Anda di halaman 1dari 119

REPRESENTASI RASISME TERHADAP ETNIS TIONGHOA

DALAM FILM NGENEST KARYA ERNEST PRAKASA


(Analisis Semiotika John Fiske)

SKRIPSI

Nama : Aviolita Kartika Putri


NIM : 1671511150
Program Studi : Ilmu Komunikasi
Konsentrasi : Broadcast Journalism

FAKULTAS ILMU KOMUNIKASI


UNIVERSITAS BUDI LUHUR
JAKARTA
2020
REPRESENTASI RASISME TERHADAP ETNIS TIONGHOA
DALAM FILM NGENEST KARYA ERNEST PRAKASA
(Analisis Semiotika John Fiske)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar


Sarjana Ilmu Komunikasi (S.I.Kom)

Nama : Aviolita Kartika Putri


NIM : 1671511150
Program Studi : Ilmu Komunikasi
Konsentrasi : Broadcast Journalism

FAKULTAS ILMU KOMUNIKASI


UNIVERSITAS BUDI LUHUR
JAKARTA
2020
PERNYATAAN ORISINALITAS

Tugas Akhir ini adalah hasil karya saya sendiri, dan semua sumber baik yang
dikutip, maupun dirujuk telah saya nyatakan benar.

Nama : Aviolita Kartika Putri

NIM : 1671511150

Tanda Tangan :

Tanggal : 3 Juni 2020

ii
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI
TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Sebagai civitas akademik Universitas Budi Luhur, saya yang bertanda tangan
dibawah ini;

Nama : Aviolita Kartika Putri


NIM : 1671511150
Program Studi : Ilmu Komunikasi
Konsentrasi : Broadcast Journalism
Jenis Tugas Akhir : Skripsi

Menyatakan, demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui dan memberikan


kepada Universitas Budi Luhur Bebas Royalti Non ekslusif (Non-exclusive
Royalty Free Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul : “REPRESENTASI
RASISME TERHADAP ETNIS TIONGHOA DALAM FILM NGENEST
KARYA ERNEST PRAKASA (Analisis Semiotika John Fiske)” beserta
perangkat lainnya (dalam bentuk hardcopy dan softcopy).

Dengan Hak Bebas Royalti Non-ekslusif ini Universitas Budi Luhur Berhak
menyimpan, mengalihmediakan/dalam format lain, mengelola dalam bentuk
pangkalan data (Database), merawat, dan mepublikasikan Tugas Akhir saya
selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai
pemilik Hak Cipta.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya.

Dibuat di : Jakarta
Pada Tanggal : 3 Juni 2020
Yang Menyatakan ;

(Aviolita Kartika Putri)

iii
LEMBAR PERSETUJUAN

Setelah dilakukan bimbingan, maka Skripsi dengan Judul “Representasi


Rasisme Terhadap Etnis Tionghoa Dalam Film Ngenest Karya Ernest
Prakasa (Analisis Semiotika John Fiske)” yang diajukan oleh Aviolita Kartika
Putri – 1671511150 disetujui dan siap untuk dipertanggungjawabkan di hadapan
Penguji pada saat Sidang Skripsi Strata Satu (S-1), Program Studi Ilmu
Komunikasi, Fakultas Ilmu Komunikasi, Universitas Budi Luhur.

Dosen Pembimbing,

Shinta Kristanty, S.Sos., M.Si

iv
v
ABSTRAK

Representasi Rasisme Terhadap Etnis Tionghoa Dalam Film “Ngenest”


Karya Ernest Prakasa
(Analisis Semiotika John Fiske)

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui representasi rasisme terhadap


etnis Tionghoa dalam film Ngenest. Teori yang digunakan dalam penelitian ini
adalah teori semiotika John Fiske. Konsep- konsep yang terkait dengan penelitian
ini antara lain komunikasi massa, film, representasi dan rasisme. Paradigma
penelitian ini adalah kritis, pendekatan penelitian ini adalah kualitatif dengan
metode penelitian semiotika John Fiske. Analisis dalam penelitian ini adalah
mengobservasi gambar dari adegan film Ngenest menggunakan 3 level analisis,
yaitu level realitas, level representasi dan level ideologi yang didalamnya terdapat
unsur tanda representasi rasisme terhadap etnis Tionghoa. Hasil penelitian ini
menunjukan bahwa terdapat beberapa tindakan rasisme baik itu secara langsung
maupun tidak langsung yang muncul dalam film antara lain seperti prasangka,
stereotip dan diskriminasi. Kesimpulan dari penelitian ini adalah tindakan rasisme
dalam film Ngenest tersebut direpresentasikan melalui tindakan kaum pribumi
yang dilihat dari perlakuannya kepada kaum beretnis Tionghoa karena adanya
dasar perbedaan.

Kata kunci : Representasi, Rasisme, Analisis Semiotika John Fiske,


Film Ngenest

Universitas Budi Luhur


vi
ABSTRACT

Representation of Racism Against Chinese Ethnic in "Ngenest" Movie


by Ernest Prakasa
(John Fiske Semiotics Analysis)

This research purpose to know the representation of racism against


Chinese ethnic in Ngenest movie. The theory used in this research is the theory of
John Fiske semiotics. Concepts related to this research include mass
communication, film, representation and racism. The paradigm of this research is
critical, the approach of this research is qualitative with the research method of
John Fiske semiotics . The analysis in this research was to observed images of the
Ngenest movie scene using 3 levels of analysis, namely the level of reality, the
level of representation and the level of ideology in which included elements
representation of racism against Chinese ethnic. The results of this research
indicate that there are several acts of racism both directly and indirectly that
appear in the film such as prejudice, stereotypes and discrimination. The
conclusion of this research is the acts of racism in Ngenest movie is represented
through the actions of the natives seen from their treatment to the Chinese ethnic
because of the basic differences.

Keywords: Representation, Racism, John Fiske Semiotics Analysis,


Ngenest movie

Universitas Budi Luhur


vii
KATA PENGANTAR

Dengan memanjatkan puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang
telah melimpahkan berkat dan karunia-Nya sampai saat ini, sehingga penulis
dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Representasi Rasisme Terhadap
Etnis Tionghoa Dalam Film Ngenest Karya Ernest Prakasa”.

Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan rasa hormat serta


ucapan terima kasih kepada kedua orang tua dan juga semua pihak yang telah
memberikan bantuan serta dorongan dari berbagai aspek baik dalam hal moril
maupun materil kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini, terutama kepada:

1. Dr. Ir. Wendi Usino, M,Sc., M.M., Selaku Rektor Universitas Budi Luhur
2. Dr. Nawiroh Vera, S.Sos., M.Si., selaku Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi
Universitas Budi Luhur
3. Bintarto Wicaksono, S.P.T, M.Sn., selaku Ketua Program Studi Ilmu
Komunikasi Universitas Budi Luhur
4. Rini Lestari, S.Sos., M.I.Kom., selaku Kepala Sekretariat Program Studi Ilmu
Komunikasi Universitas Budi Luhur
5. Haronas Kutanto, S.P.T., M.I.Kom., selaku Kepala Konsentrasi Broadcast
Journalism Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Budi Luhur
6. Shinta Kristanty, S.Sos., M.Si., selaku Dosen Pembimbing yang telah
memberikan arahan serta dukungan kepada penulis dalam menyelesaikan
skripsi
7. Doddy Wihardi, S.IP., M.I.Kom., selaku Dosen Pembimbing Akademik
8. Seluruh dosen Fakultas Ilmu Komunikasi yang telah memberikan ilmu selama
masa perkuliahan
9. Serta teman-teman yang telah memberikan masukan untuk penulis selama
berlangsungnya penulisan skripsi

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna baik
bentuk, isi, maupun teknik penyajiannya. Penulis berharap dengan kehadiran
skripsi ini semoga dapat bermanfaat bagi semua pihak.

Jakarta, 3 Juni 2020


Penulis,

Aviolita Kartika Putri

Universitas Budi Luhur


viii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ......................................................................................... i


PERNYATAAN ORISINALITAS ................................................................... ii
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ........................ iii
LEMBAR PERSETUJUAN ............................................................................. iv
LEMBAR PENGESAHAN ............................................................................... v
ABSTRAK......................................................................................................... vi
ABSTRACT...................................................................................................... vii
KATA PENGANTAR ..................................................................................... viii
DAFTAR ISI ..................................................................................................... ix
DAFTAR GAMBAR ....................................................................................... xi
DAFTAR TABEL ........................................................................................... xii

BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang .................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ............................................................................... 5
1.3 Tujuan Penelitian ................................................................................ 5
1.4 Manfaat Penelitian .............................................................................. 5
1.4.1 Manfaat Teoritis ......................................................................... 5
1.4.2 Manfaat Praktis ........................................................................... 6

BAB II TINJAUAN PUSTAKA


2.1 Kajian Penelitian Terdahulu ................................................................ 7
2.1.1 Analisis Semiotika Makna Rasisme Pada Film 8 Mile ................ 7
2.1.2 Representasi Asimilasi Etnis Tionghoa dalam Film
Indonesia (Analisis Semiotik dalam Film Ngenest) .................... 7
2.1.3 Kegalauan Identitas Tionghoa dalam Film Cin(t)a ..................... 8
2.2 Kerangka Teoritis.............................................................................. 10
2.2.1 Komunikasi Massa ................................................................... 10
A. Definisi Komunikasi Massa................................................. 10
B. Ciri-ciri Komunikasi Massa ................................................. 11
2.2.2 Film ......................................................................................... 12
A. Definisi Film ....................................................................... 12
B. Fungsi Film ......................................................................... 13
C. Jenis Film ............................................................................ 13
D. Karakteristik Film ............................................................... 14
E. Unsur-Unsur Film................................................................ 15
F. Sudut Kamera ...................................................................... 16
G. Ukuran Gambar ................................................................... 16
2.2.3 Semiotika ................................................................................. 18
A. Definisi Semiotika............................................................... 18
B. Semiotika John Fiske ........................................................... 19
2.2.4 Representasi............................................................................. 20
2.2.5 Etnisitas, Ras dan Bangsa ........................................................ 21

Universitas Budi Luhur


ix
2.2.6 Rasisme ................................................................................... 22
A. Definisi Rasisme ................................................................. 22
B. Faktor-faktor Penyebab Rasisme ......................................... 23
C. Dampak Tindakan Rasisme ................................................. 24
2.3 Kerangka Pemikiran .......................................................................... 25

BAB III METODOLOGI PENELITIAN


3.1 Paradigma Penelitian ......................................................................... 26
3.2 Pendekatan Penelitian ....................................................................... 26
3.3 Metode Penelitian ............................................................................. 28
3.4 Objek Penelitian ................................................................................ 29
3.5 Definisi Konsep ................................................................................ 29
3.5.1 Film ......................................................................................... 29
3.5.2 Representasi ............................................................................. 29
3.5.3 Rasisme .................................................................................... 30
3.6 Teknik Pengumpulan Data ................................................................ 30
3.6.1 Observasi ................................................................................. 30
3.6.2 Dokumentasi ............................................................................ 31
3.7 Teknik Analisis Data ......................................................................... 31
3.8 Lokasi dan Waktu Penelitian ............................................................. 32
3.8.1 Lokasi Penelitian ...................................................................... 32
3.8.2 Waktu Penelitian ...................................................................... 32
3.9 Validitas Data ................................................................................... 32

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN


4.1 Gambaran Umum Objek Penelitian ................................................... 34
4.1.1 Sinopsis Film ........................................................................... 34
4.1.2 Profil Film ............................................................................... 37
4.1.3 Penghargaan Film .................................................................... 40
4.2 Hasil Penelitian ................................................................................. 42
4.3 Pembahasan ...................................................................................... 77

BAB V PENUTUP
5.1 Simpulan........................................................................................... 85
5.2 Saran.. ............................................................................................... 86
5.2.1 Saran Teoritis ........................................................................... 86
5.2.2 Saran Praktis ............................................................................. 86

DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN

Universitas Budi Luhur


x
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Kerangka Pemikiran .................................................................... 25


Gambar 4.1 Poster Film Ngenest ..................................................................... 34
Gambar 4.2 Potongan Gambar Scene 1............................................................ 42
Gambar 4.3 Potongan Gambar Scene 3............................................................ 45
Gambar 4.4 Potongan Gambar Scene 3............................................................ 45
Gambar 4.5 Potongan Gambar Scene 4............................................................ 48
Gambar 4.6 Potongan Gambar Scene 4............................................................ 48
Gambar 4.7 Potongan Gambar Scene 10.......................................................... 51
Gambar 4.8 Potongan Gambar Scene 10.......................................................... 51
Gambar 4.9 Potongan Gambar Scene 11.......................................................... 54
Gambar 4.10 Potongan Gambar Scene 13.......................................................... 56
Gambar 4.11 Potongan Gambar Scene 13.......................................................... 56
Gambar 4.12 Potongan Gambar Scene 13.......................................................... 57
Gambar 4.13 Potongan Gambar Scene 13.......................................................... 57
Gambar 4.14 Potongan Gambar Scene 15.......................................................... 60
Gambar 4.15 Potongan Gambar Scene 15.......................................................... 61
Gambar 4.16 Potongan Gambar Scene 19.......................................................... 64
Gambar 4.17 Potongan Gambar Scene 23.......................................................... 66
Gambar 4.18 Potongan Gambar Scene 23.......................................................... 67
Gambar 4.19 Potongan Gambar Scene 56.......................................................... 69
Gambar 4.10 Potongan Gambar Scene 59.......................................................... 71
Gambar 4.21 Potongan Gambar Scene 69.......................................................... 73
Gambar 4.21 Potongan Gambar Scene 79.......................................................... 75

Universitas Budi Luhur


xi
DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Tinjauan Perbandingan Penelitian Sejenis Terdahulu dengan


Penelitian yang dilakukan .................................................................... 8
Tabel 2.2 Level Analisis John Fiske .................................................................. 20
Tabel 4.1 Penghargaan Film Ngenest ................................................................ 40
Tabel 4.2 Hasil Penelitian Film Ngenest ........................................................... 42

Universitas Budi Luhur


xii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Penelitian

Dewasa ini film menjadi salah satu alat hiburan yang menyatu dengan
masyarakat ditengah banyaknya kesibukan. Film sendiri dimaknai sebagai salah
satu bagian dari media massa karena film dapat menyampaikan informasi kepada
khalayak secara massal. 1 Film juga memiliki peran sebagai sumber informasi
tentang fenomena sosial dan kondisi masyarakat dari berbagai penjuru dunia.
Perkembangan dunia perfilman di Indonesia pun sudah mampu untuk
menampilkan film yang lebih dekat dengan bangsa Indonesia, segala perbedaan
suku, agama, ras dan budaya diolah menjadi karya yang menarik dan sarat dengan
kritikan dan pesan ditangan sineas Tanah Air.

Film karya sineas Tanah Air yang mampu mengulas tentang keberagaman
di Indonesia salah satunya adalah Ngenest karya Ernest Prakasa, film komedi
yang diproduksi oleh Starvision Plus ini diangkat dari buku karya Ernest Prakasa,
didalam film yang dirilis tanggal 31 Desember 2015 dengan durasi 95 menit ini
menceritakan tentang seorang laki-laki bernama Ernest (Ernest Prakasa) yang
merupakan seorang minoritas dari keluarga keturunan etnis Tionghoa yang hidup
di ibukota. Saat ia tumbuh di masa orde baru dimana bau rasisme akan etnis
Tionghoa memuncak, Ernest sering kali mendapatkan perlakuan yang berbeda
oleh orang-orang di lingkungannya bahkan sejak ia masih duduk dibangku
sekolah dasar. Untuk menghilangkan kerasisan tersebut, Ernest mencoba berbaur
dengan teman– teman pribuminya meski ditentang oleh sahabat dekatnya sendiri,
Patrick (Morgan Oey). Namun dengan segala macam usaha yang telah dilakukan
Ernest ternyata semuanya sia-sia, sehingga Ernest berpikir bahwa cara terbaik
adalah dengan mencari seorang gadis pribumi dan menikahinya.

1
Inka Mayang, Skripsi: “Analisis Representasi Pluralisme Agama dan Budaya dalam Film Cinta Tapi Beda”, (Lampung:
Universitas Lampung), Hlm. 15.

Universitas Budi Luhur


1
Ernest yang masa kuliahnya di Bandung akhirnya bertemu dan berkenalan
dengan seorang gadis pribumi bernama Meira (Lala Karmela). Keduanya
berpacaran meski mendapat tentangan dari Papa Meira (Budi Dalton). Namun
tentangan itu tidak membuat mereka menyerah melainkan membuat mereka
semakin yakin untuk menikah. Akhirnya Ernest dan Meira pun menikah dengan
menggunakan adat etnis Tionghoa demi menyenangkan hati kedua orangtua
Ernest (Ferry Salim dan Olga Lidya). Setelah menikah, rasa khawatir Ernest
tidaklah hilang, ia semakin takut karena jika nanti mempunyai anak yang
wajahnya mirip dengan dirinya yang masih memiliki garis keturunan Tionghoa.
Film ini sendiri diangkat dari novel dan kisah nyata Ernest Prakasa sebagai kaum
minoritas etnis Tionghoa yang hidup di Indonesia.

Disamping itu, film Ngenest juga meraih beberapa penghargaan bergengsi


diantaranya yakni masuk dalam nominasi ajang Box Office Movie Award 2016
(IBOMA) dan sukses meraih 3 penghargaan sekaligus yaitu Ernest Prakasa
mendapatkan penghargaan sebagai penulis terbaik IBOMA 2016, Lala Karmela
mendapatkan penghargaan pendatang baru wanita terbaik IBOMA 2016 dan
Kevin Anggara mendapatkan penghargaan pendatang baru pria terbaik IBOMA
2016. Selain penghargaan diajang IBOMA, film Ngenest juga meraih
penghargaan di ajang Indonesia Movie Actor 2016 yakni Kevin Anggara sebagai
pendatang baru terfavorite, lalu diajang Festival Film Bandung 2016 Ernest
Prakasa meraih satu penghargaan yaitu sebagai penulis skenario terbaik,
sedangkan diajang Piala Iqbal Rais 2016 Ernest Prakasa mendapatkan debut
sebagai sutradara berbakat dan yang terakhir diajang Piala Maya 2016 Ngenest
mendapatkan tiga penghargaan sekaligus yakni Ernest Prakasa sebagai pendatang
terbaru pria, Lala Karmela sebagai pendatang baru wanita, serta skenario adaptasi
terpilih.

Selain Ngenest, dunia perfilman Indonesia yang telah mengangkat film


tentang etnis Tionghoa terlebih dahulu mulai dipublish pada awal tahun 2000an
yang kebanyakan menceritakan tentang perilaku kehidupan etnis Tionghoa yang
kental dengan tradisi budayanya. Didalam film cau bau kan (2002) pun etnis

Universitas Budi Luhur


2
Tionghoa direpresentasikan sebagai saudagar yang licik, tidak mau kalah dan
kasar. Film ini seakan menegaskan bahwa etnis Tionghoa memiliki
penggambaran di masyarakat yang seperti itu. Kemudian dalam film Wo Ai Ni
(2004), May (2008), dan Identitas (2009) etnis Tionghoa direpresentasikan
sebagai etnis Tionghoa yang mengalami penindasan. Lalu didalam film Berbagi
Suami (2006) hampir semua tokoh yang memiliki etnis Tionghoa
direpresentasikan sebagai pribadi yang tidak memiliki sisi positif.

Menurut Gondomono (2012), Etnis Tionghoa sendiri dikenali dari ciri-ciri


lahirilah yang berbeda dibandingkan dengan kaum Pribumi pada umumnya,
misalnya seperti “warna kulit lebih terang, bermata sipit, berambut lurus dan
bertulang pipi menonjol”. 2 Sampai saat ini masyarakat Tionghoa yang ada di
Indonesia kebanyakan masih dianggap sebagai pendatang oleh pribumi karena
mereka mulai mendatangi kepulauan Nusantara yang diperkirakan pada awal abad
ke-9 M.3 Padahal sebenarnya pribumi Indonesia pun juga merupakan pendatang
karena faktanya Indonesia tidak memiliki pribumi asli, Indonesia pada awalnya
didatangi oleh 2 golongan besar yakni orang Melanesia yang datang sekitar
50.000 tahun lalu dan disusul oleh orang Austronesia sekitar 4.000 tahun lalu
yang kemudian 2 golongan besar ini berkembang menjadi suku-suku yang kita
kenal sebagai pribumi saat ini.

Kemudian orang-orang pribumi tersebut menjalin perdagangan dengan


orang India pada abad ke-3 SM, kemudian disusul oleh orang Tionghoa dan Arab
yang datang juga ke Indonesia pada masa itu, hubungan antar budaya ini
menghasilkan perkawinan silang yang memberikan keturunan campuran.
Awalnya orang pribumi dan pendatang (Tionghoa, India dan Arab) hidup
berdampingan saling merangkul dengan damai, namun hubungan baik yang sudah
terjalin cukup lama tersebut terputus oleh kekuasaan pemerintah Eropa di zaman
kolonial yang menggolongkan orang berdasarkan asal-usul etnisnya dengan
urutan kasta paling atas adalah bangsa Eropa, lalu disusul oleh orang Timur

2
Hoon Chang Yau. Identitas Tionghoa Pasca Soeharto: Budaya, Politik dan Media, terjemahan, Budiawan, (Jakarta:
Yayasan Nabil dan LP3ES, 2012), Hlm.12.
3
Usman R. Etnis Cina Perantauan di Aceh, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2009), Hlm. 1.

Universitas Budi Luhur


3
(Tionghoa, India dan Arab) dan kemudian kaum pribumi diurutan paling bawah,
selain itu masyarakat yang merupakan keturunan campuran juga ikut menderita
karena tidak jelas masuk golongan mana.

Saat menjelang kemerdekaan, tokoh-tokoh nasional seperti Tjipto


Mangoenkoesoemo, Amir Sjarifoeddin dan Soekarno mengusulkan bahwa orang
keturunan Tionghoa dan campuran lainnya ikut digolongkan sebagai orang
Indonesia dengan syarat bertempat tinggal, berbudaya dan berbahasa Indonesia.
Namun, konsep tersebut berubah pada tahun 1965 tepatnya pada zaman era orde
baru dimana mantan presiden Soeharto membuat peraturan baru untuk
kepentingan pemerintahan dengan menggolongkan lagi warga asli pribumi
dengan warga keturunan campuran (non pribumi), dampaknya warga keturunan
campuran (non pribumi) tersebut harus beradaptasi dengan budaya Indonesia
secara ekstrim misalnya harus sampai mengganti nama.

Selama periode Soeharto, terutama di pertengahan 1980-an terdapat suasana


rekayasa polarisasi antara minoritas etnis Tionghoa dan mayoritas Indonesia.
Suasana ini diperparah dengan adanya gejala yang sama dalam hubungan antara
golongan Islam, Kristen Protestan dan Katolik yang cukup banyak diantaranya
adalah etnis Tionghoa. Keadaan ini memungkinkan terjadinya kerusuhan dahsyat
di Jakarta pada pertengahan Mei 1998 yang jelas ditujukan kepada orang etnis
Tionghoa dengan serangan kepada daerah bisnis, pertokoan, dan pemukiman yang
kebanyakan dimiliki dan atau dihuni orang etnis Tionghoa. 4 Sehingga munculah
istilah kata “Cina” pada zaman era orde baru sebagai pengganti nama panggilan
orang keturunan Tionghoa yang digunakan untuk merendahkan, menghina atau
meremehkan. 5 Setelah 32 tahun berlalu, rezim penggolongan orde baru tersebut
dihapus oleh Gusdur. Namun, sejarah penggolongan etnis dari zaman ke zaman
tersebut masih membekas di mental orang Indonesia sampai sekarang yang
menjadi salah satu faktor penyebab rasisme dan kecemburuan sosial di kehidupan
masyarakat.

4
Tan G, Etnis Tionghoa di Indonesia, (Jakarta. Yayasan Obor Indonesia, 2008), Hlm. 273-275.
5
Suryadinata L, Negara dan Etnis Tionghoa, (Jakarta: LP3ES, 2002), Hlm. 101.

Universitas Budi Luhur


4
Dari fenomena sosial ini pun kemudian mendorong peneliti untuk lebih
memahami bagaimana makna rasisme sesungguhnya dari film Ngenest. Latar
belakang peneliti sebagai mahasiswi jurnalistik yang mendalami metode
semiotika sebagai sebuah metode untuk menganalisis tanda makna dari sebuah
konten atau teks media juga memotivasi peneliti untuk mengaplikasikan semiotika
pada film tersebut. Dengan kata lain, objek penelitian tersebut diasumsikan
menarik untuk dianalisis dari sudut pandang semiotika komunikasi. Adapun
formulasi judul yang diajukan dalam penelitian ini adalah “Representasi Rasisme
Terhadap Etnis Tionghoa Dalam Film Ngenest Karya Ernest Prakasa”.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang fenomena yang telah dijelaskan sebelumnya,


maka rumusan masalah yang akan diteliti yaitu : “Bagaimana representasi rasisme
terhadap etnis Tionghoa dalam Film Ngenest karya Ernest Prakasa?”

1.3 Tujuan Penelitian


Sesuai dengan rumusan masalah yang telah disebutkan di atas, maka
penelitian ini bertujuan untuk mengetahui representasi rasisme terhadap etnis
Tionghoa yang terkandung dalam film Ngenest karya Ernest Prakasa

1.4 Manfaat Penelitian


Adapun manfaat penelitian ini dalam aspek teoritis dan praktis yakni sebagai
berikut:

1.4.1 Manfaat Teoritis


Secara teoritis penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan serta
menambah kajian bagi perkembangan ilmu komunikasi terutama yang berkaitan
dengan semiotika.

Universitas Budi Luhur


5
1.4.2 Manfaat Praktis

Secara praktis penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan referensi bagi
pihak yang berkompeten, sehingga menjadi pertimbangan atau masukan bagi para
praktisi film dalam menghasilkan karya film yang lebih baik. Melalui penelitian
ini juga semoga dapat memberikan konstribusi dalam memahami makna pesan
yang terdapat dalam sebuah film.

Universitas Budi Luhur


6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kajian Penelitian Terdahulu


Penelitian terdahulu dalam tinjauan pustaka diperlukan untuk memudahkan
peneliti menentukan langkah-langkah yang sistematis. 6 Penelitian terdahulu
menjadi acuan atau gambaran untuk menunjang dan membantu proses penelitian
yang akan dilakukan. Peneliti harus belajar dari peneliti lain, untuk menghindari
duplikasi dan pengulangan penelitian atau kesalahan yang sama seperti yang
dibuat oleh peneliti sebelumnya.

2.1.1 Analisis Semiotika Makna Rasisme Pada Film 8 Mile


Peneliti adalah Doni Martuahman Mahasiswa Universitas Pembangunan
Nasional tahun 2012. Rumusan Masalah penelitian ini adalah melihat bagaimana
representasi makna rasisme pada film 8 Mile?. Tujuan Penelitian ini adalah
melihat bagaimana representasi makna rasisme pada film 8 Mile. Teori yang
digunakan peneliti adalah analisis Semiotika Charles Sanders Pierce yang
menggunakan teori segitiga makna (Triangel Meaning) dalam menganalisis tanda-
tanda yang merepresentasikan makna rasisme pada film tersebut. Metode
Penelitian yang digunakan adalah metode kualitatif dengan menggunakan metode
analisis semiotika. Hasil Penelitian menunjukan bahwa dalam film 8 Mile
ditemukan adegan atau scenes yang mengungkapkan representasi makna rasisme
terutama dalam perbedaan warna kulit dengan memperhatikan konteks fisik dan
sosial yang diperankan oleh aktor.

2.1.2 Representasi Asimilasi Etnis Tionghoa dalam Film Indonesia (Analisis


Semiotik dalam Film Ngenest)
Peneliti adalah Viddya Dwi Pradianty Mahasiswa Universitas Muhammadiyah
Yogyakarta tahun 2016. Rumusan Masalah penelitian ini adalah bagaimana

6
Soelistyarini, “Pedoman Penyusunan Tinjauan Pustaka dalam Penelitian dan Penulisan Ilmiah”
(http://www.academia.edu/7304163/Pedoman_Penyusunan_Tinjauan_Pustaka_dalam_Penelitian_dan_Penulisan_Ilmiah/,
Diakses 28 Maret 2020, 2020)

Universitas Budi Luhur


7
asimilasi direpresentasikan dalam dalam film Ngenest?. Tujuan Penelitian ini
adalah melihat bagaimana film Ngenest merepresentasikan asilimasi. Teori yang
digunakan adalah semiotika John Fiske yang menggunakan kode-kode televisi
dalam menganalisis tanda-tanda pada film yang direpresentasikan. Metode
Penelitian yang digunakan adalah metode kualitatif dengan menggunakan metode
analisis semiotika. Hasil Penelitian menunjukan bahwa dalam film Ngenest
menunjukan asimilasi tokoh utama terhadap suatu keadaan yang sedang ia hadapi,
hal tersebut terlihat pada adegan atau scene yang menunjukan sikap Ernest ingin
mencoba untuk berbaur dengan kaum mayoritas dilingkungannya.

2.1.3 Kegalauan Identitas Tionghoa dalam Film Cin(t)a


Peneliti adalah A.R Dzauqi Naufal Amrullah Mahasiswa Universitas Sunan
Ampel Surabaya tahun 2018. Rumusan Masalah dalam penelitian ini adalah
bagaimana kegalauan identitas Tionghoa direpresentasikan dalam film Cin(t)a?.
Tujuan Penelitian ini adalah untuk melihat bagaimana film Cin(t)a
memrepresentasikan kegalauan identitas Tionghoa. Teori yang digunakan adalah
semiotika Charles Sanders Pierce dengan teori segitiga maknanya (Triangel
Meaning) dalam menganalisis tanda-tanda pada film yang merepresentasikan
makna kegalauan identitas. Metode Penelitian yang digunakan adalah metode
kualitatif dengan menggunakan metode analisis semiotika. Hasil Penelitian film
ini menunjukan tanda-tanda sulitnya mendapatkan pengakuan identitas terhadap
kaum minoritas yang ditampilkan pada adegan dalam film tersebut.

Tabel 2.1
Tinjauan Perbandingan Penelitian Sejenis Terdahulu
dengan Penelitian yang dilakukan

Analisis Representas Kegalaua Representasi


Judul Semiotika i Asimilasi n Rasisme
Penelitian Makna Etnis Identitas Terhadap
Rasisme Tionghoa Tionghoa Etnis
Pada Dalam Film dalam Tionghoa
Film 8 Indonesia Film dalam Film
Mile (Analisis Cin(t)a Ngenest
Semiotik Karya

Universitas Budi Luhur


8
dalam Film Erneset
Ngenest) Prakasa

Nama Doni Viddya Dwi A.R Aviolita


Peneliti Martuah Pradianty Dzauqi Kartika Putri
man Naufal
Amrullah

Lembaga Universitas Universitas Universit Universitas


dan Tahun Pembangu Muhammad as Sunan Budi Luhur
nan iyah Ampel tahun 2020
Nasional Yogyakarta Surabaya
tahun tahun 2016 tahun
2012 2018

Masalah Bagaiman Bagaimana Bagaiman Bagaimana


Penelitian a representasi a representasi
represent asimilasi representa rasisme
asi etnis si terhadap
rasisme Tionghoa kegalauan etnis
pada film dalam film identitas Tionghoa
8 Mile? Ngenest? Tionghoa dalam film
dalam Ngenest?
film
Cin(t)a?

Maksud Untuk Untuk Untuk Untuk


dan Tujuan mengetah mengetahui mengetah mengetahui
ui representasi ui representasi
represent asimilasi representa rasisme
asi etnis si terhadap
rasisme Tionghoa kegalauan etnis
pada film dalam film identitas Tionghoa
8 Mile Ngenest Tionghoa dalam film
dalam Ngenest
film
Cin(t)a

Metode Analisis Analisis Analisis Analisis


Penelitian Semiotika Semiotika Semiotika Semiotika
Charles John Fiske Charles John Fiske
Sanders Sanders
Pierce Pierce

Pendekatan Kualitatif Kualitatif Kualitatif Kualitatif


Penelitian

Universitas Budi Luhur


9
Hasil Hasil Hasil Hasil Hasil
Penelitian Penelitian Penelitian Penelitian Penelitian
menunjuk menunjukan film ini film ini
an bahwa bahwa menunjuk menunjukan
dalam dalam film an tanda- tanda-tanda
film 8 Ngenest tanda yang
Mile menunjukan sulitnya merepresent
ditemuka asimilasi mendapat asikan etnis
n adegan tokoh kan Tionghoa
atau utama pengakua menjadi
scene terhadap n minoritas
yang suatu identitas yang
mengung keadaan terhadap hidupnya
kapkan yang kaum selalu
represent sedang ia minoritas dirasiskan
asi makna hadapi, hal yang oleh kaum
rasisme tersebut ditampilk mayoritas
terutama terlihat an pada
dalam pada adegan
perbedaa adegan atau atau scene
n warna scene yang dalam
kulit menunjukan film
dengan sikap Ernest tersebut
memperh ingin
atikan mencoba
konteks untuk
fisik dan berbaur
sosial dengan
yang kaum
diperanka mayoritas
n oleh dilingkunga
aktor nnya

2.2 Kerangka Teoritis

2.2.1 Komunikasi Massa

A. Definisi Komunikasi Massa

Komunikasi massa diadopsi dari istilah bahasa inggris, mass


communication, sebagai kependekan dari mass media communication. Artinya,
komunikasi yang menggunakan media massa atau komunikasi yang mass
mediated. Istilah mass communication atau communucations diartikan sebagai

Universitas Budi Luhur


10
salurannya, yaitu media massa (mass media) sebagai kependekan dari media off
mass communication.7

Definisi komunikasi massa yang paling sederhana menurut Bittner adalah


pesan yang dikomunikasikan melalui media massa pada sejumlah besar orang.
Dari definisi tersebut dapat diketahui bahwa komunikasi massa itu harus
menggunakan media massa. Jadi, sekalipun komunikasi itu disampaikan kepada
khalayak yang banyak seperti rapat akbar di lapangan luas yang di hadiri ribuan
orang, jika tidak menggunakan media massa maka itu bukan komunikasi massa.

B. Ciri-ciri Komunikasi Massa

Menurut Khommsahrial Romli (2016), dalam bukunya mengatakan bahwa


komunikasi massa itu memiliki beberapa ciri-ciri8, antara lain sebagai berikut:

a) Pesan Bersifat Umum

Komunikasi massa bersifat terbuka, artinya komunikasi massa itu


ditunujukan untuk semua orang dan tidak ditujukan untuk sekelompok
orang tertentu. Oleh karena itu, komunikasi massa bersifat umum

b) Komunikasi Anonim dan Heterogen

Komunikasi massa bersifat anonim dan heterogen maksudnya adalah


pada komunikasi antar personal, komunikator mengenal
komunikannya dan mengetahui identitasnya. Sedangkan dalam
komunikasi massa, komunikator tidak mengenal komunikasn (anonim)
dan komunikan komunikasi massa adalah heterogen karena terdiri dari
berbagai lapisan masyarakat yang berbeda

c) Media Massa Menimbulkan Keserempakan

Jumlah sasaran khalayak yang banyak dan tidak terbatas pada


komunikasi massa mendapat pesan serempak diwaktu yang sama

7
Afdjani Hadiono, Ilmu Komunikasi Proses & Strategi, (Tangerang : Indigo Media Agung, 2015), Hlm. 142.
8
Romli Khomsahrial, Komunikasi Massa, (Jakarta: PT.Grasindo,2016)

Universitas Budi Luhur


11
d) Komunikasi Lebih Mengutamakan Isi daripada Hubungan

Dimensi isi menunjukan muatan atau isi komunikasi, yaitu apa yang
dikatakan dan apa yang dilakukan, sedangkan dimensi hubungan
menunjukan bagaimana cara mengatakannya yang juga
mengisyaratkan bagaimana hubungan para peserta komunikasi itu

e) Komunikasi Massa Bersifat Satu Arah

Kelemahan komunikasi massa adalah bersifat satu arah sehingga


komunikator dan komunikannya tidak bisa melakukan kontak
langsung

f) Stimulasi Alat Indra Terbatas

Stimulasi alat indra pada media massa tergantung pada jenis media
yang digunakan. Contoh : media cetak hanya melihat, radio hanya
mendengar dan lain sebagainya

g) Umpan Balik Tertunda dan Tidak Langsung

Dalam dunia komunikasi, feedback merupakan faktor penting namun


pada komunikasi massa kita tidak bisa langsung mendapat umpan
balik atau feedback

2.2.2 Film

A. Definisi Film

Menurut Wibowo (2006), film adalah alat untuk menyampaikan berbagai


pesan kepada khalayak melalui sebuah media cerita. Film juga merupakan
medium ekspresi artistik sebagai suatu alat para seniman dan insan perfilman
dalam rangka mengutarakan gagasan-gagasan dan ide cerita. Secara esensial dan
substansial film memiliki power yang akan berimplikasi terhadap komunikan
masyarakat.9

9
Wibowo Fred, Teknik Program Televisi, (Yogyakarta: Pinus Book Publisher, 2006), Hlm. 196.

Universitas Budi Luhur


12
B. Fungsi Film

Film mempunyai fungsi sebagai media massa yang memiliki kapasitas


untuk membuat pesan yang sama secara serempak dan mempunyai sasaran yang
beragam dari agama, status, etnis, umur dan tempat tinggal. Hal tersebut sekaligus
memerlukan komunikasi massa untuk menyusun strategi agar pesannya dapat
mencapai sasaran dengan jumlah yang besar. Maka komunikasi massa
mempunyai hubungan yang erat dengan film dalam penerapan pesan kepada
khalayak. Film memberikan ruang yang luas bagi kreativitas komunikator atas
tercapainya komunikasi massa yang efektif dan efisien.

C. Jenis Film

Menurut Prof. Onong Uchjana Effendy terdapat jenis film menurut


sifatnya10, antara lain:

a) Film Cerita (Story Film)

Film cerita adalah jenis film yang menyajikan kepada publik sebuah
cerita. Film jenis ini lazim dipertontonkan di bioskop dengan para
pemain bintang film terkenal. Film cerira didistribusikan layaknya
barang dagangan, untuk semua kalangan masyarakat dimanapun ia
berada

b) Film Berita (Newsreel)

Film berita adalah film mengenai peristiwa yang benar-benar terjadi.


Karena sifatnya berita maka film yang disajikan kepada publik harus
mengandung nilai berita

c) Film Dokumenter (Documentary Film)

Film dokumenter dilihat dari segi subjek dan pendekatannya adalah


penyajian hubungan manusia yang didramatisir dengan kehidupan
kelembangaannya, baik lembaga industri, sosial maupun politik dan
jika dilihat dari segi teknik merupakan bentuk yang kurang penting
10
Effendy, Onong Uchjana, Ilmu, Teori dan Filsafat Komunikasi, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 2003), Hlm. 210.

Universitas Budi Luhur


13
dibanding isinya

d) Film Kartun (Cartoon Film)

Titik berat pembuatan film kartun adalah seni lukis. Satu persatu
gambar dilukis dengan seksama untuk kemudian dipotret satu per satu
pula

Sedangkan menurut Garin Nugroho dan Dyna Herlina mengatakan terdapat


13 jenis film dunia yang paling populer dimasing-masing era antara lain yaitu,
comedy, romance, Fantasy, Thriller, Musical, Horror, Drama, Adult, Sci-Fi,
Action, Cult, Animation dan Documentary11. Berdasarkan keterangan jenis film
diatas maka film Ngenest termasuk kedalam film berjenis comedy.

D. Karakteristik Film

Film memiliki beberapa karakteristik antara lain:

a) Layar yang luas

Kelebihan media film dibanding dengan televisi adalah layar yang


digunakan untuk pemutaran lebih berukuran besar. Dengan layar yang
luas telah memberikan keleluasaan penontonnya untuk melihat adegan-
adegan yang disajikan dalam film

b) Pengambilan Gambar

Dengan kelebihan film yaitu layar yang besar maka teknik


pengambilan gambar pun dapat dilakukan dari jarak jauh atau extreme
long shot dan panoramic shot. Pengambilan gambar yan seperti ini
dapat memunculkan kesan artistik dan suasana yang sesungguhnya

c) Konsentrasi Penuh

Karena kita menonton film di bioskop, tempat yang memiliki ruangan


kedap suara maka pada saat kita menonton film kita akan fokus pada

11
Nugroho Garin, Dyna Herlina S, Krisis dan Paradoks Film Indonesia, (Yogyakarta: Rymah Sinema, 2015)

Universitas Budi Luhur


14
alur cerita yang ada di dalam film tersebut. Tanpa adanya gangguan
dari luar

d) Identifikasi Psikologis

Konsentrasi penuh pada saat kita menonton di bioskop, tanpa kita


sadari dapat membuat kita benar-benar menghayati apa yang ada di
film tersebut. Penghayatan yang dalam itu membuat kita secara tidak
sadar menyamakan diri kita sebagai salah satu seorang pemeran dalam
film tersebut. Menurut ilmu jiwa sosial, gejala seperti ini disebut
sebagai identifikasi psikologis

E. Unsur-Unsur Film

Unsur film berkaitan dengan karakteristik utama, yaitu audio visual. Unsur
audio visual dikategorikan dalam dua bidang, yaitu sebagai berikut:

a) Unsur Naratif

Materi atau bahan olahan dalam film cerita unsur naratif adalah
pencitraanya

b) Unsur Sinematik

Cara atau dengan gaya seperti apa bahan olahan itu digarap atas
beberapa aspek seperti mise en scene, sinematografi, editing dan
suara. Untuk mise en scene sendiri berasal dari Perancis yang secara
sederhana bisa diartikan sebagai segala sesuatu yang ada didepan
kamera dan 4 elemen penting dari mise en scene antara lain adalah
setting, tata cahaya, kostum, make up, akting dan pergerakan pemain

Kedua unsur tersebut tidak dapat dipisahkan karena saling berkaitan


sehingga menghasilkan sebuah karya yang menyatu dan dapat dinikmati oleh
penonton.

Universitas Budi Luhur


15
F. Sudut Kamera

Sudut kamera atau camera angle adalah letak lensa kamera pada sudut
pengambilan gambar yang tepat dan mempunyai motivasi tertentu untuk
membentuk kedalaman gambar atau dimensi dan menentukan titik pandang
penonton dalam menyaksikan suatu adegan dan membangun kesan psikologis
gambar, sudut kamera tersebut antara lain, seperti:

a) High Angle

Pengambilan gambar dengan meletakan tinggi kamera diatas objek


atau garis mata orang. Kesan psikologis yang ingin disampaikan objek
tampak seperti tertekan

b) Eye level

Tinggi kamera sejajar dengan garis mata objek yang dituju. Kesan
psikologis yang diasjikan adalah kewajaran, kesetaraan atau sederajat

c) Low Angle

Pengambilan gambar dengan meletakan tinggi kamera dibawah objek


atau dibawah garis mata orang. Adapun kesan psikologis yang ingin
disajikan adalah objek tampak berwibawa

G. Ukuran Gambar

Ukuran pengambilan gambar selalu dikaitkan dengan ukuran tubuh


manusia, namun penerapan ukuran ini juga berlaku pada benda lain dan tinggal
menyesuaikan ukurannya saja. Berikut beberapa ukuran pengambilan gambar,
antara lain:

a) Medium Close up

Pada jarak ini tubuh manusia diperlihatkan dari dada ke atas. Biasanya
digunakan untuk adegan percakapan normal

b) Close up
Umumnya memperlihatkan wajah, tangan, kaki, atau sebuah objek

Universitas Budi Luhur


16
kecil lainnya. Teknik ini biasanya digunakan untuk adegan dialog
yang lebih intim

c) Very Close up

Lebih tajam dari Close Up yang mampu menggunakan kedalaman


pandangan mata, kebencian, raut muka dan emosional wajah. Tanpa
intonasi atau narasi Very Close Up sudah bisa mewujudkan arti reaksi
spontanitas atau reflex seseorang. Very Close Up juga dapat digunakan
untuk objek berupa benda, asap rokok ataupun makanan

d) Extreme Close up
Pada jarak ini mampu memperlihatkan lebih mendetail bagian dari
wajah, seperti telinga, mata, hidung, dan lainnya atau bagian dari
sebuah objek

e) Medium Shot

Pada jarak ini tubuh manusia diperhatikan dari pinggang ke atas.


Gestur serta ekspresi wajah terlihat

f) Medium Long Shot

Pada jarak ini tubuh manusia terlihat dari bawah lutut sampai ke atas

g) Long Shot

Jarak long shot, tubuh fisik manusia telah tampak jelas, namun latar
belakang masih dominan. Teknik ini digunakan sebagai establishing
shot, yakni shot pembuka sebelum digunakan shot-shot yang berjarak
lebih dekat

h) Very Long Shot

Gambar-gambar opening scene atau bridging scene dimana penonton


divisualkan dengan kolosal, kota metropolitan dan sebagainya. Posisi
kamera diletakan beragam seperti pengambilan gambar menggunakan
helikopter dengan bantuan crane atau jimmy jib. Hindarilah shooting
Very Long Shot menggunakan hand held atau kamera dipanggul bahu,
karena akan kehilangan arah dan gambar akan goyang atau tidak fokus

Universitas Budi Luhur


17
i) Extreme Long Shot

Wujud fisik manusia nyaris tidak tampak. Teknik ini umunya untuk
menggambarkan sebuah objek yang sangat jauh atau panorama yang
luas

Dalam proses pengambilan gambar tersebut pun ada pula istilah shot, scene
dan sequence. Shot adalah suatu rangkaian gambar hasil rekaman kamera tanpa
intetupsi. Satu shot terbentuk saat tombol rec pada kamera ditekan (yang
menandakan mulai merekam gambar) hingga tombol rec ditekan lagi
(menandakan gambar itu selesai direkan) atau bisa juga disebut satu take.

Scene adalah tempat atau setting dimana kejadian itu berlangsung, dalam
satu scene bisa terdiri dari satu shot atau bahkan gabungan beberapa shot yang
disusun sedemikian rupa, sesuai dengan jalan cerita.

Sequence adalah serangkaian scene atau shot-shot yang merupakan suatu


kesatuan utuh. Satu sequence bisa berlangsung pada satu setting atau beberapa
setting. Sebuah sequence bisa dimulai sebagai adegan eksterior dan dilanjutkan
dengan adegan di interior. Bisa juga diawali dan diakhiri dengan transisi “fade”,
"dissolve” atau bisa juga dengan “cut”.12

Melalui beberapa keterangan tersebut kita dapat mmengetahui bahwa


gambar dalam film diambil untuk menunjukan apa yang ingin ditonjolkan dalam
sebuah adegan.

2.2.3 Semiotika

A. Definisi Semiotika

Semiotika berasal dari bahasa Yunani yaitu semeion yang berarti tanda.
Semiotika didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari tentang penyelidikan
simbol-simbol dan membentuk tradisi pemikiran yang penting dalam teori

12
Biran,M Y, Lima Jurus SinematografI Joseph V Mascelli, (Jakarta : FFTV-IKJ PRESS, 2010)

Universitas Budi Luhur


18
komunikasi. 13 Semotika terdiri atas sekumpulan teori tentang bagaimana tanda-
tanda mempresentasikan benda, ide, keadaan, situasi, perasaan dan juga kondisi di
luar tanda-tanda itu sendiri. 14

Semiotika bertujuan untuk mengetahui makna-makna yang terkandung


dalam sebuah tanda atau menafsirkan makna tersebut sehingga diketahui
bagaimana komunikator mengkonstruksi pesan serta mempelajari sistem-sistem,
aturan-aturan, konvensi-konvensi yang memungkinkan tanda-tanda tersebut
mempunyai arti. 15

B. Semiotika John Fiske

Teori-teori yang mempelajari dan membahas tentang semiotika cukup


banyak salah satunya ialah teori semiotika John Fikse, John Fiske merupakan
seorang filsuf dan sejarahwan asal Amerika Serikat yang lahir pada tahun 1939.
Menurut John Fiske, semiotika adalah studi mengenai pertandaan dan makna dari
sistem tanda, bagaimana makna dibangun dalam teks media atau studi tentang
bagaimana tanda dari jenis karya apapun dalam masyarakat yang mengkonsumsi
makna. 16

John Fiske menolak gagasan penonton yang menerima hasil produksi


media massa tanpa berpikir kritis. 17 Dalam kode-kode televisi (the codes of
television) yang dikemukakan oleh teori John Fiske mengungkapkan bahwa
peristiwa yang ditayangkan dalam dunia televisi telah di en-kode oleh kode-kode
sosial yang terbagi menjadi 3 level, yaitu level realitas, level representasi dan
level ideologi. Dimana masing- masing level tersebut saling berhubungan dan
mampu untuk membentuk sebuah makna sebagaimana yang dijelaskan dalam
tabel berikut:

13
Indiwan, Semiotika Komunikasi; Aplikasi Praktis bagi Penelitian dan Skripsi Komunikasi, (Jakarta : Mitra
Wacana Media, 2013), Hlm.33.
14
Littlejohn, Teori Komunikasi Theories of Human Communication edisi 9, (Jakarta: Salemba Humanika, 2009), Hlm. 53.
15
Kriyantono Rachmat, Teknik Praktis Riset Komunikasi, (Jakarta: Kencana, 2007), Hlm. 261.
16
Fiske John, Cultural and Communication Studies, Sebuah Pengantar Paling Komprehensif, (Yogyakarta: Jalasutra,
2004), Hlm.282.
17
Trivosa Pah, Rini Darmastuti. “Analisis Semiotika John Fiske Dalam Tayangan Lentera Indonesia Episode Membina
Potensi Para Penerus Bangsa Di Kepulauan Sula” Journal of Communication Studies Vol. 06 No.1. 2019, Hlm. 3.

Universitas Budi Luhur


19
Tabel 2.2
Level Analisis John Fiske

Level Analisis Keterangan

Kode sosial yang termasuk didalamnya adalah


Level Realitas penampilan (appearance), kostum (dress),
(Reality) riasan (make-up), lingkungan (environment) ,
kelakuan (behavior), cara berbicara (speech),
gerakan (gesture) dan ekspresi (expression)

Kode sosial yang termasuk didalamnya adalah


kode teknis antara lain, kamera (camera),
pencahayaan (lighting), penyuntingan (editing),
Level Representasi musik (music) dan suara (sound)
(Representation) Kemudian semua itu ditransmisikan menjadi
kode representasi konvensional yang dapat
diaktualisasikan antara lain, naratif (narrative),
konflik (conflict), aksi (action), dialog
(dialogue) dan pemilihan pemain (casting)

Kode sosial yang termasuk didalamnya adalah


Level Ideologi individualisme (individualism), patriarki
(patriarchy), ras (race), kelas (class),
(Ideology) materialisme (materialism) dan kapitalisme
(capitalism)

2.2.4 Representasi

Representasi berasal dari bahasa inggris, representation yang berarti


perwakilan, gambaran atau penggambaran. Secara sederhana, representasi dapat
diartikan sebagai gambaran mengenai suatu hal yang terdapat dalam kehidupan
yang digambarkan melalui suatu media.18

Menurut Chris Barker, representasi adalah konstruksi sosial yang


mengharuskan kita mengekplorasi pembentukan makna tekstual dan menghendaki

18
Vera Nawiroh, Semiotika Dalam Riset Komunikasi, (Bogor : Ghalia Indonesia, 2014), Hlm.96.

Universitas Budi Luhur


20
penyelidikan tentang dihasilkannya makna pada beragam konteks. Representasi
dan makna budaya memiliki materialitas tertentu. Mereka melekat pada bunyi,
prasasti, objek, citra, buku, majalah, dan program televisi. Mereka diproduksi,
ditampilkan, digunakan, dan dipahami dalam konteks sosial tertentu.19 Jadi dapat
disimpulkan bahwa representasi merupakan proses penggambaran sesuatu untuk
memproduksi atau menghasilkan sebuah makna.

2.2.5 Etnisitas, Ras dan Bangsa

Etnisitas menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) adalah


sekelompok manusia yang memiliki ciri-ciri yang sama dalam hal budaya dan
biologis serta bertindak menurut pola-pola yang sama. 20 Istilah etnisitas atau etnis
juga dipakai sebagai sinonim dari kata suku pada suku-suku yang dianggap asli
Indonesia. Misalnya etnis Bugis, etnis Minang, etnis Dairi-Pakpak, etnis Dani,
etnis Sasak, dan etnis lainnya. Istilah suku mulai ditinggalkan karena berasosiasi
dengan keprimitifan, sedangkan istilah etnis dirasa lebih netral.

Ras adalah turunan dari pemahaman identitas yang berpusat pada biologi,
genetika dan fisiologi. Oleh karena itu, identitas biologi, genetika, dan fisiologi
dipahami sebagai sesuatu yang tergantung pada geneologi dan dasar biologis
menjadi alat untuk membedakan antara ras secara tajam. 21

Ras adalah suatu sistem klasifikasi yang digunakan untuk mengkategorikan


manusia dalam populasi atau kelompok besar dan berbeda berdasarkan ciri
fenotipe, asal usul geografis, jasmani dan kesukuan yang terwarisi. Dengan kata
lain, ras juga termasuk dalam suatu golongan penduduk pada suatu daerah yang
mempunyai sifat keturunan berbeda dengan penduduk daerah lain. Salah satu
penyebab masalah sosial mengenai ras adalah adanya prasangka ras yang
merupakan salah satu aspek etnosentrisme. Etnosentrisme adalah suatu sifat
manusia yang menganggap bahwa cara hidup golongannya paling baik, sedangkan
19
Ibid.,Hlm. 97.
20
(Def.1), Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Online (https://kbbi.web.id/etnisitas/ Diakses 29 Maret 2020,
2020)
21
Storey J, Cultural Studies dan Kajian Budaya Pop; Pengantar Komprehensif Teori dan Metode, (Yogyakarta: Jalasutra,
2007), Hlm.133.

Universitas Budi Luhur


21
cara hidup golongan lain dianggap tidak baik dan kadang disertai dengan perasan
menentang golongan lain. Fungsi etnosentrisme adalah adanya persamaan sangat
kuat yang mengikat seseorang dengan golongannya sehingga menimbulkan
solidaritas suatu kelompok. Secara garis besar ras dapat dibedakan menjadi 4 jenis
antara lain, Ras Mongoloid (Berkulit Kuning), Ras Negroid (Berkulit Hitam), Ras
Kaukasoid (Berkulit Putih) dan Ras Khusus yang tidak dapat diklasifikasikan.

Bangsa menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) adalah kelompok


masyarakat yang bersamaan asal keturunan, adat, bahasa, dan sejarahnya, serta
berpemerintahan sendiri. 22 Bangsa juga bisa diartikan sebagai bersatunya
masyarakat dari berbagai asal golongan untuk menciptakan tujuan bersama di
suatu wilayah tertentu atas dasar kesatuan bahasa dan kebudayaan.

2.2.6 Rasisme

A. Definisi Rasisme

Rasisme menurut KBBI adalah sistem kepercayaan atau doktrin yang


menyatakan bahwa perbedaan biologis yang melekat dalam ras manusia
menentukan hasil budaya atau individu bahwa ras tertentu lebih unggul dan
memiliki hak dalam mengatur ras lain. 23

Beberapa peneliti menggunakan istilah rasisme untuk merujuk pada


preferensi terhadap penilaian kebudayaan lain atas dasar nilai dan standar budaya
sendiri yang memiliki konotasi negatif di dalam masyarakat khususnya berkaitan
dengan bahasa, perilaku, kebiasaan, dan agama (etnosentrisme), ketakutan
terhadap orang asing (xenofobia), penolakan terhadap hubungan antar ras
(miscegenation), dan generalisasi terhadap suatu kelompok orang tertentu
(stereotipe). Rasisme selalu menganggap bahwa eksistensi diri atau kelompoknya
yang lebih baik dari kelompok lain. Dengan kata lain ini menyangkut persoalan
identitas, biologis dan optimasi fisik yang dipandang lewat kacamata perspektif

22
(Def.1), Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Online (https://kbbi.web.id/bangsa/ Diakses 29 Maret 2020, 2020)
23
(Def.1), Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Online (https://kbbi.web.id/rasisme/ Diakses 29 Maret 2020, 2020)

Universitas Budi Luhur


22
diri sendiri, dari sini nantinya akan muncul diskriminasi sosial, kekerasan rasial,
segregasi hingga genosida.

Tindakan rasisme ini biasanya terjadi pada kaum mayoritas kepada


minoritas dengan konteks tidak saling mengenal jauh satu sama lain tetapi
memperlihatkan perilaku diskriminasi, baik itu secara langsung maupun tidak
langsung, diskriminasi langsung (non verbal) yaitu diskriminasi yang dilakukan
dengan cara kontak fisik seperti memukul, merampas, membunuh dan lain-lain.
Sedangkan diskriminasi tidak langsung (verbal) yaitu diskriminasi yang dilakukan
melalui kata-kata hinaan yang mengandung makna rasisme. Namun, beda halnya
jika konteks tersebut dilakukan oleh orang yang mengenal betul satu sama lain
dan itu tergantung bagaimana individu tersebut menanggapinya.

Jadi dapat disimpulkan bahwa pengertian rasisme adalah ideologi yang


menyatakan bahwa perbedaan biologis yang melekat dalam ras manusia
menentukan hasil budaya atau individu bahwa ras tertetu lebih unggul dan
memiliki hak dalam mengatur ras lain yang nantinya akan muncul diskriminasi
sosial dan tindakan tersebut biasanya dilakukan oleh mayoritas kepada minoritas
dengan konteks tidak saling mengenal dekat antara satu dengan lainnya.

B. Faktor-faktor Penyebab Rasisme

Adapun beberapa faktor-faktor penyebab rasisme24 antara lain sebagai


berikut:

a) Sosialisasi dalam Keluarga

Apa pun yang diajarkan oleh orangtua pada anaknya, pasti akan
melekat dalam diri anaknya, apa itu baik atau buruk. Ironisnya,
orangtualah yang menjadi salah satu faktor penyebab rasisme muncul,
sehingga hal ini akan terjadi rantai kebencian yang tidak putus karena
terus didoktrin antargenerasi

24
dosendosiologi.com, “Pengertian Rasisme, Penyebab, dan Contohnya”
(https://www.dosensosiologi.com/pengertian-rasisme/, Diakses 29 Maret 2020, 2020)

Universitas Budi Luhur


23
b) Keputusan Kebijakan Pemerintah

Umumnya, penyebab rasisme yang paing sering terjadi karena


keputusan kebijakan pemerintah, tak terlepas pun di Indonesia seperti
itu. Hal ini dipengaruhi oleh keotoriteran dari pemimpin dalam
pemerintah. Misalnya, dari orla dan orba, etnis Tionghoa
didiskriminasi dan membatasi ruang geraknya mereka

c) Budaya serta Adat Istiadat

Budaya serta adat istiadat setiap pelosok daerah atau bangsa tentu
berbeda-beda yang otomatis mempengaruhi pikiran serta pemahaman
juga perasaan yang tentu mempengaruhi kultur atau pandangan
penanganan dalam suatu fenomena sosial di masyarakat

C. Dampak Tindakan Rasisme

Adapun dampak tindakan rasisme terbagi menjadi 2 bagian yaitu bagi


pelaku rasisme dan korban rasisme yang masing-masing mendapatkan
dampaknya, antara lain sebagai berikut :

a) Bagi Pelaku Rasisme

Ras yang "unggul" mendapat posisi atau berada pada level yang
nyaman dalam bersosialisasi. Mereka dapat berinteraksi dengan bebas
di dalam kelompoknya, dapat mengekspresikan ide-idenya dengan
bebas, mengembangkan potensi secara maksimal tanpa rasa takut akan
dihalang-halangi. lntinya, status sosial mereka berada dalam payung
"kemerdekaan," bebas dari tekanan atau penguasaan pihak lain

b) Bagi Korban Rasisme

Ras yang mendapatkan perilaku rasisme akan merasa terisolir dari


masyarakat umum. Mereka dikucilkan dan selalu menjadi bulan-
bulanan jika tidak taat kepada keinginan tuannya.

Universitas Budi Luhur


24
Dari uraian ini dapat disimpulkan bahwa rasisme mengakibatkan kerugian
besar pada pihak yang lebih lemah atau ras yang dikuasai. Mereka tidak dapat
mengembangkan diri karena berada di bawah pengaruh pihak lain. Secara
psikologis, mereka terbelenggu dan tertindas dari berbagai aspek kehidupan. 25

2.2.7 Kerangka Pemikiran

Representasi Rasisme Terhadap Etnis Tionghoa


Dalam Film Ngenest
(Analisis Semiotika John Fiske)

Bagaimana Representasi Rasisme Terhadap Etnis Tionghoa


Yang Ditampilkan Dalam Film Ngenest?

Semiotika : John Fiske

Level Realitas Level Representasi Level Ideologi


(Reality) (Representasion) (Ideology)

Gestur Dialog Ras


Lingkungan Kamera Individualisme
Penampilan Voice Over

Representasi Rasisme Terhadap Etnis Tionghoa


Dalam Film Ngenest

Gambar 2.1
Kerangka Pemikiran

25
Yenita Irab.”Rasisme”. Jurnal Jaffray Vol. 05 No.1, 2007, Hal. 55.

Universitas Budi Luhur


25
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Paradigma Penelitian

Paradigma merupakan pola atau model tentang bagaimana sesuatu distruktur


(bagian dan hubungannya) atau bagaimana bagian-bagian berfungsi (perilaku
yang didalamnya ada konteks khusus atau dimensi waktu). Sedangkan penelitian
pada hakikatnya merupakan suatu upaya untuk menemukan kebenaran. Usaha
untuk mengejar kebenaran yang dilakukan oleh para filsuf, peneliti maupun oleh
para praktisi melalui model-model tertentu. Model tersebut biasanya dikenal
dengan paradigma.

Paradigma yang digunakan dalam penelitian ini adalah paradigma kritis,


menurut Neumann, paradigma kritis lebih bertujuan untuk memperjuangkan ide
peneliti agar membawa perubahan substansial pada masyarakat. Dalam pandangan
kritis, peneliti bukan lagi menghasilkan karya tulis ilmiah yang netral dan bersifat
apolitis, tetapi lebih bersifat alat untuk mengubah institusi sosial, cara berpikir dan
perilaku masyarakat kearah yang diyakini lebih baik. Secara ringkas, pandangan
kritis merupakan proses pencarian jawaban yang melewati penampakan di
permukaan saja yang seringkali di dominasi oleh ilusi, guna mengubah dan
membangun kondisi masyarakat agar lebih baik.26 Paradigma kritis dalam
penelitian ini membantu peneliti untuk melihat nilai-nilai rasisme yang
terkandung dan kemudian mengartikan makna tersembunyi dalam film tersebut
yang ditampilkan melalui tanda-tanda.

3.2 Pendekatan Penelitian

Pendekatan penelitian dalam penulisan ini menggunakan jenis penelitian


kualitatif, penelitian kualitatif adalah penelitian yang digunakan untuk

26
Gunawan Iman, Metode Penelitian Kualitatif Teori dan Pratik, (Jakarta: Bumi Aksara, 2013), Hlm. 52.

Universitas Budi Luhur


26
mendeskripsikan dan menganalisis fenomena, peristiwa, aktivitas sosial,
sikap, kepercayaan, persepsi dan orang secara individual maupun kelompok.27

Jika dilihat dari ciri-ciri pendekatan penelitian kualitatif, Menurut Moleong,


ciri-ciri pendekatan penelitian kualitatif28, antara lain sebagai berikut:

a) Latar alamiah

Penelitian kualitatif melakukan penelitian pada latar alamiah. Hal ini


dilakukan Karena ontologi alamiah menghendaki adanya kenyataan-
kenyataan sebagai keutuhan yang tidak dapat dipahami jika dipisahkan
dari konteksnya. Untuk itu peneliti melibatkan waktunya kesuatu
tempat dalam penelitian

b) Manuasia sebagai alat (instrument)

Dalam penelitian kualitatif, peneliti sendiri atau dengan bantuan orang


lain merupakan alat pengumpul utama, dengan demikian peneliti dapat
berhubungan langsung dengan responden dan memahami keadaan di
lapangan

c) Metode kualitatif

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif, yaitu pengamatan,


wawancara dan penelaahan dokumen

d) Analisis data secara induktif

Upaya pencarian data tidak dimaksudkan untuk membuktikan


hipotesis yang telah dirumuskan sebelum diadakan. Analisis ini lebih
merupakan pembentukan abstraksi berdasarkan bagian-bagian yang
telah dikumpulkan, kemudian dikelompokkan

e) Teori dari dasar (Grounded Theory)


Penelitian kualitatif lebih menghendaki arah bimbingan penyusunan
teori substantif yang berasal dari data. Jadi, penyusunan teori ini

27
Sukmadinata, Nana Syaodih, Metode Penelitian Pendidikan, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2009), Hlm. 53.
28
Lexy J Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT.Remaja Rosdakarya, 2016), Hlm. 8-13.

Universitas Budi Luhur


27
berasal dari bawah ke atas (grounded theory), yaitu dari sejumlah data
yang banyak dikumpulkan dan saling berhubungan
f) Deskriptif
Data yang dikumpulkan adalah berupa kara-kata, gambar, dan bukan
angka-angka
g) Lebih mementingkan proses daripada hasil
Hal ini disebabkan oleh hubungan bagian-bagian yang sedang diteliti
akan jauh lebih jelas apabila diamati dalam proses
h) Adanya batas yang ditentukan oleh fokus
Penelitian kualitatif meghendaki adanya batas dalam penelitiannya atas
dasar fokus yang timbul sebagai masalah dalam penelitian. Hal ini
terjadi karena batas fokus yang timbul sebagai masalah dalam
penelitian menentukan kenyataan ganda yang kemudian mempertajam
fokus
i) Adanya kriteria khusus untuk keabsahan data
Penelitian kualitatif mendefinisikan validitas, reliabilitas dan
Obyektivitas dalam versi lain
j) Desian bersifat sementara
Penelitian kualitatif menyusun desain secara terus menerus disesuaikan
dengan kenyataan dilapangan
k) Hasil penelitian dirundingkan dan disepakati bersama

Penelitian kualitatif menghendaki agar hasil interpretatif yang


diperoleh dirundingkan dan disepakati oleh manusia yang menjadi
sumber data

3.3 Metode Penelitian


Metode penelitian dalam penulisan ini menggunakan analisis semiotika
John Fiske untuk mengetahui tanda-tanda mengenai representasi rasisme terhadap
etnis Tionghoa dalam film Ngenest, penelitian ini menggunakan metode analisis
semiotika yang mengacu pada teori John Fiske karena dirasa tepat untuk

Universitas Budi Luhur


28
penelitian sebuah film, karena semiotika John Fiske mengemukakan teori tentang
kode-kode televisi (the codes of television) yang memiliki tiga level, yaitu level
realitas, level representasi, dan level ideologi.29
Maka dari itu, peneliti ingin mengetahui representasi rasisme terhadap etnis
Tionghoa dalam film Ngenest dengan memasukan tiga level analisis tersebut
yaitu, level realitas yang mencakup kode gestur, lingkungan dan penampilan, lalu
level representasi yang mencakup kode dialog, kamera, voice over dan musik,
serta level ideologi yang mencakup kode ras dan individualisme.

3.4 Objek Penelitian

Objek penelitian dalam penulisan ini adalah tiap scene yang ada dalam film
Ngenest yang akan diteliti untuk mengetahui representasi atau pemaknaan
tandanya.

3.5 Definisi Konsep


Dalam penelitian ini, peneliti ingin meneliti representasi rasisme terhadap
etnis Tionghoa dalam film Ngenest. Oleh karena itu peneliti perlu mengetahui
definisi dari :

3.5.1 Film

Film adalah alat untuk menyampaikan berbagai pesan kepada khalayak


melalui sebuah media cerita. Film juga merupakan medium ekspresi artistik
sebagai suatu alat para seniman dan insan perfilman dalam rangka mengutarakan
gagasan-gagasan dan ide cerita. Jadi dapat disimpulkan bahwa pengertian film
merupakan salah satu alat media massa yang dapat menyampaikan pesan kepada
khalayak secara massal.

3.5.2 Representasi

Representasi merupakan perwakilan, gambaran atau penggambaran

29
Vera, Op.Cit., Hlm. 35.

Universitas Budi Luhur


29
mengenai suatu hal yang terdapat di dalam sebuah kehidupan yang digambarkan
melalui suatu media yang berupa tanda-tanda untuk dapat memproduksi arti
makna suatu pesan tertentu.

3.5.3 Rasisme

Rasisme merupakan ideologi yang menyatakan bahwa perbedaan biologis


yang melekat dalam ras manusia menentukan hasil budaya atau individu bahwa
ras tertetu lebih unggul dan memiliki hak dalam mengatur ras lain yang nantinya
akan muncul diskriminasi sosial dan tindakan tersebut biasanya dilakukan oleh
mayoritas kepada minoritas dengan konteks tidak saling mengenal dekat antara
satu dengan lainnya.

3.6 Teknik Pengumpulan Data


Teknik pengumpulan data diperoleh untuk data yang lengkap, akurat dan
dapat dipertanggungjawabkan kebenaran ilmiahnya, dalam penulisan ini peneliti
menggunakan pengumpulan data sebagai berikut :
3.6.1 Observasi
Observasi merupakan pengamatan dan pencatatan secara sistematik
terhadap unsur-unsur yang nampak dalam suatu gejala pada objek penelitian.
Unsur—unsur yang nampak itu disebut dengan data atau informasi yang harus
diamati dan dicatat secara benar dan lengkap. 30 Apabila dilihat pada proses
pelaksanaan pengumpulan data, observasi dibedakan menjadi 2 yakni observasi
partisipan dan observasi non-partisipan.
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan jenis observasi non-partisipan,
dimana peneliti melakukan observasi dengan cara menonton film Ngenest dan
mengamatinya secara berulang-ulang kemudian memilih beberapa potongan scene
yang menunjukan nilai-nilai rasisme sebagai data yang akan diambil.

30
Widoyoko Eko Putro, Teknik Penyusunan Instrumen Penelitian, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2014) Hlm. 46.

Universitas Budi Luhur


30
3.6.2 Dokumentasi
Dokumentasi merupakan upaya untuk memperoleh data dan informasi
berupa catatan tertulis atau gambar yang tersimpan berkaitan dengan masalah
yang diteliti. 31
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan beberapa data artikel mengenai
film Ngenest dari situs internet dan juga menggunakan beberapa buku yang
dijadikan referensi dasar tentang film, semiotika, metodologi penelitian dan lain
sebagainya.

3.7 Teknik Analisis Data

Menurut Sugiono, analisis data adalah proses mencari dan menyusun secara
sistematis data yang diperoleh dari hasil wawancara, catatan lapangan dan
dokumentasi dengan cara mengorganisasikan data dalam kategori, menjabarkan
kedalam unit-unit, melakukan sintesa, menyusun kedalam pola, memilih mana
yang penting dan yang akan dipelajari serta membuat kesimpulan sehingga
dipahami orang lain. 32

Untuk menganalisis data yang telah dipeoleh, peneliti menggunakan


pendekatan kualitatif untuk meneliti film Ngenest yang didalamnya
merepresentasikan kerasisan yang dialami oleh Ernest sebagai kaum minoritas
beretnis Tionghoa yang hidup di ibu kota lalu akan diinterpretasikan serta
dideskripsikan melalui penulisan penelitian.

Langkah pertama yang akan peniliti lakukan untuk menganalisis data adalah
melakukan pengumpulan data baik itu dari buku maupun internet. Kedua, peneliti
akan mengobeservasi tiap scene dalam film Ngenest untuk dianalisis sehingga
dapat mengungkapkan makna yang terdapat dalam adegan tersebut. Ketiga, dari
beberapa scene yang telah dipilah kemudian dihubungkan dengan teori semiotika
John Fiske dengan 3 level analisisnya sehingga peneliti dapat menemukan

31
Indrawan Rully, Yaniawati, R. Poppy, Metodologi Penelitian, (Bandung: PT. Refika Aditama, 2014) Hlm. 139.
32
Sugiyono, Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D, (Bandung: Alfabeta, 2013)
Hlm. 267.

Universitas Budi Luhur


31
representasi rasisme terhadap etnis Tionghoa yang divisualisasikan oleh film
Ngenest.

3.8 Lokasi dan Waktu Penelitian


3.8.1 Lokasi Penelitian
Peneliti melaksanakan penelitian di kediaman peneliti yang berlokasi di
Perumahan Ciledug Indah 2 Jl. Mangga 3 Blok C5/18, Kota Tangerang, Banten.

3.8.2 Waktu Penelitian


Penelitian dimulai dari bulan Maret 2020 sampai dengan bulan Juni 2020.

3.9 Validitas Data

Validitas data merupakan derajat ketepatan antara data yang terjadi pada
objek penelitian dengan data yang dapat dilaporkan oleh peneliti. Dengan
demikian data yang valid adalah data yang tidak berbeda antara data yang
dilaporkan oleh peneliti dengan data yang sesungguhnya terjadi pada objek
penelitian. 33

Untuk melihat validitas data dalam penelitian ini peneliti menggunakan


teknik triangulasi sebagai tahap akhir menentukan keabsahan data yang
memanfaatkan sesuatu yang lain, adapun tiga triangulasi tersebut antara lain:

a) Triangulasi Sumber

Untuk menguji kredibilitas data, dilakukan dengan cara mengecek data


yang telah diperoleh melalui beberapa sumber

b) Triangulasi Teknik

Untuk menguji kredibilitas data dilakukan dengan cara mengecek data


kepada sumber yang sama teknik berbeda

33
Ibid.

Universitas Budi Luhur


32
c) Triangulasi Waktu

Waktu juga mempengaruhi kredibilitas data. Untuk itu dalam rangka


pengujian kredibilitas dapat dilakukan dengan cara melakukan
pengecekan dengan wawancara, observasi atau teknik lain dalam
waktu atau situasi berbeda

Berdasarkan penjelasan diatas maka penelitian ini menggunakan triangulasi


sumber untuk menentukan keabsahan data. Triangulasi ini untuk menguji
kredibilitas data yang dibutuhkan dengan cara mengecek data dari beberapa
sumber yang berbeda. Data diperoleh dari oberservasi non partisipan dengan
menonton film Ngenest secara berulang-ulang kali disertai beberapa refensi buku
dan juga data pendukung dari internet.

Universitas Budi Luhur


33
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1 Gambaran Umum Objek Penelitian

4.1.1 Sinopsis Film

Gambar 4.1
Poster Film Ngenest

Film Ngenest merupakan sebuah film bergenre komedi yang diproduksi


oleh Starvision Plus dan dirilis tanggal 31 Desember 2015. Film berdurasi 95
menit ini diangkat dari novel karya Ernest Prakasa yang menceritakan tentang
kisah nyata dari dirinya sendiri, dimana diceritakan ada seorang laki-laki
keturunan etnis Tionghoa bernama Ernest (Ernest Prakasa) yang merasakan
beratnya terlahir sebagai kaum minoritas di Indonesia dan tumbuh besar di masa
Orde Baru dimana sikap rasisme terhadap etnis tersebut masih sangat kental.
Sejak Ernest masih Sekolah Dasar (SD), teman-teman Pribuminya selalu
menunjukan sikap rasis terhadap dirinya karena ia beretnis Tionghoa yang pada
dasarnya bermata sipit serta berkulit putih dan hanya ada satu orang saja yang

Universitas Budi Luhur


34
mau berteman dengan Ernest, ia bernama Patrick (Morgan Oey), itupun karena
Patrick memiliki etnis yang sama dengannya yakni beretnis Tionghoa. Secara
umum Patrick memiliki kondisi fisik yang sama dengan Ernest, bermata sipit serta
berkulit putih. Karena kesamaan tersebut mereka pun bersahabat sangat akrab,
saling membantu satu sama lain, sampai memiliki satu tempat rahasia yang hanya
diketahui oleh mereka berdua.
Aksi rasisme yang dilakukan teman Pribumi Ernest berlanjut sampai
Sekolah Menengah Pertama (SMP). Hingga pada suatu saat Ernest dipalak oleh
sekumpulan anak Sekolah Teknik Mesin (STM) didalam kopaja, dimana dalam
sekumpulan pemalak tersebut salah satunya ada yang bertenis Tionghoa seperti
Ernest. Kemudian setelah kejadian pemalakan tersebut, Ernest berpikir untuk
membaur dengan teman-teman Pribuminya agar ia terlepas dari sikap rasis yang
selama ini ia rasakan. Namun saat Ernest mencoba berbaur justru ia dimanfaatkan
oleh teman-teman Pribuminya hingga ia berpikir bahwa ini adalah nasib yang
harus ia terima, tapi disatu sisi ia menginginkan keturunannya nanti tidak
merasakan peristiwa rasisme yang ia alami. Sehingga cara terbaik yang ia pikirkan
untuk memutus mata rantai rasisme tersebut dengan cara menikahi seorang gadis
Pribumi.
Lulus Sekolah Menengah Pertama (SMP), Ernest mendapat nilai yang tidak
memuaskan sehingga impian ia untuk masuk Sekolah Menengah Atas (SMA)
Negeri dengan harapan bisa mendapatkan pacar seorang Pribumi di SMA Negeri
tersebut tidak terwujud. Hingga akhirnya ia harus masuk Sekolah Menengah Atas
(SMA) Swasta yang mayoritas siswanya keturunan etnis Tionghoa. Supaya
kegagalan masuk Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri yang Ernest alami tidak
terulang ketika masuk Perguruan Tinggi maka Ernest belajar dengan sungguh-
sungguh agar ia masuk Perguruan Tinggi Negeri, akhirnya ia pun masuk di
Universitas Padjadjaran Bandung berkat usahanya.
Sampai di tahun ketiga Ernest kuliah, barulah ia berkenalan dengan Meira
(Lala Karmela) seorang gadis Pribumi beretnis Sunda dan satu iman dengannya.
Namun masalah timbul ketika Ernest bertemu dengan papanya Meira yang sama
sekali tidak menyukai anaknya berpacaran dengan seorang pria beretnis Tionghoa

Universitas Budi Luhur


35
karena papanya pernah bangkrut ditipu oleh rekan bisnisnya yang juga beretnis
Tionghoa. Namun Ernest tidak putus semangat menghadapi papanya Meira.
hingga akhirnya Ernest berhasil memenangkan hati calon mertuanya, setelah
berpacaran selama lima tahun. Ernest dan Meira pun memutuskan untuk menikah.
Ernest sangat bahagia karena dapat mewujudkan cita-citanya untuk
menikah dengan seorang gadis Pribumi. Walaupun calon istrinya adalah seorang
Pribumi, tetapi tetap saja nuansa resepsi pernikahan mereka memakai adat etnis
Tionghoa dengan dekorasi yang serba merah serta diiringi oleh lagu khas
Tionghoa. Pernikahan dengan nuansa Tionghoa sebenarnya sangat tidak
diinginkan oleh Ernest dan Meira tetapi mereka sepakat untuk menyetujuinya
demi membahagiakan kedua orangtua Ernest (Ferry Salim dan Olga Lidya).
Setelah Ernest menikah dengan Meira bukan berarti masalah selesai, datang
kekhawatiran lain pada diri Ernest. Ernest khawatir ketika Meira hamil dan
melahirkan, anaknya terlahir mirip dengannya yakni bermata sipit dan berkulit
putih khas orang keturunan etnis Tionghoa. Kekhawatiran tersebut yang
menyebabkan Meira belum juga hamil selama dua tahun pernikahan mereka.
Konflik pun memuncak ketika Ernest yang masih khawatir keturunannya terlahir
seperti dirinya, sedangkan Meira sangat ingin segera mempunyai anak. Bukan
hanya Meira yang sangat ingin segera mempunyai anak, tetapi dari kedua orang
tua Ernest dan Meira yang juga sangat ingin segera menimang cucu.
Perdebatan pun terjadi antara Ernest dan Meira, mereka bertengkar hebat
hingga akhirnya Ernest luluh dan meminta maaf kepada Meira karena rasa cinta
yang dimilikinya sangat besar kepada Meira. Sembilan bulan Meira hamil,
kekhawatiran Ernest masih sama sehingga hal tersebut berpengaruh pada
kinerjanya di kantor yang semakin menurun. Sampai tiba waktunya Meira
melahirkan, Ernest sangat sulit dihubungi, kemudian Meira inisiatif untuk
menghubungi Patrick dan menyuruhnya untuk mencari Ernest. Patrick pun
teringat tempat rahasia yang hanya diketahui oleh mereka berdua sejak masih
kecil dan ternyata dugaan Patrick benar, Ernest ada di tempat rahasia tersebut.
Patrick langsung memarahi Ernest atas tindakan yang telah ia lakukan. Selain
kesal, Patrick juga iri terhadap Ernest karena Patrick divonis mandul oleh dokter

Universitas Budi Luhur


36
sehingga ia dan istrinya tidak bisa mempunyai keturunan.
Pada akhirnya Ernest tersadar dan langsung menuju rumah sakit tempat
Meira melahirkan. Ernest mengaku menyesal telah melakukan hal tersebut kepada
Meira dan kekhawatiran Ernest selama ini menjadi kenyataan saat anak yang
dilahirkan Meira mirip dengannya yakni memiliki mata sipit dan berkulit putih
khas etnis Tionghoa, tetapi Ernest sangat bahagia karena sudah diberi keturunan.
Keluarga Ernest dan Meira serta sahabat-sahabatnya juga sangat bahagia dengan
kelahiran anak mereka.

4.1.2 Profil Film


Genre Film : Komedi

Durasi : 95 menit

Rumah Produksi : PT. Kharisma Starvision Plus

Tanggal Rilis : 30 Desember 2015

Sutradara : Ernest Prakasa

Co Sutradara : Alwin Adink Liwutang

Produser : Chand Parwez Servia

Fiaz Servia

Produser Eksekutif : Riza

Reza Servia

Mithu Nisar

Co Produser : Amrit D Servia

Produser Lini : Alwin Adink Lituwang

Penulis Skenario : Ernest Prakasa

Ide Cerita : Ernest Prakasa

Meira Anatasia

Universitas Budi Luhur


37
Konsultan Komedi : Arie Kriting

Cast : Ernest Prakasa sebagai Ernest dewasa

Morgan Oey sebagai Patrick dewasa

Kevin Anggara sebagai Ernest remaja

Brandon Salim sebagai Patrick remaja

Marvel sebagai Ernest kecil

Winson sebagai Patrick kecil

Lala Karmela sebagai Meira

Ferry Salim sebagai papanya Ernest

Olga Lydia sebagai mamanya Ernest

Budi Dalton sebagai papanya Meira

Ade Fitria Sechan mamanya Meira

Ardit Erwandha sebagai Faris

Amel Carla sebagai Ipeh

Fico Fachriza sebagai Bowo

Bakriyadi Arifin sebagai Bakri

Adjis Doaibu sebagai Abdul

Andi Awwe Wijaya sebagai Jaya

Lolox sebagai Bos Ernest

Ge Pamungkas sebagai Willy

Angie Ang sebagai Irene

Regina Rengganis sebagai Nadia

Franda sebagai Vania

Universitas Budi Luhur


38
Liant sebagai korban bully Ernest remaja

Muhadkly Acho sebagai dokter kandungan

Sisca Jessica sebagai Bidan

Henky Solaiman sebagai Pemain Keyboard

Ence Bagus sebagai anak punk

Asep Suaji sebagai anak punk

Arie Kriting sebagai preman

Bene Dion Rajagukguk sebagai preman

Anyun Cadel sebagai sopir angkot

Rere Rassofyan sebagai sopir bajaj

Tretan Muslim sebagai kasir toko

Pandu Winoto sebagai tukang siomay

Deny Danu Prasetia sebagai anak hilang

Penyunting Gambar : Cesa David Luckmansyah

Indra W Kurnia

Penata Kamera : Dicky Maland

Penata Artistik : Chupy Kaisuku

Penata Suara : Khikmawan Santo

Muhamad Ikhsan Sungkar

Penata Musik : Andhika Triyadi

Penata Akting : Norman Akyuwen

Penata Kasting : Arief Havidz

Perekam Suara : Indrasetno Vyatrantra

Universitas Budi Luhur


39
Pewarna Gambar : P’nu

Penata Rias : Sutomo TS

Anel Silverboys

Penata Busana : Cindy Tano

4.1.3 Penghargaan Film

Berdasarkan data dari situs www.bookmyshow.com, film Ngenest


mendapatkan berbagai macam penghargaan dari beberapa ajang bergengsi, antara
lain sebagai berikut:

Tabel 4.1
Penghargaan Film Ngenest

No Nama Festival Tahun Keterangan

1 Indonesia Box Office 2016 Ernest Prakasa sebagai


Movie Awards Penulis Skenario Terbaik

2 Indonesia Box Office 2016 Lala Karmela sebagai


Movie Awards Pendatang Baru Wanita
Terbaik

3 Indonesia Box Office 2016 Kevin Anggara sebagai


Movie Awards Pendatang Baru Pria
Terbaik

Kevin Anggara sebagai


4 Indonesia Movie Actor 2016 Pendatang Baru
Terfavorite

5 Festival Film Bandung 2016 Ernest Prakasa sebagai


Penulis Skenario Terbaik

Universitas Budi Luhur


40
6 Piala Iqbal Rais 2016 Debut Sutradara Berbakat

7 Piala Maya 2016 Ernest Prakasa sebagai


Pendatang Baru Pria

8 Piala Maya 2016 Lala Karmela sebagai


Pendatang Baru Wanita

9 Piala Maya 2016 Skenario Adaptasi Terpilih

Universitas Budi Luhur


41
4.2 Hasil Penelitian

Berdasarkan hasil penelitian yang telah peneliti lakukan dalam film Ngenest
yang berdurasi selama 95 menit tersebut terdapat kurang lebih 111 scene dengan
13 scene didalamnya yang menunjukan tindakan rasisme terhadap etnis Tionghoa
baik itu secara langsung (non verbal) maupun tidak langsung (verbal), antara lain
sebagai berikut:

Tabel 4.2
Hasil Penelitian Film Ngenest

No Potongan Gambar
SCENE 1

00:00:17
Gambar 4.2
Potongan Gambar Scene 1
Kode Sosial Deskripsi

Pada scene 1 tepatnya di detik ke


00:00:17 terlihat bahwa Ernest
sedang berjalan kaki di sebuah
permukiman daerah rumahnya dan
di ejek oleh anak-anak sekitar
Realitas Gestur dengan sebutan “Cina”, namun
Ernest hanya terdiam
memperlihatkan gestur yang
membungkukan badan dan
menundukkan kepala

Menurut James, Forward leaning

Universitas Budi Luhur


42
trunk (tubuh condong kedepan),
bowed head (kepala menunduk),
droopin shoulders (bahu terkulai)
dan sunken chest (dada menekuk),
bermakna “depresi/tertekan”,
“sedih”, “putus asa” 34

Pada scene 1 tepatnya di detik ke


00:00:17 terlihat bahwa lingkungan
yang di tinggali Ernest sangat
Lingkungan sederhana, hal ini dapat
mematahkan stereotip yang
selama ini menganggap bahwa
warga etnis Tionghoa selalu
tinggal di lingkungan mewah

Teman Ernest : “Cina! Mau


kemana lo ?”

Panggilan kata “Cina” pada dialog


scene 1 tepatnya di detik ke
00:00:17 memang berkonotasi
Dialog negatif seperti yang telah penulis
jelaskan pada bagian pendahuluan,
maka dari itu golongan pribumi
selalu merasiskan etnis Tionghoa
dengan sebutan kata “Cina” yang
Representasi bisa diartikan sebagai panggilan
kasar untuk mereka yang beretnis
Tionghoa

Pada scene 1 tepatnya di detik ke


00:00:17 terlihat bahwa cara
pengambilan ukuran gambarnya
menggunakan teknik long shot
Kamera dimana penggambaran lingkungan
lebih dominan dari pada objeknya,
sehingga memperlihatkan
bagaimana kondisi lingkungan
tempat tinggal Ernest di dalam
film tersebut
34
Herlina, TT, Komunikasi Kinesik, (Bandung: Psikologi UPI)

Universitas Budi Luhur


43
VO :“Kita tidak bisa memilih
bagaimana kita dilahirkan,
ada anak yang terlahir di
keluarga kaya raya, ada
yang lahir dikeluarga
miskin, ada yang lahir
Voice over secara alami, ada yang
harus melalui operasi. Ini
cerita seorang anak yang
terlahir sebagai…”.

Dari voice over opening tersebut


menjelaskan bahwa manusia lahir
di dunia ini tidak dapat memilih
bagaimana dan seperti apa ia
dilahirkan termasuk etnis

Rasisme yang terlihat pada scene


1 adalah tindakan rasisme secara
tidak langsung (verbal), dimana
sikap rasisme tersebut berupa
perkataan yang dilakukan oleh
Ideologi Ras pribumi kepada etnis Tionghoa
dengan penyebutan nama orang
menjadi kata “Cina”.

Dengan adanya sikap rasisme


tersebut menyebabkan anak kecil
beretnis Tionghoa itu hanya dapat
membungkukan badan dan
menundukkan kepala saja tanpa
adanya perlawanan karena ia juga
merupakan minoritas

Universitas Budi Luhur


44
No Potongan Gambar
SCENE 3

00:01:51

Gambar 4.3
Potongan Gambar Scene 3

00:01:55

Gambar 4.4
Potongan Gambar Scene 3

Kode Sosial Deskripsi

Pada scene 3 tepatnya di detik ke


00:01:51 terlihat bahwa anak-anak
Realitas Gestur Sekolah Dasar (SD) tersebut sedang
menunjukan gestur tertawa lepas
karena mentertawakan tampilan

Universitas Budi Luhur


45
fisik Ernest yang berbeda dari
mereka yakni bermata sipit dan
berkulit putih khas etnis Tionghoa

Di scene 3 tepatnya di detik ke


00:01:55 juga memperlihatkan
gestur Ernest yang hanya diam dan
menundukkan kepala saat
ditertawakan oleh teman-temannya

Menurut James, Forward leaning


trunk (tubuh condong kedepan),
bowed head (kepala menunduk),
droopin shoulders (bahu terkulai)
dan sunken chest (dada menekuk),
bermakna “depresi/tertekan”,
“sedih”, “putus asa” 35

Pada scene 3 tepatnya di detik ke


00:01:51 terlihat bahwa Ernest
sedang berada berada di depan
kelas Sekolah Dasar (SD) dimana
ada empat temannya yakni Faris,
Lingkungan Bowo, Bakri, dan Ipeh yang sedang
berdiri di depan pintu kelas

Di scene ini menjelaskan bahwa


tindakan rasisme dapat terjadi
dimana saja bahkan di sekolah
sekalipun

Bowo : “Eh Kri ada si Cina”


Bakri : “Mana ?”
Bowo : “Noh” (Sambil menunjuk
kearah Ernest)
Representasi Dialog Bakri : “Hahaha anak Cina”
Ernest : “Saya Ernest, saya mau
ke kelas 1B”
Faris : “Halo cong kenalin gue
Faris. Bowo, Bakri, Ipeh”
(Sambil memperkenalkan
temannya satu persatu)

35
Ibid.

Universitas Budi Luhur


46
Bowo : “Eh cong yakin lo kelas
1B, bukannya kelas 1C?
Cina!” (semua tertawa)
Ipeh : “Atau enggak C, cipit!”

Rasisme dengan panggilan kata


“Cina” dan “Cipit” selalu
dilontarkan kaum pribumi
terhadap etnis Tionghoa. Tidak
hanya dilingkungan tempat tinggal
saja, namun di sekolah pun
melakukan hal yang sama

Pada scene 3 tepatnya di detik ke


00:01:51 terlihat bahwa cara
pengambilan ukuran gambarnya
menggunakan teknik medium close
up, teknik ini memperlihatkan
bahwa Ernest sedang melakukan
percakapan dengan teman-
temannya. Karena pada umumnya
Kamera teknik medium close up memang
cocok untuk adegan percakapan
normal

Kemudian di detik ke 00:01:55


terlihat bahwa cara pengambilan
ukuran gambarnya menggunakan
teknik close up, teknik ini
memperlihatkan secara lebih jelas
dari gestur Ernest merespon sikap
rasisme teman-teman sekolahnya

Rasisme yang terlihat pada scene


3 adalah tindakan rasisme secara
tidak langsung atau verbal, dimana
sikap rasisme tersebut berupa
Ideologi Ras perkataan yang dilakukan oleh
pribumi kepada etnis Tionghoa
dengan penyebutan nama orang
menjadi kata “Cina” dan “Cipit”.

Dengan adanya sikap rasisme


tersebut menyebabkan anak kecil

Universitas Budi Luhur


47
beretnis Tionghoa itu hanya dapat
diam dan menundukkan kepala
saja tanpa adanya perlawanan
karena ia merupakan minoritas
diantara teman-temannya

No Potongan Gambar
SCENE 4

00:02:27

Gambar 4.5
Potongan Gambar Scene 4

00:02:32

Gambar 4.6
Potongan Gambar Scene 4

Kode Sosial Deskripsi

Realitas Gestur Pada scene 4 tepatnya di detik ke


00:02:27 terlihat bahwa Ernest

Universitas Budi Luhur


48
sedang istirahat dan ingin
memakan bekalnya yang berisi
roti, lalu Faris, Bakri, Bowo dan
Ipeh terlihat menghampiri Ernest
dan langsung mengambil bekal
Ernest hingga habis

Perlakuan Faris, Bakri, Bowo dan


Ipeh tersebut termasuk ke dalam
tindakan rasisme secara langsung
karena mengambil barang orang
lain tanpa izin

Pada scene 4 tepatnya di menit ke


00:02:27 dan 00:02:32 terlihat
Lingkungan bahwa lingkungan yang terjadi di
adegan tersebut masih berada
disekitar dalam sekolah

Faris : “wah Cina, nih apaansih.


Cobain ya.” (sambal
mengambil roti Ernest)
Ernest : (hanya terdiam)
Bowo :“Terimakasih ya” (sambil
mengambil roti Ernest
dan memegang pipi
Ernest)
Bakri : “Bagi satu yee, lu baik
dah” (sambil mengambil
Representasi Dialog roti Ernest)
Ipeh :”Yah kasian banget”
(sambil mengambil
roti Ernest kemudian
tertawa dan
memakan roti tersebut)
Ernest : “Yahh....” (sambal
tertunduk meilihat
tempat makannya yang
kosong)

Rasisme di dalam scene 4 ini tidak


hanya perlakuan langsung dari
teman-temannya Ernest, namun
juga dengan perkataan dimana

Universitas Budi Luhur


49
terdapat panggilan kata “Cina” di
dialog Faris

Pada scene 4 tepatnya di detik ke


00:02:27 dan 00:02:32 terlihat
bahwa cara pengambilan ukuran
Kamera gambarnya menggunakan teknik
medium close up, teknik ini
memperlihatkan bahwa umumnya
digunakan pada saat percakapan
normal

Rasisme yang terlihat pada scene 4


adalah tindakan rasisme secara
langsung (non verbal) dan tidak
langsung (verbal), dimana kaum
Ideologi Ras pribumi mengambil makanan
kaum etnis Tionghoa secara
langsung tanpa meminta izin dan
memanggil nama orang etnis
Tionghoa itu dengan panggilan
sebutan “Cina”.

Dengan adanya sikap rasisme


secara langsung (non verbal) dan
tidak langsung (verbal) tersebut,
etnis Tionghoa selalu merasa
tertindas tanpa adanya perlawanan
karena mengingat bahwa mereka
adalah minoritas yang akan kalah
dengan mayoritas

Universitas Budi Luhur


50
No Potongan Gambar
SCENE 10

00:05:14

Gambar 4.7
Potongan Gambar Scene 10

00:05:15

Gambar 4.8
Potongan Gambar Scene 10

Kode Sosial Deskripsi

Pada scene 10 tepatnya di detik ke


00:05:14 terlihat bahwa sepatu
Realitas Gestur Ernest dan Patrick di injak oleh
sepatu Faris, Bakri, Bowo dan Ipeh
yang dipenuhi dengan lumpur,
namun Ernest dan Patrick hanya
diam menundukkan kepala

Universitas Budi Luhur


51
sambil melihat sepatu yang telah
di kotori oleh teman-temannya
tersebut

Menurut James, Forward leaning


trunk (tubuh condong kedepan),
bowed head (kepala menunduk),
droopin shoulders (bahu terkulai)
dan sunken chest (dada menekuk),
bermakna “depresi/tertekan”,
“sedih”, “putus asa” 36

Perlakuan Faris, Bakri, Bowo dan


Ipeh termasuk ke dalam tindakan
rasisme secara langsung (non
verbal) karena mengarah ke fisik

Pada scene 10 tepatnya di menit


ke 00:05:14 terlihat bahwa cara
pengambilan ukuran gambarnya
menggunakan teknik close up,
teknik ini sangat memperlihatkan
dengan detail bentuk rasisme
secara langsung saat sepatu Ernest
dan Patrick diinjak dengan sepatu
yang sudah terkena lumpur
Kamera
Representasi Kemudian di detik ke 00:05:15
terlihat bahwa cara pengambilan
ukuran gambarnya menggunakan
teknik long shot, teknik ini
memperlihatkan penggambaran
lingkungan lebih dominan dari
pada objeknya yang mana pada
adegan tersebut mereka tampak
terlihat sedang berada di area
lapangan sekolah

VO : “Punya temen yang senasib


Voice over itu lumayan meringankan
beban. Yah gak berasa
amsyong-amsyong amat

36
Ibid.

Universitas Budi Luhur


52
lah. Paling nggak gue
sadar bukan gue aja yang
dibully cuma terlahir gara
gara Cina.”

Dari voice over tersebut


menjelaskan bahwa tindakan
rasisme dapat membuat kaum
etnis Tionghoa kesulitan untuk
membaur dengan masyarakat etnis
non-Tionghoa lainnya khususnya
kaum pribumi, sehingga
menumbuhkan sikap membatasi
diri (mengisolasi diri) yang
membuat warga etinis Tionghoa
hanya bergaul dengan lingkungan
kelompoknya saja (satu etnis) dan
faktanya ini memang terjadi di
dalam kehidupan nyata

Rasisme yang terlihat pada scene


10 adalah tindakan rasisme secara
langsung (non verbal), dimana
Ideologi Ras kaum pribumi menginjak kaki
kaum etnis Tionghoa tanpa
memikirkan bagaimana perasaan
mereka

Universitas Budi Luhur


53
No Potongan Gambar
SCENE 11

00:05:32

Gambar 4.9
Potongan Gambar Scene 11

Kode Sosial Deskripsi

Pada scene 11 tepatnya di menit ke


00:05:32 terlihat bahwa Ernest
Gestur sedang merasa kesakitan saat luka
dikeningnya sedang diobati oleh
mamanya
Realitas

Pada scene 11 tepatnya di menit ke


Lingkungan 00:05:32 terlihat bahwa lingkungan
yang terjadi di adegan tersebut
berada didalam rumah Ernest

Pada scene 11 tepatnya di menit


ke 00:05:32 terlihat bahwa cara
pengambilan ukuran gambarnya
menggunakan teknik medium shot,
teknik ini memperlihatkan tubuh
Kamera manusia dari pinggang keatas
dan juga ekspresinya, dimana kita
lihat dalam adegan tersebut
ekspresi Ernest terlihat kesakitan
saat lukanya sedang diobati

Universitas Budi Luhur


54
VO :“Kata bokap gue, apa yang
gue alamin ini ga ada apa-
apanya dibandingin dia
dulu, sebagai minoritas
kita harus kuat mental jadi
ya ga boleh cengeng”
Voice over
Dari voice over tersebut
menjelaskan bahwa tindakan
rasisme di Indonesia telah terjadi
sejak lama khususnya terhadap
etnis Tionghoa dan mereka sadar
harus tetap bersikap tegar untuk
hidup sebagai minoritas diantara
mayoritas

Rasisme yang terlihat pada scene


11 adalah tindakan rasisme secara
langsung (non verbal), dimana
sikap rasisme tersebut
Ideologi Ras diperlihatkan dari luka tindakan
fisik yang ada dikening Ernest dan
juga diperkuat oleh pernyataan
voice over yang ditampilkan

Universitas Budi Luhur


55
No Potongan Gambar
SCENE 13

00:05:55

Gambar 4.10
Potongan Gambar Scene 13

00:05:58

Gambar 4.11
Potongan Gambar Scene 13

Universitas Budi Luhur


56
00:06:18

Gambar 4.12
Potongan Gambar Scene 13

00:06:19

Gambar 4.13
Potongan Gambar Scene 13

Kode Sosial Deskripsi

Pada scene 13 tepatnya di menit ke


00:05:55, 00:05:58, 00:06:18 dan
00:06:19 terlihat bahwa Ernest
Realitas Gestur yang sedang ketakutan karena di
palak oleh siswa Sekolah Teknik
Mesin (STM)

Universitas Budi Luhur


57
Pada scene 13 terlihat bahwa
Ernest sedang berada di dalam bus
umum, hal ini dapat mematahkan
stereotip yang selama ini
kebanyakan golongan pribumi
Lingkungan menganggap bahwa orang etnis
Tionghoa itu memiliki kedudukan
atau tingkat ekonomi menengah
keatas. Namun, pada adegan ini
diperlihatkan jika faktanya tidak
semua warga etnis Tionghoa
seperti itu ada juga yang hidup
sederhana seperti Ernest contohnya

Anak STM 1 : “eh Cina! Dompet


lu sini!”
Ernest : “bang jangan
bang. Saya baru
aja kemaren kena
palak”
Anak STM 1 : “yang kemaren
malak lo kan
bukan gua”
Ernest :“abang juga kok”
Anak STM 1 :“ah masa? Ah
bodo amat!
Representasi Dialog Itung-itungan lo
jadi langganan
gua. Sini dompet
lo buruan,
(mengambil
dompet dari dalam
tas Ernest) “ihh
hello kitty
(melihat sambil
membuka isi
dompet Ernest)
apaan nih? Lo
mau main
main sama gua
hah?!”
Anak STM 2 : “lama amat sih loe
malaknya”
(berbicara ke

Universitas Budi Luhur


58
temannya dan
menjambak rambut
Ernest) “apa lo
lihat-lihat Cina?”

Pada scene 13 tepatnya di menit ke


00:05:55 dan 00:05:58 terjadi aksi
rasisme tidak langsung (verbal) ,
dimana anak Sekolah Teknik
Menengah (STM) memanggil
Ernest dengan sebutan “Cina”

Lalu di menit ke 00:06:18 dan


00:06:19 terjadi aksi rasisme
secara langsung (non verbal),
dimana pemalakan yang dilakukan
anak Sekolah Teknik Mesin
(STM) terhadap Ernest dengan
cara membuka tas dan mencari
dompet, selain itu salah satu anak
Sekolah Teknik Mesin (STM)
tersebut juga terlihat menjambak
keras rambut Ernest

Pada scene 13 tepatnya di menit


ke 00:05:58 terlihat bahwa cara
pengambilan ukuran gambarnya
menggunakan teknik medium
close up, teknik ini
memperlihatkan bahwa umumnya
digunakan pada saat percakapan
Kamera normal.

Sedangkan di menit ke 00:05:55,


00:06:18 dan 00:06:19
menggunakan teknik medium shot,
teknik ini memperlihatkan tubuh
manusia dari pinggang keatas
dan juga ekspresinya, dimana kita
lihat dalam adegan tersebut
ekspresi Ernest terlihat ketakutan
dan ekspresi anak Sekolah Teknik
Mesin (STM) yang terlihat
menyeramkan

Universitas Budi Luhur


59
Rasisme pada scene 13 adalah
tindakan rasisme secara langsung
(non verbal) dan tidak langsung
(verbal), dimana tindakan rasisme
tidak langsung (verbal) terlihat
Ideologi Ras dari perkataan panggilan nama
etnis Tionghoa menjadi “Cina”
dan tindakan rasisme langsung
(non verbal) terlihat saat Ernest
dipalak serta rambutnya dijambak
oleh anak Sekolah Teknik Mesin
(STM)

No Potongan Gambar
SCENE 15

00:06:52
Gambar 4.14
Potongan Gambar Scene 15

Universitas Budi Luhur


60
00:06:55

Gambar 4.15
Potongan Gambar Scene 15

Kode Sosial Deskripsi

Pada scene 15 tepatnya di menit ke


00:06:52 terlihat bahwa Faris,
Bowo, Bakri dan Ipeh sedang
memanggil Ernest dan Ernest pun
menoleh

Lalu selanjutnya di menit ke


00:06:55 terlihat bahwa Patrick
membalikan badan Ernest dan
keduanya pergi meninggalkan
Realitas Gestur Faris, Bowo, Bakri dan Ipeh,
karena Patrick tidak suka jika
Ernest berteman dengan mereka
sebab menurutnya Ernest akan
selalu dimanfaatkan

Menurut James, Drawing back


(menarik diri ke belakang) atau
turning away (pergi atau
membalikkan badan/kepala),
bermakna “negatif”, “penolakan”37

Lingkungan Pada scene 15 terlihat bahwa


mereka sedang berada di

37
Ibid

Universitas Budi Luhur


61
lingkungan dekat Sekolah
Menengah Pertama (SMP)

Di scene ini menjelaskan bahwa


tindakan rasisme dapat terjadi
dimana saja bahkan di sekitar
lingkungan sekolah sekalipun

Bowo : “Woi Cina!! Ris.. Ris..


Ernest Ris”
(Sambil memanggil Faris)
Faris : “Woi Cina traktir sarapan
dong!”
Bowo : “Nasi ayam!”
Ipeh :“Nasi uduk! Bubur ayam!”
Dialog
Pada dialog diatas menjelaskan
bahwa panggilan kata “Cina”
sudah sangat melekat pada diri
Ernest yang memiliki fisik etnis
Tionghoa, selain itu teman-teman
pribumi Ernest terutama Faris,
Bowo, Bakri dan Ipeh selalu
melakukan tindakan rasisme salah
Representasi satunya seperti memalak sesuatu
kepada Ernest

Pada scene 15 tepatnya di menit


ke 00:06:52 dan 00:06:55 terlihat
bahwa cara pengambilan ukuran
gambarnya menggunakan teknik
medium shot, teknik ini
memperlihatkan tubuh manusia
dari pinggang keatas dan juga
Kamera ekspresinya, dimana kita lihat
dalam adegan tersebut terlihat
Ernest baru saja sampai disekolah
dan menoleh saat dipanggil oleh
teman-teman yang berada di
belakangnya, lalu kemudian
Patrick datang dan mengajak
Ernest pergi, dimana ekspresi
Patrick terlihat tergesa-gesa
sedangkan ekspresi Ernest yang

Universitas Budi Luhur


62
terlihat kebingungan

Rasisme yang tergambar pada


scene 15 adalah perlakuan rasisme
secara tidak langsung (verbal),
Ras dimana perlakuan tersebut berupa
perkataan yang dilontarkan oleh
pribumi kepada etnis Tionghoa
dengan penyebutan nama orang
menjadi kata “Cina” dengan
Ideologi diiringi kata-kata pemalakan

Individualisme yang tergambar


pada scene 15 adalah dimana
Patrick (etnis Tionghoa) tidak
Individual menginginkan temannya Ernest
isme (etnis Tionghoa) berteman dengan
pribumi karena takut bila Ernest
akan dimanfaatkan oleh mereka.
Maka dari itu Patrick mengajak
Ernest untuk bergegas pergi
meninggalkan mereka. Tindakan
ini dapat juga disebut dengan
isolasi diri atau membatasi diri
untuk membaur dengan warga lain
yang khususnya berbeda etnis

Universitas Budi Luhur


63
No Potongan Gambar
SCENE 19

00:10:34
Gambar 4.16
Potongan Gambar Scene 19

Kode Sosial Deskripsi

Pada scene 19 tepatnya di menit ke


00:10:34 terlihat bahwa Ernest
sedang mencoba untuk membaur
dengan Faris dan teman-temannya
karena Ernest tidak ingin terus-
terusan diperlakukan rasis oleh
mereka. Maka dari itu, Ernest dan
teman-teman pribuminya mulai
Realitas Gestur melakukan tindakan rasisme
terhadap teman lainnya yang
beretnis Tionghoa

Pada scene ini juga terlihat gestur


si korban yang beretnis Tionghoa
tersebut hanya menundukkan
kepala saat di dihampiri oleh
Ernest dan teman-teman
pribuminya sedangkan Faris
terlihat mendorong bahu korban
sambil memalak

Menurut James, Forward leaning


trunk (tubuh condong kedepan),

Universitas Budi Luhur


64
bowed head (kepala menunduk),
droopin shoulders (bahu terkulai)
dan sunken chest (dada menekuk),
bermakna “depresi/tertekan”,
“sedih”, “putus asa” 38

Pada scene 19 terlihat bahwa


mereka sedang berada di depan
sebuah bangunan kosong dan sepi.
Lingkungan Karena pada umumnya aksi
perlakuan sepeti itu dilakukan di
tempat-tempat yang sepi dan jauh
dari keramaian

Faris : “Heh! Bagi duit!”


(sambil mendorong bahu
korban)
Korban : (menundukan kepala)
Faris : “gua lagi ngomong sama
lu ni dilihat dong!”
Korban : “males gue lihat
muka lu”
Representasi Dialog Faris :“wiiiii nyolot woi
Cina!!!”

Jika direpresentasikan dari dialog


diatas, tindakan rasisme yang
dilakukan oleh Faris adalah
tindakan langsung dan tidak
langsung, dimana ia melontarkan
kata “Cina” dalam penyebutan
nama dan mendorong bahu korban
dengan aksi memalak

Pada scene 19 tepatnya di menit ke


00:10:34 terlihat bahwa cara
Kamera pengambilan ukuran gambarnya
menggunakan teknik long shot,
teknik ini memperlihatkan
penggambaran lingkungan lebih
dominan dari pada objeknya yang

38
Ibid.

Universitas Budi Luhur


65
mana pada adegan tersebut
tampak terlihat bahwa mereka
sedang berada di depan sebuah
bangunan kosong di jalanan yang
sepi

Rasisme yang tergambar pada


scene 19 adalah perlakuan rasisme
secara tidak langsung (verbal) dan
langsung (non verbal), dimana
perlakuan tersebut berupa
Ideologi Ras perkataan yang dilontarkan oleh
pribumi kepada etnis Tionghoa
dengan penyebutan nama orang
menjadi kata “Cina” dan
mendorong bahu korban serta
memalaknya. Namun si korban
beretnis Tionghoa tersebut hanya
diam dan menundukkan kepala

No Potongan Gambar
SCENE 23

00:13:27

Gambar 4.17
Potongan Gambar Scene 23

Universitas Budi Luhur


66
00:13:34
52
Gambar 4.18
Potongan Gambar Scene 23

Kode Sosial Deskripsi

Pada scene 23 tepatnya di menit ke


00:13:27 terlihat Ernest baru saja
datang dengan mengembangkan
kedua tanggannya dengan rasa
bangga menunujukan bahwa ia
bisa berpenampilan seperti anak
punk. Namun seperti biasa Bakri
Gestur beserta teman-temannya justru
mengejek tampilan Ernest dan
Ernest hanya diam seperti yang
diperlihatkan pada menit ke
Realitas 00:13:34

Menurut James, Expansion


(menggembangkan tubuh/anggota
tubuh) bermakna “bangga”,
39
”sombong”

Pada scene 23 terlihat bahwa


mereka sedang berada di
Lingkungan lingkungan konser punk akan
diadakan terlihat dari bekas tempat
kosong dan tembok yang dicoret-
coret seperti khas tempat
perkumpulan anak punk pada

39
Ibid.

Universitas Budi Luhur


67
umumnya

Pada scene 23 tampilan yang


diperlihatkan yakni model rambut
Penampilan seperti anak punk serta pakaian
berwarna hitam karena
menyesuaikan genre konser yang
mereka datangi

Ernest : “Sorry..sorry..gue
terlambat. Eh gue udah
mirip kan sama Billy
Joe?”
Bowo : “Lu mah lebih mirip sama
vampir Cina kesetrum
genset Hahahah”
Dialog
Jika direpresentasikan dari dialog
menit ke 00:13:34, tindakan
Representasi tersebut termasuk ke dalam
rasisme tidak langsung dimana
saat Bowo mengejek Ernest
dengan sebutan “vampir Cina
kesetrum genset”

Pada scene 23 tepatnya di menit ke


00:13:27 dan 00:13:34 terlihat
bahwa cara pengambilan ukuran
gambarnya menggunakan teknik
medium shot, teknik ini
Kamera memperlihatkan tubuh manusia
dari pinggang keatas dan juga
ekspresinya, dimana dalam adegan
menit ke 00:13:27 terlihat Ernest
dengan ekspresi bangganya ketika
memperlihatkan bahwa dirinya
juga bisa menjadi anak punk

Rasisme yang diperlihatkan pada


Ideologi Ras scene 23 adalah tindakan rasisme
secara tidak langsung (verbal),
yakni dimana etnis Tionghoa

Universitas Budi Luhur


68
dipanggil oleh kaum pribumi
dengan sebutan “Cina”

No Potongan Gambar
SCENE 56

10

00:32:27

Gambar 4.19
Potongan Gambar Scene 56

Kode Sosial Deskripsi

Pada scene 56 tepatnya di menit ke


00:32:27 terlihat bahwa Ernest
berkunjung kerumah Meira untuk
Realitas Gestur makan bersama keluarganya, di
adegan tersebut terlihat gestur
papanya Meira yang nampak tegas
saat bertanya kepada Ernest

Pada scene 56 tepatnya di menit ke


00:32:27 terlihat bahwa lingkungan
Lingkungan yang terjadi di adegan tersebut
berada di ruang makan rumah
Meira

Meira : “pa kenalin ini Ernest”


Ernest : “halo om”
Representasi Dialog Papa : “kamu Cina ya ?”
Meira & Mama : “Papaaaaa!!”
Papa : “yaaa gapapa cuman

Universitas Budi Luhur


69
nanya, namanya juga
perkenalan”
Ernest : “hmmm… iya om saya
memang keturunan
Cina”

Jika direpresentasikan dari dialog


menit ke 00:32:27, tindakan
tersebut termasuk ke dalam
rasisme tidak langsung (verbal)
dimana saat papanya Meira yang
beretnis pribumi melontarkan
pertanyaan “kamu Cina ya?”
karena terdengar kurang sopan
menanyakan etnis sebagai
pembuka suatu percakapan saat
pertama kali bertemu

Pada scene 56 tepatnya di menit


ke 00:32:27 terlihat bahwa cara
pengambilan ukuran gambarnya
Kamera menggunakan teknik medium
close up, teknik ini
memperlihatkan bahwa umumnya
digunakan pada saat percakapan
normal

Rasisme yang tergambar pada


scene 56 adalah perlakuan rasisme
secara tidak langsung (verbal),
dimana saat papanya Meira
(pribumi) sebenarnya sudah tahu
Ideologi Ras bahwasannya Ernest merupakan
keturunan etnis Tionghoa yang
terlihat secara fisik memiliki mata
yang sipit dan kulit yang putih,
namun papanya Meira masih saja
menanyakan apakah Ernest
seorang “Cina”

Universitas Budi Luhur


70
No Potongan Gambar
SCENE 59

11

00:34:50

Gambar 4.20
Potongan Gambar Scene 59

Kode Sosial Deskripsi

Pada scene 59 tepatnya di menit ke


00:34:50 terlihat bahwa papanya
Meira sedang memberi nasehat
kepada anaknya agar tidak
menjalin hubungan dengan Ernest
karena ia pernah ditipu oleh orang
Gestur beretnis Tionghoa sehingga
mengalami kebangkrutan

Realitas Selain itu juga terlihat mamanya


Meira sedang mengelus punggung
anaknya yang merepresentasikan
bahwa Meira harus sabar
mendengarkan nasehat papanya

Pada scene 59 tepatnya di menit ke


00:34:50 terlihat bahwa lingkungan
Lingkungan yang terjadi di adegan tersebut
berada di dalam rumah Meira

Universitas Budi Luhur


71
Papa : “dengerin ya,
cukup papa aja
yang dikecewain
sama mereka itu,
kamu mah jangan”
Meira : “pa gak bisa gitu
dong, gak bisa
dipukul rata gitu.
Papa dulu bangkrut
di tipu sama orang
Dialog Cina. Ya tapi gak
semua orang Cina
itu penipu.”
Papa :“tau apa kamu”

Jika direpresentasikan dari dialog


Representasi menit ke 00:34:50, tindakan
tersebut termasuk ke dalam
rasisme tidak langsung (verbal)
dimana saat papanyaMeira
menuduh bahwa semua orang Cina
adalah licik dan penipu terutama
dalam hal bidang usaha

Pada scene 59 tepatnya di menit ke


00:34:50 terlihat bahwa cara
pengambilan ukuran gambarnya
menggunakan teknik long
shot, teknik ini memperlihatkan
Kamera bahwa pengambilan gambar
tersebut menampakan tubuh fisik
manusia dengan jelas namun latar
belakang masih dominan.
Sehingga dapat dilihat jika adegan
tersebut berada didalam rumah

Rasisme pada scene 59 adalah


tindakan rasisme secara tidak
Ideologi Ras langsung (verbal), dimana pribumi
menghakimi bahwa semua etnis
Tionghoa adalah penipu

Penghakiman tersebut bermula

Universitas Budi Luhur


72
dari papanya Meira (pribumi) yang
pernah ditipu bisnisnya oleh orang
beretnis Tionghoa, maka dari itu
papanya Meira menganggap sama
rata bahwa semua etnis Tionghoa
adalah penipu termasuk juga
Ernest, pernyataan tersebut bisa
menjadi sebuah stereotip padahal
kenyataanya tidak seperti itu

No Potongan Gambar
SCENE 69

12

00:42:15

Gambar 4.21
Potongan Gambar Scene 69

Kode Sosial Deskripsi

Pada scene 69 tepatnya di menit ke


00:42:15 terlihat bahwa lingkungan
Realitas Lingkungan yang terjadi di adegan tersebut
berada di resepsi pernikahan
Ernest dan Meira

Teman Ernest : “pasti artinya


perguruan saolin
Representasi Dialog kan ?”

Jika direpresentasikan dari dialog


diatas, tindakan tersebut termasuk

Universitas Budi Luhur


73
ke dalam rasisme tidak langsung
(verbal) dimana saat teman Ernest
mengatakan “pasti artinya
perguruan saolin kan?”
sedangkan tulisan mandarin
tersebut memiliki arti
selamat menempuh hidup baru
Ernest dan Meira

Pada scene 69 tepatnya di menit


ke 00:42:15 terlihat bahwa cara
pengambilan ukuran gambarnya
menggunakan teknik close up,
Kamera teknik ini memperlihatkan secara
lebih jelas dan detail dari sebuah
papan yang bertulisan kalimat
mandarin tersebut

Rasisme yang tergambar pada


scene 69 adalah perlakuan rasisme
secara tidak langsung (verbal),
dimana saat teman Ernest
(pribumi) mengejek tulisan
Mandarin tanpa mengetahui arti
Ideologi Ras yang sebenarnya dengan
mengatakan bahwa arti dari tulisan
Mandarin tersebut adalah
perguruan saolin padahal tulisan
mandarin tersebut memiliki arti
selamat menempuh hidup baru
Ernest dan Meira

Universitas Budi Luhur


74
No Potongan Gambar
SCENE 79

13

00:56:49
Gambar 4.22
Potongan Gambar Scene 79

Kode Sosial Deskripsi

Pada scene 79 tepatnya di menit ke


00:56:49 terlihat bahwa Ernest
Gestur sedang berbincang dengan
saudaranya yang merupakan ayah
Realitas dari anak kecil tersebut

Pada scene 79 tepatnya di menit ke


00:56:49 terlihat bahwa lingkungan
Lingkungan yang terjadi di adegan tersebut
berada di dalam rumah saat
perayaan tahun baru imlek

Pada scene 79 terlihat bahwa


Penampilan penampilan mereka semua
bertemakan warna merah karena
menyesuaikan moment perayaan
tahun baru imlek

Representasi Dialog Ernest : “kenapa si


Josua?”

Universitas Budi Luhur


75
Saudara Ernest : “biasa anak anak
komplek.
Padahal udah
gue bilangin
ke dia. Kalau
misalnya
dikatain
dasar lo Cina,
bapak lo tukang
beras biarin aja
kan emang gue
tukang beras”
Ernest : “emang dia nyaut
apaan ?”
Saudara Ernest : “ya dari pada lu
tiko, anak
preman. Ya
digebukin”

Jika direpresentasikan dari dialog


diatas, tindakan rasisme yang
dilakukan adalah secara tidak
langsung (verbal) dan langsung
(non verbal), dimana teman-teman
pribumi Josua memanggilnya
dengan sebutan “Cina” dan
memukul hingga kening Josua
terluka

Pada scene 79 tepatnya di menit ke


00:42:15 terlihat bahwa cara
pengambilan ukuran gambarnya
menggunakan teknik medium close
Kamera up, teknik ini umumnya digunakan
pada saat percakapan normal
seperti pada adegan tersebut
dimana Ernest sedang berbincang
dan menanyakan tentang keadaan
Josua kepada ayahnya

Rasisme yang terjadi pada scene


Ideologi Ras 79 adalah tindakan rasisme secara
tidak langsung (verbal) dan
langsung (verbal), tindakan

Universitas Budi Luhur


76
tersebut diketahui dari pernyataan
ayah Josua yang menceritakan
kejadian dimana anaknya telah
diolok-olok hingga dipukuli oleh
teman-teman nya karena ia
beretnis Tionghoa, hal tersebut
dibuktikan dari perban luka yang
ada di kening Josua

4.3 Pembahasan

Berdasarkan observasi dari pengamatan tindakan rasisme terhadap etnis


Tionghoa dalam film Ngenest, terdapat 13 scene dari 111 scene keseluruhan yang
mengandung tindakan rasisme tersebut dengan menggunakan teori semiotika John
Fiske yaitu memasukkan kode–kode sosial ke dalam 3 level analisisnya antara
lain, level realitas, level representasi dan level ideologi.

Pada level realitas, tindakan rasisme yang terjadi dalam film Ngenest
terlihat dari kode gestur, lingkungan dan penampilannya. Pada kode gestur,
tindakan rasisme yang terjadi terhadap etnis Tionghoa diperlihatkan dari cara
kaum pribumi yang merampas barang milik orang Tionghoa (ditampilkan dalam
scene 4), kaum pribumi yang memalak uang kepada orang Tionghoa (ditampilkan
dalam scene 13, scene 15 dan scene 19), serta kaum pribumi yang
mendiskriminasi secara fisik terhadap orang Tionghoa seperti menginjak
(ditampilkan dalam scene 10), menjambak (ditampilkan dalam scene 13),
mendorong (ditampilkan dalam scene 19) dan memukul (ditampilkan dalam scene
11 dan scene 79).

Sedangkan kode gestur dari dampak tindakan rasisme tersebut membuat


Ernest dan beberapa pemeran etnis Tionghoa lainnya dalam film tersebut terlihat
sakit hati namun mereka hanya bisa terdiam dengan menundukan kepalanya
dikarenakan mereka sadar bahwa mereka hanyalah kaum minoritas yang tertindas
oleh mayoritas sehingga mereka akan merasa kalah jika memberontak, seperti
Ernest yang terus berjalan kaki sambil membungkukan badan serta menundukan
kepalanya saat diteriaki “Cina” oleh anak-anak permukiman setempat

Universitas Budi Luhur


77
(ditampilkan dalam scene 1), Ernest yang terdiam dan menundukan kepalanya
saat ditertawakan oleh teman-teman Sekolah Dasar (SD) nya karena ia keturunan
etnis Tionghoa (ditampilkan dalam scene 3), Ernest yang terdiam dan bingung
harus berbuat apa saat bekal makanannya diambil oleh sekelompok teman
pribuminya di Sekolah Dasar (SD) (ditampilkan dalam scene 4), Ernest dan
Patrick yang hanya terdiam tanpa membalas saat sekelompok teman pribuminya
di Sekolah Dasar (SD) menginjak sepatu mereka dengan penuh lumuran tanah
(ditampilkan dalam scene 10), Ernest yang kesakitan saat keningnya diobati akibat
hanya terdiam saat dipukul oleh teman pribuminya (ditampilkan dalam scene 11),
Ernest yang diam ketakutan saat di palaki oleh sekelompok anak Sekolah Teknik
Mesin (STM) di dalam bus umum (ditampilkan dalam scene 13), Ernest yang
hanya terdiam saat sekelompok teman pribuminya di Sekolah Menengah Pertama
(SMP) mencoba untuk memalaknya (ditampilkan dalam scene 15), Siswa Sekolah
Menengah Pertama (SMP) yang bertenis Tionghoa hanya bisa terdiam dan
menundukan kepalanya saat ia menjadi korban pemalakan oleh sekelompok kaum
pribumi (ditampilkan dalam scene 19), Ernest yang hanya terdiam tanpa
membalas saat sekelompok teman pribuminya tertawa mengejek dirinya
(ditampilkan dalam scene 23) dan ayahnya Josua yang merupakan warga beretnis
Tionghoa menyuruh anaknya agar diam saja dan tidak perlu membalas jika ada
teman pribuminya yang mencela Josua karena ia sekeluarga keturunan Tionghoa
(ditampilkan dalam scene 79).

Pada kode penampilan, dalam film Ngenest, penampilan Ernest sebagai


orang beretnis Tionghoa tidak ada yang istimewa, ia selalu tampil sederhana
dengan mengenakan pakaian biasa seperti orang-orang pada umumnya dan ini
hampir terjadi di dalam semua scene, kecuali saat ada acara khusus seperti
menghadiri konser punk dengan mengenakan pakaian serta berpenampilan
menyerupai anak punk (ditampilkan dalam scene 23) dan juga pada saat hari
perayaan tahun baru imlek yang mengenakan pakaian serba merah (ditampilkan
dalam scene 79).

Universitas Budi Luhur


78
Pada kode lingkungan, dalam film Ngenest, Ernest sebagai orang beretnis
Tionghoa bertempat tinggal disebuah permukiman yang sangat sederhana
(ditampilkan dalam scene 1), bersekolah di sekolahan bertaraf menengah
(ditampilkan dalam scene 3, scene 4, scene 10 dan scene 15), serta menggunakan
kendaraan umum ataupun berjalan kaki dalam kesehariannya (ditampilkan dalam
scene 13 dan scene 15) dari beberapa adegan tersebut dapat mematahkan sebuah
stereotip tentang kehidupan warga beretnis Tionghoa yang selalu dikait-kaitkan
dengan sesuatu yang mewah dan bergelimang harta seperti yang selama ini
dianggap oleh orang-orang pribumi.

Lalu pada level representasi, kode-kode teknis dan konvensional dalam


film Ngenest yang menggambarkan tindakan rasisme terhadap etnis Tionghoa
terlihat melalui kode dialog, kamera dan voice over. Pada kode dialog, dalam
film ini banyak sekali adegan yang meyebutkan kata-kata rasis terhadap kaum
Tionghoa, seperti kata “Cina! Mau kemana lo?” yang dilontarkan oleh anak-anak
pribumi di area permukiman (ditampilkan dalam scene 1), lalu kata “Eh cong
yakin lo kelas 1B, bukannya kelas 1C? Cina!” “Atau enggak C, cipit!” yang
dilontarkan oleh Bowo dan Ipeh yang merupakan teman di Sekolah Dasar (SD)
saat Ernest sedang menanyakan kelasnya (ditampilkan dalam scene 3), kemudian
kata “wah Cina, nih apaansih. Cobain ya” yang dilontarkan oleh Faris salah satu
teman di Sekolah Dasar (SD) Ernest (ditampilkan dalam scene 4), lalu kata “eh
Cina! Dompet lu sini!” yang dilontarkan oleh salah satu anak Sekolah Teknik
Mesin (STM) kepada Ernest di dalam bus umum (ditampilkan dalam scene 13),
kata “Woi Cina traktir sarapan dong!” yang dilontarkan Bowo dan sekelompok
teman-temannya kepada Ernest di Sekolah Menengah Pertama (SMP)
(ditampilkan dalam scene 15), kata “wiiiii nyolot woi Cina!!!” yang dilontarkan
Faris dan sekelompok teman-temannya saat kepada salah satu siswa lainnya yang
keturunan etnis Tionghoa (ditampilkan dalam scene 19), kata “Lu mah lebih mirip
sama vampir Cina kesetrum genset” yang dilontarkan Bowo saat mentertawakan
penampilan Ernest (ditampilkan dalam scene 23), kata “kamu Cina ya?”yang
dilontarkan papanya Meira sewaktu berkenalan dengan Ernest (ditampilkan dalam
scene 56), dan yang terakhir kata “dasar lo Cina, bapak lo tukang beras” yang

Universitas Budi Luhur


79
dilontarkan oleh anak-anak komplek kepada Josua (ditampilkan dalam scene 79).

Pada kode kamera, tindakan rasisme terhadap etnis Tionghoa


diperlihatkan pada teknik pengambilan gambar long shot, medium shot, medium
close up dan close up. Pada teknik pengambilan gambar long shot
memperlihatkan tubuh fisik manusia yang jelas dengan latar belakang masih
dominan, seperti pada adegan yang memperlihatkan Ernest sedang di ejek oleh
teman-temannya saat berjalan kaki di sebuah permukiman dengan mengenakan
kaos serta celana pendek dan juga sendal jepit (ditampilkan dalam scene 1), lalu
pada adegan Faris dan teman-temannya sedang menginjak sepatu Ernest dan
Patrick yang dilumuri lumpur di pinggiran lapangan sekolah dengan menngenakan
segaram Sekolah Dasar (SD) (ditampilkan dalam scene 10), kemudian pada
adegan Faris dan teman-temannya sedang memalak seorang siswa lainnya yang
merupakan keturunan Tionghoa di sebuah jalanan sepi tepat depan bangunan
kosong dengan mengenakan seragam Sekolah Menengah Pertama (SMP)
(ditampilkan dalam scene 19) dan yang terakhir pada adegan papanya Meira yang
sedang menasehati anaknya agar tidak menjalin hubungan lagi dengan Ernest
maupun warga Tionghoa lainnya dimana adegan tersebut terlihat berada di dalam
rumah dengan mengenakan pakaian rumahan (ditampilkan dalam scene 59).

Lalu pada teknik pengambilan gambar medium shot memperlihatkan tubuh


manusia dari pinggang hingga ke atas sehingga gestur tubuh serta ekspresi wajah
mulai tampak, seperti pada adegan yang memperlihatkan Ernest yang keningnya
sedang diobati oleh mamanya dengan ekspresi Ernest yang kesakitan (ditampilkan
dalam scene 11), sekelompok anak Sekolah Teknik Mesin (STM) sedang
memalak Ernest dengan ekspresi yang menyeramkan dan Ernest yang terlihat
ketakutan (ditampilkan dalam scene 13), kemudian pada adegan Faris dan teman-
temannya sedang meneriaki Ernest dari kejauhan, lalu kemudian Patrick datang
dan mengajak Ernest pergi dengan ekspresi Patrick yang terlihat tergesa-gesa dan
ekspresi Ernest yang kebingungan (ditampilkan dalam scene 15), serta pada
adegan Ernest yang menghampiri Faris dan teman-temannya untuk
memperlihatkan penampilan gaya rambut dan pakaiannya yang seperti anak punk

Universitas Budi Luhur


80
dengan ekspresi bangga (ditampilkan dalam scene 23).

Kemudian pada teknik pengambilan gambar medium close up


memperlihatkan tubuh manusia dari dada hingga keatas sehingga pengambilan
gambar ini biasanya digunakan untuk adegan percakapan normal, seperti pada
adegan yang memperlihatkan percakapan antara Faris dan teman-temannya sambil
meledek Ernest didepan kelas (ditampilkan dalam scene 3), lalu pada adegan Faris
dan teman-temannya yang berbicara kepada Ernest sambil mengambil bekal
makanannya tanpa izin (ditampilkan dalam scene 4), kemudian pada adegan anak
Sekolah Teknik Mesin (STM) yang melakukan sedikit dialog dengan Ernest
sambil berusaha memalak dompetnya (ditampilkan dalam scene 13), lalu pada
adegan papanya Meira yang memulai percakapan kepada Ernest dengan
menanyakan apakah Ernest seorang “Cina” (ditampilkan dalam scene 56) dan
juga pada adegan Ernest yang sedang berbincang dengan ayahnya Josua dan
membahas tentang perlakuan rasisme yang dilakukan oleh teman-teman Josua
terhadap anaknya tersebut.

Terakhir pada teknik pengambilan gambar close up memperlihatkan bagian


wajah, tangan, kaki atau detail objek lainnya sehingga pengambilan gambar ini
biasanya digunakan untuk adegan percakapan yang lebih intim ataupun
mengungkapkan sesuatu perasaan yang mendalam seperti pada adegan yang
memperlihatkan kepala Ernest yang menunduk dengan wajah termenung yang
mengungkapkan suatu perasaan sedih saat teman-temannya mengejek ia di depan
kelas (ditampilkan dalam scene 3), lalu pada adegan sepatu Ernest dan Patrick
yang diinjak oleh sepatu Faris dan teman-temannya yang dipenuhi dengan lumpur
mengungkapkan suatu perasaan ketidaksukaan Faris dan teman-temannya kepada
Ernest dan Patrick (ditampilkan dalam scene 10), kemudian pada adegan tulisan
mandarin memperlihatkan secara jelas dan detail dari sebuah kalimat bertulisan
mandarin yang berada diatas papan ucapan pernikahan Ernest dan Meira yang
mengungkapkan suatu arti kata selamat menempuh hidup baru (ditampilkan dalam
scene 69).

Universitas Budi Luhur


81
Pada kode voice over, dalam film Ngenest voice over berfungsi
mempertegas suara isi hati kaum Tionghoa yang sebenarnya saat mereka
diperlakukan berbeda oleh pribumi seperti voice over “Kita tidak bisa memilih
bagaimana kita dilahirkan, ada anak yang terlahir di keluarga kaya raya, ada
yang lahir dikeluarga miskin, ada yang lahir secara alami, ada yang harus
melalui operasi. Ini cerita seorang anak yang terlahir sebagai…” (ditampilkan
dalam scene 1) lalu “Punya temen yang senasib itu lumayan meringankan beban.
Yah gak berasa amsyong-amsyong amat lah. Paling nggak gue sadar bukan gue
aja yang dibully cuma terlahir gara-gara Cina." (ditampilkan dalam scene 10)
dan “Kata bokap gue, apa yang gue alamin ini ga ada apa-apanya dibandingin dia dulu,
sebagai minoritas kita harus kuat mental jadi ya ga boleh cengeng” (ditampilkan
dalam scene 11).

Kemudian pada level ideologi, peneliti menemukan penggambaran nilai-


nilai tindakan rasisme terhadap etnis Tionghoa dalam film Ngenest yang terlihat
dari kode ras dan individualisme. Pada kode ras, dalam film Ngenest terdapat
nilai-nilai yang menunjukan tindakan rasisme terhadap etnis Tionghoa, baik itu
tindakan secara langsung (non verbal) maupun tidak langsung (verbal), untuk
tindakan secara langsung (non verbal) sendiri seperti saat Faris dan teman-
temannya mengambil bekal makanan Ernest tanpa izin (ditampilkan dalam scene
1), saat Faris dan teman-temannya menginjak sepatu Ernest dan Patrick
(ditampilkan dalam scene 10), saat Faris dan teman-temannya memukuli Ernest
hingga keningnya terluka (ditampilkan dalam scene 11), saat sekelompok anak
Sekolah Teknik Mesin (STM) memalak serta menjambak rambut Ernest
(ditampilkan dalam scene 13), saat Faris dan teman-temannya memalak Ernest
(ditampilkan dalam scene 15), saat Faris dan teman-temannya memalak serta
mendorong bahu siswa lain yang merupakan orang keturunan etnis Tionghoa
(ditampilkan dalam scene 19), dan saat anak-anak komplek memukuli Josua
karena ia merupakan anak keturunan etnis Tionghoa (ditampilkan dalam scene
79).

Universitas Budi Luhur


82
Sedangkan untuk tindakan secara tidak langsung (verbal) sendiri seperti
saat kaum pribumi memanggil nama orang keturunan etnis Tionghoa dengan
sebutan kata “Cina” (ditampilkan dalam scene 1, scene 3, scene 4, scene 13, scene
15, scene 19, scene 23 dan scene 79), saat papanya Meira (pribumi) sebenarnya
sudah tahu bahwasannya Ernest merupakan orang keturunan etnis Tionghoa yang
terlihat secara fisik memiliki mata sipit dan kulit putih, namun papanya Meira
masih saja menanyakan apakah Ernest seorang “Cina” (ditampilkan dalam scene
56), saat papanya Meira menghakimi bahwa semua etnis Tionghoa adalah penipu
(ditampilkan dalam scene 59) dan saat temannya Ernest mengejek tulisan
Mandarin pada acara pernikahan Ernest dan Meira tanpa mengetahui arti yang
sebenarnya (ditampilkan dalam scene 79).

Sedangkan pada kode indivisualisme, dari dampak tindakan rasisme


tersebut membuat etnis Tionghoa kesulitan untuk membaur dengan masyarakat
non-Tionghoa lainnya khususnya kaum pribumi, sehingga menumbuhkan sikap
membatasi diri (mengisolasi diri) yang membuat warga keturunan Tionghoa
hanya bergaul dengan lingkungan kelompoknya saja (satu etnis) seperti saat
Patrick yang juga merupakan orang keturunan etnis Tionghoa tidak menginginkan
jika Ernest berteman dengan pribumi karena menurutnya mereka hanya akan
memanfaatkan Ernest, maka dari itu Patrick mengajak Ernest untuk bergegas
meninggalkan teman pribuminya yang memanggil-manggil Ernest (ditampilkan
dalam scene 15).

Selain itu, eksklusifitas juga menjadi faktor dari keterpisahan warga


keturunan etnis Tionghoa dengan masyarakat non-Tionghoa (pribumi), anggapan
jika etnis Tionghoa lebih eksklusif dibanding kaum pribumi sudah terjadi turun-
menurun. Kesan eksklusif yang muncul dalam kehidupan sosial diakibatkan oleh
pembatasan peran sejak jaman kolonial Belanda hingga masa orde baru dimana
warga keturunan etnis Tionghoa hanya diperbolehkan untuk berkecimpung
dibidang ekonomi yang dapat menentukan perekonomian negara serta segala hak
kebutuhan materil mereka yang terjamin sehingga hal ini memicu kecemburuan
sosial bagi kaum pribumi dan dampak dari pembatasan tersebut beberapa

Universitas Budi Luhur


83
perumahan elit, pusat perbelanjaan hingga sekolah swasta banyak dikuasai oleh
warga etnis Tionghoa yang menimbulkan kesan eksklusivisme dalam kehidupan
sosial. Salah satu contoh eksklusifitas Tionghoa dalam film ini pun diungkapkan
pada scene 32 saat Ernest mengatakan “Patrick ikut-ikutan gue kuliah di Bandung
tapi dia milih swasta biarin lah dia banyak duit”, kalimat dari ucapan dalam
scene tersebut menggambarkan keeksklusifan warga keturunan etnis Tionghoa di
Indonesia. Ernest menggambarkan keeksklusifan tersebut diwakili dengan
fenomena kampus swasta yang berkonotasi mahal dan berfasilitas, namun dengan
begitu Ernest yang beretnis sama dengan Patrick yakni Tionghoa tetap memilih
kampus negeri yaitu Universitas Padjajaran Bandung untuk melanjutkan studinya.
Maka dari itu kesan eksklusivisme dalam kehidupan sosial tidak bisa di
generalisasi terhadap suatu ras hanya karena sebagian kecil orang, sebab semua
itu akan balik lagi kepada individunya masing-masing.

Universitas Budi Luhur


84
BAB V
PENUTUP

5.1 Simpulan
Hasil penelitian dan pembahasan tentang representasi rasisme terhadap
etnis Tionghoa dalam film Ngenest karya Ernest Prakasa dengan menggunakan
teori semiotika John Fiske melalui kode-kode realitas, representasi, dan ideologi
dapat disimpulkan bahwa rasisme yang diperlihatkan dalam film tersebut yaitu
berupa tindakan rasisme secara langsung (non verbal) dan tidak langsung (verbal),
dimana tindakan rasisme secara langsung (non verbal) yaitu sebuah tindakan yang
dilakukan melalui perlakuan secara fisik, dalam film Ngenest perlakuan secara
fisik yang mengandung ungkapan rasisme sering dilakukan oleh pribumi kepada
etnis Tionghoa seperti memalak uang, menginjak sepatu, menjambak rambut
hingga memukul sampai terluka, sedangkan tindakan rasisme secara tidak
langsung (verbal) yaitu sebuah tindakan yang dilakukan melalui ucapan, dalam
film Ngenest ucapan yang mengandung ungkapan rasisme paling sering
dilontarkan oleh pribumi kepada etnis Tionghoa salah satunya sebutan kata
“Cina” sebagai pengganti nama panggilan.
Pada film Ngenest juga memperlihatkan gestur orang beretnis Tionghoa
yang selalu terdiam dan menundukan kepala saat menjadi korban rasisme oleh
kaum pribumi karena mereka sadar bahwa mereka hanya kaum minoritas yang
akan kalah dengan mayoritas yakni kaum pribumi, serta tindakan rasisme tersebut
membuat etnis Tionghoa juga merasa kesulitan untuk berbaur dengan masyarakat
etnis non-Tionghoa, sehingga menimbulkan sifat isolasi diri yang menjadikan
warga etnis Tionghoa hanya bergaul dengan lingkungan kelompoknya saja (satu
etnis).

Universitas Budi Luhur


85
5.2 Saran
5.2.1 Saran Teoritis
a) Bagi peneliti yang akan datang, diharapkan dapat melengkapi
penemuan yang telah ada sehingga penelitian ini dapat dijadikan
referensi untuk melengkapi penelitian yang berhubungan dengan
analisis semiotika khususnya teori John Fiske

5.2.2 Saran Praktis

a) Bagi praktisi film, dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat


menjadi bahan referensi tentang kandungan nilai-nilai tindakan rasisme
dalam sebuah film, sehingga dapat membuat karya film lainnya yang
lebih bagus, kreatif dan imajinatif

b) Bagi masyarakat, dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat


memahami betul pesan yang disampaikan dalam film Ngenest
sehingga bisa lebih menghormati dan menghargai baik itu sesama
maupun berbeda etnis serta ikut berkontribusi untuk menghapus
stereotip dengan cara bergaul atau berteman dengan berbagai macam
orang karena dengan mengenal berbagai macam orang kita akan
mengenal orang dengan siapa dia sebagai sebuah individu terlepas dari
apa agama, etnis, status maupun hal lain dari latar belakangnya

Universitas Budi Luhur


86
DAFTAR PUSTAKA

Sumber Buku

Afdjani, Hadiono. 2015. Ilmu Komunikasi Proses & Strategi. Tangerang: Indigo
Media Agung

Biran, M. Y. 2010. Lima jurus sinematografi Joseph V. Mascelli. Jakarta: FFTV


IKJ PRESS

Bungin, M. Burhan. 2008. Penelitian Kualitatif. Jakarta: Kencana Prenada Media


Group

Effendy, Onong Uchjana. 2003. Ilmu, Teori dan Filsafat Komunikasi. Bandung:
Citra Aditya Bakti

Fiske, John. 2004. Cultural and Communication Studies, Sebuah Pengantar


Paling Komprehensif. Yogyakarta: Jalasutra

Garin Nugroho dan Dyna Herlina S. 2015. Krisis dan Paradoks Film Indonesia.
Yogyakarta: Rymah Sinema

Gunawan, Imam. 2013. Metode Penelitian Kualitatif : Teori dan Praktik. Jakarta:
PT. Bumi Aksara

Herlina, TT. Komunikasi Kinesik. Bandung: Psikologi UPI

Hoon, Chang Yau. 2012. Identitas Tionghoa Pasca Soeharto: Budaya, Politik dan
Media, terjemahan, Budiawan. Jakarta: Yayasan Nabil dan LP3ES

Indrawan, Rully, Yaniawati, R., Poppy. 2014. Metodologi Penelitian. Bandung:


PT. Refika Aditama

Kriyantono, Rachmat. 2007. Teknik Praktis Riset Komunikasi. Jakarta: Kencana

Lexy, J Moleong. 2016. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja


Rosdakarya

Universitas Budi Luhur


87
Littlejohn, Stephen W. 2009. Teori Komunikasi Theories of Human
Communication edisi 9. Jakarta: Salemba Humanika

Prof.Dr.Khomsahrial Romli, M. 2016. Komunikasi Massa. Jakarta: PT. Grasindo

Sugiyono. 2013. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Bandung:


Afabeta

Sukmadinata, Nana Syaodih. 2009. Metode Penelitian Pendidikan. Bandung:


Remaja Rosdakarya

Storey, J. 2007. Cultural Studies dan Kajian Budaya Pop; Pengantar


Komprehensif Teori dan Metode. Yogyakarta: Jalasutra

Suryadinata, L. 2012. Negara dan Etnis Tionghoa. Jakarta: LP3ES

Tan, G. 2008. Etnis Tionghoa di Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia

Usman, R. 2009. Etnis Cina Perantauan di Aceh. Jakarta: Yayasan Obor


Indonesia

Vera, Nawiroh. 2014. Semiotika Dalam Riset Komunikasi. Bogor: Ghalia


Indonesia

Wahyu Wibowo, Indiwan Seto. 2013. Semiotika Komunikasi; Aplikasi Praktis


bagi Penelitian dan Skripsi Komunikasi. Jakarta: Mitra Wacana Media

Wibowo, Fred. 2006. Teknik Program Televisi. Yogyakarta: Pinus Book Publisher

Widoyoko, Eko Putro. 2014. Teknik Penyusunan Instrumen Penelitian.


Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Sumber Tugas Akhir

Amrullah, Dzauqi Naufal. 2018. “Kegalauan Identitas Tionghoa dalam Film


Cin(t)a”. Universitas Sunan Ampel Surabaya: Tugas Akhir Tidak
Diterbitkan.

Marindra, Inka Mayang. 2016. “Analisis Representasi Pluralisme Agama dan

Universitas Budi Luhur


88
Budaya dalam Film Cinta Tapi Beda”. Universitas Lampung: Tugas
Akhir Tidak Diterbitkan.

Martuahman, Doni. 2012. “Analisis Semiotika Makna Rasisme Pada Film 8


Mile”. Universitas Pembangunan Nasional: Tugas Akhir Tidak
Diterbitkan.

Pradianty, Viddya Dwi. 2016. “Representasi Asimilasi Etnis Tionghoa Dalam


Film Indonesia (Analisis Semiotik dalam Film Ngenest)”. Universitas
Muhammadiyah Yogyakarta: Tugas Akhir Tidak Diterbitkan.

Sumber Jurnal

Trivosa Pah, Rini Darmastuti. 2019. “Analisis Semiotika John Fiske Dalam
Tayangan Lentera Indonesia Episode Membina Potensi Para Penerus
Bangsa Di Kepulauan Sula”. Journal of Communication Studies. 06(1).
3.

Yenita, Irab. 2007. “Rasisme”. Jurnal Jaffray. 05(1). 55.

Sumber Online
Dictio. (2017). Semiotika. Retrieved March 29, 2020, from.https://www.dictio.id/

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) (2020). Bangsa. Retrieved March 29,
2020, from.https://kbbi.web.id/

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) (2020). Etnisitas. Retrieved March 29,
2020, from.https://kbbi.web.id/

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) (2020). Rasisme. Retrieved March 29,
2020, from.https://kbbi.web.id/

Soelistyarini. (2013). Pedoman Penyusunan Tinjauan Pustaka dalam Penelitian


dan Penulisan Ilmiah. Retrieved March 28, 2020, from Universitas
Airlangga. Web site: http://www.academia.edu/

Universitas Budi Luhur


89
LAMPIRAN

Universitas Budi Luhur


90
Gambar 4.1
Poster Film Ngenest

Gambar 4.2
Potongan Gambar Scene 1

Gambar 4.3
Potongan Gambar Scene 3

91
Gambar 4.4
Potongan Gambar Scene 3

Gambar 4.5
Potongan Gambar Scene 4

Gambar 4.6
Potongan Gambar Scene 4

92
Gambar 4.7
Potongan Gambar Scene 10

Gambar 4.8
Potongan Gambar Scene 10

Gambar 4.9
Potongan Gambar Scene 11

93
Gambar 4.10
Potongan Gambar Scene 13

Gambar 4.11
Potongan Gambar Scene 13

Gambar 4.12
Potongan Gambar Scene 13

94
Gambar 4.13
Potongan Gambar Scene 13

Gambar 4.14
Potongan Gambar Scene 15

Gambar 4.15
Potongan Gambar Scene 15

95
Gambar 4.16
Potongan Gambar Scene 19

Gambar 4.17
Potongan Gambar Scene 23

Gambar 4.18
Potongan Gambar Scene 23

96
Gambar 4.19
Potongan Gambar Scene 56

Gambar 4.20
Potongan Gambar Scene 59

Gambar 4.20
Potongan Gambar Scene 59

97
Gambar 4.22
Potongan Gambar Scene 79

98
99
Email Permohonan Ijin Penelitian
Kepada PH Starvision Plus

100
Balasan Email Permohonan Izin Penelitian
dari Sekretaris Bapak Chand Parwez Servia Selaku Produser Film Ngenest
dan Presiden Director PH Starvision Plus

101
102
103
104
105
106

Anda mungkin juga menyukai