Anda di halaman 1dari 28

BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Masalah gizi yang paling banyak ditemukan di Indonesia adalah stun

ting, yaitu gangguan pertumbuhan yang terjadi akibat kondisi dimana kekurangan

gizi kronis. Stunting ( gizi kurang ) pada balita merupakan manifestasi dari kekura

ngan zat gizi kronis. Prevalensi stunting pada balita di Indonesia cukup mengkha

watirkan secara nasional prevalensi stunting tahun 2018 sebesar 30%. World Heal

th Organization ( WHO ) menetapkan angka masalah kesehatan masyarakat tidak

melebihi 20%. Dengan demikian bahwa Indonesia termasuk dalam negara yang be

rmasalah dengan kesehatan masyarakat. Menurut Data Riset Kesehatan Dasar

tahun 2018 menunjukkan kasus kekurangan gizi pada balita berdasarkan indeks

berat badan menurut umur ( BB/U ) meliputi kategori berat badan sangat kurang

dan berat badan kurang dan yang diselenggarakan oleh Kementerian Kesehatan

menyatakan bahwa presentase berat badan sangat kurang pada balita usia 0-23

bulan (baduta) di Indonesia adalah 3,8%, sedangkan persentase berat badan

kurang adalah 11,4%.

Pada balita usia 0-59 bulan, persentase berat badan sangat kurang adalah

3,9%, sedangkan persentase berat badan kurang adalah 13,8%. Masalah

kekurangan gizi dipengaruhi oleh beberapa faktor, salah satunya Pemberian

Makanan Pendamping Air Susu Ibu (MPASI) yang kurang tepat. MPASI

merupakan makanan peralihan dari ASI ke makanan keluarga diberikan kepada

anak usia 6–23 bulan secara bertahap jenis, frekuensi pemberian, jumlah porsi dan
bentuk makanan yang disesuaikan dengan usia dan kemampuan bayi dalam

mencerna makanan untuk pemenuhan kebutuhan gizinya (Lestiarini and

Sulistyorini, 2020). MPASI secara kualitas harus terpenuhi energi, protein, dan

mikronutrien dengan secara seimbang agar dapat tumbuh dengan optimal

(Amperaningsih, Sari and Perdana, 2018). Beberapa hal yang harus di perhatikan

dalam pemberian MPASI yaitu kecukupan, ketersediaan dan penyajiannya. Pola

Pemberian MP-ASI yang tepat pada bayi tidak hanya mencapai pertumbuhan

yang optimal tetapi juga mencegah terjadinya malnutrisi (Zogara, 2020).

Indonesia sebagai negara berkembang, masih menghadapi berbagai

permasalahan gizi. Kejadian balita stunting merupakan msalah gizi utama yang

dihadapi Indonesia. Berdasarkan data Pemantauan Status Gizi (PSG) selama tiga

12 tahun terakhir status gizi stunting memiliki prevalensi tertinggi dibandingkan

dengan masalah gizi lainnya seperti gizi kurang, gizi kurus, dan gemuk. Stunting

merupakan gambaran terhambatnya pertumbuhan sebagai akibat dari kurangnya

asupan zat gizi dalam jangka waktu lama (Pusdatin Kemenkes RI, 2018).

Berdasarkan data prevalensi balita stunting yang dikumpulkan World Health

Organization (WHO), Indonesia negara ketiga dengan prevalensi tertinggi di

regional Asia Tenggara/South-East Asia Regional (SEAR). Rata-rata prevalensi

balita stunting di Indonesia tahun 2005-2017 sebanyak 36,4%. Prevalensi balita

pendek mengalami peningkatan dari tahun 2016 sebanyak 27,5% menjadi 29,6%

pada tahun 2017, dan meningkat di tahun 2018 menjadi 30,8% (Pusdatin

Kemenkes RI, 2018). Menurut PSG tahun 2017, kejadian stunting di Jawa Timur

sebesar 26,7% antara lain 18,8% pendek dan 7,9% sangat pendek.
Praktik pemberian makanan pendamping air susu ibu ( MP-ASI )

merupakan faktor penting untuk pemenuhan gizi anak karena mulai usia 6 bulan

terjadi ketimpangan gizi antara jumlah yang dibutuhkan dengan energi dan zat

gizi yang tersedia dari ASI sehingga harus dipenuhi dari MP-ASI. Kekurangan

asupan gizi dari MP-ASI pada anak usia 6 - 23 bulan menyebabkan terjadinya

gangguan pertumbuhan dan tingginya risiko menderita stunting. Menurut

( WHO ) menyatakan sekitar 32% anak usia balita di negara - negara berkembang

menderita stunting dan 10% menderita wasting disebabkan oleh MP-ASI yang

tidak optimal dan salah satu penyebab langsung terjadinya kekurangan gizi dan

stunting pada anak khususnya pada anak usia 6 - 23 bulan adalah praktik

pemberian MP-ASI yang tidak optimal. ( Siti Madanijah, 2019 ).

Berdasarkan Hasil penelitian fitriani ( 2019 ) sebelumnya menemukan

bahwa masih ada beberapa ibu yang masih kurang benar dalam praktik pemberian

MP-ASI terutama MP-ASI yang terbuat dari oleh olahan sendiri dan pengetahuan

terhadap pemberian MP-ASI tersebut. Permasalahan tersebut terjadi karena ibu

tidak memperhatikan komposisi pada makanan yang dibuat. Berdasarkan

Kementrian Kesehatan RI ( 2020 ) komposisi MP-ASI yang baik jika MP-ASI

tersebut menggunakan bumbu secukupnya dan untuk ditelannya mudah bagi bayi.

Pada energi, protein, dan mengandung zat gizi mikro yang sudah tidak didapat

sepenuhnya di ASI seperti Fe, Zinc, Kalsium, Vitamin A, Vitamin C dan Folat.

Menurut Hasil penelitian Fitriani ( 2019 ) memperlihatkan kecukupan energi pada

MP-ASI lokal disebabkan ibu bayi membuat makanannya menggunakan bahan

alami seperti beras. Jika ibu dalam mengolah dan selama proses pemberian MP-

ASI dapat memperhatikan bahan dan komposisi diatas yang harus dipenuhi untuk
mencapai MP-ASI yang baik, maka dapat kemungkinan bayi tidak akan

mengalami status gizi kurang, buruk, maupun obesitas.

Kenaikan angka stunting pada kelompok usia enam bulan hingga dua

tahun menunjukkan bahwa terdapat anak Indonesia tidak mendapatkan praktik

pemberian makan yang memadai dan makanan pendamping yang sesuai. Lebih

dari 40% bayi diperkenalkan kepada makanan pendamping ASI terlalu dini

(sebelum mencapai enam bulan), bahan makanan yang dikonsumsi 40% anak usia

6–24 bulan tidak beragam, dan 28% anak tidak mendapatkan makanan dalam

frekuensi yang cukup. Hal ini semua anak ini mendapatkan kualitas asupan

makanan yang rendah dan serta mengalami kekurangan nurrisi penting (UNICEF,

2020).

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan yang signifikan

antara praktik pemberian MP-ASI dengan status gizi bayi indeks ( BB/ U ) usia 6

- 23 bulan ( Ayuningtyas, 2018 ). Hal ini disebabkan mayoritas ibu yang tidak

memberikan frekuensi yang tepat berstatus gizi kurang. Hal ini bisa terjadi karena

masih banyak ibu yang memberikan makanan kepada anaknya berdasarkan

perkiraan mereka yang mayoritas menganggap bahwa anak yang rewel berarti ia

sedang lapar, sehingga diberikan frekuensi makanan dalam sehari kadang 4 -6 kali

dan hal tersebut berarti diluar dari frekuensi yang seharusnya dan terlebih anak

tersebut masih berusia 6 - 9 bulan.

Menurut penelitian (S. Pramulya et al., 2021) terdapat hubungan antara praktik

pemberian MP-ASI dengan status gizi bayi. Menurut (Arsyati M. A dan Rahayu,

2019) hasil penelitian didapatkan bahwa MP-ASI yang tidak tepat sebagian besar
mengalami stunting yaitu 47% dan yang memberikan MP-ASI secara tepat status

gizinya normal sebanyak 45%. Hasil analisis terdapat hubungan antara pemberian

MP-ASI terhadap kejadian stunting pada balita. Berdasarkan latar belakang

tersebut penulis ingin meneliti Hubungan antara praktik pemberian MP-ASI

dengan Status gizi bayi indeks ( BB/ U ) usia 6 - 23 bulan, dengan mengambil

variabel praktik pemberian MP-ASI dan status gizi bayi usia 6 - 23 bulan.

B. Pembatasan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dijelaskan maka peneliti membatasi

masalah agar penelitian ini dapat dilakukan dengan lebih terfokus. Maka dari itu

agar penelitian ini lebih terarah penulis membatasi penelitian ini dan berfokus

pada hubungan praktik pemberian MP-ASI dengan status gizi (BB/U) usia 6 - 23

bulan diposyandu buduran sidoarjo.

C. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian dalam latar belakang dapat dibuat rumusan masalah

sebagai berikut “ Bagaimana hubungan antara praktik pemberian MP-ASI

dengan status gizi bayi ( BB/U ) usia 6-23 bulan di posyandu buduran sidoarjo

D. Tujuan Peneliti

1. Tujuan Umum
Menganalisis hubungan antara praktik pemberian MP-A

SI dengan status gizi bayi ( BB/U ) usia 6 - 23 bulan di

posyandu buduran sidoarjo

2. Tujuan Khusus

a. Mengidentifikasi praktik pemberian MP-ASI pada ba

yi usia 6 – 23 bulan di posyandu buduran sidoarjo

b. Mengidentifikasi status gizi bayi usia 6 – 23 bula

n di posyandu buduran sidoarjo

c. Mengidentifikasi hubungan antara praktik pemberian

MP-ASI dengan status gizi bayi usia 6 – 23 bulan d

i posyandu buduran sidoarjo.

E. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Praktis

a Bagi kader posyandu

Menambahkan referensi dan pengetahuan tentang hubungan

praktik pemberian MP-ASI dengan status gizi bayi usia 6 – 23

bulan di posyandu buduran sidoarjo

b Bagi responden

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengetah

uan kepada responden tentang pentingnya praktik pemberian makan

an pendamping ASI pada saat yang tepat

c Bagi peneliti
Hasil dari penelitian ini diharapkan mampu menambah pengetah

uan dan sebagai pengalaman dalam merealisasikan teori yang telah s

aya dapat dibangku perkuliahan dan mengenai praktik pemberian M

P-ASI dengan status gizi bayi usia 6 – 23 bulan.


BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

A. Praktik Pemberian MP-ASI

1. Pengertian MP-ASI

Makanan pendamping ASI ( MP-ASI ) merupakan makanan dan minuman

yang diberikan untuk memenuhi kebutuhan zat gizi anak usia 6 sampai 23 bul

an. WHO bekerja sama dengan Kementrian Kesehatan dan Ikatan Doktor An

ak Indonesia ( IDAI ) menegaskan bahwa hanya ASI ekslusif yang diberikan

hingga usia 6 bulan. Makanan pendamping ASI dapat diperkenalkan kepada

bayi saat mereka berusia 6 bulan atau lebih. MPASI adalah makanan alternati

f dari ASI ke makanan keluarga yang dapat berlangsung secara bertahap sepe

rti jenis, jumlah makan, frekuensi asupan, dan jenis makanan sesuai dengan u

sia dan kemampuan pencernaan bayi. Karena bayi dapat lebih aktif jika setela

h usia 6 bulan, mereka membutuhkan makanan yang dapat melengkapi ASI u

ntuk memenuhi kebutuhan zat gizi perkembangan dan pertumbuhannya. Seja

k usia 6 bulan bayi mengalami pertumbuhan yang sangat pesat sehingga mem

butuhkan auspan yang lebih banyak ( Lestiarini dan Sulistyorini, 2020 ).

2. Tujuan Pemberian MP-ASI

Tujuan pemberian MP-ASI adalah untuk melengkapi zat gizi dalam ASI

yang terus berkurang dalam seiring dengan pertumbuhan usia anak. Seiring d
engan bertambahnya usia dan pertumbuhan anak kebutuhan zat gizinya juga

dapat meningkat. Sehingga, anak membutuhkan makanan pendamping untuk

melengkapinya. MP-ASI juga dapat mengembangkan kemampuan anak untu

k menerima berbagai makanan dalam berbagai rasa dan bentuk untuk mening

katkan kemampuan dan dalam mengunyah, menelan, dan dapat beradaptasi d

engan makanan baru (Lestiarini dan Sulistyorini, 2020).

3. Praktik Pemberian MP-ASI

Praktik pemberian MP-ASI adalah suatu kegiatan dimana yang dilaku

kan oleh seseorang sebagai perwujudan dari sikap untuk mengambil tindakan

yang diperlukan elemen pendukung, termasuk salah satunya adalah fasilitas.

Ada tiga macam tingkat yang dapat membentuk sebuah praktik individu. Dal

am hal ini dapat tingkatan praktik ibu memberikan MP-ASI kepada anak dap

at berupa respon terbimbing, ibu secara berurutan memberikan MP-ASI kepa

da anak sesuai mekanisme yang telah didapatkan, mekanisme yaitu Ketika ib

u dapat secara otomatis melakukan praktik pemberian MP-ASI dengan tepat

dan benar menjadi sebuah kebiasaan dan adaptasi ( Notoatmodjo, 2019 ).

4. Prinsip Pemberian MP-ASI

a) Usia Pertama Pemberian MP-ASI

Pada saat usia 6 bulan anak dapat diperkenalkan dengan makanan l

unak, semi padat. Pengenalan makanan pertama yang tepat waktu sangat

penting, karena ASI saja tidak lagi cukup untuk memenuhi kebutuhan an

ak untuk pertumbuhan dan perkembangan yang optimal ( UNICEF, 2020

). Meskipun dalam hal pemberian makanan tambahan sejak dini memilik

i banyak pengaruh yang sangat kecil terhadap pertumbuhan anak hal ini j
elas dapat berdampak negatif terhadap kesehatan anak dan dapat mempen

garuhi kelangsungan hidup anak. Pemberian MP-ASI terlalu dini terutam

a saat usia 4 bulan dapat meningkatkan risiko penyakit gastrointestinal, d

efiensi mikronutrien, dan kerentanan terhadap berbagai penyakit menular

yang dapat menyebabkan pertumbuhan anak menjadi terhambat selama d

ua tahun pertama kehidupan ( Wngiyana, 2020 ).

b) Jenis Waktu

Praktik pemberian MP-ASI yang tepat dan benar dengan

frekuensi dan variasi pemberian MP-ASI yang minimal tanpa

frekuensi makan dan jenis MP-ASI yang beragam. Anak dapat

berisiko kekurangan gizi yang dapat mengakibatkan terjadinya

stunting serta dapat meningkatkan morbiditas dan mortalitas. Oleh

karena itu menurut ( UNICEF, 2020 ) menyarankan anak usia 6 - 23

bulan sangat perlu mengkonsumsi makanan setidaknya empat dari

tujuh jenis makanan untuk memenuhi kebutuhan zat gizi dan dapat

memperkenalkan berbagai rasa dan tekstur. Makanan yang berbagai

ragam setiap hari mencakup dari berbagai kelompok pangan yaitu :

biji- bijian, akar dan umbi - umbian, kacang polong dan kacang -

kacangan, produk susu ( susu, yoghurt, keju ), daging ( sapi, ikan,

unggas, dan hati atau jeroan ), telur, buah - buahan, sayuran yang kaya

vitamin A ( wortel, labu, ubi jalar kuning ).

c) Frekuensi MP-ASI

Frekuensi pemberian makanan tambahan dapat bergantung

pada tahap perkembangan dan pertumbuhan bayi usia 6 - 23 bulan.


Frekuensi pemberian makanan tambahan harus mengkonsumsi

makanan dalam jumlah yang sesuai untuk memenuhi kebutuhan

asupan kalori dan zat gizi yang lainnya. Jika frekuensi asupan MP-

ASI cukup maka dapat memenuhi asupan makanan dan asupan zat

gizi anak berdasarkan usianya. ( Wangiyana, 2020 ). Frekuensi

MP-ASI anak harus sesering mungkin karena anak dapat

mengkonsumsi makanan dengan sedikit demi sedikit. Sedangkan,

kebutuhan asupan kalori anak dan zat gizi yang lainnya harus

terpenuhi. Pada anak normal untuk rata - rata waktu pengosongan

lambung adalah 50% dan waktu 100 menit untuk makanan padat,

dan untuk 75 menit adalah untuk makanan cair.

d) Tekstur MP-ASI

Tekstur MP-ASI dapat berkembang dengan secara bertahap

dari tekstur lumat menjadi lunak, lalu menjadi padat. Seiring dengan

bertambahnya usia anak sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan

anak. Tekstur MP-ASI dapat berpindah dari yang awal mulanya

makan - makanan dihaluskan ke makanan lunak lalu ke makanan

keluarga dan kondisi ini dimana pada saat mencapai usia tahun

pertama. Tekstur MP-ASI yang tidak tepat dapat mengganggu

asupan gizi pada anak. Karena anak dapat mengkonsumsi dalam

jumlah yang sangat sedikit ( UNICEF, 2020 ). Berdasarkan

penelitian oleh ( Purnama et al, 2022 ) mengatakan bahwa untuk

mengenai tekstur MP-ASI pada baduta di Kab. Bima didapatkan

bahwa sebanyak 77% responden masih terdapat sangat kurang dan


salah dalam menentukan tekstur MP-ASI pada baduta. Tekstur MP-

ASI terbagi menjadi tiga jenis tekstur yaitu : makanan lumat,

makanan lunak, dan makanan padat. Makanan lumat dimana

makanan yang telah dihancurkan atau disaring sebelumnya dan pada

bentuk lebih kasar dari pada makanan yang lumat halus, contohnya

bubur sumsum, pisang saring, tomat saring. Untuk makanan lunak

yaitu makanan yang terlihat berair karena dimasak dengan banyak

menambahkan air, contohnya seperti bubur ayam. Makanan padat

dalam makanan padat ini bahwa makanan yang lunak yang tidak

berair dan biasa disebut dengan makanan keluarga, contohnya

seperti lontong, kentang rebus, dan biskuit ( Rahmawati, 2019 ).

e) Jumlah MP-ASI

Jumlah MP-ASI dapat memperkenalkan pada anak dalam jumlah

porsi kecil dan dapat meningkatkan jumlah setiap makan secara

bertahap dengan seiringnya bertambah usia anak. Pada jumlah

makanan yang sesuai dengan usia yang dapat direkomendasikan

untuk anak yang disusui dan tidak disusui yaitu :

- 6 sampai 8 bulan : 2 - 3 sendok makan dan ditingkatkan secara bertahap sampai

1/2 mangkok kecil atau setara dengan 125 ml

- 9 sampai 11 bulan : 1/2 mangkok kecil atau setara dengan 125 ml

- 12 sampai 23 bulan : 3/4 sampai 1 mangkok kecil atau setara dengan 175 - 250

ml ( UNICEF, 2020 ).

5. Alasan MP-ASI diberikan Usia 6 Bulan


Menurut ( R Wijayanti, 2022 ) MP-ASI diberikan pada saat bayi usia 6 bulan

karena :

a. Bayi mengalami growth spurt (percepatan pertumbuhan) p

ada usia 3-4 bulan, bayi peningkatan nafsu makan, tetapi b

ukan berarti pada saat usia tersebut bayi siap untuk meneri

ma makanan padat.

b. 0-6 bulan kebutuhan bayi bisa dipenuhi hanya dengan men

gkonsumsi ASI.

c. Umumnya bayi telah siap dengan makanan padat pada usi

a 6 bulan karena pada usia 6 bulan ASI hanya memenuhi 6

0-70% kebutuhan gizi ibu.

d. Tidak dianjurkan untuk memperkenalkan makanan semi p

adat atau padat pada bayi berusia 4-6 bulan karena, sistem

pencernaan mereka belum siap menerima makanan tersebu

t.

e. Pemberian makanan sebelum usia 6 bulan, meningkatkan r

esiko alergi, obesitas, mengurangi minat terhadap ASI.

6. Variasi dalam menu MP-ASI

Menurut WHO pada usia 6 bulan sistem pencernaan bayi termasuk

pankreas telah berkembang dengan baik sehingga bayi telah mampu

mengolah, mencerna serta menyerap berbagai jenis bahan makanan seperti

protein, lemak dan karbohidrat. Beraneka ragam bahan makanan bergizi

seimbang kualitas 4 bintang yang tentunya mudah dapat dijangkau sesuai


kearifan lokal (Sukrita, 2018). Menu empat bintang di dalam MP-ASI sebagai

berikut:

a) Bintang pertama : makanan hewani seperti daging, ayam,

hati, dan telur. Semua makanan tersebut mengandung zat

besi tinggi selain itu ada ikan dan susu ( jika bayi tidak

mendapatkan ASI )

b) Bintang kedua : kacang - kacangan seperti kacang polong

dan biji - bijian.

c) Bintang ketiga : seperti buah - buahan dan sayuran.

Terutama buah yang kaya vitamin A seperti buah pepaya,

mangga, markisa. Untuk sayuran yang mengandung vitamin

A seperti sayuran hijau, wortel, labu, dan ubi jalar.

d) Bintang empat : makanan pokok yang tidak hanya padi atau

beras. Tetapi juga umbi - umbian, jagung, dan yang lain

mengandung karbohidrat.

7. Syarat - syarat Pemberian MP-ASI

a) Tepat waktu (timely), dimana MP-ASI harus diberikan saat ASI

eksklusif sudah tidak dapat memenuhi kebutuhan nutrisi bayi.

b) Adekuat, artinya MP-ASI memiliki kandungan energi, protein, dan

zat gizi mikro yang dapat memenuhi kebutuhan makronutrien dan

mikronutrien pada bayi. Asupan energi dan protein yang kurang

merupakan penyebab kegagalan pertumbuhan. Asupan protein yang


cukup hanya dapat terpenuhi jika asupan energi cukup. Protein

berperan penting dalam pengaturan serum insulin.

c) Aman, artinya MP-ASI disiapkan dan disimpan dengan cara yang

higienis, menggunakan tangan dan peralatan makan yang bersih.

Diberikan dengan cara yang benar (properly fed), artinya MP-ASI

yang

d) Diberikan dengan cara yang benar artinya MP-ASI yang diberikan

dengan memperhatikan sinyal lapar dan kenyang pada seorang anak.

Frekuensi makan dan metode pemberian makan harus dapat

mendorong anak untuk mengkonsumsi makanan secara aktif dalam

jumlah yang cukup dengan menggunakan tangan, sendok, atau

makan sendiri yang disesuaikan dengan usia dan tahap

perkembangan seorang anak.

8. Masalah dalam Pemberian MP-ASI

Dari hasil berbagai penelitian menyatakan bahwa keadaan anak yang

kekurangan gizi disebabkan keran kebiasaan pola pemberian MP-ASI yang tidak

tepat. Selain itu, untuk ibu - ibu sangat kurang menyadari bahwa setelah bayi

berusia 6 bulan memerlukan MP-ASI dalam jumlah dan mutu yang semakin

bertambah yang sesuai dengan usia pertumbuhan bayi dan kemampuan untuk

mencerna.

Untuk beberapa permasalahan dalam pemberian MP-ASI usia 0 - 24 bulan :

a) Pemberian makanan pralaktal


Pemberian makanan pralaktak yang dapat disebut dengan ( makanan sebelum

asi keluar ) dalam makanan pralaktal seperti ini makanan yang jenis nya seperti air

kelapa, air the, pisang dan makanan jenis seperti ini diberikan saat bayi yang baru

lahir sebelum ASI keluar

b) Kolostrum dibuang

Kolostrum merupakan ASI yang saat keluar pada hari pertama, kental dan

bewarna kekuning - kuningan dan seperti ini masih terdapat banyak ibu - ibu yang

tidak memberikan kolostrum kepada bayinya. Kemudian, kolostrum mengandung

zat yang untuk kekebalan yang dapat melindungi bayi dari penyakit dan

mengandung zat gizi yang tinggi.

c) Pemberian MP-ASI yang terlalu dini atau terlambat

Pemberian MP-ASI yang terlalu dini sebelum usia bayi 6 bulan dapat

menurunkan konsumsi ASI dan gangguan pencernaan seperti diare. Jika

pemberian MP-ASI terlambat bayi sudah lewat dari usia 6 bulan dapat

mengakibatkan hambatan pertumbuhan.

d) Pemberian MP-ASI sebelum ASI

Pada saat usia 6 bulan pemberian ASI yang dilakukan sesudah MP-ASI dapat

menyebabkan ASI kurang dikonsumsi. Pada periode ini zat - zat yang sangat

diperlukan saat bayi diperoleh ASI. Dengan memberikan MP-ASI terlebih dahulu

berarti kemampuan bayi untuk mengkonsumsi ASI berkurang yang berakibat

menurunnya produksi ASI. Hal ini dapat berakibatkan anak menderita kurang

gizi. Seharusnya ASI diberikan dahulu baru MP-ASI.


e) Kebersihan kurang

Pada umumnya saat ibu kurang menjaga kebersihan terutama pada saat

menyediakan dan memberikan makanan pada anak masih banyak ibu - ibu yang

menyuapi anaknya dengan tangan dan menyiapkan makanan matang tanpa tutup

makanan atau dapat disebut dengan tudung saji dan ibu - ibu kurang mengamati

perilaku kebersihan dari pengasuh anaknya. Dan hal ini memungkinkan timbulnya

berbagai penyakit infeksi seperti diare.

B. Status Gizi

1. Pengertian Status Gizi

Status gizi merupakan ekspresi dari keseimbangan pada zat gizi dengan

kebutuhan tubuh yang dapat diwujudkan dalam bentuk variabel tertentu.

Ketidakseimbangan pada zat gizi dapat menyebabkan kelainan patologi bagi

tubuh manusia. Secara umum bentuk kelainan zat gizi terdapat menjadi 2

bagian yaitu : overnutrition ( kelebihan gizi ) dan under nutrition (

kekurangan gizi ). overnutrition merupakan dimana suatu keadaan tubuh

diakibatkan mengkonsumsi zat gizi yang melebihi kebutuhan dalam waktu

yang relatif lama. Sedangkan, under nutrition merupakan dimana keadaan

tubuh yang disebabkan oleh asupan zat gizi sehari - hari yang kurang

sehingga tidak dapat memenuhi kebutuhan zat gizi ( Hidayati et al, 2019 ).

2. Penilaian Status Gizi

Penilaian status gizi dapat dikelompokkan berdasarkan tingkat

perkembangan kekurangan gizi yaitu dapat meliputi metode antropometri,

metode klinis, metode laboratorium, metode konsumsi. Oleh karena itu,


penilaian status gizi dapat dibagi menjadi dua yaitu metode langsung dan

metode tidak langsung. Metode penilaian status gizi secara langsung dapat

meliputi metode antropometri, metode biokimia, metode klinis, metode

biofisik. Sedangkan, untuk metode tidak langsung dapat meliputi survey

konsumsi makanan, statistik viral, dan faktor ekologi.

Pemeriksaan antropometri dapat dilakukan dengan cara pengukuran

tinggi badan, berat badan, lingkar lengan atas, tebal lemak tubuh. Pengukuran

antropometri untuk menentukan status gizi berdasarkan satu ukuran menurut

ukuran lainnya, seperti berat badan dan panjang badan menurut umur (BB

dan TB/U), berat badan menurut panjang badan (BB/TB), lingkar lengan atas

menurut umur (LILA/U), lingkar lengan atas menurut panjang badan

(LILA/TB).

a) Metode Antrhopometri

Antropometri merupakan suatu metode yang digunakan untuk

menilai ukuran, proporsi dan komposisi tubuh manusia. Dalam menilai

status gizi dengan metode antropometri adalah menjadikan ukuran tubuh

manusia sebagai metode untuk menentukan status gizi. Beberapa contoh

ukuran tubuh manusia sebagai parameter antropometri yang sering

digunakan untuk menentukan status gizi seperti, berat badan, tinggi

badan, ukuran lingkar lengan atas, ukuran lingkar dada, ukuran lingkar

kepala (Par’i et al., 2017).

b) Metode Biokimia
Uji biokimia adalah mengukur status gizi menggunakan peralatan

laboratorium kimia, tes biokimia mengukur zat gizi dalam cairan tubuh,

jaringan tubuh atau ekskresi urin. Seperti, mengukur status iodium

dengan memeriksa urin, mengukur status hemoglobin dengan

pemeriksaan darah dan lain sebagainya (Par’i et al., 2017).

c) Metode Klinis

Metode klinis merupakan pemeriksaan fisik dan riwayat medis yang

dapat digunakan sebagai untuk mendeteksi gejala dan tanda yang

berkaitan dengan kekurangan gizi. Tanda dan gejala yang muncul sering

kurang spesifik dapat menggambarkan kekurangan zat gizi tertentu.

Mengukur status gizi dengan melakukan pemeriksaan bagian-bagian

tubuh bertujuan untuk mengetahui gejala akibat kekurangan atau

kelebihan gizi tersebut. Pemeriksaan klinis biasanya dilakukan dengan

cara dari bantuan pendengaran, penglihatan, perabaan, dan lain

sebagainya (Par’i et al., 2017).

d) Metode Survey Konsumsi

Metode survey konsumsi adalah metode pengukuran status gizi

untuk mengetahui asupan gizi dan makanan serta untuk mengetahui

kebiasaan dan pola makan baik pada individu, rumah tangga maupun,

kelompok masyarakat (Par’i et al., 2017).

e) Metode ekologi

Ekologi adalah ilmu tentang hubungan timbal balik antara makhluk

hidup dengan lingkungannya. Lingkungan yang baik, yang


memungkinkan makhluk tumbuh akan membentuk makhluk yang baik.

Jadi, ekologi yang berkaitan dengan gizi adalah keadaan lingkungan

manusia yang memungkinkan manusia tumbuh optimal dan

mempengaruhi status gizi seseorang (Par’i et al., 2017).

a. Metode Statistik Viral

Statistik vital dapat digunakan untuk menilai status gizi, terutama pada

kelompok penduduk tertentu. Angka statistik kesehatan mempunyai

hubungan yang erat dengan keadaan gizi masyarakat. Beberapa data

statistik vital yang berhubungan dengan keadaan gizi dan kesehatan

seperti, angka kematian, pelayanan kesehatan dan penyakit infeksi (Par’i

et al., 2017).

3. Indeks Standar Antropometri Anak

Indeks ini dapat digunakan untuk menilai pada anak didasarkan dengan

kategori parameter berat badan dan usia :

Tabel 2.1 Indeks Berat Badan Menurut Umur

Indeks Kategori status gizi Ambang batas

Z- Score

Berat badan menurut Berat badan sangat < -3 SD


kurang
umur ( BB/ U ) usia 0 -
(severely underweight)
60 bulan
-3 SD sd <-2 SD
Berat badan kurang
(underweight) -2 SD sd + 1SD
Berat badan normal >+1 SD

Resiko berat badan


lebih
Sumber : ( Kemenkes, 2020 )

4. Penelitian terdahulu

No Judul dan Tujuan Metode Hasil S


Penulis

1. Hubungan untuk mengetahui Jenis penelitian yang Hasil penelitian AN


pengetahuan hubungan digunakan adalah didapatkan pengetahuan Hub
ibu tentang pengetahuan ibu analitik design cros responden secara Pen
MP-ASI tentang MP-ASI sectional dengan Ten
keseluruhaan rendah yaitu Ter
terhadap waktu terhadap usia awal
populasi seluruh ibu sebanyak 42 orang Pem
pemberian MP-
pemberian yang mempuyai bayi 0-6 (53,8%). Yang tidak tepat Pad
ASI pada bayi
makanan bulan di Puskesmas RI dalam meberikan MP-ASI Pen
pendamping ASI Sidomulyo sebanyak 45 orang SUA
(57,7%) Dari uji statistik FO
Penulis : Rika Hea
didapatkan nilai p value =
Andriyani For
0,001 hal ini
9.1:
menunjukkan ada
hubungan yang signifikan
antara hubungan
pengetahuan ibu tentang
MP-ASI terhadap
usia awal pemberian MP-
ASI.

2. Hubungan untuk mengetahui Deskriptif dengan Hasil penelitian PRA


tingkat hubungan tingkat pendekatan cross menunjukkan bahwa Ana
pengetahuan pengetahuan sectional. terdapat hubungan antara Hub
terhadap sikap terhadap sikap ibu tingkat pengetahuan ibu Pen
ibu tentang tentang pemberian terhadap sikap ibu tentang Sik
pemberian MP- makanan pemberian MPASI (nilai Pem
pad
ASI pada bayi pendamping ASI p= 0,016 < =0,05).
Bul
usia 6 - 12 (MP-ASI) pada Dianjurkan agar
Me
bulan bayi usia 6-12 pemerintah ataupun Jur
bulan di Puskesmas petugas kesehatan untuk Ked
Tamalate Kota melakukan penyuluhan 2.6:
Penulis : Gita Makassar lebih intens mengenai
Ananda Pratiwi, Makanan Pendamping
KAnna Sari Dewi, ASI untuk lebih
Andi Alamanda meningkatkan
Irwan , Nirwana pengetahuan ibu dalam
Laddo, Nesyana pentingnya pemberian
Nurmadilla5 MPASI yang baik dan
benar.

3.
4.

C. Stunting

1. Pengertian Stunting

Stunting merupakan suatu kondisi pada balita yang gagal tumbuh karena

kekurangan zat gizi kronis sehingga menjadikan balita lebih pendek ( Kemenkes,

2020 ). Stunting adalah anak balita yang hasil pengukuran panjang badan atau

tinggi badan menurut umur dengan hasil nilai -3 SD s.d <-2 SD maka dapat

dikategorikan pendek (stunted) dan dengan hasil <-3 SD dikategorikan sangat

pendek (severely stunted) (Kemenkes, 2020). Balita pendek (stunting) pada


umumnya sering tidak disadari oleh keluarga dan baru terlihat setelah usia 2 tahun

dan berdampak pada kemampuan kognitif serta produktivitas jangka panjang

bahkan bisa berdampak pada kematian.

2. Penyebab Stunting

Penyebab stunting sangat beragam dan kompleks, tetapi secara umum dapat

dikategorikan menjadi tiga faktor yaitu faktor dasar ( basic factors ), faktor yang

mendasari ( underlying factors ), dan faktor dekat ( immediate factors ). faktor

dasar yaitu seperti faktor ekonomi, sosial, politik dan untuk faktor keluarga,

pelayanan kesehatan termasuk dalam faktor yang mendasari dan untuk faktor diet

dan kesehatan termasuk dalam faktor dekat. Penyebab terjadi stunting pada anak

menurut (Wiyogowati, 2019) sebagai berikut :

a) Pendidikan ibu

Tingkat pengetahuan ibu atau pendidikan orang tua akan dapat

mempengaruhi pola pikir dimana dalam bertindak atau mengasuh anak dapat kita

artikan dalam semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka wawasan yang

dimiliki juga semakin luas. Dan hal ini dapat semakin mendekatkan orang tersebut

pada pilihan yang terbaik, lain hal nya dengan seseorang yang memiliki tingkat

pendidikan yang rendah, pola pikirnya akan menuntun pada opsi yang lebih

condong pada cara atau teknik alternatif yang sebenarnya, teknik atau cara

tersebut belum terbukti secara ilmiah. Pada intinya, orang tua dengan pendidikan

yang baik akan mengerti cara mengasuh dan merawat anak yang baik. Selain itu,

pendidikan orang tua juga akan mempengaruhi sikap dan perilaku dalam
menggunakan fasilitas pelayanan kesehatan dengan baik dan menjaga kebersihan

(Septikasari, 2018).

b) Pengetahuan gizi ibu

Pengetahuan gizi ibu yang tidak memadai terkait gizi dan praktik -

praktik yang tidak tepat merupakan hambatan signifikan terhadap

peningkatan status gizi pada anak.

c) Pola Asuh

Pola asuh merupakan praktik di rumah tangga yang diwujudkan

dengan tersedianya pangan dan perawatan kesehatan serta untuk

kelangsungan hidup, pertumbuhan dan perkembangan anak. Pemberian

pola asuh makan yang memadai berhubungan dengan baiknya kualitas

konsumsi makanan balita yang pada akhirnya mempengaruhi status gizi

balita.

d) Makanan pendamping ( MP-ASI ) yang tidak adekuat

Saat setelah usia 6 bulan setiap bayi membutuhkan makanan lunak

yang bergizi atau yang sering disebut dengan MP-ASI. Pengenalan dan

pemberian MP-ASI harus dilakukan secara bertahap baik dalam segi

bentuk maupun untuk jumlahnya yang sesuai dengan kemampuan

pencernaan anak. Kualitas makanan yang buruk dapat meliputi kualitas

dalam micronutrient yang buruk dan kurangnya keragaman dan asupan

pangan yang bersumber dari pangan hewani, kandungan tidak bergizi.

3. Dampak Stunting
Dampak saat yang ditimbulkan dan stunting dapat dibagi menjadi dampak

jangka pendek dan jangka panjang ( Kemenkes RI, 2018 ) :

a) Dampak jangka pendek

1. Peningkatan kejadian kesakitan dan kematian.

2. Perkembangan motorik, kognitif, verbal pada anak tidak optimal

3. Peningkatan biaya kesehatan

b) Dampak jangka panjang

1. Postur tubuh yang tidak optimal saat dewasa (lebih pendek dibandingkan

pada umumnya).

2. Meningkatkan risiko obesitas dan penyakit lainnya.

3. Menurunkan kesehatan reproduksi.

4. Kapasitas belajar dan performa yang kurang optimal saat masa sekolah.

5. Produkvitas dan kapasitas kerja yang tidak optimal.

4. Ciri-ciri Stunting

Stunting dapat didiagnosa melalui indeks antropometri dengan cara

panjang badan atau tinggi badan menurut umur yang mencerminkan pertumbuhan

linier yang dicapai pada pra dan pasca persalinan dengan indikasi kekurangan gizi

jangka panjang yang disebabkan dari gizi dan kesehatan yang tidak memadai.

Ciri-ciri stunting pada anak (Rahayu et al., 2018) adalah:

a. Pertumbuhan melambat.
b. Performa buruk pada tes perhatian dan memori belajar

c. Pertumbuhan gigi terlambat

d. Wajah tampak lebih muda dari usianya

e. Tanda pubertas melambat.

f. Usia 8-10 tahun anak menjadi lebih pendiam, tidak banyak melakukan eye

contact.

BAB 3

KERANGKA KONSEPTUAL DAN HIPOTESIS

A. Kerangka Konseptual

Adapun kerangka konseptual dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :


BAB 4

METODE PENELITIAN

A.

Anda mungkin juga menyukai