Anda di halaman 1dari 5

Nama: Oktavianus Viriya Bada

No :26

Kelas :X-4

SEJARAH ASAL USUL JUWANA

Nama Juwana ada beberapa versi, dari salah satu versi mengatakan berasal dari
kata Jiwana, yang berasal dari kata bahasa Sansekerta, jiwa. Dengan demikian,
perkataan Jiwana diduga adalah nama "Kahuripan" yang disansekertakan.
Pendapat lain mengatakan bahwa Juwana berasal dari kata druju dan wana. Druju
adalah nama pohon, sementara wana berarti hutan.
Sejarah Kepulauan Indonesia umumnya dan Tanah Jawa khususnya, ditemukan
dari beberapa sumber yang agak berlainan satu dengan yang lain.

Menurut salah satu sumber, diterangkan juga bahwa asal-usul penduduk Tanah
Jawa memang sebagian dari Hindu dan sebagian pula dari Tiongkok.

Untuk membuktikan kebenarannya, kita dapat membedakan antara penduduk


asli dikepulauan Indonesia umumnya terdiri dari dua type yaitu disatu fihak
typenya Hindustania, kulitnya agak hitam jengat atau sawo matang dengan
matanya tidak sipit; tetapi dilain tempat tidak sedikit yang berkulit kuning langsat,
matanya agak sipit, banyak mirip atau malah 100% seperti orang Tionghoa, hingga
dalam masyrakat tidak jarang terjadi diantara orang Indonesia sendiri menyangka
bahwa orang yang berhadapan dengan dirinya itu dikira orang Tionghoa. Hanya
model pakaianya atau gigi pangur saja yang digunakan sebagai tanda guna
membedakannya.

Pada zaman itu Tanah Jawa diselumbungi udara Animisme begitu rupa.

Banyak orang suka memuja apa yang dipandangnya suci, suka sekali prihatin
untuk menjalani ilmu-ilmu gaib dan kuat bertapa yang mempunyai pengaruh
begitu mujizad.Misalnya walaupun justru udara bersih, matahari bersinar terang
gelang-gemilang di atas angkasa yang biru, tetapi tiba-tiba datang seorang yang
telah dipuncak pertapaannya, setelah berdiri dibawahnya sinar matahari sambil
mencakupkan kedua tangannya dan berdoa sambil kedua matanya dimeramkan
dan mendongkakan kepalanya, maka tidak lama kemudian awan mendung
sekoyong-koyong bergulung-gulung begitu tebal dan sebentar pula hujan turun
dibarengi suara angin menderu dan suara petir menyambar-nyambar kian kemari,
hingga seolah-olah dunia sedang kiamat. Pada Masehi tahun 414, Fahian,
perantau bansa Tionghoa yang termasyur, telah tiba di pulau Jawa ini bersama
empat orang kawannya. Mereka selain menjadi orang-orang Tionghoa pertama
menginjakkan kakinya di sini dan terus menurunkan keturunannya sehingga
merupakan sebagian golongan Tionghoa peranakan yang sebagai bangsa Asing,
kecuali bangsa Hindu yang pertama kali datang di pulau ini.

Sementara menurut pihak lain ada dikatakan, bahwa waktu pertama kali bangsa
Hindu datang kemari telah melihat tetanaman Juwawut, semacam bahan
makanan, juga dijual dipasar untuk bahan makanan burung perkutut piaraan,
yang tumbuh begitu subur dan gemuk sekali dipulau ini, sehingga pulau ini
dinamakan Juwawut dan penduduknya dinamakan Juwana.

Orang Tionghoa merubah kata “Juwana” menjadi “Wana” yang bukan saja
menjadi kata lebih singkat, tetapi artinya lebih baik bagi orang Tionghoa umumnya
dan golongan lain-lain yang mengerti huruf dan bahasa Tionghoa.Sebutan “Wana”
terhadap penduduk Pulau Jawa khususnya dan kepulauan Indonesia umumnya
memiliki arti : Tanah yang subur; tetumbuhan yang tumbuh dengan subur; dan
kaya raya. Sebutan “Wana” terhadap penduduk asli dari Tanah Jawa khususnya
dan Indonesia umumnya itu adalah : Orang dari negeri yang tanahnya subur atau
kaya.

Sementara bukti atas kebenaran bahwa penduduk asli dikepulauan ini disebut
Juwana, adalah dengan adanya nama kota Juwana, suatu tempat di daerah Jawa
Tengah terletak antara Pati – Rembang.

Menurut penuturan dalam zaman Dampoawang (Sam Poo Twa Lang) waktu ia
sampai ditempat yang dimaksud diatas lalu menanyakan kepada seorang
penduduk asli nama tempat tersebut, tetapi oleh penduduk setempat menyangka
tamu yang datang menayakan kebangsaanya (maklum belum bisa bahasa Melayu
yang sekarang disebut bahasa Indonesia serta jarang ketemu orang Asing), maka
dijawablah “Juwana”.Oleh karena itu maka tempat tadi selanjutnya disebut Juwana
hingga saat ini menjadi perkampungan Nelayan yang sukses di Kabupaten Pati.

ASAL USUL JEMBATAN SEGELAP JUWANA


Pada tahun 1486, Pati yang merupakan Lereng gunung Muria, masih merupakan
hutan belantara. Pada suatu hari, Sunan Muria pulang dari Sarasehan(pertemuan)
di padepokan Sunan ngerang. Sesampainya di barat kota Pati, sekitar jam 3 sore
atau waktu ashar, kebetulan di tepi hutan tadi terhalang sungai yang sedang
banjir. Sunan Muria mau menyeberang, tetapi tak ada perahu.Lalu beliau
mengadakan sayembara, barang siapa yang bisa menyeberangkannya kalau laki-
laki akan ia jadikan sebagai saudara sinorowedi (saudara sejati) kalau perempuan
akan ia jadikan istri. Kebetulan di sebelah baratnya ada seorang wanita yang
sedang menggembalakan kerbau bernama Dewi Sapsari putri Ki gedhe sebo
Menggolo. Setelah mendengar sayembara tersebut, dewi Sapsari dengan
menunggang kerbau menyeberang ke timur. Lalu ia menyeberangkan Sunan
Muria. Sesampai di tepi sungai sebelah barat, Sunan Muria menepati janjinya. Ia
lalu ingin bertemu orang tua dari Dewi Sapsari dan akan menyuntingnya sebagai
istri. Lalu Sunan Muria menikahi Dewi Sapsari. Sepeninggal beliau pulang ke
padepokan Gunung Muria, Dewi Sapsari hamil. Lalu ia melahirkan seorang putra
dan diberi nama Raden Bambang Kebo Nyabrang, sesuai pertemuannya dengan
suaminya yaitu Sunan Muria.

Setelah dewasa, anak itu menanyakan siapa sebenarnya ayahandanya itu


kepada kakeknya. Lalu kakeknya berkata kalau ia masih memiliki keturunan
dengan Sunan Muria yang ada di padepokan Gunung Muria. Setelah mendengar
hal tersebut, R. Bambang Kebo Nyabrang pergi berangkat ke Gunung Muria.
Sesampainya di padepokan, ia bertemu dangan Sunan Muria. Tetapi Sunan Muria
tidak mudah percaya dengan anak itu. Lalu Sunan Muria memerintah Raden
Bambang Kebo Nyabrang untuk membawa Pintu Gerbang Majapahit ke
hadapannya kalau ia mau diakui sebagai anak. Lalu berangkatlah R. bambang
Kebo Nyabrang ke Bajang Ratu yang merupakan bekas Kerajaan Majapahit. Yang
sekarang tetdapat di Kota Trowulan Kabupaten Mojokerto Jawa Timur. Ia harus
segera berangkat karena ia hanya diberi waktu 1x 24 jam.Di lain tempat, yaitu di
padepokan Sunan Ngerang, terdapat salah seorang muridnya yang bernama
Raden Ronggo yang ingin menyunting putri Sunan Ngerang, yang bernama Roro
Pujiwat. Roro Pujiwat mau diperistri apabila Raden Ronggo bersedia memboyong
Pintu Gerbang majapahit ke padepokan.

Lalu R. Ronggo pun berangkat ke bekas Kerajaan Majapahit. Tetapi, ia kecewa


karena sesampainya di sana barang tersebut sudah tak ada (sudah diboyong oleh
R. Kebo Nyabrang). Lalu Raden Ronggo segera mengejarnya kearah barat.
Sesampainya di wilayah kota Pati sekarang, R. Rongo masuk kawasan hutan.

Disana ia melihat pohon Kenanga yang berbentuk mirip kurungan(sangkar).


Kemudian ia menamai dukuh tersebut dengan nama Sekar Kurung. Lalu ia
melanjutkan misinya untuk mengejar R. Kebo Nyabrang. Dan ia pun menemukan
R. Kebo Nyabrang yang sedang istirahat. Pintu itu pun dimintanya. Tetapi tidak
diberikan oleh R. Kebo Nyabrang. Akhirnya timbul peperangan. Dalam peperangan
tersebut,penyangga pintu tersebut tercecer sehingga tempat tersebut di beri
nama “Njelawang” (Ganjel Lawang). Kemudian mereka menuju ke barat saat itu
jam dua belas siang saat semua orang harus beristirahat dan melaksanakan sholat
Dhuhur. Maka tempat tersebut diberi nama dukuh “Nduren” (samu barang kudu
leren). Mereka bertarung selama 35 hari. Lalu Sunan Muria turun kearah timur. Ia
pun melihat dua orang bertarung dengan jelas. Dalam Bahasa Jawa, jelas diartikan
“cetho welo-welo”, sehingga tempat tersebut diberi nama Dukuh Towelo/ Trowelo.
Lalu Sunan Muria turun ke tempat kedua orang tersebut bertarung. Lalu beliau
berkata “ Wis padha lerena sak kloron padha bandhole”. Lalu berhentilah kedua
orang tersebut bertarung. Sehingga tempat tersebut hingga sekarang di namai
dukuh “Rendhole” (sak kloron padha bandhole).

Sunan Muria pun lalu mengakui R. Kebo Nyabrang menjadi anaknya. Dan beliau
menyuruh anaknya tersebut untuk menjadi penjaga gerbang ini . Setelah Sunan
Muria berkata “jaganen !!” (jagalah) maka ia pun langsung meninggal dan hilang
nyawanya karena sebagai seorang penjaga harus tidak terlihat. Dan R. Ronggo
diberi “katek “ oleh Sunan Muria untuk dibawa ke padepokan.

Tetapi sesampainya di sana Roro Pujiwat tidak menerimanya. Raden Ronggo pun
marah dan mengejarnya hingga ke barat. Sesampainya di sungai Juwana Roro
Pujiwat berhenti. R. Ronggo yang marah lalu melempar katek tersebut kearah
Roro Pujiwat. Roro Pujiwat meninggal. Katek tersebut hilang seperti kilat. Sehingga
sampai sekarang dinamai “Segelap”. wallahualam bishshawab....

Anda mungkin juga menyukai