PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Status gizi didefinisikan sebagai suatu keadaan nyata dari gizi seseorang
individu. Seseorang dikatakan memiliki status gizi yang baik jika dia tidak
menunjukkan bukti kekurangan gizi, baik bersifat akut maupun kronis. Gizi
merupakan salah satu faktor penting yang menentukan tingkat kesehatan dan
kesejahteraan manusia. Gizi yang baik jika terdapat keseimbangan dan keserasian
antara perkembangan fisik dan perkembangan mental orang tersebut. Terdapat kaitan
yang sangat erat antara status gizi dan konsumsi makanan. Tingkat status gizi optimal
akan tercapai apabila kebutuhan zat gizi optimal terpenuhi (Rahmad & Miko, 2016).
Berdasarkan data dari World Health Organization (WHO), pada tahun 2016, 87
juta anak-anak kerdil hidup di Asia, 59 juta di Afrika dan 6 juta di wilayah Amerika
Latin dan Karibia. Lima subregion memiliki laju pertumbuhan anak yang melebihi
30% seperti Afrika bagian barat (31,4%), Afrika tengah (32,5%), Afrika bagian timur
(36,7%), Asia bagian selatan (34,1%) dan Oseania (38,3%) tidak termasuk Australia
dan Selandia Baru. Baik Asia dan Oseania mengalami lambat atau tidak ada
stunting telah menurun dua kali lebih cepat daripada di Afrika dari tahun 2000 hingga
1
2
stunting mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Persentase balita sangat pendek
pada tahun 2007 sebesar 18,8% dan pendek sebesar 18,0%, tahun 2013 sangat pendek
sebesar 18,0% dan pendek sebesar 19,2%, dan pada tahun 2018 sangat pendek
sebesar 11,5% dan pendek sebesar 19,3%. Provinsi dengan persentase balita pendek
dan sangat pendek terbanyak di Nusa Tenggara Timur sebesar 42,6% dan terendah di
menunjukkan Kabupaten/Kota yang paling tinggi (17-23) kasus gizi buruk yaitu Kab.
Toraja Utara, Kab. Wajo, Kab. Takalar, dan Kab. Soppeng adapun Kabupaten
bahwa jumlah balita yang berada di Kabupaten Maros pada tahun 2016 sebanyak
49.670 balita, dimana terdapat 7 balita yang mengalami gizi buruk dan semuanya
kurangnya asupan zat gizi dalam jangka waktu yang lama. Status kesehatan bayi
kaitannya dengan pola makan. Salah satu yang menjadi penyebab langsung dari
kejadian stunting adalah asupan. Asupan sendiri sangat ditentukan oleh pola
pemberian makan kepada bayi, meskipun bahan makanan tersedia dalam jumlah yang
3
cukup, namun pola pemberian makan yang salah dapat menyebabkan kurangnya
asupan zat gizi yang diterima oleh balita. Pola asuh pemberiaan makan pada bayi
yang tidak kreatif dan variatif adalah hal penting yang perlu diperhatikan ibu agar
kebutuhan zat gizi anaknya terpenuhi. Faktor lain yang juga menjadi penyebab
langsung masalah gizi stunting, yaitu penyakit infeksi. Asupan dan penyakit infeksi
adalah dua hal yang memiliki keterkaitan satu sama lain yang perlu diperhatikan
khusus agar tidak terjadi masalah gizi lainnya (Loya & Nuryanto, 2017).
antara pola makan dengan kejadian stunting pada anak dengan nilai OR atau kekuatan
hubungan sebesar 3,16. Hasil penelitian menunjukkan pola makan termasuk dalam
kategori kurang (55,9%) berdasarkan hasil recall 4 x 24 jam. Perilaku yang salah
dalam memilih dan memberikan makanan pada balita merupakan faktor yang
menyebabkan gizi kurang dan stunting. Pola makan dua kali sehari menjadi
permasalahan karena makanan yang dimakan hanya jagung/nasi dengan sayur saja
Berdasarkan data dari Puskesmas Lau Kecamatan Lau Kabupaten Maros tahun
2018, menunjukkan bahwa jumlah anak usia 24-60 bulan di wilayah kerja Puskesmas
sebanyak 336 anak dimana terdapat 101 anak (30,0%) yang mengalami stunting
(Data Sekunder Puskesmas Lau, 2018). Dari data diatas, diperoleh bahwa prevalensi
stunting masih cukup tinggi di Puskesmas Lau. Oleh karena itu perlu dilakukan
pada Anak Usia 24-60 Bulan di Wilayah Kerja UPT Puskesmas Lau Kecamatan Lau
Kabupaten Maros.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:
“Apakah ada hubungan pola pemberian makanan dengan kejadian stunting pada anak
usia 24-60 bulan di Wilayah Kerja UPT Puskesmas Lau Kecamatan Lau Kabupaten
Maros?”.
C. Tujuan Penelitian
pada anak usia 24-60 bulan di Wilayah Kerja UPT Puskesmas Lau Kecamatan Lau
Kabupaten Maros.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat teoritis
2. Manfaat praktis
3. Manfaat peneliti
menambah wawasan dalam hal ini sebagai salah satu syarat untuk memperoleh
TINJAUAN PUSTAKA
1. Definisi stunting
Stunting atau pendek merupakan kondisi gagal tumbuh pada bayi (0-11
bulan) dan anak balita (12-59 bulan) akibat dari kekurangan gizi kronis terutama
dalam 1.000 hari pertama kehidupan sehingga anak terlalu pendek untuk usianya.
Kekurangan gizi terjadi sejak bayi dalam kandungan dan pada masa awal setelah
bayi lahir, tetapi kondisi stunting baru nampak setelah anak berusia 2 tahun.
Balita dikatakan pendek jika nilai z-score-nya panjang badan menurut umur
(PB/U) atau tinggi badan menurut umur (TB/U) kurang dari -2SD/standar deviasi
(stunted) dan kurang dari -3SD (severely stunted). Balita stunted akan memiliki
tingkat kecerdasan tidak maksimal, menjadi lebih rentan terhadap penyakit dan di
2. Penyebab stunting
mengenai kesehatan dan gizi sebelum dan pada masa kehamilan serta setelah ibu
6
7
pervalensi stunting perlu dilakukan pada 1.000 hari pertama kehidupan (HPK)
dari anak balita. Peluang intervensi kunci yang terbukti efektif di antaranya
bulan. Selain berfungsi untuk mengenalkan jenis makanan baru pada bayi
MPASI juga dapat mencukupi kebutuhan gizi bayi yang tidak lagi dapat
disokong oleh ASI serta membentuk daya tahan tubuh dan perkembangan sistem
imunologis anak terhadap makanan dan minuman. Oleh karena itu, masyarakat
dan petugas kesehatan perlu memahami pentingnya ASI eksklusif dan praktik-
praktik pemberian makan bayi dan anak yang tepat serta memberikan dukungan
3. Pencegahan stunting
ditujukan dalam 1000 hari pertama kehidupan (HPK). Intervensi gizi spesifik
untuk mengatasi permasalahan gizi pada ibu hamil, ibu menyusui 0--6 bulan, ibu
menyusui 7-23 bulan, anak usia 0-6 bulan, dan anak usia 7-23 bulan.
Permasalahan gizi ini bisa diatasi ketika mereka memahami masalahnya dan
konseling gizi kepada individu dan keluarga dapat membantu untuk mengenali
masalah kesehatan terkait gizi, memahami penyebab terjadinya masalah gizi, dan
Adapun beberapa jenis-jenis dari nutrisi untuk gizi, antara lain (Suciati,
2014):
a. Karbohidrat
hidrogen dan oksigen. Misalnya; kentang, beras, pasta gandum, roti gandum
tunggal yang terdiri dari glukosa, fruktosa, dan galaktosa). Juga bisa
tidak dapat dicerna oleh tubuh dengan sedikit atau tidak menghasilkan
b. Lemak
terdiri atas gabungan gliserol dengan asam-asam lemak. Misalnya; Ikan, biji-
3) Perlindungan.
c. Protein
Protein merupakan konstituen penting pada semua sel, jenis nutrien ini
berupa struktur nutrien kompleks yang terdiri dari asam asam amino. Protein
asam amino yang kemudian akan diserap oleh usus. Misalnya; keju, yogurt,
d. Vitamin
Vitamin adalah bahan organik yang tidak dapat dibentuk oleh tubuh
2) Vitamin larut air yaitu vitamin B dan C (tidak disimpan dalam tubuh
sehingga harus disediakan lewat makanan. Misalnya; susu, sayur dan buah-
kesehatan dan kecerdasan. Oleh sebab itu, gizi menjadi salah satu penentu
11
kualitas sumber daya manusia. Status gizi yang baik pada balita perlu
mendapatkan perhatian lebih karena ketika status gizi balita buruk dapat
saja akan menurunkan produktivitas kerja. Jenis makanan dan cara pemberiannya
kelamin, aktivitas, berat badan, tinggi badan dll. Balita usia 1-5 tahun dapat
dibedakan menjadi dua, yaitu anak usia lebih satu tahun sampai tiga tahun yang
dikenal dengan “batita” dan anak usia lebih dari tiga tahun sampai lima tahun
yang dikenal dengan usia “prasekolah”. Anak dibawah lima tahun merupakan
kelompok yang menunjukan pertumbuhan badan yang pesat namun kelompok ini
dkk., 2014).
Ada beberapa faktor yang sering merupakan penyebab gangguan gizi, baik
khususnya gangguan gizi pada bayi dan balita adalah tidak sesuai jumlah gizi
yang mereka peroleh dari makanan dengan kebutuhan tubuh mereka. Beberapa
faktor yang secara tidak langsung mendorong terjadinya gangguan gizi terutama
a. Pengetahuan
pada keluarga yang berpenghasilan kurang akan tetapi juga pada keluarga
b. Persepsi
prasangka yang tidak baik terhadap bahan makanan itu. Penggunaan bahan
13
seperti genjer, daun turi, bahkan daun ubi kayu yang kaya akan zat besi,
anak untuk makan telur, ikan atau daging hanya berdasarkan kebiasaan yang
tidak ada datanya dan hanya diwarisi secara dogmatis turun temurun,
padahal anak itu sendiri sangat memerlukan bahan makanan seperti guna
menderita gangguan gizi oleh karena ibunya sedang hamil lagi atau adik
yang baru telah lahir, sehingga ibunya tidak dapat merawat secara baik.
f. Sosial ekonomi
g. Penyakit infeksi
Infeksi dapat menyebabkan anak tidak merasa lapar dan tidak mau
makan. Penyakit ini juga menghabiskan sejumlah protein dan kalori yang
1) Antropometri
pada pola pertumbuhan fisik dan proporsi jaringan tubuh seperti lemak,
Indeks Massa Tubuh. Indeks Massa Tubuh (IMT) atau Body Mass Index
15
(BMI) merupakan alat atau cara yang sederhana untuk memantau status
indeks massa tubuh orang dewasa digunakan timbangan berat badan dan
berumur di atas 18 tahun dan tidak dapat diterapkan pada bayi, anak,
3) Klinis
berhubungan dengan ketidakcukupan zat gizi. Hal ini dapat dilihat pada
jaringan epitel seperti kulit, mata, rambut dan mukosa oral atau pada
Penggunaan metode ini umumnya untuk survei klinis secara tepat (rapid
tanda-tanda klinis umum dari kekurangan salah satu atau lebih zat gizi.
4) Biokimia
macam jaringan tubuh, seperti darah, urine, tinja, dan beberapa jaringan
tubuh seperti hati dan otot. Banyak gejala klinis yang kurang spesifik,
5) Biofisik
dalam situasi tertentu seperti kejadian buta senja epidemik. Cara yang
secara tidak langsung dengan melihat jumlah dan jenis zat gizi yang
individu.
17
2) Statistik vital
3) Faktor ekologi
akan mempengaruhi interpretasi status gizi yang keliru. Masih banyak diantara
pakar yang berkecimpung dibidang gizi belum mengerti makna dari beberapa
Berat Badan menurut Umur (BB/U), Tinggi Badan menurut Umur (TB/U), dan
tersebut akan memberikan gambaran prevalensi status gizi yang berbeda, antara
dan kebutuhan zat gizi terjamin, maka berat badan berkembang mengikuti
lebih lambat dari keadaan normal. Berdasarkan karakteristik berat badan ini,
maka indeks berat badan menurut umur digunakan sebagai salah satu cara
pengukuran status gizi Mengingat karakteristik berat badan yang labil, maka
indeks BB/U lebih menggambarkan status gizi seseorang saat ini (current
nutritional status).
badan, relatif kurang sensitif terhadap masalah kekurangan gizi dalam waktu
yang pendek. Pengaruh defisiensi zat gizi terhadap tinggi badan akan
diatas, maka indeks ini menggambarkan status gizi masa lalu. Beaton dan
gambaran status gizi masa lampau, juga lebih erat kaitannya dengan status
sosial-ekonomi.
merupakan indikator yang baik untuk menilai status gizi saat kini (sekarang).
Untuk mengetahui nilai status gizi balita ini, dapat dihitung dengan rumus
Tabel 2.1
Standar Tinggi Badan Menurut Umur (TB/U) pada Anak Laki-Laki Umur
24-60 Bulan
Umur Tinggi Badan (cm)
(Bulan) -3 SD -2 SD -1 SD Median 1 SD 2 SD 3 SD
24 78,0 81,0 84,1 87,1 90,2 93,2 96,3
25 78,6 81,7 84,9 88,0 91,1 94,2 97,3
26 79,3 82,5 85,6 88,8 92,0 95,2 98,3
27 79,9 83,1 86,4 89,6 92,9 96,1 99,3
28 80,5 83,8 87,1 90,4 93,7 97,0 100,3
29 81,1 84,5 87,8 91,2 94,5 97,9 101,2
30 81,7 85,1 88,5 91,9 95,3 98,7 102,1
20
Tabel 2.2
Standar Tinggi Badan Menurut Umur (TB/U) pada Anak Perempuan Umur
24-60 Bulan
Umur Tinggi Badan (cm)
(Bulan) -3 SD -2 SD -1 SD Median 1 SD 2 SD 3 SD
24 76,0 79,3 82,5 85,7 88,9 92,2 95,4
25 76,8 80,0 83,3 86,6 89,9 93,1 96,4
21
Tabel 2.3
Kategori dan Ambang Batas Status Gizi Anak berdasarkan Indeks
Ambang batas
Indeks Kategori status gizi
(Z-score)
Berat umur (BB/U) anak Gizi buruk <-3 SD
umur 0-60 bulan Gizi kurang -3 SD sampai dengan <-2
Gizi baik -2 SD sampai dengan 2
Gizi lebih >2 SD
Tinggi badan menurut umur Sangat pendek <-3 SD
(TB/U) anak umur 0-60 Pendek -3 SD sampai dengan <-2
bulan Normal -2 SD sampai dengan 2
Tinggi >2 SD
Berat badan menurut Sangat kurus <-3 SD
panjang badan (BB/TB) Kurus -3 SD sampai dengan <-2
anak umur 0-60 bulan Normal -2 SD sampai dengan 2
Gemuk >2 SD
Sumber : (Supariasa, dkk., 2016)
1. Definisi
mengenai macam dan jumlah bahan makanan yang dimakan tiap hari oleh satu
orang dan merupakan ciri khas untuk suatu kelompok masyarakat tertentu. Pola
makan yang tidak seimbang akan menyebabkan ketidakseimbangan zat gizi yang
pola konsumsi yang tidak seimbang juga mengakibatkan zat gizi tertentu berlebih
a. Faktor ekonomi
maupun kuantitas.
mengkonsumsi makanan impor, terutama jenis siap santap (fast food), seperti
menengah ke atas.
dianggap baik ataupun tidak baik yang lambat laun akan menjadi
semua hal yang tabu masuk akal dan baik dari sisi kesehatan. Tidak sedikit
hal yang ditabukan merupakan hal yang baik jika ditinjau dari kesehatan,
salah satu contoh adalah anak balita tabu mengonsumsi ikan laut karena
pantangan terhadap makanan tertentu, yaitu balita, ibu hamil, dan ibu
menyusui.
25
c. Agama
d. Pendidikan
kebutuhan gizi. Salah satu contoh, prinsip yang di miliki seseorang dengan
e. Lingkungan
informasi yang tepat tentang makanan sehat dari para gurunya dan didukung
oleh tersediaannya kantin atau tempat jajan yang menjual makanan yang
a. Frekuensi makan
melalui alat-alat pencernaan mulai dari mulut sampai usus halus. Lama
makanan dalam lambung tergantung sifat dan jenis makanan. Jika rata-rata,
umumnya lambung kosong antara 3- 4 jam. Maka jadwal makan ini pun
makan tidak teratur mudah terserang penyakit gastritis. Pada saat sakit perut
harus diisi, tapi dibiarkan kosong, atau ditunda pengisiannya, asam lambung
Kebiasaan makan tidak teratur ini akan membuat lambung sulit untuk
b. Porsi makan
yang dikonsumsi pada tiap kali makan.Setiap orang harus makan makanan
dalam jumlah benar sebagai bahan bakar untuk semua kebutuhan tubuh. Jika
besar dapat menyebabkan refluks isi lambung, yang pada akhirnya membuat
c. Jenis makanan
dicerna, dan diserap akan menghasilkan paling sedikit susunan menu sehat
psikososial, diperlukan adanya perilaku penunjang dari para orang tua, ibu atau
seimbang kepada balitanya. Perlu diketahui bahwa yang dimaksud dengan gizi
seimbang adalah makanan yang dikonsumsi balita dalam satu hari yang beraneka
ragam dan mengandung zat tenaga, zat pembangun, dan zat pengatur sesuai
28
dengan kebutuhan tubuhnya. Keadaan ini tecermin dari derajat kesehatan dan
makanan sehari dapat dilihat pada tabel di bawah ini (Adriani & Wirjatmadi,
2016):
Tabel 2.4
Takaran Konsumsi Makan Balita dalam Sehari
Kelompok
Bentuk makanan Frekuensi makan
umur
0-4 bulan ASI Eksklusif Sesering mungkin
4-6 bulan Makanan lumat 2x sehari
2 sendok makan setiap hari
6-12 bulan Makanan lembek 3x sehari
Plus 2x makanan selingan
1-3 tahun Makanan keluarga 3x sehari
1-1½ piring nasi/pengganti
2-3 potong lauk hewani
1-2 potong lauk nabati
½ mangkok sayur
2-3 potong buah-buahan
1 gelas susu
4-6 tahun 1-3 piring nasi/pengganti 3x sehari
2-3 potong lauk hewani
1-2 potong lauk nabati
1-1½ mangkok sayur
2-3 potong buah-buahan
1-2 gelas susu
Sumber: Depkes RI. (2000) dalam Adriani & Wirjatmadi (2016)
Akibat dari kesulitan makan jelas akan berpengaruh terhadap keadaan gizi
seorang anak. Sehingga perlu ada upaya untuk mengatasi kesulitan makan ini.
lainnya. Adapun karektiristik pola makan balita yaitu sukar untuk makan, nafsu
29
makan sering berubah-ubah, cepat bosan untuk makan sambil duduk perlu
makanan yang beragam dan bernutrisi baik serta pola makan yang teratur.
Salah satu yang menjadi penyebab langsung dari kejadian stunting adalah
asupan. Asupan sendiri sangat ditentukan oleh pola pemberian makan kepada bayi,
meskipun bahan makanan tersedia dalam jumlah yang cukup, namun pola
pemberian makan yang salah dapat menyebabkan kurangnya asupan zat gizi yang
diterima oleh balita. Pola asuh pemberiaan makan pada bayi yang tidak kreatif dan
variatif adalah hal penting yang perlu diperhatikan ibu agar kebutuhan zat gizi
anaknya terpenuhi. Faktor lain yang juga menjadi penyebab langsung masalah gizi
stunting, yaitu penyakit infeksi. Asupan dan penyakit infeksi adalah dua hal yang
memiliki keterkaitan satu sama lain yang perlu diperhatikan khusus agar tidak
Asupan zat gizi yang kurang baik asupan zat gizi makro maupun asupan zat
gizi mikro memberi dampak yang lambat laun dapat menghambat tumbuh-
kembang balita. Zat gizi makro yang paling sering menjadi penyebab
30
terhambatnya pertumbuhan adalah protein. Protein merupakan zat gizi makro yang
berperan dalam berbagai porses metabolisme zat gzi lainnya terutama membantu
penyerapan zat gizi mikro yang menunjang pada pertumbuhan dan perkembangan
fisik bayi. Sedangkan zat gizi mikro yang sangat berpengaruh pada kejadian
stunting menurut penelitian yeng telah dilakukan adalah zink, zat besi dan asam
folat. Hal ini mempengaruhi perkembangan kognitif pada balita (Loya &
Nuryanto, 2017).
C. Kerangka Teori
Status Gizi
kelembagaan
Sumber daya,
linkungan, tekologi,
penduduk
Gambar 2.1 : Kerangka Teori Penelitian
BAB III
KERANGKA KONSEP
kurangnya asupan zat gizi dalam jangka waktu yang lama. Menurut WHO Child
Growth Standart stunting didasarkan pada indeks panjang badan dibanding umur
(PB/U) atau tinggi badan dibanding umur (TB/U) dengan batas (z-score) kurang dari
-2 SD.
macam dan jumlah bahan makanan yang dimakan tiap hari oleh satu orang dan
merupakan ciri khas untuk suatu kelompok masyarakat tertentu. Pola makan yang
tidak seimbang akan menyebabkan ketidakseimbangan zat gizi yang masuk ke dalam
tidak seimbang juga mengakibatkan zat gizi tertentu berlebih dan menyebabkan
terjadinya gizi lebih. Asupan gizi yang seimbang bagi balita itu sangat perlu. Tidak
baik jika asupan gizinya kurang ataupun berlebih maka perlu untuk
Kejadian stunting
Pola pemberian makan pada anak usia 24-60
bulan
31
32
Keterangan :
: Variabel independen
: Variabel dependen
C. Identifikasi Variabel
Variabel dalam suatu penelitian adalah komponen atau faktor yang berkaitan
satu sama lainnya dan telah inventarisasi dari dulu dalam variabel penelitian
(Setiawan & Prasetyo, 2015). Variabel dalam penelitian ini mengunakan variabel
lain yang dapat mempengaruhi variabel bebas dan terikat, seperti variabel
Kejadian stunting pada anak usia 24-60 bulan yang dimaksud dalam
penelitian ini adalah penilaian status gizi secara langsung pada anak dengan
33
Kriteria objektif :
Pola pemberian makan dalam penelitian adalah jenis bahan makanan yang
dimakan dalam satu hari yang dilihat dari frekuensi makan, porsi makan dan
= 15
Kriteria Objektif :
E. Hipotesis Penelitian
Adapun hipotesis alternatif dalam penelitian ini adalah ada hubungan pola
pemberian makanan dengan kejadian stunting pada anak usia 24-60 bulan di Wilayah
METODE PENELITIAN
cross sectional study yaitu suatu penelitian yang mempelajari dinamika korelasi
antara faktor-faktor resiko dengan efek, dengan cara pendekatan, observasi atau
pengumpulan data sekaligus pada suatu saat (point time approach) (Notoatmodjo,
2014).
1. Lokasi
2. Waktu
Januari 2019.
1. Populasi
Populasi dalam penelitian ini adalah semua anak usia 24-60 bulan yang
Maros sebanyak 336 anak, dimana terdapat 142 anak yang berjenis kelamin laki-
34
35
2. Sampel
Sampel dalam penelitian ini adalah anak usia 24-60 bulan yang berdomisili
a. Besar sampel
𝑁
n=
1 + 𝑁 (𝑑)2
Keterangan :
n : Jumlah sampel
N : Jumlah populasi
336
n=
1 + 336 (0,1)2
336
n=
4,36
n = 77
c. Kriteria sampel
1) Kriteria inklusi
c) Anak yang memiliki orang tua yang bisa membaca dan menulis.
2) Kriteria esklusi
1. Data primer
Data primer disebut juga data tangan pertama. Data primer diperoleh
langsung dari subjek penelitian dengan mengenakan alat pengukuran atau alat
2. Data sekunder
Data sekunder adalah data yang diperoleh lewat pihak lain, tidak langsung
diperoleh dari buku register UPT Puskesmas Lau Kecamatan Lau Kabupaten
Maros.
37
1. Pengolahan data
a. Editing
melalui kuesioner perlu disunting (edit) terlebih dahulu. Kalau tenyata masih
ada data atau informasi yang tidak lengkap dan tidak mungkin dilakukan
merekam data secara manual. Lembaran atau kartu kode berisi nomor
Yakni mengisi kolom atau kotak lembar atau kartu kode sesuai dengan
d. Tabulasi
2. Analisa data
a. Analisa univariat
(Notoatmodjo, 2014).
b. Analisis bivariat
F. Pengujian Hipotesis
Uji statistik yang digunakan dalam penelitian ini adalah uji Chi-square, karena
Batas kemaknaan yang digunakan adalah 0,05. Apabila syarat uji Chi-square tidak
terpenuhi untuk melihat trend, maka uji altenatif yang digunakan adalah uji Mann-
1. Bila p value ≤ nilai α (0,05), maka H0 ditolak dan Ha diterima, interpretasi ada
2. Bila p value > nilai α (0,05), maka Ha ditolak dan H0 diterima, interpretasi tidak
G. Etika Penelitian
dalam hal ini Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan (STIKES) Nani Hasanuddin Makassar
39
dengan mengajukan permohonan izin kepada instansi atau lembaga tempat penelitian.
masalah etika. Masalah etika yang harus diperhatikan antara lain seperti berikut
(Nursalam, 2016):
1. Prinsip manfaat
adanya sangsi apa pun atau akan berakibat terhadap kesembuhannya, jika
b. Hak untuk mendapatkan jaminan dari perlakuan yang diberikan (right to full
disclosure)
bertanggung jawab jika ada sesuatu yang terjadi kepada subjek penelitian.
c. Informed consent
pengembangan ilmu.
harus dirahasiakan, untuk itu perlu adanya tanpa nama (anonymity) dan
rahasia (confidentiality).
BAB V
A. Hasil Penelitian
Desember 2019. Populasi dalam penelitian ini adalah semua anak usia 24-60 bulan
yang berdomisili di Wilayah Kerja UPT Puskesmas Lau Kecamatan Lau Kabupaten
Maros sebanyak 336 anak, dimana terdapat 142 anak yang berjenis kelamin laki-laki
dan 194 berjenis kelamin perempuan. Berdasarkan data dari UPT Puskesmas Lau
Kecamatan Lau Kabupaten Maros diperoleh 77 sampel untuk dilakukan analisa data.
1. Karakteristik responden
pemberian makanan dengan kejadian stunting pada anak usia 24-60 bulan di
Wilayah Kerja UPT Puskesmas Lau Kecamatan Lau Kabupaten Maros, maka
a. Umur
Tabel 5.1
Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Umur di Wilayah Kerja
UPT Puskesmas Lau Kecamatan Lau Kabupaten Maros
Umur Frekuensi (n) Persentase (%)
26-35 tahun 40 51,9
36-45 tahun 35 45,5
46-55 tahun 2 2,6
Total 77 100
41
42
yang berumur 36-45 tahun dan 2 responden (2,6%) yang berumur 46-55
tahun.
b. Pendidikan
Tabel 5.2
Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Pendidikan di Wilayah
Kerja UPT Puskesmas Lau Kecamatan Lau Kabupaten Maros
Pendidikan Frekuensi (n) Persentase (%)
SD 29 37,7
SMP 19 24,7
SMA 21 27,3
S1 8 10,3
Total 77 100
c. Pekerjaan
Tabel 5.3
Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Pekerjaan di Wilayah
Kerja UPT Puskesmas Lau Kecamatan Lau Kabupaten Maros
Pekerjaan Frekuensi (n) Persentase (%)
IRT 61 79,2
PNS 3 3,9
Pegawai swasta 8 10,4
Wiraswasta 5 6,5
Total 77 100
43
d. Umur anak
Tabel 5.4
Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Umur Anak di Wilayah
Kerja UPT Puskesmas Lau Kecamatan Lau Kabupaten Maros
Umur anak Frekuensi (n) Persentase (%)
24-35 bulan 24 31,1
36-47 bulan 31 40,3
48-60 bulan 22 28,6
Total 77 100
(40,3%) yang anaknya berumur 36-47 bulan dan 22 responden (28,6%) yang
Tabel 5.5
Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin Anak di
Wilayah Kerja UPT Puskesmas Lau Kecamatan Lau
Kabupaten Maros
Jenis kelamin anak Frekuensi (n) Persentase (%)
Laki-laki 35 45,5
Perempuan 42 53,2
Total 77 100
44
2. Analisis univariat
Tabel 5.6
Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Pola Pemberian Makan
di Wilayah Kerja UPT Puskesmas Lau Kecamatan Lau
Kabupaten Maros
Pola pemberian makan Frekuensi (n) Persentase (%)
Baik 36 46,8
Kurang 41 53,2
Total 77 100
b. Kejadian stunting
Tabel 5.7
Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Kejadian Stunting pada
Anak Usia 24-60 Bulan di Wilayah Kerja UPT Puskesmas Lau
Kecamatan Lau Kabupaten Maros
Kejadian stunting Frekuensi (n) Persentase (%)
Tidak stunting 33 42,9
Stunting 44 57,1
Total 77 100
3. Analisis bivariat
stunting pada anak usia 24-60 bulan di Wilayah Kerja UPT Puskesmas Lau
Tabel 5.8
Hubungan Pola Pemberian Makanan dengan Kejadian Stunting pada Anak
Usia 24-60 Bulan di Wilayah Kerja UPT Puskesmas Lau Kecamatan Lau
Kabupaten Maros
Kejadian stunting
Pola pemberian Tidak Total
Stunting p
makan stunting
n % n % n %
Baik 21 58,6 15 41,7 36 100
Kurang 12 29,3 29 70,7 41 100 0,019
Total 33 42,9 44 57,1 77 100
Hasil uji statistik dengan Chi-square diperoleh nilai p=0,019. Karena nilai
p<α = 0,05, maka hipotesis nol ditolak dan hipotesis alternatif diterima.
pada anak usia 24-60 bulan di Wilayah Kerja UPT Puskesmas Lau Kecamatan
B. Pembahasan
Lau Kecamatan Lau Kabupaten Maros didapatkan 21 responden yang pola pemberian
makannya baik dan anaknya tidak mengalami stunting. Hal ini dapat dipengaruhi oleh
pendidikan ibu yang sebagian besar SMA dan S1. Pendidikan turut mempengaruhi
ibu dalam melakukan pemberian makan pada anak. Ibu yang memiliki pendidikan
yang tinggi akan mempengaruhi respon ibu terhadap sesuatu, baik dari dalam maupun
dari luar. Pendidikan ibu yang tergolong tinggi akan membuat ibu lebih rasional
dalam berfikir dan lebih mudah menerima informasi terkait pemberian makanan yang
baik pada anak, sehingga dapat berdampak pada status gizi anak. Dalam penelitian ini
terdapat pula 15 responden yang pola pemberian makannya baik tetapi anaknya
mengalami stunting. Hal ini dapat disebabkan karena anak selalu berikan makan
dengan porsi yang berbeda setiap harinya dan tidak mengatur jam makan pada anak.
Dengan tidak seimbangnya porsi makan yang masuk setiap harinya dapat berdampak
pada gangguan gizi khususnya gangguan gizi pada balita karena jumlah gizi yang
kurang tetapi yang anaknya tidak mengalami stunting. Hal ini dapat dipengaruhi oleh
makanan yang ibu berikan pada anak memiliki tekstur yang bervariasi, seperti halus
atau tidak, cair atau padat, keras atau lembut, dan kering atau lembab. Dalam
47
anaknya mengalami stunting. Hal ini dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor infeksi
virus atau penyakit. Infeksi dapat menyebabkan anak tidak merasa lapar dan tidak
mau makan. Penyakit ini juga menghabiskan sejumlah protein dan kalori yang
Hasil uji statistik dengan Chi-square diperoleh nilai p=0,019. Karena nilai p<α
= 0,05, maka hipotesis nol ditolak dan hipotesis alternatif diterima. Interpretasi ada
hubungan pola pemberian makanan dengan kejadian stunting pada anak usia 24-60
bulan di Wilayah Kerja UPT Puskesmas Lau Kecamatan Lau Kabupaten Maros.
Adanya hubungan dalam penelitian ini karena responden yang pola pemberian
makannya baik lebih cenderung anaknya tidak mengalami stunting, begitu pula
mengalami stunting.
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang telah dilakukan oleh
Nabuasa, dkk (2013), menunjukkan bahwa ada hubungan antara pola makan dengan
kejadian stunting pada anak. Perilaku yang salah dalam memilih dan memberikan
makanan pada balita merupakan faktor yang menyebabkan gizi kurang dan stunting.
Pola makan dua kali sehari menjadi permasalahan karena makanan yang dimakan
terdapat hubungan pola pemberian makan dengan stunting pada balita usia 36- 59
bulan. Selama ini yang terjadi di masyarakat ibu kurang memperhatikan pola
48
pemberian makan balitanya, di mana jumlah, jenis, dan frekuensi makan kurang
diperhatikan dan tidak mengetahui kebutuhan makan yang seharusnya dicukupi untuk
balitanya. Secara garis besar masalah gizi disebabkan karena tidak tersedianya
makanan, anak yang tidak mendapatkan makanan bergizi seimbang dan pola asuh
yang salah.
Stunting atau pendek merupakan kondisi gagal tumbuh pada bayi (0-11 bulan)
dan anak balita (12-59 bulan) akibat dari kekurangan gizi kronis terutama dalam
1.000 hari pertama kehidupan sehingga anak terlalu pendek untuk usianya. Balita
stunted akan memiliki tingkat kecerdasan tidak maksimal, menjadi lebih rentan
Salah satu yang menjadi penyebab langsung dari kejadian stunting adalah
asupan. Asupan sendiri sangat ditentukan oleh pola pemberian makan kepada bayi,
meskipun bahan makanan tersedia dalam jumlah yang cukup, namun pola pemberian
makan yang salah dapat menyebabkan kurangnya asupan zat gizi yang diterima oleh
balita. Pola asuh pemberiaan makan pada bayi yang tidak kreatif dan variatif adalah
hal penting yang perlu diperhatikan ibu agar kebutuhan zat gizi anaknya terpenuhi.
Faktor lain yang juga menjadi penyebab langsung masalah gizi stunting, yaitu
penyakit infeksi. Asupan dan penyakit infeksi adalah dua hal yang memiliki
keterkaitan satu sama lain yang perlu diperhatikan khusus agar tidak terjadi masalah
dengan kejadian stunting pada anak, karena pola pemberian makan pada anak yang
baik lebih cenderung anaknya tidak mengalami stunting. Jadi semakin baik pola
makan anak maka semakin baik pula status gizi pada anak, tetapi asupan nutrisi pada
makanan harus diperhatikan karena turut mempengaruhi status gizi pada anak. Dalam
PENUTUP
A. Kesimpulan
kesimpulan bahwa ada hubungan pola pemberian makanan dengan kejadian stunting
pada anak usia 24-60 bulan di Wilayah Kerja UPT Puskesmas Lau Kecamatan Lau
Kabupaten Maros.
B. Saran
1. Bagi ibu
pengelolahan makanan yang baik agar kandungan zat gizi yang terdapat pada
bahan makanan tidak hilang serta memperhatikan pola pemberian makan pada
2. Bagi puskesmas
sehingga dapat mencukupi kebutuhan gizi pada anak usia 24-60 bulan.
berhubungan kejadian stunting pada anak usia 24-60 bulan secara luas dengan
50
51
Adriani, M., & Wirjatmadi, B. (2016). Peranan Gizi dalam Siklus Kehidupan.
Jakarta: Kencana.
Dinkes Kab. Maros. (2017). Profil Kesehatan Kabupaten Maros Tahun 2016. Maros:
Dinas Kesehatan Kabupaten Maros.
Dinkes Sulsel. (2017). Profil Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Selatan Tahun
2017. Makassar: Dinas Kesehatan Sulawesi Selatan.
Hasdianah, Siyoto, S., & Peristyowati, Y. (2014). Gizi, Pemantapan Gizi, Diet dan
Obesitas. Yogyakarta: Nuha Medika.
Kementerian Kesehatan RI. (2018). Hasil Utama Riskesdas 2018. Jakarta: Badan
Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI.
Loya, R. R., & Nuryanto. (2017). Pola Asuh Pemberian Makan pada Balita Stunting
Usia 6-12 Bulan di Kabupaten Sumba Tengah Nusa Tenggara Timur.
Journal of Nutrition College, Volume 6, Nomor 1.
Nabuasa, C. D., Juffrie, M., & Huriyati, E. (2013). Riwayat Pola Asuh, Pola Makan,
Asupan Zat Gizi Berhubungan dengan Stunting pada Anak 24–59 Bulan di
Biboki Utara, Timor Tengah Utara, Nusa Tenggara Timur. Jurnal Gizi dan
Diabetik Indonesia, Vol. 1, No. 3.
Notoatmodjo, S. (2014). Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: PT. Rineka
Cipta.
Nursalam. (2016). Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan: Pendekatan Praktis.
Jakarta: Salemba Medika.
Rahmad, A. H., & Miko, A. (2016). Kajian Stunting pada Anak Balita Berdasarkan
Pola Asuh dan Pendapatan Keluarga di Kota Banda Aceh. Jurnal Kesmas
Indonesia, Volume 8 No 2.
Ramayulis, R., Kresnawan, T., Iwaningsih, S., & Rochani, N. S. (2018). Stop
Stunting dengan Konseling Gizi. Jakarta: Penebar Plus.
Setiawan, D., & Prasetyo, H. (2015). Metodologi Penelitian Kesehatan Untuk
Mahasiswa Kesehatan. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Suciati, D. K. (2014). Ilmu Keperawatan Dasar (IKD). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Sulistyoningsih, H. (2014). Gizi untuk Kesehatan Ibu dan Anak. Yogyakarta: Graha
Ilmu.
Supariasa, I. N., Bakri, B., & Fajar, I. (2016). Penilaian Status Gizi. Jakarta: EGC.
WHO. (2018). Reducing Stunting in Children: Equity Considerations for Achieving
The Global Nutrition Targets 2025. Geneva 27, Switzerland: Department of
Nutrition for Health and Development.
Yati, D. Y. (2018). Hubungan Pola Pemberian Makan dengan Stunting pada Balita
Usia 36- 59 Bulan di Desa Mulo dan Wunung di Wilayah Kerja Puskesmas
Wonosari I. Naskah Publikasi Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas
‘Aisyiyah Yogyakarta.