Anda di halaman 1dari 5

Rumput Laut sebagai Bahan Baku Biofuel

Posted by: dhanang in Bios Cetak, Bioteknologi August 28, 2015 0 5,397 Views

“Para pelanggan tidak menginginkan bongkahan batu bara, bahan baku dari kilowatt/jam, atau tong
berisi cairan hitam dan lengket. Daripada itu, mereka menginginkan jasa yang disediakan oleh
energi: shower air panas dan bir dingin, mobilitas dan kenyamanan, mikrocip energi, aroma roti bakar
dan aluminium. Jasa tersebut dapat tersedia dengan energi yang lebih rendah dari yang kita gunakan
sekarang”.

Pendahuluan
Kalimat di atas adalah kutipan pernyataan dari Amory Bloch Lovins. Dia dan istrinya Hunter Lovins
mengabdikan hidup mereka pada bidang kebijakan energi (Energy Policy). Mereka mendukung teknologi
yang dinamakan ‘Soft Energy Technologies’ yang bersumber dari energi terbarukan seperti cahaya
matahari, angin, biofuel, geotermal, dan sebagainya. Berdasarkan data IEA (International Energy
Agency), energi terbarukan menyumbang sekitar 13,2% dari sumber energi dunia di tahun 2010. Dari
jumlah tersebut, energi yang bersumber dari biofuel cair dan biogas sampah menyumbang sekitar tiga
per empatnya.
Sampai saat ini, Amerika Serikat sebagai salah satu negara adidaya berusaha untuk meningkatkan
produksi bahan bakar alternatif dari energi yang terbarukan dan mengaturnya dalam undang-undang
yang dikenal dengan EISA (The Energy Independence and Security Act) pada tahun 2007. Undang-
undang ini memandatkan supayapada tahun 2022 bahan bakaryang beredar di US berupa bahan bakar
terbarukan sebanyak 164miliarliter. Instruksi serupa juga diberikan oleh Pemerintah Indonesia agar
produksi bahan bakar terbarukan pada tahun 2025 sekitar 17%, dengan lima persennya berasal
dari biofuel.Upaya ini dilakukan untuk antisipasi terjadinya krisis energipada masa yang akan datang
karena ketergantungan terhadap bahan bakar fosil. Para ahli percaya bahwa biofuel merupakan sumber
energi masa depan yang dapat menggantikan bahan bakar fosil.

Pengertian Biofuel dan Perkembangannya
Saat ini
Menurut Meriam Webster 11th, biofuel adalah bahan bakar yang tersusun atau diproduksi dari material
biologis. Jadi, biofuel bukan hanya bahan bakar yang bersifat cair, namun bahan bakar yang bersifat
padat dan gas. Biofuel dapat meliputi biomasa (kayu bakar, material biologis lainnya), biofuel cair
(biodiesel dan bioetanol), dan biogas (gas metana dari material biodegradasi) yang merupakan sumber
energi terbarukan.Produk energiyang dihasilkan mencakup listrik, bahan bakar cair, bahan bakar padat,
bahan bakar gas, panas, dan bahan yang lainnya.
Saat ini, bioetanol dari jagung atau tebu dan biodiesel dari kacang kedelai atau minyak kelapa sawit,
merupakan biofuel yang diproduksi dalam skala besar. Keempat bahan pangan ini digunakan sebagai
bahan baku biofuel karena penanamannya mudah dan sederhana. Selain itu, biayanyayang murah untuk
ekstraksi amilum, gula, atau minyak yang nantinya harus dikonversi menjadi biofuel cair. Namun, langkah
tersebut menimbulkan beberapa masalah baru, yakni:
1. meningkatkan gas rumah kaca,
2. mengancam biodiversitas,
3. meningkatkan permintaan akan bahan pangan untuk biofuel,
4. melangkakan sumber daya air tawar.
Salah satu alternatif untuk memecahkan masalah tersebut adalah menggunakan bahan baku yang tidak
berfungsi sebagai bahan makanan seperti residu pertanian, limbah kayu, dan rumput ( grass energy).
Sumber-sumber bahan baku ini sangat menguntungkan, karena murah, tidak mengubah tataguna lahan,
dan menghindari kompetisi antara bahan bakardengan bahan makanan. Walaupun sangat
menguntungkan, penggunaan bahan baku ini memiliki kekurangan, yaitu terbatasnya teknologi kimiawi
dan biologis untuk menyelesaikan masalah pelepasan gula dari lignoselulosa (tersusun dari lignin,
hemiselulosa, dan selulosa) dan mengubahnya menjadi heksosa dan pentosa. Selain itu, tujuan ekonomis
berupa jumlah produksi yang tinggi belum dapat dicapai dengan teknologi yang digunakan selama ini.
Dari tantangan yang telah disebutkan sebelumnya, alga laut (makroalga dan mikroalga) merupakan
sumber untuk produksi biofuel yang sangat menjanjikan dalam bentuk biomasa ataupun materi selulosa.
Selain itu, produksi biofuel dari alga laut memiliki beberapa manfaat, yakni:
1. efisiensi dalam konversi energi dari cahaya matahari yang tinggi yakni sekitar 3–8% (tumbuhan
darat hanya 0,5%),
2. kemampuan fiksasi karbon dioksida yang lebih tinggi dibandingkan dengan tumbuhan darat,
3. tersusun dari polimer yang mudah dipecahkan menjadi monomer-monomer.
4. daerah penanamannya adalah air laut, sehingga tidak membutuhkan air tawar dan tanah untuk
pertumbuhan.

Potensi Rumput Laut sebagai Bahan


Baku Biofuel
Produksi rumput laut global per tahunnya sekitar satu juta ton berat kering, yang sebagian besar diolah
untuk produk makanan. Nilai ekonomis rumput laut tersebut sekitar US$ 6 miliarpada tahun 2003yang
berasal dari budidaya dan tumbuh alami. Produk hidrokoloid dari rumput laut terdiri dari alginat, agar,
dan karagenan memiliki nilai ekonomi US$ 585 juta per tahunnya. Kontribusi ekonomis rumput laut
sebagai sumber material untuk produksi biofuel dapat diabaikan, walaupun potensinya sebagai bahan
baku biofueltelah dikenal dalam beberapa dekade. Saat ini, Cina merupakan negara pemasok rumput laut
tertinggi di dunia dari hasil budidaya dan tumbuh alami, yakni masing-masing 72 % dan 28%. Indonesia
sendiri di tahun 2006 menyumbang kurang lebih 0,86% dari hasil tumbuh alami dan 6,04% dari hasil
budidaya untuk produksi rumput laut dunia. Total produksi rumput laut Indonesia di tahun tersebut
mencapai 920.466 ton dan terus mengalami peningkatan. Menurut data Kementerian Kelautan dan
Perikanan di tahun 2009, produksi rumput laut sekitar 2,8 kali jumlah produksi di tahun 2006 dan
merupakan komoditas utama akuakultur Indonesia. Beberapa genus utama rumput laut yang memiliki
potensi ekonomis di Indonesia (Gambar 1) adalah Euchema sebagai sumber utama
karaginan;Gracilaria danGelidium untuk produksi agar; dan Sargassum untuk produksi alginat.
Ekstrak rumput laut tidak mengandung minyak, namun kaya akan karbohidrat yang digunakan untuk
bahan baku untuk proses fermentasi etanol, butanol, dan proses untuk menghasilkan biogas.Kandungan
karbohidrat total yang terdapat dalam rumput laut dapat mencapai 83%, yang terdiri dari agar,
karagenan, selulosa, laminarin, manitol, alginat, fukoidan, dan amilum. Potensi biomasa rumput laut
sebagai bahan baku untuk proses konversi menjadi gas metana dilaporkan lebih dari 100 EJ
(Exajoule)/tahun atau tiga kali lebih besar daripada sumber biomasa yang lain. Selain itu, biaya untuk
proses produksinya sama dengan biaya proses konversi gandum menjadi gas metana.
 

Produksi Biofuel dari Rumput Laut


Biomasa rumput laut dapat menghasilkan biofuel, baik biogas maupun biofuel cair melalui beberapa
tahapan (Gambar 2). Tahapan-tahapan ini terus dikembangkan sampai saat ini agar dapat mencapai
efektivitas dalam proses produksi biofuel dari rumput laut dan dibahas sebagai berikut.
 
Gambar 2. Tahapan pembuatan bioetanol dan biometana dari rumput laut (Wei, dkk., 2013 dengan modifikasi)
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 

Penanaman Rumput Laut


Secara umum, rumput laut dapat ditanam secara vegetatif atau generatif. Untuk menanam secara
vegetatif, potongan kecil dari rumput laut yang merupakan bibit ditumbuhkan dalam lingkungan perairan.
Walaupun cara ini sangat mudah dan murah, beberapa jenis rumput laut seperti Laminaria tidak dapat
ditanam dengan cara demikian. Padahal, penanamannya melalui cara generatif agak mahal karena harus
ditumbuhkan dalam lingkungan yang sangat terkontrol.
Area penanaman rumput laut dapat dilakukan di tiga lokasi, yakni penanaman di lepas pantai, di dekat
pantai, dan di dalam kolam. Penanaman di lepas pantai saat ini telah dilakukan oleh para ilmuwan di
Jerman dengan biaya sangat tinggi. Penanaman di dekat pantai telah diaplikasikan di beberapa negara
yakni Cina, Jepang, dan Indonesia. Di Eropa dan Amerika sistem ini dilarang karena dapat merusak
lingkungan perairan. Penanaman di dalam kolam merupakan metode yang efektif, karena dapat
menghindari cuaca buruk, penyakit dan predator. Selain itu, metode ini dapat diintegrasikan dengan
spesies akuakultur yang lain seperti ikan yang menyediakan buangan biologis untuk nutrisi rumput laut.
Meskipun memiliki beberapa keunggulan, metode ini membutuhkan biaya besar untuk konstruksi kolam
dan teknologi yang diaplikasikan dalam skala besar.
 

Pemanenan Rumput Laut


Pemanenan rumput laut secara manual masih dilakukan sampai sekarang, terutama untuk spesies
rumput laut yang tumbuh di daerah intertidal. Namun, saat ini pengembangan pemanenan secara
mekanis terus dilakukan untuk memenuhi permintaan rumput laut yang terus meningkat. Kecepatan dan
efisiensi pemanenan rumput laut merupakan salah satu syarat penyediaan bahan baku untuk proses
produksi biofuel.
Penyiapan Bahan BakuBiofuel
Setelah proses pemanenan, rumput laut dibersihkan dan dicuci secara manualdari kotoran seperti batu,
pasir, siput, atau sampah lain.Kehadiran kotoran tersebut dapat menyebabkan penurunan hasil
konversi biofuel  dari rumput laut. Setelah itu, rumput laut dikeringkan supaya tidak mudah rusak saat
disimpan dan mengurangi volume untuk menurunkan biaya transpor sebelum proses lebih lanjut. Proses
selanjutnya adalah fermentasi untuk produksi biofuel  cair atau proses pemecahan secara anaerobik
untuk menghasilkan gas metan atau biogas.
 
Biofuel dari Rumput Laut
a.      Rumput Laut menjadi Bioetanol
Bahan baku rumput laut melepaskan polisakarida yang terkandung di dalamnya melalui proses hidrolisis.
Proses ini dapat dilakukan dengan menggunakan asam, enzim hidrolisis, ataukombinasi keduanya. Salah
satu studi menemukan bahwa karbohidrat dari rumput laut (Rhodophyta, Chlorophyta, dan Phaeophyta)
dapat dihidrolisis secara efektif menjadi monosakarida dengan menambahkan H 2SO4hingga encer pada
suhu tinggi. Studi lain juga menemukan bahwa kerja enzim hidrolisis lebih efektif apabila bahan baku
mengalami pretreatment  dalam NaCl.
Setelah proses hidrolisis, langkah selanjutnya adalah fermentasi untuk menghasilkan etanol.
Mikroorganisme seperti khamir atau bakteri mengubah gula dari biomasa rumput laut
menjadi biofuel cair. Sampai saat ini, ada sembilan jenis mikroorganisme,baik yang merupakan strain
alami maupun strain yang telah mengalami rekayasa genetik,yang sering digunakan untuk proses
menghasilkan biofuel (Tabel 1). Etanol selanjutnya didistilasi dan didehidrasi untuk tujuan permurnian.
 
Tabel 1. Mikroorganisme yang mengkonversi biomasa rumput laut menjadi bioetanol (Wei dkk., 2013)
dengan modifikasi
 
Mikroorganisme Sumber rumput laut dan gula yang dimanfaatkan
Strain alami  
 Saccharomyces cerevisiae  § Saccharina latissima, Laminaria japonica (glukosa)
 Zymobacter palmae  § Laminaria hyperborean (manitol)
 Pichia angophorae  § Laminaria hyperborean (manitol, laminarin)
 Brettanomyces custersii  § Gelidium amansii (galaktosa, glukosa)
 Clostridium beijerinckii dan  § Ulva lactuca (glukosa, arabinose, xylosa)
Clostridium saccharoperbutylacetonicum  
   
Strain hasil rekayasa  
 Saccharomyces cerevisiae  § Ceylon moss (galaktosa)
 Escherichia coli  § Saccharina japonica (glukosa, manitol, alginat)
 Echerichia coli  KO11  § Laminaria japonica (glukosa, manitol)

b.      Rumput Laut menjadi Biogas (Biometan)


Konversi rumput laut menjadi biofuel berupa gas merupakan teknologi yang lebih murah, karena proses
ekstraksi tidak dibutuhkan. Pada proses ini campuran bakteri langsung menghidrolisis dan merombak
karbohidrat, lipid dan protein rumput laut menjadi monomer-monomer secara anaerobik, kemudian
diubah menjadi biogas melalui proses fermentasi. Biogas ini mengandung sekitar 60% – 70% gas metan
dan karbon dioksida sekitar 30% – 40%.  Gas lainnya seperti nitrogen, oksigen, hidrogen sulfida, dan
amoniak memiliki kandungan tidak lebih dari 1%. Biogas ini selanjutnya dimurnikanmelalui proses
penyulingansebelum didistribusikan dan dimanfaatkan sebagai bahan bakar.

Tantangan dan Potensi Dampak


Lingkungan Biofuel dari Rumput Laut
Walaupun rumput laut memiliki kelebihan untuk dijadikan bahan baku biofuel, tantangan dan dampak
lingkungan merupakan risiko yang patut dipertimbangkan. Pertama, proses pemecahan polimer rumput
laut menjadi monomer-monomer agak sulit, karena polimer rumput laut berbeda dan lebih bervariasi
dibandingkan dengan polimer yang dapat ditemukan pada biomasa dari daratan. Kedua, penerapan
rumput laut sebagai sumber bahan baku biofuel akan membutuhkan peningkatan area budi daya rumput
laut, dan membutuhkan perhatian khusus akan dampaknya bagi lingkungan perairan laut dan pantai.
Beberapa dampak ini adalah perubahan habitat asli, perubahan hidrologi (seperti sedimentasi dan
pergerakan air), penipisan nutrisi, penurunanbiodiversitas (penghilangan mangrove dan lamun),
penurunan kualitas perairan, dan terganggunya habitat karang. Sementara itu, proses ini kemungkinan
menguntungkan karena dapat meningkatkan populasi ikan dan invertebrata di lingkungan budidaya
rumput laut. Keseimbangan antara produksi biofuel dari rumput laut dan dampak lingkungan harus
diperhatikan.

Kesimpulan
Rumput laut mengandung 83% karbohidrat yang dapat dimanfaatkan untuk produksi biofuel cair
(bioetanol) dan biogas (biometan). Untuk meningkatkan produksi biofuel dari rumput laut, tahapan
produksi biofuel yang dikembangkan adalah tahapan penanaman, pemanenan, dan fermentasi. Tahapan
penanaman, khususnya area penanaman, mulai dikembangkan untuk penanaman rumput laut di lepas
pantai,walaupunmetode ini tergolong agak mahal. Tahapan pemanenan telah dilakukan secara mekanis
dan terus ditingkatkan, namun pemanenan secara manual masih digunakan. Tahapan fermentasi, mulai
digunakan mikroorganisme hasil rekayasa untuk proses fermentasi. Meskipun demikian, tantangan
peningkatan produksi rumput laut dalam skala besar untuk biofuel adalah biaya produksi yang sangat
tinggi dan dampak negatif terhadap ekosistem laut.
 

Ucapan Terima Kasih


Hermanus Nawaly mengucapkan terima kasih kepada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
(Kemdikbud) atas Beasiswa Unggulan BPKLN yang diberikan melalui kerja sama dengan Magister Biologi
Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga di bidang klorofil dan pigmen.

Bibliografi
Huesemann, M., Roesjadi, G., Benemann, J., dan Metting, F. B. 2010. Biofuels from Microalgae and
Seaweeds. Dalam: A.A. Vertès, N. Qureshi, H.P. Blaschek, and H. Yukawa (eds). Biomass to Biofuels:
Strategies for Global Industries. London: John Wiley & Sons Ltd, Hal. 165 – 184.
Hughes, A. D., Kelly, M. S., Black, K. D., dan Stanley, M. S. 2012. Biogas from Macroalgae: Is It Time to
Revisit the Idea?. Biotechnology for biofuels 5 (1): 86 – 92.
Lovin, A. B. 1990. The Negawatt Revolution. Across The Board XXVII (9): 18 –23.
McHugh, D. J. 2003. A Guide to the Seaweed Industry. Roma: Food and Agricultural Organization of the
United Nations.
Wei, N., Quarterman, J., dan Jin, Y. S. 2013. Marine Macroalgae: An Untapped Resource for Producing
Fuels and Chemicals. Trends in biotechnology 31 (2): 70 – 77.
Hermanus Nawaly, AB Susanto, dan Jacob L.A. Uktolseja

Anda mungkin juga menyukai