Anda di halaman 1dari 25

LAPORAN KASUS

“Seorang Bayi usia 9 Hari dengan asfiksia Hiperbilirubinemia”

Bagian Ilmu Kesehatan Anak


Rumah Sakit Umum Daerah Tugurejo Semarang

Disusun Oleh:
Putri Alfiyanti Faiza
H3A019001

Pembimbing:
dr. Laily Babgei, Sp.A

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SEMARANG
SEMARANG
2021
HALAMAN PENGESAHAN

Nama : Putri Alfiyanti Faiza


NIM : H3A019001
Fakultas : Kedokteran
Universitas : Universitas Muhammadiyah Semarang
Tingkat : Program Pendidikan Profesi Dokter
Bagian : Ilmu Kesehatan Anak
Judul : Seorang Bayi usia 9 Hari dengan Hiperbilirubinemia
Pembimbing : dr. Laily Babgei, Sp.A

Telah dipresentasikan di hadapan Pembimbing Kepaniteraan Klinik serta telah


diterima sebagai bagian persyaratan yang diperlukan untuk kelulusan dari
Program Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak di RSUD Tugurejo
Semarang.

Semarang, Agustus 2021


Mengetahui dan Menyetujui
Pembimbing Kepaniteraan Klinik
Bagian Ilmu Kesehatan Anak RSUD Tugurejo Semarang

Pembimbing,

dr. Laily Babgei, Sp.A

2
BAB I
LAPORAN KASUS

A. IDENTITAS
1. Identitas Pasien
Nama : By. Ny
Usia : 9 hari
Tanggal Lahir : 14 Juli 2021
Jenis Kelamin : Laki-Laki
Alamat : Kendal
No. CM : 616xxx
Tanggal Masuk RS : 14 Juli 2021
Bangsal Rawat Inap : Tulip
B. ANAMNESIS
Allowanamnesis dilakukan dengan ibu pasien pada tanggal 22 juli
2021 pukul 07:30 WIB di bangsal tulip dan didapatkan hasil:
1. Keluhan Utama: lahir tidak langsung menangis
2. Riwayat Penyakit Sekarang
9 hari yang lalu pada tanggal 14 juli 2021 pukul 09:31 WIB, lahir
bayi laki-laki melalui seccio cesaria (SC) atas indikasi ketuban pecah dini
dan letak sungsang, Ibu G4P2A1,usia 31 tahun hamil 38 minggu, ANC 4x
dilakukan di dokter kandungan, riwayat demam(-), riwayat minum jamu
saat hamil (-),riwayat trauma (-),minum obat selain resep dari dokter (-).
Awal mula bayi tidak langsung menangis, berat badan lahir 3195 gram, PB
51 cm.

Hari ke 6 bayi tampak kuning adapun kekuningan pada kepala dan


leher semakin hari bertambah kuning pada pemeriksaan didapatkan kuning
hingga kebagian lengan dan ekstremitas bawah dengan nilai Kramer IV,
tidak ada factor memperberat sudah diberikan ASI secara rutin dan
fototerapi, akan tetapi bayi masih terlihat kuning, lemas (-),sulit menyusu
(-).

3
3. Riwayat Penyakit Dahulu
-
4. Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat Serupa : disangkal
Riwayat Hipertensi : disangkal
Riwayat DM : disangkal
Riwayat alergi : disangkal
5. Riwayat Sosial Ekonomi
Ayah dan ibu pasien adalag seorang karyawan swasta pengobatan
dirumah sakit dengan BPJS non PBI kelas III.
Kesan Ekonomi cukup
6. Riwayat Kehamilan/Pre-Natal
a. Anak merupakan anak ketiga dari tiga bersaudara
b. Kontrol kehamilan rutin di puskesmas dan Dokter Kandungan.
c. Keluhan atau sakit saat hamil disangkal.
d. Asupan gizi kehamilan cukup, dan rutin konsumsi tablet besi serta
asam folat.
e. Usia kehamilan 38 minggu.
7. Riwayat Persalinan/Natal
Bayi berjenis kelamin laki-laki lahir SC (umur kehamilan 38
minggu) atas indikasi Ketuban pecah dini dan letak sungsang pada
tanggal 14 juli 2021, lahir dari seorang ibu Ny. D usia 31 tahun
G4P2A0,berat lahir 3195 gram, panjang badan 51 cm, bayi lahir tidak
langsung menangis dan APGAR SCOR 5-6-7
8. Riwayat Post Natal
Pasca persalinan bayi dilakukan perawatan diruang perinatologi RSUD
Tugurejo Seamrang dan ibu melakukan pemeriksaan post natal.
9. Riwayat Imunisasi
Hepatitis B = Usia 0 Bulan

4
10. Riwayat Nutrisi
Pasien mendapatkan ASI sejak lahir.
11. Riwayat Perkembangan dan Pertumbuhan
a. Perkembangan : Pada bayi Ny.D sesuai masa kehamilan (kurva
Lubchenko)
b. Pertumbuhan : Jumlah skor 3336-38 minggu (Ballard Score)

C. PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan fisik dilakukan pada tanggal 21 Juli 2021 pukul 08.30
WIB di bangsal Tulip dan didapatkan hasil:
a. Keadaan Umum:
Baik
b. Kesadaran:
Compos Mentis
c. Tanda-tanda Vital:
Nadi : 140x/menit
Pernafasan : 39x/menit
Suhu : 36,3oC
d. Status Antropometri :
BB : 3195 cm
PB:61 cm

e. Status Gizi
Status gizi (Menggunakan Grafik CDC)
Usia : 1 tahun 8 bulan
BB : 15 kg
TB : 81 cm

5
Aktual Ideal
BB 15 kg 12 kg
TB 81 cm 84 cm

BB/U : 15/12 x 100% = 125% (Gizi lebih)


PB : 81/84 x 100% = 96,4% (Perawakan normal)
BB/TB : 15/11,6 x 100% = 129% (Gemuk)
Kesan : Gizi lebih, perawakan normal
f. Status Generalisata
a. Kepala : Mesocephal
Keadaan kulit kepala: Caput succadenum (-),Caput cephal
hematoma (-)
b. Mata: Conjungtiva anemis (-/-), mata cekung (-/-)
c. Telinga: Pina keras dan berbentuk, Recoil segera
d. Hidung: Pernapasan cuping hidung (-/-), sekret (-/-), mukosa
hiperemis (-)
e. Mulut: Mukosa mulut kering (-),bibir siaosis(-), masalah menelan
(-)
f. Leher : Pembesaran KGB (-)
g. Thorax :
- Jantung :
Inspeksi :Ictus cordis tidak tampak
Palpasi :Ictus cordis teraba di ICS IV LMCS
Perkusi : Tidak dilakukan
Auskultasi :Bunyi jantung I > II di punctum maksimum, irama
reguler, bising (-), HR :104x/menit
- Pulmo:
Inspeksi:Pergerakan hemithorax dextra et sinistra simetris,
retraksi (-)

6
Palpasi : Tidak ada pergerakan hemithorax yang tertinggal,
massa (-/-)
Perkusi : Tidak dilakukan
Auskultasi : Suara dasar paru vesikuler (+/+), ronkhi (-/-),
Hantaran
- Abdomen
Inspeksi : Bentuk datar, massa (-), warna sama dengan kulit
sekitar
Auskultasi : Bising usus (+) Normal
Perkusi : timpani seluruh lapang abdomen (+)
Palpasi :Supel, turgor cukup, nyeri tekan (-)

h. Ekstremitas
Superior Inferior

Akral hangat +/+ +/+

Sianosis -/- -/-

Edema -/- -/-

Capillary Refil <2 detik <2 detik


Time

i. Pemeriksaan Reflek
Reflek Rooting : (+)
Reflek Sucking : (+)
Reflek Palmar Grasp: (+)
Reflek Tonic Neck : (+)
Reflek Moro: (+)

7
7. PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Pemeriksaan Kimia Klinik tanggal 19 -07-2020

Kimia Klinik( Serum) B


Bilirubin Total HH 17.20 Mg/dl 0.10-12.0
Bilirubin Direk H 0,65 Mg/dl 0.0 – 0.3
Bilirubin Indirek HH 16.55 Mg/dl 0.1-11.7

b. Pemeriksaan Kimia Klinik tanggal 21-07-2020

Kimia Klinik( Serum) B


Bilirubin Total H 11.85 Mg/dl 0.10-12.0
Bilirubin Direk H 0,52 Mg/dl 0.0 – 0.3
Bilirubin Indirek H 11.33 Mg/dl 0.1-11.7

8. DIAGNOSIS BANDING
a. Bayi kuning
- Ikterik Neonatorum
- Breast milk jaundice
- Atresia Bilier
b. Kesulitan Bernafas
- Asfiksia et causa aspirasi meconium
- Asfiksia et causa aspirasi air ketuban
9. DIAGNOSIS KERJA
1. Diagnosis klinis : Hiperbilirubinemia
2. Diagnosis Gizi : Gizi normal
3. Diagnosis Tumbuh kembang : Sesuai
4. Diagnosis Imunisasi: Imunisasi Hepatitis B 0 bulan
5. Diagnosis Sosial Ekonomi: Kesan Cukup

10. INITIAL PLAN


8
1) Initial Plan Diagnosis:
a. Pemeriksaan Golongan darah ibu dan bayi ABO dan Rhesus
b. Tes Bilirubin
2) Initial Plan Terapi
A. Medikamentosa

a Infus Nacl 0,9% 100 ml


b Infus Dextrose 10% 10cc/jam
c Inj. Gentamisin 80 mg 2x7,5 mg
d Inj. Ampicilin 1 gr 2x150 mg
3) Initial Plan Monitoring :
a. Monitoring keadaan umum dan vital sign
b. Cek bilirubin direk dan indirek post fototerapi
c. Pantau kenaikan BB serta frekuensi BAK dan BAB
4) Initial Plan Edukasi :
a. Menjelaskan kepada keluarga pasien tentang kondisi pasien dan
tindakan yang akan dilakukan
b. Menjelaskan pentingnya ASI eksklusif
c. Menjelaskan pemberian ASI yang benar dan cara menyusui yang
benar
d. Mengajari ibu untuk menilai icterus dan diberi nasehat pada ibu
untuk kembali bila terjadi ikterik lagi.
11. PROGNOSIS
Quo Ad Sanam : ad bonam
Quo Ad Vitam : ad bonam
Quo Ad Fungsionam : ad bonam

12. FOLLOW UP
1. Tanggal 17 Juli 2021
9
S Bayi menangis kuat
O Ku: baik
Nadi :140x/menit
RR : 41x/menit
Suhu : 37,3oC
SpO2 :82%
BBL :3195 gram
Paru : SDV (+/+), bunyi tambahan (-), retraksi (-)
Terpasang infus Umbilical

A Neonatus cukup bulan


Asfiksia sedang

2. Tanggal 19 Juli 2021


S Bayi mennagis kuat , gerakan aktif, tonus baik, kuninh
O Ku: Baik
Nadi :135x/menit
RR : 41x/menit
Suhu : 37,3oC
BBL :3195 gram
Paru : SDV+/+ bunyi tambahan (-), retraksi (-)
Terpasang Infus Umbilical

Neonatus Cukup Bulan


A Asfiksia Sedang

3. Tanggal 21 Juli 2021


S Bayi menangis kuat, gerak aktif, tonus baik ,kuning
10
O Ku: Baik
Nadi :130x/menit
RR : 42x/menit
Suhu : 36,4oC
BBL : 3195 gr
Paru : SDV (+/+),bunyi tambahan (-), Retraksi (-)
Terpasang Infus Umbilical
A
Neonatus cukup bulan
Asfiksia Sedang
Hiperbilirubinemia

4. Tanggal 22 Juli 2021


S Bayi mennagis kuat, gerak aktif, tonus baik , kuning
O Ku: Baik
Nadi :140x/menit
RR : 39x/menit
Suhu : 36,3oC
BBL : 3195 gr
Paru : SDV (+/+), bunyi tambahan (-), Retraksi(-)
Terpasang Infus Umbilical

A Neonatus cukup bulan


Asfiksia Sedang

BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Ikterus neonatorum adalah keadaan klinis pada bayi yang ditandai
dengan pewarnaan ikterus pada kulit dan sklera akibat akumulasi bilirubin
11
tak terkonjugasi yang berlebih. Ikterus secara klinis akan mulai tampak
pada ba  pada bayi baru yi baru lahir apabila apabila kadar bilirubin kadar
bilirubin serum 5-7 mg/dL. Sedangkan mg/dL. Sedangkan
hiperbilirubinemia adalah terjadinya peningkatan kadar plasma bilirubin 2
standar deviasi atau lebih dari kadar yang diharapkan berdasarkan umur
bayi atau lebih dari persentil 90.1
Pada neonatus produksi bilirubin 2 sampai 3 kali lebih tinggi
dibanding orang dewasa normal. Hal ini dapat terjadi karena jumlah
eritosit pada neonatus lebih banyak dan usianya lebih pendek. Keadaan
bayi kuning (ikterus) (ikterus) sangat sering terjadi terjadi pada bayi baru
lahir, terutama terutama  pada BBLR (Bayi Berat Lahir Rendah). Rendah).
Banyak sekali penyebab penyebab bayi kuning ini, yang sering terjadi
adalah karena belum matangnya fungsi hati  bayi untuk memproses er
bayi untuk memproses eritrosit (sel itrosit (sel darah merah). darah merah).
Pada bayi usia Pada bayi usia sel darah sel darah merah kira-kira 90 hari.
Hasil pemecahannya, eritrosit harus diproses oleh hati bayi. Saat lahir hati
bayi belum cukup baik untuk melakukan tugasnya. Sisa pemecahan
eritrosit disebut bilirubin, bilirubin ini yang menyebabkan kuning pada
bayi.1
B. Patofisiologi
1. Metabolisme Bilirubin
Bilirubin adalah pigmen kristal berwarna jingga ikterus yang
merupakan bentuk akhir dari pemecahan katabolisme heme melalui proses
reaksi oksidasi –  reduksi.
Langkah oksidasi yang pertama adalah biliverdin yang di bentuk dari
heme dengan bantuan enzim heme oksigenase yaitu suatu enzim yang
sebagian besar terdapat dalam sel hati, dan organ lain. Pada reaksi tersebut
juga terdapat terdapat besi yang digunakan digunakan kembali kembali
untuk pembentukan pembentukan haemoglobin dan karbon monoksida
yang dieksresikan ke dalam paru. Biliverdin kemudian akan direduksi

12
menjadi bilirubin oleh enzim  biliverdin  biliverdin reduktase. reduktase.
Biliverdin Biliverdin bersifat bersifat larut dalam air dan secara cepat akan
dirubah menjadi bilirubin melalui reaksi bilirubin reduktase. Berbeda
dengan biliverdin, bilirubin bersifat lipofilik dan terikat dengan hydrogen
serta pada pH normal bersifat tidak larut. Jika tubuh akan mengeksresikan,
diperlukan mekanisme transport dan eliminasi bilirubin.1
Bayi baru lahir akan memproduksi bilirubin 8-10 mg/kgBB/hari,
sedangkan orang dewasa sekitar 3-4 mg/kgBB/hari. Peningkatan produksi
bilirubin  bilirubin pada bayi baru lahir disebabkan disebabkan oleh masa
hidup eritrosit eritrosit bayi lebih pendek (70-90 hari) dibandingkan
dengan orang dewasa (120 hari),  peningkatan degradasi  peningkatan
degradasi heme, turn heme, turn over sitokrom over sitokrom yang
meningkat dan yang meningkat dan juga reabsorpsi bilirubin dari usus
yang meningkat (sirkulasi enterohepatik).1

2. Transportasi Bilirubin
Pembentukan bilirubin yang terjadi di system retikulo endothelial,
selanjutnya dilapaskan ke sirkulasi yang akan berikatan dengan albumin.
Bayi baru lahir mempunyai kapasitas ikatan plasma yang rendah terhadap
bilirubin  bilirubin karena konsentrasi konsentrasi albumin albumin yang
rendahdan rendahdan kapasitas kapasitas ikatan molar yang
kurang.Bilirubin yang terikat pada albumin serum ini merupakan zat non
polar dan tidak larut dalam air dan kemudian akan di transportasi kedalam
sel hepar. Bilirubin yang terikat dengan albumin tidak dapat memasuki
susuna syaraf pusat dan bersifat nontoksik. 1
Bilirubin dalam serum terdapat dalam 4 bentuk Bilirubin dalam serum
terdapat dalam 4 bentuk yang berbeda, yaitu: berbeda, yaitu:
1) Bilirubin tak Bilirubin tak terkonjugasi terkonjugasi yang terikat dengan
albumin ngan albumin dan membentuk sebagian besar bilirubin tak
terkonjugasi dalam serum.
2) Bilirubin bebas
13
3)Bilirubin terkonjugasi Bilirubin terkonjugasi yaitu bilirubin yaitu
bilirubin yang siap yang siap dieksresikan dieksresikan melalui ginjal.
4) Bilirubin terkonjugasi yang Bilirubin terkonjugasi yang terikat denga
albumin s terikat denga albumin serum.

3. Asupan Bilirubin
Pada saat kompleks bilirubin  –   albumin mencapai membrane
plasma  plasma hepatosit, hepatosit, albumin albumin terikat terikat ke
reseptor reseptor permukaan permukaan sel. Kemudian Kemudian
bilirubin, di  bilirubin, di transfer mel transfer melalui sel membran
membran yang berikatan yang berikatan dengan ligandin (protein y),
mungkin juga dengan protein ikatan sitosilik lainnya

4. Konjugasi Bilirubin
Bilirubin tak terkonjugasi dikonversikan kebentuk bilirubin konjugasi
yang larut dalam air di reticulum endoplasma dengan bantuan 9 enzim
uridine diphospate glukuronosyl transferase (UDPG  –  T). Katalisa oleh
enzim ini akan merubah formasi menjadi bilirubin monoglukoronida yang
selanjutnya akan dikonjugasi menjadi bilirubin diglukoronida. Bilirubin ini
kemudian dieksresikan kedalam kalanikulus empedu. Sedangkan satu
molekul bilirubin tak terkonjugasi akan kembali ke reticulum endoplasmic
untuk rekonjugasi berikutn reticulum endoplasmic untuk rekonjugasi
berikutnya.1
5. Eksresi Bilirubin
Setelah mengalami proses konjugasi , bilirubin akan dieksresikan
kedalam kandung empedu, kemudian memasuki saluran cerna dan di
eksresikan melalui feses. Setelah berada dalam usus halus bilirubin yang
terkonjugasi tidak langsung dapat diresorbsi, kecuali jika dikonversikan
kembali menjadi bentuk tidak terkonjugasi oleh enzim beta  – 
glukoronidase yang terdapat dalam usus. Resorbsi kembali bilirubin dari

14
saluran cerna dan kembali ke hati untuk di konjugasi kembali disebut
sirkulasi enterohepatik.1

Terdapat perbedaan antara bayi baru lahir dan orang dewasa, yaitu
pada mukosa usus halus dan feses bayi baru lahir mengandung enzi
mengandung enzim βglukoronidase yang dapat menghidrolisa
monoglukoronida dan diglukoronida kembali menjadi bilirubin yang tak
terkonjugasi yang selanjutnya dapat diabsorbsi kembali. Selain itu pada
bayi baru lahir, lumen usus halusnya steril sehingga bilirubin konjugasi
tidak dapat dirubah menjadi sterkobilin (suatu produk yang tidak dapat
diabsorbsi).1
C. Etiologi
Dasar Penyebab
Peningkatan bilirubin yang tersedia Peningkatan sel darah merah
-Peningkatan produksi bilirubin -Penurunan umur sel darah merah
- Peningkatan early bilirubin

-Peningkatan resirkulasi melalui -Peningkatan aktifitas β-


enterohepatik shunt glukoronidase Tidak adanya flora
bakteri Pengeluaran mekonium
yang terlambat.
Penurunan bilirubin clearance
-Penurunan clearance dari plasma -Defisiensi protein karier
- Penurunan metabolisme hepatik -Penurunan aktifitas UDPGT

- Gangguan pembentukan ATP dengan akibat kegagalan pompa Na-K,


misalnya pada hipoksemia, iskemia, dan hipoglikemia. Sedangkan pada
kejang sendiri dapat terjadi pengurangan ATP dan terjadi hipoksemia.

15
- Perubahan permeabilitas sel syaraf, misalnya hipokalsemia dan
hipomagnesemia.
- Perubahan relatif neurotransmiter yang bersifat eksitasi dibandingkan
dengan neurotransmiter inhibisi dapat menyebabkan depolarisasi yang
berlebihan. Misalnya ketidakseimbangan antara GABA atau glutamat akan
menimbulkan kejang.
Patofisiologi kejang demam secara pasti belum diketahui, diperkirakan
bahwa pada keadaan demam terjadi peningkatan reaksi kimia tubuh. Dengan
demikian reaksi-reaksi oksidasi terjadi lebih cepat dan akibatnya oksigen akan
lebih cepat habis, terjadilah keadaan hipoksia. Transport aktif yang
memerlukan ATP terganggu, sehingga Na intrasel dan K ekstrasel meningkat
yang akan menyebabkan potensial membran cenderung turun atau kepekaan sel
saraf meningkat. Saat kejang demam akan timbul kenaikan konsumsi energi di
otak, jantung, otot, dan terjadi gangguan pusat pengatur suhu. Demam akan
menyebabkan kejang bertambah lama, sehingga kerusakan otak makin
bertambah. Pada kejang yang lama akan terjadi perubahan sistemik berupa
hipotensi arterial, hiperpireksia sekunder akibat aktifitas motorik dan
hiperglikemia. Semua hal ini akan mengakibatkan iskemi neuron karena
kegagalan metabolisme di otak. Demam dapat menimbulkan kejang melalui
mekanisme sebagai berikut :
- Demam dapat menurunkan nilai ambang kejang pada sel-sel yang belum
matang/immatur.
- Timbul dehidrasi sehingga terjadi gangguan elektrolit yang menyebabkan
gangguan permiabilitas membran sel
- Metabolisme basal meningkat, sehingga terjadi timbunan asam laktat dan
CO2 yang akan merusak neuron.
- Demam meningkatkan Cerebral Blood Flow (CBF) serta meningkatkan
kebutuhan oksigen dan glukosa, sehingga menyebabkan gangguan aliran
ion-ion keluar masuk sel.
Gambar 1. Mekanisme terjadinya kejang demam

16
E. Diagnosis6,7
Diagnosis kejang demam ditegakkan setelah penyebab kejang yang lain
dapat disingkirkan yaitu meliputi meningitis, ensefalitis, trauma kepala,
ketidakseimbangan elektrolit, dan penyebab kejang akut lainnya. Dari beberapa
diagnosis banding tersebut, meningitis merupakan penyebab kejang yang lebih
mendapat perhatian. Angka kejadian meningitis pada kejang yang disertai
demam yaitu 2-5%.
Kejadian demam pada kejang demam biasanya dikarenakan adanya
infeksi pada sistem respirasi atas, otitis media, infeksi virus herpes termasuk
roseola. Lebih dari 50% kejadian kejang demam pada anak kurang dari 3 tahun
berhubungan dengan infeksi virus herpes (Human Herpes Virus 6 dan 7).
Hal – hal yang perlu ditanyakan saat anamnesis yaitu :
- Adanya kejang, jenis kejang , kesadaran, lama kejang
- Suhu sebelum/saat kejang, frekuensi dalam 24 jam, interval, keadaan anak
pasca kejang

17
- Penyebab demam di luar infeksi susunan saraf pusat (gejala infeksi saluran
napas akut/ISPA, infeksi saluran kemih/ISK. Otitis media akut/OMA, dll)
- Riwayat perkembangan, riwayat kejang demam dan epilepsi dalam
keluarga
- Singkirkan penyebab kejang yang lain (misalnya diare/muntah yang
mengakibatkan gangguan elektrolit, sesak yang mengakibatkan
hipoksemia, asupan kurang yang dapat menyebabkan hipoglikemia)
Pemeriksaan fisik yang dilakukan antara lain :
- Kesadaran : apakah terdapat penurunan kesadaran
- Suhu tubuh: apakah terdapat demam
- Tanda rangsang meningeal: kaku kuduk, Bruzinski I dan II, Kernique,
Laseque dan pemeriksaan nervus cranial
- Tanda peningkatan tekanan intrakranial: ubun ubun besar (UUB)
membonjol, papil edema
- Tanda infeksi di luar susunan saraf pusat seperti infeksi saluran
pernapasan, faringitis, otitis media, infeksi saluran kemih dan lain
sebagainya yang merupakan penyebab demam
- Pemeriksaan neurologi: tonus, motorik, reflex fisiologis, reflex patologis
Pemeriksaan laboratorium seperti darah rutin tidak begitu bermanfaat
untuk dilakukan pada pasien dengan kejang demam sederhana kecuali jika
terdapat komplikasi atau penyakit lain yang mendasari seperti gangguan
keseimbangan elektrolit yang berkaitan dengan dehidrasi akibat infeksi saluran
gastrointestinal. Pemeriksaan laboratorium sebaiknya dilakukan untuk mencari
penyebab demam diantaranya pemeriksaan kultur urin untuk melihat ada
tidaknya infeksi saluran kemih jika ternyata tidak ditemukan fokus infeksi dari
pemeriksaan fisik. Pemeriksaaan kadar elektrolit seperti kalsium, fosfor,
magnesium dan glukosa yang biasa dilakukan pada pasien kejang tanpa demam
juga kurang memberikan arti yang bermakna jika dilakukan pada pasien kejang
demam sederhana.

18
Beberapa pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan ialah EEG
(elektroensefalogram). EEG dapat memperlihatkan gelombang lambat di
daerah belakang yang bilateral, sering asimetris kadang-kadang unilateral.
Perlambatan ditemukan pada 88% pasien bila EEG dikerjakan pada hari kejang
dan ditemukan pada 33% pasien bila EEG dilakukan 3 sampai 7 hari setelah
serangan kejang. Namun, perlambatan EEG ini kurang mempunyai nilai
prognostik dan kejadian kejang berulang dikemudian hari atau perkembangan
ke arah epilepsi. Saat ini sudah tidak dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan
EEG pada pasien kejang demam sederhana karena hasil pemeriksaan yang
kurang bermakna.
Pemeriksaan cairan serebrospinal dilakukan untuk menyingkirkan
kemungkinan meningitis, terutama pada pasien kejang demam yang pertama.
Pada bayi kecil seringkali sulit untuk menegakkan diagnosis meningitis karena
manifestasi klinisnya tidak jelas, oleh karena itu pemeriksaan pungsi lumbal
harus dilakukan pada bayi berumur < 6-12 bulan, sangat dianjurkan pada bayi
berumur 12-18 bulan dan tidak rutin dilakukan pada bayi berumur >18 tahun
jika tidak disertai riwayat dan gejala klinis yang mengarah ke meningitis.
Pemeriksaan radiologi tidak begitu memberikan manfaat dalam evaluasi
kejang demam sederhana dan masih kontroversial untuk dilakukan pada kejang
demam kompleks sekalipun. Pemeriksaan radiologi misalnya Magnetic
resonance imaging (MRI) dapat dilakukan untuk mengevaluasi ada tidaknya
kerusakan di otak misalnya di daerah hipokampus jika penyebab kejang masih
belum diketahui.
Secara umum, perlu tidaknya pemeriksaan penunjang dilakukan dapat dilihat
pada tabel di bawah ini:
Tabel 2. Pemeriksaan penunjang pada kejang yang disertai demam

19
Pada kejang demam sederhana tidak diperlukan pemeriksaan penunjang baik
berupa pungsi lumbal, EEG, radiologi maupun biokimia darah karena kejang
demam sederhana didiagnosis berdasarkan gambaran klinis. Pemeriksaan
penunjang dilakukan untuk menyingkirkan diagnosis banding kejang yang
disertai dengan demam seperi meningitis.8 Diagnosis kejang demam sederhana
menurut konsensus ikatan dokter anak Indonesia yaitu jika memenuhi kriteria
sebagai berikut :
- Terjadi pada anak usia 6 bulan - 5 tahun
- Kejang berlangsung singkat, tidak melebihi 15 menit
- Kejang umumnya berhenti sendiri
- Kejang berbentuk umum tonik dan atau klonik tanpa gerakan fokal
- Kejang tidak berulang dalam 24 jam

F. Tatalaksana1,7
Pada tatalaksana kejang demam ada 3 hal yang perlu diperhatikan yaitu :
• Pengobatan fase akut
• Mencari dan mengobati penyebab
• Pengobatan profilaksis terhadap berulangnya kejang demam
Pada waktu pasien datang dalam keadaan kejang maka hal yang harus
dilakukan ialah membuka pakaian yang ketat dan posisi pasien dimiringkan

20
apabila muntah untuk mencegah aspirasi. Jalan napas harus bebas agar
oksigenasi terjamin. Pengisapan lendir dilakukan secara teratur, diberikan
terapi oksigen dan jika perlu dilakukan intubasi.
Awasi keadaan vital seperti kesadaran, suhu, tekanan darah, pernapasan
dan fungsi jantung. Suhu tubuh yang tinggi diturunkan dengan kompres air
hangat dan pemberian antipiretik. Tidak ditemukan bukti bahwa penggunaan
antipiretik mengurangi resiko terjadinya kejang demam, namun para ahli di
Indonesia sepakat bahwa antipiretik tetap dapat diberikan ketika anak demam
(> 38,5oC). Dosis parasetamol yang digunakan ialah 10-15 mg/kgBB/kali
diberikan 4 kali sehari dan tidak lebih dari 5 kali. Dosis ibuprofen 5-10
mg/kgBB/kali diberikan 3-4 kali sehari.
Obat yang paling cepat untuk menghentikan kejang adalah diazepam yang
diberikan secara intravena atau intrarektal. Kadar diazepam tertinggi dalam
darah akan tercapai dalam waktu 1-3 menit apabila diazepam diberikan secara
intravena dan dalam waktu 5 menit apabila diberikan secara intrarektal. Dosis
diazepam intravena 0,3-0,5 mg/kgBB, diberikan perlahan-lahan dengan
kecepatan 1-2 mg/menit atau dalam waktu 3-5 menit dengan dosis maksimal
20 mg. Untuk memudahkan orangtua di rumah dapat diberikan diazepam rektal
dengan dosis:
- 5 mg pada anak dengan berat badan < 10 kg
- 10 mg untuk berat badan anak > 10 kg
Buccal midazolam (0.5 mg/kg; dosis maximal 10 mg) dikatakan lebih efektif
daripada diazepam per rektal pada anak.10
Tabel 3. Dosis obat anti konvulsi untuk kejang demam

21
Tatalaksana kejang demam dan kejang secara umum yaitu tampak pada bagan
berikut ini :

Gambar 2. Tatalaksana kejang demam


Pencegahan berulangnya kejang demam perlu dilakukan karena sering
berulang dan menyebabkan kerusakan otak yang menetap. Ada 2 cara profilaksis
yaitu proflaksis intermiten pada waktu demam dan profilaksis terus-menerus
dengan antikonvulsan setiap hari.
Untuk profilaksis intermiten, antikonvulsan hanya diberikan pada waktu
pasien demam. Obat yang diberikan harus cepat diabsorpsi dan cepat masuk ke
jaringan otak. Diazepam intermiten memberikan hasil lebih baik karena
penyerapannya lebih cepat. Dapat digunakan diazepam intrarektal tiap 8 jam pada
kenaikan suhu mencapai 38,5oC atau lebih yaitu dengan dosis :
- 5 mg untuk pasien dengan berat badan < 10 kg

22
- 10 mg untuk pasien dengan berat badan > 10 kg Diazepam dapat pula diberikan
secara oral dengan dosis 0,5 mg/kgBB/hari dibagi dalam 3 dosis pada waktu
pasien demam. Efek samping diazepam ialah ataksia, mengantuk dan hipotonia.
Untuk profilaksis terus-menerus dilakukan dengan pemberian fenobarbital
4-5mg/kgBB/hari dengan kadar obat dalam darah sebesar 16µg/ml menunjukkan
hasil yang bermakna untuk mencegah berulangnya kejang demam. Efek samping
fenobarbital berupa kelainan watak yaitu iritabel, hiperaktif, pemarah dan agresif
ditemukan pada 30-50% pasien. Efek samping dapat dikurangi dengan
menurunkan dosis fenobarbital. Obat lain yang dapat digunakan yaitu asam
valproat dengan dosis 15-40 mg/kgBB/hari. Fenitoin dan carbamazepin tidak
efektif untuk pencegahan kejang demam. Antikonvulsan profilaksis terus-menerus
diberikan selama 1-2 tahun setelah kejang terakhir kemudian dihentikan secara
bertahap selama 1-2 bulan. Adapun indikasi profilaksis terus-menerus yaitu
sebagai berikut:
- Sebelum kejang demam yang pertama sudah ada kelainan neurologis atau
perkembangan
- Ada riwayat kejang tanpa demam pada orangtua atau saudara kandung
- Kejang demam lebih lama dari 15 menit, fokal atau diikuti kelainan
neurologis sementara dan menetap
- Kejang demam terjadi pada bayi berumur < 12 bulan atau terjadi kejang
multipel dalam satu episode demam

G. PROGNOSIS7
Gejala sisa lebih sering terjadi pada SE simtomatis; 37% menderita
defisitneurologis permanen, 48% disabilitas intelektual. Sekitar 3-56% pasien
yang mengalami SE akan mengalami kembali kejang yang lama atau
statusepileptikus yang terjadi dalam 2 tahun pertama. Faktor risiko SE
berulangadalah; usia muda, ensefalopati progresif, etiologi simtomatis
remote,sindrom epilepsi.

23
DAFTAR PUSTAKA

1. Soetomenggolo, T.S. 2016. Rekomendasi Tatalaksana Kejang Demam,


Jakarta : IDAI.
2. Pusponegoro, H.D., Widodo, D.P., Ismael, S. 2006. Konsensus
Penatalaksanaan Kejang Demam. Unit Kerja Koordinasi Neurologi. Jakarta :
Ikatan Dokter Anak Indonesia.

24
3. Kusuma, D., Yuana I. 2010. Korelasi antara Kadar Seng Serum dengan
Bangkitan Kejang Demam. (Tesis), Magister Ilmu Biomedik dan Program
Pendidikan Dokter Spesialis 1, Ilmu Kesehatan Anak, Semarang : Universitas
Diponegoro
4. Fuadi, F. 2010. Faktor Risiko Bangkitan Kejang Demam pada Anak, (Tesis),
Semarang : Universitas Diponegoro.
5. Rifqi Fadly. 2015. Penatalaksanaan Kejang Demam. Jakarta : RSI Cempaka
Putih.
6. Mangunatmadja, I., Widodo, D.P. 2011. Simposium dan Workshop Tata
Laksana Terkini Kejang Demam dan Epilepsi pada Anak. Kalimantan Barat :
IDAI
7. Ikatan Dokter Indonesia. 2017. Panduan Praktik Klinis bagi Dokter di
Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer. 2nd ed. Jakarta: Ikatan Dokter
Indonesia.

25

Anda mungkin juga menyukai