Anda di halaman 1dari 53

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Status gizi didefinisikan sebagai suatu keadaan nyata dari gizi seseorang

individu. Seseorang dikatakan memiliki status gizi yang baik jika dia tidak

menunjukkan bukti kekurangan gizi, baik bersifat akut maupun kronis. Gizi

merupakan salah satu faktor penting yang menentukan tingkat kesehatan dan

kesejahteraan manusia. Gizi yang baik jika terdapat keseimbangan dan keserasian

antara perkembangan fisik dan perkembangan mental orang tersebut. Terdapat kaitan

yang sangat erat antara status gizi dan konsumsi makanan. Tingkat status gizi optimal

akan tercapai apabila kebutuhan zat gizi optimal terpenuhi (Rahmad & Miko, 2016).

Berdasarkan data dari World Health Organization (WHO), pada tahun 2016, 87

juta anak-anak kerdil hidup di Asia, 59 juta di Afrika dan 6 juta di wilayah Amerika

Latin dan Karibia. Lima subregion memiliki laju pertumbuhan anak yang melebihi

30% seperti Afrika bagian barat (31,4%), Afrika tengah (32,5%), Afrika bagian timur

(36,7%), Asia bagian selatan (34,1%) dan Oseania (38,3%) tidak termasuk Australia

dan Selandia Baru. Baik Asia dan Oseania mengalami lambat atau tidak ada

kemajuan dalam mengurangi pengerdilan anak. Di Amerika Latin dan Karibia,

stunting telah menurun dua kali lebih cepat daripada di Afrika dari tahun 2000 hingga

2016 (WHO, 2018).

1
2

Berdasarkan data dari Riskesdas, menunjukkan bahwa jumlah balita yang

stunting mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Persentase balita sangat pendek

pada tahun 2007 sebesar 18,8% dan pendek sebesar 18,0%, tahun 2013 sangat pendek

sebesar 18,0% dan pendek sebesar 19,2%, dan pada tahun 2018 sangat pendek

sebesar 11,5% dan pendek sebesar 19,3%. Provinsi dengan persentase balita pendek

dan sangat pendek terbanyak di Nusa Tenggara Timur sebesar 42,6% dan terendah di

DKI Jakarta sebesar 17,7% (Kementerian Kesehatan RI, 2018).

Berdasarkan data Profil Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Selatan (2016),

menunjukkan Kabupaten/Kota yang paling tinggi (17-23) kasus gizi buruk yaitu Kab.

Toraja Utara, Kab. Wajo, Kab. Takalar, dan Kab. Soppeng adapun Kabupaten

terendah (0-2) yaitu Kabupaten Bulukumba, Kabupaten Bantaeng, Kabupaten

Takalar, Kabupaten Gowa, Kabupaten Pangkep, Kabupaten Sinjai, Kabupaten Luwu

Utara dan Kabupaten Luwu Timur (Dinkes Sulsel, 2017).

Berdasarkan data dari Dinas Kesehatan Kabuapaten Maros, menunjukkan

bahwa jumlah balita yang berada di Kabupaten Maros pada tahun 2016 sebanyak

49.670 balita, dimana terdapat 7 balita yang mengalami gizi buruk dan semuanya

telah mendapat perawatan (Dinkes Kab. Maros, 2017).

Stunting merupakan gambaran terhambatnya pertumbuhan sebagai akibat dari

kurangnya asupan zat gizi dalam jangka waktu yang lama. Status kesehatan bayi

kaitannya dengan pola makan. Salah satu yang menjadi penyebab langsung dari

kejadian stunting adalah asupan. Asupan sendiri sangat ditentukan oleh pola

pemberian makan kepada bayi, meskipun bahan makanan tersedia dalam jumlah yang
3

cukup, namun pola pemberian makan yang salah dapat menyebabkan kurangnya

asupan zat gizi yang diterima oleh balita. Pola asuh pemberiaan makan pada bayi

yang tidak kreatif dan variatif adalah hal penting yang perlu diperhatikan ibu agar

kebutuhan zat gizi anaknya terpenuhi. Faktor lain yang juga menjadi penyebab

langsung masalah gizi stunting, yaitu penyakit infeksi. Asupan dan penyakit infeksi

adalah dua hal yang memiliki keterkaitan satu sama lain yang perlu diperhatikan

khusus agar tidak terjadi masalah gizi lainnya (Loya & Nuryanto, 2017).

Hasil penelitian Nabuasa, dkk (2013), mengemukakan bahwa ada hubungan

antara pola makan dengan kejadian stunting pada anak dengan nilai OR atau kekuatan

hubungan sebesar 3,16. Hasil penelitian menunjukkan pola makan termasuk dalam

kategori kurang (55,9%) berdasarkan hasil recall 4 x 24 jam. Perilaku yang salah

dalam memilih dan memberikan makanan pada balita merupakan faktor yang

menyebabkan gizi kurang dan stunting. Pola makan dua kali sehari menjadi

permasalahan karena makanan yang dimakan hanya jagung/nasi dengan sayur saja

atau dengan ikan saja.

Berdasarkan data dari Puskesmas Lau Kecamatan Lau Kabupaten Maros tahun

2018, menunjukkan bahwa jumlah anak usia 24-60 bulan di wilayah kerja Puskesmas

sebanyak 336 anak dimana terdapat 101 anak (30,0%) yang mengalami stunting

(Data Sekunder Puskesmas Lau, 2018). Dari data diatas, diperoleh bahwa prevalensi

stunting masih cukup tinggi di Puskesmas Lau. Oleh karena itu perlu dilakukan

penanganan yang serius terkait masalah ini.


4

Berdasarkan uraian tersebut, maka peneliti merasa tertarik untuk melakukan

penelitian tentang Hubungan Pola Pemberian Makanan dengan Kejadian Stunting

pada Anak Usia 24-60 Bulan di Wilayah Kerja UPT Puskesmas Lau Kecamatan Lau

Kabupaten Maros.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:

“Apakah ada hubungan pola pemberian makanan dengan kejadian stunting pada anak

usia 24-60 bulan di Wilayah Kerja UPT Puskesmas Lau Kecamatan Lau Kabupaten

Maros?”.

C. Tujuan Penelitian

Diketahuinya hubungan pola pemberian makanan dengan kejadian stunting

pada anak usia 24-60 bulan di Wilayah Kerja UPT Puskesmas Lau Kecamatan Lau

Kabupaten Maros.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat mengembangkan ilmu keperawatan terkait

dengan Keperawatan Anak khususnya hubungan pola pemberian makanan

dengan kejadian stunting pada anak usia 24-60 bulan.

2. Manfaat praktis

Manfaat bagi peneliti adalah sebagai pengalaman berharga dan bermanfaat

dalam menambah serta meningkatkan ilmu pengetahuan khususnya berhubungan

dengan kejadian stunting pada anak usia 24-60 bulan.


5

3. Manfaat peneliti

Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi peneliti terutama untuk

menambah wawasan dalam hal ini sebagai salah satu syarat untuk memperoleh

galar Sarjana Keperawatan (S.Kep) di STIKES Nani Hasanuddin Makassar.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan tentang Kejadian Stunting

1. Definisi stunting

Stunting atau pendek merupakan kondisi gagal tumbuh pada bayi (0-11

bulan) dan anak balita (12-59 bulan) akibat dari kekurangan gizi kronis terutama

dalam 1.000 hari pertama kehidupan sehingga anak terlalu pendek untuk usianya.

Kekurangan gizi terjadi sejak bayi dalam kandungan dan pada masa awal setelah

bayi lahir, tetapi kondisi stunting baru nampak setelah anak berusia 2 tahun.

Balita dikatakan pendek jika nilai z-score-nya panjang badan menurut umur

(PB/U) atau tinggi badan menurut umur (TB/U) kurang dari -2SD/standar deviasi

(stunted) dan kurang dari -3SD (severely stunted). Balita stunted akan memiliki

tingkat kecerdasan tidak maksimal, menjadi lebih rentan terhadap penyakit dan di

masa depan dapat berisiko menurunnya tingkat produktivitas, pada akhirnya

stunting akan dapat menghambat pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan

kemiskinan (Ramayulis, dkk., 2018).

2. Penyebab stunting

Stunting disebabkan oleh faktor multidimensi, diantaranya praktik

pengasuhan gizi yang kurang baik, termasuk kurangnya pengetahuan ibu

mengenai kesehatan dan gizi sebelum dan pada masa kehamilan serta setelah ibu

melahirkan. Intervensi yang paling menentukan untuk dapat mengurangi

6
7

pervalensi stunting perlu dilakukan pada 1.000 hari pertama kehidupan (HPK)

dari anak balita. Peluang intervensi kunci yang terbukti efektif di antaranya

adalah intervensi yang terkait praktik-praktik pemberian makanan anak dan

pemenuhan gizi ibu (Ramayulis, dkk., 2018).

MPASI diberikan atau mulai diperkenalkan ketika balita berusia di atas 6

bulan. Selain berfungsi untuk mengenalkan jenis makanan baru pada bayi

MPASI juga dapat mencukupi kebutuhan gizi bayi yang tidak lagi dapat

disokong oleh ASI serta membentuk daya tahan tubuh dan perkembangan sistem

imunologis anak terhadap makanan dan minuman. Oleh karena itu, masyarakat

dan petugas kesehatan perlu memahami pentingnya ASI eksklusif dan praktik-

praktik pemberian makan bayi dan anak yang tepat serta memberikan dukungan

kepada para ibu (Ramayulis, dkk., 2018).

3. Pencegahan stunting

Pencegahan stunting dilakukan melalui intervensi gizi spesifik yang

ditujukan dalam 1000 hari pertama kehidupan (HPK). Intervensi gizi spesifik

untuk mengatasi permasalahan gizi pada ibu hamil, ibu menyusui 0--6 bulan, ibu

menyusui 7-23 bulan, anak usia 0-6 bulan, dan anak usia 7-23 bulan.

Permasalahan gizi ini bisa diatasi ketika mereka memahami masalahnya dan

mengetahui cara mengatasinya sesuai dengan kondisi masing-masing. Pemberian

konseling gizi kepada individu dan keluarga dapat membantu untuk mengenali

masalah kesehatan terkait gizi, memahami penyebab terjadinya masalah gizi, dan

membantu individu serta keluarga memecahkan masalahnya sehingga terjadi


8

perubahan perilaku untuk dapat menerapkan perubahan perilaku makan yang

telah disepakati bersama (Ramayulis, dkk., 2018).

4. Jenis-jenis nutrisi status gizi

Adapun beberapa jenis-jenis dari nutrisi untuk gizi, antara lain (Suciati,

2014):

a. Karbohidrat

Karbohidrat adalah komposisi yang terdiri dari elemen karbon,

hidrogen dan oksigen. Misalnya; kentang, beras, pasta gandum, roti gandum

dan oatmeal. Karbohidrat dibagi atas (Suciati, 2014):

1) Karbohidrat sederhana (gula) bisa berupa monosakarida (molekul

tunggal yang terdiri dari glukosa, fruktosa, dan galaktosa). Juga bisa

berupa disakarida (molekul ganda) contoh sukrosa (glukosa fruktosa),

maltosa (glukosa glukosa), laktosa (glukosa + galaktosa).

2) Karbohidrat kompleks (amilum) adalah polisakarida karena disusun

banyak molekul glukosa.

3) Serat adalah jenis karbohidrat yang diperoleh dari tumbuh-tumbuhan,

tidak dapat dicerna oleh tubuh dengan sedikit atau tidak menghasilkan

kalori tetapi dapat meningkatkan volume feces.

b. Lemak

Lemak merupakan sumber energi yang dipadatkan. Lemak dan minyak

terdiri atas gabungan gliserol dengan asam-asam lemak. Misalnya; Ikan, biji-

bijian, kacang-kacangan, bayam dan kubis. Fungsi lemak (Suciati, 2014):


9

1) Sebagai sumber energi, merupakan sumber energi yang dipadatkan

dengan memberikan 9 kal gr.

2) Ikut serta membangun jaringan tubuh.

3) Perlindungan.

4) Penyekatan/isolasi, lemak akan mencegah kehilangan panas dari tubuh.

5) Perasaan kenyang, lemak dapat menunda waktu pengosongan lambung

dan mencegah timbul rasa lapar kembali segera setelah makan.

6) Vitamin larut dalam lemak.

c. Protein

Protein merupakan konstituen penting pada semua sel, jenis nutrien ini

berupa struktur nutrien kompleks yang terdiri dari asam asam amino. Protein

akan dihidrolisis oleh enzim-enzim proteolitik. Untuk melepaskan asam-

asam amino yang kemudian akan diserap oleh usus. Misalnya; keju, yogurt,

susu, dan daging. Fungsi protein (Suciati, 2014):

1) Protein menggantikan protein yang hilang selama proses metabolisme

yang normal dan proses pengausan yang normal.

2) Protein menghasilkan jaringan baru.

3) Protein diperlukan dalam pembuatan protein-protein yang baru dengan

fungsi khusus dalam tubuh yaitu enzim, hormon dan haemoglobin.

4) Protein sebagai sumber energi.


10

d. Vitamin

Vitamin adalah bahan organik yang tidak dapat dibentuk oleh tubuh

dan berfungsi sebagai katalisator proses metabolisme tubuh. Misalnya; sayur

dan buah-buahan. Ada 2 jenis vitamin (Suciati, 2014):

1) Vitamin larut lemak yaitu vitamin A, D, E, K.

2) Vitamin larut air yaitu vitamin B dan C (tidak disimpan dalam tubuh

jadi harus ada didalam diet setiap harinya).

e. Mineral dan air

Mineral merupakan unsure esensial normal sebagian enzim, dan

sangat penting dalam pengendalian sistem cairan tubuh. Mineral merupakan

konstituen esensial pada jaringan lunak, cairan dan rangka. Rangka

mengandung sebagian besar mineral. Tubuh tidak dapat mensintesis

sehingga harus disediakan lewat makanan. Misalnya; susu, sayur dan buah-

buahan. Tiga fungsi mineral (Suciati, 2014):

1) Konstituen tulang dan gigi contoh calsium, magnesium fosfor.

2) Pembentukan garam-garam yang larut dan mengendalikan komposisi

cairan tubuh. Contoh N Cl (ekstraseluler), K, Mg, P (intraseluler).

3) Bahan dasar enzim dan protein.

5. Manfaat gizi pada balita

Gizi menjadi bagian sangat penting dalam pertumbuhan dan

perkembangan. Gizi didalamnya memiliki keterkaitan yang erat dengan

kesehatan dan kecerdasan. Oleh sebab itu, gizi menjadi salah satu penentu
11

kualitas sumber daya manusia. Status gizi yang baik pada balita perlu

mendapatkan perhatian lebih karena ketika status gizi balita buruk dapat

menghambat pertumbuhan fisik, mental maupun kemampuan berfikir dan tentu

saja akan menurunkan produktivitas kerja. Jenis makanan dan cara pemberiannya

pun perlu sesuai dengan keadaaan pertumbuhan badan dan perkembangan

kecerdasanya. Sehingga, akan diperoleh gizi yang seimbang untuk balita

(Hasdianah, dkk., 2014).

Pada dasarnya, kebutuhan kalori manusia bervariasi sesuai usia, jenis

kelamin, aktivitas, berat badan, tinggi badan dll. Balita usia 1-5 tahun dapat

dibedakan menjadi dua, yaitu anak usia lebih satu tahun sampai tiga tahun yang

dikenal dengan “batita” dan anak usia lebih dari tiga tahun sampai lima tahun

yang dikenal dengan usia “prasekolah”. Anak dibawah lima tahun merupakan

kelompok yang menunjukan pertumbuhan badan yang pesat namun kelompok ini

merupakan kelompok tersering yang menderita kekurangan gizi (Hasdianah,

dkk., 2014).

Melaksanakan pemberian makanan sebaik-baiknya pada balita bertujuan

sebagai berikut (Hasdianah, dkk., 2014):

a. Memberikan nutrisi yang cukup untuk kebutuhan, memelihara kesehatan dan

memulihkannya jika sakit, melaksanakan berbagai jenis aktivitas,

pertumbuhan dan perkembangan fisik serta mental.

b. Mendidik kebiasaan yang baik tentang memakan, menyukai dan menentukan

makanan yang diperlukan.


12

6. Faktor-faktor yang mempengaruhi status gizi balita

Ada beberapa faktor yang sering merupakan penyebab gangguan gizi, baik

langsung maupun tidak langsung. Sebagai penyebab langsung gangguan gizi

khususnya gangguan gizi pada bayi dan balita adalah tidak sesuai jumlah gizi

yang mereka peroleh dari makanan dengan kebutuhan tubuh mereka. Beberapa

faktor yang secara tidak langsung mendorong terjadinya gangguan gizi terutama

pada anak balita antar lain (Hasdianah, dkk., 2014):

a. Pengetahuan

Dalam kehidupan masyarakat sehari-hari sering terlihat keluarga yang

sanggup pun berpenghasilan cukup akan tetapi makanan yang dihidangkan

seadanya. Dengan demikian kejadian gangguan gizi tidak hanya ditemukan

pada keluarga yang berpenghasilan kurang akan tetapi juga pada keluarga

yang berpenghasilan cukup. Keadaan ini menunjukkan bahwa ketidaktahuan

akan faedah makanan bagi kesehatan tubuh menjadi penyebab buruknya

mutu gizi makanan keluarga, khususnya makanan balita. Masalah gizi

karena kurangnya pengetahuan dan keterampilan dibidang memasak akan

menurunkan konsumsi makan anak keragaman bahan dan keragaman jenis

makanan yang mempengaruhi kejiwaan misalnya kebebasan.

b. Persepsi

Banyak bahan makanan yang sesungguhnya bernilai gizi tinggi tetapi

tidak digunakan atau hanya digunakan secara terbatas akibat adanya

prasangka yang tidak baik terhadap bahan makanan itu. Penggunaan bahan
13

makanan itu dianggap dapat menurunkan harkat keluarga. Jenis sayuran

seperti genjer, daun turi, bahkan daun ubi kayu yang kaya akan zat besi,

vitamin A dan protein, dibeberapa daerah masih dianggap sebagai makanan

yang dapat menurunkan harkat keluarga.

c. Kebiasaan atau pantangan

Berbagai kebiasaan yang bertalian dengan pantang makanan tertentu

masih sering kita jumpai terutama di daerah pedesaan. Larangan terhadap

anak untuk makan telur, ikan atau daging hanya berdasarkan kebiasaan yang

tidak ada datanya dan hanya diwarisi secara dogmatis turun temurun,

padahal anak itu sendiri sangat memerlukan bahan makanan seperti guna

keperluan pertumbuhan tubuhnya.

d. Kesukaan jenis makanan tertentu

Kesukaan yang berlebihan terhadap suatu jenis makanan tertentu atau

disebut sebagai faddisme makanan akan mengakibatkan tubuh tidak

memperoleh semua zat gizi yang diperlukan.

e. Jarak kelahiran yang terlalu rapat

Banyak hasil penelitian yang membuktikan bahwa banyak anak yang

menderita gangguan gizi oleh karena ibunya sedang hamil lagi atau adik

yang baru telah lahir, sehingga ibunya tidak dapat merawat secara baik.

Anak dibawah usia 2 tahun masih sangat memerlukan perawatan ibunya,

baik perawatan makanan maupun perawatan kesehatan dan kasih sayang.


14

f. Sosial ekonomi

Keterbatasan penghasilan keluarga turut menentukan mutu makanan

yang disajikan. Tidak dapat disangkal bahwa penghasilan keluarga turut

menentukan hidangan yang disajikan untuk keluarga sehari hari, baik

kualitas maupun jumlah makanan.

g. Penyakit infeksi

Infeksi dapat menyebabkan anak tidak merasa lapar dan tidak mau

makan. Penyakit ini juga menghabiskan sejumlah protein dan kalori yang

seharusnya dipakai untuk pertumbuhan.

7. Penilaian status gizi

a. Penilaian status gizi secara langsung

1) Antropometri

Secara umum antropometri artinya ukuran tubuh manusia.

Ditinjau dari sudut pandang gizi, antropometri gizi berhubungan dengan

berbagai macam pengukuran dimensi tubuh dan komposisi tubuh dari

berbagai tingkat umur dan tingkat gizi. Antropometri digunakan untuk

melihat ketidakseimbangan asupan protein dan energi, yang terlihat

pada pola pertumbuhan fisik dan proporsi jaringan tubuh seperti lemak,

otot, dan jumlah air dalam tubuh.

2) Indeks Massa Tubuh (IMT) atau Body Mass Index (BMI)

Salah satu contoh penilaian status gizi dengan antropometri adalah

Indeks Massa Tubuh. Indeks Massa Tubuh (IMT) atau Body Mass Index
15

(BMI) merupakan alat atau cara yang sederhana untuk memantau status

gizi orang dewasa, khususnya yang berkaitan dengan kekurangan dan

kelebihan berat badan. Berat badan kurang dapat meningkatkan risiko

terhadap penyakit infeksi, sedangkan berat badan lebih akan

meningkatkan risiko terhadap penyakit degeneratif. Oleh karena itu,

mempertahankan berat badan normal memungkinkan seseorang dapat

mencapai usia harapan hidup yang lebih panjang. Untuk memantau

indeks massa tubuh orang dewasa digunakan timbangan berat badan dan

pengukur tinggi badan. Penggunaan IMT hanya untuk orang dewasa

berumur di atas 18 tahun dan tidak dapat diterapkan pada bayi, anak,

remaja, ibu hamil, dan olahragawan.

3) Klinis

Pemeriksaan klinis adalah metode untuk melihat status gizi

masyarakat berdasarkan atas perubahan-perubahan yang terjadi yang

berhubungan dengan ketidakcukupan zat gizi. Hal ini dapat dilihat pada

jaringan epitel seperti kulit, mata, rambut dan mukosa oral atau pada

organ-organ yang dekat dengan permukaan tubuh seperti kelenjar tiroid.

Penggunaan metode ini umumnya untuk survei klinis secara tepat (rapid

clinical surveys), dimana dirancang untuk mendeteksi secara cepat

tanda-tanda klinis umum dari kekurangan salah satu atau lebih zat gizi.

Disamping itu digunakan untuk mengetahui tingkat status gizi seseorang


16

dengan melakukan pemeriksaan fisik, yaitu tanda (sign) dan gejala

(symptom) atau riwayat penyakit.

4) Biokimia

Penilaian status gizi dengan biokimia adalah pemeriksaan

spesimen yang diuji secara laboratories yang dilakukan pada berbagai

macam jaringan tubuh, seperti darah, urine, tinja, dan beberapa jaringan

tubuh seperti hati dan otot. Banyak gejala klinis yang kurang spesifik,

maka penentuan kimia faali dapat lebih banyak menolong untuk

menentukan kekurangan gizi yang spesifik.

5) Biofisik

Penentuan status gizi secara biofisik adalah metode penentuan

status gizi dengan melihat kemampuan fungsi (khususnya jaringan) dan

melihat perubahan struktur dari jaringan. Umumnya dapat digunakan

dalam situasi tertentu seperti kejadian buta senja epidemik. Cara yang

digunakan adalah tes adaptasi gelap.

b. Penilaian status gizi secara tidak langsung

1) Survey konsumsi makanan

Survey konsumsi makanan adalah metode penentuan status gizi

secara tidak langsung dengan melihat jumlah dan jenis zat gizi yang

dikonsumsi. Data yang dikumpulkan dapat memberikan gambaran

tentang konsumsi berbagai zat gizi pada masyarakat, keluarga, dan

individu.
17

2) Statistik vital

Pengukuran status gizi dengan statistik vital adalah dengan

menganalisis data beberapa statistik kesehatan seperti angka kesakitan

dan kematian serta data lainnya yang berhubungan.

3) Faktor ekologi

Bengoa mengungkapkan bahwa malnutrisi merupakan masalah

ekologi sebagai hasil interaksi beberapa faktor fisik, biologis dan

lingkungan budaya. Jumlah makanan yang tersedia sangat tergantung

dari keadaan ekologi seperti iklim, tanah, irigasi dan lain-lain.

Pengukuran faktor ekologi dipandang sangat penting untuk mengetahui

penyebab malnutrisi di suatu masyarakat sebagai dasar untuk melakukan

program intervensi gizi (Hasdianah, Siyoto, & Peristyowati, 2014).

8. Pengukuran status gizi pada balita

Dalam pengukuran indeks antropometri sering terjadi kerancuan, hal ini

akan mempengaruhi interpretasi status gizi yang keliru. Masih banyak diantara

pakar yang berkecimpung dibidang gizi belum mengerti makna dari beberapa

indeks antropometri. Beberapa indeks antropometri yang sering digunakan yaitu

Berat Badan menurut Umur (BB/U), Tinggi Badan menurut Umur (TB/U), dan

Berat Badan menurut Tinggi Badan (BB/TB). Perbedaan penggunaan indeks

tersebut akan memberikan gambaran prevalensi status gizi yang berbeda, antara

lain sebagai berikut (Supariasa, dkk., 2016):


18

a. Berat Badan menurut Umur (BB/U)

Berat badan adalah salah satu parameter yang memberikan gambaran

massa tubuh. Massa tubuh sangat sensitif terhadap perubahan-perubahan

yang mendadak, misalnya karena terserang penyakit infeksi, menurunnya

nafsu makan atau menurunnya jumlah makanan yang dikonsumsi. Berat

badan adalah parameter antropometri yang sangat labil. Dalam keadaan

normal, dimana keadaan kesehatan baik dan keseimbangan antara konsumsi

dan kebutuhan zat gizi terjamin, maka berat badan berkembang mengikuti

pertambahan umur. Sebaliknya dalam keadaan yang abnormal, terdapat 2

kemungkinan perkembangan berat badan, yaitu dapat berkembang cepat atau

lebih lambat dari keadaan normal. Berdasarkan karakteristik berat badan ini,

maka indeks berat badan menurut umur digunakan sebagai salah satu cara

pengukuran status gizi Mengingat karakteristik berat badan yang labil, maka

indeks BB/U lebih menggambarkan status gizi seseorang saat ini (current

nutritional status).

b. Tinggi Badan menurut Umur (TB/U)

Tinggi badan merupakan antropometri yang menggambarkan keadaan

pertumbuhan skeletal. Pada keadaan normal, tinggi badan tumbuh seiring

dengan pertambahan umur. Pertumbuhan tinggi badan tidak seperti berat

badan, relatif kurang sensitif terhadap masalah kekurangan gizi dalam waktu

yang pendek. Pengaruh defisiensi zat gizi terhadap tinggi badan akan

nampak dalam waktu yang relatif lama. Berdasarkan karakteristik tersebut


19

diatas, maka indeks ini menggambarkan status gizi masa lalu. Beaton dan

Bengoa (1973) menyatakan bahwa indeks TB/U di samping memberikan

gambaran status gizi masa lampau, juga lebih erat kaitannya dengan status

sosial-ekonomi.

c. Berat Badan menurut Tinggi Badan (BB/TB)

Berat badan memiliki hubungan yang linear dengan tinggi badan.

Dalam keadaan normal, perkembangan berat badan akan searah dengan

pertumbuhan tinggi badan dengan kecepatan tertentu. Indeks BB/TB

merupakan indikator yang baik untuk menilai status gizi saat kini (sekarang).

Indeks BB/TB adalah merupakan indeks independen terhadap umur.

Untuk mengetahui nilai status gizi balita ini, dapat dihitung dengan rumus

antropometri sebagai berikut (Supariasa, dkk., 2016):

Nilai induvidu subjek − Nilai median buku rujukan


z − skor =
Nilai simpang baku rujukan

9. Standar perhitungan stunting pada balita

Tabel 2.1
Standar Tinggi Badan Menurut Umur (TB/U) pada Anak Laki-Laki Umur
24-60 Bulan
Umur Tinggi Badan (cm)
(Bulan) -3 SD -2 SD -1 SD Median 1 SD 2 SD 3 SD
24 78,0 81,0 84,1 87,1 90,2 93,2 96,3
25 78,6 81,7 84,9 88,0 91,1 94,2 97,3
26 79,3 82,5 85,6 88,8 92,0 95,2 98,3
27 79,9 83,1 86,4 89,6 92,9 96,1 99,3
28 80,5 83,8 87,1 90,4 93,7 97,0 100,3
29 81,1 84,5 87,8 91,2 94,5 97,9 101,2
30 81,7 85,1 88,5 91,9 95,3 98,7 102,1
20

Umur Tinggi Badan (cm)


(Bulan) -3 SD -2 SD -1 SD Median 1 SD 2 SD 3 SD
31 82,3 85,7 89,2 92,7 96,1 99,6 103,0
32 82,8 86,4 89,9 93,4 96,9 100,4 103,9
33 83,4 86,9 90,5 94,1 97,6 101,2 104,8
34 83,9 87,5 91,1 94,8 98,4 102,0 105,6
35 84,4 88,1 91,8 95,4 99,1 102,7 106,4
36 85,0 88,7 92,4 96,1 99,8 103,5 107,2
37 85,5 89,2 93,0 96,7 100,5 104,2 108,0
38 86,0 89,8 93,6 97,4 101,2 105,0 108,8
39 86,5 90,3 94,2 98,0 101,8 105,7 109,5
40 87,0 90,9 94,7 98,6 102,5 106,4 110,3
41 87,5 91,4 95,3 99,2 103,2 107,1 111,0
42 88,0 91,9 95,9 99,9 103,8 107,8 111,7
43 88,4 92,4 96,4 100,4 104,5 108,5 112,5
44 88,9 93,0 97,0 101,0 105,1 109,1 113,2
45 89,4 93,5 97,5 101,6 105,7 109,8 113,9
46 89,8 94,0 98,1 102,2 106,3 110,4 114,6
47 90,3 94,4 98,6 102,8 106,9 111,1 115,2
48 90,7 94,9 99,1 103,3 107,5 111,7 115,9
49 91,2 95,4 99,7 103,9 108,1 112,4 116,6
50 91,6 95,9 100,2 104,4 108,7 113,0 117,3
51 92,1 96,4 100,7 105,0 109,3 113,6 117,9
52 92,5 96,9 101,2 105,6 109,9 114,2 118,6
53 93,0 97,4 101,7 106,1 110,5 114,9 119,2
54 93,4 97,8 102,3 106,7 111,1 115,5 119,9
55 93,9 98,3 102,8 107,2 111,7 116,1 120,6
56 94,3 98,8 103,3 107,8 112,3 116,7 121,2
57 94,7 99,3 103,8 108,3 112,8 117,4 121,9
58 95,2 99,7 104,3 108,9 113,4 118,0 122,6
59 95,6 100,2 104,8 109,4 114,0 118,6 123,2
60 96,2 100,7 105,3 110,0 114,6 119,2 123,9
Sumber : (Supariasa, dkk., 2016)

Tabel 2.2
Standar Tinggi Badan Menurut Umur (TB/U) pada Anak Perempuan Umur
24-60 Bulan
Umur Tinggi Badan (cm)
(Bulan) -3 SD -2 SD -1 SD Median 1 SD 2 SD 3 SD
24 76,0 79,3 82,5 85,7 88,9 92,2 95,4
25 76,8 80,0 83,3 86,6 89,9 93,1 96,4
21

Umur Tinggi Badan (cm)


(Bulan) -3 SD -2 SD -1 SD Median 1 SD 2 SD 3 SD
26 77,5 80,8 84,1 87,4 90,8 94,1 97,4
27 78,1 81,5 84,9 88,3 91,7 95,0 98,4
28 78,8 82,2 8,7 89,1 92,5 96,0 99,4
29 79,5 82,9 86,4 89,9 93,4 96,9 100,3
30 80,1 83,6 87,1 90,7 94,2 97,7 101,3
31 80,7 84,3 87,9 91,4 95,0 98,6 102,2
32 81,3 84,9 88,6 92,2 95,8 99,4 103,1
33 81,9 85,6 89,3 92,9 96,6 100,3 103,9
34 82,5 86,2 89,9 93,6 97,4 101,1 104,8
35 83,1 86,8 90,6 94,4 98,1 101,9 105,6
36 83,6 87,4 91,2 95,1 98,9 102,7 106,5
37 84,2 88,0 91,9 95,7 99,6 103,4 107,3
38 84,7 88,6 92,5 96,4 100,3 104,2 108,1
39 85,3 89,2 93,1 97,1 101,0 105,0 108,9
40 85,8 89,8 93,8 97,7 101,7 105,7 109,7
41 86,3 90,4 94,4 98,4 102,4 106,4 110,5
42 86,8 90,9 95,0 99,0 103,1 107,2 111,2
43 87,4 91,5 95,6 99,7 103,8 107,9 112,0
44 87,9 92,0 96,2 100,3 104,5 108,6 112,7
45 88,4 92,5 96,7 100,9 105,1 109,3 113,5
46 88,9 93,1 97,3 101,5 105,8 110,0 114,2
47 89,3 93,6 97,9 102,1 106,4 110,7 114,9
48 89,8 94,1 98,4 102,7 107,0 111,3 115,7
49 90,3 94,6 99,0 103,3 107,7 112,0 116,4
50 90,7 95,1 99,5 103,9 108,3 112,7 117,1
51 91,2 95,6 100,1 104,5 108,9 113,3 117,7
52 91,7 96,1 100,6 105,0 109,5 114,0 118,4
53 92,1 96,6 101,1 105,6 110,1 114,6 119,1
54 92,6 97,1 101,6 106,2 110,7 115,2 119,8
55 93,0 97,6 102,2 106,7 111,3 115,9 120,4
56 93,4 98,1 102,7 107,3 111,9 116,5 121,1
57 93,9 98,5 103,2 107,8 112,5 117,1 121,8
58 94,3 99,0 103,7 108,4 113,0 117,7 122,4
59 94,7 99,5 104,2 108,9 113,6 118,3 123,1
60 95,2 99,9 104,7 109,4 114,2 118,9 123,7
Sumber : (Supariasa, dkk., 2016)
22

Tabel 2.3
Kategori dan Ambang Batas Status Gizi Anak berdasarkan Indeks
Ambang batas
Indeks Kategori status gizi
(Z-score)
Berat umur (BB/U) anak Gizi buruk <-3 SD
umur 0-60 bulan Gizi kurang -3 SD sampai dengan <-2
Gizi baik -2 SD sampai dengan 2
Gizi lebih >2 SD
Tinggi badan menurut umur Sangat pendek <-3 SD
(TB/U) anak umur 0-60 Pendek -3 SD sampai dengan <-2
bulan Normal -2 SD sampai dengan 2
Tinggi >2 SD
Berat badan menurut Sangat kurus <-3 SD
panjang badan (BB/TB) Kurus -3 SD sampai dengan <-2
anak umur 0-60 bulan Normal -2 SD sampai dengan 2
Gemuk >2 SD
Sumber : (Supariasa, dkk., 2016)

B. Tinjauan tentang Pola Makan

1. Definisi

Pola makan adalah berbagai informasi yang memberikan gambaran

mengenai macam dan jumlah bahan makanan yang dimakan tiap hari oleh satu

orang dan merupakan ciri khas untuk suatu kelompok masyarakat tertentu. Pola

makan yang tidak seimbang akan menyebabkan ketidakseimbangan zat gizi yang

masuk ke dalam tubuh dan menyebabkan terjadinya kekurangan gizi/sebaliknya

pola konsumsi yang tidak seimbang juga mengakibatkan zat gizi tertentu berlebih

dan menyebabkan terjadinya gizi lebih (Adriani & Wirjatmadi, 2016).

2. Faktor yang mempengaruhi pola makan

Secara umum faktor yang mempengaruhi terbentuknya pola makan adalah

sebagai berikut (Sulistyoningsih, 2014):


23

a. Faktor ekonomi

Variabel ekonomi yang cukup dominan dalam mempengaruhi

konsumsi pangan adalah pendapatan keluarga dan harga. Meningkatnya

pendapatan akan meningkatkan peluang untuk membeli pangan dengan

kuantitas dan kualitas yang lebih baik, sebaliknya penurunan pendapatan

akan menyebabkan menurunnya daya beli pangan baik secara kualitas

maupun kuantitas.

Meningkatnya taraf hidup (kesejahteraan) masyarakat, pengaruh

promosi melalui iklan serta kemudahan informasi, dapat menyebabkan

perubahaan gaya hidup dan timbulnya kebutuhan psikogenik baru di

kalangan masyarakat ekonomi menengah ke atas. Tingginya pendapatan

yang tidak diimbangi pengetahuan gizi yang cukup, akan menyebabkan

seseorang menjadi sangat konsumtif dalam pola makannya sehari-hari,

sehingga pemilihan suatu bahan makanan lebih didasarkan kepada

pertimbangan selera dibandingkan aspek gizi. Kecenderungan untuk

mengkonsumsi makanan impor, terutama jenis siap santap (fast food), seperti

ayam goreng, pizza, hamburger dan lain-lain, telah meningkat tajam

terutama dikalangan generasi muda dan kelompok masyarakat ekonomi

menengah ke atas.

b. Faktor sosio budaya

Pantangan dalam mengkonsumsi jenis makanan tertentu dapat

dipengarui oleh faktor budaya/kepercayaan. Patangan yang didasari oleh


24

kepercayaan pada umumnnya mengandung perlambang atau nasihat yang

dianggap baik ataupun tidak baik yang lambat laun akan menjadi

kebiasaan/adat. Kebudayaan suatu masyarakat mempunyai kekuatan yang

cukup besar untuk mempengaruhi seseorang dalam memilih dan mengolah

pangan yang akan dikomsumsi.

Kebudayaan menuntun orang dalam cara bertingkah laku dan

memenuhi kebutuhan dasar biologinya, temasuk kebutuhan terhadap pangan.

Budaya mempengaruhi seseorang dalam menentukan apa yang akan di

makan, bagaimana pengolahannya, persiapan dan penyajiannya, serta untuk

siapa dan dalam kondisi bagaimana pangan tersebut dikonsumsi.

Kebudayaan juga menentukan kapan seseorang boleh dan tidak boleh

mengkonsumsi suatu makanan (dikenal dengan istilah tabu), meskipun tidak

semua hal yang tabu masuk akal dan baik dari sisi kesehatan. Tidak sedikit

hal yang ditabukan merupakan hal yang baik jika ditinjau dari kesehatan,

salah satu contoh adalah anak balita tabu mengonsumsi ikan laut karena

dikhawatirkan akan menyebabkan kecacingan. Padahal dari sisi kesehatan

berlaku sebaliknya, mengonsumsi ikan sangat baik bagi balita karena

memiliki kandungan protein yang sangat dibutuhkan untuk pertumbuhan.

Terdapat 3 kelompok anggota masyarakat yang biasanya memiliki

pantangan terhadap makanan tertentu, yaitu balita, ibu hamil, dan ibu

menyusui.
25

c. Agama

Pantangan yang didasari agama, khususnya islam disebut haram dan

individu yang melanggar hukumnya berdosa. Adanya pantangan terhadap

makanan/minuman tertentu dari sisi agama di karenakan makanan/minuman

tersebut membahayakan jasmani dan rohani bagi yang mengkonsumsinya.

Konsep halal dan haram sangat mempengaruhi pemilihan bahan makanan

yang akan dikonsumsi.

d. Pendidikan

Pendidikan dalam hal ini biasanya di kaitkan dengan pengetahuan,

akan berpengaruh terhadap pemilihan bahan makanan dan pemenuhan

kebutuhan gizi. Salah satu contoh, prinsip yang di miliki seseorang dengan

pendidikan rendah biasanya adalah yang penting mengenyangkan, sehingga

porsi bahan makanan sumber karbohidrat lebih banyak dibandingkan dengan

kelompok bahan makanan lainnya. Sebaliknya, kelompok dengan orang

pendidikan tinggi memiliki kecenderungan memilih bahan makanan sumber

protein dan akan berusaha menyeimbangkan dengan kebutuhan gizi lain.

e. Lingkungan

Faktor lingkungan cukup besar pengaruhnya terhadap pembentukan

perilaku makan.Lingkungan yang di maksud dapat berupa lingkungan

keluarga, serta adanya promosi melalui media elektronik maupun cetak.

Kebiasaan makan dalam keluarga sangat berpengaruh besar terhadap pola


26

makan seseorang, kesukaan seseorang terhadap makanan terbentuk dari

kebiasaan makan yang terdapat dalam keluarga.

Lingkungan sekolah, termasuk di dalamnya para guru, teman sebaya

dan keberadaan tempat jajan sangat mempengaruhi terbentuknya pola

makan, khususnya bagi siswa sekolah. Anak-anak yang mendapatkan

informasi yang tepat tentang makanan sehat dari para gurunya dan didukung

oleh tersediaannya kantin atau tempat jajan yang menjual makanan yang

sehat akan membentuk pola makan yang baik pada anak.

3. Kriteria pola makan

a. Frekuensi makan

Frekuensi makan adalah jumlah makan dalam sehari-hari baik

kualitatif dan kuantitatif. Secara alamiah makanan diolah dalam tubuh

melalui alat-alat pencernaan mulai dari mulut sampai usus halus. Lama

makanan dalam lambung tergantung sifat dan jenis makanan. Jika rata-rata,

umumnya lambung kosong antara 3- 4 jam. Maka jadwal makan ini pun

menyesuaikan dengan kosongnya lambung. Orang yang memiliki pola

makan tidak teratur mudah terserang penyakit gastritis. Pada saat sakit perut

harus diisi, tapi dibiarkan kosong, atau ditunda pengisiannya, asam lambung

akan mencerna lapisan mukosa lambung, sehingga timbul rasa nyeri.

Kebiasaan makan tidak teratur ini akan membuat lambung sulit untuk

beradaptasi (Priyoto, 2015).


27

b. Porsi makan

Porsi atau jumlah merupakan suatu ukuran maupun takaran makanan

yang dikonsumsi pada tiap kali makan.Setiap orang harus makan makanan

dalam jumlah benar sebagai bahan bakar untuk semua kebutuhan tubuh. Jika

konsumsi makanan berlebihan, kelebihannya akan disimpan didalam tubuh

dan menyebabkan obesitas (kegemukan). Selain itu, makanan dalam porsi

besar dapat menyebabkan refluks isi lambung, yang pada akhirnya membuat

kekuatan dinding lambung menurun. Kondisi seperti ini dapat menimbulkan

peradangan atau luka pada lambung (Priyoto, 2015).

c. Jenis makanan

Jenis makanan adalah variasi bahan makanan yang kalau dimakan,

dicerna, dan diserap akan menghasilkan paling sedikit susunan menu sehat

dan seimbang. Menyediakan variasi makanan bergantung pada orangnya,

makanan tertentu dapat menyebabkan gangguan pencernaan, seperti halnya

makanan pedas (Priyoto, 2015).

4. Menu seimbang pada balita

Untuk mencegah terjadinya berbagai gangguan gizi dan masalah

psikososial, diperlukan adanya perilaku penunjang dari para orang tua, ibu atau

pengasuh dalam keluarganya untuk selalu memberikan makanan dengan gizi

seimbang kepada balitanya. Perlu diketahui bahwa yang dimaksud dengan gizi

seimbang adalah makanan yang dikonsumsi balita dalam satu hari yang beraneka

ragam dan mengandung zat tenaga, zat pembangun, dan zat pengatur sesuai
28

dengan kebutuhan tubuhnya. Keadaan ini tecermin dari derajat kesehatan dan

tumbuh kembang balita yang optimal. Selanjutnya menurut takaran konsumsi

makanan sehari dapat dilihat pada tabel di bawah ini (Adriani & Wirjatmadi,

2016):

Tabel 2.4
Takaran Konsumsi Makan Balita dalam Sehari
Kelompok
Bentuk makanan Frekuensi makan
umur
0-4 bulan ASI Eksklusif Sesering mungkin
4-6 bulan Makanan lumat 2x sehari
2 sendok makan setiap hari
6-12 bulan Makanan lembek 3x sehari
Plus 2x makanan selingan
1-3 tahun Makanan keluarga 3x sehari
1-1½ piring nasi/pengganti
2-3 potong lauk hewani
1-2 potong lauk nabati
½ mangkok sayur
2-3 potong buah-buahan
1 gelas susu
4-6 tahun 1-3 piring nasi/pengganti 3x sehari
2-3 potong lauk hewani
1-2 potong lauk nabati
1-1½ mangkok sayur
2-3 potong buah-buahan
1-2 gelas susu
Sumber: Depkes RI. (2000) dalam Adriani & Wirjatmadi (2016)

5. Penatalaksaaan gizi untuk balita

Akibat dari kesulitan makan jelas akan berpengaruh terhadap keadaan gizi

seorang anak. Sehingga perlu ada upaya untuk mengatasi kesulitan makan ini.

Mungkin diperlukan latihan, pengobatan, pendekatan psikologis, dan cara-cara

lainnya. Adapun karektiristik pola makan balita yaitu sukar untuk makan, nafsu
29

makan sering berubah-ubah, cepat bosan untuk makan sambil duduk perlu

dengan bermain-main. Penatalaksanaan gizi dapat dilakukan dengan sejak

berbagai cara yaitu (Hasdianah, Siyoto, & Peristyowati, 2014):

a. Kembangkan kebiasaan makan yang baik. Anak dini diperkenalkan dengan

makanan yang beragam dan bernutrisi baik serta pola makan yang teratur.

b. Menciptakan suasana makan yang menyenangkan.

c. Hindari makan-makanan yang terlalu berminyak, junk food, berpengawet.

d. Memberi tahu tentang jenis makan yang baik.

6. Kaitan pola makan dengan kejadian stunting

Salah satu yang menjadi penyebab langsung dari kejadian stunting adalah

asupan. Asupan sendiri sangat ditentukan oleh pola pemberian makan kepada bayi,

meskipun bahan makanan tersedia dalam jumlah yang cukup, namun pola

pemberian makan yang salah dapat menyebabkan kurangnya asupan zat gizi yang

diterima oleh balita. Pola asuh pemberiaan makan pada bayi yang tidak kreatif dan

variatif adalah hal penting yang perlu diperhatikan ibu agar kebutuhan zat gizi

anaknya terpenuhi. Faktor lain yang juga menjadi penyebab langsung masalah gizi

stunting, yaitu penyakit infeksi. Asupan dan penyakit infeksi adalah dua hal yang

memiliki keterkaitan satu sama lain yang perlu diperhatikan khusus agar tidak

terjadi masalah gizi lainnya (Loya & Nuryanto, 2017).

Asupan zat gizi yang kurang baik asupan zat gizi makro maupun asupan zat

gizi mikro memberi dampak yang lambat laun dapat menghambat tumbuh-

kembang balita. Zat gizi makro yang paling sering menjadi penyebab
30

terhambatnya pertumbuhan adalah protein. Protein merupakan zat gizi makro yang

berperan dalam berbagai porses metabolisme zat gzi lainnya terutama membantu

penyerapan zat gizi mikro yang menunjang pada pertumbuhan dan perkembangan

fisik bayi. Sedangkan zat gizi mikro yang sangat berpengaruh pada kejadian

stunting menurut penelitian yeng telah dilakukan adalah zink, zat besi dan asam

folat. Hal ini mempengaruhi perkembangan kognitif pada balita (Loya &

Nuryanto, 2017).

C. Kerangka Teori

Status Gizi

Asupan pangan/gizi Kesehatan Penyebab


lansung

Aksesibitas Pola Air mium Penyebab


pangan asuh sanitasi tidak lansung

kelembagaan

Politik dan ideologi

Kebijakan ekonomi Akar


masalah

Sumber daya,
linkungan, tekologi,
penduduk
Gambar 2.1 : Kerangka Teori Penelitian
BAB III

KERANGKA KONSEP

A. Dasar Pemikiran Variabel

Stunting merupakan gambaran terhambatnya pertumbuhan sebagai akibat dari

kurangnya asupan zat gizi dalam jangka waktu yang lama. Menurut WHO Child

Growth Standart stunting didasarkan pada indeks panjang badan dibanding umur

(PB/U) atau tinggi badan dibanding umur (TB/U) dengan batas (z-score) kurang dari

-2 SD.

Pola makan adalah berbagai informasi yang memberikan gambaran mengenai

macam dan jumlah bahan makanan yang dimakan tiap hari oleh satu orang dan

merupakan ciri khas untuk suatu kelompok masyarakat tertentu. Pola makan yang

tidak seimbang akan menyebabkan ketidakseimbangan zat gizi yang masuk ke dalam

tubuh dan menyebabkan terjadinya kekurangan gizi/sebaliknya pola konsumsi yang

tidak seimbang juga mengakibatkan zat gizi tertentu berlebih dan menyebabkan

terjadinya gizi lebih. Asupan gizi yang seimbang bagi balita itu sangat perlu. Tidak

baik jika asupan gizinya kurang ataupun berlebih maka perlu untuk

menyeimbangkannya disesuaikan dengan kebutuhan.

B. Hubungan Antar Variabel

Variabel independen Variabel dependen

Kejadian stunting
Pola pemberian makan pada anak usia 24-60
bulan

31
32

Keterangan :

: Variabel independen

: Variabel dependen

: Variabel yang diteliti

Gambar 3.1 : Kerangka Teori Penelitian

C. Identifikasi Variabel

Variabel dalam suatu penelitian adalah komponen atau faktor yang berkaitan

satu sama lainnya dan telah inventarisasi dari dulu dalam variabel penelitian

(Setiawan & Prasetyo, 2015). Variabel dalam penelitian ini mengunakan variabel

independen dan variabel dependen antara lain:

1. Variabel independen (variabel bebas)

Variabel independen ini bersifat bebas. Variabel independen dalam

penelitian ini adalah pola pemberian makan.

2. Variabel dependen (variabel terikat)

Variabel dependen ini merupakan variabel terikat dapat berupa variabel

lain yang dapat mempengaruhi variabel bebas dan terikat, seperti variabel

penghubung, variabel prakondisi. Variabel dependen dalam penelitian ini adalah

kejadian stunting pada anak usia 24-60 bulan.

D. Definisi Operasional dan Kriteria Objektif

1. Kejadian stunting pada anak usia 24-60 bulan

Kejadian stunting pada anak usia 24-60 bulan yang dimaksud dalam

penelitian ini adalah penilaian status gizi secara langsung pada anak dengan
33

menggunakan penilaian dengan mengukur tinggi badan menurut umur (TB/U)

berdasarkan Indeks Antropometri.

Kriteria objektif :

Tidak stunting : bila hasil Z-score balita >-2 SD

Stunting : bila hasil Z-score balita <-2 SD

2. Pola pemberian makan

Pola pemberian makan dalam penelitian adalah jenis bahan makanan yang

dimakan dalam satu hari yang dilihat dari frekuensi makan, porsi makan dan

jenis makanan yang diberikan kepada balita.

Skor tertinggi x jumlah pertanyaan : 2 x 10 = 20

Skor terendah x jumlah pertanyaan : 1 x 10 = 10

Skor tertinggi + Skor terendah


=
2
20 + 10
=
2

= 15

Kriteria Objektif :

Baik : bila skor jawaban responden >15

Kurang : bila skor jawaban responden <15

E. Hipotesis Penelitian

Adapun hipotesis alternatif dalam penelitian ini adalah ada hubungan pola

pemberian makanan dengan kejadian stunting pada anak usia 24-60 bulan di Wilayah

Kerja UPT Puskesmas Lau Kecamatan Lau Kabupaten Maros.


BAB IV

METODE PENELITIAN

A. Jenis dan Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode penelitian analitik dengan pendekatan

cross sectional study yaitu suatu penelitian yang mempelajari dinamika korelasi

antara faktor-faktor resiko dengan efek, dengan cara pendekatan, observasi atau

pengumpulan data sekaligus pada suatu saat (point time approach) (Notoatmodjo,

2014).

B. Lokasi dan Waktu Penelitian

1. Lokasi

Penelitian ini dilaksanakan di Wilayah Kerja UPT Puskesmas Lau

Kecamatan Lau Kabupaten Maros.

2. Waktu

Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 12 Desember 2018 sampai 12

Januari 2019.

C. Populasi dan Sampel

1. Populasi

Populasi dalam penelitian ini adalah semua anak usia 24-60 bulan yang

berdomisili di Wilayah Kerja UPT Puskesmas Lau Kecamatan Lau Kabupaten

Maros sebanyak 336 anak, dimana terdapat 142 anak yang berjenis kelamin laki-

laki dan 194 berjenis kelamin perempuan.

34
35

2. Sampel

Sampel dalam penelitian ini adalah anak usia 24-60 bulan yang berdomisili

di Wilayah Kerja UPT Puskesmas Lau Kecamatan Lau Kabupaten Maros.

a. Besar sampel

Adapun besar sampel dalam penelitian ini diperoleh dengan

menggunakan rumus slovin (Nursalam, 2016):

𝑁
n=
1 + 𝑁 (𝑑)2

Keterangan :

n : Jumlah sampel

N : Jumlah populasi

(d)2 : Tingkat signifikasi (0,1)2

336
n=
1 + 336 (0,1)2

336
n=
4,36

n = 77

Jadi jumlah sampel dalam penelitian sebanyak 77 anak.

b. Teknik pengambilan sampel

Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah purposive

sampling. Purposive sampling adalah teknik penentuan sampel dengan

pertimbangan tertentu (Setiawan & Prasetyo, 2015).


36

c. Kriteria sampel

1) Kriteria inklusi

a) Anak usia 24-60 bulan.

b) Anak yang berdomisili di Wilayah Kerja UPT Puskesmas Lau.

c) Anak yang memiliki orang tua yang bisa membaca dan menulis.

d) Anak yang diizinkan oleh orang tua menjadi subjek penelitian.

2) Kriteria esklusi

a) Orang tua yang tidak hadir pada saat penelitian.

b) Anak yang sakit selama penelitan dilaksanakan.

c) Anak yang cacat.

D. Cara Pengumpulan Data

1. Data primer

Data primer disebut juga data tangan pertama. Data primer diperoleh

langsung dari subjek penelitian dengan mengenakan alat pengukuran atau alat

pengambilan data. Pengumpulan data primer diperoleh dengan menggunakan

kuesioner yang telah disediakan.

2. Data sekunder

Data sekunder adalah data yang diperoleh lewat pihak lain, tidak langsung

diperoleh oleh peneliti dari subjek penelitinya. Pengumpulan data sekunder

diperoleh dari buku register UPT Puskesmas Lau Kecamatan Lau Kabupaten

Maros.
37

E. Langkah Pengolahan Data

1. Pengolahan data

a. Editing

Hasil wawancara atau angket yang diperolehkan atau dikumpulkan

melalui kuesioner perlu disunting (edit) terlebih dahulu. Kalau tenyata masih

ada data atau informasi yang tidak lengkap dan tidak mungkin dilakukan

wawancara ulang, maka kuesioner tersebut dikeluarkan (drop out).

b. Coding sheet (membuat lembaran kode atau kartu kode).

Lembaran atau kartu kode adalah instrument berupa kolom untuk

merekam data secara manual. Lembaran atau kartu kode berisi nomor

responden, dan nomor-nomor pertanyaan.

c. Data entry (memasukan data)

Yakni mengisi kolom atau kotak lembar atau kartu kode sesuai dengan

jawaban masing-masing pertanyaan.

d. Tabulasi

Yakni membuat tabel-tabel data, sesuai dengan tujuan penelitian atau

yang diinginkan oleh peneliti (Notoatmodjo, 2014).

2. Analisa data

a. Analisa univariat

Analisa univariat bertujuan untuk menjelaskan atau mendeskripsikan

karakteristik setiap variabel penelitian. Bentuk jenis analisis univariat

tergantung dari jenis datanya. Pada umumnya dalam analisis ini


38

menghasilkan distribusi frekuensi dan persentase dari tiap variabel

(Notoatmodjo, 2014).

b. Analisis bivariat

Apabila telah dilakukan analisa univariat akan diketahui karakteristik

atau distribusi setiap variabel, dan dapat dilanjutkan analisis bivariat.

Analisis bivariat yang dilakukan terhadap dua variabel yang diduga

berhubungan atau berkorelasi (Notoatmodjo, 2014). Analisis bivariat

menggunakan software SPSS 22 dengan tingkat kesalahan α=(0,05).

F. Pengujian Hipotesis

Uji statistik yang digunakan dalam penelitian ini adalah uji Chi-square, karena

baik variabel independen maupun variabel dependen merupakan variabel kategorik.

Batas kemaknaan yang digunakan adalah 0,05. Apabila syarat uji Chi-square tidak

terpenuhi untuk melihat trend, maka uji altenatif yang digunakan adalah uji Mann-

Whitney. Pengambilan keputusan statistik dilakukan dengan membandingkan p (p

value) dengan nilai α (0,05) dengan ketentuan:

1. Bila p value ≤ nilai α (0,05), maka H0 ditolak dan Ha diterima, interpretasi ada

hubungan antara variabel independen dengan variabel dependen.

2. Bila p value > nilai α (0,05), maka Ha ditolak dan H0 diterima, interpretasi tidak

ada hubungan antara variabel independen dengan variabel dependen.

G. Etika Penelitian

Dalam melakukan penelitian, peneliti perlu mendapat rekomendasi dari institusi

dalam hal ini Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan (STIKES) Nani Hasanuddin Makassar
39

dengan mengajukan permohonan izin kepada instansi atau lembaga tempat penelitian.

Setelah mendapat persetujuan, maka kegiatan penelitian dimulai dengan menekankan

masalah etika. Masalah etika yang harus diperhatikan antara lain seperti berikut

(Nursalam, 2016):

1. Prinsip manfaat

a. Bebas dari penderitaan

Penelitian harus dilaksanakan tanpa mengakibatkan penderitaan

kepada subjek, khususnya jika menggunakan tindakan khusus.

b. Bebas dari eksploitasi.

Partisipasi subjek dalam penelitian, harus dihindari dari keadaan yang

tidak menguntungkan. Subjek harus diyakinkan bahwa partisipasinya dalam

penelitian atau informasi yang telah diberikan, tidak akan dipergunakan

dalam hal-hal yang dapat merugikan subjek dalam bentuk apapun.

c. Resiko (benefits ratio)

Peneliti harus hati-hati mempertimbangkan resiko dan keuntungan

yang akan berakibat kepda subjek pada setiap tindakan.

2. Prisip menghargai hak asasi manusia (respect human dignity)

a. Hak untuk ikut/tidak menjadi responden (right to self determination)

Subjek harus diperlakukan secara manusiawi. Subjek mempunyai hak

memutuskan apakah mereka bersedia menjadi subjek ataupun tidak, tanpa

adanya sangsi apa pun atau akan berakibat terhadap kesembuhannya, jika

mereka seorang klien.


40

b. Hak untuk mendapatkan jaminan dari perlakuan yang diberikan (right to full

disclosure)

Seorang peneliti harus memberikan penjelasan secara terperinci serta

bertanggung jawab jika ada sesuatu yang terjadi kepada subjek penelitian.

c. Informed consent

Subjek harus mendapatkan informasi secara lengkap tentang tujuan

penelitian yang akan dilaksanakan, mempunyai hak untuk bebas

berpartisipasi atau menolak menjadi responden. Pada informed consent juga

dicantumkan bahwa data yang diperoleh hanya akan dipergunakan untuk

pengembangan ilmu.

3. Prinsip keadilan (right to justice)

a. Hak untuk mendapatkan pengobatan yang adil (right in fair treatment)

Subjek harus diperlakukan secara adil baik sebelum, selama dan

sesudah keikutsertaannya dalam penelitian tanpa adanya diskriminasi apabila

ternyata mereka tidak bersedia atau dikeluarkan dari penelitian.

b. Hak dijaga kerahasiaannya (right to privacy)

Subjek mempunyai hak untuk meminta bahwa data yang diberikan

harus dirahasiakan, untuk itu perlu adanya tanpa nama (anonymity) dan

rahasia (confidentiality).
BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian

Penelitian ini telah dilaksanakan di Wilayah Kerja UPT Puskesmas Lau

Kecamatan Lau Kabupaten Maros pada tanggal 12 Desember 2018 sampai 12

Desember 2019. Populasi dalam penelitian ini adalah semua anak usia 24-60 bulan

yang berdomisili di Wilayah Kerja UPT Puskesmas Lau Kecamatan Lau Kabupaten

Maros sebanyak 336 anak, dimana terdapat 142 anak yang berjenis kelamin laki-laki

dan 194 berjenis kelamin perempuan. Berdasarkan data dari UPT Puskesmas Lau

Kecamatan Lau Kabupaten Maros diperoleh 77 sampel untuk dilakukan analisa data.

1. Karakteristik responden

Setelah dilakukan analisis dari hasil penelitian tentang hubungan pola

pemberian makanan dengan kejadian stunting pada anak usia 24-60 bulan di

Wilayah Kerja UPT Puskesmas Lau Kecamatan Lau Kabupaten Maros, maka

diperoleh gambaran sebagai berikut:

a. Umur

Tabel 5.1
Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Umur di Wilayah Kerja
UPT Puskesmas Lau Kecamatan Lau Kabupaten Maros
Umur Frekuensi (n) Persentase (%)
26-35 tahun 40 51,9
36-45 tahun 35 45,5
46-55 tahun 2 2,6
Total 77 100

41
42

Berdasarkan Tabel 5.1 menunjukkan bahwa dari 77 responden terdapat

40 responden (51,9%) yang berumur 26-35 tahun, 35 responden (45,5%)

yang berumur 36-45 tahun dan 2 responden (2,6%) yang berumur 46-55

tahun.

b. Pendidikan

Tabel 5.2
Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Pendidikan di Wilayah
Kerja UPT Puskesmas Lau Kecamatan Lau Kabupaten Maros
Pendidikan Frekuensi (n) Persentase (%)
SD 29 37,7
SMP 19 24,7
SMA 21 27,3
S1 8 10,3
Total 77 100

Berdasarkan Tabel 5.2 menunjukkan bahwa dari 77 responden terdapat

29 responden (37,7%) yang berpendidikan SD, 19 responden (24,7%) yang

berpendidikan SMP, 21 responden (27,3%) yang berpendidikan SMA dan 8

responden (10,3%) yang berpendidikan S1.

c. Pekerjaan

Tabel 5.3
Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Pekerjaan di Wilayah
Kerja UPT Puskesmas Lau Kecamatan Lau Kabupaten Maros
Pekerjaan Frekuensi (n) Persentase (%)
IRT 61 79,2
PNS 3 3,9
Pegawai swasta 8 10,4
Wiraswasta 5 6,5
Total 77 100
43

Berdasarkan Tabel 5.3 menunjukkan bahwa dari 77 responden terdapat

61 responden (79,2%) yang pekerjaannya IRT, 3 responden (3,9%) yang

pekerjaannya PNS, 8 responden (10,4%) yang pekerjaannya pegawai swasta

dan 5 responden (6,5%) yang pekerjaannya wiraswasta.

d. Umur anak

Tabel 5.4
Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Umur Anak di Wilayah
Kerja UPT Puskesmas Lau Kecamatan Lau Kabupaten Maros
Umur anak Frekuensi (n) Persentase (%)
24-35 bulan 24 31,1
36-47 bulan 31 40,3
48-60 bulan 22 28,6
Total 77 100

Berdasarkan Tabel 5.4 menunjukkan bahwa dari 77 responden terdapat

24 responden (31,1%) yang anakya berumur 24-35 bulan, 31 responden

(40,3%) yang anaknya berumur 36-47 bulan dan 22 responden (28,6%) yang

anaknya berumur 48-60 bulan.

e. Jenis kelamin anak

Tabel 5.5
Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin Anak di
Wilayah Kerja UPT Puskesmas Lau Kecamatan Lau
Kabupaten Maros
Jenis kelamin anak Frekuensi (n) Persentase (%)
Laki-laki 35 45,5
Perempuan 42 53,2
Total 77 100
44

Berdasarkan Tabel 5.5 menunjukkan bahwa dari 77 responden terdapat

35 responden (45,5%) yang anaknya berjenis kelamin laki-laki dan 42

responden (53,2%) yang anaknya berjenis kelamin perempuan.

2. Analisis univariat

a. Pola pemberian makan

Tabel 5.6
Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Pola Pemberian Makan
di Wilayah Kerja UPT Puskesmas Lau Kecamatan Lau
Kabupaten Maros
Pola pemberian makan Frekuensi (n) Persentase (%)
Baik 36 46,8
Kurang 41 53,2
Total 77 100

Berdasarkan Tabel 5.6 menunjukkan bahwa dari 77 responden terdapat

36 responden (46,8%) yang pola pemberian makannya baik dan 41

responden (53,2%) yang pola pemberian makannya kurang.

b. Kejadian stunting

Tabel 5.7
Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Kejadian Stunting pada
Anak Usia 24-60 Bulan di Wilayah Kerja UPT Puskesmas Lau
Kecamatan Lau Kabupaten Maros
Kejadian stunting Frekuensi (n) Persentase (%)
Tidak stunting 33 42,9
Stunting 44 57,1
Total 77 100

Berdasarkan Tabel 5.7 menunjukkan bahwa dari 77 responden terdapat

33 responden (42,9%) yang anaknya tidak mengalami stunting dan 44

responden (57,1%) yang anaknya mengalami stunting.


45

3. Analisis bivariat

Untuk melihat hubungan pola pemberian makanan dengan kejadian

stunting pada anak usia 24-60 bulan di Wilayah Kerja UPT Puskesmas Lau

Kecamatan Lau Kabupaten Maros, maka dilakukan uji Chi-square.

Tabel 5.8
Hubungan Pola Pemberian Makanan dengan Kejadian Stunting pada Anak
Usia 24-60 Bulan di Wilayah Kerja UPT Puskesmas Lau Kecamatan Lau
Kabupaten Maros
Kejadian stunting
Pola pemberian Tidak Total
Stunting p
makan stunting
n % n % n %
Baik 21 58,6 15 41,7 36 100
Kurang 12 29,3 29 70,7 41 100 0,019
Total 33 42,9 44 57,1 77 100

Berdasarkan Tabel 5.8 menunjukkan bahwa responden yang pola

pemberian makannya baik berjumlah 36 responden, dimana terdapat 21

responden (58,6%) yang anaknya tidak mengalami stunting dan 15 responden

(41,7%) yang anaknya mengalami stunting. Sedangkan responden yang pola

pemberian makannya kurang berjumlah 41 responden, dimana terdapat 12

responden (29,3%) yang anaknya tidak mengalami stunting dan 29 responden

(70,7%) yang anaknya mengalami stunting.

Hasil uji statistik dengan Chi-square diperoleh nilai p=0,019. Karena nilai

p<α = 0,05, maka hipotesis nol ditolak dan hipotesis alternatif diterima.

Interpretasi ada hubungan pola pemberian makanan dengan kejadian stunting


46

pada anak usia 24-60 bulan di Wilayah Kerja UPT Puskesmas Lau Kecamatan

Lau Kabupaten Maros.

B. Pembahasan

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan di Wilayah Kerja UPT Puskesmas

Lau Kecamatan Lau Kabupaten Maros didapatkan 21 responden yang pola pemberian

makannya baik dan anaknya tidak mengalami stunting. Hal ini dapat dipengaruhi oleh

pendidikan ibu yang sebagian besar SMA dan S1. Pendidikan turut mempengaruhi

ibu dalam melakukan pemberian makan pada anak. Ibu yang memiliki pendidikan

yang tinggi akan mempengaruhi respon ibu terhadap sesuatu, baik dari dalam maupun

dari luar. Pendidikan ibu yang tergolong tinggi akan membuat ibu lebih rasional

dalam berfikir dan lebih mudah menerima informasi terkait pemberian makanan yang

baik pada anak, sehingga dapat berdampak pada status gizi anak. Dalam penelitian ini

terdapat pula 15 responden yang pola pemberian makannya baik tetapi anaknya

mengalami stunting. Hal ini dapat disebabkan karena anak selalu berikan makan

dengan porsi yang berbeda setiap harinya dan tidak mengatur jam makan pada anak.

Dengan tidak seimbangnya porsi makan yang masuk setiap harinya dapat berdampak

pada gangguan gizi khususnya gangguan gizi pada balita karena jumlah gizi yang

diperoleh dari makanan tidak sesuai dengan kebutuhan tubuh anak.

Hasil penelitian ini didapatkan 12 responden yang pola pemberian makannya

kurang tetapi yang anaknya tidak mengalami stunting. Hal ini dapat dipengaruhi oleh

makanan yang ibu berikan pada anak memiliki tekstur yang bervariasi, seperti halus

atau tidak, cair atau padat, keras atau lembut, dan kering atau lembab. Dalam
47

penelitian ini didapatkan 29 responden pola pemberian makannya kurang dan

anaknya mengalami stunting. Hal ini dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor infeksi

virus atau penyakit. Infeksi dapat menyebabkan anak tidak merasa lapar dan tidak

mau makan. Penyakit ini juga menghabiskan sejumlah protein dan kalori yang

seharusnya dipakai untuk pertumbuhan.

Hasil uji statistik dengan Chi-square diperoleh nilai p=0,019. Karena nilai p<α

= 0,05, maka hipotesis nol ditolak dan hipotesis alternatif diterima. Interpretasi ada

hubungan pola pemberian makanan dengan kejadian stunting pada anak usia 24-60

bulan di Wilayah Kerja UPT Puskesmas Lau Kecamatan Lau Kabupaten Maros.

Adanya hubungan dalam penelitian ini karena responden yang pola pemberian

makannya baik lebih cenderung anaknya tidak mengalami stunting, begitu pula

responden yang pemberian pola makannya kurang lebih cederung anaknya

mengalami stunting.

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang telah dilakukan oleh

Nabuasa, dkk (2013), menunjukkan bahwa ada hubungan antara pola makan dengan

kejadian stunting pada anak. Perilaku yang salah dalam memilih dan memberikan

makanan pada balita merupakan faktor yang menyebabkan gizi kurang dan stunting.

Pola makan dua kali sehari menjadi permasalahan karena makanan yang dimakan

hanya jagung/nasi dengan sayur saja atau dengan ikan saja.

Penelitian yang telah dilakukan oleh Yati (2018), mengemukakan bahwa

terdapat hubungan pola pemberian makan dengan stunting pada balita usia 36- 59

bulan. Selama ini yang terjadi di masyarakat ibu kurang memperhatikan pola
48

pemberian makan balitanya, di mana jumlah, jenis, dan frekuensi makan kurang

diperhatikan dan tidak mengetahui kebutuhan makan yang seharusnya dicukupi untuk

balitanya. Secara garis besar masalah gizi disebabkan karena tidak tersedianya

makanan, anak yang tidak mendapatkan makanan bergizi seimbang dan pola asuh

yang salah.

Stunting atau pendek merupakan kondisi gagal tumbuh pada bayi (0-11 bulan)

dan anak balita (12-59 bulan) akibat dari kekurangan gizi kronis terutama dalam

1.000 hari pertama kehidupan sehingga anak terlalu pendek untuk usianya. Balita

stunted akan memiliki tingkat kecerdasan tidak maksimal, menjadi lebih rentan

terhadap penyakit dan di masa depan dapat berisiko menurunnya tingkat

produktivitas, pada akhirnya stunting akan dapat menghambat pertumbuhan ekonomi

dan meningkatkan kemiskinan (Ramayulis, dkk., 2018).

Salah satu yang menjadi penyebab langsung dari kejadian stunting adalah

asupan. Asupan sendiri sangat ditentukan oleh pola pemberian makan kepada bayi,

meskipun bahan makanan tersedia dalam jumlah yang cukup, namun pola pemberian

makan yang salah dapat menyebabkan kurangnya asupan zat gizi yang diterima oleh

balita. Pola asuh pemberiaan makan pada bayi yang tidak kreatif dan variatif adalah

hal penting yang perlu diperhatikan ibu agar kebutuhan zat gizi anaknya terpenuhi.

Faktor lain yang juga menjadi penyebab langsung masalah gizi stunting, yaitu

penyakit infeksi. Asupan dan penyakit infeksi adalah dua hal yang memiliki

keterkaitan satu sama lain yang perlu diperhatikan khusus agar tidak terjadi masalah

gizi lainnya (Loya & Nuryanto, 2017).


49

Menurut asumsi peneliti, pola pemberian makan pada anak berhubungan

dengan kejadian stunting pada anak, karena pola pemberian makan pada anak yang

baik lebih cenderung anaknya tidak mengalami stunting. Jadi semakin baik pola

makan anak maka semakin baik pula status gizi pada anak, tetapi asupan nutrisi pada

makanan harus diperhatikan karena turut mempengaruhi status gizi pada anak. Dalam

pemberian makanan anak perlu diperhatikan ketepatan waktu pemberian, frekuensi,

jenis, jumlah bahan makanan, dan cara pembuatannya.


BAB VI

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan sebelumnya, maka dapat diambil

kesimpulan bahwa ada hubungan pola pemberian makanan dengan kejadian stunting

pada anak usia 24-60 bulan di Wilayah Kerja UPT Puskesmas Lau Kecamatan Lau

Kabupaten Maros.

B. Saran

1. Bagi ibu

Diharapkan ibu yang memiliki anak stunting lebih memperhatikan

pengelolahan makanan yang baik agar kandungan zat gizi yang terdapat pada

bahan makanan tidak hilang serta memperhatikan pola pemberian makan pada

anak sehingga tidak terjadi stunting.

2. Bagi puskesmas

Diharapkan pihak puskesmas agar mengadakan penyuluhan yang bertema

tentang pola pemberian makan khususnya dalam pengolahan bahan makanan

sehingga dapat mencukupi kebutuhan gizi pada anak usia 24-60 bulan.

3. Bagi peneliti selanjutnya

Diharapkan peneliti selanjutnya untuk meneliti tentang faktor lain yang

berhubungan kejadian stunting pada anak usia 24-60 bulan secara luas dengan

50
51

menggunakan variabel dan berbeda dengan menggunakan sampel yang lebih

banyak agar didapatkan hasil yang lebih signifikan.


DAFTAR PUSTAKA

Adriani, M., & Wirjatmadi, B. (2016). Peranan Gizi dalam Siklus Kehidupan.
Jakarta: Kencana.
Dinkes Kab. Maros. (2017). Profil Kesehatan Kabupaten Maros Tahun 2016. Maros:
Dinas Kesehatan Kabupaten Maros.
Dinkes Sulsel. (2017). Profil Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Selatan Tahun
2017. Makassar: Dinas Kesehatan Sulawesi Selatan.
Hasdianah, Siyoto, S., & Peristyowati, Y. (2014). Gizi, Pemantapan Gizi, Diet dan
Obesitas. Yogyakarta: Nuha Medika.
Kementerian Kesehatan RI. (2018). Hasil Utama Riskesdas 2018. Jakarta: Badan
Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI.
Loya, R. R., & Nuryanto. (2017). Pola Asuh Pemberian Makan pada Balita Stunting
Usia 6-12 Bulan di Kabupaten Sumba Tengah Nusa Tenggara Timur.
Journal of Nutrition College, Volume 6, Nomor 1.
Nabuasa, C. D., Juffrie, M., & Huriyati, E. (2013). Riwayat Pola Asuh, Pola Makan,
Asupan Zat Gizi Berhubungan dengan Stunting pada Anak 24–59 Bulan di
Biboki Utara, Timor Tengah Utara, Nusa Tenggara Timur. Jurnal Gizi dan
Diabetik Indonesia, Vol. 1, No. 3.
Notoatmodjo, S. (2014). Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: PT. Rineka
Cipta.
Nursalam. (2016). Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan: Pendekatan Praktis.
Jakarta: Salemba Medika.
Rahmad, A. H., & Miko, A. (2016). Kajian Stunting pada Anak Balita Berdasarkan
Pola Asuh dan Pendapatan Keluarga di Kota Banda Aceh. Jurnal Kesmas
Indonesia, Volume 8 No 2.
Ramayulis, R., Kresnawan, T., Iwaningsih, S., & Rochani, N. S. (2018). Stop
Stunting dengan Konseling Gizi. Jakarta: Penebar Plus.
Setiawan, D., & Prasetyo, H. (2015). Metodologi Penelitian Kesehatan Untuk
Mahasiswa Kesehatan. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Suciati, D. K. (2014). Ilmu Keperawatan Dasar (IKD). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Sulistyoningsih, H. (2014). Gizi untuk Kesehatan Ibu dan Anak. Yogyakarta: Graha
Ilmu.
Supariasa, I. N., Bakri, B., & Fajar, I. (2016). Penilaian Status Gizi. Jakarta: EGC.
WHO. (2018). Reducing Stunting in Children: Equity Considerations for Achieving
The Global Nutrition Targets 2025. Geneva 27, Switzerland: Department of
Nutrition for Health and Development.
Yati, D. Y. (2018). Hubungan Pola Pemberian Makan dengan Stunting pada Balita
Usia 36- 59 Bulan di Desa Mulo dan Wunung di Wilayah Kerja Puskesmas
Wonosari I. Naskah Publikasi Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas
‘Aisyiyah Yogyakarta.

Anda mungkin juga menyukai