Anda di halaman 1dari 44

NASKAH

LOMBA
MONOLOG
|||||||||
KAYON
Arthur S Nalan

SUARA-SUARA ORANG (BERTERIAK)

Kayon Buyut hilang ! Kayon Buyut Hilang !

MUNCUL SEORANG PEMUDADANATAU PEMUDI (TERGANTUNG KEPADA YANG MEMERANKAN). DIA


BERKERUDUNG SARUNG LALU MENGGULUNGNYA DI PINGGANG.

Kayon Buyut hilang ?

(KEPADA PENONTON) Ada yang melihat orang lewat kemari ? (MENCARI JAWABAN) Astaga kenapa
aku jadi pelupa ? (MENEPUK JIDATNYA) Di sini tak ada siapa-siapa, hanya sunyi dan sepi. Malam
bencana bagi desa Smara, Kayon Buyut hilang. Padahal Kayon tersebut warisan dalang Panjimas
yang meninggal di desa Smara. (BERPIKIR KERAS) Kira-kira siapa yang mencurinya ? (SEPERTI INGAT
SESUATU) Pesta Tledek di Bale desa, ya aku curiga pada tledek yang baju merah. Senang larak-lirik
pada Wak Barjan penjaga kabuyutan Smara yang menyimpan Kayon Buyut di dalam ruang
Cupumanik. Pesta berakhir pagi hari, semua orang teler, Wak Barjan mabok pulang ke Kabuyutan
Smara. Aku hanya tukang bantu-bantu menyapu, masak dan menyajikan makanan dan minuman
bagi pengunjung Kabuyutan, aku suka dipanggil si Pekacar. Tapi ketika semua orang teriak : Kayon
Buyut hilang ! Aku merasa terpanggil. Aku harus mencarinya. Tapi kemana ? Siapa pencurinya ?
Tledek baju merah ? Ah, hanya dugaanku saja. Aku gak sempat tanya Wak Barjan, hanya kulihat dia
terkapar tak sadarkan diri di dekat pintu ruang Cupumanik. Tapi dia pernah bilang (MERUBAH
SUARA) : Heh Pekacar, kamu tahu apa yang harus dilakukan orang desa Smara ini

kalau Kayon Buyut hilang ? (KEMBALI PADA SUARANYA) Apa Wak

? (KEMBALI MERUBAH SUARA, SUARA WAK KARJAN) Kamu

pernah dengar lakon Ramatambak ? (KEMBALI PADA SUARANYA) Pernah Wak ! (KEMBALI MERUBAH
SUARA, SUARA WAK

KARJAN) Lakon Ramatambak jadi penting karena kamu senang Hanoman bukan ?

Aku mengangguk, ya aku senang tokoh Hanoman. Meski ksatria monyet tapi hatinya mulia dan
penuh bakti pada kebenaran. Perjuangan Rama tak akan berhasil tanpa Hanoman. (BERDIRI) Aku si
Pekacar sekarang jadi Hanoman, membuat tambakkayon. Aku harus mencari daun pisang yang harus
kuanggap Tambakkayon

! (KAGET SENDIRI) Astaga aku sampai lupa, kalau aku suka bawa golok Cepot (TERTAWA) Golok
Sinongnong namanya. (PENUH SEMANGAT) Aku cari pohon pisang, aku tebas tangkai daunnya untuk
kujadikan Tambakkayon. (PERGI BERKELILING PANGGUNG) Kemana harus kucari kebun pisang, ah
kuingat kebun pisang Mak Sapton. (BERHENTI) Ah, ini dia kebun pisang Mak Sapton. Ah itu lebar-
lebar. (DAUN-DAUN PISANG DAPAT DIIMAJINASIKAN) Aku

mulai menebas, satu (MENEBAS) dua (MENEBAS) tiga (MENEBAS)


. Aku terus tebas daun-daun pisang yang lebar-lebar, tanpa terasa sudah terkumpul banyak. Aku
membawanya lalu kususun menuju pulau Cemani yang berkabut, yang kemungkinan besar pencuri
kayon buyut bersembunyi di sana. (MENYUSUNNYA DAN MULAI BERJALAN PERLAHAN TAPI PASTI).

(TIBA-TIBA MUNCUL BAJUL (BUAYA) Eiit kamu Bajul ! Mau apa menghalangiku, ayo pergi sana. Kamu
mau makan aku ? Aku bukan Bontot Gendut anaknya Pak Gablig, aku Si Pekacar, nih golok Cepot

! (MENAKUT-NAKUTI) Astaga Si Bajul tidak takut golok, tiba-tiba dia menyerang, aku terpaksa
bergumul dengan berguling-guling kecebur danau aku menyebut nama emaku: Mak tolong Kacar !
(BERDIRI) tiba-tiba Bajul menghilang, dan dihadapanku telah berdiri seorang Jagabaya Desa, Kang
Samedin yang terkenal kuat dan berkumis

baplang alias tebal hitam. (MERUBAH SUARA, SUARA SAMEDIN) Kacar ! Kamu pemberani ! Ayo aku
bantu menyusun daun pisang ini

! (KEMBALI KE SUARANYA) Wah bagus ayo ! Kami menyerukan lagu semangat !

Bring reketek Kayontambak lancar ! Bring reketek Kayontambak lancar !

(TIBA-TIBA MUNCUL ULAR SANCA BESAR) Eiit kamu Sanca !

Mau apa menghalangi kami ! Ayo pergi sana ! (MERUBAH SUARA, SUARA SAMEDIN) Jangan takut,
aku Samedin akan kucekik ! (KEMBALI KE SUARANYA) Kang Samedin bergumul dengan Sanca besar,
dia dililit seperti Bima melawan Ular Nagabanda. Kang Samedin kalah tenaga, aku teriak sambil
melemparkan golok Si Cepot ! Kang Samedin ini golokku !

(BERDIRI SEDIKIT BERGOYANG) Kang Samedin dengan trampil menangkap golok Si Cepot ! Golok
sinongnong beraksi, dia bacok kedua mata ular Sanca besar itu, crak ! Crak ! Tiba-tiba Sanca besar
menghilang, berganti rupa jadi Sawitri, anaknya Wak Citok yang suka jadi cah angon kebonya Wak
Kadolin. (TERIAK) Witri ! Kamu bantu aku ? Ayo sedikit lagi kita sampai pulau Cemani ! Kami bertiga
menyusun daun pisang menuju pulau Cemani. Sawitri menembang.

Urip iku judu bisa kaya semut Nyawiji nganggo bebarengan (Hidup harus seperti semut Saling
bersatu untuk bersama)

Akhirnya kita sampai di pulau Cemani. Kang Samedin bikin obor dengan cekatan, obor dinyalakan
dengan benturan dua batu, percikannya meletik ke rumput kering, dan menyalalah obor-obor kami.
Tiga obor menerangi sekitar kami, kami berjalan perlahan.

Aku di depan, karena aku yang ditugaskan menemukan pencuri Kayon Buyut. Kami berjalan perlahan
(MENGILINGI PANGGUNG) dan tampak sebuah cahaya seperti api unggun, kami perlahan
mengendap-endap tetap berjarak. Kami padamkan obor-obor, supaya tidak mencurigakan. Tampak
membelakangi kami seorang laki-laki tinggi besar berambut gondrong berpakaian hitam-hitam,
berikat kepala sabrangan. Aku meningat-ingat adakah laki-laki semacam ini di pertunjukan Ronggeng
ketuk yang kusaksikan, seminggu yang lalu. Rasanya tak ada. (MERUBAH SUARA, SUARA SAMEDIN)
Kacar kamu kenal dia ? (KEMBALI KE SUARANYA) tanya Kang Samedin padaku. Aku menggeleng.
Kang Samedin kenal ? Dia menggelengkan kepala. Kamu Witri ? Witri mengangguk. Kamu kenal ?
Witri menuliskan sebuah nama di tanah, kubaca: Sadagora. Kang Samedin kaget, lalu dia berbisik
(MERUBAH SUARA, SUARA SAMEDIN) (BERBISIK) Aku tahu sekarang, dia seorang tamu yang datang
dengan Wak Kowak, Kuwu desa sebelah, desa Bedul. (KEMBALI KE SUARANYA) Desa Bedul ? Kang
Samedin mengangguk. Tiba-tiba dia bicara suaranya berat (MERUBAH SUARA, SUARA SADAGORA)
Jangan grundang grendeng di tempat gelap, kemari berhimpun di api unggun. (KEMBALI KE
SUARANYA) Kamu kaget bukan main, dia tahu kami ada. Luar biasa, ilmu apa yang dia punya. Kami
akhirnya mendatanginya. Kami duduk dengan segala perasaan masing-masing dengan hati- hati,
melingkar tapi berjarak. Tiba-tiba dia terbahak (MERUBAH SUARA DENGAN TERTAWA NGAKAK)
(KEMBALI KE SUARANYA)

Kemudian, Dia memandang kami satu persatu dengan pandangan

senang, sama sekali tidak takut. Wajahnya keras, kumisnya lebih baplang dari Kang Samedin, dia juga
berjanggut brewokan menggayut kuat didagunya. (MERUBAH SUARA) Kalian bertiga sangat berani
datang ke pulau Cemani ini. Ini pulau yang dianggap sanget dan tak ada orang yang berani datang.
(MERUBAH SUARA AGAK TENGE, SUARA WITRI) Kami berani, kamu mencuri Kayon Buyut ya ?
(MERUBAH SUARA LAGI, SUARA SADAGORA) Bagus

Cah angon Wadon ! Kalian tahu kenapa Kayon Buyut ada yang mencuri ? (KEMBALI KE SUARANYA)
Aku tidak tahu, tapi kenapa harus dicuri, kenapa tidak dipandang saja seperti selama ini, semua
orang kagum pada Kayon Buyut, termasuk pengunjung yang datang dari luar desa Smara. (MERUBAH
SUARA, SUARA SADAGORA)

Karena itu aku curi ! (KEMBALI KE SUARANYA) Jadi benar kamu curi ? Sadagora mengangguk campur
tertawa tawa. Kenapa kamu

curi ? (BERDIRI BERKEILING MEMERANKAN SADAGORA) Aku

mencuri Kayon Buyut karena selama ini hanya dipandang dan dikagumi, tidak dimaknai seperti dulu
oleh Dalang Panjimas. Dalang yang mengajarkan nilai-nilai adiluhung kepada semua orang, buka
Kayon dengan indah, menampilkan lakon yang penuh simbol manusia yang beragam, tapi intinya
yang jahat dan yang baik, juga ada yang munafik. Tokoh-tokoh wayang yang membayang- bayang
diperkeliran sebagai cermin kehidupan. Sampai akhirnya tancap Kayon dengan mantap, di mana
penonton pulang dengan riang, besoknya bekerja di sawah, di ladang dengan riang. Cah angon
memandikan kebo-kebonya dengan senang. Pa Tani dan Bu Tani mengolah sawahnya dengan
senang. Peladang datang keladangnya dengan senang. Pedagang pergi ke pasar berdagang dengan
senang. Semua senang. Benar begitu kan ? (KEMBALI KE SUARANYA) Kami terpukau dengan
omongan Sadagora yang melihat wayang sebagai cermin kehidupan. Kemudian dia melanjutkan lagi
bicaranya (MERUBAH SUARANYA KEMBALI MEMERANKAN SADAGORA) Dalang Panjimas meninggal
dunia, wayangnya bukan dijaga dan disimpan di pewarisnya, malah dijual lalu uangnya dibagi-bagi,
untunglah seorang pembuat Jamu Mbok Tambi yang kemudian menikah dengan Karjan menawar
Kayon milik dalang Panjimas dari tengkulak barang antik, semua tabungannya berpindah pada
tengkulak itu. Lalu Mbok Tambi membuatkan cungkup Cupumanik di dalam komplek Buyut Smara.
Karena dia anaknya Jurukunci Buyut Smara Mbah Legawa. Sejak itu Kayon itu disebut Kayon Buyut.
(KEMBALI KE SUARANYA) Kami melongo tak bicara
apa-apa. Sadagora tahu betul sejarah perjalanan Kayon Buyut. (MERUBAH SUARANYA KEMBALI
MEMERANKAN SADAGORA)

Jadi kalau aku curi Kayon Buyut untuk membuat orang desa Smara sadar tentang arti Kayon, lihat
apa yang terdapat dalam Kayon ! (MENGAMBIL KAYON/BOLEH IMAJINASI BOLEH NYATA) Kalian

amati baik-baik ! Kayon Gapuran ini diapit dua buta yang membawa gada atau pedang tameng
kelihatan bagus. Ini artinya apa ? Bukan untuk menakut-nakuti, tapi untuk menjukan bahwa gapura
harus dijaga, pintu menuju surga, dengan kekuatan gada, pedang dan tameng artinya tekad yang
kuat, sekuat gada, sekuat tameng, dan setajam pedang. Pepohonan yang menuju ke atas, rindang
dan bercabang cabang, artinya sejarah kehidupan yang bercabang- cabang. Pepohonan bertumpuk
karena sejarah juga bertumpuk, sambung menyambung menjadi satu. Kalau dipandang supaya
kelihatan pisah, bisa berbeda dengan gambar lainnya. Gambar pepohonan besar ini dibawahnya
bersambung dengan gambar kolam berair jernih, ada ikan berenang senang dan bahagia. Air
lambang kehidupan, dan ikan lambang penghuninya. Di kiri kanan terlihat gunung gunung dengan
pepohonan yang menunjukan naik turunnya pegunungan, llau dibatasi melingkar tepung gelang, jadi
seperti bentuk gunung, karena itu Kayon suka disebut Gunungan. Lalu binatang-binatang yang hidup
sebagai satwa, ciptaan Tuhan. Beragam dan indah, ada Banteng, ada harimau, ada monyet, Tuhan
menciptakan mahluk lainnya selain manusia, yang harus dijaga dan dilindungi. Dan akhirnya sampai
keujungnya, perjlanan sejarah manusia akhirnya tiba, pupus. (KEMBALI KE SUARANYA) Aku menatap
kagum pada Sadagora. Kami bertiga saling pandang, lalu seperti sama pertanyaannya. Siapakah
Sadagora ini ? (TIBA-TIBA KACAR BERTERIAK) Wuaah ! Basaaah !

(PANGGUNG BERUBAH KE DUNIA YANG NYATA)

(TERDENGAR SUARA PEREMPUAN) Dasar anak Gungclo, habis nonton wayang lupa sembahyang !
Sudah siang ! Wak Karjan pasti

sudah menunggu di makam ! Kan mau ada ngunjung buyut, kamu bersih-bersih di sana !

Astaga, aku mimpi, Kayon Buyut dicuri, lalu ada Kang Samedin dan Witri, lalu Sadagora. Ah mimpi
aneh, aku akan tanyakan pada Wak Karjan. (BANGKIT) (BERJALAN KELILING PANGGUNG)

Aku berangkat ke Buyut Smara menemui Wak Karjan jurukunci Kabuyutan. Setibanya di Kabuyutan,
aku melihat Wak Karjan

sedang menyapu dengan sapu lidi besar yang biasa kupegang. Aku merebutnya sambil minta maaf.
(SAPU BESAR SEBAIKNYA DI ADAKAN) Maafkan Wak, aku lanjutkan Wak. Aku menyapu melanjutkan
pekerjaan bersih-bersih, karena memang itu pekerjaanku. Aku menyapu dedaunan kering yang jatuh
dari pohon Kiara Janggot yang lebat, memunguti bunga-bunga kemboja yang jatuh. Setelah selesai
tugas, aku menemui Wak Karjan tengah membuka lawang cungkup Cupumanik yang menyimpan
Kayon Buyut. (MERUBAH SUARA, SUARA WAK KARJAN) Car, kamu

angin-angin Kayon Buyut ini ! (KAYON DAPAT DIWUJUDKAN DAN DIBAWA KE LUAR-KE SUDUT
PANGGUNG) Ah, Kayon

yang indah, aku angin-angin di dekat tunggul ini. (DITANCAPKAN DENGAN HATI-HATI) Apa yang
dikatakan Sadagora dalam mimpi benar-benar terbukti. (MERUBAH SUARANYA, SUARA WAK
KARJAN) Kenapa dipandang begitu seperti baru kenal saja sama Kayon Buyut ? (KEMBALI KE
SUARANYA) Iya Wak, Wak kenal orang yang bernama Sadagora. (MERUBAH SUARANYA, SUARA WAK
KARJAN) Sadagora ? Kamu dengar darimana ? (KEMBALI KE SUARANYA) Kesiangan bangun akibat
nonton wayang di desa Paron, aku mimpi buruk, Kayon buyut dicuri. Lalu aku ingat pulau Cemani di
tengah danau Seta. Aku mendengar suara Wak (TERIAK-TERIAK) Ramatambak-Kayontambak. Lalu
aku dibantu Kang Samedin jagabaya yang tadinya Bajul, Juga sawitri cah angon yang tadinya Ular.
Kami pergi ke pulau Cemani dengan tambak daun pisang. Kami bikin obor, sampai di pulau Cemani,
kami mengendap-endap, dan obor dipadamkan. Tiba-tiba terlihat ada lelaki tinggi besar, yang

duduk dekat api unggun, tahu kehadiran kami. Kami dipanggilnya, matanya tajam, kumisnya lebih
tebal dari Kang Samedin Jagabaya, berjenggot lebat seperti pertapa. (MERUBAH SUARA, SUARA WAK
KARJAN) Dia Sadagora ! (KEMBALI KE SUARANYA) Iya dia

bernama Sadagora ! (MERUBAH SUARA, SUARA WAK KARJAN) Sadagora julukan kepada Eyang
Panjimas, dalang adiluhung yang meninggal di desa Smara ini. Suaranya memikat, karena itu dia
dijuluki masyarakat Sadagora, Sada artinya suara, Gora artinya besar. Kamu beruntung, kamu bakal
dapat pulung ! (KEMBALI KE SUARANYA) Benar Wak ? (MERUBAH SUARANYA, SUARA WAK

KARJAN) Lihat saja nanti.. !

Dua hari kemudian, Ngunjung Buyut di Kabuyutan Smara tiba, khidmat dan ramai. Aku benar-benar
mendapat pulung, aku dipanggil ke kecamatan jadi pemuda pelopor
MONOLOG DARI TIGA KAMAR
Karya : Iswadi Pratama

PANGGUNG DIBAGI DALAM TIGA AREA.

DI SISI KANAN PANGGUNG ADALAH SEBUAH KAMAR SEDERHANA DENGAN MEJA DAN BANGKU
KAYU YANG SUDAH RAPUH, DI ATASNYA BERSERAK BEBERAPA BUKU. DI SUDUT MEJA TERDAPAT
SEBUAH VAS BUNGA DARI BAHAN TANAH LIAT DENGAN HIASAN BUNGA ILALANG YANG MASIH
SEGAR. DI SISI LAINNYA, TERDAPAT SEBUAH JENDELA YANG MENGHADAP KE SEBENTANG SAWAH
YANG TERLETAK DI SAMPING RUMAH.

DI SISI KIRI PANGGUNG ADALAH KAMAR DENGAN TATA RUANG YANG SAMA. DI ATAS MEJA
TERDAPAT SEBUAH MESIN TULIS TUA DAN VAS BUNGA DARI BAHAN GELAS DENGAN HIASAN
BUNGA ILALANG YANG SUDAH KERING, JUGA BEBERAPA TUMPUK BUKU FIKSI DAN JENIS TULISAN
LAINNYA YANG TAMPAK LEBIH TERAWAT. JENDELA KAMAR MENGHADAP KE ARAH LANSKAP KOTA.

DI PANGGUNG BAGIAN TENGAH; SEBUAH MEJA DAN BANGKU, SETUMPUK BUKU, SEBUAH LAPTOP.

KETIKA LAMPU MULAI MENYALA, DI PANGGUNG BAGIAN KIRI, TAMPAK SEORANG PEREMPUAN USIA
30-AN, (BISA JUGA LAKI-LAKI) SEDANG MENULIS PADA MESIN TULIS TUANYA.

LARUT MALAM. LAMAT-LAMAT MUSIK BERNUANSA LEMBUT MENGALUN DITINGKAHI SUARA “TAK
TIK” MESIN TULIS.

BEBERAPA SAAT KEMUDIAN PEREMPUAN ITU BERDIRI, MERENTANGKAN LENGANNYA, MENGUAP


LEBAR, MEREGANGKAN OTOT-OTOT BADANNYA. LALU MENOLEH KE PANGGUNG YANG ADA DI SISI
KANAN RUANGANNYA.TERSENYUM GETIR. BERSAMAAN DENGAN ITU, LAMPU DI PANGGUNG
SEBELAH KANAN MENYALA, LALU TERDENGAR SUARA-SUARA SERANGGA DAN HEWAN DI MALAM
HARI. BEBERAPA SAAT IA HANYA MEMANDANG DALAM DIAM.

Seharusnya kau ikuti nasihat mereka. Keras kepala. Apa akibatnya? Lihat ini! (menunjuk wajahnya
sendiri) Sampai jadi jelek begini masih pontang-panting. Kau sih, terlalu menuruti gelora jiwa
mudamu yang menggebu-gebu dan kurang pertimbangan. Penuh gairah memang, tapi tak logis.
Coba kalau imajinasimu dulu tak ngawang-ngawang, tak akan sesulit sekarang keadaanku. Apa?
Salahku sendiri? Enak saja kau ngomong. Kamu kan yang memilih semua ini?! Sok romantis! Sok
beda dari yang lain! Terlalu percaya pada fiksi, pada puisi! Gayamu seperti seniman kaliber dunia;
“estetika-estetika. ” Nih lihat (mendekat ke mejanya sambil menepuk

setumpuk kertas. Debu mengepul dari tumpukan kertas itu) Kamu sangka semua ini bisa
membuatmu meraih apa yang kau impikan?! (Kembali duduk di bangkunya).

HENING

Coba kalau kau dulu bersikap patuh seperti teman-teman sekelasmu. Berfikir dan bertindak
sebagaimana anak-anak yang waras pikirannya. Sekolah dengan baik. Hidup tertib. Menggembleng
diri supaya menguasai keahlian di bidang yang lebih bernilai guna dan bisa diandalkan untuk
mendapat pekerjaan yang layak.....

Kamu malah edan-edanan dengan fiksi, puisi, seni...halah....preettt....

Inilah hasilnya, begadang setiap malam demi menumpahkan segala ide, imajinasi, getaran-getaran
lembut dari palung jiwa terdalam semua yang tak bisa dienyahkan

lagi, membayang-bayangi jiwamu sepanjang hayat. mengilhami, menginspirasi,

membentuk watak, karakter, keseimbangan. halah (menarik kertas yang masih

terpasang pada rol mesin tulis). LAMPU PADAM

LAMPU MENYALA DI PANGGUNG SEBELAH KANAN. PEREMPUAN/LELAKI YANG TADI BERBICARA KINI
TELAH MENGENAKAN SERAGAM SISWI/SISWA SLTA. DUDUK DI BANGKUNYA MEMANDANG KE ARAH
PENONTON.

Seperti anak-anak perempuan di kampung ini, saya juga tak tahu cerita istimewa apa yang pernah
saya miliki dan bisa saya banggakan--selain cerita yang lumrah dan tak akan mengilhami siapa pun.
Tapi sejak Guru Bahasa Indonesia kami menunjukkan sebuah puisi yang sangat indah, saya merasa
seperti ada yang dituangkan ke dalam

kepala dan dada saya, membuat semuanya terasa berbeda. Saya seperti dibimbing oleh kekuatan
dari dalam diri saya dan tak bisa saya jelaskan. Saya tak pernah membenci pelajaran-pelajaran yang
lain--tapi saya jadi cinta banget dengan puisi, novel-novel hebat dari pengarang-pengarang di negeri
ini maupun pengarang dunia, musik, drama, lukisan, tari...semua keindahan dalam karya seniman
yang tak habis saya kagumi. Tapi lalu teman-teman di kelas menganggap saya “sok tua”, “tua
sebelum waktunya”, “orang aneh”, “gak matching dengan umur”, “sok berat”, “seniman
anakan”..dan sejumlah “gelar khusus” lainnya saya peroleh. Teman-teman tidak mengucilkan saya,
mereka hanya senang mengolok-olok demi bisa tertawa lantang bersama-sama. Tapi saya senang,
setidaknya saya bisa membahagiakan mereka (Tersenyum kecut).

TIBA TIBA LAMPU DI PANGGUNG SEBELAH KIRI MENYALA

Apa? (menoleh ke arah panggung sebelah kiri). Aku mengacaukan hidupmu? Aku yang
mengakibatkan nasib yang selalu kau keluhkan itu? Hei Nona. oh maaf, kau

masih Nona atau sudah Nyonya? O..masih Nona. Hah? Non-sens? What? Separuh Nona separuh
Nyonya? What the hell Ok, apa pun statusmu, dengarkan saya:

di usia seperti saya sekarang, setiap orang harus membuat pilihan penting bagi hidupnya. Dan saya
melakukannya: memilih! Saya tak mau hanya ikut-ikutan mereka yang menjalani hidup ini seolah-
olah seperti warisan. Tinggal mengulurkan tangan dan menerima apa saja yang diberikan; lalu
menjalaninya, menjadi tua dan mati. Saya tidak seperti itu. Kalau orang lain tak memilih apa yang
saya pilih, itu hak mereka dan itu juga sebuah pilihan. Tapi saya juga tak mau terus- terusan kau
salahkan dengan pilihan saya ini: Saya ingin jadi Pengarang: seniman! (Menggebrakkan tangannya di
atas meja). That is my chooice (Tersenyum) Jadi
kau tak bisa terus-terusan mendatangi saya dan meminta saya mengubah pilihan saya ini. Tiada guna
keluhan. Berhentilah merengek. Biarkan aku istirahat. Biarkan aku sempurna sebagai masa lalumu.
Lihat dan terima hidupmu yang sekarang dengan berani.

(Berbicara pada Audiens)

Saudara-saudara, profesi yang saya pilih ini, mungkin memang tak menjanjikan financial yang hebat,
popularitas berlimpah, atau status yang membanggakan bagi keluarga Tapi saya harus
melakoninya. Dan saya tahu, saya akan tak mendapat

dukungan dari siapa pun. Mungkin mereka tak akan menghalangi saya karena

saya keras kepala--tapi mereka pun tak akan menunjukkan dukungan. Saya hanya akan dibiarkan
dengan pilihan ini, sambil diam-diam mereka berharap saya gagal, sehingga mereka bisa mencibir
dan menunjukkan ke depan muka saya; bahwa pendapat merekalah yang benar. Lalu akan berkata
pada saya--persis yang selalu kau katakan: (Mengubah-ubah bahasa tubuh dan gaya bicaranya demi
memeragakan sosok-sosok yang ada di kepalanya)

“Kapok! Makanya, jadi anak jangan ngeyel!”

“Benar kan Viribus, bagaimana pun jadi PNS itu pilihan terbaik”

“Sudah banyak contoh, jadi profesi sepertimu itu mesti siap susah...kok masih nekat”

“Kalau sudah begini...siapa yang bisa menolongmu...?”

“Sekarang semuanya sudah terlambat, tho? Mau daftar pulisi, mustahil. sudah

berumur, mau ikut parpol supaya beranjak cepat kariermu. nggak mungkin, paling

cuma kebagian peran hore-hore. Mau merintis bisnis, modal nggak cukup. Pinjam

uang di bank, nggak akan ada yang percaya. Mosok mau sodorkan fiksi-fiksimu itu sebagai jaminan?
(tersenyum sinis)

“Kalau saja kamu melanjutkan kuliah, minimal kamu punya ijazah S-1 untuk melamar kerja”

“Pikiranmu itu terlalu liar. Harusnya kamu bisa seperti anak-anak lain. Beres SMA nyambung kuliah,
sesudah sarjana cari kerja, lalu menikah. Bahagia sampai tua, mati masuk surga! Itu yang bener..!

HENING. IA KEMBALI DUDUK ; MEMBELAI-BELAI BUNGA ILALANG YANG ADA DI VAS BUNGANYA.

Liar saya tidak liar. Saya hanya ingin berpikir bebas. Saya juga megerti batasan-

batasan. Saya cuma ingin memilih sendiri hidup yang akan saya jalani, menjelmakan apa yang telah
mengilhami dan menggelorakan jiwa saya. Mengapa sebuah pikiran bebas harus selalu dicurigai dan
dianggap berbahaya? Mengapa seorang anak SMA dianggap tak patut punya pandangan yang
melampaui usianya? Apakah seorang remaja hanya pantas berpikir mengenai hal-hal yang remeh?
Serba permukaan? Mengapa seorang remaja yang tidak suka dengan film dan novel percintaan yang
cengeng dan lebay dianggap aneh? Apakah seorang perempuan seusia saya akan jadi sinting hanya
karena menggemari puisi? Sastra? Apakah cita-cita yang dianggap benar harus selalu sesuai dengan
standar hidup orang banyak? Apakah setiap orang yang belajar dan bekerja tekun hanya dianggap
benar kalau bisa jadi PNS?

Polisi?Tentara?Pegawai Bank?Merintis Bisnis? Di luar profesi-profesi yang dianggap menjanjikan itu


orang akan dianggap gagal atau keliru? Apakah menjadi seorang anak remaja sama artinya
memenuhi kepalamu dengan; tempat nongkrong yang asyik, mengumpulkan sebanyak-banyaknya
pertemanan di medsos? Gonta-ganti status fb supaya up-to date setiap hari? Sedang pe-de-ka-te
dengan siapa? Berapa kali sudah ganti pacar atau masih jomlo? Mengumpulkan daftar hal-hal yang
menyebalkan dan menyenangkan untuk jadi obrolan di hari libur sekolah? Selfie di semua tempat
lalu meng-editnya supaya bisa dipajang jadi foto keren? Saya tidak membenci semua itu! Saya hanya
tidak rela kalau hanya itu isi batok kepala saya ini! Saya hanya ingin melihat dan menjalani hidup
saya dengan cara berbeda. Saya hanya tidak ingin hidup saya terlalu penuh dengan buih. Saya hanya
ingin selalu bergelora; digerakkan oleh tenaga yang amat kuat dan murni dari dalam diri saya; terus
menerus terilhami. Dan saya menemukannya dalam puisi, musik, sastra....

dalam seni. Apa itu salah?

Barangkali kalian juga mulai berpikir bahwa kata-kata saya ini, kalimat-kalimat yang saya ucapkan ini,
bukan berasal dari alam pikiran seorang anak SMA? Atau barangkali juga ada yang mulai berkata
dalam benaknya, “ah. bahasanya terlalu

tinggi untuk remaja,” atau “ini sih cuma naskah drama, aslinya nggak begitu..”. Tidak! Ini memang
saya. Semua ini keluar dari benak seorang remaja. Kalau banyak diantara kami hanya mengerti
bahasa yang gampangan, dan selalu kesulitan mencerna bahasa yang sedikit berbobot, itu karena
memang yang diberikan kepada kami terlalu banyak sampah. Beri kami kalimat-kalimat yang kuat,
yang bisa menggedor jiwa kami. Beri kami bahasa yang punya kedalaman dan tempa kami untuk
bersusah payah mencernanya; maka kami akan berbeda. Maka Anda tak perlu lagi menganggap
aneh kalau ada seorang remaja seperti saya. (Menahan tangisnya)

HENING. SUARA SERANGGA MALAM.

(Lalu dia meraih selembar kertas dari mejanya dan membacanya dengan suara lirih dan mendalam)

Di antara pokok-pokok cladartis, jalan terpecah dua Sebagai pengembara, aku tak bisa mengambil
keduanya Maaf jika aku terpaku lama memandangnya

Kupandang begitu rupa salah satunya

Sampai pada semak-semak di ujung sana Kupandangi juga jalan yang satu lagi

Sepertinya lebih menarik hati; rumputannya rapi seperti gampang dilalui bagi yang sudah pernah
melewati

Mungkin sama saja rasanya dengan yang tadi. Pada pagi hari, kedua jalan itu terlihat murni

Tak ada jejak-jeka kaki, rerumputan tegak bestari Oh, kuputuskan: kulalui jalan pertama esok hari

Meski tak tahu apa yang akan kutemui di ujungnya nanti Tak juga tahu apakah aku akan kembali
Barangkali aku harus bercerita dengan duka Suatu saat, pada umur kita, akan berjumpa
Persimpangan seperti jalan bercabang dua

Di mana aku telah berjalan pada salah satunya

jalan yang jarang sekali di lalui. Dan itulah beda kita.

(Dia meletakkan kembali kertas itu di mejanya)

Itu tadi “Jalan yang Tak Ditempuh”, Puisi Robert Frost. Guru Bahasa Indonesia kami yang
memberikannya pada saya sebelum ia berhenti mengajar karena ia hanya mengantongi ijazah D-3.
Sementara semua guru di sekolah kami harus bergelar minimal S-1. Dia bilang; “Viribus, pilihah
jalanmu sendiri, meski itu tak banyak dilalui orang lain. Selama ia membuatmu merasa terpaut
dengan kuat pada hidupmu, tempuhlah. Dan setiap hari kau harus bilang pada dirimu sendiri:
Raihlah hari ini.”

Tapi Guru yang selalu mengerti bagaimana membuat murid-muridnya berani melihat ke dalam
dirinya sendiri itu, sudah tersingkir karena selembar ijazah. Untunglah dia punya keterampilan lain;
membuka bengkel sepeda. Dari dia saya mendapat banyak buku-buku yang membuat jiwa saya
selalu lapar pada hikmah; pada sesuatu yang bisa membuat pikiran saya terus menerus terjaga.

Dia pula yang membuat saya percaya dan tidak takut melakoni hidup. Lihat! Saya sanggup dan
mungkin saya akan berhasil!

PEREMPUAN/LELAKI YANG BARUSAN BICARA BERALIH KE PANGGUNG SEBELAH KIRI DAN DENGAN
CEPAT MENGUBAH PENAMPILANNYA MENJADI LEBIH DEWASA. IA TAMPAK CAPEK DAN KECEWA.

Akan? Mungkin? Pemilihan tensis yang salah! Lihat, ini bukan lagi future tense, ini sudah present
continous tense. Kamu sudah gagal. Lihat saya; ga-gal! Kalau saja dulu kamu tidak “sok puitis”, tidak
nyecer guru Bahasa Indonesiamu untuk menjelaskan makna puisi itu, tentu kamu tidak akan
keracunan ilham seperti itu. Kalau saja kamu tetap melanjutkan kuliahmu dan membiarkan Bapak
menjual sepetak sawahnya untuk biaya pendidikanmu, tentu saya sudah jadi sarjana dan bisa dapat
pekerjaan lebih bagus. Tapi kamu malah bertingkah bak filosof Yunani Antik, kamu bilang: “Sawah
tak boleh dijual, itu bukan cuma sumber penghasilan, itu sumber nilai dan hidup Bapak, itu cara
Bapak menjalani hidup, menunjukkan Bhakti pada Tuhan dan kehidupan. Kalau semua petani
berpikir menjual sawahnya demi biaya pendidikan anak-anaknya, bangsa ini akan kehilangan besar!”
Halah....Gayamu...selangit! Kamu menyedihkan! Menyangka dirimu telah memilih hal yang benar
karena mengikuti dorongan dari dalam jiwamu, padahal akibatnya bisa kau lihat sendiri pada saya
sekarang. Kamu menyedihkan! Kamu hanya seorang yang ingin eksentrik, beda, unik, dianggap
berpikiran bebas dan mampu mandiri, sementara diam-diam kamu abaikan dirimu sendiri. You have
no self respect. That is You!

HENING. MUSIK MENGALUN LIRIH.

PEREMPUAN ITU BERALIH KE PANGGUNG TENGAH. USIANYA SEKARANG SUDAH MENJELANG 50


TAHUN. DUDUK DAN MENULIS PADA LAPTOPNYA. BEBERAPA DETIK KEMUDIAN BANGKIT SERAYA
MELEPAS KACAMATANYA. BERBICARA PADA AUDIENCE.
Saya susah sekali mendamaikan keduanya. Mereka terus menerus bertengkar. Padahal cerita ini
harus saya bereskan besok. Pihak penerbit sudah memberi dead-line. Mereka tahu, seluruh anak-
anak remaja di negeri ini membutuhkan bahan cerita yang bisa mengilhami sebuah perubahan besar
dalam hidup mereka. Sebenarnya, sejak 10 tahun terakhir saya agak kewalahan meladeni banyaknya
permintaan dari penerbit juga para produser film yang tertarik pada masalah- masalah remaja.
Mereka butuh sesuatu yang lebih punya bobot dan menginspirasi.

Itu adalah kekuatan untuk bersaing! Saya hampir kehabisan ide, makanya saya ambil dari kisah hidup
saya sendiri. Tapi malam ini saya sudah lumayan capek. Saya akan sangat menghargai kalau Anda
semua berkenan memberi ide bagaimana mengakhiri konflik antara dua tokoh dalam cerita saya ini.
Supaya tidak berlarut- larut dan saya bisa segera istirahat. (Melihat jam) Tapi, tunggu dulu.
sebelum

Anda semua memberi pendapat, saya mohon diri sebentar ke dalam. Anak saya yang paling kecil
akan segera tidur, dan saya harus membacakan dongeng untuknya. Permisi. (Baru beberapa langkah
meninggalkan panggung, Ia kembali lagi). Ssssttt...

tolong jangan terlalu ribut. Nanti mereka berdua muncul lagi dan bertengkar lagi....

ok? Permisi.

Bandar Lampung 14 Januari 2018

SELESAI
LELUHUR

TAMPAK LAYAR PUTIH TERBENTANG DI BELAKANG. LAYAR INI FUNGSINYA UNTUK MENAMPILKAN
ADEGAN-ADEGAN “BAYANGAN” YANG DIKISAHKAN TOKOH ANAK BUNGONG.

MUNCUL ANAK BUNGONG. SEORANG PEREMPUAN YANG BERPAKAIAN HITAM- HITAM DARI KAIN
SEMACAM KARUNG GONI MEMAKAI TUDUNG ANYAMAN KASAR DARI RANTING-RANTING. DIA
MEMBAWA TEMPAT AIR DARI BAMBU (LODONG) KELIHATANNYA “MENAKUTKAN” KARENA ITU DIA
DIJULUKI SI PENJAGA DANAU RUHULEL.

(BERDIRI DI ATAS SEBUAH TEMPAT YANG AGAK TINGGI) Aha sekarang para binatang itu sedang
berkumpul, minum air danau Ruhulel. Semoga saja mereka yang beragam itu tetap akur. (PADA
PENONTON) Namaku yang sebenarnya, aku tidak tahu. Setahuku aku sudah ada di sini sekitar pulau
Ruhulel dan danaunya. Yang aku tahu dibawah pohon trembesi jenggot ada makam panjang
sepasang. Dipohon tinggi besar itu juga dihuni codot-codot besar, kalau siang bergelantungan tidur
kalau malam mereka pergi entah ke mana. Aku tinggal di bawah pohon Trembesi jenggot itu ada gua
dan di dalamnya sudah ditata seperti tempat tinggal, ada ranjang kayu kasar dari batang pohon dan
perapian. Aku ingat yang mengasuhku, aku anggap sebagai ibuku yaitu seorang wanita yang
dipanggil Mak Bungong, karena orang-orang pulau Besar yang mencari getah dan madu
memanggilnya dan suka barter makanan. Mak Bungong (SEDIH) dia sudah meninggal, aku
menguburkannya di dekat pohon Jelapang langit. (BERDIRI) Sejak itu aku bertekad pulau Ruhulel
harus aku jaga, hutannya juga para binatang penghuninya. Perlahan tapi pasti aku tumbuh seperti
ini. Ketika bertemu dengan orang-orang pulau Besar, aku bilang: Mak Bungong sudah mati, aku
penggantinya ! (TERTAWA) Mereka sepeti takut padaku, lalu berbegas kembali. Entah apa yang
diceritakan mereka pada orang- orang di pulau Besar lainnya, yang aku belum pernah datangi itu.

Aku mau berkisah tentang para binatang yang beragam, kenapa mereka bisa akur dan tak berebut
air danau, juga tidak ada mangsa memangsa. Mau tahu ? Karena aku menemukan rahasianya, justru
air danau Ruhulel itu.

(KETIKA ANAK BUNGONG BERKISAH. DI LAYAR BELAKANG MULAI ADA “BAYANGAN” HITAM PUTIH,
SEPERTI LAYAKNYA WAYANG KULIT SAJA. HANYA WAYANGNYA BERBEDA SESUAI DENGAN YANG
DICERITAKAN).

Danau Ruhulel tak ada yang tahu kisahnya, kecuali Mak Bungong pernah berkisah begini.
(MENGGANTI WARNA SUARANYA AGAK SERAK) Heh Bungong , kamu harus tahu tentang danau
Ruhulel yang aku warisi sebagai penjaganya. Aku diberitahu oleh pasangan Mambang dan Peri hutan
Ruhulel yang tak pernah orang percayai, tapi aku percaya. Dulu danau ini katanya bekas kawah
purba, entah kapan meletusnya, namanya gunung Ruhulel. Kemudian menjadi kawah kosong dan
mulai diisi air, akhirnya menjadi danau yang tenang berhutan lebat. Binatang yang beragam pun
mulai menjadi penghuni pulau ini.

(SAMBIL BERKISAH DIA MENGELUARKAN TEMPAT AIR YANG TERBUAT DARI BAMBU (LODONG) DAN
MEMINUMNYA)

Air yang kuminum pun dari danau indah dan damai itu. Aku teruskan kisahku. Aku pernah diajak
berkeliling pulau Ruhulel oleh Mak Bungong, apa yang dilakukan Mak Bungong setiap dia lewat
pepohonan yang ada binatangnya, dia berhenti sejenak lalu seperti bicara pada binatang tersebut,
anehnya binatang itu turun dan mendekat lalu mereka saling pandang dan binatang itu perlahan
mengikuti kami. Begitu dan begitu, kalau bertemu binatang, dari harimau, bajing, kijang, monyet,
bahkan Kukang meski lamban mengikuti kami. Ketika sampai dipinggiran danau, para binatang itu
minum dan istirahat, nampak damai. Tidak ada saling berebut air, lalu Mak Bungong berkisah
tentang manusia-manusia tanpa wajah yang datang dari pulau Besar.

(ANAK BUNGONG BERPINDAH DUDUKNYA. DAN MULAI MENGELUARKAN

PERALATAN MAKAN SIRIHNYA) Makan sirih ini diajarkan Mak Bungong padaku, katanya biar kuat
dan segar terus. Kalau ngantuk segera makan sirih. Tidak percaya, coba saja. (MELEMPAR SATU
BUNGKUS KECIL SIRIH PADA PENONTON). Itu tinggal

kunyah ! (TERTAWA). Sambil makan sirih aku akn berkisah tentang orang-orang tanpa wajah yang
datang dari pulau Besar di luar sana. Mak Bungong pernah berpesan padaku (MERUBAH SUARANYA
AGAK SERAK) Bungong, kamu harus tahu, orang-orang pulau Besar itu beragam, ada yang baik ada
yang jahat, ada yang kasar ada yang halus, ada juga yang tanpa wajah, enggak jelas karena mereka
hanya mencari keuntungan semata. Ada juga manusia abu-abu, ada juga manusia ubel- ubel yang
sombong.

(DI LAYAR BELAKANG TAMPAK APA YANG DIKISAHKAN ANAK BUNGONG)

(MERUBAH SUARANYA KE ASAL) Aku mendengarkan, para binatang juga mendengarkan. Kukang
yang lamban pun datang perlahan mendekat dan memegang tanganku perlahan sekali. Aku peluk
dia, dan akhirnya jadi sahabatku kupanggil dia Kukangku. (MENGUNYAH SIRIH DAN MINUM SEDIKIT).
Tentang orang-orang pulau Besar, semuanya terpesona pada danau Ruhulel, mereka pernah berebut
menguasai sisi-sisi yang indah dari danau Ruhulel. Tapi Mak Bungong sebagai penjaganya
menjaganya, dia angkat bicara (MERUBAH KEMBALI SUARANYA AGAK SERAK) Kalian bukan pewaris
danau ini, danau ini harus kujaga. Tapi kalian bisa memanfaatkannya bersama, minumlah air danau
Ruhulel ini, ayo minum ! (KEMBALI KE SUARA ASLINYA) Semua orang minum air danau ini, tampak
wajah-wajah mereka sangat cerah, bahkan terasa damai, tak ada pertentangan ingin memiliki danau
Ruhulel. Mereka seperti berjanji, bahwa danau Ruhulel harus dijaga bersama. Sejak itu orang-orang
pulau Besar, suka datang ke tepi danau hanya untuk minum dan menikmati pemandangan, kecuali
orang-orang tanpa wajah yang merasa malu karena setelah minum air danau Ruhulel, wajah mereka
jadi nampak aslinya. Salah seorang pemimpinnya dipanggil Rakuza bicara (MERUBAH SUARANYA
MENJADI BERAT) Kita harus kuasai pulau Ruhulel berikut danau keramatnya ! Ini bisa menghasilkan
uang, kita bisa menjual airnya menjadi mahal ! (KEMBALI KE SUARA ASLINYA) Ketika mendengar niat
jahat Rakuza, Mak Bungong menentangnya (MERUBAH SUARANYA AGAK SERAK) Kalian orang-orang
tanpa wajah, kaluan sudah dibuka kedok kalian dengan meminum air danau Ruhulel, tapi kalian
malu. Niat jahat kalian aku tentang, aku penjaga pulau ini ! (MERUBAH SUARANYA MENJADI BERAT)
Aku Rakuza, kamu penjaga pulau damai ini, tangkap dan gantung !

(ANAK BUNGONG MEMBUANG LUDAH SIRIHNYA)

(KEMBALI PADA SUARA ASLINYA) Itulah akhir dari kisah Mak Bungong, ibuku. Rakuza tidak tahu
kalau aku menyaksikan kejadian itu, dan diam-diam mencari cara untuk mengusir orang-orang tanpa
wajah itu. Aku pulang karena takut ke bawah pohon Trembesi jenggot bersandar di mulut gua pohon
itu. Sampai aku ketiduran, aku terbangun karena mendengar suara kepak kelepak sayap-sayap codot
hitam penghuni pohon trembesi jenggot pada turun mendekatiku. Terbang disekitarku, berkumpul.
Tiba-tiba aku melihat sepasang sosok tinggi besar berwajah hampir sama, seperti gundala-gundala
muncul dari makam panjang sepasang. Mereka memandangku tanpa bicara. Kukangku datang
perlahan, aku memeluknya. Ketika kukangku mengangkat kepala dan memandang para codot,
Gundala-gundala

itu bicara perlahan tapi jelas (MERUBAH SUARANYA PERLAHAN SEPERTI DALAM BAHASA WAYANG
ORANG) Anak Bungong kamu jangan bengong. Segera bangkit dan bersihkanlah pulau Ruhulel ini
dari gangguan orang-orang tanpa wajah yang dipimpin Rakuza. Jangan takut, codot-codot akan
melindungimu. Pergilah !

(ANAK BUNGONG BANGKIT BERKELILING SAMBIL BICARA) Aku segera berangkat, di

atasku puluhan codot dalam kepak kelepak sayap-sayap mereka yang lebar. Kami menuju danau
ruhulel, kami tiba menjelang senja. Orang-orang tanpa wajah sudah berkumpul, mereka membawa
tong-tong kayu besar sedang mengangkut air danau di bawah ke kapal mereka, tidak merasa malu.
Mereka merasa menjadi pemiliknya.

(ANAK BUNGONG BERTERIAK) Hei orang-orang tanpa wajah ! Hentikan mengangkut air danau
Ruhulel itu. (MERUBAH SUARANYA MENJADI BERAT) Kamu siapa heh

? (KEMBALI KE SUARA ASLINYA) Aku anak bungong penjaga danau Ruhulel dan pulaunya !
(MERUBAH SUARANYA MENJADI BERAT) Anak bungong ? (TERTAWA BERAT) Kau anaaknya si Mak
Bungong yang kami gantung ? (KEMBALI KE SUARA ASLINYA) Benar, aku ingin kau hentikan segera,
kalau tidak ? (MERUBAH SUARANYA MENJADI BERAT) Kalau tidak apa ? (KEMBALI KE SUARA
ASLINYA) Kamu lihat di atasku ? (MERUBAH SUARANYA MENJADI BERAT) Ya, hanya codot-codot
besar, memangnya kami takut ? (KEMBALI KE SUARA ASLI) Kalau tidak tahut, tak apalah ! Tapi
mereka akan menjatuhkan hukuman pada kalian !

(TIBA-TIBA DI LAYAR BELAKANG BAYANGAN MENGERIKAN. ORANG-ORANG TANPA WAJAH


DISERANG PULUHAN CODOT YANG MENJADI GANAS DAN AKHIRNYA MEREKA BERLARIAN DAN
BANYAK YANG MATI)

Hei ! Orang-orang tanpa wajah ! Katanya tidak takut ! (MEMUNGUT BEDIL YANG DITINGGALKAN
ORANG-ORANG TANPA WAJAH) Hei ! Rakuza bedilmu ketinggalan

! (LARI KE TEMPAT YANG TINGGI DI SUDUT KANAN PANGGUNG) Dasar orang-orang

tanpa wajah. Mereka lari tunggang langgang, dikejar terus codot-codot besar itu ! (MENIMANG-
NIMANG BEDIL) Mau kuapakan bedil Rakuza ini ? (BERPIKIR SESAAT) Sebaiknya kubuang saja ke
danau Ruhulel ! Sekali orang pegang bedil rasanya dia tak akan ada yang mengalahkan ! Aku harus
menurunkan Mak Bungong dari tali gantungan ! (BERTERIAK) Mak Bungong anak Bungong datang !

(LAMPU MATI)

(TAMAT)
KETEGUHAN HATI

Prolog:Keteguhan hati seorang gadis harus teruji ketika suatu impian dan harapan harus diombang –
ambingkan pada situasi yang membuat seorang gadis ini tidak berdaya.

(Tokoh bersama teman-temannya sedang menari dengan bersemangat, dalam keadaan tarian
sedang di atas puncak gerak, tiba-tiba sang tokoh terhenyak dan menari tak tentu arah geraknya
dan berputar-putar seperti orang kesurupan kemudian jatuh tertunduk dan tertelungkup)

(Kain merah bergelombang-gelombang naik turun dan terus bergelombang. Muncullah dua (2) orang
laki-laki dan perempuan dengan pakain layaknya seniman mendekati sang tokoh)

Aku:(mengangkat muka dan mencoba berdiri)Terlalu naif diriku bila kisahku ini aku simpan sendiri.
Ya....ini adalah kisah bagaimana aku berjuang mempertahankan hidupku, ketika nafasku tak lagi
bebas untuk kuhembuskan dansepenggal kata sangat begitu berarti bagiku, namun hanya terdengar
jerit lirih dari lubuk hati.Siapa diriku? Aku hanyalah seorang gadis yang dipenuhi dengan derita dan
luka, aku hanyalah seorang gadis yang berjalan terseok sendiri di tempat yang asing, ketika orang
yang paling dekat denganku yang seharusnya menumbuhkan harapan dan impianku namun dia
justru orang pertama yang memadamkan dan membunuh harapan dan impian itu.

(Suara sayup terdengar lirih dan lembut di telinga tetapi bagai halilintar yang menyambar di dalam
kalbu)

Ibu: Ndhuk, kau harus tetap mengalir....,mengalir....,dan teruslah mengalir hingga tak sempat lagi
kau bernafas dan tetaplah ingat dimana kakimu berpijak di bumi ini dan siapa dirimu.

Aku: Dimana kaki ini berpijak di bumi ini dan siapa diriku itu tidak akan pernah membuatku mengerti
apa arti sebuah mimpi dan harapan ketika kau hadapkan aku pada situasi yang membuatku tidak
berdaya. Namun keadaan ini membuatku semakin bingung dan tidak dapat aku mengerti.

Ibu:“Dengar....semua itu kulakukan hanyalah untuk masa depanmudan lupakanlah semua impian
dan ambisimu itu dan tetaplah menjadi apa yang aku inginkan yaitu menjadi seorang penari.

Bapak:Yaa.. nduk semua demi masa depanmu, (Bapak dengan wajah takut menimpali)

Aku:“Apa kataIbu? Ibu berkata seperti itu, tanpa memikirkan bagaimana perasaanku!(dengan rasa
yang dipenuhi amarah)“Kalian (Bapak/Ibu) terlalu banyak bicara.... kalian bicara tentang masa
depan?Masa depanku?Masa depan macam apa, haa? Masa depan macam apaaaaaa??!! Apakah
kalian mengerti bagaimana rasa sakit hatiku ini, apakah kalian dapat menerjemahkan perihku ini?!

Ibu: “Masa depan yang penuh dengan harapan dan impian itulah yang aku tahu, tidak lebih dari itu!

Bapak: Ho…oh!

Aku: Impian dan harapan yang bagaimana? Masih hangat dalam benakku tentang bagaimana cara
kalian mengajariku untuk meraih impian dan harapan itu. Namun rasa sakit itu terus semakin
menggunung!Ingatkahkalian dengan sayatan di tubuhku ini?Ketika cambuk kau hujamkan
ketubuhku? Lutut dan paha ini memar, ketika sebilah kayu engkau lemparkan ke kakiku, dan dan
ingatkah kaliandi saat aku berteriak meminta tolong karena kau sekap aku dalam lorong yang
sempit, gelap, dan pengap. Hanya karena aku gagal menari, hanya karena aku tidak mampu lagi
menari!

Ibu: “Namun itu semua aku lakukan untuk melatih ketrampilan, keberanian, dan kedisiplinanmu?”

Bapak: Ya… demi melatih ketrampilan, keberanian, dan kedisiplinanmu?”

Aku:Apa? Melatih ketrampilan,keberanian, dan kedisiplinanku? Sepertinya pikiran Ibu dan Bapak
sudah dijejali dengan ambisiyang kini sudah termakan waktu!Dan pemikiran kalian hanya merasuki
pikiranku dengan rasa takut dan rasa sakit!Batinkulah yang sakit, Bu, Pak!Kalian tidak pernah
mengerti apa yang menjadi keinginanku. Kalian tidak mengerti….? (Lemah,.. sambil menagis)

Ibu::“Bagaimana orang tua bisa melepaskan anaknya dalam dunia yang ganas tidak memiliki norma
dan aturan seperti yang telah engkau alami ini?Kamu menganggap ini adalah kehidupan yang indah.
Namun, tanpa kau sadari kau telahjauh meninggalkan lingkunganmu! Dan kini masyarakat justru
melihatmu seperti sampah yang tidak patut untuk dicontoh!

Bapak: Betul!

Aku: Tapi inilah yang membuat hidupku jauh lebih baik dan aturan–aturanlah yang membunuh
karakter dan mutu hidupku.

Ibu:“Engkau boleh menggunungkan anggan – anggan mu tentang arti kebebasan. Namun jati diri
harus tetap menjadi identitas dirimu sendiri dan terserah kamu mau jadi apa namun tetap inggatlah
kata – kata itu jika kau berfikir menjadi penari tidak akan membuat hidupmu jauh lebih baik!

(kedua orang tua itu pergi meninggalkan tokoh. Musik bertalu-talu lalu redup dan sunyi…senyap)

Aku: (Berdiri terpaku, pandangan nanar, kosong tak tahu lagi apa yang harus diperbuat .) sambil
menangis meratapi apa yang sedang melanda hidupnya)Ucapan itu membuat darahku terasa
berhenti mengalir dan denyut nadiku terasa hilang!Siapakah diriku ini? Haruskah aku menjadi
seorang penari?(Diam terpaku dengan pandangan kosong)

(Kata – kata itu terus terngiang-ngiang dan tak bisa hilang ingatannya)(Tanpa disadarinya ada
seseoarang tua mendatanginya dan menyapanya)

Orang Tua:“Kau tidak perlu resah tentang pilihan hidupmu, Anakku! Semua pertanyaan itu akan kau
dapatkan jika engkau percayadengan pilihan hatimu sendiri, hanya itu. Yakinlah bahwa Allah pasti
memberikan yang terbaik kepada kita. Teruslah melangkah dan jangan pernah ragu, karena
keraguan akan menghentikan langkahmu. Ingat perjalananmu masih panjang. Masih banyak pilihan-
pilihan yang harus kamu tentukan!”

(Suara itu tiba – tiba datang dan tiba – tiba pegi begitu saja bersamaan dengan tiupan angin yang
berhembus)

Aku: Iya....menjadi seorang penari adalah pilihan hidupku tidak..., tidak itu bukan pilihan hidupku
....ya..iya, tidak, tidak cukup, cukup kubilang, cukup…. Cuuukuuup!
(Detik demi detik, menit demi menit, jamdemi jam, dan haripun terus berlalu)

(FLASH BACK)

(Dengan susah payah dan kerja keras tokoh aku berusaha untuk menjadi seorang penari yang
terkenal demi ingin mambahagiakan orang tuanya. Rasa sakit dalam hantinya tidak dihiraukan lagi
toh tidak mungkin dia akan meraih cit-citanya untuk menjadi pejabat atau pengusaha. Yang ada di
matannya hanya menari-menari dan menari sampai akhirnya dia menjadi seorang penari ternama.
Puas rasa hatinya karena merasa sudah membahagiakan orang tuanya dengan menuruti
harapannya. Namun, halilintar menggelegar lebih hebat lagi dari sambaran beberapa tahun yang
lalu).

Aku:Ya...menjadi seorang penari adalah pilihan hidupku dan itu semua telah membuat hidupku jauh
lebih baik!Aku benar-benar menikmatinya dan merasakannya bahwa pilihan ibuku memang benar!
Aku tidak boleh ragu! Aku harus terus maju pantang mundur!

(Seiring perjalanan waktu yang terus berlalu. Tokoh benar-benar telah mencintai kehidupannya,
orang yang menumbuhkan rasa cintanya terhadap seni tari, ibunya, telah meninggal dunia beberapa
tahun yang lalu sebelum tahu kesuksesan anaknya menjadi seorang seniman tari. Dia kini tinggal
bersama ayahnya, yang ternyata berbeda haluan dan pandangan dengan ibunya. Kini dia malah
menjiat ludahya sendiri)

(Setelah para penari menyelesaikan tariannya dan music berhenti dari hiruk pikuknya. Datang dua
orang lelaki dengan mengenakan jas berdasi dan perempuan dengan mengenakan baju mahal
datang dengan congkak dan bergaya perlente seorang layaknya seoarng pejabat)

Bapak:“Ki, setelah ibumu meninggal aku puny hak sepenuhnya atas dirimu. Sebenarnya aku tidak
pernah setuju dengan keputusan ibumu dan keputusanmu untuk menjadi seorang penari. Sekarang,
lupakanlah semua ambisimu menjadi seorang penari.Engkau boleh memilih mau jadi apa, terserah,
jadi pofesor, dokter, bahkan kau boleh memilih sebuah kursi jabatan yang diduduki oleh orang –
orang berdasi itu, namun jangan pernah kau bermimpiuntuk menjadi seorang penari!

Istri Muda:Ya.. ! kamu harus nurut sama Bapakmu!

Kiki:Apa? Bapak melarangku menjadi penarai? Tahukah Bapak bagaimana rasanya jadi diriku!Dengan
mudahnya Bapak berkata seperti membalikkan telapak tangan. Tahukah bahwa kalian telah
menghancurkan harapanku. Apakah aku harus berbalik lagi untuk mengubah haluan hidupku, yang
telah aku temukan sejak sepeningal ibu?

Bapak: Ya… kamu harus mengubah cara pandang dan cara berfikirmu! Apa yang akan kau dapatkan
dari menari,, menari dan menari? Dari panggung ke panggung, dari rumah ke rumah dari jalan ke
jalan, tak ubahnya seperti pengamen jalanan, dana jangan-jangan, bisa-bisa kamu akan jadi pelacur
karena kelaparana, haaa…haaa…haa!

Istri Muda:Manusia rendah!

Kiki: Pak!... Apa yang kau katakana! Bukankah ini semua juga karena keinginan Bapak? Bukankan ini
yang Bapak harapkan dariku?
Bapak: Tidak! Aku tidak pernah menginginkan semua itu! Hanya ibumu yang menginginkan! Kau
memang bukan anak kandungku! Tapi aku ingin engkau bahagia tidak dengan cara ibumu! Cara
seorang pengemis dan pengamen. Tapi jadilah manusia yang berderajad dan punya martabat. Kalau
perlu jadi pejabat! Seperti ini! (Menunjukkan dasinya)

Istri Muda:Dasar murahan! Pelacur!

(Dialog terus berlanjut sampai muncul ketegangan yang luar biasa)

Kiki:Bapakkatakan semua itu untuk kebahagiaanku. Kebahagiaan? Namun hanya kehancuran hidup
yang aku dapatkan. Dan kini, walaupunengkau meminta berjuta kali agar aku meninggalkan jati diri
yang telah aku dapatkan, jawabannya adalah tidak!Tidak akan pernah!Karena dulu waktu ibu terus
memaksaku hingga otakku terasa terbakar oleh bara api yang berkobar dan tanpa aku sadari aku
telah mengundang malaikat maut untuk wanita yang melahirkanku dan yang yang aku cintai walau
sampai saat ini aku membenci kata – kata itu, kata – kata yang menghujam jantung ibuku sendiri!
Dan jika kalian bertanya dari atas panggungapa yang telah aku lakukan, lihatlah dibelakang sana!
Lembaran – lembaran yang telah usang tentang bagaimana aku mempertahankan jalan kehidupanku
menjadi seorang penari

(Tokoh terus marah dan marah atas perlakuan yang ditujukan padanya oleh orang tuanya. Sampai
akhirnya dia beriak-teriak dan mengamuk. Semua apa yang ada di depannya dipukulnya,
ditendangnya mapai sesemua terlempar dari atas panggung. Kemudian dia terus menari dan terus
menari sampai tablo berhenti, dia berdiri di atas level dan berteriak)

Tokoh: Aku adalah seoarang penari! Akau adalah seoarng Penari Sejati!

Epilog: Ketika perjalanan hidup harus diombang-ambingkan oleh pilihan dan melalui suatu babak
yang rumit maka jangan pernah biarkan dirimu terjerembab dalam persimpangan hidup.Keteguhan
hatilah yang akan membawamu dalam kehidUpan yang nyata hingga kau menemukan jati dirimu
yang sesungguhnya.

SELESAI
BAHAYA
karya Putu Wijaya

DUDUK DI KURSI MEMAKAI SELIMUT PUTIH, HABIS CUKUR. CAMBANGNYA MAU DI KEROK.

Ketika tukang cukur menghunus pisau untuk meratakan godek, aku tersentak. Aku baru menyadari
bahwa kehidupan berbahaya. Dunia manusia sama buasnya dengan rimba raya. Mengancam. Di
mana-mana menganga bahaya.

Siapa yang dapat menjamin tukang cukur itu tidak hanya akan merapikan godek dan jenggot kita.
Bagaimana kalau dia menorehkan pisau itu ke leherku?

BERDIRI, MENGHINDARI BAHAYA.

Kita tidak boleh mengambil resiko untuk potong rambut di sembarang tempat. Karena berhubungan
dengan tukang potong rambut yang tak dikenal, setiap saat bisa berarti memotong leher. Bahkan
dengan tukang cukur yang sudah dikenal pun selalu ada bahaya. Bagaimana kalau pisau yang
terhunus di tangannya itu menimbulkan inspirasinya, memanggil kenang-kenangannya kepada
perasaan marah, jengkel atau keki. Mungkin terhadap orang lain. Tapi bisa saja emosi itu sudah
menggerakkannya untuk memaksa kita jadi sasaran pelepasan. Apalagi kalau kita pernah dengan
tidak kita sadari sudah melukai perasaannya, tidak menyahut waktu ia menyapa, atau kita lupa
membayar hutang kita waktu bercukur yang lalu. Ia kan juga seorang manusia biasa yang bisa goyah
hatinya kalau memegang pisau?!

Dengan pikiran seperti itu, aku jadi takut potong rambut secara lengkap. Kalau rambut sudah
digunting, aku langsung bilang stop. Tidak usah dirapikan dengan pisau.

MELEPASKAN SELIMUT DAN MEMBUANGNYA

Aku tak pernah lagi memberikan kesempatan tukang cukur memegang pisau, apalagi di dekat
leherku.

Bukan hanya dari tukang cukur. Dari setiap sudut, 360 derajat memancar ancaman. Di mana-mana
ada bahaya. Coba apa jaminannya, kalau kita pesan makanan di restoran, koki restoran itu tidak
memasukkan racun tikus ke dalam makanan? Kita tidak tahu siapa yang memasak di belakang sana.
Kita tidak bisa nyelonong ke belakang dan melihat mereka memasukkan bumbu ke dalam masakan,
setiap kali mau makan. Bisa saja mereka itu koki-koki gila. Seorang pembunuh. Atau musuh kita yang
menyamar jadi koki. Dengan gampang ia memasukkan baygon atau air accu bekas, lalu cuci tangan.
Sementara satu atau dua jam kemudian kita akan kaku dilarikan ke gawat-darurat, tapi tak tertolong
lagi.

Dan jaminan apa yang ada di jalan raya, yang dapat menjamin mobil yang datang dari arah depan
atau belakang kita, tidak akan menggilas kita? Jaminan apa yang dapat kita andalkan, bus yang kita
tumpangi tidak akan dibelokkan oleh supir masuk ke dalam jurang? Jaminan apa yang dapat kita
andalkan, dokter-dokter bukannya memberikan obat penyembuh, tapi ramuan kimia yang justru
merangsang kanker ganas di tubuh kita? Jaminan apa yang bisa menjamin kita aman di dalam
rumah. Bahwa kabel listrik tidak akan putus lalu menyengat kita yang sedang enak-enak tidur. Di
mana-mana, baik di rumah, di jalan raya, di sekolah, di kantor, bahkan di WC, selalu ada bahaya
mengintai. Kita hidup tanpa perlindungan. Kita harus melindungi diri kita.

Aku mulai sakit karena pikiran-pikiran itu.

Aku begitu cemas. Aku sudah memvonis orang lain adalah pembunuh. Kehidupan adalah ranjau.
Dunia adalah gelanggang pembantaian.

Jalan satu-satunya adalah mengasingkan diri. Aku memperkecil hubunganku dengan siapa saja. Aku
berusaha menyendiri dan juga mempersenjatai diri dengan rasa awas, was-was dan curiga terhadap
segalanya.

SEBUAH KURUNGAN BESAR TURUN. MASUK KE DALAM KURUNGAN

Bahkan aku mencurigai diriku sendiri.

MEMBORGOL TANGANNYA

Siapa yang dapat menjamin, bahwa aku dapat dipercaya? Karena aku terdiri dari otak, rasa serta
emosi. Kalau emosi sudah meluap, rasa akan terbakar dan otak bisa lumpuh. Dalam keadaan begitu,
aku bukan manusia lagi, tapi binatang. Robot calon pembunuh!'

Setiap waktu aku dapat menjadi jagal orang lain dalam setiap kesempatan. Karena siapa dapat
menjamin, aku tidak akan meraih pisau makan di restoran dan menusukkannya ke lambung orang
makan yang ada di sebelahku yang matanya begitu menjijikkan. Siapa yang dapat menjamin aku
tidak akan berteriak bohong, bangsat, anjing, lonte dan sebagainya dalam sebuah pertemuan resmi,
ketika seorang walikota dihadiahi kehormatan sebagai Putra Terbaik? Siapa yang dapat menjamin,
aku tidak akan merebut pistol di pinggang seorang polisi di jalan, lalu menembakkan sampai
pelurunya habis, ke atas kepala siapa saja yang kebetulan lewat?

Tak ada jaminan, Bung! Dan karenanya juga tak ada gunanya pergaulan. Tak ada gunanya pertemuan
dengan manusia lain. Karena itu jelas sudah, kehidupan ini sendiri adalah langkah pertama yang
membawa kita ke dalam bahaya!

Dengan pikiran itu, aku lalu menyepi.

MENUTUP KORDEN KURUNGAN. LAMPU MATI. LAMPU DI DALAM MENYALA. NAMPAK SILHUETNYA.

Tapi ketika sepi, sunyi, hening pengasingan diri juga tidak memberikan ketenteraman, karena bahaya
itu sudah bersarang di dalam hati. Aku putus asa. Bagiku kehidupan tak memberikan lagi apa-apa
kecuali malapetaka dam kekalahan. Hidup hanya menunda kekalahan kata Chairil Anwar!

Di depan mataku setiap detik terbentang jalan ke jurang keruntuhan. Manusia-manusia semua
adalah mahluk tak beradab. Arus deras pikiran kumal itu bagai air bah. Tak mampu ku tahan, tak bisa
kutolak, tak kuasa kuterima. Akhirnya karena tak tahan, tak berdaya, tak tertolong, aku ambil jalan
pintas!.

DALAM SILHUET IA MENGGANTUNG DIRI. LEHERNYA TERJERAT. KEMUDIAN KURUNGAN ITU


TERANGKAT. TOKOH NAMPAK BERDIRI DENGAN MEMEGANG SEBUAH SURAT.
Kepada siapa saja yang ingin tahu?

Aku tak dapat memikirkan jalan yang lain, yang lebih baik dari ini. Bagaimana mengurangi bahaya
yang mengepung di sekitarku, bagaimana menghentikan bahaya yang mungkin berasal dari sel-selku
sendiri. Setiap manusia adalah bom waktu buat orang lain. Cara satu-satunya untuk menyelamatkan
diri, menyelamatkan orang lain adalah pengorbanan. Hentikan semuanya. Tebarkan tirai gelap yang
tidak tertembus mata siapa pun, yang tidak bisa didobrak bahaya macam mana pun. Kecuali oleh
suara Tuhan. Kecuali oleh sentuhan tanganNya.

Dengan perhitungan yang amat matang, aku selesaikan semuanya hari ini secara jantan. Lengkap,
bulat dan tuntas. Perpisahan ini akan mengantarkan, setidak-tidaknya lebih mendekatkan kita pada
ketenteraman, perdamaian, harmoni dan kebahagiaan.

MELIPAT SURAT

Kalau tidak ada yang mengerti atau mau mengerti, terserah. Aku dianggap sudah sesat karena
kemasukan setan, pasrah. Aku dikubur sebagai orang gila dengan pikiran-pikiran busuk yang
berbahaya pada kehidupan, biarin. Kepergianku justru disyukuri, boleh!.

Tidak seorang pun yang sedih. Tidak seorang pun yang kehilangan. Tidak seorang pun menerima.
Semua mengenangku sebagai musuh. Aku, surat wasiatku, segala sepak terjangku, segala lumut
pikiranku adalah virus ganas. Dalam upacara penguburan, Pak RW berpidato.

Sesat! Pikiran sesat! Tuhan jauhkan manusia dari kebejatan! Saudara-saudara semua orang yang
masih hidup, pikiran-pikiran kotor sedang ditiup angin memenuhi seluruh lapisan udara. Tahan
nafas. Itu semua dosa! Terlintas dalam pikiran saja, semua pikiran-pikiran memintas itu neraka
hukumannya. Ambisi untuk mencapuri rencanaNya itu harus diberantas. Bukan manusia, tapi hanya
Yang Di Atas Sana Yang boleh menulis sejarah.

Semua media masa memompa fatwa pak RW. Kenalan-kenalanku mengingatkan orang yang belum
kenal aku, supaya awas. Pikiran-pikiran sakit sudah gentayangan memakai topeng suci. Yang tidak
pernah kenal siapa aku, yang tidak mengerti alam pikiranku, tambah keblinger.

Anti moral! Brantas habis!

Tapi apa yang dilarang, apa yang tidak boleh, apa yang dosa, biasanya orang selalu suka. Mereka
penasaran, ingin tahu, ingin mencoba. Mau mencicip. Aku jadi laku. Melarang adalah bumerang.
Semua jungkir-balik. Akhir adalah awal. Membungkam jadi mengobarkan. Akibat dicekal pikiranku
mengamuk. Gagah-berani, seksi, indah dan bermagnit.

Kematianku mempesona dan agresif.

Penguasa langsung mengumumkan.

Jalan pikiran melempas yang pendek, itu tak bertanggungjawab, egois, anarkis, provokatif, itu
subversip! Meracuni angkatan muda, orang-orang yang putus asa, untuk mencari kebahagiaan
dengan cara gampangan itu terlarang!

Keblinger tulis Profesor Ong.


Bodoh, cupet, asosial, mengandung pesona berbahaya bagi moral. Tidak mensyukuri karunia Tuhan.
Menentang falsafah negara. Teroris itu bukan pahlawan, tapi sakit jiwa. Jangan biarkan dia jadi
berhala. Hidup tambah berbahaya kalau ngebom semua bahaya. Teror itulah bahaya yang
sebenarnya, bukan ancaman bahaya itu sendiri seperti yang sudah difitnahkan.

Mas Gan, Pak Kayom, Profesor Kan, Profesor Doktor Ali, Profesor Bos, Profesor Mak, Doktor Ko,
Profesor Doktor Emanuel Den Bagus, Doktor Kwak, Araf, bahkan tak kurang dari mantan menteri
kebudayaan Pak Fad dan presiden Sak memberikan suaranya:

Awas! Bunuh kejahatan pikiran itu! Racunnya terus menjalar. Setiap saat akan meledak. Dia
mengacaukan antara yang ada dan yang tidak ada. Kikis tuntas tidak ada kata ampun! Bukan karena
pikiran itu besar, tetapi karena justru begitu sederhana, mudah, naif menjanjikan penyelesaian
tunggal yang keji terhadap satu kenyataan dunia yang kompleks. Bagaimana mungkin kehidupan
yang sudah nyelimet karena usianya berabad-abad ini bisa diselesaikan dengan satu kalimat tanpa
mengundang kebencian, permusuhan, perang dan pembunuhan-pembunuhan?. Ancaman-ancaman
yang lahir karena benturan berbagai kepentingan, panutan dan kelompok etnik bukan saja di dalam
negeri tetapi juga di seluruh dunia, itu dinamika kehidupan. Pluralisme itu bukan bahaya. Bahaya itu
bukan ancaman. Ketakutan pada bahaya yang sudah tidak terkendali akan menimbulkan kebuasan.
Itu baru bahaya! Itu yang harus dibasmi!

Lalu puting-beliung bertiup sebaliknya.

ANGIN KENCANG. DIA TERTIUP TAPI MENCOBA BERTAHAN. DIA BERPEGANG KEPADA TALI YANG
MELILIT DI LEHERNYA.

Propaganda kebencian menyerang dari segala jurusan. Aku dikejar-kejar.

TALI DITARIK KE ATAS. BADANNYA TERGANTUNG.

Tapi dalam pengejaran aku tambah hidup. Dimaki-maki berarti aku dikenang. Disatroni, dihujat,
disembelih, dipreteli, ditumbuk sampai serpihan-serpihan jadi debu aku malahan merajalela.

Sekarang setelah dihabisi sebagai kambing hitam, aku bangkit. Lahir, tumbuh dan tambah perkasa.
Aku jadi tontonan, jadikan pelajaran, jadi pelatihan, tentang bagaimana caranya membunuh bahaya.
Gila!

TURUN KEMBALI

Aku adalah pelajaran bahaya. Aku harus dipahami untuk mengerti apa yang harus dijauhi. Aku buku
suci apa yang tabu. Mau tahu siapa yang harus dikutuk, lihat aku. Aku adalah musuh besar yang
harus dibasmi itu, yang tidak bisa mati tanpa dipahami. Maka cintailah aku.

KETAWA

Anak-anak sekolah diwajibkan awas. Aku dipaku pada setiap kepala. Dicontreng pada setiap pojok
kehidupan. Dari kamar kecil sampai ke tempat tidur. Orang waras, orang melek, orang pintar, orang
sedang buang hajat, orang mabok, orang tidur, orang bersanggama, orang teler, bego, sakit jiwa,
semua harus waspada, tahu aku.
Aku jadi popular dan mewabah. Merajalela sampai ke semua ketiak dan selangkangan. Bangsat yang
dilestarikan, itulah aku.

Yang tidak tahu jadi tahu, yang tidak ngeh sekarang terusik. Yang terusik lalu bertindak. Yang sudah
bertindak makin ganas. Yang ganas kontan hilang ingatan. Dan yang hilang ingatan bablas karena
yakin akan masuk surga.

Setelah dibungkam, berjuta-juta bahaya baru lahir. Galak, menggigit-gigit, penuh dendam. Begitu
kamu sadar, mau balik langkah, sudah terlambat.

KETAWA

Itulah bahaya yang sebenarnya!

KURUNGAN TURUN CEPAT. ORANG ITU DALAM KURUNGAN MENDUSIN. LAMPU DALAM KURUNGAN
MENYALA. BAYANGAN ORANG ITU MENGAMUK DALAM KURUNGAN MENCOBA MEMBEBASKAN
DIRI UNTUK BERBALIK LANGKAH MEMULAI LANGKAH. TAPI TERLAMBAT.

Tolong! Tolong!

LAMPU MATI PERLAHAN-LAHAN.


U.G.D
PUTU FAJAR ARCANA

K A R A K T ER : OPUN G , PERAWAT, PASIEN , D I R EK T U R

Panggung ditata menyerupai unit gawat darurat sebuah rumah sakit yang cukup berkelas. Ruang-
ruang perawatan darurat hanya dipisahkan oleh sekat-sekat dari gorden kain berwarna broken
white. Di dalamnya terdapat ranjang perawatan dengan sprei berwarna putih dan selimut wol
berwarna senada. Boleh ditambahkan peralatan medis seperti tabung

oksigen di samping ranjang dan tensi meter di sebelahnya. Di depan deretan kamar perawatan itu
terdapat meja registrasi yang biasanya ditunggu oleh beberapa orang suster. Dokter jaga terkadang
duduk tak jauh dari meja registrasi.

ADEGAN I

Kira-kira pukul 02.00 dinihari, lonceng jam dinding berdentang. Seorang pasien didorong masuk
dengan menggunakan kursi roda. Beberapa kali ia terlihat ingin muntah, tetapi berusaha ditahannya
sekuat tenaga, sehingga muncul menjadi batuk yang keras. Ketika berada di depan ruang registrasi
pasien yang telah cukup berumur itu berusaha menjelaskan sesuatu. Tetapi tiba- tiba suasana
mendadak chaos. Para tenaga medis berseliweran di ruangan. Ada yang mencari dokter, ada yang
berlari membawa obat, ada pula pasien yang terpincang-pincang menuju ruang perawatan. Ketika
chaos mulai surut, pasien di atas kursi roda mulai menjelaskan sesuatu yang sudah ditunggu para
suster. Manfaatkan suasana chaos ini untuk menata kembali setting panggung agar benar-benar
presisif.

Iya, iya, aku kan yang sedang sakit. Cerewet kali kau jadi Suster. Namaku Monang, kau cukup panggil
aku Opung saja. Jangan kau panggil dengan Monang, ya, mengerti? Itu nama diberi orangtuaku
sebagai peruntungan dan umur panjang. Jadi, kau daftarkan saja dengan Opung gitu ya…(SEPERTI
MENDENGAR OMONGAN SUSTER), ha iya ha, apa? Sudah kubilang catet saja Opung. Titik. Kau tidak
perlu tambahkan Monang. Itu nama KTP. Aku bisa kuwalat sama leluhurku kalau tulis nama itu. Ah
sudah ya, kau periksalah…

Kau tanya apa tadi? Penonton saja tidak dengar. Kau ulang tanya lagi ya…Oh itu. Begini
kronologisnya. Jadi tadi itu aku tidur lebih cepat dari biasa. Agak kurang nyenyak memang. Perutku
sudah agak melilit sebenarnya. Biasanya itu karena aku sulit beol. Ah aku tidak khawatir, itu mudah
diatasi, cukup minum sebotol soda. Pasti beres. Ya, aku tidurlah. Kira-kira lewat tengah malam, aku
terbangun. (MENGELUH) Aih ini mataku Suster, seperti mau copot. Berkenyut-kenyut laksana roda
kereta yang mau lepas dari relnya. Ah sudah begitu, ini kepalaku seperti dipukul-pukul palu godam,
sakit dan berat. Itu belum seberapa Suster, leherku kaku seperti besi baja. Ah aku jadi heran, ini
penyakit apa? Datang tak pernah kuundang, kalau kutendang tak pergi pula dia…

Suster, asal kau tahu, umurku sudah 67 tahun, tak pernah sekali pun aku ini menginjak yang
namanya rumah sakit. Jadi sama dokter aku pun tak kenal, apalagi kau cuma suster. Aku selalu sehat.
Kau tahu, sejak umur 50 tahun dan memutuskan pensiun cepat dari pekerjaanku sebagai PNS, setiap
hari aku berkeliling naik sepeda. Jangan kau tanya berapa jauhnya. Pokoknya dari pagi buta sampai
sore buta pula. Kau ukur-ukur saja jauhnya ya. Aku mana sempetlah…
Nah, tiba-tiba ini sakit datang tidak tepat waktunya. Jadi aku belum bersiap, ia sudah nyeruduk
masuk kamar tidur dan membetot mataku. Ah haduh (MENGERANG SAMBIL MEMEGANG PERUT)
sakit. Kenapa kau tidak tolong aku Suster…Ini mataku ikut kenyot- kenyot, karena terharu melihat
perutku yang melilit. Begitu Suster…(BEBEREPA ORANG KEMUDIAN MUNCUL KE ATAS PANGGUNG
UNTUK MENGGOTONG OPUNG KE ATAS

RANJANG PERAWATAN). Aih kau harus hati-hati anak muda. Ini perut seperti ditusuk-tusuk jeruji
besi. Jadi kau mau apakan aku ini….?

(KETIKA ORANG-ORANG BERLALU OPUNG CEPAT-CEPAT MEMANGGIL) Eh,

cepat-cepat, kau siapkan ember, aku mau muntah ini….(KARENA EMBER TAK KUNJUNG DATANG
OPUNG MUNTAH SEBANYAK-BANYAKNYA DI LANTAI. BEBERAPA MENIT KEMUDIAN TERASA SEPI).

Suster, Suster, kau di mana. Aku lapar sekarang. Boleh aku makan dulu. Setidaknya sebelum jarum
infus itu kau masukkan ke nadiku, izinkan aku makan barang tiga-empat suap ya. Aku memang sudah
makan kemaren sore, tetapi kan tadi sudah keluar lagi. Jadi kasi kesempatan aku makan dulu ya
Suster….Ngomong-ngomong, ini dokter di mana? Dokter… (BLACK OUT)

ADEGAN II

Seorang perawat tampak dengan sangat ketus mengurus seorang pasien yang baru masuk UGD.
Rupanya pasien ini diantarkan oleh sebuah angkot, tetapi kemudian ditinggalkan begitu saja.

Jabatanku memang sekadar perawat di sini. Tetapi aku berkuasa penuh untuk menentukan nasibmu.
Camkan itu. Mana mungkin kau bisa bayar di UGD ini. Masa ditanya nama saja tidak menyahut, kan
semua orang punya nama, karena pasti punya KTP kan? Aku belum tanya kau soal siapa yang
menanggung nanti kalau perobatan ini diberikan kepadamu. Sana, kau tanyakan pada penonton.
Mana ada sih rumah sakit terbaik, dengan dokter-dokter dan suster terbaik yang gratis? Enggak ada
kan? Enggak ada kan, penonton? Tuh semua jawab enggak ada…

Nah kau, aku tak tahu asal-usulmu. Tiba-tiba dengan tubuh penuh luka nyeruduk saja masuk UGD.
Memangnya ini UGD mbahmu? Meski namanya unit gawat darurat, tempat ini juga punya prosedur
untuk membantu. Pertama, aku harus tahu dong kau siapa, dari mana asalmu, penduduk sah atau
liar, pekerjaanmu apa? Kedua, siapa orangtuamu, bagaimana kemampuan ekonomi keluargamu,
terakhir siapa yang menjamin selama kau dirawat di sini? Jadi prosedur tetap alias protap itu harus
kau penuhi dulu, barulah minta perawatan.

Naah, apa? (SEPERTI MENDENGAR PERTANYAAN PENONTON) Ooh soal menolong

orang itu soal lain. Rumah sakit ini bukan lembaga sosial, ini jelas dalam akte pendiriannya sebagai
lembaga bisnis. Siapa bilang tidak boleh cari untung dari orang sakit? Asal tidak mendoakan orang
sakit, kan tetap halal. Salah sendiri kan kau sakit. Perawatan itu butuh biaya dong. Jangankan orang,
gedung dan seluruh peralatan medis di sini, juga butuh biaya perawatan dong.

Jadi meski aku bukan pemilik, aku diberi wewenang untuk menyeleksi pasien-pasien mana yang bisa
dirawat di sini dan mana yang tidak. Bahkan sampai dokternya pun aku yang menentukan. Kalau ada
dokter-dokter yang sok sosial gitu, aku tidak akan terima. Itu pemborosan anggaran. Kau pikir
mengapa banyak rumah sakit bisa bertahan sampai ratusan tahun? Jelas karena pasiennya
membayar cukup untuk pengobatannya. Jangan terlalu berharap pada subsidi pemerintah. Mana
mungkin rumah sakit partikelir seperti ini disubsidi. Tagihan BPJS saja bisa tersendat sampai
bertahun-tahun, dan itu jumlahnya tidak kecil lho. Bisa sampai ratusan miliar. Makanya, pemiliknya
memutus kerjasama dengan BPJS pada tahun pertama. Buat apa melanjutkan sesuatu yang
merugikan, kan?

Baik, sekarang kutanya sekali lagi. Sebelum kupanggil dokter, kira-kira siapa yang akan menjamin
perawatanmu di sini? Kalau lihat bentuk kepalamu, coba kalian pegang kepala masing-masing
(BERKATA KEPADA PENONTON) penyak-penyok kan? Itu tanda-tanda klinis kau mengalami benturan
keras. Bisa saja karena benturan di masa lalumu, bisa pula karena kecelakaan fatal di jalanan. Tanda-
tanda itu berarti kau tidak lagi bisa berpikir normal. Di dalam cangkang kepalamu itu, otak
mengalami gegar, sehingga tidak bisa bekerja secara waras. Jelas itu butuh perawatan yang mahal
dan berbulan-bulan.

Apa kau siap menanggungnya? Kalau kau siap, aku akan beberkan tahapan tindakan medisnya.
Pertama kau harus menjalani MRI alias magnetic resonance imaging, sebuah tindakan radiografi
untuk mengetahui kondisi pembuluh darah dan syaraf-syaraf di kepalamu. Itu saja biayanya bisa
sampai Rp 5 juta sendiri. Apa kau sanggup? Kepalamu akan dimasukkan ke dalam terowongan
sempit dengan resonansi suara yang memekakkan telinga. Kira-kira akan berlangsung 30 menitan.
Sanggup enggak sih? Kok kau diam saja? Mungkin kau enggak sanggup membayarnya kan? Aku
pastikan kau tak sanggup.

Itu baru kepala. Kalau aku lihat itu kakimu juga mengalami patah tulang. Kuperhatikan saat masuk
UGD tadi, kau terlihat menyeret kaki kananmu. Nah, untuk memastikan kakimu masih utuh atau
sudah remuk, itu juga perlu tindakan MRI atau setidaknya rontgen. Semuanya buat memastikan
bagian-bagian tulang yang patah. Bagaimana bisa menyambung kalau ahli bedah ortopedi tidak
melihat diagnose pada kakimu yang patah.

Rontgen itu sudah tindakan medis, jadi kau juga dikenakan biaya. Setidaknya bisa mencapai Rp 2
juta. Artinya untuk kepala dan kaki saja kau harus menyediakan uang Rp 7 juta, tujuh juta rupiah lho!
Apa kau sanggup? Semuanya belum termasuk lutut lho…Jadi dari kepala, lutut, dan kaki, itu satu
kesatuan yang harus kau permak jika ingin menjadi manusia normal kembali. Enggak sanggup kan?

Melihat tampilanmu yang kere begini, aku sangat yakin kau bukan tipe orang yang

sanggup membayar pengobatannya sendiri. Eh eh, hitungan tadi belum termasuk tindakan medis
lainnya lho. Misalnya, kau butuh operasi bongkar kepala untuk memperbaiki syaraf- syaraf yang
bikin penyak-penyok tadi. Penyok itu tidak bisa diperbaiki dengan ketok magic lho. Memangnya
mobil tua…

(TIBA-TIBA PARA PERAWAT BERSELIWERAN MASUK KE TENGAH PANGGUNG. ADA YANG TERIAK-
TERIAK MEMANGGIL DOKTER, ADA PULA YANG BERGEGAS MEMBAWA AMPUL-AMPUL BOTOL
INFUS. SEMENTARA BEBERAPA PASIEN HARUS BERJALAN SENDIRI MENUJU RANJANG PERAWATAN.
SUASANA CHAOS INI DIAKHIRI DENGAN BLACK OUT)

ADEGAN III
Seseorang sedang berbaring di ranjang perawatan UGD. Ia beberapa kali mengeluh dan mengaduh,
tetapi tidak seorang perawat pun mendatanginya.

Dokter, dokter, kepala saya kenapa bisa begini. Perawat tadi bilang penyak-penyok, apa iya sih…Saya
cuma gelandangan yang iseng cari makan di seberang rel kereta. Mungkin karena perut keroncongan
sejak dua hari, telinga ndak mau kerja sama, ditambah otak ndak mampu menalar klakson
peringatan dari masinis. Bahkan saya ndak merasa apa-apa ketika konon tabrak lari itu terjadi. Jadi
masinis tetap melajukan kereta ketika saya harus terkapar di batu-batu pinggir rel.

Sebagai orang kecil saya ndak mengerti, mengapa kereta selalu melaju terus walau telah menabrak
kere seperti saya. Saudara tahu, kereta itu sekarang jadi musuh orang kecil justru setelah bernama
commuter line dan MRT. Perasaan dulu ketika masih diberi nama KRL saya bebas saja duduk di atap
kereta untuk bolak-balik Rangkasbitung – Tanah Abang, ndak perlu bayar, tinggal kuat-kuatan
gelantungan atau kalau kau lebih kuat, bisa langsung naik ke atap gerbong. Di situ lebih aman dari
desak-desakan dan aksi copet dalam gerbong. Walau kantong saya ini jarang isi uang, tetapi tetap
saja duit lima rebu, sepuluh rebu, kan berarti banyak.

Dulu saya tiap hari bawa dagangan sayur atau pisang dari Rangkas ke Tanah Abang. Jadi untung
dagangannya masih full, tanpa harus dipotong biaya tiket kereta. Nah, sekarang kereta justru cuma
buat orang-orang gedean. Itulah awalnya saya jadi kere. Kan ndak mungkin lagi dagang sayur dan
pisang dari Rangkas ke Tanah Abang ongkos angkutannya udah berapa. Muahal…cing. Saya ya
terpaksa kerja serabutan di Tanah Abang. Paling ndak ikut jadi kuli angkut. Lumayan buat anak-istri
di rumah….

Nah tahu-tahu sekarang saya di sini…Di rumah sakit gedongan. Rumah sakit semacam ini justru
membuat saya merasa pusing. Bukan saja soal ongkosnya yang ndak mungkin saya bayar, tetapi
terlalu bersih dan dingin. Bersih dan dingin itu sering membuat sesak napas. (IA MENCOBA MERABA-
RABA DADANYA, LALU TENGGOROKAN. TERBATUK- BATUK SEBENTAR. TANGANNYA KEMUDIAN
MERABA KEPALANYA).

Aduh dokter, suster….kenapa kepala saya jadi penyok begini. Tadi sebelum saya masuk

di sini, kepala saya masih utuh. Ini rumah sakit atau bengkel, main ketok sembarangan sih. Dokter
tolong saya…Saya memang kere, tetapi saya juga manusia biasa. Karenanya juga berhak mendapat
pelayanan kesembuhan. Saya tahu yang jadi dokter pasti orang gedean, karena katanya bayar
kuliahnya muahal. Saya dan anak-anak saya sampai tujuh turunan mungkin ndak bakal ada yang jadi
dokter. Kami cuma gelandangan yang tak punya keahlian. Bagaimana mungkin bisa kuliah di
kedokteran.

Aduh suster, saya pastikan ndak akan bisa bayar ongkos penyembuhan di sini. Saya juga ndak minta
dibawa ke sini. Tetapi suster, percaya ndak sama nasib? Saya di sini karena nasib. Benar-benar ndak
tahu mengapa si sopir angkot membawa saya kemari. Padahal di dekat pintu kereta Sudimara, ada
rumah sakit yang lebih ramah untuk golongan orang kere seperti saya.

Suster, sekarang karena saya sudah di sini, apakah suster akan membiarkan anak Tuhan ini mati
menderita. Tidakkah ada sedikit rasa belas kasih di antara pemilik rumah sakit ini terhadap orang
kecil seperti saya. Kere juga berhak atas rasa kasih. Begitu kan penonton? (KEPADA PENONTON) Kok
kalian ndak ada yang terharu. Tunjukkan sedikit rasa hormatmu kepada kere seperti saya. Mari kita
satukan rasa haru kita bersama…Bahwa rumah sakit mewah ini sungguh tak ramah terhadap orang
miskin.

Kalau saya harus memilih, saya lebih baik mati di gubuk sendiri daripada di ruang perawatan UGD
mewah ini. Mati di gubuk lebih tenang karena saya akan menerima limpahan rasa kasih yang hangat
dari orang-orang terdekat saya. Di sini, saya akan mati kesepian dan kedinginan, tak ada seorang pun
yang saya kenal. Saudara bayangkan, bagaimana mati menderita dalam kesepian. Tak ada seorang
pun yang mengenal jasadmu di ruang penyimpanan yang beku. Semua orang membuka laci
penyimpanan, tetapi kemudian wajahnya melongos. Itu jelas menyakitkan, bukan?

Dokter, dokter, semua itu kini menjadi hantu di kepala saya. Dokter cepatlah, saya takut menghadapi
laci-laci baja yang beku di kamar jenazah yang mewah. Dokter, dokter…. Saya ini hanya kere. Biar
saja mati sebagai kere, teronggok di pinggiran rel, jauh lebih baik bagi saya. Jangan biar saya
kesepian… (KARENA TERUS BERTERIAK-TERIAK MEMANGGIL DOKTER, SEROMBONGAN PETUGAS
RUMAH SAKIT KEMUDIAN MEMINDAHKAN PASIEN KE LUAR RUANGAN. ENTAH KEMANA...BLACK
OUT)

Opung masih terbaring di ruang perawatan. Ia tampak terbangun tiba tiba mendengar keributan di
ruang perawatan sebelahnya. Perlahan mengusap-usap mukanya, lalu mengucek matanya keras-
keras. Mencoba melihat keliling yang sudah sepi. UGD ia lihat benar-benar jadi ruangan yang
mencekam.

(KEPADA PENONTON) Eh buyung kau dengar tadi keributan di sini? Aku dengar ada yang teriak-
teriak panggil dokter. Jelang pagi tadi aku sudah minta call itu dokter ahli. Aku tak mau tiba-tiba
penyakit stroke menyergapku diam-diam. Apalah guna hidup kau kalau badan mati separo. Tak
gunalah. Itu sebabnya aku rajin bersepeda. Bukan soal gowes-gowes olah raganya, tetapi kau harus
nikmati pemandangan sepanjang jalan. Ah di situ kau akan

tahu warna-warni kehidupan.

Aku sengaja pilih jalan-jalan kampung. Selain udaranya lebih segar, banyak emak-emak dan engkong-
engkong menyapa ramah. Ahh…itu rasanya kau banyak punya saudara. Sebagai perantauan Medan,
aku harus pintar-pintar cari saudaralah di sini. Ada pepatah bilang, jika yang jauh tetap kerabat,
maka yang dekatlah jadi saudaramu. Itulah cara orang Batak bertahan hidup di perantauan. Maka
jika kau sukses di kota, orang-orang sekampung bisa kau tampung dan orang-orang sebelah jangan
pula kau tak acuhkan ya…

Eh, apa kau dengar tadi keluhan pasien sebelahku? Suster, aku tak mau kau begitu galak kepada
pasien miskin. Ini rumah sakit memang partikelir. Kau bolehlah cari untung serba sedikit, bukan
berarti kau abai pada orang-orang miskin yang butuh kesembuhan. Kemiskinan sudah membuatnya
menderita, janganlah kau tambah-tambah dengan omelanmu. Aku tadi dengar apa yang kau
omelkan. Aku juga dengar pasien tadi ketakutan karena omelanmu.

Rumah sakit ini buat siapa saja, terbuka. Kau setujukah? Ah kalau kau ada setuju, dan pasien
memang harus bayar, kan kau bisa atur. Bisalah kau terapkan sistem subsidi silang, yang kuat
mensubsidi yang lemah. Kalau kau naik pesawat, nah ada tiket murah ada tiket mahal, tetapi kau
tetap satu pesawat, begitu kan? Suster ke sini kau. Suster. Aku memang tidak punya banyak uang,
tetapi aku masih menyisakan rasa kasihku untuk orang-orang terbuang seperti pasienmu hari ini.
Aku tak perlu kenal dia, tak perlu tanya KTP-nya, orangtuanya, asal-usulnya, apalagi tanya siapa
istrinya. Yang kutahu ia diantar sopir angkot beberapa saat setelah aku masuk UGD ini kan? Walau
aku sudah opung-opung begini, tapi aku masih waras, masih mudah mengingat orang susah.

Suster, hari ini sakitku tak seberapa. Cuma sakit maagku yang kumat kan? Itu biasa, sakit orang
sibuk. Walau aku pensiun jadi PNS, jangan kau kira kesibukanku berkurang. Naik sepeda setiap hari
itu hanya caraku beri kepercayaan kepada anak-anakku untuk ngurus perusahaan. Perusahaan
cargoku sudah besar, berkelas internasional. Itu kubangun sejak aku berusia 50 tahun. Jadi sekarang
sudah 17 tAhun. Sudah cukup pula keuntungan yang kukumpulkan.

Sekarang aku sakit ringan-ringanlah, tetapi lain waktu bukan tidak mungkin Tuhan kasi sakit yang
berat. Semasa ringan inilah kita saling bantu. Suster, kau masukkan saja tagihan pengobatan pasien
tadi kepadaku ya. Biar nanti diurus oleh anak-anakku.

Apa sudah cukup? Berapa pun yang ia habiskan, asal bisa sembuh, aku yang tanggung. Kau dengar
itu kan, Suster? Usahakan kau perbaiki kepalanya yang penyak-penyok itu. Kasi tahu dokter, tolong
kerjakan dengan rapi. Jangan asal-asalan, apalagi borongan. Ini menyangkut nyawa manusia, bukan
sekadar mobil rongsokan…

BLACK OUT

ADEGAN V

Opung Monang mencoba turun dari tempat tidur. Ia berjalan sedikit dan menyibakkan gorden ruang
perawatannya. (TERDENGAR UCAPAN “Permisi…”. OPUNG MELONGOK UNTUK MELIHAT SIAPA
YANG DATANG)

Festival dan Lomba Seni Siswa Nasional Jenjang SMA 2020

Apa benar Anda bernama Opung Monang? Kau siapa berani-berani sebut Monang?

Tapi benar kan ini Opung Monang?

Eh, kau cukup sebut saja Opung..

Baik Opung. Saya Raden Mas Kencono…

Ah kau raden rupanya, itu menak dari Jawakah?

Itu hanya nama pemberian orangtua, Opung.

Ada apa rupanya kau kemari?

Saya direktur rumah sakit ini. Saya datang cuma mau kasi kabar, kami berterima kasih atas kebaikan
Opung menanggung seluruh biaya pengobatan pasien yang kemaren dirawat di samping Opung.
Cuma masalahnya…
Apalagi? Aku kan sudah bilang, masukkan seluruh tanggungan pasien itu ke dalam tagihanku. Ini
bukan soal mencari pahala lho Pak Direktur Raden, aku cuma ingin ia mendapatkan kesembuhan
kembali. Aku paham, dia pasti punya keluarga dan pasti ada anak-anak dan istri yang
membutuhkannya. Tugas lelaki memang harus begitu. Saya kira Pak Direktur Raden pasti setuju,
kalau lelaki harus mencari rezeki, bila perlu sejauh-jauhnya kan? Aku berangkat dari Medan dengan
dompet kosong. Jadi aku pernah merasakan bagaimana hidup dengan penuh kekurangan. Oh ya Pak
Direktur Raden, tolong kasi nasihat kepada Sustermu itu ya, jangan pernah ia remehkan orang,
apalagi menghinanya, siapa pun dia, miskin kaya sama saja di mata Tuhan. Nyawa ini pinjaman.
Kapan pun Beliau berkehendak, saat itu pula nyawamu dimintanya kembali. Sebagai suster di rumah
sakit ternama, seharusnya ia bersikap baik dan memperlakukan seluruh pasiennya secara setara.

Ah…cukuplah. Ssttt…(MEMINTA DIREKTUR TIDAK BICARA) aku tahu maksud Pak Direktur Raden.
Anda meragukan apakah aku mampu membayar tagihan pasien itu kan? Tak perlulah ragu. Kalau kau
tak percaya, bawa saja ke sini kuintansi tagihannya, biar aku bayarkan di sini ya…Ah, kalau Pak
Direktur Raden canggung melayani saya, minta Suster yang ngomel itu kemari ya…Biar aku sekalian
kasi ceramah dia. (NGEDUMEL) Masih untung dia tak ketemu aku, sewaktu masuk bilik UGD ini. Apa
Pak Direktur tidak pernah mendidik para suster di sini? Pasti pernah kan? Pasti ada pendidikan etika
para medis untuk para suster, kan?

(DIREKTUR MEMAKSA BICARA) Tapi begini Opung, saya hanya ingin sampaikan bahwa pasien itu
baru saja, telah dinyatakan…terminal… Maksud kau? Bagaimana kronologisnya? Dinyatakan telah
meninggal dunia! Kami mohon maaf… Apa? (TANGAN DAN KAKI OPUNG GEMETARAN. PELAN-PELAN
IA MERASA PUSING DAN KEMUDIAN ROBOH). Tuhan,

kenapa Kau ambil nyawanya, kenapa bukan aku yang lebih tua?

S E L ESA I

Jakarta, Akhir Februari 2020

*) Sebagian dari lakon ini merupakan pengalaman nyata ketika menjadi salah satu pasien di UGD
sebuah rumah sakit di Jakarta.
NASIB SIAL SEORANG BADUT
AGUS NOO R

Musik riang mengawali pertunjukan. Musik pengiring atraksi badut. Atau musik sirkus. Bisa juga
dangdutan, atau mungkin musik atraksi topeng monyet.

Aktor yang memainkan monolog ini bisa muncul datu sudah ada di panggung. Ia berpakaian gaya
badut. Tapi bisa dikombinasikan dengan jas atau pakaian lainnya. Riasannya gaya badut. Bisa juga
pada awal atraksi ia memakai semacam tpeng badut, tapi nanti, saat mulai bicara, kemudian
melepaskannya.

Pertunjukan dimulai dengan trasi badut itu. Akan menarik bila aktor mengusai atraksi-atraksi badut,
seperti memainkan tiga bola atau tiga botol yang dilempar bergantian, atau muncul dengan sepda
roda satu atau melakukan atraksi hola hop. Sementara musik membangun suasana riang, badut itu
melakukan atraksi-atraksi kocaknya: gerakan-gerakan yang dimaksukan untuk mengundang tawa,
gerakan-gerakan slapstic atau lainnya, yang kadang konyol. Mungkin gerakan itu tidak mengundang
tawa, tapi memunculkan ironi.

Sampai badut itu menyadari kalau atraksinya tak menarik perhatian. Ia terdiam. Musik berhenti.

Wajah badut itu makin teRlihat kusut.

BADUT:

Tak ada yang lebih sial dari seorang yang ingin melucu, tapi sama sekali tak lucu. Jangankan orang
lain tertawa, saya sendiri tak tertawa oleh lelucon saya.

Duduk terpekur, seakan menyesali nasibnya.

BADUT:

Mungkin kalian menyangka, menjadi badut adalah pekerjaan paling gampang. Tinggal bertingkah
kocak, dan orang akan tertawa. Bila kalian menjadi saya. kalian akan mengerti: tak gampang
membuat orang tertawa. Apalagi ketika kamu sedang tidak ingin tertawa.

Lagi pula, di jaman ketika orang-orang gampang tersinggung dan marah, membuat lelucon tidaklah
semudah yang kalian bayangkan. Bisa-bisa, karena lelucon, kamu bisa dipidanakan. Dianggap
menghina dan mencemarkan nama baik.

Kawan baik saya, seorang pelawak, dipenjara hanya karena membawakan lelucon, yang kemudian
dianggap menghina. Dia bercerita tetang seorang yang memanjat pohon kelapa

pada jam 10 pagi, dan dari atas pohon kelapa, orang itu mengumandangkan adzan subuh.

Tentu saja itu membuat gempar seluruh kampung. Orang-orang langsung berbondong mendatangi
orang itu. Berteriak-teriak menghujatnya, bahkan ada yang ingin membunuhnya. “Dasar kafir, turun
kamu!” begitu orang-orang kampung berteriak marah.“Berani-beraninya kamu melakukan
penghinaan, adzan subuh jam sepuluh pagi! Dasar orang aneh! Kafir!”

Tapi dengan tenang, orang itu menjawab. “Lho siapa yang aneh? Siapa yang kafir? Coba kalian pikir,
saya adzan subuh jam 4 di masjid, tapi tak ada satu pun kalian yang datang ke masjid. Begitu saya
adzan subuh jam sepuluh, kok kalian pada berdatanagan? Coba kalian pikir, siapa yang nggak taat?
Siapa yang aneh? Siapa yang kafir?!”

Mendengus dan geleng-geleng.

BADUT:

Orang kok gampang mengkafor-kafirkan orang. Hanya karena berbeda menjadi bermusuhan.
Sekarang, orang sepertinya senang bertengkar. Kalau Descartes bilaang “aku berfikir maka aku ada”.
Orang sekarang seperti bilang “aku bertengkar maka aku ada”. Pertengkaran menjadi komiditi.
Diperjual-belikan. Bahkan seringkali diberi pembenaran atas nama keyakinan. Ayat- ayat digunakan
untuk kepentingan kekuasaan.

Makanya, sekarang ini suah membuat orang tertawa. Saya menjadi badut, meneruskan ayah saya.
Dulu ayah saya juga seorang badut. Karna Bapak saya badut, saya pun jadi badut. Sekarang kan
sedang ngetrend, anak meneruskan orang tuanya. Kalau bapaknya presiden, ya anaknya pingin jadi
presiden. Eh, nggak ding, anaknya nyalon jadi gubernur. Bahkan ada yang nyalon jadi walikota.

Ah, sudah ah, jangan ngomong ngelantur. Nanti saya malah ditangkap.

Dulu, kata bapak saya, jadi badut itu lumayan enak. Penghasilannya lumayan. Bapak saya sering
diundang, karena orang-orang butuh hiburan. Badut dan pelawak dianggap masih lucu. Lah, kalau
sekarang, pelawak saja kalah lucu kok sama politikus

Terdiam sesaat. Musik membangun suasana. Badut itu mendadak terhenyak, menatap ke satu

arah: seakan ada yang mendadak muncul. Badut itu merapikan diri, agak gugup, lalu mendekati.

BADUT:

(Menyapa, seakan ada orang di hadapannya). Aduh, aku nggak nyangka kamu akan datang… Silakan-
silakan. Maaf berantakan. (membereskan tempatnya. Menyodorkan kursi panjang, kursi yang biasa
ada di warung) Duduklah… Eee, mau minum apa? Atau mau makan? (ia mencari-cari makanan di
antara barang-barangnya yang berantakan, tapi tak menemukan makanan apa pun) Kamu nggak
haus? Nggak lapar? Syukurlah.. Kebetulan saya tak punya apa-apa. Tapi bisa pesen gofood kok… tapi
kamu yang bayar ya…

Lalu bicara kepada penonton

BADUT:
Yang datang pacar saya. Lho, jangan tersenyum ngejek begitu. Badut kayak saya juga manusia. Bisa
falling in love dan punya pacar. Lihat itu, cantik nggak pacar saya. Namanya Raisa …. Lengkapnya
Raisa Bayar.

Lalu kembali mendekati ke arah dimana seakan duduk pacarnya.

BADUT:

Terima kasih kamu mau menemui saya. Saya kira kamu sudah melupakan saya.. (tersenyum bahagia)
Terima kasih kalau kamu terus ingat saya. kamu pasti kangen, ya… Saya juga… Rindu itu berat, kamu
nggak akan kuat. Biar aku saja…

Bergaya-malu-malu, duduk di kursi panjang itu, seakan pacarnya ada di sampingnya, dan sambil
bicara ia pelan-pelan bergeser mendekati pacarnya itu.

BADUT:

Aku kira kamu sudah nggak mau sama saya… (duduknya bergeser mendekati pacarnya) Katanya
kamu punya pacar baru… (pelan bergeser mendekat)…lebih tampan… (makin bergeser)… lebih
kaya… (makin bergeser mendekat, hingga sampai di ujung kursi panjang itu)… tapi percayalah… apa
pun yang terjadi aku tetap cinta kamu (menyanyikan lagu) “Sumpah I love youu.. I miss youuuuu….”
(makin bergeser mendekat ke ujung kursi) Boleh aku peluk kamu…. Boleh aku cium kamu…

Dengan gaya malu-malu ia terus mendekati pacarnya, hingga tanpa sadar ia sudah ada di ujung

kursi panjang itu, dan akhirnya terjatuh tergelimpang dari kursi. Ia menjadi tersadar, celingukan,
melihat sekeliling.

BADUT:

(Memanggil-manggil) Raisa! Raisa… Raisa…

Tak ada siapa-siapa. Tak ada yang datang. Badut itu langsung murung.

BADUT:

Ternyata hanya khayalan saya saja. Nggak ada pacar. Saya badut jomblo. Coba kalian

bayangkan betapa sialnya saya. Sudah jadi badut, jomblo pula. Nasib saya

benar-benar ambyar. Percayalah, jadi badut itu berat. Kamu nggak akan kuat. Biar saya saja.

Musik membangun suasana. Antara romantis dan sedih. Badut itu memandangi wajahnya di cermin,
kemudian menangis terisak. Kadang di antara isak tangisnya ia terihat terkekeh pedih. Sembari
nahan isak tangisnya pelan-pean badut itu mengganti pakaiannya, atau secara ternik, ia membuka
pakaiannya dan di dalamnya ia sudah memakai pakaian yang lebih rapi.

Kini badut itu sudah memakai pakaian yang lebih necis. Seperti telah berubah menjadi orang
penting. Ia bergaya dengan pakaian barunya itu, dengan gerakan yang tetap serupa badUT

BADUT:
Kenapa kalian menatap saya seperti itu? Apa ada yang aneh dengan saya?

Sudah saya katakan, saya ini orang yang sial! Tapi nasib memang aneh. Nasib selalu punya

kejutan-kejutan yang tidak pernah saya duga.

Kalian lihat penampilan saya, begitu keren dan perlende. Kini saya berpakaian bagus. Tapi
sebenarnya saya tetaplah seorang badut. Saya sama sekali tak pernah memimpikan ini. Tapi
barangkali inilah takdir saya.

Suatu hari saya diminta untuk mengisi hiburan pada kampaye partai. Menurut saya, penampilan
saya biasa-biasa saja. Sama sekali tak lucu. Tapi entah kenapa, semua yang hadir tertawa terpingkal-
pingkal. Saya hanya menjetikjentikkan jari seperti ini.. (menggerakkan jari-jarinya) tapi semua orang
tertawa. Saya hanya mengoyang-goyangkan bokong saya... semua tertawa. Bahkan ketika saya
hanya

berdiri diam, semua orang makin tertawa terbahak. Mereka terhibur dengan penampilan saya yang
begitu bodoh dan tolol. Sungguh saya tak pernah merasa setolol saat itu.

Lalu pimpinan partai itu mendatangi saya, menjabat saya, memuji-muji saya. katanya saya adalah
sosok yang karismatik. Sayapnya bakat untuk disukai semua orang. Dan itulah kekuatan seroang
pemimpin.

Ia bilang pada saya, “Sekarang ini, menjadi pemimin tak perlu cerdas atau pintar, yang penting
disukai banyak orang. Demokrasi membuat seseorang menjadi pemimpon bukan lantaran
kecerdasannya, tapi karena kemampuan disukai banyak orang. Semakin banyak orang menyukaimu,
memujamu, maka kamu akan menjadi pemimpin. Pendukungmu akan memujamu habis-habisan.
Tak peduli kamu salah atau benar, yang penting kamu tetap disukai banyak orang. Kamu boleh
bohong atau ngibul sesukamu, yang penting orang tetap percaya kamu dan menyukai kamu! Dan
kamu punya bakat besar seperti itu. Orang menertawaimu, tapi sesungguhnya mereka menyukaimu.
Orang seperti kamulah yang dibutuhkan partai.” Saya kemudian mereka dandani menjadi necis
seperti ini. Didaftarkan ikut Pilkada. Padahal saya nggak tahu apa itu Pilkada. Saya nggak tahu beda
Pilkada dan Pil KB. Tapi ada yang bilang, Pil KB itu nggak boleh coba-coba buat anak. Kalau Pilkada
boleh coba-coba buat anak. Makanya banyak anak pejabat dan pemimpin yang coba-coba ikut
Pilkada.

Saya benar-benar nggak tahu, mengapa mereka menyuruh saya ikut Pilkada. Padahal ijasah

pun saya tak punya. Tapi mereka bilang

“Tenang saja, ijasal bisa dipalsukan. Jangankan ijasah, kebenaran pun bisa dipalsukan!”

Dan betapa sialnya saya! Saya menang Pilkada. Baranagkali jaman memang sudah gila. Mereka
memilih saya karena dianggap bisa menghibur mereka. Saya dianggap orang paling lucu yang bisa
membuat hidup mereka bahagia.

Ketika saya menjadi badut, saya tak pernah berhasil membuat orang tertawa. Tapi ketika

jadi pemimpn, berkali-kali saya membuat orang tertawa.


Itulah kenapa saya bilang, betapa sialnya hidup saya.

Tiba-tiba terdengar teriakan orang yangbersora-sorai penuh pemujaan, mereka berteriak-teriak


mengelu-elukan, “Hidup Pemimpin Kita! Hidup pempimpin Kita! Panjang umur Pemimpin Kita…
Hidup pemimpin kita… Hidup pemimpin kita”. teriakan-teriakan itu terus bergema makin keras dan
antusias.

Badut itu berdiri di atas meja, memandang sekeliling, bagai melihat jutaan manusia yang mengelu-

elukannya.

BADUT:

Betapa sialnya hidup saya. Dulu menjadi badut, menjadi pemimpin pun tetap jadi badut.

Badut yang bisa mereka atur. Badut yang membuat mereka terhibur… Sungguh saya memang badut
yang sial…

Percayalah. Menjadi badut itu berat. Kamu nggak akan kuat. Biar para pemimpin saja….

Kembali terdengar sorak-sorai. Teriakan-teriakan pemujaan. “Hidup Pemimpin Kita! Hidup


pempimpin Kita! Panjang umur Pemimpin Kita… Hidup pemimpin kita… Hidup pemimpin kita”.
teriakan-teriakan itu terus bergema makin bertambah keras.

Sementara badut itu berdiri dan terkekeh aneh di atas meja.

Cahaya perlahan padam.

SELESAI
Dokter Jawa
Karya Putu Fajar Arcana

DOKTER RAHAYU BERTUGAS DI SEBUAH DESA TERPENCIL, JAUH DARI IBUKOTA KABUPATEN. PERLU
WAKTU HAMPIR 2

JAM NAIK PERAHU MOTOR. ONGKOS PERAHU DARI IBUKOTA KABUPATEN BISA SAMPAI RP 1 JUTA
MELINTASI SUNGAI DAN RAWA-RAWA PENUH BUAYA.

SETTING: SEBUAH BERANDA RUMAH SEDERHANA DARI KAYU DENGAN HALAMAN YANG CUKUP
LUAS. RUMAH INI DIGUNAKAN SEBAGAI PUSKESMAS DESA. PADA SEBUAH PAPAN DI HALAMAN
TERTULIS: “PUSKESMAS DESA BISA JAYA”.

DI DINDING BERANDA TERTEMPEL BEBERAPA POSTER TENTANG CARA HIDUP SEHAT, TERUTAMA
POSTER-POSTER TENTANG PENANGGULANGAN PENYAKIT MALARIA. TAK JAUH DARI DINDING ITU,
SEBUAH TIMBANGAN TERGANTUNG LENGKAP DENGAN SELENDANG BAYI. HANYA ADA SEBUAH
MEJA TUA DAN BANGKU. DI SITULAH BIASANYA DOKTER RAHAYU MENERIMA PASIEN-PASIENNYA.
TAK JARANG IA SENDIRI TERTIDUR SELONJORAN DI BANGKU PANJANG ITU.

LAMPU PERLAHAN MENYALA. TERLIHAT DOKTER RAHAYU SEDANG TERTIDUR DI BANGKU.


TANGANNYA MENJUNTAI HAMPIR MENYENTUH LANTAI KAYU. IA TAMPAK SANGAT LELAH. JAM
DINDING SEDERHANA HADIAH DARI PAK BUPATI YANG TERPASANG DI DINDING MENUJUKKAN
PUKUL 02.15 DINIHARI. TERDENGAR SALAK ANJING YANG DIIKUTI OLEH KERIBUTAN DI LUAR
HALAMAN.

“Aku tak setuju pergi ke Dokter Jawa itu. Ia macam tukang sihir. Lama-lama kita jadi so Jawa semua.
Ah sudah kita ke Bapak Tibo saja. Jelas ia suku kita…” kata suara lelaki.

“Anak kau ini sudah mau lahir. Jangan so pikir Jawa atau Papua. Sekarang panggil itu Dokter,” kata
suara perempuan.

“Kau saja yang panggil…Kau kan yang mau melahirkan...” “Ini perbuatan kau juga…!”

Itu suara siapa? (DOKTER RAHAYU TERBANGUN LALU MELIHAT KE SEKELILING HALAMAN). Masuk
saja. Dinihari seperti ini tak baik berada di luar rumah. Ha? Apa? (SEPERTI MENDENGAR SUARA) Ada
yang mau melahirkan? Ya, ya… Melahirkan memang suka tak kenal waktu. Ia bisa datang

kapan saja, seperti juga kematian. Oh, kematian? Kenapa aku jadi melantur menyebut kematian?
Selama 3 tahun aku di sini, Puskesmas ini jadi saksi bahwa kelahiran dan kematian itu tak pernah
adil.

Kau boleh ngotot mengatakan ada kelahiran pasti akan diimbangi oleh kematian, begitukah? Hukum
itu membuat jumlah manusia selalu sama. Dan itu kunci eksis bangsa manusia sampai kini.
Begitukah? Pendapat itu sudah harus dikoreksi sekarang.
Di beberapa tempat bahkan kelahiran jauh lebih banyak dari kematian. Lihat saja kotamu sendiri.
Makin hari permukiman menelan sawah-sawah para petani. Ruko-ruko merambah sampai hutan-
hutan pinggiran kota. Itu tandanya kelahiran lebih banyak dari pada kematian. Setuju kah? (KEPADA
PENONTON). Kau harus setuju, kalau tidak monolog ini tak akan aku lanjutkan…

(PANCING PENONTON SUPAYA MENYAHUT) Kau harus tahu, di

sini, hukum keseimbangan itu tidak berlaku.

Sebagai orang Jawa yang mewarisi ajaran harmoni dari

para tetua, aku merasa dibenturkan pada kenyataan pahit, yang berbeda dengan apa yang pernah
diajarkan. Aku jadi saksi, setiap kesakitan di sini hampir selalu berakhir dengan kematian. Kau tahu,
terkadang aku merasa gagal sebagai dokter. Seharusnya aku bisa menjadi pencegah kematian. Aku
tahu aku bukan malaikat,

tetapi kegagalan demi kegagalan membuatku ingin menanggalkan profesi ini. Kembali jadi manusia
biasa, sehingga tidak harus

memikul beban profesi seberat ini. (KEPADA PENONTON) Ah, kau sih enak, duduk-duduk saja
menyaksikan aku bekerja keras berlatih jadi dokter di daerah terpencil. Itu yang di belakang malah
pakai ketawa. Kalau para juri sih pasti serius atau pura-pura serius supaya honornya cepat cair...
(TERTAWA). Tapi mungkin ini sudah

takdirku, bisa tampil di depan publik nasional seperti ini. Eh jangan pula kau memasang rasa iri ya...

(TERDENGAR PERTENGKARAN DI LUAR). Hee..siapa di sana.

Bapak, Mama, masuk saja sini. Ke sini sudah. Jangan lama- lama di luar sana. Ini Puskesmas satu-
satunya di sini. Aku tahu, aku bukan malaikat penyelamat, tetapi setidaknya bayi dalam

kandungan itu punya kesempatan menghirup udara segar desa ini.

Kalian berdua sudah tahu, bayi yang lahir di desa ini belum tentu selamat. Bahkan sudah lahir pun
banyak tak punya kesempatan jadi kanak-kanak. Itu anak Bapak Wanggai yang tinggal dekat
dermaga tadi pagi meninggal, Si Sarce anak Bapak Koga yang dulu lucunya minta ampun sewaktu
lahir, dua hari lalu juga tiada.

(KEPADA PENONTON) Kau tahu sejak semingguan lalu sudah ada 61 anak meninggal di desa ini. Kau
pasti sudah dengar, kabar buruk ini sudah viral di media sosial. Sebelumnya juga dimuat bertubi-tubi
itu di koran.

Katanya, Bapak Presiden sudah tetapkan ini sebagai kasus gizi buruk terburuk sepanjang sejarah
modern bangsa ini. Kalau aku boleh cerita, begini: (MENYERET BANGKU MENDEKAT

PADA PENONTON), tapi kau harus janji jangan viralkan ini di medsos ya, semua janji? (TUNGGU
REAKSI PENONTON) Aaa… bagus sudah. Begitu, sesama rakyat harus saling menjaga ya, apa pun
suku dan agamanya.
Dulu, ada kasus desa ini kehabisan beras. Asal kau tahu saja, kita ambil beras dari kota kabupaten
pakai perahu. Itu makan waktu dua hari. Pas waktu itu perahu pembawa beras katanya pecah
setelah tabrak batang kayu di sungai. Orang-orangnya habis dimakan buaya dan beras hanyut di
sungai. Hampir selama tiga bulan di desa tidak ada beras. Anehnya warga beramai-ramai ke
Puskesmas. Mereka tuding aku sebagai dalang dari semua ini.

Aku ingat Bapak Tibo sebagai kepala suku bicara paling keras. Dia bilang begini: “Kami ini cuma orang
primitif, jangan kau permainkan. Kami juga ingin makan beras seperti orang-orang di Jawa. Kami juga
ingin modern seperti kau...Tolong kau bawa beras untuk kami.”

Ketika aku coba untuk bicara, Bapak Tibo cepat-cepat memerintahku untuk diam. “Kau minta saja
Presiden utus orang- orang Jawa supaya cepat kirim itu beras. Kami ini bukan cuma lapar tapi juga
ingin maju to...”

Bapak Koga yang dari tadi di belakang maju ke depan.

Kulitnya yang hitam gosong seperti terbakar. Orang-orang warga desa ini memang masih jarang yang
pakai baju.

“Saya mau bicara. Maaf Bapak Tibo, Dokter Rahayu cuma mau bantu kita orang yang sudah lama
sakit-sakitan. Dokter ini juga sudah bantu lahirkan kita punya anak-anak. Semua sukarela, tak pernah
minta ongkos. Jadi dia tidak punya urusan dengan beras...”

(BAPAK TIBO MEMOTONG) “Aaa…bagiamana kau bisa bilang begitu Koga. Dulu ada niat baik dari
orang Jawa yang kirim kita beras. Sekarang kita semua orang sudah makan beras supaya sehat dan
modern. Karena dokter ini dikirim dari Jawa, pasti juga bisa bawa beras.”

Tidak Bapak Tibo, aku beranikan diri untuk mulai bicara.

Saya dikirim dari Jawa untuk bantu kesehatan warga. Walau terbatas, saya cuma punya obat-obatan.
Mari kita pikirkan bersama mengatasi ketiadaan beras. Saya ada punya usul, bagaimana kalau
sementara kita kembali makan sagu...

(KATA BAPAK TIBO) “Mana pula bisa begitu kau bicara. Zaman Presiden dulu, ada bilang kalau
orang Papua mau

modern, harus makan itu beras. Makan itu sagu hanya perpanjang penderitaan. Kami tak mau lagi
makan sagu. Sagu berarti penderitaan. Karena kami juga ingin modern to. Sekarang coba kau
pikirkan, supaya kami dapat beras...”

(KEPADA PENONTON) Kau pasti berpikir orang-orang di sini kaku dan keras kepala, kan? Selama di
sini aku justru banyak belajar, bagaimana mereka berpikir dan ambil keputusan. Mereka selalu
berpikir lurus, konsisten, dan teguh pegang janji. Ini yang justru harus aku manfaatkan dengan baik.
Tidak seperti kau yang suka mencla-mencle. Sekarang pilih ini, besok pilih itu, tergantung siapa yang
kasi rezeki…

Bapak Tibo, begini, kataku kepada kepala suku itu. Saya boleh tanya. Dia mengangguk. Bapak Tibo
dulu dilahirkan Mama setelah kerja sama dengan ada punya Bapak, bukan? Walau ia tampak
bingung, tapi wajahnya jadi lucu ketika ia bilang,”Ah untuk apa kau tanya-tanya itu? Tanpa mereka
mana bisa kita ini ada.

Begitu kah?”

Waktu Mama dan Bapak kerjasama, mereka ada makan apa to? Kulihat mukanya bertambah lucu.
Setelah celingukan seolah melihat warga lain, ia bilang,”So pasti makan sagu...” Aku tahu ia mulai
terjerat. Langsung saja aku tarik jerat agar mudah memelintir lehernya. Setsetsssttt...(TANGAN
SEPERTI MELEMPAR JERAT LALU MENARIKNYA). Ketika lehernya

cukup dekat aku katakan kepada dia, nah Bapak dan Mama saja makan sagu, kenapa kita orang
tidak? Ia coba menjawab dengan memelas,”Orang Jawa so bilang, kalau kau berhenti makan itu

sagu dan mulai makan beras, kau pasti modern, tidak lagi disebut primitif. Kami di sini semua ingin
jadi orang modern to.”

Bapak Tibo, jadi modern tak harus makan itu beras. Orang Belanda tak makan beras, tapi makan roti
dari gandum, karena gandum hidup di tanah Belanda. Nah, kalau di tanah Papua ini tumbuh sagu
kenapa kita tidak makan sagu saja? Kita bisa olah sagu jadi roti. Begitu kah?

“Mana pula bisa begitu” Tiba-tiba orang yang tadi diam saja bicara. Aku sungguh ingat, dialah lelaki
yang datang Puskesmas malam-malam membawa seseorang yang terluka. Ia menggendongnya.
Katanya, “Dokter jangan banyak tanya, obati saja dia.”

Aku minta kepadanya membaringkan lelaki yang luka itu di sini, di bangku ini. Aku lihat darah
mengucur dari dada kirinya. Lukanya cukup parah. Aku tahu ini luka tembak. Ada peluru bersarang di
tubuhnya. “Bapak, dia harus operasi. Saya tidak punya alat. Jadi Bapak harus bawa dia ke Rumah
Sakit Kabupaten.”

“Saya sudah bilang, kau obati saja. Jangan banyak tanya apalagi kasi itu perintah.” Ketika
mengatakan itu, ia mulai mengacungkan sebuah senjata. Aku sedikit gugup, tapi coba
kusembunyikan dengan memasang muka serius seperti dokter

pada umumnya. Mungkin begini ya, muka serius seorang dokter. (MEMPERLIHATKAN MUKA SERIUS
KEPADA PENONTON)

Beginikah?

“Kalau Bapak tunjuk itu senjata saya tidak bisa bekerja.

Bapak duduk sudah di sana, saya akan keluarkan itu peluru dengan pisau kurang steril, maukah?”

Spontan ia jawab,”Itu terserah, kau dokternya. Sudah saya bilang kan, jangan banyak tanya.”

Untung peluru tidak terlalu dalam masuk ke dalam dada lelaki itu. Meski begitu aku tetap
membiusnya. Dengan

menggunakan pisau bedah seadanya aku berhasil mengeluarkan


peluru. Ketika mencuci tangan dalam ember di halaman, lelaki itu mengejar,”Jangan Dokter kasi
mati itu teman. Kenapa dia tidak bergerak? Saya bisa kasi mati juga sama Dokter. Tolong hidupkan
lagi...” Senjatanya kembali ia todongkan kepadaku. Kali ini aku sudah benar-benar menguasai
keadaan.

Kukatakan, “Bapak, tidak banyak gunanya bertempur di gunung-gunung. Mari sini gabung sama
orang kampung.

Kita sama-sama hidup sama orang kampung, sama Republik. Bertempur sama tentara cuma akan
hasilkan kematian.” Tanpa kuduga senjatanya ia simpan ke dalam tas nokennya. Kulihat temannya
mulai sadar. Ia kembali menggendong temannya dan pergi menghilang dalam kegelapan malam.

(KEPADA PENONTON) Aku lanjutkan lagi kisahku dengan orang yang datang malam-malam itu ya?
Kau ada setujukah? Lalu dia bilang begini, “Sagu kami sudah habis dimakan tentara, apa yang bisa
diolah jadi roti.”

Bagaimana kalau besok pagi kita sama-sama ke hutan cari sagu dan kita olah jadi roti. Bagaimana
Bapak Tibo, Bapak setujukah?

Kami memang kemudian sama-sama ke hutan. Tapi alangkah kagetnya, pohon sagu sudah hampir-
hampir tak ada lagi. Lahan sagu yang kutahu dulu menghampar di sini, sudah berubah jadi hamparan
sawit yang begitu luas. Waktu itu, Bapak Tibo dan sebagian besar warga desa langsung berbalik arah
dan tidak mengatakan apa-apa.

Sejak itulah sikapnya mulai mengeras. Ia tetap ngotot ingin makan beras. Dan pemerintah di Jawa
harus bertanggung jawab pada keadaan di sini. Seluruh tragedi kekurangan gizi di sini, itu karena
pemerintah di Jawa telah mengganti sagu dengan beras. Padahal beras tak pernah ditanam di sini,
sehingga harus selalu didatangkan dari luar pulau.

(KEMBALI SEPERTI MENDENGAR ADA YANG BICARA DI

LUAR HALAMAN PUSKESMAS) Apa? Mau melahirkan? Kenapa tidak langsung masuk saja ke
Puskesmas. Mari Bapak, Mama, setiap kelahiran apapun keadaannya harus diberi kesempatan untuk
hidup. Hidup? (JEDA SEPERTI MEMIKIRKAN APA YANG BARU SAJA IA KATAKAN) Di situlah, terus
terang aku merasa gagal sebagai dokter yang dikirim jauh-jauh dari tanah Jawa sampai ke
pedalaman Papua. Di sini, di tengah-tengah kekayaan alam yang berlimpah, mengapa tragedi gizi
buruk itu bisa terjadi? Sungguh tak bisa kunalar dengan logika kepala. Sudah kucoba menjadikan
kematian demi kematian sebagai energi untuk bertahan. Tetapi bukan kematian benar yang
kutangisi, hidup menderita di tengah kelimpahan berkah itulah yang jadi soal sekarang. Bagaimana
mungkin di surga terjadi kelaparan?

Sampai suatu hari seorang transmigran asal Bali, yang tinggal tak jauh dari desa ini menyentak
hidupku. Ia kebetulan kemari untuk berobat karena di desanya belum ada Puskesmas.

Ia cuma bilang,”Hidup itu harus menanam, tak bisa langsung memetik hasil.” Kalimat ini begitu
sederhana, tetapi membuatku berpikir sepanjang malam. Warga di sini dulu memang sebagian hidup
dari menangkap ikan di sungai dan sebagian lagi mencari sagu untuk dijual. Tetapi setelah sungai
tercemar karena limbah sawit dan pohon sagu menyusut karena pembukaan perkebunan,
kehidupan warga benar-benar morat-marit. Dengan sedih harus kuceritakan kepadamu, duh anak-
anak cuma disuguhi batok dan sabut kelapa muda. Para orangtua cuma makan buah nipah yang
banyak tumbuh di rawa-rawa. Itu pun kalau masih ada.

Itulah, seperti yang sudah kau baca kemudian di koran- koran dan viral di media sosial, desa ini
dilanda bencana gizi buruk. Aku merasa harus bertanggung jawab atas kejadian ini. Rencana semula
ingin pulang ke Jawa tahun ini untuk menjenguk ibu yang makin uzur, aku batalkan. Aku merasa
harus di sini bersama-

sama warga, melalui segala kesulitan. Kebersamaan jauh lebih

dibutuhkan dalam kesengsaraan hidup.

Aku tahu, Bapak Tibo tidak pernah sepaham denganku.

Tetapi di ujung penderitaan hanya kebersamaan yang bisa menyelamatkan hidup kita.

“Dokter Rahayu,” katanya suatu hari. “Masih untung kami

punya dokter. Beras tidak penting lagi karena kami bisa hidup dari apa saja. Ini kami ada bawa
hipere. Kami tahu Dokter juga sudah

lama tidak makan beras. Silakan Dokter.”

Aku kaget bukan main. Ia bawakan aku segenggam ubi. Ini makanan paling mewah di saat-saat
begini. Belum sempat aku tanyakan dari mana ia peroleh hipere itu, Bapak Tibo berkata lagi,”Nanti
malam kami ada gelar bakar batu, kami undang Dokter ke desa.” Setelah itu Bapak Tibo pergi begitu
saja. Aku berdiri terpaku di halaman Puskesmas. Kepala Suku yang kupikir kaku dan main kuasa itu,
menyimpan kebaikan yang selama ini tidak pernah diperlihatkannya.

Sepanjang hari itu aku berpikir, tradisi bakar batu biasanya digelar sebagai ucapan rasa syukur dan
menyambung tali silaturahim warga. Berarti ada hal yang istimewa sudah terjadi.

“Tenang Dokter, kami tahu Dokter orang Muslim. Jadi kami tidak pakai itu babi. Kami cuma bakar
daun dan hipere,” kata Bapak Tibo. Ia menyambutku di gerbang kampung. Sebelum benar-benar tiba
di tengah-tengah desa, aku bertanya kepada Bapak Tibo.

“Bapak, jika boleh tahu, dari mana seluruh hipere yang dipakai bakar batu?” Bapak Tibo hanya
tersenyum. Ia tak segera menjawab. Pria berbadan kekar walau usianya sudah di atas 60 tahun itu,
cepat-cepat menuntunku ke dalam kerumunan warga. Di tengah-tengah kampung, warga membuat
lingkaran mengelilingi api. Mereka sedang membakar batu-batu sebesar genggaman orang dewasa.

Kau pasti tidak kenal upacara bakar batu kan? (KEPADA PENONTON). Kalau belum tahu juga,
sekarang mudah. Silakan

klik situs pencari di internet, silakan baca ya. Aku tak mau monolog ini berpanjang-panjang berkisah
tentang bakar batu. Aku cuma ingin katakan, di tengah kerumunan warga itu terdapat orang- orang
yang berasal dari luar kampung. Mereka dengan cekatan melakukan pekerjaan bakar batu, lalu
memasukkan hipere dan dedaunan hutan sebagai sayurnya. Aku tahu, tradisi bakar batu lebih
banyak dilakukan oleh suku-suku di pegunungan Jayawijaya, karena mereka penghasil hipere.
Di antara kerumunan warga lokal yang malam itu tanpa baju, tiba-tiba aku menangkap sosok-sosok
berbeda. Seseorang di antaranya kukenali sebagai transmigran asal Bali. Dia yang dulu pernah
berobat ke Puskesmas. Ia ditemani oleh 5 orang lainnya.

Mungkin sesama warga transmigran.

“Silakan Dokter. Saya kenalkan ini orang yang kasi kita selamat dari kelaparan,” kata Bapak Tibo.
Setelah memberi salam kepada para transmigran dan para pemuka suku pedalaman, aku
bertanya,”Jadi Bapak yang sudah membawa hipere ke kampung ini?”

Seseorang yang berpakaian seperti kepala suku cuma menjawab,”Kami menanam ini semua di Tanah
Papua, tentu untuk orang Indonesia,” katanya.

(MENDEKAT KEPADA PENONTON) Nah, sekarang silakan Saudara-saudara maknai sendiri kata-kata
kepala suku dari pedalaman itu…Aku mohon permisi. Ada pasien yang menunggu di luar halaman.

(MEMANGGIL KE LUAR HALAMAN) Bapak, Mama, ayo

masuk sini sudah. Puskesmas ini terbuka untuk siapa saja. Tak perlu takut sama Dokter Jawa…Kita
semua bersaudara to…

(SELESAI)
Nb:”naskah/cerita boleh diringkas oleh peserta,tidak sama persis tidak apa-apa”

:”naskah boleh memilih sendiri dari naskah yang sudah disediakan”

Anda mungkin juga menyukai