Anda di halaman 1dari 58

HAKEKAT GEOGRAFI

Oleh: Mustofa

JURUSAN GEOGRAFI
FAKULTAS ILMU SOSIAL
UNIVERSITAS NEGERI MALANG
2013
A. Sejarah Perkembangan Geografi
Indikator : Menguraikan konsep geografi dari berbagai referensi
Kurikulum

Tujuan : 1. Menjelaskan runtutan sejarah perkemnabangan geografi sebagai sebuah ilmu.


Pembelajaran 2. Merinci periode perkembangan pengetahuan geografi.
3. Mendeskripsikan karakteristik pengetahuan geografi di setiap periode.
4. Mendeskripsikan kondisi peradaban yang melatar belakangi pembentukn
karakteristik pengetahuan geografi di setiap periode.

Abstraksi : Sejarah perkembangan geografi sebagai sebuah ilmu pengetahuan dikelompokkan


Materi menjadi empat periode, yaitu: zaman kuno, era klasik, abad pertengahan, modern, dan
geografi mutakhir. Setiap peiode memeiliki karaktersitik pengetahuan yang khas.
Karakteristik tersebut terbentuk oleh taraf peradaban manusia di setiap zaman.

Kata Kunci : periode, karakteristik, geografi

Peta Konsep Perkembangan Geografi

Periode Kuno Pengetahuan geografi berupa wawasan tidak tertulis

Periode Klasik Pengetahuan geografi dipengaruhi oleh pemikiran filsafat

Perkembangan Pengetahuan geografi berupa deskripsi dari catatan ekspedisi


Abad Pertengahan
Geografi

Era Modern Pengetahuan geografi dipengaruhi oleh fenomena revolusi industri

Geografi Mutakhir Pengetahuan geografi dipengaruhi oeh isu global konservasi alam

Dasar pengetahuan atau pemahaman geografi berasal dari kesadaran manusia


terhadap kondisi lingkungan di sekitarnya. Kesadaran bahwa alam (lingkungan fisik) dapat
mempengaruhi dan dipengaruhi oleh manusia memunculkan pola-pola khas dalam
beradaptasi dan berinteraksi. Kesadaran bahwa sumber daya alam yang dapat mendukung
hidup manusia tidak tersebar secara merata menjadi dasar untuk membangun peta mental
(mind map) untuk memahami letak sumber daya tersebut.
Perkembangan pengetahuan geografi terbangun secara bertahap. Sistematika,
keluasan, dan kedalaman pengetahuan geografi berkembang seiring dengan tingkat kemajuan
peradaban. Disiplin geografi pada mulanya tidak tersusun secara sistematis seperti sekarang
ini. Pengetahuan mengenai suatu wilayah yang meliputi aspek-aspek alamiah dengan isinya,
mula-mula hanya dalam bentuk cerita yang disampaikan oleh seseorang kepada yang lainnya.
Tahapan kemajuan pengetahuan tersebut menjadi dasar dalam menentukan periode
perkembangan disiplin geografi. Secara spesifik tahapan perkembangan geografi
dikelompokkan menjadi lima periode, yaitu: geografi di era kuno, geografi klasik, abad
pertengahan, modern, dan geografi mutakhir.

1 Runtutan Perkembangan Geografi


.

Karakteristik pengetahuan geografi pada periode kuno masih berupa wawasan


yang belum tersusun secara sistematis (metodis). Wawasan tersebut terbentuk dari naluri dan
pengalaman. Pengetahuan mengenai karakteristik suatu wilayah, objek natural yang khas,
dan proses alamiah disampaikan secara lisan (dalam bentuk cerita) dari satu orang kepada
yang lain dan diwariskan ke generasi berikutnya hingga menjadi sebuah tradisi. Contohnya
yaitu wawasan tentang pranoto mongso (penanggalan musim menurut tradisi etnis Jawa) atau
bauernkalendar (penanggalan masa tanam menurut tradisi Jerman). Wawasan tersebut
merupakan bentuk pengetahuan manusia tentang geografi pada periode kuno yang
terwariskan ke generasi saat ini.
Karakteristik pengetahuan geografi periode klasik dipengaruhi oleh paham filsafat
dan sejarah. Pensistematisan pengetahuan geografi di masa itu dipelopori oleh para filsuf di
zaman Yunani Kuno. Melalui pemikiran para filsuf tersebut corak pengetahuan tentang bumi
berubah dari nuansa mitologi menjadi penyelidikan berdasarkan logika yang sistematis dan
metodis. Data yang digunakan oleh para filsuf sebagai bahan penyusunan pengetahuan
geografi, yaitu catatan perjalanan selama ekspedisi. Deskripsi karakteristik geografi suatu
wilayah yang diperoleh dari ekspedisi tersebut, meliputi: kejadian historis, gejala alam,
karakteristik sosial, dan gambaran peta rute perjalanan.
Para filsuf yang menjadi pelopor perkembangan geografi pada periode klasik beserta
rincian hasil pemikirannya diuraikan sebagi berikut.
Thales merupakan tokoh yang pertama kali mengajarkan
kegiatan berfilsafat. Filsuf di era Yunani Kuno tersebut
menjelaskan tentang Bumi dan gejala-gejala di dalamnya
tanpa bersandar pada mitos, melainkan pada rasio manusia.
Thales memeiliki pemikiran bahwa air merupakan bahan
dasar segala sesuatu. Air menjadi pangkal, pokok, dan dasar
dari segala-galanya yang ada di alam semesta. Bumi
merupakan objek yang terletak di atas air atau keluar dari
Thales (624–547 SM)
laut dan kemudian terapung-apung di atasnya.

Anaximandros merupakan tokoh filsuf yang pertama kali


menggambarakan peta bumi. Peta tersebut digambar
berdasarkan rute perjalanan dari Miletos (Yunani)
ke Apollonia di Laut Hitam. Anaximandros memiliki
pemikiran bahwa Bumi pada awalnya dibalut oleh udara yang
basah. Perputaran yang terus-menerus menjadikan air yang
terkandung dalam udara basah tersebut luruh dan
mengendap menjadi air laut. Bumi berbentuk silinder yang
Anaximandros (610–546 SM)
lebarnya tiga kali lebih besar dari tingginya. Bumi tidak jatuh
karena kedudukannya berada pada pusat jagad raya dengan
jarak yang sama dengan semua benda lain.

Herodotus merupakan tokoh filsuf yang di anggap sebagai


ahli sejarah dan geografi. Satu-satunya karya tokoh tersebut,
yaitu buku Historia yang berisi tentang penyelidikan sejarah
perang Yunani–Persia. Informasi geografi yang terdapat
dalam karya tersebut, yaitu catatan tentang etnografi bangsa
Mesir dan gambaran peta dunia. Berdasarkan penyelidikan
terhadap keadaan alam dan etnografi bangsa Mesir,
Herodotus mengemukakan sebuah konsep bahwa
Herodotus (484–425 SM)
perkembangan masyarakat berhubungan erat dengan
dengan faktor-faktor geografis. Peta yang digambarkan
Herodotus membagi dunia menjadi tiga region, meliputi:
kawasan Eropa, Asia, dan Libya (Afrika).

Heraclides Ponticus merupakan tokoh filsuf yang pertama


kali mencetuskan teori heliosentris. Heraclides berpendapat
bahwa Bumi, Venus, dan Merkurius bergerak mengelilingi
Matahari. Selain bergerak mengelilingi Matahari, Bumi juga
berputar pada porosnya dengan pola perputaran dari barat ke
timur. Gerak rotasi Bumi tersebut menyebabkan bintang-
bintang di langit seolah-olah bergerak atau berpindah-pindah
posisinya.
Heraclides Ponticus
(310–390 SM)

Pytheas merupakan tokoh filsuf yang pertama kali melakukan


penyelididkan kondisi geografis kawasa Arktik (kutub utara).
Berdasarkan hasil ekspedisi tersebut Pytheas mengemukakan
dua temuan yang menjadi dasar bagi perkembangan disiplin
geografi modern. Temua pertama yaitu tentang pemikiran
bahwa pasang surut air laut disebabkan oleh gaya gravitasi
bulan. Temuan kedua yaitu perbedaan waktu antara siang dan
malam di daerah kutub. Di musim panas, waktu malam di
Pytheas (350–285 SM) daerah kutub lebih pendek di bandingkan waktu siang. Di
musim dingin kondisi itu berlaku sebaliknya, waktu malam di
daerah kutub lebih panjang di bandingkan waktu siang.

Dicaearchus merupakan tokoh filsuf Yunani Kuno yang


pertama kali menggambarkan peta dunia dengan jaring-jaring
koordinat. Dalam karyanya yang berjudul Circuit of the Earth,
Dicaerchus mendeskripsikan cara pembuatan jaring-jaring
derajat pada peta berdasarkan pengukuran sudut pancaran
sinar matahari yang jatuh ke permukaan bumi. Pembuatan
jaring-jaring koordinat tersebut menjadi dasar bagi para
ilmuwan di zaman modern dalam menggambarkan peta yang
Dicaearchus (350–285 SM) akurat.
Eratosthenes merupakan tokoh filsuf Yunani Kuno yang
pertama kali mencentuskan istilah geographein untuk
mendeskripsikan dan menggambarkan Bumi. Beberapa
temuannya, yaitu: perhitungan keliling bumi, kemiringan
sumbu bumi, jarak dari bumi ke matahari, perhitungan hari
kabisat, penggambaran peta dunia yang dilengkapi dengan
sumbu paralel dan meridian. Semua tata cara perhitungan
yang dirumuskan Eratosthenes tersebut digunakan oleh para
Eratosthenes (276 –195 SM)
ilmuwan di zaman modern.

Strabo merupakan seorang ahli sejarah dan geografi di


eraYunani Kuno. Pemikiran geografis yang dikemukakan
Strabo bersifat ”determinis lingkungan” (environmental
determinism). Kondisi lingkungan berpengaruh terhadap
pembentukan karakteristik kebudayaan. ”Atribut alamiah
suatu tempat” (natural attributes of place) yang
mempengaruhi kultur manusia, meliputi: lokasi, karakteristik
wilayah, dan hubungan antarwilayah. Pemikiran Strabo
Strabo (63 SM–24 M)
tersebut menjadi dasar bagi para ahli geografi di zaman
modern dalam merumuskan konsep regional.

Claudius Ptolomaeus merupakan ahli astronomi dan geografi


yang pertama kali memperkenalkan penggolongan iklim.
Klasifikasi iklim tersebut didasarkan pada penghitungan lama
penyinaran matahari di setiap wilayah. Zonasi iklim yang
diklasifikasikan oleh Claudius Ptolomaeus terdiri dari 39
climata, dimulai dari khatulistiwa hingga kawasan kutub.

Claudius Ptolemaeus
(90–168 M)

Karakteristik pengetahuan geografi abad pertengahan berupa deskripsi yang


berasal dari catatan perjalanan: para pedagang dalam menemukan rute perdagangan
antarbenua, para misionaris dalam menyebarkan agama di daerah-daerah baru, dan
penjelajahan tentara dari kerajaan-kerajaan besar di Eropa dalam mencari kawasan koloni.
Catatan perjalanan jalur darat ”Jalan Sutera” (rute perdagangan antara Tiongkok dengan
Timur Tengah) dan laporan pelayaran antarbenua merupakan sumber materi geografi yang
sangat berharga. Deskripsi tentang karakteristik daerah-daerah baru yang ditemukan oleh
para penjelajah dan konsep geografi yang bersifat matematis menjadi tolok ukur
perkembangan pengetahuan geografi pada masa itu atau diistilahkan dengan ”Revolusi
Geografi.”
Para penjelajah dan ilmuwan yang menjadi pelopor perkembangan geografi periode
abad pertengahan beserta rincian hasil pemikirannya diuraikan sebagai berikut.
Marco Polo merupakan seorang pedagang dari Venesia
(Italia) yang melakukan penjelajahan hampir ke seluruh Asia.
Pada masa itu bangsa Eropa tidak mengenal tentang Asia,
sehingga catatan perjalanannya merupakan referensi geografi
yang berharga. Deskripsi Marco Polo tentang Cina, Mongolia,
India, dan kawasan Asia lainnya menjadi rujukan bagi para
ilmuwan Eropa untuk mempelajari kebudayan bangsa-bangsa
di Asia. Pada masa kini, catatan perjalanan Marco Polo
Marco Polo (1254–1324)
menjadi referensi untuk mengkaji sejarah kerajaan besar di
Asia yang telah punah.

Batholomeus Diaz merupakan bangsawan kerajaan Portugis


yang melakukan penjelajahan dari Laut Mediteran hingga ke
Semenanjung Harapan (Afrika Selatan). Pada masa itu
pemahaman bangsa-bangsa Eropa terhadap geografi benua
Afrika, hanya sebatas pada keadaan alam Mesir dan Libya.
Catatan perjalanan Batholomeus Diaz merupakan referensi
geografi yang berharga bagi para ilmuwan Eropa untuk
memahami kondisi budaya dan bentang alam benua Afrika
Batholomeus Diaz
(1451–1500) bagian selatan.
Christopher Columbus merupakan seorang penjelajah dan
pedagang dari Genoa (Italia). Perjalannanya dalam mencari
”dunia baru” (wilayah di luar Eropa) menunjukan hasil yang
gemilang ketika menemukan benua Amerika. Catatan
perjalanan beserta perhitungan navigasi yang dituliskan
Colombus menjadi rujukan bagi pelayaran berikutnya menuju
”dunia baru.” Pendaratan Colombus ke Amerika merupakan
tonggak sejarah atau awal dimulainya ekspansi bangsa-
Christopher Columbus
(1451–1506) bangsa Eropa ke Amerika.

Ferdinand Magelhaens merupakan manusia pertama yang


berhasil mengelilingi dunia. Pelayaran yang dipimpinnya
menempuh rute yang belum pernah dilalui oleh pejelajah
Eropa lainnya, yaitu menyusuri pantai timur benua Amerika–
mengarungi perairan Antartika (Kutub Selatan)–melintasi
Kepulauan di Oceania dan Asia Tenggara. Catatan perjalanan
beserta perhitungan navigasi yang dituliskan Magelhaens
selam berlayar mengelilingi dunia menjadi rujukan bagi
Ferdinand Magelhaens
(1480–1521) pelayaran bangsa-bangsa Eropa menuju sumber rempah-
rempah di kawasan Asia Tenggara.

Pemikiran Nicolaus Copernicus yang paling fundamental


dalam bidang sains, yaitu pengembangan teori
heliosentrisme. Teorinya tentang Matahari sebagai pusat
Tata Surya menyanggah keseluruhan substansi teori
geosentris tradisional yang menempatkan Bumi di pusat alam
semesta. Teori yang dikemukakan Copernicus dianggap
sebagai salah satu penemuan yang terpenting sepanjang
masa dan merupakan fundamental bagi revolusi sains
Nicolaus Copernicus
(1473–1543) modern.

Karakteristik pengetahuan geografi modern telah berkembang menjadi displin


ilmiah yang terklasifikasikan dalam beberapa bidang, misalnya: geografi fisik, lingkungan,
dan budaya. Perkembangan geografi pada periode ini dipengaruhi oleh fenomena revolusi
industri di negara-negara Eropa dan Amerika. Para ilmuwan cenderung memusatkan
pengkajian geografi pada aspek perubahan sosial dan eksplorasi sumberdaya alam yang dapat
mendukung aktivitas industri. Contoh aspek perubahan sosial yang banyak dikaji oleh para
geograf pada periode ini, yaitu fenomena urbanisasi dan perubahan kararakterisktik
masyarakat agraris menjadi masyarakat industri. Contoh aspek fisik yang banyak dikaji oleh
para geograf pada periode ini, yaitu pencarian bahan-bahan mineral tambang yang dapat
digunakan sebagai bahan baku industri.
Para ilmuwan yang menjadi pelopor perkembangan geografi modern beserta rincian
hasil pemikirannya diuraikan sebagai berikut.
Immanuel Kant dipandang sebagai filsuf yang merumuskan
dasar-dasar geografi modern. Pemikiran geografis yang ia
dikemukakan mempengaruhi pola pikir ilmuwan lainnya.
Menurut Kant, geografi merupakan ilmu pengetahuan yang
mempelajari fakta yang berasosiasi dalam ruang. Bidang
kajian ilmu tersebut, meliputi: geografi fisik, matematika,
moral, politik, perdagangan, dan teologis.
Immanuel Kant (1724-1804)

Alexander Baron Van Humboldt dianggap sebagai ilmuwan


yang merumuskan dasar-dasar geografi fisik. Temuan yang
diperoleh dari hasil ekspedisi di kawasan Amerika Selatan,
meliputi: deskripsi kondisi iklim regional, penyelidikan
terhadap penyebab timbulnya badai tropis, persebaran
tumbuhan, dan penelitian tentang gunung-gunung berapi di
benua tersebut. Pemahaman Humboldt terhadap fenomena
alam berifat holistik dengan cara menjelasakan keterkaitan
Alexander Baron Van
Humboldt (1769–1859) berbagai unsur-unsur lingkungan. Pemikiran tersebut
diadaptasikan oleh para ahli geografi sebagai pendekatan
kelingkungan.
George Peskins Marsh merupakan ilmuwan geografi yang
memiliki perhatian khusus terhadap pentingnya
mengkonservasi sumberdaya alam. Pemahaman Marsh
terhadap hubungan anatra manusia dengan lingkungan
bersifat posibilis. Pengaruh manusia lebih besar terhadap
kondisi lingkungan, dibandingkan dengan pengaruh
lingkungan terhadap manusia.
George Peskins Marsh
(1801–1882 )

Ferdinand von Richthofen merupakan ilmuwan geografi yang


merumuskan prinsip korologi. Pemaham Richthofen terhadap
fenomena geografi di suatu wilayah dapat disebabkan oleh
interaksi berbagai faktor, meliputi: susunan keruangan, fisik,
biotik, dan manusia. Untuk dapat memahami suatu
fenomena secara utuh, masing-masing faktor tersebut perlu
dikaji secara teliti dan diuraikan hubungan antarfaktor.
Ferdinand von Richthofen
(1833–1905)

Alfred Hettner merupakan ilmuwan geografi yang


merumuskan konsep asosiasi keruangan. Menurut Hettner,
pemaham terhadap fenomena yang terjadi di suatu wilayah
dapat dilakukan dengan cara: mengenali keadaan fisik,
manusia, perbedaan karakteristik keruangan, dan relasi
antarruang. Hal itu bertujuan untuk mengetahui karaketristik
wilayah secara menyeluruh dan intensitas hubungan
kerjasama antarwilayah dalam sudut pandang regional.
Alfred Hettner (1859–1941 )
Paul Vidal de la Blache merupakan ilmuwan geografi yang
merumuskan gagasan genre de vie, yaitu keterkaitan antara
lingkungan alam dengan cara hidup manusia. Cara hidup yang
di wujudkan dan bentuk sistem sosial pada dasarnya
merupakan metode yang dikembangkan manusia untuk
beradaptasi dengan lingkungan. Interaksi secara
berkelanjutan antara manusia dengan lingkungan dapat
mengubah keseluruhan kondisi suatu wilayah dan
Paul Vidal de la Blache
(1854–1918) membentuk suatu ciri khas yang tidak dimiliki oleh wilayah
lain.

Karakteristik pengetahuan geografi mutakhir cenderung bersifat kuantitatif. Hasil


analisis geografi diwujudkan dalam bentuk perhitungan statistik. Penggunaan citra satelit
sebagai alat bantu penggalian data dan piranti komputer sebagai alat bantu analisis menjadi
kebutuhan utama bagi para geograf dalam mengkaji suatu masalah. Pengkajian geografi pada
periode ini berorientasi pada masalah interaksi antara manusia dengan lingkungannya.
Semenjak terjadi revolusi industri di negara-negara Eropa dan Amerika pada abad ke-19,
peradaban manusia berubah dari pola determinis (dipengaruhi oleh lingkungan) menjadi
posibilis (mempengaruhi lingkungan). Perubahan pola interkasi tersebut menjadi awal
perubahan kondisi lingkungan fisik secara regional maupun global. Pengkajian para geograf
terhadap perubahan atau kerusakan lingkungan ditujukan untuk: menemukan metode
pengelolaan sumber daya alam yang ramah lingkungan, pengendalian kerusakan lingkungan,
penataan perilaku sosial agar laju kerusakan lingkungan dapat diperlambat, dan mencari
sumber energi alternatif yang ramah lingkungan.
Sintesis (makna inti) yang diperoleh dari uraian tentang sejarah perkembang
geografi, yaitu penyempurnaan geografi sebagai sebuah displin ilmiah dilakukan secara
bertahap, berkelanjutan, dan berlangsung dalam jangka waktu yang lama. Karakteristik
pengetahuan geografi dipengaruhi oleh taraf peradaban dan isu-isu global yang populer di
setiap era. Pengetahuan geografi di zaman kuno berupa wawasan yang terwariskan ke setiap
generasi secara lisan (tidak tertulis), karena peradaban manusia di masa itu masih belum
mengenal bahasa tulis. Pengetahuan geografi periode klasik dipengaruhi oleh perubahan pola
pikir manusia dari dogma mitos menjadi rasional berlandaskan filsafat. Pengetahuan geografi
abad pertengahan dipengaruhi oleh upaya-upaya manusia dalam mencari ”dunia baru.”
Pengetahuan geografi modern dipengaruhi oleh isu global ”revolusi industri.” Pengetahuan
geografi mutakhir dipengaruhi oleh isu global konservasi sumberdaya alam untuk
pembangunan berkelanjutan. Karakteristik pengetahuan geografi di masa mendatang
diperkirakan akan mengalami perubahan menyesuaikan pasang-surut peradaban manusia dan
isu global yang muncul di kemudian hari.

2 Perkembangan Geografi di Indonesia


.

Wawasan geografi kuno pada dasarnya telah dikenal oleh masyarakat Indonesia
melalui tradisi yang diwariskan dari generasi ke generasi. Wawasan tersebut tidak
dirumuskan dalam catatan tertulis, sehingga belum dapat dikatakan sebagai sebuah displin
ilmiah. Secara spesifik bentuk tradisi yang mengandung wawasan geografi, yaitu kearifan
lokal yang dimiliki oleh setiap etnis. Salah satu contoh kearifan lokal yang berwawasan
geografi (berwawasan lingkungan) yaitu konsep pranata mangsa dalam budaya Jawa.
Masyarakat petani Jawa Kuno menjadikan konsep itu untuk menjadwalkan kegiatan bercocok
tanam ataupun panen. Petani melaksanakan panen pada mangsa kasanga (bulan Maret)
bertepatan dengan migrasi musiman ular dan burung pemakan serangga yang merupakan
predator bagi tikus dan wereng. Konsep ini akan menghasilkan keseimbangan lingkungan
yang efektif. 
Pengetahuan geografi modern mulai berkembang di Indonesia pada zaman
penjajahan Belanda. Pada waktu itu, disiplin ilmu geografi dikenal dengan nama
Aardrijskunde. Transfer pengetahuan geografi modern kepada para pelajar Indonesia tidak
dilakukan melalui pendidikan khusus. Para ilmuwan Belanda yang melakukan penyelidikan
sumber daya alam Indonesia menjadikan para pelajar pribumi sebagai penunjuk jalan ataupun
asisten. Melalui cara itu pengetahuan geografi modern ”terwariskan” kepada pelajar
Indonesia.
Pembelajaran geografi mulai diterapkan di jenjang pendidikan dasar–menengah–dan
tinggi pada tahun 1955. Pada waktu itu pembelajaran geografi di Indonesia di kenal dengan
nama ”ilmu Bumi.” Hampir seluruh referensi pembelajaran geografi di masa itu berasal dari
peninggalan ilmuwan Belanda. Satu-satunya referensi pembelajaran geografi yang disusun
oleh ilmuwan Indonesia (Adi Negoro, Adam Bachtiar, dan Soetopo), yaitu buku Atlas
Semesta Dunia dan Atlas Semesta Dunia untuk Sekolah Landjutan. Penggunaan istilah ”ilmu
Bumi” sebagai sinonim dari pembelajaran geografi berubah setelah diadakan Seminar
Geografi di Semarang pada tahun 1972. Dari hasil seminar tersebut disepakati bahwa
geografi didefinisikan sebagai ilmu tata ruang, sedangkan ilmu Bumi merupakan sinonim dari
displin geologi.
Geo Info
Zaman Kegelapan (Dark Age) dan Surutnya Perkembangan Geografi
”Zaman kegelapan” merupakan istilah yang umum digunakan oleh para sejarawan
dunia untuk menggambarkan kondisi masyarakat Eropa di abad ke 2 (tahun 200 M) hingga
abad ke 12 (1.200 M). Tonggak sejarah era itu dimulai dari peristiwa runtuhnya kekaisaran
Romawi akibat invasi barbar (serangan bangsa Jermanik dan Viking). Runtuhnya kekaisaran
Romawi tersebut diiringi dengan ”runtuhnya peradaban” era kuno. Ilmu pengetahuan tidak
berkembang dan tidak ada catatan sejarah yang yang menunjukkan kemajuan peradaban.
Doktrin gereja merupakan salah satu bentuk kekuatan baru yang muncul di ”zaman
kegelapan.” Revolusi spiritual dari penyembahan Matahari (paganis) menjadi penyembahan
Kristus menyebabakan doktrin gereja semakin mendominasi semua aspek kehidupan
masyarakat Eropa di masa itu. Ilmu pengetahuan semakin surut karena semua referensi
pengetahuan hanya merujuk pada teologi (ajaran ketuhanan dalam agama Kristen). Temuan-
temuan ilmiah yang tidak sesuai dengan ajaran itu dianggap kebohongan dan pelecehan
agama. Para ilmuwan, pemikir, seniman, ataupun filsuf yang berupaya meluruskan pemikiran
tersebut dihukum gantung ataupun dibakar hidup-hidup karena dianggap sebagi ”penyihir.”
Salah satu contohnya yaitu Galileo Galilei yang dihukum gantung karena mengemukakan
teori heliosentris (Bumi berputar mengelilingi Matahari).
Perubahan kiblat pengetahuan di masa itu berubah dari Eropa ke daerah Timur
Tengah. Kemajuan ilmu pengetahuan dipelopori oleh para ilmuwan muslim, misalnya: Ibnu
Sina, Al-Biruni, dan Ibnu Khladun. Kemajuan di bidang pengetahuan geografi dapat
dikatakan melebihi perkembangan di masa kuno. Temuan para ilmuwan muslim di bidang
tersebut semakin rinci dan rasional. Perkembangan ilmu pengetahuan di daerah Timur
Tengah mulai surut ketika terjadi Perang Salib pertama (1095–1099). Kekalahan muslim
pada perang tersebut menjadikan semua aset kebudayaan ”disita.” Temuan-temuan ilmiah
para ilmuwan muslim diakuisisi oleh bangsa-bangsa Eropa dan dijadikan sebagai rujukan
pengembangan pengetahuan di masa Reinasannce (era kelahiran kembali kebudayaan Eropa).
(sumber rujukan, http//:www.en.wikipedia.org, www.britanica.com, www.bbc.co.uk)
TUGAS INDIVIDU
1. Carilah literatur tentang perkembangan geografi di setiap periode!
2. Pilih salah satu tokoh yang anda sukai dan deskripsikan bentuk temuan atau
pemikiran geografi yang dikemukakan oleh tokoh tersebut!
3. Tuliskan laporan hasil pengkajian literatur yang telah Anda lakukan dan presentasikan
di depan kelas!
B. Landasan Geografi
Indikator : Mendeskripsikan objek studi geografi.
Kurikulum Menentukan ruang lingkup geografi.
Mengidentifikasi prinsip- prinsip geografi.
 Merumuskan konsep geografi dalam kajian geografi.

Tujuan : 1. Memahami pemikiran filosofis yang menjadi landasan geografi sebagai sebuah ilmu
Pembelajaran pengetahuan
2. Menjelaskan definisi geografi
3. Mendeskripsikan objek material geografi
4. Menjelaskan lingkup kajian geografi
5. Mendeskripsikan objek formal geografi
6. Memahami makna dan fungsi pendekatan georafi
7. Menerapkan pendekatan geografi
8. Memahami makna dan fungsi prinsip geografi
9. Menerapkan prinsip geografi
10. Memahami makna dan fungsi konsep geografi
11. Menerapkan konsep geografi

Abstraksi : Geografi merupakan ilmu yang mengkaji fenomena geosfer dengan pendekatan
Materi ekologikal dan kewilayahan dalam konteks keruangan. Aspek yang membedakan antara
geografi dengan disiplin ilmu lain, yaitu: objek material, objek formal, dan praktek
pemecahan masalah. Dalam sudut pandang filsafat ilmu ketiga hal tersebut
merepresentasikan: ontologi, epistimologi, dan aksiologi.

Kata Kunci : objek material, objek formal, manfaat praktis

Peta Konsep Filsafat Ilmu Geografi

Ontologi Objek Material Geografi

Landasan Geografi Epistimologi Objek Formal Geografi

Aksiologi Manfaat Praktis Geografi

Landasan geografi sebagai sebuah ilmu didasarkan pada tiga aspek filosofis, yaitu:
ontologis (hal yang dikaji), epistimologi (cara mengkaji), dan aksiologi (manfaat pengkajian).
Ontologi ilmu geografi diwujudkan dalam bentuk objek material geografi. Epistimologi ilmu
geografi diwujudkan dalam bentuk objek formal geografi. Aksiologi ilmu geografi
diwujudkan dalam bentuk praktek pemecahan masalah menggunakan metode analisa
geografi. Ketiga aspek itu menjadi identitas khas geografi sebagai sebuah bidang ilmiah yang
berbeda dengan disiplin ilmu yang lain. Penjelasan spesifik tentang ketiga aspek filosofis
geografi tersebut diuraikan sebagai berikut.
1 Definisi Geografi
.

Istilah geografi berasal dari kata dasar geo dan graphein (dalam bahasa Yunani
Kuno). Kata geo berarti ”bumi” dan graphein berarti ”menulis” atau ”menjelaskan.” Makna
yang diperoleh dari penggabungan dua kata dasar itu dapat menjadi gambaran umum bahwa
geogarfi merupakan ilmu yang bertujuan untuk mendiskripsikan bumi. Definisi secara
kebahasaan tersebut belum dapat digunakan sebagai kesimpulan, karena makna ”ilmu yang
mendiskripsikan bumi” masih samar (belum operasional) dan ambigu (memiliki maksud yang
hampir sama) dengan: ilmu bumi (geologi), ilmu bentang alam (geomorfologi), ataupun
teknik penggambaran bentuk muka bumi (geodesi). Ketiga displin ilmu tersebut juga
mempelajari tentang bumi. Untuk mengantarkan pada pemahaman tentang definisi geografi
secara spesifik diperlukan beberapa referensi sahih.
Referensi yang dapat mengantarkan pada pemahaman definisi geografi secara
spesifik, yaitu beberapa pendapat dari para ahli yang diuraikan sebagai berikut.
Definisi geografi menurut Carl Ritter, yaitu ”geography to
study the earth as the dwelling-place of man.” Geografi
mempelajari bumi sebagai tempat hidup manusia. Pengkajian
terhadap aspek fisik Bumi untuk mempersiapkan kondisi
lingkungan yang sesuai bagi manusia.

Carl Ritter (1779–1859 )

Definisi geografi menurut Ferdinand von Richthofen, yaitu


”geography is the study of the earth surface according to its
differences, or the study of different areas of the earth
surface…, in term of total characteristics.” Geografi adalah
studi tentang permukaan Bumi atau studi tentang perbedaan
karakteristik setiap tempat di permukaan bumi. Perbedaan
karkteristik tersebut ditunjukan dengan variasi fenomena
yang terjadi di setiap wilayah.
Ferdinand von Richthofen
(1833–1905)

Definisi geografi menurut Paul Vidal de la Blache, yaitu


”geography is the science of places, concerned with qualities
and potentialities of countries.” Geografi merupakan ilmu
yang mempelajari tentang kualitas dan potensi-potensi yang
membentuk karakteristik suatu tempat. Potensi tersebut
berupa keadaan alam dan kondisi sosial–ekonomi–dan
ideologi masyarakat.
Paul Vidal de la Blache
(1854–1918)

Definisi geografi menurut Preston Everett James, yaitu


”geography has sometimes been called the mother of
sciences, since many fields of learning that started with
observations of the actual face of earth turned to the study of
specific processes whereever they might be located.” Geografi
merupakan ilmu pengetahuan yang didasarkan pada
pengamatan terhadap kenampakan bentuk muka bumi dan
segala proses yang berlangsung di suatu tempat. Secara
Preston Everett James
(1899–1986) spesifik definisi tersebut dimaknai sebagai keterkaitan antara
gejala dengan unsur fisik dalam konteks ruang.

Definisi geografi menurut Richard Hartshorne, yaitu


”geography is that discipline that seeks to describe and
interpret the variable character from place to place of earth
as the world of man.” Geografi adalah disiplin ilmu yang
berusaha menggambarkan dan menginterpretasikan karakter
variabel dari satu tempat ke tempat bumi sebagai dunia
manusia. Secara spesifik definisi tersebut dimaknai sebagai
keterkaitan antara unsur fisik dengan manusia sebagai satu
Richard Hartshorne
(1899–1992) kesatuan properti keruangan.
Definisi geografi menurut Bintarto, ”geografi adalah ilmu
pengetahuan yang mencitra, menerangkan sifat bumi,
menganalisis gejala alam dan penduduk serta mempelajari
corak khas mengenai kehidupan dan berusaha mencari fungsi
dari unsur bumi dalam ruang dan waktu.” Secara spesifik
definisi tersebut dimaknai sebagai hubungan antara unsur
fisik dengan manusia yang membentuk suatu gejala di dalam
suatu wilayah/ruang.
Bintarto(1930–2006)

Hasil seminar dan Definisi geografi hasil kespakatan para ahli, ”geografi adalah
lokakarya Ikatan Geograf ilmu yang mempelajari persamaan dan perbedaan fenomena
Indonesia di Semarang geosfer dengan sudut pandang kewilayahan atau
(1988) kelingkungan dalam konteks keruangan.”

Reduksi (penyederhanaan) pemikiran para ahli tentang definisi geografi yang


diuraikan dalam tabel tersebut diuraikan sebagai berikut.
a. Objek kajian geografi, yaitu fenomena geosfer yang terdiri dari: litosfer, atmosfer ,
hidrosfer, biosfer, dan antroposfer.
b. Cara pengkajian masalah dalam geografi mengunakan pendekatan ekologikal dan
kewilayahan dalam kontek keruangan.
Berdasarkan uraian tentang cara pengkajian dan objek kajian geografi tersebut didapatkan
sebuah definisi yang spesifik bahwa ”geografi merupakan ilmu yang mengkaji fenomena
geosfer dengan pendekatan ekologikal dan kewilayahan dalam konteks keruangan.”
Sintesis (makna inti) yang diperoleh dari definisi tersebut bahwa kekhasan geografi
sebagai sebuah ilmu bukan terletak pada objek materialnya (”apa” yang di kaji), tetapi pada
objek formalnya (”bagaimana” cara mengkaji). Objek yang dikaji dalam geografi ”mungkin”
sama dengan disiplin ilmu yang lain, misalnya kajian tentang biosfer yang juga dipelajari
dalam biologi. Perbedaan kajian geografi dan biologi dalam mengakji biosfer terletak pada
orientasi atau tujuan. Orientasi biologi dalam mengkaji biosfer (tumbuhan dan hewan) untuk
memahami: jenis, pengelompok kekerabatan dengan spesies lain, dan karakteristik
morfologinya. Orientasi geografi dalam mengkaji biosfer untuk memahami: persebaran,
spesies yang terdapat di setiap wilayah, dan perilaku adapatsinya terhadap kondisi
lingkungan.
2 Objek Material Geografi
.

Peta Konsep Objek Material Geografi

Aspek Fisik Bentang Alam (Natural Landscape)


Objek Material
Geografi
Aspek Manusia Bentang Budaya (Cultural Landscape)

Objek material geografi merupakan bentuk dari ontologi atau hal yang dikaji dalam
ilmu geografi. Hal yang dikaji dalam geografi secara umum dibedakan menjadi dua, yaitu
aspek fisik dan aspek sosial. Aspek fisik yang dikaji dalam geografi, yaitu ”bentang alam”
yang terdiri dari komponen: litosfer (relief bumi, mineral, jenis batuan, dan tanah), atmosfer
(cuaca dan iklim), hidrosfer (perairan darat dan laut), serta biosfer (hewan). Aspek sosial
(antroposfer) yang dikaji dalam geografi, yaitu ”bentang budaya” yang terdiri dari unsur:
kondisi sosial, ekonomi, politik, budaya, dan tata ruang. Ditinjau dari spesifikasi kajian
tersebut, objek material geografi relatif kompleks. Agar tidak tumpang tindih dengan kajian
disiplin ilmu yang lain, maka diperlukan pembatasan lingkup kajian.
Batasan atau lingkup kajian terhadap objek material geografi terdiri dari empat hal,
yaitu:
a. Interelasi atau hubungan timbal balik antara aspek sosial (manusia) dengan aspek fisik.
Pengkajian terhadap interelasi manusia–alam didasarkan pada pemikiran bahwa
karakteristik budaya yang berkembang di suatu tempat dipengaruhi oleh kondisi alam di
wilayah tersebut. Begitu pula sebaliknya, kondisi alam di suatu tempat termodivikasi oleh
aktivitas manusia. Untuk mengetahui hubungan timbal balik kedua aspek tersebut, maka
pengakjiannya dilakukan secara proporsional (seimbang) simultan (bersamaan). Hal itu
bertujuan agar diketahui ”bagaimana” determinis alam terhadap manusia dan
”bagaimana” posibilis manusia terhadap alam.
b. Interaksi atau hubungan timbal balik antarfenomena yang menimbulkan gejala baru.
Hubungan antargejala timbul dari hasil korelasi antara: aspek sosial dengan fisik, sosial
dengan sosial, ataupun fisik dengan fisik. Pengkajian terhadap interaksi antarobjek
material (manusia dan alam) dalam geografi didasarkan pada pemikiran bahwa suatu
gejala sosial ataupun fenomena alam tidak terjadi secara parsial (sebab tunggal).
Munculnya masalah baru disebabkan oleh problematika lama yang tidak tertanggulangi
secara tuntas, misalnya peristiwa tanah longsor yang disebabkan oleh aktivitas
pembabatan hutan dan pengelolaan lahan di kawasan berlereng curam yang kurang tepat.
c. Persebaran fenomena geosfer dalam kerangka (konteks) keruangan. Pengkajian terhadap
persebaran tersebut didasarkan pada pemikiran bahwa pola interaksi antara manusia
dengan alam di setiap wilayah tidak sama. Manusia yang tinggal dalam ”lingkup ruang”
Pegunungan akan memiliki pola adaptasi yang berbeda dengan yang tinggal di kawasan
pantai. Berdasarkan pemikiran dasar tersebut, maka fenomena yang menjadi objek
material geografi dikaji dan dikelompokkan berdasarkan konteks ruang atau tempat
”dimana” objek tersebut berada.
d. Kerangka regional atau ciri khusus wilayah yang melatarbelakangi pembentukan ciri
khas suatu objek material. Pengaitan antara objek material dengan kerangka regional
didasarkan pada pemikiran bahwa keberadaan suatu objek (fisik maupun sosial) di suatu
lokasi terkait dengan objek material di lokasi lain. Salah satu contohnya yaitu fenomena
banjir di kawasan hilir sungai yang terbentuk dari limpahan air dari daerah hulu.
Keterkaitan antarwilayah tersebut menjadi landasan pertimbangan bahwa pengkajian
suatu fenomen menurut geografi tidak hanya difokuskan pada lingkup lokal, melainkan
diperluas dalam cakupan regional.
Sintesis (makna inti) yang diperoleh dari uraian tersebut, yaitu objek material dalam
geografi tidak dapat dikaji secara terpisah. Pengkajian terhadap aspek sosial serta fisik
dilakukan secara simultan (bersamaan) dan dikaitkan dengan empat hal yang menjadi
orientasi atau lingkup kajian, meliputi: interelasi, interaksi, persebaran, dan kerangka
regional. Lingkup kajian tersebut merupakan salah satu aspek pembeda antara geografi
dengan disiplin ilmu lain dalam mengkaji suatu objek.

a Aspek Fisik (Geografi Fisik)


.

Peta Konsep Aspek Fisik Geografi

Atmosfer udara, iklim, dan cuaca

Litosfer tanah, batuan, dan bentuk mukan bumi


Aspek Fisik
Hidrosfer perairan darat, laut, dan hujan

Biosfer hewan dan tumbuhan


Aspek fisik yang dipelajari dalam geografi yaitu bentuk dan proses yang terdapat
dalam suatu bentang alam (natural landscape). Komponen yang termasuk dalam natural
landscape, meliputi: lahan (litosfer), air (hidrosfer), hewan-tumbuhan (bisofer), iklim-udara
(atmosfer). Agar mudah diingat, maka komponen tersebut diakronimkan dengan istilah
”LATIHU.” Studi geografi terhadap ”bentuk” komponen natural landscape dimaksudkan
untuk mengkaji karakteristik dan persebarannya. Studi geografi terhadap ”proses” natural
landscape dimaksudkan untuk mengkaji: energi yang mengiringi proses pembentukan, cara
pembentukan, kronologi (runtutan) pembentukan suatu objek alam, dan faktor eksternal yang
mempengaruhi perubahannya (interelasi dan interaksi antargejala).
Ilmu bantu yang digunakan untuk mengkaji aspek fisik dalam geografi terdiri dari
beberapa disiplin ilmu, di antaranya: geologi, geomorfologi, meteorologi, klimatologi,
hidrologi, oceanografi, dan biogeografi. Geologi merupakan ilmu bantu dalam geografi untuk
mengkaji ”isi” bumi. Geomorfologi merupakan displin terapan untuk mengkaji karakteristik
dan proses pembentukan relief bumi. Meteorologi dan klimatologi merupakan disiplin
terapan untuk mengkaji cuaca dan iklim. Hidrologi dan oceanografi merupakan ilmu bantu
untuk mengkaji perairan darat dan laut. Biogeografi merupakan displin terapan untuk
mengkaji karakteristik serta persebaran hewan dan tumbuhan.

b Aspek Sosial (Geografi Manusia)


.

Peta Konsep Aspek Sosial Geografi

Jumlah kuantitas manusia dalam ruang

Persebaran distribusi manusia dalam ruang

Kepadatan perbandingan luas ruang dan jumlah manusia


Aspek Manusia
Mobilitas perpindahan manusia dalam ruang atau antarruang

Aktivitas kegiatan manusia dalam ruang atau antarruang

Sifat Khas kualitas manusia atau karakteristik sosial–budaya


Aspek sosial yang dipelajari dalam geografi yaitu penduduk yang menempati suatu
ruang dan berbagai aktivitasnya yang dapat membentuk suatu bentang budaya (cultural
landscape). Orientasi kajian dalam studi ”penduduk yang menempati suatu ruang”, meliputi:
jumlah, persebaran, dan kepadatan (densitas). Orientasi kajian terhadap aktivitas penduduk
yaitu interdependensi atau saling ketergantungan antara sosial dengan lingkungan fisik. Pola
interdependensi tersebut terbentuk secara bertahap, mulai dari determinis (dipengaruhi oleh
lingkungan fisik), adaptasi (penyesuaian serta menjalin hubungan timbal balik), dan
memodifikasi (mengubah kondisi lingkungan fisik sesuai dengan kebutuhan sosial). Tahapan
interdependensi tersebut berlaku untuk semua bidang aktivitas.
Ilmu bantu yang digunakan untuk mengkaji aspek sosial dalam geografi terdiri dari
berbagai disiplin ilmu, di antaranya: geografi sosial, geografi ekonomi, dan geografi politik.
Penggunaan ilmu bantu tersebut dimaksudkan agar tahapan interdependensi masing-masing
bidang aktivitas manusia dapat dikaji secara mendalam. Geografi sosial merupakan displin
terapan untuk mengkaji karakteristik perilaku sosial yang terbentuk dari hasil adaptasi dengan
lingkungan fisik. Geografi ekonomi merupakan displin terapan untuk mengkaji berbagai
aktivitas ekonomi yang memiliki interdependensi dengan lingkungan. Geografi politik
merupakan displin terapan untuk mengkaji pengaruh kondisi fisik terhadap pembentukan
karakteristik ideologi suatu lembaga politik (negara).

3 Objek Formal Geografi


.

Peta Konsep Objek Formal Geografi

Pendekatan Pendekatan keruangan, kelingkungan, dan


(Cara Pandang) kompleks wilayah

Objek Formal Prinsip (Logika Prinsip persebaran, deskripsi, interelasi, dan


Geografi Dasar) korologi

Konsep Konsep lokasi, jarak, keterjangkauan, pola, morologi,


(Kerangka Pemahaman) aglomerasi, nilai guna, diferensiasi area, asosiasi ruang

Objek formal geografi merupakan wujud dari epistimologi atau cara geografi dalam
mengkaji objek material. Tata cara geografi dalam mengkaji suatu objek dilandasi oleh tiga
pertimbangan dasar, yaitu: 1) bagaimana menelaah (menentukan sudut pandang) suatu
fenomena secara objektif dan komprehensif (lengkap)?; 2) bagaimana merumuskan pola
penalaran dalam mengkaji suatu fenomena secara logis dan rasional?; dan 3) bagaimana
kerangka berpikir yang tepat untuk memahami karakteristik dan hubungan antarfenomena?
Penerapan ketiga pertimbangan dasar tersebut diwujudkan dalam bentuk: pendekatan
(mewakili cara memahami/memandang suatu fenomena), prinsip (mewakili pola dasar
penalaran), dan konsep geografi (mewakili kerangka pemahaman). Penjelasan spesifik
tentang ketiga hal itu diuraikan sebagi berikut.

a Pendekatan Geografi
.

Istilah approach (pendekatan) berasal dari bahasa Latin, yaitu dari kata propius yang berarti
”cara mendekati.” Istilah tersebut diadopsi dalam berbagai disiplin ilmu dan didefinisikan
sebagai ”cara mendekati suatu objek ilmiah untuk mendapatkan perspektif global (sudut
pandang secara umum).” Pendekatan tersebut diwujudkan dalam bentuk: penentuan aspek
makro yang dikaji terlebih dahulu sebelum aspek mikro, prosedur umum untuk mengkaji
suatu objek, atau tata cara untuk menemukan solusi suatu masalah.
Pendekatan geografi diartikan sebagai cara pandang geografi dalam menelaah suatu
fenomena/fakta/masalah. Agar dalam telaah tersebut dapat dirumuskan penjelasan yang
objektif–mendalam–dan lengkap, maka tata cara menghampiri (pendekatan) suatu masalah
yang digunakan tidak hanya dari satu perspektif (sudut pandang). Pendekatan geografi terdiri
dari tiga aspek, meliputi: keruangan (spatial approach), kelingkungan (ecological approach),
dan pendekatan kompleks wilayah (regional complex). Hierarki atau susunan ketiga
pendekatan diilustrasikan dalam Gambar 1.

Keruangan

Kelingkungan Kewilayahan

Gambar 1. Hierarki Pendekatan Geografi


1) Pendekatan Keruangan (Spatial Approach)
Pendekatan keruangan merupakan cara khas geografi dalam memandang suatu
masalah atau diistilahkan sebagai the eye of geography. Segala objek material dalam geografi
selalu dikaji berdasarkan konteks keruangan atau kondisi ruang yang melatarbelakangi
pembentukan karaktersitik suatu objek material. Fungsi ruang bagi sebuah objek material
geografi bukan hanya sebagai wadah, tetapi merupakan sebuah tempat yang memiliki
properti berupa karakteristik fisik dan karakteristik manusia. Interaksi suatu objek material
dengan kedua properti tersebut menghasilkan sebuah proses perubahan: dipengaruhi,
mempengaruhi, atau beradaptasi (perubahan yang terjadi pada suatu objek dan faktor
pengubah berlaku seimbang). Perubahan itu merupakan dasar dari pembentukan karakteristik
suatu objek dalam ruang. Berdasarkan pemikiran tersebut pengkajian suatu objek material
geografi menurut perspektif keruangan tidak sekedar untuk mengetahui ”dimana” objek itu
berada, tetapi diperdalam dengan mengidentifikasi: ”bagaimana” ciri khas objek di tempat
itu, ”faktor apa saja” yang dominan membentuk karakteristik itu, dan ”bagaimana” runtutan
proses pembentukan karakteristik objek tersebut?
Penerapan pendekatan keruangan dalam mengkaji suatu fenomena geosfer dapat
dilakukan dengan delapan cara yang diistilahkan dengan ”tema analisis keruangan.”
Kedelapan tema analisis keruangan, yaitu: 1) pola (pattern), 2) struktur (structure), 3) proses
(process), 4) interaksi (interaction), 5) organisasi dalam sistem keruangan (organisation
within the spatial system), 6) asosiasi (association), 7) tendensi atau kecenderungan
(tendency or trends), dan 8) sinergisme keruangan (spatial synergism). Kedelapan tema itu
merupakan pilihan cara untuk mengkaji suatu permasalah berdasarkan pendekatan keruangan.
Penerapannya tidak harus dilaksanakan secara berurutan ataupun bersamaan. Pemilihan tema
disesuaikan dengan sifat masalah dan target kedalaman pengkajian. Penjelasan spesifik
tentang karakteristik delapan tema analisis keruangan tersebut diuraikan sebagai berikut.
a) Analisis pola keruangan (spatial pattern analysis) merupakan cara untuk mengkaji
persebaran (distribusi) objek dalam ruang. Penerapan tema analisis tersebut didasarkan
pada pemikiran bahwa distribusi objek material di setiap ruang tidak sama. Perbedaan
distribusi objek ditinjau dari aspek: jumlah, kepadatan, dan tata letaknya dalam ruang.
Penerapan analisis pola keruangan bertujuan untuk mendeskripsikan ketiga aspek
distribusi tersebut beserta faktor penyebabnya.
Salah satu contoh masalah (objek) yang dapat dikaji dengan analisis pola
keruangan, yaitu persebaran pemukiman penduduk. Hal yang dideskripsikan dalam
mengkaji masalah tersebut, yaitu: jumlah bangunan pemukiman, tata letak pemukiman
(memanjang–melingkar–atau berkelompok), pengkategorian kawasan berdasarkan
tingkat kepadatan, dan identifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi persebaran pola
pemukiman dalam ruang. Contoh pola pemukiman penduduk diilustrasikan dalam
Gambar 2.

Gambar 2. Citra Satelit Pola Pemukiman Penduduk di Kota Nieuwekerken (Belgia)

b) Analisis struktur keruangan (spatial structure analysis) merupakan cara untuk


mengkaji susunan dan fungsi objek material dalam ruang. Suatu ruang/tempat memiliki
properti berupa karakteristik fisik dan karakteristik manusia. Komposisi dan dominasi
peran kedua properti tersebut tidak sama di setiap tempat. Contonya yaitu properti ruang
yang merupakan kawasan hutan lebih dominan berupa karakteristik fisik dibandingkan
dengan karakteristik manusia. Perbedaan komposisi tersebut menyebabkan peran
manusia tidak begitu kuat untuk mempengaruhi aspek fisik. Penerapan analisis pola
keruangan bertujuan untuk mendeskripsikan: variasi jenis objek dalam ruang,
perbandingan jumlah antarobjek, peran objek terhadap pembentukan karakteristik ruang,
dan hubungan antara perubahan komposisi objek dengan gejala perubahan karakteristik
ruang.
Salah satu contoh masalah (objek) yang dapat dikaji dengan analisis struktur
keruangan, yaitu perubahan fungsi lahan. Ketika suatu wilayah masih berupa pedesaan
yang mayoritas penduduknya bermata pencaharian sebagai petani, sebagian besar area
dalam ruang difungsikan sebagai lahan pertanian. Komposisi tersebut berubah ketika
kawasan pedesaan tersebut terimbas oleh pemekaran kota. Sebagian besar area dalam
ruang beralih fungsi dari lahan pertanian menjadi kawasan pemukiman. Contoh
perubahan fungsi lahan kawasan pedesaan akibat perkembangn kota diilustrasikan dalam
Gambar 3.
a) Model Kota Brusell (Belgia) tahun 1883 b) Peta Kota Brusell (Belgia) tahun 1883

c) Model Kota Brusell (Belgia) tahun 2000 d) Peta Kota Brusell (Belgia) tahun 2000

Gambar 3. Perubahan Struktur Keruang Kota Brusell (Belgia)

Analisis struktur keruangan terhadap masalah tersebut dilakukan dengan cara:


mendeskripsikan komposisi fungsi lahan sebelum terjadi perubahan, menghitung luasan
area yang beralih fungsi, dan mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi
perubahan fungsi lahan.

c) Analisis proses keruangan (spatial process analysis) merupakan cara untuk mengkaji
proses perubahan properti fisik dan manusia dalam ruang. Penerapan tema analisis
tersebut didasarkan pada pemikiran bahwa segala objek material yang dikaji dalam
geografi selalu mengalami perubahan. Properti suatu ruang mengalami perubahan secara
berkala. Aspek fisik mengalami perubahan secara alami ataupun akibat pengaruh
manusia. Aspek manusia pengalami perubahan secara kuantitas maupun kualitas.
Perubahan yang terjadi pada dua properti tersebut berdampak pada perubahan
karakteristik ruang. Penerapan analisis proses keruangan bertujuan untuk mengkaji:
faktor-faktor penyebab perubahan, runtutan proses perubahan, dan dampak yang timbul
dari perubahan tersebut.
Salah satu contoh masalah yang dapat dikaji dengan analisis proses keruangan, yaitu
hubungan antara pertambahan jumlah penduduk dengan morfologi kota (bentuk maupun
luas kawasan). Jumlah penduduk kota selalu bertambah, baik disebabkan oleh faktor
kelahiran maupun migrasi. Pertambahan penduduk secara berkesinambungan
menyebabkan tata ruang kota berubah secara berkala. Alat bantu yang mempermudah
analisis proses perubahan tata ruang kota tersebut, yaitu overlay (tumpangsusun) foto
udara atau citra satelit ”serial” (gambar yang urut dari tahun ke tahun). Contoh peta yang
menggambarkan perubahan morfologi kota diilustrasikan dalam Gambar 4.

Gambar 4. Peta Perubahan Morfologi Kota Nanjing (Cina) Tahun 1912–2010

Analisis proses keruangan terhadap masalah tersebut dilakukan dengan cara:


mendeskripsikan tahapan perubahan tata ruang dari waktu ke waktu, mengidentifikasi
faktor penyebab perubahan, dan memperkirakan kelanjutan proses perubahan, dan
mengkaji berbagai dampak yang terjadi akibat perubahan kondisi fisik kota.
d) Analisis interaksi keruangan (spatial interaction analysis) merupakan cara untuk
mengkaji hubungan timbal balik antarruang. Penerapan tema analisis tersebut didasarkan
pada pemikiran bahwa setiap ruang memiliki keterkaitan dengan tempat yang lain.
Keterkaitan tersebut dapat disebabkan oleh faktor fisik ataupun karena jalinan kerjasama
manusia secara lintas ruang. Penerapan analisis interaksi keruangan bertujuan untuk
mengkaji: pola hubungan, proses interaksi, dan faktor-faktor yang mendukung interaksi
antarruang.
Salah satu contoh masalah yang dapat dikaji dengan analisis interaksi keruangan,
yaitu hubungan timbal balik antara desa dan kota. Hubungan timbal balik kedua ruang
tersebut terjadi karena jalinan kerjasama manusia yang tinggal di dalamnya. Masyarakat
desa merupakan penyuplai bahan pangan bagi masyarakat kota. Analisis interaksi
keruangan terhadap hubungan timbal balik tersebut dilakukan dengan cara:
mendeskripsikan pola hubungan antara desa dan kota, menjelaskan proses interaksi
antarruang, mengidentifikasi pengaruh interaksi terhadap perubahan karakteristik kedua
ruang, dan mengkaji berbagai faktor yang mempengaruhi pasang-surut interaksi kedua
ruang itu.

e) Analisis organisasi keruangan (spatial organisation analysis) merupakan cara untuk


mengkaji jaringan kerjasama beserta tatanan sistem antarruang. Penerapan tema analisis
tersebut didasarkan pada pemikiran bahwa suatu ruang terkait dalam jalinan kerjasam
dengan ruang yang lain. Sifat jalinan kerjasama tersebut dapat berlangsung secara
temporal (sementara) ataupun konsisten (tetap). Jalinan kerjasama yang berlangsung
konsisten mengarah pada pembentukan tatanan atau sistem. Penerapan analisis organisasi
keruangan bertujuan untuk mengkaji: rincian ruang yang termasuk dalam suatu
sistem/oragnisasi antarruang, keterikatan antarruang, bentuk kerjasama, proses interaksi,
dan faktor-faktor yang mempengaruhi pasang-surut jalinan kerjasama antarruang.
Salah satu contoh masalah yang dapat dikaji dengan analisis organisasi keruangan,
yaitu fusi (penggabungan) ruang kota untuk kawasan terpadu ”Joglo Semar”
(Yogyakarta, Solo, dan Semarang). Dalam pelaksanaan sistem kerjasama tersebut, tidak
semua kawasan berkembang secara merata. Kota-kota kecil di antara Yogyakarta dan
Solo berkembang lebih pesat, dibandingkan dengan kota kecil yang berada di antara
Solo–Semarang atau Yogyakarta–Semarang. Peta jalinan kerjasama keruangan ”Joglo
Semar” (Yogyakarta–Solo–Semarang) diilustrasikan dalam Gambar 5.
PETA KORIDOR JOGLO SEMAR

MENGALAMI
BLURRING

Gambar 5. Peta Organisasi Keruangan ”Joglo Semar” (Yogyakarta–Solo–Semarang)

Analisis organisasi keruangan terhadap sistem kerjasama tersebut dilakukan dengan


cara: mengidentifikasi luas ruang yang termasuk dalam kawasan kota terpadu, merinci
kota kecil/sedang/besar yang terikat dalam sistem kerjasama, mendeskripsikan pola
kerjasama antarruang, mengidentifikasi peran masing-masing kota dalam sistem
kerjasama itu, mendeskripsikan dominasi peran kota yang yang mempengaruhi
karakteristik interaksi, dan mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi pasang-
surut jalinan kerjasama.

f) Analisis asosiasi keruangan (spatial association analysis) merupakan cara untuk


mengkaji keterkaitan antargejala yang terjadi di dalam ruang. Penerapan tema analisis
tersebut didasarkan pada pemikiran bahwa berbagai gejala yang terjadi di suatu ruang
memiliki dampak berantai berupa pembentukan gejala baru di lingkup ruang tersebut
atau di tempat lain yang terkait. Penerapan analisis asosiasi keruangan bertujuan untuk
mengkaji: proses pembentukan suatu gejala/fenomena dalam ruang, faktor-faktor
penyebab gejala, persebaran fenomena/gejala dalam ruang, dan rangkaian keterkaitan
antargejala.
Salah satu contoh masalah yang dapat dikaji dengan analisis asosiasi keruangan,
yaitu hubungan antara pertambahan jumlah penduduk di suatu kota dengan peningkatan
tindak kriminal. Pertambahan jumlah penduduk menyebabkan daya dukung aspek fisik
yang terdapat dalam suatu ruang menjadi berkurang. Jika kebutuhan terhadap suatu
material meningkat dan jumlah material yang dibutuh terbatas, maka akan terbentuk
persaingan antarmanusia yang membutuhkan material tersebut. Salah satu bentuk
persaingan yang tidak baik yaitu berupa tindak kriminal (melakukan kekerasan ataupun
kecurangan untuk memenangkan persaingan). Analisis asosiasi keruangan terhadap
keterkaitan dua gejala tersebut dilakukan dengan cara: mengidentifikasi faktor-faktor
penyebab gejala peningkatan tindak kriminal, mendeskripsikan pola-pola tindak kriminal
yang terjadi di wilayah itu, menjelaskan persebaran kasus-kasus kriminal, dan
mendeskripsikan hubungan antara pertambahan jumlah penduduk–kemiskinan–dengan
peningkatan tindak kriminal.

g) Analisis kecenderungan dan tren (spatial tendency/trend analysis) merupakan cara


untuk mengkaji dan memperkirakan perubahan karakteristik suatu ruang yang
disebabkan oleh perubahan properti dalam ruang itu. Penerapan tema analisis tersebut
didasarkan pada pemikiran bahwa segala objek material yang merupakan properti suatu
ruang mengalami perubahan secara berkala. Kecepatan perubahan masing-masing
properti tidak selalu sama, karena yang dipengaruhi oleh adanya faktor penghambat dan
pendukung perubahan. Perbedaan kecepatan perubahan tersebut membentuk suatu
kecenderungan atau tren perubahan. Penerapan analisis kecenderungan dan tren
keruangan bertujuan untuk mengkaji: faktor-faktor penghambat ataupun pendukung
perubahan karakteristik suatu ruang, kecenderungan perubahan, dan proyeksi (perkiraan)
bentuk perubahan.
Salah satu contoh masalah yang dapat dikaji dengan analisis tren keruangan, yaitu
kecenderungan pemekaran wilayah Kota Malang ke arah utara (menuju kota Surabaya).
Ditinjau dari pertambahan/perbaikan infrastruktur yang mengubungkan antara Malang
dan Surabaya dari waktu-ke waktu, kecenderungan pemekaran wilayah tersebut semakin
tampak jelas. Analisis tren keruangan terhadap kecenderungan pemekaran wilayah
tersebut dilakukan dengan cara: mendekripsikan proses pemekaran wilayah kota dari
waktu-ke waktu, mengidentifikasi faktor-faktor pendukung pemekaran wilayah,
memperkirakan bentuk wilayah setelah mengalami pemekaran, dan mendeskripsikan
dampak jangka panjang yang ditimbulkan oleh pemekaran wilayah itu.
h) Analisis sinergi keruangan (spatial synergism analysis) merupakan cara untuk
mengkaji jalinan kerjasama antarruang yang potensial menimbulkan pembauran.
Penerapan tema analisis tersebut didasarkan pada pemikiran bahwa jalinan kerjasama
antarruang yang berlangsung lama (konsisten) dan sangat erat dapat memburamkan
batas-batas masing-masing ruang yang terlibat dalam kerjasama. Pembauran antarruang
merupakan fenomena baru yang saat ini sedang terjadi di beberapa wilayah, meskipun
tidak semua bentuk kerjasama lintas ruang akan membentuk pola seperti itu. Melalui
perkembangan teknologi ”dimungkinkan” sinergi (kesatuan) antarruang tersebut dapat
menjadi tren di masa depan. Penerapan analisis pola keruangan bertujuan untuk
mengkaji: faktor-faktor yang mempengaruhi sinergi (kesatuan) antarruang, proses
pembentukan sinergi antarruang, dan rangkaian dampak yang timbul akibat sinergitas itu.
Salah satu contoh fenomena yang dapat dikaji dengan analisis sinergi keruangan,
yaitu kerjasama negara-negara di Eropa dalam organisasi EU (European Union).
Organisasi tersebut bukan sekedar lembaga kerjasama regional, tetapi sebagai wujud
penyatuan kekuatan negara-negara di Benua Eropa. Kerjasama yang dapat
mensinergikan kebijakan negara-negara anggota Uni Eropa, yaitu di bidang ekonomi,
teknologi–informasi, dan pertahanan–keamanan. Dalam kerjasama itu, batas-batas ruang
yang dimiliki oleh negara-negara anggota seolah-olah pudar. Peta negara-negara anggota
Uni eropa diilustrasikan dalam Gambar 6.

Gambar 6. Peta Negara-negara yang tergabung dalam Uni Eropa

Analisis sinergi keruangan terhadap fenomena tersebut dilakukan dengan cara:


mendeskripsikan persebaran negara-negara yang menjadi anggota Uni Eropa,
menjelaskan latar belakang pembentukan lembaga itu, mendekripsikan pola-pola
kerjasama antarnegara yang menjadi anggota Uni Eropa, mengidentifikasi faktor-faktor
yang mempengaruhi pasang-surut jalinan kerjasama, dan mengkaji pengaruh internal
(manfaat bagi negara-negara anggota) maupun eksternal (efek global).

1. Pendekatan Kelingkungan (Ecological Approach)


Pendekatan kelingkungan merupakan sudut pandang (perspektif) terhadap suatu
masalah yang dilandasi dengan pemikiran bahwa manusia memiliki keterkaitan erat dengan
lingkungan (relationship between man and environment). Bentuk keterkaitan kedua aspek
tersebut berupa hubungan timbal balik yang saling mempengaruhi. Perubahan kondisi
lingkungan di suatu wilayah tidak hanya disebabkan oleh faktor internal (perubahan alami
elemen fisik), tetapi juga dipengaruhi oleh faktor ekternal (dampak dari perilaku manusia).
Begitu pula sebaliknya bahwa perkembangan manusia tidak hanya disebabkan oleh
kecerdasan daya pikirnya, tetapi juga dipengaruhi oleh daya dukung lingkungan. Berdasarkan
pemikiran tersebut didapatkan sebuah perspektif (cara pandang) bahwa untuk mengkaji suatu
fenomena berdasarkan pendekatan kelingkungan, pengaruh aspek fisik dan manusia perlu
ditelaah secara proporsional (seimbang) dan simultan (bersamaan).
Penerapan pendekatan kelingkungan untuk mengkaji suatu fenomena geosfer
dapat dilakukan dengan empat cara yang diistilahkan dengan ”tema analisis kelingkungan.”
Keempat tema analisis kelingkungan, yaitu: 1) keterkaitan antara sikap manusia dengan
karakteristik lingkungan (human behaviour–environment interactions), 2) keterkaitan antara
aktivitas manusia dengan kondisi lingkungan (human activity–environment interactions), 3)
keterkaitan antara suatu fitur alam dengan elemen lain dalam lingkungan (physico natural
features–environment interactions), dan 4) keterkaitan antara suatu fitur buatan dengan
elemen lain dalam lingkungan (physico artificial features–environment interactions).
Keempat tema itu merupakan pilihan cara untuk mengkaji suatu permasalah berdasarkan
pendekatan kelingkungan. Penerapannya tidak harus dilaksanakan secara berurutan ataupun
bersamaan. Pemilihan tema disesuaikan dengan sifat masalah dan target kedalaman
pengkajian. Penjelasan spesifik tentang karakteristik keempat tema analisis kelingkungan
tersebut diuraikan sebagai berikut.
a) Analisis human behaviour–environment interactions merupakan cara untuk mengkaji
persepsi manusia terhadap lingkungan. Analisis tersebut didasarkan pada pemikiran
bahwa persepsi (anggapan) merupakan landasan bagi manusia untuk membentuk pola
pikir yang kemudian diterapkan dalam perilaku. Dengan mengkaji persepsi manusia
terhadap lingkungan, dapat diketahui motif yang melatarbelakangi perilaku mereka
dalam berinteraksi dengan lingkungan.
Salah satu contoh fenomena yang dapat dikaji dengan analisis human behaviour–
environment interactions, yaitu kasus konflik hak penggunaan hutan di kawasan
Pegunungan Meratus antara masyarakat suku Dayak Meratus dengan pemerintah daerah
Kalimantan Selatan. Masalah tersebut dilatarbelakangi oleh dua persepsi kelingkungan
yang saling bertentangan. Masyarakat suku Dayak Meratus memiliki persepsi bahwa
hutan merupakan sumber penghidupan sekaligus tempat suci bagi persemayaman roh-roh
leluhur. Persepsi tersebut menjadi dasar bagi masyarakat itu untuk berperilaku ”ramah”
terhadap hutan. Pemerintah daerah Kalimantan Selatan memiliki persepsi bahwa hutan
menyimpan sumberdaya ekonomi yang besar, ditinjau dari aspek: penyediaan kayu
glondongan, luas lahan yang dapat dimanfaatkan setelah penebangan, ataupun bahan
tambang yang tersimpan di lahan hutan tersebut. Perbedaan persepsi kedua kelompok
tersebut memunculkan aksi yang saling bertolak belakang, satu pihak berupaya
melestarikan hutan dan pihak lain berusaha mengeksplorasi. Kondisi hutan di kawasan
pegunungan Meratus diilustrasikan dalam Gambar 7.
a) Peta lokasi pegunungan Meratus b) Penebangan hutan di pegunungan Meratus

Gambar 7. Kondisi Hutan di Pegunungan Meratus

Analisis human behaviour–environment interactions terhadap fenomena tersebut


dilakukan dengan cara: mendeskripsikan persepsi yang melatarbelakangi perilaku
terhadap hutan, menjelasakan kronologi timbulnya permasalahan, merinci aksi-aksi yang
mengarah pada timbulnya konflik, dan mengidentifikasi kelanjutan dampak masalah
tersebut terhadap lingkungan maupun manusia.

b) Analisis human activity–environment interactions merupakan cara untuk mengkaji


keterkaitan aktivitas manusia dengan kondisi lingkungan. Analisis tersebut didasarkan
pada pemikiran bahwa aktivitas manusia dipengaruhi dan mempengaruhi kondisi
lingkungan. Daya dukung lingkungan berpengaruh terhadap perkembangan aktivitas
manusia, begitu pula sebaliknya aktivitas manusia lambat laun dapat mengubah kondisi
lingkungan. Berdasarkan pemikiran tersebut diperoleh cara pandang bahwa untuk
mengkaji penyebab perubahan kondisi lingkungan di suatu tempat dapat ditinjau dari
aktivitas manusia di wilayah itu.
Salah satu contoh fenomena yang dapat dikaji dengan analisis human activity–
environment interactions, yaitu kasus pencemaran perairan laut di Teluk Buyat,
Semenanjung Minahasa, Sulawesi Utara. Kerusakan lingkungan di wilayah itu diduga
disebabkan oleh aktivitas pertambangan PT. Newmont Minahasa Raya. Limbah merkuri
dari aktivitas pertambangan perusahaan tersebut yang mengalir (bocor atupun sengaja
dibuang) ke Teluk Buyat menyebabkan kerusakan ekosistem yang parah. Banyaknya
ikan laut yang mati dan punahnya beberapa jenis ikan merupakan indikator dari tingkat
kerusakan lingkungan di wilayah itu. Pencemaran itu tidak hanya merusak habitat laut
tetapi juga merugikan masyarakat di sekitar Teluk Buyat. Salah satu dampak jangka
pendek yang dapat dirasakan, yaitu menurunnya produktivitas nelayan. Kondisi perairan
Teluk Buyat yang mengalami pencemaran diilustrasikan dalam Gambar 8.
a) Peta lokasi Teluk Buyat b) Citra satelit Teluk Buyat

c) Ikan yang mati akibat pencemaran d) Bayi yang lahir cacat akibat pencemaran
Gambar 8. Pencemaran Perairan Laut di Teluk Buyat, Minahasa, Sulawesi Utara

Analisis human activity–environment interactions terhadap masalah tersebut dilakukan


dengan cara: mendiskripsikan jenis aktivitas manusia dan persebarannya di kawasan
Teluk Buyat, mendiskripsikan bentuk kerusakan lingkungan dan persebarannya di
kawasan itu, mengidentifikasi hubungan kausal antara masalah kerusakan lingkungan
dan aktivitas manusia, dan memperkirakan rangkaian dampak (pengaruh jangka
pendek/panjang) masalah kerusakan lingkungan di wilayah itu.

c) Analisis physico natural features–environment interactons merupakan cara untuk


mengkaji pengaruh suatu objek alam yang dominan di suatu wilayah terhadap
pembentukan karakteritik lingkungan. Analisis tersebut didasarkan pada pemikiran
bahwa setiap objek (fisik maupun non fisik) memiliki peran dalam membentuk
karakteristik lingkungan, meskipun dengan proporsi yang berbeda. Dominasi peran suatu
objek terhadap pembentukan karaketristik lingkungan tidak selalu didasarkan pada
ukurannya, tetapi menurut pentinganya fungsi objek tersebut bagi elemen lain. Salah satu
contohnya yaitu fitur alam berupa mata air di tengah gurun. Meskipun tidak terlalu besar,
objek alami tersebut maapu mengubah karakteristik lingkungan gurun yang tandus
menjadi oase yang subur. Berdasarkan pemikiran itu diperoleh cara pandang bahwa
pengkajian kondisi suatu lingkungan dapat dilakukan dengan menelaah karakteristik
objek alami yang dominan dan mengidentifikasi keterkaitannya dengan objek lain di
lingkungan itu.
Salah satu contoh fenomena yang dapat dikaji dengan analisis physico natural
features–environment interactions, yaitu perbandingan kondisi lingkungan di sekitar
Gunung Merapi di Jawa Tengah antara sebelum dan sesudah terjadi erupsi. Keberadaan
Gunung Merapi dalam sudut pandang lingkungan merupakan objek dominan yang
mempengaruhi aspek fisik dan manusia. Aspek fisik berupa: iklim lokal dipengaruhi oleh
ketinggian gunung, pertumbuhan vegetasi dipengaruhi oleh mineral dari gunung yang
tercampur dengan tanah, dan distribusi air tanah dipengruhi oleh tingkat kemiringan
lereng gunung tersebut. Aspek manusia yang dipengaruhi oleh gunung Merapi berupa:
aktivitas ekonomi, sosial, dan budaya. Erupsi gunung Merapi yang terjadi setiap 4–6
tahunan memiliki dampak besar terhadap aspek fisik maupun manusia. Perbandingan
kondisi lingkungan di sekitar Gunung Merapi antara sebelum dan sesudah terjadi erupsi
diilustrasikan dalam Gambar 9.
a) Peta dampak bencana Merapi b) Citra satelit sebelum dan sesudah erupsi

c) Kondisi sebelum erupsi d) Kondisi sesudah erupsi

Gambar 9. Perbandingan Kondisi Lingkungan Gunung Merapi Sebelum dan Sesudah Erupsi

Analisis physico natural features–environment interactions terhadap dampak erupsi


Merapi dilakukan dengan cara: mengidentifikasi kondisi lingkungan sebelum erupsi,
mendeskripsikan luas dampak erupsi Merapi, merinci aspek fisik maupun manusia yang
terkena dampak erupsi, membandingkan kondisi lingkungan sebelum dan sesudah erupsi,
dan mengidentifikasi elemen-elemen lingkungan yang terkait dengan aktivitas Merapi
berdasarkan jasil perbandingan kondisi sebelum dan sesudah erupsi.
d) Analisis physico artificial features–environment interactions merupakan cara untuk
mengkaji pengaruh suatu objek buatan manusia terhadap kondisi lingkungan. Analisis
tersebut didasarkan pada pemikiran bahwa objek fisik alami dan buatan manusi memiliki
fungsi yang berbeda dalam lingkungan. Fitur atau objek fisik alami menjadi properti dari
suatu lingkungan dan berperan membentuk karakteristik. Fitur buatan merupakan elemen
baru yang dapat mengubah kondisi lingkungan, dengan probabilitas (kemungkinan
perubahan) menjadi lebih dari sebelumnya baik atau merusak. Peletakan suatu objek fisik
buatan yang kurang sesuai dengan karakteristik suatu lingkungan dapat menyebabkan
perubahan kondisi lingkungan bersifat drastis, bahkan dapat menggangu kesimbangan
hubungan antarelemen. Berdasarkan pemikiran tersebut diperoleh cara pandang bahwa
untuk mengkaji perubahan kondisi lingkungan dapat dilakukan dengan cara
mengidentifikasi pengaruh suatu objek fisik buatan terhadap perubahan kinerja eleman
lain dalam lingkungan.
Salah satu contoh fenomena yang dapat dikaji dengan analisis physico artificial
features–environment interactions, yaitu perubahan ekosistem yang disebabkan oleh
peralihan fungsi lahan dari hutan alami menjadi hutan produksi. Vegetasi hutan produksi
dapat dikatakan sebagai fitur fisik buatan. Pepohonan yang tumbuh di hutan produksi
bukan merupakan flora alami (endemik). Tumbuhan itu berasal dari wilayah lain yang
dengan sengaja di tanam untuk kepentingan industri. Perubahan komposisi vegetasi
hutan alami yang heterogen menjadi vegetasi hutan produksi homogen menyebabkan
keseimbangan ekosistem terganggu. Jenis tumbuhan baru yang ditanam di hutan
produksi tidak dapat menggantikan fungsi vegetasi alami sebagai bahan makanan bagi
fauna khas yang hidup di kawasan itu. Hilangnya vegetasi endemik dapat menyebabkan
kepunahan fauna khas. Perbedaan vegetasi hutan alami dan hutan produksi diilustrasikan
dalam Gambar 10.
Gambar 10. Perbedaan Vegetasi Hutan Alami dan Hutan Produksi

Analisis physico artificial features–environment interactions terhadap masalah


peralihan fungsi hutan tersebut dilakukan dengan cara: mendeskripsikan luas kawasan
hutan alami yang berubah menjadi hutan produksi, membandingkan kondisi lingkungan
hutan produksi dengan hutan alami, mendeskripsikan perubahan kondisi lingkungan
berdasarkan hasil perbandingan itu, dan memperkirakan dampak jangka panjang
perubahan kondisi lingkungan.

2. Pendekatan Kompleks Wilayah (Regional Complex Approach)


Pendekatan kompleks wilayah merupakan cara pandang (perspektif) geografi yang
didasarkan pada pemikiran bahwa suatu wilayah memiliki keterkaitan dengan wilayah lain.
Keterkaitan antarwilayah dapat terbentuk secara alami karena hubungan properti fisik,
misalnya beberapa wilayah yang dihubungkan oleh aliran sungai besar (Daerah Aliran
Sungai). Keterikatan antarwilayah yang terbentuk oleh aktivitas manusia dilatarbelakangi
perbedaan sumberdaya (diferensiasi area), misalnya keterkaitan antara desa sebagai kawasan
penyedia bahan pangan dengan kota sebagai pusat perdagangan. Ditinjau dari keterkaitan
tersebut, permasalahan yang terjadi di suatu wilayah dapat berdampak pada wilayah lain yang
terkait. Pendekatan kompleks wilayah diorientasikan untuk mengkaji permasalahan geografis
yang dampaknya meluas hingga melibatkan beberapa wilayah dalam suatu region.
Penerapan pendekatan kompleks wilayah untuk mengkaji suatu masalah geografis
dilakukan dengan cara mengidentifikasi runtutan permasalahan, mulai dari penyebab–proses–
akibat–dan solusi. Identifikasi terhadap penyebab masalah (workingforcess) dimaksudkan
untuk mengetahui anomali kinerja (keadaan yang tidak berlaku seperti biasanya) berbagai
elemen fisik maupun nonfisik yang menjadi kausa dominan (penyebab utama permasalahan).
Deksripsi proses permasalahan (workingproces) dimaksudkan untuk mengetahui: kronologi
(runtutan waktu) masalah, tahap perkembangan masalah dari gejala hingga kondisi klimaks,
dan peristiwa-peristiwa insidentak yang timbul dari masalah itu. Identifikasi terhadap dampak
masalah (impacts) dimaksudkan untuk mengetahui: luas wilayah yang terkena imbas, elemen
fisik maupun nonfisik yang mengalami perubahan, konsekuensi jangka pendek yang
ditimbulkan oleh masalah itu, dan perkiraan pengaruh jangka panjang. Perumusan solusi
permasalahan dimaksudkan untuk menentukan berbagai alternatif tindakan yang dapat:
meredam permasalahan, meminimalkan dampak, menanggulangi secara berkala hingga
tuntas, dan mencegah agar masalah itu muncul kembali.
Salah satu contoh fenomena yang dapat dikaji dengan pendekatan kompleks
wilayah, yaitu masalah banjir yang terjadi di Jakarta pada tahun 2013. Peristiwa banjir di
Jakarta hampir terjadi di setiap musim penghujan. Banjir di wilayah tersebut yang terjadi
pada pertengahan Januari 2013 diduga sebagai bencana terbesar dalam kurun waktu satu
dekade. Luas wilayah yang terkena banjir hampir merata di seluruh Jakarta dan kerugian
materiil yang ditimbulkan relatif besar. Kondisi banjir di jakarta tahun 2013 diilustrasikan
dalam Gambar 11.
a) Peta sebaran banjir di Jakarta b)Kondisi banjir di kawasan Hotel Indonesia

c) Kondisi banjir di Kedoya d)Kondisi banjir di Stasiun Bukit Duri


Gambar 11. Bencana Banjir di Jakarta tahun 2013

Analisa masalah banjir di wilayah tersebut berdasarkan pendekatan komplek


wilayah dilakukan dengan cara: menelaah asal dan pola anomali debit air penyebab banjir,
mengkaji alur gerakan air banjir, mengidentifikasi luas kawasan yang terkena banjir,
mengidentifikasi kawasan ”kantong banjir” (daerah yang paling awal tergenang dan surut
paling lama), dan mengidentifikasi sistem drainase yang tidak berfungsi normal. Hasil analisa
itu merupakan bahan acuan untuk merumuskan solusi masalah banjir. Tindakan yang dapat
digunakan sebagai alternatif pemecahan masalah, yaitu: penanganan jangka pendek dilakukan
dengan memperbaharui sistem drainase serta pemulihan fungsi waduk pengendali banjir,
penanganan jangka menengah dilakukan dengan membangun drainase baru yang dapat
mempercepat proses pengatusan genangan banjir, penanggulangan jangka panjang dilakukan
dengan memperbaiki tata lingkungan kota dan penghijauan di kawasan hulu sungai-sungai
input banjir.

TUGAS KELOMPOK
4. Amatilah fenomena fisik ataupun fenomena sosial yang ada di lingkungan sekitar
Anda!
5. Deskripsikan fenomena tersebut dalam bentuk cerita pendek!
6. Analisis fenomena yang Anda deskripsikan tersebut dengan menggunakan salah satu
pendekatan geografi!
7. Presentasikan hasil identifikasi dan analisis masalh yang telah Anda susun di depan
kelas!

b Prinsip Geografi
.

Istilah prinsip berasal dari bahasa Latin, yaitu dari kata principium yang berarti
”sesuatu yang menjadi dasar.” Istilah tersebut diadopsi dalam berbagai disiplin ilmu dan
didefinisikan sebagai ”aksioma atau logika dasar yang menjadi acuan dalam mengkaji suatu
objek.” Logika dasar tersebut diwujudkan dalam bentuk: hukum ilmiah (fakta alam yang
berlaku tetap), aturan baku suatu metode ilmiah (cara pengkajian secara ilmiah), cara kerja
suatu perangkat buatan, ataupun asumsi (anggapan) dasar dalam mendeskripsikan objek
ilmiah.
Prinsip geografi diartikan sebagai logika dasar dalam disiplin ilmu geografi untuk
memahami suatu permasalahan. Setiap masalah yang dikaji secara ilmiah selalu diiringi
dengan penjelasan rasional (alasan yang dapat dipahami oleh akal sehat). Untuk dapat
menjelaskan secara rasional hubungan antara sebab–proses– dan akibat, diperlukan dasar-
dasar pemikiran yang logis (masuk akal). ”Tata cara” berpikir logis dalam disiplin ilmu
geografi dirumuskan dalam bentuk prinsip geografi. Menurut prinsip geografi, penjelasan
rasional suatu masalah dapat ditinjau dari aspek: persebaran, interelasi, deskripsi, dan
korologi. Penjelasan spesifik tentang keempat prinsip rasionalisasi masalah dalam geografi
tersebut diuraikan sebagai berikut.
1) Prinsip persebaran merupakan tata cara menjelaskan secara rasional terbentuknya suatu
fenomena geografis ditinjau dari aspek distribusinya dalam ruang. Fenomena geografis
berupa peristiwa alam ataupun aktivitas manusia tidak berlaku sama di setiap wilayah.
Terbentuknya suatu fenomena berawal dari suatu tempat, kemudian pengaruhnya
menyebar ke wilayah lain. Penerapan prinsip persebaran dimaksudkan untuk memetakan
tempat terjadinya suatu fenomen beserta sebaran pengaruhnya.
Salah satu contoh fenomena yang dapat dijelaskan dengan menggunakan prinsip
persebaran, yaitu terbentuknya pusat perdagangan buah Rambutan secara musiman di
daerah Gadang, Kota Malang. Pusat perdagangan buah di Kota Malang sebenarnya
berada di Pasar Besar dan Comboran. Pada bulan September–Oktober suplai buah
Rambutan dari Blitar melimpah,hingga pusat perdagangan tersebut tidak mampu
menampung. Hal itu menimbulkan terbentuknya pusat perdagangan baru untuk
komoditas buah Rambutan di sekitar Gadang. Distribusi pedagang buah Rambutan
secara musiman di Kota Malang diilustrasikan dalam Gambar 12.
Gambar 12. Lokasi Pusat Peradagangan Buah di Malang

Penerapan prinsip persebaran untuk menjelaskan terbentuknya fenomena tersebut


dilakukan dengan cara: memetakan lokasi pusat perdagangan buah, memetakan daerah-
daerah pensuplai buah, mempolakan kecederungan limpahan suplai di waktu-waktu
tertentu, dan memetakan sebaran pusat-pusat perdagangan baru yang terjadi secara
insidental mengikuti luapan suplai komoditas itu.

2) Prinsip interelasi merupakan tata cara menjelaskan secara rasional terbentuknya suatu
fenomena geografis ditinjau dari aspek hubungan sebab–akibat. Terbentuknya suatu
fenomena tidak disebabkan oleh faktor tunggal, melainkan dipengaruhi oleh beberapa
faktor bekerja secara bersamaan ataupun berantai. Dalam kerangka pikir geografi,
terjadinya suatu fenomena/gejala disebabkan oleh interelasi atau hubungan timbal balik
antara faktor: fisik dengan fisik, manusia dengan manusia, atau fisik dengan manusia.
Penerapan prinsip interelasi dimaksudkan untuk menjelaskan secara rasional
terbentuknya suatu fenomena/gejala berdasarkan ketiga pola interelasi tersebut.
Salah satu contoh fenomena yang dapat dijelaskan dengan menggunakan prinsip
interelasi, yaitu bencana banjir yang melanda Kota Jakarta setiap tahun. Bencana banjir
tersebut disebabkan oleh dua faktor utama, yaitu kondisi alam dan perilaku manusia.
Tingginya curah hujan menyebabkan debit air di berapa sungai yang mengalir melewati
Jakarta meningkat. Peningkatan debit air tersebut tidak seimbang dengan daya tampung
”badan sungai” yang sebagian besar telah berubah fungsi menjadi kawasan permukiman
penduduk. Hal itu diperparah dengan pendangkalan dan sumbatan sampah yang
menghambat aliran air. Aliran air yang tidak tertampung tersebut kemudian meluap dan
menyebabkan sebagian besar kawasan kota tergenang. Kondisi banjir di Kota Jakarta
diilustrasikan dalam Gambar 13.
a) Tumpukan sampah penyumbat drainase b) Banjir di Jakarta tahu 2012

Gambar 13. Bencana Banjir di Jakarta

Penerapan prinsip interelasi untuk menjelaskan terbentuknya fenomena tersebut


dilakukan dengan cara: mengidentifikasi pola waktu terjadinya banjir, mengidentifikasi
faktor alam yang menyebabkan banjir, mengidentifikasi aktivitas manusia yang potensial
mingkatkan resiko terbentuknya banjir, dan menjelasakan hubungan antara hasil
identifikasi terhadap faktor alam–manusia dengan proses terbentuknya banjir.

3) Prinsip deskripsi merupakan tata cara menjelaskan secara rasional terbentuknya suatu
fenomena geografis ditinjau dari aspek runtutan proses. Pembentukan setiap fenomena
memiliki proses dan tahap yang berbeda-beda. Perubahan suatu gejala menjadi peristiwa
terkadang berlangsung cepat (dalam waktu yang singkat), tetapi tidak sedikit pula
perubahan tersebut yang berlangsung lama. Penerapan prinsip deskripsi dimaksudkan
untuk merekonstruksi tahapan proses terbentuknya suatu peristiwa serta menjelaskan
secara rasional hubungan antargejala yang menjadi faktor pembentuk fenomena tersebut.
Salah satu contoh fenomena yang dapat dijelaskan dengan menggunakan prinsip
deskripsi, yaitu hubungan antara gempa tektonik dan pembentukan gelombang tsunami.
Gempa tektonik dan gelombang tsunami merupakan dua peristiwa alam yang terjadi
akibat gerakan lempeng tektonik. Gempa tektonik berasal dari getaran yang mengiringi
proses pergerakan lempeng tektonik. Getaran gempa tektonik pada umumnya sangat kuat
dan menimbulkan bencana besar. Jika gempa tersebut berpusat di dasar laut dangkal
(kedalaman ≤ 200 meter), maka getarannya akan merambat ke permukaan laut potensial
menimbulkan gelombang tsunami. Salah satu contohnya yaitu gempa tektonik yang di
sertai gelombang tsunami di Aceh pada tahun 2004. Proses dan pembentukan gelombang
tsunami yang terjadi di wilayah tersebut diilustrasikan dalam Gambar 14.
a) Proses pembentukan gelombang tsunami b) Sebaran gelombang tsunami
Gambar 14. Hubungan antara Gempa Tektonik dan Pembentukan Gelombang Tsunami

Penerapan prinsip deskripsi untuk menjelaskan terbentuknya fenomena tersebut


dilakukan dengan cara: menjelaskan proses pergerakan lempeng tektonik dan
pembentukan gempa, mendeskripsi hubungan peristiwa gempa dengan pembentukan
gelombang tsunami, dan menjelaskan dampak yang ditimbulkan oleh bencana itu.

4) Prinsip korologi merupakan tata cara menjelaskan secara rasional hubungan kausal
(sebab–akibat) antara fenomena geografis yang terjadi dalam suatu wilayah tertentu.
Pengkajian suatu fenomena berdasarkan prinsip korologi ditinjau dari aspek: persebaran
fakta dalam ruang, interelasi antarkomponen pembentuk gejala, dan interaksi antargejala
yang membentuk suatu fenomena. Ditinjau dari kompleksitas aspek pengkajian tersebut,
maka prinsip korologi sering kali diartikan sebagai perpaduan antara prinsip: persebaran,
interelasi, dan deskripsi. Penerapan prinsip tersebut didasarkan pada pemikiran bahwa
ruang merupakan suatu kesatuan. Suatu fenomena dibentuk oleh berbagai elemen yang
merupakan properti dari suatu ruang. Karakteristik setiap elemen pembentuk fenomena
tersebut dipengaruhi oleh karakteristik ruang. Keterkaitan antarelemen tersebut dalam
membentuk fenomena merupakan suatu kesatuan yang tak terpisahkan.
Salah satu contoh fenomena yang dapat dijelaskan dengan menggunakan prinsip
korologi, yaitu mitigasi bencana gempa dan tsunami. Bencana alam seperti gempa dan
tsunami tidak dapat dicegah ataupun ditanggulangi. Bencana tersebut terjadi akibat
proses alam berupa pergerakan lempeng tektonik yang berlangsung secara
berkesinambungan. Mitigasi terhadap bencana gempa dan tsunami tidak dimaksudkan
untuk mencegah, tetapi diartikan sebagai tindakan untuk mengurangi dampak yang
ditimbulkan oleh bencana tersebut. Penerapan prinsip korologi untuk menjelaskan
tindakan mitigasi bencana tersebut dilakukan dengan cara: menggambarkan peta gempa
di Indonesia, mengidentifikasi kawasan pesisir yang rentan mengalami gempa dan
potensial menimbulkan gelombang tsunami, memasang alat deteksi tsunami di daerah-
daerah yang berpotensi mengalami bencana tersebut, menyiapkan kawasan aman yang
dapat digunakan untuk tempat pengungsian bagi korban bencana gempa–tsunami,
melakukan sismulasi bencana untuk melatih mental dan perilaku masyarakat dalam
mnghadapi bencana yang terjadi sewaktu-waktu, dan merumuskan prosedur ”tanggap
darurat” untuk menangani dampak bencana hingga pemulihan pasca bencana. Sebaran
gempa bumi di Indonesia diilustarsikan dalam Gambar 15.

Gambar 15. Identifikisai Persebaran Gempa untu Mitigasi Bencana

TUGAS KELOMPOK
1. Amatilah fenomena fisik ataupun fenomena sosial yang ada di lingkungan sekitar
Anda!
2. Deskripsikan peristiwa-peristiwa penting yang menjadi bagian fenomena tersebut
dalam bentuk cerita pendek!
3. Jelaskan secara proses terbentuknya fenomena yang Anda deskripsikan tersebut
dengan menggunakan prinsip geografi!
4. Presentasikan hasil identifikasi dan analisis masalah yang telah Anda susun di depan
kelas!

c. Konsep Dasar Geografi

Istilah konsep berasal dari bahasa Latin, yaitu dari kata conceptum yang berarti
”sesuatu yang diterima atau dipahami.” Istilah tersebut diadopsi dalam berbagai disiplin ilmu
dan didefinisikan sebagai ”representasi mental (gagasan umum) untuk memahami atribut
suatu objek.” Runtutan operasi logis (cara untuk memahami), yaitu: merinci ciri-ciri suatu
objek, merefleksi (membandingkan) persamaan dan persamaan dengan objek lain, dan
abstraksi (mengelompokkan) berbagai objek menjadi sebuah kategori.
Konsep geografi diartikan sebagai kerangka berpikir untuk memahami karakteristik
(atribut) suatu objek ataupun fenomena geografis. Kerangka pemikiran tersebut didasarkan
pada perspektif (sudut pandang) bahwa objek ataupun fenomena diasumsikan (dianggap)
selalu berada atau terjadi di dalam suatu ruang. Karaketristik objek ataupun fenomena itu
dipengaruhi oleh elemen fisik maupun non fisik yang terdapat dalam ruang. Elemen fisik
yang dimiliki oleh masing-masing ruang sangat bervariasi dan tidak dapat digeneralisasikan
(disamaratakan), sehingga hal itu tidak dapat dijadikan acuan umum memahami karakteristik
objek ataupun fenomena.
Elemen abstrak keruangan terdiri dari sepuluh unsur: lokasi, jarak, keterjangkauan,
pola, morfologi, aglomerasi, nilai guna, interaksi–interdependensi, diferensiasi area
(perbedaan antarruang), dan asosiasi (keterkaitan antarruang). Kesepuluh unsur spasial
tersebut berlaku secara general, artinya setiap ruang pasti memiliki elemen abstrak itu.
Berdasarkan sifat yang general tersebut para ahli sepakat bahwa kerangka berpikir untuk
memahami (conceptual framework) karakateristik suatu objek/fenomena geografis dilakukan
dengan cara mengaitkan dengan unsur abstrak keruangan. Penjelasan spesifik tentang sepuluh
unsur spasial yang dijadikan sebagai konsep geografi diuraikan sebagai berikut.
1) Konsep lokasi merupakan kerangka berpikir untuk memahami atribut suatu objek
ditinjau dari aspek keberadaannya dalam ruang. Keberadaan/letak suatu objek dalam
ruang dapat ditentukan melalui dua cara, yaitu berdasarkan sistem koordinat garis
lintang/garis bujur dan letaknya terhadap objek lain. Penentuan posisi objek berdasarkan
sistem koordinat garis lintang dan garis bujur disebut dengan lokasi absolut. Penentuan
posisi objek berdasarkan letaknya terhadap objek lain disebut dengan lokasi relatif.
Contoh penerapan konsep lokasi, yaitu penentuan posisi pintu gerbang Universitas
Negeri Malang. Sejak tahun 2009, posisi gerbang utama kampus Universtias Negeri
Malang di pindahkan dari Jl. Surabaya 1 Malang menjadi Jl.Semarang 5 Malang. Lokasi
relatif pintu gerbang Jl. Semarang 5 Malang berada di sebelah timur atau berada di
sebelah Jl. Jakarta. Deskripsi lokasi relatif tersebut akan berubah sewaktu-waktu, jika
terdapat objek lain yang lebih dominan untuk dijadikan perkiraan. Lokasi absolut
Jl.Semarang 5 Malang berada di koordinat 7055’48”LS dan 112037’10”BT. Deskripsi
lokasi absolut tersebut bersifat tetap, meskipun kondisi tempat yang bersangkutan dan
lingkungan sekitarnya telah berubah. Lokasi absolut bersifat mutlak dan tidak ada lokasi
lain di muka bumi yang menunjukkan lokasi sama dengan tempat itu. Lokasi pintu
gerbang Universitas Negeri Malang di Jl. Semarang 5 Malang diilustrasikan dalam
Gambar 16.

Gambar 16. Lokasi Pintu Gerbang Universitas Negeri Malang Jl. Semarang No.5

2) Konsep jarak merupakan kerangka berpikir untuk memahami keberadaan suatu objek
ditinjau dari aspek jauh–dekat ataupun waktu tempuh dari objek lain. Jarak dapat diukur
dengan dua cara, yaitu jarak geometrik dinyatakan dalam satuan panjang kilometer dan
jarak waktu yang diukur dengan satuan waktu (jarak tempuh). Penentuan jarak
berdasarkan perhitungan geometris disebut jarak absolut. Penentuan jarak berdasarkan
perhitungan waktu tempuh disebut jarak relatif.
Contoh penerapan konsep jarak, yaitu penentuan rute darat dari Malang menuju ke
Surabaya. Jarak absolut kedua kota tersebut 90 km. Satuan hitung jarak absolut itu tidak
berubah, meskipun sewaktu-waktu kedua kota tersebut mengalami pemekaran wilayah.
Jarak relatif dari Malang menuju ke Surabaya ditentukan berdasarkan satuan hitung
waktu perjalanan. Ketika belum di bangun jalur alternatif yang dapat mengurai
kemacetan di kawasan semburan lumpur Porong, waktu tempuh dari Malang ke
Surabaya mencapai 6 jam. Setelah dibangun jalur alternatif, waktu tempuh dari Malang
ke Surabaya ± 3 jam perjalanan. Deskripsi jarak alternatif tersebut dapat berubah
sewaktu-waktu menyesuaikan dengan situasi dan kondisi lalulintas.
3) Konsep keterjangkauan merupakan kerangka berpikir untuk memahami keberadaan
suatu objek ditinjau dari aspek aksesibilitas ruang. Aksesibilitas atau keterjangkauan
tersebut dipengaruhi oleh kondisi wilayah dan ketersediaan sarana ”penjangkauan”
(transportasi dan komunikasi). Kondisi wilayah yang mempengaruhi keterjangkauan,
misalnya berada di kawasan pegunungan yang berlereng curam atau berupa pulau
terpencil di tengah laut. Minimnya sarana transportasi dan komunikasi mempengaruhi
daya jangkau, meskipun jarak antarwilayah relatif dekat.
Contoh penerapan konsep keterjangkauan, yaitu perbandingan keterjangkauan
antara lokasi wisata Gunung Semeru dan Gunung Bromo. Lokasi kedua tempat wisata
tersebut berdekatan (berada dalam satu kompleks pegunungan) dan keindahan panorama
alamnya tidak jauh berbeda. Tingkat kunjungan wisata ke Gunung Bromo lebih tinggi
dibandingkan dengan tingkat kunjungan ke Gunung Semeru. Hal itu disebabkan
keterjangkauan Gunung Bromo lebih baik dari Gunung Semeru, meskipun jarak antara
keduanya relatif sama. Ketersediaan sarana transportasi menuju lokasi wisata Gunung
Bromo cukup baik. Pengunjung dapat menempuh perjalananan dengan menyewa
kendaraan jenis Jeep kemudian dilanjutkan dengan berkuda.

4) Konsep pola merupakan kerangka berpikir untuk memahami atribut suatu objek ditinjau
dari aspek sebaran dan tatanannya dalam ruang. Persebaran suatu objek alam maupun
buatan manusia selalu membentuk pola, misalnya: sungai memiliki pola memanjang,
hutan memiliki pola areal (menyebar memenuhi suatu kawasan), dan pemukiman yang
memiliki pola memanjang mengikuti alur jalan. Pemahaman terhadap pola suatu objek
dalam ruang merupakan dasar untuk memetakan distribusinya.
Contoh penerapan konsep pola, yaitu pendataan objek pajak di Kota Malang. Sejak
tahun 2010, pemerintah Kota Malang menetapkan standar baru nilai Pajak Bumi dan
Bangunan (PBB). Penentuan besarnya nilai pajak suatu bangunan tidak hanya
ditentukan oleh luas dan bentuknya, tetapi juga didasarkan pada lokasi dan fungsinya.
Pendataan objek pajak didasarkan pada citra statelit. Dari analisis citra satelit tersebut
diperoleh data baru bahwa hampir semua bangunan yang terletak di tepi jalan telah
berubah fungsi dari rumah tinggal menjadi tempat usaha. Pola tersebut menjadi dasar
bagi pemerintah Kota Malang untuk menaikan nilai pajak.

5) Konsep morfologi merupakan kerangka berpikir untuk memahami atribut suatu objek
ditinjau dari aspek proses pembentukan dan karakteristik bentuk geometrisnya. Objek
bentukan manusia pada umumnya memiliki karakteristik bentuk yang teratur dan
simetris. Objek bentukan alam memiliki bentuk yang tidak teratur. Kemampuan
mengenali bentuk suatu objek merupakan dasar untuk memahami proses
pembentukannya.
Contoh penerapan konsep morfologi, yaitu membedakan bentuk gunung dan bukit
pada gambar citra satelit. Kedua objek tersebut dibentuk oleh tenaga endogen dan secara
umum bentuknya hampir sama, yaitu berupa bidang kerucut yang menjulang tinggi di
atas permukaan tanah. Untuk dapat membedakan kenampakan dua objek tersebut pada
gambar citra satelit, diperlukan pengetahuan spesifiki tentang morfologi dan
aktivitasnya. Morfologi khas objek gunung berapi, yaitu berbentuk kerucut tunggal
dengan puncak yang hampir lancip, terdapat rongga dipuncaknya yang merupakan
kawah, dan terdapat alur-alur memanjang pada lereng gunung. Morfologi khas objek
bukit, yaitu berbentuk seperti tanggul yang memanjang, ukurannya relatif kecil, dan
memiliki beberap puncak yang ketinggiannya tidak sama. Perbedaan morfologi gunung
dan bukit dalam citra satelit diilustrasikan dalam Gambar 17.

Gambar 17. Perbedaan Morfologi Gunung dan Bukit dalam Citra Satelit

6) Konsep aglomerasi merupakan kerangka berpikir untuk memahami atribut suatu objek
ditinjau dari aspek konsentrasi distribusi dalam ruang. Persebaran objek dalam ruang
tidak merata. Sebagian objek terpencar di beberapa tempat, dan sebagain yang lain
terkumpul di satu lokasi. Objek yang terkumpul di satu tempat tersebut diistilahkan
dengan teraglomerasi atau terpusat membentuk suatu kelompok. Penerapan konsep
aglomerasi dimaksudkan untuk mengetahui: luasan zona konsetrasi, proses
pengelompokkan, dan hal yang melatarbelakangi proses tersebut.
Contoh penerapan konsep aglomerasi, yaitu pengkajian terhadap pusat-pusat
perdagangan di Kota Malang. Terbentuknya sentra perdagangan di Kota Malang pada
umumnya tidak berdasarkan koordinasi dengan pemerintah kota. Pusat-pusat
perdagangan tersebut seolah-olah terbentuk dengan sendirinya melalui kesepakatan
antarpedagang. Beberapa contoh pusat perdagangan tersebut, yaitu: Splendid sebagai
pusat perdagangan tanaman hias dan satwa peliharaan, Comboran sebagai pusat
perdagangan barang-barang bekas, kawasan Sumbersari merupakan pusat perdagangan
komputer beserta aksesorisnya, dan sepanjang Jl. Sukarno Hatta merupakan pusat
kuliner. Penerapan konsep aglomerasi untuk mengkaji pengelompokan tersebut
dilakukan dengan cara: menggambarkan luasan zona pusat-pusat perdagangan,
mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan aglomerasi, dan
mendeskripsikan keuntungan/kelemahan dari model pemusatan tersebut. Zonasi
perdagangan di Kota Malang diilustrasikan dalam Gambar 18.

Gambar 18. Zonasi Perdagangan di Kota Malang

7) Konsep nilai kegunaan merupakan kerangka berpikir untuk memahami atribut suatu
objek ditinjau dari aspek fungsi dan manfaat. Nilai kegunaan suatu objek bersifat relatif.
Tarafnya ditentukan berdasarkan manfaatnya bagi manusia. Nilai kegunaan suatu objek
dapat berubah sewaktu-waktu menyesuaikan perspektif manusia dalam memanfaatkan
objek tersebut.
Contoh penerapan konsep nilai kegunaan, yaitu perubahan fungsi Kali Mas dari
jalur transportasi air beralih menjadi saluran pembuangan. Kali Mas (Sungai Mas)
merupakan anak Sungai Brantas yang mengalir ke arah timur laut melewati
Kota Surabaya dan bermuara Selat Madura. Di masa kerajaan Majapahit, sungai tersebut
berfungsi sebagai pintu gerbang menuju ibukota kerajaan yang berada di Trowulan. Di
masa penjajahan Belanda, sungai tersebut berfungsi sebagai jalur transportasi air yang
vital. Hilir mudik sampan dan perahu kecil membawa masuk komoditas perdagangan
hingga ke pedalaman kota. Rute transportasi mulai dari Kembang Jepun (daerah Pecinan
di Surabaya), hingga ke daerah Kayun (sekarang menjadi lokasi Plaza Surabaya).
Perubahan fungsi Kali Mas Surabaya diilustrasikan dalam Gambar 19.
Gambar 19. Perbandingan Kondisi dan Fungsi Kali Masa Surabaya antara Tahun 1900
(masa penjajahan belanda) dan Tahun 2000 (era setelah reformasi)

Nilai kegunaan Kali Mas sebagai jalur transportasi mulai surut, ketika pembangunan
jalur darat semakin pesat. Fungsi Kali saat ini Mas bukan lagi sebagai jalur transportasi,
melainkan sebagai saluran pembuangan yang menampung limbah rumah tangga dan
industri yang berada di sepanjang bantaran sungai tersebut. Peralihan fungsi tersebut
menjadi bukti bahwa nilai kegunaan suatu objek bersifat relatif dan dapat berubah
sewaktu-waktu menyesuaikan perspektif manusia.
8) Konsep interaksi dan interdependensi merupakan kerangka berpikir untuk memahami
keterkaitan antargejala. Terbentuknya suatu gejala tidak disebabkan oleh faktor tunggal,
tetapi dapat juga dipengaruhi oleh beberapa gejala lain yang bekerja secara bersamaan
ataupun berantai. Hubungan antara dua gejala yang menimbulkan gejala baru disebut
dengan interaksi. Hubungan dua gejala yang membentuk pola ketergantungan disebut
dengan interdependensi.
Contoh penerapan konsep interaksi dan interdependensi, yaitu pemahaman
terhadap proses terbentuknya kerjasama antara desa dan kota. Hubungan kerjasama
kedua wilayah tersebut sangat erat, hingga membentuk pola saling ketergantungan. Desa
bergantung pada kota sebagai daerah pemasaran komoditas pertanian. Begitu pula
sebaliknya, kota bergantung pada desa sebagai daerah pensuplai bahan pangan. Lambat
laun hubungan kedua wilayah tersebut tidak hanya sebatas aktivitas perdagangan, tetapi
menimbulkan gejala baru berupa arus urbanisasi. Perkembang ekonomi kota yang begitu
pesat menjadi daya tarik bagi masyarakat desa. Para petani gurem dan buruh tani
berpindah ke kota untuk mendapatkan pekerjaan dan penghasilan yang lebih baik dari
pada di desa.

9) Konsep deferensiasi area merupakan kerangka berpikir untuk memahami perbedaan


karakteristik antarwilayah. Diferensiasi/perbedaan tersebut dapat ditinjau dari aspek
bentang alam ataupun bentang budaya. Diferensisasi bentang alam disebabkan oleh
susunan dan komposisi properti fisik yang dimiliki setiap wilayah tidak sama.
Diferensisasi bentang budaya disebabkan oleh kondisi sosial-kultur masyarakat yang
tinggal di suatu wilayah tidak dapat disamakan dengan wilayah yang lain. Pengetahuan
deferensiasi area merupakan dasar untuk pengklasifikasian perbedaan gejala yang terjadi
di setiap wilayah serta memahami berbagai faktor penyebabnya.
Contoh penerapan konsep deferensiasi area, yaitu pemahaman terhadap perbedaan
jenis vegetasi berdasarkan ketinggian suatu tempat dari permukaan air laut. Ketinggian
suatu tempat berpengaruh terhadap suhu rata-rata yang berlaku di wilayah itu. Gejala
tersebut disebabkan oleh faktor alami yang diistilahkan dengan ”adiabatis basah” bahwa
setiap kenaikan 100 meter dari permukaan air laut (mdpal) suhu udara akan turun 0,60C.
Perbedaan ketinggian (letak wilayah dari permukaan air laut) suhu udara menyebabkan
diferensiasi vegetasi. Diferensiasi vegetasi di setiap ruang dan pemahaman terhadap
faktor-faktor penyebab perbedaan tersebut menjadi pedoman bagi Junghuhn (1852)
merumuskan klasifikasi iklim berdasarkan faktor ketinggian dan jenis tanaman. Rincian
klasifikasi iklim–zona ketinggian–dan jenis tanaman menurut Junghuhn diilustrasikan
dalam Gambar 20.
Gambar 20. Klasifikasi Iklim berdasarkan Zona Ketinggian dan Jenis Tanaman

Keterangan:
a) Daerah panas
Ketinggian tempat antara 0–600 meter dari permukaan laut. Temperatur udara harian
antara 26,3°C–22°C. Jenis tanaman yang sesuai dibudidayakan di daerah itu: padi,
jagung, kopi, tembakau, tebu, karet, kelapa, dan cokelat.
b) Daerah sedang
Ketinggian tempat antara 600 –1500 meter dari permukaan laut. Temperatur udara
harian antara 22°C–17,1°C. Jenis tanaman yang sesuai dibudidayakan di daerah itu:
padi, tembakau, teh, kopi, cokelat, kina, dan sayur-sayuran.
c) Daerah sejuk
Ketinggian tempat antara 1500–2500 meter dari permukaan laut. Temperatur udara
harian antara 17,1°C–11,1°C. Jenis tanaman yang sesuai dibudidayakan di daerah itu:
teh, kopi, kina, dan sayur-sayuran.
d) Daerah dingin
Ketinggian tempat lebih dari 2500 meter dari permukaan laut. Temperatur udara
harian antara 11,1°C–6,2°C. Daerah itu tidak sesuai untuk budidaya tanaman.
Tumbuhan yang dapat tumbuh di daerah tersebut hanya jenis lumut dan pohon perdu
berdaun jarum.
10) Konsep keterkaitan keruangan merupakan kerangka berpikir untuk memahami
hubungan antargejala yang terjadi secara lintas ruang. Fenomena yang terjadi di suatu
wilayah tidak hanya disebabkan oleh faktor lokal, tetapi juga dipengaruhi faktor ekternal
berupa gejala yang berasal dari wilayah lain. Penerapan konsep asosiasi keruangan
dimaksudkan untuk memahami hubungan antara fenomena yang terjadi di satu wilayah
dengan fenomena yang terjadi di tempat lain.
Contoh penerapan keterkaitan keruangan, yaitu hubungan antara arus laut dengan
anomali musim yang terjadi di wilayah Indonesia. Perairan Indonesia merupakan jalur
bagi arus hangat yang bergerak dari Samudera Pasifik ke Samudera Hindia. Pergerakan
massa air yang diiringi dengan penghantaran panas tersebut menyebabkan pola musim di
Indonesia seringkali mengalami anomali (keadaan yang tidak berlaku seperti biasanya).
Terkadang berlaku musim kemarau yang panjang dan musim hujan yang pendek. Begitu
pula sebaliknya, dalam satu tahun berlaku musim kemarau yang pendek dan musim
hujan yang panjang. Fenomena tersebut tidak hanya disebabkan oleh faktor lokal, tetapi
terkait dengan gejala perubahan suhu air laut yang terjadi di dua samudera yang
mengapit Indonesia. Peta pergerakan massa air laut diilustrasikan dalam Gambar 21.

Gambar 21. Hubungan antara Pergerakan Arus Laut dengan Persebaran Panas

TUGAS KELOMPOK
1. Amatilah fenomena fisik ataupun fenomena sosial di lingkungan sekitar Anda!
2. Deskripsikan peristiwa-peristiwa penting yang menjadi bagian fenomena tersebut
dalam bentuk cerita pendek!
3. Jelaskan hubungan antarperistiwa yang Anda deskripsikan tersebut dengan
menggunakan konsep geografi!
4. Presentasikan hasil identifikasi dan analisis masalah yang telah Anda susun di depan
kelas!
Geo Info
Global Village (Desa Global) dalam Perspektif Geografi
Desa Global adalah konsep mengenai perkembangan teknologi komunikasi dan dunia
dianalogikan (diibaratkan) seperti sebuah desa yang sangat besar. Desa Global menjelaskan
bahwa tidak ada lagi batas ruang dan waktu yang jelas. Semua tempat dianggap tidak berbeda
dan setiap individu dapat memiliki kesempatan yang sama dalam mengakses informasi dan
memanfaatkan teknologi telekomunikasi. Informasi dapat berpindah dari satu tempat ke
belahan dunia lain dalam waktu yang sangat singkat. Konsep tersebut terus berkembang, dari
segi konseptual maupun aplikasi. 
Dampak fenomena desa global yaitu terbentuknya persepsi yang sama pada masyarakat
karena memperoleh kesamaan kesempatan untuk mengakses informasi. Contoh dampak desa
global bagi masyarakat yaitu persepsi terhadap gempa yang terjadi di Sumatera Barat dapat
menimbulkan kesan yang sama pada orang di Bandung atau di Samarinda. Persepsi mereka
terhadap pemberitaan media massa akan cenderung sama, yaitu sedih, iba, atau ingin
membantu. Penyampain informasi melalui media massa tersebut dapat membantu
memepercepat penyaluran bantuan kepada korban gempa. Pengaruh fenomena tersebut tidak
hanya pada bidang teknologi–informasi, tetapi juga pada bidang: ekonomi, sosial, budaya,
dan ideologi.
Perspektif geografi terhadap fenomena desa global yaitu munculnya cara pandang baru yang
mengangap bahwa ruang yang menjadi konteks kajian georafi terbagi secara mikro dan
makro. Konteks ruang secara mikro diartikan sebagai wilayah kecil yang memiliki: bentuk,
luas, dan batas yang jelas. Konteks ruang secara mikro diartikan sebagai perspektif global,
yaitu cara pandang dan cara pengkajian suatu masalah atau kejadian didasarkan pada
kepentingan dunia atau internasional. Pengkajian terhadap fenomena global village tersebut
akan menghasilkan pemikiran baru tentang konteks keruangan dalam geografi ataupu tetam-
tema analisis keruangan yang mutakhir.
(sumber rujukan: http://www.en.wikipedia.org, http://www.britanica.com, http://
www.bbc.co.uk)

Rangkuman

1. Perkembangan pengetahuan geografi terbangun secara bertahap. Secara spesifik


tahapan perkembangan geografi dikelompokkan menjadi lima periode, yaitu: geografi
di era kuno, geografi klasik, abad pertengahan, modern, dan geografi mutakhir.
Karakteristik pengetahuan geografi dipengaruhi oleh taraf peradaban dan isu-isu global
yang populer di setiap era.
2. Istilah geographein pertama kali dikemukakan oleh Eratosthenes yang secara
kebahasaan diartikan sebagai ”deskripsi tentang Bumi.”
3. Definisi geografi menurut konsesus (kespakatan) Ikatan Geograf Indonesia yaitu ilmu
yang mempelajari persamaan dan perbedaan fenomena geosfer dengan sudut pandang
kewilayahan atau kelingkungan dalam konteks keruangan.
4. Landasan geografi sebagai sebuah ilmu didasarkan pada tiga aspek filosofis, yaitu:
ontologis (objek material), epistimologi (objek formal), dan aksiologi (manfaat praktis).
5. Objek material geografi, yaitu aspek fisik alam dan aspek manusia. Secara spesifik, hal
yang dikaji (lingkup kajian) dari kedua aspek tersebut, meliputi: interelasi, interaksi,
persebarn, dan kerangka regional.
6. Objek formal geografi, terdiri dari: pendekatan, prinsip, dan konsep dasar.
7. Pendekatan geografi, meliputi: keruangan, kelingkungan, dan kompleks wilayah
8. Prinsip geografi, meliputi: persebaran, deskripsi, interelasi, dan korologi.
9. Konsep esensial geografi, terdiri dari: lokasi, jarak, keterjangkauan, pola, morfologi,
aglomerasi, nilai guna, interaksi–interdependensi, diferensiasi area (perbedaan
antarruang), dan asosiasi (keterkaitan antarruang).
10. Manfaat praktis (aksiologi) geografi, yaitu untuk: memahami faktor-faktor penyebab,
memahami proses, dan merumuskan solusi permasalahan yang terkait dengan
hubungan antara manusia dengan lingkungan alam.

DAFTAR RUJUKAN

Abdurachim, I. 1986. Geografi, Latar Belakang Pemikiran dan Metode. Bandung: Bina
Bhudaya.

Ad Hoc Committee on Geography. 1965. The Science of Geography. Washington: Academy


of Sciences.

Abler, R., Adams J.S., & Gould P. 1971. Spatial Organization: The Geographers View of the
World. New Jersey: Prentice Hall.

Beiser, A. 1973. The Earth: Life Nature Library. New York: Time-Life Books.

Bintarto R. 1986. Metode Analisa Geografi. Jakarta: LP3ES.

Boehm, Richard. 1984. World Geography, third Edition. USA: Mc. Grow Hill.
Boulding, Kenneth E. 1968. General System Theory: The Skeleton of Science, in Walter
Buckley (ed.), Modern Systems Research for the Behavioural Scientist. Chicago:
Aldine.

Coffey, W.J. 1981. Geography: Towards A General Spatial Systems Approach. London:
Methuen and Co., Ltd.

Dangana, L and Tropp, C. 1995. Human Ecology and and Environmental Ethics. In
M.Archia and S.Tropp (eds.). Environmental Management: Issues and Solution.
Chichester: John Wiley and Sons.

Daldjoeni, Nathanael. 1982. Pengantar Geografi: Untuk Mahasiswa dan Guru Sekolah.
Penerbit Alumni Bandung.

Daldjoeni, N. 1991. Pengantar Geografi Politik. Bandung: Alumni

Daldjoeni, N. 1992. Geografi Baru: Organisasi Keruaangan dalam Teori dan Praktek.
Penerbit Alumni Bandung.

Dicken, P. 1998. Global Shift: The Transformation of the Global Economy. London: Sage.

Featherstone, M (ed.). 1990. Global Culture. London: Sage.

Haggett, P. 1972. Geography: A Modern Synthesis. New York: Harper and Row Publishers.

Hartshorne, R. 1959. Perspectives on the Nature of Geography. London: Murray.

Herbert, D.T., & Colin, J. Thomas. 1982. Urban geography: A First Approach. New York:
John Wiley and Sons.

Hirst, P., & Thompson, G. 1996. Globalization in Question. Cambridge: Polity Press.

Iwan, Hermawan. 2009. Geografi Sebuah Pengantar. Bandung. Private Publishing.

James, Preston E., & Clarence, F. Jones (Ed). 1954. American Geography: Inventory and
Prospect. Association of American Geographers, Syracuse University Press.

Johnston, R.J., Derek, Gregory., Geraldine, Pratt., & Watts M. 2000. The Dictionary of
Human Geography. Oxford: Blackwell Publishers Ltd.

Kistiyanto, M. K. 2006. Pengantar Geografi Regional. Malang: PPs UM.

Mustofa. 2012. Pengantar Geografi. Malang: Geografi FIS UM.

Sumaatmadja, Nursid.1981. Studi Geografi: Suatu Pendekatan dan Analisa Keruangan.


Penerbit Alumni Bandung.

Suriasumantri, Jujun S. 1990. Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka sinar
Harapan.

Sutikno. 2008. Geografi dan Kompetensinya dalam Kajian Geografi Fisik. Materi Sarasehan
Keilmuan Geografi Tanggal 18-19 Januari 2008 di Fakultas Geografi UGM.
Waters, M. 1995. Globalization. London: Routledge.

WCED. 1987. Our Common Future. Oxford: Oxford University Press.

Worster, D. 1977. Nature’s Economy: A History of Ecological Ideas. Cambridge: Cambridge


University Press.

Yeates, M. 1968. Introduction to Quantitative Analysis in Economic Geography. New Jersey:


Englewood Cliffs.

Yunus, H.S. 2005. Metode Penelitian Geografi Manusia: Pendekatan dan Permasalahan
Penelitian. Disampaikan dalam Forum Seminar Pendekatan dan Metode Penelitian
Geografi dalam Rangka Penyusunan Disertasi. Yogyakarta: Fakultas Geografi
Universitas Gadjah Mada.

Yunus, H.S. 2008. Konsep dan Pendekatan Geografi: Memaknai Hakekat Keilmuannya.
Disampaikan dalam Sarasehan Forum Pimpinan Pendidikaan Tinggi Geografi
Indonesia: Pada tanggal 18 dan 19 Januari 2008 Di Fakultas Geografi Universitas
Gadjah Mada Yogyakarta.

Anda mungkin juga menyukai