Anda di halaman 1dari 5

BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Status gizi merupakan kebutuhan yang sangat penting dalam proses pertumbuhan, dan
perkembangan otak, membangun sistem kekebalan tubuh yang kuat. Anak usia di bawah 5 tahun menjadi
golongan yang rentan mengalami kekurangan gizi (Nigatu et al., 2018). Dampak kekurangan gizi tidak
hanya pada sektor kesehatan (morbiditas, mortalitas dan disabilitas) tetapi juga menurunkan kualitas
sumber daya manusia (SDM) suatu bangsa. Masalah kekurangan gizi menjadi hal yang penting dan
ditanggulangi dengan segera. (Kemenkes, 2018)

Status gizi bayi atau balita merupakan salah satu indikator yang menggambarkan tingkat kesejahter
aan masyarakat. Penilaian status pada gizi bayi/balita dapat dilakukan dengan pengukuran antropometri. In
dikator yang diukur ada tiga macam, yaitu berat badan menurut umur (BB/U), tinggi badan menurut umur
(TB/U) dan berat badan menurut tinggi badan (BB/TB). Indikator yang sering digunakan adalah berat bada
n menurut umur (BB/U). Berdasarkan standar baku nasional indeks BB/U terdiri dari gizi lebih, gizi baik,
gizi kurang dan gizi buruk. ( Nigatu et al, 2018 ).

Praktik pemberian makanan pendamping air susu ibu ( MP-ASI ) merupakan faktor penting untuk
pemenuhan gizi anak karena mulai usia 6 bulan terjadi ketimpangan gizi antara jumlah yang dibutuhkan
dengan energi dan zat gizi yang tersedia dari ASI sehingga harus dipenuhi dari MP-ASI. Kekurangan
asupan gizi dari MP-ASI pada anak usia 6 - 23 bulan menyebabkan terjadinya gangguan pertumbuhan dan
tingginya risiko menderita stunting. Menurut ( WHO ) menyatakan sekitar 32% anak usia balita di negara -
negara berkembang menderita stunting dan 10% menderita wasting disebabkan oleh MP-ASI yang tidak
optimal dan salah satu penyebab langsung terjadinya kekurangan gizi dan stunting pada anak khususnya
pada anak usia 6 - 23 bulan adalah praktik pemberian MP-ASI yang tidak optimal. ( Siti Madanijah,
2019 ).

Keadaan yang mempengaruhi awal tumbuh kembang adalah nutrisi. Pada setiap bayi harus
mendapatkan ASI untuk memenuhi kebutuhan zat gizi bayi dan kebutuhan bayi akan nutrisi semakin
meningkat seiring dengan bertambahnya usia bayi dikarenan proses tumbuh kembang bayi sedangkan
terkadang ASI yang dihasilkan ibunya kurang memenuhi kebutuhan gizi bayi. Oleh karena itu, pada usia 6
bulan bayi mulai diperkenalkan dan diberikan gizi tambahan yang berupa makanan pendamping air susu
ibu (MP-ASI) atau makanan tambahan yang bertujuan agar gizi bayi bisa terpenuhi. Makanan Pendamping
Air Susu Ibu (MP-ASI) adalah makanan atau minuman yang mengandung zat yang diberikan pada bayi
atau anak usia 6-24 bulan guna memenuhi kebutuhan gizi selain ASI. Pemberian MP-ASI merupakan
proses transisi asupan dari susu (ASI) menuju makanan keluarga semi padat secara bertahap, seperti jenis,
jumlah, frekuensi, maupun tekstur dan konsistensinya sampai kebutuhan bayi terpenuhi (Rotua,
Novayelinda, & Utomo, 2018).

Masalah kekurangan gizi dipengaruhi oleh beberapa faktor, salah satunya Pemberian Makanan
Pendamping Air Susu Ibu (MPASI) yang kurang tepat. MPASI merupakan makanan peralihan dari ASI ke
makanan keluarga diberikan kepada anak usia 6–23 bulan secara bertahap jenis, frekuensi pemberian,
jumlah porsi dan bentuk makanan yang disesuaikan dengan usia dan kemampuan bayi dalam mencerna
makanan untuk pemenuhan kebutuhan gizinya (Lestiarini and Sulistyorini, 2020). MPASI secara kualitas
harus terpenuhi energi, protein, dan mikronutrien dengan secara seimbang agar dapat tumbuh dengan
optimal (Amperaningsih, Sari and Perdana, 2018). Beberapa hal yang harus di perhatikan dalam
pemberian MPASI yaitu kecukupan, ketersediaan dan penyajiannya. Pola Pemberian MP-ASI yang tepat
pada bayi tidak hanya mencapai pertumbuhan yang optimal tetapi juga mencegah terjadinya malnutrisi
(Zogara, 2020).

Menurut Hasil Riset Kesehatan Dasar Riskesdas tahun 2018 menjelaskan kekurangan gizi pada
balita berdasarkan indeks berat badan menurut umur ( BB/U ) meliputi kategori berat badan sangat kurang
dan berat badan kurang. Riset Kesehatan Dasar ( Riskesdas ) tahun 2018 yang diselenggarakan oleh
Kementerian Kesehatan menyatakan bahwa presentase berat badan sangat kurang pada balita usia 0-23
bulan (baduta) di Indonesia adalah 3,8%, sedangkan persentase berat badan kurang adalah 11,4%. Pada
balita usia 0-59 bulan, persentase berat badan sangat kurang adalah 3,9%, sedangkan persentase berat
badan kurang adalah 13,8%.

Menurut Hasil Data Puskesmas Buduran tahun 2021 menjelaskan kekurangan gizi pada balita
berdasarkan jumlah balita di puskesmas buduran sebanyak 11.688 balita dan jumlah balita yang datang dan
ditimbang sebanyak 13.425 balita ( D/S ) 68,0%. Daru 5.432 balita yang ditimbang di dapatkan hasil gizi
kurang ( BB/U ) sebanyak 379 balita ( 9,7% ). Jumlah balita yang diukur tinggi badan sebanyak 370 balita
dengan hasil balita pendek ( TB/U ) sebanyak ( 9,5% ). Jumlah balita yang diukur tinggi badan dan berat
badan sebanyak 544 di dapatkan hasil balita kurus ( BB/TB ) sebanyak ( 13,9% ).

Status gizi di indonesia sebagian besar sudah tergolong cukup baik. Namun, masih ada beberapa
anak yang memiliki gangguan seperti adanya status gizi buruk, gizi kurang dan bahkan ada yang status gizi
lebih. Data di indonesia pada tahun 2018 menyatakan bahwa presentase anak yang mengalami gizi buruk
dan gizi kurang secara nasional mencapai 17,7% di indonesia, sebesar 13,8% anak menderita kurang gizi
dan 4% anak menderita gizi buruk ( Kemenkes RI, 2018 ). sementara peningkatan kesehatan gizi pada
masyarakat telah mempunyai target prevalensi kurang gizi pada bayi dibawah lima tahun yaitu kurang dari
17% ditahun 2019.

Posyandu merupakan salah satu bentuk upaya kesehatan bersumber daya masyarakat ( UKBM )
yang dikelola dan diselenggarakan dari, oleh, dan untuk masyarakat dalam penyelenggaraan pembangunan
kesehatan untuk memberdayakan masyarakat dan memberikan kemudahan kepada masyarakat dalam
memperoleh pelayanan kesehatan dasar, utamanya untuk mempercepat penurunan angka kematian ibu dan
bayi. Kegiatan yang ada diposyandu terdapat lima kegiatan yaitu keluarga berencana ( KB ), kesehatan ibu
dan anak ( KIA ), gizi, imunisasi, dan penanggulangan diare dapat digunakan sebagai upaya untuk
menurunkan angka kematian bayi dan balita ( WHO, 2021 ).

B. Pembatasan Masalah

Berdasarkan uraian diatas mengenai hubungan praktik pemberian MP-ASI. Dalam


penelitian ini terfokus pada dua variabel yang paling dominan praktik pemberian MP-ASI yakni usia
pertama pemberian MP-ASI, Frekuensi MP-ASI yang diberikan, Jenis MP-ASI yang diberikan,
Tekstur MP-ASI yang diberikan, jumlah MP-ASI yang diberikan, dan Status gizi bayi di posyandu
Buduran Sidoarjo.

C. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian dalam latar belakang dapat dibuat rumusan masalah sebagai berikut “
Apakah ada hubungan praktik pemberian MP-ASI dengan status gizi bayi ( BB/U ) usia 6-23 bulan di
posyandu buduran sidoarjo ?

D. Tujuan Peneliti

1. Tujuan Umum

Menganalisis hubungan praktik pemberian MP-ASI dengan status gizi bayi


( BB/U ) usia 6 - 23 bulan di posyandu buduran sidoarjo

2. Tujuan Khusus
a. Mendeskripsikan praktik pemberian MP-ASI pada bayi usia 6 – 23 bulan di p
osyandu buduran sidoarjo
b. Mendeskripsikan status gizi bayi usia 6 – 23 bulan di posyandu buduran
sidoarjo
c. Menganalisis hubungan praktik pemberian MP-ASI dengan status gizi bayi
usia 6 – 23 bulan di posyandu buduran sidoarjo
E. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Praktis

d. Bagi kader posyandu

Menambahkan referensi dan pengetahuan tentang hubungan praktik pemb


erian MP-ASI dengan status gizi bayi usia 6 – 23 bulan di posyandu
buduran sidoarjo

e. Bagi responden

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan kepa


da responden tentang pentingnya praktik pemberian makanan pendamping
ASI pada saat yang tepat

f. Bagi peneliti

Hasil dari penelitian ini diharapkan mampu menambah pengetahuan dan s


ebagai pengalaman dalam merealisasikan teori yang telah saya dapat diba
ngku perkuliahan dan mengenai praktik pemberian MP-ASI dengan status
gizi bayi usia 6 – 23 bulan.

Anda mungkin juga menyukai