2: 89-96
Available online: https://journal.uhamka.ac.id/index.php/argipa
p-ISSN 2502-2938; e-ISSN 2579-888X
ABSTRAK
Stunting merupakan masalah kurang gizi kronis yang disebabkan oleh asupan
gizi terutama kualitas dan keragaman pangannya. Tujuan dari penelitian ini adalah
untuk menganalisis hubungan keragaman konsumsi pangan dengan stunting pada
balita usia 6-24 bulan. Desain penelitian ini adalah cross-sectional. Subjek dalam
penelitian ini berjumlah 82 balita yang berusia 6-24 bulan. Pengumpulan data
dilakukan di Desa Cimayang Banten. Teknik analisis data yang digunakan adalah
chi-square. Hasil analisis menunjukkan bahwa ada hubungan antara keragaman
konsumsi pangan dengan stunting pada balita usia 6-24 bulan (p<0,05). Semakin
beragam konsumsi pangan, maka status gizi semakin baik. Edukasi tentang
keragaman konsumsi pangan diperlukan terutama kepada ibu yang memiliki balita.
Kata kunci: Balita usia 6-24 bulan, Keragaman konsumsi pangan, Stunting
ABSTRACT
89
PENDAHULUAN disebabkan oleh rendahnya asupan
Masalah gizi balita yang gizi dan masalah kesehatan, masalah
dihadapi saat ini merupakan tersebut merupakan dua hal yang
masalah gizi kurang dan gizi lebih. saling memengaruhi. Adapun
Kekurangan gizi pada 1000 hari pengaruh tidak langsung adalah
pertama kehidupan yaitu sejak ketersediaan makanan, pola asuh,
janin sampai anak berumur dua ketersediaan air minum (bersih),
tahun berpengaruh tidak hanya sanitasi dan pelayanan kesehatan
terhadap perkembangan fisik, tetapi (Kemenkes RI, 2013). Salah satu
juga terhadap perkembangan kognitif masalah gizi utama di negara-negara
yang pada akhirnya berpengaruh berkembang adalah kurangnya
terhadap kecerdasan dan ketangkasan keragaman makanan, terutama terdiri
berpikir serta terhadap produktivitas dari sumber makanan nabati, serta
kerja (Adriani, 2012). Kekurangan gizi buah dan sayuran yang terbatas
pada masa ini juga dikaitkan dengan (Mahmudiono, 2017).
risiko terjadinya penyakit kronis pada Keadaan kesehatan gizi
usia dewasa, yaitu kegemukan, masyarakat tergantung pada tingkat
penyakit jantung dan pembuluh konsumsi yang ditentukan oleh
darah, stroke dan diabetes (Kemenkes kualitas pangan. Kualitas pangan
RI, 2014). menunjukkan adanya semua zat gizi
Salah satu masalah gizi yang yang diperlukan tubuh di dalam
menjadi perhatian utama saat ini susunan hidangan dan
adalah masih tingginya anak balita perbandingannya antara satu dengan
pendek (stunting) di Indonesia. Dari yang lain. Kualitas gizi menekankan
10 orang anak sekitar 3-4 orang anak terhadap keanekaragaman pangan.
balita mengalami stunting. Stunting Semakin beragam dan seimbang
adalah masalah kurang gizi yang komposisi pangan yang dikonsumsi
disebabkan oleh asupan gizi yang akan semakin baik kualitas gizinya,
kurang dalam waktu cukup lama karena pada hakekatnya tidak ada
akibat pemberian makanan yang satupun jenis pangan yang
tidak sesuai dengan kebutuhan gizi mempunyai kandungan gizi yang
(MCA, 2013). lengkap dan cukup baik dalam
Terdapat dua kategori jumlah maupun jenisnya (Bitra, 2010).
penyebab stunting, yaitu penyebab Penelitian yang dilakukan oleh
langsung dan tidak langsung. Secara Arimond (2004), menunjukkan bahwa
langsung karena masalah gizi yang terdapat hubungan antara keragaman
90
konsumsi dengan status gizi TB/U urutan dari prevalensi tertinggi
pada balita usia 6-23 bulan. sampai terendah, yaitu Kabupaten
Riset Kesehatan Dasar Pandeglang 38,6%, Kabupaten Lebak
(RISKESDAS) tahun 2013 mencatat 38,1%, Kabupaten Serang 36,7%,
prevalensi stunting balita nasional Kabupaten Tanggerang 32,3%, Kota
mencapai 37,2%, meningkat dari Cilegon 31,4% dan Kota Serang 31,2%
tahun 2010 sebesar 35,6%, dan pada (Balitbangkes, 2013).
tahun 2007 yaitu 36,8%. Artinya Dari hasil data Puskesmas
pertumbuhan tidak maksimal diderita Bojongmanik kabupaten Lebak pada
oleh sekitar 8 juta anak, atau satu dari tahun 2015 menunjukkan bahwa
tiga anak di Indonesia. Prevalensi prevalensi stunting di Puskesmas
stunting di Indonesia lebih tinggi Bojongmanik sebesar 37,5% dengan
daripada negara-negara lain di Asia jumlah keseluruhan balita usia 6-24
Tenggara seperti Myanmar (35%), bulan sebanyak 546 balita. Puskesmas
Vietnam (23%), dan Thailand (16%). Bojongmanik memegang sembilan
Indonesia menduduki peringkat ke desa yaitu Bojongmanik,
lima dunia untuk jumlah anak Kadurahayu, Hajawarna,
dengan kondisi stunting (MCA, 2013). Mekarmanik, Cimayang, Parakan
Presentase balita pendek Beusi, Keboncau, Pasir Bitung, dan
tertinggi pada tahun 2013 adalah di Makarrahayu. Prevalensi stunting
Provinsi Nusa Tenggara Timur paling tinggi dari ke sembilan desa
(51,7%), Sulawesi Barat (48%), dan tersebut adalah Desa Cimayang yaitu
Nusa Tenggara Barat (45,3%). Pada sebesar 51,7%. Tinggi prevalensi
Provinsi Banten dari hasil stunting di Desa Cimayang pada
RISKESDAS tahun 2013 sebesar 33%, balita usia 6-24 bulan perlu mendapat
yang terdiri dari 16,4% sangat pendek perhatian khusus, karena pada usia
dan 16,6% pendek. Prevalensi pendek tersebut adalah masa “golden age”
di Provinsi Banten lebih rendah jika yang sangat penting untuk
dibandingkan dengan prevalensi pertumbuhan.
pendek nasional yaitu 37,2%. Masalah
METODE
kesehatan masyarakat dianggap berat
bila prevalensi pendek sebesar 30- Desain penelitian yang
39% dan serius bila prevalensi pendek digunakan adalah cross-sectional.
≥40 persen. Sebanyak enam Penelitian dilaksanakan di Desa
kabupaten atau kota Provinsi Banten Cimayang Kabupaten Lebak Banten
termasuk kategori berat, dengan pada bulan Juli 2017. Subjek dalam
91
penelitian ini adalah 82 balita ibu balita. Karaktersistik balita terdiri
berusia 6-24 bulan. Teknik dari usia dan jenis kelamin.
pengambilan data subjek Probbability Sedangkan, karakteristik ibu terdiri
Sampling jenis Proportional Random dari pekerjaan ibu dan pendidikan
Sampling teknik pengambilan subjek ibu.
terpilih dari setiap posyandu, yaitu Proporsi subjek pada usia 6-8
mengambil secara acak. bulan 18,3%, usis 9-11 bulan 11% dan
Data primer yang diambil usia 12-24 bulan sebesar 70%. Sebesar
melalui pengukuran berupa panjang 79,3% ibu balita yang bekerja sebagai
badan (PB) atau tinggi badan (TB) ibu rumah tangga lebih besar
dan wawancara menggunakan form dibandingkan proporsi ibu balita
individual dietery diversity. yang bekerja sebagai wiraswasta.
Pengukuran panjang badan (PB) atau Pada masyarakat tradisional,
tinggi badan (TB) pada balita biasanya ibu tidak bekerja di luar
dikatakan stunting bila z-score <-2 SD rumah melainkan hanya sebagai ibu
dan normal bila z-score ≥-2 SD. rumah tangga. Selain itu, bahwa
Pengukuran keragaman konsumsi seorang ibu yang tidak bekerja akan
pangan dengan mengevaluasi memiliki waktu yang lebih banyak
kelompok makanan yang telah dalam mengasuh serta merawat anak
dikonsumsi dalam satu periode dibandingkan ibu yang bekerja.
waktu dan ada 7 kelompok pangan. Pekerjaan memiliki hubungan dengan
Konsumsi dikatakan beragam apabila pendidikan dan pendapatan serta
jumlah kelompok makanan yang berperan penting dalam kehidupan
dikonsumsi ≥4 (FAO, 2011). Metode sosial ekonomi dan memiliki
analisis univariat untuk keterkaitan dengan kesehatan (Ayu,
mengindentifikasi dan analisis 2010).
bivariat untuk menganalisis Pada penelitian ini, seluruh ibu
hubungan dengan menggunakan Chi- memiliki pendidikan terakhir hanya
Square. sampai SD/MI. Tingkat pendidikan
akan memengaruhi kemampuan
HASIL
dalam menerima informasi mengenai
Karakteristik Balita dan Ibu gizi dan kesehatan anak. Ibu yang
Balita memiliki tingkat pendidikan tinggi
Karakteristik subjek dalam memiliki sikap positif terhadap gizi
penelitian ini terbagi menjadi 2, yaitu yang cukup untuk keluarga (Lestari,
karakteristik balita dan karakteristik
92
2014). Secara lebih lengkap, hal dan terhindar dari penyakit
tersebut dapat dilihat pada Tabel 1. kekurangan gizi (Ulfah, 2008).
Tabel 1.
Distribusi Karakteristik Balita, Ibu Balita, Keragaman Konsumsi Pangan
dan Status Stunting Balita Usia 6-24 Bulan
Variabel n %
Usia
6-8 bulan 15 18,3
9-11 bulan 9 11
12-24 bulan 58 70,7
Jenis Kelamin
Perempuan 40 48,8
Laki-laki 42 51,2
Karakteristik Ibu Balita
Pekerjaan Ibu
Ibu Rumah Tangga 65 79,3
Wiraswasta 17 20,7
Pendidikan Ibu
SD/MI 82 100,0
Keragam Konsumsi
Beragam 27 32,9
Tidak Beragam 55 67,1
Status Stunting
Normal 29 35,4
Stunting 53 64,6
93
Tabel 2.
Hubungan konsumsi keragaman pangan dengan status stunting balita 6-24 bulan
Status Stunting
Jumlah
Stunting Normal OR p
n % n % n %
Konsumsi Keragaman Pangan
Tidak beragam 41 74,5 14 25,5 55 100 3,61 0,015
Beragam 12 44,4 15 55,6 27 100
94
pada balita. Semakin tinggi skor dan perkembangan motorik.
keragaman konsumsi pangan maka Penelitian lainnya mendapati anak
semakin beragam pula jenis makanan yang mengalami stunting pada usia
yang dikonsumsi balita. Sehingga kurang dari 2 tahun mempunyai
kecukupan zat gizi tersebut pada fungsi psikologis lebih buruk (lebih
akhirnya berpengaruh terhadap cemas dan depresi) di masa remaja
status gizi balita (Daniels, 2006). dari pada anak non-stunting
Pada balita stunting keragaman (Ernawati, 2014).
makanan yang dikonsumsi lebih
SIMPULAN
rendah yang kemungkinan
disebabkan oleh pengetahuan Keragaman konsumsi pangan
orangtua yang kurang dan rendahnya berhubungan dengan stunting pada
daya beli keluarga dalam balita usia 6 – 24 bulan.
menyediakan makanan untuk
DAFTAR RUJUKAN
balitanya (Hardinsyah, 2007). Balita
dikatakan memiliki akses kurang Adriani, M & Bambang, W. (2012).
terhadap pangan jika kualitas dan Peranan Gizi dalam Siklus
Kehidupan. Jakarta: Kencana
kuantitas komposisi menu setiap
Prenadamedia Group.
harinya kurang lengkap. Senada
dengan hal ini kerawanan pangan, Arimond, M. & Ruel, MT. (2004).
Dietery diversity is associated
komposisi menu yang tidak bergizi, with child nutritional status:
tidak berimbang dan tidak bervariasi Evidence from 11 demographic
baik secara kualitas dan kuantitas and health surveys. The Journal of
Nutrition, 134(10): 2579-2585.
dapat menyebabkan keterlambatan
pertumbuhan dan kekurangan gizi Sartika, RAD. (2010). Analisis
pada balita (Masrin, 2014). pemanfaatan program pelayanan
kesehatan status gizi balita. Jurnal
Seiring bertambahnya usia Kesehatan Masyarakat Nasional,
balita seharusnya ragam makanan 5(2):75-53.
yang diberikan harus lengkap dan
Balitbangkes. (2013). Laporan Hasil Riset
bergizi seimbang, yang mana penting Kesehatan Dasar (RISKESDAS)
untuk menunjang tumbuh kembang Tahun 2013. Jakarta: Kementerian
dan berkurang 15-20% persen, Kesehatan Republik Indonesia.
Daniels, MC. (2006). Dietary diversity Lestari, W., Margawati, A., &
as a measure of nutritional Rahfiludin, D. (2014). Faktor risiko
adequacy throughout childhood. stunting pada anak umur 6-24
Disertasi. Chapel Hill. The bulan di Kecamatan Penanggalan
University of North Carolina. Kota Subulussalam Provinsi Aceh.
Jurnal Gizi Indonesia, 3(1):126-134.
Ernawati, F., Muljati, S., S, MD., &
Safitri, A. (2014). Hubungan Mahmudiono, T., Sumarmi, S., &
panjang badan lahir terhadap Rosenkranz, RR. (2017).
perkembangan anak usia 12 Household dietary diversity and
bulan. Penel Gizi Makan, 37(2):109- child stunting in Java Indonesia.
118. Asia Pac J Clin Nutr, 26(2):317-325.
Fajar, RK. (2014). Pola Asuh Makan, Masrin, Paratmanitya, Y., & Aprilia, V.
Stimulasi Psikososial, dan (2014). Ketahanan pangan rumah
Perkembangan Kognitif Anak tangga berhubungan dengan
Usia Pra-Sekolah. Skripsi. Bogor. stunting pada anak usia 6-23
Institut Pertanian Bogor. bulan. Jurnal Gizi Dan Dietetik
Indonesia, 2(3):103-115.
FAO. (2011). Guidelines For Measuring
Household and Individual Dietary Ulfah, IM. (2008). Perilaku hidup bersih
Diversity. EC-FAO: Roma. dan sehat, pengetahuan gizi dan
pola asuh kaitannya dengan diare
Hardinsyah. (2007). Review faktor anak balita di desa cikarawang
determinan keragaman konsumsi bogor. Skripsi. Bogor: Institut
pangan. Jurnal Gizi dan Pangan, Pertanian Bogor.
2(2): 55-74.
Millennium Challenge Account-
Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), Indonesia (MCA). (2013). Stunting
et al. (2017). Makanan Pendamping dan Masa Depan Indonesia. Jakarta:
ASI untuk Balita/Anak Usia 6-35 Millennium Challenge Account-
Bulan dan Resolusi WHA 2016. Indonesia.
Jakarta: Ikatan Dokter Anak
Indonesia (IDAI). WHO. (2010). Country Profile Indicators
Interpretation Guide. Avenue
Kementerian Kesehatan RI. (2013). 1000 Appia: WHO.
Hari: Mengubah Hidup, Mengubah
Masa Depan. Jakarta: Kementerian
Kesehatan RI.
96