yang diperlukan dalam
melakukan kritik bentuk dengan model analitis adalah struktur teks
(garis besar, pola, ciri-ciri gaya, pendahuluan dan simpulan dalam
teks, serta pola-pola umum [jika ada]), pengelompokan bentuk
kesusastraan, penelusuran sejara bentuk (jika mungkin),
penjelasan mengenai bentuk asli, lingkungan bagi sbentuk
kesusastraan itu, tujuan teks (apologetic, polemic, dogmatic,
kateketik, paraenetik, proklamatori), dan simpulan.

Mula-mula penelusuran sejarah bentuk (formgeschichte,


bhs. Jerman) adalah hal pertama yang ditekankan dalam bentuk
kritik bentuk (Briggs, 1979:88). Dalam pengertian itu, kritik bentuk
memerhatikan penemuan bentuk-bentuk asli dari bahan-bahan

97
yang dipakai oleh penulis kitab suci, termasuk rekonstruksi sejarah
tradisi yang melatarbelakanginya.

Kritik bentuk memang berhubungan dengan kritik sumber


dan kritik redaksi, tetapi berbeda karena perhatianya terbatas pada
tradisi wacana, baik ucapan-ucapan maupun kisah-kisah (Briggs,
1979).

d. Kritik Redaksi

Kritik redaksi didasarkan pada asumsi bahwa penulis kitab


suci bertindak secara kreatif menafsirkan tradisi bagi generasinya,
menurut Briggs (1979), kritik redaksi berkecimpung dengan
masalah teologi penulis, yaitu menyelidiki pesan dan maksud
penulis yang dinyatakan dalam karyanya, mempertimbangkan
metode kom-posisinya, menganalisis pemakaian sumber-sumber,
dan mere-konstruksi situasi historis ketika mereka menulis.

Kritik redaksi berasumsi bahwa penulis kitab suci bukan


hanya seorang yang “menggunting” tradisi kemudian menempel-
nempelkannya menjadi kumpulan guntingan tradisi, melainkan
seorang penyunting yang mempunyai kesadaran dengan
menyertakan pandangan teologinya pada tulisan itu. Pandangan
tersebut dipakai sebagai pedoman untuk menentukan sumber
tertulis dan tradisi oral manakah yang harus dimasukan, yang tidak
dimasukan dan mana yang harus diubah (Blomberg dalam Dockery,
Matthews, dan Sloan, 1994).

Blomberg (1994), ada dua aspek kritis redaksi yang dalam


penerapannya untuk injil sinopsis dapat diringkaskan sebagai
berikut.

1. Berpikir horisontal. Pengkritik redaksi menyejajarkan laporan-


laporan dari peristiwa yang sama dalam injil yang berbeda
sehingga cara setiap penulis menuturkan cerita tersebut dapat
dilihat. Dengan demikian, persamaan dan perbedaan dapat
diamati.

2. Berpikir vertikal. Pengkritik memerhatikan laporan sebuah injil


dari awal sampai akhir untuk memahami kerangka atau
perkembangan pemikiran penulis dalam menyusun injilnya.
Dengan demikian, tema yang muncul berulang-ulang dan

98
pengaturan bahan, yang lebih berdasarkan topik daripada
berdasarkan topik daripada berdasarkan urutan peristiwa, dapat
dilihat.

e. Kritik Retorik

Kritik-kritik yang dibahas sebelumnya termasuk dalam


golongan kritik historis. Selanjutnya, mulai dari kritik retorik, akan
dibahas kritik-kritik yang termasuk golongan kritik kesusatraan.
Seperti dikatakan oleh perintisnya, James Muilenburg, kritik retorik
“melampai kritik bentuk . . . mendapatkan pola-pola structural yang
dipergunakan untuk membentuk suatu unit kesusastraan, baik puisi
maupun prosa . . . dan menemukan sasaran-sasaran untuk
mengemukakan pernyataan mengenai pokok bahasan yang di
susun menjadi sebuah keseluruhan yang padu” (dikutip oleh Melick
dalam Dockery, Matthews, dan Sloan 1993). Apa yang hendak
ditemukan itu disebut retorik, dan metode untuk menemukanya
disebut kritik retorik.

Menurut Melick (1993) dalam Subagyo (2004), retorik


bertujuan untuk memahami mengapa penulis menulis teks dan
bagaimana ia menjadikanya sebuah teks dengan berusaha
memahami teks secara keseluruhan, kritik. Kritik tersebut
berasumsi bahwa penulis secara sadar menggunakan sarana-
sarana kesusastraan, bahwa tulisan itu pada dasarnya formal, dan
penulis memikirkan apa yang ingin ditulis, serta bagaimana
menyatakannya. Di pihak lain, pembaca tidak sulit menghadapi
komunikasi formal dari penulis.

Proses kritik retorik adalah sebagai berikut.


1. Menentukan unit retorik, yaitu seluruh tulisan atau unit besar dan
unit-unit kecil (pendahuluan, pokok bahasan, dan simpulan). Unit
tersebut dapat ditentukan berdasarkan tanda batas yang dibuat
penulis. Seperti kata atau frasa yang sama di awal dan akhir
tulisan, kata-kata yang diulang, dan pertanyaan retorik.

2. Menganalisis unit retorik dengan mempertimbangkan tiga


penggolongan besar retorik, yaitu invesi ialah pemilihan bukti
dan sanggahan yang akan dipakai dalam pidato dan tulisan.
Pengaturan bahan-bahan, misalnya orator Yunani membagi
pidatonya menjadi empat bagian utama, yaitu eordium
(pendahuluan), narration (pernyataan kasus), probation (bagian

99
utama), dan peroration (simpulan). Gaya adalah ancangan
terhadap pembaca atau pendengar, misalnya teknik-teknik untuk
meyakinkan atau argumentasi yang diarahkan pada penalaran,
perasaan, dan moral. Dengan demikian, situasi retorik dapat
diketahui dan akan berguna untuk memahami makna teks.

f. Kritik Naratif

Kritik naratif ialah analisis kitab-kitab didalam Alkitab atau


bagian-bagiannya sebagai sebuah kesusastraan yang utuh dengan
memusatkan perhatian pada tokoh, alur, latar dan sudut pandang
(Anderson dan Moore, 1992), dengan fokus seperti itu, tepatlah bila
dikatakan bahwa kritik naratif memerhatikan apa yang dikatakan
teks dan bagaimana mengatasinya untuk menimbulkan respons
tertentu dari pembaca (Culpepper dalam Bailey, 1993).

Menurut Malbon (Anderson dan Moore, 1992), sebagai


kisah yang dituturkan, naratif mengandung unsur-unsur peristiwa,
tokoh, latar, dan interaksi dari unsur-unsur itu yang disebut alur.
Retorik terdapat di dalam penuturan itu. Unsur lainnya adalah
penulis tersirat, penutur, tertutur, dan pembaca tersirat.

Anderson dan Moore (1992:164) menjelaskan bahwa


penulis tersirat ialah penulis yang disiratkan oleh sebuah karya
secara keseluruhan (bukan penulis yang sebenarnya). Penulis
tersirat ialah pribadi dan perangkat nilai yang di terima pembaca
sebagai pencipta dan pengendali karya secara implisit. Pembaca
tersirat didefenisikan sebagai orang yang menggabungkan baik
pra-pembentukan makna potensial oleh teks maupun aktualisasi
oleh pembaca melalui proses membaca. Latar ialah lokasi temporal,
special, dan social dari peristiwa dalam naratif (Anderson dan
Moore, 1992).

Alur ialah pengaturan episode-episode dari sebuah kisah,


struktur dan hubungan antara tindakan-tindakan, serta motifasi dan
konflik. Hal tersebut sering dianggap unsur pokok dalam alur
(Anderson dan Moore, 1992). Alur berbicara tentang apa yang
terjadi, mengapa, apa yang terjadi kemudian, mengapa. Disamping
itu, dari segi peristiwa, alur berbicara tentang urutannya, lamanya,
dan kekerapannya.

100
Adapun metode penafsiran narasi Perjanjian Lama
berdasarkan penjelasan Grant R. Osborne (2012:235-246) yang
dituangkan melalui aspek-aspek kritik narasi yang terdiri atas
delapan aspek yaitu: 1) Penulis tersirat dan narator; 2) Sudut
pandang, ideologi, dan dunia narasi; 3) Narasi dan waktu narasi; 4)
Plot; 5) Penokohan dan dialog; 6) Latar; 7) Tafsiran Implisit; 8)
Pembaca tersirat. Teks cerita yang dikembangkan menjadi: i) waktu
cerita; ii) plot; iii) dialog; iv) latar; v) tokoh.
Peniel Maiaweng (2014:2) mengutip aspek-aspek kritis
narasi yang dituliskan Osborne (2012). Dalam bagian ini Peniel
Maiaweng sengaja tidak mencantumkan penulis tersirat dan
pembaca tersirat. Salah satu tujuan pembatasan yang ada adalah
untuk mempertahankan unsur kesejarahan narasi. Selanjutnya
dalam teks cerita dikembangkan menjadi: i) adegan; ii) plot; iii)
dialog atau percakapan; iv) kata kunci; v) struktur; vi) penokohan;
vii) atmosfir; viii) pemilihan materi.
Metode penafsiran narasi Perjanjian Lama yang akan
digunakan dalam pembahasan ini sebagai berikut:

a. Narator
Narator adalah pembicara yang tidak kelihatan di dalam
teks, khususnya kedengaran di dalam bagian editor. Narator
memberitahukan kepada kita suatu cerita dan adakalanya
menafsirkan signifikansinya (Osborne, 2012:236). Narator bukanlah
penulis yang sesungguhnya dalam teks, tetapi penulis yang hanya
dapat dikenal karena menyatakan diri dalam teks atau yang
menciptakan personanya dalam teks. Narator adalah pembicara
yang tidak tampak dalam teks, khususnya dalam bagian-bagian dari
teks yang diselidiki. Narator bertindak sebagai pencerita yang
memahami segala tempat, segala keadaan, dan kondisi semua
karakter yang ada dalam narasi (Maiaweng, 2014:3). Hal ini penting
untuk mengakui bahwa narator diinspirasikan oleh Allah untuk
menulis narasinya sesuai dengan yang dimaksudkan oleh Allah
terhadap setiap narasi yang ada dalam Perjanjian Lama.

b. Sudut Pandang
Sudut pandang adalah perspektif yang diambil oleh tokoh-
tokoh dan aspek yanga da dalam suatu narasi. Sudut pandang
umumnya dikaitkan dengan narator yang berinteraksi dengan
tindakan dalam cerita dengan beragam cara sehingga meng-
hasilkan dampak yang harus dimiliki oleh cerita itu atas pembaca.

101
Sudut pandang menunjuk kepada daya atau signifikansi dari suatu
cerita (Osborne, 2012).
Menurut Sitompul dan Beyer (2008) bahwa sudut pandang
menunjuk gaya atau makna cerita. Setiap penulis memiliki pesan
tertentu, yang ingin sampaikan kepada pembaca. Sudut pandang
ini mengarahkan pembaca memperoleh suatu makna cerita dan
menentukan bentuk yang aktual, yang diberikan penggubahnya
(penulis) kepada naratif.
Sudut pandang berorientasi pada bebarapa aspek
untukmemudahkan pembaca memahaminya, seperti: 1) Dimensi
psikologi; 2) evaluasi atau ideologi; 3) perspektif ruang narator
Alkitab; 4) perspektif sementara, yaitu narator mempertimbangkan
suatu tindakan dalam cerita pada waktu sekarang dan waktu yang
akan datang; 5) sudut pandang penyusunan kata, yaitu narator
menyebutkan dialog-dialog yang terdapat dalam narasi (Maiaweng,
2014; Osborne, 2012).

c. Waktu Cerita
Waktu cerita tau waktu narasi berkaitan dengan urutan
peristiwa-peristiwa di dalam cerita dan bagaimana mereka saling
berkaitan. Waktu narasi berbeda dari kronologi karena waktu narasi
berkaitan dengan penataan sastra dan bukan urutan historis
(Osborne, 2012). Kadangkala narator menulis beberap peristiwa
yang terjadi pada beberapa tempat yang berbeda dalam waktu yang
sama (Maiaweng, 2014). Misalnya, kitab-kitab Injil menjadi suatu
“kehidupan Kristus” yang kronologis dan terlalu terfokus pada
sejarang daripada teologi; dan waktu narasi menolong pembaca
untuk fokus melihat para penulis Kitab injil sebagai teolog (Osborne,
2012).

d. Alur atau Plot


Plot adalah bagian-bagian yang terfokus pada proses atau
alur cerita dalam narasi (Maiaweng, 2014; Person, 1996). Plot
menggambarkan alur cerita yang memberikan batasan pada awal,
pertengahan, dan akhir, dengan menelusuri perkembangan
peristiwa dan episode yang muncul dalam cerita. Plot juga
berhubungan dengan urutan peristiwa, penyebabnya, dan akibat-
akibatnya (Kaiser, 2009). Hal yang paling utama diperhatikan dalam
penyusunan plot adalah ketegangan atau suasana pertentangan,
karena ketegangan yang diciptakan narator membuat cerita
menarik untuk dibaca. Dengan adanya plot, maka pembaca akan
mudah untuk memahami dan membagi adegan-adegan yang

102
terdapat pada bagian awal, tengah, dan akhir dari narasi
(Maiaweng, 2014).

e. Adegan
Adegan adalah penggambaran sesuatu yang terjadi pada
waktu atau tempat tertentu yang diinformasikan dalam narasi, yang
mana masing-masing adegan terdapat topik utamanya dan tokoh-
tokoh yang berperan di dalamnya (Kaiser, 2009). Adegan dapat
dibagi berdasarkan waktu, setting (tempat, ciri-ciri lingkungan, dan
para tokoh), dan mode narasi (komentar penulis, deskripsi, narasi,
penggambaran dramatis) (Pratt, 2005). Pembagian adegan mem-
permudah pembaca untuk memahami bagian-bagian kecil dari
narasi yang akan menuntun pembaca untuk memahami isi
keseluruhan narasi (Maiaweng, 2014). Adegan akan mem-
permudah memahami peran tokoh dalam konteks dalam adegan
dalam perikop firman Tuhan.

f. Pemilihan Materi
Pemilihan materi adalah cara yang digunakan oleh narator
atau pencerita secara intensif untuk membentuk penjabaran tema-
tema dan karakter-karakter yang sama dan yang berbeda dalam
cerita. Pencerita cenderung menunjukan otoritasnya pada per-
cakapan-percakapan dalam cerita. Pencerita juga mendemo-
strasikan bahwa ia mengontrol narasi yang disampaikannya
(Person,1996). Materi yang digunakan oleh narator, menurutnya
materi yang pantas untuk diinformasikan dalam narasi dan akan
memberikan informasi yang penting dan cukup bagi pembaca
(Maiaweng, 2014).

g. Penokohan
Penokohan adalah penjelasan tentang seorang tokoh
berdasarkan tindakan dan interaksinya dengan tokoh yang lain,
melalui perkataannya sendiri, melalui perkataan tokoh yang lain,
atau melalui komentar khusus dari pencerita. Penokohan biasanya
bersifat statis kalau tokoh yang dimaksud tidak berubah dalam
sebuah cerita; dan bersifat dinamis jika menunjukkan perubahan
dan perkembangan yang mencolok dalam cerita (Person, 1996).
Dengan demikian, maka tokoh dalam narasi. Dalam Perjanjian
Lama, karakter digambarkan demikian, karena Allah berdaulat atas
segala yang diciptakan-Nya, yaitu manusia dan alam semesta, dan
menggunakannya untuk melaksanakan kehendak-Nya (Maiaweng,
2014).

103
Menurut Pratt (2005), tokoh dalam narasi dapat
dikategorikan sebagai tokoh bundar, yaitu tokoh yang dilukiskan
dari berbagai sudut, yang memanifestasikan berbagai sifat dan
menampilkan diri sebagai orang yang riil, serta tokoh antagonis dan
protagonis (tokoh pengumpul pertama) mungkin saja baik dan
mungkin saja jahat.
Klasifikasi tokoh seperti ini diperlukan untuk mengetahui
peran setiap tokoh secara jelas dalam narasi (Maiaweng, 2014).
Penokohan dalam teks berdasarkan karater jahat dan baik dapat
memudahkan pembaca untuk memahami peran tokoh dalam narasi
dan menafsirkannya dengan benar.

h. Pengulangan dan Kata Kunci


Pengulangan adalah metode yang digunakan berulang kali
dalam narasi (Sitompul dan Beyer, 2008). Pengulangan-pengulang-
an biasanya melengkapi bagian utama cerita, memberikan tekanan
terhadap cerita, melengkapi bagian awal dan akhir perikop, dan
menunjuk kepada bagian-bagian karakter seseorang (Kaiser,
2009).
Sitompul dan Beyer (2008), bahwa menganalisis sebuah
narasi digunakan tiga tipe pengulangan:
1. Leitwort, yaitu pengulangan akar kata yang sama yang
memengaruhi isi cerita untuk digunakan sebagai kata kunci.
2. Motif, yaitu pengulangan kisahnya yang digunakan secara
simbolik.
3. Tema, yaitu ide atau nilai tertentu menjadi fokus.
Dengan demikian memudahkan pembaca untuk fokus pada
narasi dengan menggunakan kata kunci sebagai salah satu
referensi narasinya dalam teks.

i. Atmosfir
Atmosfir adalah keadaan yang ditekankan dalam narasi,
yang menggambarkan batasan antara hal-hal yang mustahil dan
biasa yang memengaruhi keadaan, dan yang berkaitan dengan
waktu dan tempat (Person, 1996). Atmosfir menekankan suasana
dalam narasi yang ditimbulkan oleh tokoh atau yang memengaruhi
tokoh (Maiaweng, 2014). Dalam hal ini atmosfir dapat dipengaruhi
oleh faktor internal dan eksternal yang terjadi dalam teks. Pembaca
dapat memahami teks berdasarkan gambaran atmosfir yang terjadi
dalam plot, adegan dan keseluruhan narasi.

104
12. Analisis Data Melalui NVivo Queries (Bandur, 2016)

a. Pengantar

Queries merupakan alat analisis yang terdapat dalam NVivo


untuk membantu seseorang peneliti kualitatif dan atau mixed-
methods dalam beberapa hal. Pertama, alat analisis ini dapat
membantu peneliti dalam mengeksplorasi data dan hasil koding.
Kedua, alat ini juga dapat membantu seorang peneliti untuk
membandingkan tema-tema dan kategori-kategori yang muncul
selama proses koding.

b. Teks Search Queries

Melalui text search query, peneliti dapat mengeksplorasikan


kata-kata yang terdapat dalam teks atau sumber data penelitian.
NVivo akan menampilkan kata-kata tersebut dalam bentuk diagram
sehingga membentuk arti kata tersebut dalam konteks
penggunannya perhatikan contoh dalma prosedur analisis dengan
NVivo berikut ini:
1. Klik Queries pada navigation view, klik tab Query, dan klik Text
Search Query.
2. Prosedur menghasilkan output hasil analisis. Klik pada bagian
kanan (klasifikasi output: summary, references, PDF, word
tree).
3. Untuk melihat sumber/referensi asal kata tersebut (dalam contoh
kata Internasionalisation, klik pada Reference sehingga akan
tampak analisis data.
4. Lembar kerja NVivo 11 Plus untuk teknik Word Query dapat
dilihat berikut ini. Pada lembar kerja NVivo tersebut, silahkan ikuti
prosedur analisis sebagai berikut:

a. Ketik kata kunci dalam kotak ‘Search for’; pilih ‘All sources’
jika hendak menemukan kata ‘internationalisation’ pada
semua sumber atau pilih ‘Selected Items’ Jika hanya ingin
menemukan kata ‘internationalisation’ dalam sumber
referensi tertentu; Geser tanda ‘Find’ pada With stemmed

105
words’ jika kita ingin menampilkan kata dasar ‘international’
pada kata ‘internationalisation’; Klik ‘Run Query’.

b. Dalam contoh berikut ini, penulis hanya ingin menemukan


perkembangan internationalisasi di Inggris dan Brazil
sehingga memilih ‘Selected Items’, lalu klik pada dua artikel
penelitian internasionalisasi di Brasil dan Inggris seperti
tampak dalam lembar kerja NVivo 11 Plus

c. Klik OK dan klik ‘Run Query’sehingga prosedur analisis


menampilkan output hasil analisis data.

Pertama-tama peneliti memasukkan semua produk undang-


undang dan peraturan pemerintah ke dalam NVivo, seperti tampak
berikut ini pada Sources:

▪ UU 17/2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang


Nasional tahun 2005-2025;
▪ UU 2/1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional;
▪ UU 25/2000 tentang Program Pembangunan Nasional
(PROPENAS) tahun 2000-2004
▪ UU 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
▪ UU 12/2012 tentang Pendidikan Tinggi
▪ UU 22/1961 tentang Perguruan Tinggi; UU 18/2002 Tentang
Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan Dan Penerapan
Ilmu Pengetahuan Dan Teknologi;
▪ UU 14/2015 tentang Guru dan Dosen
▪ UU 22/1999 tentang pemerintahan daerah
▪ Peraturan Pemerintah No.60/1999 tentang Pendidikan Tinggi;
▪ Peraturan Pemerintah No.17/2010 tentang Pengelolaan dan
Penyelenggaraan Pendidikan;
▪ Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 2006/2007 tentang
Kerja Sama Perguruan Tinggi di Indonesia dengan Perguruan
Tinggi atau Lembaga Lain di Luar Negeri;
▪ Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 264/U/1999
tentang Kerjasma Perguruan Tinggi;

106
▪ Buku Paduan Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi tentang
Strategi Pendidikan Tinggi Jangka Panjang 2003-2010 Dalam
Rangka Mewujudkan Perguruan Tinggi Berkualitas; dan
▪ Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No.49/2014
tentang Standar Nasional Pendidikan Tinggi.

Analisis isi (content analysis) dapat dilakukan terhadap


berbagai dokumen untuk memahami konteks penggunaan kata
internasionalisasi dalam berbagai undang-undang, peraturan
pemerintah, peraturan dan atau keputusan menteri, perhatikan
langkah-langkah berikut:

1. Pada kotak Search for, tulislah kata kunci yang hendak


dianalisis, misalnya dalm contoh ini kata ‘internasionalisasi’. Lalu
Anda dapat meletakkan kursor Finding Macthes di titik kedua
sehingga semua kata dasar (misalnya, internasional) dapat
disertakan dalam analisis NVivo. Kemudian pilih Selected Items
untuk secara khusus menganalisis dokumen-dokumen yang
diinginkan. Jika Anda pilih All Sources, NVivo akan secara
otomatis menganalisis semua sumber data, tidak hanya undang-
undang dan peraturan pemerintah. Lalu klik Select.

2. Prosedur menghasilkan lembar kerja NVivo.

3. Pada kolom Query options, Anda cukup memilih preview Only


atau anda juga dapat memilih Create Result as a New Node jika
menghendaki agar ‘internasionalisasi’ dapat menjadi node baru.
Penulis memilih preview only.

4. Klik Run sehingga menampilkan Output NVivo.

c. Word Frequency Queries

Word Frequency Query dalam NVivo dapat membantu


peneliti untuk mengeksplorasi kata-kata yang paling sering muncul
frekuensi) dalam data penelitian. Dengan alat analisis ini pula, kata-
kata yang memiliki makna yang sama dapat dikategorikan dalam

107
kelompok yang sama. Word frequency query ini efektif untuk tujuan
analisis isi teks atau analisis tematik (content/thematict text
analysis). Prosedur analisis dengan NVivo dapat dilakukan berikut
ini:

1. Klik Query, klik Create dan klik word Frequency.


2. Prosedur akan menghasilkan lembar kerja NVivo
3. Dalam lembar kerja, pertama-tama pada Fiding matches,
tempatlan pada include synonyms sehingga kata yang
dianalisis dapat disertakan dengan padanannya. Dalam kotak
Search in, pilih teks dan pada kotak OF, pilih All Sources atau
dapat juga memilih Selected Items jika hanya ingin
menganalisis sumber data tertentu. Kata yang paling sering
muncul tersebut dapat digantikan dengan memilih Display
Words (semua kata) atau sebagian besar kata yang sering
muncul atau meningkatkan panjang kata.
4. Klik Run. Prosedur akan menghasilkan tampilan berikut.
5. Output NVivo menampilkan tabel kata yang paling sering
muncul.
6. Kita juga dapat menampilkan dalam bentuk Word Cloud.
7. Dalam output NVivo , kata yang paling banyak disebutkan
ditampilkan dalam huruf berukuran paling besar dan kata-kata
yang berukuran lebih kecil ialah tiga kata terakhir (artikel,
hadiah, dan mahasiswa).
8. Untuk menganalisis secara lebih mendetail kita dapat
melakukan double click pada satu kata yang diinginkan
sehingga konteks penggunaan kata tersebut dapat diketahui.
Jika kita hendak menganalisis lebih lanjut content Facebook,
kita akan dapat melakukan koding terhadap deskripsi,
komentar dan posting yang ada.
9. Penulis sarankan agar penggunaan Word Frequency
Quenery akan menjadi efektif dan efisien dalam analisis
tematik atau analisis isi jika peneliti memiliki dokumen teks
yang banyak.

108
BAB 5
Prosedur Analisis Data Kualitatif

A. Prosedur Analisis Fenomenologi

Bandur (2016), aspek penting tentang penelitian


fenomenologi:

1) Partisipan. Salah satu hal yang paling mendasar dalam prosedur


ini ialah mengidentifikasi dan atau melakukan seleksi tentang
sekelompok individu yang mengalami langsung fenomena yang
sedang diteliti.

2) Situasi. Penelitian fenomenologi perlu memilih situasi khusus


yang dialami partisipan penelitian.

3) Teknik Pengumpulan/Pembangkitan Data. Penelitian disarankan


untuk menggunakan in-depth interviews dalam proses
mendalam tentang pengalaman masing-masing individu dalam
penelitian.

4) Prosedural Deskripsi. Deskripsi terhadap fenomena secara


umum menggunakan first person descripton, yakni meng-
gunakan kata subjek personal tunggal saya/aku.

5) Analisis Data.Dalam tahap ini pertama-tama peneliti melakukan


tahap persiapan analis data.

6) Presentasi Hasil Analisis Data dan Diskusi. Hasil analisis data


dipresentasikan dalam bentuk diagram-diagram dan tabel-tabel.

7) Ilustrasi-ilustrasi dan bahkan foto. Ambil foto tanpa setting untuk


dapat melihat respons informan.

109
B. Prosedur Analisis Struktural

Secara ringkas analisis struktural, sebagaimana yang


diajarkan oleh Levi-Strauss dalam Bungin (2015), memiliki langkah-
langkah yang dapat dijelaskan sebagai berikut:

1. Langkah pertama: membaca keseluruhan cerita terlebih dahulu.


Dari pembacaan ini, diperoleh pengetahuan dan kesan tentang
cerita, tentang tokoh-tokohnya, tentang berbagai tindakan yang
mereka lakukan, serta berbagai peristiwa yang mereka alami.

2. Langkah kedua; apabila cerita-cerita itu terlalu panjang, maka


cerita tersebut dapat di bagi menjadi beberapa episode. Maka
perlu pembacaan ulang terhadap cerita-cerita itu yang lebih
seksama lagi untuk memperoleh pengetahuan yang jelas yang
dapat digunakan sebagai dasar dalam analisis ini.

3. Langkah ketiga; setiap episode mengandung deskripsi tentang


tindakan atau peristiwa (mytheme atau ceriteme) yang dialami
oleh para tokoh-tokoh dalam cerita. Karena itu perhatian harus
ditujukan kepada kalimat-kalimat yang mengandung peristiwa
yang dialami oleh para tokoh dalam cerita. Namun kadang
penangkapan terhadap kalimat yang mengandung deskripsi
tindakan tidak dapat diperoleh melalui satu kalimat tertentu,
akan tetapi melalui pencermatan terhadap beberapa kalimat
dalam suatu cerita. Maka hal itu harus dilakukan.

4. Langkah keempat; memperhatikan adanya suatu relasi atau


kalimat-kalimat yang menunjukkan hubungan-hubungan tertentu
agar elemen dalam suatu cerita. Dalam analisis struktural suatu
kalimat itu dipandang mengandung ceriteme-ceriteme apabila
kalimat itu mendiskripsikan atau memperlihatkan relasi-relasi
atau hubungan-hubungan antar elemen.

5. Langkah kelima; ceriteme-ceriteme disusun secara diakronis


dan sinkronis atau mengikuti sumbu sintagmatis dan para
digmatis. Makna dan elemen mitos tergantung pada relasi
sintagmatis dan paradigmatisnya dengan elemen-elemen yang
lain.

6. Langkah keenam; mencoba menarik hubungan relasi antar


elemen-elemen di dalam suatu cerita secara keseluruhan.

110
Langkah ini dimaksud untuk mengkonstruk sebuah makna cerita
secara internal yang dapat disimpulkan sebagai suatu bangunan
makna.

7. Langkah ketujuh; adalah menarik kesimpulam-kesimpulan akhir


dengan mencoba memaknakan cerita-cerita internal di atas
dengan kesimpulan-kesimpulan referensial atau kontekstual di
mana cerita itu berada dan mencobanya menarik sebuah makna
umum yang menempatkan makna internal itu sebagai bagian
dari makna-makna umum secara integral.

Penjelasan prosedur di atas dilakukan terhadap teks atau


bahan-bahan dokumentasi yang ada. Di atas telah dijelaskan
bahwa umumnya analisis struktural digunakan dalam konteks
semiotika. Pertanyaannya apakah metode analisis ini tidak dapat
digunakan untuk hasil-hasil pengumpulan data dengan metode
lainnya? Analisis struktural ini dapat pula digunakan dalam peristiwa
lainnya dengan metode pengumpulan data observasi dan
wawancara sama dengan bahan-bahan teks dan dokumentasi,
hanya saja, analisis struktural pada bahan observasi dan
wawancara berbeda secara prosedural dengan bahan teks dan
dokumentasi. Bahan teks dan dokumentasi umumnya telah ada dan
siap untuk dianalisis, proses ini memudahkan peneliti untuk
memulai melakukan analisis, sedangkan pada wawancara dan
observasi, umumnya materi yang akan dianalisis belum tersedia,
karena peneliti harus mengkonstruksi hasil wawancara atau
observasi dalam sebuah catatan-catatan atau laporan yang terinci
sebelum dilakukan analisis dengan menggunakan analisis
struktural.

C. Prosedur Analisis Etnografi

Prosedur melakukan penelitian etnografi dapat dijelaskan


berikut ini:

1. Peneliti mengidentifikasi dengan jelas mengapa melakukan


penelitian etnografi.

111
2. Peneliti memastikan bahwa akses terhadap data dapat diperoleh
dengan baik.

3. Peneliti menetapkan teknik pengumpulan dan penelitian yang


tepat sesuai dengan karakteristik ketiga jenis desain penelitian
etnografi.

4. Peneliti menganalisis, menginterpretasi dan mendiskusikan hasil


analisis data.

D. Prosedur Membuat Model NVivo

Untuk mempresentasikan kategori-kategori peneliti yang


terdapat dalam sistem node, anda dapat mengikuti prosedur-
prosedur berikut ini:
1. Pastikan anda klik Models, klik Explore dan klik New Model.
2. Masukkan nama model pada kotak name.
3. Klik OK.
4. Pada tempat kosong di atas, kita bisa membuat model secara
manual dan bisa juga membuat model-model otomatis yang
dikerjakan NVivo.
5. Dalam fitur-fitur model NVivo, terdapat tiga simbol yang dapat
menunjukkan karakteristik hubungan masing-masing atribut
penelitian sebagai berikut:
6. Kita dapat membuat model secara otomatis.
7. Untuk membuat model otomatis, pertama-tama kita dapat klik
kanan pada lembar kerja model NVivo tersebut. Klik Add Project
Items untuk memasukkan salah satu node yang hendak
dipresentasikan dalam model.
8. Prosedur di atas menghasilkan lembar kerja. Klik Nodes, klik
Automatically select descendant nodes dan klik parent node
contoh program internasionalisasi.
9. Kita dapat membuat model tambahan di salah satu atribut yang
hendak diberi keterangan dengan klik kanan pada atribut
tersebut, lalu pilih Add associated data.

112
Bab 6
Validitas (Transferabilitas) Reliabilitas
(Dependabilitas), Objektivitas
(Konfirmabilitas)

A. Pengertian

Pengertian validitas merupakan derajad ketepatan antara


data yang terjadi pada objek penelitian dengan daya yang dapat
dilaporkan oleh peneliti. Dengan demikian data yang valid adalah
data “yang tidak berbeda” antara data yang dilaporkan oleh peneliti
dengan data yang sesungguhnya terjadi pada objek penelitian.
Kalau dalam objek penelitian terdapat warna merah, maka peneliti
akan melaporkan warna merah; kalau dalam objek penelitian
seperti sekolah para guru bekerja dengan keras, maka peneliti akan
melaporkan bahwa para bekerja dengan keras. Bila peneliti
membuat laporan yang tidak sesuai dengan apa yang terjadi pada
objek, maka data tersebut dapat dinyatakan tidak valid.

Terdapat dua macam validitas penelitian, yaitu validitas


internal dan validitas eksternal. Validitas internal berkenaan dengan
derajad akurasi desain penelitian dengan hasil yang dicapai. Kalau
dalam desain penelitian dirancang untuk meneliti etos kerja tenaga
kependidikan, maka data yang diperoleh seharusnya adalah data
yang akurat tentang etos kerja tenaga kependidikan. Penelitian
menjadi tidak valid, apabila yang ditemukan adalah motivasi kerja
guru.

Validitas eksternal berkenaan dengan derajad akurasi


apakah hasil penelitian dapat digeneralisasikan atau diterapkan
pada populasi dimana sampel tersebut diambil. Bila sampel
penelitian representatif, instrument penelitian valid dan reliable,
cara mengumpulkan dan analisis data benar, maka penelitian akan
memiliki validitas eksternal yang tinggi.

113
Dalam hal reliabilitas, Susan Stainback (1988) dalam
Sugiyono (2014), menyatakan bahwa “reliability is often defined as
the consistency and stability of data or findings. From a positivistic
prespective, reliability typically is considered to be synonymous with
the consistency of data produced by observations made by different
researchers (eg interrater reliability), by the same researcher at
different times (e.g test retest), or by splitting a data set in two parts
(split-half).” Reliabilitas berkenaan dengan derajad konsistensi dan
stabilitas data atau temuan. Dalam pandangan positivistik
(kuantitatif), suatu data dinyatakan reliabel apabila dua atau lebih
peneliti dalam objek yang sama menghasilkan data yang sama,
atau peneliti sama dalam waktu berbeda menghasilkan data yang
sama, atau sekelompok data bila dipecah menjadi dua
menunjukkan data yang tidak berbeda. Kalau peneliti saat
menemukan dalam objek berwarna merah, maka peneliti yang lain
juga demikian. Kalau seorang peneliti dalam objek kemarin
menemukan data berwarna merah, maka sekarang atau besok
akan tetap berwarna merah. Karena reliabilitas berkenaan dengan
derajad konsistensi, maka bila ada peneliti lain mengulangi atau
mereplikasi dalam penelitian pada objek yang sama dengan metode
yang sama maka akan menghasilkan data yang sama. Suatu data
yang reliabel atau konsisten akan cenderung valid, walaupun belum
tentu valid. Orang yang berbohong secara konsisten akan terlihat
valid, walaupun setidaknya valid.

Objektivitas berkenaan dengan “derajad kesepakatan” atau


“interpersonal agreement” antar banyak orang terhadap suatu data.
Bila dari 100 orang, terdapat 99 orang menyatakan bahwa terdapat
warna merah dalam objek penelitian itu, sedangkan yang satu
orang menyatakan warna lain, maka data tersebut adalah data yang
objektif. Objektif disini lawannya subyektif. Data yang objektif akan
cenderung valid, walaupun belum tentu valid. Dapat terjadi suatu
data yang disepakati banyak orang belum tentu valid, tetapi yang
disepakati sedikit orang malah lebih valid. Sebagai contoh 99 orang
menyatakan bahwa A bukan pencuri (objektif), dan satu orang
menyatakan bahwa A adalah pencuri (subjektif). Ternyata yang
betul adalah pernyataan satu orang, karena yang 99 orang tersebut
teman-teman dari si A yang sama-sama pencuri, sehingga
menyatakan si A bukan pencuri.

Dalam penelitian kuantitatif, untuk mendapatkan data yang


valid, reliabel dan objektif, maka penelitian dilakukan dengan

114
menggunakan instrumen yang valid dan reliabel, dilakukan pada
sampel yang mendekati jumlah populasi dan pengumpulan serta
analisis data dilakukan dengan cara yang benar. Dalam penelitian
kuantitatif, untuk mendapatkan data yang valid dan reliabel yang
diuji validitas dan reliabilitasnya adalah instrument penelitiannya,
sedangkan dalam penelitian kualitatif yang diuji adalah datanya.
Oleh karena itu Susan Stainback (1988) menyatakan bahwa
penelitian kuantitatif lebih menekankan pada aspek reliabilitas,
sedangkan penelitian kualitatif lebih banyak pada aspek validitas

B. Pengujian Validitas dan Reliabilitas Penelitian Kualitatif

Uji keabsahan data dalam penelitian kualitatif meliputi uji


credibility (validitas internal), transferbility (validitas eksternal),
dependability (reliabilitas), dan confirmability (objektivitas). Hal ini
dapat digambarkan seperti gambar 6.1 berikut.

Uji kredibilitas data

Uji Transferbility
Uji Keabsahan
data
Uji dependability

Uji confirmability

Gambar 6.1. Uji Keabsahan Data dalam Penelitian Kualitatif

1. Uji Kredibilitas

Bermacam-macam cara pengujian kredibilitas data ditunjuk-


kan pada gambar 6.1. Berdasarkan gambar tersebut terlihat bahwa
uji kredibilitas data atau kepercayaan terhadap data hasil penelitian

115
kualitatif antara lain dilakukan dengan perpanjangan pengamatan,
peningkatkan ketekunan dalam penelitian, tringulasi, diskusi
dengan teman sejawat, analisis kasus negatif, dan member check.

Perpanjangan
Pengamatan

Peningkatan
Ketekunan

Trianggulasi
Uji Kredibilitas
data
Diskusi
dengan teman

Analisis Kasus
Negatif

Member
Check

Gambar 6.2. Uji Kredibilitas Data Dalam Penelitian Kualitatif

a. Konsep Validitas dalam Penelitian Kualitatif (Bandur, 2016).

Dalam konsep ini, validitas dilihat sebagai evaluasi untuk


menentukan apakah interpretasi dan kesimpulan penelitian
didukung oleh bukti-bukti data yang ada. Validitas dalam penelitian
kualitatif berkaitan dengan ketepatan prosedur melakukan
penelitian sehingga hasil penelitian dan kesimpulan penelitian
tersebut dapat dipercaya sebagai suatu kebenaran umum.

Pertama, Research-Bias. Dalam konteks penelitian kualitatif,


seorang peneliti tidak dapat terhindarkan dari kenyataan untuk
mengumpulkan data yang sudah sesuai dengan asumsi-asumsi,
konsep-konsep, dan teori-teori yang sudah diyakini oleh peneliti.

116
Kedua, Reaktivitas. Dalam penelitian kualitatif tidak dapat
dihindari dengan sebuah kenyataan bahwa proses penelitian
ditentukan oleh pengaruh peneliti itu sendiri pada informan atau
lingkungan penelitian.

Ketiga, Validitas Deskripsi. Sebuah penelitian kualitatf


dikatakan tidak valid jika deskripsi hasil penelitian anda tidak
lengkap atau tidak tepat sesuai dengan kenyataan di lapangan.
Karena itu, penelitian yang valid diciptakan oleh keutuhan deskripsi
tentang suatu fenomena atau masalah yang sedang diteliti.

Keempat, Validitas Interpretasi. Suatu penelitian kualitatif


dikatakan tidak valid jika peneliti memberikan arti subjektif
berdasarkan pemikiran dan tafsiran peneliti sendiri tanpa
memahami arti yang terkandung pada ungkapan-ungkapan
informan.

Kelima, Validitas Teori. Validitas teori dalam penelitian


kualitatif berkaitan dengan penggunaan teori-teori terkait dengan
penelitian sehingga peneliti dapat memahami inti masalah
penelitian.

b. Perpanjangan Pengamatan

Mengapa dengan perpanjangan pengamatan akan dapat


meningkatkan kepercayaan/kredibilitas data? Dengan perpanjang-
an pengamatan berarti peneliti kembali ke lapangan, melakukan
pengamatan, wawancara lagi dengan sumber data yang pernah
ditemui maupun yang baru. Dengan perpanjangan pengamatan ini
berarti hubungan peneliti dengan nara sumber akan semakin
berbentuk rapport, semakin akrab (tidak ada jarak lagi), semakin
terbuka, saling mempercayai sehingga tidak ada informasi yang
disembunyikan lagi. Bila telah terbentuk raport, maka telah terjadi
kewajaran dalam penelitian, di mana kehadiran peneliti tidak lagi
mengganggu perilaku yang dipelajari. Rapport is a relationship of
mutual trust and emotional affinity between two or more people
(Susan Stainback, 1988).

Pada tahap awal peneliti memasuki lapangan, peneliti masih


dianggap orang asing, masih dicurigai, sehingga informasi yang
diberikan belum lengkap, tidak mendalam, dan mungkin masih
banyak yang dirahasiakan. Dengan perpanjangan pengamatan ini,

117
peneliti mengecek kembali apakah data yang telah diberikan
selama ini merupakan data yang sudah benar atau tidak. Bila data
yang diperoleh selama ini setelah dicek kembali pada sumber data
asli atau sumber data lain ternyata tidak benar, maka peneliti
melakukan pengamatan lagi yang lebih luas dan mendalam
sehingga diperoleh data yang pasti kebenarannya.

Berapa lama perpanjangan pengamatan ini dilakukan, akan


sangat tergantung pada kedalaman, keluasan dan kepastian data.
Kedalaman artinya apakah peneliti ingin mengenali data sampai
pada tingkat makna. Makna berarti data di balik yang tampak. Yang
tampak orang sedang menangis, tetapi sebenarnya dia tidak sedih
tetapi malah sedang berbahagia. Keluasan berarti, banyak
sedikitnya atau ketuntasan informasi yang diperoleh. Dalam hal ini
setelah peneliti memperpanjang pengamatan, apakah akan
menambah fokus penelitian, sehingga memerlukan tambahan
informasi baru lagi. Data yang pasti adalah data yang valid yang
sesuai dengan apa yang terjadi. Untuk memastikan siapa yang
menjadi provokator dalam kerusuhan, maka harus betul-betul
ditemukan secara pasti siapa yang menjadi provokator (Sugiyono,
2014).

Dalam perpanjangan pengamatan untuk menguji


kredibilitas. Data penelitian ini, sebaiknya difokuskan pada
pengujian terhadap data yang telah diperolah, apakah data yang
diperolah itu setelah dicek kembali ke lapangan benar atau tidak,
berubah atau tidak. Bila setelah dicek kembali ke lapangan data
sudah benar berarti kredibel, maka waktu perpanjangan
pengamatan dapat diakhiri. Untuk membuktikan apakah penelitian
itu melakukan uji krediblitas melalui perpanjangan pengamatan
atau tidak, maka akan lebih lebih baik kalau dibuktikan dengan
surat keterangan perpanjangan. selanjutnya surat keterangan
perpanjangan ini dilampirkan dalam laporan penelitian (Sugiyono,
2014).

c. Meningkatkan ketekunan

Meningkatkan ketekunan berarti melakukan pengamatan


secara lebih cermat dan berkesinambungan. Dengan cara tersebut
maka kepastian data dan urutan peristiwa akan dapat direkam
secara pasti dan sistematis. Sebagai contah mengamati se-
kelompok masyarakat yang sedang olahraga pagi. Bagi orang

118
awam olahraga adalah untuk meningkatkan kebugaran fisik. Tetapi
bagi peneliti kualitatif tentu akan lain kesimpulannya. Setelah
peneliti mencermati secara mendalam, olahraga pagi itu bagi
sekelompok masyarakat itu merupakan wahana untuk transaksi
bisnis. Selanjutnya untuk dapat memahami proses perdagangan
narkoba, maka peneliti harus melakukan pengamatan secara terus
menerus dan memahami bahasa-bahasa sandi mereka.

Mengapa dengan meningkatkan ketekunan dapat


meningkatkan kredibilitas data? Meningkatkan ketekunan itu ibarat
kita mengecek pengerjaan soal-soal ujian, atau meneliti kembali
tulisan dalam makalah yang telah dikerjakan, ada yang salah atau
tidak. Dengan meningkatkan ketekunan itu, maka peneliti dapat
melakukan pengecekan kembali apakah data yang telah ditemukan
itu salah satu tidak. Dengan juga dengan meningkatkan ketekunan
itu, maka peneliti dapat melakukan pengecekan kembali apakah
data yang telah ditemukan itu salah satu tidak. Demikian juga
dengan meningkatkan ketekunan maka, peneliti dapat memberikan
deskripsi data yang akurat dan sistematis tentang apa yang diamati.

Sebagai bekal peneliti untuk meningkatkan ketekunan


adalah dengan cara membaca berbagai referensi buku maupun
hasil penelitian atau dokumentasi-dokumentasi yang terkait dengan
temuan yang diteliti sehingga dapat digunakan untuk memeriksa
data yang ditemukan itu benar/dipercaya atau tidak.

d. Triangulasi

Triangulasi dalam pengujian kredibilitas ini diartikan sebagai


pengecekan data dari berbagai sumber dengan berbagai cara, dan
berbagai waktu. Dengan demikian terdapat triangulasi sumber,
triangulasi teknik pengumumpulan data, dan waktu.

Guru Teman

Orang tua

Gambar 6.3. Triangulasi Dengan Tiga Sumber Data.

119
Wawancara observasi

Kuesioner/
Document

Gambar 6.4. Triangulasi Dengan Tiga Teknik Pengumpulan

Siang Sore

Pagi

Gambar 6.5. Triangulasi Dengan Tiga Waktu Pengumpulan Data


1) Triangulasi sumber

Triangulasi sumber untuk menguji kredibilitas data


dilakukan dengan cara mengecek data yang telah diperoleh
melalui beberapa sumber. Sebagai contoh, untuk menguji
kredibilitas data tentang perilaku murid, maka pengumpulan data
dan pengujian data yang telah diperoleh dapat dilakukan ke guru,
teman murid yang bersangkutan dan orang tuanya. data dari ke
tiga sumber tersebut, tidak bisa dirata-ratakan seperti dalam
penelitian kuantitatif, tetapi dideskripsikan, dikategorisasikan,
mana pandangan yang sama, yang berbeda, dan mana spesifik
dari tiga sumber data tersebut. data yang telah dianalisis oleh
peneliti sehingga menghasilkan suatu kesimpulan selanjutnya
dimintakan kesepakatan (member check) dengan tiga sumber
data tersebut.

120
2) Triangulasi Teknik

Triangulasi teknik untuk menguji kredibilitas data


dilakukan dengan cara mengecek data kepada sumber yang
sama dengan teknik yang berbeda. Misalnya data diperoleh
dengan wawancara, lalu dicek dengan observasi, dokumentasi,
atau kuesioner. Bila dengan tiga teknik pengujian kredibilitas
data tersebut, menghasilkan data yang berbeda-beda, maka
peneliti melakukan diskusi lebih lanjut kepada sumber data yang
bersangkutan atau yang lain, untuk memastikan data

3) Triangulasi Waktu

Waktu juga sering mempengaruhi kredibilitas data. Data


yang dikumpulkan dengan teknik wawancara di pagi hari pada
saat narasumber masih segar, belum banyak masalah, akan
memberikan data yang lebih valid sehingga lebih kredibel. Untuk
itu dalam rangka pengujian kredibilitas data dapat dilakukan
dengan cara melakukan melakukan pengecekan dengan
wawancara, observasi atau teknik lain dalam waktu atau situasi
yang berbeda. Bila hasil uji menghasilkan data yang berbeda,
maka dilakukan secara berulang-ulang sehingga sampai
ditemukan kepastian datanya.

Triangulasi dapat juga dilakukan dengan cara mengecek


hasil penelitian, dari tim peneliti lain yang diberi tugas melakukan
pengumpulan data.

d. Analisis Kasus Negatif

Kasus negatif adalah kasus yang tidak sesuai atau berbeda


dengan hasil penelitian hingga pada saat tertentu. Mengapa
dengan analisis kasus negatif akan dapat meningkatkan kredibilitas
data? Melakukan analisis kasus negatif berarti peneliti mencari data
yang berbeda atau bahkan bertentangan dengan data yang telah
ditemukan. Bila tidak ada lagi data yang berbeda atau bertentangan
dengan temuan, berarti data yang ditemukan sudah dapat
dipercaya. Tetapi bila peneliti masih mendapatkan data-data yang
bertentangan dengan data yang ditemukan, maka peneliti mungkin
akan merubah temuannya. Hal ini sangat tergantung seberapa
besar kasus negatif yang muncul tersebut. Sebagai contoh, bila ada
99% guru mengatakan bahwa si A, pengedar narkoba, sedangkan

121
1% menyatakan tidak (negatif). Dengan adanya kasus negatif ini,
maka peneliti justru harus mencari tahu secara mendalam mengapa
masih ada data yang berbeda. Peneliti harus menemukan kepastian
apakah 1% kelompok yang menyatakan si A bukan pengedar
narkoba itu betul atau tidak. Kalau akhirnya yang 1% kelompok
menyatakan bahwa si A adalah pengedar narkoba, berarti kasus
negatifnya tidak ada lagi. Dengan demikian temuan penelitian
menjadi lebih kredibel.

e. Menggunakan Bahan Referensi

Yang dimaksud dengan bahan referensi di sini adalah


adanya pendukung untuk membuktikan data yang telah ditemukan
oleh peneliti. Sebagai contoh, data hasil wawancara perlu didukung
dengan adanya rekaman wawancara. Data tentang interaksi
manusia, atau gambaran suatu keadaan perlu didukung oleh foto-
foto. Alat-alat bantuan perekam data dalam penelitian kualitatif,
seperti camera, handycam, alat rekam suara sangat diperlukan
untuk mendukung kredibilitas data yang telah ditemukan oleh
peneliti. Dalam laporan penelitian, sebaiknya data-data yang
dikemukakan perlu dilengkapi dengan foto-foto atau dokumen
autentik, sehingga menjadi lebih dapat dipercaya.

f. Mengadakan Member Check

Member check adalah proses pengecekan data yang


diperoleh peneliti kepada pemberi data. Tujuan member check
adalah untuk mengetahui seberapa jauh data yang diperoleh sesuai
dengan apa yang diberikan oleh pemberi data berarti datanya data
tersebut valid, sehingga semakin kredibel/dipercaya, tetapi apabila
data yang ditemukan

Penelitian dengan berbagai penafsirannya tidak disepakati


oleh pemberi data, maka peneliti perlu melakukan diskusi dengan
pemberi data, dan apabila perbedaanya tajam, maka peneliti harus
merubah temuannya, dan harus menyesuaikan dengan apa yang
diberikan oleh pemberi data. Jadi tujuan member check adalah agar
informasi yang diperoleh dan akan digunakan dalam penulisan
laporan sesuai dengan apa yang dimaksud sumber data atau
informan.

122
Pelaksanaan member check dapat dilakukan setelah satu
periode pengumpulan data selesai, atau setelah mendapat suatu
temuan, atau kesimpulan. Caranya dapat dilakukan secara
individual, dengan cara peneliti datang ke pemberi data, atau
melalui forum diskusi kelompok. Dalam diskusi kelompok peneliti
menyampaikan temuan kepada sekelompok pemberi data. Dalam
diskusi kelompok tersebut, mungkin ada data yang disepakati,
ditambah, dikurangi atau ditolak oleh pemberi data. Setelah data
disepakati bersama, maka para pemberi data diminta untuk
menandatagani, supaya lebih otentik. Selain itu juga sebagai bukti
bahwa peneliti telah melakukan membercheck .

2. Pengujian Transferability (Sugiyono, 2014)

Seperti telah dikemukakan bahwa, transferability ini


merupakan validitas eksternal dalam penelitian kuantitatif. Validitas
eksternal menunjukkan derajad ketetapan atau dapat
diterapkannya hasil penelitian ke populasi dimana sampel tersebut
diambil.

Nilai transfer ini berkenaan dengan pertanyaan, hingga


mana hasil penelitian dapat diterapkan atau digunakan dalam
situasi lain. Bagi peneliti naturalistik, nilai transfer bergantung pada
pemakai, hingga manakala hasil penelitian tersebut dapat
digunakan dalam konteks dan situasi sosial lain. Peneliti sendiri
tidak menjamin “validitas eksternal” ini.
Oleh karena itu, supaya orang lain dapat memahami hasil
penelitian tersebut, maka peneliti dalam membuat laporannya harus
memberikan uraian yang rinci, jelas, sistematis, dan dapat
dipercaya. Dengan demikian maka pembaca menjadi jelas atas
hasil penelitian tersebut, sehingga dapat memutuskan dapat atau
tidaknya untuk mengaplikasikan hasil penelitian tersebut di tempat
lain.
Bila pembaca laporan penelitian memperoleh gambaran
yang sedemikian jelasnya, “semacam apa” suatu hasil penelitian
dapat diberlakukan (transferability), maka laporan tersebut
memenuhi standar transferabilitas (Sanafiah Faisal, 1990)

3. Pengujian Dependability

Dalam penelitian kuantitatif, dependability disebut


reliabilitas. Suatu penelitian yang reliabel adalah apabila orang lain

123
dapat mengulangi/mereplikasi proses penelitian tersebut. Dalam
penelitian kualitatif, uji dependability dilakukan dengan melakukan
audit terhadap keseluruhan proses penelitian. Sering terjadi peneliti
tidak melakukan proses penelitian ke lapangan, tetapi bisa
memberikan data. Peneliti seperti ini perlu diuji dependability-nya.
Kalau proses penelitian tidak dilakukan tetapi datanya ada, maka
penelitian tersebut tidak reliabel atau dependable. Untuk itu
pengujian dependability dilakukan dengan cara melakukan audit
terhadap keseluruhan proses penelitian. Caranya dilakukan oleh
auditor yang independen, atau pembimbing untuk mengaudit
keseluruhan aktivitas peneliti dalam melakukan penelitian.
Bagaimana peneliti mulai menentukan masalah/fokus, memasuki
lapangan, menentukan sumber data, melakukan analisis data,
melakukan uji keabsahan data, sampai membuat kesimpulan harus
dapat ditunjukkan oleh peneliti. Jika peneliti tak mempunyai dan tak
dapat menunjukkan “jejak aktivitas lapangannya”, maka
dependabilitas penelitiannya patut diragukan (Sanafiah Faisal
1990).

4. Pengujian Konfirmability

Pengujian konfirmability dalam penelitian kuantitatif disebut


dengan uji objektivitas penelitian. Penelitian dikatakan objektif bila
hasil penelitian telah disepakati banyak orang. Dalam penelitian
kualitatif, uji konfirmability mirip dengan uji dependability, sehingga
pengujiannya dapat dilakukan secara dilakukan secara bersamaan.
Menguji konfirmability berarti menguji hasil penelitian, dikaitkan
dengan proses yang dilakukan. Bila hasil penelitian merupakan
fungsi dari proses penelitian yang dilakukan, maka penelitian
tersebut telah memenuhi standar konfirmability. Dalam penelitian,
jangan sampai proses tidak ada, tetapi hasilnya ada.

124
Daftar Pustaka

Abar, Akhmad Zaini. 1999. “Aliran Empiris dan Kritis dalam


Penelitian Komunikasi Massa.” Jurnal Ikatan Sarjana
Komunikasi (ISKI) III (April 1999). Bandung: Remaja
Rosdakaraya.

Amos. 2002. Doing Qualitative Research In Eduction Setting.


Albany: State University of New York.

Anderson, Janice Capel, Stephen D. Moore. 1992. Mark &


Method: New Approaches in Biblical Studies. Minneapolis:
Fortreess Press.

Ary, Donald, Jacobs, Lucy Cheser, Razavieh, A., Sorensen,


Christine K. 2010. Introduction to Research in Education
8th edition. Wardswoth Cengage Learning. Canada: Nelson
Education Ltd.

Awah, Paschal Kum. 2014. “An Ethnographic Study of Diabetes:


Implications for the Application of Patient Centred Care in
Cameroon.” Journal of Anthropology 2014:1–12.
https://doi.org/10.1155/2014/937898.

Bailey, Raymond (ed.). 1992. Hermenetics for Preaching:


Approaches to Contemporary Intrepretations of Scripture.
Nashville: Broadman Press.

Bandur, Agustinus. 2016. Penelitian Kualitatif (Metodologi, Desain,


dan Teknik Analisis Data dengan Nvivo 11 Plus. Bogor:
Mitrawacanamedia.

Bogdan, R. C. dan Biklen, S. K. 1982. Qualitative Research for


Education: An Introduction to Theory and Mehtods. Boston:
Allyn and Bacon, Inc.

Bolich, Gregory G. 1986. The Christian Scholar. An Introduction to


Theological Research. New York: University Press of
America.

125
Briggs, H. C. 1979. Interpreting The New Testament Today.
Nashville: Abbingdon.

Bungin, B. (ed.). 2015. Analisis Data Penelitian Kualitatif. Jakarta:


Rajawali Pers.

Bungin, Burhan. 2004. Metodologi Penelitian Kualitatif. Jakarta:


RajaGrafindo Persada.

Cresswell, John W. 2012. Eduactional Research: Planning,


Conducting, and Evaluating Quantitative and Qualitative
Research. New Jersey: Person Education, Inc.

Creswell, John W. 2014. Penelitian Kualitatif & Desain Riset


Memilih di antara Lima Pendekatan (Edisi Ke-3).
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Creswell. 1998. Qualitative Inquiry: Choosing Among Five


Traditions. USA: Sage Publications Inc.

Creswell, John W. 2017. Research Design Pendekatan Metode


Kualitatif, Kuantitatif, dan Campuran. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.

Culpepper, Alan. 1992. “A Literary Model.” dalam Raymond Bailey


editor, Hermenetics for Preaching: Approaches to
Contemporary Intrepretations of Scripture. Nashville:
Broadman Press.

Denzin, Norman K., Lincoln, Yvonna S. 1994. Handbookof


Qualitative Research. Thousand Oaks: SAGE Publications.

Dervin, Fred, and Caroline Dyer. 2016. Constructing Methodology


for Qualitative Research. https://doi.org/10.1057/978-1-137-
59943-8.

Dockery, David, Matthews, Kenneth A., Sloan, Robert B. 1994.


Foundation for Biblical Interpretation: A Complete Library of
Tools and Resources. Nashville: Broadmann and Holman
Publisher.

126
Emzir. 2016. Metodologi Penelitian Kualitatif: Analisis Data.
Jakarta: Rajawali Pers.

Emzir. 2017. Metodologi Penelitian Pendidikan Kuantitatif dan


Kualitatif. Jakarta: Rajawali Pers.

Eriyanto. 2000. Kekuasaan Otoriter dari Gerakan Penindasan


Menuju Politik Hegemoni. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Esterberg, Kristin G. 2002. Qualitative Methods in Social


Research. McGraw Hill, New York.

Gay, L. R., Airasian, Peter. 2000. Educational Research:


Competencies for Analysis and Application. London:
Prentice-Hall International (UK) Ltd.

Hammersley, M. and P. Atkinson. Ethnography Principles in


Practice. Cambridge University Press, London, UK, 1990.

Hanurawan, F. 2016. Metode Penelitian Kualitatif untuk Ilmu


Psikologi. Jakarta: Rajawali Pers.

Hasbiansyah, O. 2008. “Pendekatan Fenomenologi: Pengantar


Praktik Penelitian dalam Ilmu Sosial dan Komunikasi.”
MediaTor (Jurnal Komunikasi) 9, no. 1 (2008):163-180.

Huey, F. B., Corley, Bruce. 1983. A Student’s Dictionary for


Biblical and Theological Studies. Grand Rapids: Zondervan
Publishing House.

Kaiser, Jr., Walter. 2009. Berkhotbah dan Mengajar dari Perjanjian


Lama. Bandung: Kalam Hidup.

Koentjaraningrat, 1977. Metode-Metode Penelitian Masyarakat.


Jakarta: Gramedia.

Lincoln, Yvonna S., Guba, Egon G. 1985. Naturalistic Inquiry.


SAGE Publications.

Maiaweng, Peniel C. D. 2014. Penafsiran Narasi Perjanjian Lama.


Makassar: Sekolah Tinggi Theologia Jaffray.

127
Maiaweng, Peniel C. D. Maiaweng. 2016. Prosiding Seminar
Teologi Kitab Rut. Makassar: Sekolah Tinggi Theologia
Jaffray.

Marshall, Catherine, Gretchen B. Rossman. 1995. Designing


Qualitative Research. London: Sage Publications,
International Educational and Professional Publisher.

McMillan, James H. & Sally Schumacher. 2001. Research In


Education a Conceptual Introduction. 5th Edition. New York:
Addison Wesley Longmen Inc.

Meleong, Lexy J. 2001. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung:


Remaja Rosadakarya.

Miles, Matthew B., Huberman, A. Michael. 1984. Qualitative Data


Analysis: A sourcebook of New Methods. London: Sage
Publications.

Morse, Janice M. 2015. “Underlying Ethnography.” Qualitative


Health Research 26 (7):875–76.
https://doi.org/10.1177/1049732316645320.

Patton, Michael Quinn. 2002. Qualitative Research & Evaluation


Methods. Thousand Oaks: Sage publications.

Putra, N., Dwilestari, N. 2013. Penelitian Kualitatif: Pendidikan


Anak Usia Dini. Jakarta: Rajawali Pers.

Rudestam, K. E. and Newton, R. R. 1992. Surviving your


Dissertation: A Comprehensive Guide to Content and
Process. Newbury Park, CA: Sage.

Shagrir, Leah. 2017. Journey to Ethnographic Research.


https://doi.org/10.1007/978-3-319-47112-9.

Silverman, David (ed.). 2017. Qualitative Research. London:


SAGE Publications Ltd.

Sitompul, A. A., Ulrich Beyer. 2008. Metode Penafsiran Alkitab.


Jakarta: BPK Gunung Mulia.

128
Spradley, James P. 1997. Metode Etnografi. Yogyakarta: Tiara
Wacana.

Spradley, James P. 1980. Participant Observation. Holt, Rinehart


and Winston.

Stainback, S., Stainback, William. 1988. Understanding &


Conducting Qualitative Research. DubuQue, Iowa:
Kendall/Hunt Publishing Company.

Stake, Robert E. “Case Studies.” Dalam Norman K. Denzin,


Yvonna S. Lincoln, editors, Handbookof Qualitative
Research. Thousand Oaks: SAGE Publications.

Strauss, Anselm, Corbin, Juliet. 1990. Basic of Qualitative


Research: Grounded Theory Procedures and technique.
London: Sage Publications.

Subagyo, Andreas B. 2004. Pengantar Riset Kuantitatif dan


Kualitatif Termasuk Riset Teologi dan Keagamaan.
Bandung: Kalam Hidup.

Sugiyono. 2014. Metode Penelitian Pendidikan (Pendekatan


Kunatitatif, Kualitatif, dan R&D). Bandung: Alfabeta.

Vredenbregt, J. 1978. Metode dan Teknik Penelitian Masyarakat.


Jakarta: Gramedia.

Wijaya, H. (ed.) 2016. Metodologi Penelitian Pendidikan Teologi.


Makassar: Sekolah Tinggi Theologia Jaffray Makassar.

Wijaya, Hengki. 2018. “Analisis Data Kualitatif Model Spradley


(Etnografi).” [Online].
https://www.researchgate.net/profile/Hengki_Wijaya3

Yin, Robert K. 1994. Case Study Research: Design and Methods.


Thousand Oaks: Sage Publications.

Yin, Robert, K. 1996. Studi Kasus Desain dan Metode. Jakarta:


RajaGrafindo Persada.

129
Riwayat Hidup

Hengki Wijaya, S.TP, M.Th lahir di


Makassar, 07 Oktober 1980. Menyelesaikan
studi S1 di Universitas Hasanuddin Prodi
Teknologi Hasil Pertanian. Selama menjadi
mahasiswa telah dua kali mendapatkan
hibah penelitian dengan judul penelitian
“Produksi telur asin kaya zat besi dan
yodium: dalam rangka mengatasi anemia
gizi dan gangguan akibat kekurangan
yodium, GAKY,” dan “Kajian Penggunaan
Nira Aren Sebagai Substrat Pembuatan Ragi
Roti (Saccharomyces cerevisiae).” Setelah
selesai dari Universitas Hasanuddin bekerja di pabrik selama tiga
tahun dan pada perusahaan farmasi selama dua tahun. Pada tahun
2010 melanjutkan kuliah di Sekolah Tinggi Filsafat Theologia Jaffray
dan lulus pada tahun 2014/2015. Selama menjadi mahasiswa giat
menulis di Jurnal Jaffray (2012, 2016, 2017) maupun menulis di
researchgate.net (2015-sekarang). Beberapa bagian buku juga
pernah ditulis “Analisis Biblika Perjanjian Baru terhadap Etika Bisnis
Berdasarkan Injil Matius 5:3-12,” dalam buku Etika Ekonomi dan
Bisnis Perspektif Agama-Agama di Indonesia. Publikasi selengkap-
nya dapat diakses di:
https://scholar.google.com/citations?user=X_SX50MAAAAJ&hl=en

Saat ini dipercayakan menjadi Ketua Prodi Ilmu Fisafat S1


periode 2016-2021, dan Ketua Lembaga Penelitian dan Penerbitan
Sekolah Tinggi Filsafat Jaffray Makassar.

130

Anda mungkin juga menyukai