Anda di halaman 1dari 14

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Penelitian

Pendapatan Negara merupakan komponen yang sangat penting guna

membiayai pembangunan dan menjalankan roda pemerintahan suatu Negara.

Secara garis besar Pendapatan Negara bersumber dari sektor migas dan sektor

non-migas. Salah satu penerimaan Negara dari sektor non-migas adalah sektor

penerimaan pajak.Di Indonesia Pajak memiliki kontribusi yang cukup besar

terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).Hampir 79%

pendapatan Negara Indonesia bersumber dari pajak.Untuk tahun 2012, postur

penerimaan perpajakan dalam draf RAPBN 2012 direncanakan mencapai

Rp1.019,3 triliun dengan rasio penerimaan pajak (tax ratio) 12,6%. Adapun,

penerimaan perpajakan 2012 meningkat dibandingkan tahun 2011 yang ditarget

sebesar Rp878,7 triliun. Besarnya nilai penerimaan perpajakan 2012 memberi

kontribusi hampir 79% dari total pendapatan negara dan hibah. Hingga Agustus

2012 realisasi penerimaan pajak baru mencapai Rp.519.722 milyar atau 50,98%

dari target APBN 2012 sebesar Rp.1.019.332 milyar.Sepanjang 2006–2010

pemerintah mengklaim penerimaan perpajakan rata-rata sebesar 15,3%.1

1
Seputar Indonesia, 2011, Penerimaan Negara dipacu, 19 Agustus 2011, (http://www.seputar-
indonesia.com/edisicetak/content/view/421967/, di akses 23 Januari 2013).

1
2

Penerimaan pajak dari tahun 2006 – 2011 serta perbandingan penerimaan

pajak dengan pendapatan negara dan hibah serta penerimaan dalam negeri dapat

dilihat dalam tabel di bawah ini :

Tabel 1.1
Kontribusi Penerimaan Pajak Terhadap APBN &Penerimaan Dalam Negeri
Periode 2006-2011(Dalam milar Rupiah)

Tahun Pendapatan Penerimaan Penerimaan Penerimaan Penerimaan


Negara dan dalam perpajakan pajak pajak terhadap
Hibah negeri terhadap penerimaan
APBN dalam negeri

2006 637.987 636.153 409.203 64% 64%


2007 707.806 706.108 490.988 69% 70%
2008 981.609 979.305 658.700 67% 67%
2009 848.763 847.096 619.922 73% 73%
2010 995.271 992.248 723.306 73% 73%
2011 1.169.914 1.165.252 878.685 75% 75%
Sumber: Data Pokok APBN 2006-2012(data diolah)
Catatan : Tahun 2011 menggunakan angka APBN-P

Dengan kontribusi yang sangat besar terhadap penerimaan Negara,hal ini

tentu menuntut pemerintah untuk terusmeningkatkan penerimaan dari sektor

pajak.Jika dilihatdariTax Coverage Ratio yaitu rasio antara realisasi penerimaan

pajak dengan perhitungan target penerimaan pajak, dapat diketahui bahwa

perkembangan tax coverage ratiodi Indonesia sebagai berikut :

Tabel 1.2
Tax Coverage 2010-2011
(dalam Milyar Rupiah)

Target Realisasi Tax


Tahun
Penerimaan Penerimaan Coverage
2010 723.306 707.727 98%
2011 878.685 873.721 99%
Sumber: Laporan Keuangan Kementrian Keuangan TA 2011 (audited) dan Data
Pokok APBN 2006-2012(data diolah)
3

Walaupun Tax Coverage tersebut sudah mendekati 100 persen, tetapi tetap

belum dikatkan berhasil memenuhi target dalam APBN dan hal tersebut masih

menimbulkan Tax Gap. Tax Gapmenurut James dan Alley (1999) sebagaimana

dikutip Hamonangan dan Mukhlis (2012 :84) dapat pula diartikan sebagai

perbedaan antara seberapa besar pajak yang dapat dikumpulkan dengan besar

pajak yang seharusnya terkumpul.2Hamonangan dan Mukhlis (2012 :84)

menambahkan bahwa tingkat kepatuhan dapat diukur dari adanya tax gap, yaitu

perbedaan antara apa yang tersurat dalam aturan perpajakan dengan apa yang

dilaksanakan seorang wajib pajak. 3

Hal tersebut diperkuat dari data statistik dalam laporan tahunan DJP 2011

bahwa penerimaan pajak yang mencapai 99% dari yang ditargetkan dalam APBN

ternyata tidak secara nyata mencerminkan kepatuhan wajib pajak, karena

pencapaian penerimaan tersebut ternyata hanya didukung oleh rasio kepatuhan

sebesar 52,74%. Lebih rincinya berikut ini tabel rasio kepatuhan wajib pajak

yang dikeluarakan oleh DJP melalui Laporan Tahunan DJP Tahun 2011 sebagai

berikut :

Tabel 1.3
Rasio Kepatuhan 2010-2011

Uraian 2007 2008 2009 2010 2011


Wajib Pajak Terdaftar Wajib SPT 4.231.117 6.341.828 9.996.620 14.101.933 17.694.317
SPT Tahunan PPh 1.278.290 2.097.849 5.413.114 8.202.309 9.332.626
Rasio Kepatuhan 30.21% 33.08% 54.15% 58.15% 52.74%
Sumber : Laporan Keuangan Tahunan DJP 2011, p.128.
(http://www.pajak.go.id/content/laporan-tahunan-djp-2011)

2
Timbul Hamonangan S dan Imam Mukhlis, 2012, Dimensi Ekonomi Perpajakan dalam Pembangunan Ekonomi, Jakarta :
Raih Asa Sukses, p.84
3
Timbul Hamonangan S dan Imam Mukhlis, 2012, Dimensi Ekonomi Perpajakan dalam Pembangunan Ekonomi, Jakarta :
Raih Asa Sukses, p.84.
4

Fenomena tingkat penerimaan pajak yang belum mencapai target APBN

serta masih adanya tax gap yang merupakan perwujudan dari masih adanya

ketidakpatuhan wajib pajak, khususnya wajib pajak orang pribadi. Ketidakpatuhan

wajib pajak tersebut tercermin secara nyata dalam laporan tahunan DJP tahun

2011 dimana Sampai dengan tanggal 31 Desember 2011, jumlah wajib pajak

orang pribadi terdaftar adalah 19,9 juta wajib pajak. Jumlah SPT Tahunan Orang

Pribadi yang disampaikan berjumlah 8,5 juta. Sedangkan berdasarkan data BPS,

jumlah orang yang aktif bekerja di Indonesia adalah 110 juta. Artinya, rasio wajib

pajak orang pribadi terdaftar dan SPT Tahunan yang disampaikan terhadap

kelompok pekerja aktif hanya mencapai 18,1% dan 7,73%. Dengan kata lain

tingkat kepatuhan wajib pajak orang pribadi masih rendah. 4

Data faktual tersebut di atas mengindikasikan pula dimungkinkannya

target yang dicanangkan dalam APBN selama ini lebih rendah dari yang

seharusnya bisa diterima. Hal tersebut terlihat dari realisasi penerimaan pajak di

tahun 2011 mencapai 99% justru hanya di dukung oleh rasio kepatuhan sebesar

52,74% dan jika dilihat dari rasio wajib pajak orang pribadi terdaftar dengan SPT

Tahunan yang disampaikan dan kelompok pekerja aktif hanya 18,1% dan 7,73%.

Bayangkan jika rasio wajib pajak yang terdaftar dengan yang menyapaikan SPT

Tahunan bisa ditingkatkan dan DJP mampu meraih jumlah pekerja aktif yang

belum terdaftar lebih banyak, tentu besar kemungkinan realisasi penerimaan di

tahun 2011 pada saat itu akan mencapai target atau melebihi target. Jelas

4
Laporan Direktorat Jendral Pajak tahun 2011 (http://www.pajak.go.id/content/laporan-
tahunan-djp-2011) di akses 4 Maret 2013)
5

fenomena ini menggambarkan kepatuhan wajib pajak orang pribadi khususnya,

masih sangat rendah.

Untuk tahun 2012, fenomena ketidakpatuhan wajib pajak orang pribadi

masih teridentifikasi. Hal tersebut didasarkan padaSiaran Pers Direktorat Jenderal

Pajak tanggal 28 Desember 2012 dimana dalam salah satu paragrafnya

mengatakan bahwa :

“ Permasalahan utama perpajakan yang harus kita benahi bersama kedepan adalah
tingkat kepatuhan wajib pajak yang masih sangat rendah. Menurut catatan Ditjen
Pajak, baru sekitar 25 juta Wajib Pajak Orang Pribadi yang sudah membayar dari
sekitar 60 juta Wajib Pajak Orang Pribadi yang seharusnya membayar pajak”.5

Ketidakpatuhan wajib pajak orang pribadi ini menjadi pekerjaan rumah

tersendiri bagi pemerintah yang harus diselesaikan. Banyak faktor yang perlu

diperhatikan dalam upaya pemenuhan target penerimaan pajak. Menurut Widi

dalam bukunya yang berjudul Moralitas, Budaya dan Kepatuhan Pajak (2010:4)

bahwa salah satu faktor yang menyebabkan penerimaan pajak belum mencapai

target APBN adalah adanya kendala dari wajib pajak terutama dalam hal

kepatuhan dalam memenuhi kewajiban pajak.

Isu kepatuhan dan hal-hal yang menyebabkan ketidakpatuhan serta upaya

untuk meningkatkan kepatuhan menjadi agenda penting di negara-negara maju,

apalagi di negara-negara berkembang seperti halnyaIndonesia.6 Isu kepatuhan

menjadi penting karenaketidakpatuhan secara bersamaan menimbulkan upaya

5
Direktorat Jenderal Pajak, Siaran Pers, 28 Desember 2012, Ditjen Pajak Ucapakan Terima Kasih
kepada Pembayar Pajak, Direktur Penyulu, Pelayanan dan Humas Kismanto Petrus
(www.pajak.go.id/sites/default/files/Siaran Pers Ucapan Terima kasih.pdf) di akses 4 Februari
2013
6
Safri Nurmantu, 2005, Pengantar Perpajakan; edisi 3, Jakarta Granit 2005, p.148. . (diakses melalui google book tanggal
12/2/13)
6

menghindarkan pajak, baik dengan fraud dan illegal yang disebut tax evasion,

maupun penghindaran pajaktidak dengan fraud dan dilakukan secara legal yang

disebut tax avoidance. Padaakhirnya tax evasion dan tax avoidance mempunyai

akibat yang sama, yaituberkurangnya penyetoran pajak ke kas Negara.7

Kepatuhan Pajak tentu dipengaruhi oleh bermacam faktor, seperti

diungkapkan Hamonangan dan Mukhlis (2012:194) bahwa faktor utama

kepatuhan pajak adalah teori moral pajak (tax morale), yang menyatakan bahwa

faktor utama kepatuhan pajak ditentukan atas dasar norma sosial (social norm),

yaitu antara lain faktor keterbukaan, kejujuran, sistem dan prosedur pajak yang

sederhana, serta kemanfaatan pajak.8 Hal tersebut diperkuat oleh Widi (2010:7)

bahwa untuk menyelesaikan permasalahan kepatuhan pajak, banyak peneliti

berargumen bahwa moralitas pajak dapat membantu untuk menjelaskan

fenomena kepatuhan pajak.9Pendapat Widi tersebut didasarkan pada pendapat dari

Andreoni, Erard, dan Feinstein (1998) yang juga dikutip Widi (2010:8) bahwa

faktor moral dan dinamika sosial pada model Kepatuhan Pajak merupakan area

yang belum terjamah dalam penelitian.Sedangkan Erard dan Feinstein dalam

tulisan teoritisnya menekankan pada relevansi dari mengintergrasikan sentimen

7
Annisa Gamma Widjaya, 2011, Studi Evaluai Kepatuhan Wajib Pajak Sebelum dan Sesudah Reformasi Perpajakan 2008
dan Implikasinya terhadap penerimaan pajak pada KPP pratama Kota semarang di Lingkungan KANWIL Direktorat
Jendral Pajak Jawa Tengah 1. p.34
8
Timbul Hamonangan S dan Imam Mukhlis, 2012, Dimensi Ekonomi Perpajakan dalam Pembangunan Ekonomi, Jakarta :
Raih Asa Sukses, p.194
9
Widi Widodo, 2010, Moralitas, Budaya dan Kepatuhan Pajak. p.7
7

moral ke dalam model untuk menghasilkan penjelasan yang cukup beralasan atas

perilaku kepatuhan aktual.10

Widi Widodo (2010) dalam bukti empirisnya menunjukan bahwa

Moralitas Pajak berpangaruh terhadap Kepatuhan Pajak secara keseluruhan

sebesar 9,61% dimana tinggi rendahnya Kepatuhan Pajak dipengaruhi secara

nyata dan Positif oleh tinggi rendahnya Moralitas Pajak.11Dimana Moralitas Pajak

diantaranya dibentuk oleh sub variabel yang sistem perpajakan.12Sistem

perpajakan yang diteliti Widi (2010) meliputi aspek kemudahan memperoleh

informasi, adanya peraturan perpajakan yang berlaku, tarif pajak yang berlaku,

kemudahan proses pelaporan dan kenyamanan kantor. Dimana hasil survey

memperlihatkan faktor utama Wajib Pajak termotivasi membayar Pajak adalah

dikarenakan peraturan perpajakan (sebesar 90,83% responden menyatakan mereka

termotivasi dalam membayar pajak dikarenakan peraturan perpajakan)

Kecenderungan ini memperlihatkan bahwa meskipun peraturan perpajakan

bersifat mengikat namun dapat mendorong wajib pajak untuk membayar pajak.

Sistem perpajakan dalam aspek moralias memiliki daya tarik tersendiri

seiring dengan gencarnya reformasi sistem perpajakan yang telah dan sedang

dilakukan oleh Direktorat Jendral Pajak (DJP).Sebagai otoritas perpajakan di

Indonesia, DJP memegang peranan sangat penting dalam penyusunan sistem

perpajakan untuk mengoptimalkan penerimaan negara dari sektor

10
Andreoni, James, B.Erard and J. Feinstein, 1998, Tax compliance, Journal Of Economy Literature, Vol.36 issue 2, Juni
1998.p.818-860 sebagaimana dikutip Widi, 2010, Moralitas, Budaya dan Kepatuhan Pajak, p.8.
11
Widi Widodo, 2010, Moralitas, Budaya dan Kepatuhan Pajak. p.9
12
ibid .9
8

perpajakan.Dalam jangka panjang, sistem perpajakan yang baik ditujukan untuk

meningkatkan kepatuhan sukarela (voluntary compliance) wajib pajak dalam

memenuhi kewajiban perpajakannya.13

Menurut Safri Nurmantu sistem perpajakan dapat disebut sebagai metoda

atau cara bagaimana mengelola utang pajak yang terhutang oleh wajib pajak dapat

mengalir ke kas negara. Untuk itu dalam sistem pajak penghasilan dikenal Self

Assessment System, Official Assessment System dan Withholding Tax System

:14Menurut Widi dan Djefris (2008:36) dalam bukunya yang berjudul Tax Payer’s

Rights Apa yang Perlu Kita Ketahui Tentang Hak-hak Wajib Pajak, Self

Assesment System adalah Suatu sistem pemungutan pajak yang memberi

wewenang wajib pajak untuk menetukan sendiri jumlah pajak yang erutang setiap

tahunnya sesuai dengan ketentuan undang-undang perpajakan yang berlaku.

Sedangkan With Holding System adalah Suatu sistem pemungtuan yang memberi

wewenang kepada pihak ketiga yang ditunjuk untuk menentukan besarnya pajak

yang terutang oleh wajib Pajak sesuai dengan ketentuan undang-undang yang

berlaku.

Saat ini sistem perpajakan yang diterapkan di Indonesia menganut sistem

self assessment.Dalam sistem ini Wajib Pajak berperan aktif mulai dari

menghitung, menyetorkan dan melaporkan sendiri pajak yang terutang.Peran

fiskus tidak ikut campur dan hanya sebatas mengawasi pelaksanaan kewajiban

pajak dari Wajib Pajak.Namun demikian dalam sistem ini secara tidak langsung

13
Laporan Tahunan DJP Tahun 2011 (http://www.pajak.go.id/content/laporan-tahunan-djp-2011), p.64
14
Safri Nurmantu, 2005, Pengantar Perpajakan; edisi 3, Jakarta Granit 2005, p.106. . (diakses melalui google book tanggal
9/2/13)
9

memberikan konsekuensi yang berat bagi Wajib Pajak. Artinya, jika Wajib Pajak

tidak memenuhi kewajiban-kewajiban Perpajakan yang dipikul kepadanya, sanksi

yang dijatuhkan akan lebih berat. Oleh karena itu, sistem Self Assessment

mewajibkan Wajib Pajak untuk lebih mendalami peraturan perundang-undangan

perpajakan yang berlaku agar Wajib Pajak dapat melaksanakan kewajiban

perpajakannya dengan baik15

Penerapan Self Assesment System bukan tanpa celah dan masalah, seperti

yang diungkapkan Kasubsid Manajemen Transformasi dan Proses Bisnis Ditjen

Pajak Lucky Al Firman dalam seminar reformasi perpajakan di Jakarta, Selasa

(29/6) sebagaimana dikutip Harian Umum Pelita

(http://www.pelita.or.id/baca.php?id=96240) bahwa :

“Pemerintah mengakui sistem pengisian Surat Pemberitahuan untuk wajib pajak


di Indonesia masih sangat lemah. Karena dengan sistem self assesment yang
dianut saat ini, wajib pajak bisa melakukan apapun sesuka hati. Artinya, sebagai
wajib pajak bisa menulis berapa pun penghasilannya.Sistem tersebut juga
membuat wajib pajak di Indonesia menjadi sangat bebas, karena pemerintah
memberikan kepercayaan kepada setiap warga negara untuk berbuat jujur.Itulah
kesempatan yang juga menjadi kelemahan sistem self assesment (pengisian
sendiri) tersebut.16

Self assessment system bukanlah sebuah voluntary system, dimana

diasumsikan bahwa Wajib Pajak akan dengan sukarela mematuhinya walaupun

hal itu secara ekonomis merugikannya. Anggapan itu sungguh salah, logikanya

Wajib Pajak akan berupaya membayar pajak sekecil-kecilnya. Oleh karena itu

peraturan pajak harus dibuat dengan memperhatikan ketentuan-ketentuan yang

15
Mikail Jam'an, Naslul Wirda, Raynold Tambunan & Sunarta Pormando, 16 September 2009. Meninjau Sistem
Pemungutan Pajak di Indonesia. (http://indonesiantaxation.blogspot.com/2009/11/meninjau-sistem-pemungutan-pajak-
di.html, diakses 11/3/2013)
16
Harian Umum Pelita, 2013. Pemerintah Akui Sistem Self Assesment SPT Lemah (Ekonomi dan keuangan).
http://www.pelita.or.id/baca.php?id=96240, diakes 11/3/2013.
10

dapat “memaksa” Wajib Pajak untuk membayar pajak dengan benar, yaitu dengan

memberikan kewenangan kepada otoritas pajak untuk menguji kebenaran isi SPT

yang disampaikan oleh Wajib Pajak. Disinilah pentingnya prinsip keseimbangan

atau proporsionalitas, dimana Wajib Pajak juga mendapatkan sesuatu dari apa

yang dibayarkannya berupa hak untuk mendapatkan barang dan jasa publik secara

layak.Hal ini jelas menggambarkan begitu pentingnya suatu sistem perpajakan

dalam upaya meningkatkan tingkat kepatuhan wajib pajak.17

Faktor lain yang dapat mempengaruhi secara signifikan dalam

mempengaruhi sesorang terhadap kepatuhan pajaknya seperti yang di ungkapkan

Widi (2010:4) adalah faktor budaya pajak, meliputi Hubungan antara Aparatur

Pajak dengan Wajib Pajak, Peraturan Perpajakan, dan Budaya Nasional. Widi

(2010) menyebutkan bahwa Konsep Budaya Pajak merupakan keseluruhan

interaksi formal dan informal dalam suatu instistusi yang menghubungkan sistem

perpajakan nasional dengan praktik hubungan antara aparatur pajak dengan wajib

pajak, dimana secara historis melekat dengan budaya nasional, termasuk

ketergantungan dan ikatan yang terbentuk akibat interaksi yang berkelanjutan.18

Hubungan antara aparatur pajak dengan wajib pajak dalam arti berkaitan

dengan tugas dan tanggung jawab aparatur pajak dengan wajib pajak, dalam hal

ini aparatur pajak harus bersikap terbuka dan ramah dan jujur didalam melayani,

sehingga menimbulkan rasa simpati dari wajib pajak terhadap aparatur pajak yang

akan berdampak pada kepatuhan pajak. Selain itu peraturan perpajakan yang

17
Widi Widdodo, 2012. Pajak dalam Perspektif moralitas dan
budaya.(http://ekonomi.kompasiana.com/moneter/2012/09/19/pajak-dalam-perspektif-moralitas-dan-budaya/, diakses
13/3/2013)
18
Widi Widodo, 2010, Moralitas, Budaya dan Kepatuhan Pajak. p.12
11

dipublikasikan dan sisosialisasikan dengan baik, akan memberi pengaruh positif

kepada wajib pajak karena wajib pajak memperoleh informasi tentang peraturan

pajak, dan bagaimana cara menghitung pajaknya, serta hak-hak mereka tentang

pengajuan keberatan dan banding di pengadilan pajak. Disamping itu aspek

budaya nasional dapat mempengaruhi kepatuhan pajak, seperti kesadaran wajib

pajak untuk membayar dan melaporkan pajak dengan benar, kepercayaan

masyarakat terhadap pendistribusian dana pajak, sehingga masyarakat bisa

merasakan manfaat daripajak yang dibayarkannya.

Faktor budaya (culture) digunakan sebagai faktor yang mempengaruhi

kepatuhan pajak berdasarkan hasil penelitian Hofstede (2001) yang menemukan

adanya perbedaan signifikan antara budaya Amerika dengan budaya

China.Dimensi budaya yang dimaksud adalah kolektivisme dan individualisme.

Orang Amerika atau budaya barat, memiliki kultur kolektivitas yang rendah

namun memiliki kultur individualisme yang tinggi, sehingga mereka lebih fokus

terhadap kepentingan diri sendiri dari pada kepentingan kelompok. Sebaliknya,

masyarakat China atau masyarakat dengan budaya timur memiliki individualisme

yang rendah dan lebih memandang kepada kolektivitas kelompok. Masyarakat

dengan kultur kolektivitas tinggi akan berusaha untuk mengikuti dan menganut

nilai-nilai yang ada dalam kelompoknya atau lingkungan sosial disekitarnya, agar

dapat diterima dan memiliki status di dalam lingkungan tersebut.19

19
Kusumawati, Andi, 2012. Disertasi :Pengaruh Dimensi Budaya, Kewajiban Moral dan Planned Behavior
terhadap Kepatuhan Wajib Pajak.p. 14-13.
(repository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789/2200/BAB%20I%20Kusuma.doc?sequence=2,
diakses 13/3/2013.)
12

Penelitian yang mengenai budaya pajak di Indonesia salah satunya

dilakukan Widi Widodo (2010),dalam bukti empirisnya menunjukan bahwa

variabel Budaya Pajak memiliki pengaruh terhadap kepatuhan pajak.Hal ini sesuai

dengan pernyataan Georgi Boss (1999) Pejabat Kementrian Pajak Republik

Federasi Rusia yang mengatakan bahwa “Tidak ada satupun negara di mana

masyarakatnya merasa senang untuk membayar pajak tapi mereka mau membayar

pajak tidak lain karena pajak merupakan budaya”. Namun strategi Menteri

Ekonomi Jerman Graf (2000) adalah sangat tepat ketika ia menyatakan bahwa ia

sepenuhnya mengerti bahwa “Budaya Pajak tidak dapat ditanamkan dalam satu

tahun”.20

Berdasarkan pada latar belakang dan hasil penelitian sebelumnya yang

telah dilakukan, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul :

“Pengaruh Penerapan Sistem Perpajakan dan Budaya Pajak Terhadap

Tingkat Kepatuhan Wajib Pajak (Studi kasus pada Wajib Pajak Orang

Pribadi di Kota Bandung)”

1.2 Rumusan Masalah

Beranjak dari paparan latar belakang penelitian, maka permasalahan dalam

penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut:

1. Bagaimana pengaruh Penerapan Sistem Perpajakan terhadap Tingkat

Kepatuhan Wajib Pajak.

20
Ilyas Zaffar, Evolution Of Tax Culture in Pakistan, Worldwide Legal Directories, Sebagaimana dikutip Widi Widodo,
2010, Moralitas, Budaya dan Kepatuhan Pajak. P.12.
13

2. Bagaimana pengaruh Budaya Pajak terhadap Tingkat Kepatuhan Wajib

Pajak.

3. Bagaimana pengaruh Penerapan Sistem Perpajakan dan Budaya Pajak

terhadap Tingkat Kepatuhan Wajib Pajak baik secara parsial mapun

simultan.

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan penulis melakukan penelitianini adalah :

1. Untuk mengetahui bagaimana pengaruh Penerapan Sistem Perpajakan

terhadap Tingkat Kepatuhan Wajib Pajak.

2. Untuk mengetahui bagaimana pengaruh Budaya Pajak terhadap Tingkat

Kepatuhan Wajib Pajak.

3. Untuk mengetahui bagaimana pengaruh Penerapan Sistem Perpajakan dan

Budaya Pajak terhadap Tingkat Kepatuhan Wajib Pajak baik secara parsial

mapun simultan.

1.4 Kegunaan Penelitian dan Manfaat Penelitian

Berdasarkan tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini, manfaat

yang diharapkan adalah :

a. Manfaat Teoritis

Sebagai referensi atau bahan rujukan untuk menambah khasanah ilmu

pengetahuan maupun untuk mengadakan penelitian lebih lanjut khususnya

dalam bidang Perpajakan.


14

b. Manfaat Praktis

1. Menjadi masukan bagi Direktorat Jendral Pajak dalam menentukan

kebijakan dan strategi peningkatan penerimaan pajak.

2. Bagi pembaca

Memperluas wawasan mengenai perpajakaninformasi bagi pihak-pihak

yang membutuhkan, khususnya mengenai permasalahan yang terdapat

dalam penelitian ini, serta diharapkan menjadi bahan masukan yang

bermanfaat bagi pembaca dalam penelitian berikutnya.

Anda mungkin juga menyukai