Anda di halaman 1dari 545

Daftar Isi

Asgrandor – Barisan Yeshaiem 3

Pertempuran Tanah Selatan – Pertempuran Norgabizahk 34

Kebangkitan Rephaiem – Rephairiem Dipanggil 54

Pertempuran di Tanah Anggur – Pertempuran Erephagrunzar 71

Pertempuran di Daria – Pertempuran Repbatranza 169

Kembalinya Kota Serael – Tanah Selatan Bangkit

Barisan Besar Kembali pada Tuannya – Bangkitnya Dua Barisan

Raja di Utara Tengah

Pertemuan di Selatan

Lahirnya Tanah Tombak

Pemberontakan Dimulai

Kekuatan Barisan Luciel di Utara

Tindakan bagi Pemberontak

Penyerangan di Tanah Barat – Kabar dari Pengintai di Tanah


Ranting

Datangnya Raja Hemoth

Pemberontakan di Utara – Bangkitnya Azbazel

Direbutnya Altar Kembali

Kamus

1
Kesaksian para Agung dan para malaikat yang bersaksi sesuai
peristiwa yang terjadi dalam urutan dan rangkaian yang benar dan tidak
bersalah-salah. Ditulis oleh Jegudiel dan, atau Jegudi dan Jegudiem. Disahkan
oleh kedua Puluh Empat Tua. Terjadi sesuai kehendak dan, atau perintah dan,
atau izin Tuhan Allah .

2
Asgrandror – Barisan Yeshaiem

Jauh di Utara, saat waktu Luciel memimpin barisannya


memenuhi Tanah Utara bagian Barat. Perbatasan dengan Tanah
Rephaiem, di Tanah Benih, Frili. Diamlah Luciel bersama barisan-
nya di sana. Mereka menjaga perbatasan itu karena pergerakan
barisan Seraphiem dan Rephaiem sangat kuat di Tanah Barat,
merebut kota-kota kekuasaan mereka. Suatu saat Luciel telah payah
memikirkan perencanaan penyerangan. Keluarlah ia dan mene-
nangkan diri. Datanglah salah satu hambanya dan berkata, “Tuhan,
kita tidak dapat maju menyerang dengan segera. Sejak Rapharium
jatuh pada para malaikat, kita tidak memiliki roti-roti untuk
membekali barisan yang besar. Sedang roti-roti dari tanah lain tidak
dapat menyegarkan hamba-hamba tuhan dengan baik.” Kemudian
jawab Luciel,
“Aku tahu dan kita sudah membicarakan itu. Sekarang pergi
dan bahas tentang cara kita berhubungan dengan barisan yang di
Selatan. Aku hendak pergi menenangkan diriku.” Maka pergilah
hamba itu dari Luciel dan Luciel berjalan berkeliling di Frili.
Saat Luciel berjalan-jalan di sana, ia melemparkan pandang-
annya pada gunung-gunung. Luciel memang lebih suka pada
tempat-tempat yang tinggi, karena itulah ia membuka Gunung
Arthom dan membangun tahtanya di sana. Tertujulah pandangan-
nya pada gunung tertinggi di Tanah Barat, yang disebut Raphael
sebagai Shunyi. Maka kata Luciel pada hambanya,
“Aku tidak pernah memperhatikan gunung tinggi itu.
Adakah yang mengetahui tentang gunung itu?” Lalu hambanya
bersujud di hadapannya dan menjawab: “Tidak seorang pun per-
nah ke sana, tuhan. Hutan Barat menyelimuti gunung itu dan para
tua mengatakan bahwa gunung itu dijaga.” Maka lagi kata Luciel,
“Bila benar gunung itu tidak pernah diinjak, aku hendak
menjadi yang pertama duduk di atasnya. Apa maksud perkataan-
mu, bahwa gunung itu dijaga?” Maka lagi kata hambanya: “Aku
mendengar dari para tua-tua suku yang lama berdiam di tanah-
tanah ini, tuhan. Mereka mengatakan bahwa gunung tinggi itu

3
memang seharusnya bukan untuk kaum malaikat.” Maka kata
Luciel,
“Panggillah tua-tua yang engkau katakan itu. Aku hendak
berbicara dengan mereka.” Pergilah Luciel kembali ke salah satu
rumah kerja tempat ia berdiam di Frili.
Kemudian dihadapkan pada Luciel para tua-tua yang lama
berdiam di tanah itu, mereka yang mengetahui lebih banyak
tentang Shunyi. Lalu mulailah Luciel berkata,
“Baiklah sekarang bicaralah padaku tentang gunung tinggi
itu. Sebab belum pernah aku mendengarnya.” Lalu para tua-tua itu
mulai berbicara, katanya: “Tidak pernah ada yang pergi ke sana,
tuhanku. Hutan Barat telah lama menyelimuti gunung itu dan
menutupinya dari pandangan malaikat. Kami yang dahulu adalah
para Bartarchiem, tidak pernah berani melangkahkan kaki ke sana.
Bahkan para Rephaiem tidak pernah menegor pohon-pohon untuk
membuka jalan ke sana. Tidak ada sebutan bagi gunung itu dan
tidak ada yang mengetahui apa yang ada di sana. Beberapa penje-
lajah pernah pergi ke gunung itu dan tidak mereka kembali. Namun
tetap saja para malaikat menjelajah hutan itu dan berusaha untuk
sampai ke sana. Sampai suatu saat, datanglah seorang Rephai muda
berlari dari hutan ke Kota Munbagur.” Kemudian terdiamlah
hamba itu. Maka lagi kata Luciel,
“Mengapa engkau berhenti berbicara? Katakan saja apa
yang engkau ketahui dan aku akan mengampunimu.” Kemudian
para tua itu saling memandang satu dengan yang lain. Mulailah lagi
ia berbicara, katanya: “Hamba Rephaiem telah terluka dan tubuh-
nya terkoyak. Tidak ia berucap sekatapun saat itu. Maka para
Bartarchiem yang ada di sana merawat dia dan hendak mengirim-
kan ia kembali ke Tanah Ranting. Namun sebelum ia pergi dikirim
ke Tanah Ranting, para tua-tua berkumpul bersama dia, aku ada di
antara mereka saat itu.” Kemudian berkatalah Luciel,
“Kapan peristiwa ini terjadi?” Jawab hamba itu: “Aku tidak
dapat mengingat betul tentang itu, tuhan. Namun semua itu terjadi
sebelum para Malaikat Agung mulai mengeluarkan hukum-hukum
dan para Seraphiem mulai tersebar di tanah-tanah Sorga.” Kemu-

4
dian Luciel mengayunkan tangannya memberi tanda supaya hamba
itu melanjutkan ceritanya.
Maka lagi hamba itu berkata: “Hamba Rephaiem ini masih
sangat muda dan tidak banyak mengerti. Ia adalah salah satu dari
para penebang pohon di Hutan Barat. Ia pergi bersama saudara dan
kerabatnya ke gunung itu karena dorongan rasa ingin tahu. Mereka
berangkat dari Tanah Roti dan terus menelusuri hutan. Kira-kira
mereka ada empat puluhan malaikat yang pergi. Setelah sampai di
gunung itu, mereka bertemu dengan makhluk yang tidak pernah
mereka lihat sebelumnya. Makhluk-makhluk yang berdiam di
hutan-hutan. Mereka itu bukanlah kaum malaikat. Mereka yang di
sebut para penjaga Hutan Barat. Tidak ada sebutan bagi mereka
dan tidak ada yang mengetahui namanya. Makhluk-makhluk itulah
yang mengoyak mereka dan mengusir para Rephaiem itu dari sana.
Hanya satu yang selamat, hamba Rephaiem yang ada bersama kami
itu. Hamba muda ini berdiam cukup lama bersama kami setelah-
nya, ia disebut Hererel. Kami berusaha untuk terus mencari tahu
tentang gunung itu dan berusaha untuk membuat hamba itu terus
berbicara tentang apa yang dialaminya di gunung itu. Setelah ia
banyak menceritakan, ada satu yang terbesar di antara makhluk-
makhluk itu. Dan yang terbesar itu adalah pemimpin makhluk-
makhluk di sana. Hanya yang terbesar itulah yang dapat berbicara
dalam bahasa malaikat. Ia mengoyak para Rephaiem itu dan
membuang tubuh-tubuhnya ke atas gunung. Saat tiba giliran
Hererel untuk dibawanya ke atas gunung, merontalah Rephai ini
dan ia berlari sekuat mungkin sampai tiba di Munbagur.” Lalu
selesailah ia bercerita. Maka kata Luciel,
“Bagaimana dengan Rephai itu, apa yang terjadi padanya?”
Maka kata salah satu dari para tua itu: “Lama ia berdiam bersama
kami, kami menganggap dia sebagai bagian dari Bartarchiem dan
sebagai puak kami sendiri. Namun kekuatan dari penjaga gunung
itu telah menguasai pikirannya dan menarik ia kembali. Pada
waktu para Seraphiem dan Uriem mulai memasuki Munbagur, ia
berlari dari kota dan masuk kembali ke dalam hutan. Sejak saat itu
ia tidak pernah kembali. Hanya sebilah kapak penebang pohon
yang ia tinggalkan sebagai peringatan pada kami. Gunung itu tidak

5
dapat dikuasai, tuhan. Dan makhluk-makhluk di sana harus tetap
tertidur. Jangan sampai mereka turun dan keluar dari gunung itu
dan masuk ke kota-kota.” Lalu tertawalah Luciel mendengar
perkataan hambanya itu. Maka kata Luciel,
“Benarkan makhluk-makhluk itu kuat? Aku hendak menge-
tahuinya. Mari kita bangunkan mereka kalau begitu. Siapkan
barisan! Aku menunda penyerangan pada barisan malaikat. Kita
akan pergi ke gunung tinggi itu dan menguasainya!” Bersoraklah
hamba-hamba Luciel yang di sana dan mendukung dia. Sedang
para tua-tua itu pergi dari sana meninggalkan Luciel yang tidak
mendengarkan mereka.
Luciel memimpin barisannya menuju Shunyi. Ia membuka
jalan di antara hutan-hutan. Menebang pohong-pohon di jalur
Rephai, melalui Dur-Harandi. Kota itu dibuka oleh Bart-Archiel
supaya memudahkan para Bartarchiem mengambil benih dari
sebagian Hutan Barat. Luciel membuka jalan di sana lebih lebar lagi
dan menghabiskan pohon-pohonnya. Sebab kata Luciel,
“Ini adalah jalan yang terdekat dengan gunung itu. Dengan
ini, kita juga akan membuka jalan ke Tanah Barat. Barisan malaikat
tidak akan menyangka bila kita menyerang dari sini. Sebab selama
ini para Rephaiem merasa aman dari ancaman barisanku di balik
hutan lebat ini.” Dari sanalah Luciel memimpin barisannya. Saat ia
berhasil membuka jalan mencapai Shunyi, berkatalah Luciel,
“Aku akan menamai gunung ini Lebarga, sebab akulah yang
pertama menginjakkan kaki ke tanah ini.” Namun sebenarnya,
Raphael telah lebih dahulu menginjak tanah itu dan memberi nama
pada gunung itu ‘Shunyi’.
Pada waktu Luciel memimpin barisannya ke Shunyi, para
Seraphiem dengan pimpinan Mikhael telah merebut Araria. Karena
itulah Mikhael dan Raphael dapat dengan tenang merebut kota-
kota di Tanah Barat, sebab Luciel sibuk di Shunyi. Peristiwa di
Shunyi yang dialami Luciel tidak jelas dan kesaksian para saksi
saling bersalah-salah. Sebab pertempuran di Shunyi telah merusak
pikiran hamba-hamba Luciel yang menjadi saksi atas pertempuran
itu. Karena itu para saksi pertempuran itu tidak dapat memberikan
kesaksian yang jelas, sekalipun para malaikat telah memaksa

6
mereka bersaksi untuk pencatatan kitab ini. Namun tetap saja, para
Jegudiem mendapat beberapa kebenaran dari peristiwa di Shunyi.
Semua itu dikaitkan dengan pengalaman para Agung di Shunyi.
Juga dengan hikmat dari Yang Terang, bantuan Dua Puluh Empat
Tua, melengkapi para Jegudiem untuk mendapat kebenarannya,
sekalipun hanya sedikit saja.
Luciel telah memimpin barisannya ke Shunyi dengan
tenang, dari Frili. Tidak ada permasalahan selama Luciel membuka
jalan dan membawa barisannya ke sana. Sesampainya di Shunyi,
berkatalah Luciel,
“Cepat kuasai gunung ini, namun jangan kamu melakukan
banyak perubahan dan penebangan. Sebab para malaikat dapat
melihat gunung ini dari kejauhan. Jangan sampai mereka menaruh
curiga bila kita membuka jalan dari sini.” Maka pergilah segera
hamba-hamba Luciel itu untuk menjelajah gunung itu. Luciel
memimpin mereka dalam penjelajahan di sana. Pada waktu itulah
Luciel menemukan rumah kerja yang dibangun Raphael saat ia ada
di sana, sebelum Luciel. Nampaklah beberapa rumah kerja penam-
bangan di sana dan ada satu rumah kerja yang paling besar di
antaranya. Tertulis di atas pintu rumah kerja itu: “Gunung Shunyi,
Hutan Barat, Tanah Rephaiem.” Maka murkalah Luciel melihat itu,
sebab baru ia mengetahui bahwa Raphael telah ada di sana jauh
sebelum dia. Maka kata Luciel,
“Cepat kamu siapkan segala sesuatu untuk meruntuhkan
rumah-rumah kerja ini! Periksa segala sudut dan bila kamu mene-
mukan satu Rephai saja, jangan kamu menyakitinya, bawa
padaku!” Maka segeralah mereka bersiap menjalankan apa yang
diperintahkan Luciel itu.
Raphael telah pergi ke Shunyi sebelumnya untuk mengam-
bil bahan-bahan tambangan dan digunakan untuk senjata-senjata
pusaka para Agung dan dua puluh tujuh pedang utama. Sisa
bahan-bahan tambangan yang diambil Raphael pada waktu itu
cukup untuk mempersenjatai Tentara Sorga. Namun masih juga
bahan-bahan itu sisa, maka sisanya ditempa untuk menjadi baju
pelindung para Seraphiem. Barulah habis bahan-bahan itu terpakai.
Dengan kasih Yang Sulung, Raphael dan hamba-hambanya dapat

7
menambang di Shunyi dengan tenang. Sedang Luciel dan barisan-
nya, masuk ke Shunyi tanpa kasih Yang Sulung menyertai.
Bangkitlah para pendiam gunung itu. Tuhan telah menciptakan
banyak kaum di Sorga, selain kaum malaikat, Tuhan masih mencip-
takan banyak sekali kaum lain. Dan banyak dari kaum makhluk-
makhluk di Sorga yang tidak diketahui kaum malaikat. Termasuk
mereka, makhluk yang mendiami Shunyi.
Adapun kaum Yeshaiem yang mendiami Hutan Baratlah
yang menjadi penjaga di Gunung Shunyi. Pemimpin mereka adalah
satu dari kaum Baghog (Bagiem), kaum beruang hitam besar yang
berdiam di bawah tanah. Dialah salah satu Baghog yang disebut
Asgrandror, pemimpin kaum Yeshaiem. Inilah pencatatan tentang
Asgrandror yang berakhir memimpin kaum Yeshaiem. Asgrandror
telah lama menguasai Gunung Shunyi di balik bayang-bayang
kejayaan kaum malaikat di Tanah Sorga. Ia menguasai gunung itu
sejak jaman lampau, saat Sorga hanya seluas Tanah Altar dan kaum
malaikat masih sedikit. Asgrandror datang ke Bildal (nama lampau
Gunung Shunyi) bersama kaumnya untuk menguasai sumber besi
merah. Kaum Baghog yang dipimpin Asgrandror bertempur dan
mengalahkan kaum Yeshaiem. Pada akhirnya Yeshaiem terjatuh
dan kalah. Asgrandror menguasai tanah itu dan ia tenang dengan
barisan kuatnya. Kaum Baghog mengambil besi merah dan
menanamkan itu pada kulit mereka.
Asgrandror memanfaatkan kaum Yeshaiem untuk bekerja
bagi kaumnya. Dia tidak takut karena pemimpin barisannya,
Ersgrai, sangat mahir dalam bertempur. Dengan menguasai sumber
besi merah, kaum Baghog menjadi jauh lebih kuat. Mereka mem-
perluas kekuasaan sampai ke Utara dan menguasai kaum-kaum
lain yang berdiam di hutan-hutan di jaman lampau. Dengan
kekayaan dan kelimpahan bahan tambang, Asgrandror mengikat
perjanjian dengan kaum Grein, kaum anjing api. Ia menukarkan
besi-besi hitam dan tembaga-tembaga dengan kaum kuat Utara itu.
Ia mengadakan perjanjian dengan Helro, pemimpin kaum Grein,
untuk menguasai Tanah Selatan, melawan kaum ular naga. Namun
rencanannya terhambat karena kaum malaikat bertambah banyak
dan kaum malaikat lebih mendapat kasih di mata Yang Utama.

8
Jalan menuju Selatan telah tertutup dengan peradaban kaum ma-
laikat. Maka Asgrandror mulai merencanakan untuk menyerang
kaum malaikat.
Karena perbuatannya itu, datanglah Yang Sulung padanya
dan menghentikan dia dari rencana jahatnya itu. Karena itu Yang
Sulung membuka Tanah Sorga semakin luas lagi. Tanah Barat mulai
dibuka-Nya dan hutan lebat di sebelah Timur dibuka-Nya menjadi
padang. Asgrandror tidak memiliki tujuan pasti lagi dan kehidupan
kaum Baghog tidak memiliki arah. Mulailah mereka menekan
sahabat dekat mereka dan berusaha mengambil Utara dari kaum
Grein. Itulah awal kejatuhan kejayaan kaum Baghog. Asgrandror
memimpin penyerangannya ke Utara, namun musuh lamanya telah
bangkit. Kaum Yeshaiem yang lama ditindasnya bangkit dengan
pimpinan seorang Yesha bernama Tertlai. Sebab kaum Yeshaiem
adalah kaum yang berkembang biak dengan kawin. Jumlah mereka
menjadi bertambah banyak dan kuat.
Kaum Yeshaiem yang selama ini bekerja dalam tambang
bagi Arsgandror, menemukan tiang penyangga Gunung Bildal, besi
putih. Besi putih dapat mematahkan dan menembus besi merah.
Tertlai muda memimpin kaumnya menggunakan besi putih untuk
melawan pada Asgrandror. Sedang Arsgandror dan Ersgrai sedang
bertempur di Utara, Yeshaiem telah membantai kaum Baghog di
Bildal dan meruntuhkan bentengnya. Jatuhlah kerajaan tua dan
kekuasaan kaum Baghog di Hutan Barat. Asgrandror mengalami
pukulan yang hebat saat melawan kaum Grein di Utara, maka
berlarilah ia kembali ke Bildal. Sedang saat ia sampai di sana, kaum
Yeshaiem telah merebut dan meruntuhkan kekuasaannya. Majulah
ia bertempur untuk merebut kembali apa yang menjadi miliknya.
Dalam pertempuran itu, Tertlai memenggal kepala Ersgrai di depan
Asgrandror. Terseraklah barisan kaum Baghog meninggalkan
pertempuran dan banyak dari mereka yang kembali ke tanah yang
jauh di sebelah barat, ke Gunung Erendrir, gunung bersaudara
(nama lama Gunung Cerrub dan Seraph). Atas kekalahan itu,
Asgrandror kehilangan kepercayaan kaumnya.
Seiring berjalannya waktu, kaum malaikat mulai mencapai
masa kejayaan. Tuhan telah membuka Tanah Utara bagi kaum

9
malaikat. Hal itu menekan kaum-kaum yang berdiam di Utara,
banyak kaum-kaum itu yang menjadi punah karena kehilangan
tanah mereka. Kaum Grein juga mengalami masalah karena itu.
Maka Helro, pemimpin kaum Grein memimpin kaumnya untuk
mengambil tanah-tanah sebelah Barat. Terjadilah pertempuran
antara kaum Yeshaiem dan kaum Grein. Tertlai tidak sanggup
melawan kaum Grein, sedang sudah suntuk umurnya untuk me-
mimpin pertempuran. Maka berlarilah Tertlai ke Barat mencari
Asgrandror dengan membawa besi putih. Ia mendapati Asgrandror
dan menyerahkan besi putih di bawa kaki Asgrandror. Tertlai
memohon pada Asgrandror untuk membantu kaum Yeshaiem
melawan kaum Grein. Terjadilah persepakatan antara mereka.
Asgrandror telah geram pada kaumnya karena membuang dia
karena satu kesalahan, maka ia pergi meninggalkan kaumnya dan
mengikuti Tertlai bergabung dengan kaum Yeshaiem.
Dengan pimpinan Asgrandror, Yeshaiem mengalahkan
kaum Grein. Besi putih digunakan Asgrandror sebagai senjata dan
pelindungnya. Cakar tajam kaum Grein tidak menembus besi putih
yang melindungi Asgrandror. Api panas di tubuh kaum Grein,
tidak mampu menahan pukulan besi putih yang menjadi senjata
Asgrandror. Pergilah kaum Grein kembali ke Utara dengan keka-
lahan. Dengan begitu berkuasalah Asgrandror kembali di Gunung
Bildal, di balik kejayaan kaum malaikat, ia memimpin kaum
Yeshaiem. Masa dan jaman berlalu seperti berhari-hari saja dalam
kemakmuran di Bildal. Sampai datanglah Raphael ke sana dan
memberi nama gunung itu; Shunyi.
Raphael dan hamba-hamba Rephaiemnya memasuki Bildal
setelah ribuan tahun berlalu. Raja-raja penguasa kaum Yeshaiem
telah hancur dan keturuan mereka dipimpin oleh Asgrandror. Pada
saat itu telah sampai suara Yang Sulung terdengar di udara,
menyiarkan kabar bahwa Raphael, Tangan Allah akan datang ke
Bildal dan mengambil apa yang menjadi hak kaum malaikat atas
tanah itu. Asgrandror tahu tentang Raphael sebelum kedatangan-
nya, maka ia tidak mengganggu Raphael yang mengambil banyak
sekali tambangan dari gunung kekuasaanya, sebab Raphael datang
dengan kuasa Yang Utama. Raphael telah mendengar banyak

10
tentang Bildal sebelum ia pergi ke sana, sebab Yang Sulung banyak
berbicara dengan dia. Raphael mengadakan perjanjian dengan
Asgrandror. Sesampainya di Bildal, yang akan dinamainya Shunyi
itu, berserulah Raphael, katanya,
“Asgrandror! Penguasa Bildal, pemimpin Yeshaiem!
Tampillah kamu ke hadapan penguasa yang benar atas tanah ini.
Sebelum aku mendatangimu dengan murka, datanglah kepadaku!”
Maka tampillah Asgrandror itu dari dalam gunung. Barisan
Yeshaiem yang banyak berdiri di belakangnya dan mereka
memenuhi gunung itu.
Kemudian Raphael mulai berbicara dengan Asgrandror itu
dan ia mengadakan perjanjian. Perjanjian itu menyangkut tentang
Shunyi. Perjanjian Raphael pada Asgrandror dalam pertemuan
pertama mereka di Shunyi, sebelum Raphael membangun rumah-
rumah kerja di sana. Kata Raphael,
“Aku adalah kaum malaikat dan aku telah membaca banyak
tentangmu dan kaummu, Asgrandror. Yang Utama, Tuhanmu dan
Tuhanku, telah memberi banyak pengetahuan tentang kisah-
kisahmu. Maka sekarang, akulah kaum malaikat yang diutus oleh-
Nya untuk datang ke mari dan mengambil banyak bahan-bahan.
Hal ini kukatakan padamu supaya engkau mengetahuinya; sebab
sekalipun engkau berkuasa atas gunung ini, namun tanah ini ada-
lah bagian milikku dan milik kaum malaikat, suku Rephaiem. Maka
engkau dan kaum Yeshaiem yang engkau pimpin ini, akan menjaga
tanah ini bagiku dan bagi Rephaiem. Tidak akan ada yang dapat
masuk ke mari selain Rephaiem, karena engkau akan menghalau
mereka. Aku tidak akan mengambil kekuasaanmu ini, sebab aku
tahu bahwa engkau menguasai gunung ini dengan susah payah-
mu.” Namun jawab Asgrandror pada Raphael,
“Akulah Asgrandror yang memimpin kaum Baghog ke
tanah ini. Akulah dia yang menguasai Gunung Bildal dengan me-
mimpin kaum Yeshaiem. Aku hanya membiarkan engkau mengam-
bil bahan-bahan itu karena saat ini memang Tuhan yang mengutus
engkau. Namun inilah satu-satunya kesempatanmu. Aku akan tetap
menutup tanahku dari siapa pun dan tidak ada yang akan datang
lagi ke tanah ini. Aku akan menghalau semuanya, termasuk

11
sukumu itu, Rapahel, yang dikenal sebagai Tangan Allah. Ambillah
sebanyak engkau bisa, semampumu engkau membawa, ambillah
itu. Namun aku tidak akan membiarkan engkau datang lagi dan
mengambil bagian dari gunung ini lagi. Bila bukan Tuhan yang
mengutusmu, aku tidak akan mau.” Kemudian lagi kata Raphael,
“Aku tidak mengetahuinya, Asgrandror. Bila nanti aku men-
jadi jatuh hati dengan bahan-bahan dari gunung ini, mungkin aku
akan kembali mengambil bahan dari sini, sekalipun tidak diutus
Yang Sulung. Bila engkau menghalau jalanku, baiklah terjadi
pertempuran atas tanah ini, antara kaum malaikat dengan kaum
pimpinanmu itu. Mungkin nantinya, musuhku juga akan
menginginkan tanah ini, maka bersiaplah kamu dengan kedatangan
mereka nantinya, Asgrandror. Sebaiknya matamu tetap terjaga.
Karena gunung ini adalah bagian dari tanahku yang dipercayakan
Yang Sulung padaku, maka Gunung Bildal sudah tidak ada lagi.
Sejak saat ini, gunung ini akan disebut Shunyi.” Kemudian
Asgrandror pergi dari sana membawa kaum Yeshaiem dan
membiarkan Raphael bekerja di sana. Kata Asgrandror,
“Aku akan dengan sabar menanti saat itu tiba, Raphael,
pemimpin Rephaiem. Dengan senang hati aku akan mengoyakkan
tubuh kaum malaikat dengan cakarku. Aku akan berdiam di sebe-
lah barat gunung ini sampai engkau pergi. Ingatlah, sekali engkau
pergi meninggalkan gunung ini, aku tidak akan membiarkan
engkau kembali.” Oleh sebab perjanjian itulah, Raphael membawa
banyak sekali bahan tambangan dari Shunyi, sekali kerja.
Setelah Raphael pergi, Shunyi tetap tenang dan tidak ada
pertikaian di sana. Namun tidak untuk waktu yang lama. Asgran-
dror dan para Yeshaiem tetap tenang, sampai setelah Raphael,
datanglah Luciel dan barisannya. Asgrandror penguasa Shunyi
sedang berdiam di dalam gunung dan ia merebahkan tubuhnya.
Langkah Luciel dan barisannya telah terdengar oleh telinganya dan
itu mengusik dia. Maka bangkitlah Asgrandror dan berkata,
“Kaum malaikat telah kembali pada kita. Rupanya mereka
benar-benar ingin mencobai kekuatan kaum-kaum tua yang telah
lama berdiam di Sorga sebelum mereka. Bangkitlah Yeshaiem,
pendiam Hutan Barat! Inilah saatnya kita menguji para malaikat!”

12
Maka keluarlah barisan Yeshaiem itu dari balik gunung dan dari
gua-gua di dalam gunung itu. Mereka memenuhi tempat itu dan
berhadapan dengan Luciel. Saat para pengikut Luciel melihat
mereka, terkejutlah mereka dan berlari menjauhi rumah-rumah
kerja yang dibangun para Rephaiem itu.
Luciel melihat makhluk-makhluk yang sangat banyak sekali
memenuhi gunung itu dan berdiri di atas pohon-pohon, di tanah
dan mereka membawa senjata. Maka berserulah Luciel,
“Salam bagi kamu, para penjaga gunung! Aku datang bukan
untuk melawan kamu, kiranya tenanglah kamu.” Namun para
Yeshaiem itu hanya berdiam, sebab mereka tidak bicara dalam
bahasa malaikat. Maka tampillah beruang hitam yang sangat besar.
Kulitnya dari besi merah keras dan cakarnya dari tembaga. Nafas-
nya mengeluarkan api dan matanya menyala seperti bara panas.
Taringnya terbuat dari batu-batu permata gunung. Pada tangannya
ia memegang pedang bertongkat panjang, kira-kira empat kilang
panjangnya. Tubuhnya besar dan kuat, lebih tinggi dari Malaikat
Agung saat ia membungkuk. Bila ia berdiri di atas dua kakinya,
kepalanya melebihi pohon-pohon hutan.
Tercenganglah Luciel melihat itu, sedang saat itu Luciel
menunggang ular naga dari Hutan Selatan. Juga barisan Luciel itu
menunggang ular naga. Saat tunggangannya itu melihat Asgran-
dror, tunduklah ular naga itu dan berkata dalam bahasa kuno,
katanya,
“Kaumku tidak bersangkutan atas keramaian ini, raja kaum
Ghog, Asgrandror kepala Baghog. Para malaikat inilah yang telah
memperbudak aku dan memaksa aku berjalan ke mari sebagai
tunggangannya.” Luciel semakin terkejut lagi melihat bahwa ular
naga tunggangannya berbicara sebelum dia berbicara. Maka
berkatalah Luciel,
“Salam bagimu, beruang hitam yang gagah. Akulah Luciel,
pemimpin barisan ini dan kami datang bukan untuk melawan
engkau. Siapa engkau, hai makhluk perkasa? Mengapa tunggang-
anku berbicara padamu dalam bahasa lain?” Kemudian berkatalah
Asgrandror, katanya,

13
“Kaum ular naga, rupanya engkau bersekutu dengan kaum
malaikat untuk menguasai Barat. Dasar kamu malaikat bodoh!
Kaum yang tidak juga belajar dan tidak mengenal siapa yang ber-
diam di tanah-tanah ini sebelum kamu. Akulah Asgrandror,
pemimpin kaum Baghog, pemimpin kaum Yeshaiem, penguasa
Bildal, Gunung Shunyi Tangan Allah!” Terdiamlah Luciel dan ia
tidak dapat berkata apa-apa. Lalu kata Luciel,
“Apa yang engkau katakan? Apa engkau berbicara tentang
Raphael? Tenanglah tuanku Asgrandror, kami tidak datang untuk
melawan engkau, tenanglah dan tahan barisanmu ini. Memang
hambamu ini tidak mengetahui apa, tuanku, kiranya biarlah tuan
berbicara supaya hamba mengerti.” Lalu kemudian kata
Asgrandror,
“Tungganganmu itu adalah kaum terbodoh yang pernah
ada. Bila bukan karena kaummu, hai Luciel, aku sudah membantai
mereka dan menguasai Selatan. Ia ini berbicara padaku dalam
bahasa ular naga, tentu engkau tidak mengetahuinya, Luciel yang
bodoh. Engkau berbicara seperti aku ini adalah tuanmu. Aku tidak
sudi menjadi tuan atas kaum malaikat. Pergilah dari tanahku! Ada
perjanjian antara aku dengan Raphael, Tangan Allah. Dia datang
dari selatan sebelumnya, sekarang aku melihatmu datang dari
utara. Apa kamu hendak mengepung aku, hai malaikat? Bila tetap
engkau berdiri di tanahku, akan merobek wajah cantikmu. Aku
ingin melihat apakah engkau masih bercahaya bila aku melaku-
kannya.” Luciel hanya terdiam. Sedang barisan besar di hadapan-
nya siap membantai dia.
Kemudian lagi kata Asgrandror, “Aku mengenal kamu,
Frenalas pemimpin barisan enam ular naga. Aku mendengar ten-
tang engkau dan melihat engkau berkuasa dahulu kala. Sekarang
engkau lebih hina dari anjing gunung dan menjadi hamba bagi
kaum malaikat. Apa urusanmu denganku? Tidakkah gunung-
gunung di Selatan sangat cukup bagi kaummu?” Lalu Luciel
berkata,
“Frenalas? Itukah namamu, ular naga? Aku tahu bahwa
tidak mungkin engkau ada di Hutan Selatan tanpa alasan. Tuan
Asgrandror, tenanglah dahulu. Kiranya bila para ular naga ini

14
mengganggumu, aku akan mengusir mereka sekarang.” Kemudian
berkatalah ular naga yang ditunggang Luciel itu dalam bahasa lain,
katanya,
“Pikirmu engkau dapat melawan kaum malaikat ini,
Asgrandror? Aku telah memilih untuk tunduk pada mereka. Tuhan
telah mengangkat kaum malaikat lebih tinggi dari pada kita. Tun-
duklah pada mereka maka mereka tidak akan mengganggumu.
Pergilah kembali jauh ke Barat, tempat asal kaummu berada!”
Namun kemudian murkalah Asgrandror dan ia mengangkat
pedangnya hendak memukul Luciel. Namun berlarilah ular naga
yang ditunggangi Luciel itu dan berlari dari sana. Tertawalah
Asgrandror dan mengolok-olok Luciel dan barisannya.
Mundurlah barisan Luciel dari hadapan Asgrandror. Luciel
sangat geram akan perlakuan Asgrandror padanya. Maka berka-
talah Luciel,
“Aku akan membantai barisanmu, Asgrandror! Tidak ada
yang luput dari tanganku, tuhan yang akan bertahta.” Luciel kem-
bali bersama barisannya ke kota-kota Tanah Utara. Kemudian ia
berdiam diri dan mencari tahu tentang Asgrandror, barisan
pengikutnya dan tentang ular naga. Luciel mempelajari semua itu
dari Ular Naga Terbang yang ia temui di Altar. Luciel telah berjanji
akan kembali ke Shunyi dan menguasainya. Setelah Luciel banyak
mencari tahu, barulah ia tahu bahwa gunung itu mengandung
banyak sekali bahan-bahan tambangan yang dapat digunakan
untuk memperkuat barisannya dengan senjata-senjata.
Dengan tenaga penuh, Luciel memerintahkan supaya jalan
menuju Shunyi dibuka lebih lebar untuk persiapan lahan bertem-
pur. Luciel membangun Dur-Harandi sebagai benteng barisannya
melawan Asgrandror dan kaum Yeshaiem. Barisan Luciel tidak lagi
memperhatikan barisan malaikat dan serangan-serangan barisan
Seraphiem dan Rephaiem. Barisan Luciel lebih memperhatikan
tentang Shunyi dan Luciel sangat berkeras hati untuk merebut
Shunyi. Sebab kata Luciel,
“Dengan menguasai Gunung Shunyi, tidak hanya membuka
jalan kita ke Tanah Barat. Namun juga akan memperkuat barisan ini
dengan senjata-senjata yang baru dan lebih kuat. Dalam gunung itu

15
ada banyak sekali bahan yang baik untuk persenjataan. Aku akan
menguasai dan membangun gunung itu sebagai pertahanan terkuat
bagi barisanku. Kita akan lebih mudah mengalahkan para malaikat
dengan gunung itu ada di bawah kuasa kita.” Karena itulah
Mikhael dan Raphael dapat dengan tenang merebut kota-kota di
Tanah Barat sampai Ariar tanpa gangguan dari Luciel.
Hal itu sangat menguntungkan barisan malaikat. Karena
hubungan barisan Luciel terpecah, di Selatan dan Utara. Tidak ada
jalan bagi mereka untuk saling berbicara atau menyurat. Seraphiem
terus menekan kekuatan Luciel di Selatan dan kekuatan Luciel yang
di Utara tidak membantu, karena mereka sibuk dengan Shunyi.
Luciel dan barisannya bertempur lama melawan Asgrandror dan
kaum Yeshaiem. Sementara para Agung menyelesaikan permasa-
lahan Tanah Altar. Pada saat Mikhael maju ke Tanah Altar untuk
mencabut sumpahnya, barisan Luciel telah habis-habisan melawan
Asgrandror di Shunyi.

Raphael telah memerintahkan hamba-hambanya untuk


bersiap mengadakan persenjataan bagi barisan Yehudiem. Saat itu
keadaan para Rephaiem memang masih sibuk dengan penataan
kota-kota yang telah direbut. Dalam perjalanan ke Tanah Barat,
Raphael berkata pada Yehudiel, katanya,
“Saudaraku, bila baik engkau pandang, bawalah barisanmu
itu untuk berdiam di Padang Altar. Di sana ada lahan luas dan
hamba-hambaku telah berdiam di sana sebelumnya. Jangan kiranya
hamba-hambamu ini memenuhi Samahnia, seperti hamba-hamba
yang tidak memiliki tempat. Lagipula bila engkau mengirim
mereka kembali ke Tanah Yehudiem, akan terlalu jauh dari kita.
Biarlah mereka berdiam di Padang Altar. Aku dan barisanku telah
merencanakan penyerangan ke Tanah Anggur, untuk merebut
Gruined. Bila sudah kami merebut kota itu kembali, jalan dari
Tanah Barat ke Tanah Jegudiem akan terbuka.” Maka Jawab
Yehudiel,
“Benar apa yang engkau katakan itu, saudaraku. Aku akan
memerintahkan mereka untuk berdiam di Padang Altar. Sebab
sebelumnya aku sudah memerintahkan mereka untuk kembali ke

16
Tanah Yehudiem. Namun bila mereka diam di Padang Altar, nanti
akan lebih dekat bagi hamba-hambamu untuk mempersenjatai
mereka.” Segeralah Yehudiel memberikan perintah pada hambanya
mengenai semua itu.
Sementara itu, Mikhael dan Gabriel telah tiba di depan Ger-
bang Altar. Keadaan di sana sangat sepi dan tidak nampak ada
malaikat di sana. Hanya suara angin bertiup dari selatan, menggo-
yangkan pohong-pohon. Sedang barisan Seraphiem berdiri di sana
bersama Mikhael. Kemudian berkatalah Gabriel pada Mikhael,
katanya,
“Saudaraku, kiranya biarlah aku yang berbicara pada
mereka. Katakan saja apa yang ingin engkau katakan pada Bartus-
Mindrel, aku akan menyerukannya bagimu.” Maka majulah
Mikhael dan Gabriel ke depan Gerbang Yehu dan duduk di atas
tunggangan mereka. Berkatalah Mikhael,
“Bartus-Mindrel, pemimpin Cerrubiem. Akulah Serael pe-
mimpin Tentara Sorga, penguasa Tanah Selatan, pemimpin Sera-
phiem. Tunjukkan dirimu dan barisanmu, Bartus-Mindrel!” Maka
kemudian muncullah Bartus-Mindrel itu dari atas tembok dan ia
berseru menjawab, katanya,
“Barisan Sorga mana yang menyerang Tanah Altar? Kami-
lah barisan Sorga itu! Dan kamilah yang mempertahankannya dari
barisanmu, Serael penguasa Selatan.” Maka kemudian turunlah
Mikhael dari tunggangannya dan ia berjalan maju ke depan
Gerbang Yehu dan ia melihat ke atas, memandang Bartus-Mindrel
dan berkata,
“Barisanku tidak pernah menyerang Tanah Altar. Tanah
Altar adalah milik seluruh bagian Sorga. Bila engkau menutupnya
dari kami yang adalah bagian Sorga, maka engkaulah musuh
Sorga.” Lalu kemudian kata Bartus-Mindrel,
“Bicaralah semaumu, aku tidak akan menyerahkan tanah ini
padamu. Tidak akan ada seorang pun yang melangkah masuk
dalam tembok ini, bila belum Yang Utama melangkahkan kaki-Nya
di atas tanah ini.” Maka kemudian berkatalah Mikhael,
“Percayalah padaku, Bartus-Mindrel, saat apa yang engkau
katakan itu tiba, Dia tidak akan datang padamu dengan sukacita.

17
Namun Dia akan menghabisimu dan barisanmu ini. Sebelum semua
itu terjadi, kita masih bisa menghentikannya, Bartus-Mindrel.”
Tertawalah Bartus-Mindrel dan berpaling dari Mikhael. Ia duduk di
atas kursi yang ia taruh di atas Gerbang Yehu dan berkata,
“Apa yang dapat meyakinkan aku bahwa memang kamu
sekalian adalah pihak Yang Sulung?” Kemudian berserulah Gabriel
sebelum Mikhael, katanya,
“Tidakkah cukup para Rephaiem hancur untuk memper-
tahankan tanah ini, Bartus-Mindrel? Atau kurangkah para Sera-
phiem terbantai dengan Ular Naga Terbang demi Tanah Altar?
Engkau telah membantai barisan yang mempertahankan tanah ini.
Engkau dan seluruh barisanmu itu, tidak mengerti dan tidak
melihat siapa yang ada di pihak Sorga dan siapa musuh Sorga.
Dialah Serael Cahaya Sorga itu. Yang ditetapkan oleh Sang Sulung
sendiri. Engkau berhutang setiamu padanya.” Kemudian Bartus-
Mindrel tidak menjawab dan keadaan menjadi sunyi.
Tidak lama kemudian bangkitlah Bartus-Mindrel dan ia
memandang pada Mikhael di depan Gerbang Yehu. Lalu ia berseru,
katanya,
“Serael, engkau telah menyumpahi kami, para Cerrubiem.
Kami telah membangunkan tenda bagimu dan saudara-saudaramu
itu. Sumpahmu telah membasahi kami dan kami tidak menghapus-
kannya. Tidak akan ada yang dapat memanggil kami keluar dari
tembok ini. Saat aku melihatmu bertunggang dari jauh, aku sudah
tahu. Engkau hendak menggunakan kekuatan barisan Cerrubiem
ini untuk tujuanmu. Engkau hendak memanggil kami, sebab
engkau sudah melihat kekuatan kami dalam bertempur. Sekarang,
karena sumpahmu itu, kami telah bebas dari sumpah setia kami.
Sekalipun engkau sendiri yang memanggil kami, kami tidak akan
menjawabnya, karena sumpahmu.” Maka kemudian berserulah
Mikhael, katanya,
“Engkau berkata seolah-olah bicara pada malaikat, Bartus!
Akulah Malaikat Agung yang lebih utama. Aku berdiri di sebelah
kiri, lebih ujung dari seluruh Barisan Bintang Timur. Cahayaku
terlihat pada bintang-bintang Allah yang tinggi. Tidak akan ada
yang dapat menempatkan dirinya lebih tinggi dari pada bintang-

18
bintang itu, selain Yang Kudus. Engkau telah kurang ajar dan
bicaramu seperti Luciel, tuan lamamu itu. Maka sekarang, aku akan
mencabut sumpah itu dari para Cerrubiem. Aku berkata padamu,
sumpahku telah ditarik dari tanah ini. Tidak ada satu kata pun dari
mulutku yang membasahi tanah ini. Sebab aku, Serael, telah
menarik dan mencabut itu kembali dari mulutku. Sekarang, Bartus-
Mindrel, bawa barisanmu keluar dan berjuanglah bersama Sorga.
Kekuatan persenjataan di balik tembok ini adalah milik barisan
Tentara Sorga!” Maka tercenganglah semua yang mendengar
perkataan Mikhael itu. Bahkan hewan-hewan tunggangan yang ada
di sana dan mendengar itu, menjadi gelisah dan tidak tenang.
Maka kemudian Bartus-Mindrel bangkit dan ia berseru di
sana, katanya,
“Lihatlah, Serael Cahaya Sorga telah mencabut sumpah
yang mengalir dari mulutnya. Ia telah menghisap racun kutuk!”
Kemudian lagi kata Bartus-Mindrel,
“Engkau telah mencabut sumpahmu itu dan sumpah yang
tidak tergenapi akan menjadi kutuk. Maka terkutuklah engkau
Serael! Terkutuklah engkau oleh pedangku! Engkau tidak akan
pernah luput dari pedangku!” Maka melompatlah Bartus-Mindrel
dari atas tembok itu dan ia menghadapi Mikhael di sana. Para
Seraphiem melihat dan mendengar semua yang terjadi. Mereka
hendak maju membela Mikhael. Sebab mereka takut bila kutuk itu
tertumpah pada Mikhael dan Mikhael akan mendapat celaka dari
pedang Bartus-Mindrel. Namun Gabriel menahan pada Seraphiem
itu dan berkata, katanya,
“Tuanmu Serael telah melakukan apa yang menjadi keha-
rusan baginya. Bila kutuk itu bekerja, maka ia juga harus menang-
gungnya, bukan kamu. Dengarkan perkataanku, Seraphiem. Bila
memang kutuk itu tertumpah pada Serael, tuanmu, saudaraku itu,
maka tetaplah itu akan tergenapi. Sia-sialah bila kamu hendak
melindunginya.” Maka terdiamlah para Seraphiem itu dan mereka
ketakutan bila Mikhael harus terkena kutukan itu.
Sementara itu, Mikhael dan Bartus-Mindrel berdiri saling
berhadapan. Mikhael menundukkan kepalanya dan ia memandang
ke tanah. Ia berkata dengan pelan, katanya,

19
“Tuhanku, Allah. Kiranya kasih-Mu melimpah atasku dan
patahkanlah kutukan ini. Hambamu ini telah bersalah dan tidak
mendapat jalan keluar, ampuni hamba-Mu ini. Bila memang harus
berjalan sesuai hukum, biarlah semua berjalan sesuai hukum.
Namun bila memang ada kasih bagiku, ya Tuhan, kiranya
tunjukanlah hamba ini kuasa yang lebih besar untuk mematahkan
kuasa kutuk ini.” Gabriel mendengar doa Mikhael itu. Maka
seketika itu juga berkatalah Yang Terang dalam Roh pada Mikhael
melalui Gabriel.

Perkataan Allah pada Serael, di Tanah Altar, di depan


Gerbang Altar dalam perkataan Jegudiel:
“Hukum adalah hukum, Serael. Engkau tahu itu. Sekalipun
ada kuasa yang lebih besar untuk mematahkan kutuk, namun
engkau juga tahu bahwa itu tidak dapat digunakannya untuk
mematahkan kutuk; karena hal seperti itu melanggar hukum. Sebab
kuasa untuk mematahkan kutuk itu ada pada yang mengucapnya.
Bila engkau tidak menggenapi sumpahmu pada bagian dari Sorga,
maka terimalah kutukmu. Namun sekarang Aku berkata padamu,
hukum tidak dapat dipatahkan!”

Mikhael mendegar itu dan lemahlah ia sebab ia tahu,


kutukannya akan segera menghampiri dia tanpa ada yang dapat
menghalangi. Maka berkatalah Mikhael,
“Ampunilah hamba ini, Allahku, Tuhanku, Bapaku. Namun
aku tidak akan membiarkan kutuk menghampiri aku begitu saja.”
Mikhael mengangkat wajahnya dan memandang Bartus-Mindrel. Ia
mencabut pedang belatinya dari punggung dan berseru,
“Bartus-Mindrel, bukankah engkau telah mengatakan kutuk
atasku? Maka datanglah sekarang dan lakukan ucapanmu itu!
Namun ketahuilah, aku tidak akan membiarkannya menimpa aku.”
Tertawalah Bartus-Mindrel. Kemudian Bartus-Mindrel itu menca-
but pedangnya dan berkata menjawab Mikhael, katanya,
“Kuat-kuatlah engkau berjuang untuk lari dari kutuk ini,
Serael. Engkau tahu, kutuk tidak terhalang oleh apa pun.” Berla-

20
rilah Bartus-Mindrel pada Mikhael dengan membawa pedangnya.
Sementara Mikhael sudah menanti Bartus-Mindrel.
Mulailah mereka saling bertarung. Bartus-Mindrel menga-
yun pedangnya pada Mikhael menahan ayunan itu dengan belati di
tangannya. Namun belati itu tidak dapat menahan ayunan itu.
terpecahlah belati itu dan pedang Bartus-Mindrel bergerak lurus ke
wajah Mikhael. Segeralah Mikhael menghindar dari pedang itu dan
mundur beberapa langkah dari Bartus-Mindrel. Ketegangan benar-
benar memenuhi keadaan saat itu. Berkatalah Mirkandruel saat
melihat itu, katanya,
“Tuanku Jegudiel, buatlah sesuatu. Lihatlah tuan Serael
tidak dapat menahan ayunan pedang itu dengan belatinya, kutuk
ini pasti benar-benar berjalan. Tidak ada yang dapat meluputkan
tuan Serael dari pedang itu.” Namun Gabriel hanya terdiam dan
memegang Mirkandruel untuk menguatkannya. Mereka terus
menyaksikan peristiwa itu. Sementara Mikhael benar-benar berniat
untuk menolak kutukan itu, maka ia mencabut pedang Andhraril
dan memegang itu dengan kedua tangannya. Sementara Bartus-
Mindrel memandang Mikhael dan berkata,
“Tidak akan ada yang dapat meluputkan engkau dari pe-
dang ini, Serael! Tombak Allah pun tidak akan meluputkan engkau!
Letakkan saja semua senjatamu dan biarkan pedang ini menjalan-
kan tugasnya.” Namun Mikhael tetap terdiam tidak menjawab.
Malahan Mikhael berlari mendekati Bartus-Mindrel dan mulai
mengayunkan pedangnya. Bertarunglah mereka. Setiap kali Bartus-
Mindrel mengayun pedangnya, Mikhael menghindar dan tidak
menahan ayunan pedang Bartus-Mindrel itu. Semakin lama, sema-
kin tipis jarak ayunan pedang Bartus-Mindrel pada tubuh Mikhael.
Sampai pada akhirnya, Mikhael menghindari ayunan pe-
dang Bartus-Mindrel dan ia membelakangi Bartus-Mindrel. Bartus-
Mindrel melihat punggung Mikhael dan itu adalah kesempatan
baginya untuk menusuk Mikhael dengan pedang, tidak ada
langkah yang dapat diambil Mikhael untuk menghindar dalam
keadaan itu. Maka dengan cepat Bartus-Mindrel mengangkat pe-
dangnya dan mengayunkan itu pada Mikhael. Sementara Mikhael
berpaling dan melihat pedang yang terayun ke arahnya. Sedang

21
posisinya tidak mungkin lagi dapat menghindar. Maka berlututlah
Mikhael dan memegang pedangnya di atas kepalanya untuk me-
nahan ayunan pedang Bartus-Mindrel. Saat itulah terjadi benturan
antara dua pedang, Andhraril menahan Arganthron. Berhentilah
pedang Bartus-Mindrel tertahan oleh pedang Mikhael. Saat itulah
semua yang menyaksikan melihat, bahwa Mikhael luput dari
kutuk. Sebab pedang Andhraril di tangannya telah menahan
pedang Arganthron yang berlumuran kutuk pada Mikhael. Ter-
heran mereka yang melihat itu. Bahkan Mikhael sendiri juga heran
sebab ia telah diluputkan dari celaka pedang Bartus-Mindrel, oleh
pedangnya. Segeralah Mikhael menendang tumpuan Bartus-
Mindrel. Terjatuhlah Bartus-Mindrel dan tergeletak di tanah.
Mikhael bangkit, ia menginjak pedang Arganthron di tangan
Bartus-Mindrel dan menodongkan pedangnya tepat di depan wajah
Bartus-Mindrel.
Bersoraklah para Seraphiem dan Gabriel yang menyaksikan
itu. Cerrubiem di atas tembok terdiam melihat itu dan mereka
berkata,
“Aku melihat pedang Andhraril menahan kutuk yang ter-
tumpah atas tuannya. Siapa pun yang memiliki pedang itu, tentu
akan luput dari segala kutuk.” Saat itu wajah Bartus-Mindrel sangat
terkejut melihat Mikhael tidak tertimpa kutuknya. Kemudian
Mikhael tertawa dan berkata,
“Syukur bagimu, Allahku Sang Terang!” Maka kemudian
Mikhael memandang wajah Bartus-Mindrel dan berkata padanya,
katanya,
“Aku telah mencabut sumpahku, Bartus-Mindrel. Engkau
berhutang setia pada Malaikat Agung sekarang. Kembalilah ke
balik tembokmu dan siapkan barisanmu dan semua persenjataan
yang ditinggalkan barisan Tentara Sorga di Tanah Altar. Kami akan
memanggilmu untuk berjuang melawan musuh Sorga yang sebe-
narnya. Engkau akan melihat siapa musuh Sorga itu. Dan bila
engkau tidak menjawab panggilan kami, para Malaikat Agung yang
padanya engkau berhutang setia, kami akan menghabisimu dan
seluruh barisanmu ini, di Tanah Altar!” Berpalinglah Mikhael dari

22
Bartus-Mindrel dan kembali pada Gabriel dan pada barisan
Seraphiem. Sorak sorai penuh di sana.
Para Seraphiem sangat bersukacita, Mikhael dan Gabriel
tertawa karena peristiwa itu dan mereka sungguh bersuka. Para
Seraphiem menaikkan Mikhael ke atas papan tempat pengangkut
barang dan mengusung Mikhael sambil berjalan ke Samahnia.
Mereka bersorak, katanya,
“Serael Cahaya Sorga, yang telah mematahkan kutuk. Serael
pemimpin Seraphiem, yang mencabut sumpahnya dan mematah-
kan kutuknya!” Sementara Mikhael bersujud di atas papan itu dan
ia tidak henti-hentinya mengucap syukur pada Allah, karena ia
telah luput dari kutuk. Dari peristiwa itu, tersebarlah kabar ke
seluruh Tanah Sorga, pada seluruh malaikat. Bahwa pedang
Andhraril yang ada pada Mikhael, memiliki kuasa untuk mema-
tahkan kutuk. Sejak saat itulah, para hamba malaikat dan hamba
musuh takut pada pedang itu. Namun para penguasa mengingin-
kan pedang itu.
Kabar itu tersebar dengan cepat dari mulut para malaikat.
Bahkan sampai pada telinga Raziel dari hambanya. Berita itu juga
mulai terdengar di Utara. Terus meluasnya beritanya. Sedang
Raziel dalam perjalanannya ke Timur, telah mendengar berita itu
namun belum menerima kabar yang pasti dari Mikhael atau pun
Gabriel, namun ia sudah bersukacita karena kabar itu. Maka
berkatalah ia,
“Aku berbalik kembali ke Samahnia untuk melihat tentang
berita ini. Masakan kuasa dalam pedang yang ada pada Serael itu
dapat mematahkan hukum?” Segeralah Raziel bertunggang untuk
menyusul rombongan Ammatiel. Sebab saat itu Ammatiel dan
rombongannya telah mendahului rombongan Raziel. Dari sana
Raziel mengajak Ammatiel untuk pergi bersamanya kembali ke
Samahnia. Sementara itu, Raphael, Yehudiel dan Sealtiel telah
sampai di Tanah Roti. Mereka mendengar kabar tentang Mikhael
dari para hamba. Bersukalah mereka. Maka berkatalah Sealtiel,
“Saudara-saudaraku, lanjutkanlah perjalananmu. Aku akan
kembali ke Samahnia. Sebab tentang semua kabar ini, aku ingin

23
mengetahui, apa benar yang dikatakan para hamba ini tentang
pedang Andhraril itu.” Maka jawab Raphael,
“Ya, pergilah, Sealtiel. Sampaikan salamku pada saudara-
saudara yang lain. Katakan pula pada Serael, bahwa aku akan
membawa barisan dari Ariar ke arah timur. Aku akan menyerang
Kraduria dan terus ke Gruined. Barisan Seraphiem yang ada di
Tanah Barat, akan tetap berdiam menanti Serael.”
Sementara itu, Uriel dan Bart-Archiel, saat itu mereka masih
berhenti untuk singgah di Kota Hugtaria. Cukup lama pula mereka
berdiam di sana, sebab memang mereka sangat nyaman diam di
kota itu. Datanglah kabar dari para hamba tentang Mikhael dan
Bartus-Mindrel. Saat mereka mendengar kabar itu, bersukalah
mereka dan mengadakan perayan bagi hamba-hamba serombong-
annya dan bagi para Jegudiem yang ada di Hugtaria. Kemudian
berkatalah Bart-Archiel pada Uriel, katanya,
“Saudaraku, marilah kita kembali ke Samahnia, lagipula kita
belum jauh ke Utara.” Namun jawab Uriel,
“Bart-Archiel, barisan Luciel ada di Utara. Mereka telah
lama berdiam dan tidak ada serangan apa pun yang mereka lancar-
kan. Aku takut bila mereka telah menyusun rencana matang-
matang dan dapat menyerang Tanah Uriem kapan saja. Lagipula
hamba-hambaku harus kuatur untuk penjagaan, sebab para
Seraphiem telah ke sana untuk membantu mereka berjaga. Engkau,
pergilah bila memang itu yang kaupandang baik. Bawakanlah
salamku pada saudara-saudara kita itu.” Maka dari sana pergilah
Bart-Archiel kembali ke Samahnia. Sedang Uriel masih diam di
Hugtaria, namun tidak lama kemudian ia melanjutkan perjalanan-
nya ke Utara.
Di Samahnia, terjadi sukacita yang besar di sana. Para
malaikatnya bernyanyi dan bersorak merayakan kemenangan
Mikhael atas Bartus-Mindrel. Karena sukacita yang meluap itu,
Mikhael dan Gabriel tidak memikirkan apa yang menyebabkan
Mikhael dapat luput dari kutuk. Mereka merayakan itu secara
besar-besaran dan Gabriel menulis surat pada para Agung. Supaya
dengan surat itu para Agung dapat menerima kabar yang pasti
tentang apa yang terjadi di Tanah Altar itu. Sementara di Selatan,

24
barisan Seraphiem di bawah pimpinan Mahanael telah menanti
perintah Mikhael. Surat perintah Mikhael tentang pengambilan
gulungan hukum, belum sampai pada mereka. Karena surat itu
dibawa oleh hamba Seraphiem yang berjalan, bukan hamba Jegudi
yang bertunggang.
Keadaan barisan di Selatan dibagi menjadi tiga empat
barisan utama. Dekat dengan Pohon Serael, Mondrael dan barisan-
nya berkemah dan menjaga batas itu. Di sebelah selatan pohon itu,
barisan Mirkandruel dan Mindruel, namun Mirkandruel tidak ada
di sana. Dua barisan itu disatukan dan ada di bawah pimpinan
Mirkandruel. Namun karena Mirkandruel dipanggil ke Samahnia,
diangkat pemimpin sementara, Akhanrel, hamba Mirkandruel.
Pemimpin barisan terbaik dalam barisan Mirkandruel. Frantiel ada
bersama Akhanrel sebagai salah satu hamba pembantu. Di perba-
tasan Tanah Allah, Mahanael dan barisannya diam berjaga di sana,
menutup jalan dari Selatan ke Utara. Sementara itu, barisan terbe-
sar, barisan Mikhael berkemah di Padang Luas Selatan. Jumlah
mereka ada banyak dan mereka berdiam menanti perintah, kapan
pun mereka siap untuk maju menyerang Tanah Selatan dan mere-
butnya.
Karena sebelumnya barisan itu telah siap menyerang,
namun Mikhael menahan mereka, terjadi kesenggangan di sana.
Frantiel, penjaga tunggangan Mirkandruel yang mahir dalam ber-
tempur, tidak dapat menahan dirinya. Pergilahlah pada Akhanrel,
pemimpinnya itu dan berkata,
“Akhanrel, marilah kita menghadap tuan Mondrael. Hanya
dia hamba pembesar yang tinggal bersama kita. Biarlah kita berbi-
cara dan tentu ia akan melepaskan barisan ini maju ke Tanah
Selatan. Aku tidak sanggup terus berdiam dan menanti perintah.”
Kemudian kata Akhanrel,
“Tugas kita adalah menanti, Frantiel. Surat tuan besar Serael
telah sangat jelas. Para pembesar juga telah memutuskan. Bukankah
engkau juga hadir dalam pertemuan yang lalu? Mahanael sebagai
pemimpin barisan juga menahan rencana penyerangan. Maka
tahanlah dirimu.” Kemudian kata Frantiel,

25
“Aku memang adalah seorang penjaga tunggangan tuan
Mirkandruel dalam pertempuran. Namun aku adalah pemimpin
dari tiga puluh barisan. Bukankah ketiga puluh barisan ini ada
dalam kuasaku? Bila aku maju menyerang hanya dengan barisan
yang ada di bawah kuasaku ini, maka itu tidak melanggar hukum
kan?” Namun kemudian berkatatalah Akhanrel,
“Aku tidak akan menjawabmu, Frantiel. Engkau adalah
prajurit yang baik dalam pertempuran dan pemimpin yang hebat
bagi barisanmu. Namun aku, bila aku ada pada keadaanmu, aku
tidak akan melakukan itu. Lagipula, memang dalam hukum-hukum
aturan perang yang ditulis tuan besar Serael, perbuatanmu itu tidak
melanggar apa pun. Namun engkau melanggar hukum-hukum
para Agung, tentang tidak menaati perintah. Maka tahanlah
barisanmu itu.”
Terdiamlah Frantiel itu. Kemudian ia keluar dan berbicara
dengan barisan yang dipimpinnya. Rupa-rupanya memang para
Seraphiem itu sudah tidak tahan lagi untuk maju merebut Tanah
Selatan. Maka semakin yakinlah Frantiel untuk memaksakan su-
paya barisan Seraphiem segera maju menyerang. Pergilah Frantiel
kembali mendapati Akhanrel. Maka ia berkata,
“Seluruh barisan ini telah mendambakan Tanah Selatan,
saudara. Kita harus melakukan sesuatu untuk menyerang Selatan.
Tuan-tuan pemimpin tidak akan mengeluarkan perintah apa pun,
sampai permasalahan di Tanah Altar selesai. Sedang kita tidak tahu
ada permasalahan apa di sana. Marilah, engkau telah dipercayakan
seluruh barisan tuan Mirkandruel dan tuan Mindruel. Majulah
bersama barisanku dan kita akan menang. Pikirkan apa yang akan
kita dapat bila kita menang. Bahkan tuan besar Serael sendiri akan
memberikan kita tanda jasa.” Namun kemudian Akhanrel berkata
menjawabnya, katanya,
“Bukan seperti itu cara mendapatkan tanda jasa, Frantiel.
Engkau tidak terlalu menguasai tentang hukum-hukum dan ten-
tang tata cara. Kita akan tetap menaati perintah dari para Malaikat
Agung, terutama tuan kita Serael.” Karena terus ditolak, mulailah
Frantiel menjadi geram. Keluarlah ia dan mengumpulkan barisan-
nya. Tiga puluh barisan genap banyaknya. Frantiel membawa

26
barisan itu maju berjalan ke arah Tanah Selatan. Tidak seorang yang
tahu saat mereka meninggalkan perkemahan. Sebab Frantiel
berkata pada para Seraphiem lain, katanya,
“Aku akan membawa barisanku untuk melihat perbatasan.
Bila-bila musuh bergerak mendekat, kita akan mengetahuinya.”
Pergilah barisan itu diam-diam dan berjalan secara perlahan.
Pertama-tama mereka hanya berjalan memutar saja di dekat batas
perkemahan, supaya jangan ada yang menaruh curiga.
Pada saat itu para Agung ada berkumpul bersama di
Samahnia. Mikhael, Yehudiel, Raziel, Bart-Archiel, Ammatiel dan
Gabriel. Mereka para Agung yang kembali ke Samahnia karena
kabar gembira tentang Mikhael. Mereka saling berpeluk cium dan
merayakan hal itu dengan sukacita. Sampai mereka tenang meraya-
kan, duduklah mereka bersama dan berjamu. Banyak perbincangan
mereka di sana, kata Raziel,
“Serael, bagaimana engkau mencabut sumpahmu dan tidak
terkena kutuk? Adakah Bartus-Mindrel tidak mengucap kutuk
padamu karena mencabut sumpah?” Maka kata Mikhael,
“Tentu saja ia mengutuki aku karena itu. Ia mengutuk aku
supaya aku tidak dapat luput dari pedangnya dan mendapat cela-
ka. Itulah kutukan yang diucapkannya padaku.” Kemudian Gabriel
menceritakan pula kejadian yang ada. Setelah Gabriel bercerita,
bangkitlah Bart-Archiel. Ia berjalan pada Mikhael dan berkata,
“Jadi benar yang dikatakan kabar-kabar itu. Andhraril dapat
mematahkan kutukan tuannya? Mikhael, dapatkah aku melihat
pedang itu?” Namun Mikhael menjawabnya,
“Pedang itu tidak memiliki kuasa apa pun, Bart-Archiel.
Tidakkah engkau mendengar cerita Gabriel? Yang Kudus telah
berbicara padaku, bahwa tidak ada yang dapat mematahkan kutuk
itu, selain Bartus-Mindrel, yang mengucap kutuk itu. Hukum tidak
dapat dipatahkan, atau dibatalkan untuk pengecualian.” Maka
kemudian Mikhael menyerahkan pedang itu pada Bart-Archiel.
Memang pedang itu berkuasa, namun tidak ada kuasa untuk
mematahkan kutuk atau membatalkan hukum. Kemudian Yehudiel
melihat Bart-Archiel, saat Bart-Archiel memeriksa pedang itu.
Kemudian berkatalah Yehudiel,

27
“Aku tahu engkau tidak mendapati kuasa itu dalam pedang
ini, Bart-Archiel. Benar apa yang dikatakan Serael. Pedang ini tidak
memiliki kuasa untuk mematahkan kutuk. Namun Serael telah
benar-benar luput dari kutuk. Bila Serael telah mencabut sumpah-
nya dan Bartus-Mindrel telah mengatakan kutuk padanya. Semua
itu wajar dan sesuai dengan hukum-hukum tua yang dibentuk
Yang Sulung dengan Kedua Puluh Empat. Hal yang tidak dapat
dimengerti adalah, bagaimana Serael luput dari kutuk? Sedang
Yang Kudus telah berbicara padanya, bahwa hukum tetaplah hu-
kum. Dan Serael harus menerima kutuknya.” Kemudian terdiamlah
mereka dan tidak saling berbicara. Sampai Raziel berkata di sana,
katanya,
“Yang Kudus telah berbicara dengan jelas, bahwa hukum
adalah hukum. Adakah dari saudaraku yang menghafal benar
tulisan hukum itu; tentang kutuk yang tumpah karena tidak
tergenapnya sumpah?” Maka kemudian Mikhael mengucap salam
dan ia berkata,
“Ketetapan hukum, mengenai sumpah: Bilamana seorang
mengangkat sumpah demi apa pun yang menjadi bagian Sorga,
maka ia harus menggenapinya. Namun bila tidak ia menggenapi
sumpahnya, maka bagian dari Sorga yang demi itu ia bersumpah,
akan menumpahkan kutuk pada orang itu. Sebab bagian dari Sorga
memiliki kuasa untuk mengutuk, haruslah kutuk itu diucapkan dan
dijalankan. Hanya bila yang disumpahi adalah saudara, benar-
benar saudara dari yang bersumpah maka ia dapat mencabut sum-
pah itu. Bila memang yang disumpahi benar-benar ingin mencabut
kutuknya, ia dapat mencabutnya. Namun bila yang disumpahi
bukan saudara yang yang bersumpah, maka ia harus mengucap
kutuk itu dan kutuk itu akan berjalan. Yang disumpahi dapat
mencabut kutuknya bila yang bersumpah mengangkat sumpah lain
untuk menebus kesalahannya. Namun bila yang disumpahi mau
mencabutnya, bila tetap ia ingin kutuk itu terus berjalan, maka
teruslah kutuk itu berjalan. Bila yang disumpahi mencabut kutuk
karena sumpah kedua dari yang bersumpah, maka bila yang
bersumpah itu gagal lagi, maka ia akan menerima kutuk dua kali
lipat setelahnya. Setelah itu kutuk itu tidak dapat lagi dicabut. Hal

28
ini untuk mengatur, supaya setiap orang yang bersumpah demi
Sorga, tidak hanya bersumpah, namun benar-benar menggenapi-
nya.” Maka terdiamlah para Agung dan memeriksa lagi dengan
teliti tentang hukum itu.
Sementara itu, datanglah surat dari Mikhael pada barisan
Seraphiem di Selatan. Segera surat itu diberikan pada Mondrael.
Yaitu surat perintah supaya barisan Seraphiem maju menyerang
Tanah Selatan. Namun tujuan utama yang ditekankan oleh Mikhael
adalah gulungan-gulungan hukum di Kota Serael. Itulah perintah
terpenting dalam surat perintah itu. Maka Mondrael memanggil
para pemimpin barisan untuk bertemu dan membahas itu. Diada-
kanlah pertemuan di tenda besar Mondrael, di dekat Pohon Serael.
Para pemipin barisan utama datang ke sana bersama para pem-
bantu mereka. Duduklah mereka berkumpul. Lalu Mondrael
menyerahkan surat itu untuk dibacakan di depan para pemimpin
barisan. Setelah surat perintah itu dibacakan, bangkitlah Mahanael
dan berkata,
“Baiklah saudara-saudaraku, malaikat Seraphiem. Ini saat-
nya kita kembali bangkit dan merebut apa yang menjadi milik kita.
Demi Seraphiem, demi tuan Serael, demi Sorga!” Bersoraklah
mereka di sana dan para Seraphiem di sana segera berlari kembali
pada barisan mereka masing-masing dan segera mengatur barisan
mereka untuk maju menyerang.
Sementara para Seraphiem berlari ke sana ke mari dan mem-
persiapkan barisan, ada barisan yang telah berjalan mendahului.
Barisan yang dipimpin oleh Frantiel, telah berjalan melanggar
perbatasan. Ia memimpin barisan itu memasuki batas tanah
kekuasaan Legiun. Sedang ia bertunggang memimpin barisannya,
nampaklah barisan besar berjalan ke arahnya. Maka ia turun dari
tunggangannya dan berkata pada barisannya,
“Diam, tenanglah! Lihatlah ada barisan bergerak ke arah
kita.” Kemudian segera seluruh barisan itu menunduk dan berlutut
supaya jangan mereka terlihat. Mereka bersembunyi di balik
rumput-rumput tinggi. Saat itu mereka ada berada di Padang
Serapha dan berencana untuk berjalan ke Kota Mith, kota kecil di
sebelah timur. Di sana mereka melihat barisan yang besar, barisan

29
Legiun dan mereka melihat Gissel, bertunggang dengan gagah di
depan barisan itu. Mereka meniup sangkakala dan menabuh
genderang. Panji-panji telah berkibar dan mereka berbaris untuk
menyerang barisan Seraphiem di Tanah Luas Selatan.
Saat itu Frantiel melihat musuhnya, jumlah barisan musuh
yang banyak itu menggentarkan tumpuannya dan seluruh barisan-
nya. Maka berkatalah salah satu hamba yang ada di barisannya,
katanya,
“Frantiel, katamu tiga puluh barisan ini sudah sangat cukup
untuk merebut kembali Tanah Selatan. Sekarang kita melihat ke-
kuatan barisan musuh kita. Dan sekarang aku tahu mengapa
mereka disebut Legiun. Jangan bodoh, Frantiel. Mari kita pergi
kembali pada barisan besar. Kita akan terbantai begitu saja di depan
barisan itu.” Maka kemudian berkatalah Frantiel, katanya,
“Pimpin barisan ini kembali mundur. Aku akan berlari men-
dahului kamu untuk memberi kabar pada yang lain. Barisan Sera-
phiem harus menerima peringatan atas ini. Legiun dapat menye-
rang kapan saja. Barisan mereka terus bergerak. Awasi belakangmu,
jangan sampai mereka melihat kamu dan mengehui bahwa kita
sudah melihat mereka lebih dahulu.” Dari sana kemudian Frantiel
berlari, ia berlari lebih cepat dari pada hewan tunggangan. Ia berlari
kembali ke Pohon Serael untuk membawa kabar dari apa yang ia
lihat.
Pada saat itu di Samahnia, para Agung masih memikirkan
apa yang sebenarnya terjadi, sehingga Mikhael luput dari kutukan
Bartus-Mindrel. Setelah lama mereka berpikir, turunlah hikmat atas
Raziel, Pengetahuan Allah. Saat para Agung saling berdiam diri,
bangkitlah Raziel dan berkata,
“Aku telah meneliti hukum itu dan hikmat Yang Terang
telah turun atasku. Syukur pada Yang Kudus sebab kasihnya pada
kita. Aku mengerti sekarang, mengapa Serael dapat luput dari
kutukan itu, saudara-saudara.” Maka kemudian kata Mikhael,
“Raziel, memang kita sudah berdiam di sini dan memikir-
kan semua itu. Maka segeralah engkau katakan.” Kemudian mulai-
lah Raziel berkata,

30
“Aku tidak tahu atas dasar hukum yang mana aku akan
menjelaskan padamu, saudara-saudara para Malaikat Agung. Na-
mun dalam hukum sumpah itu, bukankah mereka yang bersumpah
demi apa pun yang menjadi bagian Sorga yang akan menerima
kutuk bila gagal. Sang Terang telah berkata pada Serael melalui
Jegudiel, dan memang apa yang dikatakan-Nya adalah kebenaran
dan tidak ada yang bersalah-salah. Sebab Yang Terang telah
berbicara bahwa hukum akan tetap berlaku. Maka tidak ada kuasa
apa pun yang dapat menghentikan kutuk, sebab Serael telah gagal
menggenapi sumpahnya. Dengan begitu, terbuktilah sudah, bahwa
memang Andhraril tidak memiliki kuasa apa pun untuk mema-
tahkan kutuk. Kemudian, Bartus-Mindrel tidak menarik kutuknya
pada Serael. Sekalipun ia menarik kutuknya, tetaplah kutuk itu
akan terus berjalan, karena Serael bukanlah saudara Bartus-Mindrel
dan Serael tidak mengangkat sumpah lain untuk menebus
kegagalannya. Itu semua akan tetap terjadi sesuai hukum.
Kita sudah mendengar hukum itu, yang dikatakan Serael
beberapa saat yang lalu dan aku menyimaknya benar-benar. Semua
hukum itu tidak akan berjalan, bila Serael tidak bersumpah demi
apa pun yang menjadi bagian Sorga.” Lalu kemudian bangkitlah
Mikhael dan berkata,
“Raziel, aku ingat perkataanku dan aku bersumpah demi
mereka. Demi para Cerrubiem, termasuk Bartus-Mindrel yang
menjadi pemimpin mereka, menggantikan Luciel.” Maka kemudian
berkatalah Raziel,
“Karena itu aku berkata padamu, aku tidak tahu aku
berkata-kata dalam hukum yang mana. Namun mungkin ada
hukum yang tidak pernah tertulis, dan hukum itu tetap berlaku.
Mungkin karena perbuatan Bartus-Mindrel dan para Cerrubiem itu,
membuat mereka bukan lagi bagian dari Sorga.” Lalu Yehudiel
menyela Raziel dan berkata,
“Atas hukum apa sehingga mereka dinyatakan bukan lagi
bagian dari Sorga?” Sealtiel memegang Yehudiel dan menenangkan
dia. Kemudian kata Sealtiel,
“Saudaraku, karena itulah Raziel berkata ia tidak tahu atas
dasar hukum apa. Namun memang benar apa yang dikatakan

31
Raziel. Mungkin Yang Terang telah membuat hukum dan tidak
pernah tertulis. Semua itu mengatur siapa-siapa dan apa-apa yang
menjadi bagian dari Sorga. Benarlah apa yang dikatakan Raziel.
Sebab dialah Rahasia Allah, dan kita baru saja mengetahui salah
satu rahasia-Nya.” Terdiamlah para Agung merenungkan itu.
Bart-Archiel bangkit dan mengembalikan pedang Andhraril
pada Mikhael. Kemudian katanya,
“Memang tidak ada kuasa dalam pedang ini yang cukup
kuat untuk mematahkan kutuk. Aku sudah mengerti dan menerima
perkataan Raziel itu. Karena kita, para Malaikat Agung, Penjaga
Sorga Kekal, kita adalah inti dari Sorga itu dan TUHAN Allah
adalah penguasanya. Kita sudah ditetapkan sebagai pemimpin
Sorga ini, sampai kaum manusia siap memerintah atas Sorga. Mere-
ka, para Cerrubiem itu, telah melawan terhadap kita dan memban-
tai barisan kita di depan Gerbang Altar. Bartus-Mindrel telah
menutup Tanah Altar dari kita, inti Sorga. Maka ia telah melawan
Sorga dan menjadi sama dengan Luciel dan para pengikutnya.
Karena itulah para Cerrubiem itu bukan lagi bagian Sorga dan
Serael lepas dari kutuknya. Sebab ia tidak bersumpah demi apa
yang menjadi bagian Sorga.” Barulah para Agung mengerti dan
mereka menerima itu sebagai kebenaran yang tetap. Kemudian
sukacita mereka kembali menjadi penuh dan mereka tertawa saling
memeluk cium. Dalam sukacita mereka, berkatalah Ammatiel,
“Saudara-saudaraku, para malaikat telah menyebarkan
kabar yang salah. Mereka berkata bahwa pedang Andhrarillah yang
telah mematahkan kutuk dan membebaskan Serael dari kutuk. Apa
yang harus kita lakukan sekarang?” Mikhael memandang pada
pedangnya yang ada di atas meja dan mengambil itu. Ia menya-
rungkan pedang itu di pinggangnya dan berkata,
“Bukan kita yang mengatakan itu, namun para hamba ma-
laikat. Maka kita lepas dari segala pelanggaran. Juga para malaikat
itu mengatakan hal yang salah tanpa mereka ketahui, maka mereka
juga lepas dari segala pelanggaran. Biarlah kabar itu tetap tersebar
dan sampai pada musuh kita. Biarlah mereka menjadi takut akan
pedang ini dan mereka akan lebih menaruh hormat pada kita.”

32
Sepakatalah para Agung untuk membiarkan kabar tentang
Andhraril terus meluas.

33
Pertempuran Tanah Selatan – Pertempuran Norgabizahk

Pertengahan tahun kesembilan belas masa Perang Sorga,


surat perintah Mikhael telah turun dan sampai pada barisan Sera-
phiem di Selatan. Dengan surat perintah itu, para Seraphiem maju
menyerang Tanah Selatan dan mengambil gulungan-gulungan
hukum di kota-kota Tanah Selatan. Barisan besar dipimpin barisan
Mondrael mulai berjalan meninggalkan Pohon Serael. Mahanael
ada juga di depan barisan itu, namun barisannya ada di belakang
barisan Mondrael. Berkatalah Mondrael pada Mahanael, katanya,
“Mahanael, kepemimpinan barisan ini ada padamu, tetap
seperti yang ditentukan tuan Serael. Sekarang aturlah barisan ini
dan ke mana kita akan berjalan?” Lalu jawab Mahanael,
“Kita akan menuju Sarnos sebagai pembukaan serangan.
Dari sana kita dapat merebut Ariaria dan menguasai jalan masuk ke
Kota Serael. Tuan Mondrael, kiranya jangan tuanku memberikan
kekuasaan sepenuhnya padaku. Namun biarlah aku memimpin
barisan ini juga sesuai saran dari tuanku.” Barisan Seraphiem telah
siap berjalan dan mereka sudah membawa barang-barang mereka.
Berserulah Mondrael dengan bertunggang di antara para Sera-
phiem, katanya,
“Bangkitlah! Bangkitlah Seraphiem dari Selatan. Musuhmu
telah merebut tanah tempatmu berdiam. Sumpahmu pada tuanmu
masih tertera pada dahimu! Maka sekarang bangkit dan penuhilah
sumpahmu! Ambil kembali apa yang menjadi milikmu, Seraphiem
putra Sorga!” Bersoraklah para Seraphiem itu dan mulai berangkat
dari sana.
Belum jauh mereka berjalan, datanglah Frantiel dari kejauh-
an berlari pada Mondrael dan Mahanael. Terkejutlah mereka meli-
hat Frantiel yang berlari dari arah tanah kekuasaan musuh. Maka
berhentilah Mondrael dan Mahanael, kemudian Frantiel mendapati
mereka. Berkatalah Mondrael pada Frantiel, katanya,
“Hai Seraph, tenangkanlah dirimu. Mengapa engkau berlari
dari arah selatan? Tidak ada barisan yang meninggalkan Pohon
Serael sebelum kami, namun sekarang aku melihatmu. Ada di

34
pihak mana engkau berdiri?” Namun kemudian Mahanael maju
dan berkata,
“Sabar dahulu, tuanku. Ia adalah Frantiel pemimpin tiga
puluh barisan, bagian barisan tuan Mirkandruel. Ia ada di pihak
Sorga.” Maka lagi kata Mahanael,
“Dari mana engkau datang Frantiel? Apa yang terjadi hing-
ga engkau berlari seorang diri dan tergesa-gesa?” Lalu berkatalah
Frantiel itu, katanya,
“Mereka telah meninggalkan Tanah Selatan dan mengejar
barisan kita. Barisan Legiun, mereka sangat banyak dan berkumpul
ke arah kita, Mahanael. Dari segala arah mereka datang dan meme-
nuhi panggilan tuan mereka.” Kemudian berkatalah Mahanael,
katanya,
“Legiun hendak menyerang kita? Frantiel, aku akan mengu-
rusmu nanti. Engkau telah meninggalkan barisan ini sebelum
perintah. Baiklah siapkan barisan, kita akan memulai pertempuran
terbuka di sini.” Kemudian nampaklah barisan Frantiel berjalan
dari jauh menyusul pemimpin mereka.
Sedang saat itu tangan Mondrael yang sedang memegang
tombak bergemetar. Ia merasakan ketakutan peperangan yang
sudah lama menghilang darinya. Sudah cukup lama ia berdiam dan
tidak bertempur. Namun Mondrael menyimpan itu bagi dirinya
sendiri. Maka kemudian berkatalah Mondrael pada Mahanael,
“Padang ini luas dan lebar. Tempat yang baik untuk ber-
tempur. Atur barisanmu, Mahanael, musuh kita adalah musuh
yang kuat dan barisan mereka lebih banyak dari barisan kita.”
Berkatalah Mahanael,
“Baiklah kalau begitu. Aku telah bersumpah untuk merebut
Tanah Selatan, maka aku akan memperjuangkannya demi Sera-
phiem. Mari kita mulai saat ini, di sini.” Mahanael mengumpulkan
barisannya dan mempersiapkan mereka, diaturnya barisan itu
seperti hikmat yang ada padanya. Ilmu mengatur barisan yang
telah ia pelajari selama ini dari Mirkandruel, Mindruel dan Mikhael
sendiri, ia gunakan untuk mengatur barisan Seraphiem yang besar
itu. Mahanael sendiri yang mengatur barisan yang sangat besar itu.

35
Dengan bantuan barisan Jegaduriem yang ada, pengaturan barisan
dapat dilakukan dengan cepat dan jelas.
Terdengarlah suara genderang dan sangkakala barisan
Legiun dari kejauhan. Angin selatan meniup rumput-rumput di pa-
dang dan udara panas selatan menghampiri wajah para Seraphiem.
Menolehlah Mondrael ke selatan dan ia berkata,
“Mereka datang.” Mulailah nampak Gissel, pemimpin
utama Legiun, bertunggang di padang. Barisan Seraphiem berbaris
di sepanjang padang dari Pohon Serael sampai terus ke selatan.
empat ratus baris Seraphiem berdiri menutupi Pohon Serael dan
mereka menjaganya. Kemudian tampillah Mahanael bertunggang
di antara barisan dan berseru,
“Tetap pada tempatmu, Seraphiem! Jangan engkau takut
terhadap musuhmu! Kita adalah putra-putra Sorga dan tidak ada
ketakutan dalam kita. Lawanlah musuhmu dan pertahankan apa
yang menjadi milikmu dan rebut apa yang mereka kuasai. Jangan
biarkan mereka mencapai Pohon Serael!” Barisan Legiun mulai
nampak dan memenuhi pandangan para Seraphiem. Padang
Serapha dipenuhi dan benar-benar penuh oleh kedua barisan ter-
besar yang pernah ada, mereka saling berhadapan dan siap
menumpahkan buah pertempuran. Kehancuran sedang menyapa
Tanah Selatan.
Majulah Mahanael bertunggang bersama Mondrael dan juga
beberapa pemimpin barisan lain. Gissel juga maju menyambut
mereka bersama hamba-hambanya bertunggang. Bertemulah kedua
pemimpin barisan itu di Padang Serapha, Tanah Selatan, Tanah
para Seraphiem. Belum mereka berhenti bertunggang, Gissel ber-
seru, “Salam saudara-saudara dari Selatan. Aku telah merasakan
murka kalian dari kejauhan. Sudah lama sejak tuanmu mengusir
aku dari Tanah Allah bersama barisan Rendurum yang memukul
kami dengan hebat. Aku tahu bahwa barisanmu akan datang pada-
ku, cepat ataupun lambat. Kiranya, tenanglah sebentar, saudara-
saudara.” Kemudian berkatalah Mondrael,
“Tidak satu pun dari kami yang berdiri di hadapanmu ini
adalah saudaramu, Gissel. Kami akan membantai seluruh barisan di
belakangmu itu dan meremukkan setiap kepala yang masih berge-

36
rak, setiap kepala Legiun yang ada di Tanah Selatan. Bersiaplah
untuk itu!” Gissel tertawa dan ia melihat pada barisannya yang di
belakangnya. Lalu katanya, “Apa engkau berbicara tentang barisan
ini? Rupanya engkau juga pandai menghayal, Mondrael, saudara
Serael. Aku telah merasakan panasnya murkamu sejak lama. Maka
aku memutuskan untuk mendatangimu, sebelum kamu yang
mendatangi aku. Dari Barat, tuanmu cukup hebat merebut kota-
kota kami dan membantai barisan kami yang di sana. Membantai
kawan-kawanku. Maka aku berniat untuk membalaskan itu pada-
mu, Seraphiem. Bagaimana bila kamu mempertimbangkan untuk
memenggal kepalamu sendiri dan melemparkan itu pada kakiku.
Sebelum kekejaman Legiun akan melakukan itu untukmu, sebaik-
nya segera kamu buat itu. Sebab akan lebih baikmu memenggal
kepalamu sendiri, dari pada aku yang memenggalnya. Benarkan
itu, Mahanael, pengayun pedang dari Selatan?”
Maka berkatalah Mahanael,
“Rupanya engkau sudah mendengar tentang aku, Gissel.
Baiklah mari kita coba. Lagipula, mungkin apa yang engkau dengar
tentang aku, tidak seperti aku sebagaimana aku. Kiranya dalam
pertempuran, aku akan membiarkan engkau mencicipi pedang
Maharganim. Dengan begitu barulah engkau akan melihat aku
sebagaimana aku, tidak hanya mendengar tentang aku. Dan lagi,
mungkin Legiunmu telah merasakan kekuatan Seraphiem yang
dahulu. Hanya saja, aku akan mengingatkan engkau, kami tidak
seperti Seraphiem yang pernah engkau hadapi. Sebab pada tuanku
Serael, ia masih memiliki kasih bagimu dan membiarkan kamu
pergi lari dari hadapannya. Namun barisan ini, tidak memiliki kasih
sedikit pun bagimu dan akan membantai kamu sampai benar-benar
bersih Tanah Selatan dari Legiun.” Barulah setelahnya Gissel
berpaling dari sana dan kembali pada barisannya.
Mahanael berkata pada Mondrael, katanya,
“Mari kita selesaikan ini sekarang, tuanku. Barisan sudah
siap untuk bertempur. Aku belum melihat kelemahan barisan
mereka saat ini.” Kemudian jawab Mondrael,
“Aku melihat baris keenam mereka adalah para perawat.
Mereka tidak dipersenjatai dengan pedang atau tombak, hanya

37
belati pendek yang ada pada mereka. Bila engkau ingin mendengar
saranku, taruh dua baris tombak di depan.” Mahanael kemudian
menjawab, katanya,
“Benar apa yang engkau katakan, tuan Mondrael. Sungguh
penglihatanmu lebih tajam dari pada aku. Aku akan menaruh tiga
baris tombak dan kemudian dua baris pedang. Kita harus berusaha
membuka barisan itu dan memukul para perawat yang ada di
tengah barisan itu.” Mondrael kembali melihat barisan Legiun di
depannya. Kemudian ia berkata,
“Berhati-hatilah Mahanael. Mereka telah mengatur barisan-
nya sedemikian rupa. Tidak mungkin mereka meletakkan para
perawat di barisan depan bila baris depan mereka tidak kuat.”
Jawab Mahanael,
“Aku mengerti, tuanku. Pertempuran akan segera dimulai
sebentar lagi. Aku mohon pada tuan untuk menahan barisan tuan
menjaga Pohon Serael sebagai batas. Bila memang nanti tuan meli-
hat kesempatan baik untuk turut maju bertempur, buat saja yang
tuan pandang baik.” Pergilah Mahanael kembali pada barisannya
dan mengatur barisan Seraphiem itu. Sementara Mondrael
mengatur barisannya menjaga Pohon Serael sebagai batas yang
tidak boleh dilanggar Legiun.
Inilah permulaan pertempuran hebat di Selatan. Tidak ada
pertempuran sehebat ini sebelumnya di antara para malaikat. Gissel
berseru-seru di depan barisannya dan memerintahkan untuk me-
mulai penyerangan. Dua ratus ribu barisan dikirimnya sebagai
pembuka pertempuran. Mahanael segera mengambil tindakan dan
ia mulai memimpin barisannya maju namun hanya dengan
melangkah tenang. Belum kedua barisan itu bertemu, berhentilah
barisan Legiun dan mereka menahan barisan mereka di sana. Panji-
panji barisan mereka berkibar dan ditancapkan ke tanah. Terde-
ngarlah suara Gissel berseru, katanya, “Coba engkau langkahi batas
panji ini, Mahanael!” Mendengar olokan itu, murkalah para
Seraphiem dan mereka memandang pada Mahanael. Kemudian
Mahanael mencabut pedangnya dan turun dari tunggangannya.
Berserulah Mahanael, katanya,

38
“Mereka milikmu, tuntaskan mereka!” Bersoraklah para
Seraphiem itu dan mereka berlari maju ke arah barisan Legiun.
Sedang barisan Legiun itu hanya menahan barisan dengan tombak-
tombak teracung tanpa bergerak.
Saat jarak barisan semakin dekat, Mahanael melihat bahwa
tombak-tombak para Legiun akan menembus tubuh para Seraph-
iem bila mereka terus berlari ke arah para Legiun itu. Maka
berserulah Mahanael, katanya,
“Turunkan tombakmu! Tombak panjang di depan, bidik
pada dada mereka!” Maka majulah para pemegang tombak panjang
dan mereka berlari membidik dada para Legiun di barisan depan.
Namun Gissel dan barisannya telah siap dan memang mereka
memancing supaya para Seraphiem melakukan itu.
Saat kedua barisan itu bertemu, tombak para Seraphiem
lebih panjang dari pada tombak para Legiun. Maka tombak-tombak
Seraphiem itu dapat mengenai para Legiun sebelum para
Seraphiem tertusuk tombak Legiun. Namun sungguh Gissel telah
merencanakan yang jahat. Baris depan Legiun itu tidak menghindar
dari hujaman tombak Seraphiem. Malahan mereka melepaskan
tombak yang di tangan mereka dan melipat tangan mereka menu-
tupi dada mereka untuk menahan tusukan tombak para Seraphiem.
Memang itu tidak dapat menghalangi tombak para Seraphiem.
Tombak-tombak Seraphiem tetap menembus kebanyakan dada para
Legiun itu. Saat itulah tomba-tombak Seraphiem tertancap dan para
Legiun itu malahan menahan tombak para Seraphiem tetap tertan-
cap pada tubuh mereka. Tiba-tiba baris ketiga dari para Legiun itu
mencabut pedang, mereka melompati dua barisan di depannya.
Para Legiun itu meloncat ke arah baris depan Seraphiem yang ma-
sih berusaha mencabut tombak mereka. Para Legiun itu melompat
dan memegang bagian belakang kepala para Seraphiem, mereka
menarik pelingung kepala para Serphiem itu dan menusukan
pedang-pedang mereka tepat ke wajah para Seraphiem. Dengan
cara itu, habislah baris terdepan kedua barisan itu. Banyak sekali
yang hancur di sana. Para perawat di barisan Legiun segera maju
dan menarik mereka yang tertusuk tombak di baris depan.

39
Mahanael berteriak melihat itu dan naiklah murkanya
memenuhi wajahnya. Majulah ia menembus barisan Seraphiem dan
mulai bertempur melawan para Legiun pembawa pedang itu. Para
Seraphiem juga melepas tombak-tombak mereka dan mulai menca-
but pedang. Terjadilah pertempuran terbuka di sana. Sebab seka-
lipun Gissel hanya memukul baris depan para Seraphiem, sangat
banyak Seraphiem yang ia hancurkan di sana. Sebab barisan Sera-
phiem itu memanjang, maka satu baris saja terdiri dari banyak
sekali malaikat. Pertempuran terbuka terjadi dengan hebat dan
mereka bertempur tanpa henti selama kira-kira dua setengah
Shakta. Sampai kemudian Mondrael memimpin barisannya maju
turut bertempur.
Sementara para Seraphiem bertempur di Selatan dengan
hebat. Raphael dan Yehudiel tengah bersama di Ariar dan mereka
duduk di sana. Barisan Rephaiem telah kembali berkumpul. Sema-
kin lama jumlah mereka semakin banyak. Sebab para Rephaiem
terus kembali ke Tanah Rephaiem dari berbagai tanah-tanah Sorga.
Mereka berjalan dari jauh untuk berkumpul kembali dan memenuhi
panggilan tuan mereka, Raphael. Duduklah Raphael dan berkata
pada hamba-hambanya, katanya,
“Pergilah. Aku mengutus kamu untuk mengumpulkan para
Rephaiem yang tidak berjuang bersama Rephairiem. Sebab Rephai-
riem telah mengangkat sumpah setia padaku. Namun para Re-
phaiem lain yang terserak, belum bersumpah setia bagi barisan kita.
Maka haruslah kamu mengambil sumpah dari antara mereka dan
menjadikan mereka bagian barisan Rephaiem. Kemudian hitunglah,
panggillah para pencatat untuk menghitung jumlah para Rephaiem
yang sudah kembali ke Tanah Barat.” Maka dibuatlah semua itu
seperti perintah Raphael.
Saat Raphael ada duduk bersama Yehudiel, Yehudiel masih
terus memikirkan tentang persenjataan barisan Yehudiem. Kata
Yehudiel pada Raphael,
“Bagaimana dengan persenjataan untuk barisan Yehudiem,
Raphael?” Maka jawab Raphael,
“Aku sudah mengusahakannya, Yehudiel. Para Rephaiem
tidak henti-hentinya menempa bagi barisanmu. Namun tidak ada

40
lagi bahan yang baik untuk persenjataan, maka hamba-hambaku
harus terus bekerja menempa banyak sekali bahan dan dipadatkan
menjadi satu, supaya lebih kuat. Hal ini akan menghabiskan banyak
sekali bahan dan pengerjaan yang lama. Bila Serael kembali ke kota
ini dan memimpin barisannya segera maju merebut Derie, maka
kita akan memiliki jalan menuju Tanah El-Kuruh. Di sana ada ba-
nyak sekali bahan yang baik untuk ditempa menjadi persenjataan.”
Maka kemudian berkatalah Yehudiel,
“Adakah tempat lain selain Tanah El-Kuruh ini, Raphael?
Sebab aku ingin segera barisan Yehudiem segera siap untuk per-
tempuran.” Raphael bangkit dari tempatnya dan mengajak Yehu-
diel keluar dari sana dan melihat ke utara. Lalu Raphael berkata
pada Yehudiel, katanya,
“Di utara ada gunung tinggi menjulang. Gunung itu kaya
akan bahan-bahan yang baik, terbaik dari seluruh tanah Sorga.
Segala jenis tambangan yang baik ada di sana. Bahkan senjata-
senjata para Malaikat Agung, hasil tempaan bahan-bahan dari
gunung itu. Gunung Shunyi, saudaraku. Aku telah pergi ke sana
sebelumnya seperti yang diperintahkan Yang Sulung padaku.
Mungkin engkau tidak pernah mendengar nama gunung itu,
Yehudiel. Namun aku yakin, engkau akan mengenalnya bila aku
mengatakan padamu, itulah Gunung Bildal.” Terkejutlah Yehudiel
mendengar Raphael.
Terduduklah Yehudiel dan ia memikirkan semuanya itu.
Kemudian berkatalah Yehudiel,
“Raphael, jadi apa yang tertulis dalam gulungan-gulungan
kuno itu adalah benar? Aku tidak pernah menganggap itu benar,
karena apa yang tertulis di dalamnya tidak pernah aku jumpai.
Namun aku sempat menyangka bahwa gulungan-gulungan itu
memang menuliskan kebenaran setelah aku melihat Ular Naga
Terbang di Tanah Altar. Sekarang engkau berkata padaku bahwa
Gunung Bildal benar-benar ada, maka benarlah bahwa memang
gulungan-gulungan kuno itu menceritakan kejadian yang benar.”
Lalu berkatalah Raphael,
“Bila tidak ada kebenaran dalam cerita-cerita itu, lantas
mengapa para Cerub kuno menuliskan itu dan menyimpannya?

41
Adakah mereka hanya mengarang cerita untuk menghibur para
pembacanya? Aku, Raphael, tidak pernah membuka gulungan-
gulungan kuno, mungkin aku pernah, namun aku tidak memen-
tingkan itu. Tentang apa yang terjadi di Bildal dan semua kisahnya,
Yang Sulung sendiri menceritakan semua itu padaku sebelum aku
berangkat ke sana. Namun engkau, Yehudiel, Malaikat Agung
sepertimu, seperti Serael atau Raziel, tentu sangat dekat dengan
gulungan-gulungan itu. Apa yang engkau ketahui tentang Bildal
saudaraku?” Yehudiel terdiam dan memandang pada Raphael,
tidak ia menjawab.
Di Samahnia, para Agung tengah berkumpul di sana.
Mereka telah usai membahas tentang pedang Andhraril. Juga para
Agung telah menemukan penyebab Mikhael luput dari kutukan.
Mikhael berkata pada para Agung di sana, katanya,
“Baiklah kita sudah usai membahas semua ini, saudara-
saudaraku. Baru saja hambaku datang membawa kabar bahwa
surat perintahku pada barisan Seraphiem di Selatan sudah sampai.
Mungkin barisan Seraphiem sudah mulai bergerak menyerang
Tanah Selatan saat ini, sebab aku belum mendengar kabar lain dari
mereka. Aku akan kembali pergi ke Barat dan pergi memimpin
barisanku merebut Tanah Barat. Adakah permasalahan dari
saudara-saudaraku?” Lalu berkatalah Raziel,
“Serael, mengenai gulungan-gulungan hukum yang ada di
Selatan, kiranya biarlah itu menjadi tujuan utama barisan Sera-
phiem. Jangan sampai para Seraphiem terlalu bersemangat karena
tanah mereka dan melupakan gulungan-gulungan hukum itu.”
Kemudian Mikhael menjawab,
“Sudah seharusnya para Seraphiem bersukacita bila mereka
mendapat kembali tanah mereka. Namun aku pastikan kepadamu,
Raziel, gulungan-gulungan hukum itu akan segera diamankan dan
dibawa ke Nai, begitu hamba-hambaku menemukannya.” Setelah
itu Bart-Archiel bangkit dan berkata pula, katanya,
“Serael, ada barisanmu yang berjaga di Tanah Utara. Aku
tahu engkau mengutus mereka untuk berjaga di sana, sebab sebe-
lumnya Uriel dan aku meninggalkan Tanah Utara. Namun seka-
rang, Uriel telah kembali dan aku akan menyusulnya. Tanah Utara

42
sudah aman bila kami sudah ada di sana dan sekalipun musuh
menyerang, Uriel dan aku akan mempertahankan tanah itu sampai
kami tidak sanggup. Kiranya biarlah barisan Seraphiem itu engkau
panggil untuk mendukungmu dalam pertempuran di Barat, itu
akan lebih berguna.” Maka Mikhael menyetujui saran Bart-Archiel
dan menitipkan surat panggilannya pada Bart-Archiel.
Sedang para Agung di Samahnia telah selesai dan mereka
mulai saling berpamit dan berpisah, Yehudiel masih terdiam di
hadapan Raphael. Yehudiel masih memikirkan dan ia masih
terheran-heran mengetahui bahwa memang cerita-cerita dalam
gulungan kuno adalah kebenaran. Kemudian berkatalah Yehudiel
pada Raphael, katanya,
“Raphael, aku baru menyadarinya. Kiranya engkau dapat
mengerti mengapa aku terdiam. Sebab semua cerita yang pernah
aku baca dari gulungan-gulungan itu, baru aku menyadarinya bah-
wa semua itu adalah kebenaran. Juga tentang Bildal ini. Ternyata
baru aku mengetahuinya bahwa memang gunung itu benar-benar
ada dan tidak jauh dari kita, Raphael.” Lalu Raphael menguatkan
Yehudiel dan berkata,
“Tenanglah dahulu, saudaraku. Mungkin memang engkau
membutuhkan waktu. Namun aku hanya ingin mengetahui, apa
yang ditulis dalam gulungan-gulungan itu tentang Gunung Bildal
dan kisahnya. Bila engkau sudah tenang, aku siap mendengar-
kanmu. Aku akan ada bersama hamba-hambaku di sekitar tengah
kota.” Pergilah Raphael untuk melihat hamba-hambanya.
Sedang Raphael berjalan-jalan mengelilingi kota, datanglah
hambanya dan berlutut. Kemudian Raphael memerintahkan ia
untuk bangkit dan berjalan bersama Raphael. Berkatalah Raphael
padanya, katanya,
“Apa yang engkau dapat, Elcuriel?” Maka jawab hamba itu
pada Raphael,
“Tuanku, aku telah melihat jumlah,” Belum ia selesai,
Raphael memegangnya dan berkata,
“Elcuriel, kiranya di masa-masa ini aku ingin mendapat
penghiburan. Sebab akhir-akhir ini cukup sulit mendapat penghi-
buran. Untuk beberapa saat, biarlah engkau menjadi saudaraku,

43
bukan hambaku.” Maka terdiamlah hamba itu dan ia memeluk
Raphael. Kemudian katanya,
“Elhimael, engkau telah diangkat menjadi tuan atas saudara-
saudaramu, namun engkau merendahkan dirimu. Bila memang itu
menghiburmu, aku akan melakukannya.” Kemudian Raphael juga
memeluknya. Hanya saja Raphael tidak mau dipanggil dengan
nama lamanya. Kemudian lagi hamba itu berkata pada Raphael,
katanya,
“Aku telah pergi dan melihat jumlah para Rephaiem yang
kembali. Belum ada jumlah pasti dari para pencatat, namun aku
dapat melihatnya dengan mataku, Ralph. Menurut yang mereka
katakan, tidak ada lagi hamba Rephaiem yang masih tersebar dan
sudah semua kembali ke Tanah Barat. Rombongan terakhir datang
dari Timur dan memang tidak ada lagi yang datang setelah mereka.
Aku rasa jumlah para Rephaiem yang ada sekarang ini sangat
sedikit. Jauh lebih sedikit dari pada jumlah penuh mereka. Aku rasa
sisanya yang tidak kembali masih sangat amat banyak. Hampir
separuh dari suku Rephaiem ini menghilang. Tidak mungkin juga
bila mereka hancur dalam pertempuran, sebab jumlah korban yang
hancur dalam pertempuran tidak sebanyak itu.” Kemudian berkata-
lah Raphael,
“Jadi para Rephaiem menghilang dari Tanah Sorga dan
tidak dapat lagi ditemukan? Ke mana hamba-hambaku pergi,
Elcuriel?” Lalu kata Elcuriel,
“Aku sudah mengutus beberapa hamba setia untuk mencari
ke tanah-tanah Sorga, Raphael. Kita akan menemukan mereka kem-
bali. Juga tentang Rephairiem, barisan ini bertambah kuat. Kekuat-
an barisan ini bertambah tiga kali lebih kuat dari sebelumnya. Dan
para Rephaiem yang belum bersumpah menjadi bagian barisan
masih banyak. Mungkin kekuatan kita akan bertambah tujuh kali
lebih kuat dari sebelumnya. Tanah Anggur siap untuk jatuh,
Raphael. Tiup Herberom dan bangkitkan Rephairiem, barisan ini
sudah lama tertidur. Kekuatan besar ada pada pihak kita.”
Kemudian jawab Raphael,
“Bersabarlah, Elcuriel. Aku akan membangkitkan barisan ini
dan mereka tidak akan tertidur lagi. Kita akan merebut kembali

44
tanah-tanah kita dan para Rephaiem akan berdiam di tanah mere-
ka.” Setelah itu hamba itu masih banyak menyampaikan banyak hal
pada Raphael. Mengenai persenjataan bagi para Yehudiem dan juga
cerita tentang pedang Mikhael, Andhraril. Setelah itu, datanglah
Yehudiel pada Raphael dan ia siap untuk menceritakan tentang
Bildal. Kata Yehudiel,
“Aku menantimu, Raphael.” Raphael menundukkan kepala-
nya dan Yehudiel kembali ke tempat mereka bersama sebelumnya.
Kemudian berkatalah Raphael pada hambanya,
“Ada urusan yang harus aku selesaikan. Siapkan barian ini.
Kita akan bergerak ke arah timur, terus sampai Tanah Anggur.
Kirim juga hamba-hamba yang harus pergi membangun Nai. Urus
semua pekerjaan yang harus diselesaikan, kemudian siapkan
barisanku.” Pergilah Raphael dari sana menyusul Yehudiel.

Pertempuran di Selatan semakin memanas sekalipun kedua


barisan sudah payah bertempur, namun amarah mereka yang
membuat mereka tidak henti-hentinya bertempur di sana. Bahkan
kedua barisan itu bertempur tanpa perintah dari pemimpin barisan.
Sebab pemimpin dan juga seluruh barisannya hanya ingin mem-
bantai musuh sebanyak mungkin yang mereka dapat. Mahanael
menekan barisan musuh dengan kuat di sisi selatan, sedang barisan
Mondrael, tertekan di sisi utara. Sebab barisan Legiun sangat
menginginkan supaya mereka mencapai Pohon Serael. Sedang saat
itu Mahanael tidak lagi memperhatikannya dan ia terus saja bertem-
pur. Barisan Mondrael tertekan di sana namun masih bertahan.
Saat itulah bangkit Frantiel, mengangkat tombaknya yang
terikat panji di atasnya. Ia berseru-seru mengumpulkan barisannya
di tengah pertempuran. Frantiel melihat bahwa Mahanael tidak
memperhatikan bahwa kekuatan musuh memang menekan di sisi
utara dan lemah di sisi selatan. Padahal Mahanael memimpin
barisan yang besar menekan sisi selatan. Barisan Legiun sisi selatan
telah tertembus dan para Seraphiem membantai mereka dengan
hebat. Berserulah Mahanael, katanya,
“Teruslah kamu berlari maju! Jangan berhenti dan masuklah
dalam Kota Sarnos dan rebut kota itu sebagai yang pertama!” Maka

45
bersoraklah para Seraphiem itu dan mereka maju beramai-ramai ke
Sarnos untuk menguasainya. Kira-kira ada lima puluh ribu barisan
banyaknya yang berlari ke Sarnos dan meninggalkan barisan.
Frantiel melihat kelemahan musuh saat itu dan hanya ia pemimpin
barisan yang berpikir jernih. Ia melihat bahwa barisan Legiun
terbagi, maka dikumpulkannya tiga puluh barisan banyaknya yang
ia pimpin. Barisan itu membawa tombak-tombak panjang dan pe-
dang dan gadha. Berlarilah mereka memukul tengah barisan musuh
dengan berlari.
Terus barisan itu berlari dan membelah barisan Legiun,
sampai mereka menembus barisan itu. Berdirilah tiga puluh barisan
Frantiel bertempur di tengah barisan Legiun. Para Seraphiem
melihat bahwa ada celah yang dibuat Frantiel, masuklah mereka ke
tengah barisan Legiun dan menyokong Frantiel di sana. Saat itulah
barisan Legiun terpecah dan para Seraphiem mendapat jalan me-
mutar untuk mengepung. Di tengah pertempuran itu, Gissel meli-
hat bahwa barisannya akan terkepung, maka ia berseru, “Mundur!
Tinggalkan pertempuran!” Berlarilah para Legiun itu dan mereka
meninggalkan pertempuran ke arah kota-kota di Tanah Selatan.
Mondrael memimpin pengejaran itu, sedang Mahanael memimpin
barisan ke Sarnos.
Pengejaran Mondrael berhenti saat mereka sampai di perba-
tasan Padang Serapha. Mahanael merebut Sarnos dengan mudah,
sebab kekacauan yang ada di barisan Legiun membuat mereka
kebingungan dalam mempertahankan kota. Berakhirlah pertem-
puran yang pertama di Tanah Selatan. Mereka bertempur di sana
selama tujuh Shakta dan berhenti karena payah dan musuh telah
meninggalkan mereka. Pertempuran itu usai dan para Seraphiem
bersuka dan mengucap syukur dengan hebat, sekalipun mereka
sudah payah. Kemudian setelah puas, berkatalah Mondrael,
“Ambil seluruh senjata yang tidak bertuan dan bawa
saudara-saudaramu yang terluka ke Timur. Bawa mereka menggu-
nakan kereka tarik yang ada, secepatnya mereka harus dibawa pada
para Ammatiem di Timur.” Mahanael usai membantai musuh dan
ia duduk di dalam Kota Sarnos dengan tertawa sukacita. Barisan

46
Seraphiem bersorak sorai kegirangan karena mereka telah memulai
perebutan kota. Berkatalah Mahanael di sana, katanya,
“Syukur pada Sang Terang sebab kita telah menang dalam
pertempuran ini. Inilah awal dari kemenangan Seraphiem. Sebar-
kan kabar bahwa kita telah memulai kemenangan besar di Selatan.
Hitung dan catat mereka yang hancur dalam pertempuran ini,
sebab mereka hancur bukan untuk kesia-siaan.” Saat itu terjadi
perayaan tanpa anggur di antara para Seraphiem. Sebab mereka
merayakan kemenangan dengan bekerja di sisa-sisa pertempuran.

Waktu itu Mikhael, Sealtiel dan Gabriel dalam perjalanan ke


Tanah Barat. Raziel dan Ammatiel berjalan ke Timur. Bart-Archiel
kembali ke Utara menyusul Uriel di sana. Di Utara, Uriel telah me-
lihat keadaan barisan Ur-Bagha dan mengadakan pencatatan ulang,
sebab tidak ada pekerjaan yang dapat ia kerjakan saat itu. Namun
karena penghitungan ulang jumlah barisan itu, baru diketahui
bahwa jumlah barisan Ur-Bagha lebih banyak dari pada yang
diketahui selama ini. Kemudian Uriel memerintahkan pada hamba-
hambanya, katanya,
“Tinggalkan kota-kota dan jangan kamu berdiam diri saja.
Setiap kamu yang berdiam di kota-kota bagian selatan, pindahlah
ke kota-kota di perbatasan Utara. Penuhi kota-kota di sana padang-
padang luas perbatasan. Supaya jangan musuh melanggar tanah
kita. Semua pergerakan musuh yang terlihat harus segera dilapor-
kan padaku, atau pada para hamba pembesar. Pergi dan buatlah
itu! Para Bartarchiem, aku memerintah kamu untuk mewakili
saudaraku, Bart-Arciel, saudaramu. Pergilah dan rawat hutan-hutan
di sebelah utara. Dengan hutan-hutan itu, kita akan menutup jalan
musuh masuk ke tanah ini. Panggillah hewan-hewan yang berdiam
di padang dan di hutan, supaya mereka berdiam di sebelah selatan
yang lebih aman. Bila pertempuran terjadi, jangan mereka terluka.
Hanya saja bila kamu mendapati hewan-hewan yang buas, biarlah
itu lepas dan ajarlah mereka untuk melawan musuh, bila memang
kamu bisa mengajarnya. Pergi dan buatlah itu!” Dengan begitulah
Uriel mempertahankan Tanah Utara. Ia memerintah para Bartar-
chiem sebab padanya ada surat Bart-Archiel yang mempercayakan

47
para Bartarchiem pada Uriel selama Bart-Archiel belum kembali ke
Tanah Utara.
Dalam perjalanan ke Timur, Ammatiel dan Raziel memba-
has tentang pertempuran-pertempuran yang terjadi di Tanah Sorga
dan beberapa hal lain. Kata Ammatiel,
“Saudara-saudara kita banyak yang sibuk dengan Tanah
Barat dan perjuangan di sana seperti berat. Sebab sudah lama Serael
mengusahakan untuk merebut tanah itu, namun belum juga selesai
pertempuran di sana. Barisan besar Seraphiem menghadapi musuh-
nya di Selatan. Di Utara, saudara-suadara kita berusaha memperta-
hankan tanah mereka. Banyak perubahan terjadi, Raziel. Aku
merasakan bahwa banyak kehancuran terjadi di Sorga, aku tahu
bahwa para malaikat akan mengosongi Tanah Sorga.” Lalu kata
Raziel,
“Apa yang engkau katakan adalah hal yang aku pikirkan,
Ammatiel. Barisanku telah menerima pukulan berat dan banyak
dari mereka yang hancur di Tanah Altar. Bila pertempuran tidak
segera selesai, kaum malaikat akan terhapus dari Tanah Sorga.
Kedua pihak terus saling membantai dan barisan Timur hanya
berdiam.” Lalu berkatalah Ammatiel,
“Jangan engkau berkata seperti itu, Raziel. Aku tahu bahwa
barisan Timur berdiam di tanah mereka. Hanya saja, pikirkanlah
lagi. Sekalipun barisan kita berdiam, kita juga melakukan hal yang
penting. Aku melihat tanah di sebelah Utara, tanah itu bergerak dan
batu-batunya bergeser. Ada pergerakan di perbatasan utara tanah
kita. Kekuatan barisan di Utara telah lama berdiam dan kita menga-
baikannya. Sebentar lagi, Luciel akan membangkitkan barisan di
Bore dan masuk ke Tanah Timur.” Kemudian kata Raziel,
“Aku juga merasakannya. Bila memang harus ada pertem-
puran di Tanah Timur, mari kita lakukan itu. Luciel tidak menekan
Tanah Barat, juga barisannya tidak mengganggu perbatasan Tanah
Uriem. Pasti ada pergerakan hebat di Bore. Ammatiel, kembalilah
pada hamba-hambamu dan pastikan bahwa benteng di Nai telah
siap untuk pertahanan. Para Rephaiem mulai berjalan dari Barat
untuk membangun benteng itu. Kiranya engkau yang memastikan
bahwa memang Nai aman untuk semua gulungan-gulungan pen-

48
ting. Aku akan membangkitkan Rendurum dan berjalan ke Utara
untuk menjaga perbatasan dan bersiap.” Kemudian Ammatiel
memegang Raziel dan berkata,
“Yang Sulung besertamu, saudaraku. Angkatlah pedangmu
dan panggillah barisan Ur-Bagha untuk berjuang bersamamu. Bila
saat sampai di perbatasan Utara dan engkau tidak melihat perge-
rakan musuh, majulah menyerang.” Lalu kata Raziel,
“Seharusnya kita membahas ini saat kita masih bersama
saudara-saudara yang lain, Ammatiel. Namun semua sudah
berlalu. Aku akan menyerang Bore, sebelum mereka menyerang
Marcium. Yang Sulung juga besertamu, saudaraku.” Pergilah
Ammatiel bertunggang mendahului Raziel. Saat itu Raziel sampai
di Tanah Yehudiem.
Dari sana Raziel memerintahkan hamba-hambanya, katanya,
“Pergilah dan kumpulkan barisan Rendurum. Mereka
semua harus berkumpul dan berjalan ke Utara. Aku tidak akan
kembali ke Kota Raziel. Aku akan mengambil jalur ke Utara dan
berdiam di Skeimta sampai kamu datang. Pergilah!” Kemudian
hamba-hamba utusannya juga pergi mendahului dia. Raziel meru-
bah arah rombongannya. Ia bertunggang dari Tanah Yehudiem dan
bergerak ke Utara. Tanah Marcium akan bangkit. Saat itu para Jegu-
diem yang ada di Tanah Yehudiem melihat bahwa Raziel membawa
rombongannya berjalan ke Utara, tahulah mereka.

Sementara itu, Raphael dan Yehudiel telah duduk kembali


bersama. Sebab Yehudiel telah memanggil Raphael kembali bersa-
manya. Yehudiel menceritakan apa yang ia ketahui tentang Gunung
Bildal, Shunyi. Apa yang dikatakan Yehudiel memang seperti apa
yang didengar Raphael dari Yang Utama. Maka bangkitlah Raphael
dan berkata,
“Benarlah apa yang tertulis dalam gulungan-gulungan kuno
itu. Yehudiel, tentu engkau tahu tentang para pendiam di Gunung
Bildal itu. Merekalah yang aku temui. Bila memang kita harus
mengambil lagi bahan-bahan dari Shunyi, barisan Sorga harus
menghadapi mereka terlebih dahulu. Namun jangan kita memikir-
kan itu sekarang. Yehudiel, barisanku telah siap dan kami akan

49
bergerak ke arah timur. Adakah pedangmu bersamaku?” Lalu
bangkitlah Yehudiel dan menjawabnya,
“Aku ada sertamu dan aku akan membantai banyak sekali
musuh. Biarlah aku diperhitungkan di antara para Rephaiem,
malaikat Barat. Sebab aku memang malaikat Barat yang menjadi
Malaikat Agung. Raphael, bila sudah Serael merebut Derie, ingatlah
apa yang engkau katakan padaku. Supaya kita pergi ke Tanah El-
Kuruh dan mengambil bahan-bahan tambangan, untuk ditempa.
Biarlah barisan Yehudiem segera dipersenjatai.” Maka jawab
Raphael,
“Aku tidak akan melupakannya, saudaraku. Jangan engkau
memikirkannya lagi. Aku Tangan Allahlah yang akan mempersen-
jatai barisanmu.” Kemudian keluarlah mereka untuk bersiap-siap.
Pada waktu itu, Mindruel, pemimpin barisan Seraphiem
yang ada di Tanah Barat, telah kembali. Sebab sebelumnya ia
dipanggil Mikhael untuk ke Tanah Altar. Ia sudah kembali ke Ariar
dengan membawa barisan tambahan dari Tanah Altar. Mindruel
melihat bahwa Raphael telah mengumpulkan barisan-barisan
Rephairiem dan berkumpul di sebelah timur kota itu. Kira-kira ada
empat ratus barisan yang sudah dikumpulkan Raphael saat itu dan
jumlahnya terus bertambah. Melihat itu, berbeloklah Mindruel
menghampiri Raphael, sebelum ia masuk dalam kota. Saat ia
sampai di barisan para Rephaiem itu, turunlah Mindruel dari tung-
gangannya dan menghadap Raphael. Ia berlutut dan mengucap
salam. Maka berkatalah Raphael,
“Mindruel, hamba pembesar Seraphiem. Pemimpin tombak
seribu. Aku mengenalmu. Adakah urusanmu ke mari denganku?”
Maka berkatalah Mindruel,
“Tuan Raphael, aku melihat barisan ini berkumpul di sini.
Bila aku mendapat kasih tuanku, kiranya aku ingin mengetahui,
apa benar barisan ini akan maju bertempur?” Maka berjalanlah
Raphael mendekati Mindruel dan menjamahnya. Lalu bangkitlah
Mindruel, kata Raphael,
“Aku sedang berusaha untuk mengumpulkan kembali
hamba-hamba Rephaiem yang terserak dan kehilangan tempat
milik mereka. Dengan pekerjaanmu, dan barisan Seraphiem yang

50
dipimpin tuan Serael, Tanah Barat mulai kembali pada kami. Aku
telah memanggil semua hamba-hambaku untuk kembali padaku,
namun hanya setengahnya yang datang. Bila yang lain menyusul,
tidak akan ada cukup tempat bagi mereka untuk berdiam. Maka
aku akan maju ke kota-kota di sebelah timur. Sampai seluruh Tanah
Ranting kembali pada Rephaiem. Mindruel, bila tuanmu, Serael
kembali padamu, sampaikan ucapan dan salamku. Biarlah barisan
Seraphiem maju segera sampai ke Derie, aku akan menyusul sesuai
rencana.” Maka kemudian pergilah Mindruel dari sana dan ia
kembali ke Ariar bersama para Seraphiem yang ada di kota itu dan
yang berkemah di sekitarnya. Barisan Rephaiem semakin banyak
berkumpul di sana. Sampai jumlah yang diharapkan Raphael.
Ada kira-kira enam ratus barisan lebih yang sudah berkum-
pul di sana. Datanglah Yehudiel mendapati Raphael. Kemudian
kata Yehudiel,
“Saudaraku, mengapa barisanmu tidak menjawab panggil-
anmu segera? Aku melihat hamba-hambamu berkumpul perlahan-
lahan, cukupkah kekuatan barisan kita?” Raphael bangkit dan
berkata,
“Aku tahu bahwa ada barisan kuat di dalam suku Repha-
iem. Namun tidak semua dari mereka yang telah menjadi bagian
Rephairiem. Belum semua dari mereka yang mengangkat sumpah
menjadi bagian barisan. Maka memang barisanku semantara ini
hanya sedikit dan tidak sesuai dengan jumlah para Rephaiem.
Namun bila sudah aku mempersatukan suku ini kembali, barisan
kami akan bangkit dan berjaya kembali di Tanah Rephaiem. Aku
membutuhkan delapan ratus barisan untuk maju, kita akan me-
nunggu sebentar lagi.” Lalu Raphael keluar dari tenda dan berjalan.
Yehudiem menyadingnya dan berkata,
“Delapan ratus, barisan? Bukankah ada sepuluh ribu barisan
lebih dalam barisan Rephairiem? Aku melihat bahwa engkau mem-
pertahankan Tanah Altar dengan hampir lima belas ribu barisan.
Mengapa engkau hanya akan membawa delapan ratus?” Kemudian
jawab Raphael,
“Lihatlah hamba-hambaku, Yehudiel. Lihatlah barisanku.
Suku ini terserak dan tersebar, kehilangan apa yang menjadi milik

51
mereka. Pertempuran pertama terpecah di tanah mereka dan ba-
nyak yang terbantai. Para Rephaiem yang telah menjadi bagian
Rephairiem harus berjaga di kota-kota yang telah kita rebut. Maka
aku akan membawa seperlunya. Aku bukan Serael, aku tahu itu. Ia
dapat merebut kota-kota dengan tujuh belas barisan. Namun sekira-
nya, dengan kasih Yang Sulung, aku akan merebut Tanah Anggur
dengan barisan yang ada.” Pergilah Raphael dari sana.

Sementara itu, Mikhael bersama para Agung yang lain, da-


lam perjalanan ke Tanah Barat. Mereka bertunggang bersama-sama
dan sudah tiba di Tanah Roti. Datanglah seorang hamba Seraph
bertunggang mendapati mereka di sana. Kemudian turunlah hamba
itu menghadap Mikhael dan mengucap salam bagi para Agung.
Berkatalah Mikhael,
“Adakah engkau membawa kabar dari Mindruel?” Kemu-
dian jawab hamba itu,
“Benar apa yang tuan katakan. Aku diutus tuan Mindruel
untuk membawa kabar ini. Para Rephaiem telah berkumpul di sebe-
lah timur Kota Ariar dan tuan Raphael yang memimpin mereka.
Mereka akan maju ke menyerang dan berusaha menguasai seluruh
Tanah Anggur, sampai ke Gruined. Adakah tuan mengambil
tindakan dan mengeluarkan perintah untuk menanggapi ini?” Lalu
berkatalah Gabriel,
“Raphael mulai bergerak. Mereka memulainya sebelum kita
datang Mikhael. Apa yang harus kita buat?” Lalu jawab Mikhael,
“Biarlah Raphael juga berjuang demi tanahnya. Bukankah
memang seharusnya ia memperjuangkannya juga. Seraphiem tidak
akan menyokongnya, sebab barisanku memiliki jalan sendiri. Bila
menuruti Raphael, aku tidak akan dapat memenuhi sumpahku.
Jalur barat adalah yang tercepat dan termudah untuk sampai ke
Selatan. Bila Raphael memilih untuk berjuang di jalur timur, biarlah
ia berjuang.” Kemudian lagi kata Mikhael pada hambanya,
“Pergilah kembali ke Ariar dan katakan pada tuanmu
Mindruel. Aku akan segera datang dan barisan Seraphiem harus
segera siap untuk maju menyerang Derie.” Kemudian hamba itu
menjawabnya, katanya,

52
“Tuanku. Ada pula pesan dari tuan Raphael bagi tuanku.
Kata tuan Raphael, ia akan menyusul tuan ke Derie bila ia sudah
selesai di Tanah Anggur, sesuai perencanaan sebelum.” Pergilah
hamba itu dari sana.
Kemudian berkatalah Sealtiel,
“Yehudiel pasti ada dengan Raphael sekarang. Aku tahu itu.
Serael, sekiranya baik engkau pandang. Tunggulah beberapa saat
sebelum maju ke Derie. Raphael akan menghadapi Kota Ardur.
Kota itu sangat besar. Kekuatan barisan musuh sangat kuat di sana.
Bila engkau terlalu terburu-buru maju ke Derie, Raphael tidak akan
sempat menyusulmu, terlalu bahaya bagi barisanmu, Serael.” Lalu
berkatalah Mikhael,
“Aku tahu, Sealtiel. Aku tahu. Memang aku dan Raphael
telah membicarakan ini sebelumnya. Ia seharusnya menjaga pung-
gungku dari Daria saat aku maju ke Derie. Namun Raphael telah
memilih jalannya sendiri. Aku akan tetap maju ke Derie, dengan
atau tanpa Rephairiem.” Lalu kata Gabriel,
“Bagaimana dengan Idarun, Mikhael?” Maka jawab
Mikhael,
“Kita akan melalui Daria lebih dahulu dan lalu saja sampai
ke Derie. Karena itu aku akan melalui jalur-jalur di bukit.” Teruslah
mereka bertunggang dari sana ke Ariar.
Sementara itu Raphael telah mulai bergerak ke Padang
Ariarum-Nor. Barisannya sudah hampir penuh seperti yang ia
harapkan dan ia berhenti di padang itu sambil menanti. Dengan
saran dari Yehudiel, Raphael mengirim tujuh kelompok pengintai,
untuk melihat keadaan Kota Ardur. Kota Ardur, kota yang akan
diserang Raphael, adalah kota yang sangat besar dan kuat. Kota itu
luas dan megah dan barisan musuh sangat banyak yang berdiam di
kota itu. Tempat di kota itu cukup untuk didiami empat ratus ribu
barisan dan masih ada tempat yang longgar. Bila benar-benar
dipenuhi, kota itu sanggup memberi tempat bagi tujuh ratus ribu
barisan. Raphael benar-benar menghadapi tantangan terbesar sela-
ma ia memimpin barisan dalam bertempur. Kota itu adalah alasan
Mikhael memilih jalur barat. Karena memang Mikhael menghindari
kekuatan di Ardur.

53
Kebangkitan Rephaiem –
Rephairiem Dipanggil

Sementara Raphael berdiam di Padang Ariarum-Nor,


datanglah sisa barisannya ke sana. Kemudian penuh jumlah mereka
seperti yang diharapkan Raphael. Pergilah Raphael mencari
saudara-suadaranya, para pemimpin barisannya. Kemudian ia
mendapati salah satu hambanya, yang juga saudaranya, Elcuriel.
Kemudian kata Raphael,
“Elcuriel, apa sudah siap barisan ini?” Kemudian jawab
Elcuriel,
“Sudah genap seperti yang tuanku perintahkan. Delapan
ratus barisan berjalan bersamamu, tuanku. Hanya saja,” Menoleh-
lah Raphael dan mendekat. Lalu katanya,
“Hanya saja, apa Elcuriel? Adakah engkau tidak menyelesai-
kan tugas yang kuberikan padamu?” Maka jawab Elcuriel itu,
“Apa yang engkau perintahkan sudah aku jalankan. Dua
pemimpin barisan tuan telah pergi dari barisan ini. Lehimael dan
Melhuriel meninggalkan barisan tepat sebelum kita berangkat
bertempur, tuanku. Mereka berdua bertunggang ke utara.” Kemu-
dian kata Raphael,
“Apa yang mereka pikirkan? Apakah ada Bara-Al yang lari
dari pertempuran? Elcuriel, hanya tinggal kita berdua. Aku harap
engkau dapat memimpin barisan ini bersamaku. Para Jegaduriem
akan mempermudah kita. Tinggalkan mereka, kita akan tetap
maju.” Lagi kata Elcuriel,
“Mereka tidak lari dari pertempuran, Raphael. Mereka telah
berbicara padaku tentang engkau. Aku memikirkanmu setiap saat
dan aku melihat bahwa engkau sudah kehilangan pikiranmu.
Lihatlah, delapan ratus barisan maju melawan Kraduria? Kami
saudara-saudaramu telah memikirkan ini dan memang kami tidak
mentaatimu untuk saat ini. Melhuriel dan Lehimael pergi dengan
janji akan membawa kekuatan besar Rephairiem. Mereka akan
menyusul kita.” Maka geramlah Raphael dan berkata,

54
“Bagaimana dapat saudaraku sendiri melanggar perintah-
ku? Tidak ada yang dapat membangkitkan kekuatan Rephairiem
tanpa Herberom!” Lalu Raphael membuka jubahnya dan meraih
pinggangnya untuk mengambil sangkakala Herberom yang ia
katakan. Baru ia mencari, tidak ia mendapati sangkakala itu di
pinggangnya.
Terdiamlah Raphael dan ia memandang pada Elcuriel. Maka
kata Raphael, padanya,
“Apa yang engkau perbuat ini, Elcuriel? Adakah tindakmu
ini melawan aku, atau mendukung aku? Sebab saat ini aku tidak
tahu, apa yang sebenarnya terjadi?” Datanglah Yehudiel ke sana
mendapati Raphael yang sedang berbincang dengan Elcuriel. Men-
dekat pula Yehudiel ke sana. Elcuriel menjawab Raphael, katanya,
“Tidak seorang pun mengambil Herberom darimu, tuanku,
saudaraku, Raphael, Tangan Allah. Tidak ada yang melepaskan
ikatan sangkakala itu dari pinggangmu. Siapakah yang berani
mengulurkan tangannya dan mengambil itu dari padamu? Sebab
kuasa yang ada pada Herberom itu sangat besar, siapa yang kuat
menanggungnya, atau menahan panggilannya? Rephaiem ada
dalamku dan saudara-saudaramu, juga dirimu, Raphael. Kita
adalah bagian dari Rephaiem, malaikat Barat yang membangun
Sorga. Engkau sendiri yang menyerahkan itu padaku saat kita di
Ariar. Sebab katamu padaku: Ambillah ini dari padaku, Elcuriel.
Tidak sanggup aku menanggungnya. Sebab bila terus aku menang-
gungnya, aku akan membahayakan seluruh Rephaiem demi tujuan-
ku dalam pertempuran yang akan kita hadapi.
Itulah yang tuanku katakan. Maka tuan mempercayakan itu
padaku dan segala kuasanya. Bila engkau yang adalah Malaikat
Agung tidak sanggup menanggungnya, masakan aku hambamu
dapat menanggungnya. Kuasa yang berdiam dalam sangkakala itu
memanggil aku dan menguasai aku. Maka aku membagi tanggung-
an itu dengan saudara-saudara yang aku percayai. Namun kuasa
itu juga masuk dan menguasai mereka. Karena kami tidak dapat
menanggungnya dan tidak dapat melihatmu dan barisanmu ini
jatuh dalam pertempuran besar yang akan datang; maka Lehimael
bangkit di hadapanku dan berkata: Aku akan pergi dan mengum-

55
pulkan para Rephaiem. Kekuatan Rephairiem akan dibangkitkan
dan mereka akan menjawab pada tuannya. Tangan Allah akan men-
dapat kekuatannya kembali. Setelah ia berkata, bangkit pula
Melhuriel, saudara kita itu dan berkata: Aku akan menjadi bagian
dari perjalananmu itu, saudaraku. Lalu pergilah mereka dari
padaku.
Perbuatan kami melawan perintahmu, namun juga mendu-
kungmu, tuanku Raphael. Kami tidak dapat melihat engkau terban-
tai di pertempuran yang akan datang. Kami membutuhkan barisan-
mu kuat dan menang. Mengertilah itu, saudaraku. Pahamilah kasih
yang kami tanggung bagimu. Sebelum para Seraphiem pergi dari
Ariar, Rephairiem akan berbaris bersamamu.” Maka susahlah yang
dirasakan Raphael dan ia berlutut di sana. Pikirannya kacau dan ia
tidak merasa bersuka. Yehudiel datang memeluk ia dan memang-
kunya dalam pelukannya.
Kemudian berkatalah Raphael dalam pelukan Yehudiel,
katanya,
“Aku telah memanggil mereka yang telah bertempur bersa-
maku di Araria. Mereka yang bertempur bersamaku di Tanah Altar.
Delapan ratus barisan inilah yang tersisa dari mereka dan aku
memanggil mereka lagi untuk bertempur. Sebab mereka sudah kuat
dan banyak melihat kengerian dalam pertempuran. Jangan Repha-
iem lain turut merasakan apa yang kami rasakan ini, Yehudiel. Bila
memang kami delapan ratus barisan ini harus jatuh dalam
pertempuran, biarlah kami saja yang jatuh. Bilamana kami menang,
maka biarlah sukacita yang kami rasa, juga memenuhi seluruh
Rephaiem. Namun saudara-saudaraku, hamba-hambaku itu,
Yehudiel. Merekalah yang tidak melihat apa yang kumaksudkan
dan mereka malah pergi untuk mengumpulkan para Rephaiem
supaya berbaris bersamaku.” Yehudiel menenangkan Raphael dan
katanya,
“Tenanglah engkau, Kebangungan Allah. Engkaulah Ra-
phael saudaraku, yang memimpin para Rephaiem pada ketenangan
Sorga. Apa yang engkau pikirkan adalah untuk kebaikan hamba-
hambamu. Yaitu mereka yang dipercayakan TUHAN padamu dan
itu menjadi bebanmu. Namun mengertilah beban mereka. Engkau

56
memperhatikan mereka dengan kasih dan engkau melindungi
mereka. Maka berilah juga kesempatan bagi mereka untuk juga
mengasihimu dan juga melindungimu. Aku tidak dapat berkata,
apakah mereka melawan atau mendukungmu. Sebab yang mereka
lakukan adalah melawan perintahmu untuk mendukungmu.”
Kemudian Raphael menjerit di pangkuan Yehudiel dan ia
seperti orang yang sedang menangis pilu. Tidak lama kemudian
terdiamlah Raphael dan matanya terbuka. Lalu ia bangkit dan
memejam matanya, dengan wajahnya menghadap atas. Elcuriel
juga melakukan itu. Bahkan para Rephaiem yang ada di perke-
mahan juga melakukan hal yang sama. Hanya Yehudiel yang
berdiam diri dan menyaksikan semua itu. Kemudian berkatalah
Raphael,
“Herberom telah ditiup dan suaranya terdengar di seluruh
Tanah Sorga. Rephairiem telah dibangkitkan dengan kuasanya.”
Namun Yehudiel menjawab, katanya,
“Aku tidak mendengar apa pun, saudaraku. Selain suara
angin dari timur berhembus meniup rumput dan pasir.” Kemudian
Elcuriel membuka matanya dan memandang pada Yehudiel,
katanya,
“Hanya para Rephaiem yang dapat mendengarkannya di
seluruh Tanah Sorga, di mana pun mereka berada. Mereka yang
telah bersumpah pada Tangan Allah demi Sorga, akan datang dan
menjawab tuan mereka. Tuan Yehudiel, engkau telah mejadi saksi
atas kami. Engkau melihat bagaimana Herberom memanggil kami
para Rephaiem.” Terdiamlah Yehudiel dan ia tidak berkata.
Pada waktu itu, Lehimael bersama Melhuriel telah sampai di
Tanah Roti dan mereka berdiri di atas Gunung Raraphah. Di
sanalah mereka berdiri, di atas Kota Rapharium tempat banyak
Rephaiem berdiam. Mereka tiba di atas gunung itu dan berkatalah
Melhuriel pada saudaranya, katanya,
“Ini adalah tempat yang tepat, Lehimael. Panggil mereka
dari tanah ini dan mereka akan mendengarmu. Akulah suara yang
akan berseru pada mereka.” Maka Lehimael itu bangkit dan ia naik
ke atas batu di puncak gunung itu. Dari sanalah ia mengangkat
Herberom, sangkakala Rephaiem dan meniup itu dengan hebat.

57
Suara sangkakala itu didengar para Rephaiem, di mana pun mereka
berada. Mereka yang mendengar itu adalah mereka yang bersum-
pah setia pada Raphael demi Sorga. Lalu berserulah Melhuriel, satu
dari saudara Raphael, katanya,
“Inilah sangkakala Herberom. Tanduk yang membawa mi-
nyak dari Timur. Tuanmu Raphael telah jatuh dalam pertempuran
dan ia tidak sanggup bangkit. Kemudian tanduk ini datang
padanya dan minyak di dalamnya membangkitkan dia kembali.
Itulah yang membuat ia kuat mempertahankan Tanah Altar dari
barisan musuh yang dahsyat. Sekarang tanduk itu kosong dan tidak
ada lagi minyak bagi tuanmu. Hai Rephaiem, kamulah yang akan
menguatkan dia saat ini, sebab kamu mendengar suara dari tanduk
kosong itu. Bangkitlah! Bangkitlah Rephairiem! Kuatkan tuanmu itu
dan biarlah Rephaiem kembali pada tanah mereka!” Sangkakala itu
memanggil para Rephaiem dari seluruh Tanah Sorga.
Para Rephaiem mendengar itu dan segera mereka bangkit
mengangkat senjata. Mereka berlari dari tempat mereka menuju
Padang Ariarum-Nor, tempat Raphael berada. Mereka menjawab
panggilan Herberom, tanduk minyak yang membangkitkan tuan
mereka sebelumnya. Sekarang tanduk itu kosong dan merekalah
yang akan membangkitkan kekuatan tuan mereka. Saat itu Mikhael
baru saja lepas dari perbatasan Tanah Roti dan langsung menuju
Ariar. Ia melihat para Rephaiem meninggalkan tempat mereka dan
berlari ke arah padang. Banyak dari mereka yang pergi dan bebe-
rapa tinggal untuk menjaga kota-kota. Berkatalah Sealtiel saat
melihat itu, katanya,
“Raphael telah membangkitkan Rephairiem. Kita menjadi
saksi akan peristiwa hebat ini, saudaraku. Serael, mari kita segera
menuju Ariar dan bawa juga barisanmu menuju Derie. Seraphiem
jauh lebih hebat dari pada Rephaiem. Saat ini Raphael telah kuat
dan ia pasti akan menyusul kita dari Daria. Majulah Serael!
Engkaulah Cahaya Sorga!” Bersoraklah Mikhael, Sealtiel dan juga
Gabriel. Kemudian mereka memacu tunggangan mereka ke Ariar.
Kekuatan dan pergerakan hebat telah terjadi di Tanah Barat.
Kebangkitan Rephairiem telah membakar semangat para Sera-
phiem. Dua barisan hebat akan bertempur dan memperjuangkan

58
Tanah Barat. Namun bukan hanya mereka yang sedang berjuang.
Tanah Selatan, perlahan-lahan telah bangkit. Pertempuran barisan
besar Seraphiem di Selatan belum berakhir. Kekuatan hebat yang
lain, juga akan menggoncangkan Sorga di bagian Selatan.

Mahanael, pengayun pedang dari Selatan telah kembali ke


Tanah Selatan dan ia membawa sumpah yang harus digenapi. Sisa-
sisa pertempuran telah usai mereka urus. Para Seraphiem yang
terluka, juga tubuh-tubuh Seraphiem yang hancur telah dikirim ke
Timur, pada para Ammatiem. Senjata dan berbagai jarahan dari sisa
pertempuran, dikirimkan pada para Rephaiem ke Barat. Berserulah
Mahanael di hadapan barisan besar di Kota Sarnos, katanya,
“Inilah permulaan kebangkitan Seraphiem! Sarnos telah
jatuh pada kita kembali. Kita akan terus merebut Tanah Selatan ini
dari musuh! Dimulai dari sini, terus ke Mith, sampai Kota Serael,
sampai ke ujung Mirkanria, kita akan membasuh tanah ini dari
musuh Sorga!” Bersoraklah barisan itu dan sebagian barisan sudah
berlari ke Kota Mith waktu itu. Mereka merebut juga kota itu
dengan mudahnya. Sementara barisan Legiun kembali ke kota-kota
dan barisan utama mereka bertahan di Gunung Slaire sampai Sulan.
Juga mereka berjaga di Padang Serapha tengah, menjaga jalan ke
Klenath.
Dari Sarnos, barisan Seraphiem terbagi menjadi tiga.
Mahanael dan Mondrael memimpin pertempuran di jalur Herah
dan memperjuangkan jalan masuk ke Kota Serael. Sementara
beberapa pemimpin barisan lain pergi dan berdiam di Kota Mith.
Frantiel, karena keberhasilan dalam pertempurannya, ia diperca-
yakan empat ratus lima puluh barisan lagi. Juga Frantiel ini
memimpin barisan Seraphiem untuk bertempur di Padang Serapha
tengah, di jalan menuju Klenath. Mondrael, Mahanael dan seluruh
barisan mereka aman untuk berjuang menembus pertahanan
musuh di Gunung Slaire. Mereka menyerang dari Gunung Sranie
dan juga dari arah sebaliknya. Legiun telah membangun benteng
kuat di atas gunung itu. Mahanael melihat benteng di atas gunung
itu dan katanya,

59
“Itulah jalan masuk kita menuju Kota Serael. Seluruh barisan
bertempur untuk merebut benteng itu dan akan kupastikan kita
akan masuk dengan segera ke Kota Serael.” Maka bertempurlah
mereka sampai dua Shakta lamanya. Kemudian tengah mereka
memperebutkan benteng di atas gunung itu, datanglah hamba
utusan Frantiel pada Mahanael. Kata hamba itu,
“Mahanael, barisan di sebelah utara tidak akan dapat
bertahan lama. Barisan Legiun yang di Klenath menekan kami dan
semakin lama, kami semakin terdorong ke seletan.” Maka jawab
Mahanael,
“Pergilah kembali pada pemimpinmu. Katakan sudah cu-
kup barisanmu menahan. Bertempur dan tahan musuh satu Shakta
lagi, lalu bawa barisan itu membantu kami merebut benteng besar
ini. Di Gunung Slaire ini kita akan mendapat perlindungan dan
pertahanan.” Kembalilah ia pada barisan Frantiel dan mengatakan
seperti yang dikatakan Mahanael.
Pada waktu itu Gissel, pemimpin besar barisan Legiun du-
duk dengan tenang di atas Gunung Sulan. Dari sana ia memimpin
pertempuran di Gunung Slaire. Gissel memimpin pertempuran dari
kejauhan saja. Sedang ia sudah aman dengan adanya benteng di
Ariaria dan Slunar. Legiun telah membangun banyak sekali
benteng-benteng di Tanah Selatan. Sekalipun hanya memimpin dari
kejauhan, Gissel dapat lama menahan para Seraphiem di Gunung
Slaire. Datanglah utusan barisan Bath-Pometh ke Kota Slunar dan ia
memanggil Gissel untuk bertemu di sana. Gissel melihat bahwa
memang bentengnya di Slaire tidak dapat dipertahankan. Maka ia
menarik barisannya mundur ke Ariaria dan bertahan di kota itu,
sementara ia sendiri pergi untuk menemui utusan Bath-Pometh di
Slunar. Itulah kesalahan Gissel yang kedua. Sekali lagi barisan
Seraphiem memenangkan pertempuran dan mereka menduduki
benteng di atas Gunung Slaire. Dari sana, para Seraphiem dapat
melihat jalan langsung menuju Kota Serael.
Sementara itu, di Tanah Barat. Padang Ariarum-Nor.
Raphael dan Yehudiel sedang duduk dalam satu tenda dan melihat
peta-peta kota yang akan mereka serang. Datanglah para pengintai
yang telah diutus Raphael sebelumnya untuk melihat keadaan

60
Ardur. Masuklah para pengintai itu ke tenda para Agung dan
menghadap Raphael dan Yehudiel. Setelah mengucap salam,
Raphael memberi tanda pada mereka untuk mulai berbicara. Maka
Rephai pengintai itu,
“Aku melihat kota itu kosong, tuanku. Barisan musuh telah
perlahan mengosongkan kota dan meninggalkan pertahanan me-
reka. Kita dapat menyerang kapan saja, sebab tidak banyak barisan
yang mempertahankan kota itu.” Lalu kata Yehudiel,
“Mungkin itu adalah jebakan bagi kita. Musuh tentu me-
rencanakan sesuatu. Raphael, ambil saja jalan sedikit memutari kota
dan kepung kota itu dari timur, barat dan utara. Bila-bila mereka
mengatur jebakan bagi kita, jangan sampai kita mengalami keka-
lahan.” Raphael hanya terdiam saja. Lalu tiba-tiba masuklah
Elcuriel dan berdiri dekat pintu tenda, katanya,
“Tuanku, mereka sudah datang. Barisanmu, Rephairiem
telah menjawab panggilan Herberom.” Bangkitlah Raphael dan ia
keluar dari tenda. Yehudiel mengikutinya. Naiklah Raphael ke atas
tunggangannya dan pergi untuk melihat. Benarlah saat itu banyak
sekali Rephairiem dari sepanjang Tanah Barat berkumpul berda-
tangan pada Raphael di Padang Serapha.
Maka berkatalah Raphael, katanya,
“Apa yang harus aku lakukan sekarang. Saat ini hampir
seluruh Rephaiem akan terlibat pertempuran.” Berangsur-angsur,
padang itu dipenuhi dengan barisan Rephaiem yang sangat banyak
jumlahnya. Seluruh barisan Rephairiem telah menjawab panggilan
Herberom di sana. Jumlah mereka pada akhirnya mencapai
berlaksa. Lalu Yehudiel membangkitkan Raphael dan menguatkan
dia. Kata Yehudiel,
“Kuatlah engkau, saudaraku. Lihatlah hamba-hambamu
datang untuk menguatkanmu. Barisan ini akan terus bertumbuh
dan tidak akan cukup tempat bagi mereka di padang ini. Segera
pimpin penyeranganmu, kekuatan kita akan menyelimuti musuh.”
Bangkitlah Raphael dan ia melihat sekitarnya. Lalu datanglah
hamba-hamba Rephaiem saudara Raphael, Lehimael dan Melhuriel.
Berlututlah dua hambanya itu di hadapannya dan mengucap salam.
Lalu kata mereka,

61
“Tuanku Raphael, kami telah memanggil barisanmu. Pim-
pinlah kami menuju kemenangan Rephaiem.” Kemudian Raphael
menarik pedangnya dan mengangkat itu serta berseru, katanya,
“Rephairiem! Majulah dan ambil tanahmu dari musuh-
musuhmu!” Bersoraklah para Rephaiem di sana dan mereka segera
bersiap untuk berangkat dari Padang Ariarum-Nor menuju Kota
Ardur.
Sementara itu, Mikhael, Sealtiel dan Gabriel telah tiba di
Ariar dan mereka memasuki kota itu. Barisan Seraphiem telah siap
di sana dan Mindruel sudah menyiapkan barisan itu. Berkatalah
Mikhael,
“Mindruel! Kita berangkat sekarang. Atur barisanmu dan
temui aku segera!” Masuklah Mikhael bersama para Agung ke satu
rumah kerja yang sudah disiapkan bagi mereka. Lalu Mikhael
membuka peta Tanah Barat dan melihat medan perang yang akan
ia hadapi. Sealtiel melihat keluar ke arah timur. Ia melihat ke
Padang Ariarum-Nor. Kemudian kata Sealtiel,
“Raphael akan segera menyerang kota itu, Serael. Barisan-
nya telah kuat dan terus bertambah jumlahnya. Aku masih melihat
para Rephaiem berlari dari arah utara ke sana. Rephairiem telah
benar-benar membangkitan kekuatan besar mereka.” Masuklah
Mindruel ke sana dan ia berlutut, katanya,
“Barisan telah siap, tuanku. Sebentar lagi barisan yang dari
Tanah Utara juga akan datang. Sebab tuan Bart-Archiel telah
mengirim kabar bahwa barisan yang di Utara sudah dikirimnya
pada kita. Apa kita akan melalui jalur barat? Para pengintai mem-
beri saran, supaya kita jangan terlalu dekat dengan Idarun. Kota itu
telah dipenuhi dengan kejahatan dan barisan musuh yang berdiam
di Tanah Ranting itu tidak seperti barisan lainnya.”
Mikhael masih terdiam melihat peta Tanah Barat itu. Kemu-
dian ia mempersiapkan dirinya, para Seraphiem pelayan melayani
dia dan mengenakan baju pelindung padanya. Kemudian berka-
talah Mikhael,
“Barisan yang dari Utara akan terlalu lama. Kita tidak dapat
menunggunya. Perintahkan seorang Seraph untuk menanti barisan
itu di sini. Dan bila mereka sudah datang suruh mereka menyusul

62
kita. Aku tahu bahwa memang Idarun adalah ancaman bagi kita
dan mereka bisa menyerang kita kapan saja bila kita maju ke Derie.
Karena itu aku telah memohon pada tuan Raphael untuk menjaga
punggung kita. Namun sekarang barisan Rephairiem telah bangkit
dan mereka pergi dari kita, mereka akan merebut Tanah Anggur.
Tidak akan ada yang mengawasi belakang barisan kita sekarang.
Maka aku memutuskan kita akan melalui jalur bukit-bukit. Aku
tahu ada jalan menuju Daria melalui bukit ini, Bukit Rarium, lalu
kita akan melewati satu bukit lagi. Dari sana kita akan diam-diam
lalu dari Daria dan masuk menyerang Derie. Bila hubungan kedua
kota itu telah terputus, kita akan dengan mudah berjalan terus ke
Selatan.” Heranlah Mindruel dan ia tidak mengerti apa yang
diinginkan Mikhael. Maka ia menjawab, katanya,
“Tuanku, barisanmu ini sudah tidak seperti yang kemarin.
Kita akan berjalan membawa dua ratus barisan sekarang dan dua
ratus barisan lain akan menyusul kita. Jalan di bukit-bukit barat ini
sangat kecil dan melalui jalur para penebang. Jalan yang dibangun
para Rephaiem di antara bukit-bukit ini tidak untuk dilalui malaikat
lain selain para Rephaiem sendiri. Jalannya yang sempit dan sulit
untuk dilalui, bahkan para Yehudiem yang pernah ke sana menga-
takan bahwa jalan itu tidak untuk dilalui. Karena itu mereka
menyebutnya jalur kambing gunung. Jalan di balik bayangan bukit-
bukit.” Mikhael terdiam dan tidak menjawab. Maka bangkitlah
Gabriel dan berkata,
“Saudaraku, apa yang engkau pikirkan ini? Aku pernah
mendengar tentang jalanan di bukit-bukit Barat sebelumnya. Kita
tidak dapat melaluinya. Aku tahu jalur yang engkau bicarakan itu.
Empat hambaku pernah tersesat di sana dan mereka terjebak cukup
lama di antara bukit-bukit.” Namun Mikhael menghampiri Gabriel
dan berkata,
“Katakan padaku, Gabriel. Adakah pilihan lain bagiku saat
ini? Lihatlah barisanku. Lihatlah para Seraphiem ini. Mereka
seharusnya berada di Selatan bersama saudara-saudara mereka dan
berjuang demi Tanah Seraphiem. Namun sekarang mereka ada di
sini bersamaku untuk memperjuangkan Tanah Rephaiem yang
tidak ada kaitannya dengan mereka. Semua karena sumpahku yang

63
harus kupenuhi. Apa engkau masih ingat barisan yang membantai
hamba-hambaku di Klenath? Bath-Pometh bukan barisan yang
main-main, saudaraku, engkau pernah melihatnya. Mereka dahulu
juga termasuk para Seraphiem. Bila harus melewati jalur barat,
Idarun membayangi kita dari belakang dan musuh dari Daria dan
Derie akan mengetahui kedatangan kita. Apa harus aku memimpin
mereka menuju kehancuran? Lihatlah aku, Gabriel. Lihatlah aku!
Adakah cukup kekuatan dalamku untuk melakukan semua itu?
Kita akan tetap melalui jalur di bukit-bukit dan terus samapi Derie
tanpa pertempuran. Tidak akan pertempuran yang kita hadapi
sebelum kita bertempur di Derie. Dari sana aku akan meneruskan
perjalanan melalui jalur bukit-bukit yang aman dan jauh dari
musuh. Dengan begitu kita akan lekas sampai ke Tanah Selatan.
Sekarang diamlah kamu sekalian dan dengarkan perkataanku.
Lakukan semua yang sudah kuperintahkan padamu.” Terdiamlah
Gabriel dan ia keluar dari sana. Sealtiel menyusulnya keluar
kemudian.

Pada waktu itu, di Selatan, di Kota Slunar, Tanah Sera-


phiem. Gissel telah ada di sana dan bertemu dengan hamba utusan
Gurim-Mahael. Hamba itu membawa surat pada Gissel dan
dibacanya surat itu. Dalam surat itu, tertulis: “Gissel, saat ini Tanah
Barat membutuhkan bantuan barisan Legiun. Lepaskanlah Tanah
Selatan dan bersama dengan kami kita mempertahankan Tanah
Barat ini. Sebab tuhan telah berdiam diri dan tidak ada pergerakan
dari Utara. Bahkan Sadhikiel, ia tidak mempersatukan barisan ini,
namun tetap juga berdiam di Utara. Bila engkau membantu kami,
kita dapat mempertahankan Tanah Barat dan menekan para
malaikat itu dan membuka lagi jalan kita ke Utara. Engkau dapat
mengambil seluruh Tanah Selatan, Tanah Rephaiem itu menjadi
milikmu. Juga seluruh tanah yang adalah milikku, boleh engkau
ambil. Kirim barisanmu ke mari dan kita akan menang. Perhatikan
juga Tanah Ranting, pengkhianat itu duduk dengan tenang di kota-
kota kita. Sekarang ini para Seraphiem telah mengambil kota-kota
penting di Tanah Barat. Tanah Roti telah jatuh, Rapharium, Araria
dan Ariar telah mereka kuasai. Pikirkanlah, Gissel. Kami tidak

64
dapat mengirim roti lagi bagi barisanmu. Bahkan sejak hubungan
dengan Tanah Utara terputus, barisan kita tidak dapat air lagi dari
Bore. Segala keperluan kita telah habis dan kita harus bersatu saat
ini. Salam bagimu, penguasa Selatan.” Apa yang terjadi dengan
barisan Legiun kemudian tidak diketahui.
Ada pula barisan Zaganar berdiam di Kota Ardur. Barisan
itu dipimpin Emeriel, merekalah yang mempertahankannya. Sebe-
lumnya bersama mereka ada kerabat-kerabat mereka yang juga
berdiam di sana. Barisan-barisan kuat, Jeizaibar dan Ranega.
Barisan yang dipimpin oleh Marphiel. Mereka adalah persekutuan
barisan Erviarath, hamba Luciel, para penguasa Tanah Barat.
Breftiel pemimpin Arthanag, salah satu dari mereka, sudah lama
meninggalkan persekutuan itu dan ia berdiam di Gruined dengan
aman. Dengan serangan yang terus menerus datang dari para
Seraphiem, barisan-barisan yang berkuasa di Tanah Barat itu terus
tertekan dan lari. Mereka tidak dapat menghadapi barisan Sera-
phiem karena mereka tidak bersatu. Karena serangan yang begitu
hebat dari para Seraphiem, para pemimpin hamba Luciel itu
memulai pertikaian di antara mereka dan saling mementingkan diri
sendiri. Kira-kira pada tahun delapan belas, setelah Tanah Barat
diserang para Seraphiem, para penguasa itu berkumpul untuk
membicarakannya. Ada pula Gurim-Mahel terhitung di antara
mereka. Tidak ada kepastian di mana mereka bertemu.
Dalam pertemuan itu terjadi perpecahan di antara mereka
karena serangan Seraphiem. Rapharium yang adalah milik
Marphiel, telah jatuh. Juga Araria telah jatuh. Maka barisan mereka
mundur ke Ardur. Berkatalah Marphiel, “Tanah-tanahku telah di-
ambil oleh para malaikat dan barisanku tidak dapat mempertahan-
kannya. Aku sudah memohon bantuanmu, namun tidak seorang
pun di antara kamu yang menjawabnya. Sekarang, kita harus
mempersatukan barisan ini dan merebut kembali kota-kota itu.”
Namun bangkitlah Breftiel dan berkata, “Aku tidak peduli dengan
kota-kotamu itu. Bukankah dua kota besar itu sudah menjadi ke-
kuasaanmu dan engkau yang menanggungnya? Mengapa sekarang
barisanku juga harus berjuang demi kekuasaanmu?” Begitu pula
dengan Emeriel, katanya, “Aku tidak ada urusan di Araria atau

65
Rapharium, Marphiel. Bukankah ada cukup barisan bagimu untuk
bertempur? Majulah dan serang para Seraphiem itu, ambil kembali
kota-kotamu.”
Mereka saling berseteru di sana. Tidak ada persatuan di
antara mereka. Yang mereka pikirkan adalah kekuasaan mereka
sendiri dan kota-kota yang sudah mereka kuasai. Bila milik sauda-
ranya diambil, mereka tidak datang untuk membantu. Itulah para
hamba Luciel. Lalu berkatalah Gurim-Mahael di sana, katanya,
“Tenanglah, saudara-saudaraku. Dahulu aku melihat Tanah Barat
dalam kekuasaanmu dan ketenangan ada di tanah ini. Sekarang
kamu saling melawan dan tidak membantu. Bila terus begini,
barisan malaikat akan mengalahkan kita dengan mudah. Breftiel,
engkau harus mengirim barisanmu membantu Marphiel merebut
kembali kota-kotanya. Tidak hanya engkau, namun juga seluruh
anggota persekutuan barisan Erviarath.” Namun Breftiel bangkit
dan berkata, “Akulah pemimpin Arthanag, tidak akan seorang
hamba pun keluar dari Gruined untuk bertempur merebut Araria
atau Rapharium.” Lalu ia pergi dari sana.
Perpecahan mereka tidak akan memperkuat barisan. Setelah
Ariar jatuh, Marphiel tidak memiliki tempat. Maka ia pergi ke
Ardur untuk berdiam di sana bersama barisannya. Emeriel me-
nyambut ia di sana sebagai pendatang dan mereka berdiam untuk
beberapa lama di sana. Emeriel adalah penguasa kota-kota di
barisan bukit Barat bagian timur. Namun Ardur adalah kota
terbesar miliknya dan menjadi kesukaannya. Sampai tiba saat
Rephairiem bangkit dan berkumpul di sebelah kota itu, di Padang
Ariarum-Nor. Gemparlah kota itu karena ancaman barisan Rephai-
riem. Berkatalah Emeriel pada Marphiel, “Engkau ada bersamaku
saat ini. Kita akan mempertahankan kota ini dari para Rephaiem
itu, saudaraku.” Namun Marphiel mengingat bahwa Emeriel tidak
membantu ia saat Rapharium, Araria dan Ariar diserang. Maka ia
bangkit dan menjawab, “Tidak seorang pun dari barisanku akan
mempertahankan kota ini. Aku akan pergi ke Selatan dan diam di
antara para Bath-Pometh.” Lalu pergilah Marphiel dari sana dan ia
berjalan ke Selatan. Itulah yang menjadikan Ardur lemah dan tanpa
pertahanan. Kotanya kosong dari barisan-barisan.

66
Itulah yang dilihat para pengintai Rephaiem yang diutus
Raphael. Mereka melihat bahwa para pendiam kota itu berlari
meninggalkan kota dan kota itu menjadi kosong. Tinggallah barisan
Zaganar di sana yang mempertahankan kota. Barisan itu pun tidak
penuh, sebab seluruh barisan Zaganar tersebar di kota-kota sebelah
timur bukit-bukit Tanah Rephaiem. Emeriel kemudian segera
memanggil dan mengumpulkan barisannya untuk mempertahakan
Ardur, namun Rephairiem sudah siap menyerang mereka. Raphael
dan Yehudiel sudah duduk di atas tunggangan mereka di depan
barisan Rephaiem. Saat itu memang masih ada para Rephaiem yang
belum siap untuk berangkat dan masih membersihkan tenda-tenda.
Namun sekalipun belum seluruh barisan siap, barisan yang sudah
siap cukup untuk merebut Ardur. Bertungganglah Raphael maju ke
kota itu, katanya,
“Kibarkan panji-panji barisan dan mulai berjalan. Yehudiel,
engkau akan menjadi saksi atas kekuatan Rephaiem. Majulah
Rephairiem!” Bergeraklah seluruh barisan itu, yang bertunggang
dan yang berjalan.
Sementara itu, di Ariar, barisan Seraphiem mulai memasuki
jalur kambing gunung, jalur di balik bayang-bayang bukit-bukit.
Jalan itu sempit dan para Seraphiem berjalan dengan hanya berjajar
tiga dan memanjang. Mikhael naik ke atas tunggangannya dan juga
memasuki jalan itu, ia bertunggang di tengah barisan, bukan di
depan. Berkatalah Mikhael pada Sealtiel dan Gabriel, katanya,
“Mari kita berangkat. Kosongkan kota ini dan biarlah para
Rephaiem menjaganya, sudah cukup bagi para Seraphiem merebut-
nya bagi mereka.” Lalu jawab Gabriel,
“Engkau tidak perlu mengatakan hal yang seperti itu,
Mikhael. Memang barisanmu telah merebut kota ini bagi para
Rephaiem. Dan mereka akan mempertahankannya tanpa engkau
mengatakan hal semacam itu. Perjalanan panjang sudah menanti
kita di depan. Masih ada kota yang harus engkau rebut setelah ini.”
Maka bertungganglah mereka bersama-sama. Mereka berangkat
dari Bukit Drulu, mengikuti jalur itu melalui hutan-hutan ke
Gunung Rarium, terus ke Gunung Rardum dan akan melalui Kota
Daria.

67
Di Selatan, pertempuran Tanah Seraphiem masih terus
berlangsung. Mahanael dengan barisan utama Seraphiem telah
menguasai beberapa tanah-tanah dan kota-kota. Di benteng kuat di
atas Gunung Slaire mereka berdiam. Dari sana mereka dapat me-
lihat jelas Kota Serael, hanya saja barisan Legiun berkemah menu-
tupi jalan ke sana. Datanglah para pengintai Seraphiem pada
Mahanael saat ia sedang duduk bersama Mondrael, katanya,
“Barisan yang dipimpin Frantiel akan segera datang. Para
Legiun menekan kuat di sebelah utara. Menurut Frantiel mereka
akan mengadakan usaha untuk merebut kembali benteng ini dan
Sarnos. Kota Mith sudah ada dalam kuasa kita dan sudah diper-
kuat. Saudara-saudara yang di sana menumpuk batu dan kayu
sebisa mereka untuk membangun tembok kota. Sementara jalan
menuju Kota Serael tertutup rapat. Barisan Legiun sangat tebal
menjaganya. Kita terkepung dari selatan dan utara, Mahanael.
Sedang barisan kita tidak dapat memenuhi tanah-tanah ini. Tidak
seluruh barisan dapat masuk, mereka terlalu banyak. Barisan besar
masih harus berdiam di Padang Serapha dan sekitaran Kota Sarnos
dan Mith.” Kemudian Mondrael memerintahkan pengintai itu
pergi. Berkatalah Mondrael pada Mahanael, katanya,
“Mahanael, apa yang dikatakan pengintai itu adalah benar.
Barisan Legiun yang menekan Frantiel akan mendekat pada kita
dari utara. Sementara barisan yang lain menjaga Kota Serael di
sebelah selatan kita. Benteng ini tidak dapat kita pertahankan bila
mereka menyerang dari dua arah. Kita tidak dapat masuk ke Kota
Serael dengan mudah sekalipun barisan kita besar jumlahnya.
Tidak cukup lebar jalan kita untuk membawa barisan besar ini.”
Maka kata Mahanael,
“Tuan Mondrael, aku menaruh hormat padamu sebab
memang engkau adalah hamba pembesar Seraphiem. Aku sendiri
tidak dapat memikirkan cara apa pun. Bagaimana dengan Kota
Surdhanya? Aku tahu tentang kota itu yang ada di selatan Gunung
Sraine, menurut tuanku, apa kita dapat merebutnya?” Kemudian
kata Mondrael,
“Bila aku yang memimpin barisan ini, aku tidak akan mem-
bawa barisan ini menyerang kota itu. Jalan terjal menuruni Gunung

68
Sraine akan sulit untuk dilalui barisan kita. Bila kita menuruni
gunung itu untuk menyerang kota, mereka akan melempari kita
dengan batu dan panah. Barisan ini tidak akan berhasil mencapai
kota.” Maka kemudian Mahanael mengeluarkan peta-peta dan
melihat. Dan ia mendapati bahwa Mondrael berkata benar.
Maka kemudian berkatalah Mahanael,
“Lantas apa yang harus kuperbuat saat ini, tuanku? Kiranya
masih ada kasih dari tuan padaku, berilah hikmat yang ada pada
tuan. Hamba telah mengangkat sumpah yang berat di hadapan
tuan besar Serael. Kiranya biarlah sumpah itu segera tergenapi,
tuanku.” Namun jawab Mondrael,
“Tentang merebut Tanah Selatan ini, adalah sumpahmu dan
tanggunganmu, Mahanael. Aku tidak akan membantumu untuk
menggenapi sumpah itu.” Maka terdiamlah Mahanael dan ia
menunduk. Lagi kata Mondrael,
“Aku tidak akan membantumu untuk menggenapi sumpah-
mu. Namun aku akan membantu bila memang ini tentang merebut
Tanah Selatan, rumah bagi para Seraphiem.” Mondrael mendekat
pada Mahanael dan menunjuk pada peta di depannya, katanya,
“Ada jalan luas menuju ujung Selatan. Kota terakhir, paling
Selatan di Tanah Seraphiem. Selanor, kota di balik bukit. Jalan
menuju ke sana sangat luas dan lebar. Barisan yang besar dapat
sampai dengan cepat dan tidak ada perkemahan Legiun mengha-
langi jalan itu. Bahkan menurutku, tidak ada barisan besar menjaga
kota itu. Maka bawalah barisan ini melalui Mith, di padang luas,
dekat Hutan Selatan. Musuh tidak akan melihat kita. Saat sampai di
sana, kita bantai mereka semua dan jangan ada yang lolos, supaya
Gissel tidak mengetahui bahwa kita telah menguasai Selanor. Jalan
menuju Kota Serael yang di selatan tidak dijaga, dari perbukitan
Arhanor, kita akan menyerang dua Kota bersaudara, Pahr dan
Phanto lalu ke Kota Serael.” Maka segeralah Mahanael bangkit dan
ia bersujud mengucap syukur. Lalu kata Mahanael,
“Baiklah bila demikian, tuanku. Argerel, katakan pada selu-
ruh barisan untuk bergerak ke Mith, kita akan langsung menuju
selatan, seperti yang engkau dengar sendiri dari tuan Mondrael.

69
Katakan pada barisan tiga puluh dan seluruh barisan besar. Kita
tinggalkan benteng ini.” Namun Mondrael bangkit dan berkata,
“Jangan kosongkan benteng, Mahanael. Taruhlah para Sera-
phiem yang mahir bertunggang. Dua puluh barisan saja. Biar
mereka tetap berada di benteng ini.” Mahanael terdiam dan tidak
mengerti.
Maka lagi kata Mondrael,
“Bila benteng ini kosong, musuh akan menaruh curiga pada
kita. Sebab mereka melihat pergerakan. Biarlah mereka menyangka
bahwa barisan kita masih berdiam di benteng ini. Dua puluh
barisan itu harus berdiri di atas tembok dan terus menampakkan
diri pada musuh, supaya para pengintai mereka tetap melihat
benteng ini dijaga. Dan bila mereka menyerang, para Seraphiem itu
akan dengan mudah lari meninggalkan benteng ini.” Maka dibuat-
lah semua itu seperti yang dikatakan Mondrael. Perlahan-lahan
para Seraphiem meninggalkan benteng di atas gunung itu dan
kembali ke Sarnos, lalu terus ke Mith. Sementara para penunggang
yang mahir dipilih dan diperintahkan untuk tetap berdiam di
benteng itu. Sesaat Mahanael meninggalkan benteng itu, ia merasa
berat, sebab ia merebutnya dengan susah payah dan benteng itu
memang baik. Maka Mondrael menghampiri Mahanael dan
berkata,
“Garnor, begitulah para Legiun menyebut benteng ini. Me-
mang ini salah satu benteng yang kuat yang mereka bangun untuk
menjaga jalur Herah. Setelah kita meninggalkannya, mereka yang
membangun benteng inilah yang akan menghancurkannya lagi.
Sebab mereka yang membangun benteng ini, harus merobohkannya
kembali ke tanah.” Lalu pergilah mereka dari sana. Barisan
Seraphiem utama, bergerak diam-diam dari Padang Serapha, ke
Mith dan melalui jalan padang yang luas di sebelah barat Hutan
Selatan. Seluruh barisan ada di sana, kekuatan penuh menuju ujung
selatan. Sejak saat itulah para Seraphiem menyebut pertempuran
mereka, pertempuran Norgabizahk, karena sebenarnya mereka
menyerang dari ujung Tanah Selatan.

70
Pertempuran di Tanah Anggur –
Pertempuran Erephagrunzar

Barisan Rephaiem telah berjalan dari Padang Ariarum-Nor.


Tidak perlu berjalan jauh dari sana untuk mencapai Kota Ardur.
Raphael dan Yehudiel yang bertunggang di depan barisan telah
melihat pemandangan kota yang akan mereka serang. Saat mereka
melihat kota itu, berkatalah Raphael di sana,
“Yehudiel, mungkin engkau pernah melihat kota ini sebe-
lumnya. Namun aku akan tetap memperkenalkannya padamu,
sebab sebentar lagi, kita akan bertempur untuk memperjuangkan-
nya. Engkaulah saksi barisan ini. Yehudiel, pemimpin Yehudiem,
Urapan Allah yang kudus, inilah Ardur, Gerbang Tanah Barat yang
luas. Kota akar anggur, Kraduria Gruin.” Kemudian segeralah
Raphael mengatur barisannya di sana dan mempersiapkan barisan
Rephairiem. Sementara Yehudiel masih terdiam melihat kebesaran
kota itu. Sebab sudah lama ia tidak melihat kota itu dan juga
barisan musuh telah membangun tembok bagi kota itu.
Berseru-serulah Raphael di depan barisannya, dan para
Jegaduriem meneruskan seruannya. Kata Raphael,
“Putra Sorga, malaikat Barat. Inilah saatnya bagi kamu
untuk bangkit dan bertempur bagi tanahmu, bagi kota-kotamu dan
bagi Sorga. Lihatlah musuhmu menanti kamu. Kekuatanmu telah
penuh dan tidak perlu aku berseru-seru untuk menguatkan kamu
dalam pertempuran ini. Satu hal yang kuminta padamu, hamba-
hambaku. Hilangkanlah kasih di dalammu dalam pertempuran ini.
Jangan sisakan musuhmu sebagai tahanan. Hancurkan mereka
selagi kamu dapat. Bila tergerak kamu oleh belas kasihan, ingatlah
apa yang mereka perbuat pada saudara-saudaramu di Selatan.
Ingatlah apa yang mereka lakukan pada barisan ini di Tanah Altar.
Dan ingatlah bahwa mereka telah merusak tanah-tanahmu! Kibar-
kan panji-panji dan ikat itu pada tombak-tombak panjangmu!
Majulah Rephairiem!” Bersorak-soraklah barisan itu. Raphael
kembali bersanding dengan Yehudiel dan katanya,

71
“Aku harap engkau bersemangat dalam membantai musuh
kita, Yehudiel. Di masa-masa ini, seperti yang dikatakan para
Malaikat Agung, cukup sulit mencari penghiburan di masa perang.
Hanya inilah penghiburan bagi kita, membantai musuh!” Tertawa-
lah mereka dan mereka menghunus pedang bersama-sama. Lalu
kata Yehudiel,
“Pedangku bersamamu, Raphael. Kiranya saat ini aku akan
melihat, Tangan Allah yang kuat akan mencabik dan menyerakkan
musuhnya di kota perbatasan Tanah Barat.” Bersoraklah mereka.
Lalu sangkakala barisan-barisan ditiup sampai tanah bergetar dan
debu berterbangan.
Berserulah Raphael,
“Kirimkan Rephairiem pada musuh mereka!” Bersorak
barisan itu dan mereka berlari maju ke kota. Raphael tidak me-
ngatur barisan itu dengan rencana-rencana. Mereka hanya berlari
bersama-sama menuju tembok kota dan hanya ada satu rencana;
hancurkan musuh. Barisan yang dipimpin Emeriel, merekalah yang
mempertahankan kota. Sedang saat itu barisan bantuan yang
diminta Emeriel tidak menjawab dan tidak ada yang datang.
Saudara-saudaranya meninggalkan ia di Ardur dan menyerahkan
ia pada barisan Rephairiem. Ketakutanlah Emeriel itu dan ia naik ke
atas tunggangannya lalu pergi dari sana. Namun ada seorang ham-
ba setianya, hambanya yang biasa bersama ia dan melindungi
Emeriel dalam pertempuran. Dialah yang disebut Ekhinel. Saat
Emeriel lari dari pertempuran, hambanya itulah yang bangkit dan
berseru-seru mengumpulkan barisan yang ada. Ia memimpin
barisan itu keluar dari kota dan berbaris di depan tembok kota.
Sebab katanya, “Bila mereka membantai kita dalam kota, tidak ada
jalan bagi kita untuk lari. Lebih baik kita bertempur di luar tembok
ini. Sebab tembok ini terlalu besar dan panjang. Tidak cukup jumlah
kita untuk menjaga tiap sudut tembok kota.” Maka barisannya
segera dibawanya keluar dan mereka berbaris di depan tembok
kota.
Raphael telah melihat pemimpin muda itu, hamba Emeriel,
pengikut Luciel. Ia melihat Ekhinel itu bertunggang di depan ba-
risannya dan berseru-seru untuk tetap bertahan menghadapi

72
barisan Rephairiem, sekalipun jumlah mereka tidak sebanding.
Terjadilah pertempuran terbuka di sana. Barisan Rephaiem dengan
mudah menekan musuh dan mereka saling bertempur tanpa ada
batasan barisan. Sebab kedua barisan itu telah tercampur baur dan
saling membantai. Yehudiel dengan pedang kuatnya, ia menekan
musuh kembali masuk dalam kota dan ia turut masuk ke sana
bersama barisan yang mengikutinya. Yehudiel membantai banyak
dalam kota itu dan tidak membiarkan seorang pun keluar dari
gerbang mereka masuk. Lehimael, memimpin barisannya menutup
jalan ke utara. Sedang Elcuriel menutup jalan ke selatan. Barisan
Melhuriel siap di belakang barisan Raphael dan menutup jalan ke
barat. Tidak ada jalan ke timur, sebab mereka bertempur di sebelah
barat kota.
Pembantaian yang hebat dilakukan para Rephaiem di sana.
Kemenangan sudah ada di pihak mereka dan Raphael mengangkat
panjinya dan bersorak-sorak. Namun tiba-tiba terdengarlah suara
pemimpin barisan musuh. Ekhinel, ia bangkit di antara pertem-
puran dan membentuk ulang barisannya. Pedangnya teracung pada
Raphael yang tengah bersorak-sorak dan ia berkata, “Hancurkan
pemimpin mereka. Mari kita serakkan kembali suku ini dari tanah-
nya!” Dengan barisan yang bentuk ulang, majulah ia lurus tepat
pada Raphael. Sedang Raphael tengah mengangkat panji dan
bersorak-sorak karena ia yakin sudah memenangkan pertempuran.
Tiba-tiba dari atas tembok kota, muncul para pemanah dan para
pelempar lembing. Mereka membidik benar-benar dan membuka
jalan bagi Ekhinel dan barisannya menuju Raphael. Barisan itu
bergerak dengan cepat ke arah Raphael dan tidak ada yang
menghalanginya. Para Rephaiem yang memutuskan untuk berdiri
pada jalannya menuju Raphael, akan dihujani dengan panah dan
lembing.
Saat itulah Raphael menoleh dan melihat suatu barisan
sedang berlari ke padanya di tengah pertempuran. Dan saat itulah
Raphael melihat, bahwa barisan Ranega tidak mudah untuk dija-
tuhkan. Baru Raphael hendak menarik tunggangannya untuk
berlari menghindar, majulah Ekhinel di depan barisan itu dengan
membawa palu besar. Ia memukul badan kerbau padang tungga-

73
ngan Raphael. Terpentallah hewan tunggangan itu dengan Raphael
di atasnya. Terguling ia dan Raphael terseret. Melhuriel yang meli-
hat itu, segera maju dan menghadapi barisan Ekhinel muda.
Namun sudah terlambat. Barisan bentukkan Ekhinel tidak dapat
berhenti, mereka terus berlari sekalipun harus menyambut kapak
dan pedang para Rephaiem. Bangkitlah Raphael dari jatuhnya dan
segera ia mengambil pedangnya.
Terjadilah pertarungan antar pemimpin barisan di sana.
Raphael bertemu dengan Ekhinel dan mereka saling memukul de-
ngan pedang dan palu. Bertarung tanpa mempedulikan kemena-
ngan atau kekalahan. Hanya pertarungan itu yang akan menen-
tukannya. Raphael telah bertarung dengannya, namun Ekhinel itu
lincah dan pandai menghindar, sekalipun ia membawa palu yang
berat. Karena Ekhinel selalu luput dari pedang Raphael, maka
Raphael menendang ia sampai terseret di tanah lalu terjatuh. Ekhi-
nel tertendang dan tubuhnya menghantam tunggangan Raphael
yang tergeletak di tanah. Itulah saat yang menjadi tragedi dalam
pertempuran di Ardur dan Raphael tidak pernah melupakannya.
Ekhinel menoleh pada tunggangan Raphael dan ia melihat karung
berisi pedang-pedang yang masih tersarung.
Bangkitlah Ekhinel dan mengambil salah satu pedang itu
dan menghunusnya. Dirasanyalah kekuatan pada pedang itu dan ia
tidak sanggupp menanggungnya. Berteriaklah Raphael melihat
bahwa musuhnya lancang mengambil salah satu pedang berkuasa
yang dijaganya. Ia berlari dan segera menghampiri Ekhinel untuk
memisahkan kepalanya dari tubuhnya. Namun sebelum Raphael
sampai padanya, Ekhinel berkata dengan memegang pedang itu,
katanya, “Aku adalah Ekhinel dari Altar Allah yang kudus. Tidak
ada kuasa yang dapat memberatkan aku untuk menggunakan pe-
dang ini. Bila pedang ini menyelamatkan aku dari pedang Raphael,
aku akan mengabdi padanya.” Maka tiba-tiba pedang itu menjadi
ringan dan ia mengangkat pedang itu lalu menahan ayunan pedang
Raphael. Cahaya seperti kilat terpancar dari benturan dua pedang
itu dan tekanannya mendorong Raphael dan Ekhinel saling men-
jauh. Berkatalah Raphael,

74
“Oh, Tuhanku Allah, jauhkanlah kiranya pedangmu itu dari
tangan musuhku. Dia adalah kekejian bagi pedang tempaan tangan-
Mu.” Raphael menyarungkan pedangnya dan ia menarik Palu
Allah, Dragam-Leon dari jubahnya.
Sedang Ekhinel masih terheran-heran dengan kekuatan
pedang yang ada pada tangannya. Baru ia tahu saat itu bahwa
pedang yang ia ambil dari tunggangan Raphael adalah senjata
pusaka. Maka ia tersenyum dengan lebar dan mengangkat pedang
itu untuk menghadapi Raphael. Sedang Raphael telah bangkit
murkanya dan ia berlari menuju Ekhinel itu dengan Palu Allah di
tangannya, diayunkan palu besar itu pada tubuh Ekhinel. Maka
Ekhinel menggunakan pedangnya untuk menahan pukulan
Raphael. Namun kekuatan pada Palu Allah lebih besar, maka tidak
sanggup ia menahannya dan ia terpental menembus pertempuran.
Tubuhnya terluka karena pukulan Raphael, namun ia tetap bangkit
lagi. Lalu Ekhinel memandang Raphael dari kejauhan dalam per-
tempuran itu dan ia lari dari hadapan Raphael. Melihat bahwa
musuhnya berlari dari padanya dengan membawa salah satu
pedang berkuasa, berserulah Raphael pada Elcuriel, katanya,
“Elcuriel! Hancurkan dia yang berlari ke barat. Dia yang
membawa pedang itu! Tahan dia!” Menolehlah Elcuriel dan ia
melihat bahwa ada pemimpin barisan musuh membawa pedang
berkuasa. Segera Elcuriel berlari menembus pertempuran untuk
menahan Ekhinel itu. Namun sudah terlambat. Ekhinel mengguna-
kan pedang itu dengan segala kuasanya. Ia memukul para Repha-
iem yang menghalangi jalannya dan menghancurkan banyak sekali
Rephaiem di sana. Di antara pertempuran itu, ia mengambil hewan
tunggangan dan pergi dari sana dengan berseru menarik mundur
barisannya.
Tidak ada yang siap mengejar dia. Ekhinel telah luput dari
pertempuran itu dengan membawa salah satu pedang berkuasa.
Barisan musuh lari dari sana dan meninggalkan para Rephaiem.
Mereka bertempur hampir dua Shakta di sana. Ketika melihat
bahwa kemenangan telah diraih, bersoraklah para Rephaiem itu
dan berlari masuk dalam kota. Mereka membantai musuh yang
masih tertinggal di dalam kota itu. Para Rephaiem dipenuhi suka-

75
cita kemenangan. Namun Raphael, ia terduduk di atas tunggangan-
nya yang telah hancur dan menundukkan kepalanya. Sebab ia kehi-
langan satu pedang lagi, yang seharusnya ia jaga. Elcuriel mengerti
apa yang terjadi pada Raphael. Maka ia mendekati Raphael dan
berkata,
“Raphael, biarlah ia pergi. Hal ini bukanlah karena engkau
tidak sanggup menjaga pedang itu. Namun memang ia telah
mengambilnya dari padamu dengan cara yang tidak baik. Kita akan
merebutnya kembali.” Namun Raphael tetap terdiam dan memikir-
kan itu. Lalu kata Raphael,
“Elcuriel, aku adalah yang dipercayakan untuk membawa
pedang-pedang itu sampai tuan-tuan pedang itu ditentukan. Lihat-
lah ia menggunakan pedang itu menembus barisan Rephaiem dan
dengan mudah pergi. Ia membantai hamba-hambaku dengan
pedang itu. Jahanam dia. Kita harus mengejarnya, Elcuriel, carikan
aku tunggangan!” Raphael berniat untuk mengejar pedang itu,
sedang Yehudiel ada di dalam kota bersama para Rephaiem
merayakan kemenangan mereka di sana.

Pada saat itu, Mikhael, Sealtiel dan Gabriel masih dalam


perjalanannya. Tengah mereka bertunggang, tiba-tiba berkatalah
Gabriel, katanya,
“Sesuatu terjadi di Ardur. Sesuatu yang tidak seharusnya
terjadi. Raphael.” Maka Mikhael memandang Gabriel dan berkata,
“Apa maksudmu, Gabriel? Apa yang terjadi di Ardur?
Bagaimana engkau mengetahuinya?” Maka jawab Gabriel,
“Raphael telah berdoa dan aku mendengarnya. Aku takut
ini hal buruk, Mikhael. Haruskah kita memutar dan menyusul
mereka di Ardur?” Namun Sealtiel berkata,
“Kita sudah jauh masuk dalam jalur sempit ini, Gabriel.
Setengah perjalanan lagi kita akan sampai. Tidak mungkin memutar
arah kembali, lalu bertunggang ke Ardur. Apa yang sebenarnya
terjadi? Apa yang engkau dengar darinya?” Gabriel terdiam lalu ia
menulis doa itu dan melipatnya, disimpannya doa itu dalam kan-
tungnya. Kemudian kata Gabriel,

76
“Mengenai doanya, adalah menjadi urusanku. Namun hal
yang aku takutkan, musuh mengambil salah satu pedang berkuasa
dari Raphael.” Terkejutlah Mikhael dan Sealtiel. Lalu Mikhael
memerintahkan barisannya untuk berhenti dan beristirahat.
Lalu Mikhael membawa Gabriel ke tempat sepi di antara
pepohonan bersama Sealtiel. Lalu kata Mikhael,
“Bagaimana bisa musuh mengambil pedang yang dijaga
Tangan Allah? Masakan Rephairiem kalah dalam pertempuran dan
musuh menjarahi mereka?” Lalu kata Gabriel,
“Aku tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi, saudara-
ku. Namun dari doanya yang kudengar, hal itu yang kutakutkan.
Mungkin memang sebaiknya kita kembali ke Ariar dan bertung-
gang ke Ardur, Mikhael.” Kemudian kata Mikhael,
“Kita tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi pada Raphael.
Dari pada harus kembali, baiklah kita mengirim utusan ke sana
untuk melihat.” Tengah mereka berbincang, tiba-tiba muncul tujuh
orang mengelilingi mereka. Pedang telah teracung dan tertodong
pada wajah para Agung. Kemudian salah satu dari antara peno-
dong itu berkata,
“Apa yang engkau ketahui tentang Tangan Allah?” Terhe-
ranlah para Agung dan mereka tidak mengerti apa yang sedang
terjadi. Mikhael dan Sealtiel perlahan hendak menarik senjata
mereka. Namun orang yang menodongnya berkata,
“Tarik pedangmu itu dan akan kubelah wajah cantikmu itu,
kernelu!” (Kernelu : Pengembara/Orang yang melalui suatu jalan
/Pendatang/Orang asing yang melewati jalan yang bukan
daerahnya) Maka berkatalah Mikhael,
“Tenanglah dahulu, saudara. Kami tidak datang untuk
mengancammu atau menyerang daerahmu. Bukalah penutup
wajahmu dan katakan siapa engkau? Di pihak mana kamu berdiri?”
Namun tidak seorang pun menjawab Mikhael.
Sedang waktu itu, Raphael telah mendapat tunggangan
baginya dan ia segera naik dan memacu tunggangannya. Para
penunggang yang ada mengikuti dia bersama dengan saudara-
saudara Raphael. Kira-kira sembilan barisan penunggang banyak-
nya. Raphael segera mengejar pengikut Luciel yang telah mengam-

77
bil pedang dari padanya, Ekhinel itu. Tanpa berpamit atau memberi
kabar pada Yehudiel, ia pergi dari antara barisan dan bertunggang
ke arah selatan. Yehudiel telah bersorak bersama para Rephaiem
dan mereka bersukacita dalam kota. Kemudian berserulah Yehudiel
di sana, katanya,
“Di mana dia? Di mana Tangan Allah yang telah membawa
kamu pada kemenangan? Di mana saudaraku itu?” Yehudiel tidak
mendapati Raphael ada di sana. Maka berlarilah ia menembus kera-
maian para Rephaiem dan mencari Raphael di seluruh kota itu.
Baru beberapa lamanya, datanglah seorang Rephaiem dari luar
tembok kota mendapati Yehudiel. Kemudian katanya,
“Tuan Yehudiel, tuan Raphael telah pergi ke arah selatan
bersama barisan para penunggang. Mereka mengejar musuh yang
berlari. Saudara-saudara tuan Raphael juga turut bersamanya. Kare-
na tuan satu-satunya yang paling berkuasa di antara kami, apa yang
harus kita lakukan sekarang?” Terdiamlah Yehudiel dan ia tidak
mengerti. Maka katanya,
“Raphael mengejar musuh? Bukankah kota ini adalah yang
terpenting? Apa yang ia pikirkan hingga harus mengejar musuh?”
Lagi kata Yehudiel,
“Siapkan barisan yang masih sanggup berlari. Rawat yang
terluka dan urus semua jarahan. Semua Rephaiem yang masih
sanggup berlari dan bertempur, berkumpul padaku, kita akan me-
nyusul tuan Raphael.” Segeralah Yehudiel berlari ke luar kota dan
mengumpulkan barisan Rephaiem.
Sementara itu, Raphael bertunggang dengan cepat dan ia
menyusul barisan musuh yang berlari dari padanya. Berserulah
Raphael dengan mengangkat pedang, katanya,
“Bantai mereka! Jangan sisakan satu pun! Cari pemimpin
barisan itu dan serahkan ia padaku!” Maka para Rephaiem itu sege-
ra memacu tunggangan dan mulai membantai musuh yang berlari
dari mereka itu. Namun jumlah musuh itu ada banyak sehingga
para Rephaiem pun kewalahan membantai mereka dan mencari
orang yang dimaksudkan Raphael. Namun mereka terus mengejar
dan membantai mereka. Datanglah Elcuriel menyandingi Raphael
sambil mereka bertunggang. Kemudian kata Elcuriel,

78
“Ralph, kita akan sampai ke tanah yang masih dikuasai
musuh. Barisan ini berlari ke Daria. Sulit membantai mereka yang
sedang berlari dan mencari pembawa pedang itu. Sebelum kita
menemukannya, tentu kita sudah memasuki Daria. Barisan ini tidak
cukup kuat untuk pertempuran selanjutnya. Lepaskan saja dia.”
Namun kata Raphael,
“Tidak seorang pun kembali ke Ardur tanpa perintahku.
Kita akan terus mengejar. Tetap cari dia, Elcuriel. Bantai mereka
semua!” Teruslah mereka mengejar.

Pada waktu itu, di dalam hutan bukit-bukit. Mikhael, Seal-


tiel dan Gabriel tengah dikepung orang-orang yang tidak dikenal
dan tidak mereka ketahui. Mereka membawa para Agung menjauh
dari barisan Seraphiem yang ada di jalur kambing itu dan masuk
lebih dalam ke pohon-pohon hutan. Kemudian mereka menggele-
dah para Agung dan mengambil semua persenjataan yang ada pada
para Agung. Mikhael didudukkan dan disandarkan pada sebuah
batu dan belati salah satu orang itu bersandar di wajahnya. Gabriel
ditidurkan tengkurap di tanah dan seseorang duduk di atas pung-
gungnya dengan membawa pedang. Sealtiel mereka ikat pada suatu
pohon besar. Pemimpin orang-orang itu berkata pada Mikhael,
katanya,
“Ada urusan apa tiga ratus barisan Seraphiem melalui jalur
sempit ini? Siapa pemimpin barisan itu?” Kemudian kata Mikhael,
“Berilah jawaban atas pertanyaanku dan aku akan memberi
jawaban padamu, makhluk hutan!” Lalu orang itu mendekatkan
wajahnya pada wajah Mikhael dan berkata,
“Kami bukanlah makhluk hutan. Kami adalah malaikat. Dan
sepertinya aku tidak asing dengan wajahmu. Baiklah, satu perta-
nyaan dan engkau harus menjawabnya, Seraph. Atau teman Jegudi
pencatat doa ini akan kehilangan tangan emasnya. Di pihak mana
engkau berdiri. Sebaiknya engkau tidak menjawab salah kali ini.”
Terdiamlah Mikhael dan ia berpikir. Sebab ia takut bila malaikat-
malaikat itu adalah pengikut Luciel, dan saat Mikhael menjawab ia
di pihak Sorga, mereka akan menghancurkannya di sana. Maka
Mikhael menguatkan dirinya dan berkata,

79
“Engkau tidak tahu pada siapa engkau bicara, malaikat
hutan! Dan juga, tangan saudaraku itu adalah tembaga gilap, bukan
emas. Dari tanganmu, menurutku mungkin engkau adalah Repha-
iem, atau bekas Rephaiem. Akulah Serael, Cahaya Sorga. Cahayaku
tepat di sebelah kanan Bintang Timur. Pemimpin Tentara Sorga dan
ya, aku ada di pihak Sorga. Jegudi yang engkau bicarakan adalah
Jegudiel, Suara Allah. Dan saudaku yang engkau ikat di dahan
pohon itu, dialah Dupa Allah, Sealtiel. Kurasa engkau melakukan
sedikit kesalahan dalam mengikat saudaraku yang satu itu.” Kemu-
dian ketika mereka menoleh pada pohon tempat mereka mengikat
Sealtiel, hilanglah Sealtiel dari tempatnya dan talinya terjatuh di
tanah.
Sebab para malaikat itu mengikat Sealtiel pada bagian tubuh
atasnya. Saat mereka sibuk menanyai Mikhael dan menjaga Gabriel,
Sealtiel memanaskan tubuhnya dan bagian atas tubuhnya menjadi
asap, lepaslah ia dari ikatan itu. Tercenganglah para malaikat yang
menyandra para Agung itu. Lalu tiba-tiba Sealtiel muncul dari balik
pohon dengan membawa batang kayu. Ia memukul para malaikat
penyandra itu dan mengalahkan mereka. Segeralah Sealtiel
mengambil belati dan memotong ikatan tangan Mikhael. Lalu
mereka berdua mengambil pedang dan menodongkan pedang itu
pada para malaikat yang sudah dikalahkan Sealtiel. Mikhael me-
narik penutup wajah pemimpin para malaikat itu dan benarlah itu
seorang Rephai. Sealtiel menengkurapkan para malaikat itu di
tanah. Dan Gabriel duduk di atas salah seorang yang tadinya
menduduki dia, katanya,
“Aku rasa kamu sekalian ini perlu banyak belajar dan
mengenali para Malaikat Agung. Masakan kamu tidak mengenali
wajah Serael atau wajahku? Bila kamu tidak mengenali wajah
Sealtiel, itu pantas saja.” Lalu kata Sealtiel,
“Aku tahu tidak akan ada yang mengenali wajahku, Jegu-
diel. Memang aku tidak memiliki wajah. Namun untuk apa engkau
bicara seperti itu? Awasi saja mereka dan jangan sampai ada yang
lepas.”
Mikhael kemudian menarik pemimpin para malaikat itu dan
ia menyandarkannya pada batu dan kata Mikhael,

80
“Mulailah berbicara, malaikat hutan!” Lalu menjeritlah
malaikat itu dan berkata,
“Sungguh ampuni kami tuanku, kami tidak mengerti bahwa
tuan-tuan ini adalah para Malaikat Agung. Aku adalah Helanael
dan aku bukan pengikut Luciel jahanam. Kami adalah para Repha-
iem dari Selatan. Dia yang diduduki oleh tuan Jegudiel adalah
saudaraku, Erenel, yang tertua. Kemudian yang di ujung adalah
yang kedua, Hirnael. Aku yang ketiga. Dua yang menggunakan
penutup kepala adalah Giftael dan Evigel, pejuang terbaik kami.
Sisanya adalah Genael dan Gananel bersaudara. Kami adalah para
Rephaiem yang terpisah dari tuan kami, tuan Raphael.” Maka
Mikhael melepaskan mereka dan mendudukkan mereka semua.
Para Rephaiem itu bersujud di depan para Agung dengan mukanya
sampai ke tanah. Mereka benar-benar meminta pengampunan kare-
na telah menodong pedang para para Agung. Namun Mikhael
melarang mereka bersujud dan para Agung sudah mengampuni
mereka semua.
Setelah para Rephaiem itu merasa benar-benar sudah diam-
puni, bangkitlah mereka. Lalu berkatalah Gabriel, katanya,
“Baik sekarang pimpinlah jalan kami kembali pada barisan
Seraphiem, yang dari sana kamu menarik kami.” Maka para Repha-
iem itu memimpin jalan di antara hutan dan membawa para Agung
kembali pada barisan Seraphiem. Sedang saat itu, Mindruel telah
kebingungan mencari Mikhael dan para Agung yang menghilang
begitu saja. Lalu datanglah ia pada Mirkandruel dan berkata,
“Saudaraku, ke mana para Agung pergi? Kita terlalu lama
berdiam di sini. Engkau tahu, bila kita terus berdiam musuh dapat
menemukan kita dengan tidak sengaja.” Kemudian jawab Mirkan-
druel,
“Aku tahu bahwa para Agung menghilang. Namun tetaplah
bersikap tenang, Mindruel. Kita adalah pemimpin barisan ini bila
tuan Serael tidak bersama kita. Jangan membuat keramaian di
antara barisan. Jangan sampai mereka mengira bahwa para Agung
telah meninggalkan kita sesaat sebelum pertempuran.” Lalu mereka
mencari para Agung, namun dengan diam-diam saja. Belum bebe-
rapa lama, datanglah dua ratus barisan Seraphiem lain menyusul.

81
Yaitu barisan yang dari Utara, yang diutus Bart-Archiel untuk
membantu barisan Mikhael.
Maka kemudian Mirkandruel memerintahkan mereka untuk
duduk dan beristirahat juga di sana. Beberapa lamanya, barisan itu
mulai saling bertanya-tanya mengapa mereka tidak lekas bergerak.
Namun para pemimpin hanya berkata: “Tenang dan tunggu perin-
tah.” Maka tetaplah barisan itu beristirahat di sana. Pada waktu itu
para Agung tengah dalam perjalanan mereka kembali ke jalan jalur
kambing, tempat para Seraphiem berada. Berkatalah Mikhael pada
para Rephaiem yang bersamanya, katanya,
“Helanael, bila engkau dan kawan-kawanmu ini bukan
pengikut Luciel, lantas mengapa engkau ada di sini? Bukankah
tuanmu Raphael telah mengumpulkan barisan Rephairiem? Aku
mendengar kabar-kabar, bahwa Herberom telah ditiup dan me-
manggil seluruh Rephaiem yang setia pada Raphael.” Kemudian
jawab Rephai itu,
“Tuanku, ampuni aku bila tuan mendapati kami seperti ini.
Sebelumnya, aku belum pernah mendengar Herberom yang tuan
katakan itu. Tidak ada yang mempersatukan suku ini kembali dan
kami telah terserak, tuan. Barisan Rephairiem yang kuat telah terpe-
cah dan kalah dari barisan Bargathron saat kami di Araria. Tidak
ada Rephairiem lagi sejak saat itu, tuan.” Namun kemudian Gabriel
berkata,
“Ada satu sangkakala. Tanduk minyak yang telah kering,
minyak yang mengurapi Tangan Allah dan membangkitkan ia di
Tanah Altar. Rephairiem telah dibangkitkan oleh Tangan Allah,
Helanael. Seharusnya engkau dan kawananmu ini kembali pada
tuanmu. Sebab sangkakala Herberom akan memanggil seluruh
Rephaiem yang setia pada tuannya. Bila engkau tidak mendengar
sangkakala itu, aku bertanya padamu; adakah kesetianmu pada
tuanmu?” Kemudian Mikhael dan Sealtiel telah siap mencabut
pedang dan siap membantai para Rephaiem itu. Bila terbukti
mereka bukan di pihak Sorga.
Namun kemudian, berkatalah Rephai itu,
“Mungkin kami dapat dikatakan tidak setia pada tuan kami.
Namun sebenarnya, kesetiaan itu tidak akan lepas dari tubuh ini,

82
tuanku. Saat terakhir aku melihat barisan Rephairiem, aku ada
menjadi bagian barisan itu. Begitu pula dengan semua yang ada di
sini, saudara-saudara dan kerabatku. Namun barisan yang kami
lawan sangat kuat dan mengacaukan barisan kami di Araria. Tuan
Raphael memerintahkan supaya barisan Rephairiem ini berkumpul
padanya dan lari ke Tanah Jegudiem. Namun di tengah-tengah per-
tempuran, siapa yang dapat berpikir? Yang kami pikirkan hanyalah
selamat dari pertempuran mengerikan itu. Sebab saat ini sangat
banyak yang hancur, sangat banyak yang terluka. Rephairiem telah
dijatuhkan. Maka terpencarlah kami dan terpisah dari tuan kami
Raphael. Itulah terakhir kali aku mendengar suara tuan Raphael
dan aku merindukannya, begitu pula kami semua. Kami berlari
secepat mungkin ke Ariar, sebab banyak saudara Rephaiem lain
yang berlari ke sana. Namun saat kami sampai, kami telah terlam-
bat. Para Rephaiem yang berdiam di Ariar telah meninggalkan kota
itu dan meninggalkan kami.
Kami tidak tahu ke mana saudara-saudara kami itu pergi.
Namun kami mendengar suara barisan musuh yang mengejar kami
ke Ariar. Sesaat aku melihat, para Rephaiem berlari ke Idarun,
namun tidak mungkin kami berlari menyusul mereka, sebab musuh
tepat di belakang punggung kami saat itu. Maka aku memimpin
barisan yang ada bersama aku dan kami lari melalui jalur kambing
yang tuan lalui itu. Kami berencana untuk ke Daria dari sana dan
mencari perlindungan bersama saudara-saudara yang lain.” Lalu
terdiamlah hamba itu. Maka berkatalah Mikhael,
“Engkau berkata tentang barisan. Bukankah itu berarti sebe-
narnya kamu bertujuh ini tidak sendiri saat berlari ke mari?” Lalu
salah satu Rephai yang juga di sana, saudara Helanael, Erenel
menjawab, katanya,
“Ampuni aku bila berani menjawab tuanku. Namun sauda-
raku ini telah banyak menanggung beban dan kenangan pertem-
puran terus mengikutinya. Memang tidak hanya kami yang berlari
dari Ariar. Ada enam ribu barisan bersama kami saat itu. Mereka
masih ada dan selamat sampai sekarang dan tinggal bersama kami.
Karena kami berlari meninggalkan tuan kami Raphael, mungkin

83
sejak saat itulah kami melanggar sumpah setia dan layak untuk
dikutuk.” Namun kemudian kata Mikhael,
“Sesungguhnya aku berkata padamu, kamu luput dari se-
gala kutuk. Sebab engkau dianggap tidak setia karena tidak mema-
tuhi perintah tuanmu, namun kamu tidak bangkit melawannya.
Maka kesetiaanmu itu masih ada, namun tuanmu telah melupa-
kannya. Karena itu kamu tidak mendengar Herberom. Katakan di
mana enam ribu barisan itu, mereka yang selamat bersamamu dari
pertempuran.” Maka lagi kata Helanael,
“Tidak jauh dari sini, tuanku. Satu belokan memutar gu-
nung dan tuan akan melihat tempat persembunyian kami.” Lalu
sampailah mereka dekat barisan Seraphiem. Berkatalah Mikhael,
“Helanael, aku tahu engkau masih setia pada tuanmu. Eng-
kau akan dipanggilnya, juga seluruh barisan yang engkau katakan.
Bawalah kami pada tempat persembunyianmu itu, supaya kami
mendapat tempat di antara kamu. Mengenai tuan Raphael, seperti
yang sebelumnya kami bicarakan, sebelum engkau menarik kami ke
dalam hutan. Tuanmu Raphael sedang memimpin barisan Rephai-
riem menyerang Ardur. Di sanalah ia berdoa dan membuat kami
memikirkannya dan ingin tahu bagaimana keadaanya di sana.
Namun kami harus terus bergerak maju menyerang Daria dari
sini.” Mikhael menceritakan rencanannya pada para Rephaiem itu
dan menceritakan bagaimana barisannya memilih melalui jalur
kambing.
Lalu kemudian bersamalah mereka bergabung dengan
barisan Seraphiem. Mirkandruel dan Mindruel segera mendapati
Mikhael di sana. Kemudian katanya,
“Tuanku, kami mencarimu ke mana-mana. Barisan telah
gelisah tuan. Ampuni kiranya saudaramu ini yang bertanya, siapa
Rephaiem yang bersama tuan Sealtiel dan tuan Jegudiel itu?” Maka
kata Mikhael,
“Tenanglah, aku sudah di sini sekarang. Siapkan barisan
untuk melanjutkan perjalanan. Kita telah berdiam lama di sini. Aku
lihat barisan dari Utara telah datang. Perkenalkanlah juga dirimu
pada para Rephaiem itu.” Maka kemudian berjalanlah mereka.
Namun setelah perhentian itu, para Agung bertunggang di depan

84
barisan dan tujuh Rephaiem yang mereka temui di hutan berjalan
bersama para Agung. Sebab Mikhael masih ingin terus menanyai
tentang para Rephaiem.
Kemudian berkatalah Helanael itu, katanya,
“Sebenarnya tuanku tidak akan kesulitan menemukan tem-
pat persembunyian kami. Dengan mengikuti jalan ini saja, tuan
akan mendapatinya. Tuanku, kami telah lama berdiam di sini dan
kami membuka jalan baru menuju timur, melalui hutan-hutan kami
membuka jalan. Dari sana akan membawa tuan lebih dekat bila
hendak melihat keadaan tuan Raphael di Ardur.” Maka kemudian
Mikhael memanggil utusan, para pengintai. Lalu katanya,
“Tunjukanlah jalan itu, Helanael. Biar hamba-hambaku
pergi untuk melihat keadaan di sana.” Maka kemudian Helanael
mengutus salah satu dari tujuh Rephaiem itu membawa utusan
Mikhael ke jalan yang ia bicarakan. Berlarilah mereka mendahului
barisan Seraphiem dan menuju jalan ke arah Ardur yang dibuat
para Rephaiem.
Dalam perjalanan itu, Helanael masih terus menceritakan
apa yang terjadi padanya dan barisan Rephaiem yang ada bersa-
manya, katanya,
“Setelah kami berhasil melalui gunung ini, Gunung Rarium,
kami mendapati tanah luas di antara gunung ini dan Gunung
Gardum. Di sana ada banyak sekali Rephaiem lain dan mereka
berdiam di sana. Maka segeralah kami datang pada mereka. Mereka
adalah para Rephaiem yang berlari dari Selatan ke Daria, ke Derie
dan kota-kota lain. Mereka kemudian berlari bersembunyi di antara
gunung ini, sebab musuh tidak mengetahui jalan masuk ke tempat
itu. Barulah kami tahu bahwa Daria dan kota-kota lain telah jatuh
juga dan para Rephaiem meninggalkannya. Yang selamat ada di
sana dan yang lain berlari ke Tanah Jegudiem, beberapa terpencar
sampai ke Tanah Timur nan jauh. Tinggallah kami di sana dan tidak
berani keluar. Kemudian di antara para Rephaiem ini, ada dua ratus
sembilah ribu barisan, tepatnya ada sepuluh juta empat ratus tiga
puluh ribu Rephaiem. Sekitar sepuluh juta Rephaiem mampu
bertempur. Mereka memilih kami, persaudaraan dari Bara-Al untuk
memimpin. Sebab hanya kami dua belas Rephaiem, aku dan

85
saudara-saudaraku saja para Bara-Al yang tertua. Maka kemudian
aku dipilih menjadi pemimpin mereka, sampai kami kembali pada
tuan Raphael. Kami membangun tempat kami tinggal, di atas tanah
dan di gua-gua gunung yang kami gali. Kami menyebutnya Tanah
Berge (bersembunyi), Kota Durie.
Beberapa kali aku mengirim para pengintai untuk melihat
keadaan di luar. Namun kami tidak mendapati jalan untuk menca-
pai Tanah Jegudiem, atau Tanah Utara. Maka kami tidak berani
keluar menyerang musuh atau berlari dari tempat ini, tuanku. Lalu
beberapa saat lalu, para pengintaiku datang membawa berita,
bahwa ada barisan dari Ariar berjalan memasuki jalur bayangan
gunung. Yang ia bicarakan adalah barisan yang tuan bawa. Maka
barisan kami bersiap untuk bertempur melawan barisan tuanku,
bila barisan ini sampai di tanah kami. Aku dan para pejuang terbaik
pergi untuk mengintai dan saat kami mengintai itu, kami menarik
tuan-tuan sekalian ke dalam hutan. Sebab kami mengira barisan
tuan adalah para pengikut Luciel yang hendak menyerang kami.”
Terheran-heranlah Mikhael mendengar cerita itu. Juga Sealtiel dan
Gabriel, sebab banyak sekali Rephaiem yang hilang dari Raphael.
Dan barisan itu tidak sedikit jumlahnya. Lalu lagi kata Helanael,
“Sebentar lagi kita sampai, tuanku. Biarlah hamba berbicara
pada barisan hamba, supaya jangan mereka menyerang tuanku.”
Maka Mikhael melepaskan Helanael berjalan sendiri mendahului
barisannya.
Pada waktu itu Raphael benar-benar tidak berhenti menge-
jar musuhnya. Dan ia sudah dekat dengan Kota Daria, tempat mu-
suh. Maka lagi datanglah Elcuriel menyandingi Raphael, katanya,
“Ralph, kita akan memasuki Daria. Barisan ini akan dibantai
bila kita terus mengejar.” Namun kata Raphael,
“Terus mengejar dan jangan berhenti bila bukan aku yang
memerintahkan.” Lalu kata Elcuriel,
“Mungkin ia yang engkau cari sudah tidak di sini. Lihatlah
mereka yang berlari ini, sekalipun sudah berlari selama dua Shakta,
mereka semakin kencang berlari. Sebab pembantaian yang kita
lakukan seperti cambuk yang memerintahkan mereka untuk terus
berlari.” Namun Raphael tetap diam dan terus memacu tunggang-

86
annya dan terus mengejar. Ia tetap saja bertunggang dan para
Rephaiem memeriksa tubuh-tubuh musuh yang telah mereka
bantai, mencari apa yang dimaksudkan Raphael. Selesai mereka
memeriksa tubuh-tubuh itu dan tidak mendapati apa yang dicari,
kembali mereka bertunggang mengejar. Setelah mereka menyusul
barisan musuh yang berlari, mereka membantai lagi dan berhenti
lagi untuk memeriksanya. Itulah yang dilakukan Raphael selama
dua Shakta dalam pengejarannya.
Pada saat-saat yang hampir bersamaan, di ujung tahun ke
sembilan belas masa perang Sorga itu. Di Selatan, Frantiel memim-
pin lima puluh ribu barisan lebih menahan Legiun yang dari
Klenath. Mereka berjuang supaya jangan para Legiun itu melihat
pergerakan Seraphiem ke ujung selatan. Sampai akhirnya, saat
mereka tengah beristirahat dari pertempuran dan Legiun telah
mundur ke perkemahan mereka, juga para Seraphiem itu mundur
ke perkemahan mereka, datanglah seorang Seraph utusan
Mahanael. Segera hamba itu mendapati Frantiel dan berkata,
“Frantiel, seluruh barisan telah lewat dari Sarnos. Tarik
mundur barisan ini dan berjalanlah ke Mith. Barisan Legiun tidak
akan mengikuti engkau sebab mereka tentu menginginkan benteng
di atas gunung.” Maka bersukacitalah para Seraphiem yang dipim-
pin Frantiel itu. Sebab memang sengsara mereka dalam pertem-
puran menahan musuh sangat hebat. Dan banyak juga dari mereka
yang terbantai dan hancur dalam pertempuran. Segeralah mereka
membersihkan dan membawa tenda-tenda mereka lalu pergi
bersama-sama ke Kota Mith, untuk perjalanan berikutnya.
Tidak lama setelah para Seraphiem itu pergi, datanglah
barisan besar legion. Mereka menabuh genderang dan mendekat ke
tempat para Seraphiem berkemah sebelumnya. Saat sampai di sana,
dilihatlah padang itu kosong dan para Seraphiem tidak ada di sana,
maka bersoraklah mereka dan segera berlari maju ke Gunung
Slaire. Mereka memberi kabar pada barisan mereka yang ada di
Artaria dan majulah seluruh barisan Legiun yang ada untuk
menggempur benteng di atas Gunung Slaire. Dengan cepat barisan
Legiun mengepung gunung itu dan mereka mulai naik ke atasnya.
Sampailah mereka di sana dan mendapati para pengintai yang terus

87
mengawasi benteng itu. Kata pengintai itu pada mereka: “Tidak ada
yang keluar dari gerbang benteng itu. Barisan Seraphiem masih
terus terlihat di sana dan mereka berjaga di atas tembok-tembok.
Jumlah mereka tentu tidak sebanding dengan kekuatan kita.” Maka
segera mereka maju ke benteng itu.
Namun para Legiun itu tidak tahu. Bahwa para Seraphiem
telah membuat lobang besar pada tembok bagian belakang tembok
itu, yaitu di bagian selatan tembok. Para pengintai Legiun menga-
wasi hanya dari utara, maka mereka tidak melihat. Mondrael dan
Mahanael telah pergi dari sana bersama seluruh barisan Seraphiem.
Hanya tinggal dua puluh barisan penunggang saja yang berpura-
pura berjaga di atas tembok-tembok. Saat para Legiun itu maju,
para Seraphiem melihat dan mereka segera turun dari atas tembok-
tembok dan naik ke tunggangan mereka untuk lari dari benteng itu.
Para Legiun melihat bahwa para Seraphiem turun dari atas tembok
maka pemimpin barisan mereka memerintahkan supaya menunda
penyerangan, sebab katanya: “Para Seraphiem itu merencanakan
sesuatu sehingga mereka turun dan tidak menjaga tembok-tembok
benteng. Mereka masih ada di dalam benteng itu dan mereka tidak
akan ke mana-mana. Jangan sampai kita termakan jebakan ini dan
jatuh banyak korban dari pihak kita. Biarkan saja mereka berdiam
di sana, pintu mereka tidak akan terbuka bila kita ada di sini. Pergi
dan katakan tentang ini pada tuan Gissel, para Seraphiem di
benteng Garga terjebak. Bendera Mahanael itu ada di sini, maka
tentu ia ada di sini.” Segeralah disampaikan kabar itu pada Gissel
yang berdiam di Artaria. Sedang para Seraphiem di benteng itu
telah bertunggang cepat-cepat pergi dari sana dengan segera tanpa
suara.
Waktu itu barisan Seraphiem yang ada di antara perbukitan
Tanah Rephaiem telah berjalan jauh ke dalam jalur kambing
gunung. Para Agung ada di depan barisan bersama para Rephaiem
yang memimpin jalan mereka. Kemudian berkatalah Helanael itu
pada Mikhael, katanya,
“Tuanku, kita sudah melewati perbatasan dan sudah dekat
dengan Kota Durie. Barisan para Raphaiem masih berpikir bahwa
mereka harus bertempur dengan barisan tuan. Kiranya bila baik

88
tuan pandang, lepaskanlah aku mendapati mereka, supaya jangan
terjadi pertempuran antara kita.” Maka Mikhael melepasnya pergi
dan barisan Seraphiem itu beristirahat di sana. Datanglah Mirkan-
druel ke depan barisan dan mendapati Mikhael. Kemudian katanya,
“Tuanku, ada kabar dari Selatan. Kabar ini ditulis dalam
surat oleh Gelabriel sendiri. Maka tentulah kabar ini pasti. Barisan
Seraphiem yang dari Utara menerima kabar ini dalam perjalanan
menuju Ariar, saat mereka sampai di Tanah Roti. Hanya saja me-
reka baru menyampaikan padaku dalam perjalanan tadi. Mahanael,
malaikat muda itu, pengayun pedang,” Belum ia selesai, Mikhael
menyahut, katanya,
“Aku tahu siapa Mahanael, Mirkandruel. Katakan saja ada
kabar apa dari Selatan?” Lagi kata Mirkandruel,
“Barisan itu telah maju melewati perbatasan Pohon Serael
dan terus menyerang, tuan. Sarnos telah mereka rebut dan Mith
dalam penyerangan. Ada pula kabar bahwa para Legiun mem-
bangun benteng besar di atas Gunung Slaire. Barisan besar tidak
dapat masuk ke Kota Serael karena benteng itu menjaga jalur
Herah. Juga di Artaria, Legiun banyak berjaga di sana. Mungkin
saat ini mereka sudah berhasil menembus pertahanan musuh,
tuan.” Bersukalah Mikhael dan ia memeluk Mirkandruel. Katanya,
“Benar apa yang engkau katakan, saudaraku. Kabar ini pasti
menempuh perjalanan jauh dan ini sudah terjadi beberapa saat
yang lalu. Mungkin memang benar bahwa mereka sudah banyak
merebut kota lain. Mirkandruel, sebarkan saja kabar ini pada
barisan, biarlah mereka bersukacita. Tanah Selatan akan segera
kembali dalam kuasa kita dan para Seraphiem dapat pulang ke
tanah Selatan.” Bersukalah Mikhael dan setelah kabar itu diserah-
kan, seluruh barisan turut bersukacita. Namun mereka tidak
bersorak karena menjaga ketenangan di sana.
Tidak lama kemudian terdengarlah suara seperti erangan
domba api dari antara pepohonan. Kemudian kata seorang
Rephaiem yang ada di sana pada Gabriel,
“Tuan, Helanael telah mengurus semuanya. Kita dapat
masuk ke kota sekarang.” Namun kata Gabriel,

89
“Bagaimana engkau mengerti tentang itu, Rephai?” Lalu
tiba-tiba muncullah Sealtiel di antara mereka dan berkata,
“Jegudiel, apa engkau mendengar suara itu? Baru saja aku
mendengar suara erangan domba api. Bagaimana ada domba api di
antara pegunungan seperti ini?” Lalu jawab Gabriel,
“Ya, aku mendengarnya. Aku juga heran karena itu. Sebab
tidak pernah seekor domba api meninggalkan Tanah Jegudiem.
Mereka adalah tunggangan kesukaan Jegudiem.” Maka kemudian
berkatalah Rephai tadi, katanya,
“Dari suara itulah aku tahu, tuanku. Sebab itu bukan seekor
domba api, namun suara Helanael yang menirukan suara domba
api. Itu tanda bagi kita, supaya kita melanjutkan perjalanan ini ke
Durie.” Maka tertawalah Gabriel dan kemudian ia menyampaikan
itu pada Mikhael.
Bangkitlah Mikhael dan segera ia memerintahkan supaya
perjalanan dilanjutkan. Lalu barisan itu mulai bangkit dan kembali
berjalan. Tidak jauh dari sana, nampaklah Helanael berdiri di
tengah-tengah jalan seorang diri. Jalan itu menanjak sebab melalui
kaki gunung. Kemudian ia membungkuk memberi hormat pada
para Agung dan berkata,
“Salam bagi tuan Serael, pemimpin Tentara Sorga. Salam
bagi tuan Sealtiel, Dupa Allah. Salam bagi tuan Jegudiel, pendengar
doa-doa, di Tanah Berge, Kota Durie, tempat para pengembara
Rephaiem yang bersembunyi.” Kemudian tersenyumlah para
Agung, sebab mereka sudah mendengar sorak-sorai para
Rephaiem. Setelah mereka melalui tanjakan itu, terlihatlah kota
yang besar dan dibangun dari batu-batu terang dan kayu-kayu.
Kota itu ada di tengah hutan, di antara dua gunung. Bahkan di gua-
gua gunung dan di bawah tanahnya masih ada bangunan-
bangunan. Sebab jumlah Rephaiem yang ada di sana terlalu banyak
dan tempat yang hanya sedikit. Maka mereka membangun juga
tempat di bawah tanah dan di dalam gunung.
Terkagumlah para Agung melihat itu dan kata Jegudiel,
“Tidak pernah aku melihat kota yang dipenuhi pohon-
pohon seperti ini, selain di Tanah Bartarchiem. Sekarang aku
melihat kota seperti ini di Tanah Barat? Sungguh Rephaiem mahir

90
dalam hal ini. Mikhael, menurutku para Rephaiem ini telah bersaksi
salah pada kita. Kata Helanael mereka terlalu takut untuk merebut
kembali kota-kota yang dikuasai musuh. Namun menurutku
mereka tidak takut, mereka hanya ingin tetap tinggal di kota ini.”
Tertawalah para Agung dan mereka disambut dengan meriah di
sana. Para Rephaiem mengambil kembang-kembang dan daun-
daun untuk mengalasi jalan yang akan dilalui para Agung. Itulah
sambutan yang menghiburkan para Agung, di masa perang Sorga.
Kemudian para Agung diam di sana, di dalam satu bangunan
mereka berjamu. Para Seraphiem juga berdiam di sana, untuk
beberapa saat.
Belum beberapa lama para Agung di sana, datanglah para
pengintai yang diutus Mikhael sebelumnya ke Ardur. Mereka
kembali dan segera menghadap Mikhael, katanya,
“Salam bagi tuanku Serael. Aku telah melihat ke Kota Ardur
dan yang ada hanya bendera Rephaiem di sana. Tentulah tuan
Raphael telah menang di sana. Kemudian kami melihat juga di
sebelah selatan kota itu. Barisan Rephaiem banyak berjalan dan
bertunggang. Namun hanya tuan Yehudiel saja yang berjalan me-
mimpin barisan besar itu, sedang kami tidak melihat tuan Raphael.
Dari sana kemudian aku memutuskan sebagai pemimpin pengin-
taian, aku mengirim dua Seraphiem berlari ke perbatasan Daria
untuk melihat yang sebenarnya terjadi. Sebab kami menaruh curiga,
bila-bila tuan Raphael telah maju terlebih dahulu ke Daria.
Kemudian tuan Yehudiel menyusulnya.” Maka kemudian pergilah
para pengintai itu. Kemudian kata Sealtiel,
“Mungkin memang Raphael telah menang di sana, sauda-
raku. Mengenai apa yang didengar Gabriel, kita belum tahu apa
yang sebenarnya terjadi.” Lalu kata Mikhael,
“Ya, mungkin benar. Namun mengapa Yehudiel bergerak ke
selatan memimpin barisan Rephaiem. Kita harus segera melanjut-
kan perjalanan, Sealtiel. Para pengintai kita melihat dari hutan,
maka tentulah Yehudiel berjalan dekat dengan pepohonan hutan.
Mungkin ia memimpin barisan itu ke Daria. Kita tidak tahu apa
yang terjadi, sebaiknya kita segera menuju Daria. Bila memang

91
Yehudiel ke sana, kita akan mendapatinya dalam pertempuran
hebat.” Lalu tiba-tiba masuklah Gabriel ke sana dan berkata,
“Mikhael, kota ini sungguh hebat. Aku tidak pernah melihat
kota yang seperti ini. Selagi kita di sini, mengapa tidak kita menge-
sahkan kota ini sebagai bagian dari Sorga?” Kemudian kata
Mikhael,
“Ada hal yang lebih penting dari pada itu, saudaraku.
Panggil Helanael dan saudara-saudaranya itu. Kita harus menga-
dakan pertemuan dengan mereka. Mungkin dengan rencanaku ini,
kita akan membawa para Rephaiem ini kembali pada tuan mereka.”
Maka kemudian para Agung mengadakan pertemuan di sana,
bersama para pemimpin dan tua-tua Rephaiem yang ada di sana.

Sementara itu, di Selatan, barisan Seraphiem telah siap.


Mondrael dan Mahanael memimpin barisan mereka dengan cepat
ke ujung selatan. Sedang saat itu, barisan Legiun masih mengepung
benteng yang ada di atas Gunung Slaire. Datang pula Gissel
pemimpin barisan Legiun itu ke sana. Sebab ia mendengar kabar
bahwa benteng itu terkepung dan Mahanael musuhnya ada di sana.
Saat sampai di atas gunung itu dan ia melihat keadaan di sana,
segeralah Gissel mengambil kembali kepemimpinannya dalam
barisan. Berkatalah Gissel, “Segera atur dan siapkan barisanmu.
Tidak mungkin para Seraphiem itu mempersiapkan jebakan bagi
kita di balik tembok. Benteng ini adalah kita yang membangunnya,
maka kita lebih tahu tentang benteng ini. Serang dari barat, tembok
di sana tidak terlalu tinggi untuk dipanjat. Kirim para pendobrak
dan buka gerbang benteng itu. Para penombak bersiap di belakang
para pendobrak. Aku ingin benteng ini direbut dengan cepat dan
tidak ada korban dari barisan kita.” Kemudian bersoraklah para
Legiun itu dan segera melancarkan serangan mereka. Sedang pada
saat itu, mereka tidak tahu bahwa benteng Garnor telah kosong dari
para Seraphiem.
Barisan besar Seraphiem telah menempuh perjalanan me-
reka dan mereka sampai dekat Kota Selanor. Mondrael yang
bertunggang paling depan telah melihat perbukitan Arhanor. Di
sanalah mereka berbaris diam-diam dan para pengintai dikirim

92
untuk mengawasi sekitar. Supaya jangan ada musuh yang tahu
bahwa mereka berbaris di sana. Lalu berkatalah Mondrael pada
Mahanael, katanya,
“Lekas majulah dan pimpin barisanmu ke Selanor. Rebut
kota itu segera dan aku akan menantimu. Berilah tanda dari atas
salah satu bukit itu. Bila aku melihat tanda yang engkau berikan,
aku akan menyerang Pahr” Kemudian kata Mahanael,
“Baiklah tuanku. Aku akan membawa Frantiel dan barisan-
nya bersamaku. Kita harus menanti sebentar lagi sampai barisan
Frantiel datang. Jangan terburu-buru dalam hal ini. Musuh tidak
akan menyangka penyerangan kita ini.” Lalu masuklah mereka
dalam tenda mereka dan membuka peta Tanah Selatan. Lalu
Mahanael mengumpulkan para pemimpin barisan di sana.
Kemudian katanya,
“Aku dan seluruh barisanku akan maju ke Selanor, bersama
barisan tiga puluh dan sekutunya. Barisan tuan Mondrael dan
barisan tuan Mirkandruel akan menyerang Pahr setelah menerima
tanda dariku. Yaitu saat aku sudah selesai di Selanor. Kota-kota di
ujung selatan ini tidak dijaga dengan baik, sebab seluruh barisan
Legiun ada berkumpul di utara. Dari sana, aku akan memecah
barisan. Barisanku akan terus ke Kota Seldor dan barisan tiga puluh
akan ke Phanto. Setelah masing-masing barisan usai dengan kota-
kota itu, kita semua harus berkumpul di dekat Phanto. Setelah aku
sampai di sana dari Seldor, barisan Seraphiem ini harus bergerak
cepat ke Kota Serael. Mari kita rebut kembali kota itu, sebab di
sanalah tugas kita menanti. Gulungan-gulungan hukum harus
segera diamankan dari tangan musuh. Bersiaplah kamu sekalian.
Barisanku akan berangkat setelah barisan tiga puluh datang.”
Begitulah Mahanael mengatur serangan-serangan untuk merebut
Tanah Selatan.

Sementara itu, Raphael benar-benar telah memasuki perba-


tasan Daria dan ia belum juga menangkap Ekhinel yang mengambil
salah satu pedang berkuasa darinya. Karena sudah sangat dekat
dengan Daria, berserulah Raphael,

93
“Tahan tungganganmu! Kita sudah melewati batas Kota
Daria.” Maka berhentilah barisannya itu dan mereka beristirahat di
sana. Raphael kemudian berjalan dan melihat dari kejauhan sisa
barisan musuh yang masih berlari darinya. Geramlah ia karena
salah satu pedang berkuasa telah diambil dan dikuasai lagi oleh
musuh. Lalu berkatalah Raphael pada hamba-hamba yang juga
saudara-saudaranya, katanya,
“Daria terlalu kuat untuk barisan ini. Kita tidak cukup
jumlah dan semua yang kita bawa adalah para penunggang. Kita
akan kembali ke Ardur dan menyerang Gruined seperti rencana
kita. Persiapkan barisan, begitu seluruh tunggangan siap, kita akan
berjalan kembali ke Ardur.” Lalu pergilah hamba-hambanya itu
untuk menjalankan apa yang dikatakan Raphael. Barisan itu
berdiam di sebelah timur Kota Daria, dekat dengan pepohonan
untuk beberapa lamanya.
Pada saat itu, para Agung telah mengadakan pertemuan di
Durie. Mereka duduk bersama dalam satu meja yang berhadapan
dengan meja lain yang penuh dengan para pemimpin Rephaiem di
Durie. Kemudian berkatalah Mikhael di sana, katanya,
“Para pengintai Seraphiem telah kembali padaku. Saat me-
reka mengintai, ada pula salah satu dari kamu yang bersama
mereka. Maka tentu ia juga melihat apa yang dilihat oleh hamba-
hambaku itu. Saat ini barisan Rephairiem tengah dalam perjalanan
ke Daria di bawah pimpinan tuan Yehudiel. Menurut perkiraan
kami, mungkin tuanmu Raphael akan menyusul barisan yang
dipimpin tuan Yehudiel itu. Barisan Seraphiem akan lalu dari kota
ini dan berjalan ke Daria, lalu terus ke Derie. Adakah suaramu
tentang ini?” Kemudian para Rephaiem itu saling berbicara satu
dengan yang lain. Kemudian bangkitlah salah satu tua Rephaiem
yang di sana dan berkata,
“Tuanku, apa maksud perkataan tuan? Bila memang barisan
Seraphiem ini hendak melanjutkan perjalanan, maka kami akan
melepasnya.” Kemudian berkatalah Gabriel,
“Benar katamu. Yang dimaksudkan tuan Serael adalah, tuan
Raphael akan ada di Daria bersama barisan Rephairiem. Kami
menawarkan padamu untuk bergabung dalam perjalanan ini,

94
sehingga kamu dapat kembali bersama-sama dengan tuanmu dan
sukumu.”
Para Rephaiem itu kembali saling berbicara satu dengan
yang lain. Sedang para Bara-Al, pemimpin mereka masih berdiam
diri saja. Kemudian bangkit pula salah satu tua yang lain dan
berkata,
“Kami adalah para Rephaiem yang telah terpisah dari tuan
kami. Tidak pernah kami mendengar atau melihat tuan Raphael
mengirim utusan untuk mencari kami, atau menyelamatkan kami
dari sini. Selama ini kami ada karena kami mempertahankan diri
kami sendiri. Juga kemegahan kota ini, kota ini ada karena kami
membangunnya bagi kami juga. Untuk apa kami berjuang lagi?”
Pula ada yang berkata,
“Bila kami bergerak bersama barisan Seraphiem ke Daria
dan bertempur di sana lalu mendapati tuan Raphael, jangan-jangan
ia murka pada kami. Karena kami tidak tahu apa yang dikatakan
tuan Raphael tentang kami, hamba-hambanya yang telah terpisah
lama dengannya. Bahkan tentang barisan Rephairiem, kami baru
tahu bahwa barisan itu masih ada dan telah banyak berjuang dalam
pertempuran. Kami yang dahulu adalah bagian dari barisan itu,
tidak pernah lagi berjuang bersama setelah pertempuran di Tanah
Ranting. Jangan-jangan kami ini dianggap pengkhianat dan tidak
membela saudara-saudara kami yang masih dalam barisan Rephai-
riem.” Masih banyak lagi alasan yang diajukan para Rephaiem itu.
Semakin ramai mereka berkata dan menolak untuk maju ke
Daria. Maka bangkitlah Mikhael di sana dan berkata,
“Aku tidak memaksamu untuk maju ke Daria. Maka diam-
lah! Aku berkata padamu, hai Rephaiem. Kamu telah meninggalkan
tuanmu dan tidak mendengar saat ia memanggil kamu. Sekarang
aku berkata padamu, barisan Rephairiem, yaitu sukumu akan
datang untuk menyerang Daria. Dan jarak kota ini ke Daria tidak
menempuh perjalanan panjang dan berat. Bila memang masih ada
kesetiaanmu pada tuanmu, bangkitlah sekarang dan kembalilah
pada tuanmu. Ada sumpah yang engkau ucapkan saat engkau
menjadi Rephaiem. Sumpah setia pada tuanmu, maka penuhilah
itu.” Terdiamlah mereka semua dan memikirkan apa yang dikata-

95
kan Mikhael pada mereka. Belum beberapa lama, datang pengintai
utusan yang melihat ke perbatasan Daria.
Masuklah hamba Seraph ke sana dan melapor pada Mikhael
bahwa ada dua pengintai yang datang untuk melapor. Maka
berkatalah Mikhael,
“Bawa dua pengintai itu masuk. Biarlah mereka menyam-
paikan apa yang mereka lihat di perbatasan Daria, di depan para
Rephaiem ini.” Maka kemudian dibawalah dua Seraphiem itu.
Setelah mengucap salam-salam berkatalah salah satu Seraph itu,
katanya,
“Aku melihat di perbatasan Daria. Ada kira-kira tiga ratus
barisan penunggang Rephairiem. Bendera tuan Raphael berkibar di
antara barisan itu. Mereka berdiam di sana dan tunggangan mereka
beristirahat di sana. Tuan Raphael akan memimpin penyerangan ke
Daria. Sebab kami melihat bahwa mereka hanya berdiam di sana,
mungkin mereka masih menanti barisan besar yang dibawa tuan
Yehudiel di belakang mereka.” Kemudian Mikhael memerintahkan
dua Seraphiem itu keluar. Lalu ia sendiri bangkit dan berkata,
“Kamu sudah mendengar apa yang dikatakan dua
Seraphiem itu. Dengarkan aku, kamu Rephaiem!” Mikhael menarik
pedangnya dan berkata,
“Inilah pedang Andhraril, pedang Armaidra. Dalam pedang
ini aku, Serael telah mengangkat sumpah di hadapan Raphael,
Tangan Allah, tuanmu itu. Bahwa aku, akan memimpin barisan
Seraphiem ke Tanah Selatan dan merebut kembali tanah itu demi
saudaraku dan demi suku Rephaiem. Aku dan tuanmu telah
berjuang bersama merebut Ariar dan kami memenangkannya, lalu
tuan Raphael telah mengumpulkan kembali barisan Rephairiem.
Mereka maju ke Ardur dan sekarang, seperti yang dikatakan dua
Seraphiem itu, mereka ada di perbatasan Daria sekarang. Tahukah
kamu bahwa barisan Seraphiem tengah berjuang demi Tanah
Selatan sekarang ini? Lihatlah di mana aku berada. Aku tidak ada di
sana bersama mereka, namun aku berjuang demi sukumu,
Rephaiem! Sekarang bila aku maju ke Derie dan merebutnya, aku
akan semakin dekat dengan Tanah Selatan. Aku memohon padamu
sekarang, majulah ke Daria. Barisanmu sangat besar dan juga kamu

96
akan menang. Bila sudah kamu menang, kamu akan kembali
bersama-sama dengan tuanmu. Dengarkan aku, Rephaiem! Bila aku
maju ke Derie bersama barisan Seraphiem ini dan Daria masih pe-
nuh dengan musuh, siapa yang akan menjaga punggung barisan-
ku? Bahkan Idarun masih penuh dengan musuh dan kapan saja
barisan dari sana bisa datang menyerang aku dari belakang.
Kamu semua tahu bahwa Daria adalah kota yang sulit
ditembus dan butuh barisan yang besar untuk menyerangnya.
Barisan Seraphiem ini terlalu kecil untuk Daria. Karena itu aku
memilih Derie untuk kuserang. Sekarang aku membutuhkan ban-
tuan para Rephaiem untuk menjaga punggung barisanku. Barisan
Rephaiemlah yang aku bicarakan, bukan barisan Rephairiem. Kamu
adalah barisan itu dan apa yang kamu katakan sekarang sebagai
jawaban padaku? Akankah kamu menjawab panggilanku dan
kembali pada tuanmu? Atau kamu akan berdiam di sini? Bila
saudara-saudaramu berjuang di luar sana demi suku ini dan demi
Sorga, dan kamu berdiam saja di sini, tuanmu akan menganggap
kamu sebagai musuh Sorga. Jangan sampai semua itu terjadi, hai
Rephaiem yang membangun Durie. Apa jawabanmu padaku?” Lalu
kemudian bangkitlah ia yang disebut Helanael, di saat itulah ia
berkata,
“Aku Helanael, aku dan saudara-saudaraku yang telah me-
mimpin para Rephaiem ini hingga semua yang ada di sini selamat
saat Tanah Selatan dan Tanah Barat jatuh. Aku menjawab padamu,
tuan Serael, pemimpin Seraphiem. Aku dan saudara-saudaraku
akan pergi ke Daria dan kembali pada tuan Raphael. Kami para
Bara-Al akan kembali bersama-sama dan bersatu kembali dalam
kebesaran Rephaiem. Bahkan tuan Yehudiel yang juga kebanggaan
Bara-Al akan ada di sana pula. Barisanku bersamamu, tuanku.
Enam ribu barisan bersama pedangmu, tuanku.” Kemudian
Mikhael memandangnya dan ia berkata,
“Engkaulah kesetiaan Rephaiem itu. Aku berkata padamu,
Helanael; engkau dan saudara-saudaramu akan diakui oleh tuan
Raphael. Namun untuk menjatuhkan Daria membutuhkan lebih
dari enam ribu barisan.”

97
Lalu kemudian bangkitlah salah satu tua Rephaiem di sana
dan berkata,
“Empat ribu barisan akan bersamamu, tuanku.” Mulailah
Mikhael tersenyum dan ia kembali terduduk. Lalu bangkitlah lagi
penatua yang lain dan berkata,
“Tujuh ribu barisan bersamamu tuanku!” Bangkit lagi yang
lain dan berkata,
“Dua puluh tujuh ribu kapak akan maju ke Daria menjawab-
mu, tuanku.” Maka kemudian terus para tua-tua itu menjawab
panggilan Mikhael dan sampai seluruh barisan Rephaiem yang ada
di sana menjawab dan mereka siap untuk maju ke Daria dan
kembali bersama Raphael, tuan mereka.

Pada waktu itu, barisan dari Timur, barisan para Ammatiem


telah berjalan meninggalkan tanah mereka. Barisan besar suku itu,
dipimpin oleh Ammatiem sendiri, mereka berangkat dari Padang
Timur, ke Tanah Raziem, perbatasan di Utara, Tanah Marcium.
Raziel saat itu ada bersama hamba-hambanya dan hampir seluruh
barisan Rendurum ada juga di sana. Raziel berdiam di Skurlum
beberapa lama dan setelah barisannya tiba, ia berdiam di Kota
Haruia. Pada waktu itu penjagaan para Raziem hanya sampai kota
itu, sebab mereka tidak perlu maju menjaga Tanah Marcium. Para
penjaga di Tanah Marcium sudah tidak melihat pergerakan di
hutan sejak lama. Bertemulah Raziel dan Ammatiel di Kota Haruia
itu, ketika barisan Drenthiriem datang ke sana. Dua barisan itu
memenuhi tanah di sana, dari Haruia, ke Skurlum, meluas ke
selatan dan barat, penuh dengan para Raziem dan Ammatiem.
Raziel menjamu Ammatiel di sana dan mengadakan pertemuan di
sana bersama para pemimpin barisan setelah jamuan.
Dalam perbincangan Raziel dan Ammatiel saat berjamu di
Haruia, berkatalah Raziel,
“Saudaraku, aku sudah menantimu begitu lama. Aku me-
lihat pergerakan di Tanah Utara. Mungkin memang barisan musuh
sedang mempersiapkan kekuatan hebat untuk memukul Tanah
Timur. Sebab Tanah Barat telah diserang dengan hebat oleh

98
saudara-saudara kita. Bagaimana dengan Nai, Ammatiel?”
Kemudian jawab Ammatiel,
“Barisan Timur sudah siap menyambut mereka bila me-
mang mereka berani melangkahkan kaki memasuki daerah tanah
kita, saudaraku. Raziem dan Ammatiem, Rendurum dan Drenthi-
riem, akan bertempur mempertahankan Tanah Timur dalam
kesetiaan. Mengenai Nai, para Rephaiem sudah sampai di sana dan
mulai membangun tembok benteng untuk pertahanannya. Seperti
yang kita bicarakan sebelumnya, hanya untuk berjaga-jaga kita
memohon pada Tangan Allah untuk membangun benteng di sana.
Dua ribu Rephaiem pembangun, lima belas ribu Rephaiem penggali
batu, dua ribu lagi tukang kayu dan banyak kereta tarik yang
mereka kerjakan. Aku memberikan surat ijin pada mereka untuk
menggali di Tanah Raziem, saudaraku. Sebab penggalian di Padang
Timur memakan banyak waktu dan para Rephaiem sering kali
tersesat di Padang Timur itu. Pekerjaan masih panjang dan kita
harus bertahan di sini sampai benteng itu selesai dikerjakan.”
Setelah itu mereka mengadakan pertemuan dengan para pemimpin
barisan mereka.
Dalam pertemuan itu, para pemimpin barisan telah menga-
dakan pembicaraan mereka sendiri sebelum dipanggil para Agung.
Maka dalam pertemuan itu, berkatalah seorang pemimpin barisan
Razi, Hamanael, katanya,
“Tuanku, di antara para pembesar suku Raziem ini, tidak
ada yang mahir bertempur. Karena itu barisan Rendurum hanya
memiliki tiga barisan, karena tidak ada yang memimpin barisan.
Namun dengan adanya Jegaduriem, barisan ini lebih mudah dalam
mengaturnya tuan. Kiranya bila tuan pandang baik, angkatlah lagi
pemimpin barisan lain. Sebab tiga pemimpin barisanmu, tidak
dapat mengatur jumlah malaikat yang begitu banyaknya. Setidak-
nya Rendurum harus dibagi menjadi lima barisan utama, tuanku.
Sebelumnya, tuanku Ammatiel, aku sering melayani tuan saat di
Tanah Raziem, namun tidak pernah tuan menanyakan tentang aku.
Akulah Hamanael, pemimpin Resara, ujung tombak Rendurum.
Pelayan dan pekerja di kediaman tuanku Raziel. Tuan-tuan para
Agung, aku telah mengirim mata-mata untuk mengamati perge-

99
rakan musuh di Utara, terutama di Bore. Seluruh hasil pengintaian
ini tidak menunjukkan adanya persiapan musuh untuk menyerang
kita, namun tidak ada yang mengetahui kebenarannya. Mengenai
itu, kiranya tuan-tuan memberi ampun pada hamba ini, bila masih
ada kasih bagi hamba. Para pemimpin barisan Rendurum telah
bersepakat untuk mengajukan, bila tuan Raziel padang baik,
barisan ini harus menyerang Tanah Utara, sebelum musuh yang
menyerang Tanah Timur.” Masih banyak hal yang mereka perbin-
cangkan di sana. Namun memang hanya perkataan Hamanael yang
paling penting dari antara para pemimpin barisan lain.
Kemudian berkatalah Ammatiel, ketika seluruh pemimpin
barisan usai melapor pada para Agung. Kata Ammatiel,
“Aku ingin membahas lebih lagi tentang perkataan
Hamanael. Mungkin engkau lupa tentang aku menanyakan dirimu.
Sebab saat tuanmu Raziel mengangkat engkau sebagai hamba
pembesar, akulah yang memberi saran padanya. Karena memang
engkau baik dalam bekerja. Dan aku tahu, bahwa tidak ada satu
saudaramu pun yang juga tercatat dalam suku Raziem.” Lagi kata
Ammatiel, “Raziel, benar apa yang dikatakan hambamu itu. Lebih
baik kita menyerang lebih dahulu. Apalagi menurut pengintai,
barisan musuh tidak nampak ada persiapan apa pun.” Lalu kata
Raziel,
“Mengapa engkau berkata seperti itu, Ammatiel. Baik mari
kita langsung membicarakannya, jangan kiranya engkau meminta
pendapatku tentang ini. Engkau tahu, mengenai kekuatan di Utara,
sebaiknya engkau mengingat itu sebagai hal yang harus diper-
hatikan.” Lalu jawab Ammatiel,
“Ya, aku tahu tentang itu. Barisan besar yang berhadapan
dengan Drenthiriem di Tanah Altar. Ada barisan yang lebih besar
lagi berdiam di Utara, Raziel. Saat ini kita tidak tahu di mana
keberadaan pemimpin besar barisan musuh, Luciel itu. Dia bisa
berada di mana saja. Bila kita menyerang dan ternyata kita menye-
rang tempat Luciel, tentu barisannya besar dan kuat. Tidak akan
cukup barisan kita menembusnya. Bahkan bisa-bisa mereka yang
menekan kita kembali.” Maka kemudian Raziel memerintahkan

100
para pemimpin barisan untuk keluar dan menanti. Sebab ia hendak
bicara pada Ammatiel. Kata Raziel,
“Aku rasa engkau bicara terlalu lantang tentang itu, di
depan para pemimpin barisan kita, Ammatiel. Mereka akan merasa
takut bila mengetahui harus menghadapi barisan utama musuh.
Baiklah sekarang kita harus bersepakat tentang penyerangan ini.
Lalu kita sampaikan pada para pemimpin barisan itu, supaya
mereka yang mengatur serangan. Dari mana kita akan menyerang?”
Kemudian jawab Ammatiel,
“Timur, tentu saja. Kita akan masuk dari Marcium.
Bagaimana dengan barisan musuh?” Lalu jawab Raziel,
“Hutan pembatas Marcium dan Tanah Utara terlalu lebat
untuk ditembus. Mungkin kita akan masuk dari Skurlum. Saudara-
ku, kita belum mengerti bagaimana keadaan barisan musuh,
ataupun tempat-tempatnya. Kita hanya akan masuk dan menye-
rang saja.” Lalu kata Ammatiel,
“Ya, itu benar. Aku tahu tentang jalan gunung itu, Raziel.
Bagaimana dengan Kota Skuria di ujung tanah ini?”
“Kota itu ditinggalkan. Terlalu bahaya, Ammatiel. Barisanku
berjaga di Gunung Skulum, dekat pepohonan. Akankah kita maju
untuk menduduki kota itu lagi, baru setelahnya menyerang Tanah
Utara?” Jawab Raziel. Maka lagi kata Ammatiel,
“Kota itu satu-satunya jalan masuk ke tanah ini, Raziel. Kita
harus memenuhi kembali kota itu. Aku tahu mengapa engkau me-
ngosongkannya. Memang terlalu bahaya untuk hamba-hambamu
berdiam di sana. Baiklah kita penuhi kembali dan bangun sebagai
pertahanan depan.” Maka segeralah Raziel memanggil kembali
para pemimpin barisan dan ia memerintahkan untuk memeriksa
keadaan Kota Skuria, kota yang ditinggalkan itu.

Pada saat itu, Raphael dan barisan penunggangnya telah


bersiap untuk kembali ke Ardur. Baru mereka mempersiapkan
tunggangan dan barang-barang mereka, terdengarlah suara
tabuhan genderang dari ke jauhan. Maka berkatalah Raphael,
“Cari dari mana suara itu. Setiap kamu yang ada di sini,
segera bersiaplah. Apa pun yang datang, kita harus siap mengha-

101
dapinya.” Maka bertungganglah seorang Rephai ke arah Daria.
Tidak lama ia kembali dan berseru dari atas tunggangannya,
katanya,
“Barisan besar dari Daria. Mereka berjalan ke arah kita. Ada
pula barisan dari arah selatan. Mereka mengepung kita, tuanku.”
Lalu datanglah Elcuriel pada Raphael dan berkata,
“Sebaiknya kita tinggalkan tempat ini sekarang, tuan. Ba-
risan ini tidak begitu siap untuk pertempuran besar. Barisan musuh
juga terlalu besar bagi kita saat ini.” Maka kemudian naiklah para
penunggang ke tunggangan mereka masing-masing dan hendak
pergi dari sana.
Belum semua penunggang siap untuk pergi, nampaklah
barisan besar dari kejauhan arah selatan berjalan mendekati
mereka. Raphael melihat barisannya tidak akan selamat seluruhnya.
Bila mereka meninggalkan yang belum siap untuk pergi, tentu akan
terbantai mereka yang tertinggal itu. Maka berserulah Raphael,
katanya,
“Setiap kamu yang telah bangkit, berkumpul padaku! Pada-
ku! Lehimael, bawa para Jegaduriem ini pergi dari sini. Amankan
mereka dari pertempuran!” Maka dibentuklah barisan para
penunggang itu dan mereka berdiri menentang barisan musuh.
Raphael melihat bahwa barisan dari selatan datang. Di depan
barisan besar itu berjalan kira-kira seratus barisan. Lalu Raphael
melihat ke arah barat. Ia tidak melihat ada barisan dari Daria yang
nampak. Maka ia mengarahkan barisannya menghadap selatan.
Elcuriel segera mempersiapkan barisannya, sementara Melhuriel
ada bersama mereka yang belum naik ke atas tunggangan. Kata
Elcuriel pada Raphael,
“Apa kita akan menghadapi barisan besar itu, Raphael?”
Namun jawab Raphael,
“Tidak, saudaraku, tidak. Kita akan menahan mereka untuk
melindungi para Rephaiem yang belum siap bertempur. Barisan de-
pan mereka tidak begitu kuat dan mereka menaruh para pembawa
pedang di depan. Kita akan menembus barisan itu dengan mudah.
Kibarkan benderamu, Elcuriel. Pukul bagian kanan barisan itu!”
Maka terbentuklah barisan para penunggang Rephaiem itu.

102
Raphael segera memimpin barisan itu maju dan menyerang
barisan depan musuh. Sementara Melhuriel dan para Rephaiem lain
mempersiapkan tunggangan mereka dan naik ke atas tunggangan.
Terjadilah pertempuran terbuka di sana. Saat itu barisan yang dari
utara adalah bagian dari barisan Zaganar yang berdiam di kota-kota
selatan. Mereka datang terlambat. Kedatangan mereka adalah
karena Emeriel memanggil mereka sebelumnya untuk memperta-
hankan Ardur. Pada waktu itu, Emeriel sendiri yang memimpin
barisan itu. Ia juga tidak menyangka bahwa barisan penunggang
Rephaiem ada di dekat Daria, dipimpin Raphael sendiri dan baris-
annya tidak siap menghadapi pertempuran. Saat itu barisan Emeriel
memang tidak siap, apalagi menghadapi barisan penunggang.
Dengan kecepatan penuh tunggangan para Rephaiem itu
berlari dan menghardik barisan depan Emeriel. Mereka dengan
mudah membantai barisan itu dan menahan di sana. Sebab yang
mereka hadapi adalah para pembawa pedang yang tidak dapat
dengan mudah menghadapi para penunggang. Namun barisan
besar itu tidak mungkin kalah dengan segelintir barisan penung-
gang yang ada pada Raphael. Setelah beberapa lama menahan
barisan itu, datanglah barisan penombak untuk memukul para
penunggang. Raphael telah melihat itu, maka katanya,
“Mundur! Tarik mundur barisan. Elcuriel! Cepat bawa
barisanmu mundur! Bantu Melhuriel dan yang lain untuk segera
siap pergi dari sini.” Maka berbaliklah para penunggang itu dari
hadapan musuh dan mereka berlari dari sana. Ketika mereka
bertunggang mundur, nampaklah barisan lain keluar dari arah
Daria. Maka cepat-cepatlah para Rephaiem itu membantu saudara-
saudara mereka untuk segera siap pergi.
Saat itu barisan mereka terkepung dari dua arah. Hanya ada
satu jalan pergi dari sana, berlari ke utara. Namun masih ada kira-
kira empat barisan yang belum naik ke atas tunggangan mereka
dan siap pergi. Sedang para Rephaiem itu mulai gelisah dan hendak
pergi, berserulah Raphael,
“Tidak seorang pun dari kamu pergi sebelum saudaramu
yang lain juga siap untuk pergi. Tahan tungganganmu. Bila barisan
musuh itu sampai pada kita sebelum kita siap pergi, kita akan

103
menghadapi mereka.” Sedang barisan yang dari arah Daria mulai
berlari pada barisan Raphael. Saat itulah Raphael melihat Ekhinel,
duduk diatas tunggangannya memimpin barisan yang berlari ke
arahnya. Maka kata Raphael,
“Jahanam, di situ engkau rupanya.” Raphael kebingungan
di sana waktu itu.
Ketika Raphael melihat Ekhinel, ia ingin memimpin barisan-
nya maju dan merebut kembali pedang berkuasa yang dibawa
Ekhinel. Namun saat ia melihat barisannya, ia tahu barisannya
tidak cukup kuat menghadapi barisan besar di hadapannya. Barisan
musuh semakin dekat, tiba-tiba berserulah dari tengah barisan,
terdengar suara Melhuriel berkata,
“Barisan siap untuk pergi, tuanku!” Maka segera Raphael
memutar tunggangannya dan memimpin barisan Rephaiem itu
segera pergi dari sana. Mereka menjauhi barisan musuh dengan
mudah, sebab mereka bertunggang. Namun belum beberapa jauh
mereka bertunggang, terlihat suatu barisan lain dari utara. Besar
jumlahnya memenuhi tanah luas di sana. Berhentilah para penung-
gang Raphael dan mereka mengamati sekitar, bahwa mereka telah
terkepung dari semua arah. Maka kata Elcuriel,
“Bagaimana sekarang, tuanku? Baiklah tuan pergi menye-
linap dari sini. Aku dan seluruh barisan ini akan menahan musuh
di sini. Asal tuanku selamat, maka selamatlah suku Rephaiem ini,
tuan.” Namun jawab Raphael,
“Bila harus hancur dalam pertempuran, aku akan memilih
hancur bersama hamba-hambaku yang setia. Sampai pada kehan-
curan, kita akan bertempur sebagai saudara, Elcuriel. Panggil
Melhuriel, supaya kita dapat saling menguatkan di saat-saat seperti
ini.” Para Rephaiem itu kebingungan dan mereka gentar, seolah-
olah mereka sudah melihat kehancuran mereka datang.
Para Rephaiem di sana hanya saling berpelukan dan mereka
hanya berharap kasih Sang Terang menyelamatkan mereka. Sebab
mereka tidak melihat jalan untuk selamat. Dari selatan, barisan
besar dipimpin Emeriel. Dari barat, barisan besar dari Daria,
dipimpin Ekhinel. Dan dari utara, barisan besar lain datang. Sedang
bila berlari ke timur, mereka akan mendapat barisan musuh yang

104
berjaga di perbatasan Tanah Jegudiem. Di saat itulah Raphael
menarik pedangnya dan ia tidak peduli lagi. Yang dipikirkannya
saat itu hanya bertempur demi hamba-hambanya sampai pada
kehancuran. Namun ia melihat, semakin barisan yang dari utara itu
mendekat, semakin jelas ia melihat. Raphael melihat bendera-
bendera Rephaiem pada barisan besar yang dari utara itu. Maka
katanya pelan,
“Yehudiel. Yehudiel, Urapan Allah, engkaulah itu yang
membawakan Rephairiem padaku.” Maka kemudian berpalinglah
Raphael pada barisannya dan berseru,
“Lihat! Mereka adalah saudara-saudara kita. Mereka bukan
barisan musuh! Rephairiem datang pada kita!” Maka seluruh baris-
an itu melihat dan mengamati, lalu bersoraklah mereka dan segala
gentar telah hilang. Di sana mereka mengucap syukur dengan luar
biasa. Segera mereka naik ke atas tunggangan masing-masing dan
menyambut barisan Rephairiem yang dibawa Yehudiel itu.
Dari kejauhan Yehudiel sudah melihat, bahwa barisan
Raphael itu tidak ada di atas tunggangan mereka. Yang ia lihat
adalah para Rephaiem penunggang itu hanya saling berpelukan.
Maka kata Yehudiel,
“Rephairiem! Lihatlah tuanmu di tengah padang ini. Ada-
kah ia sendiri dalam pertempurannya?” Maka seluruh Rephairiem
itu berseru, katanya,
“Kami Rephairiem, tidak membiarkan tuan kami bertempur
sendiri!” Lalu mereka bersorak saat menyambut barisan para
penunggang dipimpin Raphael bergabung dengan barisan mereka.
Baru pada saat itulah para Rephaiem menyoraki Raphael atas
kemenangan di Ardur.
Dalam keramaian itu Raphael mendapati Yehudiel.
Kemudian katanya,
“Syukur pada Sang Terang, aku telah selamat. Saudaraku,
bagaimana engkau ada di sini dengan seluruh barisan ini?” Lalu
jawab Yehudiel,
“Aku mendengar bahwa engkau mengejar musuh setelah
penyerangan di Ardur. Lalu aku membawa barisan ini untuk
menyusulmu. Para Rephaiem lain sudah datang di Ardur dan

105
memenuhi kota itu dan membenahinya. Masih ada barisan lain
yang akan menyusul. Kita sudah di sini sekarang, baiklah mari kita
terus ke Gruined.” Namun Raphael menarik Yehudiel dan ia
berkata pelan, katanya,
“Tidak, saudaraku. Kita akan menunda penyerangan ke
Gruined. Salah satu pedang yang kujaga, telah direbut oleh seorang
pemimpin barisan musuh, saat kita bertempur di Ardur. Ia mero-
bohkan tungganganku, lalu aku bertarung melawan dia. Saat ia
sudah kalah, ia itu merangkak mengambil salah satu dari dua puluh
tujuh pedang yang kusimpan di tungganganku yang tergeletak itu.
Ia mengambilnya, maka semakin kuat ia menentang aku. Lalu aku
memukulnya dan ia lari dari padaku. Saat ini ada barisan cukup
besar berjalan ke arah kita. Zaganar, itu yang tertulis pada bendera
barisan mereka. Ia yang merebut pedang itu, ada di antara mereka.
Mereka tidak jauh dari kita, bersiaplah, kita akan menuju Daria,
Yehudiel.” Maka segeralah mereka bersiap untuk bertempur dan
barisan itu segera diaturnya.
Di waktu-waktu itu, barisan Seraphiem di Selatan telah
lengkap. Barisan yang dipimpin Frantiel, yaitu barisan besar yang
disebut barisan tiga puluh telah bersama berkumpul di dekat
Selanor, sebelah timur perbukitan. Maka kemudian Mahanael
segera mendapati Frantiel saat ia baru datang, katanya,
“Barisanmu harus segera siap, Frantiel. Kita akan melanjut-
kan penyerangan ke Selanor. Barisanku yang akan bertempur,
barisanmu berdiamlah di belakangku sambil beristirahat. Sebab saat
ini tidak ada waktu lagi untuk berdiam. Para Seraphiem telah
menangkap enam pengintai musuh. Barisan musuh terus mengirim
pengintai untuk mencari kita saat ini. Kita harus bergerak cepat.”
Maka bersiaplah barisan Seraphiem itu. Padahal pada waktu itu
barisan tiga puluh belum beristirahat dari perjalanan mereka.
Pada saat sebelumnya, Gissel telah menggempur habis ben-
teng bangungannya sendiri, benteng Garnor. Kekuatan penuh
barisannya, legion demi legion ia kirim untuk menembus tembok
benteng dan mendobrak gerbangnya. Setelah terbuka jalan masuk
ke dalam benteng, masuklah para Legiun itu ke sana, namun mere-
ka tidak mendapati apa-apa di sana. Datanglah pemimpin penyera-

106
ngan itu pada Gissel dan berkata, “Tidak ada seorang pun dalam
benteng itu, tuan. Ada lubang besar di bagian belakang benteng.
Para Seraphiem itu telah meninggalkan tempat ini sebelum kita me-
nyerangnya.” Karena hal itu, murkalah Gissel dan ia memerintah-
kan, “Kumpulkan seluruh Legiun, kita akan merebut Sarnos dari
para Seraphiem.” Maka berkumpullah para Legiun itu ke Sarnos.
Mereka yang bergerak ke sana ada kira-kira tujuh ratus ribu barisan
lebih, dari segala arah. Mereka mengepung kota itu dan para
Seraphiem yang ada di sana berlarian ke Mith dan ada yang ke
Padang Luas Selatan.
Karena Gissel tidak mendapati barisan besar Seraphiem di
sana, tahulah ia bahwa sesuatu sedang dilakukan para Seraphiem.
Maka ia memerintahkan tiap kota dan tiap barisan Legiun di Tanah
Selatan harus mengirim para pengintai ke bukit-bukit, ke padang-
padang dan hutan-hutan untuk mencari para Seraphiem. Padahal
para Seraphiem ada berdiam di ujung Selatan. Mereka menjaga
benar-benar keberadaan barisan mereka dan mengawasi setiap
sudut. Ketika mereka melihat pengintai Legiun, segera mereka me-
nangkapnya dan dibawa ke depan kaki Mondrael dan Mahanael.
Inilah awal kemenangan besar barisan Seraphiem.
Akhir tahun sembilan belas, masa perang Sorga, barisan
Mahanael dan barisan tiga puluh maju ke Selanor. Mereka bertem-
pur tidak sampai dua Shakta dan sudah merebut kota itu dari
Legiun. Tidak satu pun musuh mereka biarkan luput. Semua yang
ada di sana dibantai dan ditawan. Mereka yang berlari dikejar dan
dihancurkan. Mahanael mengerjakan pekerjaannya dengan bersih
dan tepat. Seusai memperebutkan Selanor, datanglah Frantiel me-
nyusul ke kota itu. Lalu berkatalah Mahanael padanya, katanya,
“Pimpin barisanmu berjalan terus ke Phanto dan rebut kota
itu bagiku, Frantiel. Dengan begitu jasa-jasamu akan tercatat seba-
gai pemimpin barisan yang hebat. Aku akan menyerang Seldor
sesuai rencana. Saat engkau sampai di puncak Arhanor, berilah
tanda pada barisan tuan Mondrael dan barisan besar yang ada di
sebelah timur. Mereka akan maju ke Pahr setelah melihat tanda-
mu.” Para Seraphiem segera melaksanakan semua itu dan mereka
meninggalkan Selanor begitu saja, sebab mereka tidak memiliki

107
banyak waktu lagi. Pada saat itulah Raphael dan Yehudiel maju
membawa barisan Rephairiem melawan barisan Zaganar.
Barisan Rephairiem telah berhadapan dengan barisan
Zaganar. Saat itu Emeriel datang dengan membawa hampir seluruh
barisannya yang ada di kota-kota timur bukit. Saat mereka melalui
Gruined, Breftiel menemui mereka. Maka terjadilah persepakatan di
antara mereka. Barisan Arthanag turut bersama Emeriel untuk maju
melawan Rephairiem. Sebab Breftiel memiliki kepentingan untuk
menghalau Rephairiem dari Gruined. Barisan Zaganar yang di
pimpin Emeriel berbaris di tengah. Di sebelah timurnya ada barisan
Arthanag. Lalu di sebelah baratnya, menutupi jalan ke Daria, berba-
ris barisan Zaganar yang dipimpin Ekhinel. Raphael mempersiap-
kan barisannya di sana untuk menghadapi tiga barisan. Pada saat
itu ada ketegangan di antara barisan-barisan itu. Jarak di antara
mereka kira-kira lima panahan di sana.
Barisan Ekhinel tidak berbaris bersama Emeriel. Sedang
barisan Arthanag agak jauh di sebelah timur. Kira-kira tujuh
panahan jaraknya. Rephairiem telah siap dan mereka menghadap
selatan saat itu. Raphael dan Yehudiel duduk di atas tunggangan
mereka di depan barisan. Lalu kata Yehudiel,
“Mereka tidak berbaris menjadi satu barisan, saudaraku.
Lihat barisan yang di barat itu, mereka tidak sekuat dua barisan
lainnya. Mungkin kita dapat melemahkan barisan itu terlebih
dahulu dan menahan yang dua.” Maka kata Raphael,
“Memang pedang itu ada di barisan yang sebelah barat itu,
Yehudiel. Aku baru ingat, karena kita membicarakan tentang
pedang. Hambaku yang datang bersamamu, mengatakan bahwa
ada jarahan dari Ardur yang cukup banyak. Semua bahan-bahan itu
baik dan para Rephaiem mulai menempa bagi barisan Yehudiem.
Bila sudah siap barisanmu, kiranya engkau akan tetap bertempur
bersama Rephairiem, saudaraku.” Lalu kata Yehudiel,
“Itu kabar baik, sejauh ini. Aku merasa sangat bersuka
saudaraku. Setelah pertempuran ini, aku akan membangkitkan para
Yehudiem menjadi bagian dari barisan tentara Sorga. Aku akan
memiliki barisanku sendiri. Syukur para Yang Terang karena kasih-

108
Nya padaku.” Tertawalah mereka di sana, padahal ketegangan
terjadi di sana.
Tidak lama kemudian majulah Emeriel bersama hamba-
hamba bertunggang ke tengah barisan yang saling berhadapan itu.
Kemudian kata Yehudiel,
“Ia nampak memiliki sesuatu untuk dibicarakan Raphael.
Akankah engkau menghampirinya, atau kita mulai saja pertem-
puran ini?” Kemudian jawab Raphael,
“Tidak ada salahnya kita mendengar dahulu. Mungkin me-
reka menawarkan penyerahan mereka dan mengaku kalah. Engkau
turut denganku?”
“Apa gunanya aku duduk di sini bila aku tidak turut bersa-
mamu, Raphael.” Jawab Yehudiel. Maka Raphael memberi tanda
pada Elcuriel, Lehimael dan Melhuriel. Majulah mereka bersama-
sama menyusul Emeriel yang menunggu di tengah medan tempur
itu.
Berhadapanlah para pemimpin barisan itu di sana. Saat
Yehudiel melihat Emeriel, berkatalah ia,
“Aku ingat siapa engkau. Mungkin aku pernah bertemu
denganmu. Ya, benar. Engkau adalah kerabat Sadhikiel itu. Benar.
Jahanam engkau mengkhianati sukumu, Cerubbiem.” Lalu kata
Emeriel, “Tidak perlu membahas itu, Malaikat Agung. Aku datang
untuk merebut kembali kota yang baru-baru ini kamu ambil dari
padaku. Mungkin tanpa pertempuran, engkau akan menyerahkan
kembali kota itu padaku. Karena engkau sudah mengenali aku,
Urapan Allah, baiklah aku katakan padamu. Akulah Emeriel,
hamba tuhan Luciel yang akan mengalahkan engkau dan seluruh
barisan Malaikat Agung. Bintang-bintang lama akan digantinya
dengan bintang-bintang baru dan lebih tinggi tempatnya. Akulah
pemimpin salah satu barisan tiga medali, barisan Zaganar, pengu-
asa kota-kota barat bukit. Bersamaku barisan Arthanag, barisan
Breftiel, penguasa Tanah Anggur dan bagian kota-kota Selatan.”
Lalu Raphael berkata,
“Engkau berbicara seperti orang yang tidak tahu mana
utara, mana selatan. Dengarkan aku, Emeriel! Kota-kota di seluruh
Tanah Barat sampai Selatan adalah milik Rephaiem. Dan aku,

109
Tangan Allah, Palu Allah, akan merebutnya kembali dari padamu.
Engkau bukan penguasa sama sekali atas tanah ini.” Lalu Yehudiel
tertawa dan berkata,
“Sangat disayangkan, Emeriel. Mungkin bila tuhanmu itu
hendak mengganti Barisan Bintang Timur dengan barisan bintang
yang baru, ia akan membutuhkan tangan yang lebih kuat dari
Tangan Allah.” Kemudian lagi kata Emeriel, “Baiklah mari kita uji,
seberapa kuat Tangan Allah yang kita bicarakan ini, Yehudiel.
Lihatlah! Ada bersamaku barisan besar Arthanag, penguasa Tanah
Anggur yang luas. Breftiel hamba Luciel, pelayan perintah
Leviathran.” Kemudian kata Raphael,
“Siapa yang peduli siapa dia dan siapa tuannya. Apa yang
kamu layani, adalah lebih rendah dari pada kebusukan. Karena
engkau bicara tentang siapa yang bersamamu, lihatlah! Bersamaku
ada Urapan Allah, seharusnya engkau menyebut namanya dengan
‘tuan’. Pikirmu ia ini saudaramu, sehingga engkau menyebutnya
sembarangan. Yehudiel, tidakkah engkau melihat Emeriel ini
nampak sedikit, bagaimana ya. Kotor? Mungkin?” Lalu kata
Yehudiel,
“Ya, ya, benar. Aku merasa aneh sejak pertama. Jadi itu
yang membuat pandanganku terganggu. Hei, Emeriel, engkau
terlalu kotor bagi kami. Sayangnya, minyak-minyakku tidak dapat
membersihkan engkau. Baiklah aku akan membawamu untuk
dibasuh dalam api, pada Uriel, Api Allah. Mungkin bila engkau
hangus dan menjadi abu, Sorga akan terasa lebih bersih.” Geramlah
Emeriel mendengar olokan para Agung. Namun para Agung tidak
merasa tegang sedikit pun. Mereka tertawa dan santai berbicara di
sana.
Masih mereka berbincang, datanglah Ekhinel itu bersama
rombongannya. Maka kata Raphael,
“Hei, lihat siapa yang datang. Yehudiel, dia itu yang mem-
bawa pedang. Dia tampak marah saat ini. Mari kita cari tahu, apa
yang ia inginkan.” Lalu kata Yehudiel,
“Ah, tidak. Dia tidak sedang murka. Lihatlah ia sebenarnya
menunjukan wajah ‘ganteng’nya saja.” Emeriel semakin geram
sekalipun bukan ia yang diolok oleh para Agung. Saat Ekhinel itu

110
mendekat, berserulah Emeriel, katanya, “Hei, Ekhinel! Apa urusan-
mu datang ke mari? Kembali pada barisanmu dan tunggu perintah-
ku.” Namun Ekhinel itu hanya berdiam dan wajahnya penuh
dengan murka. Kuasa dari pedang yang dibawanya telah
menguasai pikirannya dan ia tidak tunduk lagi pada Emeriel.
Saat Ekhinel sudah berhadapan dengan para Agung dan
Emeriel, berkatalah Ekhinel, “Aku tidak menerima perintah dari dia
yang meninggalkan hamba-hambanya dalam kesengsaraan. Engkau
telah jauh dari padaku dan suaramu tidak lagi kudengar. Hormat
padamu sudah sirnah dan hamba-hambamu akan berpaling dari
padamu, Emeriel!” Mendengar itu, berkatalah Yehudiel,
“Oh, lihatlah. Sungguh kita menjadi saksi atas peristiwa ini.
Seorang hamba telah menentang tuannya. Apa engkau geram,
Emeriel? Katakanlah sesuatu. Ayolah. Wajahmu nampak sedikit.
Ah, lupakan saja. Engkau terlalu kotor, aku tidak dapat melihat
wajahmu.” Tertawa lagi Raphael dan Yehudiel. Bahkan karena itu
para Rephaiem saudara-saudara Raphael yang di sana turut mener-
tawakan Emeriel. Kemudian Ekhinel itu mencabut pedang yang ada
padanya dan berkata, “Akulah Ekhinel, pemimpin barisan Eiglanar.
Dengan kuasa ini aku memerintah dan berkuasa atas hamba-
hambaku. Lihatlah hamba-hambamu meninggalkan engkau demi
aku, Emeriel. Inilah pedang Khirilas. Aku bersumpah akan membe-
lah tubuhmu menjadi tujuh belas bagian.” Terkejutlah Emeriel dan
ia menoleh ke belakang. Beberapa hamba yang ada dalam barisan-
nya berpindah pada barisan Ekhinel. Sementara Raphael dan
Yehudiel hanya tertawa-tertawa saja.
Karena geram, berkatalah Emeriel, “Akan kuhabisi engkau,
Ekhinel hamba jahat! Engkau telah melupakan tuanmu dan
tuhanmu. Maka engkau akan jatuh dalam penderitaan yang datang
dari murka tuhan!” Lalu tiba-tiba Raphael tertawa sangat lantang
dan melemparkan biji buah pada Emeriel sambil tertawa terbahak.
Lalu katanya,
“Rupanya sejak tadi dia geram, Yehudiel. Lihatlah ia murka
dan akan menumpahkan murka tuhannya. Aku berkata padamu,
Emeriel. Di saat terakhir, para Malaikat Agung akan menampari
tuhanmu itu dan menaruh malu padanya. Murka yang engkau

111
katakan itu tidak lebih dari tetesan embun. Bagaimana engkau akan
menumpahkan tetesan embun?” Lalu tertawa lagi Raphael itu
bersama Yehudiel.
Kembalilah Emeriel itu kepada barisannya karena ia tidak
tahan. Sementara Raphael dan Yehudiel, juga Ekhinel yang ada di
sana hanya berdiam menyaksikan. Lalu berkatalah Raphael pada
Ekhinel itu, katanya,
“Aku belum selesai denganmu, Ekhinel.” Namun Ekhinel
itu hanya berpaling dan kembali pada barisannya. Pula Raphael
dan Yehudiel kembali pada barisan Rephairiem. Berkatalah
Yehudiel pada Raphael, katanya,
“Ralph, kiranya biarlah ia membawa pedang itu. Lihatlah
bagaimana pedang itu merusak pikirannya. Ia sudah menentang
tuannya dan memecahkan barisan Zaganar. Biarlah ia memenuhi
sumpahnya. Setelah itu, pada akhirnya Bart-Archiel akan mengum-
pulkan kedua puluh lima pedang, dan pedang itu akan kembali
pada kita.” Maka terdiamlah Raphael dan ia hanya tersenyum.
Dari sana Raphael membagi barisannya menjadi dua. Kata
Raphael pada Yehudiel,
“Bawalah barisan ini. Pimpin mereka dalam pertempuran.
Anggap saja ini sebagai pemberianku, supaya engkau terbiasa
memimpin barisan, bila tiba saatnya Yehudiem membentuk barisan.
Perhatikan barisan yang di timur itu. Mereka barisan dari timur,
dari Gruined. Aku akan mengurus Emeriel dan Ekhinel ini. Setelah
pertempuran ini, kita menuju Daria, saudaraku. Kasih Yang Sulung
menyertaimu dan kita akan melewati pertempuran ini.” Berpisah-
lah mereka di sana. Kemudian berserulah Raphael memanggil
Melhuriel dan berkata,
“Melhuriel, bariskan barisanmu segera. Engkau lihat ben-
dera itu? Itulah bendera barisan tuan Yehudiel. Berbarislah di
belakang barisannya dan bila pertempuran terpecah, aku ingin
engkau mendukung barisan tuan Yehudiel itu. Ikuti perintahnya
bila ia memberi perintah padamu.” Lalu Raphael bertunggang ke
depan barisan dan bertemu dengan hamba Jegudi yang selalu ber-
samanya untuk meneruskan seruan perintah Raphael pada barisan.
Kata Raphael padanya,

112
“Baiklah Friegel, mari selesaikan ini. Siapkan barisan seperti
biasa. Engkau tahu apa yang harus kukatakan pada barisan ini.”
Maka segeralah Jegudi itu berseru-seru mengatur Rephairiem.
Siaplah barisan itu untuk maju.
Di depan barisan itu, Raphael menarik pedangnya dan ia
berseru, katanya,
“Majulah, Rephairiem!” Bersoraklah seluruh barisan itu dan
mereka mulai bergerak maju. Berlarilah barisan itu dan mereka
maju menyerang. Raphael mengatur barisannya memasuki medan
pertempuran dengan hebat. Namun saat semakin dekat mereka
dengan barisan musuh, Raphael melihat bahwa barisan Emeriel
tidak bergerak dan tidak maju menyerang. Ia juga melihat barisan
Ekhinel tidak bergerak dan dua barisan itu hanya berdiam saja.
Maka Raphael memerintahkan barisannya untuk berhenti di tengah
medan tempur, sebelum mereka sampai menghadapi musuh. Kata
Raphael,
“Apa yang mereka rencanakan ini? Akankah mereka ber-
tempur atau tidak? Aku muak melihat mereka berdiri di tanahku.”
Maka datanglah Elcuriel pada Raphael dan berkata,
“Mengapa kita berhenti tuan?” Lalu Raphael menunjuk ke
arah barisan musuh yang akan mereka hadapi. Dilihatnya barisan
itu tidak maju pada mereka. Maka kata Elcuriel,
“Sejak kapan Rephairiem menanti pergerakan musuhnya?
Mari kita bantai saja mereka di tempat mereka berdiri.” Namun
Raphael tidak menjawab dan hanya mengangkat tangannya mem-
beri tanda supaya Elcuriel diam. Raphael terus mengamati barisan
musuh.
Pada waktu itu barisan Yehudiel mulai bergerak dan ia
menempatkan barisannya di sebelah timur barisan Raphael. Kira-
kira dua panahan jarak dua barisan itu. Kata Yehudiel,
“Melhuriel, tahan barisan di sini. Jalan menuju barisan itu
menanjak dan akan merugikan kita bila kita yang menyerang. Kita
akan menunggu di sini untuk berjaga; bila-bila mereka maju untuk
menyerang, kita akan melindungi barisan tuan Raphael. Jaga baris-
an tetap siap. Kita tidak akan membiarkan barisan ini bersatu
dengan barisan Emeriel itu.” Maka berbarislah para Rephaiem itu

113
menghadap timur dan hanya berjaga saja mengamati pergerakan
musuh. Sedang Yehudiel ia duduk di atas tunggangannya di
belakang barisan itu dan melihat barisan Raphael. Sebab ia tidak
sibuk bertempur dan hanya menjaga supaya jangan barisan
Argantag tidak bersatu dengan barisan Zaganar.
Raphael masih mengamati barisan musuhnya. Ia melihat
dari jauh dan baru ia menyadari bahwa barisan itu tidak mengha-
dap padanya. Hanya baris depan saja yang menghadap para
Rephairiem, namun setelah baris pertama, seluruh barisan itu
menghadap barisan Eiglanar, barisan Ekhinel. Begitu juga dengan
barisan Eiglanar itu, mereka melakukan hal yang sama dan mereka
menghadap pada barisan Zaganar, barisan Emeriel. Maka berkata-
lah Raphael, katanya,
“Elcuriel, lihatlah! Dua barisan itu tidak siap menghadapi
kita. Namun mereka itu berseteru. Ya, dua barisan itu saling
berseteru. Lihatlah hanya baris pertama mereka yang menghadap
pada kita, dua barisan itu saling berhadapan, mereka akan saling
membantai. Siapkan barisan! Bawa barisanmu ke sisi kiri, serang
bendera Zaganar. Aku akan menangani Ekhinel ini. Katakan pada
Lehimael untuk berjaga di belakang barisan kita.” Maka bersiaplah
mereka dan maju segera menyerang.
Pada waktu itu Breftiel, bersama barisan besarnya, barisan
Arthanag, barisan hebat yang pernah mendobrak Gerbang Yehu.
Mereka hanya berdiam saja, sedang barisan Rephairiem yang di-
pimpin Yehudiel ada di hadapan mereka. Namun tidak sedikit pun
mereka ada pergerakan yang memperlihatkan akan bertempur.
Maka Yehudiel hanya bertenang-tenang di belakang barisan dan
melihat Raphael memimpin barisannya maju.
Sedang Raphael belum sampai pada barisan musuh, tiba-
tiba majulah barisan Eiglanar dan mereka menyerang barisan
Zaganar. Melihat peristiwa itu, bangkitlah Breftiel dan mulai
membawa barisannya maju bergerak. Berserulah Melhuriel pada
Yehudiel, katanya,
“Tuan Yehudiel, barisan musuh mulai maju pada kita.”
Maka terkejutlah Yehudiel dan ia segera bertunggang ke depan
barisannya. Yehudiel berseru, katanya,

114
“Bersiap untuk pertempuran putra-putra Rephaiem!” Berse-
rulah para pemimpin barisan dan para Rephaiem itu berseru-seru
siap untuk membantai musuh. Namun rupanya barisan besar itu
berhenti saat mereka masih berjarak kita-kita tiga panahan dari
barisan Yehudiel.
Raphael telah membawa barisannya maju dan para Repha-
iem itu berteriak seperti orang yang sangat murka dan penuh
dengan kemarahan. Mereka masuk dalam pertempuran dua barisan
dan menghardik mereka dengan hebat. Raphael tidak melihat
siapa-siapa yang ia lawan, tidak peduli apakah itu barisan Zaganar,
atau barisan Eiglanar, ia membantai semua yang ada di hadapan-
nya. Sedang barisan Eiglanar, tidak mempedulikan barisan
Rephaiem, malahan mereka menjauhi barisan Rephaiem ke selatan
namun tetap saja memukul barisan Zaganar. Berserulah Raphael,
“Biarkan mereka yang pergi! Bantai saja yang ada di
hadapanmu, Rephairiem!” Maka mulailah tertekan barisan Zaganar
dan mereka terhimpit di sana. Karena terhimpit, berlarilah Emeriel
memohon bantuan.
Emeriel itu berdiri dan mengibarkan benderanya pada ba-
risan Arthanag di kejauhan. Namun dari kejauhan, Breftiel melihat
bahwa Emeriel memberi tanda meminta bantuan, maka ia berseru,
katanya, “Aku tidak ada urusan dengan barisanmu, Emeriel! Lihat-
lah barisanmu saling membantai. Urusanku adalah dengan para
Rephaiem pengganggu Tanah Anggur!” Kemudian berpalinglah
Breftiel itu dan ia pergi dari sana. Begitu pula dengan seluruh
barisan Arthanag, mereka pergi begitu saja dari pertempuran dan
kembali ke Gruined. Karena hal itu, bersoraklah seluruh Rephaiem
yang bersama Yehudiel, karena musuh mereka pergi dari hadapan
mereka sebelum bertempur. Kata Yehudiel,
“Kasih dari Sang Terang menyinarimu, Rephairiem! Musuh-
mu berlari dari hadapanmu, bahkan sebelum kamu berlari me-
nyerang mereka!” Lalu Yehudiel bertunggang ke belakang barisan
dengan membawa benderanya, katanya,
“Putar! Putar barisanmu! Berlari pada tuanmu! Pada Tangan
Allah!” Seketika itu juga berpalinglah seluruh barisan itu dan
berlari menyusul Raphael.

115
Sedang saat itu Emeriel melihat bahwa barisannya ditinggal-
kan dan dibiarkan terbantai oleh sekutunya. Maka berkatalah
Emeriel, “Mereka meninggalkan aku. Breftiel telah meninggalkan
aku. Arthanag telah mengabaikan kita! Tinggalkan pertempuran!
Lari, larilah demi keselamatanmu!” Maka terberailah barisan
Zaganar dan mereka meninggalkan pertempuran berlari ke selatan.
Barisan itu mulai berlarian dari sana, sedang barisan Eiglanar masih
terus menahan mereka dari selatan. Para Rephaiem juga mengejar
dari utara. Namun saat Ekhinel melihat bahwa barisan Rephairiem
akan mendekat pada barisannya, juga seluruh barisan Yehudiem,
berseru pula ia memerintahkan barisannya untuk pergi. Ia berteriak
karena takut dan menarik barisannya dari sana.
Bersoraklah para Rephaiem itu dengan hebat dan mereka
membantai banyak sekali di sana. Yehudiel mendapati Raphael di
tengah keramaian itu dan katanya,
“Kita menang, Raphael! Bahkan barisan yang engkau perca-
yakan padaku, kami telah menang sebelum bertempur. Syukur,
syukur pada Yang Kudus!” Mereka saling berpelukan dan mengu-
cap syukur, sedang pada Rephaiem bersorak-sorai karena kemena-
ngan besar itu. Datanglah Lehimael pada Raphael dan berkata,
“Haruskah kita mengejar mereka, tuanku? Barisan mana
yang harus kita kejar?” Namun jawab Raphael,
“Ini saatnya untuk mendengarkan saran Elcuriel. Barisan ini
perlu istirahat. Kita baru saja melalui pertempuran terbuka, Lehi-
mael. Perintahkan barisan untuk beristirahat dan bawa yang terluka
ke Tanah Roti. Ambil semua jarahan dan bawa juga bersama-sama
yang terluka. Kita rayakan kemenangan kita di padang. Saudaraku,
aku berjanji padamu, setelah ini, kita akan merayakan kemenangan
kita dan berjamu. Di Daria, kota jantung bukit!” Maka semakin
hebat para Rephaiem itu bersorak merayakan. Lalu berdiamlah
barisan itu di sana dan mengerjakan sisa pertempuran.

Sementara itu, pembantaian besar di Selanor telah menjadi-


jadi. Para Seraphiem membantai banyak sekali legion di sana dan
tidak membiarkan satu orang pun luput dari murka mereka. Kota

116
itu telah diserang habis dan dikuasai oleh Seraphiem. Datanglah
Mahanael pada Frantiel dan berkata,
“Barisanku telah selesai dengan Selanor. Engkau pergilah
segera dan lakukan tugasmu. Aku akan memimpin barisan ini
seperti rencana. Bila kita sudah menguasai enam kota di Tanah
Selatan ini, maka kita telah merebut Tanah Seraphiem ini, Frantiel.
Berilah tanda pada tuan Mondrael, majulah ke Pahr dan Phanto
sekarang!” Bersoraklah para Seraphiem itu dan Frantiel memimpin
barisannya melalui Perbukitan Arhanor, sedang Mahanael
bertunggang memimpin barisannya ke Kota Seldor. Pada waktu itu
Gissel tengah duduk bersama para pemimpin barisan Legiunnya.
Mereka ada di Slaire dan menanti-nantikan kabar dari para
pengintai mereka.
Padahal saat itu hamba-hamba legion yang dikirim untuk
mengintai telah ditangkap para Seraphiem dan diserahkan ke
depan kaki Mondrael. Datanglah para legion yang lain untuk
melapor pada Gissel tentang hasil pengintaian. Di saat yang
bersamaan, datang utusan Gurim-Mahel untuk menanyakan pada
Gissel tentang bantuan dari Selatan. Kata hamba yang satu, “Tuan,
para pengintai telah mencari ke mana-mana dan tidak mendapati
barisan Seraphiem. Namun tentang perkemahan besar di Tanah
Luas Selatan masih ada di sana, mungkin para Seraphiem telah
mundur kembali ke tempat mereka sebelumnya, tuan. Adapun para
pengintai di daerah ujung selatan belum kembali, mungkin mereka
masih dalam perjalanan.” Perkemahan yang dimaksudkan pengin-
tai itu adalah perkemahan para Seraphiem di Padang Luas Selatan
yang ada dipimpin Gelabriel, hamba pembesar Seraphiem.
Belum Gissel memberi jawabannya, hamba yang lain ber-
kata, “Tuan Gissel, aku diutus tuan Gurim-Mahel dari Tanah
Perbukitan Barat. Aku datang untuk menanyakan apakah bantuan
Legiun akan datang ke Tanah Barat. Sebab saat ini Ardur, telah
jatuh. Barisan Rephairiem yang besar bergerak terus menekan ke
Selatan. Bila tuan tidak mengirim bantuan, Rephairiem akan dapat
mencapai Tanah Selatan juga.” Namun murkalah Gissel itu dan
berkata, “Pada Gurim-Mahel ada barisan legion yang sudah kuki-
rimkan sebagai bagiannya. Sedang padanya juga ada sekutu dari

117
Selatan, barisan Bath-Pometh. Aku tahu apa yang dilakukan mereka
di Tanah Barat itu. Bukankah Breftiel, Marphiel dan Emeriel itu
hanya saling mementingkan kepentingan diri mereka sendiri.
Kembalilah pada tuanmu itu dan katakan: Tanah Selatan sedang
membutuhkan barisannya. Saat ini pun kami sedang bertempur
melawan para Seraphiem yang tidak henti-hentinya merebut kota-
kota kami. Aku tahu bahwa barisan Bath-Pometh juga berdiam di
Tanah Selatan, di Kota Raphael. Mengapa tidak mereka saja yang
membela Tanah Barat dari Rephairiem?
Dan bila barisan Erviarath sendiri tidak dapat bersatu dan
membela Tanah Barat demi diri mereka sendiri, Legiun tidak akan
bertempur demi mereka. Bagaimana bisa barisan Legiun harus
berjalan dari Selatan, ke Tanah Barat hanya untuk bertempur
melawan Rephairiem, sedang barisan Erviarath hanya duduk
melihat kami terbantai demi tanah kekuasaan mereka. Katakan
pada Gurim-Mahel: Aku memintanya untuk pulang pada Legiun
dan jangan lagi berkumpul dengan para penguasa Tanah Barat itu,
juga dengan Eftiel. Mereka telah merusak Gurim-Mahel!” Maka
kemudian pergilah utusan itu dengan membawa jawaban Gissel.
Sedang waktu itu, Mikhael, Sealtiel dan Gabriel masih ada
di Durie dan mereka masih menanti para Rephaiem. Sudah cukup
lama mereka menanti para Rephaiem itu bersiap-siap. Maka bang-
kitlah Mikhael dan mendapati Helanael, katanya,
“Helanael, mengapa begitu lama bagi kamu semua untuk
meninggalkan tempat ini? Persiapanmu sangat panjang dan aku
telah lama menanti.” Lalu jawab Helanael,
“Ampuni kami, tuanku. Kiranya tuan masih mau menunggu
kami sebentar lagi saja. Lihatlah mereka, para Rephaiem ini, tuan-
ku. Mereka telah lama diam di tanah ini dan dengan tangan mereka
sendiri mereka membangun kota yang hebat ini. Sekarang kami
harus meninggalkannya, sedang kota ini telah mendapat kasih dari
kami. Biarlah kami berlama-lama dan mengadakan perpisahan
dengan tanah ini.” Mendengar itu, geramlah Mikhael dan berkata,
“Dasar kamu Rephaiem yang tidak berpikir. Benarlah
engkau jauh dari tuanmu bila kamu masih memikirkan hal-hal yang
seperti itu. Helanael, engkau dengarlah perkataanku. Barisan

118
Rephairiem telah maju ke Daria dan mungkin saat ini mereka telah
menderita dan sengsara dalam pertempuran yang hebat. Musuh
yang harus mereka hadapi sangat banyak dan kota yang harus
mereka serang itu sangat kuat. Aku memintamu dan seluruh
Rephaiem ini untuk membantu tuanmu, tuan Raphael dalam
pertempuran dan malah kamu semua berlama-lama di sini. Setelah
kamu kembali pada tuanmu, aku sendiri akan memohonkan pada-
nya supaya kota ini, yang telah kamu bangun disahkan menjadi
kota yang tercatat. Dan kamu semua akan dapat kembali ke sini.
Maka jangan mengadakan perpisahan dengan kota ini dan berlama-
lama. Gerakan kaki-kakimu dan cepat pergi dari sini!” Maka
takutlah para Rephaiem yang mendengar Mikhael. Mereka cepat-
cepat bersiap untuk pergi dari sana. Namun juga karena itu mereka
bersuka. Sebab kota yang mereka bangun akan disahkan menjadi
bagian Tanah Sorga.
Barisan Rephairiem telah mengerjakan sisa-sisa pertem-
puran dan mereka beristirahat di sana. Duduklah Yehudiel dekat-
dekat dengan Raphael dan berkata,
“Saudaraku, menurutmu saat ini di mana saudara-saudara
kita yang lain?” Kemudian jawab Raphael,
“Mungkin memang engkau merindukan dan memikirkan
saudara-saudara yang lain, Yehudiel. Aku pun juga merasakan
yang sama denganmu. Namun kiranya janganlah itu memberatkan
kita dalam masa-masa ini. Di sini, aku dan engkau berjuang dengan
hebat demi Sorga. Tentulah saudara-saudara yang lain saat ini juga
tengah berjuang demi Sorga dengan sekuat tenaga mereka. Yang
dapat kuperkirakan, mungkin Serael telah bergerak ke Derie saat
ini. Sebab ia memiliki hasrat yang kuat untuk menguasai kota itu,
Yehudiel. Aku telah menahannya, supaya ia maju ke Daria sebelum
Derie. Namun tetap saja ia sangat menginginkan Derie. Kota itu
adalah penghubung dan jalan di jalur barat bukit dan sangat besar
pengaruhnya. Bila Serael dapat menguasainya, maka barisan mu-
suh akan terputus dan terpisah. Mungkin memang akan lebih
mudah bagi kita semua bila Serael melakukannya. Namun Kota
Derie ini, kota itu dijaga dengan hebat. Aku tahu sekalipun aku
belum melihat keadaannya. Sebab tentulah kota itu akan menjadi

119
sasaran musuh, bila mereka hendak menguasai Tanah Barat dan
Selatan secara berasamaan. Terlalu bahaya bagi Serael bila itu
menyerang kota itu dengan terburu-buru. Barisan yang dibawanya
itu sangat sedikit dan menurutku hal itu sangat tidak waras. Serael
telah menyerang Rapharium dan Araria dengan tujuh belas barisan
saja, Yehudiel. Tidak ada yang dapat dan tidak akan ada yang dapat
melakukan hal seperti itu lagi.
Sekarang Derie telah menjadi sasarannya. Mungkin setelah
dari Tanah Altar, Serael akan membawa kira-kira dua ratus barisan.
Dan itu sangat cukup baginya untuk menguasai Derie. Namun
tidak akan cukup untuk mempertahankannya.” Lalu kata Yehudiel,
“Kita harus segera maju ke Daria dan kemudian kita dapat
menyokong barisan Seraphiem dari belakang, Raphael. Bila tidak,
Derie akan menjadi akhir perjalanan hebat barisan Seraphiem itu.”
Maka lagi kata Raphael.
“Tidak cukup hanya dengan menguasai Daria. Aku mera-
sakan kekuatan besar tengah berkumpul di Tanah Ranting. Kita
telah lama mengabaikan kekuatan di sana. Idarun akan bangkit
melawan kita nantinya. Bilapun kita menguasai Derie dan Daria,
musuh akan berbondong-bondong mendatangi kita untuk merebut-
nya kembali. Yehudiel, apakah engkau tahu apa yang sebenarnya
dihasratkan Serael dari Derie?”
Maka jawab Yehudiel, “Menurutku seperti perkataanmu
tadi. Itu akan menguntungkan barisan tentara Sorga. Bila musuh
terputus hubungannya. Akan lebih mudah bagi kita untuk merebut
kota-kota kita kembali. Lagipula hubungan barisan musuh yang di
Utara telah terputus. Sekarang kita harus memutuskan hubungan
barisan musuh yang di Barat dan di Selatan.” Kemudian terse-
nyumlah Raphael dan ia memandang pada Yehudiel, katanya,
“Derie, Yehudiel. Mungkin engkau tidak pernah ke sana.
Atau mungkin engkau jarang melaluinya. Kota ini adalah pusat
pemikiran para penempa. Sekalipun para penempa hebat ada be-
kerja di Selatan, namun segala keahlian mereka ada di Derie. Sebab
kota itu sangat baik letaknya. Kayu dari Tanah Barat, akan me-
laluinya bila hendak ke Selatan. Anggur, melimpah dari Gruined,
akan turun ke Daria dan akan juga melalui Derie. Besi-besi dan

120
batu-batu tempaan dari Selatan akan juga melalui mereka. Roti dari
Rapharium akan memenuhi tempat itu. Buah-buah dari ladang
Utara, akan melimpahi kota itu, sebelum sampai ke Selatan. Pada
masa mula-mula kita diangkat sebagai Malaikat Agung, para
penempa yang ada di suku Rephaiem telah duduk di kota itu.
Mereka merancang segala sesuatu, yaitu alat-alat yang hebat untuk
menempa. Sebab segala bahan akan mereka dapat di Derie. Di sana-
lah mereka membuat berbagai alat hebat untuk menempa, Yehu-
diel. Sampai saat ini, alat-alat itu masih berdiam di Derie, beberapa
belum dibawa ke Selatan dan hanya yang baik saja yang ada di sana
sebagai tanda kebesaran kota itu.
Sekarang ini, barisan Seraphiem telah menerima berbagai
senjata dan bahkan juga baju-baju pelindung. Namun Serael tahu,
bahwa aku akan menempa lebih baik lagi bila dengan alat-alat yang
baik. Serael ingin supaya barisannya lebih kuat lagi dalam pertem-
puran dan dengan begitu, Seraphiem akan menjadi perkasa dan
hebat. Sekalipun Serael tidak mengatakan itu, aku dapat mengeta-
huinya, Yehudiel. Engkau dapat melihat semua itu dari matanya,
dari kata-katanya dan dari gerakan tangannya.” Lalu kata Yehudiel,
“Ya, benar. Kita dapat mengetahuinya. Namun bukankah
itu baik, Raphael? Bila para Seraphiem dapat menjadi kuat dan
hebat dalam pertempuran. Tidak akan ada yang dapat menga-
lahkan mereka.” Lalu kata Raphael,
“Aku tahu. Memang kita semua selalu memikirkan itu. Aku
berkata padamu, Yehudiel. Engkau telah melihat aku lemah di
Tanah Altar. Setelah pertempuran di Araria. Rephairiem terserak di
sana dan kami kacau balau karena musuh. Luciel telah membang-
kitkan barisan yang kuat. Para malaikat yang dibentuk Sang Sulung
dari pohon-pohon Hutan Utara. Kayunya sangat kuat dan keras,
namun juga ringan. Bahkan untuk mengambil kayunya, kita harus
mencabut pohonnya, karena tidak ada satu benda tajam pun yang
dapat menembus kayu itu, Yehudiel. Belum pernah kau melihatnya.
Pukulan pedang dan kapak hanya akan menggoncangkannya
namun tidak menembusnya. Bila para Seraphiem ini menjadi kuat
dan hebat, Serael akan merasa tidak terkalahkan. Tentu ia akan
memimpin barisannya maju ke Utara dan menghadapi Luciel. Aku

121
takut, bila mereka harus melawan barisan Arghantron itu. Sekali-
pun pedang dan tombak Seraphiem kuat, barisan itu akan mem-
bantai banyak sekali Seraphiem nantinya.” Terdiamlah mereka di
sana dan berhenti berbincang. Lalu memikirkan semuanya itu.

Pada saat-saat itu Raziel dan Ammatiel tengah dalam pe-


ngerjaan rencana mereka. Karena mereka takut bila musuh menye-
rang Tanah Timur dari Utara, mereka memutuskan untuk barisan
Timur menyerang lebih dahulu. Semua bermula dengan dua jalan
sempit melalui satu gunung dan beberapa bukit. Jalan dari Tanah
Utara ke Tanah Timur, jalur Eirlum dan jalur Eimitia. Para Raziem
sudah mengintai ke Kota Skuria, sebab hanya kota itu yang dapat
menjadi jalan masuk ke dua jalur ke Tanah Timur. Kembalilah para
pengintai itu ke Haruia mendapati para Agung dan menyampaikan,
katanya,
“Kota itu masih kosong, tuanku. Keadaannya masih sama
seperti saat para Raziem meninggalkannya. Tidak ada musuh yang
berjalan-jalan di sana.” Kemudian diperintahkan para pengintai itu
pergi lagi.
Berkatalah Ammatiel pada Raziel, katanya,
“Kita harus mengisi kota itu lagi, saudaraku. Sementara itu,
kita juga harus memperkuat Haruia, supaya bila memang musuh
menyerang Skuria nantinya, kita masih dapat bertahan di Haruia.”
Lalu jawab Raziel,
“Tepatlah apa yang engkau katakan. Aku juga akan
memperkuat Krui. Bila rencana penyerangan kita diketahui musuh,
mereka tentu menyangka pusat barisan kita ada di Haruia. Mereka
tidak akan memperhatikan kota kecil seperti Krui. Karena itulah
aku akan menempatkan pusat kekuatan Rendurum di Krui dalam
penyerangan ini.” Lalu kata Ammatiel,
“Baiklah biarkan Drenthiriem mendapat tempat di sini, jika
begitu. Dari Haruia aku dapat dengan mudah menahan musuh. Gu-
nung ini akan tepat bagi para pemanahku.” Maka kemudian dibuat-
lah semuanya dan diperintahkan para Ammatiem dan Raziem di
sana.

122
Barisan Drenthiriem memenuhi Haruia dan barisan
Rendurum memenuhi Krui. Dari dua barisan dikirim banyak sekali
hamba untuk memenuhi kembali Kota Skuria. Setelah semua
perintah disampaikan, berkatalah Ammatiel,
“Saudaraku, bila kita menempatkan banyak penjaga di kota-
kota, barisan untuk menyerang akan kurang. Bila menjalankan
rencana ini, kita akan kekurangan jumlah untuk penyerangan.”
Kemudian berkatalah Raziel,
“Mungkin engkau tidak pernah memikirkan ini, saudaraku.
Namun ada kekuatan hebat bersama kita. Hanya saja, untuk
memanggil mereka kita akan memerlukan sedikit usaha.” Maka
kata Ammatiel,
“Sungguh aku tidak tahu apa yang engkau bicarakan ini,
saudaraku.” Maka kata Raziel,
“Ada seorang Jegudi yang sangat mendambakan pertem-
puran. Namun tidak ada seorang Malaikat Agung pun yang hendak
membawanya. Bahkan dalam barisan Jegaduriem ia tidak ditugas-
kan untuk bergabung barisan-barisan tempur. Bila aku menyebut-
nya, engkau akan mengerti apa yang kubicarakan ini.” Maka kata
Ammatiel,
“Katakanlah, Raziel!” Maka kata Raziel,
“Gambariel, salah satu dari dua puluh lima pembawa
pedang. Ia akan membangkitkan kekuatan besar bagi kita. Hanya
saja, kita harus berusaha membawanya dalam pertempuran ini.”
Lalu kata Ammatiel,
“Sungguh hikmat itu ada diam di dalammu, saudaraku. Bila
kita bertempur di Tanah Utara, maka tentulah barisan Utara sendiri
juga harus turut bersama kita.” Setelah itu mereka mulai menyusun
dan membicarakan berbagai rencana mereka di sana.

Mondrael di Selatan bersama barisannya, mereka sedang


menanti tanda dari Frantiel. Sebab saat itu mereka sudah sangat
tidak sabar untuk maju melawan dan membantai para Legiun di
kota-kota. Karena lama menanti, masuklah Mondrael dalam
tendanya. Katanya pada seorang hambanya,

123
“Terus awasi perbukitan itu. Kapan pun engkau melihat
tanda, biarlah para Jegaduriem segera memerintahkan barisan ini
untuk maju bergerak.” Kemudian duduklah ia dalam kemahnya
dan menulis surat-surat untuk memberi kabar pada Gelabriel.
Dengan cara itu Mondrael terus memberi kabar pada para Agung,
yaitu melalui Gelabriel.
Belum ia menulis surat yang kedua, masuklah hambanya
dengan tergesa-gesa, katanya,
“Barisan tiga puluh, mereka telah maju tuanku. Ada suar api
menyala di antara perbukitan. Kita siap bergerak.” Maka bangkitlah
Mondrael dan berlari ke luar mendapati tunggangannya. Sedang
para Seraphiem di sana berlarian ke sana ke mari mencari barisan
mereka masing-masing. Bertungganglah Mondrael ke depan
perkemahan dengan berseru-seru, katanya,
“Bangkitlah Seraphiem! Gerakan kaki-kakimu, putra-putra
Selatan! Inilah saatnya kita bangkit, inilah kemenangan kita!” Ber-
kibarlah panji-panji barisan dan sangkakala ditiup di sana. Mereka
berlari sebelum mengatur barisan. Para Seraphiem itu hanya berlari
maju saja ke Pahr.
Sedang saat itu barisan Rephairiem telah bersiap untuk maju
ke Kota Daria. Barisan itu bersiap dengan cepat dan mereka di sana
beristirahat tanpa membangun tenda, maka lebih cepat mereka
berangkat. Berkatalah Raphael pada Yehudiel, katanya,
“Yehudiel, kiranya pimpinlah lagi barisan yang kuperca-
yakan padamu itu. Aku melihat engkau belum sempat bertempur
sebelumnya. Dalam penyerangan ini, tentu engkau akan mendapat-
kan kesempatan menggunakan barisan itu untuk bertempur.” Lagi
kata Raphael, “Mengenai Serael dan segala hal yang ada di Derie,
kiranya jangan itu mengganggu pikiranmu. Bila nanti kita men-
dapati Serael, ya, bila ia belum maju ke Derie, tentu kita akan
mendapatinya di Daria. Kiranya engkau akan membantu aku untuk
bicara padanya. Supaya jangan bila para Rephaiem sudah memper-
kuat barisan Seraphiem, jangan Serael membawa barisannya ke
Utara begitu saja.” Kemudian kata Yehudiel,
“Aku sudah memikirkannya, saudaraku. Memang benar apa
yang engkau katakan itu. Dua puluh lima pedang harus memiliki

124
tuan dan para pemegang pedang itu harus bersatu dalam melawan
Luciel.” Naiklah mereka ke atas tunggang dan barisan itu bersiap
untuk berangkat dari sana. Persiapan mereka cukup panjang,
karena memang jumlah para Rephaiem di barisan itu sangat banyak
juga.
Pada saat-saat yang hampir bersamaan, barisan Seraphiem
dan Rephaiem yang ada di Durie mulai bergerak meninggalkan
kota. Mereka semua para Rephaiem beramai-ramai mengambil
senjata mereka yang sudah cukup lama tidak mereka pegang dan
meninggalkan kota itu. Para Agung bertunggang di depan barisan
itu. Mikhael berseru-seru pada para Rephaiem, katanya,
“Kamu sekalian adalah para Rephaiem, hamba-hamba
Tangan Allah. Kamulah yang mendiami tanah-tanah sepanjang
Selatan, Barat, sampai perbatasan Utara. Bangkitlah, rebut kembali
tangan-tanganmu dan kembalilah kamu sekalian pada tuanmu.
Sebab pada tuanmulah kamu menaruh setiamu!” Berangkatlah
barisan itu dari sana. Para Seraphiem berbaris memanjang melalui
jalan sempit yang ada, jalur kambing gunung. Sedang para Sera-
phiem masuk melalui hutan-hutan dan mereka sudah terbiasa
berjalan menembus hutan yang rapat di sana. Perjalanan rombo-
ngan barisan dari Durie itu tidak jauh, namun akan lama karena
jalan yang mereka lalui memang sulit untuk di lalui. Mereka akan
sampai ke Daria kira-kira dalam satu setengah Shakta.
Raziel dan Ammatiel telah tiba di Krui untuk melihat
keadaan di sana. Raziel menulis surat pada Gabriel dari sana dan
mengirimkannya. Surat itu adalah mengenai permohonan Raziel
supaya Gabriel memberi kuasa padanya atas Gambariel, hamba
Jegudi untuk dibawa ke Haruia untuk suatu pertemuan. Saat meli-
hat pekerjaan di Krui, berkatalah Ammatiel pada Raziel, katanya,
“Para Rephaiem telah membuat rumah-rumah kerja semen-
tara di Tanah Roti. Mereka sudah dapat mengurus beberapa hal
sekarang, termasuk surat-surat permohonan untuk pembangunan.
Kiranya tulislah juga surat pada mereka. Supaya setelah Nai selesai
dibangun, para Rephaiem itu dapat pergi ke Skuria dan memba-
ngun benteng pertahanan di sana.” Lalu jawab Raziel,

125
“Ya, ya, benar. Aku sudah memikirkan itu, namun aku lupa
untuk menulisnya. Saudaraku, kiranya biarlah benteng pertahanan
yang kita bicarakan dibangun di Krui dan Haruia saja. Sebab bila
Skuria direbut musuh, jangan mereka mendapat benteng juga di
sana.” Maka sepakatlah mereka lalu menulis surat-surat itu.
Kemudian berkatalah Raziel pada Ammatiel,
“Setelah ini, aku akan melihat pekerjaan di Skuria, lalu dari
sana aku akan kembali lagi ke sini. Sebab menurut para hamba
yang ada di sana, sejauh pemandangan dari kota itu, tidak nampak
pergerakan musuh. Aku ingin melihatnya sendiri. Sebab tidak
pernah lagi para malaikat melihat Tanah Utara, sejak Luciel
menguasainya. Engkau pergilah ke Hugtaria. Kabar terakhir yang
kudengar, Gambariel ada di sana. Ia ada di rumah kerja penyalinan
surat-surat. Berdiamlah di Hugtaria beberapa saat sampai surat
Gabriel datang padamu. Saat engkau kembali, aku akan menan-
timu di Krui.” Lalu kemudian Ammatiel berkata padanya,
“Aku akan pergi begitu kereta tarikku siap, Raziel. Bawalah
sertamu cincin ini. Aku mempercayakan seluruh barisan Drentihi-
riem padamu, sampai aku kembali. Kiranya kita akan berhasil,
Raziel.” Ammatiel memberikan suatu cincin pada Raziel di sana.
Lalu berpisahlah mereka. Ammatiel pergi bersama rombongannya
ke Kota Hugtaria, Tanah Jegudiem. Sedang Raziel pergi ke Kota
Skuria.
Raphael dan Yehudiel telah sampai di perbatasan Tanah
Timur Bukit, Tanah Rephaiem. Mereka berjalan bersama seluruh
barisan Rephairiem, mengikuti batas pepohonan di sana. Kemudian
sampailah mereka pada penghujung garis pepohonan dan nampak-
lah kota yang mereka tuju, Kota Daria. Berkatalah Raphael,
“Yehudiel, inilah Daria itu. Kita sudah di sini sekarang. Kota
pemisah bukit-bukit. Hanya ada satu jalan dari sini untuk masuk ke
kota. Kiranya engkau mau membantu aku menata barisan. Marilah,
tidak ada waktu untuk beristirahat. Kita serang kapan pun setelah
barisan ini siap!” Maka segeralah Yehudiel berpaling dan mengum-
pulkan barisan yang dipercayakan Raphael padanya. Mereka
mempersiapkan barisan mereka masing-masing dan Daria akan
segera jatuh dalam kuasa para Agung.

126
Waktu itu adalah Ekhinel yang ada di dalam Kota Daria,
bersama para pengikutnya. Mereka sudah mengetahui bahwa
barisan Rephairiem akan datang pada mereka. Ekhinel sudah
mempersiapkan rencana-rencananya saat itu. Raphael bertunggang
dari tengah barisan ke depan dan melihat Daria dari kejauhan.
Kemudian Raphael mengangkat pedangnya dan berseru,
“Majulah, Rephairiem!” Bergeraklah seluruh barisan itu
maju ke Daria. Yehudiel ada berbaris di sebelah selatan barisan
Raphael, tempatnya lebih dekat dengan kota. Yehudiel melihat bah-
wa barisan Raphael mulai bergerak maka segera ia memimpin
barisannya maju. Yehudiel berseru pada para Rephaiem yang
dipimpimnya, katanya,
“Bangkitlah Rephaiem! Lihatlah, tuanmu akan maju me-
ngambil kota itu dari musuh! Marilah kamu bersamaku membuka
jalan bagi Tangan Allah dan barisannya!” Majulah seluruh barisan
Yehudiel itu dan mereka berlari di depan barisan Raphael.
Para Rephaiem mulai mendekati kota, keluarlah barisan
yang mempertahankan kota itu. Barisan Eiglanar, di bawah pim-
pinan Ekhinel. Namun saat itu Ekhinel memimpin barisannya
hanya dari dalam kota saja. Sedang barisannya berbaris di depan
kota itu, menghadapi Rephairiem yang besar. Ekhinel sendiri
menyebut pertempuran itu pertempuran Garhanare, sebab barisan
Eiglanar sama sekali tidak sebanding dengan Rephairiem. Yehudiel
melihat bahwa ada barisan yang menanti ia di depan kota, maka
semakin cepat ia memacu tunggangannya dan mendahului barisan-
nya. Raphael juga melihat apa yang dilakukan Yehudiel itu, maka ia
memperlambat barisannya, untuk memberi kesempatan pada Yehu-
diel. Karena Raphael tahu bahwa Yehudiel ingin sekali beraksi
dalam pertempuran.
Yehudiel bangkit di atas tunggangannya, ia menunggangi
kerbau padang dengan berdiri di atasnya. Matanya menyala dan
terarah pada barisan musuh yang ada di depannya. Yehudiel
mencabut pedangnya dan ia menanti saatnya. Ketika ia mulai dekat
dengan barisan musuh, melompatlah ia dari tunggangannya.
Sedang kerbau tunggangannya terus berlari menghardik barisan
musuh. Sedang Yehudiel mendarat tepat di saat musuhnya sudah

127
kacau karena kerbau yang menghardik mereka. Yehudiel mendarat
dan ia mulai membantai musuh di depannya. Maka musuh yang
ada di sekitarnya memperhatikan Yehudiel dan berusaha memu-
kulnya. Sedang Yehudiel mulai terkepung, datanglah barisan
Rephaiem yang ada dibelakangnya membantai musuh yang hanya
memperhatikan Yehudiel itu.
Terpecahlah pertempuran terbuka di sana. Tidak lama
mereka bertempur, datanglah barisan Raphael memukul sisi utara
barisan musuh dan pertempuran terjadi di sana. Hebatlah pertem-
puran di sana, hanya tidak sampai lama berlangsung. Barisan mu-
suh kewalahan menghadapi barisan Rephairiem, maka berlarilah
mereka meninggalkan pertempuran dan masuh dalam kota.
Rephairiem terus mengejar sampai ke dalam kota dan mereka
berusaha masuk, namun pertahanan Eiglanar cukup hebat di sana.
Ada empat pintu kota di sebelah timur Daria. Dua pintu
tengah menghadap timur dan pintu yang di ujung utara, mengha-
dap utara. Sedang yang paling selatan serong ke selatan. Sedang
pembatas kota itu ada tembok yang dibangun para Rephaiem,
setinggi satu setengah kilang saja. Namun sejak kota itu dikuasai
musuh, temboknya dipertinggi menjadi kira-kira dua kilang. Ada
kayu-kayu runcing yang di pasangkan pada dasar tembok untuk
menghalangi apa pun yang ingin mendekati tembok. Barisan Eig-
lanar menutup pintu paling utara dengan batu dan kayu, sehingga
tidak bisa dilalui. Dua pintu tengah mereka persempit dan hanya
cukup untuk dilalui empat sampai tujuh orang saja. Sedang pintu
yang paling selatan itu jalannya menanjak naik, maka barisan
Rephairiem kalah unggul bila harus masuk dari sana. Sebab musuh
akan lebih mudah memukul dan melempari mereka dari atas. Di
dua pintu yang tengah, barisan musuh menggunakan tombak-
tombak panjang dan menghalangi para Rephaiem masuk dalam
kota. Sedang mereka hendak memanjat tembok, tembok itu dijaga
dengan kayu-kayu runcing yang benar-benar tajam.
Di atas tembok itu ada juga para penjaga yang membawa
palu dan kapak. Maka para Rephaiem tidak mencoba untuk me-
manjat. Sehingga pada waktu penyerangan itu, tidak ada pertem-
puran terbuka dan sangat lama pertempurannya, namun sangat

128
sedikit yang jatuh. Sebab kedua barisan hanya saling berhadapan
tanpa dapat saling memukul. Dengan cara itulah Ekhinel menahan
Rephairiem. Namun ia sendiri tahu, keadaannya tidak mungkin
terus bertahan seperti itu.

Sementara itu para Agung yang dari Kota Durie, bersama


para Rephaiem, mereka masih dalam perjalanan. Berkatalah
Mikhael pada pemimpin Rephaiem, Helanael itu, katanya,
“Berapa lama lagi pandanganku akan mendapati Daria,
Helanael?” Maka jawab Helanael, katanya,
“Jalan di sini jarang dilalui sejak Daria jatuh dalam kuasa
musuh, tuanku. Maka jalan-jalan ini telah menjadi asing dan tidak
terawat. Setelah melalui gunung ini, jalannya akan semakin sempit
dan akan memperlambat perjalanan.” Mengetahui itu, berkatalah
Gabriel,
“Mikhael, akan terlalu lama bila harus mengikuti jalan ini
dan bertunggang bersama barisan. Aku akan bertunggang menda-
hului barisan untuk melihat apa yang terjadi di Daria. Aku ingin
mengetahui apa yang sebenarnya terjadi.” Namun Mikhael berkata,
“Engkau akan tetap bersamaku, Gabriel. Kita akan mengi-
rim utusan, itu lebih baik bagimu.” Kemudian terdiamlah mereka.
Majulah Sealtiel mendekati mereka dan berkata,
“Apa yang salah dengan Jegudiel, Serael? Lihatlah ia adalah
Malaikat Agung yang bisa menjaga dirinya sendiri di masa pertem-
puran ini. Lagipula, sekalipun ia itu tidak dapat bertarung, namun
siapakah yang berani-berani melukai Suara Allah itu sendiri?
Biarlah suadaramu ini pergi, Serael. Aku akan ada bersamamu,
sampai kita menjumpainya lagi.” Tersenyumlah Gabriel dan ia
berkata,
“Baiklah, Mikhael. Aku tidak akan lama. Sekali aku melihat-
nya, akan segera kembali padamu. Benar apa yang dikatakan
Sealtiel itu. Siapa yang berani melukai Suara Allah? Aku akan baik
saja.” Lalu jawab Mikhael,
“Aku takut engkau melukai dirimu sendiri. Jangan ceroboh,
Gabriel. Aku akan melepasmu, karena memang engkau bukan ham-
baku dan aku tidak ada kuasa untuk memerintahmu. Namun eng-

129
kau selama ini menaati aku karena kehendakmu sendiri. Engkau
sendiri juga tahu, bahwa aku memerintahmu karena aku menja-
gamu. Pergilah, aku akan mendapatimu kembali.” Maka Gabriel
tersenyum dan segera memacu tunggangannya mendahului barisan
itu.

Pada waktu itu pertempuran di Selatan terjadi di mana-


mana. Tiga kota Tanah Seraphiem telah diserang habis-habisan dan
para Seraphiem tidak menyisakan satu pun musuh mereka. Sedang
pada waktu itu para Legiun telah gelisah karena mereka tidak men-
dapati barisan Seraphiem di mana-mana dan beberapa pengintai
mereka menghilang dan tidak kembali. Bergeraklah mereka
bersama-sama ke Padang Luas Selatan untuk mencari barisan
Seraphiem. Sedang Mahanael memimpin para Seraphiem itu
merebut kota-kota ujung selatan.
Kemenangan besar telah diraih para Seraphiem dan saat
itulah terjadi, Mondrael berseru-seru di tengah kemenangan besar
itu, katanya,
“Inilah saatnya. Inilah saat kembalinya Seraphiem ke tanah
mereka. Tanah Selatan telah jatuh dan bangkit, lalu kembali pada
suku Seraphiem. Kita telah merebut Tanah Selatan!” Bersoraklah
para Seraphiem itu dan mereka meneruskan perkataan Mondrael
itu dari Pahr, ke Phanto. Frantiel mendengar itu dan ia turut
merayakannya. Lalu teruslah kabar itu pada Mahanael di Seldor.
Sedang saat itu Mahanael sudah selesai di Seldor dan dalam perja-
lanan ke Phanto. Ia bertunggang ke arah utara dan akan berbelok ke
timur, masuk ke Phanto. Datanglah seorang Seraph padanya dan
berkata,
“Mahanael, di Pahr telah dinyatakan oleh tuan pembesar
Mondrael. Di antara para Seraphiem telah diucapkannya, suku
Seraphiem telah merebut kembali Tanah Selatan dan inilah saatnya
bagi kita!” Maka terdiamlah Mahanael dan ia menoleh ke sebelah
kanannya, ke timur. Ia bertunggang cepat-cepat dan ia melihat Kota
Phanto telah dikuasai oleh barisan tiga puluh.
Dari kejauhan Mahanael melihat kota itu telah dimenangkan
dan para Seraphiem ada di sekitaran kota itu. Saat itulah ia menjadi

130
bersukacita dan merasakan kemenangannya. Sebab Mondrael telah
menyatakan bahwa Tanah Selatan telah kembali pada suku Seraph-
iem. Saat itu Mahanael melihat Frantiel di sebelah kanannya. Ia pun
segera bertunggang masuk ke Kota Phanto dan mendapati Frantiel
di sana. Mereka bersukacita bersama-sama di sana.
Adapun barisan Mirkandruel, yang dikenal dengan sebutan
barisan tombak Serael, ada bersama Mondrael di Pahr. Pemimpin
barisan itu adalah Akhanrel, sahabat Mahanael sejak mereka
bertemu di Padang Altar. Ia sedang duduk merayakan kemenangan
bersama para Seraphiem lain. Di ruang yang sama, Mondrael juga
ada. Kemudian berjalanlah Mondrael di tengah ke ramaian dan
memandang Akhanrel itu lalu ia memberi tanda. Lalu masuklah
Mondrael dalam ruang yang lain dan duduk di satu meja. Akhanrel
itu bangkit dan mengikutinya. Kata Akhanrel,
“Sungguh aku telah melihat engkau, tuanku Mondrael. Me-
mimpin barisan angin pedang selatan ini merebut Pahr dengan ce-
pat dan tanpa suara. Benarlah apa yang dikatakan para Seraphiem
yang mengenalmu. Mereka mengatakan bahwa engkaulah
Mondrael beruang hitam dari selatan yang menguasai utara. Salam
bagimu, tuanku. Sungguh hikmat dan kasih Yang Utama ada
besertamu sehingga engkau dapat melakukan hal yang besar. Aku
pernah mendengar cerita tentangmu, tuanku. Saat engkau ada di
utara bersama para Seraphiem menghadapi para Cerrubbiem yang
saat itu bekerja membantu para Bartarchiem.” Lalu tertawalah
Mondrael dan ia meminta Akhanrel untuk duduk bersamanya. Lalu
kata Mondrael,
“Cerita-cerita yang engkau dengar tentang aku, itu semua
sudah lama berlalu. Lagipula para Seraphiem itu menyebut aku
beruang putih Hutan Utara. Karena selama aku mengawasi Tanah
Utara, tidak ada permasalahan yang hebat sehingga menghebohkan
tuan besar Serael. Cukuplah kita membicarakan itu. Ada tugas yang
aku ingin engkau menyelesaikannya, Akhanrel.” Kemudian
Mondrael mengambil sebuah kertas yang bergambar. Diberikan itu
pada Akhanrel.
Kemudian dibukannya kertas itu berisi gambaran tangan
Mondrael dan ada tulisan tangan Mirkandruel. Lalu kata Mondrael,

131
“Ini adalah gambaran rancangan yang kubuat bersama tuan
Mirkandruel, saat ada waktu senggang. Kami menyebutnya
Migradrunt. Alat ini adalah alat tempur yang besar dan berat,
Akhanrel. Hanya saja, tidak dapat para Seraphiem membuatnya
dan membentuknya. Aku ingin engkau pergi ke Tanah Roti, pada
para Rephaiem. Berikan rancangan ini pada mereka, maka mereka
tahu apa yang harus mereka kerjakan tentang ini. Perjalananmu
akan panjang dan memutar jauh. Pastikan ini aman dan jangan
sampai musuh mengambilnya dari padamu. Kita memerlukan alat
perang yang dapat menjadi tanda kekuatan barisan Seraphiem.”
Lalu berkatalah Akhanrel,
“Tuanku, kiranya biarlah aku bersamamu memasuki Kota
Serael dalam pertempuran nanti. Setelah itu biarlah aku pergi
menyelesaikan ini.” Lalu kata Mondrael,
“Apa pentingnya bagi pandanganmu melihat Kota Serael?”
Lalu kata Akhanrel,
“Aku adalah Seraphiem yang bertugas di Tanah Rephaiem
di Barat. Saat Tanah Selatan jatuh, aku tidak ada di sini bersama
saudara-saudaraku. Bahkan aku belum pernah melihat Kota Serael
itu sejak lama sekali, sejak para Rephaiem pergi dari kota itu. Per-
tama kali aku melihatnya, Kota Serael itu masih dalam pengerjaan
para Rephaiem. Terakhir aku melihatnya, para Rephaiem baru
mulai meninggalkan kota itu dan aku belum pernah melihat bagai-
mana rupa kota itu sebenarnya. Cerita-cerita banyak kudengar
tentang kemegahan kota itu, tuanku. Biarlah aku memasukinya
bersama sang beruang putih Hutan Utara dalam kemenangan
melawan Legiun.” Maka bangkitlah Mondrael dan berkata,
“Pergi dan beristirahatlah. Jaga gulungan yang kuberikan
padamu itu. Setelah Kota Serael, pergilah kamu ke Tanah Roti.”
Lalu Mondrael pergi dari sana.

Pertempuran di Kota Daria masih terus berlangsung. Para


Rephaiem belum juga mendapat jalan untuk masuk dalam kota.
Raphael berjalan-jalan bersama Yehudiem di belakang barisan
mereka yang tengah berusaha untuk masuk. Berkatalah Yehudiel
pada Raphael,

132
“Tidak ada pertempuran terbuka dan kita hanya saling
menahan barisan. Lihatlah musuh kita mengunci kota itu dan tidak
ada jalan bagi kita.” Lalu kata Raphael,
“Mereka tidak akan terus bertahan seperti ini. Barisan kita
bisa bergilir dalam berjuang. Kita harus memikirkan cara lain untuk
masuk dalam kota, Yehudiel.” Lalu kata Yehudiel,
“Bukankah hanya ada dua jalan masuk dalam kota ini?
Hanya dari timur, tempat kita saat ini. Dan jalan lain ada di sebelah
barat. Akan terlalu lama bila kita mengirim barisan untuk memutar
jauh sekali.” Kemudian jawab Raphael,
“Tidak mungkin untuk melakukan itu. Lagipula terlalu
bahaya bagi barisan kita bila harus berjalan memutar. Idarun masih
dalam kuasa musuh dan mereka masih ada barisan yang siap
menyerang kapan saja.” Maka kemudian Raphael mendapati
Elcuriel dan berkata,
“Tarik barisan ini. Jauhi kota sejauh dua panahan. Bangun
tenda-tenda, kita harus beristirahat. Kita akan pikirkan cara lain
untuk masuk dalam kota.” Maka kemudian mundurlah para
Rephaiem itu menjauhi kota dan pertempuran terhenti di sana.
Para pemimpin barisan dikumpulkan Raphael dan diduduk-
kan dalam satu tenda. Di hadapan Raphael dan Yehudiel, mereka
membahas cara-cara yang mereka pikirkan untuk dapat menguasai
kota. Peta-peta dan gambaran-gambaran Kota Daria mereka tampil-
kan dan mereka bahas di sana. Namun tidak ada mereka menemu-
kan celah lain untuk masuk dalam kota. Teruslah mereka
membahas itu di sana.
Sementara itu, Gabriel telah memutari Gunung Rardum. Ia
terus bertunggang melalui perbukitan dan pepohonan yang mulai
jarang di sana. Sampailah ia meliat Kota Daria itu. Ia mengamati
kota itu dari kejauhan. Gabriel mencari tempat yang aman baginya
untuk memata-matai kota itu. Ia mengambil jarak yang terdekat
baginya dan naik ke atas satu pohon. Dari sana ia melihat kota itu
tengah dijaga dengan hebat di sisi timur. Tembok kota itu sudah
dibangun berkeliling. Kemudian ia berusaha melihat lebih jauh lagi,
barulah ia menyadari bahwa ada barisan Rephairiem di sebelah
timur kota itu. Maka bersukalah Gabriel saat melihat barisan yang

133
besar itu. Sebab ia juga mengharapkan Raphael ada di Daria, seka-
rang ia telah melihatnya. Kemudian ia mengawasi bagian barat kota
itu. Itulah celah yang terdapat di sana, ada jalan masuk dan tidak
dijaga di sebelah barat. Kemudian segeralah Gabriel bertunggang
kembali pada Mikhael dan Sealtiel.
Berlalulah waktu sampai satu Shakta dan barisan Rephai-
riem masih berdiam saja. Barisan Seraphiem dan Rephaiem telah
lepas dari jalan kambing gunung. Mereka telah melewati ujung
jalan itu dan mereka segera mengatur barisan mereka di bukit-bukit
yang ada di sana. Gabriel telah menceritakan semua pada Mikhael
tentang apa yang ia lihat saat di Daria. Maka kemudian Mikhael
segera mempersiapkan barisannya dan berkata pada Helanael,
katanya,
“Tuanmu Raphael ada di sana. Barisan Rephairiem ada di
sebelah kota itu dan engkau, kembalilah pada tuanmu. Para Repha-
iem yang telah engkau pimpin ini layak untuk menjadi Rephairiem
kembali. Kesetiaanmu masih diperhitungkan olehnya. Barisan
Rephairiem kesulitan untuk masuk dalam kota dari timur, bawalah
barisanmu menyerang dari barat dan kuasai kota itu demi
tuanmu.” Kemudian berkatalah Helanael,
“Tuanku, ke mana tuanku akan pergi? Tidakkah tuan akan
bertempur bersama kami di Daria?” Lalu jawab Mikhael,
“Tidak, Helanael. Engkau adalah hamba yang baik dan
engkau sangat berjasa pada Sorga, juga pada para Agung. Engkau
akan menerima segala tanda jasamu dan aku akan mengingatnya.
Aku akan pergi membawa barisan ini ke Derie. Dari sana aku
berencana untuk terus ke Tanah El-Kuruh, tanah tempat para pe-
nambang dan penggali batu. Bila engkau mendapati tuan Raphael
nanti, katakanlah apa yang kukatakan padamu saat ini. Rephairiem
harus bergerak cepat ke Selatan. Aku dan barisan Seraphiem ini
akan mengusahakan secepat mungkin untuk merebut Tanah
Selatan bagi para Rephaiem.” Kemudian Mikhael berpaling dari
padanya.
Barisan Seraphiem itu dibawa Mikhael keluar dari perbu-
kitan. Mereka berjalan ke arah barat dan kembali ke jalur barat
gunung. Dari sana mereka sudah dekat dengan Derie. Sementara

134
itu para Rephaiem terus berjalan ke arah selatan dan mengambil
bagian barat Kota Daria.

Pada waktu itu Raphael telah banyak mendapat saran dari


para pemimpin barisannya, tentang cara untuk masuk dalam kota.
Maka berkatalah Raphael,
“Baiklah bangkitkan barisanmu! Lipat tenda-tenda dan atur
ulang barisanmu. Kita akan bergerak kembali ke Daria.” Maka sege-
ralah barisan itu bersiap. Namun Raphael tidak memberi keputusan
pada hamba-hambanya tentang cara apa yang akan ia gunakan
untuk masuk dalam kota. Berjalanlah lagi barisan besar itu mende-
kati kota. Raphael dan Yehudiel bertunggang di depan barisan itu
dengan gagah dan mereka mengenakan jubah besar. Tunggangan
mereka saat itu kerbau padang.
Ketika mereka mulai mendekat ke kota, nampaklah sese-
orang duduk di atas tunggangan bersama beberapa orang lagi yang
berdiri di belakangnya. Raphael melihat dari kejauhan dan katanya,
“Yehudiel, lihatlah siapa itu yang berdiri menentang barisan
kita?” Lalu kata Yehudiel,
“Mungkin itu Ekhinel. Ia berdiri di antara barisan besar ini
dengan kota tujuannya. Keputusan yang bodoh menurutku.
Raphael, mungkin ia ingin membicarakan sesuatu denganmu.”
Kemudian kata Raphael,
“Baik apa salahnya kita mendengarkan apa yang akan ia
bicarakan. Mungkin akan menguntungkan barisan ini.” Maka
Raphael dan Yehudiel melepas jubahnya dan mengenakan baju
pelindung mereka dan membawa persenjataan perang mereka.
Majulah mereka mendekati kota dan mendekati rombongan
itu. Raphael dan Yehudiel hanya maju berdua saja, sedang di
hadapan mereka ada kira-kira empat puluh orang membawa
pedang dan tombak. Ekhinel duduk di atas tunggangan di depan
para hambanya itu dan ia mengangkat tangan, memberi salam pada
Raphael dan Yehudiel. Lalu katanya,
“Salam bagi para Agung, Tangan dan Urapan Allah. Kira-
nya kamu sekalian masih menerima hormatku. Sebab saat ini aku
tidak lagi melayani tuanku, dan juga tidak melayani Malaikat

135
Agung. Aku bediri sebagai tuan atas diriku sendiri, juga bagi
mereka yang mengikut aku.” Lalu berkatalah Raphael,
“Ekhinel, pemimpin Eiglanar. Aku melihat engkau sangat
baik dalam mempertahankan kota ini. Barisanku yang besar tidak
berarti di depan tembok Daria. Katakan padaku, siapa yang mem-
bangun tembok kota ini?” Lalu jawab Ekhinel,
“Adalah mereka hamba-hambamu dahulu yang memba-
ngunnya. Mereka yang pandai dalam bangunan dan mereka yang
telah melanggar sumpah setia padamu. Sebelumnya aku ingin
berbicara padamu, namun barisanmu langsung saja membantai dan
melawan barisanku. Kiranya biarlah kita membicarakan perjanjian
tentang kota ini, Raphael.” Lalu kata Yehudiel pada Raphael,
“Ia berbicara seperti ada perdamaian antara kita.” Lalu kata
Raphael,
“Baiklah engkau katakan, perjanjian apa yang hendak kau-
tawarkan pada barisan yang murka ini?” Lalu kata Ekhinel,
“Pemberontakanku telah menyebar luas. Kabar tentang
perlawananku pada tuanku telah didengar sampai ke Selatan. Juga
tentang pedang ini. Kiranya ampunilah bila aku mengambil pedang
ini dari padamu, Raphael. Namun karena ini sangat berguna bagi-
ku, aku akan mempertahankannya. Ada barisan dari selatan yang
akan datang ke sini. Mereka yang telah memutuskan untuk
mengikut aku. Hamba-hamba para pemimpin kami. Aku tahu, bila
aku dan seluruh hamba ini menyerahkan diri pada Malaikat
Agung, tentu mereka akan membantai dan menghabisi kami tanpa
ampun. Karena memang kami ini telah mengkhianati Malaikat
Agung dan juga sekarang mengkhianati Luciel. Tidak ada tempat
bagi kami. Maka aku akan pergi mencari tempatku sendiri. Ambil-
lah Daria menjadi milik Rephaiem kembali, namun biarlah seluruh
hambaku pergi bersama aku. Kami akan pergi bersama para hamba
dari Selatan yang memutuskan untuk mengikut aku. Atau mung-
kin, bila engkau tidak menyetujui persepakatan ini, kita bisa
bertempur terus menerus dan aku akan menahanmu selamanya di
depan tembok kota itu.” Lalu kemudian kata Raphael,
“Ke mana engkau akan pergi?” Lalu jawabnya,

136
“Ke utara. Aku akan mencari tempatku di sana. Bila tidak
merepotkanmu, biarlah engkau mempermudah perjalanan kami.
Supaya jangan para Rephaiem di sepanjang jalan kami ke utara,
menghabisi kami di padang-padang.” Lalu kata Raphael,
“Engkau adalah malaikat yang baik, Ekhinel. Seharusnya
engkau tetap menjadi seorang malaikat. Aku melihat engkau hebat
dalam memimpin hamba-hambamu ini. Dan juga bahkan ada yang
datang dari jauh hanya untuk mengikutimu. Mereka setia padamu.
Karena ini engkau akan mendapat kasih dari Tangan Allah. Aku
tidak akan menjamahmu, selama engkau tidak menjamah para
malaikat. Ke Utara akan terlalu bahaya bagimu. Luciel mempunyai
barisan hebat di sana, mereka akan membantaimu lebih kejam dari
pada para Rephaiem.”
Maka lagi kata Ekhinel,
“Aku akan pergi ke utara, bukan ke Utara. Ada kabar yang
aku dengar tentang Tanah Uriem. Uriel telah menarik hamba-
hambanya pergi dari kota-kota di perbatasan Tanah Bartarchiem.
Kota-kota di sana mungkin dapat aku tempati, sampai Uriel memu-
tuskan untuk mengambilnya kembali. Namun semua itu tergantung
apa yang akan terjadi.” Lalu kata Yehudiel,
“Benarlah apa yang engkau dengar itu. Kota-kota di perba-
tasan Utara telah dikosongkan demi keamanan para malaikat.
Selama tidak ada pertempuran, mungkin engkau akan aman di
sana. Bartaria akan cocok bagimu.” Lalu kata Ekhinel,
“Itu terlalu dekat dengan Kota Uriel, Yehudiel. Bila-bila
Uriel berubah pikiran, maka kami akan kehilangan tempat lagi. Aku
akan pergi ke Taruror, Gunung Lartoth. Aku akan mengambil kota
itu untuk berdiam.” Lalu kata Raphael,
“Bila Uriel hendak mengambilnya lagi, apa yang akan
engkau lakukan?” Jawab Ekhinel,
“Mungkin aku akan menyerahkannya, seperti aku menye-
rahkan Daria padamu. Lagipula memang Daria ini adalah milik
Rephaiem. Aku tidak bersumpah apa-apa padamu, apa yang terjadi
kelak antara aku dan Uriem, aku juga tidak tahu.” Maka kata
Raphael,

137
“Pergilah, engkau lepas dari semua ini. Pertempuran yang
saat ini tidak akan terjadi dan engkau terhindar. Namun bila kelak
kita harus berhadapan lagi, aku tidak akan menahan pedangku
darimu.” Maka kemudian masuklah kembali Ekhinel itu dalam kota
dan mempersiapkan hamba-hambanya untuk meninggalkan kota
itu.
Para Rephaiem membuka jalan bagi para hamba Ekhinel itu
di sana. Sedang Raphael dan Yehudiel duduk di atas tunggangan
mereka dan melihat dari kejauhan saja. Lalu berkatalah Yehudiel
pada Raphael,
“Engkau yakin tentang ini, Raphael? Kita dapat membantai
mereka semua sekarang dan merebut kembali pedang yang
dibawanya.” Kemudian jawab Raphael,
“Biarlah mereka pergi, Yehudiel. Pada akhirnya mereka
akan tetap harus menghadapi pertempuran lain demi diri mereka
sendiri. Aku sudah melihat kuasa pedang itu sangat kuat mempe-
ngaruhi Ekhinel. Dengan hebat pedang itu menguasai pikirannya
dan membuat ia melanggar sumpahnya pada Luciel. Lagipula,
Yehudiel, jumlah barisan Luciel tidak sebanding dengan jumlah
barisan malaikat. Bila barisan Luciel tetap bersatu, barisan malaikat
akan kalah telak hanya karena jumlah. Sekalipun jumlah tidak
menentukan kemenangan, namun akan jatuh banyak korban.
Dengan begini, setidaknya kita dapat memecah barisan Luciel.
Barangkali nantinya, barisan Eiglanar ini juga akan saling bertem-
pur dengan barisan Luciel. Itu akan menguntungkan kita. Bersiap-
lah, Yehudiel. Setelah kota kosong, kita akan menjarah semua yang
mereka tinggalkan.” Lalu nampaklah suatu barisan lain datang dari
selatan. Mereka adalah hamba-hamba Luciel yang lain, yang ber-
diam di selatan. Para hamba yang lebih memilih mengikut Ekhinel
dari pada Luciel.
Sementara itu Mikhael, Sealtiel dan Gabriel telah keluar dari
perbukitan dan mereka kembali ke jalur utama, jalur barat bukit.
Barisan Seraphiem mengatur tempat peristirahatan di sana dan
mereka berdiam di kaki-kaki bukit, di balik pohon-pohon. Mikhael
duduk bersama Gabriel di atas pohon besar, sedang Sealtiel berjalan
berkeliling di antara para Seraphiem. Lalu berkatalah Mikhael,

138
“Gabriel, engkau sudah lama bersama-sama dengan aku
dalam pertempuran-pertempuran di Tanah Barat ini. Sekarang kita
telah sampai di sini. Setelah Derie, barisan Seraphiem akan menjadi
lebih hebat dari pada sebelumnya. Mungkin setelah ini, sebaiknya
engkau dan hamba-hambamu jangan lagi turut dalam pertem-
puran. Berdiamlah di Tanah Jegudiem. Setelah kita merebut Derie,
aku akan mengambil seluruh peralatan para Rephaiem dari kota itu
dan menyerahkan para Raphael. Dengan begitu para Rephaiem
akan menempa senjata-senjata hebat bagi para Seraphiem. Tanah
Selatan akan kembali pada Seraphiem dan seluruh bairsan yang
kuat Seraphiem akan berkumpul pada satu tuan, bergerak dalam
satu perintah dan satu kehendak. Saat itulah aku akan maju ke
Utara dan mengalahkan barisan utama musuh.” Lalu kemudian
kata Gabriel,
“Engkau berbicara seperti orang yang sedang berkhayal,
Mikhael. Aku tahu bahwa engkau adalah Malaikat Agung yang
hebat dalam bertempur. Barisanmu lebih kuat dari pada barisan apa
pun di antara para malaikat. Namun aku, aku dan hamba-hambaku
bukanlah para pejuang yang mengayun pedang dan tombak. Kami
hanyalah hamba yang menulis gulungan-gulungan dan banyak
berbicara. Tidak ada kesempatan lain bagi kami untuk berbakti
pada Sorga di masa-masa ini, kecuali bergabung menjadi barisan
Jegaduriem. Bila engkau hendak menolak Jegaduriem dalam
barisan Seraphiem, maka apa yang akan kami dapat dari masa-
masa ini? Lagipula, bila engkau hendak maju bertempur ke Utara,
sebaiknya engkau mendengarkan perkataan Yang Utama. Kumpul-
kan kembali dua puluh lima pedang itu. Dengan kuasa sebesar itu,
barulah kita akan mengalahkan musuh dengan mudah. Bukan aku
memandang rendah barisan Seraphiem. Bila engkau maju dengan
kekuatan Seraphiem saja, sekalipun barisan itu dilengkapi persenja-
taan yang hebat, itu tidak akan memenangkan apa pun di Utara.
Luciel telah merubah segala yang ada di Utara dan telah siap
menghadapi berbagai serangan kita. Barisanmu bisa hancur sia-sia
di sana.” Kemudian bangkitlah Mikhael dan memegang Gabriel. Ia
memandang Gabriel tepat di depan wajahnya dan berkata,

139
“Tidak ada yang sia-sia bila kita berbuat itu demi Sorga,
Gabriel. Tidak ada yang sia-sia. Sorga adalah tujuan dan hanya
Sorga yang menjadi harapan kita semua.”
Lalu tiba-tiba datanglah Sealtiel mendapati saudara-sauda-
ranya yang sedang berbincang di atas pohon itu. Kemudian Sealtiel
berkata dari bawah pohon, katanya,
“Serael, ada sangkakala berbunyi dari arah Derie. Barisan
besar sedang berjalan menuju Daria.” Maka kata Mikhael,
“Barisan apa yang berjalan dari selatan ke Daria? Sealtiel,
apa mereka mengetahui keberadaan kita?” Lalu turunlah Mikhael
dan Gabriel cepat-cepat dari pohon itu. Lalu Sealtiel berkata,
“Belum ada dari kita yang melihat barisan itu. Para pengin-
taimu pergi dengan segera untuk melihat. Mereka akan segera
kembali.” Lalu berlarilah Mikhael pergi ke arah selatan untuk
melihat.
Dekat dari sana ia melihat para pengintai sedang mengintip
dari balik daun-daun dan semak-semak. Lalu para Agung segera
mengenakan jubah menutupi cahaya mereka dan bergabung
dengan para pengintai untuk melihat. Saat itulah mereka melihat
barisan besar berjalan dari arah Derie menuju Daria. Mereka akan
masuk dalam kota dari bagian barat. Mikhael mengenali barisan itu
dan wajahnya menjadi geram. Berkatalah Sealtiel,
“Mengapa wajahmu seperti itu, Serael? Janganlah engkau
geram karena mereka. Baiklah kita segera pergi dan memberi
peringatan pada barisan Rephaiem di Daria. Barisan ini akan segera
datang pada mereka.” Kemudian Gabriel berkata,
“Aku pernah melihat barisan ini, Sealtiel. Aku yakin Serael
pun juga mengingatnya, sama seperti aku. Pantas saja bila ia geram
melihat barisan ini. Inilah barisan Bath-Pometh, mereka yang
merebut Tanah Selatan dari para Seraphiem. Mereka akan segera
sampai ke Daria. Barisan Rephaiem mungkin telah merebutnya dari
musuh, sekarang Bath-Pometh menginginkan kota itu menjadi
milik mereka.” Maka kemudian segeralah Mikhael pergi dari sana
membawa seluruh hambanya yang mengintai di sana dan mereka
berkumpul bersama para pemimpin barisan.

140
Pada waktu sebelumnya, Guriem-Mahel telah menerima
jawaban Gissel. Saat ia meminta bantuan Gissel, tidak ia mendapat
jawaban yang dicarinya. Maka segeralah ia bangkit dan pergi
membangkitkan Eftiel, juga seluruh bairsan Bath-Pometh yang
berdiam di kota-kota Rephaiem Selatan. Gurim-Mahael telah
menerima kabar dari Emeriel tentang Ekhinel yang berkhianat. Dan
Daria sudah pasti jatuh pada para Rephaiem. Keadaan Tanah Barat
yang semakin kacau membuat Gurim-Mahael menjadi gusar. Ia
hanya ingin supaya barisan Luciel tetap bersatu dan bertempur
bersama, namun para pemimpin barisan Luciel hanya mementing-
kan diri masing-masing. Maka Gurim-Mahael berhasil meyakinkan
Eftiel untuk maju ke Daria dan mempertahankan kota itu. Dari
Selatan mereka berjalan melalui jalur barat bukit, melalui Derie dan
terus ke Daria.
Sedang pada waktu itu para Rephaiem yang dari Durie telah
menembus hutan dan melihat Kota Daria dari atas bukit. Mereka
melihat dari sana bahwa kota itu dikosongkan dan barisan Repha-
iriem ada di depan kota dan membiarkan musuh pergi dari kota.
Maka bersukalah para Rephaiem itu saat melihat barisan saudara-
saudara mereka. Di sana mereka saling berpelukan dan bersuka,
sebab mereka akan segera kembali pada Raphael dan barisan
Rephairiem. Berkatalah Helanael,
“Kota telah ada pada Tangan Allah! Kita telah menang sebe-
lum bertempur. Segera bersiap untuk masuk dalam kota!” Maka
berlarilah para Rephaiem itu dengan sukacita untuk masuk ke
Daria dan bertemu dengan Raphael.
Di saat yang bersamaan, barisan Eiglanar telah meninggal-
kan Daria dan kosonglah kota. Maka berserulah Raphael pada
Rephairiem dengan mengangkat pedangnya, katanya,
“Rephairiem! Daria milikmu! Ambillah itu!” Maka bersorak-
lah para Rephaiem itu dan mereka berlari masuk dalam kota.
Sedang mereka berlari ke pintu-pintu kota, nampaklah rombongan
barisan lain turun dari bukit hendak masuk dalam Daria. Mereka
tidak tahu bahwa itu adalah para Rephaiem yang terhilang. Maka
berserulah Raphael,

141
“Jahanam! Mereka hendak mengambil kota ini dari kita. Ini
jebakan! Segera masuk dalam kota dan pertahankan dari dalam!”
Segeralah mereka memasuki kota. Sedang Raphael dan barisannya
masuk dari sebelah timur, para Rephaiem yang dari Durie masuk
melalui sebelah barat.
Helanael dan para Rephaiem yang dipimpinnya sangat
bersukacita hendak bertemu dengan Raphael. Sedang Raphael dan
barisan Rephairiem murka melihat ada barisan lain yang hendak
mengambil Daria dari mereka. Maka dari barat, para Rephaiem
berlari dengan tertawa dan bersorak, namun dari timur, para Re-
phaiem lain berlari dengan murka dan berteriak-teriak. Bertemulah
dua barisan besar itu di tengah-tengah kota dan para Rephairiem
mengacungkan tombak pada para Rephaiem yang dari barat.
Terkejutlah para Rephaiem yang bersama Helanael itu. Berlututlah
mereka dan memohon ampun pada Tangan Allah. Lalu tampillah
Raphael di depan mereka dan berseru,
“Barisan apa yang hendak merebut Daria dari Tangan
Allah? Aku berjuang bersama barisanku untuk merebutnya,
sementara kamu hendak mengambilnya begitu saja dariku. Katakan
padaku, siapa pemimpin barisan hutan ini?” Lalu bangkitlah
Helanael menghadap Raphael. Wajahnya berseri bercampur takut
melihat Raphael.
Lalu Raphael mengacungkan tombak ke depan wajah
Helanael. Kata Raphael,
“Engkau dan seluruh barisan ini adalah Rephaiem. Katakan
siapa engkau dan mengapa engkau tidak berbaris bersama tuanmu
ini?” Maka berlututlah Helanael itu dan ia memohon-mohon
ampun, lalu katanya,
“Tuanku Raphael, ampunilah hamba-hambamu ini. Kiranya
biarlah kami mendapat kasih dari tuanku. Kami adalah para Repha-
iem dan kami tidak pernah melanggar sumpah setia kami pada
tuanku. Sampai saat ini pun, kami yang ada di depan tuanku tetap
setia pada tuan Raphael.” Kemudian Raphael berseru,
“Rephairiem! Tegakkan tombakmu. Mereka saudara kita.
Namun tetap jaga pandanganmun pada mereka ini. Aku akan
menguji perkataan hamba ini. Apakah ia adalah Rephaiem, atau

142
pengkhianat Rephaiem.” Maka barisan Rephairiem itu menarik
tombak mereka yang teracung dan berbaris tetap di sana.
Mulailah Raphael bersama Yehudiel berbicara dengan
Helanael itu. Juga para tua-tua dan pemimpin para Rephaiem di
Durie dipanggil menghadap. Mereka menceritakan segala sesuatu-
nya pada Raphael di depan barisan Rephairiem. Semua yang terjadi
pada mereka dan apa yang membawa mereka kembali pada
Raphael di Daria itu. Saat itulah Raphael dan Yehudiel mendengar
kabar tentang Mikhael, Sealtiel dan Gabriel. Bersukalah mereka dan
mereka tahu bahwa Mikhael telah mulai bergerak cepat ke Derie.
Raphael dan Yehudiel percaya pada Helanael itu, sebab Helanael
menceritakan juga bagaimana rupa para Agung yang ia temui, dan
semuanya benar.
Sedang saat itu barisan para Seraphiem di perbukitan telah
banyak berbicara dan membahas tentang apa yang akan mereka
lakukan dengan barisan Bath-Pometh yang bergerak ke Daria itu.
Mikhael sangat berat mengambil keputusan. Sebab ia diberatkan
dengan dua pilihan. Derie yang telah lama menjadi tujuannya
sudah dekat di depan mata. Sedang di sisi lain ada para Rephaiem
yang tidak tahu bahwa barisan besar berjalan ke arah mereka. Kata
Gabriel,
“Putar barisan ini, Mikhael. Kita akan menyusul mereka dari
belakang ke Daria. Saat barisan itu sibuk berusaha masuk ke Daria,
kita akan pukul mereka dari belakang.” Namun jawab Mikhael,
“Barisan ini tidak cukup kuat untuk menghadapi Bath-
Pometh, Gabriel. Jumlah kita terlalu sedikit untuk bertempur
terbuka. Musuh akan membantai kita dan mengepung dengan
cepat. Barisan ini kupersiapkan untuk menyerang kota dan bertem-
pur di jalan-jalan kecil kota, di antara tembok-tembok. Bukan untuk
bertempur di tempat terbuka. Musuh akan mengepung kita begitu
saja.” Mereka saling berdebat di sana dan pikiran mereka juga
menjadi kacau. Maka terdiamlah mereka masing-masing terduduk
dan hanya memikirkan semuanya itu.
Barisan besar Bath-Pometh sudah membayangi Daria,
namun Raphael dan para Rephaiem tidak mengetahui kedatangan
barisan besar itu. Barisan Bath-Pometh berhenti sebelum mereka

143
melihat tembok kota. Lalu Eftiel mengirim hamba untuk mengintai
kota itu, sebelum ia menyerangnya. Berhentilah barisan Bath-
Pometh di sana. Barisan itu memenuhi tanah di sana. Mulai dari
dekat Kota Daria, sampai ke Kota Derie penuh dengan barisan itu.
Karena barisan itu berhenti berjalan, datanglah seorang
Seraphiem yang masih mengamati barisan itu, pada Mikhael. Lalu
katanya pada Mikhael,
“Tuanku, barisan itu berhenti. Mereka terdiam di sana.
Mungkinkah pertempuran telah dimulai?” Maka bangkitlah
Mikhael dan ia berkata,
“Mungkin memang benar. Tidak ada yang mengetahui. Apa
yang terjadi di Daria, kita tidak ada menjadi saksi di sana.” Maka
bangkit pula Mirkandruel dan menghampiri Mikhael dan berkata,
“Para Rephaiem sedang dalam bahaya yang tidak mereka
ketahui. Bila barisan itu menyerang dengan tiba-tiba, saudara-
saudara para Rephaiem akan jatuh dengan banyak sekali korban,
bahkan kekalahan akan menjamah mereka. Kita adalah Seraphiem,
saudaraku. Kita adalah malaikat-malaikat Selatan. Dan Seraphiem
tidak pernah meninggalkan saudaranya dalam bahaya.” Namun
jawab Mikhael,
“Kita belum memutuskan apa pun. Barisan ini akan berdiam
sampai aku mengeluarkan perintah. Dan yang dapat kukatakan
padamu saat ini: tenang dan diamlah. Sebab para Rephaiem telah
merebut Daria dari musuh, maka sekarang mereka harus memper-
tahankannya. Tujuan kita ada di Derie.” Kemudian berpalinglah
Mikhael dan ia melemparkan padangannya ke rerumputan yang
jauh.
Pada waktu itu Raphael dan Yehudiel telah mendengar
banyak cerita dari Helanael. Pada saat itu barisan Rephairiem
menjadi bertambah banyak. Dan di Daria itu, para Rephaiem yang
terhilang mengangkat sumpah mereka demi Sorga, bahwa mereka
telah menjadi bagian Rephaiem dan setia pada Raphael. Jumlah
Rephaiem yang berdiam di Daria sangat banyak, kota itu tidak
dapat memberi tempat bagi mereka semua di sana. Jadi para
Rephaiem berdiam di dalam kota, sampai keluar tembok timur dan
barat. Mereka semua berdiam di sana. Bahkan beberapa berdiam di

144
tempat yang jauh, karena kota itu sangat penuh. Jarahan dari Kota
Daria yang diambil para Rephaiem saat itu cukup banyak. Semua-
nya itu terbilang ada mencapai empat ribu kereta tarik. Besi-besi
hitam, merah dan besi api. Tembaga kuning terang dan gelap, juga
tembaga merah. Emas-emas dari selatan. Kayu-kayu Tanah
Ranting, Hutan Barat, juga dari taman-taman di Tanah Utara. Dua
ribu kerbau padang, tiga ribu kambing gunung, dan empat ratus
anjing gunung. Dua puluh dua ribu tong anggur perasan dan empat
ribu keranjang anggur bulat. Roti-roti yang melimpah dan air yang
tidak terhitung saat itu. Semua itu yang ditinggalkan oleh barisan
Eiglanar karena tidak sanggup membawa semuanya.
Lalu berkatalah Raphael pada hamba-hambanya itu,
katanya,
“Inilah saudara-saudara kita yang terhilang saat kita
berjuang dan hancur bersama di Araria. Mereka telah kembali dan
tentu akan lebih banyak lagi yang akan datang pada kita. Rephai-
riem telah bangkit dan telah pulih. Saat barisan kita penuh, dengan
kekuatan besar itu, kita akan berdiam dalam ketenangan Tanah
Selatan dan Barat. Rayakan kemenangan dan pertemuan ini,
Rephaiem!” Maka bersoraklah para Rephaiem itu dan mereka
merayakan kemenangan mereka atas Daria, juga kembalinya para
Rephaiem yang lain pada mereka.
Sedang Mikhael yang berdiam diri dan melihat tanah luas di
depannya, berkatalah ia,
“Mirkandruel, siapkan seluruh barisan yang ada. Aku tidak
sanggup menahan diriku. Kita akan bertempur, sekalipun harus
terbantai, itu lebih baik. Dari pada kita berdiam diri dan bersem-
bunyi di hutan-hutan, sementara saudara-saudara kita terbantai
tepat di sebelah tangan kita. Kumpulkan kekuatan para Seraphiem
ini dan katakan: Lupakanlah tentang Derie, sebab mungkin kamu
tidak akan melihatnya.” Maka bersemangatlah para Seraphiem itu,
namun mereka juga merasa gusar. Para Seraphiem telah lama
membayangkan kelimpahan dan keindahan Derie, namun sekarang
mereka tidak tahu, akankah mereka dapat turut bertempur di Derie
atau tidak. Dibangkitkan para Seraphiem itu dan mereka segera
bersiap bertempur. Baju-baju pelindung mereka kenakan dan

145
pedang-pedang mereka ikatkan pada tubuh mereka. Tombak-
tombak terangkat dan mereka berdiri untuk bertempur di sana.
Kemudian datanglah Mindruel pada Mikhael dan berkata,
“Tuanku, apa yang akan kita lakukan sekarang? Bagaimana
kita akan memulai pertempuran?” Lalu jawab Mikhael,
“Panggil Mirkandruel dan engkau bersiaplah saja. Kita tidak
akan datang pada musuh. Kita akan memancing musuh masuk
dalam sela-sela perbukitan. Di sana kita akan bertempur, mereka
yang akan datang pada kita. Cari tuan Jegudiel, katakan padanya:
Tuan Serael membutuhkan seluruh Jegaduriem yang ada pada
barisan ini.” Maka segeralah itu dibuatnya oleh Mindruel.
Datanglah pula Mirkandruel pada Mikhael. Lalu kata Mikhael,
“Kembali ke jalan di antara bukit. Dekat jalan masuk jalur
kambing gunung. Di antara perbukitan ada sela-sela sempit. Siap-
kan barisan kita di sana. Bawa barisanku sertamu, seluruh
Seraphiem yang ada harus berbaris di sana.” Pergilah Mirkandruel
dengan segera dan membawa barisannya ke celah-celah bukit.
Kemudian Sealtiel datang pada Mikhael dengan membawa-
kan tunggangan Mikhael. Kemudian Sealtiel berkata pada Mikhael,
“Bayangan gunung akan menyelamatkan barisanmu, Serael.
Engkau sangat berhikmat dalam pertempuran. Ada tebing bukit di
sisi selatan perbukitan ini. Puncaknya cukup tinggi untuk melihat
ke Daria. Aku mendengar engkau mengumpulkan seluruh Jegadu-
riem di barisan ini untuk memancing musuh. Tebing itu sangat
cocok untuk pancinganmu. Dari arah utara jalannya sangat mudah
untuk mencapai puncak bukit, namun dari selatan hanya ada tebing
terjal yang sulit untuk dipanjat.” Lalu kata Mikhael,
“Syukur pada Sang Terang, Sealtiel. Engkau sangat mem-
bantu aku dengan pengetahuanmu tentang daerah ini. Aku akan
memancing musuh dari atas puncak itu. Musuh tentu akan berlari
mengejar para Jegaduriem yang di atas bukit, namun kemudian
mereka tidak akan mendapati jalan naik ke puncaknya. Mereka
akan terpancing masuk ke celah-celah perbukitan. Sealtiel, biarlah
para Seraphiem ini bertempur sendiri. Inilah pertempuran yang
jelas kita akan mendapat kekalahan. Demi para Rephaiem itu, biar-
lah para Seraphiem ini bertempur. Engkau pergilah bersama para

146
Jegaduriem ke puncak bukit itu. Bila sudah musuh masuk ke dalam
celah-celah bukit, pergilah kembali ke Ariar melalui jalur yang
aman. Melalui jalur di balik bayangan bukit.” Kemudian kata
Sealtiel,
“Aku akan mengatakan itu pada Jegudiel nanti. Namun aku
tidak akan kembali ke Ariar. Aku akan pergi ke Daria dan bertemu
dengan Yehudiel.” Maka berpelukanlah mereka di sana dan Sealtiel
menyerahkan tunggangan pada Mikhael. Lalu pergilah Sealtiel dari
sana masuk ke hutan.
Gabriel melihat Sealtiel pergi dari sana, maka berlarilah ia
mendapati Mikhael dan berkata,
“Ke mana Sealtiel akan pergi? Ia mengambil jalan masuk ke
hutan yang berpencar dengan para Seraphiem.” Lalu kata Mikhael,
“Ia akan pergi menantimu di atas puncak bukit. Ikuti jalan
yang dilalui Sealtiel itu. Bawa para Jegaduriem bersamamu. Aku
ingin engkau memancing para Bath-Pometh itu untuk datang ke
perbukitan. Belokkan barisan mereka dari Daria. Setelah itu pergi-
lah kembali ke jalur kambing gunung yang sudah kita lalui.
Kembalilah engkau bersama barisanmu ini ke Ariar melalui Durie.
Cepat pergilah, sebelum Bath-Pometh memulai pertempuran
mereka di Daria!” Lalu Mikhael naik ke atas tunggangannya dan
pergi dari sana mengikuti barisan Seraphiem. Gabriel segera pula
membawa barisan Jegaduriem masuk dalam hutan mengikuti jejak
tunggangan Sealtiel.
Di Daria, perayaan para Rephaiem terjadi sangat meriah dan
para Rephaiem itu telah bersantai. Mereka meletakkan senjata-
senjata mereka, juga melepas baju-baju pelindung mereka. Tombak-
tombak dan pedang-pedang tersandar pada dinding-dinding.
Duduklah Raphael di satu kursi besar yang ditaruh di tengah
halaman kota. Kemudian para Rephaiem melayani ia dan menari
dan menyanyi di depannya. Lalu berserulah Raphael, katanya,
“Di mana Helanael dan saudara-saudaranya yang telah me-
mimpin hamba-hambaku ini kembali padaku? Aku hendak melihat
ia di depanku. Bawa ia dan kenakan kain-kain yang baik pada
tubuh mereka, sebab ini adalah saatnya. Aku akan memberikan
padanya penghormatan tanda jasa. Sebab aku telah mempercayai

147
dia sebagai hambaku.” Maka dihadapkanlah Helanael itu ke depan
Raphael.
Lalu Raphael mengulurkan tangannya, maka mendekatlah
Helanael. Hamba itu berlutut di depan kaki tuannya dan menyan-
darkan wajahnya pada tangan Raphael yang terbuka itu. Kemudian
berkatalah Raphael,
“Pada pertempuran di Araria, saat barisan Rephairiem terse-
rak dan terpecah. Ada peristiwa di mana yang berharga bagiku
telah diambil dari padaku. Adapun empat pedang yang telah hi-
lang. Pedang-pedang yang dipercayakan padaku dari Sang Sulung
sendiri. Satu pedang ada pada Luciel, pemimpin musuh kita itu,
maka biarlah itu menjadi urusan Malaikat Agung. Namun tiga
pedang lain, aku tidak tahu ada di mana. Sekarang aku telah
menemukan hamba yang akan kupercayakan salah satu dari
pedang yang ditempa Sang Sulung itu.” Lagi kata Raphael,
“Helanael, hamba Rephaiem yang membangun Kota Durie.
Padamu kupercayakan pedang berkuasa untuk memimpin barisan-
mu ini dan engkau akan menjadi pemimpin mereka yang telah
menjadi hambamu di Durie.” Kemudian lemaslah Helanael itu.
Katanya,
“Tuanku, kami ini adalah bersaudara. Aku hanya memim-
pin mereka sebab mereka percaya hanya malaikat Bara-Al saja yang
dapat memimpin mereka. Sebab aku ini bukan tuan atas mereka
dan mereka bukan hamba yang melayani aku.” Namun Raphael
mengangkat wajah Helanael itu dan berkata,
“Apakah engkau hendak menentang aku, Helanael? Aku
telah mengangkat tiga saudaraku dan mempercayakan hamba pada
mereka. Sekalipun mereka tidak disebut ‘tuan’, namun mereka
adalah tuan atas hamba-hambaku. Maka sekarang, aku menjadikan
engkau salah satu dari tuan-tuan penguasa Rephaiem. Engkau telah
mengangkat sumpahmu di hadapanku dan aku akan meminta
sumpah lain dari padamu. Berkuasalah atas hamba-hambamu ini,
yaitu mereka yang akan dihitung sesuai perhitungan saudara-
saudaraku. Mereka yang tidak terhitung menjadi hambamu, akan
dibagi menjadi hamba saudara-saudaraku dan hamba pelayan
Raphael.” Maka Helanael itu hanya mengucap syukur.

148
Kemudian bangkitlah Raphael dan mengambil satu pedang
dari kain pembungkus yang selalu terikat pada tubuhnya. Ia
mengangkat pedang itu dan berseru, katanya,
“Bangkitlah Helanael, engkau kuangkat menjadi pembawa
pedang. Engkaulah salah satu penguasa Rephaiem. Bertempurlah
dalam kesetiaan dan persaudaraan Rephairiem. Sampai usai masa
perang ini dan jasa-jasamu akan diperhitungkan. Demi Sorga, demi
Malaikat Agung dan yang terpenting demi TUHAN kaum malai-
kat.” Diberikan oleh Raphael pedang itu pada Helanael. Bangkitlah
Helanael dan memegang pedang itu dan ia mengagumi keindahan
pedang itu. Lalu ia mengangkat pedang itu di depan para
Rephaiem dan di depan Raphael. Ia berseru, katanya,
“Aku, Helanael telah dipilih oleh Tangan Allah itu sendiri.
Sebab jarinya telah menunjuk aku. Tangannya telah membasuh
mukaku di Daria. Pada saat inilah aku telah menerima kuasa dan
akan kuberikan kembali padanya, bila sudah tunai tugas-tugasku.
Sungguh aku telah melihat tuanku itu bersusah karena yang ber-
harga baginya telah diambil dari padanya. Aku akan menghiburkan
dia dengan sumpahku, aku pun akan menunaikan sumpahku itu.
Dengan pedang yang diberikan padaku, dengan hamba-hamba
yang dipercayakan padaku, aku akan membawa kembali tiga
pedang yang hilang dari tuanku. Aku akan membawa tiga pedang
itu pada kaki tuanku dan menyerahkannya. Sampai usai masa
perang ini, sekalipun menuju kehancuran, aku akan setia pada
tuanku, pada Rephaiem yang adalah saudara-saudaraku. Dan pada
Sorga Kekal.” Setelah ia mengangkat sumpahnya, bersoraklah para
Rephaiem yang menjadi saksi atas peristiwa itu. Kemudian mereka
bersuka.
Lalu datanglah Elcuriel mendekati Helanael itu. Ia meraih
bahu Helanael dan berkata,
“Saudara, pedang apa yang ada pada tanganmu itu? Dengan
sebutan apa para malaikat akan menyebutnya?” Kemudian menun-
duklah Helanael itu memberi hormat pada Elcuriel. Kata Helanael,
“Kiranya tuan menerima hormatku. Biarlah engkau yang
memberikan sebutan pada pedang ini, Elcuriel.” Maka jawab
Elcuriel,

149
“Angkat wajahmu dan pandang aku. Aku telah menerima
hormatmu dan aku sendiri berkata padamu, bahwa engkaulah
malaikat yang sekali lagi membawa Bara-Al menjadi bercahaya di
Tanah Sorga. Inilah pedang Darazil, pedang pemimpin hebat.
Bertempurlah bersama tuanmu. Pedangmu diperhitungkan dalam
barisannya.” Lalu kata Helanael,
“Darazil. Ya, mereka akan mendengar namanya dan Tanah
Barat akan takut padanya.” Lalu mereka bersorak dan merayakan
peristiwa itu.
Tengah keramaian perayaan di Daria, para pengintai Bath-
Pometh telah melihat kota itu. Dari kejauhan saja, mereka dapat
melihat bahwa para Rephaiem itu dalam keadaan yang tidak siap.
Kemeriahan para Rephaiem dalam perayaan telah menjadi tandai
baik bagi musuh. Maka kembalilah para pengintai itu pada Eftiel
dan berkata, “Kota itu penuh dengan para Rephaiem. Ratusan ribu
barisan. Bahkan sampai keluar tembok, mereka berdiam. Ada
banyak yang berdiam di tenda-tenda di sebelah barat kota, jalan
kita masuk. Namun mereka dalam keadaan yang nyaman. Mereka
sama sekali tidak tahu tentang kedatangan kita. Mari kita menye-
rang sekarang dan mereka akan habis dalam sekejap saja.” Maka
kemudian Eftiel mulai memerintahkan penyerangan ke Daria
dengan segera.
Sedang saat itu Sealtiel telah mencapai puncak bukit dan ia
melihat barisan Bath-Pometh di sebelah selatannya, sudah siap
mengacaukan Daria. Maka kata Sealtiel,
“Berilah aku kekuatan, Tuhanku.” Lalu datanglah Gabriel
bersama barisannya menyusul Sealtiel. Gabriel maju dan melihat
apa yang dilihat Sealtiel itu. Maka katanya,
“Mereka akan mengacaukan Daria tanpa banyak berusaha,
Sealtiel. Mereka akan menyerakkan Rephairiem seperti mereka
menyerakkan Seraphiem di Selatan. Kita harus segera mulai.”
Namun jawab Sealtiel,
“Jangan tergesa-gesa, saudaraku. Para Seraphiem belum
memberi tanda pada kita. Mereka belum siap. Tahan dirimu. Aku
belum melihat pergerakan di celah-celah batu itu.” Sealtiel berlari
ke belakan barisan Jegaduriem dan melihat ke celah-celah bukit

150
menanti tanda-tanda para Seraphiem. Sementara Gabriel terus
mengawasi barisan Bath-Pometh itu dari atas bukit.
Sementara itu, Mirkandurel telah sampai di celah-celah
bukit dan para Seraphiem segera memenuhi seluruh jalan-jalan
sempit di antara retakan bukit. Mereka melihat jalan gua-gua yang
menembus bukit, lurus dengan para Bath-Pometh. Kemudian kata
Mirkandruel,
“Ini tempatnya. Lekas kamu bersiap untuk bertempur. Jaga
seluruh jalan yang ada. Penuhi jalan-jalan ini. Naik ke tebing-tebing
batu! Siapkan tombak-tombakmu segera. Setelah para Jegaduriem
berteriak-teriak, musuh akan datang pada kita dari balik pohon-
pohon di ujung jalan ini.” Para Seraphiem segera mengatur barisan
mereka dan barisan Seraphiem itu berbaris bersesakan di jalan-jalan
sempit. Mereka ada di celah-celah bukit. Tidak lama kemudian
datanglah Mikhael di sana dan melihat keadaan barisannya.
Mikhael segera menuju ujung utara dari celah-celah bukit itu. Ia
mendapati Mirkandruel di sana.
Mikhael melihat keadaan medan tempur dan ia memper-
hitungkan segala sesuatunya. Kemudian berkatalah Mikhael,
“Aku harap barisanmu sudah siap, Mirkandruel.” Lalu
jawab Mirkandruel,
“Kehancuran pun tidak menggoyahkan tumpuan barisan-
mu, tuanku. Aku mengisi dinding-dinding batu juga. Barisan ini
tidak akan tertembus, musuh tidak akan melewati kita, tuanku.
Mereka akan terbantai di jalan sempit ini. Jumlah mereka tidak akan
ada artinya.” Lagi kata Mikhael,
“Ya, benar. Biarkan para penombak memanjat dinding-
dinding. Mereka akan menghujami musuh dari atas. Kita akan
bertempur sangat lama di sini bila musuh terus meladeni kita. Na-
mun bila mereka melihat jalan di sebelah timur itu, kita dalam
bahaya. Sebaiknya tahan musuh dengan waktu yang cukup lalu
tarik barisan pergi dari sini. Bila terlalu lama, mereka akan mene-
mukan jalan memutar dan mengepung kita di celah-celah ini.” Lalu
bersiaplah mereka di sana untuk pertempuran.
Gabriel melihat barisan Bath-Pometh sudah mengangkat
tombak-tombak mereka. barisan depan mulai melangkah maju dan

151
mengendap-endap di balik rumput, menuju perkemahan Repha-
iem. Menolehlah ia mencari Sealtiel dan ia sudah tidak dapat
menahan diri untuk berseru memanggil para Bath-Pometh itu.
Sealtiel telah melihat bendera-bendera Seraphiem memenuhi celah-
celah bukit dan ia sudah melihat cahaya Mikhael di antara pohon-
pohon. Maka segeralah ia berseru,
“Jegudiel, sekarang saatnya!” Maka bangkitlah Gabriel
dengan segera dan ia naik ke atas batu yang ada di puncak bukit
itu. Dari sana ia berseru sekuat tenagannya, katanya,
“Hai Bath-Pometh! Inilah aku musuhmu!” Kemudian para
Jegudiem yang ada di sana juga berseru-seru dan suara mereka ke-
dengaran seperti malaikat yang sangat banyak jumlahnya. Mereka
berbaris memanjang di puncak bukit.
Terdengarlah suara mereka di antara Bath-Pometh. Eftiel
bangkit dan mencari dari mana suara sorakan itu. Lalu ia melihat di
suatu puncak bukit, ada sebarisan malaikat. Dari kejauhan, ia
melihat bahwa barisan itu ada banyak jumlahnya, sebab barisannya
memenuhi puncak bukit. Suara sorakan mereka pun terdengar
seperti ada banyak sekali. Maka Eftiel berkata, “Mereka telah
melihat kita! Ini jebakan! Tarik barisan dan kejar mereka! Masuk
dalam hutan! Masuk dalam hutan!” Maka segeralah para Bath-
Pometh itu kembali dalam barisan mereka dan berlari menembus
pepohonan mengejar para Jegaduriem yang mereka lihat itu.
Sementara itu, para Rephaiem yang di perkemahan mende-
ngar suara-suara dari antara pepohonan. Ada serombongan Re-
phaiem yang sedang duduk-duduk di ujung perkemahan. Mereka
sedang tertawa sukacita dan berbincang. Lalu salah satu dari
mereka mendengar suara-suara yang samar dari antara pepohonan.
Maka bangkitlah ia dan berkata pada saudara-saudaranya, katanya,
“Diamlah dahulu, aku mendengar suara-suara dari antara
pepohonan!” Namun saudara-saudaranya itu tidak menghiraukan
dan berkata,
“Duduklah, tenanglah. Itu adalah suara kambing-kambing
gunung yang saling berkejar-kejaran. Minumlah anggur ini dan
segarkan dirimu!” Namun hamba yang satu itu tetap bersikeras
meminta saudara-saudaranya untuk diam. Karena saudara-

152
saudaranya tidak menghiraukan dia, pergilah ia seorang diri untuk
melihat.
Ketika ia berjalan ke arah pepohonan, seorang Rephaiem
lain mengikuti dia. Ketika dua Rephaiem itu melihat dari balik
pohon, mereka melihat ada barisan musuh berlarian di antara
hutan. Lalu mereka melihat keluar hutan, ke jalan utama barat
Daria, di sanalah mereka mendapati barisan Bath-Pometh yang
memenuhi tanah itu. Maka terheranlah mereka. Lalu mereka
melihat ke mana barisan itu berlari. Nampaklah para Jegaduriem
berdiri dengan bersorak-sorak di atas puncak bukit. Maka kata
mereka satu dengan yang lain,
“Itu barisan Jegaduriem. Mereka melindungi kita dari ba-
risan musuh ini. Kita harus segera mengabarkan ini pada saudara-
saudara yang lain.” Maka berlarilah mereka cepat-cepat kembali ke
perkemahan Rephairiem.
Sementara itu, Sealtiel dan Gabriel, bersama barisan Jega-
duriem, mereka melihat barisan Bath-Pometh berlari berbondong-
bondong menembus pepohonan ke arah mereka. Lalu berkatalah
Sealtiel,
“Mereka sudah beralih pada kita, Jegudiel. Para Rephaiem
sudah luput dari ancaman. Sekarang pergilah, kembali ke Ariar.
Seperti yang dikatakan Serael. Lebih baik bagimu dan hamba-
hambamu ini untuk pergi, Jegudiel. Sebelum musuh menemukan
jalan memutar ke balik bukit ini dan menghadang jalanmu. Pergilah
segera. Ke utara, engkau akan melihat pintu jalan kambing gunung
itu di sebelah timur, setelah melalui batu-batu besar.” Lalu Gabriel
memegangi Sealtiel dan katanya,
“Bagaimana denganmu, Sealtiel? Turutlah bersama kami.
Para Seraphiem akan menangani Bath-Pometh itu. Percayalah. Yang
terpenting adalah para Rephaiem sudah luput, maka sekarang
luputkan juga dirimu dari sini. Jangan pikirkan para Seraphiem itu.
Aku sudah cukup banyak melihat pertempuran mereka dan sekali-
pun dengan tujuh belas barisan saja, Sereal dapat selamat. Maka
mereka juga akan selamat dari pertempuran ini.” Namun Sealtiel
memeluk Gabriel dan berkata,

153
“Pergilah, cepat. Aku akan pergi pada Yehudiel. Aku akan
bergabung bersama Rephairiem. Tinggalkan benderaku tertancap di
puncak gunung ini.” Lalu Sealtiel melihat barisan musuh mulai
mendekat dan daun-daun pepohonan mulai bergerak karena
barisan besar sedang berlari di antaranya. Lagi kata Sealtiel,
“Kita akan berjumpa lagi. Berdiamlah di Ariar untuk bebe-
rapa lama. Sampai keadaan mulai tenang dan barisan ini dapat
bergabung dengan barisan Seraphiem lagi.” Maka Gabriel memeluk
Sealtiel dan pergi dari sana membawa hamba-hambanya.
Sealtiel tetap tinggal di sana dan ia naik ke atas tunggangan-
nya. Ia mengangkat benderanya dan ia memimpin tunggangannya
ke tepi tebing bukit. Matanya mengawasi pohon-pohon dan menan-
tikan kemunculan barisan musuh. Pada waktu itu Mikhael dan
barisan Seraphiem sudah siap di antara celah-celah bukit. Berka-
talah Mikhael pada Mindruel, katanya,
“Mengapa para Jegaduriem berhenti berseru-seru?” Maka
jawab Mindruel,
“Aku tidak dapat melihatnya dari sini, tuanku. Mungkin
barisan musuh sudah mendengar dan melihat mereka.” Maka
Mikhael melihat barisannya yang ada di sana dan ia berkata pada
para Seraphiem yang ada di dekatnya, katanya,
“Pertahankan garis ini, Seraphiem. Sekalipun kehancuran
akan menyapamu. Para Seraphiem tidak lari dari pertempuran dan
meninggalkan saudaranya. Kita akan meninggalkan tempat ini bila
sudah selesai semuanya.” Kemudian berjalanlah Mikhael di antara
dinding-dinding tebing. Ia melihat pohon-pohon yang tumbuh me-
nempel di antara batu-batu tebing. Ia menguatkan dirinya sendiri.
Mikhael mengulurkan tangannya pada batu-batu. Kemu-
dian ia menyadari bahwa batu-batu itu basah. Lalu ia melihat ada
gua di antara batu-batu itu. Masuklah ia ke sana seorang diri saja.
Di sana ia melihat tanah di bawah kakinya basah dan ia melihat ada
akar pohon menggantung di langit-langit gua. Air menetes dari
sana. Maka keluarlah ia dari gua itu dan berseru pada para
Seraphiem, katanya,
“Batu-batunya berair! Carilah akar pohon-pohon di antara
batu-batu, itu akan memberimu air, sekalipun tidak banyak. Segar-

154
kan dirimu segera!” Maka para Seraphiem itu segera mencari akar-
akar pohon di antara batu-batu dan mereka mendapati air, sekali-
pun sedikit, itu cukup bagi mereka. Sedang para Seraphiem itu
mencari air, terdengarlah seruan Mirkandruel, katanya,
“Musuh datang!” Maka berlarian para Seraphiem itu kem-
bali ke tempat mereka masing-masing.
Dari situ Mikhael pergi dan ia masuk kembali dalam gua
yang ia dapati sebelumnya. Duduklah ia di sana, sebab ia tidak
sanggup melihat hamba-hambanya yang akan menghadapi musuh
yang hebat. Ia sudah mengetahui, pertempuran ini seharusnya
tidak ia jalani, namun karena para Rephaiem, ia melakukannya.
Sealtiel di atas puncak tebing, Ia sudah melihat barisan
musuh keluar dari antara pepohonan dan berlari ke arahnya. Maka
Sealtiel mengangkat benderanya dan berseru,
“Mari kamu sekalian! Jemputlah kehancuranmu dan dapati
tempat peristirahatanmu di antara batu-batu, untuk selamanya!
Hancurlah, hancurlah kamu pengkhianat Seraphiem!” Para Bath-
Pometh itu melihat Sealtiel yang mengolok-olok mereka, namun
tidak ada jalan untuk mencapai Sealtiel. Maka berlarilah barisan
Bath-Pometh itu ke antara sela-sela batu, celah-celah bukit dan
masuk ke gua-gua mencari jalan. Namun merekat tidak tahu,
barisan Seraphiem sudah siap di antara bayang-bayang bukit. Eftiel
pemimpin barisan itu hendak menahan barisannya, namun hamba-
hambanya, barisan depan Bath-Pometh sudah terlanjur mulai
masuk dalam celah-celah. Maka ia hanya berdiam diri dan berjalan
mengikuti.
Mikhael duduk seorang diri di dalam gua. Hamba-hamba
pelayannya mencari dia, namun tidak ada yang mendapatinya.
Maka seorang hamba datang pada Mindruel dan berkata,
“Tuan telah meninggalkan kita. Kami tidak mendapatinya di
antara barisan. Dan tempat ia duduk telah kosong.” Maka Mindruel
memegang wajah Seraph yang mengatakan itu. Lalu kata Mindruel,
“Engkau telah berbicara seperti Seraph yang kebanyakan
minum air. Pergi dari hadapanku! Seorang Seraph tidak meninggal-
kan saudara-saudaranya dalam pertempuran. Terutama tuan besar

155
Serael sendiri.” Maka pergilah Mindruel untuk mencari Mikhael di
sana.
Pada waktu itu para Rephaiem di ujung perkemahan telah
ramai karena kabar dari dua orang Rephai. Mereka yang tidak per-
caya pergi untuk melihat. Maka banyak dari mereka yang melihat
barisan Bath-Pometh memenuhi jalan ke Daria. Mereka melihat ada
barisan-barisan yang sedang berdiam di sana. Maka kabar itu
segera tersebar sampai ke dalam kota. Sampailah kabar itu pada
salah satu saudara Helanael dan ia menyampaikan itu pada
Helanael. Maka bangkitlah Helanael segera dan berlari ke tengah
perayaan. Ia berseru-seru, katanya,
“Musuh datang dari barat! Mereka hendak menyerang kita
diam-diam!” Maka teralihlah perhatian Raphael pada Helanael.
Lalu Raphael mengangkat tangannya dan diamlah seluruh
Rephaiem yang ada di sana. Kata Raphael,
“Apa yang engkau katakan, Helanael? Mengapa wajahmu
nampak gusar di tengah perayaan kita?” Datanglah Yehudiel ke
sana untuk melihat.
Kemudian Helanael berlutut dan berkata, “Ampuni aku
tuanku. Sungguh kiranya aku memohon kasih tuanku. Hamba-
hambaku, yang berkemah di luar tembok, mereka melihat barisan
musuh. Ada kira-kira dua ratus ribu barisan yang terlihat meme-
nuhi jalan ke kota ini, di sebelah barat. Hamba-hambaku yang
menjadi saksi, dan mungkin masih ada tiga ratus ribu barisan lain.
Mereka hendak menyerang kita, namun mereka berbelok ke hutan,
ke utara. Ada barisan Jegaduriem yang mengalihkan mereka. Ba-
risan itu ada di atas puncak bukit, di perbukitan Rardum-Henakh.”
Maka bangkitlah Raphael dengan segera dan ia terheran. Raphael
tidak berkata apa-apa dan ia tidak dapat berpikir. Sebab pikirannya
menjadi berat saat mendengar barisan besar berlari menyerang
barisan Jegaduriem. Kemudian naiklah Yehudiel ke dekat Raphael
dan ia berseru,
“Rephairiem! Angkat senjatamu!” Maka bersoraklah para
Rephairiem itu. Kemudian Yehudiel meraih Raphael dan berkata,
“Kita harus segera menyusul mereka, saudaraku. Pertem-
puran masih berlangsung saat ini.” Lalu kata Raphael,

156
“Syukur pada Sang Terang, engkau ada bersamaku. Yehu-
diel, pimpin barisan yang kupercayakan padamu. Siapa saja yang
sudah siap, harus segera berbaris. Selamatkanlah para Jegaduriem
itu. Mereka yang harus selamat.” Maka Yehudiel memeluk Raphael
dan pergi dari sana.
Yehudiel segera pergi mempersiapkan para Rephairiem.
Semua pemimpin barisan sibuk seketika itu juga dan barisan
Rephairiem harus segera siap dalam waktu cepat. Raphael berlari
dan juga mempersiapkan barisan. Mereka yang sudah menjadi siap
lebih dahulu segera berlari ke luar tembok dan membentuk barisan
di sana. Sementara itu, Sealtiel di atas puncak bukit telah melihat
barisan musuh berlari memasuki gua-gua celah bukit. Maka
katanya,
“Selamatlah engkau, Serael. Aku akan menjumpaimu nanti.
Kita akan bertemu setelah pertempuran ini.” Lalu bertungganglah
Sealtiel menuruni bukit, ke sebelah timur bukit itu dan masuk ke
pepohonan menuju Daria.
Pada waktu itu Mindruel berlarian ke sana ke mari mencari
Mikhael. Ia mencari di setiap kumpulan barisan. Sampai akhirnya ia
melihat cahaya menembus batu-batu, maka tahulah ia bahwa
Mikhael ada di sana. Ia berjalan mengikuti cahaya itu dan melihat
gua tempat Mikhael duduk. Tenanglah pikirnya dan ia segera
mendapati Mikhael di sana, kata Mindruel,
“Tuanku, ampuni aku yang mengganggu tuan.” Mikhael
menoleh dan melihat saudaranya itu, katanya,
“Mari, duduklah bersamaku, Mindruel. Engkau tidak akan
pernah menggangguku dengan suara lembutmu.” Maka duduklah
ia dekat Mikhael dan berkata,
“Barisan sudah siap sejak tadi, namun musuh tidak juga
datang, tuan. Mungkinkah para Jegaduriem tidak berhasil meman-
cing mereka ke mari?” Namun jawab Mikhael,
“Tidak, Mindruel. Mengapa engkau memikirkan hal yang
sedemikian itu. Kita masuk ke celah-celah bukit itu dari arah utara.
Itu lebih mudah bagi kita. Sebab jalan yang dari selatan itu rumit
dan berbelok-belok. Mungkin musuh masih terjebak di antara
celah-celah bukit ini dan mendapat jalan-jalan yang buntu. Aku

157
dapat merasakan langkah kaki mereka di batu-batu ini. Lihatlah,
langit-langit gua ini terus menjatuhkan debu-debu tanah. Langkah
musuh kita semakin dekat.” Kemudian kata Mindruel,
“Tuan, marilah bersama barisanmu. Tungganganmu tidak
nampak gagah tanpa engkau duduk di atasnya. Untuk apa hamba-
hambamu mengangkat benderamu, bila tidak ada tuan di sana.”
Mikhael bangkit dan ia menaruh kedua tangannya di belakang
punggungnya.
Kemudian berkatalah Mikhael,
“Musuh yang akan kita hadapi ini, Mindruel. Engkau tahu
tentang mereka. Dahulu mereka adalah hamba-hambaku yang
melayani dan menyebut Serael sebagai tuan mereka. Sekarang
mereka telah jauh dariku dan Luciel adalah tuhan bagi mereka.
Langkah mereka sama seperti barisan kita. Gerakan mereka adalah
gerakan kita. Mereka adalah para Seraphiem, sama sepertimu.
Seperti aku. Waktu berlalu dan tanpa aku melihatnya, mereka telah
diambil dari sisiku. Sekarang barisanku harus membantai mereka,
dan mereka membantai barisanku. Kekuatan mereka sama seperti
kita, Mindruel. Jumlah mereka lebih dari barisan kita. Mereka tidak
bodoh, sebab mereka dahulu juga kaum malaikat. Mereka akan me-
lihat jalan di sebelah timur itu dan akan mengepung kita. Hamba-
hambaku mungkin tidak akan pernah keluar dari celah-celah bukit
ini. Masakan aku harus duduk di atas tungganganku itu dan meli-
hat hamba-hambaku terbantai, Mindruel? Lebih baik bagiku untuk
duduk di sini. Sanggupkah mata menyaksikan semuanya ini?”
Mindruel segera bangkit dan memeluk Mikhael. Lalu katanya,
“Engkau adalah Mikhael, Seraphiem yang bersama-sama
dengan aku sejak aku tahu memanggil Tuhan dan Allah. Saat ini
aku berkata padamu, saudaraku. Mengapa engkau memikirkah hal
yang sedemikian itu? Barisan ini akan selamat seperti biasa. Mereka
akan luput dari kehancuran bersama engkau. Yang Terang akan
menyelamatkan kita.” Kemudian Mikhael menundukkan kepalanya
dan terdiam. Pikirannya susah dan berat yang ia rasakan. Kata
Mikhael,
“Aku tahu. Namun sudikah Dia menyelamatkan hamba-
hamba yang segelintir ini?” Lagi kata Mindruel,

158
“Saat ini aku tidak mengenalimu. Engkau berbicara seperti
orang tidak tahu mana utara, mana selatan. Air dari batu-batu ini
telah merusak pikiranmu. Bahkan hamba-hambamu juga. Kiranya
Allah sendiri akan mengeluarkan kita sekalian dari sini, dengan
tangannya sendiri.” Lalu Mikhael mengangkat wajahnya dan ia
menguatkan dirinya sendiri. Lalu katanya,
“Musuh semakin dekat. Mindruel, aku mempercayai apa
yang engkau katakan padaku itu. Kiranya kasihmu padaku masih
tetap seperti saat engkau mendapati aku tadi. Kita akan berjuang.
Aku ingat akan Tangan Allah, karenamu. Ya, tentu ia akan
mengeluarkan kita dari sini.” Lagi katanya,
“Katakan pada barisan: Berhenti minum air dari antara batu-
batu. Memang air ini telah merusak pemikiran.” Maka kembalilah
mereka dalam barisan dan menantikan kedatangan musuh.
Sedang saat itu barisan Bath-Pometh terjebak di antara
celah-celah bukit dan mereka tidak melihat jalan keluar. Berkatalah
pemimpin barisan depan itu pada Eftiel, “Tidak ada ujung dari
jalan ini. Kita hanya berputar-putar dan mendapati jalan buntu.
Sebaiknya kita kembali pada barisan dua dan keluar dari sini,
tuan.” Namun jawab Eftiel, “Jangan engkau mengeluarkan perintah
pada barisan ini dengan keputusanmu sendiri! Istirahatkan barisan.
Aku merasakan ada malaikat-malaikat bersembunyi di antara batu-
batu ini dengan ketakutan. Kita akan menemukan jalan dan mene-
mukan mereka.” Maka Eftiel menambahkan barisan yang masuk ke
sana. Tujuh ratus barisan masuk ke celah-celah bukit dan mencari-
cari jalan di sana. Mereka bergantian mencari dan beristirahat. Kerja
mereka tidak pernah berhenti dan mereka berlari-lari di sana. Saat
mereka mendapati bahwa ada air-air di sana, mereka meminumnya
banyak-banyak. Bahkan mereka membongkar batu-batu untuk
mendapatkan air, sebab anggur-anggur mereka hemat.
Sedang saat itu barisan Rephaiem telah semakin siap dan
mereka berkumpul di depan tembok kota sebelah barat. Mereka
berbaris di Daria dan Yehudiel bertunggang di depan barisan itu
melihat kesiapan mereka. Lalu keluarlah Raphael dari gerbang kota
bersama rombongannya. Para pemimpin barisan sudah ada di sana.
Lalu kata Raphael,

159
“Yehudiel, sungguh engkau sangat banyak membantu aku.
Sekarang aku melihat, bahwa engkaulah Yehudiel yang akan
memimpin barisan Yehudiem dengan hebat. Engkau sangat siap
untuk memimpin barisan. Barisan Rephaiem yang engkau pimpin
selama ini, aku akan menyebutnya barisan tanduk putih. Sebagai
tanda penghormatan padamu.” Lalu tersenyumlah Yehudiel dan
berkata,
“Syukur pada Yang Terang, Raphael. Sebab Tangan Allah
sendiri yang mengajarkan padaku cara melakukannya, tanpa sepa-
tah kata pun. Tiga ratus ribu barisan siap di belakangmu. Barisan
musuh sudah melihat kita, namun mereka tidak menyerang. Jalan
menuju bukit itu tertutup pohon-pohon yang rapat. Lagipula para
Jegaduriem sudah tidak ada di sana. Mereka mungkin sudah ber-
lari, mereka hanya mengalihkan perhatian musuh saja.” Lalu jawab
Raphael,
“Sungguh mereka telah menjaga kita. Mungkin itu adalah
Gabriel, saudaraku. Serael ada di sana bersama ia. Cahaya Sorga
tentu sudah memikirkan suatu cara yang tidak terpikirkan oleh kita.
Tentu Serael akan menahan musuhnya dan membantai mereka.
Mari kita bertempur dan mendapati saudara-saudara kita. Tiga
ratus ribu barisan. Kapak kita akan cukup untuk mengoyak musuh,
Yehudiel. Tombak kita juga cukup panjang untuk merobek wajah
mereka. Mari kita lakukan saja!” Lalu tertawalah mereka dan segera
memimpin barisan itu untuk mulai bergerak maju.
Sedang saat itu Mirkandruel telah mengalami masalah ber-
sama barisan depannya. Sebab para Seraphiem itu telah menanti
musuh, namun tidak juga mereka melihat musuh di sana. Maka
para Seraphiem itu mulai berbicara tidak jelas dan menggerutu.
Berkatalah Mirkandruel,
“Apa yang salah dengan air-air di bukit ini. Sungguh air
dari tempat ini telah meracuni barisan Seraphiem.” Lalu datanglah
Mindruel ke sana dan berkata pada Mirkandruel, katanya,
“Perintahkan hamba-hambamu untuk berhenti mengambil
titik-titik air dari antara batu-batu, saudaraku. Airnya telah rusak
dan tidak menyegarkan kita. Namun air ini malah membuat para
malaikat seperti sedang kelelahan dan bicara tidak tahu arah.”

160
Maka berserulah Mirkandruel memerintahkan hamba-hambanya,
seperti yang dikatakan Mindruel itu.
Suara teriakan Mirkandruel itu menarik perhatian musuh,
sebab memang ia berseru lantang. Bath-Pometh semakin dekat
dengan para Seraphiem di antara gua-gua, di celah-celah bukit itu.
Berkatalah Eftiel pada hambanya, katanya, “Cepat engkau pergi
dan panggil barisan lainnya. Kita menemukan musuh kita di sini.
Tentu mereka bersembunyi di antara gua-gua gelap ini dengan
ketakutan.” Maka berlarilah hamba-hambanya untuk memanggil
sisa barisan Bath-Pometh yang masih ada di luar celah-celah bukit.
Namun rupanya hamba-hamba yang diutus Eftiel itu, mereka
tersesat saat mencari jalan kembali.
Pada waktu itu Raphael dan Yehudiel bertunggang dengan
tenang mengarah pada barisan Bath-Pometh yang ada di jalan
menuju Daria. Saat barisan Bath-Pometh melihat Rephairiem
mendekati mereka, maka ramailah keadaan. Mereka tidak tahu apa
yang harus mereka lakukan, sebab Eftiel, pemimpin mereka tidak
ada bersama mereka. Maka para pemimpin barisan Bath-Pometh itu
segera mengatur barisan dan mereka memutuskan untuk bertem-
pur di sana. Raphael dan Yehudiel sangat tenang bertunggang, tiga
ratus ribu barisan Rephairiem berjalan di belakang mereka. Juga
para Rephaiem yang masih bersiap di dalam kota akan menambah
jumlah barisan itu.
Perlahan mereka mendekati barisan Bath-Pometh.
Berkatalah Raphael pada Yehudiel, katanya,
“Barisan yang besar, Yehudiel. Mereka adalah pendiam
Tanah Selatan yang hendak menyatakan kekuasaan mereka atas
Daria. Emeriel telah menyerah menghadapi kita, Ekhinel berlari
meninggalkan kita. Sekarang mereka ini yang selanjutnya.” Lalu
berkatalah Yehudiel,
“Aku melihat ketakutan pada barisan musuh. Tidak ada
bendera besar di sana. Pemimpin mereka tidak bersama barisan ini,
Raphael. Ini sangat bagus. Aku tidak sabar membantai mereka
semua. Kuduga mereka adalah hamba-hamba Serael yang berkhia-
nat.” Kemudian kata Raphael,

161
“Ya. Mereka tampak seperti para Seraphiem. Mungkin benar
apa yang engkau katakan. Sebenarnya aku mengharapkan berha-
dapan dengan Legiun, namun karena mereka ini yang ada, maka
aku tidak punya pilihan.”
Yehudiel melihat di sebelah selatan barisan musuh. Ia
melihat pepohonan yang rusak. Tahulah ia bahwa ada barisan lain
yang pergi ke tengah pepohonan. Maka katanya,
“Raphael, perhatikan pepohonan itu. Sepertinya ada barisan
besar yang menerabas pepohonan itu dan meninggalkan jejak.
Mungkin ada barisan yang mengejar ke bukit yang dikatakan
hamba-hambamu itu.” Setelah melihat pepohonan itu, tahulah
Raphael ke mana barisan musuh itu pergi. Maka kata Raphael,
“Serael benar-benar merencanakan sesuatu bagi musuh kita
ini. Aku tahu di mana mereka akan bertempur, Yehudiel. Di sebelah
selatan dari sini, ada satu bukit paling utara di antara perbukitan
Rardum-Henakh. Tiga bukit paling depan adalah tempat pengga-
lian batu. Hamba-hamba Rephaiem telah lama menggali di perbu-
kitan itu dan mereka memotong-motong perbukitan di sana dan
membuat jalan. Serael membariskan barisannya di antara celah-
celah sempit batu-batu bukit. Di sana jumlah musuh tidak akan
berarti di depan barisan Seraphiem.” Lalu kata Yehudiel,
“Tempat penggalian batu? Di sanakah para Jegaduriem
berbaris?” Jawab Raphael,
“Mungkin iya. Hamba-hambaku tidak menyampaikan keje-
lasan tentang itu. Sekarang yang terpenting kita akan membantai
mereka yang di hadapan kita ini. Setelah itu baru kita akan
menyusul saudara-saudara yang lain di perbukitan itu.” Kemudian
berhentilah barisan itu dan mulai bersiap untuk bertempur.
Barisan Bath-Pometh juga telah mengatur barisan mereka.
Adapun jalan menuju Daria itu sangat lebar. Dari perbukitan yang
sebelah selatan, sampai pepohonan di sebelah utara, lebarnya seki-
tar dua belas panahan. Kedua barisan besar memenuhi jalan itu dan
saling berhadapan di sana. Barisan Bath-Pometh memutuskan me-
reka yang akan menahan. Namun Raphael tidak ingin barisannya
menjadi penyerang terlebih dahulu. Maka dua barisan itu sempat
saling menahan diri di sana, sekalipun mereka sudah sama siapnya

162
untuk bertempur. Yehudiel memimpin barisan di sebelah utara,
sedang Raphael memimpin barisan yang sebelah selatan. Yehudiel
memandangi Raphael dan menantikan tanda untuk menyerang.
Tapi tidak juga Raphael berseru atau memberi tanda. Berserulah
Yehudiel,
“Raphael, apa yang engkau tunggu? Lihatlah barisan musuh
itu menahan barisan mereka dan tidak menyerang. Mari kita serang
mereka!” Lalu dari kejauhan Raphael menjawab Yehudiel, katanya,
“Yehudiel, tahan barisanmu! Tombak mereka panjang.
Lihatlah! Mata tombak mereka akan menusuk barisan ini sebelum
barisan ini dapat memukul mereka.” Maka terdiamlah Yehudiel.
Kemudian Raphael menempatkan para penombak di barisan depan,
Yehudiel mengikuti dia. Lalu Raphael bertunggang ke tengah
barisan Rephairiem.
Rupanya para Rephaiem dari Durie, mereka telah memben-
tuk senjata bagi barisan Rephairiem. Senjata itu mereka buat saat
masih ada di Durie dan mereka rakit saat sampai di Daria. Raphael
melihat kesiapan senjata itu di tengah barisan Rephairiem. Pemim-
pin para Rephaiem yang menjalankan senjata itu adalah Helanael.
Berserulah Raphael pada Helanael di tengah barisan itu, katanya,
“Helanael, mari kita lihat apakah senjatamu ini akan bekerja
dengan baik. Runtuhkan barisan depan musuh dan buka jalan bagi
Rephairiem! Berilah mataku pemandangan jalur barat bukit!” Maka
berserulah Helanael memerintahkan hamba-hambanya dengan
senjata-senjata mereka. Raphael bertunggang kembali ke depan
barisan dan mendapati Yehudiel di sana.
Kemudian berkatalah Raphael,
“Yehudiel, persiapkan untuk membuka barisan dan beri
jalan bagi barisan Durie. Mereka memiliki rencana bagi barisan
musuh. Kuharap senjata mereka akan bekerja dengan baik.” Maka
kata Yehudiel,
“Senjata apa yang engkau bicarakan ini, saudaraku?” Lagi
kata Raphael,
“Aku sendiri belum pernah melihatnya sampai saat ini,
Yehudiel. Kita akan menjadi saksi atas pekerjaan para Rephaiem itu.
Mereka menyebut senjata ini ‘Botcilesh’ (Penggigit kaki). Nama

163
yang tidak pernah terpikirkan bagiku untuk menyebut sebuah
senjata.” Lalu tertawalah mereka. Kata Yehudiel,
“Para Rephaiem juga sangat mahir dalam merancang dan
membentuk, ya? Bukahkan Botcilesh adalah binatang seperti semut
tanah Bumi, di Padang Timur, Raphael?” Lalu kata Raphael,
“Ya, benar yang engkau katakan itu. Aku rasa engkau tidak
pernah melihat hewan-hewan itu, Yehudiel. Mungkin engkau per-
nah membaca tentangnya, namun aku berani berkata, engkau tentu
tidak pernah melihatnya. Memang hewan-hewan itu ada di Padang
Timur. Dan hamba-hambaku sudah cukup berpengalaman dan
mengenal mereka. Para penggali batu sering terganggu dengan
binatang ini, ya, benar. Rahang mereka cukup kuat untuk menem-
bus kaki para Rephaiem. Tiga gigitan saja dapat merobohkan
seorang malaikat. Aku pernah melihatnya di Padang Timur.” Lalu
kemudian terdengarlah suara sangkakala dari antara barisan
Rephaiem.
Itulah suara tanda bahwa barisan Durie telah siap dengan
senjata mereka. Senjata yang mereka buat adalah tergolong senjata
berat, yaitu senjata-senjata besar. Bentuk senjata itu seperti pelontar
dengan selongsong. Ada empat roda di masing-masing sisi.
Masing-masing senjata itu memiliki dua puluh enam selongsong
pelontar, masing-masing selongsong berisi tujuh peluru. Pelurunya
terbuat dari bahan kayu pahatan berbentuk bulat dan bergerigi
(seperti gear). Pada tengah lingkaran peluru itu ada batu pemberat
seperti bola. Besar pelurunya kira-kira sekepalan tangan ukuran
Malaikat Agung. Di dalam selongsong itu ada dua batang besi
memanjang yang menjadi jalur peluncuran pelurunya. Para Repha-
iem menggunakan tali panjang untuk mengikat peluru-peluru yang
dipaling belakang masing-masing selongsong. Ujung tali itu
diikatkan pada sebuah batu yang berat. Di bagian belakang, di sisi
kanannya ada tiang yang mengait batu pemberat itu.
Bila para Rephaiem melepaskan pengait batu itu, maka batu
itu akan jatuh dengan cepat dan menarik tali yang tergulung pada
peluru-peluru dalam selongsong. Dengan cepat tali itu akan mem-
buat peluru-pelurunya berputar sangat cepat di jalur mereka.
Masing-masing peluru, geriginya saling berkaitan. Bila yang satu

164
berputar, maka peluru yang berkaitan juga akan berputar (seperti
gasing). Setelah peluru-peluru itu berputar, para Rephaiem akan
melontarkannya. Beginilah cara kerja penembakan Botcilesh:
Di ujung belakang selongsong, ada kayu pendorong peluru.
Kayu itu kecil dan panjang. Ujung depannya bersandar pada bola
pemberat peluru, sedang ujung belakangnya terpasang pada tali
melar. Kayu-kayu itu seperti anak panah duduk di panahan. Dan
tali-talinya sama persis cara kerjanya dengan tali busur panah.
Setelah peluru berputar cepat, kayu-kayu pendorong itu akan di
tembakan dari tali-talinya dan mendorong peluru-peluru keluar
dari selongsongnya. Kayu pendorongnya pun akan ikut terlontar
keluar. Peluru-peluru yang terdorong itu akan melaju cepat di besi
yang menjadi jalur mereka dan terlontar keluar di ujung selonsong-
nya. Berputarlah peluru-peluru itu di udara, kemudian jatuh ke
tanah. Saat mencapai tanah, peluru-peluru itu akan mendarat tepat
di bola pemberatnya dan terus berputar dan bergerak maju. Dengan
cepat peluru-peluru itu meluncur di atas tanah dengan berputar.
Setelah itu peluru-peluru itu akan menghantam kaki-kaki musuh
dan mengoyaknya dengan gerigi tajam yang ada di tepinya.
Peluru itu dapat menghancurkan dahan pohon Hutan Sela-
tan dengan cepat sekali hantam saja. Dalam satu tembakan,
biasanya ada satu sampai lima peluru yang gagal mendarat dan
tidak akan meluncur. Namun tembakan yang sempurna akan
menembakan semua pelurunya dan berhasil. Peluru itu dapat
mengikuti medan yang dilaluinya. Entah jalannya naik atau turun
terjal, peluru itu akan tetap melaju dengan cepat sampai sejauh tiga
panahan. Selama tepi geriginya tidak terganggu atau menyentuh
sesuatu, peluru itu akan tetap melaju kencang. Kelemahan senjata
ini bila musuh meloncat menghindarinya. Itulah senjata rancangan
para Rephaiem. Botcilesh, begitu mereka menyebutnya.
Setelah mendengar sangkakala barisan Durie, bertunggang-
lah Raphael dan Yehudiel ke tengah barisan. Mereka melihat sen-
jata-senjata itu sudah siap di sana. Kemudian berkatalah Yehudiel,
“Mengapa senjata semacam ini harus ada di tengah barisan?
Bawa mereka ke depan, Raphael. Lihatlah, senjata ini begitu per-

165
kasa. Ini akan menggentarkan musuh.” Namun Raphael hanya
tersenyum dan menjawab, katanya,
“Pertama, aku menyimpan ini sebagai kejutan, Yehudiel.
Mereka tidak akan terkejut bila melihat bentuk senjatanya dan
kapan ini akan ditembakan. Kedua, ini adalah senjata-senjata berat
yang sulit dipindahkan. Bila terjadi sesuatu di depan barisan, aku
tidak ingin senjata-senjata seperti ini rusak atau dijarah musuh.
Apalagi bahan-bahan tambangan sekarang sulit didapat, aku tidak
ingin berboros. Bila ada kerusakan, kita tidak dapat memperbaiki-
nya begitu saja.” Tertawalah mereka di sana. Lalu Raphael berseru,
“Rephairiem! Persiapkan serangan kita!” Kemudian berlu-
tutlah para Rephaiem di barisan depan dan mereka menundukkan
kepala mereka serendah mungkin.
Lalu berkatalah Raphael pada Helanael, katanya,
“Baiklah, Helanael. Mari selesaikan dengan cepat. Kita akan
memulai pertempuran ini. Lihatlah musuhmu itu. Mereka masih
malu-malu untuk menyerang.” Maka kemudian Helanael itu
memberi tanda pada barisannya dan berseru,
“Lepaskan murkamu pada mereka!” Serentak ditembakkan
semua senjata yang ada di sana ke arah musuh. Peluru-peluru
Botcilesh beterbangan di atas barisan Rephairiem. Raphael dan
Yehudiel bertunggang cepat-cepat ke depan barisan untuk melihat
hasilnya.
Meluncurlah serangan pertama dari Rephairiem pada
barisan Bath-Pometh. Peluru-peluru itu mendarat dengan hebat dan
meluncur di atas tanah dengan cepat. Rumput-rumput yang
menghalangi jalan peluru itu terbabat habis. Barisan musuh tidak
mengetahui bahwa itu adalah serangan. Mereka tetap berdiri di
sana dan berdiam saja menyaksikan peluru-peluru itu mendekati
mereka. Tidak lama kemudian terjadilah jeritan di barisan musuh.
Suara hantaman peluru-peluru Botcilesh pada kaki musuh terde-
ngar lantang dan suaranya seperti dahan pohon besar yang patah.
Hancurlah tumpuan barisan depan mereka. Melihat itu, Raphael
berseru pada hambanya, katanya,
“Melhuriel! Tiup Herberom! Majulah, Rephairiem!” Ditiup-
lah sangkakala Rephairiem itu dan suaranya memenuhi tempat itu.

166
Para Rephairiem bersorak-sorai dan berlari maju menyerang.
Raphael dan Yehudiem memimpin di depan.
Barisan Bath-Pometh masih terheran dengan serangan itu
dan mereka sibuk mengangkut saudara-saudara mereka yang terka-
par dan kesakitan. Datanglah hantaman barisan Rephairiem. Dalam
satu serangan hebat, Rephairiem seperti memenggal kepala Bath-
Pometh tanpa tenaga. Barisan musuh terbantai dengan hebat dan
pertempuran terbuka terjadi di sana. Para Rephaiem berlari me-
nembus barisan musuh dan terus menekan. Para Rephaiem
membantai musuh dengan bersorak serentak, katanya,
“Rephairiem! Penguasa Tanah Barat! Tangan Allah me-
menggal kepala musuh! Tanduk Allah meremukkan tubuh musuh!”
Sampai tujuh kali mereka menyorakkan itu dan gemparlah barisan
musuh. Moral barisan musuh telah jatuh dan mereka mulai berla-
rian meninggalkan pertempuran. Namun masih banyak yang tetap
bertempur di sana.
Baru beberapa lama pembantaian itu, terdengarlah sangka-
kala dari arah utara. Para Rephaiem tidak menghiraukannya, me-
reka terus membantai musuh. Namun barisan musuh yang mereka
hadapi berlari mundur meninggalkan mereka. Barisan itu berlari ke
utara dan masuk dalam pepohonan. Hampir lima puluh ribu
barisan yang berlari itu. Melihat musuh berlari, berserulah Yehudiel
pada Raphael, katanya,
“Mereka mundur! Kita telah menang, saudaraku. Pertem-
puran yang singkat, kurasa. Mari kita kejar mereka. Musuh kita
berlari ke hutan!” Raphael terdiam tidak menjawab. Para Rephaiem
bersorak-sorak di sana seperti mereka sudah memenangkan
pertempuran. Kemudian berkatalah Raphael,
“Mereka pergi dari sini bukan karena lari, Yehudiel. Mereka
dipanggil ke dalam hutan. Mereka akan mengepung barisan
Seraphiem.” Lalu kata Yehudiel,
“Tunggu apa lagi jika demikian. Mari kita susul mereka dan
lepaskan para Seraphiem dari tangan mereka.” Namun Raphael
memandang jauh ke depan, ke barat. Lalu katanya,

167
“Aku kira pertempuran kita belum usai di sini, saudaraku.”
Yehudiel melihat Raphael, lalu ia pun melempar pandangannya ke
barat.

168
Pertempuran di Daria –
Pertempuran Repbatranza

Saat itulah mereka melihat barisan lain datang ke sana.


Barisan belakang Bath-Pometh telah diturunkan dari Derie. Sorak
sorai barisan itu terdengar lantang sekalipun masih jauh. Musuh
mendekat dengan cepat ke Rephairiem. Sedang barisan Rephairiem
hanya memandangi barisan yang mendekat itu. Semakin dekat,
semakin jelas Raphael melihat. Dilihatnya barisan besar para
penunggang badak. Maka berserulah Raphael,
“Bentuk ulang barisanmu! Rephairiem! Pertempuran belum
usai. Berkumpul padaku! Ikuti bendera Tangan Allah!” Hebohlah
barisan Rephairiem itu dan mereka membentuk ulang barisan.
Empat baris penombak berlutut dan mengacungkan tombak
mereka. Di belakangnya Raphael dan Yehudiel, serta para pemim-
pin barisan. Setelah itu barulah barisan besar Rephairiem. Kata
Raphael pada Yehudiel,
“Serangan itu akan datang dengan sangat hebat pada kita,
Yehudiel. Kita harus bersiap. Mereka membawa badak-badak
pelindung.” Kemudian kata Yehudiel,
“Badak pelindung? Sejak kapan hewan-hewan pemakan
daun dari selatan ini menjadi begitu liar? Mereka telah melibatkan
hewan-hewan dalam pertempuran.” Kemudian berserulah Raphael
di sana,
“Botcilesh! Majulah barisanmu! Sekarang!” Maka barisan
besar membuka jalan dan senjata-senjata berat itu dibawa maju ke
tengah barisan. Para Rephaiem segera mempersiapkan senjata-
senjata itu dengan tegang. Sebab mereka melihat barisan musuh
bertunggang cepat ke arah mereka. Sangkakala musuh mulai
terdengar semakin lantang.
Yehudiel masih terdiam terheran melihat barisan musuh itu.
Ia melepas pelindung kepalanya untuk melihat lebih jelas. Lalu
datanglah Raphael menyanding dia dan berkata,
“Kenakan kembali pelindung kepalamu, Yehudiel. Engkau
akan membutuhkannya. Sekalipun engkau sering melihat badak

169
pelindung sebagai hewan yang tenang dan hanya memakan daun,
namun mereka tidak terhentikan. Tidak ada ujung tombak yang
dapat menembus dinding di leher mereka itu. Tanduk di moncong-
nya menjadi ancaman kita semua. Hanya gunung yang dapat
menghentikan langkah mereka. Siapkan barisanmu. Dalam meng-
hadapi binatang ini, serang matanya bila engkau melihatnya. Tikam
perutnya dekat dua kaki belakangnya. Kulitnya lemah di situ.
Jangan sia-siakan senjata dengan menyerang empat kaki depannya
itu. Tubuhku pun akan remuk bila ditubruknya.” Yehudiel hanya
mengangguk dan ia masih terheran-heran. Berbaliklah Yehudiel
untuk memimpin barisannya.
Baru Yehudiel berbalik, Raphael berseru lagi, katanya,
“Yehudiel!” Maka berhentilah Yehudiel dan menoleh. Lagi
kata Raphael,
“Jangan berdiam saja bila badak itu di depanmu. Tanduknya
akan meremukanmu.” Sekali lagi Yehudiel hanya mengangguk saja
dan terus bertunggang mempersiapkan barisannya. Para Rephaiem
sangat tahu tentang badak pelindung dari Selatan itu. Sebab
memang banyak didapati hewan itu di Tanah Selatan, di padang-
padang. Namun itulah saat pertama mereka melihat badak pelin-
dung menjadi sangat liar dan buas. Berlari dengan mengaum-aum.
Barisan musuh semakin dekat. Senjata barisan Durie telah
siap menembak. Raphael mengenakan pelindung kepalanya dan
berkata,
“Tombak maju bersamaku! Aku butuh kapak di belakangku!
Durie! Mundur segera setelah tembakan pertama. Melhuriel, sekali
lagi, bangkitkan Rephairiem!” Kemudian Melhuriel itu meniup lagi
Herberom dan membangkitkan semangat para Rephaiem.
Raphael mengangkat pedangnya dan para Rephaiem
bersorak-sorai di sana. Lalu barisan Durie menembakkan Botchilesh
ke udara. Di saat yang bersamaan saat peluru-peluru Botcilesh
berterbangan, berlarilah barisan Rephairiem itu maju menyambut
musuh mereka dengan sorakan yang hebat. Para penunggang
badak pelindung itu berteriak-teriak mengolok barisan Rephaiem
dan berseru, “Bath-Pometh! Bath-Pometh!” Namun itu tidak meng-
gentarkan Rephairiem. Peluru-peluru Botcilesh telah meluncur

170
dengan hebat dan menghantam kaki-kaki hewan tunggangan
musuh. Suara benturannya sangat kecang dan remuklah kaki-kaki
badak pelindung yang di baris depan. Badak-badak itu terjatuh ke
depan dengan mukanya lebih dahulu ke tanah. Para penunggang
itu terlempar dan tombak-tombak Rephaiem menyambut mereka.
Pertempuran telah terpecah. Barisan para penunggang itu
tidak berhenti begitu saja, mereka melompati barisan yang terpukul
jatuh itu dan mulai berlarian menghardik dan mengacaukan barisan
Rephaiem. Tombak-tombak teracung namun tidak dapat menem-
bus atau mematahkan kaki-kaki binatang-binatang ganas itu.
Yehudiel bertempur di sana seperti ia sedang melawan ratusan
barisan seorang diri. Sungguh kewalahan ia melawan para penung-
gang itu. Banyak dari para Rephaiem yang jatuh dalam pertem-
puran itu. Satu hari pertama pertempuran itu, Rephairiem terbantai
dalam pertempuran.
Sampai tiba-tiba tampillah Yehudiel di antara pertempuran
itu dan berseru-serulah Yehudiel,
“Bentuk barisan. Persiapkan tombakmu! Ada dua menuju ke
arah kita!” Maka para Rephaiem yang ada dekat Yehudiel segera
membentuk sebaris dari tujuh orang saja dengan mengacungkan
tombak. Mereka menyambut hantaman dua penunggang, terserak-
lah mereka terjatuh ke tanah. Maka berserulah Yehudiel,
“Pukul kaki belakangnya! Arahkah tombakmu ke perut
hewan itu! Bawa penunggangnya ke tanah dan takhlukkan badak
jahat ini!” Mereka bertempur setengah mati, dengan susah payah
mereka melawan. Tidak seorang Rephai pun yang goncang dan
meninggalkan pertempuran. Mereka berdiri tetap dalam pertem-
puran dan melawan. Mulailah perlawanan Rephairiem tampak di
sana.
Pada hari ke tiga mereka bertempur, Raphael memacu rusa
tanduk batu di tengah pertempuran itu. Ia bertunggang melawan
arah para penunggang musuh. Dengan pedang di tangan kirinya, ia
mulai memukul para penunggang dan menjatuhkan badak-badak
pelindung yang menghantam hamba-hambanya. Berserulah
Raphael,

171
“Bawa barisan kapak! Cepat! Hindari tanduknya dan pukul
kaki belakangnya!” Para Rephaiem mulai mengerjakan itu dan
mereka mulai menjatuhkan musuh. Namun barisan musuh itu
seperti tidak ada habisnya dan terus saja datang.
Turunlah dua ribu barisan Rephaiem yang datang dari Daria
bergabung dalam pertempuran. Terus mereka bertempur dan
barisan Rephaiem yang terlibat pertempuran itu semakin banyak.
Dengan pimpinan Raphael dan Yehudiel, para Rephaiem mulai
memberikan perlawanan hebat mereka. Para penombak berdiri
memancing badak-badak musuh. Saat badak itu mulai dekat,
mereka mengelak dari serudukannya dan menghujamkan tombak
pada perut binatang itu, dekat kaki belakangnya. Beberapa
memegang pangkal tombak dan berloncatan menghujami binatang-
binatang itu. Sungguh pertempuran yang hebat terjadi di sana
waktu di Daria.
Dengan percaya diri, Yehudiel telah memenggal banyak
kepala penunggang musuh dan menjatuhkan tunggangan mereka
dengan barisannya. Berserulah Yehudiel,
“Kita akan menang! Berkumpul padaku! Padaku!” Bangkit
kembali barisan Yehudiel dan membentuk ulang barisan mereka.
Para penombak berlari di depan dan pemegang kapak di belakang.
Tanduk putih membalas musuhnya. Tombak-tombak para Repha-
iem berkeja bersamaan. Dua belas tombak menghadang satu badak.
Para Rephaiem itu tidak lagi mengincar perut badak itu, mereka
mulai membidik kepala dan matanya. Saat tombak-tombak mereka
menghantam kulit badak itu, mereka mendorong dengan kuat,
sehinggang terangkat badak pelindung yang mereka hadapi. Badak
itu berdiri dengan dua kaki belakangnya, sedang para Rephaiem
menyangga binatang itu dengan tombak-tombak mereka.
Berserulah Yehudiel,
“Majulah kamu pengayun pedang dan kapak! Serang perut
dan rusuknya! Hancurkan kaki belakangnya itu!” Maka majulah
para Rephaiem yang lain dan memukuli kaki-kaki dan tubuh
binatang itu. Meraung-raunglah binatang itu lalu ia mati jatuh ke
tanah.

172
Dengan cara seperti itu para Rephaiem mulai serentak
menggunakan cara yang sama. Dua belas tombak menyangga satu
badak pelindung sampai berdiri badak itu dengan dua kaki
belakang. Lalu kaki-kakinya dan tubuhnya itu dihantam dengan
pedang dan kapak. Para penunggangnya terjatuh dan dihabisi saat
itu juga. Bersoraklah para Rephaiem itu. Lalu Raphael berseru,
“Bawa mereka ke tanah! Rendahkan musuh-musuhmu! Ban-
tai mereka, bantai mereka, bantai mereka!” Dengan murka dahsyat
Raphael menghabisi musuh-musuhnya. Ia bahkan mengadu rusa
tanduk batu tunggangannya dengan dua badak pelindung seka-
ligus. Namun rusanya tidak dapat menahan tekanan tanduk-tanduk
cula badak itu. Berdirilah Raphael dan ia memanjat ke atas kepala
rusa yang terdorong badak-badak itu. Ia mencabut pedang dan
memenggal para penunggang badak itu. Lalu Raphael menarik
Palu Allah, ia memukul kepala badak yang satu sampai hancur.
Sehingga kuatlah rusanya bertarung melawan yang satu.
Raphael meloncat dan menunggangi yang masih berdiri. Ia
menggunakan badak itu dan mengendalikannya berbalik melawan
barisan Bath-Pometh. Kata Raphael,
“Berhenti membantai badak-badak ini. Hancurkan para
penunggangnya dan tunggangi badaknya! Kejar musuhmu!” Para
Rephaiem berbondong-bondong melakukan yang dikatakan
Raphael itu dan mereka merebut tunggangan musuh. Mereka maju
dan menekan sampai keluar jalan Daria. Terus mereka membantai
dan menekan sampai ke jalur barat bukit, di tanah luas sebelah
barat Daria, sebelah selatan Derie. Pertempuran hebat itu berlang-
sung selama tujuh Shakta, sampai akhirnya barisan Bath-Pometh
berlari dari hadapan Rephairiem. Mereka mundur ke Daria.
Bergantilah tahun Sorga. Kemenangan para Rephaiem tepat pada
mula awal tahun ke dua puluh, masa perang Sorga.

Pada saat sebelumnya, yaitu saat masih di penghujung


tahun ke sembilan belas masa perang Sorga; Para Seraphiem telah
memulai perjuangan mereka. Mikhael bersama kira-kira dua ratus
dua puluh barisan lebih, berbaris menanti musuh mereka. Di antara
celah-celah bukit, mereka berbaris di balik bayang-bayang bukit.

173
Barisan Bath-Pometh yang dihadapi barisan Rephairiem telah ter-
berai. Saat Raphael dan Yehudiel memimpin barisan mereka
dengan hebat menekan musuh keluar dari perbatasan Daria,
datanglah utusan Eftiel melihat pertempuran itu. Ia adalah hamba
yang diutus Eftiel untuk memanggil barisan Bath-Pometh. Saat ia
melihat keramaian pertempuran di jalan menuju Daria itu, maka
naiklah ia ke atas pohon yang cukup tinggi. Dari sana ia meniup
sangkakala dan memanggil barisan Bath-Pometh itu. Maka mun-
durlah kira-kira lima puluh ribu barisan dari pertempuran dan
berlari masuk ke dalam hutan, mengikuti panggilan mereka.
Saat itulah barisan Bath-Pometh lari dari pertempuran
menghadapi Rephairiem dan mereka beralih pada barisan Seraph-
iem. Setelah barisan itu mundur, majulah barisan para penunggang
badak pelindung dan menyibukkan para Rephaiem. Mikhael
bersama barisannya telah merasakan bahwa barisan musuh telah
semakin dekat. Maka bangkitlah Mikhael dan berkata pada salah
satu hambanya, katanya,
“Hai engkau, pergilah dan lihat di antara terowongan-
terowongan ini. Bila engkau melihat tanda-tanda musuh, berte-
riaklah memanggil mereka. Kita sudah lama memanti musuh dan
mereka tidak dapat menemukan kita. Jangan sampai mereka kem-
bali pada barisan mereka dan menyerang Daria lagi.” Maka pergi-
lah hambanya itu dengan segera menyusuri jalan-jalan di antara
celah bukit.
Tidak lama ia pergi, terdengarlah suara hamba itu berseru-
seru memanggil dan mengolok musuh. Suasana di sana sangat
tenang, sehingga teriakan Seraph itu sangat jelas terdengar meng-
gaung di tebing-tebing dan di gua-gua. Kemudian terdiamlah
hamba itu dan ia tidak berseru lagi. Berjalanlah Mikhael dan ia
duduk di atas batu, di tengah barisannya. Kemudian katanya,
“Mindruel, beri tanda pada Mirkandruel. Musuh kita sudah
tiba.” Maka segeralah Mindruel itu memberi tanda pada saudara-
nya, Mirkandruel, pemimpin barisan depan itu. Para Seraphiem
sudah cukup lama menanti di sana, sehingga mereka sudah me-
lihat-lihat medan pertempuran dan memikirkan berbagai rencana-
rencana. Bersiaplah mereka di sana. Adapun barisan Seraphiem itu

174
memenuhi enam ratus empat puluh dua jalan. Yaitu jalan yang ada
di celah-celah bukit itu. Baik gua ataupun ngarai, mereka berbaris
di sana dan siap menghadapi musuh.
Benarlah yang dikatakan Mikhael itu, tidak lama kemudian
terdengarlah keramaian dari ke jauhan. Keramaian suara langkah
musuh dan suara teriakan barisan Bath-Pometh. Tiba-tiba muncul-
lah Seraph yang diutus Mikhael sebelumnya. Ia berlari tergesa-gesa
mendapati Mirkandruel dan berkata,
“Tuan, mereka cukup banyak rupanya. Sejauh yang dapat
aku lihat, mereka benar-benar memenuhi semua celah bukit ini dan
memburu kita. Tidak berlebihan bila aku mengatakan jumlah
mereka mencapai lima ribu barisan. Mereka kuat di sebelah barat.
Aku melihat bendera pemimpin mereka di sebelah barat.” Kemu-
dian jawab Mirkandruel,
“Berlarilah lekas-lekas dan beritahukan yang engkau kata-
kan pada barisan yang di sebelah barat. Supaya mereka siap meng-
hadapi musuh yang kuat. Jangan katakan tentang jumlah musuh
pada siapa pun. Lebih baik barisan ini tidak mengetahui berapa
banyak jumlah musuhnya.” Kemudian pergilah hamba itu dan
suasana di sana semakin menegangkan.
Para Seraphiem di sana hanya berdiri memegang senjata
mereka dan melihat ke sana ke mari. Mereka mengawasi setiap
sudut yang dapat mereka lihat. Suara keramaian barisan musuh
semakin terdengar dekat, namun mereka tidak juga melihat barisan
musuh itu. Mirkandruel berkata pelan pada para Seraphiem di
sebelahnya, katanya,
“Mengapa kamu gemetaran seperti ini adalah pertempuran
pertamamu? Jaga tombakmu tetap lurus dan tikam apa pun yang
bergerak mendekati kita. Tenanglah, putra Seraphiem.” Tidak lama
kemudian muncullah barisan musuh yang berlari membabi buta di
antara celah-celah bukit itu. Ketika barisan musuh melihat barisan
Seraphiem ada di sana, berhentilah mereka dan terkejut. Kemudian
berserulah Mirkandruel,
“Bath-Pometh! Majulah dan rasakan tombak Seraphiem se-
jati, kamu sekalian para pengkhianat!” Bersoraklah para Seraphiem
di sana memberi kejutan mereka pada musuh. Pada waktu itu

175
memang barisan Bath-Pometh mengharapkan bertemu dengan
segerumpulan barisan Jegudiem, seperti yang mereka lihat di
puncak bukit, sebelumnya. Namun saat mereka ada di sana, mereka
menghadapi barisan Seraphiem.
Kedua barisan tidak dapat saling melihat jumlah barisan.
Mereka hanya melihat yang ada di depan mereka, selebar celah-
celah dan gua-gua di bukit itu. Karena terlanjur ada di sana, maka
majulah barisan Bath-Pometh itu. Barisan Bath-Pometh itu maju
dan berusaha menyerang barisan Seraphiem, namun tombak para
Seraphiem terlalu panjang, dan musuh tidak dapat menjangkau.
Para Seraphiem sudah mengetahui itu dan sudah menyusun
rencana mereka. Lalu keluarlah para Seraphiem yang bersembunyi
di batu-batu, di tebing-tebing bukit dan dari balik pohon-pohon di
atas barisan musuh. Melompatlah para Seraphiem itu ke barisan
musuh dan terjadilah pertempuran yang hebat di tempat yang
sempit itu. Sedang saat itu Mikhael masih duduk berdiam di tengah
barisannya.
Sebab pertempuran itu terjadi di tempat yang sangat sempit.
Maka jumlah tidak ada artinya di sana. Ngarai dan gua yang ada di
bukit itu sangat sempit, hanya cukup untuk tiga sampai empat
belas malaikat berjajar, dari dinding ke dinding. Maka dengan
begitu, Mikhael hanya duduk tenang saja di sana, sebab musuh
tidak dapat menjangkau dia. Datanglah Mirkandruel mendapati
Mikhael di antara keramaian pertempuran, katanya,
“Tuanku, lihatlah! Barisan ini menahan musuh seperti yang
tuanku rencanakan. Jumlah mereka tidak dapat mengepung kita di
tempat ini, kita akan membantai dan menahan mereka di sini,
selama mereka mau.” Kemudian Mikhael melihat ke atas dan meli-
hat puncak bukit di atasnya. Tebing-tebing itu menjulang tinggi dan
tembus sampai ke punggung bukit. Kemudian berkatalah Mikhael,
“Tidak untuk saat yang lama, Mindruel. Siapkan barisanmu
dan awasi bagian belakang. Juga awasi bagian atas. Jumlah musuh
kita sangat besar dan tidak mungkin mereka semua masuk melalui
celah-celah bukit. Mungkin saat inipun mereka sudah menemukan
jalan memutar dan dapat naik ke puncak bukit ini. Mereka bisa saja
menyerang kita dari atas kapan pun.” Kemudian terdiamlah

176
Mindruel dan pergi dari sana untuk melakukan apa yang dikatakan
Mikhael padanya itu.
Pada waktu itu, Raphael tengah masuk ke hari kedua dalam
pertempuran melawan para penunggang badak pelindung. Sealtiel
telah berjalan menembus pepohonan yang rapat untuk mendapati
barisan Rephairiem itu. Sampai akhirnya ia melihat di balik pohon-
pohon, ia melihat sebarisan Rephairiem yang berbaris mengarah ke
barat. Segeralah Sealtiel memacu tunggangannya untuk keluar dari
pepohonan dan melihat lebih dekat. Dari sana ia sudah dapat me-
lihat tembok Kota Daria dan gerbang-gerbangnya yang di sebelah
barat. Saat ia keluar dari pepohonan, terkejutlah para Rephaiem
yang melihat ia dan menyangka bahwa ia adalah musuh yang
hendak menyerang diam-diam. Maka para Rephaiem itu meno-
dongkan tombak-tombak mereka pada tunggangan Sealtiel.
Kemudian berkatalah Sealtiel,
“Tenanglah, Rephairiem! Aku adalah saudara dan berpihak
padamu. Turunkanlah senjatamu dan tenanglah. Aku ini. Sealtiel,
saudara tuanmu.” Kemudian para Rephaiem itu mengamat-amati
Sealtiel dan benarlah mereka melihat bahwa itu benar-benar Seal-
tiel. Seketika itu juga berlututlah barisan yang melihat Sealtiel itu
dan mereka mengucap salam.
Kemudian Sealtiel berkata pada salah satu Rephai di sana,
yaitu dia yang memimpin barisan di sana. Kata Sealtiel,
“Pertempuran sudah dimulai dan aku melewatkannya.
Katakan padaku, sejauh mana pertempuran ini?” Lalu jawab
Rephai itu,
“Tuanku, kami adalah barisan yang tertinggal kami baru
usai bersiap. Saudara-saudara kami sudah bertempur di sini selama
dua Shakta dan telah mendapat kemenangan mereka. Namun
kemudian muncul barisan para penunggang itu. Mereka menahan
tuan Raphael dan tuan Yehudiel sampai saat ini. Di penghujung
hari, tuan Raphael dan Yehudiel akan kembali dari medan pertem-
puran untuk beristirahat dan memikirkan cara mengalahkan
musuh. Setelah itu mereka akan kembali dalam pertempuran.
Sudah seperti ini selama tiga Shakta dan tuan-tuan Agung sudah
dua kali kembali ke tenda mereka.” Lalu kata Sealtiel,

177
“Bawa aku pada tenda tuanmu!” Maka kemudian bertung-
ganglah Sealtiel dituntun Rephai itu.
Ia bertunggang mendekati medan pertempuran bersama
barisan tambahan yang baru keluar dari Daria. Dari kejauhan ia
sudah dapat melihat debu seperti asap telah memenuhi pertem-
puran hebat di sana. Lalu kemudian berhentilah hamba yang
menuntun tunggangannya itu. Kata hamba itu pada Sealtiel,
“Tuanku, ini adalah batas medan tempur yang sudah
ditentukan. Perkemahan para Rephaiem tidak ada di sini. Sebab
mereka yang tiba waktunya beristirahat akan kembali ke kota
dengan membawa saudara-suadara mereka yang terluka.” Lalu
Sealtiel melemparkan pandangannya ke antara para Rephaiem yang
kembali dari pertempuran. Ia melihat di sana para Rephaiem yang
berjalan dari medan tempur membawa kesakitan dan mereka
tampak begitu payah. Beberapa membawa tandu-tandu dan kereta
tarik yang mengangkut para korban luka. Kemudian berkatalah
Sealtiel,
“Engkau, cepat bawa barisanmu dalam pertempuran dan
sokong tuanmu itu. Pergilah!” Lalu masuklah Sealtiel ke tenda
Raphael dan ia dilayani di sana. Namun Sealtiel menolak pelayanan
para Rephaiem itu.
Sementara itu barisan Seraphiem masih terus berjuang di
celah-celah bukit. Mereka dapat dengan mudah membantai barisan
musuh di sana, sebab memang barisan Bath-Pometh masih dalam
keadaan tidak benar-benar siap. Pengaruh air dari antara batu-batu
yang mereka minum sebelumnya, telah merusak mereka. Jalan pikir
mereka tidak sehat lagi. Mereka hanya berlari maju pada para
Seraphiem namun tidak menyerang. Kebanyakan dari mereka
hanya berlari dengan mengangkat tangan dan senjata, sambil ber-
teriak-teriak hendak menyerang. Namun saat sampai berhadapan
dengan para Seraphiem, mereka seolah-olah hanya memberi diri
untuk dipukul. Maka berkatalah Mirkandruel pada barisannya,
katanya,
“Serang kaki dan tangan mereka. Ini bukan pertempuran
yang baik. Mereka tidak siap menghadapi kamu. Lumpuhkan mere-
ka dan jangan bebaskan mereka dari tubuhnya!” Maka para

178
Seraphiem di sana melakukan seperti yang dikatakan Mirkandruel.
Sebab memang dalam peraturan yang ditetapkan para Agung.
Bahwa dalam pertempuran, bila musuh tidak bertempur melawan
kamu namun tidak memberi perlawanan yang hebat, maka itu
pertempuran yang tidak baik. Para malaikat hanya dapat melum-
puhkan musuh dan tidak diijinkan menghancurkan musuh mereka.
Itu semua dalam bentuk rancangan peraturan peperangan yang
belum matang dibicarakan di masa itu.
Tidak lama kemudian terdengar suara sangkakala barisan
Bath-Pometh dari kejauhan. Suara kegaduhan ada di sana dan
menghantui barisan Seraphiem. Saat itu bangkitlah Mikhael. Ia
menarik pedangnya dan menundukkan kepalanya. Ia sudah
merasakannya sejak awal. Ia sudah mengetahui bahwa musuhnya
bukanlah musuh yang bodoh. Tentu saja barisan musuh akan
menemukan jalan memutar dan mengepung barisannya di sana. Ia
berdiam diri dan menguatkan dirinya. Bila memang barisannya
harus hancur di sana, sebelum ia merebut kembali Tanah Rephaiem
Selatan; Mikhael sudah siap menerimannya.
Datang di sana lima puluh ribu barisan lebih mengepung
perbukitan itu. Mereka yang datang dari celah-celah di depan
mereka, belum dapat mereka atasi, kini datang barisan yang lain
dan lebih banyak jumlahnya. Para Bath-Pometh menemukan jalan
memutari bukit, jalan menuju jalan kambing gunung. Mereka dari
sana naik ke puncak bukit dan dapat terjun dari puncak, ke dasar
bukit tempat para Seraphiem bertahan. Karena peristiwa itulah,
Mikhael berkata:
“Sungguh aku tidak akan menyesatkan hamba-hambaku
lagi. Bila memang aku selamat dari sini. Dari kehancuran yang
sudah ada di depanku, sungguh aku tidak akan mengulanginya
lagi. Kiranya kasih dari Sang Sulung masih ada bagiku, sekali lagi
saja aku ingin sujud di depan kaki-Mu, Tuhanku. Bila masih ada
kesempatan bagiku, bila aku tahu bahwa itu adalah saat terakhirku,
sungguh aku akan memberanikan diri untuk meraih kaki-Mu dan
menciumnya. Ya, Tuhan, kuatkanlah hambamu yang tidak dapat
berbuat. Ampunilah kiranya aku ini.” Setelah Mikhael mengu-
capkan ucapan itu, Gabriel mendengarnya dan lemahlah ia seketika

179
itu juga. Terjatuhlah Gabriel di tanah, saat ia bersama hamba-
hambanya hendak melewati perbatasan Durie.
Para Jegudiem yang bersama Gabriel kebingungan melihat
Gabriel yang terjatuh tiba-tiba di sana. Tidak ada yang melihatnya
jatuh selain dari pada hamba-hambanya sendiri. Para hamba itu
kemudian membangkitkan Gabriel dan berusaha menguatkan ia.
Namun dalam kelemahan, berkatalah Gabriel, katanya,
“Bawa aku kembali pada saudaraku. Bawa aku kembali
pada tuan Serael. Aku hendak melihat keadaannya.” Lalu kembali
ia lemah. Maka berputarlah rombongan itu kembali memasuki
Durie dan menyusuri lagi jalan kambing domba, kembali pada
Mikhael.
Padahal waktu itu, pertempuran seperti baru saja dimulai di
sana. Mikhael mengangkat wajahnya dan melihat musuhnya sudah
berlarian di atas bukit itu dan melihat ke bawah celah-celah bukit.
Mereka melihat barisan Seraphiem di bawah kakinya. Mindruel,
pemimpin barisan yang bersama Mikhael, telah bersiap untuk itu.
Ia sudah diperingatkan oleh Mikhael, dan ia sudah mempersiapkan
untuk kemungkinan terburuk itu. Kemudian berkatalah Mikhael,
“Mindruel, tahan barisanmu dan berusahalah untuk berta-
han menghadapi mereka. Saat ini kita sudah terkepung. Bahkan
mereka akan datang dari sebelah utara juga. Katakan pada
Mirkandruel, bawa sebisanya dan keluar dari sini. Panjatlah tebing-
tebing dan seluruh Seraphiem harus segera lolos dari ngarai ini.
Kita harus bertempur di atas bukit.” Maka segeralah Mindruel
membuat itu dan para pemimpin barisan mulai menyeru-nyerukan
supaya barisan mereka mundur dan meninggalkan pertempuran.
Para Seraphiem diarahkan untuk memanjat tebing-tebing
dan bertempur di puncak bukit. Mikhael telah melihat gerak-gerik
musuh yang hendak terjun ke bawah dan menyerang. Maka
segeralah Mikhael melompat dan memanjat tebing-tebing itu
dengan dua kakinya ia melompat-lompat dari batu ke batu, dari
dinding yang satu, ke dinding yang lain. Para Bath-Pometh mulai
melompat terjun untuk memukul Mikhael. Namun dengan pedang-
nya, Mikhael malah memukul musuh-musuhnya itu dengan terus
memanjat. Karena Mikhael telah memulainya, para Seraphiem juga

180
segera memanjat tebing dan berusaha sampai ke punggung bukit
secepatnya. Mirkandruel ada di sana bertempur dan menjaga
supaya musuh jangan menyerang para Seraphiem di sekitarnya
yang berusaha memanjat tebing.
Mindruel melihat bahwa Mirkandruel tidak kunjung naik
menyusul Mikhael, berserulah ia,
“Mirkandruel! Barisanmu sudah pergi dari sini. Berhentilah
berjuang! Lanjutkan perjuanganmu di atas bersama pedang tuan-
mu.” Namun Mirkandruel masih terus saja melawan musuh dan
menghalau sebanyak yang ia bisa. Mirkandruel melakukan itu
bersama dua orang hamba Seraphiem yang lain. Mereka melawan
musuh demi saudara-saudara mereka dapat selamat memanjat
tebing. Dalam pertarungannya, Mirkandruel menjawab,
“Pergilah, saudaraku. Tentu aku akan menjumpaimu di atas
sana. Pedang kita akan berjuang bersama. Setelah semua Seraphiem
ini aman, aku akan naik ke atas!” Maka mengangguklah Mindruel
dan ia mulai memanjati tebing bersama para Seraphiem yang lain.
Keputusan Mikhael untuk bertempur di tempat terbuka saat
itu memang sangat tepat. Apa lagi dengan keadaan yang terke-
pung, lebih baik baginya untuk pergi dari sana. Lebih besar
kemungkinan untuk lepas dari musuh bila berada di tempat yang
terbuka. Namun dalam perjuangan para Seraphiem untuk naik ke
atas puncak dengan memanjat tebing itu, menjatuhkan banyak
korban di antara barisan Seraphiem. Mikhael yang pertama sampai
di puncak bukit dan ia mulai bertempur melawan musuh-
musuhnya seorang diri. Ia dikepung dan dipukul dari berbagai
arah. Pedang-pedang musuh mengenainya, namun baju pelindung
melindunginya. Bahkan Mikhael berjuang supaya jangan musuh
turun ke celah-celah dan menghalangi hamba-hambanya yang
memanjat. Namun usahanya itu sia-sia, dia pun mengetahuinya
saat itu.
Sebab ia hanya mampu menghalau yang ada di sekitarnya.
Padahal celah bukit, tebing-tebing itu ada banyak. Ia menghadapi
barisan Bath-Pometh yang ada di sana dengan susah pikirannya. Ia
memikirkan hamba-hambanya, juga ia memikirkan musuh yang ia
hadapi, dahulu adalah hamba-hambanya. Serasa berat ia mengayun

181
pedang dan tombaknya. Para Seraphiem perlahan-lahan mulai
mencapai puncak. Semakin lama semakin bertambah. Pertempuran
terbuka mulai terjadi di sana. Dua ratus barisan Seraphiem, meng-
hadapi lima puluh ribu barisan di pertempuran terbuka. Mikhael
melihat bahwa barisannya terberai, sebab jarak mereka berjauhan.
Maka Mikhael berseru-seru di sana, katanya,
“Berkumpullah, Seraphiem! Berkumpullah!” Mulai hamba-
hamba di sekitarnya berusaha menyatu dengan Mikhael. Sampai
akhirnya Mindruel juga berhasil bersama-sama dengan Mikhael.
Lalu Mikhael mengangkat benderanya dan ia memberi tanda pada
hamba-hambanya untuk mengikuti bendera Mikhael itu.
Pada waktu itu pertempuran di Daria juga masih berlang-
sung. Raphael dan Yehudiel telah berhenti bertempur dan mereka
membawa yang terluka keluar dari medan tempur. Barisan
Rephaiem yang lain bergantian masuk dalam medan pertempuran
untuk menahan musuh. Dalam perjalanan dalam tenda mereka
ramai saling berbicara dan membahas bagaimana mereka akan
melumpuhkan badak-badak tunggangan musuh. Masuklah mereka
ke dalam tenda untuk membersihkan diri dan membahas rencana
selanjutnya. Para Rephaiem di sana segera melayani mereka dan
membantu para Agung melepas baju-baju tempur mereka dan
menyimpan senjata-senjatanya.
Para Rephaiem itu tidak mengatakan apa-apa tentang keda-
tangan Sealtiel, karena memang Raphael dan Yehudiel tidak henti-
hentinya saling berbicara. Tidak ada kesempatan bagi hamba-
hambanya untuk berbicara. Kata Raphael pada Yehudiel,
“Aku sudah melakukannya, Yehudiel. Badak-badak ini
tidak seperti yang aku kenal dahulu. Sesuatu telah merusak mereka
dan mereka adalah binatang yang jahat bagi barisan kita.” Lalu kata
Yehudiel,
“Kita harus mencobanya sekali lagi, saudaraku. Aku sudah
melihatnya, mereka mengalami kesulitan bila harus memutar arah.
Kita akan membiarkan ia melewati barisan kita dan kita akan
mengejarnya lalu memukul ia dari belakang.” Lagi kata Raphael,
“Aku tahu itu mungkin dapat bekerja, Yehudiel. Lihatlah
barisanku di luar sana. Kita sudah membicarakan ini dan aku sudah

182
melakukannya. Saat barisanku mengejar badak-badak itu, badak
pelindung lain datang dari belakang dan menyerakkan barisanku
dengan tanduk-tanduknya. Lihatlah Rephairiem, Yehudiel. Dua
puluh ribu barisan hancur dalam pertempuran ini. Ini baru berjalan
selama tiga atau empat Shakta, aku tidak dapat mengingatnya.
Berapa banyak malaikat yang dibutuhkan untuk kemenangan kita?
Tengoklah mereka, Yehudiel. Kumohon lihatlah! Lima puluh ribu
telah jatuh dan terluka. Bila mereka tidak dapat bertahan sampai
Tanah Timur, mereka akan lepas dari tubuhnya sebelum para
Ammatiem memperbaiki mereka.” Kemudian menunduklah
Yehudiel dan ia berdiam diri saja.
Raphael duduk di satu kursi, di depannya ada meja dan
terbentang peta di atasnya. Yehudiel berdiri di seberang meja itu
dengan tangannya bertumpu pada meja itu dan memandang ke
bawah. Mereka seperti orang yang sudah kehabisan cara. Lalu tiba-
tiba muncullah Sealtiel, ia sudah mendengar pembicaraan saudara-
saudaranya itu. Datanglah ia ke sana namun tidak Raphael dan
Yehudiel melihatnya. Maka berkatalah Sealtiel di sana, katanya,
“Apa yang terjadi dengan barisan perkasa Tanah Barat dan
Selatan? Di mana para pengayun kapak hijau yang pernah memper-
tahankan Tanah Altar? Mereka terserak di depan musuhnya; dan
apa yang aku lihat ini? Pemimpin barisan Rephairiem menyerah
dalam pertempuran dan tidak menginginkannya lagi. Akankah
engkau akan melepaskan Daria, Raphael?” Maka berkatalah
Raphael,
“Siapa dirimu berbicara seperti itu padaku, pelayan? Tidak
tahukah engkau,” Belum ia selesai berbicara, ia mengangkat wajah-
nya dan melihat bahwa itulah Sealtiel yang berbicara padanya.
Maka bangkitlah Raphael dan ia tertawa memeluk Sealtiel.
Terkejutlah Yehudiel. Ia pun mengangkat wajahnya dan mendapati
Sealtiel ada di depannya. Bersukacitalah mereka dan saling melepas
rindu. Para Agung saling mengucapkan salam di sana.
Kata Sealtiel pada Yehudiel,
“Inikah dia yang dikatakan para Rephaiem itu? Benarkan ini
saudaraku yang disebut-sebut pembangkit barisan tanduk putih?”
Tertawalah mereka dan saling berbincang di sana. Tidak lama

183
mereka berbincang, mereka kembali membicarakan masalah yang
serius. Kata Sealtiel,
“Barisan Serael kurang satu langkah menuju Derie, Raphael.
Sampai kami melihat barisan besar Bath-Pometh itu berjalan ke
Daria. Serael telah memutuskan untuk bertempur demi engkau,
demi Rephairiem. Sekarang dua ratus barisan Seraphiem tentu
sedang dalam pertempuran mereka. Raphael, bila memang engkau
tidak dapat memenangkan pertempuran ini, tinggalkan saja. Pergi-
lah pada Serael dan lepaskan ia dari musuhnya di celah-celah bukit
itu.” Lalu kata Raphael,
“Aku dapat memenangkan pertempuran ini, saudaraku.
Hanya saja aku belum mendapatkannya. Bila engkau hendak pergi,
bawalah sebagian barisan untuk pergi mengeluarkan para
Seraphiem dari sana.”
“Aku datang tidak untuk meminta barisan padamu,
Raphael, Tangan Allah! Dengarkan aku, sekarang. Barisan Bath-
Pometh itu masih ada memenuhi Derie dan jika perlu, seluruh
barisan Bath-Pometh akan turun sepenuhnya untuk merebut Daria.
Pikirkanlah tentang Serael, saudaramu. Ia telah melepaskanmu dari
serangan musuh dan merelakan Derie. Sekarang lepaskanlah ia dan
relakan Daria.” Jawab Sealtiel. Kemudian terdiamlah Raphael. Lalu
kata Yehudiel,
“Sealtiel, tenangkanlah dirimu. Serael bukanlah Rephairiem.
Dua ratus barisan akan cukup baginya untuk bertahan dan aku
tidak meragukan itu. Bukannya aku tidak ingin melepaskan ia dari
musuhnya, Sealtiel. Namun apa yang harus kulepaskan, bila ia
tidak terikat dengan apa pun? Daria bukan Derie, Sealtiel. Aku
sudah melihatnya dan bila kota ini kembali jatuh ke tangan musuh,
kita tidak akan mendapatkannya kembali.” Kemudian kata Sealtiel,
“Bila demikian pertahankan kota ini dari dalam temboknya.
Mengapa harus kamu berjuang demi kota ini dan mengorbankan
begitu banyak sekali? Saudaraku, bila kamu mengerti apa yang
kurasakan, maka tentu kamu semua akan dapat menghargai satu
orang hamba.”
Maka terdiamlah Raphael, ia menjadi geram karena Sealtiel
berbicara seperti itu. Maka kata Raphael,

184
“Apa menurutmu aku tidak menghargai hambaku, Sealtiel.
Aku tidak tahu apakah baik atau tidak. Aku sungguh pernah me-
mikirkan lebih baik aku menjadi sepertimu Sealtiel, saudaraku,
Dupa Allah. Bila tidak ada hamba yang dipercayakan padaku, tidak
perlu aku melihat hamba-hambaku terserak. Tidak perlu aku
memangku seorang Rephai yang tidak pernah aku ketahui dan ia
lepas dari tubuhnya saat aku masih memeluknya. Tidak perlu aku
kehilangan tanah-tanah dan tidak perlu aku memperjuangkannya
kembali. Ampunilah kiranya perkataanku, Sealtiel. Pertempuran
mungkin telah merubah aku. Berikan aku lima Shakta lagi. Bila
dalam lima Shakta tidak dapat aku menakhlukkan Bath-Pometh ini.
Aku akan merelakan Daria menjadi milik mereka.” Kemudian
bangkitlah Raphael dan ia keluar dari sana. Terdiamlah Sealtiel dan
Yehudiel di sana. Mereka tidak saling berbicara dan hanya memi-
kirkan semuanya itu.
Sementara itu, Mikhael mulai mengumpulkan barisannya
dan ia semakin kuat di sana. Mereka berbaris melingkar dan terus
melawan musuh dari segala arah. Para Seraphiem membentuk
pertahanan tombak, pertahanan yang diajarkan Mikhael. Dalam
pertahanan ini, musuh tidak dapat memukul karena terhalang
tombak-tombak. Namun para Seraphiem juga tidak akan memukul
musuh, karena mereka harus benar-benar memperhatikan perta-
hanan dan gerak-gerik musuh.
Mereka yang ada di depan barisan, akan bergeser ke tengah
barisan untuk beristirahat. Kemudian mereka akan bergeser perla-
han keluar dan sampai ke depan barisan lagi untuk bertempur.
Sebab tidak ada tempat dan waktu bagi mereka untuk beristirahat
dari pertempuran itu. Sampailah Mikhael ke tengah barisan dan
mendapati Mindruel, katanya,
“Mindruel, bagaimana barisan ini? Masih adakah yang
terpisah?” Lalu jawab Mindruel,
“Aku masih melihat jumlah kita terlalu sedikit, tuan. Dela-
pan puluh barisan menghilang dari sisi kita. Entah mereka bertem-
pur jauh dari sini, atau.” Lalu terdiam ia tidak melanjutkan. Lagi
kata Mindruel,

185
“Aku juga belum melihat Mirkandruel, Mikhael. Aku tidak
tahu di mana ia. Aku melihatnya sebelum aku naik ke puncak. Ia
berjuang menahan musuh di bawah.” Kemudian kata Mikhael,
“Ia akan selamat. Ia seorang Hugta-Al, Mindruel. Ia akan
muncul dan membawa barisannya bergabung dengan kita. Mindru-
el, katakan pada barisan, kita harus terus menggeser ke selatan.”
Kemudian kata Mindruel,
“Untuk mempertahankan tempat kita saat ini, kita kesusah-
an, tuanku. Barisan ini tidak akan sanggup sampai ke popohan bila
harus bergeser. Musuh akan lebih mudah memukul kita. Sekalipun
kita sudah tidak saling menyerang dengan musuh, namun sekali
kelengahan saja dan pertahanan tombak terbongkar, mereka akan
masuk dan memberaikan kembali barisan ini.” Lalu kata Mikhael,
“Tahan barisan jika demikian. Barisan ini sudah payah.
Sebaiknya kita kembali ke barisan depan.” Maka bangkitlah mereka
dan bergantian dengan para Seraphiem lain yang sudah tiba
saatnya beristirahat.
Pada waktu itu Raphael dan Yehudiel kembali bersiap
untuk kembali ke pertempuran melawan Bath-Pometh. Berkatalah
Raphael pada Sealtiel, katanya,
“Saudaraku, adakah pedangmu akan berada bersama kami
dalam pertempuran?” Namun bangkitlah Sealtiel dan berkata,
“Aku akan kembali pada Serael. Cukuplah pedang yang
bersama denganmu, Raphael. Aku akan menantimu. Lima Shakta
dari saat ini. Selamatkanlah Cahaya Allah dari keterpurukan.
Barisan membutuhkanmu.” Kemudian berkatalah Yehudiel,
“Kasih Yang Terang akan mengejar setiap langkahmu,
saudaraku. Bila sudah habis semua pengharapanmu, lihatlah ke
selatan dan engkau akan melihat Tangan Allah.” Yehudiel mem-
berikan tanduk-tanduk hewan pada Sealtiel, katanya,
“Bawalah ini bersamamu. Engkau adalah Cerub yang bukan
Cerub. Tapi aku tahu masih ada Cerub dalam dirimu.” Kemudian
berpisahlah mereka di sana. Raphael dan Yehudiel kembali dalam
pertempuran melawan Bath-Pometh. Sedang Sealtiel, ia kembali
bertunggang ke Perbukitan Rardum-Hernakh, tempat Mikhael
bertempur.

186
Pertempuran terus berlangsung di Tanah Barat. Korban-
korban luka dari Daria dibawa ke Timur dengan cepat. Ammatiel,
penguasa Tanah Timur, telah sampai di Hugtaria, Tanah Jegudiem.
Ia dalam perncarian di sana, seperti yang direncanakannya bersama
Raziel. Ia mencari seorang Jegudi pembawa pedang. Adapun pela-
yan Ammatiel yang turut dalam perjalanan itu cukup banyak.
Mereka sampai Hugtaria dan berdiam di sana. Salah satu hamba
pelayan Ammatiem adalah seorang malaikat pelarian. Tidak ada
yang menyadari keberadaannya di sana, karena masa perang itu
membuat semuanya kacau. Adalah seorang Rephai muda di antara
para Ammatiem di Hugtaria. Satu-satunya Rephai di sana.
Duduklah Ammatiel di satu rumah kerja tempatnya ber-
diam. Tengah ia meregangkan kaki-kakinya, nampaklah rombo-
ngan besar dari arah barat. Kereta tarik berjalan berbaris meman-
jang dan jumlahnya ada banyak. Itulah para Rephaiem korban-
korban luka yang hendak di bawa ke Tanah Timur. Para Yehudiem
yang berdiam di perbatasan Tanah Jegudiem melihat rombongan
itu dan banyak dari mereka yang membantu para Rephaiem itu.
Datanglah seorang Ammati menghadap Ammatiel dan berkata,
“Tuanku, ampuni aku yang telah mengganggu tuanku. Ada
rombongan dari barat. Mereka adalah korban-korban luka dari Kota
Daria, Tanah Barat. Jumlah mereka sangat banyak dan yang terluka
parah harus segera dirawat, tuanku.” Maka bangkitlah Ammatiel
dengan segera dan ia melihat rombongan Rephaiem itu. Maka kata
Ammatiel pada hambanya itu,
“Jeindruel, atur tempat bagi mereka yang terluka. Yang
terluka parah lebih dulu. Yang sangat besar lukanya, harus tinggal
di sini dan sisanya bawa ke Timur. Kirim hamba untuk pergi ke
Barat, perintahkan ia mencari kabar. Aku tidak tahu bahwa ada
pertempuran di sana.” Kemudian Para Ammatiem yang ada di sana
menjadi sibuk mengerjakan Kota Hugtaria menjadi tempat pengo-
batan. Para Jegudiem juga membantu mereka. Segera setelah para
Rephaiem itu datang ke kota itu, mereka dibaringkan di rumah-
rumah kerja di Hugtaria dan para Ammatiem merawat mereka.
Seorang Rephai yang ada bersama para Ammatiem itu
melihat korban-korban dari Daria. Maka katanya,

187
“Ya, Tuhanku Allah. Ini adalah saudara-saudaraku yang
berjuang bersama tuanku Raphael. Mereka telah berjuang sampai
Daria.” Berlarilah hamba itu untuk membantu merawat para
Rephaiem. Karena ia adalah seorang Rephai, maka ia tidak tahu apa
yang harus dilakukan untuk merawat korban-korban luka di sana.
Ia hanya berjalan ke sana ke mari melihat kesibukan dan ia tidak
tahu harus bagaimana. Lewatlah seorang Ammati membawa
seorang Rephai yang luka di bagian tubuh. Ammati itu kemudian
menyerahkan hamba terluka itu pada seorang Rephai yang kebi-
ngungan di antara kesibukan. Maka Rephai pelarian itu memangku
Rephai yang terluka itu dan ia hanya menguatkan hamba yang
terluka itu dengan perkataan.
Dalam kesakitan, seorang Rephai itu berkata, “Sekalipun
aku tidak dapat membuka mataku karena penderitaan ini, namun
aku tahu bahwa tangan Rephaiem yang memegang aku. Saudaraku,
carilah air bagiku, supaya dapat aku menyegarkan diri. Bilapun aku
harus lepas dari tubuh ini, setidaknya aku tahu bahwa aku ada di
pelukanmu.” Karena perkataan itu, Rephai pelarian yang memang-
kunya menjadi kebingungan dan ia melihat sekitarnya bila ada air
ia dapati. Melihat Rephai itu kebingungan, maka berkatalah
Ammati yang ada di sana padanya,
“Apa yang engkau lakukan? Lihatlah para Rephaiem ini ter-
luka dan yang ada di pangkuanmu itu bukan satu-satunya. Cepat
rawat dia dan segera bantu yang lainnya! Bekerjalah dengan cepat,
engkau seorang Ammati!” Kemudian Ammati itu memberikan air.
Segeralah Rephai itu memberikan air itu pada saudaranya yang
terluka di pangkuannya. Disegarkanlah hamba Rephai yang terluka
itu.
Dengan menahan rasa sakit, hamba Rephaiem itu menjamah
wajah Rephai yang memangkunya dan ia membuka matanya.
Setelah dilihat wajah Rephai yang memangkunya itu, berkatalah ia,
“Aku tahu wajahmu. Ini adalah suatu penghargaan bagiku.
Segala perjuanganku dan tanda jasaku, aku rela menukar semua itu
demi ada di pangkuanmu. Ya, engkaulah Mercuriel, saudara dari
tuanku. Peluklah aku sebelum aku lepas dari tubuh ini.” Benarlah
apa yang dikatakan hamba itu. Seorang Rephai pelarian yang

188
bersama para Ammatiem itu adalah saudara Uriel dan Raphael,
dialah Mercuriel. Maka Mercuriel memeluk hamba itu dan berkata,
“Aku ada bersamamu, saudaraku. Aku seorang diri dan
jauh dari saudara-saudaraku. Sekarang aku memelukmu dan aku
melihat para Rephaiem sebagai saudara-saudaraku sendiri. Aku
akan membawamu pada para Ammatiem, mereka akan memba-
wamu kembali untuk berjuang bersama tuan besar Raphael.” Lalu
Mercuriel mengangkat hamba itu dan mencari Ammati yang dapat
membantunya. Namun semua Ammatiem yang ada di sana sedang
sibuk mengurus pasien mereka masing-masing.
Berlarianlah Mercuriel itu mencari-cari. Saat ia melewati
satu rumah kerja, terdengarlah seruan dari dalam rumah kerja itu
berkata,
“Hai Ammati! Mengapa engkau tidak merawat Rephai itu?
Bawa ia padaku!” Maka berhentilah Mercuriel dan ia menunduk-
kan kepalanya. Ia takut bila para Ammati mengetahui bahwa ia
adalah seorang Rephai. Karena Mercuriel tidak segera berbalik dan
membawa Rephai yang digendongnya, berserulah seorang Ammati
yang didekatnya, katanya,
“Apa engkau tidak mendengar? Tuan besar Ammatiel me-
manggilmu, saudaraku. Cepat bawa Rephai itu padanya!” Tahulah
Mercuriel bahwa Ammatiellah yang memanggil dia. Maka semakin
ketakutan ia. Perlahan ia berjalan dan merebahkan Rephai yang
digendongnya itu pada meja di depan Ammatiel. Kemudian
Mercuriel berbisik pada Rephai yang dibawanya, katanya,
“Diamlah dan jangan mengatakan apa-apa. Adalah tuan
Ammatiel sendiri yang akan merawat luka-lukamu.” Kemudian
Ammatiel mulai merawat Rephai itu, sedang Mercuriel hanya
berdiam di sana dan berdiri melihat.
Para Ammatiem tidak mengetahui bahwa Mercuriel adalah
seorang Rephai, karena Mercuriel sudah lama berdiam bersama
para Ammatiem dan ia mengenakan pakaian dan kain-kain yang
biasa dipakai para Ammatiem. Bahkan ia berjalan tidak seperti
tukang tempa atau tukang batu, ia sudah berjalan seperti seorang
Ammati. Berkatalah Ammatiel pada Mercuriel, katanya,

189
“Siapa namamu, Ammati? Luka Rephai ini sangat parah dan
engkau hanya menggendongnya ke sana ke mari.” Mercuriel hanya
terdiam dan ia hanya memegangi tangan Rephai yang kesakitan di
depannya. Lalu jawabnya,
“Aku disebut Mercuriel, tuan.” Lalu kata Ammatiel,
“Mercuriel? Nama yang aneh untuk seorang malaikat
Timur. Baiklah segera bantu aku merawat hamba ini, Mercuriel.
Ambil daun Dir itu dan tutup lukanya. Kemudian ambil batu hitam
itu untuk mengganti bagian yang rusak ini.” Mercuriel bergerak
sangat lamban karena ia takut dan tidak tahu apa yang harus
dilakukan. Ia berpaling perlahan dan melihat banyak sekali daun-
daunan di sana. Ia tidak tahu mana yang dimaksudkan Ammatiel.
Ammatiel sibuk merawat Rephai di depannya. Karena ia
melihat Mercuriel bekerja sangat lamban, berkatalah Ammatiel
padanya,
“Mercuriel! Apa yang engkau lakukan? Apa engkau tidak
mendengar perintahku?” Lagi kata Ammatiel,
“Berpalinglah dan tatap wajahku, Mercuriel.” Maka perla-
han dengan takut Mercuriel berpaling dan memandang wajah
Ammatiel. Ia tidak dapat berkata apa-apa dan ia hanya terkagum
dengan kecantikan wajah Ammatiel. Lalu kata Ammatiel,
“Tentu saja tidak ada malaikat Timur bernama ‘Mercuriel’.
Aku pernah mendengar namamu sebelumnya. Jauh sebelum eng-
kau berdiri di depanku. Sekarang ambil daun Dir itu dan tutup luka
Rephai ini, Mercuriel!” Seketika itu juga berpalinglah Mercuriel dan
mengambil daun yang dimaksudkan Ammatiel tanpa ia ketahui. Ia
merawat Rephai itu bersama dengan Ammatiel. Sekalipun ia tidak
tahu apa yang dilakukannya, namun pekerjaan tangannya merawat
luka Rephai itu dengan benar. Hikmat telah memenuhi dia dan
tangannya bekerja seperti tangan para Ammatiem.
Kemudian Ammatiel memerintahkan Mercuriel membawa
hamba Rephai itu untuk diistirahatkan dan Ammatiel segera
merawat Rephai yang lain lagi. Mercuriel keluar dari rumah kerja
itu dengan sukacita dan ia merebahkan Rephai yang dibawanya di
bawah pohon dekat para Rephaiem lain yang diistirahatkan di sana.
Kemudian para Ammatiem lain memanggil Mercuriel untuk me-

190
minta bantuan. Sejak saat itu Mercuriel merawat luka-luka seperti
para Ammatiem lain. Hanya saja Mercuriel mengobati luka-luka
tidak dengan mengganti bagian yang rusak. Mercuriel hanya dapat
berusaha menutup luka dan memperbaiki yang rusak. Ia tidak
dapat mengganti bagian tubuh seperti para Ammatiem. Namun
caranya itu lebih cepat dan dapat meredah kesakitan bagi yang
terluka parah. Setelah peristiwa di Hugtaria itu, Mercuriel ditugas-
kan para Ammatiem merawat yang terluka ringan dan untuk
pengobatan yang cepat sebagai pertolongan pertama. Setelah
Mercuriel merawat yang terluka dan meredakan kesakitan, barulah
para Ammatiem yang menangani untuk penggantian bagian tubuh
dan pengobatan yang lebih lanjut.

Pertempuran para Seraphiem di Rardum-Henakh masih


terus berlasung. Banyak korban dari antara para Seraphiem di sana.
Mereka bertempur terus menerus tanpa henti, sudah selama kurang
lebih empat Shakta mereka bertempur di sana. Gabriel bersama
barisan Jegaduriem dalam rombongannya telah berjalan kembali
untuk melihat keadaan pertempuran itu. Sebab sebelumnya Gabriel
mendengar doa Mikhael dan ia tidak dapat pergi sebelum melihat
saudaranya itu. Maka memutarlah Gabriel untuk kembali. Setelah
ia melalui Kota Durie, ia berjalan terus menyusuri jalan kambing
gunung. Ia kembali ke perbukitan Rardum-Henakh. Dari kejauhan
nampaklah barisan besar ada di atas bukit-bukit. Maka berhentilah
para Jegudiem itu. Lalu seorang hamba pelayan Gabriel berkata
pada Gabriel yang duduk lemah di atas tunggangannya, katanya,
“Tuanku, kita sudah sampai. Namun perbukitan itu penuh
dengan barisan musuh. Mereka bertempur di atas bukit. Kami
masih melihat bendera-bendera Seraphiem, namun mereka terke-
pung. Sekiranya bila ada Seraphiem yang selamat, tentulah tuan
Serael terhitung di antara mereka.” Lalu jawab Gabriel,
“Aku mengerti akan hal itu. Sekarang kita berdiam di sini
sampai benar-benar aku melihat saudaraku itu selamat.” Maka
Berdiamlah barisan Jegaduriem itu di sana, di balik pepohonan dan
mengawasi terus pertempuran di sana.

191
Sedang saat itu para Seraphiem sedang bertempur habis-
habisan. Mereka hanya mempertahankan barisan melingkar supaya
jangan terjadi pertempuran terbuka. Tombak-tombak panjang para
Seraphiem menjaga jarak musuh sehingga pedang musuh tidak
dapat menggapai mereka. Berkatalah Mikhael pada Mindruel,
katanya,
“Mindruel, di mana Mirkandruel? Terlalu lama ia tidak
kembali pada kita. Masakan ia masih ada di ngarai dan bertempur
di sana?” Kemudian Mindruel memegang Mikhael dan jawabnya,
“Tuanku, saudara kita itu akan bersama kita. Entah nanti,
sebentar lagi atau di penghujung pertempuran ini. Sebab aku men-
dengar ia berkata padaku: Pedang kita akan berjuang bersama-
sama. Tentulah ia akan bersama kita nanti.” Tidak lama kemudian,
nampaklah bendera-bendera barisan Seraphiem di antara bendera-
bendera Bath-Pometh. Tahulah Mikhael bahwa itu barisan Mirkan-
druel. Jarak mereka hanya satu panahan saja. Melihat itu, berso-
raklah barisan Seraphiem yang bersama Mikhael, juga Seraphiem
yang bersama Mirkandruel. Kedua barisan itu berusaha untuk
bergerak di tengah kepungan musuh untuk mempersatukan barisan
mereka.
Karena semangat mereka yang benar-benar hebat, mereka
dapat menjadi satu, kurang dari satu Shakta. Di tengah pertem-
puran dan kekalahan di depan mata, para Seraphiem itu bersu-
kacita setelah melihat saudara-saudara mereka. Para Seraphiem
membentuk barisan melingkar dan mempertahankan barisan itu.
Para Bath-Pometh mulai meloncat-loncat untuk masuk dalam
barisan Seraphiem. Namun tombak-tombak para Seraphiem di
barisan tengah juga teracung dan mereka yang melompat malah
tertancap di atas tombak-tombak. Para Seraphiem kemudian
menurunkan tubuh musuh yang ada di atas tombak mereka.
Mikhael dan Mindruel berjalan dengan sekuat tenaga
menembus barisan Seraphiem yang sangat sesak itu untuk mencari
Mirkandruel. Begitu pula dengan Mirkandurel. Mereka berseru-
seru saling memanggil. Para Seraphiem tidak dapat membuka jalan,
sebab memang sangat sesak di sana dan barisan itu harus tetap
menjaga barisan mereka. Sampai pada akhirnya bertemulah mereka

192
di antara para Seraphiem di sana. Mikhael segera memeluk
Mirkandruel dan ia berkata,
“Aku menantimu begitu lama, saudaraku. Sekarang engkau
ini menjadi penghiburanku. Lihatlah sekeliling kita, di mana aku
dapat mendapati penghiburan? Namun sungguh aku melihat eng-
kau dan aku terhibur.” Mereka saling melepas rindu di sana. Lalu
kata Mindruel,
“Apa yang terjadi denganmu, Mirkandruel? Mengapa
begitu lama engkau naik ke atas bukit ini?” Lalu kata Mirkandruel,
“Pertempuran di bawah celah bukit itu cukup berat. Itu
menghambat aku, Mindruel. Tuanku Serael, ada barisan lebih, di
sebelah selatan. Mereka yang kita hadapi di ngarai telah berputar
dan mencari jalan ke atas bukit ini. Mungkin kita akan lebih mudah
lolos dari utara.” Kemudian kata Mikhael,
“Tidak ada jalan keluar, Mirkandruel. Barisan ini masih
mendapat tempat yang cukup untuk berpijak di atas bukit ini saja
sudah suatu keuntungan. Jaga pandanganmu ke bawah, jangan
sampai langkahmu membawa engkau ke celah bukit dan engkau
jatuh ke dasarnya. Berapa barisan yang ada padamu?” Lalu jawab
Mirkandruel,
“Aku tidak dapat melihat dengan jelas, tuanku. Perkiraanku
ada enam puluh barisan. Bisa kurang dari pada itu. Sisanya telah
gugur dalam pertempuran.” Lalu lagi kata Mikhael pada Mindruel,
“Mindruel, berapa yang ada pada kita?” Jawab Mindruel,
“Mungkin seratus atau sembilan puluh barisan, tuan. Aku
tidak dapat melihat jumlahnya dengan jelas. Barisan di sisi selatan
sempat membuka celah sebelumnya. Banyak yang gugur di sana.
Korban luka yang berlindung di tengah barisan juga perlahan-lahan
berkurang. Mereka tidak dapat menahan sakit, tuan. Mereka
meninggalkan tubuhnya bersama kita.” Lalu terdiamlah mereka.
Lagi Mikhael berkata,
“Baiklah. Kira-kira lima puluh barisan telah jatuh dalam
pertempuran ini. Mereka yang hancur akan menjadi kehormatan
bagi Seraphiem. Sekalipun mereka tidak akan melihat Sorga yang
tenang lagi, namun mereka telah memperjuangankannya dengan
setia. Sumpah mereka telah terpenuhi. Pertahankan yang ada,

193
hamba-hambaku. Kamu adalah para pemimpin hebat, barisan ini
akan bertahan lama bersamamu. Adakah cara untuk memberi kabar
pada saudara-saudara yang lain?” Lalu jawab Mirkandruel,
“Tidak mungkin mengirim hamba untuk menyelinap mem-
bawa kabar, tuanku. Kita akan mengirimnya pada kehancurannya.
Kita tidak dapat memberi kabar atau tanda pada saudara-saudara
kita. Saat ini kita ada di antah berantah di Tanah Barat. Tidak ada
yang mengetahui di mana kita, apa yang terjadi pada kita. Tidak
ada yang datang untuk mengeluarkan kita dari sini.” Kemudian
tersenyumlah Mikhael dan berkata,
“Engkau bicara seperti benar-benar tidak ada jalan, Mirkan-
druel. Tuan Sealtiel dan tuan Jegudiel tahu di mana kita berada.
Memang tidak ada jalan bagi kita, sebab kita tidak dapat membuka
jalan kita sendiri. Barisan musuh terlalu banyak dan kuat. Namun
sungguh dalam pertempuran ini, engkau akan melihat Tangan
Allah yang perkasa itu membuka jalan bagi kita, sehingga Cahaya
Sorga akan keluar kembali bersinar.” Lalu mereka saling berpeluk
dan menguatkan dalam pertempuran itu.
Sealtiel, ia datang dari antara pepohonan. Ia bertunggang
kembali ke tempat ia meninggalkan Mikhael. Dari Daria, ia
bertunggang menyusuri jalan yang ia lalui di antara pepohonan dan
ia sampai lebih cepat dari pada saat ia bertunggang ke Daria. Sebab
saat sebelumnya ia harus membuka jalan dan membabat pohon-
pohon dan belukar. Sealtiel sampai di sebelah timur tempat pertem-
puran Seraphiem. Ia melihat ada banyak sekali Bath-Pometh di sana
sedang bertenda dan beristirahat. Maka kata Sealtiel,
“Sungguh banyak sekali jumlah mereka ini. Hingga-hingga
mereka yang di belakang barisan dapat bertenda dan beristirahat
makan buah. Barisan Seraphiem masih terjebak di sini. Selama
barisan ini tidak pergi dari perbukitan ini, tentulah para Seraphiem
masih ada berdiri di tengah mereka dan menentang mereka.”
Kemudian Sealtiel diam-diam bertunggang ke bukit sebelah timur
perbukitan Rardum-Henakh. Dari sana ia dapat melihat jelas
pertempuran yang terjadi di atas bukit.
Pertempuran masih terus berlanjut lama. Para Seraphiem
semakin terdesak dan semakin banyak yang hancur dalam pertem-

194
puran. Perlahan-lahan jumlah barisan Seraphiem terus berkurang
setiap Shaktanya. Sealtiel menjadi saksi atas pertempuran itu, ia
melihat sendiri bagaimana keadaan para Seraphiem saat itu.
Keadaan mereka sangat mengenaskan dan tidak dapat berbuat apa-
apa. Bahkan para Seraphiem yang selamat, tidak dapat bersaksi
tentang keadaan yang mengerikan itu. Para Bath-Pometh tidak
dapat menembus pertahanan tombak mereka. Namun celah selalu
ada. Para Bath-Pometh cukup banyak mendapat kesempatan untuk
menarik satu Seraphiem. Mereka menarik para Seraphiem itu satu
per satu keluar barisan.
Dengan keji, para Seraphiem itu disiksa dan dan didera di
depan barisan Seraphiem. Sealtiel melihat semuanya itu dan ia tahu
bahwa setidaknya ada delapan ratus Seraphiem yang disiksa para
Bath-Pometh di sana. Sekitar lima ratus di antaranya harus
menjalani siksaan yang sangat berat, yang seharusnya tidak dapat
dilalui malaikat. Para Seraphiem yang melihat penyiksaan itu tidak
dapat bersaksi tentang peristiwa itu sebab mereka benar-benar
tidak ingin mengingatnya. Mikhael dan hamba-hamba pembesar-
nya yang ada di sana juga tidak dapat bersaksi. Namun Sealtiel, ia
tahu dan ia melihat sendiri. Betapa kejamnya penyiksaan para Bath-
Pometh itu pada para Seraphiem yang mereka tarik dari barisan.
Semua kesaksian Sealtiel tentang itu tidak dapat ditulis dalam kitab
ini. Tidak ada tempat untuk kekejian seperti itu dalam sebuah
gulungan kitab.
Shakta demi Shakta berlalu dan terasa seperti ber Sherta-
Sherta. Sealtiel duduk di atas suatu pohon dan ia menaruh tanah di
atas kepalanya sambil melihat pertempuran di depannya itu. Ia
menaruh tanah di kepalanya sebab katanya,
“Aku ini lebih rendah dari pada tanah yang diinjak
malaikat-malaikat. Sebab aku melihat saudara-saudaraku dibantai
di depan mataku, namun tidak ada hal yang dapat aku perbuat.
Sungguh tanah lebih berguna dari para tubuhku ini.” Ia sangat
bersusah di sana melihat pembantaian Bath-Pometh pada para
Seraphiem. Dalam kesusahannya, Sealtiel melihat tanduk-tanduk
yang diberikan Yehudiel padanya saat ada di Daria. Lalu teringat-

195
lah ia pada perkataan-perkataan Raphael dan Yehudiel. Ia mere-
nungkan perkataan saudara-saudaranya itu. Lalu katanya,
“Apa maksudnya perkataan ini: Aku masih melihat Cerub
dalam dirimu.” Setelah merenungkan itu, Sealtiel mengambil satu
tanduk yang menarik pandangannya. Ia melihat tanduk itu dan
mematahkan ujungnya. Lalu dibuatnya pada tanduk yang lain dan
ia merangkainya menjadi satu dengan kayu-kayu patahan dari
pohon. Ia membuat lubang pada tanduk-tanduk itu dan berkata,
“Inilah sangkakala Hezaphar. Demi Rephairiem, para Sera-
phiem telah berkorban begitu banyak. Sekiranya para Rephaiem
mengingat itu dalam kehidupan mereka. Sebab bila bukan para
Seraphiem ini berkorban di perbukitan Rardum-Henakh ini demi
mereka; tentulah Raphael akan jatuh dalam serangan Bath-Pometh
di Daria.” Kemudian Sealtiel bangkit di atas pohon. Ia berdiri pada
satu dahan dan tangan kirinya memegang pokok pohon itu. Lalu
kata Sealtiel,
“Bila sudah habis pengharapanku, aku akan melihat ke
Selatan. Bukankah dari sana aku seharusnya melihat Tangan Allah
datang. Sebab sudah tiba saatnya.”
Lalu Sealtiel mengangkat tanduk sangkakala bentukannya.
Ia membawa itu ke atas pohon dan menyandarkannya pada dahan-
dahan pohon. Ia kembali pada tempatnya berdiri. Tangan kirinya
memegang pokok pohon dan tangan kanannya memegang ujung
tiup sangkakala. Ia memandang ke Selatan dan berkata,
“Aku adalah Cerub. Seorang Cerub lebih baik bisa membu-
nyikan alat bunyi-bunyian, setidaknya satu alat saja. Inilah yang
akan kubunyikan dan ini akan sangat ramai. Berserulah untuk
pertama kalinya, Hezaphar!” Lalu Sealtiel meniup sangkakala itu
dengan sangat hebatnya. Suaranya menggaung rendah di tanah,
menembus daun-daun terbawa angin timur ke barat. Sungguh
suara sangkakala itu sangat berat, sampai-sampai menggetarkan
tanah.
Terdengarlah suara sangkakala Sealtiel itu dari kejauhan.
Barisan yang tengah bertempur terkejut dan mereka berusaha un-
tuk tetap pada tumpuan mereka, sebab tanahnya bergetar. Pertem-
puran terhenti sebentar di sana. Para Jegaduriem terkejut men-

196
dengar itu dan mereka semua bangkit melihat ke arah pertempuran
mencari sumber suara itu. Kata Gabriel,
“Bunyi sangkakala apa ini? Aku tidak mengenal suaranya.”
Kemudian tiba-tiba terdengarlah suara sangkakala lain yang seperti
menjawab sangkakala Sealtiel itu. Dari arah selatan, pepohonan
yang rapat tampak tumbang seperti air mengalir. Barisan Rephai-
riem datang ke sana dengan sangat hebat. Sangkakala barisan-
barisan Rephairiem itu bertiupan menjawab sangkakala Sealtiel.
Mereka telah menang melawan barisan badak pelindung Bath-
Pometh. Dari perbatasan Daria, mereka bertunggang menembus
pepohonan lebat.
Para Rephaiem itu menunggangi badak-badak pelindung.
Mereka bertunggang tanpa mencari atau membuka jalan. Tanduk-
tanduk cula para badak-badak itu merobohkan pohon dan mereka
bertunggang dengan cepat. Tujuh jalur mereka buat di sana.
Raphael dan Yehudiel memimpin barisan itu. Kata Raphael pada
Yehudiel,
“Engkau benar, saudaraku. Tentu itu suara dari Sealtiel.
Tanduk-tanduk yang darimu telah dibentuknya. Ia bukan hanya
pelayan dupa, ialah Sealtiel Cerub Altar!” Kemudian berserulah
Raphael,
“Rephairiem! Dupa Allah telah memanggilmu dan meminta
aku memenuhi sumpahku padanya di Daria. Sekarang penuhilah
sumpah itu. Oh lihatlah! Barisan Seraphiem yang menyelamatkan
kamu itu ada dalam cengkraman musuh! Cahaya Allah mereka
tutupi! Mari kita bebaskan ia, supaya Serael dapat bercahaya terang
lagi.” Sungguh hebat kedatangan mereka di sana.
Tanpa susah payah Rephairiem menembus hutan dan
sampai pada perkemahan Bath-Pometh di kaki-kaki bukit. Mereka
bertunggang dengan cepat dan membantai Bath-Pometh yang ada
di depan mereka. Berserulah Raphael pada Yehudiel.
“Yehudiel! Sekarang saatnya. Kita harus berganti tungga-
ngan dari sini. Badak pelindung bukan pemanjat tebing yang baik.”
Kemudian melompatlah mereka dan berganti tunggangan. Raphael
dan Yehudiel menunggangi anjing-anjing merah, hewan-hewan
yang banyak berdiam di Sigoth dan Ligoth. Para pemanjat tebing

197
batu yang sangat hebat. Para penunggang badak masuk ke celah-
celah bukit dan membantai Bath-Pometh yang berkemah di sana.
Yang lain memutar dari barat dan timur untuk naik ke atas bukit.
Raphael dan Yehudiel memimpin para penunggang anjing merah
memanjat tebing terjal naik ke atas bukit.
Sealtiel melihat kedatangan barisan Rephairiem itu. Lalu
katanya,
“Aku telah melihat Tangan Allah datang dari selatan.” Lalu
ia turun segera dari atas pohon dan naik ke atas rusa tanduk tujuh.
Ia menungganginya menuruni bukit dan menyusul dalam pertem-
puran. Gabriel melihat itu bersama para Jegaduriem. Kata Gabriel,
“Apa ini? Tidak pernah aku melihat hal seperti ini. Sungguh
saudara-saudaraku dapat bersyukur dengan sangat karena hamba-
hambanya dapat bertempur.” Tidak menunggu lama, para penung-
gang badak pelindung telah sampai di atas bukit. Raphael dan
Yehudiel datang dari selatan bersama barisan penunggang anjing
merah. Sedang penunggang badak pelindung datang dari barat dan
timur. Mereka bertunggang dengan kengerian bagi musuh.
Eftiel, pemimpin barisan Bath-Pometh menjadi yang per-
tama berteriak. Padahal saat itu barisan Bath-Pometh dan barisan
Seraphiem tengah terdiam sepi karena mendengar sangkakala
Sealtiel. Kemudian mereka bersama-sama terheran-heran melihat
kedatangan Rephairiem di sana. Eftiel itu berteriak, katanya,
“Selamatkan dirimu, Bath-Pometh! Berlarilah ke dalam
hutan! Berlari! Lari demi ragamu sendiri!” Lalu bubarlah barisan
Bath-Pometh di sana dan terserak ke sana ke mari. Mereka terpen-
car ke semua arah. Barisan Rephariem membantai tanpa mengayun
senjata. Badak-badak pelindung menghardik musuh dan melem-
parkan mereka ke udara dan menghancurkan tubuh musuh dengan
tanduk-tanduk cula mereka. Anjing-anjing merah yang ditunggangi
para Bara-Al mencabik musuh dengan taring dan rahang yang kuat.
Cakar mereka membakar tubuh musuh yang terkoyak. Itulah saat
Rephairiem melepaskan Seraphiem dari kepungan musuh.
Sealtiel dari arah timur, ia datang dan menyambut musuh
yang berlari ke timur. Sealtiel dengan pedangnya menghabisi
banyak musuhnya sekali jalan. Karena kemenangan hebat itu, para

198
Jegaduriem segera menuruni bukit bersama Gabriel. Mereka
menyusul barisan malaikat dalam kemenangan hebat itu. Para
Seraphiem melihat musuh mereka berlari dari hadapan mereka.
Namun sudah tidak ada daya mereka untuk bersorak atau mengejar
musuh. Kata Mindruel,
“Sudah selesai. Tuanku Serael, ini sudah selesai. Tangan
Allah melepaskan kita, tuan.” Mindruel menoleh melihat pada
Mikhael. Namun Mikhael sudah tergeletak di tanah merebah dan
tangannya terbuka. Kata Mikhael,
“Sudah selesai, saudaraku. Rebahlah bersamaku. Rasanya
lama sekali aku tidak mendapat tempat yang luas dan melegakan
aku.” Kemudian terduduklah para Seraphiem di sana dan mereka
tidak bersorak. Mereka sudah sangat amat payah dan peman-
dangan penyiksaan saudara-saudara mereka telah melemahkan
tumpuan. Para Seraphiem bergeletakan di sana. Pada saat itu baru
terdengar suara jeritan kesedihan para Seraphiem karena saudara-
saudara mereka yang hancur dalam pertempuran.
Para Rephaiem mengejar barisan Bath-Pometh namun tidak
sampai jauh. Raphael menghentikan pengejarannya karena melihat
para Seraphiem yang bersedih dan kepayahan di atas bukit. Para
Jegudiem sudah membantu para Seraphiem di sana dan menguat-
kan yang bersedih. Lalu berserulah Raphael,
“Bawa setiap Seraphiem ini ke Ariar. Kamu masuklah ke
celah-celah dan ngarai-ngarai. Periksa setiap sudut dan cari tubuh
yang hancur dalam pertempuran ini. Ambil jarahan yang diting-
galkan musuh. Tenda, senjata, perbekalan, semua yang mereka
tinggalkan, bawa itu semua.” Kemudian bekerjalah para Rephaiem
kembali pada para Seraphiem.
Sealtiel turun dari tunggangannya dan melihat keadaan di
sana. Debu beterbangan karena para penunggang yang baru lalu
dari sana. Ia melihat dan mencari di mana Mikhael. Ia melihat
tubuh-tubuh yang ditinggalkan para malaikat. Tubuh-tubuh yang
telah disiksa para Bath-Pometh. Ia menutupi tubuh-tubuh yang ia
lihat sepanjang jalannya dengan daun-daun. Gabriel tiba di sana
dan melihat para Seraphiem yang bergeletakan. Kata Gabriel,

199
“Cepat kamu pergi dan bantu saudara-saudaramu. Berikan
anggur yang ada padamu pada mereka. Carilah buah-buah yang
segar di hutan bagi mereka. Periksa di pohon-pohon, bila-bila kamu
mendapati buah yang segar. Bawa pada para Seraphiem ini.”
Setelah dua pertempuran hebat di Tanah Barat itu. Tepat di
awal tahun kedua puluh masa perang Sorga. Para Agung kemu-
dian berdiam di Ariar dan beristirahat dari pertempuran. Dua ratus
barisan Seraphiem yang dibawa Mikhael selesai di sana. Mereka
tidak dapat melanjutkan perjalanan dan perjuangan mereka ke
Derie. Mikhael memutuskan untuk menunggu barisan besar Sera-
phiem dari Selatan untuk maju ke Daria. Raphael telah memulai
pengerjaan persenjataan bagi barisan Yehudiem. Dengan bahan-
bahan hasil jarahan pertempuran. Ia membentuk semua itu dengan
bahan-bahan yang masih baik. Juga senjata-senjata para Rephaiem
yang hancur dalam pertempuran, ia tempa kembali untuk digu-
nakan para Yehudiem. Gabriel bertunggang kembali ke Tanah
Jegudiem setelah dari Ariar, untuk beristirahat.
Duduklah para Agung saat sudah tenang keadaan mereka di
Ariar. Setelah semuanya berlalu dan sudah membaik suasana seusai
pertempuran, para Rephaiem di Ariar mengadakan perayaan bagi
para Agung dan bagi semua yang terlibat dalam pertempuran hebat
di Daria. Para Rephaiem dari Araria, Rapharium dan dari padang-
padang juga datang berkumpul beramai-ramai di sana.
Para Agung berkumpul di sana, di salah satu rumah kerja di
Ariar. Ada di sana duduk dalam satu meja: Mikhael, Raphael,
Yehudiel, Sealtiel dan Gabriel. Banyak hal yang mereka bicarakan
di sana. Sampai berbicaralah Raphael pada Mikhael, katanya,
“Saudaraku, apa selanjutnya? Tanah Barat sangat sulit kita
raih. Untuk menginjakkan kaki di sana, sudah banyak yang jatuh
dalam pertempuran. Kita belum sampai di sana dan memperjuang-
kannya.” Lalu kata Mikhael,
“Tidak cukupkah sumpahku padamu? Bukankah sudah aku
mengucap sumpah untuk merebut Tanah Rephaiem Selatan itu
bagimu dan hamba-hambamu? Lagipula mereka yang hancur
dalam pertempuran, mereka yang terluka, semua dari barisanku
berjuang demi Sorga dan kehancuran mereka adalah demi Sorga.

200
Aku telah menerima kabar dari Selatan, Tanah Seraphiem. Barisan
besar telah sampai pada penghujung perjuangan mereka. Ya,
hambaku telah berhasil dalam perjuangan mereka. Aku akan
memanggil barisan besar dari Selatan untuk berbaris bersamaku
semula. Pada saat itulah Tangan Allah sendiri akan melihat bagai-
mana Cahaya Sorga menyinari Tanah Selatan untuk pertama kali
setelah sekian lamanya. Namun aku berkata padamu, Raphael.
Perjuangan ini tidak akan semakin mudah. Adakah Tangan Allah
bersamaku saat aku merebut tanahnya baginya?” Kemudian
Raphael meminum anggur dari cawan milik Mikhael dan
menjawab,
“Dengan panggilan apa, sehingga Rephairiem dapat bangkit
demi tombakmu, Serael?” Kemudian tiba-tiba berkatalah Sealtiel di
sana, katanya,
“Adalah berat perjuangan para Seraphiem demi barisan
Rephairiem di Daria. Lihatlah mataku ini, saudaraku. Sebab mata
ini telah menyaksikan apa yang seharusnya tidak disaksikan di
Tanah Sorga. Di sebelah timur perbukitan Rardum-Henakh, di
antara pepohonan. Di sebelah batu hitam besar, ada pohon cemara
menjulang tinggi. Di sanalah aku meninggalkan sangkakala
Hezaphar. Dengan suara dari sangkakala itulah Seraphiem akan
memanggil Rephairiem. Ingatlah apa yang terjadi di Daria. Apa
yang dilakukan Seraphiem di sana sungguh berat dan semua itu
demi Rephairiem. Hamba-hambamu akan mengingatnya, Raphael.”
Kemudian jawab Raphael,
“Engkau tahu tangan tidak dapat berbicara. Serael, engkau
mendengar apa yang dikatakan saudara kita ini. Panggillah, aku
akan menjawabmu sebagaimana seharusnya tangan menjawab.”
Kemudian berjamulah mereka di sana untuk beberapa lamanya.

201
Kembalinya Kota Serael –
Tanah Selatan Bangkit

Sementara pertempuran di Tanah Barat masih berlangsung.


Yaitu pada saat masih di penghujung tahun sembilan belas masa
perang Sorga, Tanah Selatan juga dalam perjuangannya sendiri.
Kota-kota di Tanah Seraphiem, di tanah ujung Selatan telah di-
kuasai secara bulat oleh Seraphiem. Mahanael pemimpin penye-
rangan besar itu diam di Pahr saat itu. Mondrael pemimpin barisan
Beruang Putih juga ada di sana dalam suatu pertemuan. Ada pula
hamba Seraphiem yang menggantikan Mirkandruel memimpin
barisan juga ada di sana. Berkumpul pula para pemimpin barisan
Seraphiem di sana. Mereka duduk dalam rangka perencana penye-
rangan Kota Serael.
Setelah penyerangan-penyerangan cepat di ujung Selatan,
barisan Legiun telah mencium hasil pekerjaan barisan besar Sera-
phiem. Gissel, pemimpin barisan Legiun di Selatan mengirim lagi
para pengintai untuk mencari para pengintainya yang tidak kem-
bali. Sebab para Seraphiem telah menangkap para pengintai Legiun
yang hendak mengintai mereka saat sebelum menyerang Selanor.
Gissel telah mengumpulkan barisan untuk menyerang perkemahan
Seraphiem di Padang Luas Selatan. Maka ia memanggil setiap baris-
an Legiun yang ada di kota-kota Seraphiem. Namun cukup banyak
yang tidak datang di sana. Kira-kira lebih dari delapan ratus ribu
barisan yang tidak datang. Maka kata Gissel pada hambanya: “Aku
tidak melihat barisan dari Selanor, Pahr, Phanto atau dari kota-kota
ujung Selatan. Ke mana barisan mereka pergi?” Lalu jawab hamba-
nya: “Aku sudah mengutus hamba untuk memanggil mereka.
Namun tidak mereka datang. Bahkan hamba yang kuutus itu juga
tidak kembali padaku.”
Maka mulailah Gissel merasakan yang aneh di sana. Ia
mulai mencurigai ada penyerangan para Seraphiem di ujung Sela-
tan. Maka segera berkatalah Gissel: “Para Seraphiem ini sungguh
hebat rupanya. Mereka tentu menyerang kota-kota yang luput dari
penjagaan kita. Mereka tentu ada di Selatan. Panggil Grussel, kata-

202
kan padanya bahwa aku memerlukan Higoriem.” Maka kemudian
dipanggillah salah satu pemimpin barisan Legiun. Ada barisan dari
antara para Legiun itu yang dipersiapkan Gissel untuk berlatih
sungguh-sungguh dalam pengintaian. Mata-mata terlatih yang
hebat dan dapat berlari jauh. Mereka dapat berdiam tanpa bergerak
dan tidak menarik perhatian. Mereka dapat bersembunyi dengan
baik. Mata malaikat akan kesulitan untuk melihat mereka. Pengintai
terbaik Legiun, Gissel menyebut mereka Higoriem. Gissel memben-
tuk barisan pengintai itu juga karena surat perintah Leviathran
sebelum penyerangan Tanah Barat.
Segera setelah Gissel menaruh curiga, dikirimnya para
pengintai untuk melihat ke kota-kota di ujung Selatan. Sedang
waktu itu Mahanael bangkit dan berkata di depan para pemimpin
barisan Seraphiem, katanya,
“Saudara-saudaraku, para pejuang Seraphiem. Kamulah ba-
risan hebat yang pernah berbaris bersamaku. Dengan kepercayaan
yang diberikan padaku dari tuan besar Serael, aku dapat memimpin
kamu dan menerima kebanggaan ini. Pekerjaan yang baik telah
engkau selesaikan dan kota-kota sudah kembali pada kita saat ini.
Kurang satu serangan hebat lagi. Berikanlah seluruh tenagamu
pada serangan yang akan kita lakukan ini. Aku memintamu satu
hal, Seraphiem. Berikan serangan yang sangat kuat dan menge-
jutkan pada musuhmu! Kota Serael adalah pusat pertahanan
musuh. Kita akan menyerangnya dan untuk itulah aku meminta
padamu untuk memberikan seluruh tenagamu.” Kemudian berso-
raklah para Seraphiem itu. Mahanael kemudian membiarkan
Mondrael mengatur perencanaan di sana.
Dalam serangan itu, Mondrael tidak memberi banyak-
banyak rencana. Sebab memang penyerangan itu tidak memerlukan
banyak strategi dan perencanaan. Karena itu bangkitlah Mahanael
dan berkata,
“Tuanku, masakan hanya dengan rencana seperti itu kita
akan merebut Kota Serael?” Maka jawab Mondrael,
“Apa yang engkau harapkan, Mahanael? Bukankah kota itu
sudah jelas akan jatuh pada kekuasaan kita. Bahkan dalam Shakta
yang akan datang ini, kita para Seraphiem akan berjamu dengan air

203
kayu di Kota Serael. Mereka tidak siap untuk penyerangan kita, de-
ngan rencana ini saja, kita sudah dapat menang.” Maka kemudian
bangkitlah Frantiel, salah satu pemimpin hebat barisan Seraphiem.
Ia adalah pemimpin barisan yang disebut barisan tiga puluh. Lalu
katanya,
“Tuan Mondrael, aku memohon padamu untuk membe-
rikan perencanaan yang lebih baik lagi. Hampir seluruh barisan
engkau arahkan untuk menyerang dua titik utama saja. Setengah
barisan ini sudah sangat cukup untuk merebut Kota Serael. Bahkan
kurang dari setengahnya, kota itu sudah kalah dengan tombak-
tombak kita. Bagilah barisan ini. Kita tidak tahu bagaimana keadaan
musuh saat ini. Bahkan kita juga tidak mengirim pengintai untuk
melihat medan tempur yang akan kita hadapi. Aku meminta pada-
mu, berilah barisan tiga puluh untuk tinggal di Pahr. Bukan aku
ingin berdiam selagi saudara-saudaraku berjuang. Namun bila
musuh sudah siap menghadapi kita, serangan kita tidak akan
menjadi kejutan. Bahkan malahan bisa-bisa mereka yang memberi
kejutan pada kita. Maka aku memberi saran saja, sekiranya ada
barisan yang ditinggalkan untuk berjaga-jaga saja.” Lalu kemudian
para pemimpin barisan banyak yang mendukung saran Frantiel itu.
Maka berkatalah Mondrael,
“Aku bukan pemimpin barisan besar. Aku hanya memimpin
barisan Beruang Putih dan barisan Tombak Seribu yang diperca-
yakan padaku. Namun aku mendapati memang benar apa yang
engkau katakan itu, Frantiel. Kita tidak tahu, apakah musuh kita
siap atau tidak dengan serangan kita ini. Mahanael, berilah kepu-
tusanmu sebagai pemimpin barisan”
“Barisan Tiga Puluh akan berdiam di Pahr untuk berjaga.
Juga sebagian barisan tuan Mirkandruel dan barisan Lembing Tipis.
Mereka yang tinggal harus berjaga dan tetap menjaga mata pada
punggung barisan yang maju menyerang. Tidak ada perubahan
rencana penyerangan dan kita yang maju, tetap pada perencanaan
yang dikatakan tuan Mondrael. Bila musuh memberi perlawanan
kuat dan mengejutkan, aku harap mereka yang tinggal tetap siap
untuk membantu barisan utama. Seperti biasa, penyerangan akan
kita buka dengan empat ratus ribu barisan di tiap titik serangan.

204
Kemudian tiga ratus ribu dan sisanya menyusul. Baiklah saudara-
saudara membicarakan tentang itu dan memberikan nama barisan-
nya. Siapa yang ingin menjadi bagian penyerangan pembuka dan
siapa yang ingin ada di barisan belakang.” Maka mulailah para
pemimpin barisan itu membicarakan tatanan barisan mereka dan
perencanaan lainnya di sana.
Perencanaan itu dilakukan dengan sangat cepatnya. Para
Seraphiem mulai mempersiapkan keberangkatan mereka. Di sana
barisan Seraphiem memenuhi tiga kota berderet di sebelah selatan
Kota Serael, bahkan sampai ke Selanor masih penuh dengan barisan
Seraphiem. Barisan mereka sangat amat banyak sekali berkumpul
di sana untuk penyerangan Kota Serael saja.
Adapun salah satu pemimpin barisan Mirkandruel, yaitu
Akhanrel ia juga turut dalam barisan yang maju menyerang. Ia
sedang mempersiapkan barisannya di sebelah utara Pahr. Datang-
lah Mondrael ke sana melalui barisannya. Kemudian berbeloklah
Mondrael saat melihat Akhanrel itu dan ia berkata padanya,
katanya,
“Akhanrel, engkau barisan paling timur. Jangan engkau
tergoda untuk masuk dalam kota dari sisi timur. Tetaplah engkau
berbaris di belakang barisanku. Setelah barisanku masuk, Engkau
turutlah dan kuasai bagian timur kota. Juga satu hal lagi, aku akan
memberi perintah padamu. Kirim hamba pada tuan Gelabriel di
Padang Luas Selatan. Kirimkan kabar pada barisan tuan besar
Serael di Tanah Barat mengenai penyerangan ini. Sertakan dalam
surat itu: Kami akan merebut Kota Serael dalam lima Shakta sejak
surat ini dikirim. Lekas engkau buat itu.” Kemudian pergilah
Mondrael mempersiapkan barisannya.
Barisan Seraphiem telah siap untuk maju dan menyerang.
Mereka berbaris diam-diam dan tidak bersuara. Mereka memberi
perintah dengan berbisik-bisik saja. Saat itu barisan Jegaduriem
tidak turut dalam barisan, sebab pertempuran itu diperkirakan
akan berbahaya bagi para Jegudiem. Benar-benar pandangan para
Seraphiem tidak dapat melihat keberadaan para pengintai Legiun.
Saat itu mereka ada di tengah rerumputan dan pohon-pohon yang
berjarak jauh-jauh. Mondrael duduk di atas tunggangannya dan

205
melihat Kota Serael dari kejauhan. Ia melihat bahwa kota itu sudah
berubah dan ada tembok dibangun mengeliling. Hanya saja bagian
selatan kota tidak tertutup rapat. Sebab para Legiun membangun
tembok hanya untuk mempertahankan kota di bagian utara. Sera-
ngan para Seraphiem yang menyerang dari selatan benar-benar
tidak terduga. Mondrael duduk tenang di dekat satu pohon.
Para pengintai Legiun, Higoriem, sungguh sangat hebat. Di
pohon dekat dengan Mondrael, ada seorang Higor berdiri bersan-
dar di pohon itu dan ia menyamar di sana. Pandangan Mondrael
tidak mendapati ia di sana. Mata-mata itu dapat melihat dan men-
dengar apa saja yang dilakukan para Seraphiem di sana. Ia hanya
berdiam saja di sana dan tidak bergerak sama sekali. Mondrael
tidak memperhatikan itu dan hanya melihat sebuah pohon di
depannya, tidak ada orang berdiri di sana. Padahal pada waktu itu
ada banyak sekali Higoriem berdiri, berbaring dan duduk di antara
barisan Seraphiem. Mereka ada bersandar di pohon-pohon,
berbaring di antara rumput dan duduk di dekat batu.
Kapan pun para Higoriem itu dapat menarik pedang dan
menghancurkan banyak dari para Seraphiem. Namun mereka
hanya menerima perintah dari Gissel untuk memata-matai, tidak
ada perintah untuk bertempur. Itulah kesalahan terbesar Gissel
dalam pertempuran. Salah satu hambanya ada tepat selangkah
dekatnya dengan Mondrael. Tanpa usaha keras, hamba Gissel itu
bisa saja memukul leher Mondrael dengan pedang. Higor yang ada
dekat Mondrael itu tahu, bahwa pembesar Seraphiem ada tepat di
depannya tanpa pengawalan. Ia menahan diri untuk tidak menye-
rang. Sekalipun tangannya sangat rindu untuk memukul Mondrael.
Mondrael merasakan sesuatu yang aneh di sana. Namun ia
mencari dan tidak melihat apa-apa. Sebab pohon yang ada di
dekatnya itu tidak menjadi perhatiannya. Kemudian berbaliklah
Mondrael pada barisannya dan ia berkata,
“Persiapkan untuk penyerangan. Lakukan setenang mung-
kin dan serang kota diam-diam. Ada barisan besar yang mungkin
akan bergerak ke kota. Mungkin musuh telah menyadari akan
kedatangan kita. Kita harus menyerang dengan segera.” Lalu ber-
siaplah para Seraphiem itu dan mereka saling meneruskan perka-

206
taan Mondrael sampai seluruh barisan mendengarnya. Para
Higoriem itu mendengar apa yang direncanakan para Seraphiem.
Dan ia tidak dapat menahan dirinya.
Bangkitlah salah satu Higor yang ada di antara para
Seraphiem itu dan ia memukul salah satu Seraph di dekatnya. Lalu
ia berlari cepat-cepat ke arah Kota Serael.Hal itu menarik perhatian
para Seraphiem dan Mondrael juga. Namun mereka tidak mengerti
apa yang baru saja terjadi. Lalu berlarilah Mondrael ke depan
barisan. Ia melihat seorang musuh berlari dari barisannya. Maka
katanya,
“Ia sudah mendengar seluruh perencanaan kita.” Lalu berse-
rulah Mondrael katanya,
“Hentikan dia! Seseorang kejar dia!” Kemudian bangkitlah
beberapa Seraphiem di sana dan berlari mengejar mata-mata itu.
Namun mereka tidak dapat mencapainya karena memang Higor-
iem sudah sangat terlatih untuk berlari cepat. Para Seraphiem lain
mengambil tunggangan untuk mengejar mata-mata itu.
Lalu tiba-tiba di dekat Mondrael, ada seorang hamba Seraph
barisan depan. Ia duduk di antara rerumputan dan melihat para
Seraphiem lain berusaha mengejar mata-mata itu dan ada yang
masih sibuk mempersiapkan tunggangan untuk mengejar. Kemu-
dian bangkitlah hamba itu dengan tenang sekali. Ia berdiri di dekat
Mondrael yang serius melihat pengejaran itu. Lalu kata hamba itu,
“Tuanku, bagaimana tuan menginginkan hamba itu dibawa
ke kaki tuan? Hidup, atau hancur?” Maka menolehlah Mondrael
melihat hamba itu. Mondrael tidak mengerti apa maksudnya. Pula
hamba itu berbicara dengan menundukkan kepalanya. Lalu kata
Mondrael,
“Dapatkah engkau melakukannya? Lihatlah saudara-sauda-
ramu mengejarnya dan tidak dapat menggapainya. Sedang engkau
masih di sini. Bila memang dapat, aku ingin ia hidup-hidup.” Lalu
hamba itu menarik salah satu lembing dari punggungnya. Ia berdiri
tegap di depan Mondrael dan matanya tertuju pada musuhnya
yang berlari itu. Lalu kata hamba itu,

207
“Secepat apa pun kakinya berlari, lembingku akan meluncur
lebih cepat dari padanya.” Kemudian hamba itu melemparkan
lembingnya ke udara dengan begitu cepatnya.
Padahal saat itu musuh sudah berlari hampir satu panahan
jaraknya. Lembing itu mengudara dengan indah dan ujungnya
mulai mengarah ke bawah. Tidak disangka-sangka menancaplah
lembing itu tepat pada tungkai kaki musuh. Terjatuhlah mata-mata
itu tergulung ke tanah dan terhenti saat menabrak batu besar di
antara rumput. Para Seraphiem yang mengejarnya segera berlari
dan menyeret mata-mata itu kembali ke barisan. Heranlah
Mondrael melihat lemparan lembing hamba Seraph itu, sebab
sangat tepat dan baik lemparannya. Maka kata Mondrael,
“Lemparan yang baik, Seraph. Pelempar lembing sepertimu
tidak seharusnya berada di barisan depan. Dengan nama apa
engkau disebut?” Lalu jawab hamba itu,
“Ampuni perkataanku, tuan. Namun tuan dan para pemim-
pin barisan tidak pernah mengatur barisan pelempar lembing
sebelumnya. Tuhan menghidupkan aku dan menyebut aku Paishel.
Sungguh syukur para Yang Terang sebab menyertai tanganku
dalam melempar lembing bagi Sorga. Aku bukan satu-satunya
pelempar lembing di barisan Seraphiem, tuan. Tuan besar Serael
pernah membentuk barisan pelempar lembing, namun barisan itu
tidak mendapat pelatihan yang tepat dan kurang diperhatikan. Ada
saudaraku di barisan Tombak Seribu, ia mahir dalam melempar
lembing seperti aku. Purael, begitulah mereka memanggil dia.”
Kemudian Mondrael berkata,
“Aku akan mengingat engkau, Paishel. Juga saudaramu
yang engkau katakan itu. Sekarang pergilah dan cari saudara-
saudaramu yang pandai melempar lembing. Kembalilah ke Phanto
dan tunggu aku di sana. Aku akan mengusahakan supaya barisan
pelempar lembing dibangkitkan lagi dan layak menjadi barisan
yang diperhitungkan di antara para Seraphiem.” Maka pergilah
Paishel itu dari sana.
Pada waktu itu barisan Mahanael telah siap untuk menye-
rang. Ia melihat ke pada barisan Beruang Putih, barisan Mondrael.
Barisan itu juga sudah siap untuk maju, namun Mondrael tidak

208
segera memberi perintah menyerang. Maka kata Mahanael pada
pembantu pemimpin barisannya,
“Aku akan pergi pada barisan tuan Mondrael. Engkau jaga-
lah barisan ini tetap siap. Bila engkau melihat benderaku berkibar
dan tungganganku berlari ke arahmu, perintahkan barisan untuk
maju menyerang segera. Jangan ada sorak-sorai atau keramaian
sampai aku memerintahkannya.” Kemudian bertungganglah Maha-
nael ke barisan Mondrael. Waktu itu Mondrael telah menangkap
mata-mata musuh yang mencoba untuk kabur dari sana.
Barisan Legiun telah mencurigai tentang penyerangan para
Seraphiem. Gissel yang telah membariskan barisannya di Sarnos
dan seluas jalur Herah memutar barisan itu. Kata Gissel: “Putar
barisan ini. Penuhi Kota Serael. Musuh bisa saja menyerang kapan
saja dan dari mana saja. Kita tidak mengetahuinya. Setelah Higor-
iem kembali, kita akan mengetahui apa yang sebenarnya terjadi di
ujung Selatan.” Maka memutarlah barisan itu dan bergerak ke Kota
Serael. Namun jumlah mereka yang sangat banyak itu memper-
lambat perjalanan mereka. Mondrael sudah melihat sedikit dari
pergerakan mereka yang kembali ke Kota Serael.
Mondrael mendudukkan mata-mata itu di tengah-tengah
barisan Seraphiem dan para Seraphiem yang ada di sekitarnya
menutup ia. Sebab kata Mondrael,
“Mata-mata tidak mungkin dikirimkan seorang diri. Masih
banyak dari mereka di sekitar kita. Jaga pandanganmu dan awasi
sekitar. Bahkan kita tidak melihat ia tadi sebelum ia lari dari
tempatnya. Berdirilah melingkar dan tutupi aku. Aku akan sedikit
menanyai mata-mata ini.” Lalu para Seraphiem itu berdiri meling-
kar seperti dinding membentuk ruangan bagi Mondrael dan mata-
mata yang ditangkapnya.
Mulailah Mondrael berkata,
“Di mana kawan-kawanmu yang lain, legion?” Namun
tertawalah mata-mata itu menatap Mondrael dan berkata: “Barisan
Seraphiem tidak sebanding dengan barisan Legiun. Engkau akan
hancur ketika memasuk Kota Gisron.” Mondrael menampar mata-
mata itu, lagi katanya,

209
“Kota apa yang engkau bicarakan itu. Bicara sekarang!” Lalu
jawab Higor itu: “Aku bukanlah seorang legion! Aku adalah Higor,
mata-mata terlatih utusan tuan Gissel. Aku ada karena tuhan telah
menyurati kami untuk membentuk para pengintai hebat. Pikirmu
Kota Serael itu masih ada? Dasar engkau tidak berguna! Kota Serael
telah hancur dan menjadi abu. Yang ada di depanmu itu adalah
Kota Gisron. Higoriem telah mengepungmu, Seraph! Mereka ber-
diam di antara kamu dan engkau tidak melihat mereka. Mungkin
saja ia yang berdiri di dekatmu itu ada salah satu dari kami. Engkau
tidak akan mengetahuinya, bukan? Mungkin ia yang menjaga
tungganganmu adalah salah satu dari kami dan ia akan memukul
tungganganmu dalam pertempuran secara tiba-tiba.” Karena perka-
taannya, para Seraphiem yang mendengar itu saling melihat
saudara di sebelahnya dan saling mengamati. Mereka menjadi takut
bila memang malaikat yang berdiri di sebelahnya adalah mata-mata
Legiun.
Mondrael menarik pedangnya dan memotong lidah mata-
mata itu lalu menarik kepalanya sampai lepas dari bahunya.
Hancurlah hamba itu. Mondrael melemparkan kepala itu ke udara
dan berkata,
“Inilah yang akan terjadi pada Higoriem! Di mana pun ka-
mu berada. Berani-beranilah menyusup barisan Seraphiem! Mata-
mata ini hanya mengacau dan bicara sembarangan. Tidak perlu
kamu mencari-cari musuh di antara barisan kita. Jangan kamu
mencurigai saudaramu sendiri. Tidak ada mata-mata yang menya-
mar di antara kita.” Kemudian seorang hamba Seraph datang pada
Mondrael dan berkata,
“Mahanael bertunggang ke mari, tuanku. Sepertinya ingin
mengetahui mengapa kita menunda penyerangan.” Lalu Mondrael
naik ke atas tunggangannya dan bertunggang ke depan barisan
menemui Mahanael.
Mereka berjumpa di sana. Kata Mahanael,
“Tuanku, musuh bisa saja melihat kita bila kita terlalu lama
berdiri di sini. Mengapa penyerangan tidak segera kita lakukan?”
Lalu jawab Mondrael,

210
“Ada mata-mata musuh yang merepotakan aku dan meng-
habiskan waktuku di sini. Kita sudah siap. Mari kita tuntaskan
perjuangan ini.” Lalu Mondrael menganggukkan kepalanya dan ia
menarik benderanya. Ia mengangkat panjinya dan bertunggang ke
barisannya. Barisan Mahanael mengangkat senjata mereka dan
memberi tanda bahwa mereka sudah melihat tanda dari Mahanael.
Majulah barisan itu berlari diam-diam.
Mondrael mengangkat pedangnya dan ia berkata,
“Kita berangkat sekarang. Jangan berisik, anak-anak!” Maka
seluruh barisan itu mengangkat senjata mereka dan mulai berlari
diam-diam. Penyerangan para Seraphiem sungguh amat tenang.
Mereka bergerak lebih tenang dari pada angin Selatan. Tidak ada
sorakan atau sangkakala penanda serangan. Para Seraphiem berlari
dengan menunduk bersembunyi di balik rumput-rumput tinggi.
Mereka berbaris dengan jarak yang senggang-senggang supaya
jangan kaki-kaki mereka menjatuhkan terlalu banyak rumput dan
membuat mereka terlihat dari kota. Para Legiun tidak mengetahui
bahwa kehancuran akan menyapa mereka di benteng mereka
sendiri.
Para Higoriem yang ada di sana hanya terdiam dan mereka
takut bila para Seraphiem menangkap mereka. Ketika para Seraph-
iem sudah pergi semuanya dari sana, barulah mereka keluar dari
persembunyian mereka. Padahal saat itu mereka hendak mendekat
ke Pahr dan Phanto untuk mengintai kota-kota itu. Namun baru
mereka sampai di dekatnya, barisan Seraphiem berjalan mendekat
pada mereka. Maka bersembunyilah mereka dan terjebak di sana
sampai para Seraphiem itu pergi dari sana. Setelah para Seraphiem
pergi mereka berlari dari sana ke Kota Seraph, di sebelah barat.
Sebab mereka tahu bahwa sudah terlambat untuk kembali pada
Gissel dan memberitahukan tentang serangan Seraphiem itu. Me-
reka mencari perlindungan ke barat dan berdiam di Kota Seraph.
Gissel sudah ada di Kota Serael saat itu. Ia memeriksa
hamba-hambanya yang ada di sana. Sedang barisan besarnya masih
berjalan pelan-pelan ke kota itu. Kemudian Gissel segera ke kota
bagian selatan dan melihat bila ada tanda-tanda serangan Seraph-
iem. Ia melihat ke selatan namun tidak melihat ada malaikat di

211
sana. Ia hanya melihat hamparan rumput selatan yang bergoyang-
goyang tertiup angin selatan. Lalu kata Gissel: “Mengapa para
Higoriem belum kembali. Rumput-rumput ini bergerak gelisah.
Angin Selatan tidak pernah menggoyangkan mereka sehebat ini.”
Padahal para Seraphiemlah yang membuat rumput-rumput itu
bergerak. Mereka berlari di bawah rumput Selatan yang sangat
tinggi. Sekalipun para Seraphiem itu sangat tenang, namun baju
pelindung mereka adalah barang yang keras.
Para Rephaiem menempa baju-baju pelindung para Seraph-
iem untuk menjaga para Seraphiem dari pukulan musuh. Bahan-
bahan tambangan ditempa dengan hebat. Baju-baju itu tipis dan
ringan. Namun cukup kuat untuk menahan pukulan. Karena baju-
baju pelindung itu menggunakan kaitan-kaitan, maka baju pelin-
dung itu mengeluarkan suara saat dipakai untuk berlari. Gissel
mendengar suara baju pelindung itu. Suaranya sangat samar-samar
di antara angin. Ia seperti mendengar besi-besi dipukulkan satu
dengan yang lain. Namun ia tidak melihat apa-apa di sana. Semakin
para Seraphiem itu mendekat, semakin kencang suaranya.
Para legion di kota itu mendengar suara itu namun mereka
tidak menaruh curiga sama sekali. Hanya Gissel yang resah ber-
tanya-tanya dari mana suara itu berasal. Namun hamba-hambanya
berkata: “Ini hanya angin Selatan yang bertiup kuat, tuanku. Angin-
angin itu meniup tembok-tembok kita dan mengeluarkan suara-
suara ini.” Karena Gissel kuatir, berjalanlah ia ke utara kota untuk
melihat apa barisannya sudah tiba di sana, atau belum. Pada waktu
itu baru dua puluh barisan saja yang sudah tiba dalam kota. Yang
ada di dalam kota sejak awalnya ada tujuh belas ribu barisan.
Sedang Gissel membawa barisan besar Legiun untuk memenuhi
Kota Serael sampai Surdhanya. Namun barisannya itu bergerak
lamban karena jumlahnya yang terlalu besar.
Delapan ratus ribu barisan Seraphiem berlari dari selatan
menyerang Kota Serael. Mereka sudah sangat dekat dan satu
panahan lagi jarak mereka. Sedang jarak satu panahan dari tembok
kota, rumputnya sudah dibabat habis. Kota Serael telah dikelilingi
tembok yang dibangun para Legiun. Namun tembok di sisi selatan
itu tidak terlalu kuat dan banyak celahnya. Suara baju pelindung

212
para Seraphiem itu telah terdengar sangat lantang dan barulah para
Legiun mencurigai kedatangan mereka. Gissel ada di tengah kota
saat itu. Ia melihat hamba-hambanya berlari ke kota bagian selatan
untuk melihat dari mana suara berisik itu datang. Kemudian kata
Gissel: “Sungguh hamba-hamba yang tidak berguna. Saat aku
mencari dari mana suara itu datang, mereka bersantai. Sekarang
aku sudah terbiasa dan aku bersantai, mereka ribut mencari sumber
suara ini.” Saat para legion ke tembok selatan kota, mereka baru
melihat apa yang akan datang pada mereka.
Para Seraphiem sudah dekat. Mondrael mulai mengangkat
benderanya dan ia berdiri tegak. Seluruh barisan Seraphiem juga
mengikutinya dan berdiri tegak mengangkat bendera mereka. Di
saat yang bersamaan, Mondrael dan Mahanael berseru di barisan
mereka masing-masing, katanya,
“Seraphiem! Majulah! Kota ini adalah milikmu!” Lalu para
Seraphiem itu mengangkat senjata dan besorak dan meniup sangka-
kala. Para legion melihat musuh mereka bersorak dan sudah ada di
depan mata mereka. Berlarilah mereka untuk mengambil senjata-
senjata dengan ketakutan. Kota itu menjadi ramai para legion yang
berlarian dan berteriak ke sana ke mari mengambil senjata dan
ketakutan.
Bangkitlah Gissel karena hamba-hambanya itu berteriak-
teriak dan berlarian. Ia melihat ke luar dan mendengar ada yang
berteriak: “Seraphiem datang dari selatan!” Maka terkejutlah Gissel
itu dan turut menjadi kebingungan. Ia tidak melihat mata-matanya
kembali, namun tiba-tiba serangan datang padanya. Ia pun turut
berlarian dan mengambil senjatanya. Karena terlalu panik, para
legion itu menjadi lupa dan tidak tahu arah. Ada dari mereka yang
mengangkat senjata dan menghadap utara. Ada yang berlari ke
timur dan membawa tombak. Ada yang ke selatan. Mereka menjadi
kebingungan dan tidak tahu mana selatan yang benar.
Di tengah keributan itu, Mondrael dan Mahanael membawa
kehancuran di sana. Mereka sudah sampai ke tembok kota. Lalu
berserulah Mondrael,
“Hancurkan tembok ini! Kota Serael tidak pernah memiliki
tembok! Mereka merusak kota tuan kita!” Maka kemudian barisan

213
tombak yang ada di depan berlutut dan menahan tempat mereka.
Para pembawa gada dan palu melompati mereka dan berlari segera
ke tembok. Para Seraphiem itu memukuli tembok itu dengan kuat
sampai runtuh. Lalu masuklah para Seraphiem menyerang kota itu
dengan hebat. Suara dentuman runtuhnya tembok semakin mem-
buat ramai kota yang heboh itu. Para Seraphiem datang dengan
berlari cepat, mereka membantai yang ada di depan mereka dan
meruntuhkan bangunan-bangunan yang tidak pernah ada sebelum-
nya; yaitu bangunan yang dibangun para Legiun.
Serangan hebat benar telah terjadi di sana. Para Seraphiem
membantai semua Legiun yang mereka lalui. Gissel berlari keluar
dari kota itu. Ia sempat berusaha melawan para Seraphiem, namun
ia kewalahan. Kota itu dikepung dengan hebat dan pertempuran
terjadi di mana-mana. Kekalahan jelas ada pada pihak Legiun. Para
Seraphiem yang terlalu banyak itu meluas ke timur dan menyerang
pula Kota Surdhanya. Gissel melihat sudah terlambat untuk
mempertahankan kota. Para Seraphiem masuk dan menekan ke
utara. Mereka mengusir dan membantai para Legiun lalu menutup
pintu kota di utara.
Gissel hendak membawa barisan untuk bertempur, namun
tembok yang ia bangun itu terlalu kuat baginya sendiri. Para
Seraphiem sudah menduduki kota itu dan mempertahankannya
dengan tembok yang dibangun Legiun sendiri. Panah-panah sudah
tersedia di atas tembok, maka para Seraphiem menggunakan
senjata-senjata milik Legiun untuk memukul para Legiun. Gissel
berteriak-teriak di sana karena kesal dan geram. Ia memerintahkan
seluruh barisan untuk segera berlari dan menyerang kota itu. Ia
berdiri di sebelah utara tembok kota dan barisannya terus berusaha
menggempur kota.
Para Seraphiem yang sudah ada di dalam kota melihat alat-
alat para Legiun yang sudah disiapkan untuk pertahanan. Maka
mereka menggunakan itu untuk mempertahankan kota. Ada
panah-panah, pelontar batu-batu. Bahkan di dinding tembok itu
ada jalur seperti untuk aliran air namun sangat besar dan ada
banyak di sepanjang tembok. Jalur itu seperti pipa besar menurun
dengan terjal ke bawah, lalu membelok ke depan, keluar tembok.

214
Para Seraphiem melihat itu dan tidak mengerti untuk apa itu. Lalu
mereka melihat ada batu-batu besar di sana. Maka mereka menarik
batu itu dan menjatuhkan batu-batu itu masuk dalam saluran besar
itu. Meluncurlah batu itu dengan cepat dan terlontar dari tembok,
menghantam barisan musuh yang berlari mendekat. Itu semua
adalah rancangan para Legiun dan mereka sendiri yang merasakan
senjata bentukan mereka. Mondrael dan Mahanael tertawa dengan
lega di sana. Dalam dua Shakta saja, Kota Serael telah mereka
kuasai. Pada Shakta ketiga, Surdhanya telah mereka rebut.
Kekalahan besar telah menimpa Legiun. Mondrael dan
Mahanael duduk dengan tenang di tengah kota. Para Seraphiem
mempertahankan kota itu dengan tidak bersusah payah. Empat
ribu barisan berdiri di atas tiap-tiap tembok dan melawan musuh.
Dua ribu barisan di balik tembok dan menjaga supaya jangan
tembok itu runtuh, karena para Legiun melempari tembok dengan
batu-batu. Empat ratus barisan menahan pintu-pintu kota. Dua
ratus ribu barisan berjaga di sebelah selatan karena itu titik terle-
mah kota. Sekalipun musuh tidak menyerang memutar, namun
mereka tetap harus berjaga di sana. Sisanya yang lain ada menye-
rang Surdhanya, lalu yang lain, kira-kira tujuh ribu barisan,
membersihkan Kota Serael dan merapikan kota itu, juga mengurus
jarahan-jarahan mereka.
Setelah empat Shakta bertempur, Mondrael dan Mahanael
mengirim kabar pada barisan yang masih ada di Pahr. Lalu majulah
barisan kedua itu berlari dari sana menyerang Kota Seraph. Juga
mereka mengirim kabar pada Gelabriel dan diteruskan pada
Mikhael di Tanah Barat. Para Legiun dari segala arah telah
dipanggil oleh Gissel untuk berjuang merebut kembali Kota Serael.
Maka kota-kota yang lain tidak ia urus dengan baik. Setelah tujuh
Shakta bertempur, para Seraphiem telah merebut dan memperta-
hankan empat kota. Sesuai urutan penyerangannya: Kota Serael,
Kota Surdhanya, Kota Seraph dan Kota Stram. Dengan pertem-
puran utama di Kota Serael. Gissel kehilangan banyak dalam
pertempuran itu, sampai ia memutuskan untuk mundur ke Sarnos.
Dan barisan Legiun mundur ke kota-kota utara dan barat Tanah

215
Seraphiem setelah tujuh Shakta pertama di tahun kedua puluh,
masa perang Sorga.
Jadi total penyerang para Seraphiem melawan Legiun
berlangsung selama tiga belas Shakta tanpa henti-hentinya. Para
Seraphiem merebut empat kota dalam pertempuran itu dengan satu
juta empat ratus ribu barisan bergerak dalam pertempuran. Atau
kira-kira ada enam puluh tiga ‘Hergus’ Seraphiem (Kira-kira
delapan puluh empat juta malaikat) bertempur dalam sembilan
Shakta secara bersamaan.
Setelah pertempuran hebat itu, para Seraphiem memenuhi
Kota Serael sampai benar-benar penuh kota itu. Mereka bernyanyi
dan bersorak dengan penuh sukacita. Tidak ada ratapan bagi
mereka yang hancur dalam pertempuran. Sebab mereka yang
hancur telah gugur dalam sukacita dan dalam perjuangan yang
mulia. Para Seraphiem yang tidak dapat masuk dalam Kota Serael,
mereka berdiam di sekitaran kota itu. Yang lain memenuhi kota-
kota lain dengan penuh sukacita dan sorak sorai.
Barisan Legiun telah berlari dari hadapan para Seraphiem.
Mereka berlari dari kota-kota yang mereka duduki di Tanah Sera-
phiem. Kebanyakan mereka berlari ke kota-kota di sebelah utara
dan barat Tanah Seraphiem. Gissel dengan penuh kekalahan, ia
berdiam di Ariaria. Barisan besar Legiun berdiam di seluas Padang
Rephanya, sampai ke Klenath. Ada pula legion yang masih berdiam
di kota ujung Selatan, Kota Slafta. Mereka mendengar tentang
kekalahan barisan mereka. Maka pergilah mereka beramai-ramai ke
Kota Mirkanria dan berdiam di sana.
Sedangkan kota-kota di bagian barat, Kota Sailinar dan Kota
Gretrar, juga menyerah. Legion yang ada di sana pergi
meninggalkan kota itu. Ada yang pergi ke Mirkanria, ada juga yang
pergi ke Kota Reftaria, dekat perbatasan Tanah Rephaiem Selatan.
Dengan mundurnya para Legiun, para Seraphiem sudah menguasai
tiga kota lagi, tanpa usaha. Perayaan para Seraphiem berlangsung
sampai tiga Shakta, tanpa memikirkan bila para Legiun menyerang
kembali. Sebab mereka sangat bersukacita dan tidak takut bila
memang musuh akan menyerang kembali.

216
Barisan Besar Kembali pada Tuannya -
Bangkitnya Dua Barisan

Surat Mondrael pada Mikhael telah sampai saat Mikhael


masih dalam perjalanan kembali ke Ariar. Maka tahulah Mikhael
bagaimana ia akan menyerang Tanah Rephaiem Selatan. Sebab
barisan besarnya telah sampai pada penghujung perjuangan dan
akan kembali padanya. Saat Mikhael duduk bersama para Agung di
Ariar, berkatalah ia pada saudara-saudaranya, katanya,
“Aku akan membawa penderitaan ke Tanah Rephaiem Sela-
tan. Aku akan mengambil tanah itu kembali dengan sangat keras
dan jahat. Sebab seperti yang telah kamu ketahui, aku telah mengi-
rim surat dan memanggil barisanku. Raphael, kiranya berilah
tempat bagi barisan Seraphiem di Tanah Barat ini. Sebab mereka
akan datang setelah mereka selesai di Selatan.”
Karena Mikhael berbicara seperti itu, berkatalah Sealtiel
menjawabnya, katanya,
“Serael, saudaraku. Mengapa engkau berkeras ingin menye-
rang dari Barat? Bila memang barisanmu telah merebut Tanah
Selatan, bukankah akan lebih mudah bila menyerang dari Padang
Rephanya?” Kemudian jawab Mikhael,
“Sealtiel, engkau tahu penderitaan dan perjuangan hamba-
hambaku dalam memperjuangkan penyerangan dari Tanah Barat
ini. Bila aku memutuskan untuk mengganti arah dan menyerang
dari Tanah Seraphiem, maka mereka yang hancur di Tanah Barat
ini, hancur dengan percuma. Karena pada akhirnya pun, aku tidak
meneruskan perjuangan mereka. Aku akan tetap menyerang dari
Tanah Barat. Derie tidak lepas dari pandanganku sebelum aku
duduk dan berjamu di sana bersama Tangan Allah.” Maka
kemudian bangkitlah Raphael dan berkata,
“Saudara-saudaraku, baiklah kita menghormati apa yang
menjadi keputusan Cahaya Sorga. Sebab memang benarlah apa
yang ia katakan itu. Sudah banyak Seraphiem yang berjuang bersa-
manya, bersamaku dan juga bersama saudara-saudara yang lain.
Mereka berjuang sampai pada kehancuran untuk menyerang Tanah

217
Selatan dengan menguasai Tanah Barat terlebih dahulu. Bila pada
akhirnya Serael memutuskan untuk menyerang dari Selatan, lantas
untuk apa para Seraphiem itu hancur di Tanah Barat ini?” Maka
kemudian para Agung duduk di sana dan berjamu.
Mikhael telah menulis dan mengirimkan surat balasannya
pada Mondrael, yang saat itu masih bertempur di Tanah Selatan.
Surat-surat itu berisi perintah-perintah Mikhael bagi barisan
Seraphiem yang di Selatan. Mikhael mengatur barisan itu dari
surat-suratnya, sebagaimana keahliannya mengatur hamba, sekali-
pun hanya melalui surat-suratnya. Para Agung, yaitu Mikhael,
Raphael, Yehudiel, Sealtiel dan Gabriel, berdiam di Ariar sampai
keadaan menjadi tenang. Mikhael sendiri berniat menunggu
barisannya di sana, sampai mereka datang.

Pada waktu itu, Ammatiel masih ada di Hugtaria. Renca-


nanya untuk mencari seorang Jegudi tertunda, sebab ia dan hamba-
hambanya direpotkan dengan merawat para Rephaiem dan Sera-
phiem korban pertempuran di Daria. Kota itu menjadi penuh
dengan korban-korban luka yang dirawat. Sedang yang tidak dapat
dirawat di sana di bawa ke Tanah Timur. Karena keramaian di kota
itu, datanglah para Jegudiem untuk membantu. Para Jegudiem
datang dari berbagai arah. Sebab mereka mendengar bahwa Kota
Hugtaria telah menjadi tempat perawatan dan pengobatan, juga
Ammatiel ada di sana. Maka mereka beramai-ramai datang untuk
membantu. Walau hanya sekedar untuk mengambilkan air dan
buah-buah saja.
Ammatiel masih terus sibuk di sana bersama hamba-hamba-
nya dan ia seolah-olah lupa dengan apa yang menjadi tujuannya ke
kota itu. Lalu datanglah hamba pelayannya padanya dan berkata,
“Tuanku, para Jegudiem datang dari mana-mana untuk
membantu kita. Mungkin ia yang tuan cari itu ada di antara
mereka. Kiranya tuan ingatlah apa yang menjadi tujuan tuan
membawa kami ke sini. Bukankah para korban luka ini dapat
dibawa dan dirawat di Timur?” Kemudian kata Ammatiel,
“Bukan hanya itu, Jeindruel. Mereka ini adalah malaikat-
malaikat yang berjuang dalam pertempuran demi Sorga. Bila tidak

218
mereka berjuang di Barat, tentulah musuh sudah menyerang Tanah
Jegudiem, terus ke Tanah Yehudiem dan masuk ke Tanah Raziem.
Bahkan Tanah Timur bisa jatuh bila bukan karena mereka. Namun
apa yang engkau katakan itu juga benar. Baiklah pergilah dan cari
di antara para Jegudiem ini, periksalah dan jaga pandanganmu
baik-baik. Jangan sampai engkau melewatkan satu hal pun yang
akan membawa engkau semakin dekat dengan apa yang engkau
cari. Bertanya-tanyalah pada para Jegudiem ini. Seharusnya hamba
itu ada di kota ini. Namun kita tidak tahu. Yang aku tahu, ia adalah
hamba kepengurusan catatan. Dan ya, aku tahu seharusnya kita
mencari ke Eranoth. Namun menurut kabar terakhir hamba itu ada
di kota ini dan ia berdiam di sini karena banyak kerabatnya yang di
kota ini. Sekarang pergilah, carilah Gambariel, begitulah ia disebut.
Pembawa Pedang Gemmiril dari Padang Altar.” Maka kemudian
segeralah hamba Ammati itu mengikat jubahnya, ia melepas peng-
hias kepalanya dan menggulung rambutnya di balik tanduknya. Ia
pergi segera dengan membawa tanduk berisi anggur murni dari
Gruined milik Ammatiel. Anggur jenis itu sangat sulit didapat oleh
hamba malaikat biasa, apa lagi di masa Perang Sorga.
Sedang saat itu perjamuan di Tanah Barat telah berakhir dan
para Agung hanya saling berbincang di sana. Mereka saling mence-
ritakan hal-hal yang mereka alami masing-masing untuk melupa-
kan pertempuran yang telah terjadi. Setelah beberapa lama,
bangkitlah Raphael dan ia menjamah Yehudiel. Lalu berjalanlah
Raphael keluar. Adapun para Agung berdiam di salah satu rumah
kerja di Ariar. Rumah kerja itu telah dibongkar oleh para Rephaiem
dan dibangun sebagai rumah kediaman Raphael untuk sementara,
sampai Tanah Rephaiem Selatan direbut kembali. Tidak ada hala-
man bagi rumah itu, hanya saja tempatnya lima kilang lebih tinggi
dari bangunan di sekitarnya. Sebab itu dibangun di atas batu besar
yang dikikis dan dibentuk sebagai dasar yang kuat dan tinggi.
Berdirilah Raphael di dekat tebing batu, di terasan samping
rumah kediaman itu. Lalu Yehudiel datang menyusulnya. Kata
Raphael,
“Sudah empat Shakta berlalu setelah pertempuran di Daria
itu, saudaraku. Para Rephaiem telah membawa jarahan yang

219
banyak dari kota-kota yang kita rebut. Rampasan itu ada banyak
sekali dan rupanya, senjata-senjata musuh ditempa dari bahan-
bahan yang sangat baik. Maka para Rephaiem melebur itu kembali
dan menempa ulang semuanya. Membentuk baju-baju pelindung,
pelindung-pelindung kepala, pedang, kapak, tombak dan gada.
Sudah siap seluruhnya, semua itu disimpan di Rapharium dan
ditaruh di atas kereta-kereta tarik. Semua itu adalah milikmu,
Yehudiel. Ambillah! Demi Sorga, bangkitkan mereka yang bersum-
pah setia padamu. Bangkitlah mereka yang sudah terlalu lama
terdiam di Padang Altar! Sebab tuan mereka akan kembali untuk
memberi mereka senjata, sehingga mereka layak untuk berjuang
bersama, demi Tanah Sorga.” Mendengar itu, bersukalah Yehudiel.
Ia memeluk Raphael kuat-kuat, katanya,
“Syukur para Yang Terang, sebab Tangan-Nya masih ada
bagi hambanya ini. Raphael, baiklah aku harus segera pergi dari
sini dan membangkitkan barisanku.” Berlarilah Yehudiel masuk
untuk memberitahukan itu pada para Agung.
Kemudian bersukalah para Agung mendengar kabar baik
itu. Mereka semua siap menyambut barisan Yehudiem yang akan
dibangkitkan itu. Kemudian berkatalah Mikhael pada Yehudiel,
katanya,
“Saudaraku, ini adalah barisan pertamamu, bukan?
Maksudku, barisan yang benar-benar adalah hambamu. Lantas apa
yang akan menjadi langkah pertama barisan ini?” Lalu tersenyum-
lah Yehudiel dan ia berkata,
“Aku akan menancapkan bendera Yehudiem di atas Ger-
bang Yehu.” Terkejutlah para Agung mendengar Yehudiel, namun
mereka menjadi teringat dengan Tanah Altar. Lalu lagi kata
Yehudiel,
“Kemudian aku akan bergabung bersama Raphael. Aku
akan berjuang bersamanya untuk merebut Tanah Anggur, Gruined.
Maka puaslah aku, karena aku akan menganggap bahwa dengan
begitu, aku sudah membalas pertolongan Tangan Allah padaku.”
Kemudian bangkitlah Mikhael dan berkata,
“Yehudiel Tanduk Allah, tenangkanlah dirimu dan jangan
mengambil keputusan dengan tergesa-gesa. Bukankah engkau yang

220
menghalang-halangi barisan Uriem saat mereka hendak menyerang
Tanah Altar? Bartus-Mindrel masih dalam persoalan yang belum
kita selesaikan. Lagipula Tanah Altar memang harus segera kembali
menjadi milik Malaikat Agung lagi, sampai Yang Sulung kembali.
Namun untuk melakukan penyerangan ke sana, Malaikat Agung
harus sepakat dengan hal itu. Terlalu bahaya bila engkau membawa
barisanmu bertempur melawan mereka. Lagipula barisanmu itu
belum pernah bertempur sebelumnya.” Kemudian kata Yehudiel,
“Aku mendengarkan dan menghormati apa yang engkau
katakan padaku, Serael. Namun ada sesuatu yang sebenarnya men-
jadi inti rencanaku. Hal ini hanya dapat dilakukan oleh Yehudiem.
Hanya saja aku tidak dapat melakukannya karena aku terlalu
mencolok. Ada jalan rahasia dekat Gerbang Anggur. Jalan melalui
celah batu. Aku tahu para Rephaiem tidak menutup celah itu
karena mereka pun tentu tidak melihatnya. Hanya beberapa pula
dari para Yehudiem yang tahu dan mengerti tentang celah itu.
Karena itu, aku akan mengirim hamba-hambaku masuk ke Tanah
Altar dari sana dengan diam-diam. Aku ingin memastikan Bartus-
Mindrel tidak mengacau di rumah kerja itu, itu saja. Juga ada
beberapa minyak yang ingin aku ambil dari sana. Lalu saat kembali,
hamba-hambaku akan menancapkan bendera Yehudiem sebagai
tanda dan pergi dari sana. Setelah itu, bila memang kita ingin
merebut kembali Tanah Altar, kita bisa membicarakannya.”
Lalu berkatalah Sealtiel,
“Engkau benar-benar kehilangan pemikiran, Yehudiel.
Tidak mungkin engkau menyelinap di antara para Cerubbiem itu,
lalu kembali dengan tidak memotong lidah Bartus-Mindrel itu!”
Mendengar Sealtiel, berkatalah Mikhael,
“Tenangkan dirimu, Sealtiel. Bila memang Yehudiel hanya
ingin melakukan apa yang ia rencanakan itu, aku menghormatinya.
Lagipula aku ini hanya memberi peringatan supaya jangan jatuh
lebih banyak korban di depan Gerbang Altar.” Kemudian kata
Sealtiel,
“Aku akan pergi bersama Yehudiel.” Lalu bersiaplah
Yehudiel dan Sealtiel untuk pergi dari Ariar.

221
Yehudiel dan Sealtiel pergi dari Ariar setelah dua Shakta
persiapan. Sementara itu, hamba utusan Ammatiem telah mem-
bawa enam hamba lain bersama dia untuk melakukan pencarian
mereka di Kota Hugtaria. Pada waktu itu, Raziel ada di Kota
Haruia. Para Rephaiem ada di sana dan menumpuk batu-batu.
Pengerjaan benteng di sana baru separuh jalan dan baru memba-
ngun tembok di sisi barat kota. Raziel mengawasi pembangunan di
sana dan keadaan di sana masih tenang. Pengintaian para Raziem
ke Tanah Utara berlangsung dengan sangat aman.
Raziel, telah membentuk regu para pengintainya sendiri.
Selama Ammatiel pergi, ia tidak memiliki hal untuk dikerjakan di
sana. Maka Raziel membentuk regu itu. Karena beberapa pengin-
taian sudah dilakukan oleh Raziel dan hamba-hambanya membawa
hasil yang baik. Maka Raziel membentuk regu itu dari dua barisan
untuk berlatih pengintaian. Satu barisan dari Raziem dan satu
barisan dari Ammatiem. Latihan yang diberikan Raziel sangat hebat
dan Raziel membuka banyak gulungan untuk melatih para pengin-
tainya. Raziel sendiri menyebut barisan itu dengan nama: Durigo
(Pengintai Utara).
Beginilah Raziel melatih hamba-hambanya itu. Ia tidak
mengajarkan para pengintainya untuk dapat bertahan dengan
bersembunyi-sembunyi saja. Masing-masing malaikat itu adalah
pilihan Raziel dan yang dipilih yang memiliki tubuh umum. Mere-
ka semua dilatih cara hidup suku-suku malaikat. Sehingga masing-
masing pengintai itu dapat berjalan seperti seorang Seraph berjalan,
atau seperti seorang Bartarchi. Bila mereka menulis, mereka seperti
seorang Jegudi. Bila mereka memegang palu, mereka seperti seo-
rang Rephai. Bahkan mereka juga dapat menabur seperti Bartar-
chiem. Raziel melatih mereka untuk melakukan segala jenis
pekerjaan malaikat. Bahkan mereka dilatih untuk bernyanyi dan
bermazmur seperti Cerubbiem. Banyak hal yang mereka kuasai,
baik cara duduk, cara berbicara, pemilihan bahasa dalam berbicara.
Baik cara mengangguk atau menggeleng kepala. Ataupun cara
mereka mendengar, cara mereka menjawab, cara mereka memetik
dan makan buah. Bahkan cara mereka memegang dan minum dari
cawan dilatih oleh Raziel. Sangat hebatlah para pengintai itu.

222
Kemudian Raziel menguji mereka di sana. Raziel duduk
dalam satu ruang besar. Lalu dipanggilnya para pengintai itu satu
per satu. Berserulah Raziel padanya,
“Jadilah engkau seorang Yehudi.” Maka hamba itu berlaku
selayaknya seorang Yehudiel. Lalu kata Raziel,
“Jadilah engkau seorang Cerub.” Maka berlakulah hamba
itu sebagai seorang Cerub. Dan tidak nampak bahwa mereka adalah
seorang Razi atau Ammati. Setelah pelatihan yang dilakukan Raziel
itu, berkatalah Raziel,
“Kamu sekalian berlatihlah terus sampai aku mengirim
kamu untuk maksud dari semua kerja kerasmu ini. Sebab aku akan
mengirimkan kamu, seperti aku membawa seekor domba ke antara
kandang-kandang binatang buas. Dan kamu sekalian adalah
domba-dombanya. Bila aku melemparkan kamu ke antara beruang,
jadilah kamu seekor beruang. Bila aku melemparkan kamu ke
antara anjing, jadilah kamu seekor anjing. Ke mana pun aku melem-
parkan kamu, jadilah kamu seperti sekitarmu. Di antara hewan-
hewan buas itu, ada tersembunyi batu permata mulia. Ambillah itu
dan pergilah kembali padaku untuk memberikan batu itu. Namun
bila binatang buas itu menangkap kamu dan mendapati bahwa
kamu adalah domba, jangan kamu menjadi domba kembali. Berla-
rilah dari mereka. Bila tidak dapat kamu lari dari mereka, maka
hancurlah. Jangan hancur sebagai seekor domba, namun hancurlah
sebagai seekor singa, sebagai seekor beruang dan anjing.” Begitulah
Raziel melatih hamba-hambanya.
Di sana Raziel mengurus dan menulis surat-surat pada para
Agung. Ia membahas dalam surat-suratnya tentang para pengintai
bentukannya itu. Ia memohon supaya bila dapat, para Agung ber-
kumpul untuk bersidang bersama. Namun bila tidak dapat, baiklah
para Agung bersidang melalui surat menyurat saja. Raziel ingin
membahas tentang para pengintainya. Sebab ia akan mengirim para
pengintainya ke antara hamba-hamba Luciel untuk mencari infor-
masi penting dari barisan musuh. Dan memang para pengintai itu
akan menyamar. Dalam penyamarannya, ada kemungkinan yang
tidak diketahui, bila memang nantinya para pengintai itu harus
mengakui Luciel sebagai tuhan untuk menutupi penyamaran

223
mereka. Maka Raziel ingin membahas itu dengan para Agung. Bila
hamba-hamba itu mengakui Luciel sebagai tuhan, demi penya-
maran mereka, akankah itu dihitung sebagai pengkhianat Sorga,
atau tidak. Itulah bahan sidang yang diangkat oleh Raziel. Suratnya
itu kemudian dikirim tersebar pada para Agung melalui para
Jegudiem. Suratnya dicap emas dan perak yang disumpahi, sebab
sangat besar kerahasiaannya.
Beberapa waktu berlalu, Yehudiel dan Sealtiel telah sampai
di Padang Altar dengan membawa rombongan. Mereka membawa
rombongan Rephaiem yang juga menarik kereta-kereta berisi
senjata-senjata dan kelengkapan perang bagi para Yehudiem. Saat
itu para Yehudiem sudah sangat lama menanti tuan mereka. Saat
mereka melihat Yehudiel bertunggang dari jauh, bersoraklah
mereka dan berlarian menyambut tuannya itu. Yehudiel duduk di
atas tunggangannya dan bertunggang pelan di antara hamba-
hambanya. Para Yehudiem di sana mengucap salam pada Yehudiel
dan mereka sangat rindu dengan tuannya. Mereka yang ada di
sekitar Yehudiel menciumi kaki Yehudiel dan menjamah tungga-
ngannya. Kesukaan besar terjadi di sana.
Lalu para Yehudiem membangun tenda besar bagi Yehudiel
dan Sealtiel. Berkatalah Sealtiel,
“Sungguh aku melihat hamba-hamba yang sangat merindu-
kan tuannya. Sehingga kerinduan mereka ini sampai membasahi
tanah.” Setelah itu Yehudiel memanggil para tua-tua sukunya. Kata
Yehudiel,
“Aku sudah kembali padamu sekarang. Seperti yang kuka-
takan padamu, aku kembali dengan membawa perlengkapan
perang bagimu. Maka sekarang penuhi sumpahmu padaku! Jadilah
barisan yang setia dan bertempur bersamaku sampai kita meme-
nangkan Sorga!” Lalu jawab hamba-hambanya itu,
“Tuanku, kami sudah lama menanti saat ini. Bahkan kami
ini sudah menanggung sumpah kami pada tuan begitu lamanya.
Sekarang baiklah kami memenuhi sumpah yang kami ambil di
hadapan tuanku itu.”
Maka kemudian para Rephaiem membagi-bagikan berbagai
alat-alat perang pada para Yehudiem, sesuai dengan bentuk tubuh

224
para malaikat itu dan mempersenjatai mereka semuanya. Sorak
para Yehudiem itu penuh dengan sukacita dan mereka menerima
semua itu dengan sangat bangga. Para Rephaiem mengajarkan pula
pada mereka cara-cara mengenakan berbagai perlengkapan itu.
Semua itu berlangsung selama tujuh Shakta lamanya, sampai
seluruh Rephaiem pergi dari sana. Kemudian berbarislah para
Yehudiem di hadapan Yehudiel dan Sealtiel.
Duduklah Yehudiel dan Sealtiel di sana. Kemudian berka-
talah Yehudiel pada Sealtiel,
“Sebenarnya engkau ini layak disebut sebagai saksi Sorga,
Sealtiel. Sebab sangat banyaklah yang engkau saksikan itu. Seka-
rang, bila engkau tidak merasa bosan, saksikanlah satu peristiwa
lagi di antara para Yehudiem ini.” Kemudian jawab Sealtiel,
“Bukankah kita semua ini menyaksikan semua yang kita
alami masing-masing, Yehudiel? Lagipula dari sekian banyak hal
yang aku saksikan, aku merasa sangat gugup sekarang. Tidak
pernah aku melihat hamba-hambamu begitu pantas dan gagah
dengan kelengkapan alat tempur ini. Aku melihat wajah-wajah
yang biasa melayani aku, sekarang mereka berdiri di hadapanku
dan siap membela Sorga.” Lalu bangkitlah Yehudiel dengan
membawa cawan di tangannya.
Yehudiel mencabut pedangnya, pedang Gerlatrum di tangan
kirinya. Tangan kanannya memegang cawan. Lalu ia mengangkat
dua tangannya itu. Dua tangan yang lain memegang buah anggur
di kanan dan kepala rusa di kiri. Berserulah Yehudiel di hadapan
hamba-hambanya, katanya,
“Tiga ratus ribu barisan adalah jumlah yang kecil bagi Ten-
tara Sorga. Namun aku berkata padamu, saudara-saudara! Kamu-
lah tiga ratus ribu yang sangat besar dan menggentarkan musuh-
musuhmu! Bangkitlah sekarang, bangkitlah kamu Yehudiem! Demi
Sorga, bertempurlah! Demi Yang Utama, remukkan kepala musuh-
mu! Kamulah barisan Minyak Urapan yang akan membanjiri baris-
an musuh dan menyucikan mereka dengan kehancuran. Kamulah
barisan Yehudiem dari Tanah Allah! Bangkitlah Jhudriem!” Lalu
bersoraklah seluruh barisan itu dan mereka minum bersama-sama

225
dengan Yehudiel dan Sealtiel. Sejak saat itu bangkitlah barisan
Yehudiem, barisan Jhudriem di Tanah Sorga.

Pada suatu waktu, hamba utusan Ammatiem dan rombong-


annya sudah mencari di antara para Jegudiem. Namun mereka be-
lum menemukan Gambariel, yang mereka cari. Hanya saja mereka
sudah menerima banyak kabar tentang hamba yang mereka cari itu.
Perjalanan mereka membawa mereka sampai ke Kota Gelaria dan
terus sampai ke Kota Jediro. Padahal waktu itu Ammatiel dan para
hambanya yang di Hugtaria sudah usai mengurusi korban-korban
pertempuran. Maka para Ammatiem yang di Hugtaria hanya sibuk
membersihkan kota itu dari sisa-sisa pekerjaan mereka.
Karena pencarian utusan Ammatiem itu tidak membuahkan
hasil. Saat mereka sudah sampai di Kota Jediro, berkatalah hamba
itu, Jeindruel, katanya,
“Kita sudah mencari sampai jauh dan belum mendapati apa
yang dicari oleh tuan besar Ammatiel. Baiklah kita kembali ke
Hugtaria dan memberitahukan semua ini pada tuan Ammatiel.”
Maka dari Kota Jeidro, bertungganglah rombongan itu kembali ke
Hugtaria untuk kembali pada Ammatiel. Mereka tidak membawa
hamba Jegudi yang dicari oleh Ammatiel, namun mereka membawa
banyak cerita.
Pada waktu itu, Yehudiel dan barisannya masih berdiam di
Padang Altar. Ia sudah bersiap untuk berangkat ke Gerbang Altar
saat itu dan melancarkan rencananya di sana. Tenda-tenda telah
digulung dan barang-barang sudah dikemas di sana. Kemudian
berkatalah Yehudiel,
“Baiklah kita kembali ke tempat kita, Yehudiem. Bersiaplah
sebab perjalanan barisan ini masih panjang.” Sealtiel naik ke atas
tunggangannya dan ia bertunggang di antara para Yehudiem yang
mulai mengangkut barang-barang mereka. Sealtiel bertunggang
untuk melihat ke barat, sebab ia merasakan sesuatu datang dari
sana.
Duduklah Sealtiel di atas tunggangannya, di tepi barisan itu.
Ia melihat ke atas, sebab jalan dari Padang Altar, ke Kota Gurudum
itu sedikit menanjak, namun cukup rata. Yehudiel mencari Sealtiel

226
untuk melihat apakah saudaranya itu sudah siap atau belum. Na-
mun ia mencari dan tidak mendapati Sealtiel. Ia hanya mendapati
hamba-hambanya yang sedang melipat tenda milik Sealtiel. Kemu-
dian Yehudiel melempar pandangannya untuk mencari Sealtiel.
Dari kejauhan nampaklah cahaya Sealtiel menyinar. Segeralah
Yehudiel bertunggang menghampiri Sealtiel.
Kemudian bersandinglah dua Malaikat Agung di sana.
Berkatalah Yehudiel pada Sealtiel, katanya,
“Apa yang terjadi, saudaraku? Tujuan kita ke arah timur.
Mengapa engkau mengambil tempat di belakang barisan?” Lalu
berkatalah Sealtiel,
“Aku melihat debu pasir beterbangan di sebelah barat.
Tentu ada pergerakan besar di sana. Maka aku pergi ke sini untuk
melihatnya. Namun pandanganku tidak mencapai kejauhan.” Maka
Yehudiel melemparkan pandangannya ke barat, ke arah Sealtiel
melihat. Maka dilihat oleh Yehudiel ada rombongan Jegudiem
berlari dari arah sana ke arah mereka. Lalu berkatalah Yehudiel,
“Sekalipun pandanganmu tidak sampai jauh, namun engkau
memperhatikan juga, sekalipun hanya debu pasir. Perkiraanmu itu
benar, saudaraku. Ada rombongan Jegudiem dari sana berlari pada
kita saat ini. Mungkin mereka dari Gurudum dan hendak ke kota
lain.” Lalu berpalinglah mereka dan memeriksa kesiapan barisan
Jhudriem untuk berangkat.
Kemudian Yehudiel melihat barisannya itu dan ia
memerintahkan pada para pemimpin barisannya,
“Jalankan barisan ini. Persingkat perjalanan dan kita harus
sampai salam satu Shakta, atau kurang. Pekerjakan barisan ini un-
tuk pertama kalinya dan perhatikan setiap pekerjaanmu. Belajarlah
dari para Rephaiem. Aku pernah memimpin barisan mereka. Satu
perintah keluar dari mulutku, maka tidak perlu aku mengulang-
nya.” Mulailah para pemimpin barisan itu bekerja dan mengatur
barisan mereka. Sedang para Yehudiem itu adalah barisan baru dan
mereka itu terlalu berkonsentrasi dalam pelajaran bertempur. Tidak
mereka terlalu memperhatikan pelajaran bagaimana mengatur
barisan. Maka cukup lama juga para Yehudiem itu membiasakan
diri mereka.

227
Namun semua itu sungguh seperti suatu hal yang sudah
diatur. Para Jegudiem yang berlari dari arah barat itu mendekati
barisan Yehudiem dan mereka berteriak-teriak, hingga menarik
perhatian para Yehudiem. Karena hal itu, datanglah seorang Yehudi
menghadap Yehudiem dan Sealtiel, lalu berkata,
“Tuanku, ampuni aku yang mengganggu tuanku. Rom-
bongan Jegudiem dari sebelah barat itu berteriak-teriak memanggil
pada barisan ini. Mungkin ada perlunya mereka dengan barisan
ini.” Maka jawab Sealtiel,
“Baiklah aku akan melihat apa urusan mereka. Jangan
mengganggu tuanmu ini. Ia harus memperhatikan barisannya.”
Lalu bertungganglah Sealtiel untuk mendapati para Jegudiem itu.
Sealtiel mendapati rombongan itu dan ia melihat keadaan
para Jegudiem itu. Para Jegudiem itu berantakan dan seperti tidak
membawa banyak barang. Pula ternyata jumlahnya cukup banyak,
hanya saja tertutup oleh debu tanah yang beterbangan. Kemudian
berkatalah Sealtiel,
“Siapa yang memimpin rombongan ini? Tampillah di
hadapanku!” Lalu majulah seorang Jegudi di hadapan Sealtiel dan
ia berkata,
“Salam bagi Dupa Allah. Kiranya janganlah kami meresah-
kan tuanku. Para penguasa Gruined turun dari gunung mereka dan
mulai masuk ke kota kami, Kota Gurudum itu. Kami tahu bahwa
ada barisan berdiam di Padang Altar, barisan Yehudiem. Sekiranya
tuan Yehudiel mau, biarlah ia membela kota kami itu.” Maka
berkatalah Sealtiel,
“Adakah mereka menyerangmu? Tentu saja tuan Yehudiel
itu akan membelamu.” Lalu jawab hamba itu,
“Mereka tidak menyerang kami tuan. Mereka hanya datang
dan itu meresahkan kami. Sedang para Jegudiem ini tidak dapat
bertempur, masakan aku harus bertempur sendirian menghadapi
musuh?” Lalu jawab Sealtiel,
“Pikirmu engkau ini dapat bertempur? Baiklah segera kamu
sekalian berlindung di kota lain yang dekat dari sini. Siapa saja di
antara kamu yang adalah bagian Jegaduriem, atau pernah berga-

228
bung dalam pertempuran, masuk dalam barisan!” Maka segeralah
para Jegudiem itu berlarian.
Kemudian hamba Jegudi itu berdiri di depan Sealtiel dan
berkata,
“Hanya satu Jegudi di antara Jegudiem yang dapat bertem-
pur, tuanku. Aku sudah lama menjaga perbatasan di Gurudum itu,
sebab hanya di sanalah, bagian Tanah Jegudiem yang dalam
ancaman serangan musuh. Bila memang musuh menyerangnya,
maka harus menjadi yang pertama mengetahuinya.” Lalu jawab
Sealtiel,
“Apa urusanmu, Jegudi? Siapa namamu?” Lalu jawab
hamba Jegudi itu,
“Aku yang mereka sebut Gambariel, tuanku. Inilah pedang
Gemmiril yang akan membangkitlah barisan Ur-Bagha dan mem-
bela Jegudiem dari musuh. Maka aku menjaga tanah suku ini, demi
Sorga.” Lalu jawab Sealtiel,
“Aku sudah pernah mendengar tentang engkau. Tentulah
engkau dapat bertempur. Cari tunggangan bagimu. Barisan ini akan
membutuhkan suaramu dan pedangmu. Bersanding bersama para
Agung. Kita akan menuju Gurudum!” Lalu Sealtiel bertunggang
kembali ke barisan Yehudiem.
Para Jegudiem yang terlatih dan dapat menjadi Jegaduriem
segera berlari pada barisan Yehudiem. Sedang yang tidak dapat,
mereka berlari ke kota lain. Yehudiel menanti Sealtiel di tepi
barisan. Lalu datanglah Sealtiel bertunggang di sana. Berkatalah
Yehudiel,
“Mengapa para Jegudiem ini masuk dalam barisan, Sealtiel?
Rencana barisan kita tidak memerlukan Jegaduriem.” Lalu jawab
Sealtiel,
“Gurudum dikepung barisan dari Gruined, saudaraku. Me-
reka ini berlari dari sana. Kita harus membela kota itu, sebab hanya
kita barisan yang terdekat.”
“Baiklah bila demikian. Ke Gurudum barisan ini mengarah.
Aku tahu barisan yang dari Gruined itu, Sealtiel. Barisan Arthanag,
ya. Mereka adalah sekumpulan para penakut yang meninggalkan
saudara-saudaranya saat aku dan Raphael membantai saudara-

229
saudaranya itu. Mari kita selesaikan saja.” Jawab Yehudiel. Lalu lagi
kata Sealtiel,
“Aku akan mengirim seseorang untuk membawa kabar
tentang ini, Yehudiel.” Lalu Sealtiel memerintahkan salah satu
Jegudi yang ada di sana untuk pergi membawa kabar tentang apa
yang terjadi di sana pada para Agung.
Bergeraklah barisan Jhudriem itu dengan segera. Dengan
bantuan para Jegaduriem, barisan mereka dapat teratur dengan
cepat dan para Yehudiem banyak belajar dari sana. Pada waktu itu
bersandinglah Gambariel bertunggang bersama Yehudiel dan
Sealtiel. Yehudiel melihati hamba itu dan ia berkata,
“Jadi ini kah dia yang membawa Gemmiril. Engkau menda-
pat kesempatan yang sangat baik, Gambariel. Sungguh kasih Sang
Terang itu menyertaimu, sebab tidak habis-habisnya kebaikan
terjadi padamu. Sudah engkau memegang pedang itu, sekarang
engkau bersanding bersama para Agung.” Kemudian Gambariel itu
menundukkan kepalanya dan berkata,
“Kiranya kasih tuanku juga ada bagiku, tuan. Ampunilah
hamba yang bersanding dengan tuan. Sungguh hamba ini tidak
patut.” Kemudian teruslah barisan itu berjalan ke Gurudum untuk
membela kota itu dari musuh.
Majulah barisan Yehudiem ke Kota Gurudum. Pada waktu
itu ada barisan yang dipimpin oleh hamba utusan Breftiel. Dia
adalah pemimpin pengikut Luciel yang menguasai Tanah Gruin
dan Gunung Gruined. Sudah lama mereka menahan diri dari Kota
Gurudum karena mereka tidak ingin berurusan dengan barisan
yang ada di Padang Altar. Sebab selama pertempuran di Tanah
Barat, barisan Yehudiem yang belum siap bertempur selalu berdiam
di Padang Altar. Sekalipun barisan itu belum siap bertempur,
namun musuh takut bila-bila barisan itu kuat adanya dan memang
ditempatkan para Agung untuk menjaga perbatasan Tanah
Jegudiem.
Memang pada waktu itu barisan dari Gruined tidak mela-
kukan penyerangan atas Gurudum. Mereka hanya datang ke sana
dan para Jegudiem sudah berlari meninggalkan kota itu karena
resah dan takut. Adapun barisan itu berdiam di tengah kota dan

230
tidak menjaga kota itu. Datanglah Yehudiel dan Sealtiel ke sana.
Barisan Yehudiem segera mengatur barisan mereka di sana dan
Yehudiel ada di tengah barisan itu. Mereka menghadap ke Kota
Gurudum dan siap bertempur di sana. Kemudian tiba-tiba keluar-
lah seorang hamba dari kota itu dengan bertunggang seorang diri
mendekati barisan Yehudiem. Lalu berserulah hamba itu dari
kejauhan, katanya: “Salam bagi mereka yang menjaga perbatasan
tanah ini. Kami datang dalam ketenangan dan tidak membawa
pertempuran bagimu.”
Mendengar itu, majulah Yehudiel ke depan barisan dan
menjawab, katanya,
“Lantas mengapa mataku mendapati barisanmu masuk
dalam kota ini?” Kemudian berpalinglah hamba itu dan masuk ke
dalam kota lagi serta berseru: “Masuklah, tidak ada bahaya di sini.
Lagipula tuanku tidak mengadakan permusuhan dengan kamu!”
Lalu berkatalah Sealtiel pada Yehudiel, katanya,
“Tentu saja mereka tidak mengadakan permusuhan. Namun
terang-terangan mereka ini adalah musuh Sorga yang harus kita
adakan permusuhan dengan mereka.” Kemudian jawab Yehudiel,
“Mereka adalah para penakut, Sealtiel. Seperti yang aku
katakan padamu sebelumnya. Aku akan masuk dalam kota untuk
melihat, mungkin mereka menginginkan perundingan atau
semacamnya.” Lagi kata Yehudiel,
“Gambariel, perintahkan barisan untuk mendekati kota dan
kepung kota itu. Jangan ada pergerakan tanpa perintahku. Namun
bila ada musuh yang berlari untuk menyerang barisan, kamu bebas
menyerangnya.” Lalu Gambariel itu memerintahkan barisan itu dan
bergeraklah mereka mendekati kota dan mengepungnya berkeli-
ling. Hanya bagian barat dibiarkan terbuka, tidak terjaga.
Lalu bertungganglah Yehudiel masuk dalam kota itu.
Sealtiel tidak dapat melihat saudaranya masuk ke sana seorang diri,
maka ia turut juga dengan Yehudiel. Mereka bertunggang dengan
tenang ke dalam kota. Di dalam kota itu, dilihatnya ada barisan
musuh yang duduk-duduk di sana dan tidak ada kekacauan yang
mereka buat. Yehudiel dan Sealtiel bertunggang melewati mereka
dan mereka hanya memandangi saja. Sampailah Yehudiel dan

231
Sealtiel di tengah kota itu. Ada seseorang duduk di atas kursi yang
diletakkan di tengah halaman kota. Di sekelilingnya ada para
penjaga yang membawa gada dan kapak.
Karena Yehudiel dan Sealtiel sudah di sana, mereka tahu
bahwa itulah yang memimpin barisan. Sebab hamba yang duduk di
tengah kota itu tampak dihormati oleh yang lainnya dan ia dijaga
dengan baik. Berhentilah Yehudiel dan Sealtiel, lalu duduk diam di
atas tunggangan mereka. Berpalinglah pemimpin barisan musuh itu
dan ia bangkit. Ia berkata pada Yehudiel dan Sealtiel, katanya:
“Salam-salam bagi tuan-tuan yang menjaga perbatasan Tanah
Jegudiem. Lihatlah, kami datang dengan tenang di sini. Tidak ada
pertempuran atau keributan yang kami bawa. Aku adalah utusan
tuanku Breftiel, penguasa Kota Balosh di atas Gunung Gruined itu.”
Lalu berserulah Yehudiel, katanya,
“Hanya satu kota di atas Gunung Gruined dan itu disebut
Kota Gruined, di Tanah Anggur. Berhentilah dengan main-mainmu,
maka aku akan membiarkan kamu pergi dengan selamat. Tinggal-
kan kota ini dan jangan pernah kembali.” Lalu berkata lagi hamba
itu, katanya: “Memang sudah seharusnya engkau membiarkan
kami pergi dengan selamat, penjaga perbatasan! Ada yang harus
kusampaikan pada penguasa kota ini dan bagi kamu penjaga
perbatasan. Tuanku tidak ingin ada keributan di antara kita. Kami
tidak pernah melanggar perbatasan atau mengganggu kota ini.
Maka tuanku tidak ingin melihat ada malaikat dari tanah ini yang
melanggar perbatasan Tanah Anggur, apa lagi mengadakan penye-
rangan ke Kota Balosh itu. Kota itu ada dalam kuasa tuanku, maka
ia yang menentukan bagaimana kota itu akan disebut. Gruined itu
sudah tidak ada lagi.”
Lalu tiba-tiba datanglah bertunggang ke sana Gambariel. Ia
menyusul masuk dalam kota seorang diri. Melihat Gambariel
datang ke sana, berkata lagi hamba itu: “Oh, lihat siapa yang
datang. Aku tahu dia. Tentulah ia Jegudi yang memimpin kota ini.
Sungguh tepat engkau juga datang.” Menolehlah Yehudiel dan
Sealtiel melihat Gambariel itu. Lalu kata Yehudiel pada Sealtiel,
“Apa yang ia inginkan. Mengapa ia juga datang ke mari.
Hamba ini benar-benar tidak dapat dihitung dari antara Jegudiem.”

232
Lalu tiba-tiba turunlah Gambariel itu dari tunggangannya dan
mencabut pedangnya dan mendekat pada hamba Breftiel itu. Ia
berseru di sana,
“Pergilah dari sini, sebelum pedangku membawa kesengsa-
raan padamu! Aku mendengar apa yang engkau bicarakan itu.
Lagipula hanya para Jegudiem yang tinggal di sini. Barisan yang
ada di Padang Altar adalah penjaga perbatasan dan mereka tidak
akan menyerang kamu! Bilapun ada yang menyerang kamu, maka
itu adalah para Rephaiem. Mereka yang berdiam di Tanah Barat.
Tidak perlu kamu datang ke mari untuk berunding demi ketene-
ngan kotamu itu. Cepat atau lambat, Tangan Allah akan kembali
pada gunung kesayangannya itu. Maka aku berkata padamu
sekarang, bukan Gurudum yang harus kamu pikirkan, sebab tidak
ada bahaya datang dari sini. Jaga matamu ke Ardur dan Daria, dari
sanalah sengsaramu datang!” Maka berpalinglah hamba Breftiel itu
dan ia pergi dari sana. Lalu barisannya juga mengikutinya pergi
dari sana kembali ke Gruined.
Mendekatlah Yehudiel pada Gambariel dan berkata,
“Engkau datang padaku untuk meminta aku membela kota-
mu. Sekarang engkau sendiri berdiri membela kota ini. Lantas
untuk apa engkau merepotkan tiga ratus ribu barisan untuk datang
ke mari? Sungguh engkau telah menghabiskan waktuku. Bila
engkau dapat membela kota ini sendiri, maka jangan engkau berlari
padaku untuk meminta bantuan.” Terdiamlah Gambariel itu dan ia
menundukkan kepalanya. Datang pula Sealtiel padanya dan
berkata,
“Tindakkan yang kurang baik, Jegudi. Sebaiknya tinggalkan
saja kota ini. Barisan Jhudriem memiliki urusannya dan engkau
hanya menghambat mereka. Setelah ini barisan ini akan kembali ke
Gerbang Altar, tidak akan ada lagi barisan yang berjada di sekitar
perbatasan ini. Tinggalkan kota ini dan berdiam saja di kota-kota
yang ada di tengah.” Kemudian berpalinglah Yehudiel dan Sealtiel
meninggalkan Gambariel di sana. Yehudiel membawa barisannya
berjalan ke Gerbang Altar seperti rencana semulanya.
Gambariel tinggal di sana bersama sembilan malaikat pela-
yannya. Sedang Jegudiem yang lain bergabung bersama barisan

233
Jhudriem dan menjadi Jegaduriem di barisan itu. Dari Gurudum,
Gambariel berjalan ke utara.
Sementara itu hamba-hamba utusan Ammatiel kembali pada
Ammatiel di Hugtaria. Lalu Ammatiel mengosongkan satu ruangan
dan bicara dengan hambanya itu di sana. Lalu kata Ammatiel,
“Jeindruel, aku sudah merindukanmu. Mengapa begitu
lama engkau pergi? Bila memang tidak engkau dapati Jegudi itu,
baiklah engkau kembali padaku.” Lalu kata hamba itu,
“Tuan, memang aku tidak dapat menemui yang tuan cari.
Sebab para Jegudiem itu bersaksi seolah-olah Gambariel ini ada di
mana-mana. Kami mencari sampai ke Jediro, memang hamba-ham-
ba di sana pernah melihat Gambariel berdiam di kota itu. Hanya
saja kemudian mereka memberi petunjuk untuk mencari jauh ke
Gerana. Ada juga yang berkata untuk mencari ke Gurudum. Sedang
kami sudah terlalu sering mengikuti petunjuk para Jegudiem
namun tidak juga mendapati Gambariel itu. Ia bergerak berpindah-
pindah dari kota ke kota lain. Ia benar-benar seperti penjaga Tanah
Jegudiem.” Kemudian berkatalah Ammatiel,
“Memang dialah yang menjaga tanah ini, Jeindruel. Selama
Tanah Jegudiem tetap tenang, ia akan tetap berkeliling untuk me-
mastikan bahwa semuanya benar-benar aman. Menurutku Guru-
dum sangat tepat. Kemungkinan besar ia ada di sana, benar yang
dikatakan para Jegudiem padamu. Kota di sana sangat dekat
dengan perbatasan, mungkin ia memang menjaga kota itu.”
Kemudian berkatalah hamba Ammati itu, katanya,
“Aku mendengar banyak berita dari pada Jegudiem, tuanku.
Semenjak Gambariel ini membawa Gemmiril, ia sempat menghilang
lalu kembali lagi ke Tanah Jegudiem. Sejak itulah para Jegudiem
memandang ia sebagai pemimpin sementara. Tidak sedikit dari
para Jegudiem yang memberi diri untuk melayani Gambariel ini.
Mereka menyebutnya sebagai ‘saudara Agung yang terhilang.’
Memang ada catatan yang menulis bahwa ia adalah saudara tuan
Jegudiel. Dan hanya ia saudara tuan Jegudiel yang tidak pernah
melakukan apa-apa yang berarti, karena itu mereka menyebutnya
‘yang terhilang.’ Tentang sumpah dalam pedangnya, itu benar-
benar terjadi tuan. Para Jegudiem bersaksi padaku dan mereka

234
tidak ada yang bersaksi bersalah-salah, bahwa barisan Ur-Bagha
akan dengan setia menjawab panggilan pedang itu.” Lalu Ammatiel
menutup pintu dan menenangkan hambanya yang bercerita dengan
semangat itu. Lalu kata Ammatiel,
“Berapa lama engkau ada bersama para Jegudiem itu? Seka-
rang engkau bicara tanpa henti seperti mereka. Dengarkan aku
baik-baik, Jeindruel. Ini adalah rencanaku dan rencana tuan Raziel.
Hamba-hamba yang ada bersamamu dalam pencarian, jangan
biarkan mereka menceritakan semua ini pada hamba-hamba yang
lain. Juga engkau, simpan cerita-cerita itu bagimu sendiri. Jangan
sampai ada perkataan yang mengatakan bahwa aku, Ammatiel,
mencari seorang Jegudi karena pedang yang dibawanya. Tidak.
Aku mencari ia demi keamanan Tanah Timur, bahkan juga demi
Tanah Utara sendiri. Selama ini musuh hanya berdiam di Utara.
Aku takut bila mereka mengumpulkan kekuatan yang sangat besar
untuk menyerang dengan satu serangan hebat. Bahkan Tanah Utara
yang tersisa itu, bisa-bisa turut jatuh dan Tanah Uriem dikuasai
musuh. Aku memerlukan barisan dukungan untuk menyerang ke
Utara, sebelum mereka menyerang kita.
Tidak mungkin aku datang pada tuan Uriel dan tuan Bart-
Archiel untuk meminta barisan pada mereka demi mendukung
penyerangan ke Utara. Sedang aku ini tidak pernah meminta
bantuan saudara-saudaraku, juga saudara-saudaraku memandang
aku sebagai Wajah Allah. Masakan Wajah Allah harus memelas
demi dukungan? Dan lagi, Urbaraniem yang adalah saudara dekat
Rephairiem, tidak ada mendukung saudaranya itu dalam penye-
rangan di Tanah Barat. Bila Rephairiem tidak disokongnya, maka
apa artinya Drenthiriem bagi mereka? Aku tahu tuan Uriel, ia tidak
akan tergesa-gesa. Bila aku memintanya untuk maju bersamaku,
tentu ia akan menahan aku dan tidak menyokong barisanku. Lagi
pula tuan Bart-Archiel juga masih mempersiapkan barisannya
untuk penyerangan ke Utara. Terlalu lama mereka menanti
kesiapan mereka. Bisa-bisa Luciel itu segera datang menyerang
Tanah Uriem. Namun dengan Gemmiril, tentulah mereka akan
datang dan mendukung penyerangan ke Utara.”

235
Sedang saat itu barisan Arthanag yang ada di Kota
Gurudum telah pergi dari sana. Para Jegudiem yang tinggal di kota
itu sangat sedikit. Mereka ada di sana bersama Gambariel. Maka
mereka menunggu keputusan Gambariel yang mereka anggap
sebagai penatua mereka. Lalu berkatalah Gambariel, katanya,
“Kota ini sudah dikosongkan dan tidak ada gunanya kita
berdiam di sini. Lagi pula musuh kita sudah memastikan bahwa
mereka tidak menginginkan pertempuran demi kota ini. Baiklah
kita pergi ke tengah. Sebab aku banyak mendengar bahwa ada
kesibukan besar di Hugtaria dan sekitarnya.” Maka pergilah me-
reka berombongan ke Kota Hugtaria seperti keputusan Gambariel
itu.
Ammatiel telah memutuskan untuk meninggalkan Hugtaria.
Sebab sudah terlalu lama ia berdiam di sana dan tidak mendapati
Gambariel, yang ia cari-cari itu. Sedang para Ammatiem bersiap-
siap, datang hamba Jegudi ke sana. Hamba itu menyebarkan kabar
dan sampailah kabar itu kedengaran para Ammatiem. Datanglah
pelayan Ammatiel dan berkata padanya, katanya,
“Tuanku, ada pengepungan di Kota Gurudum. Para Jegudi
banyak yang pergi menuju Tanah Api untuk berkemah di sana.
Karena mereka memilih untuk berdekatan dengan barisan Rephai-
riem, bila terjadi sesuatu. Adapun barisan Yehudiem yang di
Padang Altar bangkit untuk membela kota itu. Bersama barisan itu
ada Jegaduriem yang dari Gurudum. Ada yang bersaksi bahwa
Gambariel ada di sana.” Maka berkatalah Ammatiel,
“Jeindruel, kirim utusan mendahului kita. Cari tahu apakah
barisan itu bertempur di sana, atau bagaimana. Pastikan hamba
yang kita cari ini selamat dari pertempuran. Cepat pergi dan lihat
apa yang terjadi!” Maka diutuslah hamba-hamba untuk menda-
hului rombongan Ammatiel.

Sementara itu, Uriel dan Bart-Archiel telah sangat lama


hanya berdiam diri di Tanah Uriem. Mereka ada di Kota Uriel dan
mereka menunggu saja. Uriel dan Bart-Archiel tidak henti-hentinya
mempersiapkan segala sesuatu untuk melakukan penyerangan ke
Tanah Utara. Namun mereka selalu tidak yakin dengan kesiapan

236
mereka. Sekalipun barisan itu sebenarnya sudah siap, banyak hal
yang menjadi perhitungan para Agung sehingga menghambat
penyerangan mereka. Datanglah surat dari Raziel pada Uriel dan
Bart-Archiel di sana. Uriel menerima surat itu dan katanya,
“Bart-Archiel, lihatlah saudara kita mengirim surat pada
kita. Sungguh sudah sangat lama rasanya kita tidak berhubungan
dengan saudara-saudara di Timur.”
Kemudian Uriel memberikan surat yang bagi Bart-Archiel.
Duduklah mereka untuk membaca surat itu. Lalu berkatalah Bart-
Archiel pada Uriel, katanya,
“Sudah banyak pergerakan yang diambil saudara-saudara
kita, Uriel. Sedang kita ini hanya berdiam saja di sini. Serael dan
barisannya telah berjuang besar-besaran di Barat. Tanah Selatan
sedang dalam kebangkitan besar. Sekarang datang kabar dari
Timur.” Kemudian kata Uriel,
“Janganlah merasa rendah seperti itu, saudaraku. Barisan
kita ini, sekalipun hanya berdiam di sini, namun menjaga perba-
tasan dengan hebat. Bukankah barisan besar utama musuh ada di
Utara. Kitalah yang menjaga supaya jangan mereka melanggar
tanah ini dan melangkah ke Tanah Altar. Maka sesungguhnya kita
ini sangat berperan di sini.” Kemudian mereka membaca surat
Raziel itu.
Setelah mereka membaca surat itu duduklah mereka mem-
bahas dan menulis semua hasil pembahasan mereka. Pembahasan
mereka di sana akan dikirim pada para Agung, terutama Raziel,
sebagai jawaban atas persidangan itu. Malahan dalam suratnya,
Uriel dan Bart-Archiel memohon supaya Tanah Altar kembali
diperjuangankan dan diurus. Dengan pernyataan bahwa Uriel dan
Bart-Archiel siap memberikan sokongan enam ratus ribu barisan
untuk memperjuangkan Tanah Altar. Masih mereka menulis dan
membahas, datang Jegudi lain membawa surat dari Tanah
Jegudiem. Berkatalah Bart-Archiel,
“Ada kabar dari Yehudiel, saudaraku. Bukankah kabar
terakhir ia ada berjuang bersama Raphael di Ardur?” Lalu jawab
Uriel,

237
“Ya, kemudian mereka melanjutkan perjuangan di Daria
bersama para Seraphiem juga. Raphael mengabari banyak kepada-
ku. Rephaiem telah mulai bangkit dan mereka yang terhilang mulai
berkumpul kembali pada Raphael. Aku harap Yehudiel menulis
kabar yang baik.” Mereka membuka surat itu dan membacanya
bergantian. Sebab Yehudiel hanya menulis satu surat bagi dua
saudaranya itu.
Dalam surat itu, Yehudiel menulis kabar tentang kebang-
kitan barisan Jhudriem. Bersukacitalah Uriel dan Bart-Archiel di
sana. Mereka merayakan itu dan mengadakan jamuan dengan para
pelayan rumah kediaman itu. Dengan datangnya kabar itu, Bart-
Archiel mengirim beberapa bibit-bibit pohon yang sangat baik.
Yaitu pohon-pohon yang dapat berbunga harum, bibit-bibit pohon
terbaik dari tanah milik Bart-Archiel yang dibawanya. Uriel juga
memberikan pada Yehudiel api berwarna ungu kebiruan. Api itu
adalah api yang digambarkan pada bendera rumpun Bara-Al, api
terkenal di Tanah Barat: Bara grad Bara-Al. Api yang seperti itu
dapat diletakan pada tumbuh-tumbuhan dan tidak akan membakar
tumbuhannya. Pembawa api seperti itu hanya ada sedikit dan
berasal dari rumpun Bara-Al. Uriel adalah salah satu pembawanya.
Beberapa waktu berlalu, para Agung di Tanah Barat telah
menerima surat dari Raziel. Juga para Agung lain yang di Tanah
Jegudiem. Para Agung sekehendak menjawab surat Raziel itu
dengan kesepakatan. Disepakati dalam sidang itu bahwa barisan
Durigo tidak akan dianggap mengkhianati Sorga sekalipun menga-
kui Luciel sebagai tuhan. Semua itu ada dalam persyaratan yang
tertulis dan disepakati Para Agung seluruhnya. Juga Mikhael
mengeluarkan keputusan dalam persidangan itu dan tidak dapat
disanggah. Keputusan Mikhael adalah: Barisan Durigo hanya untuk
pengintaian di Tanah Utara dan untuk mencari tahu apa-apa yang
perlu diketahui Para Agung. Bila pertempuran sudah terpecah dan
Tanah Utara kembali pada kekuasaan Sorga, maka barisan Durigo
itu harus diberaikan dan setiap malaikat yang menjadi bagian dari
pengintai itu harus dikosongkan.
Dengan itu, Raziel menyatakan bahwa ada barisan yang ia
bangkitkan. Raziel menyatakan semua itu di rumah Marcium dan

238
di hadapan dua puluh saksi, secara tertutup dan tidak ada yang
mengetahui tentang barisan itu. Kecuali para Agung, juga dua
puluh saksi yang dipercaya oleh Raziel. Barisan Durigo tidak
diketahui, bahkan banyak yang tidak pernah mengetahui bahwa
barisan itu pernah ada. Sampai masa perang Sorga berlalu, para
malaikat masih mempertanyakan apakah barisan itu benar ada atau
tidak. Beberapa berusaha mencari anggota-anggotanya. Barisan itu
dirahasiakan dan Raziel tidak menggunakannya lagi setelah masa
perang Sorga sampai masa tertentu, ia menggunakannya lagi.
Sampai sekarang ini, barisan Durigo itu masih terus banyak dicari
terutama oleh para Iblis dan dijadikan barisan yang sangat
diinginkan oleh banyak pihak.
Bangkitlah dua barisan yang sebenarnya tidak pernah
diperhitungkan dari antara Tentara Sorga. Barisan Jhudriem tercatat
sebagai barisan tempur yang memiliki jumlah paling sedikit di
antara barisan malaikat. Dengan jumlah barisan tiga ratus empat
ribu barisan saat dibangkitkan di Padang Altar, Tanah Jegudiem.
Setelahnya ada barisan Rendurum dengan jumlah barisan tempur
tujuh ratus ribu barisan, saat dibangkitkan di Tanah Raziem.
Barisan Durigo tidak diperhitungkan sebagai barisan tempur, sebab
hanya terdiri dari para pengintai saja. Bangkitlah dua barisan baru
di Tanah Sorga, tidak pernah diperhitungkan, namun dua barisan
itu hebat adanya dan berpengaruh bagi barisan Sorga.
Pertengahan tahun dua puluh masa perang Sorga, Ammatiel
dan rombongannya ada di Kota Gerana. Utusan Ammatiel telah
mendapati Gambariel dan membawanya ke Gerana dengan surat
panggilan dari Ammatiel. Maka datanglah Gambariel ke sana untuk
menghadap Ammatiel. Saat itu Kota Gerana sangat sepi, karena
para Jegudiem tidak pernah memenuhi kota itu sejak Jegaduriem
dibangkitkan Mikhael. Ammatiel duduk dalam satu rumah kerja
yang disediakan para Jegudiem baginya. Hal itu karena Gabriel
telah mendengar tentang kedatangan Ammatiel yang diam-diam ke
Tanah Jegudiem. Maka ia memerintahkan hamba-hambanya untuk
melayani Ammatiel selama ada di Tanah Jegudiem.
Duduklah Ammatiel di rumah kerja itu dan hamba-hamba-
nya melayani ia. Kemudian datanglah pelayannya dan berkata,

239
“Dia sudah tiba, tuanku. Ini adalah akhir pencarian kita.”
Lalu jawab Ammatiel,
“Kosongkan ruangan ini. Tinggallah kamu bersembunyi di
belakangku. Jangan ada hamba lain yang mendengar pembicaraan-
ku dengan Gambariel ini selain engkau, Jeindruel.” Lalu dikosong-
kanlah ruangan itu. Kemudian Jeindruel, hamba pelayan Ammatiel
itu duduk di belakang kursi Ammatiel. Masuklah Gambariel dalam
ruangan itu seorang diri. Para Jegudiem yang selalu bersamanya
menunggu di luar ruangan dan para Ammatiem menjaga pintunya
tetap tertutup. Berlututlah Gambariel di depan Ammatiel dan
berkata,
“Salam bagi Kecantikan Allah yang sangat elok parasnya.
Engkaulah pemimpin barisan besar Drenthiriem, di Tanah Timur.
Kasih Yang Terang akan selalu menaungi tanahmu dan menjauh-
kan Tanah Timur dari kekacauan.” Lalu jawab Ammatiel,
“Aku menerima salammu, bangkitlah, Gambariel, saudara
Jegudiel. Kiranya Tanah Timur akan tetap tenang seperti apa yang
engkau katakan itu.” Kemudian Ammatiel menuangkan anggur
yang baik pada satu cawan, ia bangkit dan memberikan itu pada
Gambariel. Kemudian kata Ammatiel,
“Ambil dan minumlah. Bukankah Tanah Timur aman kare-
na Tanah Jegudiem yang menjaganya juga. Barisan Drenthiriem
pernah berjuang di tanah ini, dengan kesetiaan dan kasih.” Lalu
minumlah mereka bersama-sama.
Ammatiel kembali duduk di tempatnya. Lalu berkatalah
Gambariel itu pada Ammatiel, katanya,
“Aku sudah mendengar tentang itu, tuanku. Saat itu barisan
Rephairiem tengah berjuang di Gerbang Altar. Barisan musuh
mengacaukan kota-kota di Tanah Jegudiem dan para Jegudiem
bersembunyi dari mereka. Barisan Drenthirim datang dari Timur
dengan menghujani musuh dengan busur dan panah, Dreinthe-
drom, aku pernah melihat senjata itu sebelumnya. Karena peristiwa
itu aku menjadi takut dan aku pun terhitung di antara hamba-
hamba yang bersembunyi di kota-kota. Tidak ada pejuang di tanah
ini, siapa yang akan membela Tanah Jegudiem bila musuh datang?
Karena itu, aku berusaha supaya jangan lagi peristiwa itu terulang

240
di tanah ini. Musuh tidak akan datang mengganggu kami, selama
Gemmiril masih ada di tanah ini.” Ammatiel melihat bagaimana
Gambariel itu berbicara dengannya. Maka tahulah ia. Kemudian
berkatalah Ammatiel,
“Aku tahu engkau kehilangan apa yang menjadi kesa-
yanganmu. Katakan padaku, Gambariel, adakah dia itu saudaramu,
atau kawanmu?” Kemudian jawab Gambariel,
“Bilamihel, begitulah ia disebut. Aku ada sertanya sejak ia
tahu memanggil Tuhan dan Allah. Ia yang termuda saat aku masih
di utara. Sedang aku tidak dekat dengan tuan Jegudiel. Karena pada
waktu aku masih sangat muda, tuan Jegudiel telah menjadi seorang
Cerub. Saat tuan Jegudiel berlatih sebagaimana seorang teruna
berlatih, tuan sering mengajak aku dan saudara yang lain untuk
melihatnya berlatih. Bilamihel selalu ada bersamaku dan aku
menyebutnya saudara, sekalipun ia bukan saudaraku. Bahkan saat
tuan Serael duduk di bawah pohon rindang dan mendengar penga-
jaran tua-tua yang melatihnya, saat ia masih seorang teruna, aku
dan sahabatku itu ada di sana. Kami sangat muda dan hanya
berlarian ke sana ke mari. Kemudian bangkitlah Barisan Bintang
Timur. Tuan Jegudiel menugaskan aku dalam satu rumah kerja ber-
sama Bilamihel ini, karena tuan Jegudiel masih mengasihi saudara-
nya ini. Terpecahlah perang. Aku tidak pernah melupakan kota ini,
tuanku. Saat barisan dari Barat datang untuk menyerang Tanah
Altar, aku ada di Kota Gerana ini bersama saudaraku, Bilamihel itu.
Musuh mulai datang mendekat, kami tidak tahu bahwa
mereka akan menyerang Tanah Altar. Maka kemudian aku berlari
ke Samahnia, karena di sana aman dan para Rephairiem dekat dari
sana. Namun kami tidak tepat, musuh datang ke kota itu dan
semua Jegudiem bersembunyi di bawah-bawah bangunan. Karena
ketakutan, aku berlari dan terpisah dari saudaraku itu. Setelah usai
pertempuran di sana, aku mencari ia ke mana-mana. Pada akhirnya
aku mendapati ia bersandar di tembok bangunan. Aku memeluk ia,
namun tinggal tubuhnya saja yang di sana. Itulah saat terakhir aku
melihat ia dan ia hancur menjadi batu di sana. Hancurlah juga
segala yang ada di dalamku. Rasanya aku ingin juga pergi mening-
galkan tubuhku saat itu. Aku mengambil pedang dan mengayun-

241
kannya supaya aku melukai diriku sendiri. Namun pedang di
tanganku itu tidak juga memukul tubuhku sendiri. Malahan hikmat
seperti turun atasku dan karena kehancuran saudaraku itu, aku
menjadi dapat menggunakan pedang.
Setelah pertempuran Elcarazar, tuan Jegudiel memanggil
seluruh Jegudiem untuk berkumpul di tengah dan sekali lagi, aku
berdiam di Gerana ini. Sampai akhirnya dari Kota Jegudiel, tuan
Serael membangkitkan barisan Jegaduriem dan kabar segera terse-
bar. Suara sorak sorai terdengar sampai tempat ini. Datanglah tuan
Mantael, yaitu pembesar suku ini. Ia membawa berita bahwa ada
barisan yang terdiri dari Jegudiem. Maka kami disebar bergabung
dengan barisan-barisan Tentara Sorga. Aku dibawa ke Padang Altar
Dan aku bertemu dengan tuan Raphael di sana. Mungkin tuan
sudah mendengar tentang itu, bagaimana aku menjadi penguasa
pedang Gemmiril.
Tidak ada hal lain yang aku pikirkan saat itu. Tidak ada hal
yang terlintas di pikiranku, karena setelah kehancuran saudaraku
itu, aku juga hancur di dalam. Kemudian aku melihat sekitarku dan
melihat saudara para Jegudiem. Aku tidak ingin para Jegudiem lain
juga hancur seperti saudaraku itu, atau seperti aku. Kebencian pada
musuh Sorga tumbuh di dalamku dengan hebat. Maka aku meng-
angkat sumpah untuk melindungi Tanah Jegudiem ini. Dengan
kasih Yang Terang, tuan Uriel dan tuan Bart-Archiel menerima
sumpahku saat mereka murka terhadap Bartus-Mindrel itu.”
Maka kemudian tahulah Ammatiel beban yang ada pada
Gambariel itu. Maka terdiamlah Ammatiel di sana dan Gambariel
duduk di tepian ruangan itu. Ia bersedih karena mengenang saha-
batnya yang hancur dalam penyerangan di Kota Samahnia.
Ammatiel membiarkan hamba itu bersedih di sana, karena tidak
ada yang dapat ia perbuat. Kata Ammatiel,
“Kiranya kehancuran saudaramu itu adalah bagian dari
perjuangan Sorga. Tenanglah dan kuatlah, Gambariel, saudara
Malaikat Agung.”

Sementara itu, barisan Jhudriem ada bersembunyi di hutan.


Yehudiel membawa tiga puluh barisannya dan bersembunyi di

242
Hutan Altar yang dekat dengan Gerbang Anggur. Ia melihat ada
jalan untuk masuk ke Tanah Altar. Gerbang Altar saat itu sangat
sepi dan tidak ada suara yang terdengar dari sana. Bendera-bendera
Cerubbiem berkibar di atas tembok dan angin selatan meniupnya.
Sealtiel berdiri di atas suatu pohon dan ia melihat ke tembok Altar.
Ia merasakan angin selatan bertiup dan anginnya membawa titik-
titik air. Maka katanya,
“Ada air segar di angin selatan, Yehudiel! Minumlah selagi
ini masih segar. Ada kemenangan di Tanah Selatan. Para Seraphiem
telah kembali pada tanah mereka.” Maka Yehudiel juga naik ke atas
pohon untuk menangkap air itu. Para Yehudiem yang ada di sana
juga melakukannya.
Yehudiel memiliki rencana untuk menyelinap ke antara para
Cerubbiem di balik Gerbang Altar. Ia tahu jalan sempit untuk
masuk ke sana. Maka ia hanya membawa tiga puluh barisan saja.
Karena jalan itu memang sempit dan hanya dapat dilalui satu orang
malaikat saja. Di balik pepohonan, barisannya aman tidak terlihat
dan mereka bersandar pada tembok Gerbang Altar. Para Cerub-
biem tidak ada di atas tembok seperti biasa, maka tidak ada yang
mengawasi mereka. Kemudian berkatalah Yehudiel pada hamba-
hambanya itu, katanya,
“Kamu tahu jalannya. Masuklah ke rumah tuanmu. Pastikan
para Cerubbiem tidak mengotori rumah kediamanku dengan kaki
mereka. Masuklah dan ambil minyak urapan yang ada di ruang
minyak. Semuanya yang dapat kamu ambil. Para Rephaiem sudah
membagikan jubah-jubah merah padamu. Sebab aku telah memo-
hon pada tuan Raphael sendiri, mengenai jubah-jubah itu. Kenakan
itu, supaya kamu nampak seperti para Cerubbiem. Tetaplah berjaga
dari para Cerubbiem. Mereka ada di mana-mana dan bila kamu
kedapatan bahwa kamu bukan salah satu dari mereka, tentulah
mereka akan menumpas kamu. Namun bila memang hal itu terjadi,
melawanlah dan berusahalah lepas dari dalam sana. Sedang kamu
yang tidak ketahuan, tetaplah jalankan tugasmu dan keluar dari
sana segera. Aku akan menanti kamu bersama barisan yang lain di
dekat Samahnia. Bawalah semua yang telah kuperintahkan padamu
untuk diambil itu.”

243
Setelah itu pergilah para Yehudiem itu satu per satu masuk
ke dalam Tanah Altar. Dari sana Yehudiel dan Sealtiel segera pergi
dan menunggu di dekat Samahnia. Barisan Jhudriem ada berdiam
di tenda-tenda di sebelah barat Kota Samahnia. Di sanalah Yehudiel
dan Sealtiel menunggu.

Sedang saat itu Ammatiel masih bersama Gambariel di Kota


Gerana, di salah satu rumah kerja di sana. Gambariel bersedih di
sana beberapa waktu lamanya, lalu bangkitlah ia. Kemudian
berkatalah Ammatiel,
“Angkatlah wajahmu, Gambariel, hamba Jegudi!” Maka
kemudian Gambariel itu mengangkat wajahnya dan ia memandang
wajah Ammatiel. Seketika itu juga segarlah ia dan tidak lagi ia
bersedih. Lalu katanya,
“Sungguh benar apa yang dikatakan para malaikat. Kabar
tentang engkau sudah menyebar dan diperdengarkan begitu lama.
Bahwa wajahmu itu sungguh elok dan tidak ada kata yang dapat
menggambarkannya. Sekarang aku tahu dan aku merasakannya,
benarlah bahwa engkau, tuan Ammatiel, yang disebut Rupa Allah.”
Lalu Gambariel memberi hormat dengan berlutut dan ia merasa
sangat bersukacita karena peristiwa yang ia alami di Kota Gerana
itu.
Kemudian berkatalah Ammatiel,
“Hai Gambariel, bukankah musuhmu itu berdiam di Utara
begitu lama?” Lalu jawab Gambariel,
“Benar tuanku. Mereka tersebar ke Barat dan Utara. Namun
lebih banyak yang berdiam di Utara, sampai saat ini.” Maka
berkatalah Ammatiel,
“Ada barisan Rendurum dan barisan Drenthiriem. Timur te-
lah bangkit dan memberikan jawaban mereka. Saat ini dua barisan
besar telah bangkit di Timur dan mereka berkumpul untuk suatu
tujuan. Akan ada pergerakan penyerangan ke Tanah Utara. Bukan
hanya dengan tujuan mempertahankan Tanah Timur, namun juga
adalah usaha untuk merebut kembali sebagian Tanah Utara dan
membantai musuh-musuh Sorga di sana.” Maka berkatalah Gamba-
riel para Ammatiel, katanya,

244
“Kiranya tuan sudi, tulislah surat pada tuan Jegudiel. Supa-
ya hamba diijinkan untuk bergabung bersama barisan tuanku itu.
Biarlah hamba terpuaskan dengan melawan musuh-musuh hamba.
Sudah sangat lama hamba menanti saat yang seperti itu.” Kemu-
dian Ammatiel mengeluarkan suatu surat yang sudah dibawanya.
Ia membuka surat itu dan melemparkan itu pada Gambariel, serta
katanya,
“Ini adalah surat yang ditulis oleh tangan tuan Jegudiel
sendiri. Dari Tanah Barat, surat ini datang. Aku telah mengurus
semua tentang itu dan ia memberikan ijin atas apa yang engkau
mohonkan itu, sebelum engkau memohonkannya padaku. Sekarang
bangkitlah dan persiapkan dirimu untuk pergi bersamaku.” Lalu
Gambariel melihat surat itu dan benarlah apa yang dikatakan
Ammatiel itu. Sebab Ammatiel sudah mempersiapkan semuanya.
Maka bangkitlah Gambariel dan ia memberi hormat pada
Ammatiel dengan bersungguh-sungguh. Ia sangat bersuka, sebab
sekali lagi ia mendapat kesempatan yang sangat berharga dan
jarang diberikan pada hamba malaikat. Kemudian berkatalah
Ammatiel padanya, katanya,
“Aku memerlukan dukungan barisan Utara. Ur-Bagha harus
turut bertempur bersama kami dalam hal ini. Bila aku sendiri
memohonkan itu pada tuan Uriel dan tuan Bart-Archiel, tentulah
mereka akan menahan aku. Sudah pasti mereka sebagai saudara-
saudaraku akan menjauhkan aku dari bahaya. Karena itu, Gamba-
riel, dapatkah engkau memberikan apa yang menjadi kerinduan-
ku?” Maka berkatalah Gambariel,
“Pada mulanya memang aku hanya akan memanggil
barisan Ur-Bagha bila Tanah Jegudiem dalam bahaya, atau dalam
serangan. Sekarang Tanah Barat telah mulai kembali pada para
Malaikat Agung. Sebentar lagi, Tangan Allah akan menimpa
Gruined. Maka apa lagi yang harus aku jaga? Tanah Jegudiem su-
dah dalam keadaan yang tenang dan aman. Pedangku bersamamu,
tuan Ammatiel.” Dengan begitu, Ammatiel mendapat apa yang
menjadi keinginannya dan penyerangan Tanah Utara dapat ia
jalankan segera.

245
Dari Kota Gerana, Ammatiel membawa rombongannya
bersama dengan dia pergi kembali ke Tanah Timur. Gambariel ada
serta dengan rombongan itu. Mereka berjalan langsung menuju ke
Kota Haruia. Mereka meninggalkan Kota Gerana dengan segera
dan menempuh perjalanan yang cepat, sampai di Kota Haruia
dalam empat Shakta saja.

Pada waktu itu, kebangkitan Tanah Selatan diikuti dengan


berbagai perkembangan. Raphael dari Tanah Barat mengeluarkan
surat perintah pada hamba-hambanya: “Pergilah ke Tanah Selatan,
sebab saat ini tanah itu telah bangkit dan pulih. Kamu adalah
hamba-hamba Tangan Allah, maka bangkitkan kembali Tanah
Selatan. Bangunlah ulang kota-kota di sana dengan batu-batu dan
kayu-kayu. Lagi pula di bukit-bukit yang di sana, ada banyak sekali
batu-batu yang bisa kamu gali untuk membangun. Juga Hutan Sela-
tan itu sangat tebal dan rimbun. Ambil saja kayu-kayu dari sana,
kamu tidak akan mendapat celaka, sebab ini adalah perintahku.
Bangunlah Kota Serael sebagai yang pertama dan bongkar semua
tembok-tembok pertahanan yang dibangun musuhmu di sana.
Tidak seharusnya kota dikelilingi tembok pertahanan seperti itu.
Maka bongkarlah semua itu dan jangan ada yang menyayangkan-
nya. Juga seluruh kota-kota yang sudah direbut para Seraphiem,
bangun semua kota-kota di sana. Bekerjalah!” Perintah itu turun
dan segera berangkat para Rephaiem dari Tanah Barat, beramai-
ramai.
Mikhael telah memberi persetujuan tentang pembangunan
itu pada Raphael. Segala sesuatunya telah dipercayakan pada
Raphael untuk merancang Tanah Selatan dan membangunnya
ulang. Karena perintah Raphael itu, berkatalah Mikhael, di Ariar,
katanya,
“Bila memang engkau mengutus hamba-hambamu, baiklah
aku juga pergi. Sebab saat ini, sekalipun barisan Seraphiem itu
sudah menang, namun masih saja ada ketegangan dengan barisan
musuh. Hamba-hambaku takut, bila musuh datang menyerang
kembali kota-kota mereka. Maka baiklah aku juga ke sana dan
menenangkan barisanku. Setelah itu aku akan kembali padamu

246
untuk menyelesaikan pertempuran yang masih tertunda.” Lalu
jawab Raphael,
“Mikhael, aku tidak mengikatmu di sini. Bila engkau hen-
dak pergi, pergilah. Bilapun engkau hendak tinggal, aku setia mela-
yanimu di tanahku. Lagi pula, dengan penyerangan yang sudah
engkau lakukan di Tanah Barat ini, sudah sangat membantu
Rephaiem. Hamba-hambaku sudah kembali mendapat tempat di
tanah mereka sendiri. Namun ingatlah dan setialah pada sumpah-
mu, mengenai Tanah Rephaiem Selatan. Sekarang, bila memang
engkau hendak pergi ke Selatan, aku akan turut bersamamu sebagai
tanda perayaan dan penghormatan dari Rephaiem pada Seraphiem.
Aku akan bersamamu di sana sampai tiga Shakta, atau sampai
selesainya perayaan di sana seperti kebiasaan para malaikat.”
Karena itu, bersukalah Mikhael. Ia akan merayakan bangkit-
nya Tanah Selatan. Mikhael telah memikirkan untuk hal itu cukup
lama. Namun ia merasa segan dengan Raphael. Sebab Mikhael
sendiri belum juga melakukan penyerangan ke Kota Derie. Sedang
ia sudah sangat lama membicarakan dan merencanakan penyerang
ke sana. Setelah ia berbincang dengan Raphael dan ia tahu bahwa
Raphael tidak mengikat ia, maka bersukalah ia. Kata Mikhael,
“Raphael, sungguh syukur dan terpujilah Yang Kudus. Se-
bab aku ini hendak pergi untuk merayakan Tanah Selatan. Namun
sebelumnya, aku menyangka engkau tidak akan melepas aku bila
belum aku memenuhi sumpahku. Namun sekarang aku tahu,
bahwa engkau tidak mengikat aku. Maka baiklah aku pergi dan
membebaskan rasa sukacita yang melimpah di dalamku ini. Engkau
berangkatlah dua Shakta setelah keberangkatanku. Supaya aku
mendapat waktu untuk mempersiapkan segala sesuatunya di
Tanah Seraphiem untuk menyambutmu dan mengadakan perayaan
di sana.” Kemudian berkatalah Raphael,
“Bila engkau pandang baik, undang saudara-saudara yang
lain juga, Serael. Mengenai ini, supaya kita semua dapat berkumpul
dan melepas rindu. Jegudiel akan berangkat bersamaku nanti.
Supaya jangan engkau terlalu sibuk, biarlah Jegudiel yang menu-
liskan surat-surat undangan bagimu.” Maka jawab Mikhael,

247
“Tentulah itu sangat baik, Raphael. Baiklah aku akan
berangkat segera.”
Dari Ariar, Mikhael pergi bersama rombongannya dan selu-
ruh Seraphiem di Tanah Barat turut bersamanya. Karena Mikhael
mengundang semua Seraphiem untuk datang dalam perayaan di
Selatan. Sedang saat itu, Raphael dan Gabriel tinggal di Ariar.
Gabriel menulis surat-surat bagi para Agung lain dan mengundang
mereka dalam perayaan di Tanah Selatan, sesuai ijin Mikhael. Para
Rephaiem berangkat untuk membangun Tanah Selatan. Satu Shakta
setelahnya, Mikhael pergi bersama hamba-hambanya. Shakta selan-
jutnya surat-surat undangan telah dikirim oleh para Jegudiem. Lalu
Shakta selanjutnya, Raphael dan Gabriel lepas dari Ariar dan pergi
bertunggang bersama ke Tanah Selatan. Itulah perayaan besar yang
terjadi di masa perang Sorga.
Pada saat hamba-hamba Rephaiem itu lewat Kota Samahnia,
dilihatlah mereka oleh Yehudiel dan Sealtiel. Maka berkatalah
Sealtiel pada Yehudiel, katanya,
“Lihatlah! Para Rephaiem itu berjalan meninggalkan tanah
mereka beramai-ramai. Baiklah aku ingin ke sana mendapati
mereka untuk menayakan apa yang terjadi.” Pula kata Yehudiel,
“Mungkin ada urusan Raphael, hingga diutuslah mereka
semua pergi. Namun baiklah aku juga turut bersamamu, untuk
menanyakan tentang mereka.” Lalu bertungganglah mereka
mendapati rombongan iring-iringan panjang para Rephaiem itu.
Di antara para Rephaiem itu, Yehudiel dan Sealtiel menda-
pati salah satu hamba Rephaiem. Yaitu dia saudara Raphael,
Melhuriel. Maka kata Yehudiel,
“Melhuriel, saudara Raphael yang ada bersamaku dalam
pertempuran di Tanah Barat. Salam bagimu, pembuat kendi minyak
Urapan Allah. Adakah perlumu membawa rombongan ini mening-
galkan Tanah Barat?” Lalu berlututlah hamba itu saat melihat
kedua Agung menghampirinya. Lalu berkatalah Melhuriel itu,
katanya,
“Salam bagi Urapan Allah dan Dupa Allah yang mengha-
rumkan Tanah Altar. Kiranya janganlah tuan menyebut aku sede-
mikian itu. Sebab kendi yang hamba buat tidak sebaik yang tuan

248
katakan. Adalah tuan Raphael yang mengutus kami dari Ariar. Para
Rephaiem dikumpulkan untuk pergi ke Tanah Selatan dan memba-
ngun ulang kota-kota di sana; yaitu kota-kota yang sudah dikuasai
oleh para Seraphiem. Sebab jumlah tanah di Barat, tidak cukup bagi
kami semua, para Rephaiem ini. Maka tuan Raphael selain memba-
ngun ulang Tanah Selatan, ia juga mengosongkan sedikit Tanah
Barat.” Kemudian berkatalah Sealtiel,
“Aku tahu namamu itu. Sebab ada meja di tempatku yang
terbuat dari tanah keras dan namamu tertera di sampingnya. Meja
itu sering aku gunakan untuk menulis surat-surat. Tentulah engkau
sangat ahli dalam mengolah tanah-tanah yang liat. Bila benar
katamu, lantas di mana tuanmu itu?” Lalu jawab Melhuriel,
“Bila memang tuan pandang baik, baiklah tuan-tuan mem-
beri panggilan bagiku. Namun jangan hal itu membuat kepalaku
sampai ke langit, suatu kebanggaan dapat melayani tuan-tuan.
Tuan Raphael akan berangkat nanti setelah rombongan ini. Sebab
tuan Mikhael, tuan Serael itu, mengundangnya dalam perayaan di
Selatan. Tuanku akan berangkat bersama-sama dengan tuan Jegu-
diel dan rombongannya. Pula tuan Serael ada satu Shakta perjalan-
an di belakang kami. Mungkin saat ini ia sudah ada di Tanah Roti.
Sebab sudah hampir tiga Shakta ini kami menempuh perjalanan
sampai ke sini.” Maka kemudian berkatalah Yehudiel,
“Baiklah lanjutkan perjalananmu, Rephai.” Lalu pergilah
Melhuriel dari sana setelah mengucap salam.
Berkatalah Sealtiel pada Yehudiel,
“Serael mengadakan perayaan di Selatan. Tentulah sebentar
lagi kita akan menerima undangannya. Bagaimana dengan hamba-
hambamu di Tanah Altar. Sudah hampir lima Shakta mereka tidak
kembali. Haruskah kita meninggalkan mereka bila surat undangan
Serael datang?” Maka jawab Yehudiel,
“Sabarlah sebentar, saudaraku. Lagipula undangan yang
kita bicarakan ini belum ada di tangan kita. Aku tidak akan me-
nunggu lebih lama lagi. Minyak-minyakku itu akan sangat berguna
dalam pertempuran. Tentu saja hamba-hambaku akan pergi begitu
lama. Sebab tidak mudah untuk menyelinap dan membawa keluar
minyak sebanyak tujuh holosh.”

249
Berdiamlah Yehudiel dan Sealtiel dalam penantian mereka
di Samahnia. Datanglah hamba Yehudi menghadap pada Yehudiel
dan berkata,
“Tuanku, kiranya ampuni hamba ini yang mengganggu
tuan-tuan sekalian. Ada kabar dari Gerbang Altar,tuan.” Maka
bangkitlah segera Yehudiel itu dan ia duduk memperhatikan
hambanya. Kata Yehudiel,
“Kabar apa yang engkau bawa, Yehudi?” Lagi hamba itu
berkata,
“Saudara-saudara yang berjaga di dekat Gerbang Altar dan
yang terus mengarahkan pandangannya ke sana, melihat suatu
perkara. Para Cerubbiem itu naik ke atas tembok dengan membawa
tombak. Lalu mereka menancapkan jubah mereka pada tombak itu
dan membiarkan jubah itu berkibar di sana. Jubah merah itu adalah
milik salah satu saudara Yehudiem yang tuan utus masuk ke Tanah
Altar, tuanku.” Lalu bangkitlah Sealtiel mendengar itu dan ia
berkata,
“Berapa jubah yang mereka gantung di sana?” Kemudian
jawab hamba itu,
“Ada satu jubah saja tuan. Tidak ada lagi yang terlihat. Me-
nurut para pemimpin barisan, mereka telah mengumpulkan suara
untuk memberi saran pada tuan besar, bila tuan pandang baik.”
Lalu kata Yehudiel,
“Apa saran yang hendak disampaikan padaku itu?” Maka
jawab hamba itu,
“Kiranya tuan mau untuk menarik kembali barisan yang
tuan utus masuk ke Tanah Altar itu. Lagipula memang tugas bagi
mereka itu sangat amat berbahaya bagi mereka. Dan itu adalah
tugas pertama yang dilakukan barisan ini. Jangan kiranya langkah
pertama barisan Jhudriem menuai kegagalan, tuanku.” Kemudian
berkatalah Yehudiel,
“Pergi dan sampaikan jawabanku pada para pemimpin ba-
risan itu. Hamba-hambaku tidak akan gagal dalam tugas-tugasnya
dan mereka akan kembali padaku dengan keberhasilan yang terang.
Jhudriem adalah barisan yang muda, namun jangan kamu meng-
anggap rendah padanya. Mereka yang telah masuk dalam Tanah

250
Altar itu akan keluar setelah mereka selesai. Lagipula, aku akan
menyetujui saran yang diberikan itu, bila ada seorang Yehudi yang
maju ke hadapanku dan bersedia untuk menyelinap masuk ke
Gerbang Altar, untuk memberitahukan pada hamba-hambaku yang
ada di sana supaya mereka membatalkan tugasnya.” Pergilah
hamba itu dari hadapan Yehudiel.
Kemudian berkatalah Sealtiel pada Yehudiel,
“Saudaraku, hamba-hambamu memang dalam bahaya saat
ini. Lihatlah salah satu dari mereka telah tertangkap oleh para
Cerubbiem yang maniak itu.” Lalu jawab Yehudiel,
“Hanya satu dari antara hamba-hambaku. Masih banyak
dari mereka yang tidak tertangkap di dalam sana. Aku kira, dia
yang tertangkap itu telah melakukan kesalahan di dalam menjalan-
kan tugasnya. Bila para Cerubbiem menghancurkannya, maka ia
hancur sebagai pejuang Sorga.” Maka berkatalah Sealtiel,
“Engkau telah mengorbankan hamba-hambamu demi mi-
nyak itu. Apa yang engkau cari dari pada minyak-minyak itu,
Yehudiel? Aku tidak pernah benar-benar mengerti tentang itu.”
Kemudian Yehudiel bangkit dan mengambil satu tanduk minyak
yang masih ada padanya. Lalu kata Yehudiel,
“Ini adalah minyak sisa yang ada padaku. Minyak ini untuk
mengurapi malaikat yang hendak masuk ke Altar di Gerbang
Vertus. Dengan minyak ini, seorang malaikat yang payah akan
segar kembali dan dapat kuat melakukan ibadah. Hanya butuh satu
tuangan ke atas kepala dan ia akan segar kembali. Sedang minyak
yang saat ini sedang diambil oleh hamba-hambaku itu, adalah
minyak yang kugunakan untuk mengurapi Malaikat Agung, juga
beberapa malaikat pembesar. Minyak itu lebih menyegarkan dari
pada air. Seorang malaikat yang terluka, dapat kembali segar dan
tidak merasa sakit dengan minyak itu. Tidakkah engkau tahu, Seal-
tiel, Dupa Allah? Dengan minyak yang seperti itu, barisan tentara
Sorga akan semakin kuat, saudaraku.” Maka kemudian terdiamlah
Sealtiel.
Tidak lama setelahnya, datanglah dua orang penunggang
Jegudiem masuk dalam Samahnia menggunakan jubah-jubah biru
dan penjepit jubah mereka dari batu permata hijau. Tahulah para

251
malaikat yang melihat mereka, bahwa kedua Jegudiem itu memba-
wa surat bagi para Agung. Kemudian pergilah dua orang itu meng-
hadap Yehudiel dan Sealtiel. Mereka menyerahkan surat pada para
Agung. Berkatalah Yehudiel,
“Tentulah ini surat undangan dari tuan Serael. Hei Jegudi, di
mana tuan Serael sekarang? Adakah ia sudah masuk dalam Tanah
Jegudiem?” Lalu kata Jegudi itu,
“Ampuni hamba bila hamba tidak mengetahuinya, tuanku.
Namun kami diutus tuan Jegudiel dari Ariar, membawa surat ini
satu Shakta setelah tuan Serael. Namun kami diperintahkan untuk
bertunggang cepat-cepat. Maka kami telah mendahului rombongan
tuan Serael satu Shakta yang lalu, saat kami ada di perbatasan
Tanah Roti. Rombongan tuan Serael berjalan lamban, tuanku.
Mungkin mereka akan lewat di daerah ini satu Shakta lagi.” Maka
pergilah hamba itu dari sana untuk kembali pada Gabriel.
Pada waktu itu memang Mikhael masih dalam perjalanan-
nya. Setelah lepas dari Tanah Roti dan memasuki daerah Tanah
Api, Mikhael berkata,
“Baiklah dari pada kita harus melalui jalur selatan, sebaik-
nya kita lewat tengah saja. Kita akan masuk ke Jarinia dan terus ke
timur. Aku bosan masuk ke Tanah Yehudiem melalui Eranoth. Kita
akan masuk Tanah Yehudiel dari Dekerdj-Zem.” Maka dari Jalur
Baluria, rombongan itu mengambil jalur masuk dalam kota, tidak
melalui jalur selatan yang dekat Samahnia.
Kira-kira di Shakta yang sama saat Mikhael lepas dari Tanah
Roti, pada waktu itu, Ammatiel sampai ke perbatasan Utara. Perja-
lanannya dari Gerana ditempuh dalam waktu hanya empat Shakta.
Perjalanan yang dikebut dan tanpa berhenti. Dia dan seluruh rom-
bongannya datang ke Kota Haruia dengan membawa Gambariel,
pembawa pedang Gemmiril itu. Adapun para Agung telah menja-
wab surat-surat Raziel tentang barisan para pengintai, barisan
Durigo itu. Maka saat sebelum Ammatiel sampai ke Kota Haruia,
Raziel telah mengirim para pengintai masuk ke Tanah Utara
dengan diam-diam untuk memata-matai barisan Luciel yang di
Utara. Kemudian Raziel berdiam di Kota Haruia dan menunggu.

252
Tengah Raziel menunggu kabar dari para pengintai, tiba-
tiba terdengar sangkakala dari arah selatan. Bangkitlah Raziel dan
ia tahu bahwa itu adalah sangkakala Drenthiriem dari barisan
Busur Besar. Raziel sangat hafal dengan barisan-barisan itu, karena
memang barisan itu yang selalu bersama dengan Ammatiel dan
menjadi pengawal Ammatiel. Berlarilah Raziel turun dari atas
gunung kota untuk mendapati Ammatiel. Ia berlari dengan sangat
bersuka dan Ammatiel tahu bahwa saudaranya berlari menda-
patinya. Turun pula Ammatiel dari kereta tariknya dan berlari
menyambut Raziel. Mereka bertemu tepat di gerbang kota dan
saling berpeluk di sana. Kata Raziel,
“Sungguh aku seperti gulungan tanpa pengaitnya. Selama
engkau pergi aku ini seperti gulungan panjang yang tidak dapat
digulung karena engkau adalah pengaitku. Salam bagimu, Rupa
Allah, penguasa Tanah Rumput Hijau.” Lalu kata Ammatiel,
“Aku juga merindukanmu, saudaraku. Memang di saat
yang seperti ini, terpisah sebentar saja terasa begitu lamanya. Sa-
lamku juga bagimu, Hikmat Sorga yang menyimpan beribu rahasia.
Aku membawa apa yang kita cari.” Maka masuklah mereka segera
ke dalam kota.
Raziel dan Ammatiel membahas banyak hal di sana.
Dimulai dengan membahas tentang Gambariel, di sanalah Raziel
pertama kali bertemu dengan Gambariel itu. Kemudian Raziel
membahas tentang barisan Durigo yang telah ia utus untuk me-
ngintai. Saat itu mereka sudah membahas kesiapan mereka untuk
maju menyerang. Tengah para Agung di sana berbincang-bincang,
datanglah penunggang Jegudi membawa surat ke sana, satu Shakta
setelah kedatangan Ammatiel. Itulah surat undangan dari Gabriel
yang mengundang para Agung untuk datang dalam perayaan
Tanah Selatan. Maka kemudian berkatalah Raziel,
“Bagaimana mungkin Serael mengadakan perayaan di saat
yang seperti ini? Perbatasan Utara harus tetap dijaga dan barisan
musuh yang di Utara itu bukanlah sembarangan. Yang kita hadapi
di sini bukan sekedar Legiun di Tanah Selatan. Aku mengharap
Serael lebih mengetahui tentang itu dari pada aku. Ammatiel,
bagaimana pendapatmu tentang ini?” Ammatiel masih meneruskan

253
membaca surat yang di tangannya. Kemudian berkatalah ia,
katanya,
“Jangan tergesa-gesa mengatakan hal-hal seperti itu, Raziel.
Lebih baik bagi kita menunggu dahulu. Kita akan menunggu kabar
dari barisan Durigo. Bila memang barisan Luciel masih tenang dan
tidak ada tanda-tanda hendak menyerang Tanah Timur, atau hen-
dak masuk ke Tanah Uriem, maka akan aman bagi kita untuk me-
menuhi undangan ini. Namun bila memang barisan Luciel sudah
siap untuk pertempuran, maka kita tidak akan datang ke Selatan.
Gambariel juga belum mengangkat suara untuk memanggil barisan
Ur-Bagha. Kita masih bisa menunggu.” Lalu berkatalah Raziel,
“Kita telah bersusah payah mengerjakan semua ini, saudara-
ku. Serael terlalu lama berdiam di Tanah Barat. Yang ada padanya
hanya Tanah Barat dan Selatan saja. Seharusnya dia itu lebih
mengetahui, bahwa musuh utama kita ada di Utara. Bukankah
barisan Seraphiem yang harus ada di barisan depan. Namun seka-
rang lihatlah! Drenthiriem, Rendurum, barisan kecil dari Timur
yang harus menjaga perbatasan dengan musuh utama. Urbaraniem
telah menarik garis pertahanan mereka dan meninggalkan perba-
tasan Utara karena takut serangan hebat Luciel. Baghaniem masih
berdiam diri dan menanti saudara utaranya itu. Bila bukan engkau
yang berbicara padaku, Ammatiel, tentulah aku sudah menumpah-
kan murkaku. Baiklah aku menghormati usulanmu dan akan
menunggu di sini.”
Di saat yang bersamaan, Uriel dan Bart-Archiel ada dalam
kekosongan kegiatan. Barisan Ur-Bagha telah usai mereka persi-
apan dengan berbagai macam pelatihan yang berat dan sudah
dianggap siap dan baik. Mereka mempersiapkan barisan untuk
penyerangan ke Tanah Utara, ataupun untuk mempertahankan
Tanah Utara Tengah dari barisan Luciel. Duduklah mereka karena
tidak ada pekerjaan yang mereka lakukan. Bart-Archiel sendiri
sudah lama menghimbau pada Uriel supaya mendukungnya maju
merebut Tanah Altar. Namun Uriel selalu menolak, karena Uriel
lebih memilih untuk berdiam tentang Tanah Altar. Sebab memang
para Agung lain juga memutuskan untuk mendiamkan Tanah Altar
dan akan diurus setelah berbagai pertempuran selesai.

254
Datanglah hamba Uriem dari Kota Alrius untuk menghadap
pada Uriel. Saat Uriel duduk bersama Bart-Archiel, datanglah
hamba-hamba itu bersujud di hadapan para Agung. Kemudian
berkatalah salah satu Uri itu, katanya,
“Salam bagi tuan Uriel Api Allah dan tuan Bart-Archiel ber-
kat dari Utara. Tuanku Uriel, kami membawa kabar dari perbatasan
sebelah barat. Mengenai Eiglanar yang menduduki Kota Taruror.
Kami melihat mereka mengunjungi Argoth dan Ligoth. Mereka
memberi banyak-banyak pemberian pada hamba-hamba di sana
berupa batu-batu yang baik dan kendi-kendi api. Seperti yang
sudah diketahui, Ekhinel, pemimpin mereka itu menyatakan perda-
maian antara Eiglanar dan Uriem. Namun kami hamba-hambamu
yang berdiam di Alrius, di Argoth dan di Ligoth telah sepakat
untuk mengadakan permusuhan dengan mereka. Tetap saja, kami
memohon keputusan dari tuan tentang ini. Sebab mereka itu bukan
bagian dari Sorga dan kami tidak bisa berdiam diri bila mereka
menduduki Taruror, tuanku. Kiranya tuan pandang baik, berilah
perintah pasti bagi kami tentang mereka ini. Supaya kami pun
menjadi tenang.” Kemudian berkatalah dengan geram Uriel dan
menjawab, katanya,
“Tidak ada urusanmu dengan mereka dan tidak ada hakmu
untuk mengadakan permusuhan dengan mereka. Memang aku ini
memilih berdiam dahulu tentang Eiglanar itu. Lagipula, tuan
Raphael sudah menceritakan tentang mereka padaku dan mereka
itu sangat baik dalam mempertahankan Daria dari barisan Repha-
iem. Aku tidak ingin kamu, hamba-hambaku menjadi korban dalam
pertempuran hanya untuk memperebutkan Taruror, tempat mereka
itu. Bukankah aku juga telah mengosongkan kota itu demi kea-
manan suku ini? Bila mereka hendak berdiam di sana, biarkan saja.
Ada kemungkinan barisan musuh dari Utara akan menyerang dari
sebelah barat. Maka biarlah Luciel mendapati mereka dan memban-
tainya. Tidak perlu kita, para Uriem direpotkan dengan barisan
kecil di perbatasan barat itu. Bila mereka mengadakan perdamaian
antara mereka dengan kita, baiklah kita terima itu sebagai hormat
atas keputusan mereka. Namun kita akan tetap mengawasi mereka

255
dan siap juga menghadapi mereka bila memang mereka mengingin-
kan pertempuran.
Kamu kembalilah ke Alrius dan katakan pada tua-tuamu di
sana. Mereka tidak memiliki hak untuk bersepakat mengadakan
permusuhan. Akulah tuan atas tanah ini. Akulah yang memiliki hak
untuk mengadakan permusuhan dengan mereka. Aku tahu mereka
bukan bagian dari Sorga, namun mereka itu tidak mencari masalah
dengan kita. Maka baiklah kita tetap mengarahkan pandangan kita
pada mereka yang mencari masalah dengan kita, yaitu barisan
Luciel di Utara.”
Maka terdiamlah mereka semua dan ketakutan mendengar
Uriel berbicara seperti itu. Kemudian bangkitlah Bart-Archiel dan
menenangkan Uriel yang geram dengan hamba-hambanya itu.
Sebab memang Uriel tidak pernah memikirkan tentang Ekhinel
yang menduduki kota di tanah kekuasaannya. Uriel tidak memper-
masalahkan itu, karena memang barisan Eiglanar itu tidak menye-
babkan kerugian apa pun pada suku Uriem. Malahan Uriel merasa
diuntungkan dengan keberadaan barisan Eiglanar di Taruror, sebab
barisan itu juga menjaga perbatasan sebelah barat.
Kemudian berkatalah Bart-Archiel,
“Tenanglah sebentar, saudaraku. Lihatlah apimu mengelu-
arkan asap yang memenuhi ruangan ini. Sebentar lagi aku tidak
dapat melihat apa-apa karena asapmu itu. Lagipula hamba-hamba
ini hanya memohon keputusan yang pasti darimu.” Maka
kemudian berkatalah Uriel,
“Aku memutuskan supaya kamu menerima perdamaian itu
sebagai bentuk penjagaan ketenangan di Tanah Uriem. Aku tidak
melarang kamu bergaul dengan mereka atau membalas pemberian
mereka. Juga segala pemberian mereka itu harus kamu periksa de-
ngan seksama. Dengan ini aku memerintahkan kamu untuk ber-
diam tentang Taruror ataupun kegiatan barisan Eiglanar di Tanah
Uriem, selama mereka tidak merugikan suku Uriem dan tidak
melanggar kota-kota yang kamu diami. Mereka bukan musuhmu,
namun juga bukan kawan atau saudaramu. Dan ingatlah ini,
supaya bila mereka memulai pertikaian di antara kamu, maka harus
kamu memberi kabar padaku dan aku akan memutuskan apa yang

256
akan menjadi tindakanmu untuk menanggapi perbuatan mereka.”
Lalu hamba-hamba itu menulis semua keputusan Uriel itu dan
Uriel memberi tanda pada surat itu. Supaya sah bahwa itu benar-
benar keputusan Uriel sendiri.
Setelah itu para Uriem itu mengeluarkan gulungan berisi
laporan mereka. Lalu berkatalah lagi Uri yang berbicara pada Uriel,
katanya,
“Kiranya masih ada kasih tuan bagi kami, ampunilah kami,
tuanku. Segala yang tuan katakan itu akan kami sampaikan pada
saudara-saudara yang lain. Mengenai laporan kami tentang Taruror
sudah kami tulis dalam gulungan ini, bila tuan hendak memerik-
sanya nanti. Adapun ada hal lain yang masih ingin kami sampaikan
pada tuan. Barisan Eiglanar itu telah melakukan penambangan batu
di sisi selatan Gunung Lartoth. Mereka mengambil batu-batu dari
pinggiran Ligoth dan membawa batu-batu itu ke sisi utara Gunung
Lartoth. Di sana mereka membangun tembok dan kota baru sebagai
pertahanan. Sekiranya tuan mengetahui tentang ini, maka kami
sudah tenang. Syukur pada Yang Terang.” Lalu pergilah hamba-
hamba Uriem itu dari sana dan kembali ke Kota Alrius.
Karena peristiwa itu, Bart-Archiel seperti menemukan peng-
hiburannya. Karena lelah memikirkan Tanah Altar, Bart-Archiel
beralih memikirkan tentang Kota Taruror dan pertahanan Eiglanar
di kaki Gunung Lartoth. Setelah hamba-hamba Uriem itu pergi,
Uriel masih banyak bicara dan menggerutu karena perbuatan
hamba-hambanya yang ada di Alrius itu. Kemudian berkatalah
Bart-Archiel,
“Uriel, sudahlah. Lagipula engkau sudah memerintahkan
hamba-hambamu itu untuk berdiam dan mereka tidak akan
mengulangi perbuatan mereka yang tidak engkau pandang baik itu.
Sekarang ini kita tidak memiliki kegiatan yang pasti dan barisan Ur-
Bagha hanya berjaga di tanah ini. Baiklah mari kita pergi berkun-
jung sebentar saja ke Taruror untuk melihat bagaimana keadaan
kota itu sekarang. Aku juga penasaran tentang barisan Eiglanar.”
Terdiamlah Uriel memikirkan itu. Maka lagi kata Bart-Archiel,
“Bagaimana, saudaraku? Aku juga ingin melihat apakah Ekhinel itu
akan tunduk pada Harganiem-Leon. Sebab bukankah kata Raphael,

257
Ekhinel itu juga membawa salah satu pedang berkuasa?” Maka
kemudian berkatalah Uriel,
“Bart-Archiel, engkau ini memang ada berdiam di Tanah
Uriem bersama hamba-hambamu. Namun bukan berarti engkau
harus menaruh hormat secara penuh padaku. Hingga apa saja yang
hendak engkau perbuat, engkau katakan dahulu kepadaku. Bila
engkau hendak pergi, pergilah, tidak perlu ada ijin dariku.” Lalu
tertawalah Bart-Archiel dan Uriel di sana.
Maka Bart-Archiel berkata,
“Aku tidak memohon ijin darimu, penguasa Tanah Utara
Tengah. Mengenai Tanah Altar, aku tidak memohon ijin padamu,
namun memohon supaya engkau mendukung aku untuk merebut
Tanah Altar. Lalu kemudian tentang Taruror ini, aku tidak berpamit
padamu, namun aku mengajak engkau untuk pergi bersama-sama
dengan aku.” Maka jawab Uriel,
“Aku tahu, saudaraku. Baiklah bila demikian, mari persiap-
kan untuk kepergian kita ke sana. Sebaiknya kita membawa barisan
untuk berjaga-jaga bila-bila barisan Eiglanar itu hendak menghabisi
kita saat kita ada di padang.” Maka bersiaplah Uriel dan Bart-
Archiel. Mereka hendak mengadakan kunjungan ke Taruror dan
menemui Ekhinel.

Waktu berlalu dan Shakta berganti. Adapun Mikhael telah


sampai di Tanah Allah. Ia berhenti di perbatasan Tanah Allah dan
Tanah Seraphiem. Mikhael hanya berdiam saja di atas tunggang-
annya dan hamba-hambanya menanti ia. Kemudian berkatalah
Mikhael,
“Telah tiba saatnya. Sudah sangat amat lama sekali aku
tidak berada di tanahku sendiri. Sekarang aku kembali pada
tanahku dan pada hamba-hambaku, Seraphiem.” Kemudian
Mikhael mencabut pedangnya dan ia berseru,
“Serael telah kembali! Seraphiem! Bangkitlah dan sambut
tuanmu yang telah ditetapkan bagimu. Barisan para pemenang
kembali pada tuannya. Tuan atas tanah pun akan pulang kembali
pada tanahnya yang telah lama ditinggalkan. Seraphiem! Itulah
hukum bagimu dan jangan lagi kamu mengulangi kesalahanku di

258
masa lampau. Jangan tinggalkan tanahmu, sekalipun berlaksa-laksa
barisan berusaha mengambilnya darimu, berjuanglah dan pertahan-
kan tanah rumahmu di Selatan ini! Bilapun kamu hancur dalam
mempertahankannya, kamu hancur dalam kesetiaan pada Sorga!”
Maka bersoraklah para Seraphiem itu dan mereka meniup-niup
sangkakala dan bersorak memuji Allah dan menaikkan syukur
sambil berjalan masuk perbatasan Tanah Seraphiem.
Di daerah Pohon Serael, para pembesar Seraphiem yang ada
di Tanah Selatan dan juga para pemimpin barisan Seraphiem ber-
kumpul. Mereka sudah menanti Mikhael di sana dan siap menyam-
but tuan mereka. Saat Mikhael dan rombongannya sampai di sana,
bersoraklah mereka menyambut Mikhael. Sangat meriah sambutan
di sana dan tawa sukacita memenuhi Padang Luas Selatan. Mikhael
memeluk Mondrael dan Gelabriel, ia melepas rindunya. Juga Min-
druel dan Mirkandruel melepas rindu bersama saudara-saudara
mereka dan hamba-hamba mereka. Pertemuan mereka di sana
penuh dengan rindu dan sukacita.
Di tengah keramaian pertemuan di sana. Mikhael melihat
Mahanael berdiri di tengah keramaian dan mengenakan jubah kain
yang baik. Pedang Maharganim ada pada kedua tangannya. Ujung
pedang itu menancap di tanah dan kedua tangan Mahanael ada
bersandar di atasnya. Mikhael berjalan pada Mahanael. Berlututlah
Mahanael dengan memegang pedangnya itu di depan Mikhael.
Lalu terdiamlah para Seraphiem memperhatikan pertemuan
Mikhael dan Mahanael di sana. Lalu Mikhael berkata,
“Aku mengenalmu, malaikat Selatan! Ya, aku tahu siapa
engkau. Bangkitlah Mahanael!” Mikhael lalu menarik tombak
pusakanya, Arkhe-Leon, dan ia menodongkan tombaknya ke depan
wajah Mahanael, serta berseru,
“Inilah Mahanael yang telah merebut Tanah Selatan bagiku.
Ya, dialah pengayun pedang dari Selatan itu. Aku berkata padamu,
Seraphiem! Engkau juga, Mahanael, sedengkan telingamu pada per-
kataanku: Mulai saat ini lepaslah engkau dari segala sumpahmu!
Pedang Maharganim telah membayar sumpah yang diucapkan
tuannya bersama dengan tuannya itu. Maka luputlah kamu dari
segala celaka sumpahmu! Sebab sudah penuh sumpahmu itu dan

259
telah digenapi. Duduklah dalam mejaku dan aku akan menjamu-
mu di tanahku, yang telah engkau ambil dari musuhku. Aku akan
mengingat engkau dan segala perbuatanmu ini sebagai kemena-
ngan Seraphiem. Mulai saat ini engkaulah tuan atas Maharganim,
sepenuhnya. Setialah pada Sorga dan tunduklah pada tuan-tuan
Malaikat Agung dan hukum-hukum Sorga! Sembahlah Yang
Terang sebagai Allahmu! Dan ingatlah, ada tuan dari semua
pedang, Harganiem-Leon tunduklah pula padanya seperti yang
sudah ditetapkan Yang Sulung. Aku tuanmu dan mulutku sendiri
mengakui engkau sebagai hambaku yang setia dan berhasil!”
Kemudian para Seraphiem yang di sana menundukkan kepala dan
memberi hormat pada Mahanael. Dari sana mereka berjalan
bersama-sama ke Kota Serael.
Di saat para Seraphiem telah merayakan kembalinya tuan
mereka di Selatan, Raphael dan Gabriel sudah dalam perjalanan
mereka menyusul Mikhael ke Selatan. Saat dalam perjalanan,
berkatalah Raphael pada Gabriel, katanya,
“Baiklah kita akan singgah di Samahnia untuk peristirahatan
yang selanjutnya. Barangkali Yehudiel dan Sealtiel saudara kita itu
masih ada di sana.” Maka berjalanlah mereka ke Samahnia saat
sudah masuk di Tanah Jegudiem. Dalam perjalanan itu Raphael
menulis surat lagi bagi Uriel, untuk meyakinkan bahwa Uriel harus
datang dalam perayaan di Tanah Selatan. Sedang waktu Yehudiel
dan Sealtiel masih menanti Mikhael. Mereka tidak tahu bahwa
Mikhael dan rombongannya melalui jalan Dekerdj-Zem, maka
mereka menunggu Mikhael di Samahnia.
Pada saat sebelum itu, Uriel dan Bart-Archiel menerima
surat undangan perayaan Tanah Selatan. Mereka adalah yang
terakhir menerima surat undangan itu. Sebab surat undangan
mereka dibawa oleh hamba yang sama yang mengirim pada Raziel
dan Ammatiel. Saat Uriel dan Bart-Archiel menerima surat unda-
ngan itu, mereka ada bersama hamba-hambanya di tanah luas
sebelah utara Kota Uriel, dekat dengan Kota Elli. Pada saat itu Kota
Elli telah dikosongkan oleh Uriel dan memindahkan segala yang
penting dari sana ke Kota Uriel. Di sanalah Uriel dan Bart-Archiel
menerima dan membaca surat undangan Mikhael.

260
Pada waktu itu mereka berkumpul di tanah luas untuk
suatu kunjungan yang direncanakan Uriel dan Bart-Archiel, tujuh
Shakta sebelumnya. Sebenarnya barisan Ur-Bagha saat itu sudah
memenuhi kesiapan untuk maju ke Utara. Namun Uriel dan Bart-
Archiel masih menahan diri. Karena dengan berbagai pertim-
bangan, mereka memilih untuk menahan batas Tanah Utara
Tengah, yaitu Tanah Uriem. Dengan mereka menahan Luciel tetap
di Utara, sudah sangat cukup bagi pihak Sorga. Juga Uriel masih
menghormati saran-saran Raphael yang selalu menyuratinya. Yaitu
supaya Uriel menunggu barisan Rephairiem bila hendak maju ke
Utara.
Uriel dan Bart-Archiel saat itu hendak berangkat ke Taruror
untuk berkunjung sesuai rencana mereka. Namun karena surat
undangan itu, berkatalah Bart-Archiel,
“Ini sungguh suatu kabar yang gembira. Sudah lama sekali
rasanya aku tidak datang dalam perayaan yang besar, Uriel.”
Kemudian jawab Uriel,
“Ya, benar apa katamu itu. Akan menyenangkan bila
saudara-saudara yang lain juga datang dan kita dapat berkumpul
bersama.” Lalu mereka terdiam dalam kesukaan. Namun teringat-
lah mereka, bahwa mereka harus menjaga perbatasan Tanah Utara.
Maka kata Uriel,
“Bart, bila kita pergi ke Selatan, masakan kita ini akan
meninggalkan perbatasan? Bagaimana bila Luciel tiba-tiba menye-
rang saat kita tidak ada di sini?” Kemudian kata Bart-Archiel,
“Tenanglah dahulu, saudaraku. Hikmat telah turun padaku
sebelum engkau berkata. Bukankah Raziel dan Ammatiel telah
membangun pertahanan mereka di sebelah timur? Raziel telah
membangkitkan barisan para pengintai hebatnya itu. Baiklah kita
menulis surat padanya, untuk menghimbaunya mengirim para
pengintainya dan melihat keadaan barisan Luciel di Utara. Bila
keadaannya aman dan tidak ada tanda-tanda bahwa barisan
mereka hendak menyerang, maka kita dapat pergi ke Selatan
dengan tenang. Aku yakin Raziel dan Ammatiel juga menerima
surat undangan seperti yang kita terima ini. Mereka akan setuju
dengan himbauan kita.” Lalu jawab Uriel,

261
“Mungkin itu memang cara yang sangat baik, saudaraku.
Baiklah mari kita buat demikian dengan segera. Apalagi pengin-
taian itu tidak akan berlangsung dengan cepat. Akan semakin lama
kita menunggu hasilnya bila menunda rencana ini.” Itulah
perencanaan Uriel dan Bart-Archiel. Namun mereka tidak tahu,
bahwa Raziel sudah mengirim pengintainya sebelum mereka
memikirkan semua itu.
Karena sukacitanya, Uriel dan Bart-Archiel segera menulis
surat himbauan pada Raziel di atas tunggangan mereka dan segera
mengirimnya melalui hamba Bartarchi. Karena mereka tidak ingin
menunggu lama dengan mencari seorang Jegudi untuk mengirim
surat itu. Lalu berkatalah Bart-Archiel pada Uriel setelah surat itu
dikirim, katanya,
“Nah, sekarang sambil kita menunggu surat jawaban Raziel
dan juga hasil pengintaian yang masih lama itu, mari kita pergi.
Tentu sangat cukup waktu bagi kita untuk mengunjungi Taruror.
Sekalipun surat undangan Serael ini sangat membuat aku bersema-
ngat, namun aku masih saja penasaran dengan Ekhinel dan
barisannya itu.” Dari sana pergilah mereka dengan membawa kira-
kira tujuh ratus barisan lebih ke Taruror, untuk suatu kunjungan.
Beberapa saat, tibalah Raphael dan Gabriel di Samahnia.
Dari kejauhan, para Jegudiem di sana sudah melihat dan menge-
tahui bahwa Gabriel ada di sana. Maka bersoraklah mereka dan
menjadi ramai suasana seketika itu juga. Para Jegudiem keluar dari
kota dan berlarian melalui perkemahan Yehudiem dan mereka
menyambut Gabriel di sana. Karena keramaian itu, para Yehudiem
pun turut menyambut Raphael dan Gabriel yang tiba di sana.
Yehudiel dan Sealtiel tengah duduk di dalam ruangan
mereka. Berkatalah Sealtiel pada Yehudiel,katanya,
“Yehudiel, keramaian apa yang terjadi di luar itu? Mengapa
para Jegudiem ini begitu ribut sekali?” Maka bangkitlah Yehudiel
melihat keluar melalui jendela ruangan itu. Dilihatnya keadaan kota
itu sangat ramai dan para Jegudiem menggelar kain-kain di jalan
kota. Lalu berkatalah Yehudiel,
“Mereka melakukan penyambutan, Sealtiel. Mungkin Serael
sudah tiba. Mari, lekaslah! Kita harus bersiap-siap. Saudara-saudara

262
kita ada di sini saat ini.” Maka segeralah mereka bangkit dan
mengenakan kain yang baik-baik lalu keluar untuk menyambut.
Saat mereka keluar, nampaklah dua Malaikat Agung
bertunggang di tengah keramaian sorak sorai para Jegudiem dan
Yehudiem di kota itu. Namun bukan Mikhael yang mereka lihat,
melainkan Raphael dan Gabriel itu. Terkejut mereka, namun tetap
saja bersukacita menyambut saudara-saudaranya itu. Para Jegu-
diem di sana bersorak sorai, katanya, “Jegudiel pemimpin Jegadu-
riem yang bertempur di Tanah Barat. Sungguh barisan tuanku itu
bersanding bersama barisan Seraphiem dan Rephaiem yang gagah
perkasa.” Sungguh ramai sambutan itu dan para Jegudiem di sana
melempari Raphael dengan daun dan kembang, kata mereka,
“Raphael, Raphael yang membangun! Dialah yang memimpin
Rephairiem dan mempertahankan Tanah Altar!”
Bertemulah para Agung di Samahnia dengan keramaian itu.
Saat saling memandang, turunlah Raphael dan Gabriel dari tungga-
ngannya dan berlari mendapati Yehudiel dan Sealtiel. Begitupula
Yehudiel dan Sealtiel berlari menyambut saudaranya. Mereka
saling berpeluk dan mengucap salam. Masuklah mereka dalam
rumah kerja yang digunakan Yehudiel dan Sealtiel sebagai tempat
berdiam. Kemudian berkatalah Yehudiel di sana,
“Saudara-saudaraku, kamu datang padaku dan pada Sealtiel
di sini. Namun aku ini tidak memiliki kuasa apa pun untuk
menjamu kamu di sini. Kiranya bila sudah tiba saatnya, aku sendiri
yang akan menjamu kamu di Tanah Altar dengan anggur yang dari
Gruined.” Maka kemudian Gabriel memeluk Yehudiel dan katanya,
“Ampuni aku yang tidak menyambutmu di tanahku,
saudara-saudaraku. Karena kamu sudah tiba sebelum aku. Kiranya
ampuni aku atas keterlambatan ini. Mari, biarlah saudaramu yang
masih muda ini menyambutmu dalam kebiasaan Jegudiem.” Maka
duduklah mereka dan Gabriel mengadakan jamuan biasa di sana
bagi para Agung. Memang tidak biasanya para Agung berjamu
dalam jamuan biasa. Namun karena masa perang yang membuat
anggur dan roti sulit didapat, maka mereka berjamu seadanya.

263
Setelah berbincang-bincang banyak, Raphael bangkit dari
tempatnya. Ia mengambil roti dan anggur dari kereta tariknya.
Kemudian katanya,
“Saudara-saudaraku, seharusnya aku melakukan ini sejak
tadi. Namun ini adalah anggur dan roti untuk perayaan di Selatan.
Tidak ada salahnya bila kita mencicipinya sedikit terlebih dahulu,
sebelum ini sampai di Selatan.” Berubahlah jamuan itu menjadi
jamuan para Agung yang meriah. Mereka tertawa dan melepas
rindu di sana.
Mulailah Raphael berbicara para Yehudiel, katanya,
“Kita tidak dapat berlama-lama di sini, Yehudiel. Perayaan
yang sebenarnya ada di Tanah Selatan, Kota Serael. Mari segeralah
engkau dan Sealtiel bersiap. Aku akan mempersiapkan kereta tarik
bagimu berdua. Bawalah barang-barangmu seperlunya dan persi-
apkan rombonganmu. Lebih baik bila kita pergi bersama-sama.”
Kemudian terdiamlah Yehudiel dan ia duduk di dekat pintu. Lalu
berkatalah Yehudiel, katanya,
“Aku telah mengutus hamba-hambaku pergi menyusup ke
Tanah Altar, seperti yang kubicarakan padamu sebelumnya.
Namun sungguh ini sudah hampir tiga belas Shakta mereka tidak
kembali. Aku tidak berani meninggalkan kota ini sebelum melihat
hamba-hamba itu lagi. Sebab aku ini merasa telah mengirim mereka
dalam bahaya yang besar.” Maka kemudian berkatalah Raphael,
“Bagaimana dengan jubah yang engkau mohonkan padaku?
Adakah hamba-hambamu itu mengenakannya?” Maka jawab
Yehudiel,
“Tentu saja aku memerintahkan mereka mengenakan semua
itu. Bahkan saat yang lalu, di atas Tembok Altar, para Cerubbiem
menancapkan salah satu jubah itu dan mengibarkannya. Sekalipun
hanya satu jubah, aku tidak tahu pasti berapa hambaku yang sudah
tertangkap di dalam sana.” Lalu Raphael berkata,
“Aku tahu apa yang engkau rasakan itu, saudaraku. Jubah
yang kuberikan padamu untuk penyusupan ini adalah jubah dari
kain berbahan sama dengan jubah Altar. Para Cerubbiem tidak
akan menyangka dan mendapati bahwa ada hamba-hambamu yang
menyusup di antara mereka. Lagipula, bila memang benar-benar

264
ada hambamu yang tertangkap, tidak mungkin para Cerubbiem itu
hanya mengibarkan jubahnya. Aku tahu bagaimana para Cerub-
biem itu memperlakukan barisan Ur-Bagha dan barisan Rendurum
di sana. Mereka sangat kejam. Bila ada hambamu yang tertangkap,
tentu mereka akan membuang tubuh hambamu dari atas tembok
sebagai tanda bagimu dan sukumu. Mungkin itu hanya akal-akalan
dari Bartus-Mindrel itu. Jangan terlalu berat engkau memikirkan-
nya. Berapa banyak minyak yang engkau minta untuk hamba-
hambamu bawa?”
“Tujuh Holosh. Juga beberapa lusin tanduk rusa.” Jawab
Yehudiel. Terheran Raphael mendengar jumlah yang disebutkan
Yehudiel itu. Maka kemudian kata Raphael,
“Tujuh Holosh, adalah jumlah yang tidak masuk di pikiran-
ku, Yehudiel. Bila hamba-hambamu mengambilnya dari gerbang
depan, aku tidak akan heran. Namun mereka ini menyusup dan
harus membawa keluar minyak selundupan sebanyak itu? Aku kira
engkau tidak dapat menunggunya dalam hitungan Shakta. Mereka
akan kembali dalam satu atau dua Sherta lagi, saudaraku.”
Kemudian datanglah Sealtiel dan Gabriel pada mereka dan
turut dalam perbincangan itu. Raphael menceritakan pada Gabriel
tentang hamba-hamba Yehudiem yang diutus Yehudiel masuk ke
Gerbang Altar. Namun Gabriel tidak terheran, karena ia tidak tahu
betapa sulitnya melakukan hal yang sedemikian itu. Karena Gabriel
sendiri tidak pernah berurusan dengan minyak-minyak atau penya-
maran. Namun bagaimana pun juga, Raphael, Sealtiel dan Gabriel
tetap meyakinkan dan menguatkan Yehudiel. Sampai berkatalah
Gabriel,
“Yehudiel, tentulah hamba-hambamu itu akan berhasil.
Seperti yang dikatakan Raphael, tidak mudah melakukan tugas
yang engkau berikan itu. Lagipula sekalipun aku tidak mengerti
banyak, namun tujuh Holosh adalah jumlah yang sangat amat
banyak sekali. Tidak perlu engkau menunggu mereka bila engkau
tahu bahwa mereka akan berhasil, bukan? Marilah pergi bersama
kami ke Selatan.”
Lalu bangkitlah Yehudiel dan ia memandang Gabriel. Lalu
kata Yehudiel,

265
“Aku tahu bahwa hamba-hambaku akan berhasil. Benarlah
apa yang engkau katakan itu, Gabriel, Jegudiel Suara Allah. Sung-
guh hikmat yang turun padamu dari Sang Terang telah memberi
aku hikmat yang baru. Bila engkau percaya bahwa apa yang akan
terjadi adalah sesuai dengan harapanmu, lantas apa yang menjadi
bebanmu? Sia-sialah aku memikirkan semuanya itu. Marilah kita ke
Selatan dan merayakan tanah itu. Pula aku akan mengadakan pesta
tambahan untuk perayaan bangkitnya Jhudriem.” Maka bersukalah
mereka kemudian, karena Yehudiel sepakat untuk pergi bersama
mereka ke Selatan.
Satu Shakta setelahnya, para Agung lepas dari Samahnia
dan pergi ke Tanah Selatan. Rombongan Raphael dan Gabriel ada-
lah rombongan dari Barat yang paling lamban. Sebab rombongan
Rephaiem yang berangkat tiga Shakta lebih awal dari pada mereka
sudah sampai di Tanah Selatan dalam dua belas Shakta perjalanan.
Rombongan Mikhael sampai di Tanah Selatan dalam empat belas
setengah Shakta perjalanan, karena mereka melalui Dekerdj-Zem.
Sedang rombongan Raphael dan Gabriel sudah melalui tiga belas
Shakta perjalanan dan baru lepas dari Samahnia. Masih ada
sembilan Shakta perjalanan lagi untuk sampai ke Tanah Selatan
melalui Tanah Allah. Atau sebelas Shakta perjalanan lagi bila
melalui Tanah Raziem. Itu karena Raphael dan Gabriel sangat
sering berhenti beristirahat di kota-kota dan di jalan-jalan padang.

266
Raja di Tanah Utara Tengah

Di Tanah Uriem, telah terjadi pergerakan besar. Bangkit


penguasa baru di sana. Pergerakan para penguasa, atau raja-raja di
Sorga marak terjadi di saat-saat itu. Vanduel dan Viniel terus
membangun kekuasaan mereka di Hutan Cultiur. Brasiel juga telah
memperkuat kedudukkannya di Tanah Ranting dengan pusatnya,
Kota Hemdor. Benteng kuat yang belum diketahui para Agung saat
itu. Selain mereka, raja lain telah bangkit di Tanah Utara Tengah.
Bahkan Api dan Berkat Allah sendiri datang untuk menunjukkan
hormat.

Setelah beberapa saat setelah berangkat dari barat Kota Elli,


Uriel dan Bart-Archiel telah memasuki perbatasan Kota Taruror.
Mereka bertunggang ke sana dan melihat kota itu sudah dikelilingi
tembok setinggi dua kilang. Maka berkatalah Uriel,
“Lihatlah, mereka ini sebenarnya meminjam tempat di
Tanah Uriem. Namun mereka berani sekali merubah tata bangunan
kota dengan membangun tembok yang seperti itu. Aku harap
Ekhinel itu akan berlaku sopan di hadapan kita. Jika tidak, aku akan
membakar kota ini sampai hancur benar.” Tertawalah Bart-Archiel
dan ia berkata,
“Tenanglah, Uriel. Lihatlah, beberapa di antara mereka tentu
adalah para pembangun, bekas Rephaiem. Tembok itu rapi dan
kunciannya tidak nampak dari luar. Pasak pintunya pun sangat
baik nampaknya. Mari kita ke sana segera.” Kemudian Uriel dan
Bart-Archiel mengenakan penutup kepala mereka. Bart-Archiel
berkata pada salah satu hambanya, katanya,
“Staima, tiup sangkakala sebagai tanda kedatangan kita.
Biarkan mereka mengetahui bahwa kita datang dengan ketenangan
tanpa permusuhan. Kibarkan bendera terbalik!” Maka dibuatlah
demikian oleh para Uriem dan Bartarchiem.
Setelah ditiupnya sangkakala, tertariklah perhatian para
Eiglanar yang ada di kota. Mereka menjadi ramai dan heboh.
Mereka tidak tahu apa yang harus dilakukan karena mereka tidak

267
siap dan menyangka bahwa mereka akan diserang. Sebab Uriel dan
Bart-Archiel membawa barisan ke sana. Karena keramaian itu, para
Eiglanar berjaga di atas tembok dan menutup pintu-pintu kota.
Ekhinel pun keluar tampil di atas tembok dan melihat apa yang
terjadi. Memang saat itu barisan Eiglanar sepenuhnya ada di Kota
Taruror, karena banyak yang diutus Ekhinel ke kaki Gunung Lar-
toth untuk pembangunan bentengnya. Karena ketakutan, Ekhinel
tidak melihat bendera-bendera yang dikibarkan terbalik oleh
barisan Ur-Bagha. Ia mempersiapkan hamba-hambanya untuk
bertempur di sana.
Namun sebelum ia memutuskan untuk melawan, ia mene-
nangkan hamba-hambanya itu dan berkata, “Tenanglah kamu
sekalian. Jangan takut dan kuatlah. Aku akan keluar dan berbicara
pada mereka. Bila mereka hendak menyerang, tentu kita akan kalah
saat ini, maka aku akan menyerahkan kota ini untuk dikembalikan
pada mereka. Kita dapat berpindah ke Lartoth nanti.” Maka keluar-
lah Ekhinel itu bertunggang seorang diri untuk menemui barisan
yang datang padanya. Saat ia sudah keluar tembok, barulah ia
melihat bendera-bendera barisan Ur-Bagha itu berkibar terbalik.
Maka tahulah ia bahwa mereka datang dalam damai dan tidak ada
permusuhan. Kembalilah Ekhinel masuk dalam kotanya.
Uriel dan Bart-Archiel melihat itu dan mereka tidak
mengerti apa yang dimaksudkan Ekhinel. Maka kata Uriel,
“Mengapa ia keluar seorang diri dan melihat kita, lalu
kembali masuk dalam kotanya? Apakah itu dia pemimpin kota ini?
Aku melihat tombak-tombak di atas tembok, Bart-Archiel.” Maka
kata Bart-Archiel,
“Barisan sudah siap untuk segala sesuatunya. Bila mereka
melawan, maka baiklah kita melancarkan rencanamu itu. Biarlah
Api Allah menyala atas kota ini.” Namun tiba-tiba setelah Ekhinel
itu masuk kembali dalam kota, para penjaga tembok menurunkan
tombak-tombak mereka. Lalu bendera-bendera mereka dikibarkan
terbalik di atas tembok.
Setelah Ekhinel menyadari kedatangan barisan Ur-Bagha itu
dalam damai, maka berkatalah ia pada hambanya, “Mereka datang
dengan tenang dan tanpa permusuhan. Baiklah sekarang kita

268
meyambut mereka. Mungkin Uriel telah menerima hadiah kita,
maka ia datang untuk membalasnya.” Berubahlah suasana di sana
dan para Eiglanar berbalik mempersiapkan penyambutan.
Barisan Ur-Bagha berbaris di depan tembok kota dan me-
reka berdiam di sana. Sedang para Eiglanar di atas tembok
bersorak-sorai menyambut mereka. Kemudian pintu kota itu
terbuka lebar dan keluarlah seorang bertunggang ke arah barisan
Ur-Bagha. Melihat itu, Uriel dan Bart-Archiel pun bertunggang ke
depan barisan untuk mendapati hamba yang diutus keluar itu.
Kemudian berkatalah hamba Ekhinel itu, “Salam bagi Uriel yang
memberi kami tempat di tanahnya. Juga bagimu, Bart-Archiel, yang
menjaga ketenangan di Tanah Utara ini. Aku adalah Erfenel, atau
yang disebut Kendoros, pemimpin barisan Eiglanar. Mari masuklah
dalam kota dan penguasa kami, tuan Ekhinel akan menjumpaimu.”
Lalu berkatalah Uriel,
“Engkau tahu bahwa aku dan saudaraku ini adalah malaikat
Agung. Aku sedikit merasa geli saat engkau menyebut namaku
tanpa panggilan ‘tuan’. Adakah penguasa kota ini memberi hormat
padaku? Atau perlukah aku mengajarkan itu padanya?” Maka
turunlah hamba itu dari tunggangannya dan menundukkan kepala
di depan para Agung dan berkata, “sekiranya aku dan seisi kota ini
mendapat ampun dari tuan-tuan sekalian.”
Maka Uriel memberi perintah pada barisan untuk beristira-
hat dan membangun tenda di sana. Uriel dan Bart-Archiel masuk
dalam kota dengan satu rombongan saja. Dua barisan yang pergi
bersama mereka masuk ke sana. Di dalam kota itu, para Eiglanar
menyambut mereka dengan meriah dan ramai serta melempari
mereka dengan kembang. Maka berkatalah Bart-Archiel,
“Ya, tentulah mereka ini bekas Rephaiem. Aku tahu cara
mereka melempari kita dengan kembang.” Lalu kata Uriel,
“Aku tidak peduli tentang itu, Bart-Archiel. Aku mulai
merasa aneh dengan kunjungan ini. Sebab kita tidak kenal siapa
yang kita kunjungi. Apalagi mereka ini tidak di pihak Sorga, namun
juga tidak di pihak Luciel. Sekali saja terlihat tanda-tanda jebakan
dari mereka untuk mencelakakan kita, jangan beri ampun, Bart-
Archiel.” Bart-Archiel mendengarkan Uriel, hanya saja ia melambai-

269
kan tangannya dan tersenyum pada keramaian menanggapi
sambutan meriah itu.
Kota itu sudah berubah sama sekali. Uriel tidak mengenali
kota itu dan para Eiglanar benar-benar telah membangun ulang
kota itu. Mereka mengganti batu-batu bangunan menggunakan
batu-batu yang merah gelap dan batu kelabu. Padahal sebelumnya,
para Rephaiem membangun kota itu dengan batu kelabu gelap dan
banyak kayu-kayunya. Sampailah Uriel dan Bart-Archiel di depan
sebuah bangunan megah di tengah kota. Bangunan itu tinggi dan
besar, hanya saja halamannya sangat sempit. Para Eiglanar meme-
gangi tunggangan para Agung dan turunlah para Agung dari
tunggangan mereka. Begitu pula dilakukan dengan seluruh
rombongan Uriel dan Bart-Archiel.
Uriel dan Bart-Archiel, juga seluruh rombongan mereka
mendapat pelayanan yang sangat baik dari para Eiglanar. Lalu kata
Bart-Archiel,
“Aku mengenali beberapa wajah mereka. Mungkin mereka
juga bekas hambaku, Uriel. Adakah wajah yang engkau kenali di
sini? Sungguh ini akan menjadi cerita yang sangat menarik bila
nanti kita berkumpul di Selatan. Saudara-saudara kita tidak akan
percaya bahwa kita telah berkunjung ke mari, Uriel.” Mereka
berjalan masuk dalam bangunan megah itu dan Uriel menjawab,
katanya,
“Tidak perlu aku melihat satu per satu wajah mereka.
Semuanya sama saja. Pedangku sudah tidak betah diam dalam
sarungannya. Mungkin ini hanya perasaanku. Namun pelayanan
mereka kuakui sangat baik.” Berjalanlah Uriel dan Bart-Archiel
dalam bangunan itu. Di dalamnya ada aula yang sangat amat luas,
seluas bangunan itu.
Ada meja-meja di sepanjang pinggirannya. Lalu nampaklah
kursi yang dibangun seperti Tahta Allah, hanya saja jauh lebih kecil
dan sederhana. Kursi dari batu yang berwarna coklat kayu. Ada
dua tiang besar di tengah aula itu yang terbuat dari kayu hutan
sekitar dan batu putih Ligoth. Ada kain biru yang besar bergantung
di antaranya dan bertuliskan, “Eiglanar – Darror”. Para pelayan ber-

270
diri di samping-samping meja dan mereka membawa berbagai
peralatan untuk melayani. Berkatalah Bart-Archiel,
“Lihatlah, Uriel! Hummunal! Aku baru tahu bahwa Eiglanar
ditulis dengan rangkaian huruf seperti itu. Namun aku tidak me-
ngerti tentang ‘Darror’. Nama yang lucu untuk sebuah suku muda.”
Lalu kata Uriel,
“Suku muda katamu? Ya, benar juga, Bart. Mereka ini men-
dirikan suku mereka sendiri di sini. Sudah sangat jelas menurutku
bahwa Darror berarti; Daria dan Taruror. Mungkin maksud mereka,
mereka ini berawal di Daria dan berakhir di sini. Baiklah, itu dia
Ekhinel yang duduk di atas tahta kecilnya, sungguh bodoh.”
Lalu bangkitlah Ekhinel dari kursinya itu dan ia menyambut
Uriel dan Bart-Archiel. Ia mengenakan kain putih biru yang baik. Di
belakang lehernya ditaruh tanduk rusa tujuh yang jauh melampaui
kepalanya. Tangan-tangan kirinya membawa tongkat dari emas dan
berujung batu merah, pedang yang tersarung dan yang satu lagi
terbuka. Tangan-tangan kanannya membawa tanduk sangkakala,
tanduk minyak dan tanduk anggur. Ia membungkuk di depan Uriel
dan Bart-Archiel, katanya, “Salam bagi tuan-tuan, yang telah sing-
gah di kediaman Eiglanar. Salam bagi Api dan Berkat. Kiranya
terimalah sambutan sederhana dariku.” Kemudian Uriel mengang-
kat wajahnya dan memandang rendah pada Ekhinel. Lalu Uriel dan
Bart-Archiel membuka penutup kepala mereka di sana dan terpan-
carlah cahaya terang di sana. Bart-Archiel membuka jubahnya dan
membentangkan sayap-sayap panjangnya yang gagah. Kata Uriel,
“Aku tidak mengucap salam padamu, namun aku terima
salammu itu. Engkaukah Ekhinel penguasa Eiglanar, yang mendu-
duki Taruror?” Ekhinel tidak menjawab.
Datanglah para pelayan melayani Uriel dan Bart-Archiel.
Mereka menaruh meja besar di antara Uriel dan Bart-Archiel, dan
Ekhinel. Kemudian duduklah Ekhinel di sana. Ia menunggu Uriel
dan Bart-Archiel duduk bersamanya. Sedang para pelayan menge-
luarkan jamuan atas meja itu. Lalu kata Uriel,
“Aku tidak duduk semeja denganmu.” Maka para pelayan
mengambil dua meja lain dan menaruhnya di depan Uriel dan Bart-
Archiel. Duduklah mereka dalam tiga meja terpisah. Dengan meja

271
yang terbesar adalah milik Ekhinel. Namun milik Uriel dan Bart-
Archiel lebih tinggi. Karena memang secara tubuh, Uriel dan Bart-
Archiel lebih besar, mereka adalah Malaikat Agung.
Lalu berkatalah Ekhinel, “Akulah Ekhinel yang engkau kata-
kan itu, tuan. Adakah tuan menerima pemberianku yang kuberikan
di Argoth?” Kemudian jawab Uriel,
“Aku tidak menerima apa pun dari padamu, Ekhinel. Jadi
benar, inilah dia yang berhadapan dengan saudaraku Raphael, di
Daria itu? Aku datang karena memang aku, juga saudaraku ini,
hendak mengunjungi dan melihat bagaimana keadaan kotamu dan
juga hamba-hambamu. Dapat kukatakan bahwa pelayan hamba-
hambamu itu sangat baik dan hebat. Ada dua barisan di luar yang
juga perlu engkau jamu, bila engkau tidak tahu.” Lalu kata Ekhinel,
“Ya, benar. Tentu aku juga akan menjamu para pelayanmu yang di
luar itu. Tuan Uriel, sekiranya tuan pandang baik, apakah ada
permasalahan bagi tuan bila aku dan hamba-hambaku berdiam di
sini? Di kota yang dalam perbatasan tanah tuan?”
Kemudian Uriel menjawab, katanya,
“Tentu saja aku tidak keberatan, Ekhinel. Adapun kedatang-
anku ke mari untuk memberitahukan padamu bahwa tidak ada
permusuhan antara Uriem dan Eiglanar, selama engkau tidak
memulainya. Anggap saja itu sebagai tanda hormatku pada engkau
yang memberikan Daria kembali. Lagipula Taruror ini sudah kuko-
songkan untuk keamanan hamba-hambaku.” Lagi kata Ekhinel,
“Sungguh syukur bila demikian. Sebab memang tidak ada tempat
lain bagiku ataupun hamba-hambaku untuk berdiam. Kiranya tuan
mau, tulislah surat supaya aku dapat benar-benar menguasai tanah
ini dan juga kota ini. Dengan begitu,” Belum ia selesai bicara, Bart-
Archiel menyahut, katanya,
“Apa engkau hendak menjadi raja penguasa atas tanah ini?
Adakah engkau melawan Malaikat Agung?” Lalu kata Ekhinel,
“Ampunilah kiranya, tuan. Ada beberapa hal yang juga ingin aku
bicarakan. Marilah kita berjamu bersama terlebih dahulu.” Kemu-
dian berjamulah mereka di sana bersama-sama untuk beberapa
lamanya.

272
Setelah berjamu, para pelayan segera membersihkan sisa-
sisa perjamuan itu. Lalu kemudian Ekhinel itu memanggil hamba-
hambanya untuk pergi melayani hamba-hamba Uriem dan Bartar-
chiem yang menunggu di luar aula itu. Setelah itu Uriel dan Bart-
Archiel banyak berbincang sendiri, sedang Ekhinel juga sibuk
dengan hamba-hambanya. Kemudian tiba-tiba berkatalah Bart-
Archiel pada Ekhinel itu, katanya,
“Hei Ekhinel, apakah arti dari ‘Darror’ yang tertulis di
benderamu itu?” Kemudian Ekhinel menoleh dan meninggalkan
hamba-hambanya. Ia kembali duduk di balik mejanya dan menja-
wab, “Kami adalah barisan muda yang baru saja berdiri. Kami
bangkit di Daria dan kemudian berdiam di Kota Taruror ini. Itu
adalah singkatan dari Daria dan Taruror, tuan.” Kemudian Uriel
dan Bart-Archiel melanjutkan perbincangan pribadi mereka.
Tidak lama setelah itu, Uriel dan Bart-Archiel memanggil
beberapa hambanya yang ada di luar untuk mendampingi dan
melayani mereka. Kemudian bangkitlah Bart-Archiel dan berkata,
“Kami datang dengan maksud untuk berkunjung karena
aku penasaran denganmu, Ekhinel. Aku mendengar kabar dari
Tanah Barat, bahwa engkau telah bertarung melawan Tangan Allah
dalam salah satu pertempuran er-Bagazar, di Padang Ariarum-Nor.
Kemudian dari sanalah engkau membawa salah satu pedang itu.
Engkau mengerti apa yang kubicarakan ini. Bila benar ada peris-
tiwa itu, dapatkah engkau tampilkan pedang itu ke depan mata
kami? Juga dengan sebutan apa engkau memanggilnya, supaya
para malaikat pun tahu, bahwa engkau adalah pembawa pedang.”
Kemudian Ekhinel itu berkata, “Memang benar apa yang tuan-tuan
dengar, tentang semua kabar-kabar itu. Tuan Raphael telah merela-
kan pedangnya padaku dan ia membiarkan aku pergi dari Daria
dengan pedang itu. Maka bila maksud tuan-tuan adalah untuk
merebut pedang itu, aku tidak akan menampilkannya di hadapan
tuan-tuan sekalian.”
Maka Uriel memandang tajam pada Ekhinel dan sedikit
asap hitam mulai keluar dari tubuhnya. Karena hal itu, Bart-Archiel
memegang bahu Uriel untuk menenangkannya. Lalu berkatalah
Uriel pada Ekhinel, katanya,

273
“Raphael adalah saudaraku dan aku menghormati segala
keputusannya. Bila ia tidak merebut pedang itu dari padamu, maka
aku pun tidak akan melakukannya. Dan untuk saat ini saja, aku
akan menjaminkan padamu, bahwa saudaraku ini, Bart-Archiel; ia
juga tidak akan merebutnya dari padamu.” Maka berkatalah
Ekhinel, “Bila memang tidak ada niatan yang seperti itu, lantas
mengapa tuan-tuan tidak sudi duduk satu meja bersama aku?”
Kemudian lagi kata Uriel padanya,
“Kami adalah Malaikat Agung, hai Ekhinel! Jangan engkau
berbicara sembarang pada kami. Duduk dengan seorang malaikat
pun kami harus memikirkannya dahulu. Apalagi engkau bukan
kaum malaikat!” Bangkitlah Ekhinel dari tempatnya dan berkata,
“Aku ada sebagai seorang malaikat sejak awalnya, Uriel! Bagai-
mana engkau menyebut aku bukan seorang malaikat, sedang Dia
yang menciptakan aku telah menyebut aku Ekhinel?”
Mendengar itu, menjadi geram pula Bart-Archiel dan ia
berkata, katanya,
“Bicaramu kurang ajar! Engkau telah melawan Sorga dan
melawan Dia yang membentukmu itu! Maka engkau bukan lagi
seorang malaikat, Ekhinel!” Lalu terdiamlah mereka dan duduk
pada tempat mereka masing-masing. Sedang para hamba yang ada
di sana juga merasakan ketegangan dan takut bila terjadi pertem-
puran antara para Agung dengan Ekhinel.
Kemudian bangkitlah Ekhinel dan ia berjalan ke tahta
kecilnya itu. Ia duduk di sana dan mengambil sesuatu dari samping
kursinya. Lalu ia memangku pedang yang tersarung di kakinya dan
ia mengusap-usap pedang itu. Tahulah Uriel dan Bart-Archiel bah-
wa itu adalah salah satu pedang berkuasa, sebab mereka merasakan
kuasanya. Kemudian Uriel berbisik pada Bart-Archiel, katanya,
“Itu adalah pedangnya, Bart-Archiel. Tahan dirimu dan
tunggu ia mencabut itu dari sarungnya, setelah itu ia milikmu.
Lakukan seperti yang sudah kita rencanakan!” Berkatalah Bart-
Archiel pada Ekhinel, katanya,
“Aku tahu bahwa itu adalah pedang yang kumaksudkan.
Lihatlah! Kami masih duduk di sini dan tidak bergerak, ataupun
berusaha merebut itu dari padamu. Marilah, Ekhinel, tunjukkan

274
pedang itu pada kami dan katakan sebutannya, yang engkau beri-
kan padanya.” Maka terpancinglah Ekhinel dengan perkataan Bart-
Archiel itu. Ia bangkit dan mencabut pedang itu dari sarungnya.
Ekhinel mengangkat pedang itu tinggi di atas kepalanya dan
ia berseru di sana, katanya, “Akulah Ekhinel, penguasa Taruror dan
pemimpin Eiglanar. Aku raja yang berdiam di tahtaku dan berdiam
di aula agungku sendiri. Padaku ada kuasa yang mendukung aku,
inilah pedang Khirilas. Puaskan pandanganmu, Malaikat Agung!”
Melihat itu, bangkitlah pula Bart-Archiel dengan segera. Ia menarik
dua pedang dari kaki-kakinya dan ia mengangkat juga pedang-
pedang itu. Lalu berserulah Bart-Archiel,
“Khirilas! Akulah Bart-Archiel, tuan atas Harganiem-Leon.
Tuan atas segala pedang yang ada! Tunduklah dan beri hormat-
mu!” Kemudian pedang yang ada di tangan Ekhinel itu menjadi
berat seketika. Namun belum pedang itu menarik tangan Ekhinel
sampai ke tanah, Ekhinel menahannya. Ia memegang pedang itu
dengan enam tangannya tepat di depan tubuhnya. Heranlah Uriel
dan Bart-Archiel melihat itu. Maka bangkit pula Uriel dan ia
melangkah maju ke depan mejanya dan ia berseru dengan lantang,
katanya,
“Dua puluh tujuh pedang ditempa di Tanah Sorga, di Altar
Allah, dengan tangan Yang Utama, menggunakan Api Allah. Dua
puluh lima diberikan dan tersebar pada penguasa-penguasa dan
raja-raja. Tanah dan hamba tunduk pada para pemegangnya.
Hanya Dua Pedang yang berkuasa atas mereka. Dua Pedang
menundukkan mereka, Dua Pedang mempersatukan mereka:
Harganiem-Leon!” Setelah seruan itu, jatuhlah pedang Khirilas ke
tanah dan menarik Ekhinel berlutut pada Bart-Archiel.
Majulah Bart-Archiel dengan membawa Harganiem-Leon
pada tangannya. Ia berkata pada Ekhinel, katanya,
“Akulah tuan atas Pedangku. Dan Pedangku adalah tuan
atas pedangmu itu, Ekhinel. Engkau tidak dapat bersembunyi dari-
ku selama engkau memegang pedang itu pada tanganmu. Aku
akan memanggilmu dan engkau pun akan menjawabnya, itulah
hukum atas pedang-pedang! Maka jangan mencari keributan
denganku, Ekhinel, pemimpin Eiglanar!” Kemudian Ekhinel

275
mengangkat wajahnya dan ia memandang pada Bart-Archiel. Lalu
ia berkata, “Aku tidak tunduk pada siapa pun! Bahkan aku juga
melawan kehendakmu dan aku tidak akan melakukan kehendakmu
bila tidak sekehendak denganku, Bart-Archiel, dari Utara!” Kemu-
dian ringan kembali pedang Khirilas itu. Bangkitlah Ekhinel dan
menyarungkan pedangnya kembali. Ketegangan itu mereda dan
hamba-hamba yang ada di sana sudah ketakutan menyaksikan
kekuatan pedang-pedang itu.
Berbaliklah Bart-Archiel kembali pada Uriel. Lalu mereka
kembali duduk di balik meja mereka. Sedang Ekhinel terduduk di
kursi tahtanya itu dan ia lemas di sana, tumpuan kakinya lemah
dan tidak ada kuasa padanya untuk bangkit. Setelah saling ber-
diam, datanglah hamba-hamba Ekhinel itu membantu tuan mereka
untuk duduk tegak dan menguatkannya dengan anggur dan buah.
Lalu berkatalah Uriel pada Ekhiel, katanya,
“Aku tahu bahwa engkau telah menyatakan dirimu sebagai
pemimpin barisanmu ini, yaitu para pengikutmu. Juga engkau telah
memohonkan tanah ini dari padaku untuk tempat atas kekuasaan-
mu. Dan benarlah, memang ada kuasa padamu untuk melakukan
itu, aku baru melihatnya. Namun engkau belum sepenuhnya ‘raja’
atas kota ini, Ekhinel. Aku melihat kesopananmu dan pelayananmu
atas aku dan saudaraku. Bahkan engkau sudah melakukan permin-
taan kami untuk menunjukkan pedangmu itu. Baiklah aku sebagai
tuan atas tanah ini akan menulis surat untuk menyerahkan kota ini
padamu. Supaya sah bahwa engkau berkuasa atasnya. Aku membe-
rikan ini dengan segala persyaratan yang akan kuajukan padamu.
Yang terutama adalah, bahwa engkau akan benar-benar memperta-
hankan tanah ini sebagai hak milikmu dari barisan Luciel. Ataupun
dari barisan malaikat. Ya, barisan malaikat masih memiliki
kemungkinan untuk menyerang dan berusaha merebut kota ini lagi,
sekalipun aku sudah menyerahkannya padamu secara sah.
Lagipula bila aku berubah pikiran dan ingin mengambil kota ini
lagi, maka aku akan merebutnya dengan cara yang sah pula, sesuai
hukum-hukum perang para Agung yang ada, ataupun yang akan
ada. Mari kita mulai.”

276
Dengan perkataan Uriel itu, Ekhinel bersedia memenuhi
persyaratan Uriel, sekalipun belum dibahas di sana. Bart-Archiel
mendukung itu dan memang hal itu tidak menyimpang dari
hukum, karena tidak ada hukum yang mengatur hal-hal yang
seperti itu. Sebab Uriel berkata lagi di sana, katanya,
“Hamba-hambaku hendak mengadakan permusuhan de-
nganmu tanpa sepengetahuanku. Saat mereka meminta keputusan-
ku, itu membuat aku geram. Maka jangan pula engkau salah paham
mengenai ini, Ekhinel. Aku akan memberikan surat tertulis padamu
tentang tanah ini supaya hamba-hambaku tidak akan mengadakan
permusuhan denganmu tanpa perintahku. Dengan surat itu, maka
engkau dapat membela hakmu atas tanah ini dari hamba-hambaku.
Aku akan menuliskan padamu supaya engkau diangkat menjadi
salah satu orang yang aku percaya untuk perawatan tanah ini.
Bukan sebagai hamba pembesarku, namun hanya sebagai orang
kupercaya.” Maka Bart-Archiel tahu, apa maksud Uriel memberi-
kan kekuasaan pada Ekhinel. Kemudian mereka membahas tentang
berbagai persyaratannya. Uriel menulis surat-surat itu di sana,
beserta segala ketentuan yang ia kehendaki di sana. Hukum-
hukumnya juga ia tuliskan di sana disaksikan Bart-Archiel dan dua
puluh dua hamba Uriem dan Bartarchiem di Kota Taruror, Tanah
Uriem, perbatasan barat.
Pada waktu itu Raziel dan Ammatiel telah menerima surat
dari Uriel dan Bart-Archiel tentang himbauan mereka. Maka
berkatalah Raziel saat membaca surat itu, katanya,
“Ammatiel, datang dan lihatlah! Saudara-saudara kita yang
di Tanah Utara itu menyurati kita. Mereka meminta supaya aku
segera melakukan pengintaian di Tanah Utara, tempat barisan
Luciel dengan segera. Padahal aku sudah melakukannya, mereka
tidak tahu itu.” Bangkitlah Ammatiel menyanding Raziel dan
melihat surat itu di sana. Maka berkatalah Ammatiel,
“Mereka tentu juga menerima surat undangan Serael, Raziel.
Tentu saja mereka juga sangat ingin datang dalam perayaan di
Selatan itu. Namun aku yakin mereka berat meninggalkan Tanah
Uriem, bila belum benar-benar aman tanah itu. Sekalipun aku baru
membaca sebagian surat ini, aku tahu bahwa mereka ingin memas-

277
tikan bahwa barisan Luciel tidak akan menyerang sisa Tanah Utara
saat Uriel dan Bart-Archiel pergi. Mereka berpikiran sama dengan
kita, Raz. Baiklah engkau segera memberi kabar pada mereka,
bahwa engkau sudah mengirim barisan Durigo ke Utara.” Maka
duduklah Raziel dan ia terdiam.
Kemudian Raziel memikirkan banyak hal di sana dan ia
tiba-tiba menjadi sangat rindu pada saudara-saudaranya. Memang
ia selalu rindu dengan para Agung, namun ia sanggup menahan-
nya. Hanya saja saat itu rasa rindunya seperti tidak dapat ia tahan
lagi. Maka berkatalah Raziel,
“Luciel memang sudah lama berdiam di Utara, Ammatiel.
Tidak ada pergerakan dari barisannya untuk menyerang Tanah
Uriem, ataupun melanggar batas Tanah Timur. Uriel sudah mengo-
songkan perbatasan Utara sejak lama. Namun sampai saat ini aku
tidak pernah mendengar barisan Luciel melanggar batas Tanah
Utara. Bahkan saat Tanah Barat menerima serangan dari Sorga
secara besar-besaran, barisan Luciel juga tidak membantu atau
mengangkat suaranya untuk melindungi kekuasaannya. Mungkin
ia sudah merasa menjadi tuhan di Tanah Utara itu. Bukankah ia
telah membangun tahtanya di Tanah Utara dan merasa lebih tinggi
dari segala sesuatu? Ia suka mengadakan pertemuan di Utara dan
memandang rendah bintang-bintang Allah. Mungkin memang ia
tidak akan menyerang bila kita tidak menyerangnya. Ia sudah aman
di sana.
Maksudku adalah, batas-batas tanah kita akan tetap aman
sekalipun kita meninggalkannya. Luciel tidak akan menyerangnya.
Namun, alangkah baiknya bila kita menunggu kepastian dari
Durigo yang melihat langsung ke sana. Dengan begitu kita akan
tahu pasti.” Lalu jawab Ammatiel padanya,
“Aku sudah berpikir seperti itu, saudaraku. Namun aku
tidak mengatakannya padamu, karena aku berpikir nanti engkau
mengira bahwa aku terlalu memandang rendah barisan musuh.
Tentu itu tidak baik untuk peperangan. Aku sepakat dengan pemi-
kiran itu, namun juga aku tidak menyangkal bahwa memang lebih
baik kita menanti hasil pengintaian. Sudah berapa lama engkau
mengirim Durigo ke sana?”

278
Lalu Raziel menjawab, katanya,
“Aku mengutus mereka sudah sejak delapan Shakta sebe-
lum engkau sampai di Haruia. Maka mereka sudah pergi selama
dua puluh tiga Shakta. Pengintaian memang tidak dapat dilakukan
dengan cepat, jadi kita harus bersabar.” Maka kemudian kata
Ammatiel,
“Apalah yang membuat kita tergesa-gesa, Raziel? Ini adalah
Tanah Sorga dan tidak ada yang kita nantikan lagi. Lagipula
perayaan di Selatan itu akan dilakukan besar-besaran oleh Serael.
Aku menerka, ia akan mengadakan perayaan selama dua Sherta
setidaknya. Kita tidak akan terlambat datang ke perayaan itu.”
Maka berdiamlah mereka di Haruia dan kemudian berpindah ke
Kota Skuria, setelah dua Shakta.
Sementara itu, Uriel dan Bart-Archiel telah selesai dengan
Ekhinel. Uriel telah menyerahkan Kota Taruror pada Ekhinel dan
Eiglanar. Juga Bart-Archiel memberikan pernyataannya bahwa ia
memandang Eiglanar sebagai barisan yang patut diperhitungkan
dan berpengaruh dalam peperangan. Uriel tidak hanya memberi-
kan Taruror pada Ekhinel. Namun juga memberikan sebagian dari
Gunung Lartoth dan juga ijin bagi para Eiglanar yang hendak
menggali batu di kawasan Ligoth. Karena Uriel berkata pada
Ekhinel,
“Engkau harus bertanggung jawab atas tanah ini. Juga
engkau telah menyatakan bahwa Eiglanar menganggap bahwa
Uriem adalah sekutumu. Maka bila ada barisan Luciel datang dari
sebelah utara dan menyerang barisan barat ini, engkau harus melin-
dunginya. Dengan menjaga kota ini, maka engkau telah menjaga
kota-kota di balikmu. Yaitu mulai dari Kota Argoth sampai Kota
Alrius, bahkan sampai Sigoth. Bila memang engkau menganggap
Uriem adalah sekutumu.”
Maka lalu kemudian Ekhinel mengambil peta dan membu-
kanya di hadapan Uriel dan Bart-Archiel. Lalu ia berkata, “Tuanku
sangat kejam bila hanya memberikanku kota ini. Lihatlah betapa
terbukanya kota ini untuk menerima serangan musuh. Bila barisan
Luciel menyerang dari utara, tentu mereka akan menduduki Kota
Bartaria ini, karena tuan Uriel telah mengosongkannya. Kemudian

279
bila mereka meruncingkan serangan ke barat, mereka akan berge-
rak lurus padaku, pada Kota Taruror ini. Dan mereka akan memi-
liki sokongan dari Bartaria, tentulah Eiglanar akan bertarung
dengan berat bila demikian. Kiranya tuan memberi kasih pada
kami, berilah ijin bagi kami untuk menggali batu di kawasan Ligoth
itu. Di sana ada banyak batu putih yang dapat kami gunakan.
Lagipula bila kami datang menggali batu ke sana tanpa ijin
dari tuan, tentulah para Uriem akan mempersulit kami di sana dan
bahkan bangkit melawan kami. Kiranya berilah kami ijin itu,
supaya kami dapat membangun pertahanan di Taruror ini,
sehingga kami dapat lebih lama menahan barisan Luciel di sini, jika
mereka menyerang.”
Lalu berkatalah Uriel, katanya,
“Bukankah hamba-hambamu sudah menggali batu di sana
sebelum engkau meminta ijinku ini? Bukankah tembok kota ini dan
bangunan-bangunannya telah engkau bangun ulang dengan batu-
batu putih Ligoth? Bahkan aku juga tahu, bahwa engkau telah
mengambil juga batu-batu dari kawasan Sigoth tanpa ijinku.
Namun karena memang engkau memintanya padaku, baiklah aku
juga akan mengijinkan permohonanmu itu. Eiglanar dapat memba-
ngun pertahanannya dengan menggali batu di Ligoth. Hanya saja,
jangan engkau menggali batu dekat-dekat dengan Kota Ligoth,
melainkan di bagian utara Ligoth saja. Supaya jangan engkau mem-
bangkitkan rasa geram di antara hamba-hambaku, karena mereka
telah menolakmu sejak awal. Karena kemurahanku, mereka tidak
menjamahmu.” Maka berlututlah Ekhinel di hadapan Uriel itu.
Namun rupanya itu belum cukup baginya. Masih saja
Ekhinel itu memohon lagi di hadapan Uriel, bahkan sampai ia
bersujud. Namun Uriel menolak sujudnya karena memang sujud
hanya layak bagi Yang Terang. Kata Ekhinel, “Pertahanan kota ini
tidak dapat dibangun dengan kuat, sekalipun dengan batu-batu
yang dari Padang Timur, tuan. Sebab memang letak kota ini tidak
tepat untuk pertahanan. Punggung kami bersandar pada hutan dan
samping-samping kami adalah padang luas. Di depan mata kami
terhampar padang luas lurus dengan perbatasan Utara.

280
Kiranya biarlah aku mengais kasihmu yang masih tersisa,
bila memang masih tersisa kasih bagiku. Berikanlah kami Gunung
Lartoth itu. Supaya kami ini dapat membangun pertahanan kuat di
atasnya dan melawan barisan Luciel dengan hebat di sana. Dengan
begitu, kami akan benar-benar menjaga batas tanah, bahkan meng-
hadang barisan Luciel dari Tanah Barat, tanah saudara tuan
sendiri.”
Maka berkatalah Uriel menjawabnya,
“Aku ini adalah penimbang yang bijak, Ekhinel. Aku tahu
apa yang kuberikan padamu sudah banyak dari pada apa yang
sudah kauperbuat bagiku, atau bagi Sorga. Namun aku masih
menaruh kasih pada barisanmu. Hanya saja angkatlah sumpah
padaku, bahwa engkau akan menjaga kota-kota di balikmu itu juga
menjaga jalan masuk ke Tanah Barat; bila aku memberikan Lartoth
padamu. Namun aku tidak pula serta merta memberikan seluruh
gunung itu padamu, sehingga engkau membangun pertahanan di
sana. Engkau ini sudah melakukan pengkhiatanan sebanyak dua
kali, dan jangan-jangan akan ada yang ketiga kali.
Bila engkau membangun pertahanan di atas gunung itu, lalu
mengkhinati sumpahmu padaku. Akan mudah bagimu untuk bang-
kit dan melawan Ligoth sampai Sigoth. Bahkan akan mudah bagi
barisanmu untuk menyerang Alrius pula. Maka bila engkau
mengangkat sumpah padaku, aku akan memberi bagian utara dari
Gunung Lartoth padamu, untuk engkau bangun pertahanan di
sana. Lagipula aku ini tahu, bahwa engkau sudah membangun
pertahananmu di sana. Ya, di kaki Gunung Lartoth, sebelah utara.”
Maka berlututlah Ekhinel itu dan ia memohon-mohon pada Uriel
supaya diberikan padanya seluruh gunung itu.
Bagaimana pun Ekhinel memohon dan membujuk, tetap
Uriel menolak. Bart-Archiel pun selalu menguatkan Uriel supaya
jangan terhasut oleh rayuan Ekhinel itu. Maka pada akhirnya,
berkatalah Ekhinel, “Baiklah aku mau. Aku mengangkat sumpahku,
demi Khirilas. Eiglanar akan setia menjaga tanah yang tuan berikan
padaku dan menjaga kota-kota di balik Taruror dan di balik
Gunung Lartoth itu. Kami akan melindungi dan menutupi jalan
menuju Tanah Barat dari musuh, barisan Luciel itu. Sekarang

281
tulislah suratnya, aku sudah mengangkat sumpahku.” Maka
kemudian hamba-hamba Uriel menyelesaikan surat-suratnya dan
Uriel mensahkan itu di sana di atas tembok Kota Taruror. Disak-
sikan Bart-Archiel dan juga seluruh barisan Ur-Bagha yang ada di
sana pada waktu peristiwa itu.
Itulah peristiwa di mana Eiglanar mendapat kekuasaan
mereka. Awal mula adanya perundingan antara Malaikat Agung
dengan raja-raja, para pemegang pedang yang tidak berdiri di
pihak Luciel, ataupun pihak Sorga. Semuanya itu dilakukan para
Agung karena itulah jalan terbaik yang dapat dilakukan. Bila para
Agung memutuskan untuk memerangi para pemegang pedang,
tentu barisan Sorga akan kerepotan harus memerangi hamba-
hamba Luciel, ditambah para pemegang pedang. Namun bila para
Agung menawarkan hal-hal yang baik dan tidak melanggar hukum
pada para penguasa itu, tentu mereka akan menganggap para
Agung sebagai sekutu mereka. Dan terlebih penting, dengan begitu,
Luciel dipecah barisannya.

282
Pertemuan di Tanah Selatan

Setelah berlalunya waktu, Uriel dan Bart-Archiel kembali ke


Kota Uriel dari Kota Taruror. Sementara itu Raziel dan Ammatiel
ada di Kota Skuria dan mereka memantau keadaan Utara dari sana.
Di Selatan, Mikhael sibuk mempersiapkan berbagai persiapan pera-
yaannya. Para Rephaiem sudah ada di sana dan membersihkan se-
luruh bagian di tanah itu dari sisa-sisa pertempuran dan mengurus
semua jarahannya. Kota-kota di Selatan dibersihkan dari berbagai
puing-puing dan semua yang kotor.
Pengerjaan para Rephaiem dimulai dan berpusat di Kota
Serael. Yang saat itu dalam penjagaan ketat para Seraphiem. Ada
pula penjagaan para Seraphiem itu dilakukan untuk berjaga-jaga
bila barisan Legiun menyerang kembali. Mikhael telah mengatur
segala penjagaan di sana dan menaruh batas-batas jaga yang
ditentukan. Kota Serael dibangun ulang oleh para Rephaiem. Batu-
batu dibawa dari Tanah Barat, juga ada penggalian di Padang
Timur. Kayu-kayu diambil dari pinggiran Hutan Selatan dan
beberapa dari pohon-pohon yang ada di Tanah Selatan. Pada waktu
itu para Rephaiem masih mengusung berbagai sisa-sisa pertem-
puran keluar dari Kota Serael.
Saat Mikhael tiba di Kota Serael, ia melihat betapa beranta-
kannya kota itu. Pertempuran hebat telah terjadi di sana. Kemudian
berkatalah Mikhael pada hamba-hambanya, katanya,
“Para Rephaiem masih harus membersihkan kota itu untuk
persiapan pembangunan ulang. Kosongkan saja kota itu, supaya
para Rephaiem itu dapat bekerja dengan leluasa dan kita menanti di
sekitarannya saja. Baiklah kita berdiam diri untuk menghormati
mereka yang telah hancur dalam pertempuran Tanah Selatan ini.”
Maka bergeraklah para Seraphiem itu keluar dari Kota Serael dan
banyak yang datang dari kota-kota ujung Selatan. Para Seraphiem
membuat perkemahan di sekeliling kota itu dan berdiam diri.
Diadakanlah oleh Mikhael perkabungan yang besar dan me-
reka menangisi saudara-saudara mereka yang hancur di sana. Baru
satu Shakta dimulai perkabungan itu, datang kabar pada Mikhael.

283
Seorang Seraphiem datang dari jauh bertunggang ke sana dan
menghadap salah satu hamba pembesar Mikhael, katanya,
“Tuanku, ada rombongan dari Tanah Barat. Rombongan
para Agung. Mereka akan tiba di Kota Serael sebentar lagi. Kabar
ini datang dari Pohon Serael, dari hamba-hamba yang di sana.
Mereka telah menyambut Tangan Allah dan Suara Allah di Tanah
Selatan. Ada pula rombongan Urapan Allah dan Harum Allah
setelahnya, mereka tidak berpisah rombongan.” Maka segeralah hal
itu disampaikan pada Mikhael.
Saat mendengar bahwa Raphael dan Gabriel sudah ada di
sana, bangkitlah Mikhael. Ia pergi meninggalkan hamba-hambanya
berkabung dan bersama para pembesarnya, ia berkata,
“Bagaimana mungkin kita dapat menyambut mereka
dengan keadaan yang seperti ini. Kota ini masih berantakan dan
tidak ada rumah untuk para Agung berkumpul. Kita tidak mungkin
menyambut mereka di sini.” Maka berkatalah Mondrael pada
Mikhael,
“Tuan, di Pahr ada tempat yang baik bagi para Agung. Kota
di sana tidak terlalu berantakan dan masih cukup bersih, karena
para Seraphiem sudah membersihkan kota itu.” Maka berkatalah
Mikhael,
“Baiklah. Jika begitu, Mondrael, engkau pergilah ke Pahr
dan persiapkan kota itu juga siapkan satu rumah kerja bagi kami
para Agung berkumpul. Mirkandruel dan Mindruel, pergilah kamu
ke Sarnos dan sambut para Agung di sana. Dari sana harus engkau
membawa para Agung itu ke Pahr, namun jalanlah melalui Mith.
Supaya jangan mereka melihat kekacauan di Kota Serael ini. Supaya
jangan aku mendapat malu dari saudara-saudaraku, karena hancur-
nya kotaku ini. Gelabriel, turutlah bersama Mirkandruel. Saat eng-
kau menemui para Agung, cari di antara mereka, Mantael, saudara-
ku itu. Sebab rupanya ia ada di barisan Jegaduriem dan ada di
antara para Rephaiem. Ia juga ada dalam rombongan yang menga-
wal tuan Raphael. Bawalah ia padaku dan kenakan kain yang baik
padanya.” Mendengar itu, berkatalah Mindruel,

284
“Tuan, benarkah Mantael akan ada di sini? Bila tuanku
pandang baik, biarlah aku mengadakan sambutan dan perayaan
baginya.” Mikhael pun memberi ijin pada Mindruel.
Setelah itu, Mikhael masih ada di daerah Kota Serael bersa-
ma hamba-hambanya yang berkabung itu. Sebab memang Mikhael
merasa sangat berat di sana karena hamba-hambanya yang hancur
dalam pertempuran. Beberapa di antaranya adalah hamba-hamba
yang biasa melayani di rumah kediamannya. Sekalipun dalam
keadaan yang menang, namun tetaplah korban-korban yang jatuh
dalam pencapaian kemenangan itu harus dihormati dan tidak
dilupakan seperti barang yang sudah tidak berguna.
Datanglah Raphael, Yehudiel, Sealtiel dan Gabriel sampai di
Sarnos. Keadaan kota itu seperti pertahanan depan barisan Sera-
phiem. Kayu-kayu tinggi dipasang berjajar seperti tembok mengeli-
lingi kota dan banyak barisan berjaga dan bertenda di sana. Maka
berkatalah Gabriel,
“Inilah pertahanan Seraphiem di sebelah timur. Kota-kota
yang lebih timur dari pada kota ini tidak dijaga seketat kota ini.
Raphael, kiranya biarlah hamba-hambamu mengganti tembok
kayunya dengan batu-batu yang lebih kuat.” Maka berkatalah
Raphael,
“Bukan aku tidak menghormati saranmu itu, Jegudiel.
Namun barisan Legiun itu sudah kalah. Mereka tidak akan berani-
berani melangkah ke mari dan menyerang. Bahkan setelah ini, aku
yakin Mikhael akan memerintahkan hamba-hambanya untuk mela-
kukan pembersihan atas tanah ini. Kota-kota lain yang masih
diduduki para Legiun tentu akan diserangnya dan diusir semua
Legiun yang berdiam di Tanah Selatan ini. Untuk apa aku
memperkuat tembok pertahanannya?”
Saat Raphael dan Gabriel masuk kota itu, disambutlah
mereka dengan meriah di sana. Para Seraphiem yang duduk-duduk
dengan membawa senjata, mereka bersorak dan menaruh senjata-
nya. Mereka menjadi bersemangat dengan adanya para Agung di
sana. Mereka bersorak dan berlutut memberi hormat. Datanglah
Mirkandruel dan Mindruel di sana menyambut mereka. Mereka
menghadap para Agung dan berkata,

285
“Salam bagi tuan-tuan Malaikat Agung di Tanah Selatan ini.
Salam bagi Tangan Allah dan Suara Allah.” Maka kemudian berka-
talah Raphael,
“Salamku juga bagimu, saudara-saudara Malaikat Agung.
Aku melihat bahwa masih ada ketegangan di kota-kotamu. Di mana
dia, tuanmu? Mengapa aku tidak melihatnya di antara kamu,
Seraphiem?” Maka berkatalah Mindruel,
“Ampunilah kiranya bila tuan-tuan tidak mendapati tuan
Serael di sini. Memang para Seraphiem masih melakukan penjagaan
yang sangat ketat dengan batas-batas tanah ini untuk melindungi
Kota Serael. Bila-bila musuh datang untuk merebutnya kembali,
kami telah siap. Tuan Serael tentu akan menanti tuan di Kota Pahr,
di sebelah selatan, tuan.” Maka berkatalah Gabriel,
“Pahr? Apa yang terjadi dengan kota Serael? Mengapa tidak
dapat kami menerima sambutan di sana?” Lalu berkatalah
Mirkandruel,
“Kiranya kasih dari tuan-tuan masih ada bagi kami. Namun
ini adalah perintah dari tuan Serael sendiri, masakan kami hendak
melanggarnya. Kami akan menuntun tuan-tuan ke sana, melalui
Mith.”
Mendengar Mirkandruel itu, semakin heran lagi Gabriel.
Maka kata Gabriel,
“Setelah Pahr, sekarang engkau hendak membawa kami
lewat Mith. Haruskah kami berjalan memutar melalui kota susu itu,
pembesar Seraphiem? Taruhlah sedikit hormat saja pada kami!”
Maka lagi kata Mirkandruel,
“Tuan, kami hanya menjalankan perintah dari tuan Serael.
Kiranya tuan-tuan dapat memaklumkan tindakan kami ini.” Maka
terdiamlah Gabriel dan ia melempar pandangannya ke padang-
padang.
Datanglah Yehudiel dan Sealtiel menyusul. Sebab Yehudiel
dan Sealtiel bertunggang pelan-pelan menikmati keramaian di
Tanah Selatan. Kemudian mereka melihat Gabriel yang berdiam
diri saja, maka datanglah mereka pada Gabriel. Kata Yehudiel,
“Mengapa kita berhenti? Adakah kita akan beristirahat lagi
di sini? Kota Serael sudah sangat dekat, saudaraku, mari lanjutkan

286
saja perjalanan kita.” Namun Gabriel menjawab dan menceritakan
apa yang dikatakan oleh hamba-hamba pembesar Seraphiem di
sana.
Lalu kemudian Yehudiel dan Sealtiel saling berbicara. Maka
berkatalah Yehudiel,
“Baiklah kita pergi saja ke Kota Pahr seperti yang dikatakan
para pembesar itu. Lagipula aku tidak pernah melihat kota itu, dan
juga Kota Mith yang akan kita lalui.” Kemudian berkatalah Sealtiel,
“Aku akan bersamamu, saudaraku. Ada kesenanganku di
masa-masa yang seperti ini. Selain aku bebas tugas, aku juga dapat
berjalan-jalan mengelana Tanah Sorga dan melihat keindahan kota-
kotanya.” Maka kemudian berkatalah Yehudiel pada Raphael,
“Ralph, aku dan Sealtiel akan mengikuti rencana Mikhael.
Aku akan pergi ke Pahr melalui Mith.”
Raphael turun dari tunggangannya dan ia membuka peta
yang ada di sana. Kemudian dilihatnya dalam peta itu dan katanya,
“Kota Pahr di sebelah selatan. Mengapa aku tidak tahu
tentang kota ini? Tidak apalah, Jegudiel. Mari kita pergi ke sana,
aku hendak melihat-lihat kota itu.” Kemudian berkatalah Raphael
pada Mirkandruel, katanya,
“Mirkandruel, aku akan pergi bersama Mindruel. Ia akan
membimbing kami, itu sudah cukup. Ada hal yang aku ingin
engkau buat bagiku. Pergilah ke Kota Serael, yang kami tidak dapat
pergi ke sana itu dan carilah pemimpin Rephaiem yang bekerja di
sana. Ia adalah saudaraku itu, engkau mengenalnya, tentu saja.
Bawa dia ke Pahr, tempatku nanti. Aku ada perlu dengan dia.”
Kemudian Gabriel berkata di sana,
“Baiklah kita ke Pahr. Namun aku ingin lewat Kota Serael.
Tenanglah engkau, Mindruel. Engkau tidak akan mendapat celaka
dari tuanmu. Kita akan tetap lewat Kota Serael, lalu terus ke Pahr.”
Mendengar itu, berkatalah Raphael,
“Jegudiel, perhatikanlah juga saudara-saudaramu ini.
Mereka ingin ke Pahr melalui Mith. Mereka hendak melihat-lihat di
sana. Siapa yang akan menuntun jalan mereka ke sana? Bila engkau
memerintahkan semua hamba ini?” Maka kemudian berkatalah
Sealtiel,

287
“Tidak apalah. Pergilah saja kamu dan kita akan bertemu
lagi di Pahr nanti. Aku dan Yehudiel akan pergi berdua saja
bersama rombongan kami.” Yehudiel juga setuju dengan Sealtiel.
Tapi Raphael menahan mereka. Sebab kata Raphael,
“Yehudiel, Sealtiel. Kamu adalah hamba-hamba Altar yang
tidak pernah keluar dari sana. Bagaimana kamu akan tahu jalan ke
Pahr? Bila jalan ke Mith saja kamu juga belum pernah melihatnya?”
Lalu berkatalah Yehudiel,
“Raphael, Tangan Allah. Adakah engkau meragukan kami?
Sekalipun kami tidak pernah keluar dari Tanah Altar dan Tanah
Allah, namun kami ini adalah para pengelana hebat. Cukuplah
waktu bagiku selama di Gerbang Altar untuk membuka peta-peta
dan menghafal jalan-jalannya.” Kemudian percayalah Raphael dan
Gabriel pada Yehudiel dan Sealtiel segeralah mereka melanjutkan
perjalanan dari Sarnos. Mereka berpisah di sana dan menempuh
jalan masing-masing.
Saat hendak berangkat dari sana, datanglah Gelabriel
menghadap Gabriel. Ia berlutut di depan tunggangan Gabriel dan
berhentilah Gabriel saat melihatnya. Kemudian berkatalah Gabriel
pada Gelabriel itu, katanya,
“Engkau menghadang jalan Malaikat Agung!” Maka kemu-
dian Gelabriel itu berdiri dan ia mengangkat wajahnya. Saat Gabriel
melihat wajahnya, barulah ia tahu bahwa itulah Gelabriel. Maka
turunlah Gabriel dari tunggangannya dan memeluk Gelabriel itu.
Katanya,
“Gelabriel, aku sungguh merindukanmu! Mengapa engkau
harus ada di antara pertempuran seperti ini? Aku lama sudah
menyuratimu, namun tidak pernah engkau menjawab.” Maka
kemudian berkatalah Gelabriel,
“Salam bagi Jegudiel, Suara Allah, penguasa Tanah Jegu-
diem. Aku tahu mengenai surat-surat dari tuan itu. Para Jegudi
sering datang padaku dengan membawa surat-surat dari tuan.
Mereka berkata: ‘Di mana Gelabriel?’ karena perbuatannya, hamba-
hambaku mengusir dia karena tidak memberi hormat pada pembe-
sar, dengan tidak menyebut tuan. Adapun surat yang tuan tulis
adalah bagi Gelabriel, seorang Jegudi. Tuan, aku adalah Seraph

288
sekarang dan aku adalah hamba pembesar Seraphiem. Tentulah
tidak ada hak bagiku membuka surat itu, karena surat itu tidak
ditujukan padaku. Aku bukan Gelabriel seorang Jegudi.” Maka
tertawalah Gabriel karena hal itu.
Setelah itu Gabriel naik ke satu kereta tarik dan duduk di
sana bersama Gelabriel itu. Mereka berbincang dan saling melepas
rindu di sana. Kemudian berkatalah Gelabriel pada Gabriel,
katanya,
“Tuan, benarkah ada seorang Jegudi yang tergabung dalam
barisan Jegaduriem dan menjadi bagian barisan yang mengawal
tuan Raphael yang disebut Mantael?” Maka berkatalah Gabriel,
“Ya, benar. Engkau juga mengenalnya bukan? Tentu saja
ada ia dalam barisan Jegaduriem. Dan sekarang ini ia ada di bela-
kang barisan rombongan, bersama para Rephaiem dan Jegudiem
yang lain. Adakah perlumu dengannya?” Maka jawab Gelabriel,
“Benar tuan, ada perluku dengannya. Tuan Serael memberi
perintah langsung padaku untuk mencarinya dan membawa ia
pada tuan Serael. Akankah tuanku memberi ijin baginya untuk
pergi?” Lalu berkatalah Gabriel,
“Sebagai pemimpin Jegaduriem, tentu aku mengijinkannya.
Namun engkau, tanyalah pada tuan Raphael mengenai itu. Bila
memang boleh, biarlah Mindruel yang membawa Mantael pada
tuan Serael. Engkau tinggallah bersama aku dalam rombongan ini
sebagai ganti Mindruel yang menunjuk jalan kami.” Lalu berkatalah
Gelabriel,
“Tuan, ampunilah cara hamba berbicara, namun memang
ini yang hamba dapati dari tuan. Tuan telah merubah-rubah tugas
kami yang telah ditentukan oleh tuan Serael. Masakan tuan ada
kuasa untuk melakukannya? Bukankah ada hukum mengenai itu,
bahwa seharusnya tuan meminta ijin pada tuan Serael dahulu? Hal
ini hanya supaya jangan kami mendapat celaka nantinya karena
mentaati tuan dan mengabaikan perintah tuan kami sendiri.” Lalu
lagi kata Gabriel padanya,
“Adakah tuanmu Serael tidak akan memberi ijin bagiku?
Bila benar tidak ia mengijinkan aku, maka baiklah tidak perlu eng-
kau buat segala perintahku itu.” Maka terdiamlah Gelabriel dan

289
pada akhirnya pun ia tetap membuat apa yang diperintahkan
Gabriel itu.
Waktu berlalu terus dan sampailah Raphael dan Gabriel di
Kota Serael. Mereka keluar dari kereta tarik mereka masing-masing
dan berpindah ke tunggangan. Mereka melihat keadaan kota itu
dari jauh. Ada tembok mengeliling kota itu dan sedang dalam
pengerjaan. Para Rephaiem mengerjakan tembok itu bukan untuk
dibangun, melainkan untuk dirobohkan. Kemudian datanglah
Elcuriel yang saat itu memimpin pembangunan di Kota Serael.
Segeralah Elcuriel itu berlari mendapati Raphael dan
berlutut di depannya. Kemudian berkatalah Raphael,
“Mengapa lama bagimu untuk pergi padaku, Elcuriel?”
Kemudian jawab Elcuriel itu,
“Kiranya kasih tuan selalu padaku. Memang Mirkandruel
sudah datang padaku dan berkata bahwa tuan memanggil aku saat
masih di Sarnos. Namun ada pengerjaan yang menghambat dan
baru saja hamba ini hendak berangkat mendapati tuan. Belum
hamba berangkat, tuan sudah mendapati hamba di sini. Salamku
bagimu, Tangan Allah yang memimpin Rephaiem.” Kemudian
Raphael membawa Elcuriel itu bertunggang bersanding dengan ia
dan mereka membicarakan banyak hal mengenai pembangunan di
Kota Serael, dan kota-kota lainnya.
Pada waktu itu Mikhael sudah tidak ada di sana. Mikhael
sudah pergi bersama rombongannya ke Pahr untuk menanti para
Agung di sana. Sedang Raphael dan Gabriel melihat keadaan Kota
Serael yang berantakan dan kacau itu. Kemudian berkatalah
Raphael pada Gabriel, katanya,
“Jegudiel, pergilah mendahului aku. Temui Serael dan kata-
kan bahwa aku harus tinggal di sini dahulu untuk beberapa saat.
Kota ini sangat kacau dan aku gatal untuk mengerjakan kota ini.
Aku sendiri akan memimpin pembangunan di sini sampai sudah
cukup bagiku, maka aku akan pergi untuk menyusulmu di Kota
Pahr itu.” Maka berkatalah Gabriel pada Raphael,
“Kita pergi bersama, maka kita juga harus sampai bersama-
sama, Ralph. Mungkin memang saat ini Serael sudah mempersiap-
kan segala sesuatunya di Pahr bagi kita. Namun bukankah ia

290
memerintahkan pada hamba-hambanya supaya membawa kita ke
Pahr lewat Mith? Perjalanan dari Sarnos ke Pahr lebih lama melalui
Mith dari pada melalui Kota Serael ini. Maka seharusnya pun kita
tidak cepat-cepat datang ke sana. Aku akan menanti di sini sampai
satu Shakta lagi. Bila memang dalam satu Shakta ini engkau masih
juga sibuk, aku akan pergi mendahuluimu.” Sepakatlah mereka dan
Raphael segera memulai pekerjaannya di sana.
Dengan pimpinan Raphael, para Rephaiem bekerja dengan
cepat dan giat. Mereka mengeluarkan semua batu-batu bekas
puing-puing bangunan dan membongkar tembok-tembok di sana.
Bahkan bangunan yang bukan bangunan Rephaiem, melainkan
bangunan tangan Legiun, dirobohkan semua oleh Raphael. Batu-
batu yang digunakan para Legiun untuk membangun tidak diguna-
kan lagi oleh Raphael. Raphael sendiri memerintahkan,
“Batu-batu bekas bangunan tangan Legiun, jangan kamu
pakai lagi untuk membangun. Kumpulkan batu-batu itu dan
hancurkan sampai lumat menjadi tanah dan debu. Bila terlalu keras
batunya untuk dihancurkan oleh palu dan tanganmu, kubur batu
itu di padang-padang sana.” Maka dibuatlah demikian oleh para
Rephaiem. Bukan hanya batu-batu, bahkan segala bahan yang
bekas tangan Legiun, dibakar dan dihancurkan di sana.
Sejak saat itu, Raphael mengeluarkan perintah larangan
yang dijadikan hukum bagi suku Rephaiem. Kata Raphael saat ia
ada di halaman rumah kediaman Mikhael,
“Inilah ketetapan bagi kamu para Rephaiem. Ketetapan ini
tidak akan hilang dan terus menjadi ketetapan suku ini sampai
selama-lamanya. Jangan kamu menggunakan bahan-bahan
bangunan bekas bangunan musuhmu! Buanglah segala bahan
mereka dan hancurkan itu di depan mata saudara-saudaramu
sebagai saksi. Bila itu adalah bahan tambangan, kamu dapat
meleburnya ulang dalam api dan itu sah bagimu untuk digunakan
lagi. Namun bila bahan itu tidak dapat dilebur, yaitu segala jenis
batu-batuan, permata, kayu dan juga bahan lainnya, harus kamu
hancurkan dan buat itu. Supaya jangan ada yang berkata: ‘Sorga
dibangun tidak hanya oleh Tangan Allah saja. Melainkan juga
tangan-tangan lain yang bukan dari Sorga.’ Dengan ini, bila kau

291
mendengar perkataan yang seperti itu, aku akan menyangkalnya.
Karena saat ini, di Tanah Selatan, Tanah Seraphiem aku telah
membuat ketetapan di antara kamu putra-putra Tangan Allah. Dan
bila ada yang berkata seperti itu dan dapat membuktikannya
padaku; bahwa ada bahan-bahan sisa dari musuh yang engkau
gunakan kembali untuk membangun, aku akan mencari siapa yang
membuatnya tanganku sendiri yang akan menamparnya. Bahkan
aku akan memohon sendiri pada Mulut Allah, supaya Suara-Nya
itu mengutuki dia.” Maka takutlah para Rephaiem karena perka-
taan Raphael itu dan mereka tidak berani melanggar ketetapan itu
sampai sekarang ini.
Sementara itu, sudah dua Shakta lamanya Yehudiel dan
Sealtiel dalam perjalanan ke Mith. Hamba-hamba Seraphiem yang
di Mith sudah bersiap untuk menyambut para Agung yang diperki-
rakan akan sampai di sana satu Shakta sebelumnya. Namun sudah
hampir dua Shakta mereka menunggu, tidak juga para Agung
nampak datang di sana. Pada waktu itu Yehudiel dan Sealtiel
menyusuri pinggiran barisan pohon yang dari Kota Sarnos ke Mith.
Namun mereka itu banyak sekali melakukan perhentian untuk
melihat-lihat. Bahkan mereka pergi ke arah timur, ke arah Padang
Luas Selatan. Sebab mereka hendak melihat padang itu. Maka perja-
lanan mereka menjadi sangat lama. Para Seraphiem yang sudah
lama menunggu menjadi kebingungan dan mulai mencari para
Agung di jalanan padang. Namun mereka tidak menemukan
Yehudiel dan Sealtiel di jalan utama. Bahkan rombongannya pun
juga tidak nampak ada di sana. Maka pergilah para Seraphiem itu
karena kebingungan. Mereka hendak menyampaikan semua itu
pada Mikhael.
Gabriel telah meninggalkan Raphael di Kota Serael setelah
satu Shakta menunggu, seperti kata Gabriel. Sementara Raphael
sendiri masih memimpin pengerjaan tanpa henti di Kota Serael
selama tiga Shakta setelahnya. Baru setelah itu, pergilah Raphael
menyusul Mikhael dan Gabriel di Kota Pahr untuk berjamu di sana.
Sebelum Gabriel ada di Pahr bersama Mikhael, Mikhael
tengah mempersiapkan kota itu untuk jamuan. Namun datanglah

292
hamba-hambanya dari Kota Serael. Lalu kata hamba-hamba
padanya,
“Tuan, kiranya kami mendapat ampunan dari tuanku. Ada-
pun para Malaikat Agung menolak untuk turut bersama kami ke
sini melalui Mith. Tuan Raphael dan Gabriel pergi ke Kota Serael
dan mereka sudah ada di sana sejak satu Shakta yang lalu. Sedang
tuan Yehudiel dan Sealtiel memutuskan untuk tetap seperti rencana
tuanku, mereka pergi lewat Mith. Hanya saja, tidak ada yang
mengawal perjalanan mereka.” Mendengar itu, geramlah Mikhael
dan ia menjadi murka di depan hamba-hambanya. Kata Mikhael,
“Bagaimana engkau tidak melakukan tugasmu dengan be-
nar? Bila tuan Raphael dan Gabriel itu hendak pergi ke Kota Serael,
itu masih tidak masalah bagiku. Namun kamu ini telah membiar-
kan rombongan tuan Yehudiel dan tuan Sealtiel pergi tanpa ada
yang mengawal ke Mith. Sungguh perbuatanmu sangat berbahaya,
Seraphiem! Sekarang pergi dan cari tuan-tuan itu di Mith. Jangan
sampai aku mendengar, kamu tidak mendapati mereka di sana!”
Maka pergilah hamba-hamba Seraphiem itu dengan takut.
Tidak lama kemudian datanglah Gabriel di sana. Gabriel
disambut dengan meriah di Pahr dan Mikhael sudah siap menanti-
nya di depan pintu. Mikhael telah memilih salah satu rumah kerja
yang paling baik di sana untuk tempat jamuan. Ia sudah memper-
siapkan itu dan sudah menanti. Saat ia melihat dari jauh, bahwa
Gabriel tidak bersama Raphael, maka urunglah semangatnya. Sebab
ia menanti dan berharap saudara-saudaranya datang bersamaan.
Namun tetap saja ia bersuka saat melihat Gabriel sudah ada di sana.
Mereka saling berpeluk cium di sana.
Kemudian masuklah mereka ke dalam rumah yang sudah
dipersiapkan Mikhael itu. Gabriel mencari-cari Yehudiel dan
Sealtiel namun tidak melihatnya, maka kata Gabriel,
“Mikhael, di mana Yehudiel dan Sealtiel? Seharusnya mere-
ka datang lebih awal dari padaku. Atau setidaknya mereka datang
hampir bersamaan dengan aku. Sebab kami berpencar di Sarnos
dan mereka pergi melalui jalan ke Mith.” Maka berkatalah Mikhael,
“Ya, aku sudah mendengar tentang itu. Lagi pula mengapa
engkau tidak turut saja pada Mirkandruel dan Mindruel itu?

293
Mengapa harus engkau mengubah-ubah perintah mereka, Gabriel?
Mungkin satu Shakta yang lalu, hamba-hambaku telah kuutus
untuk mencari Yehudiel dan Sealtiel. Sebab engkau telah membiar-
kan mereka pergi tanpa ada yang mengawal mereka. Sedang
mereka itu tidak pernah berjalan di daerah ini. Apa lagi para Legiun
belum sepenuhnya pergi dari Tanah Selatan. Aku takut bila ada
barisan Legiun yang menghadang Yehudiel dan Sealtiel di padang-
padang.” Maka berkatalah Gabriel,
“Kiranya ampuni aku, saudaraku. Baiklah jangan kita
berjamu dulu. Mari kita mencari saudara-saudara kita itu.” Maka
pergilah mereka dengan segera.
Sedang saat itu Yehudiel dan Sealtiel sudah puas melihat
Tanah Luas Selatan. Mereka sudah melihat padang yang sangat
luas itu dan puaslah pandangan mereka dapat melihat sejauh mata
mereka memandang. Maka berkatalah Sealtiel,
“Baiklah sekarang kita pergi, Yehudiel.” Kemudian Yehudiel
melihat peta dan melihat sekitarnya. Lalu kata Yehudiel,
“Menurutku kita sudah terlalu jauh dan sudah melewati
Mith, Sealtiel. Sejak meninggalkan barisan pohon dari Sarnos, kita
berjalan ke timur, lalu ke utara. Maka seharusnya, saat ini kita ber-
ada di sebelah selatan Mith. Kita tinggal berjalan ke barat, kemudi-
an kita akan mendapati barisan pohon itu lagi. Kita tinggal berjalan
menyusurinya, kemudian kita akan mendapati perbukitan ini. Per-
bukitan Arhanor. Dari sana kita sudah dekat dengan Pahr.” Maka
pergilah Yehudiel dan Sealtiel melanjutkan perjalanan mereka.
Waktu berlalu begitu saja, hamba-hamba Seraphiem yang
dari Mith bertemu dengan Mikhael dan Gabriel di jalan antara Pahr
dengan Perbukitan Aharnor. Berkatalah hamba-hamba itu pada
Mikhael, kata mereka,
“Salam bagi tuanku, Serael, Cahaya Sorga. Kami membawa
berita dari Mith, tuan. Adapun sejak kami mendengar bahwa para
Malaikat Agung akan melewati Mith, kami bersiap untuk penyam-
butan di sana. Namun kami menanti lama, tidak kunjung juga
datang para Malaikat Agung ke sana. Kemudian beberapa hamba
pergi untuk mencari para Malaikat Agung ke jalan-jalan yang dari
arah Sarnos. Namun sepanjang barisan pohon, kami tidak menda-

294
pati tuan Yehudiel dan tuan Sealtiel di sana. Maka kami pergi ke
Pahr untuk memberitahukan ini pada tuan. Namun rupanya kami
sudah mendapati tuan di sini.” Terkejutlah Mikhael dan Gabriel
mendengar hal itu.
Maka kemudian berkatalah Mikhael,
“Siapa yang terakhir melihat keberadaan tuan Yehudiel dan
tuan Sealtiel? Bila ada, di mana para Malaikat Agung ini berada saat
itu?” Maka kemudian kata hamba Seraph itu,
“Tidak ada tuan. Melainkan mereka yang di Sarnos. Mere-
kalah yang terakhir melihat dua Malaikat Agung pergi dari sana
dan berjalan ke Mith bersama rombongannya.” Maka berkatalah
Mikhael,
“Berikan perintah pada barisan di Mith untuk keluar segera
dari kota dan mencari tuan Yehudiel dan Sealtiel. Periksa setiap
jalan dan juga awas bila-bila ada jejak yang tertinggal. Panggil para
penunggang di Sarnos! Mereka semua harus pergi bertunggang
mengelilingi Tanah Luas Selatan. Jangan sampai para Malaikat
Agung ini diserang oleh para Legiun saat ada di jalan.” Maka berge-
raklah segera para Seraphiem melakukan perintah Mikhael itu.
Kemudian berkatalah Gabriel pada Mikhael, katanya,
“Kita juga harus segera mencari mereka, saudaraku. Kita
yang terdekat dengan Tanah Luas Selatan saat ini. Hamba-hamba-
mu yang ada di Mith ataupun Sarnos tidak mungkin bergerak
sekarang. Sebab perintahmu masih dalam perjalanan. Kita harus
segera bergerak juga.” Maka berkatalah Mikhael,
“Aku tahu tentang itu, Gabriel. Tenanglah sebentar. Aku
hendak memanggil seseorang dari antara pejuang Selatan.”
Kemudian berkatalah Mikhael pada Mindruel, katanya,
“Mindruel, pergi segera ke Phanto. Cari Frantiel, yang kata
para Seraphiem adalah pelari tercepat itu. Perintahkan padanya
untuk berkelana mencari tuan Yehudiel dan tuan Sealtiel seorang
diri saja. Suruh dia membawa tunggangan, beruang emas. Supaya
cepat ia bertunggang. Dan bila sudah payah tunggangannya itu, ia
masih dapat berlari cepat.”
Terjadi kegemparan di Selatan karena menghilangnya Yehu-
diel dan Sealtiel itu. Padahal Yehudiel dan Sealtiel hanya tersesat di

295
antara Tanah Luas Selatan. Tempat mereka berada saat itu adalah di
sebelah timur laut Mith. Tidak sampai satu Shakta perjalanan jarak-
nya. Hanya saja memang tempat di mana mereka berada itu bukan
jalan umum yang sering dilewati dan termasuk di antara padang
luas.
Mikhael dan Gabriel mencari-cari saudara-saudaranya itu
bersama rombongan Seraphiem. Namun tidak juga mereka mene-
mukannya. Sementara itu, Yehudiel dan Sealtiel ada bertunggang
dengan santai di antara padang dan mereka menikmati perjalanan
mereka. Kemudian tidak lama, mereka melihat ada asap membum-
bung ke atas. Maka berkatalah Yehudiel pada Sealtiel, katanya,
“Sealtiel, lihatlah! Ada asap di sebelah selatan itu! Mungkin
ke arah sanalah kita harus pergi. Itu adalah asap dari kota para
Seraphiem.” Kemudian Sealtiel melihat asap itu dari kejauhan.
Maka katanya,
“Hentikan rombongan ini, Yehudiel. Itu bukan asap yang
berasal dari para Seraphiem. Itu adalah asap hasil pembakaran
kayu Hutan Selatan.” Lalu kata Yehudiel,
“Bagaimana engkau dapat mengetahui itu, Sealtiel?” Maka
lagi kata Sealtiel,
“Menurutmu, berapa puluh tahun aku melayani di Altar?
Setiap saat, ketika para Cerubbiem menaikkan pujian dan para
malaikat bergantian mengikuti ibadah, aku hanya duduk berdiam
dan berurusan dengan asap dan dupa. Aku tahu asap mana yang
keluar dari apa. Bila aku berkata asap itu dari kayu Hutan Selatan,
maka memang itulah asap pembakaran kayu Hutan Selatan. Para
Rephaiem memang sedang melakukan penebangan untuk mengam-
bil kayu dari hutan di sana, namun tidak mungkin mereka berani
membakarnya. Lagipula untuk apa mereka membakarnya di tengah
padang seperti ini?” Lalu kata Yehudiel,
“Benar juga apa yang engkau katakan itu, saudaraku. Sung-
guh engkau berhikmat. Sebab seharusnya kota para Seraphiem ada
di sebelah barat kita, dan tidak ada kota lain di sebelah selatan kita
saat ini. Sedang asap itu berada di sebelah selatan. Baiklah aku akan
mengutus hamba untuk pergi melihatnya ke sana. Kita akan
menunggu di sini.”

296
Berhentilah rombongan itu di sana dan mereka menaruh
barang-barang mereka di antara rumput yang tinggi. Mereka du-
duk di tanah, di balik rumput dan semak. Hewan-hewan tungga-
ngan mereka tenangkan dan mereka rebahkan juga di balik rumput.
Kemudian berkatalah Yehudiel pada hamba-hambanya, katanya,
“Kamu pergilah ke arah asap yang ada di selatan itu. Ikuti-
lah asap itu dan cari di mana itu bersumber. Namun berjaga-jagalah
dan tetap bersembunyi. Jangan sampai ada yang melihat kamu,
karena asap itu sangat mencurigakan.” Pergi hamba-hamba yang
diutus oleh Yehudiel itu ke sana.
Sedang pada waktu itu Mikhael dan Gabriel sudah hampir
dua Shakta mencari ke padang-padang dan tidak mendapati Yehu-
diel dan Sealtiel. Sementara Raphael, sudah dalam perjalanannya ke
Kota Pahr saat itu. Dalam pencariannya, Mikhael dan Gabriel,
bersama rombongan Seraphiem tidak berhenti bertunggang. Mere-
ka terus berjalan tanpa beristirahat dan terus memikirkan Yehudiel
dan Sealtiel. Sedang para penunggang Seraphiem telah dikirim
untuk mencari di padang-padang. Para Seraphiem yang di Mith,
sudah mencari di jalan-jalan utama. Dan Benarlah para Seraphiem
itu menemukan jejak satu kereta tarik keluar dari jalur jalan dan
menuju ke timur, masuk dalam Tanah Luas Selatan.
Segeralah kabar itu disampaikan pada Mikhael dari mulut
ke mulut, supaya cepat berita itu sampai. Para Seraphiem ada ber-
deret panjang, yaitu mereka yang sedang mencari Yehudiel dan
Sealtiel. Mereka menyampaikan berita pada Mikhael dari mulut ke
mulut. Sementara itu, hamba utusan Mikhael, pemimpin barisan
tiga puluh, Frantiel. Dia sudah pergi dengan cepat dari Phanto dan
segera masuk dalam Tanah Luas Selatan. Frantiel pergi melakukan
tugasnya seorang diri saja tanpa hamba ada bersamanya.
Saat ia masuk perbatasan antara Perbukitan Aharnor dengan
Tanah Luas Selatan, ia berhenti di sana. Kemudian ia turun dari
tunggangannya dan berlutut menyentuh tanah. Lalu katanya,
“Berilah aku jalan sampai pada tuan Yehudiel dan Sealtiel.
Sehingga tugas yang diemban oleh banyak Seraphiem ini, hanya
aku yang dapat menyelesaikannya dengan baik. Kiranya Kasih

297
Yang Sulung besertaku.” Gabriel mendengar doanya itu. Maka
berkatalah Gabriel pada Mikhael, katanya,
“Engkau tahu hambamu itu, ia berdoa saat sebelum mencari
Yehudiel dan Sealtiel. Semoga ia dapat menemukan Yehudiel dan
Sealtiel dengan segera.” Kemudian Mikhael tertawa kecil dan ia
berkata,
“Hamba-hambaku para Seraphiem ini, ada empat ratus
barisan lebih yang kutugaskan mencari. Namun belum juga ada
yang menemukannya. Sedang Frantiel itu aku beri tugas untuk
berangkat seorang diri saja. Bila memang ia dapat menemukan
Yehudiel dan Sealtiel, baiklah aku akan memohon pada Raphael
untuk memberinya salah satu dari pedang berkuasa sebagai hadiah-
nya.” Tidak hanya Gabriel yang mendengar itu dari Mikhael.
Namun juga ada tujuh orang Seraphiem yang mendengar perkataan
Mikhael itu.
Sampailah Raphael di Kota Pahr dan ia mendapati kota itu
sepi. Bahkan para Seraphiem di sana tidak menyambutnya karena
para Seraphiem sedang kebingungan melihat Mikhael yang murka
besar sebelumnya. Hanya para Rephaiem yang bertugas di kota
itulah yang menyambut Raphael beserta rombongannya. Maka
berkatalah Raphael pada hambanya yang bertugas di sana, katanya,
“Melhuriel, apa yang terjadi di sini? Mengapa kota ini sepi,
padahal para Agung akan ada berkumpul di sini.” Lalu kata
Melhuriel pada Raphael,
“Ada berita menghebohkan, tuanku. Tuan Yehudiel dan
tuan Sealtiel menghilang dalam perjalanan mereka dari Sarnos ke
Mith. Seharusnya para Agung itu sudah sampai di Pahr saat ini.
Namun sejak lama mereka tidak juga datang dan tidak lewat di
Mith. Tuan Serael murka pada hamba-hambanya dan memerintah-
kan untuk pencarian. Maka para Seraphiem ini pergi dan yang
tinggal ketakutan karena murka tuan Serael pada mereka.” Baru
tahu Raphael tentang itu dan ia terkejut mendengarnya. Maka kata
Raphael,
“Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan atau apa yang
harus kuperintahkan padamu. Baiklah sekarang tunjukkan di mana
rumah tempat jamuan para Agung nanti, supaya aku dapat mena-

298
ruh barang-barangku dahulu di sana.” Maka dibawalah Raphael ke
tempat yang akan dijadikan tempat para Agung berjamu.
Raphael melihat Kota Pahr untuk pertama kalinya dan ia
tidak ingat bahwa ia pernah membangun kota itu. Sebab memang
saat pembangunan Tanah Selatan pertama kali, Raphael hanya
memimpin pembangunan di Kota Serael, Kota Surdhanya, Kota
Sarnos, dan kota-kota besar lain yang ada di sebelah utara, terma-
suk Kota Klenath. Maka ia tidak pernah melihat kota-kota ujung
Selatan. Di Pahr juga, Raphael mengulangi ketetapan bagi suku
Rephaiem tentang bahan-bahan bangunan bekas musuh. Diucap-
kannya lagi tentang ketetapan itu di depan seluruh pemimpin
pembangunan kota-kota ujung Selatan. Maka kemudian beberapa
bangunan di kota-kota harus dibongkar lagi karena ada yang
menggunakan batu bekas bangunan Legiun. Lalu Raphael pergi
dari sana menyusul Mikhael dan Gabriel di sebelah timur
Perbukitan Aharnor.
Sedang pencarian masih terus berlangsung dan kehebohan
memenuhi Tanah Selatan karena peristiwa itu. Sebab selama
Yehudiel dan Sealtiel menghilang, Mikhael hanya murka pada
hamba-hambanya dan semakin hebat murkanya semakin lama.
Gabriel sendiri tidak berani menenangkan Mikhael karena takut
saat melihat Mikhael murka. Saat peristiwa itu, Mikhael duduk di
atas beruang emas. Ia tidak mengenakan kain ataupun pakaian
yang menutup tubuhnya. Cahayanya terpancar terang dan sayap-
sayapnya terbebas terbentang. Rupanya mengerikan saat ia murka
dan tombak di tangannya. Ia hanya mengeluarkan perintah dan
perintah, tidak mau tahu, yang ingin ia dengar hanya bila Yehudiel
dan Sealtiel sudah didapati.
Sedang saat itu, para Yehudiem yang diutus Yehudiel sudah
melihat dari mana asap membumbung. Mereka melihat perke-
mahan tidak luas, namun ada banyak orang di sana. Mereka adalah
salah satu barisan legion yang terserak dan bersembunyi di padang
itu. Para Yehudiem melihat bahwa para legion itu menyalakan api
untuk membakar pembentukan kendi dan kegiatan menempa. Ka-
rena rupanya keadaan barisan itu sudah mengenaskan dan mereka
membutuhkan air. Mereka membuat kendi-kendi dan berusaha

299
menangkap air di udara juga embun-embun di rerumputan. Meli-
hat hal itu, para Yehudiem itu berlari kembali pada Yehudiel cepat-
cepat dengan takut.
Pada saat yang hampir bersamaan, Frantiel, hamba Seraph
yang diutus Mikhael, melihat juga perkemahan itu. Ia melihat juga
para Yehudiem yang berlari. Maka turunlah ia dari tunggangannya
dan berlari diam-diam mengitari perkemahan legion itu. Kemudian
ia mengikuti para Yehudiem yang berlari dari sana. Sebab ia tahu
bahwa para Yehudiem itu tentu berlari pada Yehudiel dan Sealtiel.
Tidak jauh ia berlari, ia sudah melihat tempat Yehudiel dan
Sealtiel berdiam. Ia hendak pergi untuk menjemput mereka, namun
ia mendengar suara langkah kaki mengikuti dia. Maka Frantiel me-
nunduk di antara rerumputan dan melihat bahwa ada legion yang
mengikuti ia. Maka berlarilah Frantiel dari sana. Sebab ia tidak
dapat melawan para legion itu seorang diri, ia takut bila ia tertang-
kap di sana.
Sementara itu, Yehudiel mendapati hamba-hambanya kem-
bali. Ditarik oleh Yehudiel salah satu hambanya itu ke balik semak
dan didudukkannya di sana. Kemudian kata Yehudiel,
“Apa yang engkau lihat di sana, Yehudi? Bicaralah!”
Kemudian kata hamba Yehudi itu padanya,
“Ada perkemahan musuh tuan. Perkemahannya tidak luas.
Hanya selebar satu panahan saja. Namun musuh yang ada di sana
itu sangat banyak. Kira-kira seratus lima puluh barisan mungkin.
Aku tidak dapat menghitung dengan cepat dan tepat. Karena aku
sudah ketakutan bila-bila mereka melihat aku mengintai di sana.”
Kemudian terdengarlah suara langkah orang berlari di sana. Maka
menunduklah Yehudiel dan ia memberi tanda pada hamba-
hambanya supaya tenang dan bersembunyi.
Dilihatnya dari balik semak-semak, ada dua puluhan legion
berlari mengikuti hamba-hambanya yang mengintai. Maka
berbisiklah Yehudiel pada hambanya,
“Memang mereka telah melihat engkau, rupanya.” Kemu-
dian Sealtiel berjalan merangkak di antara rumput menghampiri
Yehudiel dan berbisik,

300
“Itu para legion, Yehudiel. Mereka hanya dua puluh orang
saja. Mari kita habisi mereka sekarang.” Kemudian kata Yehudiel,
“Bila kita menghabisi mereka sekarang, akan ada seratus
lima puluh barisan lagi yang akan datang menyusul. Memang
benar apa katamu, Sealtiel. Asap itu berasal dari perkemahan para
legion itu. Setelah mereka pergi, kita akan segera pergi dari sini ke
barat dan cari barisan pepohonan itu secepatnya. Kita sudah terlalu
lama di padang-padang ini. Mungkin masih banyak lagi para legion
yang bersembunyi dari para Seraphiem di padang ini.”
Para Yehudiem itu berdiam diri saja di sana. Tidak ada
tanda-tanda para legion itu melihat mereka. Maka tetap saja mereka
berdiam. Namun sebenarnya para legion itu sudah melihat dan
mengetahui keberadaan para Yehudiem di balik rumput dan
semak. Namun mereka tidak menyerang karena mereka tahu bah-
wa mereka kalah jumlah saat itu. Berbaliklah para legion itu dari
sana dan kembali ke perkemahan mereka. Kemudian berkatalah
Yehudiel pada hamba-hambanya,
“Lekas bangkitlah kamu semua! Kita harus segera pergi dari
sini. Kasih Sang Sulung masih ada pada kita hingga kita lolos dari
mereka. Kita tidak akan dapat menghadapi barisan itu sekarang.
Namun nanti tuan Serael akan memburu mereka, setelah kusampai-
kan hal ini padanya.” Maka bergeraklah segera para Yehudiem itu
pergi dari sana.
Sedang dari sana para Yehudiem pergi, para legion dibang-
kitkan untuk mengejar mereka. Frantiel, berlari sekuat tenaganya
dan ia berlari tanpa henti untuk mendapati Mikhael. Saat itu
Mikhael ada membangun perkemahanya di sebelah selatan Kota
Mith. Ia membangun perkemahan itu sebagai pusat pemerintahan
pencarian Yehudiel dan Sealtiel. Datanglah Frantiel ke sana dengan
segera dan ia sudah seperti sangat payah berlari saat sampai di
sana.
Maka dibawalah Frantiel itu oleh hamba-hamba Seraphiem
ke tenda Mikhael dan Gabriel. Didudukkan Frantiel di hadapan
para Agung, sedang ia masih terlalu payah untuk bicara. Berkatalah
Mikhael,
“Apa yang terjadi padanya?”

301
Lalu jawab salah satu Seraph yang ada di sana, katanya, “Ia
berlari dari jauh, tuanku. Sudah payah tubuhnya untuk berlari
karena ia memaksakan untuk berlari terlalu cepat. Mungkin setelah
beberapa saat ia beristirahat, baru ia akan dapat mulai berbicara.”
Kemudian para Seraphiem membawa berbagai buah-buahan untuk
menyegarkan Frantiel. Namun untuk memakan buah yang ada itu,
Frantiel tidak dapat, karena terlalu payah tubuhnya.
Sedang para Agung menunggu Frantiel, datanglah Raphael
ke sana. Para Seraphiem melihat kedatangan Raphael dan mereka
memberitahukan itu pada Mikhael. Segeralah Mikhael berkata,
“Baiklah bawa tuan Raphael ke mari. Supaya aku dapat me-
nyambut ia di Tanah Selatan. Bangun tenda lagi bersanding dengan
tendaku, supaya tuan Raphael dapat berdiam di sana.” Segeralah
dibuat itu oleh para Seraphiem.
Bertemulah Raphael dengan Mikhael dan Gabriel di sana.
Mereka saling berpeluk cium dan Mikhael menyambut Raphael
dengan sangat bersukacita. Kemudian duduklah mereka dalam satu
tenda. Bicaralah Raphael, katanya,
“Serael, apa yang sebenarnya terjadi pada Yehudiel dan
Sealtiel? Aku mendengar kabar dari hamba-hambaku tentang
mereka, adakah kabar itu benar?” Maka jawab Mikhael,
“Memang benar, bila engkau sudah mendengarnya. Yehu-
diel dan Sealtiel hilang saat ini dan para Seraphiem belum menemu-
kannya.” Kemudian Raphael melihat Frantiel yang terduduk di
dekat tiang tenda dengan kepalanya tertunduk memandang tanah.
Maka kata Raphael,
“Siapa dia ini? Mengapa ia berdiam diri saja di sini, di tenda
Malaikat Agung?” Maka kata Mikhael,
“Ia ini hamba yang kuutus sendiri untuk melakukan penca-
riannya seorang diri. Ia baru kembali dari padang dengan berlari.
Kurasa ada kabar yang ia bawa, namun masih terlalu payah ia
untuk mulai berbicara.” Maka Raphael bangkit dan menghampiri
Frantiel itu.
Kemudian Raphael memegang tanduk hamba itu dan mena-
riknya ke atas. Terdangaklah wajah Frantiel. Kemudian Raphael

302
memegang dagu Frantiel dan ia menggoyang-goyangkannya.
Kemudian kata Raphael,
“Memang ia terlalu payah. Namun ia melihat sesuatu di
antara padang. Sebentar lagi akan cukup tenaganya untuk bicara.”
Kemudian Raphael kembali duduk. Berkatalah Mikhael pada
Raphael, katanya,
“Bila benar ia melihat sesuatu di padang, sebaiknya ia
melihat Yehudiel dan Sealtiel.” Maka berkatalah Gabriel,
“Bila ia sudah mendapati Yehudiel dan Sealtiel, tentu ia
sudah membawa mereka pada kita. Bukan berlari meninggalkan
mereka dan kembali pada kita.”
Setelah beberapa waktu, Frantiel itu mengangkat tangannya
dan ia memberi tanda bahwa ia hendak berkata. Kemudian tiba-tiba
ia terjatuh ke tanah dan berlutut. Ia berbicara dengan pelan di sana,
katanya,
“Aku menemukan tuan Yehudiel dan tuan Sealtiel. Juga
seluruh rombongan mereka. Mereka dekat dengan kita saat ini. Di
sebelah selatan, kemudian belok ke timur saat sudah di perbatasan
Perbukitan Aharnor. Mereka ada di sana dalam perjalanannya.
Mereka akan segera kembali ke jalan utama, tuanku.” Maka
berkatalah Mikhael,
“Benarkah engkau melihat mereka? Lantas mengapa engkau
tidak membawa mereka dan membimbing mereka kembali ke jalan
utama? Hamba-hambaku sudah mencari ke daerah sana dan tidak
mendapati apa-apa sebelumnya.” Lalu lagi kata Frantiel,
“Ya, sungguh aku sudah melihat mereka. Ada yang lebih
bahaya tuanku. Ada perkemahan legion di daerah sana. Ada sera-
tus dua puluh dua barisan mereka di sana. Para legion itu mem-
bakar kayu-kayu untuk penempaan dan pekerjaan lainnya. Rombo-
ngan tuan Yehudiel mungkin mengira bahwa asap itu berasal dari
salah satu kota Seraphiem. Mereka berjalan ke sana dan aku melihat
hamba-hamba itu saat mereka mengintai perkemahan. Maka aku
pergi mengitari perkemahan untuk menyusul para Yehudiem itu.
Mereka telah melihat kota itu dan pergi kembali pada tuan
Yehudiel dengan aman. Namun saat aku hendak menyusul mereka,
rupanya para legion itu melihat aku dan mengikuti aku juga. Maka

303
saat aku tahu bahwa para legion mengikuti aku, aku pun berlari ke
barat. Sedang para Yehudiem berlari ke selatan, kembali pada tuan
Yehudiel. Para legion itu tidak mengikuti aku ke barat, namun
mereka berlari terus ke selatan mengikuti para Yehudiem. Mungkin
saat ini mereka sudah mengetahui keberadaan rombongan tuan
Yehudiel dan tuan Sealtiel, tuanku.”
Mendengar itu, bangkitlah Mikhael dengan segera. Ia
mengambil senjata-senjatanya dan berlari ke luar tenda. Raphael
dan Gabriel juga berlari mengikuti dia. Kemudian Mikhael naik ke
atas tunggangannya dan ia berseru,
“Mindruel! Bawa seluruh barisan yang ada di perkemahan
ini, ikuti aku segera! Kirim kabar pada Mirkandruel, kita sudah
menemukan tuan Yehudiel dan tuan Sealtiel. Namun ada barisan
legion yang mengikuti mereka. Beri kabar pada Mirkandruel
supaya ia menyusul kita. Berapa barisan yang ada padamu?” Maka
jawab Mindruel,
“Tujuh puluh, tuanku. Dua puluh di antaranya para
penunggang.” Lagi kata Mikhael,
“Para penunggang pergi bersamaku sekarang. Pimpin yang
berjalan menyusul. Tinggalkan perkemahan dan bersiap untuk per-
tempuran. Sekarang, Mindruel! Pergi!” Segeralah para Seraphiem di
sana bersiap dan mereka pergi dengan cepat-cepat meninggalkan
perkemahan.
Para penunggang naik ke atas tunggangan mereka. Mikhael,
Raphael dan Gabriel sudah bertunggang mendahului dengan cepat,
karena mereka memikirkan Yehudiel dan Sealtiel. Lalu dua puluh
barisan penunggang menyusul para Agung. Mereka bertunggang
ke arah selatan, ke perbatasan Perbukitan Aharnor, seperti petunjuk
yang disampaikan oleh Frantiel. Berkatalah Raphael pada Mikhael,
“Tenanglah Serael! Tenangkan pikiranmu, Yehudiel dan
Sealtiel tentu akan baik saja. Jangan sampai kacau pikiranmu dan
engkau melakukan tindakan ceroboh. Aku akan memanggil Rephai-
riem yang ada.” Saat mereka bertunggang, mereka melewati rom-
bongan Rephaiem yang datang bersama Raphael. Mereka berdiam
di sebelah selatan perkemahan Seraphiem. Kemudian berteriaklah
Raphael pada para Rephaiem itu saat mereka melaluinya, katanya,

304
“Melhuriel! Bangkit dan bawa para penunggang bergabung
dengan barisan! Cepat! Bangkitlah Rephairiem!” Gabriel meneriak-
kan lagi perintah Raphael itu supaya jelas para Rephaiem mende-
ngarnya.
Segeralah para Rephaiem yang ada di sana naik ke atas
tunggangan mereka dan bergabung dengan barisan Seraphiem.
Mereka bertunggang bersama-sama. Para Rephaiem itu kira-kira
ada dua barisan lebih. Mereka adalah para pelayan Raphael yang
turut dalam perjalanan Raphael ke perkemahan Seraphiem, di
sebelah selatan Kota Mith.
Sementara itu, Yehudiel dan Sealtiel telah pergi meninggal-
kan tempat mereka. Yehudiel memimpin rombongannya berjalan
cepat-cepat. Sebab tidak semua dari rombongannya yang membawa
tunggangan. Lebih banyak yang berjalan dari pada yang bertung-
gang. Yehudiel segera memimpin rombongan itu berjalan ke arah
barat, untuk mencari jalan utama dari arah Mith, yang menuju
Perbukitan Aharnor. Tiba-tiba terdengarlah suara sangkakala ber-
tiup dari kejauhan. Maka berhentilah rombongan itu dan mencari
dari mana suara itu berasal. Lalu kata Sealtiel,
“Itu sangkakala legion, Yehudiel. Tidak ada sangkakala
Seraphiem yang berbunyi seperti itu. Kurasa mereka telah melihat
kita dan melakukan pengejaran.” Kemudian kata Yehudiel,
“Kita harus cepat, Sealtiel. Namun mereka itu sudah dekat.
Aku tidak tahu berapa banyak dari mereka yang mengejar kita.
Hanya dua barisan yang bersama kita saat ini. Itupun tidak genap
dua barisan. Kita berlari dua panahan lagi dan berhenti untuk ber-
siap bertempur. Sebab percuma bila kita terus berlari, mereka akan
tetap menyusul kita. Barang bawaan kita terlalu banyak untuk
berlari cepat.” Maka segeralah Yehudiel memerintahkan hamba-
hambanya untuk terus bergerak dan berlari ke barat.
Setelah mereka berlari sejauh dua panahan, berhentilah
mereka dan menaruh barang-barang mereka di antara rerumputan.
Berkatalah Yehudiel pada hamba-hambanya,
“Bersiap untuk bertempur. Gunakan baju-baju pelindungmu
dan segala persenjataanmu. Musuh kita akan datang segera. Aku
tidak mau hancur tanpa perlawanan dan membiarkan musuhku

305
membantai aku seperti domba di tempat sembelihan. Kamu adalah
putra-putra dari Altar Allah, Yehudiem! Sekalipun musuhmu da-
tang membawa kehancuran, kamu tidak akan berlari meninggalkan
saudaramu!” Maka bersoraklah para Yehudiem itu dan mereka
segera bersiap untuk bertempur.
Suara sangkakala kembali terdengar dan suaranya semakin
dekat pada mereka. Para Yehudiem segera mengenakan berbagai
perlengkapan mereka dan memasang senjata-senjata mereka.
Kemudian berkatalah Yehudiel pada Sealtiel, katanya,
“Sealtiel, pergilah, bawa tungganganmu. Satu barisan mela-
wan seratus lima puluh barisan, tentu itu tidak sebanding. Barisan
ini mungkin akan menghadapi kehancurannya. Pergi dan katakan
pada Serael tentang aku dan hamba-hambaku. Aku akan berusaha
bertahan selama mungkin. Namun bila aku tidak dapat bertahan,
sekiranya biarlah tempat kehancuranku menjadi kenangan dan
dihormati.” Lalu berkatalah Sealtiel dengan tenang,
“Kita adalah Malaikat Agung, Yehudiel. Ingatlah itu dan
sadarlah. Tidak mudah bagi musuh untuk menghancurkan seorang
Malaikat Agung. Engkau berkata seperti orang tidak tahu mana
utara, mana selatan. Diam dan ambil pedang-pedangmu. Pertem-
puran sudah dekat!” Yehudiel memeluk Sealtiel kuat-kuat tanpa
berbicara lagi. Kemudian Yehudiel segera mengenakan baju
pelindungnya.
Benarlah barisan legion mengejar rombongan Yehudiel dan
Sealtiel. Sebenarnya, jarak antara rombongan Yehudiem itu dengan
Perbukitan Aharnor sudah sangat dekat. Hanya saja Yehudiel dan
Sealtiel tidak mengetahui itu. Padahal bila mereka sudah masuk ke
perbatasan Perbukitan Aharnor, tentu para legion tidak akan berani
mengejar mereka. Saat itu Yehudiel dan Sealtiel berada di sebelah
timur perbukitan. Kurang sedikit mereka akan sampai di Kota
Selanor. Hanya saja mereka tidak tahu.
Sementara itu, Mikhael, Raphael dan Gabriel masih
bertunggang cepat-cepat untuk menyusul Yehudiel dan Sealtiel.
Mikhael sangat geram mengetahui bahwa masih ada legion di
tanahnya dan tidak ia ketahui keberadaannya. Kata Mikhael pada
Gabriel,

306
“Tentu saja para legion itu masih ada berdiam di tanahku.
Mereka terserak dan tersebar. Sekarang mereka bersembunyi di
antara padang luas yang sulit untuk ditemukan keberadaan mere-
ka. Aku akan memburu mereka, aku akan mencari mereka di setiap
balik satu helai rumput di padang ini. Aku akan menghabisi mereka
dan mengusir mereka dari Tanah Selatan.” Maka kata Gabriel,
“Kiranya jangan engkau terlalu tergesa-gesa, saudaraku.
Mari kita jemput dahulu Yehudiel dan Sealtiel. Setelah itu masih
ada jamuan yang menunggu, masakan engkau hendak menunda-
nya lagi?” Mikhael hanya terdiam dan terus memacu tungga-
ngannya.
Barisan legion telah sampai dan mereka sudah melihat rom-
bongan Yehudiel dan Sealtiel di tengah padang. Maka berhentilah
barisan itu di sana dan mereka berbaris memanjang. Jumlah mereka
dengan rombongan Yehudiem sangat tidak sebanding. Barisan
Yehudiel hanya ada satu barisan lebih, tidak genap dua barisan.
Sedang para legion yang datang mengejarnya, ada seratus sepuluh
barisan. Yehudiel melihat barisan musuhnya sudah ada di depan-
nya. Ia hanya berdiri di depan barisannya dan melihat barisan
musuh. Satu tangannya menutupi mulutnya dan ia tidak tahu harus
berbuat apa, katanya,
“Bagaimana aku akan menyelamatkan barisanku dari
mereka ini? Seharusnya kita tidak menyimpang dari jalan ke Mith,
Sealtiel. Seharusnya saat ini kita sudah duduk berjamu bersama
saudara-saudara kita. Sekarang saudara-saudara kita itu bahkan
tidak tahu kita ada di mana.” Sedang barisan Yehudiem itu
ketakutan di sana. Kemudian salah satu dari mereka berkata,
“Mengapa tidak tuan Yehudiel atau tuan Sealtiel berdoa saja
dan mengatakan di mana keberadaan kita? Setidaknya supaya tuan
Jegudiel tahu dan mengirim bantuan.” Datanglah Sealtiel pada
yang mengatakan itu dan menampar mulutnya. Kemudian kata
Sealtiel,
“Bila ucapanmu itu ditujukan pada tuan Jegudiel, maka itu
bukanlah doa. Dan bila engkau menggunakan doamu hanya untuk
bicara dengan selain dari pada Yang Kudus, maka terkutuklah
kamu karena niatanmu. Kami berdoa supaya didengar oleh Yang

307
Kudus, bukan supaya didengar oleh tuan Jegudiel. Doa kami hanya
ditujukan pada Yang Terang, tidak ada yang lain. Sia-sialah bila doa
kami didengar orang, namun tidak didengar Yang Kudus.” Maka
terdiamlah hamba itu dan Sealtiel maju ke depan barisan.
Berkatalah Sealtiel pada Yehudiel, katanya,
“Seharusnya engkau bersukacita dan menaikkan syukurmu,
Urapan Allah. Bukankah ini adalah saat pertama bagimu mendapat
kesempatan untuk bertempur bersama barisan Jhudriem? Jangan
gentar dan angkat senjatamu. Mari kita hadapi musuh ini dalam
kesetiaan, demi Sorga!” Yehudiel hanya memandang pada Sealtiel
dan ia menjadi kuat di sana. Namun barisannya ketakutan dan
seperti menolak untuk bertempur dan memilih untuk berlari. Maka
berkatalah Yehudiel,
“Aku pernah melihat barisan Seraphiem dikepung dan di-
bantai. Namun tidak seorangpun dari barisan mereka pergi berlari
meninggalkan pertempuran atau saudara mereka dalam pertem-
puran. Kemudian aku melihat barisan Rephairiem, dikepung dari
berbagai arah. Tidak seorang pun dari mereka gentar dan menjatuh-
kan senjata lalu berlari. Namun para Seraphiem yang kulihat itu
ada dua ratus barisan. Dan Rephaiem yang kulihat itu lebih dari
seratus barisan. Sedang saat ini, aku melihat satu barisan Yehudiem
terkepung dan menghadapi musuh yang banyak. Maka tentulah
aku juga melihat mereka tidak gentar dan tidak berlari dari pertem-
puran. Dengan begitu, maka cerita tentang barisan Seraphiem dan
Rephaiem tidak akan ada artinya dengan cerita kita. Sebab kita
hanya satu barisan dan kita tetap berdiri menghadapi pertem-
puran.” Maka tenanglah para Yehudiem itu dan mereka mengang-
kat senjata mereka.
Sedang barisan legion melihat barisan Yehudiem itu dengan
sangat kejam dan seperti hendak menyiksa dan membantai para
Yehudiem itu. Para legion tidak akan memberi ampun, sebab
mereka pun tidak ingin keberadaan mereka diketahui para
Seraphiem. Bila ada dari para Yehudiem itu yang lolos, maka tentu-
lah para Seraphiem akan mendengar tentang legion yang bersem-
bunyi di padang. Itulah yang menjadi sebab para legion mengejar
rombongan Yehudiem yang sudah melihat keberadaan mereka.

308
Barisan Yehudiem telah siap. Mereka berdiri dan membawa
senjata mereka. Kemudian Yehudiel meniup sangkakalanya dan
kemudian menarik pedang. Sealtiel duduk dekat Yehudiel. Lalu
berkatalah Sealtiel,
“Lihatlah mereka, Yehudiel! Mereka itu sangat percaya
bahwa mereka akan membantai kita. Mari kita selesaikan dengan
cepat, sebab saat ini kita sudah terlambat untuk perjamuan bersama
para Agung.” Maka jawab Yehudiel,
“Baik bangkitlah jika demikian, Sealtiel! Mereka akan maju
sebentar lagi. Ambil pedang dan mari bertempur!” Namun kemu-
dian Sealtiel bangkit dan ia membakar api dalam tubuhnya. Maka
lelehlah tubuh bagian atasnya dan menjadi asap putih. Kemudian
kata Sealtiel,
“Mengapa tergesa-gesa, saudaraku? Musuh kita saja masih
berpikir, akankah mereka maju, atau tidak. Aku akan menggunakan
senjata pusaka dari Yang Sulung. Ini adalah saat yang tepat untuk
menggunakannya.” Berdirilah dua Malaikat Agung gagah perkasa
dengan senjata di tangan mereka. Satu barisan Jhudriem berbaris
bersama mereka. Sedang ada seratus sepuluh barisan di hadapan
mereka.
Para legion yang ada di sana sebenarnya juga ketakutan saat
mengetahui bahwa ada Malaikat Agung di rombongan yang me-
reka buru. Namun karena mereka terpaksa, maka pemimpin
barisan itu meniup sangkakala dan memerintahkan barisannya
maju segera. Bergeraklah barisan legion itu melebar dan mereka
mengepung barisan Yehudiem. Mereka menyerang dari timur,
selatan dan utara. Barisan Jhudriem berdiri tetap di tempat menanti
musuh menghampiri mereka. Lalu berkatalah Sealtiel,
“Yehudiel, tidakkah engkau akan memerintahkan barisan
ini untuk bergerak? Mungkin sebaiknya kita menyerang saja,
karena musuh sudah bergerak mengambil tempat mengepung kita.
Bukankah terkadang pertahanan terbaik adalah menyerang,
saudaraku?” Namun jawab Yehudiel,
“Memang itu terkadang, Sealtiel. Namun dengarlah perkata-
anku sekarang ini. Terkadang juga, serangan terbaik adalah
mengandalkan pertahanan.”

309
Barisan legion menahan langkah mereka dan hanya berdiam
memandangi barisan Jhudriem. Tidak ada perintah bagi mereka
untuk maju menyerang, karena pimpinan mereka takut bila para
Agung mempersiapkan jebakan bagi mereka. Maka berserulah
pimpinan barisan legion itu dan memerintahkan sepuluh barisan
untuk maju pertama dan membuka pertempuran. Sekalipun demi-
kian, ketegangan di antara para Jhudriem masih tinggi. Musuh
mereka terlalu banyak bagi mereka dan tempat mereka bertempur
sangat terbuka. Berlarilah sepuluh barisan legion dari berbagai arah
menyerang barisan Jhudriem itu.
Sealtiel menarik senjatanya, Letra Bara-Leon. Ia memutar itu
di atas kepalanya dan cambuk itu melayang di atas kepala para
malaikat. Berlarilah Sealtiel meninggalkan barisan dan ia maju
menyambut barisan legion yang di depannya. Ia mengayun cam-
buknya dan dipecutnya dua puluh lima legion di hadapannya. Api
menyambar dari cambuk itu dengan dasyatnya. Terbakarlah tanah
yang di cambuknya, juga para legion yang terkena cambuk itu. Para
legion mulai mendekati Sealtiel dan mengayun pedang mereka.
Namun sungguh pedang itu hanya menembus tubuh Sealtiel,
karena tubuh atas Sealtiel hanyalah asap yang tidak dapat dipukul.
Maka kemudian Yehudiel mengangkat pedangnya dan ia juga
menyambut musuhnya.
Terpecahlah pertempuran mereka di sana. Yehudiel berla-
rian ke sana ke mari sebab ia berusaha melindungi hamba-
hambanya juga. Pertempuran itu tidaklah imbang dan barisan
Jhudriem benar-benar terkepung dan diserang dari berbagai arah.
Dengan bantuan Sealtiel dan Yehudiel, barisan itu dapat bertahan
lebih lama dari seharusnya. Sekalipun sudah banyak yang jatuh dan
hancur dalam serangan pertama. Hingga jumlah mereka tidak lagi
genap satu barisan. Melihat bahwa kemenangan telak sudah diraih,
pemimpin barisan legion itu memerintahkan seluruh barisannya
menyusul masuk dalam pertempuran.
Sealtiel melihat bahwa seluruh barisan legion di sana juga
turun untuk bertempur, maka melompatlah ia tinggi-tinggi. Di
udara ia memecut musuh-musuhnya dan api menyambar seperti
kilat sabung menyabung. Setiap kali Sealtiel mencambuk, cahaya

310
terang keluar seperti kilat menyilaukan. Terus ia melompat-lompat
dan mencambuki para legion. Sealtiel melompat dan menghampiri
Yehudiel di tengah pertempuran. Sedang saat itu barisan Jhudriem
sudah terpecah dan terpencar, tidak ada yang saling bersanding
dalam pertempuran.
Kemudian berkatalah Sealtiel pada Yehudiel, katanya,
“Kuatlah engkau, saudaraku! Jangan melihat pada hamba-
hambamu, sebab itu hanya akan melemahkan engkau. Biarkan me-
reka hancur dalam kesetiaan dan sumpah mereka telah mereka
penuhi.” Hanya Yehudiel dan Sealtiel yang berdiri bersanding di
sana. Belum barisan susulan datang mencampuri pertempuran,
tiba-tiba terdengan sangkakala lain dari sebelah barat. Menolehlah
semua yang sedang bertempur di sana. Seketika itu juga pertem-
puran seperti terhenti begitu saja. Kemudian nampak dari sebelah
barat ada cahaya emas yang sangat terang. Yehudiel melihat bahwa
musuh yang dihadapinya berdiam diri, ia tidak mau berdiam diri
dan melihat siapa yang datang. Ia mengambil kesempatan dan ia
membantai para legion yang terdiam itu. Namun Sealtiel tetap diam
melihat siapa yang datang dari sebelah barat itu.
Saat pertama mereka melihat, tidak nampak siapa yang
datang dan berapa banyaknya. Itulah Mikhael bersama barisannya,
juga bersama Raphael dan Gabriel. Mikhael mengeluarkan cahaya
yang sangat amat terang dari tubuhnya dan bulu-bulu emas dari
tunggangannya memantulkan cahaya itu hingga semakin terang.
Sealtiel melihat cahaya itu dan tahulah ia, maka katanya,
“Yehudiel, Serael datang pada kita! Ia datang, saudaraku!”
Kemudian Yehudiel berhenti membantai para legion dan ia berdiri
melihat pada Mikhael. Bersoraklah Sealtiel dengan mengangkat
cambuknya. Yehudiel juga bersorak dan berteriak dengan sangat
bersuka.
Di atas tunggangannya, Mikhael melepas jubahnya dan me-
lepaskan apa ia kenakan di tubuhnya. Kemudian ia merentangkan
tangannya dan berseru, katanya,
“Hei legion! Inilah aku penguasa Tanah Selatan! Akulah
yang engkau inginkan. Datang dan ambil aku bila memang kamu
mengaku penguasa Tanah Selatan!” Kerena Mikhael melepas segala

311
yang dipakainya, maka cahayanya semakin terang lagi. Kemudian
Mikhael menarik Arkhe-Leon dari punggungnya dan ia berdiri di
atas tunggangannya.
Bersama Mikhael ada dua puluh penunggang Seraphiem.
Dua barisan penunggang Rephairiem yang dipimpin Raphael. Juga
ada tiga barisan Jegaduriem terpencar di antara mereka yang
dipimpin Gabriel. Melihat barisan itu, para legion meninggalkan
para Jhudriem dan meninggalkan Sealtiel dan Yehudiel. Mereka
berlari menyambut barisan penunggang yang datang para mereka.
Setelah para legion itu pergi, barisan Jhudriem yang tertinggal di
sana meletakkan senjata mereka dan mereka memeluk saudara-
saudara mereka yang tergeletak di tanah. Yang terluka dan yang
telah hancur. Mereka menjerit sedih di sana. Hanya tinggal dua
puluh sembilan Yehudiem yang masih dapat berdiri di sana. Berka-
talah Sealtiel,
“Kuatlah, saudaraku. Hamba-hambamu telah diguncang
dengan sangat hebat. Aku telah menyaksikan banyak perkara yang
mengguncang aku lebih hebat. Maka aku dapat berkata padamu,
supaya engkau juga tetap kuat melihat semua ini.” Berlarilah Yehu-
diel melihat hamba-hambanya tergeletak dan ia memeluk salah satu
hambanya dan juga bersedih di sana. Kemudian lagi kata Sealtiel,
“Pertempuran masih berlangsung, saudaraku. Ini belum
selesai. Bangkitlah bersamaku. Tunggangan kita tidak jauh dari sini.
Mari, kita susul mereka dalam pertempuran dan engkau dapat me-
ngeluarkan murkamu terhadap mereka.” Maka bangkitlah Yehudiel
tanpa berbicara dan berlari ke tempat ia meninggalkan tunggangan-
nya. Sealtiel juga berlari mengikuti dia.
Sedang pertempuran memang belum selesai. Bahkan bisa
dikatakan bahwa pertempuran itu baru dimulai di sana. Para
penunggang membentuk barisan mereka dengan terus bertunggang
cepat. Mikhael sudah bertunggang mendahului barisannya dan
cukup lebar jarak antara ia dengan barisan di belakangnya. Karena
Mikhael tidak mengatur barisannya, majulah Raphael ke bertung-
gang di depan barisan dan ia yang mengatur barisan itu dengan
bantuan Jegaduriem. Diatur oleh Raphael, para penunggang yang
membawa tombak maju di depan barisan dan berkumpul di tengah.

312
Kemudian dua barisan Rephairiem yang membawa palu, kapak dan
gada dipisah dan diletakkan di baris ke dua. Setelah itu barulah
para penunggang yang membawa pedang. Majulah barisan itu
berlari pada legion.
Para legion itu tidak melihat bahwa barisan yang datang
pada mereka adalah barisan penunggang. Mereka hanya melihat
cahaya Mikhael dan tidak dapat melihat barisan di belakangnya.
Saat mereka sudah berdekatan, barulah mereka melihat bahwa ada
barisan penunggang yang datang pada mereka, baru mereka keta-
kutan di sana. Namun sudah terlambat. Dengan cepat dua barisan
itu bertemu dalam pertempuran yang hebat. Mikhael berdiri di atas
beruang emas dan ia melompat dari sana dengan tombak di tangan-
nya. Beruang tunggangannya berlari dan menghardik barisan
legion dengan taring dan cakarnya. Mikhael terjun ke antara barisan
legion dan tombaknya menancap tepat pada salah satu kepala dari
legion itu sampai tembus ke tanah. Terdengarlah suara dentuman
yang menggetarkan tanah.
Karena tombak Mikhael yang menggoyang tanah itu, para
legion yang berlari seperti kehilangan tumpuan mereka. Maka da-
tanglah tombak-tombak Seraphiem menyambut wajah para legion.
Terpecahlah pertempuran yang lebih tepatnya, adalah pembantaian
Seraphiem pada legion. Setelah tombak Seraphiem, para legion
yang luput menerima pukulan dari palu dan kapak. Terkoyaklah
tubuh mereka di sana. Pembantaian cepat terjadi dan seluruh
barisan legion itu habis terpukul dengan telak. Berlarianlah para
legion itu meninggalkan pertempuran dengan segera. Mereka
berteriak dan tercerai berai ke mana-mana.
Saat para legion itu berlari ke arah timur untuk kembali ke
perkemahan mereka, Yehudiel dan Sealtiel sudah menunggu di
belakang mereka. Yehudiel dan Sealtiel bertunggang dengan mem-
bawa senjata dan mereka memukul sekali lagi para legion itu dan
terus mengejar mereka. Pengejaran itu cukup jauh jaraknya.
Sedang Mikhael berdiri di tengah medan pertempuran di
antara tubuh-tubuh legion yang berserakan. Para penunggang ber-
tunggang keliling di sana dan memeriksa sisa pertempuran. Mereka
menjarahi musuh mereka yang kalah dan menghancurkan yang

313
masih bertahan di tanah. Ada dari para penunggang itu yang
beristirahat karena mereka letih bertunggang cepat-cepat. Mikhael
menyala dengan murkanya dan ia sangat amat geram melihat para
legion itu. Kemudian datanglah Gabriel bertunggang menghampiri-
nya. Gabriel turun dari tunggangannya dan memegang Mikhael,
katanya,
“Sudah, selesai. Tenangkan dirimu, saudaraku. Mari, kita
cari Yehudiel dan Sealtiel. Rombongan mereka masih ada di sana
menunggu kita.” Namun Mikhael menundukkan kepalanya dan ia
berkata,
“Tidak akan kubiarkan ada satupun dari musuhku yang
berani menjamah saudaraku. Siapa pun mereka, Gabriel. Bila ada
dari mereka yang berani melukai saudaraku, aku akan menemukan
dan menghancurkan mereka.” Kemudian Gabriel memeluk Mikhael
dan berkata,
“Saudara-saudaramu sudah aman sekarang, Serael. Turun-
kan tombak dan pedangmu. Redam amarahmu. Marilah, aku akan
mengambilkan jubah-jubahmu.” Maka duduklah Mikhael dan ia
melihat kekacauan di sekitarnya.
Gabriel datang dan ia mengenakan jubah-jubah pada
Mikhael. Kemudian ia juga menarik tunggangan Mikhael dan
mengembalikannya pada Mikhael. Sedang Mikhael hanya duduk
terdiam di tanah. Senjata-senjata Mikhael yang digunakan dalam
pertempuran juga dipungut satu per satu oleh Gabriel dan diletak-
kan di samping Mikhael. Lalu datanglah Raphael ke sana dengan
tunggangannya, katanya,
“Sudah habis mereka semua. Tidak ada dari mereka yang
masih hidup. Jarahan sudah dibungkus dan siap dibawa. Barisan
yang lolos kabur ke timur, mungkin mereka kembali ke perke-
mahan mereka. Ada rombongan Yehudiem di sebelah timur, tidak
jauh. Kita dapat melihatnya dari sini. Namun aku tidak melihat
cahaya Yehudiel ataupun Sealtiel di antara mereka.” Maka
bangkitlah Mikhael dan berkata,
“Bila mereka tidak ada di antara rombongan itu, tentu
mereka masih pergi ke suatu tempat. Tidak mungkin legion dapat
mengalahkan mereka. Mari kita hampiri rombongan itu.” Maka

314
naiklah para Agung ke atas tunggangan mereka dan pergi meng-
hampiri para Yehudiem.
Saat sampai pada rombongan itu, dilihat para Agung kea-
daan mengharukan di antara para Yehudiem. Mereka berdiam diri
dan memeluk saudara-saudara mereka yang hancur dan terluka.
Kemudian turunlah Gabriel dan bertanya pada salah satu
Yehudiem yang di sana, katanya,
“Yehudiem, di mana tuanmu?” Kemudian Yehudiem itu
melihat Gabriel dan ia segera bangkit lalu berlutut, katanya,
“Ampuni hamba, tuan Jegudiel, Suara Allah. Sungguh suatu
kehormatan dan kelegaan dapat melihat tuan. Tadi seusai pertem-
puran, tuan Yehudiel dan tuan Sealtiel mengambil tunggangan dan
mengejar para legion yang berlari.” Maka Gabriel mengatakan itu
juga pada Mikhael dan Raphael. Lalu Raphael memerintahkan
hamba-hambanya, katanya,
“Bawa yang masih dapat berdiri ke Pahr atau Selanor. Bantu
mereka membawa barang-barang mereka. Kuatkan dan tenangkan
mereka semuanya, karena pertempuran ini pertama bagi mereka
dan ini sangat mengguncang.” Pula Mikhael memerintahkan pada
hamba-hambanya, katanya,
“Di sana ada kereta tarik tuan Yehudiel dan tuan Sealtiel.
Gunakan kereta itu mengangkut yang terluka. Bawa ke Timur
dengan segera. Para Rephaiem akan mengurus sisanya nanti. Cepat
bawa mereka yang terluka!” Maka pergilah segera para Seraphiem
dan Rephaiem itu seperti perkataan para Agung.
Tidak lama setelahnya, nampaklah Yehudiel dan Sealtiel
bertunggang dari jauh ke sana. Maka bangkitlah para Agung dan
berlari menyusul mereka. Di sana para Agung bertemu bersama-
sama dan mereka saling berpeluk cium. Kata Mikhael,
“Dari mana saja engkau pergi, saudara-saudaraku? Tidak
tahukah kamu aku menantimu dan siap untuk menjamu kamu di
tanahku. Bila memang kamu hendak melihat-lihat Tanah Selatan
ini, katakan saja padaku. Sungguh aku tidak akan keberatan me-
ngantarmu melihat-lihat, sampai puas pandanganmu.” Lalu mereka
dapat tertawa lagi di sana dan kembali pada barisan.

315
Belum lama, datanglah para Seraphiem yang menyusul
barisan Mikhael. Mereka datang berbondong-bondong, namun
pertempuran sudah usai di sana. Maka Mikhael berkata meme-
rintahkan,
“Pergi ke timur. Kamu akan mendapati perkemahan legion.
Bantai dan jarah mereka semua. Biarkan satu dari mereka hidup,
supaya yang satu itu dapat menuntun kamu ke perkemahan legion
yang lain. Sebab tidak mungkin perkemahan itu satu-satunya di
padang ini.” Maka pergilah barisan Seraphiem itu memburu para
legion di Tanah Luas Selatan. Kemudian dari sana, para Agung
bersama-sama kembali ke Pahr, sesuai rencana awal mereka.

Beberapa waktu lamanya berlalu dengan tidak terasa di


Selatan. Namun para Malaikat Agung di Utara merasakan waktu
itu berjalan lama. Uriel dan Bart-Archiel sudah lama menanti kabar
dari Raziel, namun tidak ada kabar dari Raziel. Duduklah mereka
bersama-sama untuk berbincang-bincang. Kata Uriel pada Bart-
Archiel,
“Bagaimana kabar dari Raziel?”
“Tidak ada kabar. Tidak ada surat atau hamba yang datang
dari sebelah Timur, sampai sekarang.” Jawab Bart-Archiel. Maka
kemudian kata Bart-Archiel,
“Mengenai Eiglanar, Uriel. Bila engkau pandang baik,
biarlah hamba-hambaku dapat mendiami Bartaria dan menjaga di
sana. Supaya ada pengawasan secara terus menerus di Taruror. Bila
ada pergerakan dari Eiglanar, kita dapat mengetahuinya dengan
cepat. Lagipula kuasa atas tanah ini yang engkau berikan pada
Ekhinel itu terlalu banyak. Dia bisa saja berbuat semaunya. Dan
lagi, kita sudah tahu bahwa Ekhinel itu sudah melakukan perkara-
perkara sebelum meminta ijin padamu. Lalu saat kita datang ber-
kunjung ke sana, barulah ia meminta ijinmu.” Kemudian jawab
Uriel pada Bart-Archiel,
“Akan terlalu bahaya bagi hamba-hambamu bila harus
berdiam di sana, Bart-Archiel. Bila barisan musuh datang menye-
rang, tentu kota itu juga termasuk dalam penyerangan pertama.”
Setelah itu berdiamlah mereka. Kemudian lagi kata Uriel,

316
“Namun bila engkau mau, lebih baik hamba-hamba berke-
mah saja di sebelah barat Bartaria. Supaya bila ada penyerangan
dari Utara, hamba-hambamu dapat pergi dengan segera.” Kemu-
dian Bart-Archiel menganggukkan kepalanya dan berkata,
“Mari kita pergi saja ke Timur, Uriel. Bukankah kata hamba-
hamba bahwa Raziel dan Ammatiel tidak ada di Timur. Melainkan
mereka ada berdiam di perbatasan Utara. Tidak jauh dari sini dan
bila ada sesuatu terjadi pada Tanah Uriem ini, kita dapat kembali
dengan segera.” Maka kata Uriel,
“Baiklah jika demikian. Lagipula tidak ada pekerjaan yang
dapat kita kerjakan di sini. Mungkin lebih baik kita bertemu dengan
saudara-saudara kita di sana.” Bangkitlah mereka dan bersiap
untuk pergi dari sana ke Kota Skuria.
Bart-Archiel mengatur hamba-hambanya untuk melancar-
kan rencana pengawasan terhadap Eiglanar di Kota Taruror. Dari
kota-kota di Tanah Uriem, Bart-Archiel mengumpulkan dua ribu
barisan untuk diberangkatkan dan berkemah di sebelah barat Kota
Bartaria. Memang pada masa-masa itu telah disebarkan kabar
bahwa Uriel telah memberi beberapa kuasa pada Ekhinel dan
barisan Eiglanar atas Kota Taruror beserta beberapa tanah di seki-
tarnya dan hak-haknya atas tanah-tanah itu. Para Uriem dan Bart-
archiem menerima keputusan itu dan mereka menjaga ketenangan
antara mereka dengan barisan Eiglanar. Selama Ekhinel dan hamba-
hambanya tetap perpegang pada perjanjiannya dengan Uriel.
Sementara Uriel dan Bart-Archiel pergi ke Kota Skuria
untuk mendapati Raziel dan Ammatiel, di Selatan para Agung juga
berkumpul. Mikhael, Raphael, Yehudiel, Sealtiel dan Gabriel telah
masuk dalam Kota Pahr. Mereka disambut dengan meriah dan
hebat di sana. Banyak dari para Seraphiem, maupun Rephaiem
berkumpul di sana untuk melihat kedatangan para Agung. Para
Agung duduk bersama dalam satu rumah kerja yang sudah
dipersiapkan dan Mikhael mengadakan jamuan pembuka di sana.
Perayaan atas Tanah Selatan masih ditahan. Sebab Gabriel berkata
pada Mikhael,
“Aku sudah mengirim surat undangan pada saudara-
saudara di Utara dan Timur. Kemudian Uriel menjawab dalam

317
suratnya pada Raphael, bahwa ia mungkin akan datang bersama
Bart-Archiel. Sedang Raziel dan Ammatiel tidak memberi kabar.
Malahan Raziel menyurati aku, bahwa ia masih dalam kesibukan,
namun pada nantinya ia juga akan tetap datang ke Selatan, entah
kapan. Tidak ada kabar dari Ammatiel, namun aku yakin, tentu saja
Raziel itu bersama-sama dengan Ammatiel.” Maka berkatalah
Mikhael,
“Baiklah aku akan menunda perayaan ini dahulu dan
menunggu kepastian dari saudara-saudara yang lain. Kiranya eng-
kau mau, kirimlah surat lagi pada saudara-saudara kita itu, untuk
menanyakan kepastian mereka. Aku akan tetap menunggu bila
memang mereka pasti datang. Namun bila tidak dapat mereka
datang, baiklah aku akan mengunjungi mereka saat aku kembali ke
Tanah Barat.” Maka dibuatlah seperti itu.
Saat jamuan pembuka di Kota Pahr, para Agung berbincang-
bincang di sana. Berkatalah Yehudiel,
“Serael, bagaimana dengan gulungan-gulungan hukum di
Kota Serael? Adakah hamba-hambamu sudah mendapatkannya
kembali dari musuh?” Maka kemudian kata Mikhael,
“Memang hukum-hukum itu masih ada dan aku sendiri
sudah melihatnya masih tersimpan di rumah kerjaku yang lama.
Namun keadaan rumah kerjaku dan rumah kediamanku itu kacau
balau. Mungkin para Legiun itu benar-benar kesal padaku hingga
mengacaukan rumah kerja dan rumah kediamanku. Entah apa yang
membuat mereka kesal. Mengenai gulungan-gulungan hukum-
hukum itu telah diamankan. Mondrael yang memimpin penyera-
ngan dan perebutan kembali rumah kerjaku. Ia yang masuk
pertama kali ke sana dan segera mencari dalam ruang-ruang kerja.
Namun tata letak di sana sudah kacau dan banyak berubah.
Apalagi para Legiun itu mencoret-coret tembok di kamar-kamar
kerja di sana dan menulis berbagai hujatan dan beberapa pemujaan
terhadap Luciel.
Karena tidak dapat menemukan gulungan-gulungan hu-
kum, Mondrael memimpin pertempuran kembali untuk menga-
mankan kota. Setelah keadaan sudah cukup tenang, ia memimpin
regunya mencari gulungan-gulungan itu. Rupanya gulungan-gulu-

318
ngan itu sudah tidak ada di rumah kerjaku. Para Legiun menaruh-
nya dalam satu bangunan bekas bangunan pencatatan. Rumah kerja
itu dijadikan rumah kediaman bagi Gissel, pemimpin barisan besar
Legiun. Di sanalah ditemukan ada kira-kira delapan belas peti besar
yang bertuliskan: ‘hukum-hukum tidak berguna.’
Hamba-hambaku sudah yakin bahwa itu berisi seluruh
hukum-hukum Agung yang sudah kita buat dalam berbagai sidang
di masa lampau. Sebab penyimpanan gulungan-gulungan itu tidak
dilakukan dengan rapi dan tanpa hormat. Ada beberapa helai lem-
baran tersobek dan terjepit di antara penutup peti itu dan memang
tulisannya adalah bagian dari hukum-hukum. Aku sudah melihat
itu dan aku pun yakin bahwa peti-peti itu berisi gulungan-
gulungan hukum Malaikat Agung dan malaikat. Hanya saja,
menurutku tidak mungkin gulungan-gulungan hukum seluruhnya
dapat muat dalam delapan belas peti saja. Maka tentu ada beberapa
bagian yang hilang entah ke mana.
Sampai saat ini peti-peti itu sudah disimpan kembali dalam
rumah kerjaku dan belum dibuka. Aku menghendaki, supaya kira-
nya peti-peti itu dibuka dan diperiksa di depan seluruh Malaikat
Agung. Supaya jelas dan tidak ada yang bersalah-salah bila
memang ada bagian-bagian yang hilang dari dalamnya.”
Maka kemudian berkatalah Raphael, katanya,
“Adakah hal lain yang ditemukan di sini? Mengenai
rencana-rencana barisan Legiun, atau rahasia-rahasia dari barisan
Luciel?” Maka berkatalah Mikhael menjawabnya,
“Marilah kita berjamu dahulu dan aku akan menunjukkan
semuanya padamu setelah kita selesai.” Maka berjamulah para
Agung di sana sampai habis.
Setelah beberapa lamanya mereka berjamu, keluarlah mere-
ka dari rumah kerja itu. Kemudian berkatalah Mikhael pada para
Agung di sana, katanya,
“Aku akan menunjukkan padamu apa-apa yang menjadi
rahasia dan juga rencana-rencana barisan musuh. Namun aku tidak
akan menunjukkannya di hadapan hamba-hambaku dengan begitu
saja. Mungkin itu dapat meresahkan mereka. Namun semuanya itu

319
ada jauh dari sini. Maka bersiaplah kamu untuk perjalanan selanjut-
nya.” Berkatalah Gabriel setelah mendengar Mikhael, katanya,
“Ke mana kita akan pergi, Mikhael?”
“Ke Ariaria. Di sana adalah pusat kepemimpinan barisan
Legiun. Rumah kerja Gissel ada di sana. Dan juga beberapa hal
penting lain dibawa dari Slunar ke sana. Mari kita pergi, perjalanan
kita masih lama.” Jawab Mikhael. Maka pergilah mereka bersama-
sama dari Kota Pahr, ke Kota Ariaria. Adapun Ariaria dan Slunar
termasuk kota-kota yang dalam penjagaan ketat para Seraphiem.
Sebab barisan Legiun sebagian besar ada berdiam di Klenath.
Pula kota-kota itu adalah pusat pemerintahan Legiun. Maka
memiliki kemungkinan besar akan mendapat serangan kembali dari
Legiun. Mikhael tetap meninggalkan berkas-berkas rahasia dari
Legiun di sana karena menurutnya itu adalah hal yang paling tepat.
Di kota-kota sebelah utara Tanah Seraphiem itu dijaga oleh barisan-
barisan pilihan dari Seraphiem. Para malaikat yang berjaga di sana
pun adalah para malaikat yang sangat terlatih dan dipercaya untuk
menjaga rahasia-rahasia. Mikhael meninggalkan berkas-berkas itu
di sana supaya juga semua berkas itu ada dalam pengawasan dan
penjagaan ketat.
Dalam perjalanan dari Pahr, Mikhael berkata pada saudara-
saudaranya, katanya,
“Saudara-saudaraku, kiranya saudaraku sekalian tidak ada
yang keberatan, aku ada urusan sebentar di Kota Serael. Bila baik
kamu pandang, kita akan berhenti di sana.” Para Agung tidak
keberatan dan malahan mereka meminta supaya bisa melihat Kota
Serael lagi. Pada saat itu para Seraphiem sudah berkumpul di Kota
Serael. Karena sudah direncanakan pada saat yang sudah ditentu-
kan bahwa Mikhael akan memberi penghormatan pada pahlawan-
pahlawan pertempuran Norgabizahk. Yaitu para Seraphiem yang
telah berperan penting dalam perebutan Tanah Selatan. Mikhael
memang berniat memberikan penghormatan sebagai tanda bersu-
kanya atas Tanah Selatan yang telah kembali pada tuannya. Juga
karena di masa perang itu para malaikat tidak dapat mengurus
tanda jasanya. Mikhael tidak ingin hamba-hambanya yang telah
bekerja dengan baik tidak menerima tanda jasa. Sebab menurutnya

320
hanya tanda jasalah yang membuat para malaikat bekerja dengan
giat. Sehingga Mikhael hendak memberi penghormatan sebagai
ganti tanda jasa sementara di masa perang Sorga.
Sedang beberapa waktu berlalu, Uriel dan Bart-Archiel
sampai di Krui dan mereka mengambil saat untuk beristirahat di
sana. Turunlah mereka dari kereta tarik dan beristirahat di salah
satu rumah kerja di sana. Uriel kemudian menulis surat pada Raziel
dan Ammatiel tentang kedatangan mereka. Sebab saat memasuki
perbatasan bagian Tanah Timur, para Raziem yang melihat kedata-
ngan mereka terkejut dan bersuka menyambut mereka. Sehingga
hal itu menghambat perjalanan Uriel dan Bart-Archiel. Apa lagi
jalanan di sana itu sulit dan menanjak, juga menukik. Dari
perbatasan antara Tanah Uriem dan Tanah Raziem, untuk mencapai
Kota Krui dapat menghabiskan tiga Shakta perjalanan, hanya
karena sulit jalan-jalannya.
Setelah sampai di Krui, berkatalah Bart-Archiel, katanya,
“Kurasa jalanan di sini lebih parah dari pada masa lampau,
Uriel. Aku pernah mengambil jalur ini sebelumnya, dan itu sudah
sangat lama sekali. Saat ada tugas bagi hamba-hambaku untuk
memberkati tanah ini dahulu. Aku turut bersama mereka sebab aku
hendak melihat Kota Krui itu. Setelah itu aku tidak mau lagi turut
dalam perjalanan ke mari kecuali melalui jalur di sebelah timur.
Baik kirimlah surat pada Raziel, supaya ia tahu bahwa kita akan
datang. Mohon saja pada salah satu dari Raziem ini membawa
suratnya. Atau pada Jegudi yang sudah biasa di kawasan ini.
Supaya mereka dapat mengirim suratnya dengan cepat. Perjalanan
ke Skuria dari sini akan melalui jalanan yang menukik turun terjal
lalu naik lagi. Kita tidak dapat membawa kereta tarik melaluinya.”
Kemudian kata Uriel,
“Aku belum pernah melalui jalanan di sini, saudaraku. Aku
tidak tahu bahwa memang sulit jalan-jalannya. Baiklah aku akan
menulis surat seperti katamu itu. Akan lebih baik bila kita berdiam
dahulu di sini sampai beberapa Shakta dan menunggu surat
balasan Raziel. Barang kali ia akan melarang kita melanjutkan
perjalanan dan kemudian dia yang akan menyusul kita ke mari.”
Maka jawab Bart-Archiel,

321
“Ya, benar apa katamu itu. Tentu saja Raziel tahu bahwa
akan sulit bagi kita untuk sampai ke Skuria melalu jalur ini. Ia akan
melarang kita bersusah-susah ke sana, kemudian ia dan Ammatiel
yang akan mendapati kita di sini. Itu lebih baik.” Maka berdiamlah
mereka di kota itu untuk beberapa lamanya.
Perjalanan para Agung di Selatan dari Pahr menuju Kota
Serael berjalan panjang. Karena Mikhael tidak langsung membawa
perjalanan itu menuju Kota Serael. Mereka masih singgah di Kota
Shurdanya dan baru dari sana menuju Kota Serael. Sampailah pada
akhirnya rombongan itu di Kota Serael. Para Seraphiem dan
Rephaiem menyambut para Agung dengan sangat meriah di sana.
Sampailah para Agung di rumah kediaman Mikhael yang
masih dalam pengerjaan pembangunan. Saat itu Kota Serael sudah
bebas dari tembok yang mengelilingi. Tinggal sebagian di sebelah
selatan kota saja yang masih ada tembok berdiri. Turunlah para
Agung melihat pembangunan di kota itu. Saat Mikhael melihat
rumah kediamannya, berkatalah ia pada Raphael, katanya,
“Raphael, engkau membangun ulang rumah ini tidak seperti
sebagaimana seharusnya. Sungguh engkau membangunnya menja-
di lebih megah dari pada masa yang lampau. Kayu-kayu itu mem-
buat rumah kediamanku lebih indah lagi.” Lalu berkatalah Raphael,
katanya,
“Aku mengambil kayu-kayu yang melimpah di Hutan
Selatan. Aku ingat bahwa ada larangan memasuki hutan itu, namun
tidak ada larangan untuk mengambil kayu-kayu dari pepohonan-
nya. Maka para Rephaiem menebangi pohon-pohon itu dari ping-
giran hutan saja. Tentu saja aku akan membangun rumah kediam-
anmu lebih megah dari pada sebelumnya. Masakan aku memba-
ngunnya sama persis seperti yang lampau? Saat ini kita sudah
dapat masuk ke dalamnya, tinggal bagian belakang saja yang masih
dalam pengerjaan.”
Rumah kediaman Mikhael, sebelumnya dibangun dari batu-
batu putih dan tiangnya dari perak dan tembaga. Rumah kediaman
itu menghadap timur dengan halaman utama di sebelah utara.
Namun sekarang, Raphael membangunnya dari kayu-kayu Hutan
Selatan yang berwarna merah gelap. Tembok-temboknya juga dari

322
papan kayu hutan timur yang berwarna hijau. Tembok kayu itu
dipahat dan ditaruh emas gilap di antaranya, persis dengan rumah
kediaman sementara Raphael di Tanah Barat. Batu-batu yang digu-
nakan tetap menggunakan batu putih Tanah Selatan. Sungguh
megah rumah itu dan dibangun dua kali lebih besar dari pada
sebelumnya. Raphael membuat rumah itu menghadap utara
dengan halaman utama yang lebar. Namun pintu utamanya tetap
ada di sebelah timur. Di halamannya dibangun empat rumah kecil
dari akar-akar pohon. Sebab Raphael menanam empat pohon besar
di halaman itu dan melubangi akar-akarnya untuk dijadikan
rumah-rumah kecil.
Masuklah Mikhael dalam rumah barunya dan ia melihat-
lihat keadaan rumah itu. Terpuaskan ia melihat semuanya itu dan ia
berkata,
“Sungguh Tangan Allah telah membangun rumah kediam-
anku dengan sangat megah. Dari sini aku melihat bahwa benarlah
Tanah Selatan itu gagah perkasa. Aku tahu empat pohon itu adalah
empat pohon yang diambil dari empat arah Tanah Sorga. Inilah
kemegahan Seraphiem yang diberikan Tangan Allah padaku dan
sukuku. Marilah, saudara-saudaku, berjamulah bersamaku dalam
rumah kediamanku.” Masuklah Para Agung dalam rumah itu dan
mereka berjamu di ruang jamuan.

Lahirnya Tanah Tombak

Berkatalah Mikhael dalam jamuan itu, katanya,


“Mari kita berjamu cepat-cepat. Masih banyak uruskan kita
sebenarnya. Sebentar lagi aku harus hadir di tengah kota untuk
memberi penghormatan pada hamba-hambaku.” Maka segeralah
para Agung berjamu dan pergi dari rumah kediaman itu. Mikhael
dan para Agung pergi ke tengah kota dan duduk di terasan bekas
rumah kerja hukum, yang sudah dirubah Raphael menjadi gudang

323
senjata. Terasan itu menghadap utara ke halaman kota yang luas.
Para Seraphiem sudah ada di sana berkumpul beramai-ramai.
Di sana para Seraphiem bersorak-sorai dan sudah dihadir-
kan semua Seraphiem yang berjasa dalam pertempuran Tanah
Selatan. Setelah itu duduklah semua yang diangkat menjadi saksi
untuk penghormatan itu dan para Agung duduk berjajar di terasan
gudang senjata yang disebut rumah ‘Arkhe Druna’ yang berarti
rumah tombak. Setelah tenang keramaian di sana, bangkitlah
Mikhael dan tampil di sana. Berserulah Mikhael dengan lantang,
katanya,
“Kamulah putra-putra Seraphiem. Aku berdiri di hadapan-
mu untuk memberikan segala pernyataanku yang akan menjadi
ketetapan bagimu, sampai aku merubahnya, atau bahkan sampai
selama-lamanya. Aku sudah melihat dan mendengar perjuanganmu
demi tanah ini dan kamu sudah memenuhi sumpah-sumpahmu
pada Tanah Selatan. Kesetiaanmu itu sudah terbukti dan nampak di
depan mataku. Ini adalah Kota Serael seperti yang telah kamu kenal
sejak lama. Mulai saat ini, batas-batas ini, yaitu: Kota Serael, terus
ke sebelah timur, Kota Shurdanya dan kesebelah timur, Kota
Seraph. Juga sampai Jalur Herah. Semua batas-batas itu akan dise-
but sebagai Tanah Arkhe (Tombak) Selatan! Mulai saat ini kamu
akan menyebutnya sebagai Tanah Tombak, yaitu jantung Tanah
Seraphiem.
Bila mana ada tombak, tentulah ada ujungnya. Aku berkata
padamu, lepas dari Jalur Herah, dan terus sampai Klenath, padang
luas itu, kamu harus menyebutnya sebagai Tanah Arkhe Eifter
(Ujung Tombak) Selatan! Sekarang ini tanah itu masih ada dalam
genggaman Legiun. Maka setelah ini pergilah dan rebut ujung
tombakmu dari musuh!” Itulah ketetapan pertama dari Mikhael.
Maka sejak masa itu Tanah Seraphiem dibagi menjadi
bagian-bagian tanah. Seperti batas-batas yang dikatakan Mikhael,
lahirlah Tanah Tombak Selatan. Juga ada Tanah Ujung Tombak
Selatan. Maka kemudian dicatatlah semua itu di hadapan saksi-
saksi dan juga beberapa saksinya adalah Malaikat Agung sendiri.
Setelah itu dipanggil dan ditampilkan para pejuang utama dari
pertempuran Norgabizahk. Mikhael menerima catatan nama-nama

324
yang harus dipanggil ke depan. Maka berpalinglah Mikhael pada
Gabriel dan ia berkata,
“Saudaraku, mari bangkitlah dan berdirilah di tempatku ini.
Kiranya engkau sudi memanggilkan nama-nama para pejuangku,
supaya Suara Allah sendiri yang memanggil mereka. Dan aku akan
memberikan penghormatan dari para Seraphiem pada mereka.”
Maka bangkitlah Gabriel dan ia mengambil tempat di depan.
Gabriel membuka catatan itu dan ia berseru dengan sangat
lantang di sana, katanya,
“Majulah ke hadapan Malaikat Agung, engkau yang disebut
Beruang Putih Selatan! Engkau yang dipanggil Mondrael, saudara
Serael!” Maka bersoraklah para Seraphiem di sana dan majulah
Mondrael ke hadapan para Agung. Ia berlutut di sana dan Mikhael
melangkah ke depannya. Kemudian Mikhael mengambil pedang-
nya, pedang Andhraril, lalu ditancapkan di depan Mondrael
sampai pecah lantai terasan itu. Lalu kata Mikhael,
“Sekarang kamu tahu, inilah pedang Andhraril, pedang
Armaidra. Lihatlah aku menancapkannya di sini sebagai tanda
bahwa pernah ada peristiwa ini di sini. Aku mengangkat kamu,
Mondrael! Berkuasalah di Sailinar dan Gretrar. Aku tahu bahwa di
sana masih banyak Legiun dan belum bersih benar kota itu dari
musuh. Maka pergilah kamu bertempur melawan mereka. Dua kota
itu akan kupercayakan padamu dan dalam kuasamu akan engkau
pimpin dua kota itu. Sehingga tanah di sana akan disebut Tanah
Droga Malar (Beruang Putih).”
Berpalinglah Mikhael dari Mondrael. Tiba-tiba bangkitlah
Raphael dan menghampiri Mikhael, katanya,
“Dia adalah pejuang hebat yang memimpin pertempuran
Norgabizahk. Aku tahu bahwa hambamu Mahanael itu tidak pan-
dai dalam mengatur barisan. Tentulah saudaramu, Mondrael ini
yang lebih banyak mengatur barisan bagi Mahanael. Maka sekarang
aku hendak memberinya penghargaan yang lebih mengangkat dia.”
Maka kata Mikhael pada Raphael,
“Baik perbuatlah apa yang engkau pandang baik itu, sauda-
raku. Aku tidak menahanmu.” Maka majulah Raphael dan berdiri
di depan Mondrael. Kemudian Raphael mengambil pedang yang

325
terbungkus kain. Ia memegang dengan dua tangannya lalu berseru
di sana, katanya,
“Mondrael, pemimpin barisan Beruang Putih. Aku menge-
tahui apa yang sudah engkau lakukan demi Tanah Seraphiem ini
dan tuanmu telah memberikan padamu tanah yang akan menjadi
kekuasaanmu itu. Namun sekarang, aku akan memberi penghor-
matan padamu sebagai malaikat yang telah berjasa pada Sorga dan
aku percaya padamu. Padamu kuberikan kuasa menjadi tuan atas
salah satu pedang berkuasa. Kiranya engkau akan lebih lagi mem-
bawa Sorga pada kemenangan yang gilang gemilang. Bangkit dan
terimalah!” Maka Mondrael mengangkat wajahnya dengan bersuka
dan ia menerima pedang itu dari Raphael.
Dibukalah kain yang membungkus pedang itu dan ditarik-
nya pedang dari sarungnya. Kemudian ia memandangi betapa
indahnya pedang itu dan memang Mondrael sudah lama
menginginkan menjadi salah satu dari para pemegang pedang.
Maka diangkatnya pedang itu di sana dan ia berkata,
“Inilah pedang yang menjadi tanda bahwa Beruang Putih
adalah kekuatan besar dalam Seraphiem!” Kemudian bersoraklah
para Seraphiem yang tergabung dalam barisan Beruang Putih. Lagi
kata Mondrael,
“Seluruh Seraphiem akan mengenal pedang ini sebagai pe-
dang Vircilus Akrilas. Pedang Duruil! Aku, Mondrael, bersumpah
demi Sorga, di hadapan Para Malaikat. Aku akan membawa barisan
Beruang Putih menjadi bagian dari kemenangan Sorga saat pertem-
puran terakhir. Aku menjawab semua panggilan dari barisan apa
pun, untuk mendukung penyerangan, atau pertempuran apa pun
yang melawan barisan utara Luciel. Aku akan bertempur dengan
setia.” Sejak saat itulah Mondrael membawa pedang itu. Pedang
Duruil. Tentu para malaikat yang mengalami perang Sorga tidak
akan pernah terlupa dengan pedang itu.

Sedang saat itu, jauh di Utara. Raziel dan Ammatiel telah


menerima surat dari Uriel dan Bart-Archiel. Mereka merasa sangat
bersuka saat mengetahui bahwa saudaranya ada di sana. Maka
segeralah mereka membalas surat itu dan dikirimkan kembali pada

326
Uriel dan Bart-Archiel. Waktu berlalu dan sampailah surat itu pada
Uriel. Berlarilah Uriel mendapati Bart-Archiel dan berkata,
“Mereka sudah membalas surat kita, Bart!” Maka segeralah
mereka duduk berdua dan membuka surat itu. Uriel membacanya,
katanya,
“Baiklah kami akan mempersiapkan segala sesuatunya
bagimu di sini. Kami akan menyambut kamu, saudara-saudaraku.
Sungguh kami bersuka cita saat mengetahui bahwa kamu akan
menghampiri kami di sini. Baik segeralah kamu datang dan banyak
hal yang ingin kami bicarakan padamu juga.” Lalu terdiamlah
mereka di sana.
Uriel dan Bart-Archiel hanya saling memandang. Kemudian
kata Bart-Archiel,
“Mereka tidak akan datang ke sini, Uriel. Kita tetap harus
melanjutkan perjalanan ke Skuria. Tentu saja kita tidak dapat mem-
batalkan ini, sebab saudara-saudara kita sudah tahu bahwa kita
akan datang pada mereka.” Kemudian kata Uriel,
“Baiklah, Bart-Archiel. Ucapkan selamat tinggal pada kereta
tarikmu. Kita akan bertunggang ke sampai ke Skuria. Tidak mung-
kin jalanan ke sana dapat ditempuh menggunakan kereta tarik. Aku
harap hamba-hambaku membawa kambing gunung yang lincah.”
Dari sana keluarlah mereka dan mengatur hamba-hambanya untuk
segera melanjutkan perjalanan.
Uriel dan Bart-Archiel mencari-cari kambing gunung di sana
yang mungkin dapat mereka tunggangi. Maka Uriel mendapati
salah satu Ammati yang ada di dekatnya dan berkata,
“Adakah kambing gunung Tanah Barat di sini? Bila ada aku
dan tuan Bart-Archiel hendak menungganginya ke Skuria.” Kemu-
dian jawab Ammati itu,
“Ampunilah aku, tuanku. Adapun hamba ini juga penda-
tang di tanah ini. Lepaskanlah hamba pergi memanggil Raziem
yang sudah biasa di tanah ini. Barang kali mereka lebih mengetahui
dan dapat membantu tuan.” Maka disuruhlah Ammati itu memang-
gil seorang Razi. Setelah dihadapkan pada Uriel dan Bart-Archiel,
berkatalah Razi itu,

327
“Tuanku, kambing gunung itu adanya hanya di Tanah
Barat. Masakan tuan mencarinya di Tanah Timur yang berbatasan
dengan Tanah Utara. Ampuni hamba bila tuan tidak mendapati apa
yang tuan cari itu. Namun bila memang tuan membutuhkan tung-
gangan yang lincah ke Skuria, ada tunggangan lain yang lebih
cocok. Pegunungan dan perbukitan di sini berbeda dengan yang di
Tanah Barat, tuanku. Tanah di sini kering dan berpasir debu. Para
malaikat di sini biasa menunggangi kelinci padang untuk berjalan
di daerah ini.” Maka berkatalah Bart-Archiel,
“Kelinci padang katamu? Tidak ada Malaikat Agung yang
dapat menungganginya. Tentulah kelinci itu akan mati sebelum
kami duduk di atasnya. Para Raziem tentu biasa menungganginya,
karena memang kecil tubuh mereka.” Maka kemudian lagi kata
hamba Razi itu,
“Bila memang demikian, ada tikus utara yang biasa lewat di
jalur ini. Para Raziem biasa menggunakan mereka untuk mengang-
kut barang di daerah ini.” Maka kata Uriel,
“Tidak, aku tidak akan menunggangi tikus. Dapatkah babi
padang timur melwati jalanan di sini?” Maka kata hamba Razi itu,
“Memang babi padang timur bisa lewat di jalanan ini,
tuanku. Tunggangan itu jarang di sini, mungkin para Ammatiem
ada memilikinya. Namun tuanku, babi padang timur itu akan berja-
lan dengan cepat dan sulit untuk ditunggangi di jalanan ini. Mereka
akan melompat-lompat dan mencari jalan mereka sendiri di jalanan
ini. Maka bila tuan-tuan sekalian hendak menunggang babi,
sebaiknya tuan percaya benar pada babi yang tuan tunggangi,
supaya jangan tuan-tuan jatuh dalam perjalanan.”
Lalu pergilah hamba Razi itu dan mencari babi padang
timur di daerah sana. Tidak lama kemudian, didapati benar ada
babi padang timur yang dibawa para Ammatiem pendatang di
tanah itu. Segeralah babi-babi itu dibawa pada para Agung untuk
ditunggangi. Setelah melihat babi-babi itu, bekatalah, Uriel,
“Baiklah, saudaraku. Sebaiknya engkau bersiap untuk ber-
tunggang yang sesungguhnya. Mungkin engkau belum pernah
menunggang babi padang timur, benar kan?” Maka jawab Bart-
Archiel,

328
“Ya, benar. Aku belum pernah menunggangnya.” Maka lagi
kata Uriel,
“Baiklah, sekarang begini. Engkau sudah pernah melalui
jalanan di sini, namun tidak pernah menunggang babi ini. Sedang
aku, aku tidak tahu jalanan di sini, namun aku tahu cara menung-
gang babi ini. Maka sekarang siapa yang akan bertunggang di
depan dan siapa yang bertunggang kemudian? Sebab jalanan ini
tidak dapat dilewati dua tunggangan sekaligus.” Lalu jawab Bart-
Archiel,
“Benar juga apa katamu itu Uriel. Kita akan melalui jalur
yang sebelah atas. Sebab jalur yang bawah itu digunakan untuk dari
Skuria ke Krui. Baiklah engkau bertunggang di depan dan aku
kemudian. Supaya aku dapat melihat darimu tentang bagaimana
cara menunggangi babi padang timur ini. Memang apa kesulitan-
nya, Uriel?” Lalu tertawalah Uriel di sana dan berkata,
“Sebenarnya tidak terlalu sulit bila sudah terbiasa, Bart. Aku
juga tidak tahu bagaimana Ammatiel sangat suka menunggangi
babi macam ini. Babi padang timur adalah hewan yang biasa berla-
rian di padang luas di antara rumput. Kaki-kaki mereka tidak
dibentuk untuk berjalan di atas tanah kering atau basah. Mereka
hanya dapat berjalan dengan lancar di atas rerumputan. Namun
bila di tanah yang penuh rumput, biasanya babi-babi ini tidak mau
ditunggangi dan akan memberontak. Maka menurutku babi-babi
ini sangan membingungkan. Bagaimana pun juga, sekalipun kaki-
kaki mereka tidak dirancang untuk berjalan selain di atas rumput,
rupanya mereka ini sangat pandai memilih pijakan, hanya saja
mereka suka melompat-lompat seperti tidak tahu arah dan mem-
buat penunggangnya takut jatuh. Dan lagi, kaki mereka lebih kuat
daripada kaki rusa padang. Sungguh.
Memang kaki mereka kecil. Itulah keuntungannya. Mereka
dapat berdiri di atas batu sekecil jarimu. Mungkin karena itu, para
Ammatiem menggunakannya di jalanan seperti ini. Percaya sajalah
pada mereka, mereka ini lebih pandai dalam memilih pijakan.
Tidak perlu takut terjatuh bila tungganganmu melompat-lompat.
Pegang saja tanduk-tanduknya dan cengkram tubunya dengan
kaki-kakimu, supaya jangan engkau terjatuh di tebing, Bart. Itu ada

329
para Ammatiem yang juga akan pergi di jalur kita. Mari kita ber-
tunggang di belakangnya.” Bersiaplah para Agung untuk mema-
suki jalur ke Skuria.
Ada beberapa Ammatiem yang juga hendak bertunggang ke
Skuria. Mereka menunggu para Agung bertunggang di depan
rombongan mereka, sebab mereka takut membelakangi para
Agung. Sedang rombongan Uriel dan Bart-Archiel itu semuanya
tidak ahli menunggang babi padang timur. Maka mereka masih
membiasakan diri. Dan ada babi-babi yang melompat-lompat
karena para Uriem dan Bartarchiem salah cara menunggangnya.
Bart-Archiel melihat hamba-hambanya itu dan berkata,
“Apakah engkau yakin kita akan sampai ke Skuria tanpa
jatuh dari tebing, saudaraku? Lihatlah babi-babi itu melompat ke
sana ke mari, dengan liarnya. Sedang jalanan kita ini hanya akan
menyusuri tebing. Perhentian selanjutnya masih jauh dan kita tidak
dapat berhenti sebelum tempat perhentian karena terlalu bahaya.
Mengapa kita tidak menunggang tikus utara saja?” Lalu kata Uriel,
“Sudahlah. Aku tidak mau menunggang tikus utara. Kita
sudah siap dan akan berangkat. Tenangkan dirimu.” Kemudian
Uriel menghampiri para Ammatiem yang hendak pergi sejalan
dengan mereka. Lalu kata Uriel,
“Bangkit dan naiklah ke atas tungganganmu, Ammatiem.
Aku akan mengikutimu dari belakang. Jangan takut, kamu sekalian
ini tidak akan mendapat celaka. Pimpin jalan kami, sebab kami
tidak biasa lewat di jalur ini.”
Setelah itu bangkit dan bertungganglah para Ammatiem itu
di depan rombongan Uriem dan Bartarchiem. Para Ammatiem itu
tertawa melihat cara para Uriem dan Bartarchiem menunggang babi
padang timur. Babi yang mereka tunggangi sangat tenang, sedang
para Uriem dan Bartarchiem itu kebingungan bertahan di atas
tunggangan mereka, karena babi-babi itu melompat-lompat. Maka
berkatalah para Ammatiem itu pada para Uriem dan Bartarchiem,
kata mereka,
“Tekuk saja kakimu, saudara. Usap bagian dekat paha babi
itu. Mereka akan lebih tenang jika begitu. Dan jangan berpegangan
pada leher mereka. Genggam saja tanduknya. Mereka ini bukan

330
anjing putih dari Ligoth.” Dengan saran itu, lebih tenanglah babi-
babinya dan rombongan itu memulai perjalanan mereka.
Uriel tertawa-tawa karena ia merasa tegang dengan perja-
lanan itu. Sedang Bart-Archiel hanya berdiam dan berkonsentrasi
pada tunggangannya. Mulailah berjalan rombongan itu. Perjalanan
itu tidak pernah dilupakan oleh Uriel dan Bart-Archiel.

Sedang di Selatan, peristiwa penghormatan yang diberikan


Mikhael pada hamba-hambanya tidak berlangsung dengan cepat.
Setelah Mondrael, beberapa penghormatan bagi para pejuang di
barisan Beruang Putih diberikan. Kemudian setelahnya, Gabriel
memanggil Mahanael, pemimpin utama pertempuran Norgabizahk.
Majulah Mahanael ke depan para Agung dan berlutut ia di depan
pedang Andhraril. Lalu majulah Mikhael ke depannya dengan
membawa sebuah gulungan di tangannya.
Setelah itu Mikhael berseru, katanya,
“Pertempuran di Tanah Selatan yang sudah kamu jalani itu
berawal dari satu peristiwa. Tidak ada dalam benakku untuk mere-
but kembali Tanah Selatan ini, sebelum seluruh suku malaikat
mendapatkan tanah mereka kembali. Semua perjuangmu itu ber-
awal dari satu perisitwa, satu sumpah yang membawa pada ujung
ini. Mahanael, dialah yang bersumpah di hadapanku untuk mere-
but Tanah Selatan ini. Sekarang ia sudah memenuhi sumpahnya,
maka ia sudah lepas dari segala ikatan sumpah itu.” Kemudian
Mikhael menyerahkan gulungan di tangannya pada Mahanael. Lagi
kata Mikhael,
“Adapun bagimu, Mahanael. Aku mempercayakan bagian
tanahku, untuk ada dalam kuasamu. Mulai saat ini, engkaulah satu
dari antara pembesar Seraphiem. Padamu ada hamba yang akan
melayanimu. Maka dalam gulungan yang engkau pegang itu, aku
telah menuliskan segala ketetapanku untuk mengangkat engkau.
Bangkit dan tampillah di hadapan para Seraphiem!” Maka bangkit-
lah Mahanael itu dan para Seraphiem bersorak-sorak menyambut
hamba pembesar Seraphiem yang baru.

331
Lalu datanglah hamba-hamba Seraphiem yang memberi
hormat di depan Mahanael. Maka berkatalah Mikhael di sana,
katanya,
“Mereka yang telah memberi hormat padamu, akan menjadi
hamba-hamba utamamu. Yang akan melayanimu di rumah kerjamu
dan menjadi rombonganmu saat engkau dalam suatu perjalanan.”
Bangkitlah Mikhael dan ia maju lagi dekat dengan Mahanael dan ia
berseru di sana,
“Padamu Mahanael, aku percayakan tanahku untuk engkau
kerjakan sesuai tugas-tugasmu. Mulai dari perbatasan Ariaria sam-
pai Slunar. Juga Bukit Suneth itu, akan menjadi daerah kekuasaan-
mu bersama barisanmu. Aku sudah menulis segala tugas-tugasmu
dalam gulungan itu maka bekerjalah kamu sebagai pembesar
Seraphiem. Batas-batas yang sudah kusebutkan itu akan menjadi
milikmu dan akan dikenal sebagai Tanah Hargan (Pedang). Di
sanalah akan berdiam barisan pembawa pedang dan mereka dalam
kuasamu, sebagai hamba-hamba yang kupercayakan.” Maka sejak
itulah ada Tanah Pedang di Tanah Seraphiem. Dan seluruh barisan
pembawa pedang, adalah dalam pimpinan Mahanael. Itulah
penghormatan bagi Mahanael, pengayun pedang dari Selatan.
Setelah itu masih ada banyak para pejuang yang dipanggil
dan diberikan penghormatan. Sebab di masa perang itu, para
malaikat tidak dapat mengurus tanda jasa mereka pada Bartarchiem
dan tidak ada Uriem yang mencatat tanda jasa yang mereka buat
itu. Sehingga Mikhael sendiri memberi penghormatan sebagai ganti
tanda jasa. Baik untuk sementara atau seterusnya. Pada saat peng-
hormatan itu juga, Mikhael membentuk barisan para pelempar
lembing, para pemanah dan barisan alat berat. Saat itu dipanggil
hamba Seraphiem yang disebut Paishel. Mikhael mengangkatnya
sebagai pemimpin pelempar lembing.
Paishel itu sangat berjasa bagi Mondrael saat Paishel
menangkap mata-mata Legiun di dekat Pahr. Dengan saran Paishel,
maka dibentuklah barisan pelempar lembing oleh Mikhael dan
dipercayakan pada Paishel. Namun kemudian masih ada saran-
saran dari Paishel yang didukung oleh Mondrael, yaitu supaya
dibangkitkan pula barisan pemanah dan pembawa alat pelontar

332
yang berat. Maka dibuatlah semua itu oleh Mikhael dan diangkat
para pemimpinnya, yaitu saudara-saudara dari Paishel sendiri.
Karena begitu banyaknya anggota barisan yang baru itu,
Mikhael berdiri dan berkata di sana,
“Aku hendak memberi ketetapanku saat ini. Ini bukanlah
tanda penghormatan atau tanda jasa, melainkan hanya ketetapan-
ku. Aku memberikan padamu, Paishel, Purael dan Eparamel
bersaudara, tanah untuk barisanmu berdiam. Mulai dari Selanor,
sampai dekat Hutan Selatan, akan menjadi tempatmu berdiam.
Itulah tempatmu dan berdiamlah di sana sebagai markasmu, yaitu
tempatmu saat tidak ada pertempuran yang terpecah.” Maka
dibuatlah itu oleh para Seraphiem yang dipercayai oleh Mikhael itu.
Sampailah tiba saat nama Frantiel, pemimpin barisan Tiga
Puluh, dipanggil dan dihadapkan pada Mikhael. Berlututlah Fran-
tiel itu di depan pedang Andhraril. Lalu mendekatlah Mirkandruel
pada Mikhael, sebelum Mikhael bangkit dan mendekati Frantiel.
Kata Mirkandruel,
“Dia itu adalah hamba penjaga tungganganku. Padanya ku-
percayakan tiga puluh barisan banyaknya untuk dipimpin selama
pertempuran di Selatan. Namun rupanya ia sangat berjasa dan
Mondrael, juga Mahanael mempercayakan lebih banyak lagi
barisan padanya. Barisannya itu dikenal dengan nama barisan Tiga
Puluh. Tuan sudah tahu banyak tentang dia, sebab dia juga salah
satu yang mencetuskan pertempuran perebutan Tanah Selatan ini.
Bila tuan pandang baik, ia ini sudah sangat berjasa. Sekalipun ia
hanyalah hamba biasa. Ada kota yang tuan percayakan padaku,
yaitu kota Mirkanria. Biarlah Frantiel ini berjuang merebut kota itu
kembali dan serahkan saja kota itu dalam kuasanya, sampai aku
kembali. Sebab di masa-masa ini, aku selalu pergi bersama tuan.
Tidak mungkin aku dapat mengurus kota itu bila aku selalu ada
serta dengan tuanku. Maka bila tuan pandang baik, beri saja kuasa
padanya atas kota itu, sampai aku kembali pada pekerjaanku
semula.” Mikhael mengaggukkan kepalanya, lalu ia mencium
Mirkandruel.
Setelah itu bangkitlah Mikhael dan maju menghampiri
Frantiel. Lalu berserulah Mikhael di sana, katanya,

333
“Frantiel, pemimpin barisan Tiga Puluh. Aku sudah tahu
apa perbuatanmu bagi Tanah Sorga ini, dan juga bagi Seraphiem
dan Tanah Selatan. Maka sekarang, aku akan memberi padamu
kuasa atas tanah untuk engkau pimpin. Namun karena engkau ini
bukanlah hamba pembesar, maka kuasamu atas tanah itu hanya
akan sementara saja. Kota Mirkanria, di sebelah barat itu, ambil dan
rebutlah dari para Legiun. Bersihkan kota itu dari musuh, kemu-
dian kota itu dalam kuasamu.” Setelah itu berkatalah Frantiel itu,
katanya,
“Tuan, bila memang sementara, dapatkah hamba meminta
pada tuan tanda jasa selanjutnya, yaitu tanda jasa yang akan men-
jadi milikku selamanya.” Maka berkatalah Mikhael,
“Tentu itu di luar kuasaku, Frantiel. Namun katakan saja,
barangkali aku mau memohonkannya pada tuan Bart-Archiel bagi-
mu.” Maka berkatalah Frantiel,
“Sungguh hamba ini sangat mengaggumi tuan Serael.
Sehingga hamba sangat menginginkan sepasang sayap pada pung-
gung hamba. Supaya dapat dilihat oleh para malaikat, bahwa
memang hamba ini sangat berjasa di masa-masa ini.” Maka
kemudian kata Mikhael,
“Baiklah bila hanya itu yang engkau minta, aku akan memo-
honkannya pada tuan Bart-Archiel. Namun demikian, bila sudah
engkau menerima sayap itu, engkau kehilangan kuasamu atas Kota
Mirkanria yang kupercayakan itu.” Maka Frantiel menerimanya
sebagai persyaratan yang wajar.
Saat Mikhael menanti hamba-hambanya menulis semua
penghormatan itu, yaitu; surat-surat batas tanah yang akan diper-
cayakan pada Frantiel, beserta semua persyaratannya; berkatalah
Gabriel pada Raphael, katanya,
“Aku pernah melihat hamba ini sebelumnya, namun aku
lupa. Sebab terlalu banyak Seraphiem yang aku temui akhir-akhir
ini. Tetap saja aku merasa mengenali hamba ini.” Maka majulah
salah satu hamba pelayan Gabriel dan berkata,
“Tuan, ampuni aku yang menyela pembicaraan tuan dengan
tuan Raphael. Hamba masih mengingat Seraph itu. Ia ini adalah
hamba yang diutus tuan Serael mencari tuan Yehudiel dan tuan

334
Sealtiel seorang diri. Saat di perkemahan di selatan Mith, tuan
Serael berbicara tentang ia. Yaitu bila hamba itu dapat menemukan
tuan Yehudiel dan tuan Sealtiel di antara padang luas, maka tuan
Serael hendak memberikan padanya salah satu dari pedang-pedang
berkuasa.” Ingatlah Gabriel dengan Frantiel itu setelah hambanya
berbicara padanya. Namun Raphael terkejut saat mendengar itu,
katanya,
“Benarkah itu, Jegudiel? Masakan Serael berkata bahwa ia
akan memberikan pedang padanya, bila ia dapat menemukan
Yehudiel dan Sealtiel?”
“Benar itu, saudaraku. Memang Serael sendiri yang berkata
seperti itu. Aku lupa namun masih ingat. Masakan engkau belum
ada di sana bersama kami saat peristiwa itu?” Jawab Gabriel. Lalu
lagi kata Raphael,
“Aku tidak tahu, kapan Serael mengatakannya. Namun
selama aku sudah bersamamu di selatan Mith, aku tidak pernah
mendengar perkataan Mikhael itu. Bila benar, tentu aku akan ber-
suka. Karena mencari siapa yang dapat dipercaya untuk memegang
pedang-pedang berkuasa ini sangat sulit.” Maka kemudian kata
Gabriel,
“Masakan engkau hendak percaya begitu saja pada hamba
ini? Hanya karena ia sudah menemukan Yehudiel dan Sealtiel,
tentu belum cukup baginya untuk dipercayai.” Namun tetap saja
kata Raphael,
“Aku belum paham benar, saudaraku. Apakah memang
hamba Seraph ini yang menemukan Yehudiel dan Sealtiel?” Lalu
kata Gabriel,
“Ia benar, memang dia. Aku rasa saat hamba ini membe-
ritahukan tentang keberadaan Yehudiel dan Sealtiel, engkau sudah
ada bersamaku.”
Setelah mendengar penjelasan Gabriel itu dan pastilah
semua ceritanya. Bahwa Mikhael pernah berkata akan memberikan
salah satu dari pedang berkuasa pada Frantiel bila berhasil dalam
tugasnya, dan memang Frantiel itu telah berhasil; bangkitlah
Raphael menghampiri Mikhael. Kemudian kata Raphael,

335
“Saudaraku, benarkah engkau pernah berkata bahwa eng-
kau akan memberikan pedang pada hamba ini, bila ia berhasil
menemukan Yehudiel dan Sealtiel?” Karena Raphael berbicara
begitu, ingatlah Mikhael akan perkataannya. Namun Mikhael
menjawab,
“Ah, itu hanya ungkapanku saja. Tidak ada sumpah atau
janji dariku untuk melakukan semua itu. Lagipula ia ini sudah me-
nerima tanah untuk dipimpin, itu sudah sangat cukup bagi peng-
hormatan padanya.” Saat Mikhael dan Raphael berbincang tentang
Frantiel, Frantiel itu ada berlutut tidak jauh dari mereka. Maka
tentu saja Frantiel mendengar pembicaraan itu. Saat ia tahu bahwa
ia akan menerima salah satu pedang seperti pedang yang dibawa
Mahanael dan Mondrael, ia menjadi menginginkan itu.
Lalu kemudian berkatalah Frantiel,
“Tuanku, Serael, ampuni aku bila menyela tuan. Bukankah
tuan memberikan Mirkanria padaku supaya kota itu ada dalam
kuasaku? Namun sungguh aku ini adalah hamba biasa dan bukan
pembesar, maka tidak ada suatu apa pun yang membuat aku men-
jadi berkuasa. Kiranya bila ada, tuan dapat memberikan padaku
cincin atau tongkat, atau apa pun sebagai tanda kekuasaanku.
Namun semua itu bila tuanku pandang baik. Supaya selama aku
memimpin kota itu, para Seraphiem di sana tidak melawan perin-
tahku.” Mendengar itu, berkatalah lagi Raphael pada Mikhael,
katanya,
“Memang benar juga apa yang dikatakannya itu, Serael. Ini
seperti sudah diatur. Baiklah berikan saja salah satu dari pedang ini.
Supaya segera tergenapi jumlah para pemegang pedang di Tanah
Sorga.” Lalu berkatalah Mikhael,
“Baiklah bila memang demikian, Raphael. Berikan satu
pedang itu untuk kupercayakan padanya.” Maka Raphael mengam-
bil lagi satu pedang dan menyerahkan itu pada Mikhael.
Kemudian selesailah surat-surat ketetapan bagi Frantiel.
Majulah Mikhael dan ia berkata,
“Sudah genap semuanya dan ini adalah gulungannya,
Frantiel. Aku bersyukur pada Yang Terang karena semua jasa
hamba-hambaku. Sekarang aku akan memberikan lagi padamu,

336
salah satu pedang itu, untuk menjadi kuasamu. Terimalah satu dari
dua puluh lima pedang. Berkuasalah atas pedang ini dan berjasalah
para Sorga. Kirannya engkau akan membawa Sorga semakin dekat
dengan kemenangan.” Mikhael menyerahkan pedang itu pada
Frantiel dan Frantiel menerima dan membuka pedang itu.
Bangkitlah Frantiel di hadapan para Seraphiem yang berso-
rak melihatnya. Kemudian Frantiel mengangkat pedang itu dan ia
berkata di sana, katanya,
“Inilah pedang Udheris. Pedang yang membawa aku sema-
kin tinggi dan tanda jasaku yang diberikan pada tuan besar Serael.”
Kemudian dari kajauhan, Mikhael berseru padanya, kata Mikhael,
“Frantiel, tidak adakah sumpah yang akan engkau berikan
karena pedang itu?” Maka menolehlah Frantiel dan terdiam. Lalu
Frantiel menundukkan kepalanya. Setelah itu berkatalah Frantiel di
sana, katanya,
“Aku bersumpah di depan Para Malaikat Agung dan para
Seraphiem yang ada di sini. Bahwa aku, Frantiel, akan menjaga kota
yang dipercayakan tuan Serael padaku dan menjaganya dengan
seluruh kekuatanku. Bahwa barisan Tiga Puluh yang ada dalam
kuasaku, akan lebih besar dan tidak akan dikenal seperti barisan
Tiga Puluh lagi. Namun akan lebih besar daripada itu.” Lalu ia
menyarungkan pedangnya dan pergi dari sana.
Beberapa penghormatan masih diberikan oleh Mikhael pada
hamba-hambanya di sana. Karena lama penyelenggaraan penghor-
matan itu, berkatalahYehudiel,
“Serael, masih berapa banyak lagi hamba-hambamu yang
harus menerima penghormatan ini? Bukankah kita ada urusan di
kota-kota sebelah utara?” Kemudian berkatalah Mikhael, katanya,
“Masih ada banyak lagi dari mereka yang akan dipanggil
maju menghadap, Yehudiel. Namun seperti yang engkau lihat,
semua penghormatan tidak diberikan dari aku saja. Namun lebih
banyak dari para hamba pemebesarku yang memberi penghor-
matan pada mereka.” Kemudian kata Sealtiel,
“Serael, bukan kami ini keberatan mengikuti penghormatan
ini. Namun bukankah engkau berkata bahwa urusanmu hanya
sebentar saja di sini? Bila memang masih lama, katakan saja pada

337
kami, tentulah kami saudara-saudaramu bersedia menunggu di sini
bersamamu.” Kemudian kata Raphael,
“Ya, benar. Baiklah Serael, undang saja kami dalam acara
penghormatan ini, supaya kami benar-benar mengikutinya dengan
bersungguh-sungguh. Dengan begini pula, barangkali saat kita sele-
sai, saudara-saudara dari Utara sudah datang.” Maka kemudian
berkatalah Mikhael,
“Aku mengundangmu, saudara-saudaraku. Marilah duduk
bersamaku melihat penghormatan bagi hamba-hambaku. Sebab
kehadiranmu di sini juga telah memberi kehormatan terbesar bagi
Seraphiem. Kiranya sambil kita menunggu saudara-saudara dari
Utara, biarlah ini menyibukkan kita di sini. Supaya nanti, kita dapat
membuka berkas-berkas rampasan pertempuran di Ariaria bersama
dengan saudara-saudara yang lain.”

Sedang ada acara para Agung di Selatan, juga para Agung


yang di Utara hendak saling bertemu, ada kesaksian para hamba
Rephaiem. Kesaksian mereka datang dari Kota Ardur, dan diper-
kirakan kejadian itu di saat yang hampir bersamaan dengan urutan
kesaksian ini. Adapun hamba-hamba Rephaiem di Tanah Barat
telah ditinggalkan oleh para Agung dan Raphael membawa semua
hamba pembesarnya untuk membangun ulang Tanah Selatan. Maka
kota-kota di Tanah Barat diserahkan dalam penjagaan barisan
Rephairiem.
Di Kraduria, kota besar di Tanah Barat yang disebut Kota
Ardur. Bahkan para Jegudiem dan Yehudiem menyebut kota itu
sebagai gerbang Tanah Barat. Dengan perlindungan Raphael, dita-
ruh di sana para Rephaiem memenuhi kota itu untuk mendiaminya.
Yaitu para Rephaiem yang memang sejak lama sudah berdiam di
sana. Karena jumlah mereka berkurang, maka Raphael masih me-
nambahkan jumlah hamba untuk berdiam di sana. Untuk meme-
nuhi Kota Ardur Raphael menempatkan tiga ratus delapan puluh
ribu barisan. Kemudian di sebelah utara kota itu ditempatkan
Raphael para Rephaiem yang berdiam dalam tenda, ada seratus
ribu barisan. Di sebelah baratnya ada enam puluh ribu barisan
dalam perkemahan. Mereka semua di sana ditempatkan untuk

338
menjaga kota itu. Ada pula para Rephaiem yang berdiam di dekat
sana, namun tidak ada tugas menjaga kota itu, melainkan hanya
berdiam di dekat sana. Tidak jauh di sebelah barat Ardur, di jalan
padang yang menuju Aria, ada lima ratus ribu barisan lebih
berdiam dalam perkemahan.
Penjagaan kota itu tidak dengan tanpa tujuan. Namun ka-
rena lokasi dan memang kota itu sangat penting bagi pertempuran,
Raphael mempertahankan dengan hebat. Karena hanya Kota Ardur
itu yang terdekat denga Gruined, Tanah Anggur. Raphael membu-
tuhkan kota itu untuk perebutan Tanah Anggur selanjutnya. Juga
kota itu memiliki kemungkinan paling besar untuk diserang
musuh. Benarlah pemikiran Raphael itu. Saat para Agung ada acara
penghormatan di Tanah Selatan, datanglah barisan Arthanag
pendiam Gunung Gruined dan seluruh Tanah Anggur.
Adalah hamba Rephaiem yang bernama Melhunahel yang
dipercaya memimpin barisan di sana. Kelihatan ada barisan besar
datang mendekati kota itu. Maka keluarlah Melhunahel itu dan
mempersiapkan barisannya untuk berjaga bila terpecah pertem-
puran. Barisan Rephairiem segera bangkit dan berbaris di dalam
kota, juga di sebelah barat dan utara kota itu. Barisan musuh datang
dan berbaris di sebelah tenggara kota dan berbaris di sana.
Kemudian majulah Breftiel, pemimpin barisan itu. Lalu ia berseru,
katanya, “Siapa penguasa kota ini? Majulah ke hadapanku sebelum
aku menghancurkan kotamu!”
Karena suasana yang sunyi dan tegang di sana, suara itu
terdengar sampai ke kota. Maka berkatalah Melhunahel,
“Biarlah aku keluar menghadapnya. Tetaplah kamu dalam
kesiapan. Bila memang mereka menyerang, kita harus memperta-
hankan kota ini seperti perintah tuan Raphael.” Naiklah Melhuriel
itu ke atas tunggangan dan ia bertunggang keluar menemui Breftiel.
Saat melihat Melhunahel, tertawalah Breftiel untuk mengoloknya.
Lalu kata Breftiel, “Jadi bukan Malaikat Agung yang memper-
tahankan kota ini? Hei, Rephai! Panggil tuanmu keluar ke mari!
Aku tidak bicara pada hamba.” Maka berserulah Melhunahel
menjawab, katanya,

339
“Perhatikan ucapanmu sebelum bicara dengan Malaikat
Agung, Breftiel! Aku mendengar banyak tentangmu dan cukup
mengesankan bagiku. Namun aku melihatmu sekarang muka de-
ngan muka, baru aku tahu betapa jijiknya engkau. Bila memang
engkau hendak merebut kota ini menjadi milikmu, baiklah mari
kita mulai!” Namun Breftiel itu hanya berdiam saja. Maka lagi kata
Breftiel, “Oh, kiranya ampuni aku. Aku tidak tahu bahwa memang
engkau pemimpin kota ini. Aku datang dengan damai, saudara.
Kiranya tenangkan barisanmu itu. Aku melihat murka di mata
mereka. Kiranya turunkanlah kapakmu, Rephairiem!” Lalu kata
Melhunahel,
“Bila memang engkau datang dengan damai, baliklah ben-
dera barisanmu!” Maka berpalinglah Breftiel dan memberi tanda
pada barisannya. Kemudian seluruh barisan Arthanag itu membalik
bendera mereka di sana. Setelah itu berkatalah Melhunahel,
katanya, “Sekalipun sudah engkau membalik benderamu,
Arthanag, Rephairiem tidak menerima perdamaianmu. Permusuh-
an akan tetap ada di antara kita.” Kemudian berkatalah Breftiel,
“Tenanglah sebentar, Rephai. Aku tidak mengenali engkau. Mung-
kin memang engkau sudah banyak berjasa dalam pertempuran,
namun aku tidak pernah mendengarnya. Siapakah namamu,
saudara?” Lalu jawab Melhunahel,
“Akulah Melhunahel, pemimpin Ardur, dengan keperca-
yaan Tangan Allah padaku untuk menjaganya.”
Kemudian Breftiel itu menoleh lagi pada barisannya dan
menganggukkan kepala. Maka keluarlah dari barisan itu serom-
bongan hamba membawa peti-peti dari tembaga. Saat itu mereka
membawa ada seratus peti tembaga. Lalu berkatalah Breftiel itu,
“Aku sudah mendengar dan melihat sendiri bagaimana Rephairiem
merebut kembali tanah-tanahnya. Aku juga tahu bahwa kamu
Rephairiem masih percaya bahwa Tanah Anggur adalah milikmu.
Namun saat ini, kita semua tahu, bahwa Tanah Anggur adalah
milik Breftiel, pemimpin barisan Arthanag.” Maka geramlah
seluruh Rephaiem yang mendengar itu dan mereka hendak maju
bertempur. Namun Melhunahel mengangkat tangannya untuk

340
menenangkan barisan Rephairiem di dalam kota yang melihat
pertemuan di sana. Lalu kata Melhunahel,
“Jaga bicaramu, Breftiel. Tidak ada Malaikat Agung ataupun
hamba pembesar di antara kami. Tidak akan ada yang menahan
amarah barisan ini bila engkau terus menggugahnya. Katakan saja
apa perlumu datang pada kami dan apa peti-peti ini?” Kemudian
berkatalah Breftiel, katanya, “Aku mendengar bahwa Rephairiem
juga telah merebut Tanah Roti dan memutus pengiriman roti-roti
bagi barisan kami di Gruined dan Selatan. Aku merindukan roti
dari Tanah Roti di Kota Balosh. Lagipula aku sedikit bosan hanya
duduk di sana. Peti-peti yang ada di depanmu ini adalah peti-peti
anggur terbaik dari Gruined. Berikan pada tuanmu sebagai tanda
hormat dari Arthanag pada Rephairiem. Anggap saja tanda perda-
maian di antara kita. Supaya kita juga tidak saling membantai
dalam waktu dekat ini dan menyelesaikan berbagai masalah
dengan berbicara baik-baik saja. Aku menawarkan pada tuanmu
untuk melakukan pertukaran. Setiap roti sekereta tarik penuh akan
kutukarkan dengan dua kereta tarik anggur Gruined. Atau bila ada
dua kereta tarik roti penuh, akan kutukar dengan satu Guri anggur
cair.”
Mendengar itu berserulah Melhunahel,
“Tidak ada persekutuan antara Rephaiem dengan Arthanag.
Lagipula, hanya ada satu kota di atas Gunung Gruined, Kota
Gruined, di Tanah Gruin.” Breftiel hanya berdiam lalu berpaling
dari sana. Pergilah seluruh barisan Arthanag dari sana kembali ke
Tanah Anggur. Maka para Rephaiem tenang dan menaruh senjata
mereka. Lalu membawa peti-peti pemberian dari Breftiel itu ke
dalam kota dan disimpan. Lalu berkatalah Melhunahel itu, katanya,
“Kirim surat pada tuan besar Raphael. Tuliskan semua
peristiwa ini. Para penjaga harus berjaga di depan kota dan awasi
bila-bila musuh kita kembali.” Dibuatlah semua itu oleh para
Rephaiem.

Waktu berlalu, Uriel dan Bart-Archiel sudah sampai di Kota


Skuria. Perjalanan mereka terasa panjang. Sebab jalanan di sana
sangat sulit dilalui. Sekalipun jaraknya dekat, namun mereka

341
menempuh perjalanan sampai tiga Shakta lamanya. Saat memasuki
perbatasan Kota Skuria, mereka sudah menjadi lega karena jalanan-
nya sudah mudah dilalui. Berkatalah Uriel pada Bart-Archiel,
katanya,
“Perjalanan yang menyenangkan, bukan?”
“Mungkin itu menurutmu, Uriel. Aku tidak henti-hentinya
berusaha untuk tetap duduk di atas babi ini. Sungguh sulit untuk
menunggang babi-babi seperti ini, apa lagi melalui jalanan yang
seperti itu. Sebentar lagi kita akan sampai di Skuria, Uriel. Marilah
kita berhenti sebentar untuk mempersiapkan diri bertemu dengan
saudara-saudara kita. Rupa kita sudah berantakan karena perjalan-
an itu.” Jawab Bart-Archiel. Maka berhentilah rombongan itu di
salah bukit tempat perhentian dan mereka bersiap di sana.
Raziel dan Ammatiel sudah menunggu Uriel dan Bart-
Archiel di Skuria, sejak mereka menerima surat Uriel. Berbagai
persiapan dilakukan untuk menyambut saudara-saudara mereka
itu. Adapun Kota Skuria itu terdiri dari tiga tempat yang terpisah,
namun tetap dalam satu kota. Kota itu dibangun di atas bukit ber-
tebing terjal di sebelah utara dan selatannya. Pusat kota itu ada di
atas bukit. Kemudian di bawah kota itu ada bagian kota di sebelah
bawah, bersandar pada tebing terjal. Yang di sebelah utara, kotanya
dibangun di kaki bukit sehingga jalanannya miring, menaik ke
selatan. Sedang yang di sebelah selatan itu hampir sama, hanya saja
tempatnya lebih datar dan bersandar langsung pada tebing batu
yang tinggi. Raziel dan Ammatiel ada di bagian pusat kota, di
sebelah atas.
Raziel dan Ammatiel telah merubah kota itu dengan pemba-
ngunan ulang. Para Rephaiem yang bertugas membangun benteng
di Nai telah dipanggil untuk membangun Skuria. Sehingga bagian
kota sebelah utara, yang sebelah bawah itu sudah dibangun tembok
pertahanan setinggi dua kilang tanpa gerbang atau pintu. Tembok-
nya berbentuk seperti setengah lingkaran, dari tebing sebelah barat,
terus sampai tebing sebelah timur. Saat Uriel dan Bart-Archiel sam-
pai di sana, para Rephaiem masih meneruskan pengerjaan mereka.
Karena jumlah para pekerjanya sedikit dan kota yang mereka
kerjakan itu peletakannya sulit untuk pembangunan.

342
Menurut para Rephaiem, Skuria adalah benteng yang tidak
mungkin dapat ditembus sekalipun dalam kepungan. Kecuali bila
musuh yang menyerang dapat menjebol temboknya. Menurut pen-
catatan para Rephaiem, itulah pembangunan tersulit yang pernah
mereka kerjakan sejak zaman diangkatnya Malaikat Agung sampai
saat itu. Padahal saat itu mereka baru mengerjakan tembok di sisi
utara, sedang Raziel meminta supaya kota bagian selatan juga
dibangun tembok setinggi tiga kilang. Itulah Kesiapan Tanah Timur
untuk menghadapi bila ada serangan barisan Luciel dari Utara,
melalui Tanah Kering.
Sampailah Uriel dan Bart-Archiel mereka memasuki kota itu
lewat sebelah selatan. Para Raziem dan Ammatiem di sana
menyambut mereka dengan kebiasaan malaikat Timur. Sungguh
tenang sambutan itu dan mereka memberi hormat pada para
Agung sepanjang jalan kota. Lalu datanglah hamba pelayan
Ammatiel mendapati Uriel dan Bart-Archiel di tengah jalan kota,
katanya,
“Salam-salam bagi Malaikat Agung di Kota Skuria, Kota
gulungan, tempat peristirahatan tuan Raziel. Sungguh kami
menyambut tuan-tuanku, Api Allah dan Sukacita Allah. Marilah
tuan-tuan sekalian, kiranya tuan-tuan mau meninggalkan tungga-
ngan tuan-tuan di sini. Tuan Raziel dan tuan Ammatiel menunggu
tuan di kota sebelah atas. Tidak ada jalan ke sana selain tangga yang
panjang.” Maka berkatalah Bart-Archiel, katanya,
“Jeindruel, penghias Wajah Allah. Aku melihatmu dan
mengenali wajahmu yang elok itu. Katakan saja apa yang harus aku
buat, masakan aku dapat menolak ajakan dari suaramu itu. Di
mana saudara-saudaraku itu? Aku sungguh merindukan mereka.”
Kemudian turunlah para Agung dari tunggangan mereka dan
mengikuti hamba pelayan Ammatiel itu yang membimbing jalan
mereka.
Dari kota sebelah selatan, untuk masuk ke kota atas harus
menaiki anak tangga di tebing. Sesampainya mereka di atas, dibe-
rilah mereka tunggangan. Uriel menunggang rusa tanduk batu dan
Bart-Archiel menunggang badak utara. Maka berkatalah Uriel di
sana, katanya,

343
“Jeindruel, dari mana tunggangan-tunggangan ini engkau
dapat? Sebab sungguh tidak ada hewan lain yang membuat pung-
gungku lebih nyaman dari pada rusa tanduk batu ini.” Maka kata
hamba pelayan Ammatiel itu,
“Tuan Raziel sudah menyiapkan semua bagi tuan-tuan dan
telah mengetahui apa yang menjadi kerinduan tuan-tuan sekalian.
Ada para Rephaiem dari Barat yang membangun Nai, kemudian
dipanggil ke Skuria untuk membangun pertahanan kota ini. Mereka
membawa banyak sekali rusa dan badak untuk mengangkut
barang-barang dan bahan bangunan. Dari merekalah tunggangan
ini diambil. Bila tuan mau, ada pula rusa tanduk tujuh di sini.”
Namun Uriel sudah naik ke atas tunggangannya dan ia berkata,
“Baiklah jika demikian. Mari kita temui tuan-tuan Agung
yang berdiam di Skuria.” Bertungganglah para Agung bersama-
sama ke tempat Raziel dan Ammatiel berdiam.
Ada gundukan batu besar di atas bukit itu, bersandar pada
tebing batu bukit yang lebih tinggi. Di atas gundukan itu, Raphael
pernah membangun rumah kerja bagi para pembuat gulungan.
Rumah kerja itulah yang digunakan Raziel dan Ammatiel untuk
berdiam. Datanglah Uriel dan Bart-Archiel ke sana. Raziel dan
Ammatiel sudah berdiri di terasan rumah kerja itu menyambut
saudara-saudara mereka. Melihat Raziel dan Ammatiel, berkatalah
Bart-Archiel,
“Aku sudah lama tidak melihat saudaraku sendiri. Selama
ini aku berhadapan dengan hamba-hamba yang tidak pandai
berbaris dan aku memerintah mereka dengan keras. Sekarang aku
melihat saudara-saudaraku sendiri dan aku merasa gugup untuk
berbicara pada mereka.” Maka kata Uriel,
“Tenanglah sebentar, Bart-Archiel. Aku mengetahui perasa-
anmu. Namun janganlah engkau gugup, sebab saudara-saudaramu
itu mengasihi kamu lebih daripada mengasihi hamba-hamba dan
tanah mereka.” Turunlah para Agung dari tunggangan mereka.
Ammatiel berlari menghampiri Bart-Archiel dan memegang
badak tunggangannya. Serta berkata,
“Perhatikan tumpuanmu, penguasa Tanah Utara. Badak ini
adalah badak pengangkut batu, ia tidak terlatih untuk ditung-

344
gangi.” Bart-Archiel melihat Ammatiel dan ia memeluknya di sana,
lalu kata Bart-Archiel,
“Salam bagi saudaraku, Rupa Allah yang membuat Sorga
tetap pada tempatnya. Sungguh, Ammatiel, bila bukan karena eng-
kau, tentulah Tanah Sorga ini bergeser dari tempatnya. Namun
tanah ini merasa nyaman karenamu, maka tenanglah ia di tempat-
nya.” Kemudian kata Ammatiel,
“Masakan hal seperti itu dapat terjadi, Bart-Archiel. Berkat
Allah, saudaraku. Salamku bagimu. Bilapun bukan engkau yang
merawat Tanah Sorga, masakan kita masih berdiri di atasnya?”
Mereka saling memberi hormat di sana.
Uriel turun dan ia melihat Raziel berjalan padanya. Maka
segeralah Uriel memberi hormat pada saudaranya. Namun berla-
rilah Raziel menopang Uriel dan memeluknya. Kata Raziel,
“Salam bagi Api Allah yang menahan murka-Nya dalam
cawan penuh api. Uriel, saudaraku. Kiranya biarlah aku yang
memberi hormat padamu terlebih dahulu.” Lalu kata Uriel,
“Sungguh engkau lebih tahu daripadaku, Raziel, Pengeta-
huan Allah yang memegang rahasia-Nya sehingga tidak terdengar
sampai ujung langit. Salamku juga bagimu, saudaraku.” Bertemu-
lah para Agung di sana. Mereka saling mengucap salam dan
memberi hormat, di Skuria.
Sedang saat itu di Selatan masih terus bergantian para
Seraphiem maju ke depan para Agung untuk menerima penghor-
matan. Kemudian datanglah salah satu hamba Rephai mendekati
Raphael. Kemudian katanya,
“Tuanku, pekerjaanku sudah usai dan hamba-hambamu
yang engkau percayakan padaku sudah dapat mengerjakan peker-
jaan mereka sendiri. Pembangunan berlangsung sangat cepat hanya
dengan kehadiranmu saja. Kiranya tuan, ampunilah hambamu.
Namun bila tuan pandang baik, lepaslah aku pergi kembali ke
Tanah Barat. Pekerjaan para Rephaiem di sana juga masih banyak.
Aku menerima surat-surat dari saudara yang ada di sana tentang
masalah penempaan.” Maka kata Raphael,
“Melhuriel, ada permasalahan apa dengan para penempa?”
Maka kata Melhuriel,

345
“Tuan, para penempa telah menerima tugas-tugas dari tuan
untuk perbaikan senjata dan pembuatan senjata lainnya. Namun
mereka ini kehabisan bahan untuk pembakaran. Beberapa waktu
lalu mereka sudah mengambil kayu-kayu dari Hutan Barat, dan
juga dari pohon-pohon sekitaran kota-kota. Namun kayu-kayu itu
sulit terbakar dan pekerjaan para penempa terhambat karena ini.
Mereka memohon supaya diberi izin untuk pergi ke Tanah Ranting
dan mengambil kayu-kayu dari sana. Seperti kata tuanku, bahwa
tidak tuan izinkan satu Rephaiem pun pergi ke Tanah Ranting. Aku
hendak mencari jalan keluar bagi para penempa itu.” Lalu bangkit-
lah Raphael dan ia pergi ke dalam rumah kerja itu dan membawa
Melhuriel bersamanya.
Kemudian Raphael berbicara di sana, katanya,
“Melhuriel, engkau tahu tentang Tanah Ranting itu. Terlalu
bahaya bila hamba-hambaku harus ke sana untuk mengambil kayu-
kayu saja. Belum ada kepastian tentang Tanah Ranting, apakah
musuh sudah meninggalkan tanah itu atau masih berdiam di sana.
Baiklah sekarang aku melepas engkau pergi. Selesaikan masalah
para penempa itu. Juga ada tugas bagimu, karena engkau yang me-
mulai pembicaraan ini, maka aku membebankan tugas ini padamu.
Adakan pengintaian di Tanah Ranting dan lihat keadaan di sana.
Supaya engkau dapat bekerja sekali jalan, saat melakukan pengin-
taian, ambil saja kayu-kayu yang banyak di Tanah Ranting dengan
diam-diam. Supaya para penempa juga dapat menggunakannya.”
Kemudian berkatalah Melhuriel,
“Tuan, dapatkah aku memilih sendiri hamba-hamba untuk
melakukan tugas dari tuan ini? Atau aku harus melakukannya
seorang diri saja?” Kemudian kata Raphael,
“Ya, engkau dapat memilih siapa saja di antara para Repha-
iem untuk melakukan tugas itu. Aku akan menuliskan surat kuasa
tentang itu. Lagipula padamu ada satu dari empat cincin Rephaiem,
engkau dapat melakukan hal seperti itu.” Kemudian kata Melhuriel,
“Tuan, di terasan masih ada acara yang ramai dan tuan
harus duduk di depan sana untuk menghormati tuan Serael yang
sudah mengundang tuanku. Bila tuan sibuk di meja tuan, maka
tentulah tuan Serael akan memandang tuan tidak memberi hormat.

346
Berilah saja kiranya cincin tuanku, supaya tidak perlu tuan menulis
surat-surat yang panjang itu.” Maka Raphael memberikan cincin-
nya pada Melhuriel dan melepasnya pergi dari sana.
Dari Kota Serael, Melhuriel berpamit dengan saudara-
saudaranya yang lain lalu menunjuk hamba-hamba untuk pergi
bersamanya. Bersama Melhuriel pergi dua puluh tujuh hamba
Rephaiem bertunggang ke Tanah Barat.

Tanah Raziem Utara, perbatasan Tanah Raziem dan Tanah


Uriem, Kota Skuria. Para Agung duduk berjamu di sana dan berbin-
cang tentang banyak hal. Uriel dan Bart-Archiel menanyakan ba-
nyak tentang barisan Durigo yang mengintai Tanah Utara. Berka-
talah Uriel di sana, katanya,
“Raziel, bagaimana kabar dari para pengintaimu? Adakah
benar bahwa Tanah Kering sudah dikuasai oleh barisan musuh?”
Lalu kata Raziel,
“Itu sudah pasti, saudaraku. Ada perkemahan musuh di
sebelah utara itu. Tanah Kering telah penuh dengan perkemahan
musuh dan sudah dapat kupastikan bahwa tanah itu ada dalam
kuasa musuh. Sebab engkau sudah melepasnya.” Kemudian kata
Uriel,
“Memang aku melepas tanah itu dan menarik hamba-
hambaku karena terlalu bahaya untuk berdiam di sana. Sekarang
benarlah bahwa Tanah Kering telah jatuh dalam kuasa musuh.
Seperti yang telah kukatakan padamu dalam surat-suratku, Ur-
Bagha menantikan kepastian dari Durigo.” Lalu kata Raziel,
“Semua masih dalam pengerjaan, saudaraku. Sebab aku dan
Ammatiel juga ingin pergi ke Tanah Selatan untuk menghadiri
perayaan di sana. Lagi pula aku ada urusan dengan Serael tentang
gulungan-gulungan hukum yang ada di Tanah Selatan. Bukankah
itu inti dari perjuangan Seraphiem ke Tanah Selatan?” Kemudian
kata Bart-Archiel,
“Ya, memang itu adalah tujuan Serael. Bukankah ia
memberi perintah pada hamba-hambanya untuk menyerang Tanah
Selatan dan merebut kembali gulungan-gulungan hukum, saat kita
bersama-sama di Samahnia?”

347
Kemudian kata Ammatiel,
“Memang benar tujuan penyerangan Tanah Selatan adalah
untuk mengamankan gulungan hukum. Namun itu adalah tujuan
Serael. Bukan tujuan hamba-hambanya. Sebab aku tahu bahwa para
Seraphiem itu menginginkan tanah mereka kembali. Dengan perin-
tah Serael itu, mereka mengambil kesempatan untuk merebut kem-
bali Tanah Seraphiem. Syukur para Yang Kudus sebab mereka telah
berhasil dan Serael mengadakan perayaan bagi mereka. Benar apa
yang dikatakan Raziel, kita harus pergi ke sana untuk melihat kebe-
naran tentang keadaan gulungan-gulungan hukum. Sudah hampir
satu Sherta barisan Durigo pergi, mungkin mereka akan kembali
dalam Shaktaiem yang akan datang.” Teruslah mereka berjamu di
sana. Sampai saat mereka mulai berbincang lagi, Bart-Archiel
membuka pembicaraan tentang barisan Eiglanar.
Mendengar Bart-Archiel mulai bercerita tentang Ekhinel dan
barisan Eiglanar di Tanah Uriem, berkatalah Uriel,
“Bukankah kita berencana untuk menyimpan cerita itu
sampai di Tanah Selatan, saudaraku?” Maka kata Bart-Archiel,
“Benar, namun sudah tidak sabar mulutku ini berbicara
tentang itu pada saudara-saudara kita.” Berkatalah Ammatiel,
“Ekhinel, katamu. Aku pernah mendengar nama itu sebe-
lumnya.” Lalu ia terdiam. Lagi kata Ammatiel,
“Ya, benar. Aku pernah membaca nama itu dalam surat
Yehudiel padaku. Bukankah itu adalah hamba barisan musuh yang
merebut pedang dari Raphael?”
“Tepatlah katamu.” Jawab Bart-Archiel. Raziel tertarik
dengan ceria itu. Maka kata Raziel,
“Adakah kabar yang menarik perhatianmu tentang Ekhinel
ini, saudara-saudara?” Maka kata Uriel,
“Ini bukan hanya kabar, saudaraku. Namun ini adalah
kesaksian yang sudah kami lihat sendiri. Karena Bart-Archiel yang
memulainya, baiklah biar Bart-Archiel juga yang menceritakannya
padamu.” Mulailah Bart-Archiel bercerita tentang asal mula Ekhinel
dan bagaimana Ekhinel itu dapat berdiam di Kota Taruror. Juga
semua cerita tentang kunjungan mereka di Taruror dan pertemuan
dengan Ekhinel.

348
Pada penghujung tahun kedua puluh masa perang Sorga,
sampai saat itu tidak ada pertempuran terpecah. Sejak berakhirnya
pertempuran di Tanah Selatan dan juga di Tanah Barat, barisan
Sorga, ataupun barisan Luciel diam dalam ketenangan sementara.
Melhuriel, hamba Rephaiem yang pergi dari Tanah Selatan untuk
kembali ke Tanah Barat, telah sampai di Tanah Rephaiem Barat.
Sesampainya ia di sana, pergilah ia mengumpulkan para tua-tua
Rephaiem yang ada. Diaturnya mereka semua dengan kuasa yang
dari Raphael. Setelah sudah ia mengatur dan menyelesaikan perma-
salahan dari para penempa, dikumpulkan lagi para pemimpin
barisan yang diberi tanggungjawab atas kota-kota.
Melhuriel mendirikan kemah untuk pertemuan itu di sebe-
lah utara Ardur. Para pemimpin datang dari berbagai kota untuk
memenuhi panggilan itu. Berkumpullah mereka di sana dan saling
berbincang. Melhuriel menyebarkan kabar tentang tugas untuk
pengintaian ke Tanah Ranting, dan tugas untuk mengambil kayu-
kayu di Tanah Ranting dengan diam-diam. Maka para pemimpin
itu memikirkan siapa-siapa nama yang akan mereka ajukan pada
Melhuriel untuk dikirim mengintai Tanah Ranting.
Saat para pemimpin memikirkan itu semua dan memilih-
milih hamba yang baik untuk mengintai, majulah Helanael, pemim-
pin atas Kota Daria dan Kota Durie. Ia menghampiri meja Melhuriel
dan berbicara berdua dengan Melhuriel itu. Kata Helanael,
“Melhuriel, benarkah tentang tugas yang diberikan tuan
besar Raphael ini boleh dilaksanakan oleh siapa saja?” Maka kata
Melhuriel,
“Memang seperti itu, asalkan aku sendiri yang mengizin-
kannya untuk melaksanakan tugas ini.” Lalu Helanael itu mengecil-
kan suaranya dan berbicara pelan, katanya,
“Baiklah pilihlah aku menjadi salah satu dari regu pengin-
taimu, Melhuriel. Jangan engkau pikirkan tentang Daria dan Durie.
Saudara-saudaraku yang sudah lama bersama aku ada di sana.
Mereka itu tidak jauh berbeda dengan aku, sebab kami bersaudara
selalu bersama-sama dan apa yang kupikirkan, sama seperti
mereka. Maka bila tuan besar Raphael mempercayakan kota-kota
itu padaku, maka secara tidak langsung, tuan besar Raphael juga

349
telah mempercayakannya pada saudara-saudaraku. Jadi, bila aku
engkau tunjuk untuk pergi, maka saudara-saudarakulah yang akan
menggantikan aku atas Daria dan Durie.” Terdiamlah Melhuriel
karena ia melihat Helanael tidak seperti yang lainnya. Namun berat
ia memutuskan tentang itu.
Setelah berdiam, berkata lagi Melhuriel itu, katanya,
“Mengapa tidak engkau cari saja hambamu yang layak un-
tuk pergi dan serahkan catatan tentang hamba itu padaku. Aku
akan mempertimbangkannya bersama dengan nama-nama lain
yang akan diserahkan oleh para pemimpin kota yang lain. Lagipula
hanya engkau saja dari sekian banyaknya pemimpin kota yang
mengajukan namanya sendiri.” Tetap saja Helanael itu memaksa,
katanya,
“Lepaskan saja aku pergi. Aku ingin melihat keadaan Tanah
Ranting. Di sana adalah rumah bagi kerabat-kerabat dekatku dan
juga kawan-kawanku. Lagipula, bila aku terus diikat oleh tugas-
tugas di Daria dan Durie, tidak dapat aku memenui sumpah-
sumpahku pada tuan besar Raphael.” Lalu kemudian berkatalah
Melhuriel,
“Baiklah bila memang begitu. Namun aku ingin engkau
benar-benar menjamin Daria dan Durie akan tetap aman selama
engkau pergi. Pastikan saja bahwa saudara-saudaramu itu memang
dapat bekerja sebaik engkau bekerja. Aku akan mengangkat engkau
sebagai pemimpin pengintaian ini. Dan mengenai apa-apa yang
harus engkau lakukan di sana, aku akan menuliskan surat bagimu.
Kemudian dari pada itu, aku tidak ada urusan dengan pengge-
napan sumpahmu itu. Maka bila ada kegagalan atau kelalaian
dalam tugas pengintaian ini yang disebabkan karena engkau lebih
mementingkan penggenapan sumpahmu, maka kesalahannya akan
kulimpahkan padamu.” Lalu jawab Helanael,
“Berikan saja tugas itu padaku. Aku akan menjalankannya.
Pula aku sudah bekata padamu tentang saudara-saudaraku itu. Bila
selama aku pergi dan kemudian ada permasalah di Daria atau
Durie, semuanya itu juga akan kutanggung di atas kepalaku sen-
diri. Sekalipun itu adalah kesalahan saudara-saudaraku.” Maka
kemudian Melhuriel menuliskan surat tentang tugas-tugas yang

350
harus dilakukan selama pengintaian di Tanah Ranting, bagi
Helanael.
Setelah para pemimpin kota memberikan nama-nama
hamba-hamba yang mereka pilih untuk tugas itu, bangkitlah
Melhuriel di sana. Kata Melhuriel,
“Saudara-saudara telah membantu pekerjaan tugas dari
tuan besar Raphael. Nama-nama yang sudah ada dalam gulungan
ini akan aku perhatikan dan akan kupilih siapa-siapa yang harus
turut dalam tugas pengintaian ini. Kemudian dari pada itu, aku
telah menetapkan keputuskanku, sebab di antara kamu, ada yang
menyerahkan namanya sendiri padaku. Karena itu, aku memilih
dia untuk menjadi pemimpin atas pengintaian ini. Helanael adalah
yang kutetapkan atas tugas ini. Dia yang akan memimpin pelaksa-
naannya. Sekarang kembalilah kamu ke kotamu masing-masing.
Bila ada permasalahan dari kotamu yang hendak engkau sampai-
kan padaku, maka tinggallah kamu duduk di sini untuk mem-
bicarakannya. Damai dari Yang Terang meliputi kamu sekalian.”
Kemudian bubarlah pertemuan itu. Tinggallah di sana Melhuriel
bersama Helanael duduk dalam satu meja.
Dalam tenda itu tanpa disadari ada seorang hamba lain
yang hendak berbicara dengan Melhuriel. Dialah Melhunahel,
pemimpin Kota Kraduria. Melihat hamba itu, berkatalah Melhuriel
di sana,
“Adakah permasalah di Ardur, Melhunahel? Sebab hanya
engkau yang ada di sini bersama kami. Bila memang ada, baiklah
segera katakan padaku, supaya aku dapat membantu permasa-
lahanmu itu.” Kemudian tertawalah mereka dan saling berpelukan
di sana. Kata Melhunahel,
“Sudah lama aku tidak melihatmu, Melhuriel. Di mana
saudara-saudara yang lain? Adakah tuan besar yang mengutusmu
sendirian saja ke sini?” Maka jawab Melhuriel,
“Engkau tahu bagaimana rasanya menjadi saudara Malaikat
Agung. Tentu saja saudara-saudaraku masih ada di Selatan dan
membangun ulang tanah itu. Mengapa engkau datang seorang diri
saja? Di mana yang lain?” Lalu jawab Melhunahel,

351
“Saudara-saudaraku juga harus tetap pada tugas mereka,
Melhuriel. Ada permasalahan yang harus kukatakan padamu
tentang apa yang terjadi di Ardur sebelumnya. Karena itu juga,
saudara-saudaraku harus menjaga Kraduria dengan ketat,
Melhuriel.” Lalu bekatalah Helanael,
“Kukira engkau sudah menyurati tuan besar Raphael
tentang itu, Melhunahel.” Lalu kata Melhunahel,
“Memang aku telah mengirim surat pada tuan besar
Raphael. Namun selagi Melhuriel ada di sini, aku akan berbicara
tentang ini padanya. Lagipula surat-suratku belum mendapat
jawaban.” Kemudian mulailah Melhunahel itu berbicara tentang
kunjungan Breftiel ke Kota Ardur.
Padahal pada saat sebelum Melhuriel bertemu dengan
Melhunael, surat dari Melhunael sudah sampai di Tanah Selatan.
Datanglah salah satu hamba pelayan Raphael pada saat acara
penghormatan dalam peristirahatan. Kata hamba itu pada Raphael,
“Tuanku, ampuni hamba yang menyela waktu tuan. Ada
surat dari Tanah Barat, dari Kota Kraduria. Hamba yang tuan
percayai atas kota itu telah mengirim peti-peti tembaga dan selipat
surat bagi tuan. Kiranya tuan hendak mengetahuinya sekarang,
kami akan mempersiapkannya.” Maka kemudian berkatalah
Raphael pada para Agung, katanya,
“Saudara-saudaraku, ada kabar dari Tanah Barat, namun
aku belum membacanya. Adapun hambaku mengirim barang-
barang yang mungkin cukup banyak. Bila saudara-saudara tidak
keberatan, dapatkah aku membukanya di sini?” Maka berkatalah
Mikhael,
“Tidak ada hal yang kami kerjakan saat ini. Baik bukalah
kiriman barang apa yang datang itu, supaya kami pun melihatnya.”
Lalu berkatalah Raphael pada hambanya, katanya,
“Baik buatlah itu di hadapan para Agung. Periksalah dahulu
apa isi peti-peti itu di depan rumah kerja ini. Bila aman segala
isinya, barulah kamu bawa itu ke hadapan kami.” Pergilah hamba
Rephai itu dan dibuatnya demikian.
Saat para Agung melihat peti-peti tembaga itu sangat baik,
maka berkatalah Mikhael,

352
“Raphael, bukankah peti-peti ini adalah dari Gruined?” Lalu
kata Raphael,
“Bila dilihat, memang ini adalah peti-peti anggur dari
Gruined. Namun ini adalah kiriman dari hambaku, dari Kota
Kraduria. Tidak ada peti anggur Gruined di sana. Masakan ini
benar datang dari Gruined?” Lalu Raphael membuka surat itu dan
setelah membacanya terdiamlah Raphael.
Melihat Raphael yang terdiam itu, bangkitlah Yehudiel
menghampirinya. Kemudian Yehudiel memegang Raphael dan
berkata,
“Adakah buruk kabar itu? Mari, biarlah aku lihat surat itu.”
Raphael pun memberikan surat itu pada Yehudiel. Kemudian
Yehudiel berdiri di sana dan membacanya di depan para Agung.
Hamba-hamba pelayan ada di sana saat Yehudiel membacanya,
maka banyak yang mendengar itu.
Setelah habis surat itu dibaca, berkatalah Mikhael,
“Apa maksud perbuatan ini? Adakah ia hendak mengada-
kan pertukaran dengan Malaikat Agung? Anggur Gruined memang
adalah yang terbaik bagi mulutku dan bagi semua malaikat, tentu
saja. Namun tidak pernah aku mendengar ada musuh yang mena-
warkan pertukaran seperti ini.” Lalu Raphael memerintahkan
hamba-hambanya untuk membuka peti-peti anggur itu. Setelah
dibukanya, memang benar bahwa di dalamnya adalah anggur-
anggur dari Gruined. Melihat hal itu, berkatalah Sealtiel,
“Ia mengirim sedikit saja pada kita dan hendak mengadakan
persekutuan pertukaran anggur dengan roti? Apa yang ia inginkan
itu tidak sebanding dan aku menaruh curiga atas perisitwa ini.”
Lalu berkatalah Raphael,
“Adakah pertimbangan untuk penawaran ini, saudara-
saudaraku? Anggur Gruined itu dapat menyegarkan tubuh para
malaikat dan membuat para malaikat itu lebih panas dan baik
dalam bertempur.” Lalu kata Gabriel,
“Benar juga apa yang engkau katakan itu, Raphael. Lagipula
sejak penyerangan dan perebutan kembali Tanah Roti, sekarang
barisan malaikat telah berlimpah dengan roti dan biji. Mungkin kita

353
dapat melakukan pertukaran itu dengan maksud yang lebih baik.”
Kemudian berkatalah Mikhael di sana, katanya,
“Pertimbangan memang dapat diberikan dengan memikir-
kan berbagai keuntungan dan kerugian bagi barisan kita, saudara-
saudaraku. Bila kita menukarnya dengan roti, bukankah musuh kita
itu lebih memerlukan roti dari pada anggur? Memang roti tidak
pernah berpengaruh pada malaikat, saudaraku. Namun sungguh,
kita semua kaum malaikat ini sangat terpuaskan bila dapat mema-
kan roti. Aku melihat perpecahan di barisan Luciel. Tentulah
Breftiel ini menginginkan roti untuk memuaskan hamba-hambanya,
supaya jangan hamba-hambanya terpecah lagi. Bila mereka memi-
liki banyak roti, mereka dapat memuaskan barisannya dan barisan
mereka akan semakin setia karena kepuasan itu.” Lalu berkatalah
Yehudiel,
“Apa yang dikatakan Serael sungguh bijak dan memang
benar. Raphael, tidak perlu engkau memikirkan semua itu. Bukan-
kah hamba-hambaku itu telah pergi ke Gerbang Altar untuk
mengambil minyak-minyak urapan? Sekalipun minyak tidak dapat
memanaskan tubuh malaikat, namun itu sudah sangat membantu
bagi barisan kita. Maka baiklah kita pertimbangkan lagi.”
Setelah itu Raphael terdiam dan memikirkan semua itu. Ia
memikirkan banyak hal dan rencana dalam waktu singkat saja.
Sebab sungguh Raphael itu sangat rindu dengan anggur Gruined
yang limpah. Persediaan anggur Raphael sendiri masih cukup
baginya sendiri dan bagi para Agung, namun Raphael memikirkan
hamba-hambanya dan para malaikat. Lalu tiba-tiba berkatalah
Sealtiel di sana, katanya,
“Aku akan lebih memilih menyerang Tanah Anggur dan
merebutnya dari musuh. Dengan begitu, tanpa pertukaran pun, kita
akan melimpah dengan anggur dari Gruined.” Kemudian berka-
talah Mikhael,
“Sealtiel, adakah engkau itu tidak mengerti? Gunung
Gruined itu tinggi dan jalannya terjal. Bila Gissel membangun ben-
tengnya di atas Slaire, maka tentu saja Breftiel itu juga membangun
benteng di atas Gruined. Akan membutuhkan banyak sekali barisan
untuk menembus tembok bentengnya. Itu pun bila dapat barisan

354
kita menembus bentengnya. Raphael sendiri masih banyak memi-
kirkan pertimbangan, sekalipun ia sangat ingin merebut kembali
Gruined. Terlalu sulit untuk merebut kota itu begitu saja. Sekalipun
aku belum melihatnya atau mendengar tentang bagaimana kota itu
sekarang, namun aku terlalu sangat yakin, pastilah Kota Gruined
sudah dibangun menjadi benteng kuat.”
Terdiamlah Sealtiel dan ia memikirkan sesuatu, sedang
Raphael terdiam saja di sana. Lalu turunlah hikmat pada Sealtiel
dan ia berkata,
“Baiklah bila demikian. Maka kesempatan ini sangat me-
nguntungkan kita. Raphael, adakan saja perjanjian untuk menga-
dakan pertukaran. Kirim semua kereta tarik yang ada di Tanah
Barat. Namun jangan isi kereta-kereta itu dengan roti, isi kereta-
kereta itu dengan hamba-hamba malaikat. Tentulah Breftiel akan
menyambut roti-rotinya dengan sukacita dan membiarkan kereta-
kereta itu masuk dalam gerbangnya. Kemudian persiapkan juga
penyerangan atas kota di atas gunung itu. Saat mereka menyambut
roti-rotinya, penjagaan mereka akan lengah, atau setidaknya ben-
tengnya lebih mudah ditembus bila sudah ada hamba-hamba yang
masuk dalam benteng melalui kereta-kereta tarik.” Tersenyumlah
para Agung dan mereka tertawa di sana karena rencana itu
memang sangat bagus.
Kemudian bangkitlah Mikhael dan ia berkata di sana,
katanya,
“Hai kamu, hamba-hamba pelayan! Kamu telah mendengar
banyak pembicaraan kami di sini. Jangan pembicaraan ini kamu
bawa keluar bersama langkah kaki saat keluar dari sini. Jangan
kamu menceritakan apa yang kamu dengar ini pada siapa pun, baik
saudara atau kawan-kawanmu. Ini adalah rencana para Malaikat
Agung yang rahasia dan jangan sampai musuh mengetahui ini,
hanya karena kamu menyebarluaskan berita ini.” Maka berlututlah
para hamba di sana dan mereka berjanji tanpa sumpah untuk
menjaga rahasia itu. Raphael sudah sangat bersemangat untuk
merebut Gruined kembali. Namun berkatalah Yehudiel,

355
“Tenanglah, Raphael. Tahan palu dan pedangmu. Seranglah
Gruined setelah kita selesai di Selatan. Masih banyak waktumu
untuk melakukan semua perencanaan itu.” Lalu kata Raphael,
“Aku akan membuatnya setelah sesampaiku kembali di
Tanah Barat. Akan kuhabisi mereka yang berani mengaku berkuasa
atas Tanah Anggur. Sealtiel, sungguh aku bersyukur pada Yang
Kudus karena hikmat yang turun padamu itu.”
Setelah itu para Agung di Selatan kembali melanjutkan acara
penghormatan mereka. Sekalipun para Agung hanya duduk untuk
melihat para pembesar Seraphiem memberi penghormatan pada
para pejuang pertempuran, para Seraphiem sudah merasa sangat
bersuka. Tidak seperti yang dipikirkan Mikhael sebelumnya, ter-
nyata acara itu berlangsung lama dan panjang sekali. Sehingga para
Agung terjebak di sana sebelum bisa melanjutkan perjalanan
mereka ke Ariaria.
Sementara itu di Utara, Uriel, Raziel, Bart-Archiel dan
Ammatiel masih berbincang-bincang. Setelah Bart-Archiel menceri-
takan pada Raziel dan Ammatiel tentang Ekhinel, Raziel berkata
pada Uriel,
“Hanya untuk mengingatkanmu, Uriel. Jangan sampai
mereka yang berdiam di tanahmu itu malah bangkit melawanmu.
Kiranya biarlah itu terus dalam pengawasan dan kendalimu.” Maka
kata Uriel,
“Aku sudah mempertimbangkan berbagai ancamannya,
Raziel. Hamba-hambaku siap menghadapi pergerakan apa pun dari
mereka, bila ada tanda-tanda mereka hendak bangkit melawan aku.
Lagipula ada barisan Baghaniem yang selalu mengawasi mereka di
sebelah utara.”
Setelah banyak berbincang tentang itu, berkatalah Bart-
Archiel pada Raziel, katanya,
“Raziel, engkau telah membangkitkan barisan baru untuk
pengintaian ke Tanah Utara. Kemudian engkau juga memperkuat
kota itu dengan benteng dan tembok. Barisan Rendurum berdiam
di utara dan berjaga di bukit-bukit ini. Bahkan Drenthiriem juga
datang ke tanah ini untuk berjaga bersama barisanmu. Ada apa
sebenarnya? Apa yang engkau rencanakan hingga membuat semua-

356
nya ini?” Raziel terdiam dan ia mempersiapkan jawabannya. Lalu
kata Raziel,
“Adalah pergerakan hebat di Tanah Utara, Bart. Luciel telah
menghimpun kekuatannya dengan hebat dan ia menahan barisan-
nya hanya berdiam di sana. Sekalipun Serael dan Raphael mem-
bantai sekutu mereka di Tanah Barat, tidak ada pergerakan dari
Utara untuk membantu. Luciel tentu sedang membangun sesuatu
di Tanah Utara dan memiliki rencanannya sendiri. Seperti yang kita
ketahui, bahwa Tanah Kering telah jatuh pula dalam batas wilayah
musuh. Musuh kita sudah memiliki jalan masuk langsung ke Tanah
Timur. Aku hanya berjaga-jaga bila mereka menyerang ke Tanah
Timur melalui kota ini, aku sudah siap menahannya.
Mengenai Ammatiel, ia tidak memiliki kepentingan apa pun
hingga barisannya datang untuk berjaga di sini. Namun karena ini
adalah demi ketenangan Tanah Timur dan termasuk penjagaan
supaya jangan pula Tanah Timur jatuh dalam kuasa Luciel, maka
Drenthiriem turut berjaga di sini.” Lalu Raziel mengambil sebuah
gulungan.
Ditaruhnya gulungan itu di depan Uriel dan Bart-Archiel,
lalu dibukannya di atas meja. Lagi kata Raziel,
“Semua ini adalah pencatatan tentang barisan Durigo. Baris-
an yang kubangkitkan baru-baru ini. Seperti yang sudah kutuliskan
dalam suratku padamu, aku memerlukan pengintaian untuk
mengetahui apakah yang menjadi rencana Luciel itu. Dan adakah
benar bahwa Tanah Timur dalam ancaman yang besar. Aku hendak
mengetahuinya. Adapun saat ini barisan itu sudah kuutus pergi ke
Tanah Utara dan belum kembali sampai saat ini. Sudah lebih dari
satu Sherta mereka pergi. Bahkan sebelum engkau menyurati aku,
aku sudah mengutus mereka pergi dari sini.” Setelah itu Uriel
memeriksa catatan itu sebab memang Uriel sangat teliti dalam hal
pencatatan. Setelah dibacanya semua itu, berkatalah Uriel,
“Semua ini adalah hasil pekerjaan tanganmu, Raziel. Tidak
ada nama Ammatiel dalam pembentukan barisan ini dan pelatihan
anggotanya. Sedang engkau membentuk barisan ini dengan cepat
dan latihan yang instan begitu saja. Ke mana Ammatiel pergi saat

357
engkau membentuk barisan ini? Mengapa tidak ada saksi atas
pekerjaan ini?” Kemudian terdiamlah Raziel dan Ammatiel.
Karena Uriel dan Bart-Archiel menunggu jawaban, maka
bangkitlah Ammatiel. Kemudian berkatalah ia, katanya,
“Memang aku tidak turut campur dalam pekerjaan Raziel
ini. Sepenuhnya, barisan Durigo adalah bentukan Raziel sendiri dan
semua anggotanya adalah pilihannya sendiri. Para Ammatiem yang
terpilih dan masuk dalam barisan itu adalah sesuai dengan izinku
pada Raziel. Karena engkau menanyakan di mana aku saat pem-
bentukkannya, maka aku akan menceritakan semua padamu.
Raziel dan aku memang merencanakan pertahanan kuat
bagi Tanah Timur. Yaitu tidak hanya dengan membangun benteng
di Nai dan mengamankan gulungan-gulungan ke sana. Namun
Skuria ini, adalah jalan masuk yang sangat terbuka lebar bagi mu-
suh. Maka kami juga harus memperkuat kota ini untuk menahan
musuh melangkah ke Tanah Timur. Selain itu, teringatlah kami
akan perkataan Serael. Terkadang menyerang adalah pertahanan
yang baik. Maka kami hendak menyerang Tanah Utara, sebelum
mereka menyerang kami.” Terheranlah Uriel dan Bart-Archiel
mendengar cerita Ammatiel itu.
Kemudian kata Uriel,
“Dengan kekuatan apakah kamu hendak maju ke Tanah
Utara, saudara-saudaraku? Barisan Luciel sangat kuat di sana dan
tanah di sana terisi padat dengan barisannya. Jumlah mereka ber-
laksa dari timur sampai barat tanah itu. Bukan aku memandang
rendah pada hamba-hambamu dan malaikat-malaikat Timur,
namun mengirim barisan Rendurum dan Drenthiriem ke Tanah
Utara, sama dengan mengirim mereka pada kehancuran. Jadi
pengintaian para Durigo ini tidak hanya tentang mencari tahu
rencana Luciel?” Kemudian kata Raziel,
“Benar. Aku mengutus mereka tidak hanya untuk mencari
tahu rencana barisan musuh. Namun juga untuk melihat medan di
sana dan bagaimana kekuatan barisan musuh kita, Uriel. Dan benar,
apa katamu. Bila aku dan Ammatiel membawa dua barisan besar
malaikat Timur ke Utara, itu hanya membawa kehancuran bagi

358
kami.” Kemudian Ammatiel duduk dan ia terdiam saja. Kemudian
berkatalah Bart-Archiel,
“Engkau sudah tahu mengenai itu, lantas mengapa engkau
tetap saja hendak pergi menyerang Tanah Utara?” Kemudian kata
Raziel,
“Tentu aku dan Ammatiel tidak akan pergi sendiri, saudara-
ku, Berkat Allah. Lihatlah barisanku, mereka malaikat kecil dan
tidak mahir mengayun pedang. Mereka pembawa tombak pendek
dan pedang mereka lebih kecil dari pada belati pembuka gulungan.
Lantas apa yang hendak diharapkan dari barisan ini, Drenthiriem?
Mereka adalah para pemanah yang membawa busur. Tidak dapat
kami menembus baris pertama musuh. Kami malaikat timur hanya-
lah barisan pendukung dan bukan barisan utama. Karena itu kami
membutuhkan tuan Tanah Utara untuk bangkit bersama dan
merebut kembali tanahnya.”
Mendengar itu Bart-Archiel tidak dapat bicara dan hanya
terdiam berpikir. Kemudian Uriel berkata,
“Engkau sudah kehilangan pikiranmu, Raziel. Gulungan-
gulungan yang engkau baca telah merusak cara pikirmu. Yang kita
hadapi saat ini bukanlah tinta di atas kertas, yang ditulis kemudian
habis dibaca. Namun kita menghadapi musuh yang nyata dan akan
menjatuhkan korban yang sangat banyak, saudaraku. Ur-Bagha be-
lum siap untuk penyerangan ke Utara dan kami lebih memilih
untuk menunggu barisan Seraphiem datang mendukung kami.
Atau setidaknya barisan Tanah Barat memenuhi panggilan kami
untuk merebut kembali Tanah Utara. Sekalipun barisan Ur-Bagha
telah banyak berlatih, namun kita tidak tahu sekuat apa Luciel saat
ini. Tidakkah engkau ingat pertempuran di Tanah Altar? Atau per-
tempuran di Tanah Jegudiem? Katakan padaku, Raziel, berapa
Rephaiem yang harus jatuh dalam pertempuran itu? Berapa Uriem
dan berapa Bartarchiem yang hancur dalam dua pertempuran itu?
Itulah kekuatan musuh kita yang sekarang ini mungkin lebih kuat
daripada itu. Sekalipun Ur-Bagha berjalan di depan barisanmu,
tetap saja akan menjatuhkan banyak korban bila harus menghadapi
barisan Luciel di Utara itu. Kami tidak akan maju bersamamu dan

359
dengan sepenuh hormatku padamu, saudara-saudaraku penguasa
Tanah Timur, tahan barisanmu.”
Kemudian berkatalah Raziel,
“Bila terus saja kita menahan barisan kita berdiam dan tidak
menyerang, maka merekalah yang akan datang pada kita, Uriel,
Api Allah! Sekarang jawablah aku, berapa lama engkau harus me-
nanti barisan dari Selatan? Para Seraphiem memiliki tanah mereka
sendiri untuk mereka perjuangkan dan engkau pun, bersama Bart-
Archiel, harus berjuang sendiri demi Tanah Utara. Atau berapa
lama saudara-saudaramu dari Barat akan datang menjawab pang-
gilanmu? Tanah mereka sendiri masih diselimuti oleh barisan
Legiun dan barisan musuh membanjiri bukit-bukit mereka. Bahkan
sampai saat ini Tangan Allah tidak dapat meraih anggur dari
Gruined. Sesaat mereka selesai dengan tanah mereka, Tanah Uriem
sudah jatuh dan Tanah Timur digempur habis oleh Luciel. Kita
harus melawan, saudaraku. Ur-Bagha akan tetap bangkit bersama
kami, apa pun yang terjadi.” Kemudian tersenyumlah Bart-Archiel
dan berkata,
“Apa yang membuat engkau begitu yakin bahwa kami akan
bangkit bersamamu, saudaraku? Setelah mendengar perkataanmu
itu, kami tetap tidak akan maju. Sesuai saran Serael, kita akan me-
nahan penyerangan ke Tanah Utara. Kekuatan musuh terlalu besar
untuk kita hadapi sendiri. Barisan Tanah Sorga harus bersatu untuk
melawan mereka dan aku sendiri, akan menunggu sampai kedua
puluh lima pedang memiliki tuannya masing-masing. Karena eng-
kau bersikeras untuk maju ke Utara, Baghaniem akan kubangkitkan
untuk merebut Tanah Kering dan menutup jalanmu ke Utara,
Raziel. Aku tidak akan membiarkan saudaraku berjalan menuju
kehancurannya sendiri.”
Ammatiel memandangi Uriel dan Bart-Archiel. Kemudian ia
bangkit dan berjalan ke jendela di sana dan melihat ke luar. Lalu
kata Ammatiel,
“Lebih baik hancur demi Sorga, daripada harus melihat
Tanah Uriem, Tanah Raziem dan seluas Tanah Hijau Ammatiem
jatuh dan dikuasai oleh Luciel.” Lalu kata Uriel,

360
“Bila memang Luciel akan menyerang kita, saudaraku, kita
akan bertahan. Lebih baik kita bertahan di kota kita sendiri dari
pada berusaha masuk dan merebut kota musuh. Bilapun rupanya
barisan kita tidak dapat bertahan, kita akan mundur ke Tanah
Jegudiem dan bertahan di sana. Ada kemenangan yang menunggu
kita nantinya. Saat Tentara Sorga bangkit bersama-sama, itulah
saatnya kemenangan besar kita. Bukan dengan maju dan menye-
rang sendiri, Ammatiel. Sungguh, satu Uriem pun tidak akan ada
yang bangkit menjawab panggilanmu. Malahan mereka akan mena-
han setiap Ammatiem dan Raziem yang hendak pergi ke Tanah
Utara.” Raziel menyahutnya, katanya,
“Oh, Ur-Bagha akan bangkit, saudaraku. Percayalah pada-
ku, mereka akan bangkit menjawab kami.” Uriel dan Bart-Archiel
terdiam memandang Raziel dan mereka tidak mengerti, mengapa
Raziel dan Ammatiel tetap percaya bahwa barisan Ur-Bagha akan
menjawab mereka. Padahal Uriel dan Bart-Archiel sudah memberi
jawaban tidak.
Maka kemudian Ammatiel berpaling melihat saudara-
saudaranya. Lalu ia menundukkan kepalanya dan melipat
tangannya di balik punggungnya. Kemudian kata Ammatiel,
“Ur-Bagha akan tetap akan bangkit menjawab kami. Ada
suatu sumpah yang diucapkan di Tanah Jegudiem, di Padang Altar.
Di antara para Rephaiem, seorang Jegudi berseru meneriakkan
sumpahnya. Namun sungguh Tangan Allah menahannya dan
mengutusnya memohon persetujuan pada yang ia sumpahi. Aku
tahu bahwa saat itu para Cerubbiem berulah di Tanah Allah,
sehingga menyebabkan kehebohan. Kemudian kamu, saudara-
saudara, memberi jawaban atas sumpah itu. Satu pedang yang akan
membangkitkan kamu bersama kami.” Maka menolehlah Bart-
Archiel dan ia teringat, lalu katanya,
“Gemmiril.” Kemudian berkatalah Raziel,
“Dari Tanah Jegudiem datanglah jawaban bagi kami. Wajah
Allah menoleh pada tanah itu dan memanggil dia untuk datang
pada kami. Suaranya telah mendukung kami dan dengan kekuatan
barisan Tanah Utara, kita akan menjatuhkan Luciel, saudara-
saudara.” Maka terdiamlah Uriel dan Bart-Archiel. Mereka hanya

361
menggelengkan kepala mereka dan pikirkan mereka sudah terbang
memikirkan kehancuran yang akan datang pada mereka.
Raziel melihat bahwa saudara-saudaranya itu menjadi
lemas. Maka ia mengambil buah-buah dan memberikannya pada
Uriel dan Bart-Archiel. Kemudian kata Raziel,
“Tentu saja aku tidak akan melakukan hal yang mencela-
kakan barisanku dan saudara-saudaraku. Aku dan Ammatiel tidak
akan serta merta memerintahkan penyerangan atas Tanah Utara
dan memanggil barisan Ur-Bagha mendukung kami. Namun tetap,
aku akan menunggu hasil pengintaian para Durigo. Bila memung-
kinkan bagi kita untuk maju menyerang, maka kita akan menye-
rang. Namun bila tidak, maka kita akan bertahan seperti yang
engkau katakan, saudara-saudaraku. Namun ingatlah apa yang
kukatakan padamu di sini. Bahwa Luciel tidak mungkin berdiam
membiarkan kita di sini duduk tenang. Ia tentu punya rencana bagi
tanah ini dan Tanah Utara Tengah. Bila memang harus bertahan,
sebaiknya siapkan pertahanan terbaik kita, saudara-saudaraku.”
Kemudian berkatalah Bart-Archiel,
“Baiklah kita menunggu hasil pengintaian itu. Namun
Raziel, ingatlah pula apa yang kukatakan padamu di sini. Perhati-
kan dan perhitungkan baik-baik kekuatan barisan kita dan barisan
musuh. Bilapun kita dapat menang, namun banyak korbannya, itu
sama saja dengan kekalahan. Perhitungkan dan supaya jangan kita
kalah, namun juga tidak banyak korban yang jatuh di pihak kita.”
Kemudian para Agung duduk bersama dan terus berbincang
tentang itu.

362
Pemberontakan Dimulai

Acara penghormatan para Seraphiem sudah hampir menca-


pai penghujung. Masing-masing Seraphiem yang berjuang dalam
pertempuran Tanah Barat telah dipanggil dan diberi penghormatan
oleh para pembesar Seraphiem. Karena para Agung duduk dalam
acara itu, berkumpullah para pelayan para Agung untuk saling
berbincang. Saat itu mereka duduk bersama di samping terasan
gudang senjata.
Inilah nama-nama mereka yang ada dalam perkumpulan
itu. Yaitu mereka yang menjadi hamba-hamba pelayan para Agung.
Mereka yang mula-mula duduk bersama dan berbincang di sana.
Ada Dundadel dan Gundadel saudaranya. Mereka adalah para
pelayan Mikhael, pembawa senjata-senjata dan baju zirah Mikhael.
Kemudian Krintinel salah satu dari tua-tua rumpun Hugta-Al, yang
ada sebagai kepala pengurus tunggangan Mikhael. Kemudian du-
duk pula bersama mereka Milisel dan Hulel dua malaikat bersa-
habat pelayan Yehudiel dan Sealtiel. Mereka yang mengurus kereta-
kereta tarik bagi Yehudiel dan Sealtiel. Ada pula bersama Bikel
yang disebut Binanel. Dia adalah hamba yang melayani saudara
Raphael, Elcuriel. Namun pada saat itu ia ada bersama Raphael
sebab hamba pelayan yang biasa bersama Raphael ada urusannya
di Araria. Namun Binanel itu sudah cukup sering pula pergi
bersama Raphael sebagai hamba yang merawat alat-alat tempa
Raphael.
Duduk bersama mereka Mahanael pembesar Seraphiem
yang baru diangkat Mikhael di sana. Mereka duduk dan berbincang
ada enam orang tidak terhitung Mahanael. Kemudian mereka ber-
bincang di sana. Setelah lama berbincang, berkatalah Mahanael,
“Baiklah saudara-saudara lanjutkan perbincangan saudara-
saudara. Aku harus kembali pada tuan besar Serael.” Maka pergilah
Mahanael dari sana. Saat ia kembali pada Mikhael, ia melihat bah-
wa Mikhael sedang duduk di depan dan melihat acara penghor-
matan. Maka pergilah Mahanael pada Gabriel yang ada duduk di

363
belakang dan berbincang dengan Sealtiel. Kata Mahanael pada
Gabriel,
“Tuanku, kiranya ampunilah aku yang mengganggu tuan.
Ada perluku untuk bicara pada tuan Serael, namun tuan Serael se-
dang sibuk nampaknya. Bila tuan ada waktu bagi hamba Seraphiem
ini, kiranya dengarkanlah hamba sebentar.” Maka kemudian
Gabriel mau mendengarkannya.
Pergilah Gabriel meninggalkan Sealtiel dan masuk dalam
gudang senjata bersama Mahanael. Mereka berbicara di dekat
ambang pintu utama. Kata Gabriel,
“Baiklah katakan apa yang hendak engkau katakan itu,
Mahanael.” Lalu mulailah Mahanael berkata,
“Adalah persoalan yang hamba dapati, tuan. Mungkin ini
tidak ada kaitannya dengan tuan Jegudiel. Namun kiranya tuan
mau untuk menyampaikan ini pada tuan Serael, tentu ia akan lebih
mendengarkan pada tuan Jegudiel. Hamba-hamba para pelayan
Malaikat Agung telah berkumpul di samping terasan. Sejak lama
mereka mengikuti acara ini dan mereka melihat bagaimana para
Seraphiem menerima penghormatan. Kemudian mereka saling ber-
kata: ‘aku melayani bertahun-tahun dan tidak pernah menerima
penghormatan seperti itu.’. Ada pula yang berkata: ‘aku ada bersa-
ma tuanku Serael dalam tiap pertempuran di Tanah Barat, namun
tidak ia memberi aku penghormatan.’. Maka hal ini menjadi
persoalan bagi aku. Sebab aku ini takut bila mereka tidak lagi setia
melayani para Agung dan bekerja asal-asalan saja. Kiranya bila tuan
mau, berilah penghormatan pada mereka juga.” Maka jawab
Gabriel,
“Tidak ada urusan sehingga hamba-hamba itu berbicara
seperti itu. Lagipula apa jasa-jasa mereka tentu sudah diingat para
Malaikat Agung. Bukankah dengan bertemu para Agung setiap saat
sudah suatu kehormatan bagi mereka? Ada berlaksa-laksa malaikat
yang sangat ingin dan berjuang keras untuk dapat berhadap muka
dengan Malaikat Agung. Sedang mereka itu setiap saat, kapan saja,
mereka dapat berhadap muka dengan Malaikat Agung. Tidaklah
perlu mereka menerima penghormatan.”

364
Lalu kemudian Mahanael memohon supaya Gabriel tetap
menyampaikan itu pada Mikhael. Gabriel tidak menjawab namun
keluar dan kembali duduk bersama Sealtiel. Kemudian pergilah
Mahanael dari sana untuk mengikuti acara penghormatan. Sedang
hamba-hamba pelayan para Agung itu masih terus saling berbin-
cang di samping terasan.
Tidak lama kemudian, para hamba-hamba itu semakin seru
berbincang dan mereka benar-benar merasa bahwa mereka seharus-
nya juga menerima tanda jasa. Maka pergilah salah satu dari
mereka, yaitu Krintinel pada kawannya. Salah satu pemimpin
barisan di pertempuran Tanah Barat yang berjuang bersama
Mikhael. Lalu katanya, “Saudaraku, lihatlah mereka yang berjuang
di Tanah Selatan ini mendapat penghormatan mereka. Sedang kita
ini sudah berjuang juga di Tanah Barat bersama tuan besar Serael.
Marilah kita maju menghadap untuk meminta penghormatan bagi
para pejuang Tanah Barat.” Namun jawab hamba itu,
“Bukankah engkau memiliki barisan sendiri yang engkau
pimpin? Tanyakan saja pada mereka, apakah mereka mau meminta
penghormatan karena perjuangannya di Tanah Barat? Aku dan
barisan yang kupimpin, tidak pernah mengharap penghormatan
semacam ini. Karena kami ini sudah sangat terhormat dapat ber-
juang bersama tuan Serael di Tanah Barat. Aku ini ada dalam
perjuangan Tanah Barat sejak di Tanah Roti, penyerangan pertama,
sampai pertempuran di Daria. Namun tidak pernah aku merasa
layak menerima penghormatan dari tuan Serael. Dengan dapat
menjadi satu barisan dengan tuan Serael dan menderita luka per-
tempuran bersamanya, aku sudah terhormat.” Maka pergilah Krin-
tinel darinya dan kembali pada hamba-hamba pelayan yang lain.

Sementara itu, di Tanah Barat. Helanael telah membentuk


regunya untuk berangkat ke Tanah Ranting. Ia sudah mempersiap-
kan regunya dan siap untuk berangkat. Pergilah ia mendapati
Melhuriel dan berkata,
“Aku telah siap, Melhuriel. Sudah ada berkumpul bersa-
maku tujuh puluh hamba yang lain. Dua orang hamba yang nama-
nya engkau pilih tidak datang, mungkin mereka terlambat atau

365
bagaimana, aku tidak tahu. Maka aku memutuskan untuk mening-
galkan mereka.” Lalu berkatalah Melhuriel,
“Baik pergilah, dan berhasillah engkau!” Pergilah Helanael
dari Ardur bersama rombongannya. Sebab saat itu Melhuriel ada di
Ardur untuk mengurus permasalahan di sana.
Helanael memimpin para pengintainya untuk berjalan
memasuki Tanah Ranting dari Ariar. Sebab katanya, “Kita tidak
akan mengintai dari Idarun. Di sana terlalu bahaya dan mungkin
memang di sanalah pertahanan terkuat musuh. Kita akan memulai
pengintaian dari Hemdor.” Berangkatlah mereka bersama-sama
dari sana untuk mengintai. Helanael dan rombongannya pergi
bertunggang semuanya dan membawa berbagai bekal mereka yang
cukup untuk satu Sherta lamanya.

Di Utara, Kota Skuria, perbatasan Tanah Raziem dan Tanah


Uriem. Para Agung juga berkumpul di sana dan masih memper-
bincangan tentang penyerangan Tanah Utara. Empat Malaikat
Agung berkumpul di sana dan saling berbicara sedang mereka
tidak satu kehendak dalam hal penyerangan Tanah Utara.
Berkatalah Raziel,
“Bagaimana pun juga, barisan Sorga juga memiliki kekuatan
yang tidak dapat dipandang rendah. Setidaknya musuh kita harus
mengetahui itu supaya jangan berani-berani mereka melangkah me-
langgar perbatasan kita dengan sembarangan. Kita akan menunjuk-
kannya dengan penyerangan ini, Uriel. Bart-Archiel, aku tahu
bahwa barisan sabitmu sangat mahir dalam pertempuran terbuka.
Kekuatan seperti itu yang kumaksudkan sebagai kekuatan sejati
kita. Para pembawa apimu, Uriel. Mereka tidak diciptakan hanya
untuk duduk diam. Kita harus membawa mereka dalam pertem-
puran yang hebat dan dikenang dalam masa-masa yang akan
datang.” Kemudian kata Bart-Archiel,
“Ur-Bagha harus diam dalam tempat mereka dan menjaga
ketenangan antara dua barisan besar, Raziel. Mereka dibentuk un-
tuk berjaga dan berjaga. Penyerangan harus menunggu keputusan
Barisan Bintang Timur. Seraphiem dan Rephairiem akan menjawab
kita nanti dan itulah saat yang tepat untuk menyerang. Tidak harus

366
dengan menyerang Tanah Utara secepatnya, untuk menunjukkan
kekuatan kita. Biarlah mereka datang bila mereka hendak
menyerang, maka kami akan menunjukan kekuatan kami.” Mereka
saling berselisih paham di sana dan keramaian itu membuat takut
para hamba pelayan.
Sampai akhirnya, datanglah seorang penunggang dari arah
utara. Malaikat yang menunggang tikus utara, mendekati tembok
utara Skuria seorang diri. Jubahnya berwarna abu-abu dan berke-
rudung rapat. Wajahnya tertutup kain dan di punggungnya ada
enam pedang dan satu busur. Para Drenthiriem yang berjaga di atas
tembok melihat hamba itu dan mereka bangkit mengambil busur.
Kemudian pemimpin barisan penjaga itu berkata,
“Tahan tembakanmu, anak-anak. Ia datang seorang diri.
Mungkin ia utusan Luciel yang hendak berbicara pada tuan-tuan
Malaikat Agung.” Majulah pemimpin penjaga tembok dan berseru
dari atas tembok, katanya,
“Tahan langkahmu, penunggang!” Namun penunggang itu
terus saja bertunggang mendekati tembok dengan cepat.
Karena itu, pemimpin penjagaan tembok memerintahkan
satu pemanah memberi tembakan untuk memperingatkan penung-
gang itu. Dilepaslah anak panah dari busur Ammati dan menancap
di depan kaki tikus utara itu. Terkejutlah tikus utara itu dan ia
berhenti dan berdiri di atas dua kaki belakangnya. Penunggang di
atasnya menarik telinga tikus itu dan terus melanjutkan untuk
bertunggang. Maka berserulah penjaga tembok itu, katanya,
“Jatuhkan dia ke tanah! Bidik bahunya!” Maka kembali
ditembakkan satu anak panah lurus meluncur pada bahu
penunggang itu.
Namun tiba-tiba penunggang itu menoleh melihat anak
panah yang meluncur dengan cepat padanya. Kemudian ia menarik
belati dari pinggulnya dan membelah anak panah yang tertuju
padanya itu. Terbelahlah anak panah itu dan tidak mengenainya.
Kemudian berhentilah penunggang itu saat sudah dekat dengan
tembok. Para Drenthiriem heran melihat aksinya itu. Menolehlah
penunggang itu memandang pemimpin penjaga tembok dan ia
berseru, katanya,

367
“Giler sur keim. Nara bara man dakuh!” Yang berarti
‘Ranting kering di Barat. Telah habis dimakan api.’ Para Ammatiem
tidak dapat mengerti perkataannya itu.
“Sampaikan itu pada tuan Raziel!” Lagi kata penunggang
itu. Maka berlarilah hamba Ammati untuk menghadap Raziel dan
para Agung.
Setelah masuk dalam ruangan para Agung, berlututlah
hamba itu di ambang pintu. Sedang para Agung terkejut melihat
kedatangan hamba itu yang datang tergesa-gesa. Maka berkatalah
Ammatiel,
“Engkau mengganggu kami, Hisael! Adakah perlumu?”
Lalu kata hamba itu,
“Ampuni aku tuanku. Ada penunggang tikus utara datang
dari sebelah utara, dari Tanah Kering. Ada pesan bagi tuan Raziel:
‘Giler sur keim. Nara bara man dakuh.’ Ia ada di depan tembok dan
menunggu di sana, tuanku. Adakah perintah bagi kami untuk
mengambil tindakan baginya?” Kemudian menolehlah Ammatiel
pada Raziel dan berkata,
“Hamba mana yang dapat berkata dalam bahasa Archriel-
Guul?” Bangkitlah Raziel dan ia berkata,
“Mereka sudah kembali, Ammatiel. Durigo. Mereka telah
kembali dari Utara.” Kemudian lagi kata Raziel pada hamba
Ammati yang datang itu, katanya,
“Biarkan hamba itu masuk dan bawa pada kami, segera!”
Maka berlarilah hamba Ammati itu kembali ke tembok untuk
membawa penunggang itu masuk dalam kota.
Sedang para Agung segera keluar dari tempat mereka
berkumpul. Sebab Raziel tahu, bahwa penunggang yang datang itu
adalah hamba Durigo utusannya. Mereka berlarian untuk melihat
ke kota utara sebelah bawah dan menunggu hamba itu dibawa
pada mereka. Berkatalah Uriel,
“Raziel, adakah engkau mengajarkan pada Durigo untuk
berkata dalam bahasa kita?” Maka kata Raziel,
“Itu perlu bagi mereka, Uriel. Kiranya aku sudah mencan-
tumkan itu semua dalam surat-suratku, bahwa mereka juga belajar

368
berbagai bahasa. Dan sedikit kuajarkan bahasa Cerub kuno.” Maka
kata Bart-Archiel,
“Hummunal, Raziel! Aku yang adalah Malaikat Agung
tidak pernah tahu bagaimana bahasa Cerub kuno itu, dan sekarang
engkau telah mengajarkannya pada hamba-hamba ini? Pula menge-
nai bahasa Malaikat Agung, itu ada hanya untuk Malaikat Agung
dan hamba tertentu saja, Raziel. Tidak seharusnya hamba biasa
dapat berkata-kata dalam bahasa itu.” Maka Raziel menoleh dengan
wajah bersuka dan berkata,
“Mereka bukan hamba biasa, Bart-Archiel. Lagipula mereka
harus mengetahui bahasa-bahasa itu supaya bila-bila ada kesempat-
an mereka dapat bertemu Luciel, mereka juga tahu apa yang dika-
takan Luciel bila Luciel berkata dalam bahasa-bahasa itu. Mereka
sudah terikat sumpah dan mereka tidak dapat menggunakan
bahasa seperti itu sembarangan. Baiklah kita lanjutkan nanti. Tidak
tahukah kamu bahwa aku sangat bersuka mengetahui hamba-
hamba itu telah kembali padaku?”
Kemudian Raziel mempersiapkan ruang untuk bertemu
dengan salah satu Durigo itu. Ruang itu tertutup dan hanya dise-
diakan bagi para Agung dan satu hamba Durigo itu. Para
Ammatiem melemparkan tali untuk menarik penunggang tikus itu
naik ke atas tembok. Karena tembok di Skuria tidak memiliki ger-
bang masuk atau keluar. Maka memanjatlah hamba Durigo itu naik
ke atas tembok dan bertemu dengan pemimpin penjaga tembok.
Kemudian kata hamba itu,
“Engkau bekerja dengan baik dalam menjaga tembok ini,
saudara. Sebentar lagi saudara-saudaraku akan datang dari utara.
Kiranya tahan panahmu dan biarkan mereka masuk juga. Sekarang
ampuni aku harus segera pergi. Karena ada Malaikat Agung yang
harus kutemui di atas sana.” Lalu kata Ammati pemimpin penjaga
itu, “Siapa engkau ini, sehingga para Agung memanggilmu pada
mereka? Aku ini tidak pernah melihat hamba malaikat sepertimu
dan tidak ada dalam suku malaikat yang berpakaian sepertimu.
Pula bahasamu itu tidak kami kenali. Berhati-hatilah di kota ini,
saudara. Aku akan mengawasi tindakkanmu!” Kemudian pergilah
hamba itu untuk menghadap para Agung di Skuria atas.

369
Duduklah empat Malaikat Agung dalam satu ruang dan
mereka duduk di empat meja terpisah. Hanya mereka yang ada
dalam ruangan itu. Kemudian datanglah seorang hamba Razi yang
adalah bagian barisan Durigo. Dia adalah hamba yang terbaik da-
lam barisan Durigo dan mendapat kasih paling banyak dari Raziel
dari pada Durigo lainnya. Mililel, begitulah ia disebut. Masuklah
Mililel itu menghadap para Agung. Seketika ia masuk dalam
ruangan itu, berlututlah ia. Kemudian katanya,
“Salam bagi tuan-tuan Malaikat Agung, pemimpin malaikat
Sorga. Bagimu salamku, tuan Uriel, Api Allah. Salam bagi tuanku
Raziel, Pengetahuan Allah. Juga bagimu tuan Bart-Archiel, sukacita
dari Utara, Berkat Allah. Dan tentu juga bagimu, tuan Ammatiel,
Wajah Allah. Aku Mililel, pemimpin barisan Durigo, pengintai
Tanah Utara telah datang kembali.” Kemudian bangkitlah Raziel
dan menghampiri hamba itu. Raziel membangkitkannya dan
memeluknya, katanya,
“Bangkitlah Mililel. Aku menantimu dan penantianku terasa
begitu lamanya. Tanggalkanlah pakaianmu itu dan ambil kain-kain
dan kenakan sebagaimana seorang Raziem mengenakan kain.”
Maka kemudian berpalinglah Mililel dan ia menanggalkan apa
yang ada padanya.
Kemudian ia mengambil kain-kain dan berpakaian layaknya
seorang Razi. Duduklah Mililel di tengah para Agung yang duduk
melingkarinya. Uriel sudah siap dengan berbagai peralatan men-
catatnya dan ia hendak mencatat segala sesuatu yang dilihat oleh
Mililel di Tanah Utara. Berkatalah Bart-Archiel, katanya,
“Baiklah mari kita mulai. Aku tidak sabar mendengar
tentang apa yang terjadi di Utara. Aku hendak mengetahui, apakah
Luciel merubahnya atau tidak.” Lalu berkatalah Raziel,
“Ammatiel, kiranya biarlah saudaramu itu masuk untuk
menjadi saksi atas peristiwa ini. Supaya ia menjadi saksi dan turut
mendengar kesaksian dari Mililel ini.” Lalu Ammatiel keluar dan
memanggil hambanya, Jeindruel itu. Raziel juga mengambil peta-
peta dan beberapa gulungan kosong untuk alat bagi Mililel menje-
laskan hasil pengintaiannya. Kata Raziel,

370
“Mulailah berbicara, Mililel. Jelaskan pada kami apa yang
engkau lihat di Tanah Utara. Sejelas mungkin dan sesuai
urutannya.”
Inilah kesaksian Mililel, hamba Razi, pemimpin barisan
Durigo:
“Setelah tuan Raziel memberi aku perintah untuk pergi,
maka seluruh barisan Durigo pergi dari Haruia, ke Skuria kemu-
dian memasuki Tanah Utara, lewat Tanah Kering. Kami pergi satu
per satu dan masuk diam-diam ke kota-kota di Tanah Utara secara
terpencar. Aku bersama lima orang hamba malaikat lainnya, yang
selalu bersama sampai kembaliku. Tiga orang Ammatiem dan tiga
orang Raziem. Kota pertama yang kumasuki adalah Bregendor.
Dari sana beberapa saudara lain tinggal dan rombonganku terus
berjalan setelah beberapa Shakta. Kemudian aku ke utara, sampai
Trindindur. Namun hanya lalu dari sana dan masuk ke Kota Bart-
Archiel-Skur. Aku berdiam di sana, lalu terus masuk ke Kota Bart-
Archiel dan lalu ke Kota Bart-Archiel-Nor. Dari sana kami hendak
pergi ke Embarnor namun kami berhenti sampai Trumilo.
Kami lama berdiam di sana dan melanjutkan perjalanan ke
Fribilia, Frili di sebelah selatan. Setelah itu kami bergabung dengan
barisan musuh dan masuk ke perkemahan di Gunung Borai. Dari
sana kami mendapat tugas ke Munbagur. Setelah beberapa lama
kami digerakkan ke Dur-Harandi bersama barisan besar dan masuk
ke perbatasan Tanah Rephaiem Utara. Di sana barisan kami dipe-
rintahkan masuk ke Gunung Bildal, Gunung Shunyi atau Gunung
Lebarga, begitulah Luciel menyebutnya.
Kami terlibat pertempuran di sana untuk beberapa lamanya
sampai kami mendapat cukup dari apa-apa yang harus kami keta-
hui. Setelah itu kami memalsukan luka untuk dapat keluar dari
pertempuran dan akhirnya kami ditarik kembali ke Dur-Harandi.
Dari sana setelah kami dirawat dari luka-luka, kami bergabung
dengan barisan pemberontak dan kembali ke Trumilo. Dari sana
kami melanjutkan lagi perjalanan jauh ke sebelah timur sampai
Bore. Dari Bore kami keluar dari batas Tanah Sorga, ke Gunung
Utara, gunung tempat Luciel membangun tahtanya. Di atas
Gunung Arthom. Setelah dari sana kami pergi dan lepas dari Tanah

371
Utara, masuk ke Tanah Uriem, Tanah Kering, kemudian ke Skuria
ini dan menghadap tuan-tuan.” Itulah rentetan perjalanan pemim-
pin Durigo bersama lima malaikat rombongannya.

Kekuatan Barisan Luciel di Utara

Tentang hasil pengintaian barisan Luciel, tidak dapat disak-


sikan lagi untuk penulisan gulungan Kitab. Maka Aku, Jegudiel
mengambil hasil pengintaian pertama Durigo melalui catatan Uriel
yang menulis semua itu. Inilah hasil pengintaian Mililel dan
rombongannya di Tanah Utara, pada waktu itu:
Saat memasuki Tanah Kering, Mililel melihat semua tidak
seperti apa yang ia pikirkan. Sebab perkemahan barisan musuh di
sana sangat amat sepi dan tidak lebih dari seratus barisan saja yang
berjaga di perbatasan itu. Betapa lebih mengherankan lagi, saat dari
Tanah Kering memasuki perbatasan Tanah Bartarchiem, tidak ada
satu barisan pun yang menjaganya. Jalan dari Tanah Kering menuju
Tanah Bartarchiem sangat amat terbuka lebar. Maka masuklah
rombongan Mililel itu ke Kota Bregendor dan berdiam di sana
untuk melihat suasana.
Dalam satu Shakta di Bregendor, mereka menyamar menjadi
para hamba pengurus buah-buahan. Dari sana mereka banyak men-
dengar kabar-kabar pertama tentang keadaan barisan Luciel dari
hamba-hamba Luciel yang menjadi kawan mereka selama penya-
maran. Luciel membangun kota besar di atas Gunung Arthom
sebagai tanda kekuasaannya di tempat tinggi di sebelah Utara. Di
sanalah tempat yang disebut-sebut para hamba Luciel sebagai
Kurakurulus, yang berarti ‘tempat yang lebih tinggi dari pada
bintang-bintang’.
Barisan besar Luciel telah dibagi-bagi menurut para pemim-
pinnya dan tugas-tugasnya. Adapun pemimpin utama di sana yang
tepat di bawah Luciel adalah Sadhikiel. Pemimpin hebat dalam
mengatur barisan, namun tidak dapat bertarung dengan atau tanpa
senjata. Sadhikiel itu mendapat kekuasaannya bersama tuhannya di

372
Tanah Utara. Ia menjadi pemimpin atas barisan Kayu Utara, barisan
utama Luciel yang menjadi kebanggaan. Kemudian barisan Luciel
itu terbagi menjadi delapan barisan besar banyaknya yang tugas
dan tempatnya sering berpindah-pindah sesuai dengan perintah
Luciel sendiri.
Luciel membentuk barisan-barisannya itu sejak ia masih ber-
diam di Gunung Arthom. Kemudian dilanjutkan saat di Kota
Bargodur kemudian di Trumilo dan dilanjutkan dengan penetapan
sementara di Munbagur dengan surat Leviathran. Inilah barisan-
barisan itu dan tempat-tempat serta tugas mereka sesuai kesaksian
Mililel yang dicatat Uriel di Kota Skuria, Tanah Raziem:
Adapun Tanah Utara, Tanah Bartarchiem itu penuh dengan
hutan dan pohon-pohon taman. Karena memang Bart-Archiel sa-
ngat suka dengan pepohonan dan banyak membuat taman-taman.
Tanah Utara terhitung tanah baru dalam Tanah Sorga karena Tuhan
membuka tanah itu sesaat sebelum para Agung diangkat. Sehingga
saat Bart-Archiel membawa sukunya untuk mengambil tanah
bagian mereka, Tanah Utara itu masih penuh dengan pohon-pohon
hutan. Bart-Archiel membabat hutan di Utara dan menentukan
batas-batasnya sesuai perintah Yang Utama. Kemudian kota-kota
mulai dibangun di sana. Hanya saja, Bart-Archiel itu masih menya-
yangkan banyak sekali pohon dari tanah di sana. Maka pada zaman
lampau itu, kota-kota Bartarchiem tersembunyi dan diliputi pepo-
honan yang lebat.
Sesaat Luciel merebut tanah itu dan menjadikannya pusat
bagi barisannya, ia melihat bahwa tidak cukup tempat bagi hamba-
hambanya berdiam di sana. Maka dengan perintah Luciel, hamba-
hamba Luciel itu membabat lagi sisa-sisa hutan dan dijadikan
padang-padang luas. Kota-kotanya tidak lagi diliputi banyak
pohon-pohon. Hanya sebagian pepohonan saja yang di sebelah
Kota Bart-Archiel yang disisakan tetap berdiri. Setelah pohon-
pohon di sana ditebang dan dihabisi, maka hamba-hamba Luciel
mendapat tempat untuk berdiam. Kemudian padang-padang luas
yang sunyi sepi itu penuh dengan perkemahan hamba Luciel.
Dibangkitkanlah barisan besar untuk mendiami padang-
padang dan hutan-hutan sepi. Mereka adalah penjaga padang-

373
padang. Supaya bila ada barisan malaikat menyelinap ke Tanah
Utara, melalui padang-padang luas pun, barisan Luciel akan tetap
melihat mereka datang. Dipanggillah hamba Luciel yang hebat
dalam memimpin barisan dan bertempur untuk memimpin barisan
itu. Dengan pemilihan dan ujian dari Luciel, dipilihlah seorang
hamba bernama Liliel. Maka barisan itu pun disebut barisan
Lilyoth.
Kemudian Luciel membangun barisan penunggang. Dengan
bantuan sekutunya, Luciel memanggil ular-ular naga dari Hutan
Selatan yang jauh dari sana. Pada masa itu, pepohonan dari Hutan
Selatan, sampai Utara masih rimbun dan lebat. Tanah Raziem masih
tertutup dengan pohon-pohon dan sebagian kecil dari Padang
Timur juga masih tertutup pohon. Melalui jalur pohon-pohon lebat
itulah para ular naga berjalan dari Tanah Selatan ke Utara, meme-
nuhi panggilan Luciel. Para penunggang ular naga itu dikumpul-
kan dan mereka dijadikan satu barisan untuk mengawal Luciel dan
Sadhikiel, hamba kesayangannya. Disebutlah barisan itu sebagai
barisan Emnynt. Barisan para penunggang ular naga. Adapun ular
naga dari Hutan Selatan itu adalah penghuni hutan dan malaikat
kuno menyebut mereka sebagai Menyint atau dalam bahasa
malaikat anjing hutan.
Ada pula barisan lain yang dibangkitkan Luciel dan para
penasihatnya. Karena pengikut Luciel yang berdiam di Tanah Utara
itu ada sangat amat banyak sekali. Sehingga para penasihat membe-
ritahukan pada Luciel supaya didirikan barisan baru supaya lebih
mudah mengatur hamba yang sedemikian banyak itu. Mulailah
Luciel dan para penasihatnya menggolong-golongkan hamba-
hamba mereka. Dimulai dengan barisan Belphegor. Barisan ini
digolongkan sebagai barisan kecil karena jumlahnya yang tidak
melunjak.
Barisan itu terdiri dari hamba-hamba Luciel yang pandai-
pandai dan banyak pengetahuannya. Mereka adalah para penemu
dan para perancang. Para penulis dan pemegang gulungan. Penca-
tat dan penghitung. Luciel mengangkat hamba yang menjadi
kesukaannya, yaitu Belphezel, yang dahulu adalah hamba Raziem.
Adapun Belphezel itu sangat berpengetahuan melebihi siapa pun

374
yang menjadi pengikut Luciel. Hanya saja ia itu pemalas dan kerja-
nya hanya berebah di atas tandu mewah berlapis kain dan emas.
Bila ia hendak pergi, maka hamba-hambanya harus membawa ia di
atas tandu itu karena ia malas berjalan. Dia adalah pemakan anggur
dan pir yang manis rasanya. Luciel suka pada hambanya itu karena
selain ia berpengetahuan, tubuhnya itu tambun dan Luciel suka
menjamah ia di atas tandunya seperti hewan peliharaan.
Barisan itu berdiam di kota-kota sebagai para pencatat dan
orang-orang pintar di antara hamba Luciel. Tugas mereka sebagai
para penemu dan pencari pengetahuan. Benarlah Luciel memben-
tuk barisan itu dan dengan pengetahuan mereka, mulailah diada-
kan penelusuran Hutan Utara. Belphegor menemukan binatang-
binatang yang jarang ditemui dan banyak juga yang dari Hutan
Selatan. Maka dibawalah binatang-binatang itu sebagai tunggangan
barisan Luciel. Yang terbanyak jumlahnya adalah tikus liar namun
Belphegor menyebutnya anjing-anjing buas dan liar. Belphegor
melatih anjing-anjing itu menjadi anjing tempur dan para malaikat
menyebut anjing-anjing itu sebagai tikus hutan. Para penunggang
anjing itu dibangkitkan Luciel dan dicari lagi pemimpin bagi
barisan itu.
Dengan pemilihan dan ujiannya yang banyak, Luciel men-
dapat seorang hamba yang disebut, Ashmel. Maka barisan itu
disebut barisan Asmedrath. Barisan penunggang anjing tempur.
Para penunggang itu ditempatkan di kota-kota sebelah utara dan
jarang ada di sebelah selatan.
Setelah waktu berlalu, terjadilah peristiwa di mana barisan
Luciel mengalami sesuatu baru dan cukup banyak terjadi di kala-
ngan hamba Luciel. Pada masa itulah para pengikut Luciel mulai
mengganti nama mereka dan menanggalkan nama malaikat
mereka. Namun demikian, masih banyak di barisan Luciel yang
mempertahankan nama malaikat mereka. Seperti Liliel pemimpin
barisan Lilyoth, ia disebut juga sebagai Lilioth penunggu tempat
sepi. Kemudian Ashmel pemimpin barisan Asmedrath, ia disebut
juga Asmedra. Juga banyak dari mereka yang menanggalkan nama
malaikat mereka.

375
Setelah barisan-barisan itu, Luciel itu sangat jatuh hati
dengan tikus utara, hewan tunggangan kesukaannya. Maka
dikumpulkanlah tikus utara yang banyak dan diberi penunggang
oleh Luciel. Maka jadilah barisan para penunggang tikus utara.
Sekali lagi, dengan adanya Belphegor, tikus-tikus utara itu dilatih
untuk menghadapi pertempuran yang hebat dan akan bertahan
lama dalam medan pertempuran.
Menurut perhitungan Belphegor, tikus-tikus utara itu harus-
lah ditunggangi oleh hamba-hamba yang kecil tubuhnya. Supaya
dalam pertempuran, tikus-tikus itu dapat bertempur dengan lincah
dan bergerak lebih cepat. Karena tikus-tikus itu kebanyakan adalah
buta dan tidak memiliki mata untuk melihat, maka para penung-
gangnya juga dilatih untuk hebat dalam mengendalikan tikus-tikus
itu. Diangkatlah pemimpin bagi barisan itu. Karena besar jumlah-
nya Luciel akan mengangkat dua pemimpin. Mendengar berita itu,
datanglah Sadhikiel pada Luciel di Trumilo. Lalu kata Sadhikiel,
“Ya, tuhan. Kiranya bila memang benar perkataanmu bahwa aku
ini mendapat kasih yang terbesar darimu, maka kiranya biarlah
permohonanku tuhan kabulkan.” Maka jawab Luciel,
“Katakan padaku, hambaku. Maka aku akan memberikan
padamu apa yang engkau minta. Supaya engkau percaya bahwa
memang aku lebih mengasihimu.” Maka lagi kata Shadikiel, “Aku
sudah menjadi pemimpin atas barisan pengawal tuhan, yaitu
barisan Bargathron. Kemudian dari pada itu aku pun juga telah
menjadi pemersatu barisan Erviarath di Tanah Barat. Namun rupa-
rupanya, saat aku melihat barisan penunggang tikus utara itu, aku
menjadi ingin menguasainya. Aku ini sudah menjadi besar dan ter-
hormat. Namun angkatlah juga kiranya saudara-saudaraku yang
juga telah setia mengikutmu. Mereka itu adalah orang-orang hebat
dan pandai bertempur. Bila memang engkau hendak mengangkat
dua pemimpin bagi barisan baru itu, pilihlah dua saudaraku men-
jadi pemimpinnya. Supaya mereka terangkat juga dan menjadi
terhormat.” Maka kata Luciel,
“Jadilah seperti yang engkau minta itu dan aku tidak akan
mengganggunya. Aturlah itu seperti katamu dan bawalah surat
dariku supaya jangan hamba-hamba yang lain meragukan keputus-

376
an ini, bahwa aku memberi kuasa padamu untuk memilih siapa-
siapa yang menjadi pemimpin barisan ini.” Pergilah Sadhikiel
dengan bersuka dari sana.
Kemudian dipanggillah saudara-saudara dan kerabatnya.
Sadhikiel memberitakan itu dan saudara-saudaranya juga menjadi
bersuka. Namun ada kerabat Sadhikiel yang tidak disukai, Munriel
yang disebut Siltot, ia berdiam di daerah Frili. Siltot itu adalah
bekas Rephaiem dan ada dalam rumpun yang sangat terpandang di
suku Rephaiem, maka ia itu sangatlah kuat dan ia menjadi pengu-
asa kota Frili saat itu. Maka saat mendengar berita bahwa Sadhikiel
memiliki kuasa untuk memilih, datanglah kerabatnya itu dan ber-
kata, “Berilah barisan itu padaku, untuk kupimpin menjadi barisan-
ku sendiri.” Karena Sadhikiel tidak menyukai Siltot, kerabatnya itu,
berkatalah ia, “Bila engkau ingin menjadi pemimpin barisan ini,
berjuanglah untuk itu dan aku akan menguji engkau.” Maka kata
kerabatnya, “Baiklah ujilah aku.”
Kemudian Sadhikiel keluar dan ia memberitakan berita itu
pada semua hamba-hamba di sekitarnya. Kemudian kata Sadhikiel,
“Adakah di antara kamu yang hendak menjadi pemimpin barisan
penunggang tikus utara yang hebat?” Karena pengumuman itu,
ramailah para hamba mengajukan diri untuk menjadi pemimpin
barisan. Sadhikiel itu kemudian memilih-milih dari antara hamba-
hambanya. Siapa-siapa yang tidak disukainya dipilih semua.
Hamba, kerabat ataupun kawannya yang tidak ia sukai, semuanya
dipilih.
Lalu berkatalah Sadhikiel pada mereka yang ia pilih, kata-
nya, “Baiklah sekarang aku akan menguji kamu seperti tuhan
menguji calon-calon pemimpin. Sekarang kamu semuanya pergilah
ke Tanah Roti berlari dengan tidak berbekal dan bawa padaku roti
yang enak-enak untuk kunikmati. Siapa yang pertama kali datang
padaku dengan roti-roti yang nikmat rasanya, aku akan memilih
dia.” Kemudian mendekatlah saudara-saudara Sadhikiel padanya
dan berkata, “Engkau berkata bahwa engkau akan memilih kami
menjadi pemimpin. Namun sekarang mereka ini engkau pilih dan
engkau uji. Baiklah aku akan pergi bersama mereka ke Tanah Roti
dan mengambilkan roti yang nikmat bagimu.” Kemudian Sadhikiel

377
menarik saudara-saudaranya itu dan berkata, “Jangan kamu pergi
bersama mereka ke Tanah Roti. Diamlah saja di sini. Sesaat setelah
mereka pergi, aku akan membawa kamu untuk diangkat menjadi
pemimpin. Sedang mereka ini akan berlari ke Tanah Roti tanpa
bekal atau tunggangan. Mereka akan kelelahan dan mati di jalan
karena kelelahan dan tubuhnya akan payah dan hancur.”
Kemudian diamlah saudara-saudaranya itu. Setelah itu dile-
paslah para calon pilihan Sadhikiel itu untuk pergi berangkat.
Mereka berangkat dari perkemahan sebelah barat Trumilo dan
berlari ke Tanah Roti. Setelah rombongan itu pergi, Sadhikiel mena-
rik saudara-saudaranya ke Trumilo dan menghadap Luciel. Kemu-
dian kata Sadhikiel, “Ya tuhan, inilah mereka yang akan menjadi
pemimpin barisan penunggang tikus utara itu.” Melihat itu,
berkatalah Luciel,
“Bukankah baru saja engkau mengadakan ujian bagi para
hamba yang akan menjadi pemimpin? Apakah dua hamba ini telah
berlari ke Tanah Roti dan kembali dengan begitu cepatnya? Sedang
aku ini baru saja melihat para calon pemimpin yang lain berlari
untuk menunaikan tugas ujian mereka.” Maka kata Sadhikiel,
“Bukan tuhan. Mereka yang pergi itu adalah mereka yang tidak
baik dalam pandanganku dan ucapan mereka menyakitkan telinga-
ku. Maka mereka kukirim dalam kehancuran dan satu pun dari
mereka tentu tidak akan ada yang kembali. Tugas itu terlalu berat
dan tidak mungkin dapat diselesaikan. Dan dua orang hamba ini
adalah saudara-saudaraku yang kumaksudkan itu.” Maka kata
Luciel,
“Bila memang mereka tidak engkau sukai, panggil saja me-
reka dan hunuskan pedangmu. Bantai saja mereka di depan pintu
kota, supaya hamba yang lain takut dan hormat padamu.” Namun
jawab Sadhikiel, “Bila kulakukan itu, maka kerabat dan keluarga
mereka yang kubantai akan membalas aku dan mendatangkan
rencana-rencana untuk menghancurkan aku.”
Karena jawaban itu, berkatalah Luciel,
“Sungguh engkau ini sangat berhikmat, Sadhikiel. Bagai-
mana tidak aku jatuh hati padamu. Sekarang bawalah saudara-
saudaramu itu dan aku akan mengangkat mereka menjadi pemim-

378
pin.” Dibawalah dua saudaranya itu dan diangkat Luciel menjadi
pemimpin di depan keramaian di Trumilo. Merekalah pemimpin
barisan penunggang tikus utara, Sakkel dan Sidhidel. Barisan itu
diberi nama barisan Asthareth. Dan dua pemimpin barisan itu
disebut juga Innanis dan Inish bersaudara.
Dalam barisan Asthareth itu dipilih hamba-hamba yang
kecil-kecil yaitu hamba-hamba bekas hamba Cerubbiem, Raziem,
Ammatiem dan Jegudiem yang bertubuh kecil. Para penunggang-
nya kebanyakan tidak pandai bertempur namun sangat terlatih
dalam menunggang tikus utara. Sementara waktu berlalu, para
calon pemimpin yang diutus Sadhikiel itu hancur di jalanan karena
tubuh mereka terlalu payah berlari sangat jauh tanpa penyegaran.
Namun satu di antara mereka adalah sangat kuat dan tetap berlari
dengan hebat sampai Tanah Roti. Pada masa itu para Seraphiem
belum merebut kembali Rapharium. Hamba yang kuat berlari itu
adalah Siltot, kerabat Sadhikiel yang dari Frili.
Dari Tanah Roti, ia masih dapat berlari lagi kembali dan ma-
suk lagi ke Tanah Utara. Ia berlari tanpa berhenti dan tanpa bekal.
Ia memang hamba yang sangat kuat dan tidak butuh banyak penye-
gar untuk tetep kuat. Setelah itu pergilah Siltot itu mendapati
Sadhikiel yang ada di Kota Barlo. Saat Sadhikiel melihat hamba itu
kembali padanya, terkejutlah ia sampai jatuh dari tempat duduk-
nya. Kemudian Siltot itu membuka gulungan kain dan menyerah-
kan seikat roti di depan kaki Sadhikiel. Lalu katanya, “Dari semua
calon yang engkau pilih, hanya aku yang datang kembali dengan
kuat berlari. Semua yang engkau pilih itu hancur di jalan karena
kaki mereka lemah, payah dan hancur. Sakit yang mereka derita
membuat mereka lepas dari tubuhnya, namun aku ini tetap kuat.
Maka sekarang karena hanya aku yang kembali, jangan engkau
angkat dua pemimpin, namun berikan seluruh barisan itu dalam
kuasaku.” Melihat kerabatnya itu, hilanglah rasa tidak suka
Sadhikiel dan ia memeluk kerabatnya itu.
Kemudian menjeritlah Sadhikiel dalam kesedihan. Dengan
duduk di tanah, Sadhikiel mengenakan kain di kepalanya dan ia
bersedih. Lalu berkatalah Siltot, “Mengapa engkau berkabung?
Adakah mereka yang hancur itu membuatmu bersedih? Makanlah

379
roti-roti yang nikmat ini, maka itu akan menghibur engkau. Lagi
pula dari semua hamba yang engkau pilih itu hanya aku ini yang
dekat denganmu. Maka untuk apa engkau berkabung demi mereka.
Lihatlah aku tetap kembali padamu.” Kemudian Siltot itu menyu-
apkan roti pada Sadhikiel, roti yang ia bawa dengan berjuang keras
berlari jauh-jauh. Sadhikiel memakan roti itu dengan sedih sekali
dan ia tidak berani berkata pada Siltot tentang apa yang telah
terjadi.
Setelah habis roti-roti itu disuapkan dalam mulut Sadhikiel,
berkatalah Sadhikiel, “Munriel, engkau ini kerabatku sejak aku di-
hukum di Hutan Utara kerena memetik buah di Gruined. Dan saat
aku mulai mengikut tuhan, engkau juga ada sebagai kerabatku.
Namun karena engkau itu mendapat barisan yang gagah dan
engkau itu sering bertempur di depan barisan, aku menjadi tidak
suka padamu. Karena engkau selalu dielu-elukan. Dan pula saat
aku memerintahkan supaya engkau pergi ke Arthom, engkau
menolak, maka aku semakin tidak suka padamu. Kemudian engkau
datang dan minta kuasa atas barisan besar padaku. Aku tentu saja
tidak ingin memberikannya padamu. Maka aku mengirimmu pergi
dalam ujian yang tidak mungkin dapat diselesaikan dengan tujuan
supaya engkau juga hancur bersama yang lainnya di padang-
padang. Namun kemudian saat engkau kembali padaku, aku meli-
hat bahwa aku ini telah berbuat yang tidak baik padamu dan
seharusnya memang aku memberikan barisan itu padamu karena
lulus engkau dalam ujian ini. Hanya saja, sungguh aku berkata
padamu, barisan itu telah dipimpin oleh Innanis dan Inish. Bahkan
tuhan sendiri yang menetapkan mereka di Trumilo saat engkau
baru saja pergi.”
Mendengar itu, panaslah Siltot dan ia mengoyak meja dan
perabot yang ada di dekatnya. Kemudian ia menjerit bersedih. Lalu
berkatalah Siltot itu, katanya, “Engkau telah menaruh aku dalam
kesusahan yang besar, Sadhikiel. Sedang aku ini tidak pernah ber-
salah padamu ataupun merugikan engkau. Maka sekarang aku
tidak akan lagi tunduk padamu dan aku akan melawan engkau.
Aku ini bukanlah Siltot, ia telah hancur dalam perjalanannya ke
Tanah Roti. Aku adalah Munriel, yang disebut Hezazah. Supaya

380
saat engkau mendengar lagi nama itu, matamu akan mengawasi
sekeliling karena takut. Aku akan datang kembali padamu dengan
pedang, Sadhikiel!” Kemudian pergilah Hezazah itu dari sana dan
ia tidak pernah kembali ke Frili, kota yang dipimpinnya. Tidak ada
yang tahu bahwa Siltot itu masih hidup. Selain Sadhikiel, tidak ada
yang mengetahuinya. Setelah ia mengganti namanya menjadi
Hezazah, ia tidak pernah terlihat atau terdengar lagi.
Setelah barisan itu, Luciel berhenti membentuk barisan.
Kemudian Tanah Barat dalam serangan Seraphiem. Semakin lama
semakin banyak kota-kota jatuh dalam kuasa Malaikat Agung.
Mikhael dengan kuat memimpin barisannya merebut kembali
Tanah Barat. Luciel tidak berdiam diri. Ia segera membabat hutan
untuk membuat jalan dari Tanah Bartarchiem menuju Tanah Re-
phaiem secara langsung, tanpa harus melewati Tanah Uriem.
Namun dalam pengerjaannya Luciel terlibat pertempuran dengan
kaum Yeshaiem di Gunung Shunyi dan ia mengerahkan barisannya
ke sana untuk menguasai gunung yang telah memikatnya itu. Per-
tempuran di Gunung Shunyi cukup merepotkannya dan barisan-
nya. Maka pergilah Luciel pada para penasihatnya yang berdiam di
kemah-kemah di bekas hutan lama. Lalu Luciel memerintahkan
pada hamba-hambanya yang pandai-pandai itu, katanya,
“Kamu ini kubentuk untuk menemukan cara-cara yang baik
dalam perkembangan barisan kita. Lihatlah pertempuran di gunung
itu. Pertempuran itu seperti tidak akan pernah berakhir dan kita
akan terjebak di sini selamanya. Aku membutuhkan gunung itu
untuk memperkuat barisanku melawan Malaikat Agung. Sedang
kamu di sini hanya bermalas-malasan saja. Sampai kapan engkau
akan berdiam diri sedang saudara-saudaramu itu bertempur de-
ngan hebat. Setiap saat barisanku bertempur di sana, jatuh banyak
korban luka, sekalipun hanya sedikit korban yang hancur. Begitu
juga dari pihak musuh kita. Mereka hanya terluka saja dan tidak
banyak yang hancur. Kemudian barisan kita mundur dan mereka
mundur. Kita saling memulihkan barisan lalu bertempur lagi terus
menerus seperti itu. Tidak ada kemenangan atau kekalahan. Seka-
rang bekerjalah dan berikan aku jalan keluar untuk merebut gu-
nung itu dari kaum Yeshaiem busuk itu!” Maka barisan Belphegor

381
itu mengerjakan semua perintah Luciel dan memberi jawaban
mereka.
Dengan bantuan dari sekutu Luciel, si naga itu. Para
Belphegor menemukan kaum kuat di pelosok Hutan Utara. Yaitu
kaum yang menjadi hamba pada kaum anjing api, kaum Grein.
Kaum itu adalah kaum-kaum penghuni Tanah Sorga jaman purba-
kala saat malaikat belum ada. Adapun setelah malaikat merajalela
di Tanah Sorga, kaum-kaum purbakala itu terpinggirkan dan sema-
kin masuk dalam hutan-hutan jauh dari Tanah Sorga. Ada kaum
Grein di sebelah Utara, jauh dalam hutan. Sekutu lama kaum
Baghog. Pada kaum Grein ada kaum yang mereka perbudak untuk
menjadi hamba, yaitu kaum Hamot yang perkasa. Penghuni rawa-
rawa yang gagah perkasa. Rupanya seperti kerbau padang, hanya
saja tidak berbulu dan berkaki empat dan punya dua kaki lain,
hanya tidak untuk berjalan dan bekerja seperti tangan. Moncongnya
lebar dan ada tanduk keluar memanjang dari kanan dan kiri
moncongnya.
Tangannya besar dan kuat perkasa. Jari-jarinya ada tiga di
masing-masing tangan dan besar seperti batang pohon ranting. Di
dekat telapak tangannya ada pisau dari tulang besinya, rupanya
seperti sabit besar bermata satu. Tubuhnya kekar dan tambun, tidak
mudah goyah. Kulitnya seperti kayu berserat timah. Mulutnya ada
di bagian belakang moncongnya dan ia tidak bertaring, namun gigi-
giginya sekeras permata murni. Matanya menyala dan berasap
merah biru. Pada punggungnya ada tulangnya yang menopang
tubuhnya, tulang yang keras seperti jalinan kawat besi dan tem-
baga. Kakinya ada di bagian belakang dan ia dapat berdiri tegak di
atas empat kakinya itu. Ekornya tidak panjang namun sangat kuat.
Ekornya besar seperti batang pohon. Bila berlari, ia dapat berlari
secepat beruang selatan dan dapat menembus pepohonan lebat
dengan sabit-sabit di tangannya. Tubuhnya sedikit lebih tinggi dari
Malaikat Agung.
Kaum Grein memperhamba mereka untuk masa yang lama,
untuk membabat hutan dan menyelami rawa-rawa dalam. Sebab di
Hutan Utara, ada rawa di tengah hutan lebat yang dalam airnya.
Hanya saja airnya itu tidak dapat diminum karena dapat membakar

382
dan banyak sekali hewan-hewan kecil-kecil di air itu. Saat ini, rawa
besar itu menjadi Kolam Singa Utara, perbatasan Tanah Ruben dan
Tanah Yehuda. Di bawah rawa itu terdapat banyak patahan-
patahan dahan kayu. Karena terendam air rawa begitu lama, kayu-
kayu menjadi sangat kuat dan keras. Maka kaum Grein menggu-
nakan kayu-kayu itu untuk keperluan mereka dan kaum Hamotlah
yang menyelam dalam rawa untuk mengambilnya. Setelah pertem-
puran dengan kaum Baghog, kaum Grein meninggalkan kaum
Hamot dan pergi jauh ke Utara. Kaum Hamotlah yang menjadi
incaran barisan Luciel. Karena kekuatannya yang amat besar itu,
akan memperkuat barisan Luciel dengan hebat. Dan pula, hamba-
hamba Luciel itu tidak perlu mempersenjatai mereka karena sudah
ada sabit-sabit di tangannya.
Maka berkatlah Luciel,
“Aku tahu bahwa memang ada kaum yang beraneka ragam
itu di bagian Tanah Sorga ini, yaitu di hutan-hutan di luar batas-
batas Tanah Sorga. Bila kamu sudah tahu bahwa ada makhluk itu di
sana, pergi dan bawa mereka padaku. Kita akan bersekutu dengan
mereka untuk merebut Gunung Lebarga dan mengalahkan barisan
malaikat.” Namun Belphezel itu terlalu malas untuk mengerjakan
pekerjaannya sendiri. Lagipula ia juga tidak tahu bahasa apa yang
digunakan kaum Hamot untuk berbicara.
Luciel menjadi geram pada hambanya itu namun ia tidak
dapat murka bila melihat hambanya yang tambun itu berebah di
atas tandu. Maka berkatalah Luciel,
“Bawa barisan ular naga untuk berburu dalam hutan. Bawa
saja satu dari antara kaum Hamot itu padaku!” Maka dengan ban-
tuan barisan Emnynt, pemburuan Hamot di Hutan Selatan mulai
dijalankan. Sekutu Luciel, Ular Naga Terbang itu ada dalam
pemburuan itu untuk mencari kaum Hamot. Tidak lama mereka
berburu, kembalilah mereka ke Tanah Sorga dengan membawa satu
dari kaum Hamot tangkapan mereka. Dibawalah Hamot itu kepada
Luciel.
Pertama kali Luciel melihat makhluk itu, takjublah ia akan
keperkasaannya. Padahal Hamot adalah hamba, sedang Luciel

383
tidak pernah melihat kaum Grein yang memperhamba kaum
Hamot. Maka berkatalah Luciel,
“Bagaimana engkau dapat menangkap makhluk seperti ini?
Ia sangat kekar perkasa dan ia membawa sabit.” Maka kata hamba-
nya, “Sungguh tidak mudah untuk menangkapnya, tuhan. Kail-kail
kami hancur karena giginya dan tiga ular naga mati saat mem-
burunya. Sabit itu bukan senjatanya, tuhan. Itu adalah bagian dari
tubuhnya. Semakin takjub lagi Luciel melihat itu.
Hamba Luciel mengikat Hamot itu dengan tali-tali besar dan
rantai-rantai besi, serta kawat-kawat baja yang kuat. Namun Hamot
itu masih dapat memberontak dan merepotkan hamba-hamba
Luciel. Setelah memegangi tali-tali yang terikat pada Hamot itu
selama tiga Shakta, barulah tenang Hamot itu. Adapun Hamot itu
adalah binatang bagi malaikat dan tidak diperhitungkan sebagai
kaum. Sebab sesungguhnya Hamot itu tidak dapat berucap, namun
hanya dapat mendengar dan mengerti. Setelah tenang makhluk
buas itu, datanglah Luciel dan berbicara padanya. Kata Luciel,
“Kaummu telah terlalu lama berdiam dalam hutan dan
rawa, Hamot! Lihatlah kaum Grein meninggalkanmu setelah mere-
ka menjarah kaum Yeshaiem dan memukul kaum Baghog. Kamu
telah diperhamba dalam zaman yang lama, dari masa ke masa
kamu bekerja untuk mereka. Sekarang datanglah padaku, bertem-
purlah bersamaku dan saat aku menang, aku akan membalaskan
pada kaum Grein karena perbuatan mereka padamu!” Hamot itu
mendengar Luciel dan ia mengerti apa yang dikatakan Luciel.
Setelah mendengar Luciel, berteriaklah Hamot itu dengan
lantang dan mengerikan aumannya itu. Matanya sangat tajam
memandang Luciel. Kemudian berserulah Luciel,
“Lepaskan tali-tali dan rantaimu! Biarkan ia pergi dan ia
akan memanggil kaumnya.” Namun hamba-hamba Luciel itu takut
bila mereka melepaskan Hamot itu, maka makhluk itu akan menga-
muk dan menghardik mereka. Melihat itu, geramlah Luciel dan ia
membentak-bentak hamba-hambanya. Maka perlahan-lahan mulai-
lah Hamot itu dilepas dari ikatan-ikatan mereka. Setelah terlepas,
bangkitlah Hamot itu dan ia berdiri dengan gagahnya di hadapan
Luciel.

384
Ia memandangi Luciel dan ia mengambil sesuatu yang
terikat pada tubuhnya. Diberikan itu pada Luciel. Setelah Luciel
melihatnya, itu adalah batu gelap dari dasar rawa. Sebagai tanda
bahwa Hamot itu akan menjawab Luciel. Maka pergilah Hamot itu
kembali dalam rawa untuk memberitahukan kaumnya tentang
Luciel. Dua Sherta lamanya Hamot itu pergi, namun tetap ia kem-
bali lagi pada Luciel. Setelah meyakinkan kaumnya, ia datang
dengan sebarisan kaum Hamot terakhir di Tanah Sorga. Merekalah
kaum gagah perkasa yang sangat kuat dan hebat.
Hamot memiliki cara mereka untuk dapat saling mengerti
satu dengan yang lain. Namun mereka tidak dapat berucap. Mereka
hanya dapat mengaum, mengerik dan mengeluarkan suara-suara
dari mulut, atau dengan memukul-mukul tubuh dan tanah. Dengan
bantuan sekutu Luciel, si Ular Naga Terbang, Luciel dapat mem-
bentuk barisan baru dari kaum Hamot yang sangat gagah perkasa.
Belphegor mempelajari kaum Hemot dan mulailah mereka dilatih
di Tanah Utara untuk bertempur, untuk melawan malaikat mela-
wan apa pun yang harus mereka hadapi. Luciel membangkitkan
mereka menjadi barisan besar, bagian dari barisan Luciel. Barisan
Bemoth. Para malaikat menyebut makhluk itu Baghamoth.
Selagi barisan Bemoth dipersiapkan untuk pertempuran, Lu-
ciel terus berjuang untuk bertempur. Karena kaum Yeshaiem yang
dipimpin olah Baghog bernama Asgrandror. Karena kaum Hamot
itu tidak pernah bertempur, maka persiapan mereka sangat lama
dan cukup memakan waktu dan korban. Amarah kaum Hamot
sangat sulit dimengerti sehingga banyak sekali hamba Luciel yang
menjadi korban luka dan hancur karena pelatihan kaum Hamot.
Sehingga Luciel membangkitkan barisan baru. Barisan yang Luciel
persiapkan adalah barisan pilihan dan digunakan untuk bertempur
selama barisan Bemoth dipersiapkan.
Pejuang Luciel yang sangat hebat, tubuhnya besar dan per-
kasa. Pemimpin barisan garis depan selama pertempuran di Shunyi.
Pengetahuannya juga sangat hebat. Ia adalah hamba Raziem dahu-
lunya dan telah dikasihi oleh Raziel. Hamba yang bernama Azbazel.
Ia adalah Razi yang bertubuh besar dan sangat berpengetahuan. Di
masanya sebagai malaikat, ia melayani Raziel dengan membawakan

385
gulungan-gulungan Raziel ke mana-mana bila Raziel membutuh-
kannya. Ia adalah guru besar di Marcium dan banyak mengetahui
gulungan-gulungan Raziel. Tidak seperti Raziem pada umumnya,
tubuhnya itu besar, setinggi malaikat Agung dan ramping seperti
Ammatiem. Hanya saja, ia menjadi pengikut Luciel karena ia ingin
menjadi seperti Raziel. Luciel menjanjikan itu padanya saat di
Tanah Ranting.
Azbazel adalah salah satu Razi yang mengikut Luciel dan ia
lebih hebat dari pada Raziem lain yang mengikut Luciel. Dalam hal
bertempur ia sangat hebat dan pengetahuannya juga cukup banyak.
Ia tidak ingin menjadi pemimpin barisan saat pertempuran-pertem-
puran melawan malaikat, karena ia tidak ingin Raziel tahu. Sekali-
pun Raziel tahu bahwa ia sudah mengikut Luciel, Azbazel tidak
ingin Raziel tahu seberapa kuatnya ia dalam pertempuran. Sehing-
ga kekuatan Azbazel itu belum diketahui oleh barisan malaikat dan
namanya tidak dikenal. Luciel memanggil ia dari garis depan dan
mereka bertemu di Munbagur, kota kekuasaan Azbazel itu.
Kemudian berkatalah Luciel pada Azbazel ini, katanya,
“Engkau bertempur dengan sangat amat baik dan barisanku
telah engkau pimpin melawan musuh-musuhku itu. Dengan kehe-
batanmu, kita dapat mengalahkan Yeshaiem itu sebentar lagi. Ada
barisan yang kupersiapkan untuk itu dan aku ingin engkau memba-
ngun barisanmu sendiri. Pilihlah siapa saja dari antara hamba-
hambaku untuk menjadi barisanmu, supaya engkau dapat bertem-
pur dengan nyaman. Bersama hamba-hamba yang engkau pilih
sendiri, tentu engkau akan lebih hebat lagi.” Kemudian kata
Azbazel, “Ah, tuhan, aku ini sudah sangat lama dalam pertem-
puran. Aku ingin ditempatkan kembali di Munbagur. Sudah letih
aku memegang pedang terus menerus dan melawan musuh-musuh
dari Bildal itu. Mereka itu tangguh dan sulit dikalahkan. Pertem-
puran yang sangat lama ini, telah membuat aku payah dan bosan.
Sampai sekarang pun kita belum dapat menembus pertahanan
mereka di ujung kota bangunan Rephaiem itu. Kiranya tariklah aku
kembali ke Munbagur. Bila tuhan membutuhkan aku dalam per-
tempuran, aku mau, asal bukan pertempuran ini lagi.” Namun
Luciel berkata padanya,

386
“Azbazel, aku ini mengerti apa-apa yang ada padamu.
Tahanlah sebentar lagi. Setelah barisan Bemoth siap, aku akan
menarikmu kembali ke Munbagur dan berhentilah dari pertem-
puran yang memuakkanmu itu.” Maka sepakatlah mereka.
Azbazel mengembara mengelilingi perkemahan-perke-
mahan dan kota-kota mencari hamba-hamba yang akan ia pilih.
Dari seluas Tanah Bartarchiem, ia memanggil dua ratus ribu barisan
pilihannya. Kemudian Luciel memberikan lagi padanya tujuh ratus
ribu barisan lagi untuk dalam kuasanya. Kemudian berkatalah
Azbazel itu, “Inilah kekuatan Azbazel yang telah menjadi besar di
antara pengikut tuhan. Akulah Azbazel pemimpin barisan besar.”
Kemudian Azbazel memilih pemimpin-pemimpin untuk mengatur
barisannya dan memilih hamba yang bernama Amonel, yang dise-
but Amon. Hamba itu adalah hamba yang selalu bersama Azbazel
dalam pertempuran. Lalu kata Azbazel, “Padaku diberikan barisan
yang besar ini untuk kupimpin. Baiklah sekarang bukan aku yang
memimpin barisan ini, melainkan engkau, Amon. Aku ini memang
pemimpin utamanya, hanya saja engkaulah yang akan tampil dan
melakukan segala perintahku.” Maka kemudian barisannya itu
disebut barisan Amoth.
Barisan Amoth itu dipimpin oleh Amon yang dikendalikan
Azbazel. Barisan itu terdiri dari sembilan ratus ribu barisan banyak-
nya. Sebagian besar anggotanya adalah hamba-hamba yang bertu-
buh seperti beruang kecil. Yaitu mereka yang dahulu adalah
malaikat-malaikat yang berbulu. Setelah mengikut Luciel, mereka
dipersatukan dalam barisan itu dan mereka itu hamba-hamba yang
bercakar dan bertaring persis dengan beruang. Itulah barisan
Amoth.
Setelah itu barisan Amoth mulai turun dalam pertempuran
di Gunung Shunyi melawan kaum Yeshaiem. Sedang barisan Be-
moth masih saja belum siap untuk pertempuran. Pelatihan mereka
semakin lama semakin banyak memakan korban. Maka berkatalah
Luciel pada hamba-hambanya,
“Mulai saat ini tidak bisa sembarang hamba turut melatih
Bemoth. Pilihlah bagiku hamba-hamba yang memang siap untuk
melatihnya dan menjadi pengendali para Hamot itu. Supaya juga

387
nanti dalam pertempuran, jangan sampai Bemoth ini mengamuk
dan menyerang tidak karuan. Supaya jangan pula dalam pertem-
puran mereka menyerang barisan kita sendiri dan malah mengun-
tungkan musuh.” Maka kemudian dipanggillah hamba-hamba yang
siap dan terbukti berhasil dalam melatih kaum Hamot.
Luciel mengumpulkan mereka dan katanya,
“Kamulah barisan Gilith. Kamu adalah penjaga dan pengen-
dali dari barisan Bemoth yang brutal itu. Mereka harus kamu ken-
dalikan baik dalam pertempuran ataupun tidak. Jangan sampai
terulang jatuh korban dari pihak kita karena mereka ini. Sekarang
kerjakan itu!” Setelah itu genap delapan barisan dibangun Luciel,
duduklah Luciel dan menulis surat Leviathran. Ditetapkannya
barisan-barisan itu sebagai barisan-barisan utama Luciel yang tetap.
Itulah kekuatan barisan Luciel yang tidak dapat dipandang rendah.
Malaikat Agung mengakui kekuatan barisan Luciel. Karena pada
kenyataannya, barisan malaikat sendiri tidak dapat mengalahkan
Luciel dengan mudahnya. Masa perang Sorga berlangung lama
sebagai bukti kekuatan besar yang ada pada Luciel dan seluruh
pengikutnya, malaikat yang jatuh.

Itulah pencatatan Uriel tentang laporan dari Mililel


pemimpin Durigo. Kemudian berkatalah Raziel pada Mililel itu,
katanya,
“Kaum Hamot? Baghamothkah yang engkau bicarakan ini
Mililel? Aku kira makhluk itu sudah tidak ada di tanah ini.” Lalu
kata Uriel,
“Apa engkau mengetahui soal kaum ini, Raziel?” Kemudian
jawab Raziel,
“Sudah lama sekali aku tidak melihat Hamot, Uriel. Zaman
dahulu kala. Saat Tanah Sorga hanya seluas Tanah Jegudiem dan
Tanah Yehudiem. Aku sering melihat kaum itu dahulu.” Lalu lagi
kata Raziel, “Adakah tanda-tanda bahwa musuh akan menyerang
Tanah Utara atau Tanah Timur, Mililel?” Kemudian jawab Mililel,
“Tidak ada ancaman apa pun dari musuh, tuan. Luciel
masih kesulitan bertempur dengan kaum Yeshaiem itu di Gunung
Shunyi. Selama ia belum mendapatkan gunung itu, barisan musuh

388
tidak akan mengadakan penyerangan pada pihak kita. Barisan kita
aman saat ini, namun Bemoth adalah barisan yang mengerikan,
tuanku. Bila Luciel berhasil melatih mereka dan membawa barisan
itu ke Gunung Shunyi, aku takut mereka akan memenangkan
gunung itu dan menyerang Tanah Barat kembali.” Kemudian
berkatalah Bart-Archiel,
“Aku tidak mengerti apa-apa tentang ini dan sepertinya dari
saudara-saudara sekalian, hanya aku yang tidak mengerti tentang
Shunyi, tentang Yeshaiem ataupun Asgrandror.” Maka bekatalah
Uriel,
“Raphael telah menceritakan banyak padaku tentang itu
dalam surat-suratnya, Bart-Archiel. Aku akan menjelaskannya
padamu setelah ini. Sekarang kita tahu, bahwa Tanah Utara dan
Tanah Timur jauh dari mata musuh. Luciel hanya berambisi untuk
mendapatkan Shunyi. Dan lagi, sekarang kamu tahu, Raziel,
Ammatiel. Bagaimana kekuatan musuh kita di Tanah Utara. Baiklah
sekarang beri jawabanmu padaku. Adakah kamu akan tetap hendak
maju ke sana dan menyerang Tanah Utara?”
Kemudian terdiamlah Raziel dan Ammatiel. Maka kemu-
dian berkatalah Raziel,
“Aku akan menahan barisanku.” Pula kata Ammatiel,
“Drenthiriem tidak akan melangkah ke Tanah Utara, sampai
waktu yang tepat.” Kemudian lagi kata Raziel,
“Uriel, hanya untuk berjaga-jaga. Katakan padaku di mana
pertahanan terdekat dari Tanah Kering, aku akan mengirim Resara
untuk membantu menjaga perbatasan itu selama kita pergi ke Sela-
tan.” Maka tersenyumlah Uriel dan Bart-Archiel, karena Raziel dan
Ammatiel menahan niat mereka menyerang Tanah Utara. Lalu
Uriel memberikan tempat-tempat pertahanan para Uriem yang
menjaga perbatasan Tanah Kering. Lalu kata Ammatiel,
“Kita harus segera memperingatkan Raphael tentang
Shunyi, saudaraku.”
Maka kata Raziel, “Itu sudah pasti. Kita harus segera menye-
lesaikan pengaturan untuk tanah kita. Supaya tetap para malaikat
menjaga batas-batas. Setelah itu kita segera pergi ke Selatan.”
Kemudian berkatalah Bart-Archiel,

389
“Bukankah ada jalan menuju Shunyi dari Tanah Rephaiem
Barat? Kita harus turut dalam pertempuran Shunyi. Untuk memas-
tikan bahwa Shunyi tidak jatuh dalam kuasa Luciel. Bila benar kata
Uriel, bahwa gunung itu banyak mengandung bahan tambang yang
kuat-kuat, akan bahaya bila Luciel menguasainya.” Sepakatlah para
Agung di sana. Bart-Archiel bersedia mendukung Rephairiem bila
Raphael hendak mencampuri pertempuran di Shunyi. Para Agung
masih berdiam di Skuria untuk beberapa lama dan membicarakan
rencana pertahanan mereka.

390
Tindakan Bagi Pemberontak

Sementara itu, di Selatan. Para Seraphiem telah habis ter-


panggil dan semua telah mendapat penghormatan mereka. Maka
bangkitlah Mikhael dan ia berseru di depan hamba-hambanya yang
di sana, katanya,
“Kamu telah berjuang dengan baik, hamba-hambaku. Dan
perjuanganmu itu telah membawa kita kembali ke tanah kita, Tanah
Seraphiem. Namun perjuangan kita belum selesai sampai di sini.
Tanah Utara, Tanah Barat, musuh masih berdiam dan menguasai
tanah-tanah saudara kita. Maka bangkitlah bersamaku dalam perju-
angan panjang kita dan bebaskan Sorga dari musuh-musuhnya.
Juga tanah kita ini, belum sepenuhnya bebas dari musuh. Rebutlah
kota-kota yang masih diduduki oleh Legiun! Usir mereka dari
Tanah Seraphiem. Dengan demikian, maka Seraphiem telah menca-
pai kebangkitannya dan siap untuk pertempuran yang sesungguh-
nya.” Bersoraklah para Seraphiem di sana. Setelah perayaan dengan
sorak-sorai dan para Seraphiem saling mengucap salam pada
mereka yang mendapat kehormatan, bubarlah mereka. Mikhael
mengirim para Seraphiem itu untuk memperjuangkan kota-kota
yang belum direbut, sesuai bagian mereka masing-masing.
Duduklah Raphael, Yehudiel, Sealtiel dan Gabriel dalam
satu ruangan di gudang senjata. Mereka menunggu Mikhael yang
masih mengatur hamba-hambanya untuk rencana mereka selanjut-
nya. Berkatalah Gabriel di sana, katanya,
“Aku mendengar kabar bahwa ada dari para Seraphiem itu
yang meminta untuk diberi tanda jasa. Mereka menginginkan juga
penghormatan.” Maka berkatalah Yehudiel,
“Jegudiel, baru saja kita selesai mengadakan penghormatan
itu bagi para Seraphiem. Semua Seraphiem yang turut berjuang
bagi Tanah Selatan ini sudah dipanggil satu per satu ke hadapan
kita dan menerima penghormatan mereka. Siapa lagi yang meminta
penghormatan itu?” Kemudian kata Gabriel,
“Mereka yang berjuang di Tanah Barat, saudaraku. Aku
mendengar beberapa kabar tentang pembicaraan para Seraphiem

391
itu. Mereka yang berjuang di Tanah Barat, menuntut kesamaan
dengan para Seraphiem yang berjuang di Tanah Selatan ini.”
Kemudian berkatalah Raphael,
“Tidak ada hal seperti itu, Jegudiel. Mereka tidak dapat
menuntut apa-apa karena perjuangan di Tanah Barat. Bagaimana
mungkin para Seraphiem itu meminta penghormatan atas perjuang-
an mereka, bila Tanah Barat itu sendiri belum bebas dari musuh.
Masih banyak sekali para Rephaiem yang harus berjuang untuk
tempat mereka berdiam. Bahkan bagi tanah sempit untuk memba-
ngun tenda saja, hamba-hambaku kesulitan mencari tempat. Bila
memang sudah Tanah Barat itu bersih dari musuh, bila sudah
Tanah Rephaiem Selatan kembali pulih dan Tanah Ranting sudah
diruntuhkan, barulah para Seraphiem itu layak meminta penghor-
matan mereka.” Kemudian kata Sealtiel,
“Benarlah yang dikatakan Raphael. Perjuangan para Sera-
phiem di Tanah Barat memang sangat berat dan panjang. Mereka
yang berjuang bersama Serael mulai dari Tanah Roti, sampai ke
Ariar, sampai ke Daria. Namun perjuangan itu tidak selesai dan
masih membutuhkan perjuangan yang lebih hebat. Maka pekerjaan
mereka itu belum selesai dan tidak layak mereka mendapat peng-
hormatan, apa lagi tanda jasa. Baiklah katakan saja hal ini pada
Serael, Jegudiel. Supaya dipanggilnya siapa-siapa yang meminta
penghormatan itu dan diberikan pengarahan yang benar. Supaya
jangan mereka menggerutu di balik punggung Malaikat Agung,
seolah-olah kita ini tidak menghormati perjuangan mereka.”
Kemudian Gabriel bangkit dan memanggil seorang
hambanya dan katanya,
“Pergilah dan cari tuan Mahanael, pembesar Seraphiem itu.
Katakan padanya bahwa aku membutuhkannya di sini.” Maka
pergilah hamba itu. Sedang saat itu, Mikhael sedang berkumpul
bersama hamba-hambanya di rumah yang sama, di gudang senjata.
Hanya saja mereka berkumpul di ruang yang berbeda. Mikhael dan
hamba-hambanya membicarakan tentang penyerangan selanjutnya
untuk membebaskan Tanah Seraphiem dari Legiun secara menye-
luruh. Adapun Mahanael juga ada di antara para Seraphiem itu.
Berkatalah Mikhael di sana, katanya,

392
“Frantiel, aku ingin barisan tiga puluh segera dikumpulkan
kembali. Siapa-siapa saja yang menjadi anggota barisan tiga puluh
harus dikumpulkan segera, di Kota Seraph. Tuan Mindurel dan
tuan Mirkandruel akan menyerahkan padamu, hamba-hamba yang
adalah bagian barisan mereka, namun sudah termasuk dalam baris-
an tiga puluh, biarlah itu semua diberikan pada kuasamu. Aku
ingin seluruh barisan itu tetap siap. Setelah tuan Mondrael dan
barisannya selesai berurusan dengan Legiun di Kota Sailinar dan
Gretrar, engkau harus segera maju ke Mirkanria.” Lalu berkatalah
Mindruel,
“Aku akan pergi mendukung Mondrael dalam penye-
rangannya. Setelah itu aku akan maju ke Raftaria.” Lalu kata
Mirkandruel,
“Aku akan mendukung barisan tiga puluh dalam perebutan
Mirkanria. Barisanku telah siap karena kedatanganku kembali.”
Maka berkatalah Mikhael,
“Mindruel, setelah pertempuran di Sailinar dan Gretrar, aku
ingin engkau tetap di sana. Kemudian kembalilah ke Kota Serael
bersamaku. Kita masih ada pertempuran yang harus dilakukan di
Tanah Barat. Aku membutuhkan Tombak Seribu di sana.” Lalu
berkatalah Mondrael,
“Beruang Putih siap mendukung pertempuran di Tanah
Barat, tuanku. Pedang dan tombak kami bersamamu.” Kemudian
bangkitlah juga Mahanael dan berkata,
“Aku yang akan mengurus Raftaria. Aku akan maju setelah
aku selesai di Slunar. Aku akan maju dari arah selatan.” Kemudian
berkatalah Mikhael lagi, katanya,
“Aku tahu kamu semua sangat bersemangat dalam hal ini.
Namun kiranya bergeraklah dengan berhati-hati dan jangan terma-
kan jebakan musuh. Legiun adalah barisan hebat yang harus kita
hargai sebagai musuh yang kuat. Jangan memandang lemah mu-
suhmu, jangan pernah! Perencanaanmu memang baik, namun per-
kirakan juga korban yang harus jatuh dalam tiap pertempuran yang
kamu jalani.” Kemudian mereka masih terus berbicara banyak.

393
Tengah mereka berbicara di sana, datanglah hamba pelayan
Mikhael dan mendekati Mikhael. Kemudian ia berbisik pada
Mikhael. Setelah itu berkatalah Mikhael,
“Mahanael, bangkitlah! Tinggalkan ruangan ini dan pergilah
bersama Jegudi itu. Malaikat Agung menunggumu.” Maka bangkit-
lah Mahanael dan keluar dari sana. Sedang Mikhael dan hamba-
hambanya terus berbicara banyak. Setelah berbicara dengan para
pemimpin besar, Mikhael memanggil lagi para pemimpin barisan,
para tua-tua dari rumpun dan puak. Mikhael ingin mengetahui
siapa-siapa yang mendukung penyerangan-penyerangan itu. Juga
ia ingin tahu berapa banyak barisan yang akan maju bergerak.
Mahanael dibawa menghadap Para Agung di ruangan lain.
Maka masuklah ia dan berlutut memberi salam pada para Agung.
Kemudian berkatalah Yehudiel,
“Semua hamba pelayan, aku harap kamu mengerti. Keluar-
lah dan tinggalkan kami!” Maka pergilah para hamba pelayan dari
ruangan itu dan para Agung berbicara dengan tertutup di sana.
Kemudian berkatalah Mahanael,
“Adakah tuan-tuan sekalian memerlukan aku di sini?”
Kemudian berkatalah Gabriel,
“Mahanael, pembicaraan kita terakhir adalah tentang
hamba-hamba yang tergabung dalam perjuangan di Tanah Barat
itu, benar?” Lalu jawab Mahanael,
“Benar, tuan. Mereka yang kukatakan bahwa mereka meng-
inginkan penghormatan yang sama dengan para pejuang Tanah
Selatan. Juga di antara mereka, tidak hanya suku Seraphiem. Ada
suku Yehudiem dan yang lain.” Maka berkatalah Gabriel,
“Aku kira yang engkau katakan padaku adalah para Sera-
phiem, Mahanael. Baiklah ini semakin menarik jika demikian.
Katakan padaku nama-nama mereka.” Kemudian Mahanael bangkit
dan ia berkata,
“Tuan Jegudiel, kiranya bila tuan pandang baik, panggillah
saksi atas ini. Supaya ada saksi tentang apa yang kukatakan pada
tuan-tuan Malaikat Agung saat ini.” Maka kemudian Mahanael
diperintahkan untuk memilih sendiri siapa yang menurutnya
pantas menjadi saksi.

394
Sementara itu, Mikhael membutuhkan Mahanael untuk
turut dalam perbincangan tentang penyerangan. Maka pergilah
Mikhael meninggalkan hamba-hambanya dan mencari-cari Maha-
nael. Mikhael tahu bahwa sebelumnya Mahanael dipanggil oleh
Gabriel, maka pergilah Mikhael ke ruangan para Agung untuk
mencari. Setelah Mikhael masuk, keadaan di sana tengah dalam
perbincangan dan sunyi seketika karena kedatangan Mikhael.
Mahanael ada di sana bersama para Agung dan hamba pelayan
tidak ada dalam ruangan itu. Maka tahulah Mikhael bahwa
perbincangan mereka itu penting. Kemudian berkatalah Yehudiel,
“Sungguh kedatanganmu ini tepat, Serael. Kami membutuh-
kanmu di sini.” Maka jawab Mikhael,
“Ada persoalan apa hingga hambaku kamu panggil untuk
berbicara dalam ruang tertutup?” Maka jawab Raphael,
“Duduklah sebentar, kami akan menjelaskannya padamu.”
Kemudian duduklah Mikhael di sana bersama para Agung. Lalu
Gabriel memerintahkan Mahanael untuk menceritakan dari semula.
Setelah didengar oleh Mikhael tentang itu, geramlah
Mikhael pada hamba-hambanya yang meminta penghormatan.
Bangkitlah Mikhael dan berkata,
“Sungguh mereka ini tidak mengerti. Aku akan mengajar-
kan pada mereka bagaimana seharusnya seorang Seraphiem bertin-
dak. Mahanael, panggil mereka semua dan kumpulkan dalam
ruanganku!” Berlarilah Mahanael dan pergi untuk mencari hamba-
hamba itu.
Kemudian Mikhael menunggu dalam satu ruangan di
rumah persenjataan itu. Ia duduk di sana seorang diri. Sementara
itu Raphael juga pergi dan mencari hambanya yang tergabung
dalam pembicaraan di samping terasan, seperti yang dikatakan
Mahanael. Saat Raphael keluar dari rumah persenjataan, tepatlah ia
melihat hambanya itu sedang duduk di dekat kereta tariknya. Maka
berserulah Raphael, katanya,
“Bikel! Panggil Elcuriel di Seldor! Bertungganglah cepat-
cepat!” Maka pergilah hambanya itu cepat-cepat mengambil tung-
gangan dan pergi. Kemudian Raphael menolehkan wajahnya dan
melihat ada dua hamba Yehudiem, yaitu Milisel dan Huluel. Pergi-

395
lah ia menghampiri dua hamba itu di dekat kereta tariknya dan
Raphael meraih dua hamba itu. Diangkat dua hamba itu di dua
tangannya dan di bawa ke balik pohon. Kemudian kata Raphael,
“Lihat siapa yang di hadapanmu, hamba Yehudiem! Adakah
kamu hendak melawan Malaikat Agung dengan meminta tanda
jasa? Apa yang sudah kamu buat bagi Sorga? Pekerjaanmu hanya
duduk merawat kereta Malaikat Agung dan kamu meminta peng-
hormatan seperti para Seraphiem? Katakan padaku! Adakah kamu
mengangkat pedang untuk bertempur seperti mereka? Atau adakah
kamu memangku saudaramu yang hancur dalam pertempuran?
Sekarang kamu meminta penghormatan dari Malaikat Agung?
Hamba malas kamu! Bila tanganmu itu diperbolehkan untuk
menyisir tunggangan Malaikat Agung, itu sudah kehormatan besar
bagimu! Pergi dan hadap tuanmu! Katakan apa yang kuperbuat
padamu!” Kemudian Raphael melepaskan mereka dan pergi
kembali masuk dalam rumah gudang senjata.
Dua hamba Yehudiem itu ketakutan melihat murka Raphael
yang membentaki mereka di halaman taman. Mereka gemetar dan
duduk terdiam di balik pohon, terduduk di tanah. Setelah itu berla-
rilah mereka untuk melapor pada Yehudiel dan Sealtiel tentang
perbuatan Raphael pada mereka. Berlari mereka masuk dalam
ruangan para Agung lalu berlutut dan berkata,
“Ampuni kami yang mengganggu tuan Yehudiel dan tuan
Seatiel, ada perlu kami datang pada tuan-tuan.” Yehudiel melihat
hamba-hambanya itu ketakutan di sana. Maka berkatalah Yehudiel
pada mereka,
“Apa permasalahanmu, hamba-hambaku? Mengapa kamu
gemetar? Apakah kamu baru saja melihat seorang Bath-Pometh
menunggang badak pelindung?” Maka mendekatlah dua hamba itu
memeluk kaki Yehudiel dan berkata,
“Kami tidak pernah melihat hal seperti itu tuanku. Namun
aku tahu ini lebih mengerikan dari pada yang tuan katakan. Tuan
Raphael datang pada kami dengan sangat murka. Entah apa yang
membuatnya murka pada kami. Sungguh aku tidak pernah melihat
hal yang sengeri itu.” Maka berkatalah Yehudiel,

396
“Lihatlah mataku, Milisel! Percayalah padaku, mata ini telah
melihat hal-hal yang lebih mengerikan dari pada yang pernah eng-
kau lihat. Kamu berdua ini adalah hamba-hambaku yang selalu
bersamaku selama aku pergi. Namun katakan sekarang, adakah aku
membawa kamu dalam suatu pertempuran? Atau engkau, Huluel.
Engkau selalu ada bersamaku untuk melayani kereta tarik tuan
Sealtiel. Adakah tuan Sealtiel mengirim kamu untuk mengangkat
pedang dan bertempur? Bahkan saat di Padang Luas Selatan, kamu
berdua hanya bersembunyi di bawah kereta tarik, sementara legion
membantai saudara-saudaramu. Maka benarlah apa yang diperbuat
tuan Raphael padamu itu. Sekarang berhentilah meminta-minta
penghormatan, sebab kamu sudah menerima banyak dari kami.”
Kemudian pergilah dua hamba itu dengan masih ketakutan.
Mereka tidak mendapat pembelaan dari Yehudiel dan Sealtiel.
Sementara itu, Mahanael telah menemukan hamba-hamba
Seraphiem yang berbicara tentang tanda hormat mereka. Karena
mereka merasa telah banyak berjuang di Tanah Barat. Dibawa
mereka semua untuk menghadap Mikhael di ruangan Mikhael.
Adapun yang berkumpul di samping terasan itu adalah Dundadel
dan Gundadel saudaranya, para ahli senjata Mikhael. Kemudian
Krintinel salah satu tetua rumpun Hugta-Al yang biasa melayani
Mikhael juga. Namun jumlah mereka bertambah, karena mereka
juga mengajak beberapa hamba lain untuk meminta penghormatan
pada para Agung. Bergabung bersama mereka Frintitiel dan
Frintihel bersaudara, perawat tunggangan Mirkandruel. Kemudian
Didiel, hamba Gelabriel.
Kemudian Mikhael mendudukkan hamba-hambanya itu di
sana dan ia berkata,
“Kamu sekalian hamba Seraphiem yang berkelakuan seperti
hamba Luciel. Siapa di antara kamu yang memulai untuk berbicara
diam-diam dan merencanakan untuk meminta penghormatan dari
Malaikat Agung?” Namun diamlah semua hamba di sana. Lagi kata
Mikhael,
“Sekarang aku berkata padamu dan dengarlah perkataanku.
Tidak ada seorang hamba yang menuntut pada tuannya karena
pekerjaan yang menurutnya baik. Seorang hamba yang baik adalah

397
yang dikatakan baik oleh tuannya. Bila hamba itu sendiri yang ber-
kata: ‘aku baik.’ Atas dasar apa kesaksiannya itu? Kemudian kamu
semua ini berkata bahwa kamu baik dan meminta tanda penghor-
matan dariku? Apa aku berkata bahwa kamu adalah hamba yang
baik? Lantas mengapa kamu menentukan bahwa dirimu adalah
hamba yang sudah berjasa?” Lagi kata Mikhael,
“Karena kamu ini meminta padaku, maka aku tidak akan
memberikannya padamu. Bila memang kamu hendak menjadi ham-
ba yang baik, angkat senjatamu dan bergabunglah dengan barisan
Tiga Puluh. Bertempurlah di Mirkanria dan lihatlah seberapa
baiknya dirimu dalam pertempuran, tanpa aku dalam barisanmu.
Kamu ini adalah hamba-hamba yang terpandang. Hamba-hamba
yang dapat menghadap aku dan mendapat ampunanku. Kamu
bukanlah hamba yang akan dipukul bila melihat aku. Seharusnya
kamu tahu, bahwa itu adalah kehormatan bagimu di antara para
Seraphiem. Maka berhentilah kamu sekarang dari tugas-tugasmu
dan keluarlah dari barisanmu! Padamu yang meminta, tidak akan
diberikan. Namun padamu yang berharap dan berjuang, akan dibe-
rikan. Malahan bila kamu itu berjuang lebih dari pada tenagamu,
aku akan memberi lebih dari yang dapat kamu terima.
Sudahkah kamu mendengar tentang Hilisiel, hamba tuan
Gelabriel? Ia adalah hamba biasa yang pekerjaannya mencatatat di
rumah catatan di Kota Mith. Kemudian pertempuran terpecah dan
pada akhirnya ia tergabung dalam barisan tuan Mahanael. Dalam
perjuangannya, tidak pernah ia meminta barisan pada tuan Maha-
nael untuk ia pimpin. Namun ia terus berjuang dan memperhatikan
bila-bila tuan Mahanael mengatur barisan dan membuka peta-peta.
Ia belajar dari tuan Mahanael dan sekarang ia itu sudah menjadi
lebih bijak dari padamu! Tahukah kamu bahwa hamba pencatat itu
sekarang memimpin delapan puluh barisan pembawa pedang?
Dengan penjepit jubah dari batu merah di pinggangnya? Sedang
kamu ini, lihatlah dirimu! Di mana penjepit jubah mewahmu? Satu
penghargaan pun tidak diberikan padamu. Tahukah kamu bahwa
pekerjaan di Tanah Barat itu belum selesai? Seandainya kamu diam
saja dan setia terus mengikut aku dalam berbagai pertempuran,
sampai selesai perjuangan di Tanah Barat, penghargaanmu akan

398
lebih besar dari pada sarung pedang yang kuberikan pada tuan
Mahanael ini. Sekarang bangkit dan pergi pada Frantiel, katakan
bahwa kamu akan bergabung dalam barisan Tiga Puluh dan ber-
juang di Mirkanria. Setelah itu berdiamlah kamu di sana. Aku tidak
akan menugaskan kamu lagi dalam pertempuran-pertempuran,
supaya jangan kamu mendapat pengalaman yang berharga.”
Kemudian diusirnya hamba-hamba itu dari sana. Begitulah Mikhael
memperlakukan hamba-hambanya.
Setelah itu geramlah hamba-hamba itu karena ditegur begitu
keras oleh para Malaikat Agung. Para Seraphiem itu bergabung de-
ngan barisan Tiga Puluh dan akan bertempur di Mirkanria. Mikhael
memilih hamba lain untuk menjadi pelayannya. Sedang hamba-
hamba Yehudiem yang memberontak dipindahtugaskan oleh
Yehudiel. Mereka menjadi mengurus tunggangan dan pengurus
tunggangan yang lama akan menjadi pengurus kereta tarik. Semen-
tara itu, hamba Rephai yang terlibat dalam pembicaraan tanda jasa
itu belum mendapat teguran dari Raphael. Karena Raphael meme-
rintahkannya untuk memanggil Elcuriel.

399
Penyerangan di Tanah Barat – Kabar dari pengintaian di Tanah
Ranting

Pada waktu para Agung baru saja usai dengan acara di Ta-
nah Selatan, di Barat keadaan berubah seketika. Melhuriel, hamba
Rephaiem itu ada di Kota Kraduria bersama kerabat sepuaknya,
Melhunahel. Mereka sedang mengurus berbagai persoalan di kota
besar itu karena para penempa di kota itu. Ada seorang Seraphiem
dari Tanah Selatan datang ke sana. Ia membawa selembar gulungan
dengan gambar-gambar rancangan. Pada gulungan itu ada tanda
dari Mondrael dan juga dari Mirkandruel, para pembesar Seraph-
iem. Di dalamnya juga ada surat-surat permohonan. Para pembesar
Seraphiem itu memohon pada para Rephaiem untuk membuat sua-
tu alat yang sudah dirancangkan oleh Mondrael dan Mirkandruel.
Maka para Rephaiem mulai menempa rangkaian alat itu.
Sedang saat itu para Rephaiem kehabisan kayu-kayu untuk
pembakaran yang digunakan untuk menempa. Kayu-kayu dari Ta-
nah Ranting juga masih dalam pengerjaan untuk diambil oleh rom-
bongan pengintai yang dipimpin Helanael. Maka Melhuriel dan
Melhunahel ada di sana untuk memimpin penempaan yang kesu-
litan untuk menyalakan api dengan kayu-kayu yang keras dan sulit
terbakar.
Adapun musuh-musuh di Tanah Barat, masih merajalela
dan bergerak bebas di sebagian Tanah Rephaiem, juga yang di
sebelah Selatan. Ada persekutuan di antara barisan-barisan musuh.
Dengan kemunduran dari barisan Legiun, Gissel menarik barisan-
nya dari Tanah Seraphiem ke pinggiran barat tanah itu. Sedang ia
sendiri melarikan dirinya pada saudara-saudara sekutunya di
Tanah Rephaiem Selatan.
Datanglah para pemimpin barisan Luciel itu untuk duduk
bersama di Kota Raphael, yang dikuasai barisan Bath-Pometh. De-
ngan persepakatan dan persekutuan mereka tiga barisan itu sepa-
kat. Adalah barisan Legiun-Dur, yang dipimpin Gurim-Mahel telah
kembali pada tuan mereka. Setelah Gissel mengambil kekuasaan
penuh atas barisan Legiun. Padahal barisan Legiun itu dibagi men-

400
jadi dua, yaitu Legiun Skeim (Barat) dan Legiun-Dur (Utara).
Karena kekalahan besar Gissel di Tanah Seraphiem, banyak sekali
dari Legiun yang bergeser ke Tanah Rephaiem Selatan. Maka me-
reka mencari tempat untuk berdiam, sedang tanah di sana itu sudah
terlalu penuh untuk dihuni.
Adapun barisan Bath-Pometh juga bersekutu dengan mere-
ka. Eftinel, pemimpin barisan Bath-Pometh mendukung untuk
penyerangan merebut kota-kota di Tanah Barat. Karena tanah dae-
rah miliknya menjadi penuh sesak karena para Legiun dan juga
barisan Ranega yang juga memenuhi tanahnya. Barisan Ranega juga
mendukung penyerangan itu, karena memang barisan Seraphiem
dan Rephaiem banyak merebut kota-kota yang menjadi miliknya.
Gurim-Mahel mendukung penyerangan itu karena Gurim-Mahel
menginginkan Tanah Ranting yang dikuasai para pemberontak
yang dipimpin Bransiel. Gurim-Mahel berencana untuk menjadikan
Tanah Ranting sebagai tempat Legiun-Dur berdiam.
Persekutuan mereka tidak berhenti, mereka masih mengun-
dang lagi Breftiel, penguasa Tanah Anggur, pemimpin barisan
Arthanag untuk turut mendukung penyerangan. Namun hasil
kosong yang mereka dapatkan. Breftiel telah nyaman di Tanah
Anggur dan ia tidak akan bergerak dari sana, sekalipun saudara
sekutunya akan bertempur. Tidak ada kepentingan bagi Breftiel
untuk menyerang lagi kota-kota yang direbut barisan malaikat.
Maka ia tidak turut dalam persekutuan itu. Dan barisan Zaganar
yang dipimpin Emeriel tengah sibuk-sibuknya. Sebab barisan itu
diperbantukan untuk merawat korban Legiun yang bertempur di
Tanah Seraphiem.
Maka ada tiga barisan yang akan turun dan memulai per-
tempuran baru di Tanah Barat. Barisan Legiun-Dur, Bath-Pometh,
dan Ranega. Kota pertama yang akan mereka serang adalah Kota
Daria. Dengan tujuan dari sana mereka akan lebih mudah menye-
rang ke Idarun, ataupun ke Kraduria. Bergeraklah barisan besar itu
ke Derie.
Kota Daria, perjuangan untuk kota itu sudah banyak men-
jatuhkan korban. Adapun pada saat itu yang bertanggungjawab
mengurus Daria adalah Erenel dan Hirnael bersaudara. Mereka

401
adalah saudara dari Helanael, dari rumpun Bara-Al yang trepan-
dang. Saat itu Daria dalam keadaan sangat tenang dan dalam pen-
jagaan penuh. Adapun Daria adalah kota yang rawan dan Raphael
sudah memperingatkan supaya kota itu benar-benar dijaga. Dari
kota-kota di Tanah Barat yang sudah direbut kembali oleh barisan
malaikat, Daria adalah yang paling selatan. Hal itu membuat Daria
menjadi sasaran utama musuh bila hendak menyerang Tanah Barat
kembali. Karena itu Raphael memerintahkan supaya dibuat jalan
yang mudah ditempuh dari Daria ke Durie, kota di perbukitan.
Untuk berjaga-jaga, bila Daria tidak dapat dipertahankan para
Rephaiem dapat pergi bertahan ke Durie.
Di Daria tidak hanya para Rephaiem yang ada di sana. Para
Jegudiem yang tergabung dalam barisan Jegaduriem juga ada di
sana berjaga. Kemudian ada delapan puluh barisan Yehudiem yang
diperbantukan ke Daria untuk berjaga di sana. Ada pula kira-kira
sepuluh ribu malaikat suku Bartarchiem yang sedang singgah di
Daria. Para Bartarchiem itu datang untuk perawatan kota dan
pohon-pohon supaya buahnya dapat menjadi bekal para malaikat.
Sangat penuh kota itu. Tembok pertahanan di Daria telah dibong-
kar atas perintah Raphael dan dibangun ulang, di sebelah timur dan
sebelah barat. Tembok baru itu memiliki dua pintu di sebelah timur
dan tiga pintu di sebelah barat. Sebelah utara dan selatan kota itu
ada batu tebing. Karena memang dahulu tanah itu adalah bukit
yang dibelah untuk dibanguni kota.
Ada jalan kecil menuju utara dari tembok tebing itu. Perke-
mahan para malaikat juga ada di sebelah timur, di luar tembok
kota. Pada waktu itu saja. Kira-kira ada delapan ratus ribuan
barisan malaikat dari berbagai suku yang diam di sana. Barisan
musuh telah mengintai kota itu dan mempelajari pertahanannya,
namun mereka tidak tahu apa yang dipersiapkan para Rephaiem
untuk persiapan menanggapi serangan musuh yang tidak tahu
kapan datangnya.
Bath-Pometh telah bertempur dengan para Rephaiem di
Daria sebelumnya. Eftinel tidak bisa lupa berapa korban barisannya
yang jatuh demi Daria di waktu yang lampau. Dengan pengalaman

402
barisan Bath-Pometh, musuh benar-benar siap untuk menyerang
kota itu.
Dari arah barat, dari Kota Derie, barisan besar datang men-
dekati tembok barat Daria. Para Rephaiem yang berjaga jauh di luar
tembok, segera bertunggang cepat-cepat ke Daria dan mendapati
Erenel. Kemudian kata mereka,
“Erenel, mereka datang! Barisan besar dari selatan turun ke
Derie. Mereka akan menyerang kita.” Kemudian kata Erenel,
“Berapa banyak yang kamu dapati dalam pandanganmu?”
Kemudian kata para Rephaiem itu, “Legiun, Erenel. Mereka sangat
banyak. Bath-Pometh penunggang kerbau juga ada di antaranya.
Bendera Renaga juga berkibar.” Lalu jawab Erenel, “Berapa jauh,
saudara?”
“Satu Shakta lalu aku bertunggang ke mari. Kira-kira sete-
ngah Shakta lagi, barisan mereka akan terlihat dari tembok.” Maka
berlarilah Erenel segera.
Ia memanggil semua pemimpin barisan. Sangkakala tanda
peringatan dibunyikan dan para malaikat segera berkumpul dalam
kota. Senjata-senjata segera dipersiapkan dan barisan-barisan ber-
kumpul sesuai barisannya masing-masing. Berkumpullah para pe-
mimpin barisan di rumah kerja tengah bersama Erenel itu. Datang-
lah Hirnael sebagai yang pertama pada Erenel, kemudian katanya,
“Sudah tiba saatnya, Erenel. Kita di sini untuk hal ini.
Hummunal! Aku sangat bersemangat saat ini. Di mana Giftael dan
Evigel?” Kemudian jawab Erenel,
“Engkau yang pertama datang. Hirnael, Legiunlah yang
akan kita hadapi ini. Kita harus memanggil barisan bantuan dari
Ardur.” Lalu jawab Hirnael,
“Ardur? Durie akan menjawab kita, saudaraku. Kita akan
memukul mereka dari pepohonan sebelah utara itu.” Kemudian
datanglah para pemimpin barisan yang lain dengan tergesa-gesa ke
sana. Lalu lagi kata Erenel,
“Persiapkan jalan menuju Durie. Beri kabar pada Ardur
tentang ini. Melhunahel harus membantu kita.” Kemudian kata
Hirnael,

403
“Persiapkan jalan menuju Durie? Kita tidak akan lari dari
musuh, saudaraku. Kita akan menghadapi mereka di sini. Sekarang
atau sampai kapan pun. Bara-Al tidak akan meninggalkan tanah-
nya. Kita sudah kehilangan Daria untuk pertama kali, aku tidak
berencana melepaskan kota ini lagi.” Kemudian Erenel itu menarik
saudaranya itu dan membentak dia, katanya,
“Mereka adalah Legiun, Hirnael! Legiun! Bath-Pometh dan
Renaga berjalan bersama mereka. Bayangkan berapa pedang yang
teracung pada kita saat ini! Pikirkanlah para Rephaiem ini. Mereka
tidak layak hancur sia-sia. Begitu kita tahu bahwa kita tidak dapat
lagi menahan musuh, aku memerintahkan kamu untuk meninggal-
kan kota ini, segera. Kita harus bertempur di lain waktu. Ini hanya-
lah kota, saudara-saudara. Sedang barisan kita adalah malaikat
yang hidup. Jangan sia-siakan barisanmu demi kota ini. Sekali lagi
aku berkata padamu, jangan sia-siakan apa yang hidup untuk
sesuatu yang mati. Bila kita kalah saat ini, kita akan merebutnya
lagi. Kita adalah Rephaiem, saudara-saudara. Sekarang segera per-
siapkan barisanmu masing-masing dan tempati pos-posmu seperti
yang sudah kita latih dan persiapkan. Panggil bantuan ke Ardur.
Peringatkan Durie. Kita dalam pertempuran!” Maka segeralah para
Rephaiem itu bergerak dengan cepat untuk bersiap. Waktu mereka
tidak banyak saat itu dan musuh sudah dekat.
Saat para Rephaiem ramai di Daria, datang para Rephaiem
lain yang berkemah di sebelah barat kota. Yaitu mereka yang
menjaga perbatasan Daria dan Derie. Mereka yang tidak melepas
pandangan dari Derie. Para Rephaiem itu baru datang setelah ber-
lari jauh. Masuklah mereka dalam kota dan Erenel sudah menung-
gu mereka. Lalu kata Erenel,
“Katakan padaku bahwa kamu semua selamat.” Maka kata
Rephai yang satu, “Tidak ada korban, Erenel. Saat kami melihat
musuh keluar dari tembok Derie, kami segera membereskan perke-
mahan dan para penunggang sudah lebih dahulu datang padamu.”
Lalu kata Hirnael,
“Berapa jauh lagi musuh kita?” Kemudian kata Rephai itu,
“Mereka berhenti sejenak di sebelah barat, di belokan tempat kami

404
berkemah. Satu Shakta lagi mereka akan sampai, kira-kira begitu.”
Maka kata Erenel,
“Pastikan seluruh barisanmu sudah masuk dalam kota. Sete-
lah itu pintu akan kututup dan tidak akan kubuka lagi sampai
aman kota ini.” Segeralah setelah para Rephaiem sudah masuk
dalam kota, pintu gerbang di sebelah barat ditutup dengan erat.
Batang-batang pohon diangkat dan dipasang sebagai pengunci.
Batu-batu besar ditata menutup gerbang supaya tidak mu-
dah musuh mendobrak. Tembok Daria dibangun setinggi tiga
Kilang dan selebar delapan puluh enam Alang. Di depan tembok
itu ada terbentang tanah lapang dari selatan sampai utara. Kira-kira
pada waktu itu lebarnya masih tujuh panahan. Dari tanah lapang
itu berdiri tebing bukit tinggi yang mengapit tembok Kota Daria di
tengahnya.
Erenel telah mengatur para Rephaiem karena memang
tugasnya memimpin kota itu. Kemudian para Rephaiem mulai
mengenakan pakaian tempur mereka, membawa senjata-senjata
dan alat-alat tempur. Senjata-senjata berat ditata di atas tembok dan
di belakang tembok. Berkatalah Erenel itu pada saudara dan
sahabatnya, katanya,
“Hirnael, barisanmu harus tetap di pintu sebelah selatan.
Juga kamu Giftael dan Evigel, aku akan memerlukanmu di atas
tembok. Kamu tahu kita sudah lama bersama dan banyak pertaru-
ngan yang kita jalani di Durie. Bahkan kita semua ini pernah
menculik Malaikat Agung. Kamu adalah pejuang terbaik di Daria
dan Durie. Genael, Genanel, tetap bersamaku dan barisanmu harus
berbaris di gerbang tengah, di barisan ketiga dan keempat. Kiranya
kasih yang Sulung besertamu. Kamu sudah menjadi saudara-
saudaraku dan apa pun yang terjadi, aku mohon padamu seperti
aku memohon untuk hidupku. Bertahanlah, kita harus keluar dari
pertempuran ini hidup-hidup. Kita berkumpul lagi di atas tembok
setelah semua siap.” Kemudian pergilah mereka itu masing-masing
untuk mengatur barisan mereka.
Pada waktu itu Melhuriel dan Melhunahel masih mengatur
para penempa di Kraduria. Datanglah surat dari Raphael pada

405
mereka. Kemudian duduklah mereka untuk membuka surat itu.
Dalam suratnya, Raphael memerintahkan:
“Melhuriel dan Melhunahel, salam dari Tanah Selatan. Kira-
nya kamu sekalian ini menjaga hamba-hambaku di Tanah Barat.
Aku tahu aku jauh dari padamu saat ini, namun kiranya kamu se-
kalian tetap kuat memimpin Rephaiem tanpa aku. Sudah kuterima
surat-surat laporanmu dan juga kiriman anggur Gruined itu.
Mengenai pertukaran dengan Arthanag, ada hal yang harus kuatur
bagimu untuk kamu kerjakan.
Pergi dan persiapkan roti-roti dari Rapharium dan bawa ke
Ardur. Kumpulkan itu dan adakan pertukaran roti dengan anggur,
seperti yang ditawarkan Breftiel itu padamu. Lakukan saja ini dan
jangan menyebarkan kabar bahwa aku, Raphael Tangan Allah me-
ngadakan persekutuan dengan musuh. Bila ada dari para Rephaiem
yang menanyakan: ‘Apakah ini suatu persekutuan dengan musuh?’
katakan pada mereka: ‘Tuan Raphael sendiri yang memerintahkan
ini. Siapa yang melawan akan diantar ke Selatan untuk menemui
tuan Raphael sendiri. Bila memang kamu berniat untuk tahu,
berani-beranilah bertemu dengan tuan Raphael untuk menanyakan
hal ini. Apakah tuan Raphael mengadakan persekutuan dengan
musuh atau tidak?’
Jangan pula kamu bersangka seperti itu terhadap aku. Ada
rencanaku dalam hal ini untuk merebut Tanah Anggur. Maka laku-
kan saja dan aku akan memberitahukan padamu bila kita sudah
bertatap muka. Setelah surat ini, aku akan mengirim Elcuriel pada-
mu, untuk membantu penataan kota-kota di Tanah Barat. Mengenai
pertukaran itu, aku harus mengaturnya secara tepat padamu
dengan ketentuanku. Inilah yang harus kamu lakukan untuk
pertukaran itu:
Kirimlah roti sebanyak tiga kereta tarik pada mereka. Dan
biarkan mereka membayar dengan harga anggur yang sudah mere-
ka tawarkan padamu. Lakukan itu satu Sherta empat sampai lima
kali, sampai aku kembali. Bila aku tidak kembali padamu sampai
beberapa Shertaiem, maka lakukan saja itu terus menerus secara
berkala dan teratur. Bila Breftiel merubah penukaran dengan menu-
kar roti dengan anggur yang lebih sedikit, katakan: ‘tuan Raphael

406
akan menghentikan penukaran bila begini.’ Kemudian katakan pula
pada Breftiel saat kiriman ketiga: ‘Tuan Raphael ingin mengadakan
penukaran dalam jumlah yang besar, adakah engkau siap untuk
itu?’ Bila mereka siap, teruslah saja kamu menjanjikan penukaran
besar itu padanya, supaya ia terus berharap. Namun jangan laku-
kan penukaran lebih dari tiga kereta tarik, bila itu bukan aku yang
memerintahkan padamu.
Kemudian dari pada itu, jangan kamu kirimkan roti-roti
yang baik saja padanya. Berilah setengah kereta itu roti yang baik-
baik, namun dua setengah sisanya berilah yang biasa dan yang ru-
sak dan yang buruk-buruk. Bila Breftiel menanyakan tentang roti-
nya, katakanlah: ‘Di dalam masa perang seperti ini, mana dapat
para Rephaiem membuat roti yang baik-baik?’ Pula jangan kamu
merubah-rubah harga penukarannya melainkan sesuai persepa-
katan pertama. Dalam penukarannya, kamu harus membawa
kembali kereta-kereta tarik itu. Jangan kamu tinggalkan kereta-
keretanya pada Breftiel. Sesekali, tinggalkan saja hewan-hewan
penarik kereta tariknya, supaya Breftiel senang dan mau terus
menerus mengadakan pertukaran.
Pula dalam hal ini, aku memohon padamu, supaya menjaga
sikapmu dalam penukaran dan tidak berbicara yang membuat
Breftiel menghentikan penukaran ini. Saat roti-roti itu diturunkan
dari keretanya, berusahalah sehalus mungkin untuk dapat masuk
dalam kota mereka untuk melihat-lihat keadaannya. Dan perhati-
kan setiap langkah musuh, supaya jangan kamu diserang saat
penukaran berlangsung. Aturlah semua itu sebaik mungkin dan
jangan ada kecurigaan dari Breftiel padamu atas kegiatan ini. Kasih
Yang Terang bersamamu dan aku akan segera kembali padamu.
Perihal yang lain, aku akan mengaturnya nanti bila kakiku sudah
menginjak Tanah Barat kembali.”
Itulah perintah Raphael pada hamba-hambanya di Kraduria.
Karena memang surat itu cukup aneh bagi Melhuriel dan
Melhunahel, berkatalah Melhuriel,
“Masakan benar yang kualami ini, Melhunael? Tuan besar
Raphael mengadakan penukaran dengan Breftiel itu.” Lalu kata
Melhunahel,

407
“Buat saja seperti perintahnya, saudaraku. Kita tentu tidak
akan melawan perintah Malaikat Agung. Lagipula, tuan besar
Raphael tidak mungkin serta merta melakukan hal ini hanya demi
anggur. Tentulah ia memiliki rencana yang baik seperti katanya
dalam surat ini. Dan lagi, tuan Raphael tentu sudah membicarakan
hal ini dan mendapat persetujuan dari tuan-tuan Agung. Sebaiknya
kita segera melakukan ini saja.” Maka dibuatlah semua itu seperti
perintah Raphael.
Karena perintah itu jelas, juga suratnya ada disimpan, para
Rephaiem yang sempat menanyakan tentang itu takut pada
Raphael. Mereka tidak berani menanyakan hal itu pada Raphael
dengan berhadap muka. Maka mereka semua menutup mulut dan
melakukan saja seperti yang diperintahkan. Para Rephaiem di Kra-
duria mendapat pekerjaan baru dan para Rephaiem memang se-
nang dipekerjakan, maka kegiatan itu menjadi penghiburan mere-
ka. Begitulah Raphael memulai penukaran dan pendekatannya
pada Breftiel. Semakin dekat ia dengan Tanah Anggur dalam hal ini
dan Raphael memang merencanakan seperti yang disarankan
Sealtiel padanya di Tanah Selatan itu.

Sedang di Daria, keadaan semakin menjadi dan barisan


musuh mulai nampak dari kejauhan mendekati Kota Daria. Tidak
ada suara genderang ataupun sangkakala dari barisan musuh. Seke-
tika barisan musuh terlihat, berserulah salah satu Rephai yang ada
di atas tembok, katanya,
“Musuh terlihat!” Maka bangkitlah para Rephaiem dan
segera bersiap untuk pertempuran. Mulailah para Rephaiem naik
ke atas tembok dan melihat musuh mereka dari kejauhan. Erenel
dan saudara-saudaranya juga naik ke atas tembok untuk melihat.
Saat mereka naik, di sana ada berdiri hamba Yehudiem. Dia adalah
pemimpin barisan Yehudiem yang diperbantukan di sana. Yaitu
Runanel. Berkatalah Runanel itu pada Erenel, katanya,
“Salam bagimu, Erenel, pemimpin Daria. Aku jarang ber-
temu denganmu, namun aku sudah mengenal saudaramu, Helanael
itu.” Kemudian kata Erenel,

408
“Oh, Runanel. Ya, aku sudah mendengar tentangmu dan
beberapa kali melihatmu di kota. Namun aku terlalu canggung
untuk menyapamu. Di mana barisanmu berbaris?” Lalu jawab
Runanel itu,
“Di antara gerbang utara dan tengah. Barisan kedua. Kami
hanya delapan puluh barisan di sini, saudara. Kehormatan bagiku
dapat bertempur denganmu. Kiranya engkau memaklumkan para
Yehudiem ini. Saat ini adalah pertempuran pertama bagi mereka.
Sedang bagiku, mungkin ini pertempuran ketigaku. Aku pernah
turut bertempur di Tanah Altar waktu itu, saat aku bersama para
Rephaiem.” Kemudian berkatalah Erenel,
“Berapa pun jumlahmu, saudara, aku akan mengingat kese-
tiaanmu pada Rephaiem. Yehudiem adalah barisan yang hebat dan
kuat, aku tahu itu. Rephaiem dan Yehudiem adalah kerabat,
saudara. Kita bersama bermula dari Bara-Al. Tuanku dan tuanmu
adalah berasal dari Tanah Barat. Sekarang kita bertempur juga
bersama di Tanah Barat ini. Aku adalah Rephaiem yang tidak ada
dalam pertempuran Barganizar. Maka suatu kehormatan dapat
bertemu denganmu di sini, yang adalah saksi atas pertempuran
saudara-saudaraku para Rephaiem.” Lalu jawab Runanel,
“Aku juga ada bersama tuan Bart-Archiel di pertempuran
Elcarazar. Karena itu, mungkin ini adalah pertempuran ketiga bagi-
ku. Mengenai Bara-Al, aku bukanlah seorang pembawa api seper-
timu, saudara. Dahulu aku Seraph sebelum masa para Agung. Aku
dari rumpun Ar’ame-Al, aku malaikat Timur, saudaraku. Maka
sekarang ini kita adalah dua malaikat yang bertempur bersama,
Barat dan Timur, Rephaiem dan Yehudiem. Jhudriem menaruh
hormat pada malaikat sepertimu dan pada Rephairiem yang telah
mempertahankan rumah kediaman tuan kami. Erenel, musuh
sudah terlihat. Sebaiknya aku kembali pada barisanku.” Kemudian
mereka saling memberi hormat di sana. Setelah itu berpisahlah
mereka.
Erenel melihat barisan musuh yang mulai mendekat. Lalu
barisan musuh mulai membentuk perkemahan mereka di sana
sebagai kubu mereka. Lalu berkatalah Hirnael, “Siapa malaikat

409
rupawan itu, Erenel? Sejak kapan engkau mengenal malaikat
Timur?” Kemudian kata Erenel,
“Memang benar ia malaikat Timur. Taruhlah sedikit hormat,
Hirnael. Engkau adalah malaikat terpandang, jaga sikapmu. Ia
adalah Runanel, pemimpin barisan Jhudriem yang bersama kita di
sini. Aku juga baru mengenalnya. Sejak dahulu tidak ada malaikat
Barat yang berani berdekatan dengan malaikat Timur. Kecuali tuan
besar Raphael dengan tuan Ammatiel.” Kemudian tertawalah me-
reka. Lalu dari kejauhan nampaklah para penunggang badak pelin-
dung mendekati tembok, ada dua puluh penunggang banyaknya.
Maka kata Genael, “Erenel, mereka mengirim rombongan
utusan. Mungkin mereka hendak berbicara denganmu untuk berun-
ding atau hal semacamnya.” Kemudian tiba-tiba datang salah satu
pemimpin barisan Rephaiem mendekat dan berkata,
“Jangan percaya pada Bath-Pomethiem itu, Erenel. Mereka
mengirim jebakan dengan berlagak hendak berunding. Mereka
akan memukulmu bila engkau keluar dari tembok ini.” Kemudian
menolehlah Erenel itu melihat Rephai itu. Kemudian ia memegang
pundak Rephai itu dan berkata,
“Engkau memimpin barisan yang mana, saudara? Dan
ingatlah ini, sekalipun kita adalah tukang batu dan tukang tempa,
Bath-Pometh tidak dapat engkau sebut ‘Bath-Pomethiem’. Bila me-
mang mereka hendak menyerang aku saat berunding, mereka akan
kehilangan tangan mereka sebelum memukul aku dengan pedang.
Tenanglah sedikit.” Kemudian Berkatalah Hirnael,
“Mereka membalik bendera. Ini adalah perundingan sebe-
lum tempur, Erenel. Tidak dapatkah kita langsung mulai saja?
Perundingan sangat membosankan dan pada akhirnya pun kita
akan tetap bertempur. Akankah engkau menjawab atau tidak?
Tidak usah sajalah. Tanganku sudah gatal rasanya ingin melempar
kapak pada wajah mereka.”
Erenel menenangkan saudaranya itu dan menurunkan
kapak yang dibawa Hirnael. Kemudian katanya,
“Siapa tahu mereka tidak datang untuk bertempur, Hirnael.
Mungkin mereka hanya ingin menawarkan sesuatu seperti yang
terjadi di Ardur. Bila engkau melempar mereka dengan kapakmu,

410
jarak mereka terlalu jauh untuk lemparan kapak. Dan lagi bila
memang mereka tidak datang untuk bertempur, maka akan terjadi
salah paham dan terpecah pertempuran yang seharusnya tidak
terjadi.” Maka terdiamlah Hirnael itu. Kemudian musuh mulai
semakin dekat. Berkatlah Erenel,
“Aku akan menjawab mereka untuk mendengar saja apa
maksud mereka mendatangi tembok Daria yang gagah ini. Giftael,
Evigel, kamu turut bersamaku. Hirnael, tunggu di sini dan kamu
akan menggantikan aku bila aku tidak selamat.” Kemudian
berkatalah Hirnael,
“Bicaramu tidak tahu mana utara mana selatan, Erenel! Bila
mereka hendak menyerangmu, kapakku sudah merobek wajah
mereka. Cepat pergi dan katakan saja, mau tidak mau kita harus
tetap bertempur. Sudah lama kapakku ini tidak mencicipi musuh-
musuh kita.” Kemudian melompatlah turun Erenel itu bersama
Giftael dan Evigel, pejuang terbaik mereka. Mereka bertiga berjalan
dengan tenangnya, sedang di depan mata mereka ada dua puluh
penunggang badak pelindung yang besar-besar.
Bertemulah mereka di depan tembok Kota Daria. Giftael di
sebelah selatan, kemudian Erenel di tengah dan Evigel di sebelah
utara. Musuh yang di depan mereka adalah juru bicara barisan
Bath-Pometh dan sembilan belas penunggang badak pelindung
membawa palu dan pedang panjang. Beberapa lain membawa
pedang biasa. Sedang para pengawal juru bicara itu semua berba-
dan besar dan bertangan paling sedikit empat. Kemudian berka-
talah Erenel,
“Aku Erenel, pemimpin Daria. Penguasa atas kota ini tidak
ada di sini. Sekarang mulailah bicara!” Kemudian turunlah dua
pengawal dan mendekat ke tunggangan juru bicara itu. Mereka
berdiri dengan membawa palu yang besar dan pedang panjang.
Lalu berkatalah juru bicara itu, katanya, “Erenel! Aku akan
mengingatmu dan tuanku akan mendengar namamu dariku. Aku
melihat dua pengawalmu itu membawa pedang dan yang lain
membawa palu. Perintahkan mereka untuk menyarungkan pedang-
nya dan menggantung palunya!” Lalu Erenel itu menjawab,
katanya,

411
“Engkau meminta aku memerintahkan para pejuangku ini
untuk menyarungkan pedang, sedang engkau membawa belasan
pengawal dengan pedang dan kapak di tangan-tangan mereka.
Tunjukkan hormatmu pada musuhmu! Perkenalkan dirimu!” Maka
jawab juru bicara itu, “Untuk apa engkau mendengar tentang aku.
Eftiellah pemimpin atas barisan yang kamu hadapi, cukup dia yang
engkau ketahui. Erenel, aku percaya engkau adalah Rephaiem yang
sudah lama berdiam di Daria. Dan tentu saja, engkau menjadi saksi
juga atas pertempuran sebelumnya demi perebutan kota ini. Dari
pada jatuh lebih banyak korban, tariklah barisanmu keluar dari sini
dan kosongkan kota bagi kami.” Tertawalah Erenel mendengar
perkataan itu. Lalu katanya,
“Aku ini hanya pemimpin atas kota ini dan bukan penguasa.
Para malaikat di balik tembok itu, mereka tidak akan meninggalkan
tempatnya, sekalipun aku memerintahkan mereka untuk pergi.
Hanya Tangan Allah yang dapat memindahkan kami dari sini. Bila
memang tuanmu hendak merebut kota ini, baiklah suruh dia
datang dan melawan kami!”
Geramlah juru bicara itu berbicara dengan Erenel. Maka
turunlah ia dari tunggangannya dan berkata, “Perhatikan perke-
mahan kami di sebelah barat itu, Erenel pemimpin Daria! Engkau
pernah bertempur melawan Bath-Pometh dan mengetahui kekuat-
annya. Sekarang pikirkanlah, bersama Bath-Pometh datang barisan
Legiun dan barisan Ranega. Kekuatannya tidak sebanding dengan
barisanmu itu! Saat melawan Bath-Pometh saja, kamu memerlukan
Tangan Allah sendiri untuk berada di pihakmu! Itu pun Rephairiem
masih kewalahan melawan kami.” Maka menunduklah Erenel me-
lihat ke tanah dan ia menggoyang-goyangkan kaki untuk mene-
nangkan dirinya karena ia geram. Kemudian ia melihat ke tembok
kota dan melihat barisan yang di atas tembok.
Kemudian berkatalah juru bicara itu lagi, katanya, “Bagai-
mana, Rephai? Pikirkan dahulu sebelum tembok itu diruntuhkan.
Lebih cantik kota itu dengan tembok barunya. Masakan engkau
hendak membiarkan tembok itu hancur karena pertempuran?”
Namun jawab Erenel,

412
“Pejuang di kota ini, juru bicara. Pejuang di kota ini, harus
engkau pertimbangkan juga. Jangan bicara apa pun tentang tembok
itu! Tangan Allah yang membangunnya dan tahukah kamu? Luciel
yang engkau sebut tuhan itu, ia sendiri dan barisannya tidak dapat
merobohkan tembok Altar Allah. Padahal tembok itu dari kayu dan
batu kasaran.” Kemudian berkatalah juru bicara itu, katanya,
“Pejuang dari Daria? Menarik bagiku, Erenel. Baiklah karena
engkau menolak, mari kita mulai saja jika demikian.” Kemudian
naiklah juru bicara itu ke atas tunggangannya dan tersenyum pada
Erenel. Lalu tiba-tiba berlarilah dua pengawal juru bicara itu ke
arah Erenel. Maka berserulah Erenel,
“Jadi engkau hendak mengetahui bagaimana pejuang Daria
bertempur? Baiklah jangan terburu-buru memalingkan wajahmu,
juru bicara!”
Erenel menarik pedangnya dan maju juga berlari dua mu-
suhnya yang bertubuh besar itu. Kemudian Erenel menarik belati
dari kakinya. Sedang dua Bath-Pometh itu yang satu sudah datang
pada Erenel lebih dahulu dengan mengayun kapak. Erenel melem-
parkan belatinya ke tungkai musuhnya itu, maka goyahlah tum-
puannya. Kemudian Erenel menarik kapak di tangan musuhnya itu
dan memukul musuhnya dengan kapak yang lebih besar dari
tubuhnya, pada musuh yang kesakitan karena belati. Remuklah
wajah Bath-Pometh itu dan hancur. Lalu datang yang kedua dengan
mengayun pedang dan kapak dari dua arah samping Erenel. Maka
Erenel itu bergerak cepat dan malah mendekat pada musuhnya.
Sehingga ayunan senjata Bath-Pometh itu tidak mengenai Erenel,
malahan Erenel berdiri di antara dua tangannya. Kemudian Erenel
menancapkan pangkal pedangnya ke tanah. Kemudian ia menarik
dua tangan Bath-Pometh itu yang lain dengan melangkah mundur.
Meluncurlah kepala Bath-Pometh itu tepat ke pedang Erenel yang
teracung ke tanah.
Hancurlah dua Bath-Pometh itu dengan mudah di hadapan
Erenel. Lalu Erenel menendang Bath-Pometh itu dan membalikkan
tubuh mati itu. Ia menarik pedangnya dari wajah musuhnya. Juru
bicara Bath-Pometh itu melihat bagaimana Erenel bertarung. Cukup
takjub ia dengan Erenel. Kemudian ia berpaling dan bertunggang

413
kembali ke barisan. Sedang tujuh belas penunggang segera memacu
tunggangan ke arah Erenel. Melihat itu Erenel berpaling dan
berjalan kembali ke arah tembok. Kemudian ia berkata,
“Giftael, Evigel. Bila kamu tidak keberatan, masih ada tujuh
belas kira-kira. Apa kamu perlu Hirnael?” Kemudian Giftael dan
Evigel itu menarik senjata mereka dan berdiri tetap. Lalu kata
Giftael, “Tujuh belas mantan Seraphiem bertubuh besar, Evigel.
Sebaiknya engkau sedang bersemangat saat ini.” Kemudian terta-
walah Evigel dengan memutar bahunya, katanya,
“Baiklah, Erenel. Mungkin ini akan sedikit merepotkan. Na-
mun bila memang mau, Hirnael dapat bergabung di acara pembu-
kaan ini.” Erenel hanya berdiam saja melewati dua kawannya itu
dan terus berjalan ke tembok. Kemudian kata Erenel,
“Berhati-hatilah dengan kerbau-kerbau itu, anak-anak.
Butuh setidaknya dua rusa tanduk tujuh untuk merobohkan satu
badak pelindung itu.” Erenel mengangkat tangannya dan memberi
tanda pada Hirnael yang di atas tembok. Lalu kata Giftael,
“Aku sudah belajar banyak dari pertempuran sebelumnya,
Erenel. Tunggu saja kami di atas tembok!”
Saat Hirnael melihat Erenel memanggilnya, tertawalah ia
dan berkata sendiri, katanya, “Seharusnya dari tadi engkau menga-
jakku, Erenel. Merepotkan saja.” Turunlah segera Hirnael dan ber-
lari menyusul Giftael dan Evigel yang siap bertarung di sana.
Datanglah para penunggang mulai menyerang Giftael dan Evigel di
sana. Mereka bertarung dengan hebat di sana, seperti pejuang yang
sangat ulung mengayun senjata. Sementara Erenel berpapasan
dengan Hirnael. Kemudian kata Erenel,
“Bersenang-senanglah sedikit. Setelah mereka, kamu harus
kembali ke tembok, jangan berlari ke perkemahan musuh!” Hirnael
tidak menjawab dan berlari segera ke tengah pertarungan dengan
berteriak mengangkat pedangnya. Padahal pedang yang dibawa
Hirnael itu seukuran pedang besar bagi Malaikat Agung. Maka
pedang itu di tangannya nampak sangat tidak seimbang dan jauh
lebih besar. Melompatlah Hirnael dan bergabung dalam perta-
rungan di depan tembok.

414
Erenel kembali naik ke atas tembok dengan memanjatnya.
Para Rephaiem melemparkan tali padanya, karena gerbang-gerbang
kota sudah dikunci. Saat di atas tembok, bertemulah Erenel dengan
Runanel, pemimpin barisan Yehudiem itu. Runanel berlari kem-bali
ke atas tembok saat mendengar bahwa ada keramaian antara para
Rephaiem dengan rombongan Bath-Pometh. Lalu kata Runanel,
“Para pejuangmu sangat hebat, Erenel. Aku baru menge-
tahui petarung hebat dari Rephairiem. Aku harap barisanku dapat
mengimbangi Rephairiem dalam pertempuran ini.” Kemudian
Erenel melihat Runanel itu dengan menepuk-nepuk tubuhnya yang
penuh debu dari tembok yang dipanjatnya. Lalu kata Erenel,
“Ah, engkau bicara tentang saudara-saudaraku itu. Tidak
semua Rephaiem dapat bertempur seperti mereka, Runanel. Mereka
adalah pejuang-pejuang Daria yang sesungguhnya. Aku harap ini
cukup untuk menakut-nakuti musuh. Tiga Rephaiem, melawan
tujuh belas penunggang.” Lalu kata Runanel,
“Yehudiem akan mendengar peristiwa ini saat aku kembali
ke Tanah Yehudiem, Erenel. Supaya didengar bahwa pejuang dari
Daria tidak main-main.” Maka jawab Erenel,
“Pastikan engkau selamat, baru pulanglah dan bercerita.
Jangan hancur dalam pertempuran, saudara!” Tertawalah mereka
dan terus menyaksikan pertarungan yang seru di depan tembok
Daria itu.

Sementara itu, masih di Tanah Rephaiem. Helanael telah


mengembara dan mulai mengintai Tanah Ranting. Kemudian
katanya pada hamba-hamba yang bersamanya,
“Pergi dan ambil kayu-kayu itu, saudara-saudara. Pergilah
kembali ke pada Melhuriel. Katakan padanya: padang-padang ini
tidak dijaga dan banyak kayu bergeletakan. Panggil saudara yang
lain untuk mengangkut kayu-kayu ini, supaya cukup untuk penem-
paan.” Lalu kata salah satu Rephai padanya,
“Bagaimana denganmu, Helanael? Mengapa tidak engkau
saja yang mengatakan itu pada Melhuriel?” Kemudian jawab
Helanael,

415
“Aku penasaran dengan Hemdor. Aku ingin mengintai ke
sana. Pengintaian kita ini bukan pengintaian. Tidak ada musuh
yang kita lihat. Aku ingin tahu bagaimana keadaan kota itu seka-
rang. Tinggalkan bekal sisamu untukku. Aku berencana menyusup
ke Hemdor. Katakan pula pada saudara-saudaraku di Daria dan
Repharium, aku mengasihi mereka.” Kemudian Helanael itu pergi
memisah dari rombongannya dan berlari sendirian ke Kota
Hemdor, untuk mengintai.
Dari tempatnya itu, Helanael tidak perlu berjalan jauh ke
Kota Hemdor, di Tanah Ranting. Perjalanan satu Shakta saja ia
sudah sampai melihat kota itu. Adapun tanah di Tanah Ranting itu
jalannya sedikit menurun. Dari balik semak dan rumput, Helanael
mengintai kota itu. Sepanjang jalannya, di tanah luas menghampar
seluas Araria, sampai Hemdor, tidak ada yang menjaga. Bahkan
musuh yang berkemah atau berjalan-jalan di kawasan itu saja tidak
ada. Helanael terheran melihat Hemdor dari kejauhan. Kota itu
tidak seperti yang pernah ia lihat sebelumnya. Hemdor telah men-
jadi benteng besar. Kotanya itu luas, yang bagian luar, selingkaran
itu masih seperti Hemdor yang lama, hanya saja bangunannya
banyak berubah. Tembok setinggi dua setengah kilang mengitari
bagian tengah kota itu melingkar. Batu-batu dibawa masuk dalam
tembok dan ditumpuk, dibangun menjadi kota. Benteng itu ber-
tingkat tiga. Pada tingkat dua dan tiga, dikelilingi lagi tembok
setinggi dua kilang. Kotanya tidak lagi datar, namun bertumpuk
batu-batu membentuk tingkatan kota. Kota dibangun di atas kota.
Tingkat dua lingkarnya lebih kecil dari yang bawah. Begitu pula
dengan tingkat tiga lebih kecil lagi dari pada tingkat duanya. Ku-
rang lebih keadaan kota itu seperti ada kerucut ditaruh di tengah-
tengahnya.
Kota Hemdor itu lebar. Tiga kali lebih luas dari Kota Serael.
Atau dua kali lebih luas dari Kota Raziel. Tembok bentengnya tepat
di tengah dan dibangun kira-kira seluas Kota Serael. Di sanalah
semua kegiatan penduduknya berada. Tidak ada satu pun yang
melangkah lebih dari satu panahan dari kota. Mereka berdiam di
sana dan tidak mengembara ke mana-mana. Di luar tembok,
maupun di dalam temboknya. Helanael melihat bahwa kota bagian

416
luar tidak ditembok, maka ia melihat bahwa ada banyak sekali
kemungkinan ia dapat menyusup dalam kota.
Berjalanlah Helanael mengendap-endap kekumpulan orang
yang sedang berkumpul di antara rerumputan. Ia menunduk di
bawah rumput dan bersembunyi di balik kayu-kayu tumpukan
yang melimpah di Tanah Ranting. Ia berhenti dan melihat kum-
pulan orang yang adalah penduduk Hemdor. Ia memperhatikan
cara pakaian mereka dan cara mereka menyarungkan pedang.
Maka ditirunya semua itu. Ia merobek-robek kain yang ada
padanya dan mengenakan itu seperti para penduduk Kota Hemdor.
Ia memindahkan sarung pedangnya dari punggung ke pinggang
belakang dan diikat miring. Kemudian bangkitlah ia dan berjalan
santai mendekati orang-orang itu. Lalu ia berkata,
“Salam.” Orang-orang itupun membalas sapanya dan terus
saja mereka berbincang lagi. Maka tahulah Helanael bahwa ia
sudah tidak terlihat seperti Rephaiem lagi dan lebih seperti
penduduk Hemdor saat itu.
Masuklah Helanael ke dalam kota lewat pintu lama. Sebab
pintu-pintu kotanya tidak berubah tempatnya. Pada pintu kota itu
ada tulisan besar, bertuliskan: “Kota Orgoth Ujung Barat”. Itulah
nama baru yang diberikan penguasa kotanya. Helanael tidak bicara
pada siapa pun dan ia hanya berjalan-jalan berkeliling untuk
melihat-lihat keadaan kota. Sampai ia menemukan tempat bangun-
an para pejuang. Di mana ada bangunan penyimpanan senjata,
lumbung dan berbagai alat tempur ditaruh. Ia melihat benderanya
dan tidak pernah melihat bendera barisan itu. Pada benderanya ada
tulisan: “Berudha”, itulah nama barisan pimpinan Bransiel,
penguasa Tanah Ranting.
Kemudian Helanael melihat bahwa persenjataan barisan itu
ketinggalan jaman dan sudah nampak usang. Namun saat ia
melihat bentuk bangunan kota itu, tahulah ia bahwa banyak sekali
mantan Rephaiem yang menjadi penduduknya. Itu terlihat dari
bangunan dan tata kota yang rapi. Hanya saja kotanya kotor dan
banyak orang yang duduk-duduk di jalanan. Mendekatlah Helanael
untuk melihat tembok kota itu.

417
Maka dilihatnya bahwa sangat kokoh tembok itu dan batu-
batunya sangat rapi ditumpuk. Berjalanlah Helanael untuk melihat
adakah pintu untuk masuk ke sana. Berapa jauh ia menyusuri
temboknya, terlihatlah gerbangnya untuk masuk. Namun gerbang-
nya itu sangat kecil dan lagi tidak berdaun pintu. Lalu kemudian
ada penjaga pintu yang melihat Helanael berdiri mengamati pintu
gerbang. Maka datanglah penjaga pintu itu dan berkata, “Apa yang
engkau lihat di sini? Dari barisan mana engkau tercatat?” Men-
dengar penjaga pintu itu menanyai dia, berlarilah Helanael dari
sana cepat-cepat. Ia berlari melintasi kota dan ia sempat melihat ada
tiga gerbang lain yang sama di tempat berbeda. Kemudian dari sana
pergilah Helanael ke arah selatan.
Sementara itu, saat Helanael mengintai Tanah Ranting, di
Utara, Tanah Raziem, Kota Skuria. Para Agung telah berbincang
banyak di sana. Maka berkatalah Raziel,
“Baiklah sekarang kita akan pergi ke Selatan untuk meng-
hormati Seraphiem yang mengundang kita sekalian ini.” Lalu
bersiaplah para Agung untuk pergi dari sana. Saat itu para Durigo
yang ada bersama perjalanan Mililel sudah tiba di sana. Berkatalah
Raziel pada mereka,
“Mililel, persiapkan dirimu. Aku akan mengutusmu sebagai
pemimpin barisan Durigo, engkau harus mengatur barisanmu.
Durigo harus tetap mengintai dan mengawasi Tanah Utara dan
barisan Luciel. Bila ada pergerakan musuh untuk menyerang Tanah
Utara, engkau harus segera memberi peringatan pada barisan Ur-
Bagha di Tanah Uriem. Dan juga pada barisan Resara di Tanah
Kering. Supaya mereka siap untuk menghadapi serangan musuh.
Adapun engkau ini tidak terlalu dikenal, Mililel. Maka aku
akan memberi tanda padamu. Inilah cincin milikku untuk engkau
bawa. Sebagai tanda bahwa engkau adalah utusanku dan engkau-
lah benar-benar hambaku yang kuberi kuasa. Supaya mereka yang
kepadanya engkau peringatkan, mereka percaya bahwa peringatan-
mu adalah benar. Kemudian dari pada itu, berdiamlah di Skuria ini
sebagai pusatmu bekerja dan sebagai tempat utama kepemimpinan
barisan Durigo. Jangan kamu pergi mengintai lagi, sebab sekarang

418
kamu sudah menjadi yang berkuasa atas kota ini. Uruslah juga kota
ini. Aku akan menuliskan surat bagimu sebagai pernyataanku.
Tugasmu sekarang hanya menerima laporan dari Durigo.
Aku juga ingin supaya engkau memperbaiki kesalahan barisan
Durigo. Aku ingin engkau tahu di mana para Durigo berada dan
apa yang mereka awasi dan apa yang mereka intai. Setiap perkem-
bangan dari barisan Luciel harus dilaporkan padamu. Dan yang
penting-penting harus engkau laporkan itu padaku dengan surat.
Semua perincian tentang kota ini ada di mejaku. Semua pekerjaan-
ku pada kota ini yang kutinggalkan harus engkau teruskan. Sebagai
tanggungjawabmu atas kepemimpinan kota ini. Padamu hanya ada
kuasa atas para Raziem yang tercatat sebagai penduduk kota ini.
Sedang para Ammatiem yang berjaga di sini, mereka di luar kuasa-
mu dan kamu hanya dapat menghimbau mereka.” Raziel memberi-
kan pada Mililel cincinnya sebagai tanda kuasa pada Mililel.
Uriel dan Bart-Archiel memberikan perintah pada hamba-
hambanya untuk mengirim surat-surat mereka pada barisan yang
di Tanah Utara. Mereka mengatur itu semua supaya Tanah Utara
tetap berjalan seperti yang mereka inginkan. Kemudian Ammatiel
memanggil hambanya dan memerintahkan padanya, katanya,
“Pergilah ke Haruia. Panggil seluruh Drenthiriem dari sana.
Seluruh barisan itu harus berjaga di Skuria ini dan kamu harus
selalu mendengarkan himbauan dari Mililel pemimpin kota ini.
Juga bila ada serangan di Tanah Ranting, kirimlah bantuan ke sana
untuk bertempur. Aku akan mengatur kamu lagi setelah aku kem-
bali.” Lalu pergilah para Agung dari Skuria bersama-sama untuk
memenuhi undangan Mikhael.
Sementara itu keadaan di Daria sudah kembali tenang. Tiga
Rephaiem yang bertarung di depan tembok sudah menghabisi
musuh mereka. Sembilan belas penunggang serta tunggangannya
mereka bantai semua tanpa ada pengampunan. Hirnael menyisakan
satu badak pelindung. Kemudian Hirnael itu mengumpulkan sem-
bilan belas kepala musuhnya dan diikatnya itu pada leher badak
pelindung yang ia biarkan hidup. Kemudian ia naik ke atas tungga-
ngan itu dan bertunggang ke perkemahan Bath-Pometh. Saat
melihat itu, berserulah Giftael padanya, katanya,

419
“Hirnael, jangan melakukan kebodohan di saat seperti ini!
Kita harus kembali ke tembok!” Namun Hirnael menjawab,
katanya,
“Aku hanya pergi sebentar. Tunggulah di dalam kota. Aku
akan segera kembali. Katakan juga pada Erenel, supaya ia jangan
ramai bila mengetahui aku tidak kembali. Aku akan menyusulmu
segera.” Maka terdiamlah Giftael dan Evigel membiarkan Hirnael
pergi.
Lalu Giftael dan Evigel mengambil persenjataan mereka
yang dari sisa-sisa pertarungan dan mengambil juga senjata-senjata
musuh yang baik. Mereka kemudian berjalan kembali ke tembok
kota. Para Rephaiem melemparkan tali-tali pada mereka dan
memanjatlah mereka ke atas tembok. Saat sampai di atas tembok,
mereka menaruh jarahan mereka dan membagi-bagikan itu pada
para Rephaiem. Kemudian para Rephaiem mengambil itu untuk
dilebur kembali dan dijadikan senjata Rephaiem. Datanglah Erenel
ke atas tembok mendapati mereka. Saat ia melihat bahwa Hirnael
tidak ada di sana, berkatalah ia dengan geram,
“Evigel, di mana Hirnael?” Maka jawab Evigel,
“Erenel, tenanglah dahulu. Hirnael pergi dengan cepat sebe-
lum kami dapat mencegahnya. Ia membawa kepala-kepala musuh
dan bertunggang ke perkemahan musuh seorang diri.” Maka
terduduklah Erenel dan berkata,
“Apa yang ia lakukan? Akankah ia mendengarkan aku sedi-
kit saja? Pergi kamu dan susul dia! Pastikan ia kembali padaku!”
Maka terdiamlah para Rephaiem yang di sana karena Erenel itu
murka. Lalu Giftael dan Evigel turun lagi dari tembok untuk me-
nyusul Hirnael. Melihat mereka berdua pergi, turutlah juga Genael
dan Genanel menyusul turun dari tembok dan pergi juga bersama
Giftael dan Evigel.

Pada waktu itu di Kraduria, Melhuriel sedang duduk-duduk


bersama Melhunahel dan saudara-saudara Melhunahel. Berkatalah
Melhunahel,

420
“Untuk saat ini penempaan masih dapat berlanjut. Namun
untuk besok, aku rasa pekerjaan akan terhenti.” Maka berkatalah
Melhuriel,
“Bila demikian, maka kita akan menjadi api mereka. Biarlah
para Rephaiem menempa di atas tubuh para Bara-Al.” Maka terta-
walah mereka semua. Kemudian lagi kata Melhuriel,
“Bagaimana dengan roti-roti dari Rapharium?” Lalu salah
satu dari Rephaiem yang di sana berkata,
“Mungkin saat ini mereka belum tiba di Rapharium. Lagi
pula mereka juga akan mengangkut buah-buah dari Aria.” Mereka
masih terus berbincang di sana.
Tidak lama kemudian, datanglah penunggang dari arah
selatan dan masuk ke kota dengan cepat-cepat. Belum tunggangan-
nya berhenti, melompatlah penunggangnya dan berlari cepat-cepat
ke tempat Melhuriel. Ia berseru-seru saat masih di jalan-jalan kota,
katanya,
“Daria dalam serangan! Daria diserang!” Mendengar itu, ter-
kejutlah para Rephaiem yang mendengar dan mereka semua bang-
kit berdiri melihat dia yang berteriak itu. Melhuriel dan segera
bangkit melihat keluar jendela siapa yang berteriak-teriak itu. Sebab
saat itu ia ada di bangunan bertingkat dua. Saat dilihatnya hamba
itu berlari ke arahnya, berkatalah ia,
“Tenanglah dahulu, saudara!” Maka berhentilah Rephai itu
berlari dan melihat pada Melhuriel dan berseru,
“Melhuriel, syukur pada Yang Terang engkau ada di sini.
Mari turunlah, ini sangat gawat!” Lalu kata Melhuriel,
“Atur dahulu apimu itu, saudara! Lihatlah tubuhmu terba-
kar seperti kayu. Tenangkan dirimu dan dinginkan tubuhmu!”
Kemudian turunlah Melhuriel bersama para pemimpin kota yang
ada bersamanya di sana.
Kemudian Rephai yang dari Daria itu diperintahkan untuk
masuk. Lalu kata Melhuriel,
“Tenanglah dan katakan dengan jelas. Apa yang terjadi di
Daria?” Lalu hamba itu duduk dan ia berkata,
“Di Daria, Melhuriel. Mereka memanggil bantuan pada
Ardur. Barisan Bath-Pometh datang ke tembok kota sebelah barat.

421
Barisan yang sangat besar beserta para penunggangnya. Mereka
tidak datang sendirian, Melhuriel. Legiun dan Ranega ada bersama
mereka. Dari Derie mereka turun menyerang Daria.” Kemudian
berkatalah Melhuriel,
“Pergi dan katakan ini pada pemimpin Ariar! Aku akan
menjawab Daria!” Kemudian pergilah lagi hamba itu dari sana.
Lalu Melhunahel berkata,
“Barisan musuh terlalu besar, saudaraku. Daria tidak akan
bertahan sekalipun kita pergi ke sana. Saat kita tiba, kota itu sudah
berselimutkan asap dan ribuan tubuh hancur. Seharusnya mereka
berlari ke Durie saja.” Kemudian berkatalah Melhuriel,
“Aku kenal siapa yang mempertahankan kota itu, Melhu-
nahel. Engkau juga tahu Rephaiem dari Daria itu seperti apa. Erenel
dan saudaranya itu tidak akan melepaskan Daria begitu saja.
Apalagi mereka ini dipercaya oleh Helanael dan bila sesuatu terjadi
pada Daria, merekalah yang akan menanggung akibatnya. Mereka
tidak akan meninggalkan kota itu. Aku akan tetap pergi ke sana.”
Kemudian berkatalah Melhunahel,
“Memang seharusnya Daria tidak rebut bila Derie tidak juga
direbut. Kota itu tidak akan bertahan bila berdiri sendiri. Musuh
dapat menyerang kapan saja. Bukan mereka yang kuragukan,
Melhuriel. Namun selama Derie masih dalam kuasa musuh, Daria
juga tidak dapat bertahan. Aku akan pergi menjawab mereka bersa-
ma barisan dari Ariar. Hailel akan tentu akan menjawab Daria.
Engkau tinggallah di sini dan laksanakanlah perintah tuan besar
Raphael. Pergilah ke Gruined untuk melakukan penukaran. Aku
yang akan pergi ke Daria.” Lalu kata Melhuriel,
“Kita akan pergi bersama. Segera beri kabar pada tuan
Raphael. Berita ini harus segera sampai pada tuan Raphael. Kita
harus bertindak cepat.”
Kemudian datanglah para pemimpin barisan yang berke-
mah di sebelah utara kota. Mereka datang pada Melhuriel dan
berkata,
“Melhunahel, kami sudah mendengar tentang Daria. Bagai-
mana suaramu? Akankah Ardur menjawab?” Kemudian berkatalah
Melhunahel,

422
“Ardur tidak akan menjawab panggilan itu. Barisanku yang
akan pergi bersama barisan dari Ariar. Terlalu bahaya juga bila
kamu meninggalkan Ardur. Kota ini harus tetap dalam penjagaan
seperti kata tuan Raphael.” Kemudian lagi kata Melhunahel, “Mel-
huriel, aku adalah pemimpin kota ini dan bagaimana pun juga, saat
ini engkau harus mendengarkan aku. Tinggallah di sini dan urus
kota ini dan juga pertukarannya. Aku yang akan pergi ke Daria.”
Kemudian Melhuriel terdiam. Lalu ia berkata,
“Bawa barisanku bersamamu, Melhunahel. Aku akan ting-
gal di sini. Bawalah cincin dari tuan Raphael ini. Aku memberikan
kepercayaan tuan Raphael padamu. Tulis surat pada Ariar supaya
mereka mengirim barisan ke Durie dan menjaga kota itu. Bila Daria
tidak dapat bertahan, jalan menuju Durie akan terbuka lebar bagi
musuh. Kota itu juga harus mendapat pertahanan yang siap. Bila
Daria tidak berhasil bertahan, Melhunahel, kembalilah! Jangan
engkau berusaha merebutnya kembali.” Maka dari sana pergilah
segera para pemimpin barisan dan dari perkemahan-perkemahan,
barisan-barisan Rephairiem dibangkitkan.
Berangkat dari Ardur setiap pejuang barisan Melhuriel dan
barisan Melhunahel juga beberapa barisan yang diperbantukan.
Mereka bertunggang dan berbaris ke sebelah barat. Di sana mereka
berharap akan bertemu dengan barisan yang dari Ariar lalu pergi
bersama-sama ke Daria. Melhuriel memimpin barisan sebanyak dua
ribu barisan banyaknya yang keluar dari Kraduria.
Sementara itu berita tentang Daria telah sampai ke mana-
mana dengan cepat. Ariar telah mendengar beritanya. Pada saat itu
adalah Hailel yang memimpin Ariar. Segera ia bangkit dan berkata
pada barisannya,
“Setiap Rephairiem yang ada di kota ini, bangkit dan berba-
ris segera ke Daria! Saudara-saudara kita memanggil kita untuk
bertempur bersama!” Dari Ariar bangkitlah dua ratus ribu barisan
Rephairiem berjalan dan bertunggang ke Daria. Sementara itu dari
perkemahan Ariarum-Nor, bangkit para pemimpin barisan dan
pergi juga ke Daria untuk menjawab panggilan itu. Dari Ariar juga,
pergi enam ribu barisan ke Durie untuk mempersiapkan kota itu.

423
Sementara saat itu, Hirnael sudah tiba di depan perkemahan
Bath-Pometh dan para Bath-Pometh di sana bangkit melihat Hirnael
duduk di atas tunggangannya. Pedang besar yang ada di punggung
Hirnael dan tunggangannya membuat para Bath-Pometh menerta-
wakan dia karena besar pedang dan kerbau itu tidak seimbang
dengan besar tubuh Hirnael. Sedang para Bath-Pometh itu bertubuh
besar-besar. Mendengar bahwa ada Rephaiem datang ke sana, kelu-
arlah pula Eftiel dan Gurim-Mahel dari tenda mereka untuk melihat
juga. Kemudian Marphiel juga ada di sana bersama mereka.
Hirnael kemudian turun dari tunggangannya dan ia mele-
paskan kepala-kepala yang terikat di badak pelindung itu. Sambil
melepas ikatan-ikatannya, berserulah Hirnael pada barisan Bath-
Pometh di depannya, katanya,
“Hai, juru bicara Bath-Pometh! Keluarlah dan lihat ini. Aku
membawakan hadiah bagimu yang ingin mengetahui kekuatan
Rephaiem Daria!” Eftiel melihat Hirnael itu dan ia tahu bahwa para
pengawal juru bicaranya telah dibantai habis. Kemudian Eftiel
memanggil juru bicaranya dan berkata, “Siapa dia itu?” Kemudian
kata juru bicaranya, “Aku tidak tahu tuan. Sungguh aku tidak tahu.
Aku melihat ia melompat dari tembok saat aku pergi. Dia bersama
dua kawannya itu melawan tujuh belas pengawalku.” Lalu Eftiel
menghempaskan juru bicarannya itu dan berkata, “Tahukah kamu
bahwa sembilan belas pengawalmu itu adalah pejuang pilihan! Bila
mereka itu terbantai oleh tiga Rephaiem, itu memalukan bagi Bath-
Pometh!”
Lalu Eftiel pergi ke depan perkemahan dan mengamati
Hirnael yang terus berteriak-teriak mengomel dan mengoloki Bath-
Pometh. Hirnael terus saja berbicara meninggikan kekuatan Daria
dan merendahkan kekuatan Bath-Pometh. Kata Hirnael,
“Jadi ini barisan terkuat dari selatan itu? Bersiaplah jika
demikian kamu yang menduduki Kota Raphael, kami akan datang
padamu setelah ini!” Lalu berserulah Eftiel, “Siapa namamu
Rephai? Hingga engkau berani berbicara pada kami?” Kemudian
menolehlah Hirnael melihat Eftiel. Lalu Hirnael itu tertawa sambil
terus melepaskan kepala-kepala yang terikat di tunggangannya.
Lalu kata Hirnael,

424
“Bukankah engkau ini pemimpin Bath-Pometh, hah Eftiel?
Aku tahu barisanmu terbantai di celah-celah bukit. Tubuh mereka
masih ada di sana, ngomong-ngomong. Engkau ini sudah pernah
berusaha merebut Daria dan gagal. Mengapa engkau hendak
mengulangnya lagi? Apa mungkin engkau hendak menunjukan
pada teman-teman kecilmu tentang Daria? Sekalipun Legiun dan
Renaga bersamamu, Daria tidak akan gentar padamu! Datanglah!
Aku menunggumu, Eftiel!” Kemudian Hirnael berpaling dengan
kepala para Bath-Pometh diikat menjadi satu. Kemudian Hirnael
melemparkan itu pada Eftiel dan berkata,
“Lihatlah! Hambamu berjalan-jalan ke Daria untuk melihat.
Aku sudah berkata pada mereka untuk berpamit padamu, sebab
aku tahu bahwa mereka ini tidak berpamit padamu. Bila mereka
pamit padamu untuk ke Daria, tentulah engkau melarang mereka
karena engkau tahu betapa kuatnya pejuang di Tanah Barat ini. Ini
ambillah mereka kembali, lain kali jangan biarkan mereka ke
Daria!”
Eftiel melihat kepala-kepala hambanya itu. Sedang ia tahu
bahwa kepala-kepala itu adalah para pengawal juru bicaranya. Para
pengawal itu adalah pejuang pilihan. Hal itu menjadi penghinaan
terbesar dari Rephaiem pada Bath-Pometh. Kemudian Gurim-
Mahel memegangi Eftiel dan berkata, “Tenangkan dirimu, Eftiel.
Biarkan Rephai itu berbicara sesukanya. Setelah ini kita akan
meminum anggur di Daria dari tulang-tulang mereka.” Kemudian
Gurim-Mahel berseru pada Hirnael katanya, “Siapa namamu, peju-
ang Daria?” Kemudian Hirnael mencabut pedang besarnya dan
berseru di sana, katanya,
“Aku adalah Hirnael! Bara-Al dari Barat, pejuang dari Daria.
Adakah lagi di antara kamu ini yang sudah bosan dengan kepala-
nya? Mari aku bantu untuk melepaskan itu dari padamu!” Geram-
lah Eftiel karena Hirnael terus mengolok barisannya. Sedang para
Bath-Pometh hanya terdiam tidak berbuat apa-apa karena mereka
melihat kepala-kepala terserak di depan perkemahan mereka.
Lalu Eftiel maju ke luar perkemahan. Gurim-Mahel meme-
ganginya untuk menahan, namun tetap saja Eftiel itu berjalan pada
Hirnael. Kata Gurim-Mahel, “Pedangmu tidak harus menjadi kotor

425
karena Rephai ini, saudaraku. Tenanglah dan perintahkan saja
pejuangmu untuk membantai dia!” Namun kata Eftiel, “Dia ini
menghina barisan Bath-Pometh dengan berani-berani berkata di
hadapanku. Ia telah membantai hambaku dengan keji dan mem-
buang kepala-kepala mereka pada kakiku!”
Sedang Gurim-Mahel menahan-nahan Eftiel dan Hirnael
berdiri tetap dengan pedang di tangannya, datanglah empat Rephai
lain ke sana. Itulah Giftael, Evigel, Ginael dan Ginanel yang menyu-
sul Hirnael ke sana. Kemudian berhentilah Eftiel dan berkata, “Jadi
engkau tidak berani datang sendiri ke sini, Rephai!” Kemudian
Hirnael itu menoleh ke belakang dan melihat bahwa kawan-
kawannya datang ke sana. Lalu ia melihat Eftiel lagi dan berkata,
“Tidak berani, katamu? Aku datang sendiri padamu, Eftiel!
Bahkan ke depan seluruh barisan busukmu ini, aku datang sendiri
dan tidak ada satu pun dari kamu yang berusaha untuk menutup
mulutku saat aku menghina-hina barisanmu! Mereka itu kawan-
kawanku yang menyusul. Lihatlah juga dirimu itu, Eftiel! Engkau
sendiri tidak berani menampakkan dirimu pada Daria dan malah
mengirim juru bicara dengan pengawal! Lihat juga kawanmu yang
menahanmu itu, lihatlah! Aku tahu siapa dia dengan melihat wajah-
nya saja. Namanya sudah menyebar di Tanah Barat dan setiap
Rephaiem tahu bahwa Tangan Allah telah menamparnya sampai
remuk wajahnya. Saat ini aku melihat ia dan rupanya lebih buruk
dari pada yang kudengar! Mari, melangkahlah sekali lagi dan akan
kuselesaikan apa yang telah dimulai oleh tuanku itu! Akan kukupas
wajahmu itu, Gurim-Mahel! Barangkali engkau akan tampak lebih
tampan!”
Lalu datanglah kawan-kawan Hirnael dan memegangi
Hirnael. Kemudian kata Evigel,
“Sudahlah, Hirnael. Sudah, tenanglah! Kita akan bertemu
mereka dalam pertempuran. Saudaramu mengutus kami untuk
menjemputmu. Berhenti membuat repot kami!” Melihat para
Rephaiem itu datang, barulah para Bath-Pometh mulai melangkah
keluar pagar perkemahan mereka. Kemudian majulah Ginael dan
berseru di depan barisan Bath-Pometh yang nampak murka itu,
katanya,

426
“Baiklah, aku harap kamu sekalian sudah mengambil pela-
jaran dari sembilan belas kepala itu. Tanyakan saja pada mereka
apa yang terjadi, supaya kamu tidak berani-berani lagi melangkah
ke Daria. Kita punya pertempuran yang harus dilakukan. Kuharap
kamu sekalian tidak menghadiri pertempurannya dan pulang saja.
Kami akan datang padamu di Kota Raphael nanti.” Lalu Gurim-
Mahel menahan Eftiel dan seluruh barisan Bath-Pometh itu. Lalu
pergilah para Rephaiem itu dari sana kembali ke Daria.
Kemudian geramlah Eftiel pada Gurim-Mahel yang mena-
hannya itu. Katanya, “Apa yang engkau lakukan ini? Lihatlah me-
reka pergi dari hadapan kita begitu saja! Setelah mereka mengoloki
barisanku, di depan mataku sendiri.” Namun Gurim-Mahel mem-
bawa Eftiel kembali ke dalam perkemahan dan berkata, “Mereka itu
telah membantai pengawal juru bicaramu dengan pertarungan
yang benar. Maka bila memang engkau hendak melawan mereka,
panggillah mereka sebelum mereka jauh. Namun harus engkau
menghadapinya sendiri dan jangan bawa barisanmu. Lagi pula
masih ada pertempuran yang harus kita jalani. Nanti pun engkau
akan berjumpa mereka di medan pertempuran. Di sana baru bantai-
lah mereka!” Maka terdiamlah Eftiel itu dan ia tetap geram pada
Gurim-Mahel.
Maka kemudian bangkitlah Gurim-Mahel melihat barisan
Bath-Pometh yang berkerumun di sana. Lalu katanya, “Apa yang
kamu lihat? Cepat atur barisanmu dan angkat senjatamu! Kita ke
Daria sekarang!” Lalu pergilah Gurim-Mahel pada perkemahan
Legiun di belakang perkemahan Bath-Pometh dan ia memanggil
semua barisannya untuk bersiap bertempur. Kata Gurim-Mahel,
“Mari kita mulai pertempurannya, anak-anak! Bangkitlah sekarang,
aku bukanlah Gissel, aku adalah pemimpinmu yang sesungguhnya!
Rebut Daria untuk menjadi tempatmu berdiam!” Bersiaplah seluruh
barisan itu untuk berangkat dari sana.
Sedang setelah itu, para Rephaiem sudah sampai di tembok
Daria dan seluruh barisan yang di Daria sudah menanti mereka.
Erenel duduk di atas tembok menanti saudaranya itu dibawa kem-
bali. Kemudian memanjatlah para Rephaiem itu ke atas tembok
setelah mereka menjemput Hirnael kembali dari perkemahan

427
musuh. Saat masih Hirnael itu memanjat puncak tembok, Erenel
melihatnya dan berkata,
“Berapa kali lagi engkau akan menantang kehancuranmu
sendiri, saudaraku? Aku sudah berkata padamu dan engkau tidak
menghiraukannya. Bila memang engkau ini merasa kuat, baiklah
aku akan melepasmu sekarang dan aku akan menarik barisanku
dari sini. Hadapilah musuhmu itu seorang diri!” Hirnael itu hanya
terdiam saja. Sedang para Rephaiem yang di atas tembok memban-
tu Hirnael berdiri.
Kemudian para Rephaiem itu menepuk-nepuk pundak
Hirnael dan berkata pelan,
“Pertarungan hebat, Hirnael!” Banyak dari para Rephaiem
yang menyambut Hirnael kembali saat itu. Kemudian Erenel bang-
kit dan berpaling dari sana. Ia turun dari tembok untuk kembali ke
dalam kota dan berkata,
“Persiapkan dirimu! Musuh akan datang setelah ini. Sebaik-
nya engkau siap, Hirnael. Mereka akan sangat menginginkan
kepalamu itu. Pakai pelindung kepalamu! Simpan saja pedangmu
itu, dan pakailah pedang yang seukuran dengan tubuhmu. Dalam
pertempuran yang ramai, pedangmu itu malah akan melukai
barisanmu sendiri.” Kemudian pergilah Erenel dari sana.
Sementara itu Runanel, pemimpin barisan Jhudriem yang
ada di sana, datang pada Hirnael. Kemudian katanya,
“Aku menyaksikan pertarunganmu dan sangat hebat eng-
kau bertarung, saudara. Aku Runanel, pemimpin para Jhudriem di
sini. Kiranya aku mendapat kehormatan untuk bertempur bersa-
mamu di sini, di Daria.” Kemudian mereka saling menyapa dan
berkenalan di sana. Tidak lama kemudian barisan musuh nampak
dari kejauhan berbaris mendekat ke Daria. Berkatalah Evigel yang
melihat itu pertama kali, katanya,
“Mereka sudah datang. Kita akan segera memulainya.
Persiapkan barisan!” Lalu kemudian para Rephaiem yang duduk-
duduk di atas dan sekitar tembok segera bangkit dan mereka
mempersiapkan diri lagi.
Pada waktu itu Erenel ada di rumah kerja yang tidak jauh
dari tembok. Ia berkumpul dengan para pemimpin barisan di sana.

428
Mereka berbincang banyak untuk persiapan menghadapi musuh
yang banyak. Kemudian berkatalah salah satu pemimpin barisan
itu, katanya,
“Barisanku ada di sini saat tuan besar Raphael memerin-
tahkan untuk pembangunan tembok ini. Tembok kita sangat kuat
dan tinggi, tidak ada Bath-Pometh yang dapat memanjatnya dari
luar. Kita akan membantai mereka sebelum mereka melangkah
masuk!” Kemudian ramailah para pemimpin itu karena mereka
percaya akan menang. Kemudian yang lain berkata,
“Aku ada di perbatasan Derie saat melihat Bath-Pometh itu
melanggar batas tanah Daria. Mereka membawa alat-alat besar dan
pendobrak, saudara. Aku peringatkan supaya kita jangan terlalu
berbangga dengan tembok ini. Kita harus kuat untuk memperta-
hankannya.” Kemudian datanglah Genael ke ruangan itu dan
berkata,
“Erenel, mereka datang. Barisan musuh sudah terlihat dari
atas tembok.” Kemudian bangkitlah Erenel dan berkata,
“Kamu sekalian mendengar itu, saudara-saudara. Musuh
kita sudah dekat dan pertempuran tidak akan terhindarkan. Aku
ingin setiap barisan benar-benar bekerja dengan baik dalam pertem-
puran ini. Persiapkan semua Botcilesh dan peluru-pelurunya!”
Maka berlarianlah para pemimpin barisan itu pada barisan mereka
masing-masing dan bersiap untuk pertempuran.
Mendekatalah Erenel pada Genael itu. Ia menarik Genael ke
sudut ruangan dan ia berkata,
“Bagaimana dengan saudara-saudara dari sebelah utara?
Adakah Melhunahel menjawab panggilan kita?” Kemudian kata
Genael, “Tidak ada jawaban, Erenel. Mereka yang pergi membawa
kabar dari kita juga tidak kembali lagi ke kota ini.” Lalu kata Erenel,
“Hailel, adakah jawaban darinya? Kita tidak dapat bertempur
sendiri di sini, Genael.” Lalu kata Genael,
“Tidak ada jawaban, Erenel. Sudah kukatakan padamu,
mereka yang diutus untuk memanggil saudara-saudara itu juga
tidak kembali pada kita. Hanya ada jawaban dari Durie. Mereka
siap menunggu kita di sana, bila kita memutuskan untuk mundur.
Tidak satu pun dari tua-tua di sana yang mengirim barisan pada

429
kita saat ini. Sementara ini kita sendiri di sini. Namun percayalah
padaku, Erenel. Melhuriel saat ini ada di Kraduria, ia tentu akan
menjawab kita saat mendengar kabar dari Daria ini. Kita tidak akan
sendiri.” Kemudian Erenel itu terdiam dan terduduk. Katanya,
“Aku harap saudara-saudara kita masih mengingat pada
kita. Mereka seharusnya akan menjawab panggilan kita. Bila me-
mang mereka tidak menjawab, maka kita harus bertempur sendiri
di sini, Genael.” Kemudian kata Genael, “Kita tidak sendiri, Erenel.
Jhudriem dan Baghaniem ada berbaris bersama kita saat ini. Pedang
dan tombak mereka ada pada pihak kita, mendukung pertahanan
Daria ini.” Kemudian Genael hendak pergi dari sana. Namun
Erenel menariknya dan berkata,
“Mengenai ini, jangan engkau katakan pada hamba-hamba
yang lain. Supaya mereka tidak takut dalam bertempur. Seluruh
barisan mengharapkan jawaban dari Ardur dan mereka menunggu
mereka. Jangan katakan pada yang lain bahwa belum ada jawaban
dari Ardur.”
Kemudian keluarlah mereka dari rumah kerja itu dan me-
reka berjalan pada barisan mereka. Di sana, Erenel dan saudaranya
dan kawan-kawannya itu memimpin enam ribu barisan, barisan
Helanael. Kemudian ada pula barisan Helanael yang di Daria
namun bukan dalam pimpinan mereka. Rephairiem yang ada di
sana saat itu, jumlahnya tiga ratus ribu barisan. Kemudian ada
delapan puluh barisan Jhudriem dan sepuluh ribu barisan Bagha-
niem. Jegaduriem yang ada di sana ada empat belas ribu barisan
tersebar di barisan-barisan. Adapun pada waktu itu ada berbaris
dua ratus ribu barisan banyaknya yang di belakang tembok.
Kemudian barisan yang lain ada di tengah kota dan di luar tembok
sebelah timur. Mereka menjadi penyokong pertempuran.
Pada saat para Rephaiem itu sudah berbaris pada tempat
mereka dan senjata-senjata sudah dipersiapkan, datanglah barisan
Legiun dari arah barat. Hirnael yang di atas tembok melihat itu dan
ia berkata pada Rephaiem yang di dekatnya, katanya,
“Mereka ini Legiun. Bath-Pometh tidak seperti mereka.
Tentu barisan ini yang dikirim untuk pembukaan dan percobaan.”
Kemudian berkatalah Runanel,

430
“Baguslah jika demikian. Aku sudah mendengar banyak
tentang Legiun ini dan ini kesempatan bagiku untuk berhadapan
dengan mereka. Hirnael, bukankah Legiun itu tidak memiliki
pengalaman dengan Botcilesh? Tentu mereka tidak tahu kekuatan
senjata Rephaiem ini.” Lalu tertawalah mereka di sana dan kata
Hirnael,
“Senang dapat bertempur bersamamu, Runanael dari Timur.
Aku akan mengingatmu dalam pertempuran ini dan setelah
pertempuran ini.” Lalu kata Runanel, “Di mana saudaramu itu?
Adakah ia akan melewatkan pembukaan pertempuran?” Kemudian
kata Hirnael,
“Nampaknya Erenel akan memberikan Legiun ini pada kita,
Runanel. Semakin banyak untuk kita jika demikian.” Tertawa
mereka sedang musuh berbaris di depan mata mereka.
Erenel sedang mengatur barisannya di bawah tembok. Ia
sudah dapat mendengar keramaian suara barisan musuh di depan
tembok. Juga ia melihat di atas tembok, para Rephaiem sudah siap
untuk bertempur. Kemudian datanglah Mantael, pemimpin Jegadu-
riem di Daria pada Erenel. Kemudian kata Mantael,
“Ada barisan datang dari sebelah barat, Erenel. Mereka dari
perkemahan di tanah antara Daria dan Ardur. Mereka yang per-
tama mendengar panggilanmu telah menjawab.” Kemudian jawab
Erenel,
“Sungguh engkau telah melegakan aku, Mantael. Aku sudah
menantikan saudara-saudara yang lain. Rephaiem tidak akan
meninggalkan saudaranya dalam pertempuran.” Lalu kata Mantael,
“Marilah pergi dahulu bersamaku menyambut mereka.
Mereka sudah masuk dalam kota dan sudah di tengah kota.” Maka
pergilah Erenel mengikuti Mantael untuk menemui Rephairiem
yang datang ke Daria itu.
Pada waktu itu para Rephaiem sudah menyambut
Rephaiem yang datang itu. Keramaian terjadi di sana sebab para
Rephaiem saling bertemu dan kerabat dan kawan saling bertemu
dan saudara saling berpeluk di sana saat mereka bertemu di Daria.
Datanglah Erenel ke sana dan melihat para Rephaiem yang menja-
wab panggilannya. Kemudian ia melihat pemimpin barisan itu dan

431
Erenel mengenalinya. Maka datanglah Erenel menghampiri pemim-
pin barisan itu dan berkata,
“Salam Alkomnihel, saudaraku. Aku memberi hormat pada-
mu yang telah menjawab kami di Daria ini. Engkaulah yang
pertama menjawab aku di sini, Alkomnihel.” Kemudian pemimpin
barisan itu, yang disebut Alkomnihel menjawab, “Erenel, saudara-
ku. Aku mendengar bahwa Helanael mendapat tugas sehingga
engkau harus menggantikannya. Aku melihat bahwa engkau sangat
bisa mengatur kota ini. Aku datang pertama mungkin karena
memang aku yang pertama mendengar kabar dari Daria ini.
Lagipula perkemahanku tidak jauh dari sini. Aku tidak keberatan
sama sekali untuk bertempur bersamamu. Di Daria ini, rumpun
Rapuan-Al juga penduduk pertama di kota ini. Dahulu rumpunku
menggali batu dengan hebat hingga membuka tanah lebar yang
menjadi Kota Daria.” Kemudian jawab Erenel,
“Selamat datang kembali jika demikian, Alkomnihel. Legiun
sudah berbaris di tembok barat. Istirahatkan barisanmu di tengah
kota. Pertempuran masih belum dimulai saat ini.” Kemudian kata
Alkomnihel, “Lalu mengapa engkau masih di sini? Cepat pergi ke
sana dan pimpin barisanmu! Bila nanti ada yang harus kubantu,
panggil saja aku atau kirim utusanmu.” Maka kemudian Erenel
pergi lagi dari sana kembali ke tembok sebelah barat.
Hirnael ada di atas tembok bersama kerabat-kerabatnya dan
Runanel, pemimpin barisan Jhudriem itu. Mereka hanya mengamati
barisan Legiun yang mengatur barisan di depan tembok. Sedang
barisan Legiun itu kebingungan mengatur barisan di sana. Gurim-
Mahel banyak sekali mengganti rencananya dan mengganti aturan
barisannya. Karena Gurim-Mahel melihat tembok Daria itu besar
dan tinggi. Ia tidak tahu harus menyerang dari mana. Sedang
barisan Legiun itu mondar mandir di sana mengatur barisan
mereka. Lalu berkatalah Hirnael,
“Genanel, mari kita lepaskan Botcilesh pada mereka. Supaya
mereka tidak berjalan ke sana ke mari di depan kita seperti ini.”
Lalu jawab Genanel, “Sabarlah dahulu, Hirnael. Kita tunggu Erenel.
Kita harus menaruh hormat padanya sebagai pemimpin atas kota
ini.” Maka terdiamlah Hirnael.

432
Kemudian datanglah Erenel ke sana. Ia melihat keramaian
barisan Legiun di depan tembok dan ia terheran akan banyaknya
barisan musuh itu. Kemudian berkatalah Erenel, “Bagaimana
keadaannya, saudaraku? Berapa banyak yang harus kita hadapi?”
Lalu kata Hirnael,
“Mereka masih bingung mengatur barisan, Erenel. Mari kita
hujani mereka dengan Botcilesh saja.” Lalu kata Giftael, “Mereka ini
kira-kira dua ratus ribu barisan. Ada lima puluh ribu lagi di bela-
kang sana. Bath-Pometh juga belum nampak. Kemudian alat-alat
besar di antara para Legiun itu, kita belum tahu bagaimana alat itu
dapat bekerja. Mungkin mereka meniru senjata-senjata berat kita.”
Lalu teringatlah Erenel dengan pertempuran yang pernah terjadi di
Daria. Maka kata Erenel,
“Perhatikan pepohonan sebelah utara, saudaraku. Awasi
pepohonan itu. Bath-Pometh cukup berpengalaman di pepohonan
ini.” Maka kemudian para Rephaiem itu mengamati pepohonannya
dan tidak melihat apa-apa selain daun-daun dan batang pohon.
Namun Runanel melihat baik-baik ke pepohonan itu dan ia
mengamati sekali. Matanya dapat melihat dari celah-celah kecil
antara pepohonan. Maka kata Runanel,
“Mungkin kamu tidak melihatnya. Benar kata Erenel. Me-
reka berbaris di balik pohon-pohon ini. Mereka dapat menyerang
dari sebelah utara dengan tiba-tiba bila kita keluar dari tembok.”
Kemudian kata Erenel,
“Bagaimana engkau dapat melihatnya, Runanel? Mungkin
Legiun ini hanya beraksi di depan kita untuk memancing kita ke-
luar dari tembok. Kemudian Bath-Pometh akan memukul kita dari
sebelah utara. Baiklah jika demikian. Hirnael, hujani pepohonan itu
dengan Botcilesh!” Maka kemudian bergeraklah Hirnael segera
memerintahkan barisan pemegang Botcilesh. Sementara Runanel
berkata,
“Tentu saja aku dapat melihatnya. Aku adalah malaikat
Timur yang biasa hidup di padang-padang rumput yang luas dan
nampak tidak bertepi. Aku terbiasa melihat jauh dan mungkin Yang
Sulung telah memberi aku mata untuk melihat jarak jauh. Aku
dapat melihat dari celah-celah kecil antara daun-daun pohon dan

433
jelas aku melihat mereka berbaris di sana.” Lalu Erenel menepuk
pundak Runanel dan berkata,
“Baiklah beri aku bantuan, Runanel dari Timur. Katakan
pada para Rephaiem ini, di mana tepatnya Bath-Pometh itu berdiri.
Supaya mereka dapat membidik dengan tepat ke arah mereka.”
Pergilah Runanel itu.
Sementara itu Gurim-Mahel sudah memutuskan bagaimana
rencananya dan barisannya sudah berbaris tetap di depan tembok.
Keheningan terjadi di sana. Rephairiem berhadapan dengan Legiun
dan juga barisan Bath-Pometh yang tersembunyi di pepohonan.
Lalu berserulah Gurim-Mahel di sana, katanya, “Erenel, pemimpin
Daria! Aku mengerti betapa kerasnya engkau untuk mempertahan-
kan kota ini. Lihatlah sekarang barisanku datang padamu sebagai
pembukaan pertempuran. Beruntunglah engkau bukan Bath-
Pometh yang datang padamu saat ini. Baik sekarang aku mem-
berikan kesempatan terakhir padamu untuk meninggalkan kota
ini.” Lalu kemudian berserulah Erenel dari atas tembok, katanya,
“Gurim-Mahel! Aku sudah mendengar tentangmu. Bagai-
mana rasanya tangan tuanku yang meremukkan wajahmu? Akhir-
nya aku memiliki kesempatan untuk melihatmu secara langsung,
muka dengan muka, sekalipun dari kejauhan seperti ini. Bagaimana
kalau aku berkata padamu, bila engkau menginginkan kota ini,
datang dan usirlah kami dari sini! Dan mengenai Bath-Pometh, aku
sendiri yang akan menyampaikan salamku pada mereka!” Kemu-
dian terdengar suara dari balik tembok, berseru memerintahkan
penembakan Botcilesh.
Dari balik tembok, melayanglah peluru-peluru Botcilesh,
sangat banyak sekali. Sebab para Rephaiem menembakan Botcilesh
itu dari atas dan balik tembok. Bahkan ada Botcilesh yang ditaruh
di atas bangunan-bangunan. Maka sangat banyak sekali peluru
yang ditembakan saat itu. Gurim-Mahel melihat peluru-peluru itu
melayang, maka berkatalah dia, “Bersiap untuk melompat! Itu sen-
jata mereka yang dikatakan para Bath-Pometh!” Maka para Legiun
itu bersiap untuk menanggapi peluru-peluru itu.
Namun rupanya peluru itu berbelok dan tidak mengarah
pada mereka. Sedang para Bath-Pometh di balik pepohonan, tidak

434
dapat melihat peluru-peluru itu melayang di atas. Mereka tidak
melihat bahwa Botcilesh dibidikkan pada mereka. Mendaratlah
peluru-peluru yang banyak itu menembus daun-daun pepohonan
dan meluncur di tanah. Banyak juga dari peluru itu yang meng-
hantam akar pohon, namun tetap meluncur. Terpukullah barisan
Bath-Pometh di pepohonan itu dan terdengar teriakan kesakitan
dari mereka. Lalu tertawalah para Rephaiem di atas tembok melihat
itu dan mereka bersorak-sorai. Berserulah Hirnael,
“Bagaimana dengan itu, Eftiel! Apakah engkau menerima
salam dari kami?”
Terheranlah barisan musuh melihat itu. Mereka tidak tahu
bahwa para Rephaiem dapat melihat barisan Bath-Pometh berbaris
di balik pepohonan rindang. Padahal Runanellah yang melihat
barisan itu. Kemudian geramlah Eftiel melihat barisannya terpukul
lebih awal dan rencana Gurim-Mahel untuk menyembunyikan
barisan Bath-Pometh itu gagal. Bertungganglah Eftiel pada Gurim-
Mahel dan berkata, “Barisanku malah terpukul, Gurim-Mahel.
Mereka melihat barisanku di sana. Katamu mereka akan turun dari
tembok dan aku tinggal memukul mereka dari samping. Sekarang
bertanggungjawablah atas kesakitan barisanku. Serang tembok itu!”
Maka geramlah Gurim-Mahel. Ia melihat rencanannya gagal dan
saudaranya itu malah menyalahkan dia sepenuhnya.
Gurim-Mahel telah mempersiapkan peralatannya untuk per-
tempuran. Selama Gurim-Mahel berdiam di Kota Raphael bersama
Eftiel, telah membetuk alat-alat tempur. Mereka membentuk pen-
dobrak-pendobrak gerbang. Waktu pertempuran di Tanah Altar,
Gurim-Mahel sudah berpengalaman dalam pendobrakkan Gerbang
Yehu. Maka Gurim-Mahel telah menyempurnakan alat dobraknya
itu.
Dari barisan Legiun, ditarik berbagai alat-alat besar mereka
itu. Alat itu berbentuk seperti rangka bangunan dari kayu-kayu dan
di bawahnya ada seretan seperti kereta tarik namun dapat bergerak
juga ke kiri dan kanan. Tidak berdiding atau beratap. Bentuknya
ada kayu-kayu dikait-kaitkan membentuk segi tiga yang tinggi
berbaris tiga dan saling terkait. Di tengah kayu-kayu itu ada kayu
besar menggantung pada kawat-kawat dan rantai-rantai yang dapat

435
diatur ketinggiannya. Ujung kayunya terdapat batu besar yang
dipasangkan. Batunya berukir berbentuk kepala kerbau dengan
tanduk-tanduk. Masing-masing pendobrak, ukirannya berbeda dan
saat itu di antara barisan Legiun ada lima pendobrak besar. Di bela-
kang kayu pendobraknya banyak tali-tali untuk menarik pendobrak
itu. Bila sudah diatur ketinggiannya, ditariklah pendobrak itu dan
dikunci dengan pengait.
Cara kerjanya, pada dobrakan pertama para Legiun itu akan
mendorong pendobrak-pendobrak itu beramai-ramai sampai
meluncur dengan cepat. Kemudian saat sudah sampai mendekat
pada gerbang, Legiun akan melepaskannya meluncur dan melepas
pengaitnya sehingga meluncurlah juga pendobraknya. Hantaman
keras dapat ditimbulkan dari alat itu sehingga benar-benar alat itu
akan mendobrak dengan hebat. Setelah dobrakan pertama, para
Legiun tidak akan mendorong lagi alat itu, namun hanya akan
menarik pendobrak-pendobraknya dan melepaskannya. Itulah alat
yang dibuat oleh Gurim-Mahel dan Eftiel, selama mereka berdiam
di Tanah Rephaiem Selatan, Kota Raphael.
Maka kemudian berkatalah Erenel saat melihat alat itu
mulai didorong mendekat ke tembok, katanya,
“Lumpuhkan alat mereka itu! Jatuhkan alat itu sebelum
sampai ke tembok!” Maka para Rephaiem segera mengisi ulang
peluru-peluru Botcilesh. Sedang pendobrak-pendobrak itu mende-
kat dengan sangat cepat ke tembok. Maka berkatalah Giftael,
“Botcilesh tidak akan dapat menembak sebelum alat itu
sampai pada kita, Erenel. Tahan saja tembakan untuk serangan
selanjutnya.” Ada satu pendobrak yang berjalan menuju ke dekat
tempat Erenel dan kawan-kawannya berdiri, di sebelah kiri mereka.
Runanel melihat para Legiun mulai menarik dan mengaitkan
pendobraknya. Maka berkatalah Runanel itu, katanya,
“Itu adalah pendobrak Erenel! Mereka tidak akan mendo-
brak pintu gerbangnya, mereka akan memukul tembok kita!” Maka
berlarilah Erenel dan berseru-seru, katanya,
“Kamu Rephairiem, barisan pejuang dari Tanah Barat dan
Tanah Selatan. Kamu tidak akan meninggalkan tempatmu sekali-
pun musuhmu datang padamu! Tahan barisan!” Lalu datanglah

436
satu pendobrak Legiun memukul tembok dengan sangat kuat
sampai mengguncang tembok itu.
Goyanglah tumpuan kaki para Rephaiem di atas tembok
dan tembok itu bergetar terguncang. Beberapa Rephaiem terhempas
dan jatuh ke belakang tembok. Melihat itu terkejutlah para Repha-
iem. Sebab memang sangat besar hantaman dari dobrakan itu.
Kemudian empat dobrakan lain menyusul dan semakin menggo-
yangkan tembok. Maka berserulah Erenel pada barisan Rephaiem
yang di belakang tembok, katanya,
“Tahan tembok ini! Mereka akan meruntuhkannya jika
begini.” Maka berlarianlah para Rephaiem mengambil kayu-kayu
tiang yang panjang dan kuat serta mengganjal tembok Daria dari
belakang. Mereka yang terjatuh dari tembok segera dibawa dari
sana.
Kemudian barisan Legiun yang besar itu berlari mendekati
tembok dan keluar juga barisan Bath-Pometh dari antara pepohon-
an dan mereka berbaris dekat dengan tembok sambil bersorak-
sorak. Pendobrak-pendobrak itu mulai ditarik lagi untuk hantaman
berikutnya. Sedang Erenel kebingungan apa yang harus ia lakukan
dengan alat-alat berat Legiun itu. Ia hanya melihat ke sana ke mari.
Jarak alat-alat besar itu sudah bersandar pada tembok dan Botcilesh
kesulitan membidiknya. Sementara itu Runanel itu berdiri di
belakang Erenel dan ia mencabut pedangnya. Kemudian berkatalah
Runanel,
“Mereka akan merobohkan tembok ini, Erenel. Cepat atau
lambat, bila alat-alat besar itu tetap di sana. Baiklah sekarang biar-
lah engkau melihat bagaimana Jhudriem beraksi. Dan ingatlah akan
peristiwa ini!” Kemudian melompatlah Runanel itu pada salah satu
pendobrak itu dan ia melawan Legiun yang ada di atasnya, yaitu
Legiun yang bertugas menarik pendobrak-pendobrak.
Setelah itu berlarian para Jhudriem ke atas tembok dan
mereka mengikuti Runanel itu. Mereka bertempur dengan sengit di
luar tembok, di atas alat-alat berat Legiun. Kemudian berserulah
Runanel pada barisannya, katanya,
“Potong tali-tali yang menggantung pendobrak ini! Jatuhkan
dobrakannya!” Kemudian para Jhudriem itu memanjat dan memu-

437
kuli kawat-kawat dan rantai-rantai yang mengikat tiang-tiang
pendobrak. Namun kawat dan rantainya terlalu kuat dan pedang
mereka tidak dapat memotongnya. Maka berserulah Runanel,
katanya,
“Hirnael, berilah sedikit bantuan pada kami di sini! Ambil
pedangmu dan pukul tali-tali ini.” Maka Hirnael menoleh pada
Erenel. Dan Erenel mengangguk padanya. Bangkitlah segera
Hirnael mengambil pedang besarnya dan melompat menyusul
Runanel. Dengan pedangnya dipukul tali-tali kawat dan rantai-
rantainya. Maka putuslah itu semua dan jatuhlah tiang besar yang
menggantung di alat itu. Kemudian para Jhudriem itu berusaha
untuk pergi dari sana.
Sedang Runanel melihat Hirnael hendak turun dari alat itu
dan hendak menyerang barisan Legiun. Maka melompatlah
Runanel dan meraih Hirnael. Ditariknya Hirnael itu kembali ke
tembok. Para Rephaiem melemparkan tali-tali pada mereka sehing-
ga pergilah para Jhudriem itu dari sana dan memanjat kembali ke
atas tembok. Usaha mereka berhasil, namun ada empat pendobrak
lain yang masih berdiri dan jarak mereka cukup jauh dari sana.
Saat para Jhudriem itu masih memanjat, pendobrak lain
kembali mengguncangi tembok. Sehingga jatuhlah beberapa dari
para Yehudiem itu ke bawah. Segera para Legiun yang di bawah
menyambut mereka yang jatuh dengan pukulan pedang dan palu
besar. Runanel melihat hamba-hambanya itu terjatuh sedang ia ma-
sih bergantungan di tali bersama Hirnael. Maka berkatalah Hirnael,
“Jangan lihat ke bawah, Runanel. Kiranya kasih Yang
Sulung terus bersama hamba-hamba Yehudiem itu.” Kemudian
kata Runanel,
“Mereka yang berkorban dan hancur bagi kota ini, akan
dikenang. Anggap saja ini adalah balas budi Yehudiem pada
Rephaiem yang telah mempertahankan Tanah Altar.” Teruslah
mereka memanjat.
Sedang saat itu barisan Rephaiem kebingungan apa yang
harus mereka lakukan. Setiap tembok terguncang, selalu ada yang
terjatuh dan beberapa mengalami luka karena itu. Maka datanglah
para pemimpin barisan para Erenel dan berkata,

438
“Mereka mengguncang tembok kita dengan sangat hebat,
Erenel. Lihatlah sebelah selatan! Tembok itu sudah bergeser dari
tempatnya dan tidak seperti semua. Bila terus begini, tembok ini
akan jatuh ke tanah dan menimpa para Rephaiem!” Terdiamlah
Erenel karena melihat kehebatan senjata-senjata para Legiun itu
mengguncang tembok kebanggaan Rephaiem Daria. Lalu sampai-
lah Runanel dan Hirnael bersama para Jhudriem ke atas tembok.
Kemudian berkatalah Runanel pada Erenel,
“Tidak akan sempat kita memotong satu per satu dari alat-
alat itu untuk melumpuhkannya, Erenel! Lihatlah bahkan setelah
Hirnael ini memotong satu pendobrak, para Legiun memenuhi alat
itu lagi dan memanjatnya serta berusaha memperbaikinya. Tembok
ini akan rata menjadi tanah!” Kemudian para pemimpin barisan itu
mendesak Erenel untuk memberi keputusan.
Terduduklah Erenel dan tembok itu kembali terguncang
karena dobrakkan dari alat-alat Legiun. Tertawalah Gurim-Mahel
dan Eftiel di depan tembok dan berkata, “Mari kita lihat seberapa
kuat tembok Daria yang digadang-gadang menjadi tembok terbaik
ini. Setelah tembok runtuh, masuklah kamu semua, hai Legiun dan
Bath-Pometh! Ambil kota ini menjadi kuasamu!” Para Legiun ber-
sorak-sorai di sana dan mereka bersorak bersamaan seiring pukulan
demi pukulan pada tembok Daria terus dilancarkan.
Kemudian berkatalah Erenel, “Tinggalkan tembok. Kita
harus bertahan di balik tembok ini. Usahakan supaya tembok tetap
berdiri selama mungkin supaya memberi waktu barisan di balik
tembok untuk bersiap. Runtuhkan bangunan-bangunan yang seki-
ranya akan tertimpa bila tembok ini tumbang. Bangun tembok baru
di belakang. Kita akan menahan musuh kita di sana. Pergilah kamu
semua!” Mendengar keputusan Erenel, berlarilah para pemimpin
barisan itu dan berseru-seru memerintahkan para Rephaiem berlari
meninggalkan tembok. Sedang para Rephaiem yang di balik tem-
bok, terus membawa tiang-tiang dan kayu-kayu untuk menopang
tembok. Sebab temboknya mulai serong.
Dengan keahlian para Rephaiem, mereka menghitung sam-
pai mana tembok itu akan runtuh dan bagian mana yang akan
tertimpa. Setelah mereka menentukan batasnya dengan hitungan

439
mereka, dibongkar dengan segera bangunan-bangunan yang
sekiranya akan tertimpa. Kemudian mereka membawa batu-batu
dari bangunan itu untuk membangun tembok baru setinggi satu
kilang saja. Satu Shakta berlalu begitu saja dalam pertempuran
pembukaan. Suara dentuman hebat terus menghiasi Daria. Erenel
berlari memanggil barisan-barisan di tengah kota untuk membantu
pertahanan tembok. Saat para Rephaiem dari tengah kota melihat
keadaan tembok Daria, terkejutlah mereka. Sebab tembok sudah
sangat serong dan batu-batu yang sebelumnya ada di puncak tem-
bok, mulai rontok dan terjatuh. Pemandangan itu sangat menge-
rikan sebab tembok Daria itu sangat besar dan panjang. Rephairiem
membentuk barisan mereka di tembok yang baru. Mereka berbaris
di depan dan belakang tembok.
Senjata-senjata Botcilesh telah dipersiapkan di sana dan para
Rephaiem duduk menunggu tembok mereka runtuh. Setelah itu
mereka akan menghadapi musuh yang begitu banyaknya dalam
pertempuran terbuka. Erenel berjalan di depan barisannya yang
sedang duduk-duduk di sana. Kemudian berkatalah Erenel,
“Setiap dentuman dari tembok itu, akan membawa kamu
semakin dekat dalam pertempuran. Satu per satu suara dentuman
itu terdengar, maka satu langkah lagi kamu dekat pada pertem-
puran. Bukankah ini adalah keinginanmu, Rephairiem Daria? Aku
sering mendengar bahwa kamu sangat ingin sekali menghadapi
musuh dalam pertempuranmu sendiri. Sekarang kamu melihat di
depan matamu, bahwa musuh datang padamu dan kamu malah
duduk terdiam seperti lembu menanti untuk disembelih. Aku
berkata padamu, hai hamba-hamba Rephaiem yang telah bersama
aku membangun Durie. Aku ataupun saudara-saudaraku tidak
pernah memaksa kamu untuk ada di sini dan berjuang bersama
kami. Bahkan aku ini bukan tuanmu. Lihatlah! Padaku tidak ada
cincin atau urapan untuk berkuasa atas kamu. Maka saat ini aku
berkata padamu, bila kamu hendak meninggalkan tempatmu,
pergilah! Tidak akan ada yang menghalangi atau menahan kamu
untuk tetap di sini dan bertempur bersama-sama. Namun aku
berkata padamu, kita ada Rephaiem! Tangan Allah telah menarik
kita bangkit dan menyebut kita Rephairiem. Kita telah bersumpah

440
di hadapannya untuk itu. Dan seorang Rephairiem, tidak mening-
galkan tanahnya dan saudaranya dalam pertempuran!” Mendengar
itu para Rephaiem itu terdiam dan mereka meneruskan perkataan
Erenel itu pada saudara-saudara mereka yang terlalu jauh dan tidak
dapat mendengar.
Kemudian bangkit para Jegaduriem dan mereka maju ke
depan barisan dan mengulangi perkataan Erenel itu. Seketika itu
juga, bersoraklah para Rephaiem di sana dengan sangat meriah dan
mereka bangkit mengangkat senjata mereka. Lalu tersenyumlah
Erenel dan berpaling melihat tembok Daria dan berkata,
“Jatuhlah kawanku, tembok Daria. Aku akan membangun-
mu lagi bersama Tangan Allah.” Para Rephaiem bersorak berkata
“Umakh dlar Verya!” (Kami tersenyum menunggu pertempuran).
Terus secara berulang-ulang. Maka pertempuran itu disebut per-
tempuran Barza-Edlar yang berarti pertempuran dengan senyuman.
Sementara itu, di Ariarum-Nor, barisan Melhunahel sudah
menanti barisan yang dari Ariar di sana. Kemudian berkatalah
salah satu Rephai yang melayani Melhunahel,
“Hailel tidak datang, Melhunahel. Tidak ada barisan Ariar
di sini.” Kemudian berkatalah Melhunahel,
“Mereka akan menjawab, tunggulah sebentar. Perkemahan
Alkomnihel sudah kosong di sebelah selatan. Mereka sudah pergi
terlebih dahulu. Istirahatkan barisan dahulu. Kita sudah berlari
cukup lama dari Ardur. Bila memang Hailel tidak muncul, kita
akan langsung ke Daria.” Kemudian kata Rephai itu,
“Bila kita datang ke Daria dengan barisan ini, akan percuma
saja, Melhunahel. Lihatlah, hanya empat puluh barisan saja pada
kita saat ini.” Lalu turunlah Melhunahel dari tunggangannya dan
berkata,
“Bukan jumlah yang diharapkan saudara-saudara kita di
Daria itu. Melainkan jawaban kita saat mereka memanggil. Istira-
hatkan saja dahulu barisan ini!” Maka berdiamlah mereka di sana
dan menanti barisan dari Ariar lewat sana.
Sementara itu di Tanah Selatan, Tanah Tombak, para Agung
pergi bersama melanjutkan perjalanan mereka dari Kota Serael ke
Kota Ariaria. Barisan Seraphiem telah dibagi-bagi oleh Mikhael se-

441
suai tujuan penyerangan mereka. Barisan Mondrael telah dipimpin
untuk menyerang kota-kota di Tanah Seraphiem sebelah barat.
Adapun barisan Frantiel berjalan bersama mereka namun tidak
akan turut bertempur, namun mereka akan bertempur di Mirkanria.
Saat itulah Frantiel bertemu dengan hamba-hamba pelayan Mikhael
yang diutus menjadi barisannya.
Saat Frantiel bertunggang bersama barisannya, dilihatnya
ada hamba-hamba Seraphiem yang berjalan bersama-sama dan cara
jalan mereka tidak sama dengan para Seraphiem lain. Dan lagi
Frantiel baru melihat wajah-wajah mereka. Maka berkatalah
Frantiel pada Seraph yang melayaninya, katanya,
“Siapa mereka itu yang berjalan di dekat kereta tarik
senjata?” Lalu jawab Seraph itu,
“Mereka hamba-hamba baru yang bergabung dalam barisan
Tiga Puluh. Ada surat dari Mahanael tentang mereka untuk menja-
di bagian dari barisan ini.” Lalu bertungganglah Frantiel menyan-
dingi hamba-hamba itu dan katanya,
“Siapakah kamu ini, Seraphiem?” Kemudian menolehlah
salah satu dari mereka, yaitu Krintinel, katanya,
“Kami baru dalam barisan Tiga Puluh, pemimpin. Kami
utusan tuan besar Serael untuk berjuang bersama di Mirkanria. Ada
dua yang lain di sisi lain kereta ini. Aku adalah tetua dari Hugta-Al
yang biasa melayani tuan-tuan Agung bila tuan Serael menyambut
mereka. Kemudian yang bersamaku ini adalah pelayan-pelayan
tuan Serael sendiri.” Terheranlah Frantiel melihat hamba-hamba itu
ada di sana. Maka katanya,
“Pantas saja aku tidak asing dengan wajah-wajah kawan-
kawanmu ini. Krintinel, aku mengenalmu dengan baik. Apa yang
membuatmu hingga harus bergabung dengan barisan Tiga Puluh?
Adakah barisan Tombak Seribu tidak lagi membutuhkanmu?”
Kemudian Dundadel dan Gundadel memperkenalkan diri mereka
pada Frantiel. Maka tahulah Frantiel bahwa mereka bersaudara itu
adalah pengurus persenjataan Mikhael, tuannya.
Kemudian rianglah Frantiel melihat ada hamba-hamba yang
baik dalam barisannya. Lalu ia meminta surat-surat mereka. Setelah
dibacanya, benarlah mereka itu telah diutus menjadi bagian dari

442
barisan Tiga Puluh. Maka Frantiel memiliki kuasa yang cukup
untuk memberi perintah pada mereka. Lalu kata Frantiel,
“Dundadel, Gundadel, pergilah dan minta barisan pada
pengurus tungganganku. Mulai saat ini kamu akan menjadi ahli-
ahli persenjataan barisan Tiga Puluh dan engkau, Krintinel. Ambil-
lah juga tunggangan bagimu dan engkau akan menjadi penasihat
pertempuranku.” Maka segeralah dibuat itu oleh mereka.
Lalu Frantiel memperlambat tunggangannya sehingga ia
ada di belakang kereta tarik senjata itu. Kemudian ia melihat sisi
lain dari kereta itu. Benarlah ia melihat dua hamba lain berjalan di
sisi kereta tarik itu dan mereka juga memiliki cara jalan yang baik.
Maka berkatalah Frantiel,
“Tentu mereka ini juga pelayan-pelayan yang sudah lihai.
Baiklah aku juga akan melihat mereka dan mengangkat mereka
menjadi pendampingku. Sebab mereka ini adalah hamba-hamba
yang pandai dan posisinya sudah terpandang.” Maka mendekatlah
Frantiel pada hamba-hamba itu dan ia melihatnya dari sebelah
belakang samping. Maka pikir Frantiel, ia seperti mengenali hamba-
hamba itu. Semakin bersemangat ia karena semakin tidak asing
mereka, maka semakin terpandang pula mereka. Setelah semakin
dekat, Frantiel memanggil hamba-hamba itu, katanya,
“Hai Seraphiem! Lihatlah padaku!” Kemudian para Sera-
phiem yang di depannya menoleh melihat Frantiel, malah kedua
hamba Seraphiem yang dimaksudnya itu tidak menoleh padanya.
Maka Frantiel mempercepat tunggangannya untuk melihat dua
hamba itu.
Saat Frantiel melihat dua hamba itu, betapa terkejutnya ia.
Sampai-sampai ia menarik tanduk tunggangannya begitu kuat dan
berlarilah tunggangannya dengan cepat. Kemudian Frantiel mena-
han tunggangannya dan berkata pada dua hamba itu, katanya,
“Frintitiel, Frintihel! Apa yang kamu lakukan di sini?”
Barulah ia mengetahui bahwa dua hambanya itu adalah saudara-
saudaranya sendiri, saudaranya yang paling muda. Kemudian
menunduklah dua saudaranya itu melihat Frantiel. Maka Frantiel
mendekat dan berkata, “Ke kereta tarikku, sekarang!” Maka Frantiel
segera pergi masuk dalam kereta tariknya dan menunggu saudara-

443
saudaranya itu di sana. Masuklah dua saudaranya ke kereta tarik
bersama Frantiel.
Menunduklah dua saudaranya itu karena takut saat bertemu
dengan Frantiel. Mereka sudah menghindari bertemu dengan
Frantiel, namun tetap saja bertemu. Maka kata Frantiel,
“Bagaimana bisa pandanganku melihat ada dua malaikat
Hugta-Al, berjalan dengan kakinya di barisan tentara Seraphiem?
Tidak tahukah kamu bahwa kamu ini adalah malaikat terpandang
yang telah menjadi pelayan para pembesar? Seharusnya kamu ini
bertunggang di antara barisan Seraphiem dan kamu ini adalah
Hugta-Al!” Maka berkatalah Frintitiel,
“Kiranya ampuni kami saudaraku. Aku ini tidak bersalah
sehingga tuan besar Serael mengutus aku tergabung dalam barisan-
mu. Ini pun adalah sebuah ketidaksengajaan yang membuat kami
ada di sini. Kami sedang berkumpul bersama Kritinel itu dan ia
membicarakan tentang tanda-tanda hormat. Kami turut dalam
pembicaraannya dan memang benar bahwa seharusnya pejuang di
Tanah Barat itu juga harus menerima penghormatan mereka.”
Maka geramlah Frantiel melihat saudara-saudaranya itu, katanya,
“Kamu ini tidak mengerti apa yang telah kamu lakukan.
Lihatlah sekarang, karena perbuatanmu, kamu sekalian ini akan
dipandang rendah. Lagipula perjuangan di Tanah Barat itu belum
dinyatakan usai dan tuntas. Bagaimana kamu mendukung permo-
honan tanda jasa sebelum tugas itu selesai? Apakah kamu tidak
berpikir sedikit saja? Jadi karena itu Krintinel dan dua hamba itu
ada di barisanku. Sekarang karena kamu ada bersamaku dan
menjadi bagian barisan Tiga Puluh, aku akan mengajarkan kamu
untuk hidup sebagai Hugta-Al yang benar! Ambil tunggangan dan
bertunggang bersamaku. Dalam pertempuran di Mirkanria, kamu
harus memulihkan keadaanmu. Setidaknya kamu dapat menjadi
hamba pelayan pembesar lagi, atau harus lebih dari pada itu.” Sejak
itu, para pemberontak yang dibuang Mikhael ke barisan Tiga
Puluh, mendapat kasih dari Frantiel dan mereka malah diangkat
menjadi pembantunya dalam pekerjaannya.

444
Pertempuran di Daria masih berlangsung saat itu. Tembok
Daria sulit untuk dirobohkan. Para Legiun yang mendobraki tem-
bok itu tidak juga dapat menjebolnya. Sampai payah para pendo-
brak tembok memukul tembok itu dengan alat-alat besar mereka.
Datanglah Gurim-Mahel ke barisan depan dan ia berkata pada
hamba-hambanya, katanya, “Mengapa lama sekali bagimu untuk
merobohkan tembok ini? Lihatlah para Rephaiem itu sudah tidak
ada di atas tembok, panjat saja temboknya!” Maka pergilah barisan-
barisan legion mulai memanjati tembok dan menerobos masuk
dalam kota. Kemudian kata Gurim-Mahel, “Apa yang membuatmu
bekerja begitu lama untuk merobohkan sebaris tembok saja?” Maka
jawab hamba-hambanya, “Tuan, lihatlah! Alat-alat ini bekerja
dengan sangat baik dan kami sudah payah mengerjakannya. Akar
tembok ini ditanam begitu dalam dan kancingannya sangat kuat.
Batu-batu yang ditanam itu lebih besar dari pada yang di atas
tanah. Akarnya tidak mau lepas karena terlalu dalam tertanam.”
Maka pergilah Gurim-Mahel untuk melihat tembok itu.
Setelah dilihat Gurim-Mahel bahwa memang kuat tembok
itu, heranlah ia melihat bagaimana Rephaiem membangunnya. Ke-
mudian dipanggillah hamba-hamba legion untuk melihat tembok
itu. Kata Gurim-Mahel, “Lihatlah! Para Rephaiem itu menanam
tembok ini begitu dalam ke tanah dan kuncian yang mereka buat
itu berongga. Sehingga tembok ini tidak mudah roboh. Malah tem-
bok ini terlihat sangat lentur dari sini.” Lalu para legion melihat itu
dan benarlah bahwa pembangunan tembok Daria itu tidak samba-
rangan dan sangat kuat. Semakin kuat mereka mendobrak, maka
tembok itu hanya akan melengkung dan serong. Karena itu para
legion menghentikan dobrakan mereka di sana dan mengamati
tembok itu yang nampak sudah hendak patah, namun tidak
kunjung roboh.
Para Rephaiem masih berdiam di balik tembok Daria. Me-
reka duduk di depan tembok mereka dan menunggu saja kapan
tembok itu akan roboh. Setelah mereka tidak mendengar suara den-
tuman dobrakan, suasana menjadi sangat sepi dan terdiam semua
Rephaiem itu. Bangkitlah Erenel melihat ke arah tembok dan ia
berkata,

445
“Mereka menghentikan pendobrakan mereka. Tembok
Daria benar terlalu kuat bagi mereka. Giftael, Evigel, bangkit dan
periksa tembok itu, apakah Legiun pergi dari sana atau mereka
mempersiapkan sesuatu.” Maka bangkitlah dua pejuang Rephaiem
itu dan mereka berjalan di antara barisan Rephaiem hendak maju
melihat ke tembok Daria.
Baru berapa langkah dua hamba itu melangkah dari barisan
paling depan, nampaklah barisan-barisan legion di atas tembok dan
mereka melompat turun dari sana. Maka berserulah Giftael,
katanya,
“Legion! Mereka melangkah di Kota Daria!” Mendengar itu,
murkalah seluruh Rephaiem dan mereka bangkit berdiri membawa
senjata mereka. Erenel bangkit melihat para Rephaiem bangkit dari
tempat mereka. Dilihatnya dari kejauhan bahwa barisan legion
sudah turun dari tembok dan mengatur barisan mereka. Kemudian
ia melihat Giftael dan Evigel di depan barisan membakar semangat
barisan Rephaiem. Berlarilah Erenel segera ke barisan depan. Ia
berseru-seru, katanya,
“Tahan barisan! Jangan melangkah lebih jauh dari garis
barisan ini!” Namun para Rephaiem tidak mendengarnya, sebab
mereka bersorak-sorak mendengar Giftael dan Evigel.
Berlarilah Erenel dengan segera mendapati Giftael dan
Evigel di depan barisan. Kemudian ia menahan mulut dua kawan-
nya itu. Lalu katanya,
“Jangan kamu membakar semangat barisan ini, saudara-
saudaraku. Bila legion-legion itu menginginkan Daria, biar mereka
datang pada kita. Barisan ini harus tetap pada tempatnya. Lihatlah
tembok Daria sudah serong dan akan roboh. Bila barisan ini maju
ke sana, kemudian roboh tembok itu, akan hancur seluruh barisan
ini seketika itu saja.” Kemudian terdiamlah Giftael dan Evigel.
Lalu Erenel berseru-seru dan mengangkat tangannya di de-
pan para Rephaiem. Namun tetap saja para Rephaiem itu bersorak-
sorak hendak maju bertempur. Maka Erenel memanggil para Jega-
duriem untuk berseru baginya. Ditenangkanlah seluruh Rephaiem
itu di sana. Kemudian berkatalah Erenel,

446
“Jangan kamu menjadi murka karena melihat para legion itu
melangkah di atas tanah Kota Daria. Biarlah mereka datang pada
kita bila memang mereka hendak menyerang kita. Ini adalah
pertempuran dan sangat wajar bila musuhmu melangkah dalam
kotamu. Memang sudah menjadi tugas kita untuk mengusir mereka
dari sini dan mempertahankan kota ini. Namun aku berkata pada-
mu, jangan melangkah lebih jauh dari tempatmu itu. Kita sudah
menghitung berapa jauh tembok Daria akan menimpa bila sudah
roboh. Tahan Barisan!” Kemudian para Rephaiem itu terdiam
mendengar Erenel yang berbicara pada mereka.
Sementara itu para legion dengan bebas mengatur barisan
mereka di belakang tembok Daria. Dengan leluasa mereka mem-
bantu barisan mereka turun dari atas tembok yang mereka panjat.
Di sana mereka melihat, bahwa para Rephaiem sudah memasang
tiang-tiang besar dari batu dan kayu untuk menopang tembok yang
sudah serong. Sedang saat itu, Gurim-Mahel dan barisannya sudah
menemukan cara untuk meruntuhkan tembok Daria. Mereka sudah
dapat melihat akar tembok, panggalian sudah mereka lakukan di
sana. Gurim-Mahel sudah melihat kucian batu dasar dengan tem-
boknya, maka katanya, “Ambil palu dan gada! Pukul batu-batu ini
dan pecahkan kunciannya! Kita akan membawa tembok ini ke
tanah. Lepaskan tembok ini dari akarnya!” Maka segera para legion
itu melakukan seperti yang dikatakan oleh Gurim-Mahel itu.
Sedang mereka memukuli kucian akar tembok itu, berteriak-
teriaklah legion yang sedang memanjat tembok. Mereka berseru-
seru, “Jangan! Jangan! Hentikan!” Maka berhentilah para legion
yang memukuli akar tembok itu. Gurim-Mahel datang lagi pada
mereka karena mereka berhenti bekerja. Kemudian kata Gurim-
Mahel, “Apa yang menahan tanganmu untuk bekerja?” Lalu jawab
hamba-hambanya, “Tuan, mereka yang sudah ada di balik tembok
berkata, bahwa ada tiang-tiang yang menopang tembok ini sehing-
ga tidak roboh. Mereka berkata, bila kita memukuli akar tembok ini,
maka tiang-tiangnya tidak akan kuat dan tembok akan roboh
dengan segera.” Lalu kata Gurim-Mahel, “Bukankah itu memang
tujuan kita? Lanjutkan pekerjaan!” Kemudian kata hamba-hamba-
nya, “Lalu bagaimana dengan barisan tuan yang sudah di balik

447
tembok ini? Mereka akan tertimpa dengan tembok.” Maka
teringatlah Gurim-Mahel akan barisannya itu.
Lalu Gurim-Mahel berkata memerintah, katanya, “Suruh
barisan yang sudah di dalam itu untuk maju. Serang saja kota itu
dengan segera. Setelah tembok ini runtuh, kita akan membantu
mereka. Katakan pada mereka supaya jangan takut untuk maju
menyerang.” Maka segeralah perintah Gurim-Mahel itu disampai-
kan pada barisan yang di balik tembok.
Saat itu, barisan yang ada di dalam tembok, dipimpin oleh
hamba Gurim-Mahel, Molel yang disebut Molokh. Dulunya ia tidak
tergabung dalam barisan Legiun, sampai Gurim-Mahel memanggil-
nya menjadi Legiun karena kehebatannya. Hamba itu juga adalah
pemimpin barisan besar legion yang juga berjuang bersama Gissel
di Tanah Selatan. Dia ini memiliki saudara yang bernama Melel
yang disebut Melek. Saudaranya itu ada di Tanah Utara dan bekerja
menghamba pada Azbazel. Mereka terpisah saat penyerangan
Tanah Barat oleh barisan Seraphiem di Araria.
Setelah Gurim-Mahel memerintahkan barisan Legiun yang
di dalam tembok untuk maju, maka segerala Molokh itu memimpin
barisannya untuk maju menyerang para Rephaiem. Sedang saat itu
Erenel masih berbicara dengan barisan Rephairiem di Daria. Berte-
riaklah para legion yang sudah di dalam kota itu dan mereka berlari
menyerang barisan Rephairiem. Melihat barisan legion itu maju,
berkatalah Runanel pada Erenel, katanya,
“Lihatlah, para legion itu maju hanya sedikit jumlahnya.
Mereka ini hendak menjemput kehancuran mereka di sini rupa-
nya.” Kemudian Erenel melihat barisan musuh yang datang itu dan
benarlah jumlahnya memang sedikit. Maka kata Erenel,
“Sungguh legion itu tidak tahu diri. Apakah ini penghinaan
mereka? Sehingga mereka mengirim sedikit saja untuk menyerang
kita. Rephairiem tidak sebanding dengan barisan yang seperti itu.”
Lalu Runanel berkata,
“Baik tahan saja barisanmu, Erenel! Aku akan mengurus
mereka. Lagi pula mereka itu tidak lebih dari seratus lima puluh
barisan saja. Biarlah Jhudriem mencoba kemampuannya di Daria.
Bagaimana jawabanmu, Erenel?”

448
Para Rephaiem yang melihat para legion itu berteriak-teriak
mengoloki Legiun karena mereka menganggap itu adalah penghi-
naan. Barisan Rephairiem adalah barisan yang besar dan kuat,
sedang legion itu menghina mereka dengan mengirim sedikit saja,
seolah-olah barisan yang sedikit itu akan cukup untuk menghabisi
Rephairiem. Karena itu para Rephaiem menolak untuk bertempur
dan mereka berteriak pada Erenel: “Kami tidak akan bertempur
sebelum seluruh barisan Legiun itu ada di hadapan kami! Bila
mereka yang maju itu hendak datang, biar mereka datang! Kami
akan melawan mereka tanpa senjata. Sebagian Rephairiem saja
sudah cukup untuk mereka.” Kemudian satu barisan dari para
Rephaiem itu meletakkan senjata mereka dan melangkah maju ke
depan barisan. Berkatalah Erenel,
“Apa yang hendak kamu lakukan?” Lalu Erenel mencegah
mereka untuk maju. Karena mereka itu hanya sebarisan dan tidak
membawa senjata. Maka berkatalah Erenel pada Runanel,
“Baik majulah dan hadapi legion itu, Runanel!” Tersenyum-
lah Runanel dan ia segera membawa barisannya maju menyambut
legion-legion yang datang.
Terjadilah pertempuran terbuka di sana. Para Jhudriem
berlari meninggalkan barisan Rephairiem dan mereka berlari tanpa
mengatur barisan, segera saja mereka berlari pada para legion itu.
Pertempuran itu terjadi dengan hebat di sana. Para Rephaiem ber-
sorak-sorak melihat pertempuran itu dan barisan Jhudriem sudah
dapat melihat kemenangan mereka di ujung pedang mereka.
Sungguh para Yehudiem itu sangat mahir dalam bertempur dan
mereka hebat bertempur di sana. Di tengah kekalahan legion,
Runanel memotong salah satu kepala legion dan ia berteriak seperti
singa mengaum. Lalu nampaklah seorang legion berdiri meman-
danginya dengan membawa pedang di tangannya. Pada dadanya
ada kain berwarna merah. Maka tahulah Runanel bahwa itu adalah
pemimpin barisan legion.
Segeralah Runanel berjalan menghampiri Molokh itu.
Sedang Molokh hanya berdiri diam memandanginya. Kemudian
berkatalah Molokh, “Engkaukah pemimpin barisan ini?” Lalu jawab
Runanel,

449
“Akulah Runanel hamba tuan Yehudiel! Pemimpin barisan
Jhudriem di Daria! Sebelum para Rephaiem di belakangku itu mur-
ka dan datang padamu, mari kita selesaikan saja di sini.” Kemudian
kata Molokh, “Aku menaruh hormat padamu, Runanel hamba
Yehudiel. Aku mengakui bahwa engkau menang melawan barisan-
ku. Aku Molel yang disebut Molokh, hamba tuhan Luciel, hamba
Gurim-Mahel” Kemudian Molokh itu memberi hormat pada
Runanel. Sedang Runanel hanya berdiam saja.
Lalu majulah mereka berdua dan bertarung di tengah
pertempuran yang ramai itu. Sangat lama mereka bertarung dengan
sengit dan Runanel mendapat banyak luka pada tubuhnya karena
pertarungan itu. Sedang Molokh sudah berjalan pincang karena
Runanel memukul kakinya dengan pedang. Mereka bertarung sam-
pai para legion itu tinggal sepuluh barisan saja dan barisan Jhu-
driem mengepung mereka. Di tengah pertempuran itu, Runanel
mengambil salah satu palu dari jasad seorang legion karena
pedangnya terhilang dan belatinya patah. Ia berlari dan memukul
dada Molokh sampai terpental ia jauh. Terdiamlah dua barisan itu
saling pandang berhadapan. Sedang Molokh pemimpin barisan itu
terjatuh di tanah dan hamba-hambanya membangkitkan ia. Lalu
berkatalah Runanel,
“Masihkah engkau akan meneruskan ini, Molokh!?” Sedang
Molokh itu bersandar pada hamba-hambanya dan tidak dapat ia
berdiri pada kakinya sendiri.
Pada saat itulah dentuman terdengar lagi dari tembok Daria.
Kemudian runtuhlah tembok itu ke tanah dengan sangat hebat.
Tembok sebelah selatan jatuh lebih dulu dan menyeret tembok ba-
gian utara sehingga roboh bersama gerbang-gerbangnya. Kemudian
kuncian tembok di sebelah utara itu terlepas dan hancur tepat pada
gerbang paling utara. Terpecah gerbang itu menjadi dua dan
tinggallah sebarisan pendek tembok itu dan separuh gerbangnya
masih berdiri di sana sampai sekarang.
Terdiamlah semua yang ada di dalam Daria melihat tembok
itu roboh. Angin dari robohan itu berhembus dari arah barat sam-
pai ke timur Daria. Kemudian terdengar suara gemuruh keramaian
genderang dan sangkakala dan sorak sorai orang banyak dari

450
antara debu dan asap. Terbukalah tembok Daria dan barisan Legiun
berlari masuk dalam kota itu melangkah di atas runtuhan tembok
besar Daria. Kemudian Runanel berkata pada Molokh, katanya,
“Engkau tidak berguna di barisanmu, Molokh! Carilah ba-
risan yang lebih kuat dan engkau akan menjadi pejuang yang baik.
Aku katakan saja padamu, aku ini Runanel dan para Seraphiem
mengakui ketangkasanku mengayun pedang. Bila engkau hendak
bertarung lagi denganku, latihlah tanganmu. Sayangnya kita tidak
punya banyak waktu saat ini.” Kemudian Runanel membawa baris-
annya pergi dari sana untuk segera kembali ke barisan Rephaiem.
Mereka, para Yehudiem itu yang maju ada delapan puluh barisan
banyaknya. Saat mereka kembali pada barisan Rephaiem, tinggal
lima puluh dua barisan saja yang dapat berjalan pada kakinya
sendiri dan dua puluhan barisan mengalami luka dan tidak dapat
berjalan pada kakinya sendiri.
Para Rephaiem melihat tembok Daria runtuh dan mereka
melihat barisan Legiun datang pada mereka. Saat mereka melihat
robohnya tembok, mereka terdiam dan sangat menyesali robohnya
tembok itu. Namun saat mereka mendengar suara genderang dan
sorakan Legiun, mereka tersenyum. Kemudian kata Erenel,
“Inilah musuh kita datang. Marilah Rephairiem! Bangkit!
Mari kita berpesta dalam kehancuran Legiun di bawah kaki kita!”
Bersoraklah seluruh Rephairiem itu. Lalu Erenel menarik sangka-
kala barisannya dan ia meniup itu kuat-kuat. Seluruh pemimpin
barisan juga mengambil sangkakala mereka dan meniupnya dengan
kuat.
Lalu berlarilah para Rephaiem itu berlari maju ke pertem-
puran yang mereka tunggu-tunggu. Sungguh hebat para Rephaiem
itu berlari sampai bergetar tanah Kota Daria karena langkah kaki
mereka. Dibentuklah barisan para pembawa kapak berlari di depan,
kemudian para pembawa tombak, pembawa pedang dan pembawa
palu. Runanel berpapasan dengan Erenel dan ia tersenyum dapat
melihat kehebatan Rephairiem saat berlari menuju pertempuran.
Runanel tidak melihat satu pun dari para Rephaiem itu yang me-
mancarkan ketakutan dari matanya. Kemudian Runanel membawa
barisannya ke dalam kota untuk dirawat dan beristirahat. Rephai-

451
riem, melawan Legiun, di Daria. Di pertengahan tahun kedua puluh
satu masa perang Sorga.
Terpecahlah pertempuran hebat di sana saat itu. Rephairiem
bertempur dengan hebat saat itu. Legion tidak memberi perlawanan
yang ringan pada para Rephaiem. Tidak ada dari kedua barisan be-
sar itu yang mendengar pemimpin mereka. Bahkan para pemimpin
barisan Rephairiem pun tidak memberi perintah pada barisan
mereka. Hanya pertempuran besar yang terjadi di sana. Sungguh
itu pertempuran yang mengerikan sebab tidak terkendali. Di tengah
pertempuran itu, Erenel memanggil juga barisan yang ada di
pinggiran kota sebelah timur dan mereka bertempur juga bersama-
sama.

Pada waktu itu para Agung ada berkumpul bersama di Kota


Ariaria, yang disebut Artaria. Di sanalah para Agung duduk
bersama. Yaitu Mikhael, Yehudiel, Sealtiel, dan Gabriel. Mereka
berkumpul di bekas rumah kerja gulungan. Saat itu kota itu masih
berantakan dan para Seraphiem masih menjaga ketat kota itu.
Pertahanan terbesar Seraphiem pada waktu itu ada di Artaria.
Raphael tidak duduk bersama saudara-saudaranya saat itu, karena
ia ada urusan dengan hamba-hambanya di depan rumah kerja.
Raphael memanggil hambanya yang bernama Elcuriel, saudaranya.
Bersama mereka ada hamba Rephai yang bernama Bikel yang
disebut Binanel. Kemudian berkatalah Raphael pada hambanya itu,
katanya,
“Elcuriel, lihatlah sekarang hambamu ini. Tanyakan pada-
nya apa yang sudah ia perbuat bersama hamba-hamba yang lain. Ia
ini tidak berguna dan bicaranya tidak tahu diri. Seorang Rephai
tidak seharusnya berkata seperti dia. Kemudian dari pada itu,
berilah padanya hukuman supaya ia sadar akan pentingnya men-
jadi hamba yang benar. Sudah aku katakan padamu, Elcuriel. Bila
engkau hendak memilih hamba pelayan bagiku, atau bagimu dan
saudara-saudara yang lain, pilihlah dari antara rumpun Bara-Al
saja.” Kemudian kata Elcuriel,
“Aku sudah mendengar tentang dia, tuan. Aku juga sudah
merencanakan sesuatu untuk dia. Aku akan mengirimnya ke Tanah

452
Barat. Ia akan kutaruh di Daria untuk berjaga di atas tembok. Tuan,
mengenai para Rephaiem Bara-Al, engkau sudah mengangkat me-
reka menjadi penguasa-penguasa dan pemimpin kota-kota. Mereka
semua hamba-hamba yang baik sudah mendapat tugas mereka.
Lagi pula para Bara-Al muda sudah tidak ada lagi yang masih
menganggur. Sebagian dari kita juga telah masuk ke suku Uriem
dan Yehudiem. Tidak banyak lagi Bara-Al di rumpun kita, tuanku.”
Maka kata Raphael,
“Baiklah buat semua itu. Ambil saja hamba-hamba dari per-
kemahan dekat Akar Anggur. Di sebelah selatan Ardur, ada perke-
mahan hamba-hamba yang baik. Ambil dari antara mereka yang
masih muda dan sudah pandai bekerja. Mereka itu tukang batu,
namun bila hanya untuk membawakan alat tempaku, mereka
dapat. Baik perbuatalah yang baik menurutmu pada hamba ini.”
Kemudian pergilah Elcuriel dari sana.
Baru Raphael hendak masuk dan bergabung bersama sau-
dara-saudaranya, terdengar keramaian di antara para Seraphiem.
Maka berjalanlah Raphael untuk melihat ada keramaian apa di
sana. Dilihatnya para Seraphiem itu berbondong-bondong mende-
kati tembok kota. Kemudian ada seorang hamba pembesar Sera-
phiem berlari dari antara keramaian hendak ke tempat para Agung.
Maka Raphael memanggilnya dan berkata,
“Ada apa di depan sana, Mindruel?” Lalu jawab Mindruel,
“Salam tuan. Ada hal yang belum pernah terjadi di Tanah
ini. Seorang Cerub berjalan ke mari tuanku. Ia berdiri di depan
tembok dari kejauhan dan berhenti di sana. Para Seraphiem hendak
melihat hamba itu.” Kemudian kata Raphael,
“Baik pergi dan katakan pada tuan-tuan di dalam!” Maka
berlarilah hamba Seraph itu dan mengatakan pada para Agung
yang sedang duduk di bekas rumah gulungan.
Raphael segera berjalan ke tembok, para Seraphiem mem-
beri jalan padanya. Adapun tembok di Artaria dibangun dari kayu-
kayu yang ditanam di tanah. Bentuknya lebih seperti pagar menu-
rut Raphael. Namun demikian, Mikhael menolak Raphael saat
Raphael hendak membangun tembok kota lebih baik. Sebab menu-
rut Mikhael tembok itu hanya untuk sementara saja. Raphael naik

453
ke atas tembok dan melihat dari kejauhan. Ada seorang Cerub
berdiri melihat ke kota dengan membawa bendera barisan Bartus-
Mindrel namun tercoret. Tidak lama kemudian para Agung berlari
menyusul Raphael di sana. Lalu kata Yehudiel,
“Apa urusan Cerub itu di Tanah Selatan?” Lalu kata Sealtiel,
“Mari kita bawa ia ke sini dan kita akan membuat ia mem-
bayar perbuatan para Cerubbiem Altar itu!” Namun kata Mikhael
padanya,
“Tenanglah dahulu, Sealtiel. Kita akan membawanya ke sini
hanya bila engkau mau untuk berbicara baik-baik. Kita akan mena-
nyakan padanya apa yang terjadi ini.” Lalu Mikhael memerin-
tahkan hamba-hambanya untuk membawa Cerub itu masuk dan
dihadapkan pada para Agung.
Duduklah para Agung bersama-sama di bekas rumah gulu-
ngan di Artaria. Kemudian para Seraphiem membawa masuk
seorang Cerub yang datang ke sana itu. Dimasukkan hamba itu ke
ruangan para Agung. Tidak ada hamba lain dalam ruangan itu
selain para Agung dengan Cerub itu. Sebab para Agung ingin
menjaga kerahasiaan kabar Tanah Altar. Memang tidak banyak dari
para malaikat yang tahu tentang Altar dan para Cerub.
Kemudian Cerub itu berlutut dan memberi hormat pada
para Agung dan ia mengucap salam-salam. Katanya,
“Salam bagi para Malaikat Agung, tuan-tuanku yang telah
memelihara Tanah Sorga dalam jalan yang benar. Aku datang pada
tuan-tuan sekalian dengan damai dan membawa kabar dari Tanah
Altar.” Kemudian para Agung saling berbisik-bisik membicarakan
hamba itu. Kata Mikhael,
“Katamu engkau datang dengan damai. Lantas apa yang
dilakukan Bartus-Mindrel atas Tanah Altar? Ia itu telah merusak
Tanah Altar dengan menjauhkan kami, Malaikat Agung dari Tanah
Altar! Perbuatannya jelas menentang kami dan ia telah membantai
para malaikat dengan keji di depan Gerbang Altar. Ia juga telah
mengutuki aku, namun patah kutuknya itu. Sekarang ia mengirim
utusan pada kami, dengan berkata damai? Engkau Cerub tidak tahu
diri! Engkau adalah pelayan Altar, perbuatanmu itu sangat jahat!”

454
Maka kemudian berlututlah Cerub itu dengan lebih sungguh lagi.
Ia nampak ketakutan berhadapan dengan Malaikat Agung.
Kemudian hamba itu mengambil segulungan kertas dari
punggungnya. Ia meminta ijin pada para Agung untuk mendekat.
Setelah diijinkan, majulah ia ke meja tengah dan membuka gulu-
ngan itu di sana. Kemudian ia mundur kembali dan berlutut. Ia
tidak sedikit pun mengangkat wajahnya untuk melihat para Agung.
Kemudian katanya,
“Aku bukan pengikut Bartus-Mindrel yang tuan Serael kata-
kan. Tidak semua dari para Cerubbiem yang mengikuti dia. Aku
adalah pemimpin dari para Cerubbiem yang menentang Bartus-
Mindrel. Namun demikian, kiranya tuan-tuan dapat memaklumkan
perbuatan Bartus-Mindrel. Kami para Cerubbiem sangat terkejut
dan tidak siap saat mendengar bahwa Luciel, telah melawan Sorga
dan melawan tuan-tuan. Kemudian setelah pertempuran di Tanah
Altar, Bartus-Mindrel menggila karena pedangnya itu. Dia sangat
ketakutan dengan bagaimana Cerubbiem selanjutnya tanpa Malai-
kat Agung yang memimpin suku. Maka ia memutuskan supaya
Tanah Altar ditutup dari setiap malaikat di luar Altar. Bila belum
Yang Sulung datang dan duduk kembali di atas Tahta, ia tidak akan
membuka gerbang itu. Sungguh sebenarnya baik apa yang dimak-
sudkannya, yaitu menjaga Tanah Altar jauh dari musuh Sorga.
Hanya saja ia tidak percaya lagi dengan Malaikat Agung karena
perbuatan Luciel.” Lalu Sealtiel menghentikan perkataannya. Lalu
kata Sealtiel pada hamba Cerub itu,
“Memaklumkan perbuatan Bartus-Mindrel? Aku mengenali-
mu, Se’el. Sekalipun engkau ini peniup suling di bagian belakang,
bukan berarti kemudian aku tidak mengenalimu.” Lalu berkatalah
Mikhael,
“Siapa dia ini, Sealtiel? Adakah engkau pernah berurusan
dengannya?” Lalu kata Sealtiel,
“Aku tidak pernah berurusan dengan Cerub. Lagi pula apa
perluku bersama para Cerubbiem? Mungkin saudara-saudaraku
masih mengingat tentang peristiwa penting saat kita dipersatukan
menjadi keluarga besar Malaikat Agung. Adalah Samael yang telah
melawan kehendak Yang Kudus. Sehingga ia harus dibuang ke

455
Hutan Selatan dan saudara-saudaranya mendapat malu karena per-
buatannya itu. Mungkin sampai saat ini kamu sekalian juga tidak
tahu bahwa Samael memiliki saudara.” Kemudian kata Gabriel,
“Benar! Aku ingat sekarang. Samael sebenarnya memilik
tujuh belas saudara lainnya. Dan memang empat belas ada di suku
Cerubbiem dan melayani berbagai pelayanan di Altar Allah. Jadi ini
adalah salah satunya?” Kemudian kata Sealtiel,
“Benar. Ia adalah salah satu dari saudara-saudara Samael
itu. Sebab memang Samael dan saudara-saudaranya itu termasuk
malaikat tua yang sudah ada sejak lama. Sejak penghujung masa
Cerub kuno dan para Seraphiem mulai dibentuk di Tanah Sorga.
Namun aku ini sudah ada sebelum mereka. Dia ini yang bernama
Se’el. Kemudian para Cerubbiem menyebutnya Samanel.” Kemu-
dian terdiamlah Cerub itu. Lalu katanya,
“Benar akulah Se’el yang disebut Samanel. Namun aku
bukanlah saudaraku yang berani melawan kehendak Yang Kudus.
Dengan demikian aku juga tidak berani melawan Malaikat Agung.”
Lalu Mikhael bangkit dan melihat kertas gulungan yang
dibawa Samanel itu. Kemudian kata Mikhael,
“Baiklah simpan dahulu bagian perkenalan. Aku ingin men-
dengar kesaksiannya tentang Tanah Altar. Sebab sepertinya ia ini
memang malaikat benar dan tidak menyimpang seperti Bartus-
Mindrel. Masih ada kebenaran dalamnya untuk didengarkan. Hai
Samanel, baiklah lanjutkan kesaksianmu pada kami!” Lalu Samanel
itu bangkit namun tetap memandang tanah. Ia tidak melanggar tata
cara menghadap Malaikat Agung. Sehingga Mikhael masih percaya
padanya. Lalu berkatalah Samanel,
“Setelah tuan-tuan meninggalkan Tanah Altar berserta
semua persenjataan barisan malaikat sebagai kenangan di sana,
Bartus-Mindrel memimpin kami sebagai pemimpin barisan dan
kota. Semua berjalan baik dan para Cerubbiem mendukung Bartus-
Mindrel untuk tindakan itu; menutup Tanah Altar dari musuh
Sorga. Sampai akhirnya para tua-tua berkumpul bersama dan mem-
bicarakan perkara itu. Para tua-tua ada yang memutuskan supaya
para malaikat masih dapat dibiarkan masuk dengan pemeriksaan
dahulu. Namun Bartus-Mindrel menolak. Sampai akhirnya Bartus-

456
Mindrel memutuskan Malaikat Agung pun tidak dapat dibiarkan
masuk juga. Maka terpecahlah pertempuran antara Cerubbiem
dengan Malaikat Agung. Setelah itu, pertikaian mulai terjadi dan
para tua-tua ada yang mendukung dan ada yang menentang. Na-
mun semua takut, karena memang Bartus-Mindrel telah diberikan
kuasa dalam pedangnya. Sampai pada puncaknya, Bartus-Mindrel
melanggar aturan Tanah Altar. Tidak seharusnya Cerub melangkah
dalam rumah kediaman tuan Yehudiel. Namun ia masuk ke sana
bersama para pengawalnya. Ia mengambil minyak-minyak dan
anggur-anggur untuk dirinya sendiri. Setelah itu tuan Serael datang
ke sana dan mematahkan sumpahnya dan juga kutuk Bartus-
Mindrel pada tuan Serael.
Saat itulah para tua-tua berkumpul, mereka memutuskan
untuk melawan Bartus-Mindrel. Lalu setelah itu, mereka memilih
pemimpin untuk memimpin perlawanan pada Bartus-Mindrel.
Hanya saja perlawanan itu harus diam-diam dan kami tidak ingin
bila sampai ada Cerubbiem bangkit melawan saudaranya sendiri di
Tanah Altar. Dan pemimpin yang dipilih saat itu adalah aku. Kami
melawan keputusan Bartus-Mindrel dengan mengadakan berbagai
pertemuan. Kami mengajukan berbagai permasalahan yang harus
dipertimbangkan dan dalam pertemuan-pertemuan itu kami mela-
wan keputusan Bartus-Mindrel. Karena ia sudah terlalu gila. Ia
hendak pergi ke meja tuan Sealtiel dan mengambil dupa-dupa
untuk mengharumkan Tanah Altar. Namun itu sangat tidak baik
dan kami melawan ia benar-benar. Sempat terjadi keramaian antara
para Cerubbiem di Kota Altar saat itu. Kemudian setelahnya,
Bartus-Mindrel tidak pernah keluar dari rumah kediaman tuan
Yehudiel.
Kami, para Cerubbiem tidak berani masuk menyusul dia,
karena jelas kami tidak dapat melakukan hal yang seperti itu. Kami
memanggil-manggil dia, namun ia tidak pernah keluar dari sana.
Karena kegilaannya, salah satu pengawalnya yang juga berdiam di
rumah kediaman tuan Yehudiel; pada akhirnya melawan Bartus-
Mindrel. Ia keluar dan mendapati kami. Bartus-Mindrel itu telah
masuk dalam ruang gulungan tuan Yehudiel dan ia membuka ber-
bagai gulungan-gulungan. Tiap-tiap saat ia hanya duduk dan mem-

457
baca saja. Karena itu, jumlah di antara kami terus bertambah dan
semakin banyak yang melawan Bartus-Mindrel. Tinggallah dua
puak, seratus tiga puluh keluarga yang masih mendukung Bartus-
Mindrel.
Dengan begitu, kami terus memanggil-manggil Bartus-
Mindrel dari bawah untuk keluar menemui kami. Namun tidak ia
mendengar, malahan hamba-hambanya keluar dan memaksa kami
diam. Sampai akhirnya terpecah pertarungan antara para Cerub-
biem di sana. Barulah Bartus-Mindrel itu keluar. Maka aku menga-
jukan para pejuang untuk membekuknya dan membawa ia pada
para Agung. Namun kekuatan pedangnya itu, tidak dapat dilawan
oleh para Cerubbiem. Tiga pejuang terbaikku hancur di sana. Tanpa
bicara sedikit pun, Bartus-Mindrel kembali masuk dalam rumah
kediaman tuan Yehudiel. Tepat setelah mereda peristiwa itu,
datanglah para Yehudiem ke Tanah Altar.
Kami tahu dan melihat jelas banyak dari para Yehudiem
yang menyelinap di Tanah Altar. Namun kami mendiamkan saja.
Setelah beberapa lama, satu Yehudi itu hendak masuk ke rumah
kediaman tuan Yehudiel. Maka kami menarik ia dari sana dan ia
malah berteriak ketakutan. Padahal kami hendak menjauhkan ia
dari Bartus-Mindrel yang sudah gila di dalam sana. Karena kera-
maian itu, Bartus-Mindrel keluar lagi dan melihat kami yang ramai
di depan Gerbang Altar. Kemudian kata Bartus-Mindrel: ‘Ada apa
kamu ribut lagi? Tidak cukupkah tiga orang hamba terparang di
hadapanmu?’ Karena takut, kami memberitahukan padanya bahwa
ada Yehudi yang menyelinap.
Maka Bartus-Mindrel memerintahkan kami untuk menghan-
curkan hamba itu dan melemparkannya dari tembok. Juga ia meme-
rintahkan kami untuk menggantung jubah Yehudi itu sebagai
peringatan pada Yehudiem yang masih di luar tembok. Hamba-
hamba pelayan Bartus-Mindrel hendak melakukan itu namun kami
menolak dan kami berkata bahwa kami akan melakukannya
sendiri. Maka Yehudi itu aman bersama kami. Namun kami tetap
menggantung jubahnya di atas tembok. Setelah itu kami mengum-
pulkan para Yehudiem yang berkeliaran di perkemahan kami.
Supaya jangan mereka ditangkap hamba Bartus-Mindrel. Setelah itu

458
kami mengajak bicara mereka dan mereka banyak menceritakan
kabar-kabar dari luar Tanah Altar. Barulah aku sadar, bahwa para
Agung sekalian sangat berjuang demi Sorga. Sedang kami di dalam
sana hanya berdiam diri dan tidak sanggup menangani Bartus-
Mindrel. Namun semakin lama, Bartus-Mindrel itu semakin hebat.
Pengetahuan hamba-hambanya bertambah dan mereka lebih mahir
mengayun pedang dari pada para Cerubbiem lain. Bahkan Bartus-
Mindrel mengambil barang-barang tuan Yehudiel dan mengenakan
pada dirinya sendiri.
Aku tidak tahan melihat itu. Maka aku mengusir para Yehu-
diem dari Tanah Altar untuk memanggil barisan malaikat ke Tanah
Altar. Aku hendak membukakan jalan pada tuan-tuan sekalian
supaya menghajar Bartus-Mindrel itu. Namun tidak ada dari para
Yehudiem itu yang mau keluar dari Tanah Altar sebelum tugas me-
reka sendiri. Namun saat aku menanyakan tentang tugas mereka,
tidak mereka mau mengatakannya. Maka aku tidak dapat memban-
tunya. Setelah itu aku sendiri memutuskan untuk pergi. Aku
meminta pakaian salah satu dari Yehudiem itu dan memakainya.
Kemudian aku berjalan dari jalan mereka masuk dan menuju
Samahnia. Aku menyamar sebagai Yehudi di sana dan menanya-
nanyakan tentang tuan-tuan. Dari sana tahulah aku di mana para
Agung berada dan aku berjalan ke sini. Kemudian aku mengganti
lagi pakaianku, supaya tuan-tuan tahu bahwa aku adalah Cerub.
Aku sudah ke Sarnos dan Mith, namun mereka tidak menghiraukan
aku. Maka aku pergi ke sini. Tepatlah aku bertemu tuan-tuan
sekalian.
Pada surat di meja itu, aku menggambarkan peta perkemah-
an kami dan keadaan Tanah Altar. Bila tuan-tuan hendak merebut
Tanah Altar kembali dari Bartus-Mindrel, kami para Cerubbiem
mendukung. Empat ratus ribu barisan di dalam Tanah Altar siap
mendukung tuan-tuan menjatuhkan Bartus-Mindrel. Aku sudah
menggambarkan bagaimana jalur-jalurnya nanti bila barisan ma-
laikat hendak masuk ke sana.” Terdiamlah para Agung mendengar
cerita panjang dari Cerub itu.

459
Sementara itu, di Tanah Barat, Kota Daria. Pertempuran
para Rephaiem berlangsung dengan hebat di sana. Barisan Legion
menekan dengan hebat. Barisan Rephairiem mulai terserak. Maka
Erenel berlari-lari di tengah pertempuran dan ia berseru-seru
mengumpulkan barisannya. Kata Erenel pada saudaranya,
“Hirnael, tiup sangakakala dan kumpulkan kembali barisan
ini! Katakan pada pemimpin yang lain. Barisan kita harus berkum-
pul. Pertempuran mulai mendekati kota. Kita tertekan mundur se-
cara perlahan.” Maka segeralah para pemimpin barisan Rephairiem
diperintahkan mengumpulkan barisan mereka lagi. Sebab para
Rephaiem tercampur baur dan ada yang terjebak di antara para
legion.
Berjuanglah para Rephaiem itu untuk memperbaiki barisan
mereka. Perlahan-lahan barisan Rephaiem berkumpul dan kembali
pada barisannya masing-masing. Pertempuran itu tidak berhenti
dan terus berlangsung. Saling bantai mereka di sana dengan liar.
Tidak ada yang melepas ampun atau menjadi iba pada musuhnya.
Erenel masuk dalam barisan dan ia mendapati barisan belakang
yang menyokong barisan depan. Saat itu korban-korban luka diba-
wa dari pertempuran dan dibawa masuk dalam kota. Bertemulah
Erenel dengan para pemimpin barisan belakang. Kata salah satu
Rephai di sana,
“Bagaimana barisan depan, Erenel? Mari adakan pergantian
dan biarkan kami juga mendapat kesempatan untuk maju ke baris-
an depan!” Namun Erenel berhenti dan duduk di sana. Ia mengam-
bil daun-daun lap untuk menyeka tubuhnya yang kotor. Lalu kata
Erenel,
“Percayalah, Rephaiem Daria ini tidak akan berhenti sebe-
lum pertempuran ini usai. Aku akan mengusahakan supaya kamu
dapat kesempatan untuk berhadapan dengan legion. Namun saat
ini, berilah aku bantuan, saudara-saudara. Pergilah ke batas kota.
Ke bangunan pertama dan buat pembatas di sana. Buat saja pagar
dari kayu dan batu puing-puing. Ada Rephaiem tukang batu di
dalam kota, mintalah mereka membantumu. Barisan Legiun itu
besar dan banyak. Barisan kita tidak tahan bertempur terbuka.

460
Lihatlah kita sudah mundur jauh dari garis pertama pertemuan dua
barisan ini. Legiun akan menekan terus sampai mencapai kota.
Aturlah juga Botcilesh di sana. Aku berencana memecah
barisan musuh dengan itu. Mereka terlalu kuat menekan di tengah
dan mereka berdiri rapat satu dengan yang lain. Kita harus mem-
bongkar barisan mereka. Bawa yang terluka ke Tanah Roti untuk
disegarkan. Yang terluka parah, segera bawa pada para Ammatiem.
Aku mendengar ada perkemahan Ammatiem di Tanah Jegudiem
sekarang, mereka akan membantu.” Kemudian kata para pemimpin
barisan itu,
“Baiklah akan kubuat karena aku menaruh hormat padamu
yang memimpin Daria. Namun setelah barisan musuh terbuka,
biarlah kami masuk dalam pertempuran. Kemudian, siapa yang
akan membawa korban luka ke sana? Seluruh barisan kita tidak
ingin meninggalkan kota itu sebelum mereka masuk dalam pertem-
puran. Rephaiem ini menggila, Erenel.” Maka kemudian kata
Erenel,
“Aku sudah berkata, aku akan mengusahakan supaya kamu
dapat bertempur nanti. Namun sekarang atur saja itu dahulu. Ada
pertempuran yang harus kujalani saat ini. Barisanku ada di depan
sana. Mohon saja para Jegudiem di kota ini untuk membawa sau-
dara-saudara yang terluka. Kita tidak ada waktu untuk membi-
carakan ini. Tegaskan pada para Rephaiem! Kamu ini sebagai
pemimpin yang dipercayakan. Mereka harus taat pada perintah dan
himbauanmu!” Kemudian bangkitlah Erenel. Ia berjalan mengambil
senjatanya dan masuk lagi menyela-nyela dalam barisan dan kem-
bali bertempur di barisan depan. Satu Shakta sudah para Rephaiem
itu bertempur habis-habisan.
Sementara itu, para Rephaiem kebingungan siapa yang akan
membawa korban luka yang parah. Sedang dari para Rephaiem
sendiri tidak ada yang mau untuk pergi membawa korban luka,
karena mereka ingin bertempur. Lalu kemudian datanglah para
Bartarchiem dan melihat yang terluka itu. Maka kata para
Bartarchiem itu,
“Baiklah kami akan membawa saudara-saudara ini ke Tanah
Jegudiem. Namun ingatlah ini, saudara-saudara. Bahwa kami telah

461
membuat ini demi kamu. Kiranya ceritakan ini pada pemimpinmu
dan tuanmu. Supaya Rephaiem tahu bahwa kami telah memban-
tunya, bukan untuk lari dari pertempuran.” Maka jawab para
Rephaiem,
“Kamu yang membawa saudara-saudara kami pada para
Ammatiem itu, tidak akan kami perhitungkan sebagai penyokong
pertempuran. Namun karena kamu sudah membawa saudara kami
yang terluka ini, jasamu itu sama dengan para pejuang yang
bertempur di barisan paling depan!” Maka kemudian pergilah para
Bartarchiem beramai-ramai dan beriring-iringan membawa korban-
korban luka. Jumlah para Bartarchiem di sana ada cukup banyak
dan mereka semua pergi setiap ada yang terluka untuk dibawa. Jadi
iring-iringan mereka seperti tiada henti dan tidak berjarak jauh.
Itulah sebabnya para Rephaiem di Tanah Barat sangat bersuka bila
melihat para Bartarchiem berjalan beramai-ramai. Sebab mereka
mengingat akan peristiwa ini. Dan para Rephaiem Daria berkata,
“Aku harap ada banyak malaikat seperti Bartarchiem yang
mau menukar kesempatan membantai musuh dengan kegiatan
mengantar yang terluka. Dengan begitu kami dapat bertempur
dengan puas.”
Juga dari para Bartarchiem, mereka yang terlibat dalam
pertempuran di Daria itu, sekalipun mereka ini hanya menyokong
pertempuran, mereka bangga karena diperhitungkan sebagai
pejuang di barisan depan. Sampai saat ini, para Bartarchiem yang
ada di sana tetap berkata: “Dari Daria sampai Tanah Roti tahu,
bahwa Rephaiem memandang kami sebagai pejuang-pejuang
hebat!” Namun memang benar kata mereka. Para Rephaiem
memandang mereka sebagai pejuang karena telah menanggalkan
keinginan untuk bertempur dan lebih memilih untuk membantu
yang terluka. Sedang hal seperti itu sangat sulit untuk dilakukan
para Rephaiem.

Para Agung di Tanah Selatan melihat peta yang dibawa oleh


Samanel pada mereka. Yehudiel menanya-nanyakan tentang
hamba-hambanya yang ada di Tanah Altar pada Samanel. Keadaan
para Yehudiem di Tanah Altar berdiam di perkemahan para Cerub-

462
biem yang melawan Bartus-Mindrel. Berkatalah Mikhael di sana,
katanya,
“Ini adalah kesempatan kita untuk menyerang Tanah Altar,
saudara-saudara. Kita akan merebut kembali Tanah Altar menjadi
milik Sorga!” Kemudian bangkitlah Sealtiel dan ia berbicara diam-
diam dengan para Agung, sedang Yehudiel masih berbincang
dengan Samanel. Kata Sealtiel,
“Tahan dahulu sebentar, Serael. Kita tidak tahu apakah
hamba ini berbicara benar atau tidak. Aku takut bila ini adalah
jebakan Bartus-Mindrel.” Tiba-tiba Yehudiel berseru saat berbin-
cang dengan Samanel, katanya,
“Bagaimana bisa kamu membiarkan Bartus-Mindrel masuk
dalam rumah gulungan di sebelah selatan?” Lalu berpalinglah
Yehudiel pada para Agung dan berkata,
“Bartus-Mindrel masuk dalam perpustakaan gulungan
kuno, saudaraku. Ia tentu sudah membaca banyak di sana dan
sudah menjadi banyak tahu. Sedang ia ini tidak mendapat keperca-
yaan untuk mengetahui berbagai pengetahuan itu. Kita harus
segera menyerangnya dan membawanya untuk dihancurkan.”
Lalu berkatalah Mikhael,
“Aku mendukungmu, saudaraku. Namun benar perkataan
Sealtiel. Kita tidak tahu apakah Samanel ini berbicara benar atau
bersalah-salah. Di masa-masa yang membingungkan ini, aku juga
tidak tahu sejak kapan malaikat bersaksi tentang apa yang tidak
pernah ia saksikan. Luciel telah meracuni tanah Sorga. Para malai-
kat berbuat tidak wajar dan kita harus berjaga-jaga pada siapa saja,
termasuk hamba-hamba kita. Bahkan hamba-hamba pelayan kita
sudah melawan dan mereka ingin mendapat hal yang sama dengan
para Seraphiem yang mendapat penghormatan. Sejak kapan malai-
kat berlaku seperti itu? Baiklah sekarang kita mencari kebenaran
dari Samanel ini.” Lalu kemudian berkatalah Raphael,
“Biarlah ia mengangkat sumpah di depan sidang. Di hadap-
an para Agung. Ia harus mengangkat sumpahnya dan ia akan
terikat. Bila ia telah bersaksi salah pada kita, maka ia ini akan
sangat-sangat kesusahan nantinya.” Kemudian para Agung melihat
pada Samanel yang terus berlutut.

463
Sealtiel berjalan pada Samanel itu dan ia mengawasinya.
Kemudian berkatalah Sealtiel,
“Samanel, aku tahu bahwa engkau ini hamba yang baik.
Pelayananmu bagi Sorga sudah banyak dan lama masa-masamu
hidup di Tanah Altar. Kiranya engkau benar-benar seperti harapan-
ku, sehingga nantinya aku pun akan selalu percaya padamu.
Angkatlah sumpah di depan sidang dan kami akan membebaskan
Tanah Altar dari Bartus-Mindrel.” Kemudian kata Samanel,
“Aku mau tuanku. Sekarang ini tidak ada pemimpin yang
sah atas Cerubbiem dan tuan Sealtiel satu-satunya Cerub yang
paling tinggi di antara suku ini. Berilah kiranya hamba ini kekuatan
untuk menggenapi sumpah hamba.” Kemudian para Agung mem-
buka sidang di sana dan mereka duduk melingkar pada mejanya
masing-masing. Samanel berlutut di tengah mereka.
Baru mereka hendak memulai, pintu ruang itu diketuk dari
luar. Karena itu, bangkitlah Yehudiel dan membuka pintu itu lalu ia
keluar. Tidak lama ia masuk kembali dan berkata,
“Raphael, ada hamba-hamba dari Daria yang membawa
kabar padamu. Kata mereka ini sangat penting.” Namun kemudian
kata Raphael,
“Biarkan mereka menunggu. Aku tidak mau membuat
saudara-saudaraku menunggu aku berurusan dengan seorang ham-
ba.” Maka dibukalah sidang itu dan dimulai. Sumpah yang diang-
kat dalam sidang itu lebih besar kuasanya dan kutuknya juga akan
lebih besar. Bila ada malaikat melanggar sumpah yang diucap
dalam sidang seperti itu, maka ia akan menerima sepuluh kutukan.
Namun karena Luciel telah berkhianat, maka hukumnya diganti
menjadi sembilan kutukan saja.
Setelah para Agung memulai sidang, berkatalah Mikhael di
sana, katanya,
“Saudara-saudaraku, baiklah saat ini aku memberi kesem-
patan pada hamba Cerub, Se’el yang disebut Samanel ini, untuk
mengucapkan sumpahnya bahwa ia telah bersaksi benar di depan
Malaikat Agung dalam sidang yang sah. Adakah saudara-saudara
yang menentang aku?” Kemudian sepakatlah para Agung. Lagi
kata Mikhael,

464
“Samanel, bangkit dan ucaplah sumpahmu dengan tangan-
mu di atas cawan itu!” Lalu bangkitlah Samanel dan ia menum-
pangkan tangannya atas cawan anggur. Lalu katanya,
“Aku bersumpah di hadapan pada Malaikat Agung yang
ada bersamaku saat ini sebagai saksi atas sumpahku. Baiklah aku
mengangkat sumpah ini demi tuan-tuan sekalian dan aku telah siap
menanggung segala sumpahku pada pundakku sendiri tanpa ada
yang membantu aku bila aku gagal. Semua kesaksianku pada tuan-
tuan sekalian adalah benar dan memang aku ini bukan pelayan
Bartus-Mindrel melainkan pelayan kehendak Yang Terang. Pada
Malaikat Agung aku menghamba dan pada Tanah Sorga aku meng-
hormat. Kesaksianku adalah benar dan tidak bersalah-salah. Bila
mana ada sedikit saja kesalahan yang didapati dalam kesaksianku
pada tuan-tuan sekalian, maka terkutuklah aku oleh setiap mulut
Malaikat Agung. Bila tergenapi sumpahku, maka hasilnya bagi
Sorga. Dan bila gagal aku menggenapi sumpah ini, maka semua
kesalahannya tertumpah atas kepalaku sendiri dan aku dengan rela
akan meminum kutuk atas diriku. Kiranya kasih Yang Sulung terus
beserta aku. Juga aku masih mendapat kasih tuan-tuan Malaikat
Agung, supaya bila aku gagal, kiranya aku dapat diluputkan dari
malapetaka.
Aku bersumpah juga, aku akan berjuang dalam berbagai
pertempuran bersama barisan Sorga untuk memenangkan pepera-
ngan ini bagi Tanah Sorga. Sampai Yang Sulung datang, sampai
Sorga kembali menjadi Sorga lagi. Dan sampai seterusnya, aku
adalah pelayan setia.” Maka kemudian ia mengambil cawan yang
dalamnya sudah tertuang segala sumpahnya dan ia meminum itu.
Lalu kemudian bangkitlah Sealtiel dan mengambil pedang.
Ia berjalan pada Samanel dan ia berkata,
“Kiranya kasih Yang Sulung bersamamu, Samanel.” Lalu
Sealtiel mengangkat pedangnya dan ia berkata,
“Aku mengutuk kamu, Samanel! Karena kesaksianmu yang
bersalah itu! Maka pedang pada tanganku ini akan mengambil dua
kaki depanmu dan tidak akan kakimu itu dapat kembali!” Lalu
Sealtiel mengayun pedangnya pada Samanel dan Samanel hanya
berdiam memejamkan matanya.

465
Saat pedang itu menghantam kaki Samanel, patah dan
hancurlah pedang itu seketika dan keluar cahaya dari pedang itu
lalu hilang. Maka tahulah para Agung bahwa Samanel itu berbicara
benar dan kesaksiannya tidak bersalah. Sebab Sealtiel sudah
mengutuknya, namun kutuk itu patah. Lalu berserulah Sealtiel,
“Ia bersaksi benar! Saudara-saudaraku, mari kita maju ke
Tanah Altar!” Maka berserulah Mikhael,
“Sidang ditutup! Aku akan mempersiapkan barisan.” Kemu-
dian Mikhael keluar dari sana. Yehudiel dan Sealtiel segera mem-
bawa Samanel ke satu bekas rumah kerja yang disediakan untuk
tempat mereka. Sedang Raphael bersama dengan Gabriel berjalan
keluar dari ruang itu.
Mikhael memanggil para pemimpin barisan dan mengum-
pulkan mereka semua dalam ruangannya. Raphael dan Gabriel
berjalan dan berbincang bersama. Kata Gabriel,
“Nampaknya acara perayaan akan batal lagi, Raphael. Kita
jauh-jauh datang ke sini untuk perayaan. Kemudian menjadi acara
penghormatan dan pemberian tanda jasa sementara. Sekarang, kita
akan pergi ke Tanah Altar.” Kemudian Raphael tersenyum dan
berkata,
“Serael sudah banyak memikirkan Sorga, Jegudiel. Aku tahu
bahwa memang Tanah Rephaiem Selatan itu adalah tanggungannya
untuk dimenangkan dari musuh. Namun ia juga harus memikirkan
tanah-tanah Sorga yang lain. Bila memang tidak ada perayaan di
Tanah Selatan, seharusnya pertempuran Tanah Barat dapat berlang-
sung. Mungkin saat ini kita sudah menguasai Derie dan Tanah
Anggur. Namun aku tidak masalah dengan itu, saudaraku. Serael
memang banyak sekali pikirannya. Namun aku ini juga ingin
supaya Tanah Rephaiem Selatan segera bebas dari kuasa musuh.
Bila aku menyerangnya sendiri, maka Serael tidak dapat mengge-
napi sumpahnya. Karena sekarang ada permasalahan Tanah Altar
lagi, baiklah aku membantu Seraphiem menyelesaikannya. Semakin
cepat selesai para Seraphiem di Tanah Altar, maka akan semakin
cepat mereka bertempur lagi menuju Tanah Rephaiem Selatan.”
Kemudian kata Gabriel,

466
“Kapan kita selesai dengan peperangan, Raphael? Aku
sudah benar-benar lelah dengan semua ini. Rasanya ingin aku lepas
dari tubuh ini.” Kemudian kata Raphael,
“Tenangkan jiwamu, saudaraku. Bila engkau lepas dari
tubuhmu, bagaimana kita dapat bersama lagi? Saat perang selesai,
aku ingin memperbaiki sayapmu, Jegudiel. Ada rancanganku bagi
tubuhmu supaya engkau lebih aman dalam pertempuran. Sayapmu
itu lebar dan bagus, aku hendak sedikit mengubahnya. Bila engkau
mau, aku akan menggantinya. Tidak harus setelah masa perang
selesai, sebelum masa ini selesai pun, aku bersedia.” Kemudian kata
Gabriel,
“Jangan, Ralph. Sayap ini bagus dengan warnanya sangat
cocok. Lagipula aku ini bukan pejuang, tentu aku tidak akan pernah
dapat masuk dalam pertempuran. Jadi tidak perlu memikirkan
untuk keamananku.”
Masih mereka berbincang-bincang, datanglah seorang
Rephai pada Raphael dan Gabriel. Kemudian berkatalah hamba itu,
“Salam bagi para Malaikat Agung, tuan-tuan sekalian. Tuan-
ku Raphael, salam bagimu, Tangan Allah. Juga bagimu Suara Allah,
salam bagimu tuan Jegudiel.” Raphael melihat hambanya itu dan ia
terkejut. Lalu kata Raphael,
“Hailamel, bagaimana engkau ada di sini? Bukankah seha-
rusnya engkau ada di Kraduria.” Kemudian hamba itu berkata
pada Raphael, katanya,
“Tuanku, kiranya engkau mengasihi hamba-hambamu,
kembalilah ke Tanah Barat, ya tuanku. Hamba-hambamu memerlu-
kanmu di sana.” Kemudian kata Raphael,
“Baik katakan pada Melhuriel, supaya ia membawa barisan
ke Tanah Jegudiem, aku akan ada di sana. Aku perlu barisan untuk
urusan ke Tanah Altar. Aku tahu hamba-hambaku sudah merindu-
kan aku, baiklah kita bertemu di Tanah Jegudiem.” Namun jawab
hamba itu,
“Rindu kami pada tuan tidak dapat berakhir, tuanku.
Namun masakan hamba-hambamu di Tanah Barat sampai berani
mengutus aku pada tuan hanya untuk mengatakan rindu. Ada per-

467
masalahan di Tanah Barat, tuan. Kiranya kasih tuan ada padaku,
mari kembalilah, ya Tangan Allah.” Kemudian kata Raphael,
“Masalah apa yang engkau bicarakan ini?” Lalu kata Rephai
itu,
“Ampuni aku, sungguh kiranya ampuni aku tuan. Namun
jangan di depan tuan Jegudiel. Ini permasalahan Rephaiem.” Lalu
Raphael berkata pada Gabriel, katanya,
“Kiranya hambaku mendapat ampunmu, saudaraku. Ia ini
bukan hamba pelayan, maka ia tidak dapat berbicara dengan baik.
Perkataannya kasar dan cepat bicaranya.” Lalu kata Raphael pada
hamba itu,
“Katakan saja di sini!” Lalu hamba Rephai itu berdiam dan
ia tidak bicara. Ia berdiam dan berpikir banyak sekali. Kemudian
Raphael menyentuh pinggang hamba itu dengan ujung kakinya.
Maka berkatalah hamba itu, katanya,
“Daria telah diserang dengan hebat, tuanku. Legiun dan
Bath-Pometh berbaris dari Derie dan turun ke Kota Daria. Mereka
datang enam Shakta lalu. Mungkin pertempuran sudah dimulai
saat ini.” Terkejutlah Raphael dan ia terduduk. Gabriel menopang
Raphael dan membawa Raphael untuk didudukkan di atas kursi.
Lalu kata Gabriel, “Kuatlah, Raphael! Kuatlah kiranya
Tangan Allah. Hamba-hambamu tentu hamba-hambamu akan baik-
baik saja.” Lalu Raphael dibawa dalam ruangan yang sepi dan para
pelayannya dipanggil untuk melayani segera.
Kemudian datanglah Mikhael menghampiri Raphael dan
Gabriel. Ia masuk ke sana dan tidak melihat Raphael yang sedang
lemah, sebab ia tidak tahu bahwa Raphael sedang lemah di sana.
Kemudian kata Mikhael,
“Barisan Seraphiem akan siap dalam empat Shakta. Tombak
seribu akan berkumpul di sini nanti dan persiapan pertahanan kota
ini akan dipersiapkan. Penyerangan di sebelah barat sudah dimulai
dan barisan beruang putih sudah memulai pertempuran mereka.
Mari kita berkumpul dan aku akan menunjukkan padamu tentang
berkas-berkas barisan Legiun.” Kemudian Gabriel melihat Mikhael
dan ia bangkit. Lalu Gabriel berkata pada Mikhael berdua saja,
katanya,

468
“Raphael sedang lemah. Lihatlah saudaramu itu. Ada kabar
dari Tanah Barat. Enam Shakta lalu, barisan Legiun dan Bath-
Pometh berkumpul membentuk barisan mereka. Dari Derie mereka
turun ke Daria. Mungkin saat ini sudah banyak korban berjatuhan
di sana. Raphael sebelumnya sudah berkata padaku ia hendak
membantu barisanmu dalam urusan Tanah Altar. Namun mungkin
ia tidak akan dapat melakukannya saat ini, Mikhael.” Kemudian
kata Mikhael,
“Legiun dan Bath-Pometh? Dua barisan besar telah berse-
kutu. Tentu saja mereka mengambil kesempatan ini, Gabriel. Tanah
Selatan telah direbut kembali dan mengusir Legiun dari sini, kemu-
dian mereka kembali bersatu. Mungkin para Seraphiem terlalu kuat
bagi mereka sehingga mata mereka menuju Tanah Rephaiem kem-
bali.” Kemudian Mikhael menghampiri Raphael untuk melihatnya.
Lalu datanglah pula Yehudiel dan Sealtiel ke sana. Kemu-
dian berkatalah Yehudiel,
“Serael, kapan barisanmu akan berangkat? Bila masih lama,
aku hendak menduluimu ke Samahnia. Samanel akan besertaku
dan Sealtiel. Aku merencanakan serangan pertama dengan Jhud-
riem.” Lalu Yehudiel dan Sealtiel melihat bahwa Raphael sedang
lemah, maka berkumpullah mereka. Kemudian Raphael duduk dan
ia berkata pelan pada saudara-saudaranya, katanya,
“Janganlah perhatikan aku yang sedang lemah. Kamu
semua masih kuat dan kamu harus kuat. Aku harus kembali ke
Tanah Barat, hamba-hambaku sedang dalam pertempuran saat ini.”
Kemudian kata Mikhael,
“Jangan terlalu berat memikirkan hamba-hambamu, Ra-
phael. Sesekali biarkan hamba-hambamu itu bertempur sendiri.
Mereka akan baik-baik saja. Rephairiem adalah barisan yang sangat
besar dan kuat, janganlah engkau lemah kerena mereka dalam per-
tempuran.” Lalu Gabriel menceritakan pada Yehudiel dan Sealtiel
tentang kabar dari Tanah Barat itu. Kemudian berkatalah Raphael,
“Hamba-hambaku adalah tukang batu dan penempa, Serael.
Bila para Seraphiem yang bertempur, aku tidak akan memikirkan-
nya dan aku tahu mereka adalah para pejuang hebat. Dalam
keadaan seperti ini, setidaknya aku ada di sana untuk menguatkan

469
hamba-hambaku. Aku akan mengirim barisan padamu di Tanah
Jegudiem dan bawalah mereka dalam pertempuran Tanah Altar.
Bila engkau hendak menyerang Bartus-Mindrel cepat-cepat.” Lalu
berkatalah Sealtiel di sana, katanya,
“Tidak perlu membawa banyak-banyak barisan, saudaraku.
Uruslah dahulu hamba-hambamu supaya engkau menjadi tenang.
Pergilah segera ke Tanah Barat. Serahkan Tanah Altar pada kami
untuk mengurusnya. Lagi pula barisan Cerubbiem juga mendu-
kung kita dari dalam, sedang barisan Bartus-Mindrel tidak ada
banyak jumlahnya, kita akan menang dengan mudah di sana.” Lalu
kemudian Yehudiel menggeser Mikhael dan ia duduk dekat
Raphael yang sedang rebah di atas meja batu.
Yehudiel mengambil tanduk minyak dan ia mengurapi
Raphael di sana. Katanya,
“Bangkitlah Tangan Allah! Hamba-hambamu membutuh-
kanmu di tanah mereka saat ini. Barisan besar sedang menyerang
tanahmu. Pertempuranmu akan sangat berat. Di sana ada sedikit
barisanku yang kuutus sebelumnya untuk mengurapi barisan
Rephairiem. Mereka masih berdiam di sana. Runanel adalah hamba
yang baik dan ia mahir mengayun pedang layaknya Mahanael.”
Kemudian kuatlah kaki-kaki Raphael dan ia berdiri di sana dengan
memejamkan matanya. Kemudian kata Raphael,
“Mari kita kembali mengurus para penjahat ini. Mereka
terus saja mengacau di tanahku. Serael, bila sudah engkau selesai di
Tanah Altar, mari segera susul aku di Daria. Ada pertempuran yang
masih menunggumu di sana. Derie dan Tanah Anggur masih dalam
kuasa musuh. Tanah Rephaiem Selatan juga masih sangat banyak
yang belum kita perangi.” Lalu kata Mikhael,
“Setelah Tanah Altar, aku akan menyusulmu, saudaraku.”
Kemudian bersiaplah Raphael untuk pergi dari sana. Ia dan semua
rombongan hamba-hambanya. Namun para Rephaiem yang masih
mengerjakan kota-kota di Tanah Seraphiem ditinggalkan di sana.
Kabar dari Daria itu segera disebarkan dan diberitakan pada para
Rephaiem.
Sementara itu Mikhael menahan Yehudiel dan Sealtiel di
Tanah Selatan. Kata Mikhael,

470
“Yehudiel, jangan pergi mendului aku. Kita akan pergi ber-
sama-sama. Barisan tombak seribu masih dikumpulkan dan mereka
akan siap dalam empat Shakta saja. Lagi pula barisanmu belum
pernah bertempur sebelumnya, mereka akan kejang bila engkau
langsung membawa dalam pertempuran langsung. Setidaknya biar-
kan mereka melihat dahulu, seperti apa pertempuran itu.” Maka
Yehudiel dan Sealtiel berdiam lagi di sana menunggu Mikhael dan
barisannya dipersiapkan.
Setelah Raphael siap, ia memanggil saudara-saudaranya
untuk berpamit. Rombongan Raphael pergi bertunggang dan me-
reka meninggalkan semua barang-barang yang berat dan sulit
dibawa. Seperti kereta-kereta tarik dan barang-barang keperluan
Raphael. Kata Raphael,
“Saudara-saudaraku, aku akan pergi dari sini meninggalkan
kamu. Serael, kiranya tanpa perayaan, tanah ini akan tetap bersuka
karena kembali pada tuannya. Kita akan rayakan Tanah Selatan
nanti saja, bila sudah Tanah Rephaiem Selatan sudah bangkit juga.
Sampaikan salamku pada Bartus-Mindrel, Yehudiel. Tampar muka-
nya bagiku.” Lalu kata Mikhael,
“Kita akan merayakannya bersama-sama sebentar lagi. Per-
gilah dan selamatkan Daria dari musuhnya. Bila mungkin engkau
mendapati Eftiel dalam pertempuran, katakan padanya: Serael siap
membantaimu!” Kemudian Yehudiel memeluk Raphael dan
berkata,
“Aku akan merindumu, saudaraku. Aku akan menampar-
nya bagimu. Namun berjanjilah engkau akan tetap menamparnya
nanti bila engkau bertemu dengannya. Kemudian, mengenai ham-
baku Runanel. Ia ada di Daria bersama segelintir barisannya. Bila
aku mendapat kasihmu, biarlah mereka mendapat pengalaman
pertempuran yang baik di sana dan jangan sayangkan mereka.”
Lalu Raphael memeluk Yehudiel lagi. Kemudian kata Raphael,
“Sealtiel, Jegudiel. Sampai kita bertemu lagi nanti. Ada
angin dari sebelah timur menghembus wajahku. Datangnya dari
utara. Hangat anginnya menyapa jubahku dan aku tahu ada keha-
ngatan dalam angin itu. Saudaraku Api Allah akan datang ke sini.

471
Sampaikan ciumku padanya.” Kemudian pergilah Raphael bersama
rombongannya.
Lalu Mikhael berkata di sana, katanya,
“Bukankah Raphael bicara tentang Uriel? Bagaimana ia
tahu, padahal Uriel belum ada di sini? Lagi pula masakan Uriel
akan datang pada kita di saat-saat tegang di Tanah Utara?” Kemu-
dian kata Yehudiel,
“Uriel dan Raphael bukanlah saudara biasa, Serael. Mereka
itu cukup aneh bagiku. Mereka bisa saling merasakan dan dapat
saling mengerti hanya dengan saling pandang. Mungkin saja me-
mang benar kalau Uriel akan datang ke mari.” Kemudian tidak
lama kemudian datanglah seorang penunggang dari utara ke sana
membawa surat-surat. Ia turun dari tunggangannya dan membe-
rikan surat-surat itu pada para Agung sebelum para Agung masuk
dalam rumah gulungan. Setelah diterima surat itu, masuklah para
Agung dalam ruangan mereka dan hendak membuka berkas-berkas
Legiun dan membahasnya di sana.
Diaturlah meja-meja mereka untuk berbicara di sana. Setelah
itu Gabriel melihat surat yang diterima dari Utara itu. Kemudian
duduklah ia dan berkata,
“Sudah lama sekali rasanya aku tidak melihat cap ini. Ini
surat Raziel, saudara-saudara. Ada kabar dari Timur kali ini. Mari
berharap ini bukan kabar seperti Tanah Barat.” Mendengar Gabriel,
berkumpullah segera para Agung melihat surat itu, selagi Gabriel
membuka kaitan gulungannya. Kemudian Gabriel membacanya
bagi saudara-saudaranya. Dalam surat itu, Raziel memberi kabar
pada para Agung. Bahwa ia bersama Uriel, Bart-Archiel dan
Ammatiel akan datang ke Tanah Selatan dalam rangka memenuhi
undangan perayaan bangkitnya Tanah Selatan. Kemudian para
Agung memandang Mikhael. Lalu kata Mikhael,
“Aku tidak pernah membatalkan perayaan itu. Mengapa
kamu memandangi aku? Lagi pula perayaannya batal karena ber-
bagai perkara. Bukankah tetap baik bila saudara-saudara kita da-
tang pada kita? Sekalipun perayaannya batal?” Kemudian mereka
duduk pada tempat mereka masing-masing. Lalu kata Gabriel,

472
“Saudara-saudara dari Timur dan Utara datang bersama-
sama. Pasti ada cerita menarik sehingga mereka dapat pergi
bersama-sama.” Lalu mulailah Mikhael membuka berkas-berkas
Legiun dan ia membahasnya di sana.
Berlalulah waktu. Raphael bertunggang dengan cepat. Ia
sampai di Eranoth tepat saat rombongan para Agung dari utara
lewat juga di daerah sana. Mereka tidak saling bertemu dan tidak
tahu mereka sedang berpapasan. Raphael singgah sebentar sekali di
Eranoth dan terus lagi ke Samahnia untuk melihat keadaan barisan
Jhudriem. Lalu terus ke Tanah Roti. Dalam perjalanannya Raphael
mengganti tunggangan sebanyak tiga kali. Supaya ia dapat bertung-
gang tanpa henti dan tidak dihalangi masalah letihnya tunggangan.
Uriel, Raziel, Bart-Archiel dan Ammatiel lewat Kota Raziel
dan mereka berbelok ke barat. Sampai dekat Eranoth dan dari sana
mereka berbelok ke selatan menuju Tanah Yehudiem dan Tanah
Allah. Perjalanan mereka santai dan banyak berhenti-berhenti
sebentar untuk singgah-singgah. Namun tidak pernah berhenti
lama. Para Agung di Tanah Selatan sendiri sudah membahas ren-
cana-rencana Legiun dalam empat Shakta. Lalu mereka pergi dari
Artaria bersama barisan tombak seribu. Mereka berencana menanti
para Agung dari utara di perbatasan Tanah Seraphiem dan Tanah
Allah, di Pohon Serael.

Sedang pertempuran di Tanah Barat terus berlangsung.


Setelah bertempur dua Shakta tanpa henti, barisan Legiun memu-
tuskan untuk menghentikan pertempuran dan mereka mundur ke
kubu mereka di luar puing-puing tembok. Barisan mereka memba-
ngun perkemahan di sana. Dan kubu barisan Rephaiem ada di Kota
Daria sendiri. Mereka berdiam di rumah-rumah kerja. Pertempuran
menjadi tenang dan mendapat masa istirahat. Erenel pemimpin
Daria berkumpul bersama saudara dan kerabatnya. Ia memanggil
juga para pemimpin barisan untuk duduk bersama dan membahas
pertempuran yang sudah berlalu itu. Di sana mereka mempersiap-
kan berbagai-bagai rencana untuk menghadapi pertempuran yang
akan datang. Sebab mereka tahu, Legiun akan menggempur Daria

473
tanpa henti dalam pertempuran itu. Belum lagi barisan Bath-
Pometh yang masih belum bergabung dalam pertempuran.
Saat Erenel mengumpulkan para pemimpin barisan,
Raphael masih dalam perjalanannya ke Eranoth. Berkatalah Erenel
pada para pemimpin barisan Rephairiem di Daria, katanya,
“Aku sangat bersyukur pada Yang Terang karena kita sudah
bertempur dengan sangat baik. Bahkan aku sangat bersuka saat ini,
karena kita baru saja menghadapi barisan terbesar dari musuh kita
dan kita dapat bertahan. Sungguh semua ini jauh dari perkiraanku
sebelum pertempuran dimulai. Saat ini kita sudah menentukan
batas yang harus dipertahankan. Yaitu dari bangunan pertama, di
sebelah barat adalah batas terluar dari Daria saat ini. Karena sele-
bihnya sudah dikuasai musuh. Jadi itu garis pertahanan kita semen-
tara ini dan aku harap kita dapat menekan musuh dan kembali ke
tempat tembok kita.” Lalu mereka merayakan pertempuran itu di
sana dengan sukacita.
Lalu berkatalah seorang pemimpin barisan itu,
“Kita akan menang. Kekuatan Legiun itu tidak seberapa
rupanya. Bahkan Botcilesh belum ditembakkan lagi sampai saat ini
dan mereka tidak dapat menekan kita lebih jauh dari tempat ini.”
Kemudian berkatalah Erenel,
“Memang kamu sudah bertempur dengan baik. Nah seka-
rang, saudara-saudara. Ada hal yang harus kubicarakan padamu.
Sebab tempat medan tempur kita tidak cukup lebar untuk seluruh
barisan di kota ini dapat terlibat. Sedang barisan lain, yaitu barisan
yang berdiam di sebelah timur kota ini dan juga barisan dari perke-
mahan Rapuan-Al sudah ada di sini. Mereka semua itu juga ingin
bertempur demi Daria. Kiranya saudaraku mau memberi mereka
kesempatan untuk bertempur di garis depan dalam pertempuran
sebelumnya.” Maka ramailah para pemimpin barisan itu di sana.
Ada yang berkata: “Mengapa juga engkau memanggil barisan dari
luar Daria? Kita para penduduk Daria saja sudah cukup untuk
mempertahankan kota. Sekarang kita harus memberikan garis
depan pada mereka.” Ada pula yang berkata: “Inilah adalah per-
tempuran Daria, bukan pertempuran mereka yang berkemah di
padang.” Semakin ramai mereka di sana.

474
Kemudian Erenel memanggil para pemimpin barisan lain,
yaitu pemimpin-pemimpin dari kota sebelah timur dari barisan
bantuan yang datang. Mereka duduk bersama dalam aula besar
untuk berbicara masalah pertempuran. Sungguh para Rephaiem itu
sangat keras kepala dan mereka hanya ingin bertempur saja mela-
wan Legiun. Tidak seorang pun dari para pemimpin itu yang
mengalah untuk tidak ikut bertempur dalam pertempuran yang
akan datang. Mereka masing-masing mengajukan nama-nama
barisan mereka untuk diikutkan dalam pertempuran. Suasananya
ramai dan tidak baik untuk berbicara masalah pertempuran.
Sedang para Rephaiem itu ramai di aula mereka, Legiun
tengah mengumpulkan tenaga dan rencana mereka. Gurim-Mahel
melihat bahwa para Rephaiem bertempur dengan liar dan terbuka.
Maka ia merencanakan pertempuran tertutup untuk selanjutnya.
Barisan Bath-Pometh dipanggil dan mereka membahas rencana
mereka. Ada dinding batu mengapit Daria. Gurim-Mahel berencana
memenuhi tanah Daria dari tebing, ke tebing. Jumlah mereka sangat
cukup untuk melakukan itu dan mereka akan berbaris dengan rapat
sehingga Rephaiem tidak dapat menembusnya. Tombak-tombak
panjang mereka gunakan dan persiapkan untuk pertempuran itu.
Mereka saling berbicara dengan tenang. Sedang para Rephaiem
tidak sempat membicarakan rencana, namun hanya ramai berebut
untuk dapat ikut bertempur di garis depan.

475
Datangnya Raja Hemoth

Di Utara, Luciel terus mempersiapkan barisannya dan ia


terus bersikeras merebut Gunung Shunyi dari Asgrandror. Dengan
bangkitnya barisan-barisannya, semakin kuatlah ia. Bukan hanya
semakin kuat untuk Gunung Shunyi, namun semakin kuat juga
untuk menghadapi barisan malaikat nantinya. Saat Luciel memper-
siapkan barisan Bemoth, di padang luas Hutan Utara Lama; tiba-
tiba keluarlah serombongan kaum Hamot lain dari Hutan Utara.
Kaum Hamot yang dilatih Luciel untuk barisan Bemoth ada seratus
tiga puluh Hamot banyaknya. Sedang yang datang kemudian itu
ada lima puluh tiga banyaknya. Mereka menghampiri tempat pe-
latihan para Hamot di padang itu dan mengamuk di sana. Kemu-
dian mereka melepaskan kaum mereka yang dirantai oleh hamba-
hamba Luciel di sana.
Maka berlarianlah hamba-hamba Luciel yang melatih itu.
Mereka ketakutan dan mendapati Luciel yang saat itu ada di
Trumilo. Setelah itu pergilah pula Luciel dengan segera ke Hutan
Lama untuk melihat apa yang terjadi. Setelah Luciel datang ke sana,
dilihatnya ada sekumpulan kaum Hamot yang berdiam duduk di
tanah. Jumlah para Hamot itu lebih banyak dari yang Luciel tahu.
Kemudian ia melihat tiga Hamot lain di antaranya yang bertubuh
lebih besar dan memiliki dua tanduk lagi dipunggungnya. Maka
bertungganglah Luciel mendapati mereka dengan takut-takut.
Karena Kaum Hamot tidak dapat berbicara, maka Luciel
hanya bertunggang mengitari mereka dan mengawasi saja. Sebab
sebelumnya kaum itu telah sepakat dengan Luciel untuk memban-
tunya dalam pertempuran, namun sekarang mereka melawan.
Ketiga Hamot yang lebih besar itu duduk di tengah para Hamot
dan mereka melihat terus pada Luciel yang berjalan berkeliling di
sekitar mereka. Lalu tiba-tiba berkatalah salah satu dari tiga Hamot
yang lebih besar itu, katanya, “Engkaukah Luciel yang mengadakan
perjanjian dengan kaumku? Turunlah padaku dan aku akan berbi-
cara padamu!” Terheranlah Luciel saat mendengar Hamot itu dapat
berkata dan ia berbicara dalam bahasa malaikat.

476
Maka turunlah Luciel dari tunggangannya seorang diri, ia
berjalan ke tengah para Hamot dan mendapati tiga Hamot yang
besar-besar itu. Sedang barisan Luciel, berbaris tidak jauh dari sana
dan mengawasi bila-bila para Hamot itu menyerang Luciel. Kemu-
dian berkatalah Luciel,
“Memang aku Luciel yang telah mengadakan persepakatan
dengan Kaum Hamot. Mereka akan membantu aku dalam pertem-
puran dan sebagai gantinya, aku akan membalaskan pada Kaum
Grein tentang perbuatan mereka pada kaum ini.” Lalu kemudian
Luciel berkata, “Adakah kamu bertiga ini kaum Hamot? Sebab aku
melihat rupamu memang seperti Hamot, namun padamu ada
tulang lagi di belakang punggungmu dan lagi, engkau ini dapat
berkata padaku dengan jelas.” Maka kata salah satu Hamot itu,
“Memang aku ini kaum Hamot dan ya, kami bertiga ini berbeda
dengan yang lain. Aku adalah Bekhmoth, raja Hemoth, pemimpin
kaum Hamot di seluruh tanah di sebelah utara, di dalam hutan-
hutan. Kemudian ini adalah saudara-saudaraku yang sudah ada
bersamaku sejak aku dapat melihat. Bekhemoth dan Bakhtromoth.
Dahulu yang seperti kami ada banyak dan mereka semua telah
musnah dalam pertempuran melawan Kaum Grein, sampai aku
menerima untuk menjadi hamba mereka. Kaum Hamot yang tidak
dapat bicara ini adalah Hamot muda dan Kaum Grein menarik
tulang yang di punggung mereka dan membelah leher mereka.
Setelah itu Penerang datang dan membuat mereka semua bisu dan
tidak memiliki roh. Tinggallah aku dan dua saudaraku ini yang ada
memiliki roh untuk berkata.”
Kemudian Luciel duduk di sana dan mendengarkan perka-
taan Hamot itu. Kemudian kata Luciel,
“Lantas mengapa saat hamba-hambaku menjemput salah
satu hambamu dan membawanya ke mari, lalu ia datang pula de-
ngan rombongannya kemudian; engkau tidak ada di antara mere-
ka?” Kemudian kata Bekhmoth, “Aku pergi bersama lima puluh
hambaku pada Kaum Grein untuk membayarkan upeti seperti yang
telah ditetapkan padaku. Sebab Kaum Grein meninggalkan kami
begitu saja setelah pertempuran dengan mereka yang dari barat.
Sebagai ganti, supaya kaumku tidak diperhamba lagi, maka aku

477
membayarkan padanya seharga kayu-kayu dari rawa, sekali setiap
cahaya terang turun dan menutup. Setelah aku kembali hamba-
hambaku telah hilang dan rupanya engkau telah membawa mereka.
Aku sudah mendengar hamba-hambaku dan mereka menceritakan
padaku tentangmu. Mereka telah mengadakan persepakatan de-
nganmu, namun mereka yang bersepakat denganmu adalah hamba.
Maka persepakatanmu itu tidak sah. Aku datang untuk membe-
baskan hamba-hambaku ini dan melepaskan mereka dari perse-
pakatan.” Lalu kata Luciel,
“Lantas apakah yang hendak engkau lakukan, ya raja
Hamoth yang agung? Sebab aku ini membutuhkan kaummu untuk
bertempur bersama aku. Kita hidup bersama di tanah yang sama.
Tanah yang engkau pijak dalam hutan dan tanah yang kupijak di
sini adalah satu tanah. Marilah kita mengadakan persepakatan lain,
supaya kamu menjadi sekutuku dan aku akan membalaskan
jasamu.”
Lalu Bekhmoth berdiam dan ia memerintahkan hamba-
hambanya untuk kembali dalam hutan. Tinggal ia dengan dua
saudaranya duduk bersama Luciel di padang itu. Kemudian ber-
katalah Bekhmoth, “Karena ini persepakatan yang sah antara para
pemimpin, baiklah mari kita berbicara bersama. Hamba-hambaku
tidak perlu pelatihan dari hamba-hambamu yang kecil itu. Biar saja
mereka menjadi pengawas hamba-hambaku nanti dalam pertem-
puran. Jadi regu pelatih yang sudah kaubentuk, jangan engkau
bubarkan dahulu. Aku akan kembali lagi nanti saat kaumku siap
dan akan bertempur bagimu.” Kemudian kata Luciel,
“Lalu apa yang engkau inginkan sebagai bayaranku pada-
mu?” Maka kata Bekhmoth, “Kaum Hamot adalah kaum lama yang
diciptakan dan dibentuk tanpa tujuan yang jelas. Penerang tidak
pernah bicara pada kami dan meninggalkan kaumku dalam hutan
sampai kami diperhamba. Jumlah kami setiap masa semakin berku-
rang karena pertempuran dan luka kerja paksa. Bila Penerang tidak
memberi lagi para Hamot, maka tidak akan bertumbuh jumlah
kami dan lama kelamaan, kaum Hamot akan sirna dan hilang.
Karena itu, setelah aku bertempur bagimu, hendaknya engkau
memberikan pada Kaum Hamot untuk dapat berkembang biak

478
dengan beranak seperti rusa dan kijang dalam hutan.” Kemudian
kata Luciel,
“Permintaanmu itu mudah. Bila pertempuran dapat kita
menangkan, aku akan memberikan padamu semua itu.” Maka
pergilah mereka dari hadapan Luciel dan masuk dalam Hutan
Utara. Mereka menghilang begitu saja setelah sepakat.

Sementara itu, pertempuran di Tanah Barat masih berlang-


sung. Erenel membawa barisannya saat mendengar keramaian
barisan Legiun masuk kembali dalam batas kota. Ia melihat dari
kejauhan bahwa barisan musuh datang beramai-ramai dan mema-
dati lahan yang ada. Maka kata Erenel,
“Baiklah saudara-saudara. Musuh kita sudah datang lagi
untuk pertempuran yang berikutnya. Mereka ada banyak dan cu-
kup bagi kamu semua untuk bersenang-senang dalam pertem-
puran! Atur barisan dan mari kita mulai!” Maka para Rephairiem
meniup sangkakala dan berbarislah mereka semua di sana
menyongsong barisan Legiun.
Sedang para Rephaiem berbaris, para Legiun membentuk
barisan mereka sesuai dengan perintah pimpinan Gurim-Mahel.
Mereka mengatur semuanya dengan baik dan mereka berencana
untuk bertempur tertutup. Lalu kemudian mereka maju perlahan-
lahan mendekati batas pertahanan Rephaiem. Erenel berdiri di
bangunan yang berdiri di sebelah ujung dan barisan Rephairiem
telah berbaris di antara bangunan-bangunan kota. Kemudian Erenel
berseru di sana, katanya,
“Rephairiem! Musuhmu telah datang dan sekarang saatnya
bertempur! Mari majulah bersamaku, saudara-saudaraku dari
tanah-tanah Rephaiem!” Bersoraklah para Rephaiem itu dan
meniup sangakakala mereka. Majulah seluruh barisan Rephairiem
yang ada di Daria berlarian ke menyongsong barisan Legiun.
Mereka menyangka para Legiun akan bertempur seperti
saat sebelumnya, namun Gurim-Mahel sudah memiliki rencananya
sendiri untuk pertempuran itu. Legiun tidak akan memberikan
yang diinginkan para Rephaiem. Terbenturlah dua barisan besar itu
bertemu dalam pertempuran. Saat para Rephaiem berlari dengan

479
kencangnya menghardik barisan Legiun, turunlah tombak-tombak
panjang teracung pada mereka. Banyak Rephaiem terluka karena
tombak-tombak itu. Barisan Bath-Pometh keluar dari balik para
Legion dengan tombak-tombak mereka. Pedang dan kapak para
Rephaiem tidak dapat menjangkau musuh, karena tombak-tombak
itu menghalangi mereka. Terjadilah pertempuran hebat di sana.
Namun para Rephaiem tidak dapat menggapai musuh mereka.
Erenel dan para pemimpin barisannya melihat hal itu dan
banyak dari barisan mereka yang terluka. Maka mereka melihat itu
tidak bagus dan mereka akan kalah bila terus begitu. Maka Erenel
menyeru-nyerukan supaya Rephaiem mundur dari pertempuran itu
dan membentuk barisan baru. Namun para Rephaiem itu masih
geram dan sangat berhasrat untuk melawan musuh, mereka terus
saja berusaha menembus pertahanan tombak Bath-Pometh. Malah
semakin banyak yang terluka dan beberapa hancur di sana.
Pada waktu itu, barisan dari Ardur telah bertemu dengan
barisan Rephairiem dari Ariar. Melhunahel segera mendapati
pemimpin barisan Ariar, kerabatnya sendiri, yaitu Hailel. Mereka
bertemu di sana dan saling berpelukan. Maka kemudian kata
Hailel,
“Mengapa engkau masih di sini, saudaraku? Daria dalam
pertempuran hebat saat ini. Di mana barisanmu?” Kemudian kata
Melhunahel, “Hanya ini yang dapat kubawa, saudaraku. Barisan
Kraduria harus tetap pada tempat mereka menjaga kota itu dengan
ketat. Karena itu aku hanya mengharap barisanmu datang dan kita
akan pergi bersama ke Daria.” Dari sana segeralah mereka pergi
bersama-sama ke Daria yang saat itu memang dalam pertempuran
hebat.

Pada saat-saat itu para Agung sudah membahas perkara


berkas-berkas barisan Legiun di Tanah Selatan. Mikhael membuka
semua catatan para Legiun di hadapan para Agung. Adapun dalam
berkas-berkas itu ada didapati surat Leviathran dari Luciel. Surat
itu tertulis pada masa sebelum penyerangan Mikhael ke Tanah
Barat. Dalam berkas-berkas itu tidak ada sesuatu yang penting dan
layak mendapat perhatian para Agung. Karena pada berkas-berkas-

480
nya hanya berisi jadwal-jadwal kegiatan barisan Luciel di Tanah
Barat dan Tanah Selatan. Namun dari sana dapat diketahui oleh
para Agung bahwa barisan Luciel mendapat bahan-bahan tamba-
ngan dari Tanah Rephaiem Selatan, dari Gunung Batu Keras. Sebab
memang batunya mengandung besi dan tembaga, hanya saja tidak
sebaik yang dari El-Kuruh atau Shunyi. Dari sana pula para Agung
dapat tahu tentang senjata-senjata barisan musuh dan letak barisan-
barisan musuh. Juga berbagai pembagian mereka atas tanah-tanah
milik malaikat dan perubahan-perubahannya.
Setelah pembahasan di sana, bangkitlah Mikhael dan ia
berkata pada para Agung,
“Memang hanya ini saja yang dapat kita ketahui dari
berkas-berkas ini. Selebihnya hanya surat-surat tidak penting. Bebe-
rapa hal mungkin kita tidak pahami saat ini. Karena itu aku mem-
butuhkan Raziel dalam pembahasan berkas ini.” Kemudian berka-
talah Yehudiel di sana, katanya,
“Baiklah setelah ini kita pergi ke Tanah Altar. Bawa saja
berkas-berkas ini beserta peti-peti yang dicurigai di dalamnya
terdapat gulungan-gulungan hukum kita.” Maka kata Mikhael di
sana,
“Memang semua itu sudah kurencanakan. Karena Raziel
sendiri bersama saudara yang lain juga dalam perjalanan ke sini.
Aku sudah mengirim hamba-hamba untuk mendahului kita. Aku
menugaskan mereka untuk mendapati rombongan Malaikat Agung
dan memberitahukan pada saudara-saudara kita bahwa kita akan
ke Tanah Altar; juga tentang penundaan perayaan di Tanah Selatan
ini.” Kemudian dari sana, para Agung mulai bersiap untuk mening-
galkan Tanah Seraphiem.
Di Tanah Barat, pertempuran telah berakhir dengan tragis.
Banyak dari para Rephaiem yang terluka dan hanya sedikit saja dari
musuh yang terpukul oleh mereka. Para Rephaiem memutuskan
mundur dari pertempuran selama dua Shakta yang sia-sia itu. Dari
medan pertempuran, para Rephaiem berlari masuk dalam bangun-
an-bangunan kota. Barisan Legiun juga berhenti mengejar mereka.
Berkatalah Erenel di sana, katanya,

481
“Ini mengerikan. Kita mendapat penghinaan dari kekalahan
besar ini. Baiklah sekarang kita berhenti bertempur dahulu dan
tidak turun ke medan pertempuran sampai kita benar siap.” Maka
masuklah para Rephaiem itu dalam kota dengan membawa korban
luka. Kemudian datanglah Runanel mendapati Erenel di rumah
kerjannya. Kata Runanel pada Erenel,
“Saudara, banyak korban yang jatuh dalam pertempuran
yang lalu ini. Baiklah aku akan pergi bersama barisanku ke perta-
hanan depan untuk berjaga. Kamu dan semua Rephaiem ini, ber-
hentilah dari jerih payahmu dan duduklah bersama di kota. Bila
ada barisan musuh datang, aku akan memberi tanda peringatan
padamu.” Usul Runanel itu diterima oleh Erenel. Maka pergilah
para Yehudiem yang segelintir saja itu ke pertahanan depan dan
berjaga di sana.
Sedang para Rephaiem berkumpul bersama dalam kota.
Mereka duduk dan meletakan senjata mereka. Masing-masing
mereka mengambil tanah dan menaruhnya di atas kepala mereka
dan berkata: “Aku ini lebih rendah dari pada tanah. Karena aku
telah mendapat malu dari antara Rephairiem barisan besar.” Mere-
ka semua berkabung karena kekalahan mereka dan mereka mena-
ngisi saudara-saudara dan kerabat mereka yang hancur dalam per-
tempuran itu. Tembok pertahanan Daria kosong dan hanya segelin-
tir Jhudriem yang berdiri berjaga di sana. Bendera-bendera barisan
diturunkan karena mereka malu mengibarkannya.
Erenel bersama kerabatnya duduk di tengah kota, mereka
berkabung di sana karena pada pertempuran itu jatuh tiga ribu
barisan yang terluka. Ada pula dua ribu barisan yang hancur dalam
pertempuran. Mereka menangisi peristiwa itu sampai satu shakta
saja mereka rasa seperti bersherta-sherta lamanya. Namun kemu-
dian terdengarlah bunyi sangkakala dari sebelah timur. Maka
terangkatlah wajah para Rephaiem mendengar itu, karena memang
Daria ditimpa kesunyian hebat. Terlihatlah barisan Rephairiem dari
Ariar dan Kraduria. Berjalan ke Daria ada dua ratus ribu barisan
banyaknya berjalan dan bertunggang. Mereka semua menjawab
panggilan Erenel yang meminta bantuan untuk bertempur. Hailel
dan Melhunahel yang memimpin barisan itu datang ke Daria.

482
Mereka melihat kota itu dilanda kesunyian dan bendera-bendera
barisan tidak berkibar di sana.
Saat datang mereka penuh dengan sukacita dan mereka siap
untuk pertempuran. Namun setelah melihat keadaan Daria saat itu,
mereka menjadi terdiam dan bertanya-tanya apa yang terjadi di
sana. Bila masuk ke perbatasan Daria dari sebelah timur, jalan di
sana menanjak ke timur, jadi barisan yang datang itu berjalan turun.
Kemudian datanglah para Rephaiem tukang batu yang datang ke
Daria dari perkemahan di Padang Ariarum-Nor. Merekalah yang
menyambut kedatangan Melhunahel dan Hailel. Kemudian berka-
talah Melhunahel pada Rephai yang menyambutnya, katanya,
“Saudara, apa yang terjadi sehingga kota ini tertimpa
kesunyian? Di mana bendera-bendera barisan Rephairiem yang
mempertahankan kota? Mengapa belum juga aku mendengar suara
nyanyian mereka?” Kemudian jawab Rephai itu,
“Melhunahel yang memimpin Kraduria, salam bagimu di
Daria. Juga padamu Hailel, pemimpin Ariar yang perkasa. Engkau
sudah melihat sendiri bagaimana kota ini ditimpa kemalangan dan
kesedihan. Pertempuran yang baru berakhir membawa kekalahan
memalukan pada barisan Rephairiem. Banyak korban yang jatuh
dalam pertempuran itu dan musuh tidak berhasil dipukul mundur.
Musuh kami berjalan dengan tenang ke perkemahan mereka
dengan tawa yang ditujukan pada kami. Marilah masuk dalam kota
dan biarlah kedatanganmu menjadi penghiburan bagi Daria dan
penduduknya.” Masuklah mereka dalam kota itu dan melihat para
Rephaiem duduk di sepanjang jalan.
Kemudian bertungganglah Melhunahel ke tengah kota dan
ia melihat para pemimpin Daria terduduk di sudut jalan dengan
tanah di atas kepala mereka. Melihat itu terharulah Melhunahel dan
ia menjadi tidak semangat. Lalu itu turut duduk di sana bersama
Erenel dan kerabatnya yang memimpin Daria selama Helanael
pergi. Setelah mengucap salam dan berpeluk cium, Erenel mence-
ritakan kengerian perang yang mereka jalani dan betapa kekalahan
telah jatuh atas kepala mereka di Daria. Mendengar cerita Erenel
itu, geramlah Melhunahel dan ia menjadi murka pada barisan
musuh yang telah mengalahkan Rephairiem di Daria. Ia bangkit

483
dari duduknya dan naik ke atas bangunan bertingkat. Sementara
Hailel masih duduk bersama Erenel dan kerabat-kerabatnya. Kemu-
dian dari atas bangunan itu, berserulah Melhunahel pada para
Rephaiem, katanya,
“Aku melihat Daria bukanlah Daria lagi. Daria yang kukenal
adalah kota yang penuh dengan tawa dari para tukang batu dan
kayu. Tempat para penempa beristirahat dari Selatan. Anggur
mengalir dari Gruined membasahi mulut tiap Rephaiem di kota ini.
Sekarang aku melihat tanah di atas kepalamu, hai Daria! Sungguh
aku tidak akan mengoloki kamu atas kekalahanmu! Maka janganlah
kiranya kamu bersedih dan merasa malu pada barisan besar Re-
phairiem. Malahan tuan besar Raphael akan melihat kamu sebagai
pahlawan yang mempertahankan Daria seperti Rephairiem yang
mempertahankan Tanah Altar. Sekarang juga, aku akan membawa
barisan dari Kraduria, juga besertaku pedang-pedang dari Ariar.
Kami akan maju ke perkemahan musuh dan menantang mereka di
tempat mereka berdiam. Aku akan mengadakan pertempuran yang
baru pada mereka dan aku akan menunjukkan pada mereka betapa
kuatnya Rephairiem! Siapa saja di antara kamu yang masih mau
berdiam diri dengan tanah di kepalamu, baiklah kamu diam. Na-
mun setiap kamu yang mengatakan bahwa dirinya adalah Repha-
iem dari Tanah Barat, dari Tanah Selatan; setiap kamu yang
mengaku pernah mengangkat sumpah sebagai Rephairiem! Baiklah
kamu bangkit bersama saudara-saudaramu ini. Kita bertempur
bersama dan kita akan tertawa dengan kemenangan!” Maka bang-
kitlah para Rephaiem itu mendengar suara Melhunahel.
Lalu Hailel berseru memanggil barisannya. Mereka berjalan
melalui kesunyian para Rephaiem Daria. Sedang para Rephaiem
yang dari Daria itu hanya duduk melihat saudara-saudara mereka
berjalan ke batas pertahanan. Erenel melihat barisan itu bergerak
maju, maka ia berkata pada saudaranya, katanya,
“Hirnael, lihatlah! Melhunahel dan Hailel membawa barisan
mereka ke medan pertempuran sekarang ini. Masakan kita berdiam
saja?” Namun Hirnael itu tetap memandang tanah dan ia tidak
mendengarkan. Para Rephaiem dari Daria yang bangkit, mereka

484
tidak turut berjalan maju melainkan diam saja. Karena Erenel
pemimpin mereka tidak mengangkat suara.
Sementara itu Melhunahel dan Hailel sampai di perbatasan
dan mereka melihat segelintir barisan Jhudriem duduk-duduk di
atas tembok. Saat Melhunahel melihat tembok Daria yang runtuh,
begetarlah tubuhnya. Begitu juga dengan para Rephaiem yang baru
melihat hal itu. Mereka gemetar dan menjadi geram sampai
meluap-luap dan tubuh mereka mengeluarkan asap dan uap. Hailel
maju dan berlutut di atas tembok yang dibangun baru dari batu-
batu bekas bangunan. Ia melihat tembok Daria yang sudah rebah di
tanah. Kemudian ia mengambil tanah dan menaruh itu di atas
kepalanya. Kata Hailel di Daria,
“Sungguh aku pernah melihat bagaimana Tangan Allah
membangun tembok yang megah sebagai kebesaran atas Daria.
Sekarang tembok itu rebah di tanah dan tidak ada yang memba-
ngunnya kembali. Sungguh perbuatan tangan yang merobohkan-
nya adalah hina dan tidak tahu malu!” Kemudian Melhunahel
menghampirinya dan berkata,
“Tidak ada waktu untuk berkabung di saat seperti ini, Hailel
yang perkasa. Aku tahu bahwa tanganmu telah bertempur bersama
tuan besar Raphael dalam banyak pertempuran. Sekarang keperka-
saanmu itu sudah sampai pada telinga tiap Rephaiem dan mereka
tahu bahwa engkaulah yang menghindarkan tuan Raphael dari
bahaya dalam pertempuran. Maka bangkitlah dan bawa pedangmu
itu untuk bertempur bersama-sama dengan aku.” Maka bangkitlah
mereka.
Lalu Melhunahel bertemu dengan Runanel yang berjaga di
tembok. Runanel berjalan padanya dan berkata,
“Salam bagi para Rephaiem, saudara sekalian. Aku adalah
Runanel, pemimpin barisan Jhudriem yang bertugas di Daria ini.
Pertempuran baru saja berakhir dan tubuh para Rephaiem yang
hancur masih belum terpecah di atas tanah. Kiranya saudara-
saudara menahan diri dan lebih baik bila saudara mau menghibur
para Rephaiem yang sedang berkabung itu.” Namun Melhunahel
memandang Runanel dan berkata,

485
“Engkau sudah berjasa pada Rephaiem dengan berbaris
bersama saudara-saudaraku dalam pertempuran. Memang para
Rephaiem dari Daria sedang berkabung dan itu sudah menjadi
bagian mereka. Namun bagi kami, kami datang bukan untuk
berkabung karena kami masih kuat berdiri. Akulah Melhunahel
pemimpin Kota Ardur, akar anggur, gerbang Tanah Barat. Juga ber-
samaku Hailel dan pedang-pedang dari Ariar. Bila memang engkau
adalah Yehudiem, maka engkau tahu tentang namanya. Saat ini ada
padamu kesempatan untuk bertempur bersama kami. Adakah pe-
dangmu bersama kami, Runanel?” Maka kemudian kata Runanel,
“Jadi memang benar ada Hailel itu. Kabar terbang dari
Tanah Altar dan menyapa setiap telinga para Yehudiem. Bersama
nama tuan Raphael, nama Hailel juga datang pada kami. Jadi benar-
lah apa yang kudengar tentang keperkasaannya. Hai Melhunahel,
aku berkata padamu sekarang ini, bahwa pedang Jhudriem akan
berjuang bersamamu dalam pertempuran apa pun yang akan eng-
kau adakan ini. Kami tidak melihat tujuanmu atau apa yang akan
engkau perbuat di depan sana. Baiklah engkau juga mengingat
akan segelintir barisan ini telah berjalan bersamamu dalam per-
tempuran; sebagai tanda hormat Yehudiem pada Rephairiem yang
telah mempertahankan Tanah Altar di pertempuran yang lalu-lalu.”
Maka kemudian berjalanlah barisan mereka melewati batas
pertahanan.
Tidak ada suara sangkakala ditiup atau genderang ditabuh.
Melhunahel dan Hailel berjalan di depan bersama Runanel juga.
Mereka tidak satu kali pun menoleh ke belakang untuk melihat
berapa-berapa yang berjalan mengikut mereka. Melainkan mereka
hanya memandang depan dan terus berjalan sampai mereka meli-
hat perkemahan Legiun dan Bath-Pometh. Bersama mereka berjalan
dua ratus ribu barisan Rephairiem dari Ariar yang membawa
pedang, kapak dan palu. Juga ada tujuh puluhan barisan Jhudriem.
Mereka semua berjalan dengan tenang tanpa berbicara satu dengan
yang lain. Namun murka mereka keluar dari tubuh mereka seperti
uap dari gunung api.
Para Legiun dan Bath-Pometh, saat itu sedang duduk-duduk
dan mereka tertawa sukacita karena kemenangan mereka. Kemu-

486
dian berserulah satu orang dari antara mereka: “Rephairiem!
Mereka datang! Mereka datang!” Maka bangkitlah seluruh barisan
di perkemahan itu dan berkumpul di depan perkemahan. Gurim-
Mahel bersama Eftiel berdiri di depan dan melihat bairsan Re-
phairiem datang pada mereka. Maka kata Gurim-Mahel, “Mereka
ini tidak ada lelahnya. Baiklah mari kita beri mereka pelajaran
sekali lagi. Barang kali setelah ini mereka jera dan menyerahkan
Daria pada kita. Persiapkan barisan!” Terjadilah kehebohan di sana
dan para legion dan Bath-Pometh berlarian di perkemahan mereka
mengambil senjata dan alat-alat perang.
Barisan musuh melihat bahwa barisan Rephaiem itu berjalan
dengan tenang saja, maka mereka menyangka bahwa para Repha-
iem itu akan menunggu mereka siap. Kerena memang Melhunahel
berjalan pelan seperti tidak hendak menyerbu. Sedang barisan
musuh berlarian ke sana ke mari, tiba-tiba barisan Rephaiem itu
sudah sampai tepat di depan perkemahan mereka. Hailel sudah
sangat murka setelah melihat musuhnya. Api nyala hebat di tubuh-
nya dan ia berjalan menembus tenda-tenda musuh dan terbakarlah
tenda-tendannya. Terjadilah pembantaian di sana. Para Rephaiem
berjalan melewati perkemahan musuh dan memukul setiap orang
di depan mereka. Berlarilah para legion dan Bath-Pometh dari
depan mereka. Eftiel berseru-seru di sana, “Mereka melanggar
perkemahan kita! Pukul mereka cepat!” Namun tidak ada yang
mendengarnya. Ia dan Gurim-Mahel juga turut berlari. Setelah
banyak yang dibantai dan para Rephaiem sudah masuk dalam
perkemahan mereka sampai setengah perjalanan masuk perke-
mahan, barisan musuh bangkit dan memberi perlawanan.
Terpecahlah pertempuran di sana. Mereka bertempur di
tengah perkemahan di antara tenda-tenda. Asap membumbung ke
atas karena perkemahan itu terbakar. Runanel dengan hebatnya
mengayun pedang, ia ada sepuluh langkah lebih depan dari barisan
Rephaiem. Ia bertempur sendirian di depan melawan musuh yang
mengepungnya. Sedang Melhunahel dan Hailel bertempur juga
bersama barisan mereka dengan hebat. Hailel mengangkat kapak-
nya dan memukul musuhnya dengan kuat di sana. Mereka
bertempur seshakta penuh lamanya di perkemahan itu.

487
Tengah mereka bertempur, tiba-tiba datanglah Runanel dari
depan dan mendapati Melhunahel dan Hailel. Kemudian dengan
tergopoh-gopoh katanya,
“Bath-Pometh membawa badak pelindung dalam pertem-
puran, saudara. Mereka akan memukul dari sebelah utara. Barisan
penunggang itu memutar lewat pepohonan. Mereka sudah mem-
buat jalur di sebelah utara untuk penyerangan ini. Kita tidak ada
membawa tombak. Ayo kita pergi dari sini saja sebelum kita
ditimpa celaka.” Namun Melhunahel berkata padanya,
“Runanel, ambil tombak-tombak dari perkemahan Bath-
Pometh, mereka punya banyak. Pimpin barisanmu dan para Repha-
iem untuk bersiap atas serangan itu. Kami akan menahan pertem-
puran tetap di sini.” Maka pergilah Runanel dengan segera mem-
bawa barisannya mengambil tombak-tombak di antara perkemah-
an. Barisan Rephaiem yang di belakang barisan mengikuti mereka
dan segera bersiap berbaris di sebelah selatan pertempuran.
Mereka berbaris dengan baris depan menjongkok dan baris
dua berdiri. Mereka membawa tombak-tombak yang teracung dan
bersiap di sana. Nampaklah pohon-pohon mulai bergoyang.
Kemudian kata Runanel,
“Itu bukan angin selatan! Barisan penunggang sedang ber-
tunggang dengan cepat di antara pepohonan ini.” Tidak lama
benarlah kata Runanel. Barisan penunggang badak pelindung
menembus pepohonan dan mematahkan batang-batang pohon de-
ngan kaki mereka. Karena memang pepohonan di daerah itu kecil-
kecil karena tanahnya keras dan penuh batu.
Bersiaplah mereka untuk pertempuran itu. Mereka melihat
badak-badak pelindung yang besar-besar dengan kaki-kakinya
yang kuat. Para Jhudriem bersiap di belakang baris depan. Mereka
masing-masing bertumpu pada tangan-tangan dua Rephaiem. Saat
barisan penunggang itu sudah dekat, berserulah Runanel, katanya,
“Majulah Jhudriem!” Maka para Rephairiem yang meno-
pang para Jhudriem itu melemparkan mereka ke udara dengan
kuat. Meluncurlah para Jhudriem itu melewati baris depan dan
mereka menyongsong barisan musuh. Dengan pedang di tangan
mereka, diseranglah musuh mereka dengan hebat. Pedang mereka

488
ditusukkan pada kepala para penunggang dan barulah mereka
mendarat pada kaki mereka. Setelah itu terhantamlah badak-badak
itu pada tombak-tombak yang teracung.
Kekuatan kerbau itu tidak tertahankan dan tergeserlah
tumpuan barisan. Mereka tergeser mundur dan terpecahlah barisan
mereka dengan sangat mudahnya. Tidak mudah merobohkan tum-
puan badak pelindung dari Selatan itu. Raphael dan Yehudiel
sudah pernah menghadapi barisan itu di tempat yang sama dengan
Runanel saat itu. Mereka bertempur habis-habisan di sana dan
hebatlah pertempuran mereka. Usaha demi usaha mereka lakukan
untuk melawan para penunggang itu, namun kekuatan mereka
tidak dapat menahannya. Maka berlarilah Runanel bersama barisan
yang dipimpinnya kembali ke perkemahan tempat Melhunahel dan
Hailel bertempur.
Kemudian kata Runanel,
“Aku dan barisan yang kamu pasrahkan padaku tidak dapat
menahan mereka. Barisan penunggang akan datang ke pertem-
puran ini. Mereka akan memukul samping barisan dengan segera
setelah ini.” Maka segera berlarilah Hailel dan ia naik ke atas
tunggangannya. Ia memimpin barisan Rephairiem yang menung-
gang rusa tanduk tujuh. Ia maju bersama barisan itu ke arah selatan
untuk menyongsong barisan penunggang musuh. Kata Hailel,
“Jadi ini yang telah dialami tuan Raphael. Bertempur di
Daria melawan barisan badak pelindung dengan menunggang rusa
tanduk tujuh. Baiklah mari kita lakukan, Rephairiem!” Bersoraklah
para Rephaiem yang bersamanya. Tidak jauh dari sana terpecahlah
pertempuran antara para penunggang. Rusa-rusa para Rephaiem
menanduk Badak-badak musuh dan badak-badak Bath-Pometh
mendorong rusa-rusa itu dengan kaki mereka yang kuat. Para
penunggangnya saling memukul dengan pedang dan kapak dan
tunggangan mereka saling bertarung.
Barisan yang berjalan bertempur dengan kuat dan berhasil
menekan barisan musuh sampai keluar daerah perkemahan mere-
ka. Namun para penunggang Rephairiem tidak dapat menahan
barisan penunggang Bath-Pometh. Jadi barisan Rephaiem itu
bergerak ke barat menekan musuh, namun juga tertekan dari sebe-

489
lah utara. Malahan para penunggang badak pelindung berhasil
menekan dan mereka mengambil tempat di sebelah barat. Barisan
Rephairiem terjebak dengan terkepung di sana.
Berlarilah Hailel turun dari tunggangannya dan mengha-
dapi para penunggang dengan berdiri di atas kakinya sendiri. Ia
bertempur habis-habisan di sana. Sedang barisan yang berjalan di
sebelah barat bersorak-sorak karena mereka menekan musuh, pada-
hal mereka tidak tahu bahwa di belakang mereka, barisan penung-
gang tertekan juga. Saat para Rephaiem bersorak-sorak menekan
musuh, Runanel menoleh ke belakang dan melihat barisan penung-
gang terpukul kalah dan barisan penunggang musuh akan memu-
kul dari belakang. Maka berserulah Runanel di sana, katanya,
“Musuh menekan dari sebelah timur! Jaga pandanganmu ke
belakang!” Maka menolehlah para Rephaiem dan melihat bahwa
benar barisan penunggang yang dipimpin Hailel telah tertekan
kalah.
Melihat itu Melhunahel segera naik ke atas tunggangannya
dan ia berseru-seru di antara barisannya untuk segera membentuk
barisan baru. Melhunahel mendapati Runanel dan ia berkata,
katanya,
“Kita terjebak. Memang kita menekan musuh ke barat,
namun para penunggang itu juga menekan kita dari timur. Tidak
ada jalan keluar bagi kita saat ini. Ini jebakan, Runanel.” Namun
Runanel memegang bahu Melhunahel dan katanya,
“Mengapa engkau gentar, Rephai? Mari bersamaku, kita
hancur dalam pertempuran untuk membalaskan malu yang telah
menimpa saudara-saudara kita di Daria!” Maka bersoraklah mereka
dan mereka bersiap bertempur di sana.
Barisan musuh mundur dan berhenti bertempur. Sedang
Hailel juga menarik para penunggangnya kembali berbaris bersama
barisan utama. Mereka saling membentuk barisan baru di sana.
Pertempuran terhenti untuk sebentar dan mereka dapat kesem-
patan untuk membentuk barisan. Begitu juga dengan pihak musuh.
Hailel melihat ke barat, ke timur, ke barat, ke timur dan ia tahu
bahwa barisannya sedang terkepung dengan hebat. Kata Hailel,

490
“Di mana Daria saat ini? Bukankah ini adalah pertempuran
milik Daria? Sekarang Ariar yang harus membayarnya. Erenel!
Keluarlah dari sana dan lepaskan kami dari sini!” Ia berseru dengan
kesal pada Erenel. Kemudian Melhunahel memegangnya dan
berkata,
“Ini adalah pertempuran kita, saudaraku. Barisan Daria
tengah berkabung dan memang ini adalah keputusan kita sendiri
untuk bertempur. Maka mari kita selesaikan. Kita akan selamat atau
tidak dari sini, yang terpenting kita tetap bertempur sampai usai.
Rephairiem tidak lari dari pertempuran! Dari Daria pernah datang
pertolongan bagi para Seraphiem di celah-celah bukit itu. Sekarang,
masakan mereka tidak datang untuk kita?” Lalu kemudian para Re-
phaiem meniup sangkakala mereka di sana. Sedang para Jhudriem
membantu yang lain membawa yang terluka untuk dilindungi di
tengah barisan. Mereka semua di sana sudah siap hancur.
Kemudian tampillah Gurim-Mahel ke depan barisan dan ia
berseru pada Rephairiem, katanya, “Tidak ada jalan bagimu untuk
keluar dari sini, Rephaiem! Pertempuranmu ini sia-sia dan kehan-
curanmu di sini tidak akan dikenang sebagai kepahlawanan melain-
kan sebagai kebodohan; karena telah menantang Legiun dan Bath-
Pometh dengan segelintir barisan saja!” Geramlah Hailel mende-
ngar Gurim-Mahel yang berseru itu. Maka ia berkata pada
Melhunahel, katanya,
“Aku akan memimpin barisan berjalan di sebelah barat. Kita
berganti di sini. Pimpin pertempuran melawan penunggang itu.
Eftiel ada di sana memimpin barisannya. Sudah cukup bagiku men-
dengar Gurim-Mahel itu. Tamparan Tangan Allah pada wajahnya
tidak membungkam mulutnya. Sungguh ia ini tidak berpenga-
laman!” Maka bergantilah kepemimpinan di barisan Rephairiem.
Ditiup sangkakala oleh barisan musuh. Mereka bersorak
dengan hebat dan seperti benar-benar geram dengan para Rephai-
riem. Majulah barisan musuh dari dua arah sedang barisan Re-
phairiem terkepung di antara mereka. Namun tiba-tiba terde-
ngarlah suara sangkakala lain dari kejauhan. Kemudian tiba-tiba
jatuhlah barisan para penunggang badak pelindung. Di antara
barisan penunggang itu banyak yang jatuh ke tanah dan penung-

491
gangnya terlempar dan terseret di tanah. Nampaklah barisan dari
Daria juga bergabung dalam pertempuran itu. Mereka datang diam-
diam dan menyelinap di belakang barisan penunggang Bath-
Pometh. Erenel datang dengan barisan dari Daria. Mereka berbaris
dengan gagah di sana dan meniupi terompet dan sangkakala.
Berserulah Erenel di sana, katanya,
“Majulah Rephairiem! Saudara-saudaramu dalam kesusah-
an rupanya! Mari kita keluarkan mereka dari sini.” Melhunahel
melihat barisan Erenel yang datang itu dan tertawalah ia, katanya,
“Kita menang! Daria datang pada kita!” Barisan Erenel itu
menembakkan Botcilesh dari belakang barisan penunggang. Maka
terjatuhlah badak-badak tunggangan Bath-Pometh karena peluru-
peluru Botcilesh memukul kaki mereka saat mereka berlarian. Maka
Melhunahel memimpin barisannya maju segera dengan para
penunggangnya. Mereka membantai Bath-Pometh yang terjatuh
dari tunggangannya. Pembantaian di sana sangat hebat.
Maju pula barisan Legiun di sebelah barat dan bertempur
melawan Hailel dan barisannya. Barisan penunggang Bath-Pometh
terserak dan mereka berlari dari pertempuran. Mereka masuk da-
lam pepohonan dan pergi dari sana. Begitulah kemenangan diraih
dalam pertempuran itu. Erenel membawa barisannya bergabung
dengan barisan Rephairiem Ariar dan bertempur melawan Legiun.
Jumlah mereka besar, namun sungguh jumlah Legiun lebih besar
dari pada mereka. Mereka bertempur terbuka sampai setengah
shakta. Kemudian Gurim-Mahel menarik barisannya mundur ke
perbatasan Derie dan bertahan di sana. Barisan Rephairiem menang
dan mereka kembali ke Daria dengan sorak sorai yang hebat dan
nyanyian.
Penghiburan bagi Daria telah didapat. Sementara Gurim-
Mahel bersatu lagi dengan barisan Bath-Pometh dan mereka mem-
bentuk pertahanan baru di dekat perbatasan Derie dan Daria. Mere-
ka membentuk perkemahan baru di sana yang lebih besar dan lebih
lebar lagi. Sedang barisan Rephairiem, setelah menang, mereka
membangun perkemahan di batas Kota Daria. Di atas bangkai
tembok besar dan di atas bekas-bekas bangunan yang dibongkar
sebelumnya. Kemudian berkumpullah para pemimpin barisan

492
besar di suatu tenda besar. Melhunahel duduk di sana bersama
Erenel dan pemimpin-pempimin dari Daria, juga beberapa tua-tua
datang di sana. Sebab dalam pertempuran-pertempuran itu, tidak
sedikit dari para pemimpin barisan yang gugur hancur dalam per-
tempuran. Maka para tua-tua bangkit menggantikan mereka sam-
pai ada pemimpin lain yang ditahbiskan untuk mengganti.
Kemudian Erenel tampil di depan dan menyampaikan
prakata sebagai rasa syukur pada Allah bahwa barisan dari Ariar
dan Ardur telah datang menjawab mereka. Lalu Erenel menunjuk-
kan sebuah peta dan menjelaskan tentang bagaimana kemenangan
dalam pertempuran yang baru terjadi. Lalu dalam pertemuan itu,
berkatalah Melhunahel, katanya,
“Aku sudah senang sebab saudara-saudara sekalian menda-
pat penghiburan dan Daria tidak akan mendapat malu lagi. Sebab
musuh kita telah terpukul kalah dan pergi dari Tanah Daria dan
mundur ke Tanah Derie. Sangat disayangkan sebenarnya, karena
kita dibatasi dengan aturan-aturan dari tuan Raphael. Bila saja tidak
ada aturannya yang melanggar kita keluar dari perbatasan dan
menyerang, maka kita sudah memukul Legiun itu sampai kembali
ke Selatan lagi. Sekarang saudara-saudaraku, mengenai Daria ini.
Aku ingin memberi himbauan padamu sebagai penduduk di tanah
ini dan di kota ini. Marilah kita membangun lagi tembok Daria yang
perkasa yang telah rebah di bawah kaki kita saat ini. Mari kita
bangkitkan dia supaya Daria tidak telanjang dan dilihat dari sebe-
lah barat.” Namun kemudian usulan itu diterima, hanya saja para
Rephaiem menolak untuk membangun saat itu juga. Karena mereka
masih dalam keadaan peperangan dan Kota Daria masih sangat
berantakan. Erenel lebih mengutamakan tata kota. Bila kota sudah
tertata rapi lagi, barulah mereka mau membangun lagi tembok
Daria.

Pada saat itu, para Agung sudah berkumpul dan pergi dari
Tanah Seraphiem. Para Agung yang dari Utara, juga sudah sampai
lepas dari Tanah Yehudiem dan sudah sampai pada penghujung
Tanah Allah. Tepat sejauh dua panahan dari Pohon Serael, berte-
mulah para Agung di sana. Mikhael melihat dari kejauhan, rombo-

493
ngan para Agung datang dari utara. Maka bersukacitalah dia dan
memanggil saudara-saudaranya, katanya,
“Lihatlah! Itu adalah saudara-saudara kita. Mereka sudah
datang pada kita. Mari kita menyambut mereka di Tanah Allah ini.”
Maka turunlah Mikhael, Yehudiel, Sealtiel dan Gabriel dari kereta
tarik mereka. Lalu berlari menyambut para Agung yang dari utara.
Begitu juga dilakukan Uriel, Raziel, Bart-Archiel dan Amma-
tiel saat melihat saudara-saudara mereka datang dari kejauhan.
Kemudian mereka saling berlari dengan tertawa dan saling berpe-
lukan erat. Mereka berpeluk cium di sana sampai tergeletak di
tanah. Rindu yang mereka lepas di sana sampai membuat rumput
di sekitar mereka menjadi hijau dan berkembang mengeluarkan
bunga. Mereka saling mengucap salam dan duduk di tanah bersa-
ma saling berbincang. Kemudian berkatalah Raziel,
“Aku sudah menerima suratmu tentang kabar-kabarmu
sekalian ini. Maka tahulah aku bahwa kita akan bertemu di perja-
lanan. Baiklah mari kita segera ke Tanah Altar dan mengurus se-
mua perkara di sana.” Maka dari Tanah Allah, mereka melanjutkan
perjalanan.
Para Agung duduk dalam dua kereta tarik saat itu. Yehu-
diel, Sealtiel dan Gabriel dalam kereta tarik yang satu. Sedang
Mikhael duduk dalam kereta tarik bersama Uriel, Raziel, Bart-
Archiel dan Ammatiel. Karena Mikhael ingin menjelaskan pada
saudara-saudaranya tentang berkas-berkas barisan Legiun yang
didapati di Tanah Seraphiem. Juga Raziel menyampaikan pada
Mikhael tentang hasil pengintaian di Tanah Utara.
Saat Mikhael mengeluarkan berkas-berkas Legiun, perhatian
Raziel langsung tertuju pada surat Luciel yang dicap sebagai surat
Leviathran. Terheranlah Raziel melihat surat itu dan penulisan
bahasa yang digunakan. Kemudian Uriel juga melihat surat itu.
Maka kata Uriel,
“Ini bukan perkataan Luciel. Surat ini ditulis bukan berdasar
dari apa yang keluar dari mulut Luciel. Pemilihan bahasa yang
digunakan sangat rendah dan sangat terlihat bahwa yang berbicara
dalam surat ini tidak pandai berbahasa malaikat. Namun isi surat-
nya sangat bagus. Bagaimana saran-saran dan aturan yang digu-

494
nakan untuk menata hamba-hamba yang banyak dan tata kotanya.”
Kemudian Bart-Archiel dan Ammatiel juga melihat surat itu dan
membacanya. Maka berkatalah pula Bart-Archiel,
“Luciel sangat jarang pergi ke Tanah Selatan. Apalagi ia ini
pelayan Altar semasa hidupnya. Bagaimana ia tahu tentang
bangunan dan bahan-bahan kayu-kayu di hutan yang ada di Tanah
Seraphiem? Jelas ini bukan Luciel, saudaraku.”
Pula Uriel menambahkan, “Memang dalam surat itu, di atas
namakan Luciel. Namun Luciel itu tidak pernah mengatur hamba
yang sangat banyak dalam waktu yang sama. Ia juga tidak tahu
bagaimana ilmu tata kota dan daerah, sebab tanahnya saja ada di
Tanah Altar dan semua sudah diatur oleh Yang Utama. Bahkan
perintah Luciel pada Gissel ini juga mengatur bagaimana harus ia
mencatat barisannya dan membagi-bagi tugas. Luciel tidak sepan-
dai itu dalam hal pencatatan.” Maka kata Mikhael,
“Saudara yang lain juga seperti kamu semua dan aku pun
sepakat bahwa ini bukan Luciel. Hanya saja, aku tidak tahu
mengapa Luciel menyebut surat perintahnya sebagai surat
‘Leviathran’. Sebab memang banyak surat-surat perintah lain dari
Luciel pada Gissel, namun tidak dicap sebagai surat Leviathran.
Dan pula, perintah-perintah Luciel yang tidak diberi cap seperti ini,
tidak semua dilakukan oleh Gissel. Namun semua perintah dan
saran yang ada dalam surat Leviathran, dibuat oleh Gissel dan
tercatat dalam berkas-berkas ini bahwa memang ia membuat semua
itu. Sedang perintah lain banyak yang ia abaikan. Dari sana aku
menarik keputusan, bahwa surat Leviathran ini lebih tinggi dari
pada surat biasa dan Gissel lebih taat pada surat ini.
Hanya ada dua surat yang dicap surat Leviathran, namun
yang satu tersobek dan tidak dapat dibaca lagi. Juga memang benar
kata Uriel, bahwa bahasa surat Luciel biasa, dengan bahasa dalam
surat Leviathran bahasanya berbeda. Namun demikian, tingkat
pengetahuan dan kepandaiannya lebih banyak dalam surat Levia-
thran dari pada surat Luciel. Jadi maksudku adalah, bahwa dalam
surat Luciel, memang bahasanya baik dan hebat. Namun tidak
memiliki pengetahuan dan bahkan perintah dan sarannya itu ku-
rang baik untuk dibuat. Malahan dalam surat Leviathran, sekalipun

495
bahasanya rendah dan biasa, namun pengetahuan dan caranya
mengatur sangat baik dan memang harus dibuat untuk mengatur
barisan Legiun yang banyak sekali itu.” Sedang mereka semua
beramai-ramai berbincang, Raziel hanya terdiam saja tidak berkata-
kata.
Lalu kemudian Mikhael berkata,
“Raziel, bagaimana menurutmu tentang semua ini? Angkat-
lah bicara supaya kita dapat menarik keputusan dan kesimpulan
bersama-sama.” Kemudian berkatalah Raziel,
“Baiklah mari kita duduk rapat-rapat supaya saudara-
saudara yang lain juga dapat duduk bersama kita.” Namun kata
Mikhael,
“Kereta ini sudah sesak karena kita semua duduk di dalam-
nya, Raziel. Lagi pula ini bukan kereta yang dibuat untuk duduk
beramai-ramai.” Maka kata Raziel,
“Baiklah kita akan singgah di Eranoth nanti dan kita ber-
bicara di sana. Aku ingin saudaraku sekalian mendengar aku dan
tidak perlu aku mengulang-ulang perkataanku. Juga nanti saat aku
berkata, biarlah Jegudiel mencatatnya untuk dikirimkan pada Ra-
phael nantinya.” Mendengar perkataan Raziel itu, Mikhael berkata,
“Mengapa harus seperti itu? Katakan saja sekarang dan aku
akan mendengar pendapatmu tentang semua ini, saudaraku. Tidak-
kah engkau tahu bahwa aku menunggu lama untuk bertemu
denganmu dan membahas perkara ini?” Namun Ammatiel mene-
nangkan Mikhael dan berkata,
“Sabarlah, Serael. Kita akan mendengarnya bersama-sama di
Eranoth.” Maka terdiamlah Mikhael di sana dan tidak lagi
memaksa Raziel. Mereka terus melanjutkan perjalanan.
Di sana banyak perbincangan para Agung. Tentang berbagai
hal mereka saling bercerita. Kereta yang satu dan yang lain disan-
dingkan. Kemudian para Agung membuka jendela-jendela dari dua
kereta tarik itu dan mereka berbincang bahagia di sana. Uriel dan
Bart-Archiel juga menceritakan bagaimana kesiapan barisan Ur-
Bagha untuk bertempur dan tentang Ekhinel di Gunung Lartoth.

496
Sementara itu di Daria, keadaannya ramai di sana. Para
Rephaiem merayakan kemenangan mereka. Sebab kemajuan mere-
ka memang cukup baik. Mereka berhasil mengusir perkemahan
musuh keluar dari perbatasan Daria. Saat itu Runanel sudah keha-
bisan barisan. Sebab barisan Jhudriem yang dipimpinnya tinggal
enam barisan saja yang masih sanggup berdiri dan membawa
senjata. Selebihnya telah hancur karena luka dan banyak yang diba-
wa ke Timur untuk dirawat luka-lukanya. Runanel sendiri menda-
pat luka pada bagian badan sebelah kirinya dan kakinya yang
kanan sebelah belakang. Para penguasa kota dan pemimpin besar
itu duduk bersama. Ada Erenel dan kerabatnya, Melhunahel dan
Hailel dari Ariar. Pula Runanel ada bersama mereka.
Kemudian datanglah seorang Rephai yang bertugas berjaga
di depan. Ia datang dan berkata,
“Ada beberapa barisan musuh turun lagi ke lembah bekas
pertempuran. Mereka membawa tandu dan kereta. Saat ini mereka
menjemput saudara mereka yang masih tertinggal di medan
tempur dengan keadaan terluka.” Maka berkatalah Erenel,
“Baik biar saja mereka mengambil saudara-saudara mereka
yang terluka. Cukuplah sudah pertempuran yang kita lakukan.
Masih ada pertempuran selanjutnya, sebab mereka belum menye-
rah akan kota ini.” Lalu kemudian Melhunahel mengajak mereka
semua untuk duduk-duduk di depan pertahanan dan melihat
bagaimana para Legiun dan Bath-Pometh mengusungi saudara
mereka yang terluka.
Pergilah mereka semua duduk di sana berbincang sambil
melihat musuh mereka berkeliaran memeriksa sisa-sisa pertem-
puran. Erenel membiarkan barisan musuh melakukan itu untuk
menghormati musuhnya yang telah bertempur dengan baik. Lagi
pula para Rephaiem sudah menjarah sisa pertempuran dan mem-
bawa semua-semua yang dapat digunakan untuk pertempuran
mendatang. Saat itu di garis depan ada perkemahan para Rephaiem
dan barisan Botcilesh ditata di sana. Ada pula para penjaga berjaga
di depan perkemahan, dua panahan jaraknya dari tenda terakhir.
Hailel melihat Runanel dan ia tahu bahwa Runanel itu mendapat
luka karena pertempuran.

497
Maka bangkitlah Hailel itu menghampiri Runanel. Sebab
memang Runanel banyak berdiam diri dan tidak lagi semangat.
Kata Hailel, “Besarkah luka yang engkau dapat, saudara?” Kemu-
dian Ruananel mengangkat wajahnya dan melihat Hailel. Lalu
mereka yang di sana menoleh dan memperhatikan Runanel, sebab
mereka tidak tahu bahwa Runanel mendapat luka dalam
pertempuran. Kata Runanel,
“Aku tidak apa-apa. Lagi pula luka ini kudapat karena aku
sempat diterjang badak pelindung itu. Tubuhku menancap di tan-
duknya dan aku tergantung di sana cukup lama. Namun tetap saja
aku kuat untuk bertahan sampai terjatuh di tanah. Bila memang
besar luka ini, tentu aku tidak dapat menyelesaikan pertempuran
itu, Hailel.” Maka kemudian dilihatnya luka pada Runanel itu.
Betapa terherannya mereka melihat luka itu sangat besar dan me-
nganga pada tubuh Runanel. Sedang Runanel hanya merintih saja.
Kemudian kata Hailel,
“Kekuatanmu sungguh besar, Yehudi. Tidak pernah aku
melihat malaikat bertahan dengan luka yang sebesar ini tanpa
jeritan yang hebat. Sungguh engkau pejuang yang hebat. Baiklah
engkau pergi bersama para Bartarchiem. Mereka akan memba-
wamu ke Timur. Di sana lukamu akan ditutup dan tubuhmu akan
kembali seperti semula.” Namun Runanel menolak untuk pergi dari
sana. Katanya,
“Tuan Raphael dengan luka-lukanya tetap berdiri memim-
pin pertempuran demi Tanah Altar. Masakan aku tidak mendapat
kasih yang sama sehingga aku berhak untuk bertahan di sini
dengan luka-lukaku sampai benar-benar selesai peperangan di kota
ini?” Para Rephaiem itu memikirkan kebaikan Runanel yang sudah
mereka pandang sebagai saudara.
Tidak lama setelahnya, para Rephaiem mengadakan perhi-
tungan di antara barisan mereka. Sebab perhitungan terakhir sudah
lama tidak dilakukan. Erenel berkata,
“Saudaraku, baiklah kita mengumpulkan para pemimpin
barisan dan mengadakan penghitungan ulang. Aku ingin tahu be-
rapa banyak yang masih ada pada kita. Supaya juga kita menge-
nang akan saudara-saudara kita yang telah hancur dalam pertem-

498
puran.” Maka bangkitlah Hirnael bersama kerabatnya dan pergi
pada para pemimpin barisan. Mereka mengadakan perhitungan
ulang di sana. Semua barisan yang ada di Daria dihitung ulang
sesuai tempat dan posisi mereka. Pada tiap-tiap barisan diperiksa
dan dicatat semuanya dengan bantuan para Jegudiem yang masih
di Daria saat itu.
Inilah catatan barisan yang ada di Daria pada waktu itu.
Yaitu setiap malaikat yang tergabung dalam barisan-barisan yang
masih sanggup berdiri pada kakinya sendiri dan masih dapat
mengangkat senjata. Baik dengan luka atau sehat: Barisan Rephai-
riem dari Daria masih berdiri kuat dengan jumlah dua ratus
delapan puluh ribu barisan. Barisan Rephairiem dari Ariar ada
seratus delapan puluh delapan ribu barisan banyaknya. Juga ba-
risan dari perkemahan Rapuan-Al, dari Padang Ariarum-Nor,
masih ada tujuh puluh ribu barisan banyaknya. Semuanya itu ter-
diri dari para pengerja batu, kayu dan tukang-tukang tempa. Para
Rephaiem pembuat kendi tidak diperhitungkan saat itu karena
mereka tidak mendapat tugas bertempur melainkan hanya memba-
ntu merawat yang terluka, sebelum dibawa ke Timur. Para pem-
buat kendi yang ada di sana ada tiga puluh ribu barisan, atau ada
satu juta empat ratus empat puluh sembilan ribu tiga ratus malaikat
banyaknya. Itulah barisan yang ada di Daria saat tengah pepe-
rangan melawan Legiun dan Bath-Pometh. Pada tahun dua puluh
satu masa perang Sorga.
Setelah itu datanglah Raphael ke Kraduria untuk melihat
keadaan di kota itu. Pada waktu itu ia tidak mendapati pemimpin
kota di sana. Di sanalah ia meminta laporan hamba-hambanya
tentang kota itu. Kayu-kayu dari Tanah Ranting sudah datang di
sana dan penempaan dapat berjalan seperti biasa. Melhuriel sau-
dara Raphael sudah pergi dari kota itu untuk mengadakan penu-
karan di Gunung Gruined. Raphael melihat bahwa keadaan kota itu
cukup baik. Maka ia memanggil barisan yang ada berkemah di
sebelah utara Ardur. Dibawanya mereka semua berjalan bersama ke
Daria untuk mengiring Raphael. Ada empat puluh ribu barisan
yang dipilih Raphael untuk berangkat bersamanya. Baik berjalan
maupun bertunggang.

499
Dengan kedatangan Raphael kembali ke Tanah Barat, para
Rephaiem menjadi sangat bersemangat dan penyambutan Raphael
saat itu sangat hebat dan besar. Namun Raphael berkata pada
hamba-hambanya,
“Jangan kamu meminum anggur karena aku datang pada-
mu. Sekalipun ini masa perang dan kamu bebas meminum anggur,
namun jangan kamu rayakan kedatanganku ini. Sebab saudara-
saudara kita yang di Daria tengah dalam perjuangan mereka. Maka
kamu sekalian ini berdiamlah pada kota-kotamu dan kiranya setiap
kamu saling menguatkan dan berdoa. Supaya kiranya Kasih Yang
Terang bersamamu. Dan jangan kota-kotamu didatangi barisan
musuh yang besar.” Dari Ardur, Raphael melanjutkan perjalanan-
nya segera ke Daria. Ia juga menulis surat pada hamba-hambanya
di Ariar, Araria dan Durie. Untuk mengatur permasalahan mereka
yang telah dilaporkan pada Raphael saat itu singgah di Ardur.
Sesampainya di Daria, Raphael melihat kota itu dari jauh.
Asap membumbung dari kota itu dan tidak ada keramaian terjadi.
Maka tahulah ia bahwa kota itu tidak sedang bertempur. Para
Rephaiem yang ada di kota itu tahu bahwa Raphael akan datang
pada mereka. Maka berlarianlah semua Rephaiem dari seluruh kota
untuk pergi ke kota sebelah timur. Mereka hendak melihat keda-
tangan Raphael di sana. Adapun Erenel, Hailel dan Melhunahel
berbaris bersama untuk menyambut Raphael. Turunlah Raphael di
Daria dan kakinya menginjak tanah di sana. Seketika itu bersorak
hebat para Rephaiem dengan meniup terompet dan menabuhi
genderang. Raphael bersuka melihat hamba-hambanya baik-baik
saja di sana. Maka dipersiapkan suatu rumah kerja yang dikosong-
kan dan dibangun ulang untuk Raphael berdiam di sana. Rumah
kerja itu dibangun seperti istana dengan aula besarnya lengkap
dengan pelbagai alat perabot dan alat keperluan lainya.
Duduklah Raphael dalam aulanya itu di tengah-tengah
Daria dan para hambanya melayani ia di sana. Setelah selesai
penyambutan itu, berkatalah Raphael di sana, katanya,
“Baiklah hadapkan padaku hamba yang memimpin kota ini.
Aku mendengar bahwa dengan kuasa yang kuberikan pada Melhu-
riel, ia telah merubah kota ini cukup besar. Aku mengenal Helanael,

500
namun aku tidak tahu saudara-saudaranya yang menggantikan
dia.” Maka dihadapkanlah Erenel pada Raphael di aulanya. Sedang
para pelayan Raphael ada juga di sana. Takutlah Erenel saat ia diha-
dapkan pada tuannya dan para pelayannya yang telah banyak
berjasa. Maka kemudian berkatalah Raphael,
“Mengapa gentar engkau menghadap tuanmu sendiri?
Sedang engkau dengan berani menentang Legiun yang datang ke
kotamu.” Maka jawab Erenel,
“Kiranya ampunilah hambamu ini, tuanku Raphael yang
telah membangun Sorga. Semua kerusakan pada kota ini karena
serangan musuh adalah kesalahanku dan jangan kiranya semua ini
ditimpakan pada kepala saudaraku Helanael. Sebab akulah yang
bertanggungjawab atas kota ini, maka biarlah semua salahku
tertumpah pada kepalaku sendiri.” Kemudian berkatalah Raphael,
“Lebih baik bagimu untuk menghadap musuh dari pada
menghadap aku. Sebab musuhmu dapat engkau lawan, namun aku
tidak dapat engkau lawan. Aku tahu memang tidak mudah mem-
pertahankan kota dari serangan dan lebih mudah menyerang.
Sekarang tembok Daria sebelah barat sudah rebah dan akar tem-
boknya nampak dari dataran. Sungguh kota ini telah dipermalukan
lebih dari pada seharusnya. Aku tahu bahwa musuhmu itu besar
dan kuat. Yang bahkan aku pernah menghadapinya juga untuk
mempertahankan kota ini. Adalah suatu kesalahan padamu dengan
tidak menaruh barisan di depan tembok dan membiarkan musuh-
mu meraih tembok dengan mudah; sehingga mereka menggem-
purnya sampai hancur. Malahan kota ini engkau bongkar semuanya
dan membangun tembok baru. Tidakkah kamu tahu tembok baru-
mu itu bahkan tidak akan bertahan bila dihantam rusa?” Maka
gemetarlah mereka semua yang dihadapankan pada Raphael.
Kemudian dipanggil juga kerabat-kerabat Erenel yang
dipandang sebagai pahlawan di Daria. Raphael melihat semua
hambanya itu dan ia mengerti bagaimana perjuangan mereka di
sana, dari luka-luka dan bekas goresan pada baju pelindung
mereka. Maka kata Raphael,
“Kamu sudah bertempur dengan baik. Bagaimana pun juga,
semua ini adalah karenamu dan kota tetap pada kekuasaanku.

501
Kamulah Rephairiem yang telah berjasa besar dan benarlah kata
penduduk kota bahwa kamu adalah pahlawan-pahlawan atas kota
ini. Baiklah bangkitlah kamu sekarang, hai pejuang Daria! Aku akan
memberi hormat padamu!” Maka bangkitlah mereka semua dan
Raphael memberi hormat pada mereka sebagai tanda syukur
Raphael atas Daria. Namun hamba-hambanya malah berlutut lagi
dan menangis ketika Raphael memberi hormat.
Hirnael yang menjerit paling hebat di antara mereka. Lalu
kata Hirnael di sana, “Kiranya janganlah kami ini menerima hormat
dari tuanku Raphael. Sungguh kami ini adalah hamba-hamba biasa
yang tidak mengerti apa-apa yang harus kami perbuat.” Kemudian
Raphael membuka meja dan kursi lalu mereka duduk di hadapan
Raphael. Lalu berkatalah Raphael,
“Panggillah juga mereka pejuang dari tanah-tanah Repha-
iem yang telah menjawab Daria saat mereka memanggil.” Maka
dipanggillah Melhunahel, Hailel dan Alkomnihel beserta para
pelayan mereka. Maka kemudian berkatalah Raphael,
“Hailel yang perkasa. Aku tahu bahwa engkau ada berjuang
juga di sini. Tidak dapatkah engkau memberi kesempatan pada
saudara-saudaramu untuk mendapat kebesaran yang sama? Atau
engkau hendak menjadi lebih besar lagi dari saat ini?” Maka kata
Hailel,
“Salam bagi tuanku Raphael yang telah membawa aku dan
membuat aku menjadi besar dan terpandang di antara saudara-
saudara Rephairiem. Kiranya aku mendapat kasih tuan, biarlah aku
melayani tuanku lagi.” Maka Raphael membiarkannya dan Hailel
melayani Raphael di sana.
Kemudian lagi kata Raphael, “Melhunahel, aku sudah tahu
pekerjaanmu dan memang bagus tindakanmu pada Kraduria. Dan
engkau sudah menjawab Daria dengan tidak melepas tanggungan-
mu di Ardur. Memang begitulah seharusnya seorang Rephai
bekerja.” Lalu Raphael berkata,
“Alkomnihel, aku melihat engkau ini sangat baik. Peker-
jaanmu sangat bagus dan perkemahanmu sudah seperti kota yang
tertata rapi. Engkau tidak pernah berhenti mengangkat derajat
Rapuan-Al dari keterpurukan. Maka demikian, aku akan mengang-

502
kat kamu menjadi pelayan saudaraku, Elcuriel. Kemudian dari
pada itu, sebelum Elcuriel kembali dari Tanah Selatan, maka
engkau akan melayani aku dengan merawat alat-alat tempaku.”
Begitulah dibuat Raphael pada hamba-hambanya di Daria.
Kemudian Raphael melihat keadaan tembok Daria. Ia meli-
hat tembok kota itu rebah di tanah dan hanya tinggal sebaris
tembok pendek di sebelah utara. Maka Raphael menghampiri sisa
tembok yang masih berdiri itu dan ia melihat keadaannya. Lalu
kata Raphael,
“Hai kamu Daria! Dengarkan perkataanku dan perhatikan
ini. Setiap kamu harus mempertahankan tembok yang masih berdiri
di sini dan jangan sekali-kali kamu membongkarnya. Karena ini
adalah sisa kehormatanmu. Bila ia runtuh pula, maka sungguh
kamu telah ditimpa malu yang sangat besar. Namun aku masih
memandang kamu sebagai hamba yang baik. Maka jagalah tembok
ini!” Raphael mempelajari tembok itu dan melihatnya baik-baik.
Dengan Alkomnihel yang ahli batu, ia melihat sisa tembok itu.
Raphael kemudian memimpin pembangunan tembok
sementara. Ia memperkokoh tembok baru yang dibangun para
Rephaiem atas perintah Erenel. Tembok itu sebagai tanda batas
pertahanan dan ia memperkokohnya. Namun tingginya hanya
ditambah sejengkal saja. Lalu Raphael mengatur dan menata Daria.
Barisan musuh tidak datang lagi, namun mereka tetap berkemah di
perbatasan Daria saja. Karena itu Daria tinggal tenang dan tentram
untuk beberapa waktu lamanya. Raphael juga tinggal bersama
hamba-hambanya di sana cukup lama.

503
Percakapan di Erenoth dan Barisan malaikat di Samahnia
(Tambahan)

Para Agung sudah berkumpul di Eranoth. Maka masuklah


mereka dalam rumah kerja bersama-sama. Hanya para Agung saja
duduk di sana, bersama beberapa hamba Raziem yang melayani
mereka. Kemudian berkatalah Mikhael,
“Baiklah Raziel, mari mulailah berbicara. Sebab kita sudah
berkumpul di sini untuk mendengarkan engkau berbicara soal
berkas-berkas itu.” Maka kemudian berkatalah Raziel,
“Adalah sesuatu yang ingin aku katakan kepada saudara-
saudaraku sekalian. Sebab tentang hal ini, aku menjadi tahu, bahwa
Luciel sudah mengadakan persekutuan dengan kaum-kaum lain.”
Lalu kemudian berkatalah Mikhael,
“Tentang Shunyi, bukankah Luciel dan barisannya malah
bertempur melawan Kaum Bagogh di sana? Mereka tidak bersekutu
dengan kaum-kaum yang lain menurutku.” Namun kemudian lagi
kata Raziel,
“Peperangan ini sudah terlalu jauh dari seharusnya, Serael.
Luciel membawa kaum-kaum lain dalam pertempuran ini dan kita
tidak hanya melawan malaikat. Luciel mengumpulkan barisan
Baghamoth juga di Utara yang sudah kusampaikan padamu sebe-
lumnya. Memang kita sudah membahas itu dalam perjalanan dan
memang jumlah Baghamoth tidak banyak. Luciel tidak dapat
menghimpun barisan besar dari kaum itu.” Maka kata Serael,
“Lantas persekutuan mana yang engkau hendak katakan ini,
Raziel? Kita sudah cukup tahu dari Durigo tentang barisannya dan
para penunggang ular naga yang perkasa itu. Kita juga belum per-
nah berhadapan dengan mereka, maka kita tidak tahu bagaimana
kekuatan barisannya. Namun bila memang Luciel mengadakan
persekutuan dengan mereka yang belum pernah kita jumpai, maka
kita tetap akan menghadapinya.”
Lalu Raziel memanggil hamba-hambanya dan memerin-
tahkan mereka untuk mengambil beberapa gulungan kosong. Maka
digambarnya pada gulungan itu sebuah gambaran makhluk besar

504
dan mengerikan. Lalu Raziel menunjukkan itu pada para Agung
dan katanya,
“Ini adalah Leviathran. Tentang kaumnya, itu sudah punah
semuanya. Tinggallah satu saja dia sendiri. Pada penciptaannya,
Tuhan memandang bahwa makhluk itu kurang baik maka Yang
Sulung menghabisi pasangannya. Lalu kemudian beberapa cerita
tentang Leviathran, aku rasa tidak perlu dibicarakan di sini. Namun
demikian, kita harus tetap waspada. Leviathran ditaruh di tiang
langit jauh dari sini. Aku tidak tahu bagaimana Luciel pergi ke sana
dan membawa Leviathran ini ke Tanah Sorga. Tidak seharusnya
malaikat menjelajah langit. Namun bila Luciel benar-benar memba-
wa Leviathran itu ke Tanah Sorga, maka tentulah ia sudah men-
jelajah Sorga. Kamu tahu tentang Ular Naga Terbang yang kamu
lihat di Tanah Altar, saat pertempuran hendak berakhir. Menu-
rutku, Ular Naga itulah yang membawa Luciel pada Leviathran;
lalu Luciel membawa Leviathran dalam peperangan ini. Maka saat
ini lawan kita semakin kuat di Tanah Utara, saudara-saudara.”
Kemudian Raziel bangkit dan ia menjelaskan bahaya tentang
Leviathran dan kehebatan makhluk itu.

(Kitab Malaikat)
Kemudian para Agung melanjutkan perjalanannya ke
Samahnia bersama barisan Seraphiem. Uriel dan Bart-Archiel
hendak memanggil barisan mereka, namun Mikhael melarangnya
karena barisan Seraphiem sudah cukup dengan barisan Jhudriem.
Belum lagi para Cerubbiem yang mereka lawan tidak banyak
jumlahnya. Maka setelah sampai di Samahnia, Yehudiel segera
pergi menghimpun barisannya untuk pergi segera ke Tanah Altar.
Berkumpullah di sana barisan Jhudriem bersama barisan
tombak seribu. Mereka menjadi satu dan berkumpul membuat per-
kemahan di dekat Samahnia. Maka duduklah para Agung bersama
untuk membahas penyerangan dan perebutan Tanah Altar dari
Bartus-Mindrel. Dipanggillah Samanel dan dihadapkan pada para
Agung di dalam tenda. Kemudian berkatalah Mikhael di sana,
katanya,

505
“Samanel, hamba Cerubbiem. Aku menghargai segala kese-
tiaanmu pada Tanah Sorga dan tidak setia pada Bartus-Mindrel
yang memang bukan tuanmu. Karena aku sudah melepaskan dia
dari segala sumpahku dan ia tidak berhak memimpin Cerubbiem
lagi. Karena itu di sini aku bersumpah di depan saudara-saudaraku
malaikat Agung dan engkau Samanel sebagai saksinya. Bahwa aku
tidak akan lagi mengangkat pemimpin bagi suatu suku bila suku itu
kehilangan pemimpinnya. Aku tidak akan memilih atau mengang-
kat siapa pun untuk menggantikan tempat para Agung sebagai
pemimpin suatu suku. Bila memang aku harus mengangkat, aku
tidak akan memberi kuasa apa pun selain metahbiskannya saja. Bila
memang aku harus mengangkat pemimpin bagi suku di luar Sera-
phiem, maka aku hanya mau mengangkat saja, namun tidak memi-
lihnya sendiri. Supaya jangan kesalahan dalam Bartus-Mindrel ini
terulang kembali. Karena itu sesuai keputusanku, nantinya
Malaikat Agung akan mengeluarkan suatu hukum baru tentang
peraturan pengangkatan pengganti pemimpin. Supaya sah segala
sesuatunya dan lebih teratur lagi. Selebihnya, bila ada suatu peris-
tiwa seperti Luciel yang meninggalkan sukunya, maka biarlah Yang
Sulung sendiri yang mengangkat penggantinya.” Maka semua itu
diterima baik oleh para Agung. Oleh sebab itu, Mikhael tidak
pernah lagi mengangkat pemimpin bagi suku lain selain
mentahbiskan saja.
Kemudian Yehudiel bangkit dan ia membuka peta-peta
Tanah Altar. Kemudian kata Yehudiel,
“Mari, Samanel, tunjuklah pada kami bagaimana penye-
rangan harus kami lakukan nanti. Supaya kami tahu bagaimana
kami akan bekerja sama dengan barisan Cerubbiem yang sudah ada
di dalam Altar.” Maka dilihatnya peta itu dan Samanel menjelaskan
segala sesuatunya. Setelah itu berembuklah para Agung bagaimana
mereka akan melakukan penyerangan. Lalu kemudian berkatalah
Yehudiel,
“Samanel, engkau sudah berjasa pada Sorga karena perbuat-
anmu dan engkau akan dikenang dan harumlah namamu di Tanah
Sorga. Karena engkau diperhitungkan sebagai pejuang yang mere-
but Tanah Altar kembali pada Malaikat Agung. Sekarang pergilah

506
kamu ke Tanah Altar dan persiapkan barisanmu untuk melakukan
seperti yang sudah kita bicarakan di sini. Setelah itu kibarkanlah
benderamu di atas tembok sebagai tanda bagi kami. Maka kami
akan menyusulmu ke sana.” Kemudian Yehudiel menyerahkan
surat pada Samanel dengan cap yang lengkap. Kemudian Yehudiel
menyerahkan tongkat tembaga miliknya pada Samanel. Kata
Yehudiel,
“Serahkan surat ini pada hamba-hambaku. Dan bila mereka
tidak percaya, ada padamu tongkatku sebagai bukti. Supaya mere-
ka mau melakukan perintahku yang engkau bawa dalam surat ini.”
Pergilah Samanel dari sana.

507
Pemberontakan di Utara –
Bangkitnya Azbazel

Pertempuran di Gunung Shunyi terus saja berlarut-larut.


Namun dengan kepemimpinan Azbazel yang mahir bertempur, ia
berhasil menembus pertahanan Yeshaiem di atas gunung. Hal itu
sebagai penyerangan terbaik dan terjauh bagi barisan Luciel selama
pertempuran bertahun-tahun di Shunyi. Barisan Luciel menyorak-
nyorakkan nama Amonel yang disebut Amon. Sebab memang
Azbazel menggunakan Amon sebagai yang tampil di muka namun
segala perbuatan Amon adalah hasil pemikiran Azbazel. Karena
kemajuannya itu pergilah Azbazel mendapati Luciel. Maka kemu-
dian berkatalah Azbazel, “Aku sudah membawa pertempuran ini
dengan baik. Barisanmu sudah kupimpin menembus pertahanan
Yeshaiem dan barisanmu sudah masuk ke kota bangunan Repha-
iem. Maka bebaskanlah aku dari tugasku karena pertempuran itu
melelahkan aku.”
Namun Luciel menolak ia. Karena persiapan barisan Bemoth
lebih lama dari seharusnya dan kaum Hamoth menghilang dalam
hutan dan belum kembali. Maka kemudian berkatalah Luciel,
“Aku tidak akan melepaskanmu sekarang. Sebab barisanku
belum siap untuk maju menggantikan barisanmu. Memang engkau
sudah sangat berjasa dan hebat kepemimpinanmu merebut kota di
Lebarga. Namun aku terpaksa mengirim engkau lagi ke dalam sana
untuk bertempur lagi sampai Bemoth siap untuk menggantikan ba-
risanmu.” Lalu berkatalah Azbazel pada Luciel, “Memang barisan-
ku itu hebat. Baiklah lepas saja aku dan barisan yang telah kuba-
ngun itu akan tinggal di Lebarga dan bertempur bagimu di sana.
Lagi pula Amon ada bersama mereka. Ia sudah biasa memimpin
dan gaya memimpinnya sudah sama persis seperti caraku.” Namun
Luciel berkata,
“Bukan barisanmu yang hebat, Azbazel. Engkau adalah
hamba yang telah mendapat hormat di hadapanku. Dan aku tahu
barisanmu itu tanpa kepemimpinanmu tidak akan hebat lagi seba-
gaimana seharusnya. Maka tetaplah engkau bertahan sebentar lagi

508
di sana. Kemudian aku akan mengirim engkau pada masa peristira-
hatanmu di Munbagur.” Namun geramlah Azbazel pada Luciel,
katanya, “Sungguh aku sudah mengabdi padamu dengan baik dan
melakukan kehendakmu. Aku membawa barisanmu menjadi lebih
hebat lagi. Baiklah sekarang aku akan tetap pergi dari Lebarga. Aku
muak dengan pertempuran itu. Malahan aku tidak akan lagi ber-
tempur bagimu. Engkau sudah membangunkan musuh bagimu
sendiri, Luciel. Karena engkau telah melanggar perjanjianmu pada-
ku. Sekarang ambillah saja barisanmu, aku tidak akan pernah
kembali lagi dan perjanjianmu itu tidak akan kupegang lagi. Aku
akan mengusahakan sendiri tentang apa-apa yang aku kehendaki.”
Lalu berlarilah Azbazel dari sana.
Luciel mengejar dia namun tidak dapat ia mendapati lagi.
Maka pergilah Luciel ke Burdur Dintak dan berdiam di sana untuk
menanti Bekhmoth dan kaumnya kembali. Luciel memerintahkan
pada hamba-hambanya untuk mencari Azbazel dan membawanya
pada Luciel. Pergilah hamba-hambanya untuk mengejar Azbazel.
Pada waktu itu, Azbazel pergi ke Kota Dur-Harandi. Ia
mendapati barisannya di sana. Dipanggillah hamba yang mendapat
kasihnya, yaitu Amonel yang disebut Amon. Maka kata Azbazel
padanya, “Aku akan pergi dari sini dan meninggalkan pertempuran
ini. Sekarang aku menyerahkan semua padamu. Namun bila eng-
kau hendak pergi juga bersama aku, maka aku mau membawamu.”
Lalu kata hambanya itu, “Ke mana kita akan pergi tuan?” Jawab
Azbazel, “Aku akan membuat engkau lebih besar dari sekarang ini.
Dan aku akan mengusahakan keperluanku sendiri dan juga engkau
bila engkau pergi bersamaku.” Maka maulah hambanya itu untuk
turut bersamanya pergi dari sana. Lalu berkatalah Azbazel,
katanya,
“Sekarang sudah tidak ada lagi Azbazel, hai Amon. Mulai
saat ini engkau akan memanggil aku Atbadon. Karena aku ini
adalah kehancuran yang sebenarnya. Aku akan membawa kehan-
curan pada Sorga dan pada Luciel sendiri.” Lalu pergilah mereka
dari sana ke Kota Munbagur dan tidak pernah ditemukan Luciel.
Adapun karena Luciel tidak dapat menemukan Azbazel,
maka ia memanggil seorang pejuang terbaiknya yang juga sudah

509
lama bertempur bersama-sama dengan Azbazel. Diundangnya
hamba itu untuk duduk bersama berjamu dengan kata-kata yang
baik-baik. Membesarlah kepala hambanya itu karena undangan
Luciel. Tidak ada yang tahu pasti nama hamba itu siapa, namun
sejak ia bertempur bersama Azbazel, ia disebut Shamash. Sebab ia
adalah petarung terbaik pilihan Azbazel. Maka datanglah ia pada
undangan Luciel. Kemudian berkatalah Luciel padanya,
“Sekarang aku mengangkat engkau menjadi pemimpin ba-
risan Amoth. Ya, engkaulah yang memimpin barisan itu, Shamash.”
Lalu jawab hamba itu, “Ah, tuhan, aku ini tidak pandai memimpin
barisan. Lagi pula aku masih menaruh hormat pada Amon pemim-
pin barisanku. Bukankah masih ada Azbazel yang dapat memim-
pin?” Lalu jawab Luciel,
“Amon sudah tidak ada lagi. Juga Azbazel telah dalam masa
peristirahatannya. Lagi pula hambaku Shadikiel masih sibuk de-
ngan urusannya di Trumilo. Sekarang, bila engkau memimpin
barisan Amoth bertempur di Lebarga, aku akan memperhitungkan
engkau di antara pelayan-pelayanku.” Maka berbesar hatilah
Shamash itu dan ia bersuka.
Pergilah ia ke Dur-Harandi bersama hamba-hamba pilihan
Luciel. Ia duduk di atas kereta tarik dengan wajahnya yang penuh
sukacita. Lalu dibacakan pada seluruh penduduk di Dur-Harandi,
bahwa Shamash telah dipilih menjadi pemimpin baru oleh Luciel
sendiri. Maka para hamba di sana menjadi takut pada Shamash.
Karena Shamash itu sangat kuat dan pandai bertempur, lagi badan-
nya itu besar. Saudara-saudaranya dahulu tercatat dalam Suku
Bartarchiem, namun hanya dia sendiri yang menjadi suku Sera-
phiem. Begitulah Luciel mengangkat hambanya.

510
Direbutnya Tanah Altar kembali

Para Agung sudah menghimpun barisan mereka, namun


tanda dari Samanel belum juga nampak di atas tembok. Maka
kemudian para Agung duduk dalam satu tenda di depan barisan
mereka. Lalu berkatalah Mikhael,
“Saudara-saudaraku sekalian. Mungkin memang terlalu ber-
lebihan jika aku membawa barisan tombak seribu dalam perkara
ini. Sebab di balik tembok itu hanya ada segelintir musuh saja; yaitu
Bartus-Mindrel dan pendukungnya. Lagi pula kita tidak perlu ber-
susah payah untuk menembus temboknya. Barisan Jhudriem saja
cukup untuk melakukan semua ini.” Lalu kata Yehudiel,
“Lebih dari cukup, saudaraku. Bila memang engkau hendak
menyerahkan perkara ini pada kami sepenuhnya, itu akan menjadi
kehormatan bagi Jhudriem. Sehingga kami dapat kesempatan untuk
merebut tempat kami di Tanah Altar. Karena Tuhan telah membe-
rikan sebagian tanah di sana padaku dan juga Gerbang Altar sam-
pai ke Kota Altar adalah tanggung jawab Yehudiem. Itu adalah
pusaka kami.” Lalu para Agung menerima semua itu dengan baik.
Keluarlah Mikhael dan memanggil hamba-hambanya. Lalu
kata Mikhael di sana,
“Utuslah hamba-hamba untuk kembali ke Tanah Seraphiem.
Lihatlah apakah barisan beruang putih sudah usai dalam perjuang-
an mereka. Aku akan mengirim surat pada Mondrael tentang ini,
supaya barisannya dibawa ke Tanah Barat. Segera setelah ia selesai
menata kota di sana. Biarlah para Rephaiem membangun kota itu
dan beruang putih dapat pergi dari sana.” Maka pergilah diutus
hamba-hamba Seraphiem untuk melakukan itu. Lagi perintah
Mikhael,
“Mindruel, barisan tombak seribu harus pergi segera ke
Ariar. Dari sana mereka harus mencari kabar tentang Daria. Bila
masih dalam pertempuran, haruslah segera tombak seribu turut da-
lam perjuangan di sana. Namun demikian, engkau tinggallah bersa-
ma aku di sini untuk mengurus Tanah Altar, bersama para Agung.”
Dibuatlah demikian oleh para Seraphiem. Maka dari Samahnia para

511
Seraphiem melipat tenda mereka dan membongkar perkemahan
mereka. Lalu pergilah barisan itu ke Kota Ariar, lewat Tanah Roti.
Mikhael memilih hamba-hamba terbaiknya. Yaitu mereka
yang pandai bertempur dan sudah lama bertempur bersamanya
sejak penyerangan Tanah Barat sampai akhir. Dipilih saat mereka
masih ada di Samahnia. Mikhael memanggil dua hambanya di sana.
Yaitu Mindanel dan Mikhiel, saudara-saudara termudanya. Mereka
itu adalah pejuang hebat di kalangan Seraphiem dan sudah berjasa
banyak. Diangkatlah dua hamba itu sebagai punggawa Mikhael dan
tinggallah para Seraphiem ini di Samahnia. Yaitu mereka yang ti-
dak turut ke Tanah Barat. Ada Mindruel, hamba pembesar Seraph-
iem. Lalu Mindanel dan Mikhiel. Juga Mikhael sendiri. Empat Sera-
phiem itu yang tinggal. Bahkan pelayan-pelayan Mikhael juga pergi
ke Barat.
Setelah waktu berlalu, nampaklah seorang Yehudi lari pada
tenda para Agung. Kemudian ia masuk dan menghadap. Kata
hamba itu,
“Tuan-tuanku Malaikat Agung. Bendera telah berkibar di
atas tembok. Itu bendera milik Samanel. Kita sudah menerima tan-
da itu sekarang.” Maka bangkitlah para Agung segera keluar dari
tenda mereka. Masing-masing mempersiapkan diri di sana. Yehu-
diel keluar dan tampil di depan barisannya. Ia membakar semangat
barisan itu dan bangkitlah mereka semua dari tendanya masing-
masing. Dibariskan sebarisan besar Jhudriem. Para Agung naik ke
atas tunggangannya dan mereka berangkat bersama barisan Jhu-
driem. Barisan itu menyisir tepi-tepi pepohonan dengan diam-diam
dan sebagian berjalan merangkak di tanah lapang di depan Ger-
bang Altar.
Saat dilihat bahwa Samanel sudah ada berdiri di atas
tembok, maka bangkitlah Sealtiel dan melihatnya. Kemudian kata
Sealtiel,
“Mereka yang di atas tembok adalah anak buah Samanel.
Kita aman untuk berjalan terang-terangan.” Maka keluarlah barisan
itu dari tepi-tepian pepohonan dan berjalan saja di tanah terbuka di
depan Gerbang Altar. Berkatalah Mikhael pada hamba-hambanya,
katanya,

512
“Saat gerbang itu terbuka, kamu sekalian harus berlari di
depan tungganganku dan pastikan jalanku terbuka sampai tempat
bakaran. Aku tahu itu jaraknya cukup jauh, namun engkau pasti
bisa. Dan jaga mulutmu tetap diam.” Bart-Archiel bertunggang
mendahului saudara-saudaranya dan ia sampai di depan pintu
gerbang sebagai yang pertama.
Kemudian Uriel menyusulnya di sana. Lalu kata Uriel,
“Siapa yang mendapatkan Bartus-Mindrel lebih dahulu, ia
yang akan duduk dekat Ammatiel, saat kita berjamu nanti.” Maka
jawab Bart-Archiel,
“Aku setuju denganmu. Namun bila memang itu usulanmu,
ajaklah pula Raziel bersama dalam perkara ini. Sebab ia selalu men-
dapat duduk dekat Ammatiel. Tentu saja ia dapat tenang selalu.”
Maka kata Uriel,
“Biar saja ia tidak turut dalam perkara ini. Lagi pula ia selalu
duduk di sebelah kanan Ammatiel. Baiklah sekarang kita berebut
supaya duduk di sebelah kirinya.” Lalu kemudian Bart-Archiel
mau. Maka katanya,
“Di saat seperti ini, memang lebih baik kita selalu bersama
ketenangan. Bukankah Ammatiel itu juga adalah Senyum Allah?
Bayangkan saja bila Yang Terang tersenyum padamu, betapa damai
dan tenangnya dirimu.”
Tidak lama kemudian datanglah barisan Jhudriem bersama
para Agung lain di sana. Kemudian Ammatiel segera naik meman-
jat tembok. Setelah itu barulah para Cerubbiem membuka Gerbang
Altar. Semua gerbang dibuka oleh mereka dan masuklah segenap
barisan Jhudriem bersama para Agung ke dalam Tanah Altar. Mere-
ka masuk dengan tenang dan tiada suara langkah yang terdengar
berisik di sana. Yehudiel mendapati hamba-hambanya di sana. Lalu
kata Yehudiel,
“Baik sekarang mulailah kamu pergi bersiap ke rumah
kediamanku. Bila nanti Bartus-Mindrel dan semua anteknya sudah
keluar dari dalam sana, kamu harus segera menyelinap masuk. Pas-
tikan semua yang ada di sana masih utuh seperti saat aku mening-
galkannya. Yang terpenting adalah ruang gulungan dan perpus-
takaan di dalam sana. Juga lihat dan periksa minyak-minyak yang

513
masih ada. Kiranya engkau akan sangat berjasa karena perbuatan-
mu.” Maka pergilah hamba-hamba Yehudiem itu yang sudah lama
ada di di dalam Altar.
Barisan Jhudriem bersama para Agung masuk bersama ke
Tanah Altar dan mereka berjalan mulai mendekati rumah kediaman
Yehudiel. Mereka mengerumuni tempat itu beramai-ramai bersama
para Cerubbiem juga. Para Agung maju segera ke depan barisan.
Lalu kata Sealtiel pada Samanel,
“Pekerjaan bagus, Cerub. Aku akan mengingat engkau kare-
na peristiwa ini. Baiklah sekarang bawa barisanmu ke dalam Kota
Altar dan bawa setiap pendukung Bartus-Mindrel ke sini. Kami
bersama barisan Jhudriem akan mengurus Bartus-Mindrel, tidak
perlu engkau turut campur.” Sekalipun Samanel itu geram terha-
dap Bartus-Mindrel, namun ia taat juga pada Sealtiel. Maka karena
ia menaruh hormat, dibuatnya seperti perkataan Sealtiel itu.
Tampillah Mikhael di sana bersama para Agung duduk di
depan barisan. Sedang Ammatiel berdiri di salah satu bangunan
yang cukup tinggi dan ia menarik busur panah di sana. Ia membi-
dik ke terasan rumah Yehudiel. Ia melihat ke segala arah dan mata-
nya mencari Bartus-Mindrel. Tiba-tiba naik pula ke sebelah Amma-
tiel seorang hamba Yehudi. Lalu kata Ammatiel tanpa melihatnya,
“Apa yang engkau lakukan di sini, Yehudi?”
Kata hamba itu, “Kiranya aku mendapat kasih tuanku. Na-
mun aku ini juga malaikat Timur yang menjadi hamba Yehudiem,
tuan. Kiranya bila tuan percaya pada pandanganku, aku akan
memberitahukan pada tuan bila Bartus-Mindrel itu nampak di satu
terasan.” Maka kemudian Ammatiel merenggangkan tali busurnya
dan ia berkata,
“Baiklah jika demikian. Aku akan mempercayakan padamu.
Bila engkau melihat dia, katakan padaku.”
Mikhael berdiri di atas tunggangannya dan ia melihat ke
rumah kediaman Yehudiel. Lalu ia duduk lagi pada tunggangan-
nya. Kemudian berkatalah Mikhael,
“Gabriel, majulah sebentar ke mari.” Maka bersandinglah
Gabriel pada Mikhael. Kata Gabriel,

514
“Ada apa Mikhael? Adakah engkau tidak dapat melihat
sejauh itu? Aku ini bukan malaikat yang memiliki pandangan jauh
juga, sama sepertimu.” Lalu kemudian kata Mikhael,
“Ammatiel sudah berdiri dan melihat lebih jauh daripada
kita. Aku tidak perlu mata untuk saat ini, namun aku perlu mulut
untuk berbicara.” Maka tertawalah Gabriel. Lagi kata Mikhael,
“Panggil dia keluar sekarang!” Lalu Gabriel membawa
tunggangannya lebih maju.
Kemudian Gabriel mempersiapkan suaranya dan ia berseru
di sana, katanya,
“Bartus-Mindrel, yang berdiam di Tanah Altar dan merebut
Tanah Altar dari Malaikat Agung! Aku memanggil engkau keluar-
lah sekarang dan tunjukkan dirimu ke hadapan kami, para Agung.
Yang dari padanya engkau telah merebut Tanah Pusaka Sorga!”
Setelah Gabriel berseru, tidak ada gerakan apa pun dari atas kedia-
man rumah Yehudiel. Sedang saat itu para Yehudiem sudah me-
manjati menara itu cukup tinggi. Kemudian mereka bergantung di
sisi-sisi tangga. Mereka menunggu Bartus-Mindrel keluar dan
turun. Maka barulah setelahnya mereka akan naik ke tangga dan
menyusup masuk. Karena tidak ada pergerakan, maka Gabriel
berseru lagi di sana.
Pada waktu itu, Bartus-Mindrel sedang duduk tenang dalam
perpustakaan rumah kediaman Yehudiel. Saat mendengar suara
orang banyak berseru, maka ia memanggil hambanya dan berkata,
katanya,
“Lihatlah keluar terasan. Coba kaulihat mengapa para
Cerubbiem itu berseru-seru membuat keramaian.” Maka pergilah
dua hambanya keluar terasan untuk melihat ke luar. Saat ia berjalan
di terasan untuk melihat ke bawah, dilihatnya mereka oleh Yehudi
yang bersama Ammatiel. Maka berkatalah Yehudi itu pada Amma-
tiel, katanya,
“Ada pergerakan di sebelah timur, tuan. Di terasan taman
atas, dekat jendela besar.” Maka bangkitlah Ammatiel dan menarik
busurnya. Kata Ammatiel,
“Mata yang tajam, Yehudi. Mata yang tajam.” Lalu Amma-
tiel membidik hamba Bartus-Mindrel itu dan ia melepaskan anak

515
panah padanya. Karena Ammatiel melihat ada dua hamba, ia me-
milih salah satunya dan ia tidak tahu siapa yang ditembaknya itu.
Meluncurlah anak panah dari busur Ammatiel. Melesat
cepat anak panah itu dan seketika itu juga terhantamlah kepala
hamba Bartus-Mindrel dan terpecahlah tubuhnya di tempat itu.
Petir besar keluar dari anak panah Ammatiel dan membuat salah
satu tiang besar bangunan di rumah Yehudiem itu patah runtuh
dan jatuh ke bawah. Maka berlarilah para Jhudriem yang ada di
bawahnya menghindari batu dari tiang besar itu. Terdengarlah
suara dentuman yang hebat karena batu besar itu. Berteriaklah
Yehudiel pada Ammatiel karena itu, katanya,
“Ammatiel! Pakai saja busur biasa untuk hal ini! Engkau
merobohkan terasanku!” Namun Ammatiel tidak menjawabnya.
Ammatiel hanya bicara pelan, katanya,
“Hanya satu tiang saja, Yehudiel. Kiranya ampunilah aku,
saudaraku. Raphael, ada hal yang harus engkau kerjakan.” Kemu-
dian lagi kata Ammatiel, “Hei, Yehudi! Tentu tanganmu tidak
terlalu berat untuk mengambilkan busur panahku yang satu lagi di
belakang tiang di belakangmu.” Maka diambillah busur itu dan
diserahkan pada Ammatiel.
Ammatiel menarik-narik tali busurnya untuk merenggang-
kannya. Lalu kata Ammatiel,
“Apakah aku mengenai Bartus-Mindrel?” Lalu kata hamba
Yehudi itu,
“Kiranya kasih tuan ada padaku saat ini. Karena menurutku
itu mungkin bukan Bartus-Mindrel. Sebab Bartus-Mindrel tidak
pernah mengenakan jubah merah setelah ia memberontak.” Maka
kata Ammatiel,
“Katakan padaku, siapa namamu, Yehudi?” Lalu jawab
hamba itu,
“Aku yang disebut Joanel, tuan. Rumpun Er’Am-Al, tuan-
ku.” Tersenyumlah Ammatiel, katanya,
“Pantas saja aku langsung percaya padamu saat engkau
berkata padaku. Kiranya engkau akan dikenal para Ammatiem,
Joanel. Aku sendiri yang akan menyebut kamu ‘heiskrah’. Artinya
si mata petir. Karena pandanganmu cepat dan tajam, Joanel.”

516
Pada waktu terjadi hantaman petir panah Ammatiel di
rumah kediaman Yehudiel, terkejutlah semua yang ada di dalam-
nya. Mereka berkumpul di aula dekat ruang tengah. Hamba Bartus-
Mindrel yang selamat dari panah Ammatiel itu kembali dengan
luka-luka. Katanya pada Bartus-Mindrel,
“Bukan Cerubbiem yang membuat keramaian ini, tuanku.
Sebarisan Yehudiem ada di bawah, di depan tangga.” Maka bang-
kitlah segera Bartus-Mindrel. Ia berlari segera ke ruang tengah
untuk ke teras utama. Ia melihat juga hamba-hambanya sudah
berkumpul di aula dekat ruang tengah. Maka kata hamba-hamba
itu pada Bartus-Mindrel,
“Malaikat Agung masuk ke Tanah Altar dan mereka menga-
cau, tuan.” Namun banyak juga di antara para Cerubbiem itu yang
berkata pelan: “Saat keruntuhanmu sudah tiba, Bartus-Mindrel!”
Mereka itu adalah hamba-hamba yang melayani Bartus-Mindrel
karena takut dan dipaksa. Maka tampillah Bartus-Mindrel ke teras
utama dan ia melihat bahwa barisan telah mengepung tempatnya
dan para Agung juga sudah berdiri di sana.
Joanel melihat Bartus-Mindrel keluar dan segera ia membe-
ritahukan pada Ammatiel. Sekalipun Ammatiel dapat melihatnya,
namun mata Joanel lebih cepat dari padanya. Maka Ammatiel
menarik segera busurnya dan membidik Bartus-Mindrel. Sementara
Bartus-Mindrel terus bergerak untuk melihat ke sana ke mari. Sebab
ia masih heran melihat keramaian di depannya. Maka berhentilah
dan berserulah Bartus-Mindrel di sana dengan menarik pedangnya
keluar, katanya,
“Bangkitlah Cerubbiem! Lihatlah mereka menembus tem-
bokmu dan menodai Tanah Altar, Cerubbiem!” Karena ia berhenti
bergerak, Ammatiel membidiknya dengan perhitungan dan mele-
pas anak panah dari busurnya. Meluncurlah anak panah itu di
udara. Sedang Bartus-Mindrel berseru, tiba-tiba suatu anak panah
menusuk di mulutnya sebelah bawah di atas dagunya. Anak panah
itu menembus mulut bawahnya dan masuk dalam mulutnya. Maka
menjeritlah Bartus-Mindrel di sana karena sakitnya.
Melihat hal itu, berkatalah Joanel, “Mengapa tuan melong-
garkan tali busur tuan? Anak panah itu seharusnya dapat menem-

517
bus kepala Bartus-Mindrel saat ini juga, tuan.” Namun Ammatiel
membereskan busurnya dan hendak pergi dari sana untuk berga-
bung bersama para Agung. Kata Ammatiel,
“Memang aku tidak hendak membuat ia hancur, Joanel.
Sebenarnya aku sudah berencana menghancurkannya. Namun sau-
dara-saudaraku menahan aku karena mereka ingin Bartus-Mindrel
hidup-hidup. Karena itu aku menggunakan Drenti-Leon untuk tem-
bakan pertama. Kemudian tuanmu itu melarang aku, maka batallah
lagi rencanaku. Ya, setidaknya itu dapat sedikit membungkam
Bartus-Mindrel.” Lalu pergilah Ammatiel dari sana. Setelah peris-
tiwa itu, keluarlah hamba-hamba Bartus-Mindrel dari rumah kedia-
man Yehudiel. Mereka berlari dengan membawa pedang dan ber-
bagai senjata lainya. Sedang persenjataan mereka itu lengkap dan
baju pelindungnya sangat baik.
Yehudiel melepaskan barisannya maju untuk menghadapi
para Cerubbiem yang keluar dari sana. Terjadilah pertempuran di
tangga rumah kediaman Yehudiel. Mereka bertempur di tempat-
tempat tinggi. Para Agung hanya duduk di atas tunggangan mereka
menyaksikan itu. Saat Ammatiel datang pada para Agung, Mikhael
berbicara padanya namun matanya tetap melihat pertempuran,
katanya,
“Engkau benar-benar berniat menghancurkan dia, Amma-
tiel. Apa maksudmu dengan tembakan pertama yang begitu
dahsyatnya? Bila engkau yang menghancurkan dia, maka pedang
yang ada pada tangannya akan menjadi tanggunganmu. Bagaimana
bisa engkau dapat menanggung dua pedang. Sebaiknya engkau
memperhatikan himbauan saudara-saudaramu pada lain waktu,
Ammatiel, Wajah Allah.” Ammatiel hanya terdiam mendengar
teguran Mikhael.
Di tengah keramaian, Bartus-Mindrel melepas anak panah
yang menancap padanya. Lalu ia berjalan menuruni tangga dan
hendak masuk dalam pertempuran. Uriel dan Bart-Archiel melihat
itu. Mereka sudah menceritakan tentang pertarungan mereka pada
Gabriel. Jadi Gabriel sudah tahu bahwa mereka hendak berebut du-
duk dekat Ammatiel. Karena Bartus-Mindrel sudah masuk dalam

518
pertempuran, Gabriel memutar tunggangannya dan menghadap
Uriel dan Bart-Archiel. Kemudian Gabriel berkata,
“Bersiaplah saudara-saudara! Ingatlah akan hadiahnya! Satu
di antara kamu akan mendapat tempat yang dapat menenangkan-
mu dalam jamuan nanti. Mulai!” Setelah Gabriel berbicara, segera
Uriel dan Bart-Archiel memacu tunggangannya. Mereka segera
menuju dalam pertempuran. Para Agung melihat dua saudaranya
masuk dalam pertempuran. Maka berkatalah Mikhael,
“Apa yang dilakukan mereka? Tidak perlu Malaikat Agung
turun dalam pertempuran yang seperti ini.” Lalu Gabriel datang
dan menceritakan tentang Uriel dan Bart-Archiel itu. Maka berka-
talah Ammatiel,
“Bila memang hendak duduk semeja denganku baiklah
katakan saja padaku. Aku akan memberinya. Namun karena ini
sudah dimulai, baiklah mari kita lihat siapa yang akan mendapat
tempat.” Tertawalah para Agung melihat Uriel dan Bart-Archiel
yang mencari-cari Bartus-Mindrel di tengah pertempuran itu.
Bartus-Mindrel takut melihat pertempuran hebat di depan-
nya dan ia tahu bahwa barisannya akan kalah. Sedang ia tidak
melihat ada Cerubbiem lain yang bertempur baginya selain para
pelayannya; maka menyelinap ia dari pertempuran. Ia meloncat di
dinding dekat tangga dan ia turun perlahan dengan menyelinap
keluar dari pertempuran. Sedang para Yehudiem melihat Bartus-
Mindrel yang lari dari pertempuran. Maka mereka berkata: “Itu
Bartus-Mindrel berlari! Mari kita masuk!” Maka naiklah mereka ke
atas tangga dan berlari segera masuk dalam rumah kediaman
Yehudiel untuk memeriksa rumah kediaman itu seperti perintah
Yehudiel.
Tanpa terlihat, Bartus-Mindrel pergi dari pertempuran. Ia
masuk dalam taman dekat tempat bakaran. Maka ia menyelinap
pula dalam bangunan-bangunan di Gerbang Altar dan lewat per-
kemahan-perkemahan yang sempit. Dari sana ia masuk dalam
pepohonan di luar tembok dan pergi dari Tanah Altar. Begitulah
Bartus-Mindrel pergi meninggalkan Tanah Altar saat para Agung
merebutnya kembali.

519
Pertempuran terus berjalan dan barisan Cerubbiem dikalah-
kan dengan hebat oleh Jhudriem. Bersoraklah barisan Jhudriem di
sana dengan hebat dan mereka meniupi sangkakala dan terompet-
terompet. Bendera-bendera Cerubbiem dilepaskan dari setiap sudut
kediaman Yehudiel dan seluruh Tanah Altar. Dibersihkan semua
itu. Kemudian Jhudriem hendak memasang bendera mereka di
terasan kediaman Yehudiel. Namun itu dicabut lagi karena
Yehudiel berkata pada mereka,
“Jangan kamu memasang bendera-bendera di sini. Tanah
Altar adalah milik pusaka setiap malaikat Sorga. Bukan milik baris-
anmu atau sukumu. Lepaslah semua itu!” Maka bersihlah Tanah
Altar dari musuh-musuh Sorga.
Uriel dan Bart-Archiel mencari-cari Bartus-Mindrel di
tengah pertempuran. Namun mereka tidak mendapati. Seusai
pertempuran, para Agung juga berjalan di antara bekas pertem-
puran dan mencari-cari Bartus-Mindrel; namun tetap mereka tidak
mendapati. Maka berkatalah Mikhael di sana,
“Mungkin ia sudah pergi dari sini. Ia menyelinap dari
tempat ini saat pertempuran sedang ramai.” Namun tetap saja para
Agung mencari untuk memastikan. Diperintahkan juga pada setiap
Jhudriem untuk mencari di sana sampai lama mereka mencari di
antara bekas pertempuran. Kemudian Gabriel melihat ke anak-anak
tangga di sana dan ia membaca jejak Bartus-Mindrel. Maka tahulah
ia bahwa Bartus-Mindrel benar-benar sudah tidak ada di sana. Ia
melihat itu di dinding-dinding samping tangga ada bekas seperti
panjatan, namun mengarah turun. Juga ada sobekan jubah Bartus-
Mindrel tersangkut di antara tembok itu.
Setelah itu masuklah para Agung ke rumah kediaman
Yehudiel. Pada waktu itu Yehudiel dan Raziel yang pertama masuk
ke sana. Ia mendapati di sana hamba-hambanya berdiri dan di
depan hamba-hambanya ada banyak Cerubbiem yang berlutut
menghadap para Agung juga. Maka berkatalah Yehudiel di sana,
“Mengapa masih ada Cerubbiem di sini? Para pelayan peng-
khianat tidak layak bagi tempat ini!” Kemudian berkatalah salah
satu Yehudi di sana, katanya,

520
“Mereka ini para Cerubbiem yang dipaksa melayani Bartus-
Mindrel, tuanku. Dalam diri mereka menolak, namun karena takut
mereka melakukan semua ini. Begitulah menurut kesaksian
mereka.” Maka kata Yehudiel,
“Bawa mereka pada para Uriem yang ada di Samahnia.
Mereka adalah rombongan tuan Uriel. Bawa para Cerubbiem ini
supaya dibuktikan oleh para Uriem tentang kesaksian mereka itu.
Bila memang mereka bersaksi benar dan hanya melayani Bartus-
Mindrel karena takut; bukan karena tulus, maka mereka bebas dari
hukuman.” Maka dibawalah para Cerubbiem itu dari sana.
Datang pula para Agung masuk dalam rumah kediaman
Yehudiel. Tidak banyak perubahan dari rumah Yehudiel. Hanya
beberapa perabot berpindah. Setelah itu para Yehudiem usai meme-
riksa rumah kediaman itu dan mereka melapor di hadapan para
Agung. Kata Yehudi,
“Minyak-minyak masih ada seperti semula saat tuan me-
ninggalkan rumah kediaman ini. Hanya beberapa tanduk berisi mi-
nyak mulia yang hilang dan beberapa kendi anggur. Dari perabotan
ada beberapa yang rusak dan tidak terawat. Selebihnya, tentang
cawan-cawan dan meja tembaga tuan sudah hilang dari sini. Dari
ruang gulungan, banyak gulungan yang hilang dan tidak ada lagi
pada tempatnya. Lima gulungan kuno juga hilang dari tempatnya
tuan, yaitu gulungan yang ditulis dalam bahasa Cerub kuno. Juga
gulungan tentang Barisan Bintang Timur. Selebihnya gulungan
biasa dan peta-peta yang hilang. Juga tiang di terasan sebelah timur
hancur tadi. Karenanya pohon tuan ada yang patah.” Maka Yehu-
diel memaklumkan semuanya itu pada hamba-hambanya dan tidak
ada yang tertimpa celaka karena perbuatan Bartus-Mindrel itu.
Maka duduklah para Agung untuk berjamu dan berbincang
di sana. Sembari para Yehudiem melayani mereka dan menata
ulang rumah kediaman Yehudiel di sana. Mikhael masih membahas
tentang perbuatan Ammatiel yang hendak menghancurkan Bartus-
Mindrel, maka Ammatiel hanya berdiam saja karena teguran itu
dan ia menyadari kesalahannya di sana. Kemudian Bart-Archiel
memberikan benih-benih pada Yehudiel dan berkata,

521
“Ini untuk menggantikan pohon-pohon di taman terasanmu.
Bukankah ada pohon-pohon yang patah karena panah Ammatiel?
Kiranya ini akan menggantikannya dan menjadi penghiburanmu.”
Yehudiel menerima itu dengan bersuka. Adapun antara Uriel dan
Bart-Archiel tidak ada yang memenangkan pertarungan mereka.
Namun demikian, Ammatiel memberi tempat pada mereka duduk
satu meja.
Setelah duduk di sana beberapa lamanya, mereka memba-
has berbagai rencana para Agung untuk tanah Sorga. Adapun
Raziel berkata pada Yehudiel,
“Kiranya perintahkan hamba-hambamu untuk memeriksa
dari gulungan-gulungan di sini. Untuk mengetahui gulungan apa
saja yang hilang dari antaranya. Juga bila engkau pandang baik,
aku akan memerintahkan pada hamba-hambaku untuk membantu
pemeriksaan itu.” Usul itu diterima baik oleh Yehudiel. Maka
dibuatlah itu dan para hamba memeriksa setiap gulungan dan
mencatat semua yang ada di sana.
Adapun di sana, kabar-kabar dari Durigo juga datang lagi
pada Raziel tentang pengintaian di Tanah Utara. Keadaan pertem-
puran di Shunyi memang masih sangat sengit antara barisan Luciel
dan kaum Yeshaiem. Mengenai itu, Mikhael mengangkat suaranya,
katanya,
“Memang gunung itu sudah merepotkan Luciel cukup lama
dan memberi banyak keuntungan bagi kita. Namun barisan Luciel
dan sekutunya semakin kuat dan mereka terus bertumbuh. Karena
itu, kita tidak dapat melupakan perkara Gunung Shunyi ini. Selama
ini kita tidak memikirkannya karena memang Tanah Altar lebih
penting. Namun sekarang Tanah Altar sudah kembali pada kita.
Aku harus bertemu dengan Raphael dan menanyakan padanya ten-
tang ini. Lagi pula Raphael belum tahu bahwa Luciel sedang mem-
perjuangkan Gunung Shunyi itu. Kita harus bertanya pada Raphael
apa kekuatan Luciel akan bertambah besar dengan menguasai
gunung itu, atau tidak.
Dan juga, aku berkata padamu. Bila Luciel telah menang di
sana; maka ia akan kembali menyerangi tanah-tanah para malaikat.
Sebaiknya kita juga mencegah dia memenangkan gunung itu.”

522
Maka semua itu didengar para Agung dan barulah mereka memi-
kirkan berbagai kemungkinan bila Luciel menguasai Gunung
Shunyi.
Uriel segera bangkit dan membuka peta-petanya. Dilihat
dan diperiksanya setiap daerah yang berkaitan dengan Gunung
Shunyi. Maka berkatalah Uriel,
“Menurut pengamatanku saat ini, memang Gunung Shunyi
tidak memiliki keunggulan apa pun dari letaknya. Namun demi-
kian, memang ini memiliki kemungkinan besar bahwa letaknya
akan menjadi sangat diinginkan. Dari pemetaan, bila Luciel mengu-
asai Gunung ini, maka ia menguasai jalan dari Utara ke Tanah Barat
secara langsung. Yang artinya, memang saat ini hutan di sekeliling
gunung itu masih lebat; tapi nantinya aku yakin Luciel yang mem-
babat hutannya untuk mendapat jalan ke Tanah Barat.” Maka
kemudian Yehudiel juga melihat peta itu dan berkata,
“Mungkin tidak hanya itu, Uriel. Lihatlah! Dari gunung ini,
ia juga akan memiliki jalan tembusan dari samping untuk menye-
rang Tanah Uriem dengan bebas. Lagi pula saat ini pertahananmu
di sana hanya berjaga di bagian utara, bukan?” Lalu Mikhael
berkata,
“Di sebelah barat masih ada Ekhinel yang bersumpah
menjaga. Bila Luciel menyerang dari barat, maka ia akan berurusan
dengan Eiglanar. Itu akan memberi cukup waktu bagi kita untuk
mempersiapkan pertahanan baru.”
Raziel pula berkata, “Sementara ini jangan engkau mengu-
bah pertahananmu, Uriel. Biarkan barisanmu tetap berjaga di garis
utara. Lagi pula gunung itu masih dalam perjuangan. Belum Luciel
menguasainya.” Kemudian kata Uriel,
“Memang ada pertahanan di tanahku sebelah barat dari
para Eiglanar. Namun kekuatan Luciel itu sangat kuat dan Ekhinel
dapat kalah dengan cepat. Bila Luciel menguasai Lartoth. Ia sudah
mendapat kemenangan. Karena dari sana barisannya dapat menye-
rang ke mana saja di seluruh tanah Uriem.” Kemudian Bart-Archiel
menenangkan saudara-saudaranya yang telah berpikir jauh.
Katanya,

523
“Kiranya saudara-saudara jangan terlalu berpikir terlalu
jauh. Ekhinel membawa salah satu pedang berkuasa bersamanya
dan aku tahu; kekuatannya kuat. Luciel tidak dapat menembus
pertahanan Ekhinel dengan mudah. Lagi pula di Lartoth Eiglanar
sudah membangun pertahanan kuat yang bersandar pada gunung
batu. Jangan memikirkan itu dahulu dan sebaiknya kita segera
meminta pendapat Raphael tentang gunung Shunyi ini.” Maka
teruslah mereka berbicara dan ditulislah surat oleh Gabriel. Surat
itu kemudian dikirim pada Raphael di Tanah Barat.
Setelah cukup banyak berbincang, datanglah para Yehudiem
dan Raziem yang memeriksa ruang gulungan Yehudiel. Lalu kemu-
dian mereka menunjukkan berbagai gulungan yang masih ada di
perpustakaan. Barulah Yehudiel melihat itu dan mencari apa yang
hilang dari antaranya dengan mengingat-ingat. Berkatalah Raziel,
“Memang hal seperti ini sangat berbahaya, Yehudiel. Lebih
baik musuh merebut tanah kita dari pada merebut gulungan penge-
tahuan pada kita. Karena tanah, kita masih dapat memperjuang-
kannya kembali. Namun pengetahuan akan tetap ada pada mereka
terus sampai kapan pun. Karena itu aku memindahkan semua gulu-
ngan di Marcium ke Nai. Baiklah engkau juga melakukan itu. Kirim
saja semua gulunganmu ke Nai untuk dipertahankan di sana.”
Namun Mikhael mendengar Raziel. Maka ditariklah Raziel ke
belakang tirai dan kata Mikhael,
“Raziel, jangan berbicara terlalu banyak tentang gulungan-
mu di Nai. Di sini banyak hamba yang tidak dapat dipercaya. Kita
tidak tahu apakah mereka semua yang ada di sini adalah setia atau
tidak. Bila Luciel mendengar tentang gulunganmu di Nai, matanya
akan tertuju ke Timur.” Lalu mereka mendatangi Yehudiel. Kata
Mikhael,
“Tidak perlu engkau memindahkan gulunganmu, Yehudiel.
Tembok Altar cukup kuat untuk mempertahankan tanah ini dan
semua yang ada di dalamnya termasuk gulungan-gulunganmu itu.”
Tidak lama kemudian datanglah Samanel ke atas sana dan
menghadap para Agung di sana. Kemudian katanya,
“Salam tuan-tuanku Malaikat Agung. Aku sudah menunggu
lama di bawah bersama barisan Cerubbiem yang lain. Para pendu-

524
kung Bartus-Mindrel di Kota Altar sudah kami bawa dan kami
kumpulkan di bawah menunggu tuan-tuan sekalian. Kiranya kami
mendapat perhatian dari tuan-tuan.” Maka bersiaplah para Agung
untuk turun ke bawah. Namun Raziel berkata pada Mikhael,
“Pergilah bersama saudara yang lain. Aku dan Yehudiel
akan tetap di sini untuk memeriksa gulungan yang hilang ini. Sebab
ini perkara penting. Kita harus mengetahui apa-apa yang sudah
diketahui Bartus-Mindrel.” Maka Mikhael segera pergi dari sana
bersama para Agung.
Turunlah para Agung dari kediaman Yehudiel dan sekum-
pulan hamba Cerubbiem sudah ada di sana. Mereka bersama para
pendukung Bartus-Mindrel. Dilihatlah oleh para Agung mereka
semua itu. Lalu salah satu di antaranya mulai menghujati dan
menghina para Agung. Maka tersenyumlah Ammatiel padanya
yang mengolok itu. Seketika itu juga menjeritlah hamba itu dan ia
menangis memohon ampun pada para Agung. Namun mereka
tidak menghiraukannya. Kemudian berkatalah Gabriel,
“Baiklah katakan padaku, siapa di antara kamu semua ini
yang lebih dekat dengan Bartus-Mindrel.” Terdiam mereka semua
tidak mau menjawab. Para Cerubbiem segera berjalan di antara
mereka dan memaksa mereka menjawab.
Sampai akhirnya berkatalah salah satu dari mereka. Menun-
juk seorang yang ada di sana, katanya: “Dialah yang lebih dekat
dengan tuan Bartus-Mindrel, sebab ia pernah menjadi pelayannya.”
Maka datanglah Samanel menampar yang berkata itu dan kata
Samanel,
“Bartus-Mindrel bukanlah tuanmu!” Kemudian Samanel
menarik hamba yang ditunjuk sebagai pelayan Bartus-Mindrel.
Dibawanya itu pada para Agung dan dilemparkan ke depan kaki
Malaikat Agung. Kemudian para pelayan diperintahkan membawa
hamba itu ke rumah kediaman Yehudiel. Berpalinglah para Agung
dari sana dan mereka kembali naik ke kediaman Yehudiel.
Berlarilah Samanel mengejar Uriel dan Bart-Archiel yang
berjalan paling belakang. Lalu kata Samanel,

525
“Tuan, bagaimana dengan sisanya ini? Apa yang harus ku-
perbuat pada mereka?” Maka berpalinglah Uriel dan Bart-Archiel.
Kemudian mereka saling pandang. Lalu kata Bart-Archiel,
“Tanyakan pada mereka: Siapa tuanmu? Bila mereka men-
jawab Bartus-Mindrel, tarik jubahnya dan pakukan pada tembok
yang tinggi. Gantung mereka dan awasi. Kalau ada yang terjatuh
pastikan ia tidak dapat berjalan lagi. Namun bila mereka menjawab
Luciel, maka patahkan rahangnya. Bila mereka menjawab tuan
Sealtiel, bawalah ia pada tuan Sealtiel. Dan bila mereka menjawab
Malaikat Agung, tampar ia tujuh kali dan ikat pada dahan pohon
sampai kami datang kembali. Bila mereka menjawab tidak bertuan,
lepaskan tangan mereka dari tubuhnya.” Maka dibuatlah itu oleh
Samanel. Sedang para Agung kembali ke rumah Yehudiel.
Kemudian diperhadapkanlah hamba yang dituduh sebagai
hamba Bartus-Mindrel itu pada para Agung. Maka kemudian
Gabriel maju dan menarik hamba itu. Lalu ditanyainya hamba itu,
katanya,
“Apa hal yang tidak engkau ketahui sebelumnya, dan kemu-
dian engkau menjadi tahu setelah melayani Bartus-Mindrel?” Terdi-
amlah hamba itu. Maka Gabriel geram pada hamba itu dan panas
naik ke atas kepalanya. Menyalalah mata Gabriel seperti suluh dan
bersinar terang sekali. Ia menarik wajah hamba itu dan menatap
matanya. Seketika itu juga menjeritlah hamba itu karena pandang-
annya sakit melihat terang yang sangat dari mata Gabriel. Lalu ia
menjerit, katanya: “Aku akan berbicara!” Maka dilepaslah hamba
itu.
Kemudian kata hamba itu: “Dahulu aku tidak tahu, namun
sekarang menjadi tahu. Bahwa Malaikat Agung lebih hina dari pada
cerita yang kudengar sebelumnya!” Geramlah para Agung mende-
ngar itu dan mereka menjadi sangat murka. Namun Mikhael me-
nahan saudara-saudaranya. Hanya saja Ammatiel tidak dapat
menahan murkanya. Maka ia berjalan pelan dengan tenang mengi-
tari hamba itu. Mikhael melihat bahwa Ammatiel berjalan tenang,
maka ia tidak menahannya. Namun tiba-tiba Ammatiel meraih
hamba itu dan membuka bagian tubuhnya. Hamba itu tidak

526
menjerit atau kesakitan saat Ammatiel melakukan itu. Kemudian
Ammatiel berseru dekat telinga hamba itu, katanya,
“Katakan sekali lagi, maka engkau akan tahu betapa kejam-
nya Malaikat Agung.” Kemudian kata hamba itu: Dahulu aku tidak
tahu, namun sekarang,” belum ia selesai mengulang perkataannya,
Ammatiel meraih urat dalam tubuh hamba itu dan seketika itu juga
menjeritlah hamba itu. Namun hanya sebentar jeritannya dan
hilanglah suaranya. Mulutnya terbuka dan wajahnya menunjukkan
kesakitan, namun tidak ada suara keluar darinya.
Maka keluarlah cairan grolos (cairan seperti sumsum yang
ada pada tubuh/tulang malaikat) dari mata hamba itu. Kemudian
Ammatiel melepaskan hamba itu, ia memasang kembali bagian
tubuhnya yang dilepas. Barulah keluar suara pelan dari hamba itu
seperti menjerit dengan menahan sakit yang luar biasa. Kemudian
Ammatiel bangkit dan berjalan duduk kembali pada tempatnya.
Menangislah hamba itu memohon ampun pada para Agung.
Kemudian Gabriel maju lagi dan berkata,
“Baiklah sekarang katakan, hal apa yang engkau ketahui
dari Bartus-Mindrel?” Namun hamba itu masih kesakitan dan ia ha-
nya mengangkat tangan memberi tanda untuk menunggu sebentar.
Setelah mulai tenang hamba itu, berkatalah ia sambil
kesakitan dan menangis, katanya,
“Bartus-Mindrel membuka banyak sekali gulungan di
kediaman ini dan ia juga mengajar pada kami para pelayannya.
Beberapa hal tidaklah penting, sampai aku mendengar tentang
kaum-kaum yang ternyata ada di Tanah Sorga, di dalam hutan-
hutan jauh dari tanah para malaikat. Kemudian Bartus-Mindrel
mengumpulkan nama-nama para teruna. Yaitu mereka yang diang-
kat menjadi teruna sebelum masa Barisan Bintang Timur.” Maka
tahulah para Agung dari sana. Kemudian Mikhael berkata pada
Ammatiel,
“Dia sudah berbicara dan memohon ampun, Ammatiel.
Tidak dapatkan engkau memulihkan ia dari rasa sakit?” Namun
jawab Ammatiel dengan minum dari cawan,
“Tanganku terlalu berat untuk melakukan itu. Namun juga
terlalu ringan untuk meminum dari cawan ini.” Mikhael tidak

527
memaksanya karena itu. Pergilah para Agung kembali pada
Yehudiel dan Raziel yang saat itu ada di aula samping.
Lalu para Agung membicarakan soal itu dan perkiraan
mereka. Sebab sepertinya Bartus-Mindrel sudah mengerti tentang
banyak hal yang mungkin akan ia salah gunakan. Sementara itu,
Yehudiel dan Raziel sudah mendapatkan gulungan apa yang
hilang. Lalu kata Yehudiel,
“Gulungan yang hilang dari kita saat ini adalah gulungan
penting, saudara-saudara. Bartus-Mindrel membawa peta lama juga
besertanya. Gulungan tentang Bildal, tentang kaum-kaum kuno dan
berbagai gulungan penting lainya. Ia juga mengambil pencatatan
tentang teruna. Benar apa yang dikatakan hamba itu padamu tadi.
Yang lebih penting ia mengambil juga gulungan dan gambar-
gambar tentang tata tubuh malaikat dan Malaikat Agung. Catatan
penting milik Ammatiel.” Terheranlah para Agung mendengar itu
dan Raziel berkata,
“Bartus-Mindrel sudah mengetahui banyak hal saat ini. Dan
ia berkeliaran bebas entah di mana. Kita tidak dapat mencegah dia
saat ini, kecuali bila ia datang kembali pada kita. Namun aku sangat
terlalu yakin, bahwa ia akan kembali pada kita. Baiklah sekarang
yang harus kita lakukan adalah, membuat setiap hambanya itu ber-
bicara benar tentang segala pengetahuan mereka. Yang lebih berpe-
ngetahuan harus kita tahan atau hancurkan dari Tanah Sorga.”
Maka kata Mikhael,
“Aku setuju denganmu, Raziel. Namun janganlah kita
menghancurkan mereka yang tidak melawan kita. Itu sangat tidak
baik kiranya.”
Kemudian di sana, Samanel membawa hamba-hamba
pendukung Bartus-Mindrel yang mengaku bahwa tuannya adalah
Sealtiel. Mereka membawa itu pada Sealtiel. Juga yang mengaku
tuannya adalah Malaikat Agung sudah mereka urus di Tanah Altar.
Yang mengaku sebagai hamba Malaikat Agung ada tujuh puluh
hamba banyaknya. Samanel mengikat tujuh puluh hamba itu di
satu pohon; pohon yang sama di mana Samael pernah diikat juga di
sana. Kemudian Uriel mengadakan persidangan terhadap hamba-
hamba itu di sana untuk membuktikan perkataan dan kesaksian

528
mereka. Beberapa hukuman keras juga dijatuhkan pada mereka
pendukung Bartus-Mindrel. Begitulah dibuat pada hamba-hamba
Bartus-Mindrel yang berkhianat pada Sorga.

Raphael telah menghimpun barisan di Daria. Di kota itu,


Raphael memperkuat setiap pertahanannya. Baik tembok kota dan
berbagai alat pertempuran. Dari jarahan pertempuran yang didapat
para Rephaiem, semuanya itu ditempa ulang. Baik untuk perbaikan
alat tempur atau pembuatan ulang alat-alat tempur. Siaplah barisan
itu di sana. Maka berkatalah Raphael pada hamba-hambanya,
“Baiklah kumpulkan para pemimpin besar di tempatku.
Ada suatu perkara yang harus aku bicarakan dengan mereka saat
ini.” Maka datanglah para Rephaiem yang diangkat menjadi
pemimpin barisan-barisan besar. Mereka duduk bersama di rumah
kediaman Raphael di Daria. Kemudian berkatalah Raphael pada
mereka,
“Aku hendak mengadakan penyerangan balasan ke perke-
mahan musuh. Karena mereka telah merusak Kota Daria dan
masuk sesuai kehendak mereka sendiri ke perbatasan kita. Maka
aku menganggap ini adalah penghinaan. Karena itu aku hendak
melakukan penyerangan sampai ke Derie bersamamu dan barisan
yang ada. Jangan kamu memberi kabar pada saudara-saudara yang
di luar kota ini. Baik di Durie, Kraduria ataupun Ariar dan di mana
pun. Karena aku ingin menyerang musuh dengan kekuatan yang
ada saat ini saja. Sudah cukup bagiku kamu semua. Karena itu per-
siapkan barisanmu masing-masing. Kirim para pengintai mendului
kami supaya mereka melihat dahulu bagaimana keadaan musuh
saat ini. Selebihnya aku membatasi kamu waktu tiga shakta saja dan
kembalilah padaku untuk melaporkan kesiapanmu.”
Pergilah para Rephaiem itu membuat seperti perkataan
Raphael. Adapun di sana barisan Rephairiem masih sama adanya
seperti saat Raphael datang. Hanya saja, para Jhudriem tinggal lima
barisan yang masih di Daria. Selebihnya sudah dibawa ke Tanah
Timur dan ada yang kembali ke Tanah Altar dan Tanah Yehudiem.
Para Bartarchiem juga sudah banyak yang pergi dari Daria. Bebe-
rapa dari mereka sudah kembali lagi ke Daria untuk berjaga bila-

529
bila masih ada korban luka yang harus mereka bawa. Didengarlah
oleh Raphael tentang hamba-hamba itu.
Maka dipanggillah juga para pemimpin Bartarchiem itu.
Dihadapkan pada Raphael. Maka kata Raphael pada mereka,
“Sudah cukuplah jasa-jasamu bagi Rephairiem. Aku sudah
mendengarkan tentang perbuatanmu selama di Daria ini. Baiklah
sekarang, katakan padaku tentang tugas-tugasmu, sehingga tuan-
mu mengirim kamu semua ke sini.” Dijelaskanlah pada Raphael
tentang tugas mereka. Memang Bart-Archiel mengirim banyak se-
kali hambanya dan disebarkan ke seluruh Tanah Sorga yang sudah
dalam kuasa para malaikat. Tugas mereka adalah merawat tanah
dan tumbuh-tumbuhan di Tanah Sorga seperti kebiasaan mereka di
Sorga. Karena Daria itu daerah yang cukup berbahaya, maka Bart-
Archiel mengirim hambanya lebih banyak di sana. Setelah itu
berkatalah Raphael,
“Lantas, adakah tugasmu itu sudah selesai? Sebab bila
sudah selesai, kamu sekalian harus kembali lagi pada tanahmu di
Utara. Jangan kamu bekerja di sini untuk mengangkuti para Repha-
iem yang terluka. Melainkan tugasmu sendirilah yang terpenting.”
Maka jawab para Bartarchiem itu,
“Memang kami sudah memberkati tanah dan merawatnya.
Di daerah ini sampai perbatasan Ardur sudah semuanya. Juga yang
bekerja di Ariar sudah selesai dan hendak membantu kami di sini.
Karena Daria ini padat dan perbatasannya mengerikan di dekat
Derie. Namun kemudian pertempuran terpecah. Masih ada daerah
yang harus kami kerjakan di luar kota ini ke sebelah barat sampai
perbatasan Derie. Namun kami takut akan musuh yang berkemah
di dekat sana, karena itu kami belum selesai bekerja. Apabila tuan
melepas kami dari tugas kami itu, baiklah tuan menulis surat pada
tuan Bart-Archiel supaya kami bebas tugas dengan sah.” Di sana
Raphael tidak ingin membatalkan tugas para Bartarchiem itu.
Kemudian Raphael mempertimbangkan itu dan ia berkata
lagi pada para Bartarchiem itu, katanya,
“Baiklah aku tidak akan melepas kamu dari sini. Sebab pe-
kerjaanmu belum selesai. Aku tahu daerah ini bahaya dan penger-
jaanmu akan lama karena tanahnya banyak berbatu dan kering.

530
Aku juga tidak akan membiarkan kamu ke sebelah barat kota untuk
bekerja karena terlalu bahaya dan musuh masih berkemah di perba-
tasan. Sebentar lagi aku akan membawa barisan untuk maju ke
perbatasan dan menyerang perkemahan musuh. Maka turutlah
kamu di belakang barisan untuk merawat dan memberkati tanah di
sana. Sembari kamu bekerja, kamu dapat lagi membantu para Re-
phaiem untuk mengangkut yang terluka. Aku akan memperhitung-
kan jasa-jasamu kemudian.” Maka bersukalah para Bartarchiem itu
mendengar Raphael. Tinggallah mereka di sana dan tidak keluar
dari Daria. Para Bartarchiem lain yang sudah mengirim korban luka
ke Timur juga berjalan kembali lagi ke Daria.
Juga Raphael sudah mendengar tentang barisan Jhudriem
yang di Daria. Maka dipanggillah pemimpin barisan itu, yaitu
Runanel. Dihadapkan para Raphael di sana. Kemudian para
Rephaiem menceritakan pula tentang perbuatan Runanel ini selama
di Daria. Kata Raphael,
“Runanel, aku sudah mendengar tentang engkau. Maka ter-
ingatlah aku pada tuanmu, saudaraku. Ia berpesan padaku supaya
aku memberikan padamu kesempatan untuk bertempur bersama.
Sekalipun engkau sudah bertempur bersama hamba-hambaku di
sini sebelumnya. Dan sekarang barisanmu itu tinggal sedikit sekali
dan tidak dapat diperhitungkan sebagai barisan lagi. Engkau sudah
cukup berpengalaman dalam pertempuran dan juga wakil-wakilmu
sudah berpengalaman. Saudaramu yang selalu bersamamu itu juga
telah melihat bagaimana pertempuran dan sudah berpengalaman
juga. Maka bagiku sudah cukuplah pengalamanmu di sini. Menge-
nai ini, aku berkata padamu, bahwa kami Rephairiem akan maju
lagi ke perbatasan untuk menyerang perkemahan musuh.
Aku tidak mengajak engkau untuk maju juga bersama aku.
Malahan aku menghimbaumu untuk kembali saja ke Tanah Altar,
sebab para Agung sudah merebutnya kembali saat ini. Sekalipun
aku belum menerima kabar dari mereka, namun tentu saudara-
saudaraku sudah merebutnya. Di sana engkau akan bertemu de-
ngan tuanmu lagi dan sukumu juga berkemah di dekat Samahnia.
Namun demikian, bila memang engkau memutuskan untuk tetap
dalam pertempuran dan turut bersamaku; aku tetap akan meneri-

531
mamu sebab aku menaruh hormat pada tuan Yehudiel.” Maka
kemudian berkatalah Runanel,
“Kiranya kasih tuan padaku sudah sangat besar kuterima.
Malahan aku sangat bersuka karena tuan sendiri telah memanggil
aku dan berbicara padaku. Memang aku sudah menjalani pertem-
puran dan sudah berpengalaman. Juga saudaraku ini, Runael, ia
adalah wakilku dalam barisan. Ia sudah sangat hebat juga sama
seperti aku. Sebab kami menjalaninya bersama-sama. Hanya kasih
dari tuan Yehudiel yang membuat kami dapat memimpin barisan
ini. Saat ini memang tinggal lima barisan saja yang ada padaku dan
selebihnya sudah gugur dalam pertempuran dan terluka. Lain-lain
telah kembali ke Altar. Mengenai penyerangan yang tuan rencana-
kan, aku bersyukur pada Yang Terang karena itu. Dan tuan telah
memberi lagi kesempatan padaku untuk mendapat kehormatan
yang lain dalam pertempuran yang akan datang. Maka aku memu-
tuskan untuk tinggal di sini dan pergi bertempur bersama barisan
tuan ke perbatasan Derie.
Juga aku akan mengatakan perkataan tuan pada barisanku
seperti yang tuan katakan padaku itu. Supaya setiap mereka memu-
tuskan sendiri, akankah mereka tetap bersama bertempur atau kem-
bali ke Tanah Altar bersama tuan Yehudiel lagi. Tetapi pedangku
dan pedang saudaraku tetap teracung pada musuh, kami bersama-
mu, tuan Raphael.” Maka Raphael menerima barisan Jhudriem itu
masuk lagi dalam bagian pertempuran.
Semua persiapan dilakukan di Daria untuk penyerangan ke
perbatasan Derie. Para pengintai sudah dikirim mendahului barisan
untuk melihat keadaan perkemahan musuh. Mereka menyamar di
antara pepohonan untuk melihat perkemahan Legiun dan Bath-
Pometh di perbatasan Daria dan Derie. Adapun di antara para
pengintai yang diutus, ada Hirnael saudara Helanael dan Erenel.
Ada juga Giftael kerabat mereka. Para pengintai yang pergi ada
tujuh orang banyaknya. Dua di antara mereka adalah dua pahlawan
Daria itu.
Saat mereka mengintai, mereka memutuskan untuk
mengintai dari pepohonan sebelah utara. Karena menurut mereka
lebih aman untuk mengintai dari sana. Duduklah mereka di antara

532
pepohonan untuk mengatur pengintaian. Sebab dari sana, mereka
sudah dapat melihat perkemahan musuh, hanya saja terlalu jauh.
Kemudian tiba-tiba muncullah seorang malaikat mengawasi mere-
ka dari antara pepohonan. Giftael melihat orang itu sedang menga-
wasinya. Maka mendekatlah ia pada Hirnael, lalu katanya,
“Ada yang mengawasi kita. Di sebelah barat. Dekat pohon
besar itu. Aku sempat melihatnya saat ia berjalan ke sana. Memang
ia mengendap-endap dan pakaiannya lusuh.” Maka kata Hirnael,
“Baik beritahukan hal ini pada yang lainnya dan hendaknya
kita semua siap. Bila ia menyerang kita, maka kita sudah siap dan
kita harus menangkapnya hidup-hidup.” Bersiaplah mereka semua
dan menanti.
Tiba-tiba dari atas pohon, turunlah orang itu dan menye-
rangi para pengintai dengan hebat. Hirnael mengepungnya bersa-
ma orang-orang yang bersamanya, namun ia sungguh kuat dan
hebat bertarungnya. Maka Hirnael mengambil pedangnya yang
besar itu dan hendak memukul orang itu. Namun tiba-tiba orang
itu terdiam dan tidak melawan melainkan hanya menghindar dari
serangan Hirnael. Kemudian ia membuka penutup wajahnya, dan
benarlah bahwa itu Helanael, pemimpin Daria.
Melihat pedang Hirnael itu, barulah Helanael tahu bahwa
itu saudaranya sendiri. Maka kata Helanael,
“Hirnael! Ini aku Helanael, saudaramu!” Terheranlah mere-
ka semua melihat Helanael muncul entah dari mana dan mendapati
mereka. Maka kemudian para pengintai itu memberi hormat pada
Helanael sebagai pemimpin mereka. Kemudian Hirnael memeluk
saudaranya itu dan mereka melepas rindu. Karena bersukanya,
mereka nampak seperti sedang bersedih di sana. Lalu kata Hirnael,
“Ke mana saja engkau pergi, Helanael? Tidak tahukah eng-
kau bahwa aku sangat merindumu dan engkau tidak juga memberi
kabar. Aku sangat memikirkanmu bersama Erenel dan yang lain-
nya. Sejak datang para Rephaiem dari Araria berkata pada kami
bahwa engkau pergi mengintai sendirian saja.” Lalu kemudian
berkatalah Helanael,
“Memang aku pergi mengintai sampai jauh dan perjalan-
anku panjang. Aku akan bercerita padamu nanti. Apa yang engkau

533
lakukan di sini, saudaraku? Mengapa kamu semua menyamar di
antara pepohonan? Ada perkemahan besar di Derie, aku melihatnya
seshakta yang lalu. Aku baru keluar dari Idarun tiga shakta lalu dan
hendak kembali ke Daria. Namun perkemahan itu menutup jalan-
ku, maka aku memutar lewat pepohonan ini. Apa yang mereka
lakukan di perbatasan, Hirnael?” Maka Hirnael mengajaknya du-
duk di sana. Kemudian Hirnael menceritakan tentang penyerangan
Legiun dan Bath-Pometh ke Daria.
Karena cerita Hirnael itu, bersedihlah Helanael dengan
hebat. Ia merenung dan menaruh tanah di atas kepalanya serta
berkata,
“Sungguh aku lebih rendah dari pada tanah yang diinjak-
injak. Aku ini pemimpin yang meninggalkan kota dan saudara-
saudaraku dalam pertempuran.” Namun Hirnael dan para Repha-
iem itu menghibur dia dan menguatkannya. Setelah itu ia mende-
ngar tentang Raphael yang saat itu ada di Daria dan rencana
penyerangannya. Maka berkatalah Helanael,
“Baiklah kamu sekalian segera kerjakan tugasmu. Karena
tuan besar Raphael sendiri yang memerintahkan tugas ini. Jangan
ada kesalahan padamu. Aku akan kembali ke Daria mendului
kamu. Ada perluku dengan tuan Raphael. Hirnael, berhati-hatilah
dan kembalilah dengan segera. Aku berkata padamu sungguh-
sungguh. Jangan membuat perkara dan merusak rencana tuan besar
Raphael.” Maka mereka saling berpeluk cium di sana. Lalu Hela-
nael pergi meninggalkan mereka dan melanjutkan perjalanannya ke
Daria lewat pepohonan.
Segera setelah sampainya Helanael di Daria. Segera ia
masuk dalam kota itu. Semula para Rephaiem tidak menyadari
bahwa itu adalah Helanael. Namun setelah Helanael melepas segala
pakaian penyamarannya, tahulah para Rephaiem di sana bahwa
Helanael sudah kembali ke Daria. Bersoraklah mereka menyambut
Helanael. Keramaian pun segera terpecah karena kedatangannya
yang tiba-tiba itu. Maka segeralah Erenel dan para pemimpin berla-
rian untuk mendapati Helanael. Mereka bertemu di dekat perta-
hanan baru. Berpelukanlah mereka semua di sana melepas rindu
dan mengucap salam. Kemudian kata Helanael,

534
“Erenel, di mana tuan Raphael? Perluku sangat penting saat
ini. Kita akan berbincang nanti.” Maka Erenel segera membawa
Helanael ke tempat kediaman Raphael di Daria. Kemudian di
depan rumah itu, berkatalah Helanael,
“Tulislah surat ke Ardur, Erenel. Sampaikan pada Melhuriel
bahwa aku sudah kembali. Aku melaporkan hasil pengintaianku
langsung pada tuan Raphael. Juga beri kabar pada saudara-saudara
kita yang di Tanah Roti.” Maka segeralah Helanael masuk untuk
menghadap Raphael.
Saat Raphael mendengar bahwa Helanael datang untuk
menghadapnya, berkatalah ia,
“Baik bawalah dia yang memimpin Daria itu, ke hadapanku
segera!” Menghadaplah Helanael di sana dan ia berlutut di depan
Raphael. Kemudian Raphael memerintahkan hamba-hamba pela-
yannya untuk melayani Helanael untuk menyegarkannya dahulu.
Setelah Helanael sudah segar dan lebih tenang, berkatalah Raphael,
“Dari mana engkau pergi, Helanael?”
Mulailah ia melapor pada Raphael tentang pengintainnya di
Tanah Ranting. Kata Helanael, “Sungguh aku sudah mendapat
kasih di hadapan tuanku Raphael. Sekali lagi, tuan telah membuat
aku lebih terpandang di antara Rephaiem. Karena tuan sudah
mendengar tentang pengintaianku, maka tentulah tuan sudah tahu
bahwa aku dari Tanah Ranting. Aku menjelajah sampai Hemdor,
tuan. Dari sana aku terus ke Idarun. Aku tidak pergi ke Arthoria,
namun aku sudah mendengar ceritanya. Tanah Ranting tidak dalam
kuasa Luciel saat ini, tuanku. Aku tahu ini sulit dipercaya. Mereka
yang di Tanah Ranting telah bangkit demi diri mereka sendiri dan
membangun pertahanan kuat di Hemdor. Tembok batu ada di kota
itu dan Idarun dikelilingi oleh tembok dari kayu.” Kemudian
berkatalah Raphael,
“Baiklah tahan ucapanmu, Helanael.” Lalu kemudian
Raphael memerintahkan hamba-hambanya untuk memanggil para
tua-tua dan pemimpin barisan untuk mendengar kesaksian
Helanael di sana.

535
Setelah dikumpulkan mereka semuanya, duduklah mereka
di aula kediaman Raphael di Daria. Lalu Raphael bangkit dan
berkata di sana, katanya,
“Helanael telah kembali pada kita di Daria ini. Saat ini ada
kabar dari Tanah Ranting, yang aku ingin kamu semua tahu
tentangnya. Karena memang semua penduduk Tanah Ranting telah
kehilangan tanah mereka cukup lama, seperti para penduduk
Tanah Selatan juga. Baiklah sekarang setiap kamu mendengar ini
supaya kamu tahu apa yang terjadi di Tanah Ranting, Tanah Repha-
iem Barat.” Lalu Raphael memberikan ijin para Helanael untuk
melanjutkan.
Maka kemudian bangkitlah Helanael dan membuka peta di
sana. Ia membuka peta Ranting dalam skala besar dan ia mulai
menjelaskan di sana tentang keadaan di Hemdor. Yaitu tentang
tembok-temboknya dan para penjaga di sana. Kata Helanael,
“Begitulah pertahanan musuh kita di Hemdor. Sungguh saat
ini kota itu menjadi pertahanan yang kuat. Tidak ada jalan bagi kita
untuk menembus pertahanannya kecuali tembok itu runtuh. Ger-
bangnya tidak berpintu, namun jalan masuknya itu sangat sempit
dan rendah. Mereka yang ada di luar malas untuk masuk dan yang
di dalam juga malas untuk keluar. Setiap orang yang hendak keluar
masuk dari tembok itu harus rebah di tanah dan berjalan dengan
tiarap. Bila kita menyerangnya dan kita berusaha masuk lewat jalan
mereka itu, maka mereka akan menombak kita sebelum dapat
bangkit lagi.” Lalu kemudian para Rephaiem mulai ramai mende-
ngarkan Helanael. Mereka merasa Helanael terlalu membesar-
besarkan tentang masalah Hemdor. Melihat bahwa hamba-
hambanya ramai, bangkitlah Raphael dan berkata,
“Baiklah setiap kamu yang menganggap bahwa ini tidak
serius, majulah ke hadapanku! Setiap kamu yang merasa bahwa
perkataan Helanael ini terlalu berlebihan, silahkan kamu bangkit
dan maju. Juga kamu yang berpikir bahwa tidak mungkin perta-
hanan musuh sekuat itu, majulah mari!” Namun para Rephaiem itu
terdiam saja.
Lalu berkatalah Raphael di sana,

536
“Setiap kamu yang berpikir bahwa perkataan Helanael ini
dilebih-lebihkan dan menurutmu bahwa pertahanan musuh di
Hemdor tidak sekuat itu; baiklah aku akan mengirim kamu ke sana
untuk merebutnya.” Maka takutlah para Rephaiem itu dan mereka
terdiam saja. Lalu Helanael kembali melanjutkan laporannya,
katanya,
“Dari sana aku ke Idarun. Dua shakta aku berjalan dari
Hemdor. Idarun bukan benteng yang kuat dan lebih mudah untuk
ditembus dari pada Hemdor. Aku berhasil menyusup ke sana dan
mengintai kota itu juga dan seorang yang dahulunya adalah
Bartarchi, menjadi kawanku di sana. Karena ia menyangka bahwa
aku salah satu dari mereka, maka ia selalu menemaniku dan men-
jawab setiap pertanyaanku tentang Tanah Ranting. Setelah ia mulai
curiga, barulah aku pergi dari sana ke sini. Beginilah keadaan di
Idarun dan penjelasan tentang kuasa di Tanah Ranting:
Luciel, musuh kita itu, tidak lagi berkuasa atas Tanah Ran-
ting lagi. Bahkan hamba-hamba Luciel tidak ada di sana. Dan
mereka yang berdiam di Tanah Ranting saat ini, juga mengadakan
permusuhan dengan barisan Luciel. Adalah seorang pemimpin
yang memimpin pemberontakan di Tanah Ranting beberapa tahun
yang lalu. Ia bangkit melawan pemimpin Tanah Ranting, hamba
Luciel, yaitu Joftranel. Dari sana ia menang dan menghimpun baris-
annya dari Arthoria. Kemudian ia menyerang ke Hemdor dan
mengusir setiap hamba Luciel. Maka para penduduk di sana
banyak yang mengakui dia sebagai pemimpin. Kemudian Idarun
juga jatuh dalam kuasanya dan ia memimpin tiga kota ini dalam
suatu kuasa yang ia dapat entah dari mana.
Dia yang memimpin Tanah Ranting saat ini, adalah Brasiel
yang disebut Brantosh. Padanya ada satu dari dua puluh lima
pedang berkuasa seperti yang juga ada padaku. Dari pedang itulah
ia mendapat kuasa dan kekuatan yang besar. Pedang Skurtidur.
Kepemimpinannya berpusat di Idarun. Hemdor sebagai kota keku-
atan tempurnya. Sedang Arthoria, memang aku tidak ke sana.
Namun aku mendengar cerita tentang kota itu juga. Bahwa saat ini
di sana telah menjadi tempat penghimpunan barisan besar. Kota itu
telah hancur dan tidak ada bangunan yang berdiri utuh di sana.

537
Entah apa yang terjadi di sana, namun Brantosh seperti mengutuki
kota itu dan tidak membangunnya lagi. Adalah para petarung kuat
yang berdiam di sana. Para pejuang yang setia pada Brantosh
sampai kehancuran pun mereka akan setia.
Mereka semua di sana menutup diri dari siapa pun. Mereka
memusuhi malaikat dan juga barisan Luciel. Kaki mereka berdiri
atas kehendak Brantosh. Mereka tidak akan menyerang bila tidak
diserang, maka saat ini aku memberitahukan pada saudara seka-
lian, juga pada tuanku Raphael. Bila kita menekan musuh ke Derie,
tidak akan ada barisan datang pada kita dari Idarun.” Maka ramai-
lah mereka di sana dan mereka semakin bersemangat untuk menye-
rang perkemahan musuh di dekat perbatasan Derie.
Maka kemudian Raphael membawa Helanael itu dalam satu
ruang dan mereka berdua saja di sana. Berkatalah Raphael pada
Helanael, katanya,
“Pedang itu, Helanael. Skurtidur. Apa engkau sempat
melihatnya?” Kemudian kata Helanael,
“Aku melihat Brantosh satu kali saat ia keluar di terasannya,
tuanku. Namun pedangnya tetap tersarung di pinggangnya. Tidak
ada bukti kuat padaku tentang pedang itu. Namun setiap pendu-
duk di Idarun itu, mereka sangat yakin bahwa Brantosh memili-
kinya. Sebab mereka pernah melihat pedang itu saat Brantosh
mencabutnya dalam sebuah pidato di kota.” Maka kemudian kata
Raphael,
“Ada dua pedang lain, Helanael. Adakah engkau sudah
mendapatnya?” Kemudian kata Helanael,
“Aku tidak mendengar tentang dua yang lain, tuanku.
Namun karena aku sudah bersumpah pada tuanku, maka tentulah
pedang itu akan ditemukan nantinya, tuan.” Maka kemudian kata
Raphael,
“Aku akan mengadakan penyerangan ke perbatasan Derie.
Engkau, akan bersamaku dalam pertempuran itu. Pimpinlah kem-
bali kota ini dan barisannya. Kiranya engkau dapat bertempur
dengan baik bersamaku. Kirimlah utusan ke Ardur segera setelah
ini. Cari tahu tentang Melhuriel dan kabar darinya.” Kemudian

538
segeralah dibuat semua itu. Helanael kemudian kembali pada
saudara-saudaranya.
Setelah waktu berlalu, datanglah para pengintai yang diki-
rim mendahului barisan. Hirnael menghadap Raphael dan melapor-
kan tentang keadaan perkemahan barisan musuh. Kemudian
Raphael merencanakan penyerangannya dan menghitung barisan
yang dibutuhkan. Raphael sendiri duduk memikirkan semua itu.
Rupa-rupanya, perkemahan Legiun dan Bath-Pometh cukup sulit
juga untuk ditembus dan dikuasai. Maka Raphael memikirkan lebih
banyak cara lagi. Sedang rencana penyerangannya tertunda dan
barisan Rephairiem hanya menunggu perintah Raphael.

539
KAMUS

Ammati Sebutan untuk satu malaikat yang tercatat dalam


suku Ammatiem.

Ammatiel Malaikat Agung pemimpin suku Ammatiem yang


disebut juga Rupa, Paras dan Kecantikan Allah.

Ammatiem Suku di bawah pimpinan Ammatiel.

Arch-Guul bahasa malaikat

Archriel-Guul Bahasa Malaikat Agung

Arthanag Barisan Luciel di bawah pimpinan Breftiel.

Baghaniem Barisan Bartarchiem yang tergabung dalam


tentara Sorga.

Bargathron. Barisan Penjaga Luciel.

Bartarchi Sebutan untuk satu malaikat yang tercatat dalam


suku Bartarchiem.

Bart-Archiel Malaikat Agung pemimpin suku Bartarchiem


disebut juga Kasih, Sukacita, dan Berkat Allah.

Bartarchiem Suku di bawah pimpinan Bart-Archiel. Suku ini


disebut juga Pembawa Berkat.

Bath-Pometh Barisan Luciel yang gagah perkasa. Di bawah


pimpinan Eftiel.

Berudha Barisan Bransiel. Pengkhianat Luciel.

Cerub Sebutan untuk satu malaikat yang tercatat dalam


540
suku Cerubbiem

Cerubbiem Suku Malaikat yang dahulu di bawah pimpinan


Ceruel (Luciel). Setelah Perang Sorga, suku ini
tidak bertuan

Ceruel Malaikat Agung pemimpin suku Cerubbiem.


Dikenal juga dengan nama Luciel.

Drenthiriem Barisan Ammatiem yang tergabung dalam tentara


Sorga. Pembawa busur panah.

Durigo Mata-mata Utara yang beranggotakan Raziem


dan Ammatiem yang terpilih.

guri Satuan benda cair untuk air dan anggur.

1 Guri = 1 Holosh kurang 5 tanduk.

hergus 1 hergus = 1.350.000 malaikat.

holosh Satuan minyak di Sorga. 1 holosh = 2.400 liter

hummunal Kata untuk mengekspresikan rasa heran. Seperti:


Wow.

Hundig Atau

-iem imbuhan jamak. E.g : Seraph (tunggal) –


Seraphiem (jamak). Shakta (tunggal) – Shaktaiem
(jamak)

Jegaduriem Barisan Jegudiem yang tergabung dalam tentara


Sorga.

Jegudi Sebutan untuk satu malaikat yang tercatat dalam

541
suku Jegudiem.

Jegudiel Malaikat Agung pemimpin suku Jegudiem


disebut juga Perintah, Pembawa Pesan dan Suara
Allah. Dikenal juga dengan nama Gabriel.

Jegudiem Suku di bawah pimpinan Jegudiel/Gabriel. Suku


ini disebut juga Pembawa Pesan, Pembawa
Perintah dan Pendengar Doa.

Jeizaibar Barisan Luciel di bawah pimpinan Joftranel.

Jhudriem Barisan Yehudiem yang tergabung dalam tentara


Sorga.

keluarga Kumpulan malaikat yang diciptakan dengan


bahan yang sebagian besar sama dan
dipersatukan Allah dalam satu keluarga.
Biasanya terdiri dari 1 – 50 malaikat atau lebih.

kernelu Pengembara

khirat tahun Sorga. Satu khirat ada empat sherta

Legion Barisan Luciel di bawah pimpinan Gissel dan


Gurim-Mahel. Jumlahnya tidak terbilang
banyaknya.

Legiun Gabungan beberapa Legion. Legiun-Skeim di


bawah pimpinan Gissel. Legiun-Nor di bawah
pimpinan Gurim-Mahel.

malaikat malaikat yang dipilih oleh Allah dan


dipercayakan kuasa atas satu suku malaikat dan

542
agung tanahnya

pembesar hamba malaikat yang diberi kepercayaan


Malaikat Agung

puak Kumpulan dari keluarga-keluarga. 1 puak


biasanya terdiri dari 2 – 70 keluarga atau lebih

Ranega Barisan Luciel di bawah pimpinan Marphiel.

Raphael Malaikat Agung pemimpin suku Rephaiem.


Disebut juga Tangan Allah, dan Kebangunan
Sorga.

Razi Sebutan untuk satu malaikat yang tercatat dalam


suku Raziem.

Raziel Malaikat Agung pemimpin suku Raziem disebut


juga Hikmat, Pengetahuan dan Rahasia Allah.

Raziem Suku di bawah pimpinan Raziel.

Rendurum Barisan Raziem yang tergabung dalam tentara


Sorga.

Rephagrad Pasukan Rephaiem yang mengawal Malaikat


Agung.

Rephai Sebutan untuk satu malaikat yang tercatat dalam


suku Rephaiem.

Rephaiem Suku di bawah pimpinan Raphael. Suku ini


disebut juga Kebangunan Sorga.

Rephairiem Barisan Rephaiem yang tergabung dalam tentara


Sorga.

543
Rumpun Kumpulan dari puak-puak. 1 rumpun biasanya
terdiri dari 7-30 puak atau lebih

Sealtiel Malaikat Agung yang disebut juga Asap, Dupa


dan Harum Allah. Tercatat dalam suku
Cerubbiem namun bukan pemimpin ataupun
hamba.

Serael Malaikat Agung pemimpin suku Seraphiem.


Disebut juga Cahaya, Penerang, Pemimpin,
Tombak Allah dan Panglima Sorga. Dikenal juga
dengan nama Mikhael.

Seraph Sebutan untuk satu malaikat yang tercatat dalam


suku Seraphiem.

Seraphiem Suku di bawah pimpinan Serael/Mikhael. Suku


ini disebut juga Tentara Sorga.

shakta hari Sorga

Sherta Seperti hitungan bulan. 1 Khirat ada empat


Sherta:

1. Sherta mahn Ava – 99 Shakta

2. Sherta hin Frata – 97 Shakta

3. Sherta Brata Grasid – 97 Shakta

4. Sherta Kag Areh – 99 Shakta

suku Kumpulan dari rumpun-rumpun atau juga bani-


bani yang tidak terbatas jumlahnya dan memiliki
pekerjaan dan tanah sukunya sendiri.

544
Ur-Bagha Gabungan Urbaraniem dan Baghaniem.

Urbaraniem Barisan Uriem yang tergabung dalam tentara


Sorga.

Uri Sebutan untuk satu malaikat yang tercatat dalam


Uriem.

Uriel Malaikat Agung pemimpin suku Uriem. Disebut


juga Penimbang, Pembawa Api, Api Allah,
Murka Allah dan Penjaga Keseimbangan.

Uriem Suku di bawah pimpinan Uriel. Suku ini disebut


juga Penjaga Keseimbangan Sorga.

Vandrua Tanah yang di bawah pimpinan Vanduel dan


Viniel.

Vluith Barisan dari Vandrua.

Yehudi Sebutan untuk satu malaikat yang tercatat dalam


suku Yehudiem.

Yehudiel Malaikat Agung pemimpin suku Yehudiem


disebut Tanduk, Minyak dan Urapan Allah.

Yehudiem Suku di bawah pimpinan Yehudiel.

Zaganar Barisan Luciel di bawah pimpinan Emeriel.

545

Anda mungkin juga menyukai