Oleh: Mustofa
JURUSAN GEOGRAFI
FAKULTAS ILMU SOSIAL
UNIVERSITAS NEGERI MALANG
2013
A. Sejarah Perkembangan Geografi
Indikator : Menguraikan konsep geografi dari berbagai referensi
Kurikulum
Geografi Mutakhir Pengetahuan geografi dipengaruhi oeh isu global konservasi alam
Claudius Ptolemaeus
(90–168 M)
Wawasan geografi kuno pada dasarnya telah dikenal oleh masyarakat Indonesia
melalui tradisi yang diwariskan dari generasi ke generasi. Wawasan tersebut tidak
dirumuskan dalam catatan tertulis, sehingga belum dapat dikatakan sebagai sebuah displin
ilmiah. Secara spesifik bentuk tradisi yang mengandung wawasan geografi, yaitu kearifan
lokal yang dimiliki oleh setiap etnis. Salah satu contoh kearifan lokal yang berwawasan
geografi (berwawasan lingkungan) yaitu konsep pranata mangsa dalam budaya Jawa.
Masyarakat petani Jawa Kuno menjadikan konsep itu untuk menjadwalkan kegiatan bercocok
tanam ataupun panen. Petani melaksanakan panen pada mangsa kasanga (bulan Maret)
bertepatan dengan migrasi musiman ular dan burung pemakan serangga yang merupakan
predator bagi tikus dan wereng. Konsep ini akan menghasilkan keseimbangan lingkungan
yang efektif.
Pengetahuan geografi modern mulai berkembang di Indonesia pada zaman
penjajahan Belanda. Pada waktu itu, disiplin ilmu geografi dikenal dengan nama
Aardrijskunde. Transfer pengetahuan geografi modern kepada para pelajar Indonesia tidak
dilakukan melalui pendidikan khusus. Para ilmuwan Belanda yang melakukan penyelidikan
sumber daya alam Indonesia menjadikan para pelajar pribumi sebagai penunjuk jalan ataupun
asisten. Melalui cara itu pengetahuan geografi modern ”terwariskan” kepada pelajar
Indonesia.
Pembelajaran geografi mulai diterapkan di jenjang pendidikan dasar–menengah–dan
tinggi pada tahun 1955. Pada waktu itu pembelajaran geografi di Indonesia di kenal dengan
nama ”ilmu Bumi.” Hampir seluruh referensi pembelajaran geografi di masa itu berasal dari
peninggalan ilmuwan Belanda. Satu-satunya referensi pembelajaran geografi yang disusun
oleh ilmuwan Indonesia (Adi Negoro, Adam Bachtiar, dan Soetopo), yaitu buku Atlas
Semesta Dunia dan Atlas Semesta Dunia untuk Sekolah Landjutan. Penggunaan istilah ”ilmu
Bumi” sebagai sinonim dari pembelajaran geografi berubah setelah diadakan Seminar
Geografi di Semarang pada tahun 1972. Dari hasil seminar tersebut disepakati bahwa
geografi didefinisikan sebagai ilmu tata ruang, sedangkan ilmu Bumi merupakan sinonim dari
displin geologi.
Geo Info
Zaman Kegelapan (Dark Age) dan Surutnya Perkembangan Geografi
”Zaman kegelapan” merupakan istilah yang umum digunakan oleh para sejarawan
dunia untuk menggambarkan kondisi masyarakat Eropa di abad ke 2 (tahun 200 M) hingga
abad ke 12 (1.200 M). Tonggak sejarah era itu dimulai dari peristiwa runtuhnya kekaisaran
Romawi akibat invasi barbar (serangan bangsa Jermanik dan Viking). Runtuhnya kekaisaran
Romawi tersebut diiringi dengan ”runtuhnya peradaban” era kuno. Ilmu pengetahuan tidak
berkembang dan tidak ada catatan sejarah yang yang menunjukkan kemajuan peradaban.
Doktrin gereja merupakan salah satu bentuk kekuatan baru yang muncul di ”zaman
kegelapan.” Revolusi spiritual dari penyembahan Matahari (paganis) menjadi penyembahan
Kristus menyebabakan doktrin gereja semakin mendominasi semua aspek kehidupan
masyarakat Eropa di masa itu. Ilmu pengetahuan semakin surut karena semua referensi
pengetahuan hanya merujuk pada teologi (ajaran ketuhanan dalam agama Kristen). Temuan-
temuan ilmiah yang tidak sesuai dengan ajaran itu dianggap kebohongan dan pelecehan
agama. Para ilmuwan, pemikir, seniman, ataupun filsuf yang berupaya meluruskan pemikiran
tersebut dihukum gantung ataupun dibakar hidup-hidup karena dianggap sebagi ”penyihir.”
Salah satu contohnya yaitu Galileo Galilei yang dihukum gantung karena mengemukakan
teori heliosentris (Bumi berputar mengelilingi Matahari).
Perubahan kiblat pengetahuan di masa itu berubah dari Eropa ke daerah Timur
Tengah. Kemajuan ilmu pengetahuan dipelopori oleh para ilmuwan muslim, misalnya: Ibnu
Sina, Al-Biruni, dan Ibnu Khladun. Kemajuan di bidang pengetahuan geografi dapat
dikatakan melebihi perkembangan di masa kuno. Temuan para ilmuwan muslim di bidang
tersebut semakin rinci dan rasional. Perkembangan ilmu pengetahuan di daerah Timur
Tengah mulai surut ketika terjadi Perang Salib pertama (1095–1099). Kekalahan muslim
pada perang tersebut menjadikan semua aset kebudayaan ”disita.” Temuan-temuan ilmiah
para ilmuwan muslim diakuisisi oleh bangsa-bangsa Eropa dan dijadikan sebagai rujukan
pengembangan pengetahuan di masa Reinasannce (era kelahiran kembali kebudayaan Eropa).
(sumber rujukan, http//:www.en.wikipedia.org, www.britanica.com, www.bbc.co.uk)
TUGAS INDIVIDU
1. Carilah literatur tentang perkembangan geografi di setiap periode!
2. Pilih salah satu tokoh yang anda sukai dan deskripsikan bentuk temuan atau
pemikiran geografi yang dikemukakan oleh tokoh tersebut!
3. Tuliskan laporan hasil pengkajian literatur yang telah Anda lakukan dan presentasikan
di depan kelas!
B. Landasan Geografi
Indikator : Mendeskripsikan objek studi geografi.
Kurikulum Menentukan ruang lingkup geografi.
Mengidentifikasi prinsip- prinsip geografi.
Merumuskan konsep geografi dalam kajian geografi.
Tujuan : 1. Memahami pemikiran filosofis yang menjadi landasan geografi sebagai sebuah ilmu
Pembelajaran pengetahuan
2. Menjelaskan definisi geografi
3. Mendeskripsikan objek material geografi
4. Menjelaskan lingkup kajian geografi
5. Mendeskripsikan objek formal geografi
6. Memahami makna dan fungsi pendekatan georafi
7. Menerapkan pendekatan geografi
8. Memahami makna dan fungsi prinsip geografi
9. Menerapkan prinsip geografi
10. Memahami makna dan fungsi konsep geografi
11. Menerapkan konsep geografi
Abstraksi : Geografi merupakan ilmu yang mengkaji fenomena geosfer dengan pendekatan
Materi ekologikal dan kewilayahan dalam konteks keruangan. Aspek yang membedakan antara
geografi dengan disiplin ilmu lain, yaitu: objek material, objek formal, dan praktek
pemecahan masalah. Dalam sudut pandang filsafat ilmu ketiga hal tersebut
merepresentasikan: ontologi, epistimologi, dan aksiologi.
Landasan geografi sebagai sebuah ilmu didasarkan pada tiga aspek filosofis, yaitu:
ontologis (hal yang dikaji), epistimologi (cara mengkaji), dan aksiologi (manfaat pengkajian).
Ontologi ilmu geografi diwujudkan dalam bentuk objek material geografi. Epistimologi ilmu
geografi diwujudkan dalam bentuk objek formal geografi. Aksiologi ilmu geografi
diwujudkan dalam bentuk praktek pemecahan masalah menggunakan metode analisa
geografi. Ketiga aspek itu menjadi identitas khas geografi sebagai sebuah bidang ilmiah yang
berbeda dengan disiplin ilmu yang lain. Penjelasan spesifik tentang ketiga aspek filosofis
geografi tersebut diuraikan sebagai berikut.
1 Definisi Geografi
.
Istilah geografi berasal dari kata dasar geo dan graphein (dalam bahasa Yunani
Kuno). Kata geo berarti ”bumi” dan graphein berarti ”menulis” atau ”menjelaskan.” Makna
yang diperoleh dari penggabungan dua kata dasar itu dapat menjadi gambaran umum bahwa
geogarfi merupakan ilmu yang bertujuan untuk mendiskripsikan bumi. Definisi secara
kebahasaan tersebut belum dapat digunakan sebagai kesimpulan, karena makna ”ilmu yang
mendiskripsikan bumi” masih samar (belum operasional) dan ambigu (memiliki maksud yang
hampir sama) dengan: ilmu bumi (geologi), ilmu bentang alam (geomorfologi), ataupun
teknik penggambaran bentuk muka bumi (geodesi). Ketiga displin ilmu tersebut juga
mempelajari tentang bumi. Untuk mengantarkan pada pemahaman tentang definisi geografi
secara spesifik diperlukan beberapa referensi sahih.
Referensi yang dapat mengantarkan pada pemahaman definisi geografi secara
spesifik, yaitu beberapa pendapat dari para ahli yang diuraikan sebagai berikut.
Definisi geografi menurut Carl Ritter, yaitu ”geography to
study the earth as the dwelling-place of man.” Geografi
mempelajari bumi sebagai tempat hidup manusia. Pengkajian
terhadap aspek fisik Bumi untuk mempersiapkan kondisi
lingkungan yang sesuai bagi manusia.
Hasil seminar dan Definisi geografi hasil kespakatan para ahli, ”geografi adalah
lokakarya Ikatan Geograf ilmu yang mempelajari persamaan dan perbedaan fenomena
Indonesia di Semarang geosfer dengan sudut pandang kewilayahan atau
(1988) kelingkungan dalam konteks keruangan.”
Objek material geografi merupakan bentuk dari ontologi atau hal yang dikaji dalam
ilmu geografi. Hal yang dikaji dalam geografi secara umum dibedakan menjadi dua, yaitu
aspek fisik dan aspek sosial. Aspek fisik yang dikaji dalam geografi, yaitu ”bentang alam”
yang terdiri dari komponen: litosfer (relief bumi, mineral, jenis batuan, dan tanah), atmosfer
(cuaca dan iklim), hidrosfer (perairan darat dan laut), serta biosfer (hewan). Aspek sosial
(antroposfer) yang dikaji dalam geografi, yaitu ”bentang budaya” yang terdiri dari unsur:
kondisi sosial, ekonomi, politik, budaya, dan tata ruang. Ditinjau dari spesifikasi kajian
tersebut, objek material geografi relatif kompleks. Agar tidak tumpang tindih dengan kajian
disiplin ilmu yang lain, maka diperlukan pembatasan lingkup kajian.
Batasan atau lingkup kajian terhadap objek material geografi terdiri dari empat hal,
yaitu:
a. Interelasi atau hubungan timbal balik antara aspek sosial (manusia) dengan aspek fisik.
Pengkajian terhadap interelasi manusia–alam didasarkan pada pemikiran bahwa
karakteristik budaya yang berkembang di suatu tempat dipengaruhi oleh kondisi alam di
wilayah tersebut. Begitu pula sebaliknya, kondisi alam di suatu tempat termodivikasi oleh
aktivitas manusia. Untuk mengetahui hubungan timbal balik kedua aspek tersebut, maka
pengakjiannya dilakukan secara proporsional (seimbang) simultan (bersamaan). Hal itu
bertujuan agar diketahui ”bagaimana” determinis alam terhadap manusia dan
”bagaimana” posibilis manusia terhadap alam.
b. Interaksi atau hubungan timbal balik antarfenomena yang menimbulkan gejala baru.
Hubungan antargejala timbul dari hasil korelasi antara: aspek sosial dengan fisik, sosial
dengan sosial, ataupun fisik dengan fisik. Pengkajian terhadap interaksi antarobjek
material (manusia dan alam) dalam geografi didasarkan pada pemikiran bahwa suatu
gejala sosial ataupun fenomena alam tidak terjadi secara parsial (sebab tunggal).
Munculnya masalah baru disebabkan oleh problematika lama yang tidak tertanggulangi
secara tuntas, misalnya peristiwa tanah longsor yang disebabkan oleh aktivitas
pembabatan hutan dan pengelolaan lahan di kawasan berlereng curam yang kurang tepat.
c. Persebaran fenomena geosfer dalam kerangka (konteks) keruangan. Pengkajian terhadap
persebaran tersebut didasarkan pada pemikiran bahwa pola interaksi antara manusia
dengan alam di setiap wilayah tidak sama. Manusia yang tinggal dalam ”lingkup ruang”
Pegunungan akan memiliki pola adaptasi yang berbeda dengan yang tinggal di kawasan
pantai. Berdasarkan pemikiran dasar tersebut, maka fenomena yang menjadi objek
material geografi dikaji dan dikelompokkan berdasarkan konteks ruang atau tempat
”dimana” objek tersebut berada.
d. Kerangka regional atau ciri khusus wilayah yang melatarbelakangi pembentukan ciri
khas suatu objek material. Pengaitan antara objek material dengan kerangka regional
didasarkan pada pemikiran bahwa keberadaan suatu objek (fisik maupun sosial) di suatu
lokasi terkait dengan objek material di lokasi lain. Salah satu contohnya yaitu fenomena
banjir di kawasan hilir sungai yang terbentuk dari limpahan air dari daerah hulu.
Keterkaitan antarwilayah tersebut menjadi landasan pertimbangan bahwa pengkajian
suatu fenomen menurut geografi tidak hanya difokuskan pada lingkup lokal, melainkan
diperluas dalam cakupan regional.
Sintesis (makna inti) yang diperoleh dari uraian tersebut, yaitu objek material dalam
geografi tidak dapat dikaji secara terpisah. Pengkajian terhadap aspek sosial serta fisik
dilakukan secara simultan (bersamaan) dan dikaitkan dengan empat hal yang menjadi
orientasi atau lingkup kajian, meliputi: interelasi, interaksi, persebaran, dan kerangka
regional. Lingkup kajian tersebut merupakan salah satu aspek pembeda antara geografi
dengan disiplin ilmu lain dalam mengkaji suatu objek.
Objek formal geografi merupakan wujud dari epistimologi atau cara geografi dalam
mengkaji objek material. Tata cara geografi dalam mengkaji suatu objek dilandasi oleh tiga
pertimbangan dasar, yaitu: 1) bagaimana menelaah (menentukan sudut pandang) suatu
fenomena secara objektif dan komprehensif (lengkap)?; 2) bagaimana merumuskan pola
penalaran dalam mengkaji suatu fenomena secara logis dan rasional?; dan 3) bagaimana
kerangka berpikir yang tepat untuk memahami karakteristik dan hubungan antarfenomena?
Penerapan ketiga pertimbangan dasar tersebut diwujudkan dalam bentuk: pendekatan
(mewakili cara memahami/memandang suatu fenomena), prinsip (mewakili pola dasar
penalaran), dan konsep geografi (mewakili kerangka pemahaman). Penjelasan spesifik
tentang ketiga hal itu diuraikan sebagi berikut.
a Pendekatan Geografi
.
Istilah approach (pendekatan) berasal dari bahasa Latin, yaitu dari kata propius yang berarti
”cara mendekati.” Istilah tersebut diadopsi dalam berbagai disiplin ilmu dan didefinisikan
sebagai ”cara mendekati suatu objek ilmiah untuk mendapatkan perspektif global (sudut
pandang secara umum).” Pendekatan tersebut diwujudkan dalam bentuk: penentuan aspek
makro yang dikaji terlebih dahulu sebelum aspek mikro, prosedur umum untuk mengkaji
suatu objek, atau tata cara untuk menemukan solusi suatu masalah.
Pendekatan geografi diartikan sebagai cara pandang geografi dalam menelaah suatu
fenomena/fakta/masalah. Agar dalam telaah tersebut dapat dirumuskan penjelasan yang
objektif–mendalam–dan lengkap, maka tata cara menghampiri (pendekatan) suatu masalah
yang digunakan tidak hanya dari satu perspektif (sudut pandang). Pendekatan geografi terdiri
dari tiga aspek, meliputi: keruangan (spatial approach), kelingkungan (ecological approach),
dan pendekatan kompleks wilayah (regional complex). Hierarki atau susunan ketiga
pendekatan diilustrasikan dalam Gambar 1.
Keruangan
Kelingkungan Kewilayahan
c) Model Kota Brusell (Belgia) tahun 2000 d) Peta Kota Brusell (Belgia) tahun 2000
c) Analisis proses keruangan (spatial process analysis) merupakan cara untuk mengkaji
proses perubahan properti fisik dan manusia dalam ruang. Penerapan tema analisis
tersebut didasarkan pada pemikiran bahwa segala objek material yang dikaji dalam
geografi selalu mengalami perubahan. Properti suatu ruang mengalami perubahan secara
berkala. Aspek fisik mengalami perubahan secara alami ataupun akibat pengaruh
manusia. Aspek manusia pengalami perubahan secara kuantitas maupun kualitas.
Perubahan yang terjadi pada dua properti tersebut berdampak pada perubahan
karakteristik ruang. Penerapan analisis proses keruangan bertujuan untuk mengkaji:
faktor-faktor penyebab perubahan, runtutan proses perubahan, dan dampak yang timbul
dari perubahan tersebut.
Salah satu contoh masalah yang dapat dikaji dengan analisis proses keruangan, yaitu
hubungan antara pertambahan jumlah penduduk dengan morfologi kota (bentuk maupun
luas kawasan). Jumlah penduduk kota selalu bertambah, baik disebabkan oleh faktor
kelahiran maupun migrasi. Pertambahan penduduk secara berkesinambungan
menyebabkan tata ruang kota berubah secara berkala. Alat bantu yang mempermudah
analisis proses perubahan tata ruang kota tersebut, yaitu overlay (tumpangsusun) foto
udara atau citra satelit ”serial” (gambar yang urut dari tahun ke tahun). Contoh peta yang
menggambarkan perubahan morfologi kota diilustrasikan dalam Gambar 4.
MENGALAMI
BLURRING
c) Ikan yang mati akibat pencemaran d) Bayi yang lahir cacat akibat pencemaran
Gambar 8. Pencemaran Perairan Laut di Teluk Buyat, Minahasa, Sulawesi Utara
Gambar 9. Perbandingan Kondisi Lingkungan Gunung Merapi Sebelum dan Sesudah Erupsi
TUGAS KELOMPOK
4. Amatilah fenomena fisik ataupun fenomena sosial yang ada di lingkungan sekitar
Anda!
5. Deskripsikan fenomena tersebut dalam bentuk cerita pendek!
6. Analisis fenomena yang Anda deskripsikan tersebut dengan menggunakan salah satu
pendekatan geografi!
7. Presentasikan hasil identifikasi dan analisis masalh yang telah Anda susun di depan
kelas!
b Prinsip Geografi
.
Istilah prinsip berasal dari bahasa Latin, yaitu dari kata principium yang berarti
”sesuatu yang menjadi dasar.” Istilah tersebut diadopsi dalam berbagai disiplin ilmu dan
didefinisikan sebagai ”aksioma atau logika dasar yang menjadi acuan dalam mengkaji suatu
objek.” Logika dasar tersebut diwujudkan dalam bentuk: hukum ilmiah (fakta alam yang
berlaku tetap), aturan baku suatu metode ilmiah (cara pengkajian secara ilmiah), cara kerja
suatu perangkat buatan, ataupun asumsi (anggapan) dasar dalam mendeskripsikan objek
ilmiah.
Prinsip geografi diartikan sebagai logika dasar dalam disiplin ilmu geografi untuk
memahami suatu permasalahan. Setiap masalah yang dikaji secara ilmiah selalu diiringi
dengan penjelasan rasional (alasan yang dapat dipahami oleh akal sehat). Untuk dapat
menjelaskan secara rasional hubungan antara sebab–proses– dan akibat, diperlukan dasar-
dasar pemikiran yang logis (masuk akal). ”Tata cara” berpikir logis dalam disiplin ilmu
geografi dirumuskan dalam bentuk prinsip geografi. Menurut prinsip geografi, penjelasan
rasional suatu masalah dapat ditinjau dari aspek: persebaran, interelasi, deskripsi, dan
korologi. Penjelasan spesifik tentang keempat prinsip rasionalisasi masalah dalam geografi
tersebut diuraikan sebagai berikut.
1) Prinsip persebaran merupakan tata cara menjelaskan secara rasional terbentuknya suatu
fenomena geografis ditinjau dari aspek distribusinya dalam ruang. Fenomena geografis
berupa peristiwa alam ataupun aktivitas manusia tidak berlaku sama di setiap wilayah.
Terbentuknya suatu fenomena berawal dari suatu tempat, kemudian pengaruhnya
menyebar ke wilayah lain. Penerapan prinsip persebaran dimaksudkan untuk memetakan
tempat terjadinya suatu fenomen beserta sebaran pengaruhnya.
Salah satu contoh fenomena yang dapat dijelaskan dengan menggunakan prinsip
persebaran, yaitu terbentuknya pusat perdagangan buah Rambutan secara musiman di
daerah Gadang, Kota Malang. Pusat perdagangan buah di Kota Malang sebenarnya
berada di Pasar Besar dan Comboran. Pada bulan September–Oktober suplai buah
Rambutan dari Blitar melimpah,hingga pusat perdagangan tersebut tidak mampu
menampung. Hal itu menimbulkan terbentuknya pusat perdagangan baru untuk
komoditas buah Rambutan di sekitar Gadang. Distribusi pedagang buah Rambutan
secara musiman di Kota Malang diilustrasikan dalam Gambar 12.
Gambar 12. Lokasi Pusat Peradagangan Buah di Malang
2) Prinsip interelasi merupakan tata cara menjelaskan secara rasional terbentuknya suatu
fenomena geografis ditinjau dari aspek hubungan sebab–akibat. Terbentuknya suatu
fenomena tidak disebabkan oleh faktor tunggal, melainkan dipengaruhi oleh beberapa
faktor bekerja secara bersamaan ataupun berantai. Dalam kerangka pikir geografi,
terjadinya suatu fenomena/gejala disebabkan oleh interelasi atau hubungan timbal balik
antara faktor: fisik dengan fisik, manusia dengan manusia, atau fisik dengan manusia.
Penerapan prinsip interelasi dimaksudkan untuk menjelaskan secara rasional
terbentuknya suatu fenomena/gejala berdasarkan ketiga pola interelasi tersebut.
Salah satu contoh fenomena yang dapat dijelaskan dengan menggunakan prinsip
interelasi, yaitu bencana banjir yang melanda Kota Jakarta setiap tahun. Bencana banjir
tersebut disebabkan oleh dua faktor utama, yaitu kondisi alam dan perilaku manusia.
Tingginya curah hujan menyebabkan debit air di berapa sungai yang mengalir melewati
Jakarta meningkat. Peningkatan debit air tersebut tidak seimbang dengan daya tampung
”badan sungai” yang sebagian besar telah berubah fungsi menjadi kawasan permukiman
penduduk. Hal itu diperparah dengan pendangkalan dan sumbatan sampah yang
menghambat aliran air. Aliran air yang tidak tertampung tersebut kemudian meluap dan
menyebabkan sebagian besar kawasan kota tergenang. Kondisi banjir di Kota Jakarta
diilustrasikan dalam Gambar 13.
a) Tumpukan sampah penyumbat drainase b) Banjir di Jakarta tahu 2012
3) Prinsip deskripsi merupakan tata cara menjelaskan secara rasional terbentuknya suatu
fenomena geografis ditinjau dari aspek runtutan proses. Pembentukan setiap fenomena
memiliki proses dan tahap yang berbeda-beda. Perubahan suatu gejala menjadi peristiwa
terkadang berlangsung cepat (dalam waktu yang singkat), tetapi tidak sedikit pula
perubahan tersebut yang berlangsung lama. Penerapan prinsip deskripsi dimaksudkan
untuk merekonstruksi tahapan proses terbentuknya suatu peristiwa serta menjelaskan
secara rasional hubungan antargejala yang menjadi faktor pembentuk fenomena tersebut.
Salah satu contoh fenomena yang dapat dijelaskan dengan menggunakan prinsip
deskripsi, yaitu hubungan antara gempa tektonik dan pembentukan gelombang tsunami.
Gempa tektonik dan gelombang tsunami merupakan dua peristiwa alam yang terjadi
akibat gerakan lempeng tektonik. Gempa tektonik berasal dari getaran yang mengiringi
proses pergerakan lempeng tektonik. Getaran gempa tektonik pada umumnya sangat kuat
dan menimbulkan bencana besar. Jika gempa tersebut berpusat di dasar laut dangkal
(kedalaman ≤ 200 meter), maka getarannya akan merambat ke permukaan laut potensial
menimbulkan gelombang tsunami. Salah satu contohnya yaitu gempa tektonik yang di
sertai gelombang tsunami di Aceh pada tahun 2004. Proses dan pembentukan gelombang
tsunami yang terjadi di wilayah tersebut diilustrasikan dalam Gambar 14.
a) Proses pembentukan gelombang tsunami b) Sebaran gelombang tsunami
Gambar 14. Hubungan antara Gempa Tektonik dan Pembentukan Gelombang Tsunami
4) Prinsip korologi merupakan tata cara menjelaskan secara rasional hubungan kausal
(sebab–akibat) antara fenomena geografis yang terjadi dalam suatu wilayah tertentu.
Pengkajian suatu fenomena berdasarkan prinsip korologi ditinjau dari aspek: persebaran
fakta dalam ruang, interelasi antarkomponen pembentuk gejala, dan interaksi antargejala
yang membentuk suatu fenomena. Ditinjau dari kompleksitas aspek pengkajian tersebut,
maka prinsip korologi sering kali diartikan sebagai perpaduan antara prinsip: persebaran,
interelasi, dan deskripsi. Penerapan prinsip tersebut didasarkan pada pemikiran bahwa
ruang merupakan suatu kesatuan. Suatu fenomena dibentuk oleh berbagai elemen yang
merupakan properti dari suatu ruang. Karakteristik setiap elemen pembentuk fenomena
tersebut dipengaruhi oleh karakteristik ruang. Keterkaitan antarelemen tersebut dalam
membentuk fenomena merupakan suatu kesatuan yang tak terpisahkan.
Salah satu contoh fenomena yang dapat dijelaskan dengan menggunakan prinsip
korologi, yaitu mitigasi bencana gempa dan tsunami. Bencana alam seperti gempa dan
tsunami tidak dapat dicegah ataupun ditanggulangi. Bencana tersebut terjadi akibat
proses alam berupa pergerakan lempeng tektonik yang berlangsung secara
berkesinambungan. Mitigasi terhadap bencana gempa dan tsunami tidak dimaksudkan
untuk mencegah, tetapi diartikan sebagai tindakan untuk mengurangi dampak yang
ditimbulkan oleh bencana tersebut. Penerapan prinsip korologi untuk menjelaskan
tindakan mitigasi bencana tersebut dilakukan dengan cara: menggambarkan peta gempa
di Indonesia, mengidentifikasi kawasan pesisir yang rentan mengalami gempa dan
potensial menimbulkan gelombang tsunami, memasang alat deteksi tsunami di daerah-
daerah yang berpotensi mengalami bencana tersebut, menyiapkan kawasan aman yang
dapat digunakan untuk tempat pengungsian bagi korban bencana gempa–tsunami,
melakukan sismulasi bencana untuk melatih mental dan perilaku masyarakat dalam
mnghadapi bencana yang terjadi sewaktu-waktu, dan merumuskan prosedur ”tanggap
darurat” untuk menangani dampak bencana hingga pemulihan pasca bencana. Sebaran
gempa bumi di Indonesia diilustarsikan dalam Gambar 15.
TUGAS KELOMPOK
1. Amatilah fenomena fisik ataupun fenomena sosial yang ada di lingkungan sekitar
Anda!
2. Deskripsikan peristiwa-peristiwa penting yang menjadi bagian fenomena tersebut
dalam bentuk cerita pendek!
3. Jelaskan secara proses terbentuknya fenomena yang Anda deskripsikan tersebut
dengan menggunakan prinsip geografi!
4. Presentasikan hasil identifikasi dan analisis masalah yang telah Anda susun di depan
kelas!
Istilah konsep berasal dari bahasa Latin, yaitu dari kata conceptum yang berarti
”sesuatu yang diterima atau dipahami.” Istilah tersebut diadopsi dalam berbagai disiplin ilmu
dan didefinisikan sebagai ”representasi mental (gagasan umum) untuk memahami atribut
suatu objek.” Runtutan operasi logis (cara untuk memahami), yaitu: merinci ciri-ciri suatu
objek, merefleksi (membandingkan) persamaan dan persamaan dengan objek lain, dan
abstraksi (mengelompokkan) berbagai objek menjadi sebuah kategori.
Konsep geografi diartikan sebagai kerangka berpikir untuk memahami karakteristik
(atribut) suatu objek ataupun fenomena geografis. Kerangka pemikiran tersebut didasarkan
pada perspektif (sudut pandang) bahwa objek ataupun fenomena diasumsikan (dianggap)
selalu berada atau terjadi di dalam suatu ruang. Karaketristik objek ataupun fenomena itu
dipengaruhi oleh elemen fisik maupun non fisik yang terdapat dalam ruang. Elemen fisik
yang dimiliki oleh masing-masing ruang sangat bervariasi dan tidak dapat digeneralisasikan
(disamaratakan), sehingga hal itu tidak dapat dijadikan acuan umum memahami karakteristik
objek ataupun fenomena.
Elemen abstrak keruangan terdiri dari sepuluh unsur: lokasi, jarak, keterjangkauan,
pola, morfologi, aglomerasi, nilai guna, interaksi–interdependensi, diferensiasi area
(perbedaan antarruang), dan asosiasi (keterkaitan antarruang). Kesepuluh unsur spasial
tersebut berlaku secara general, artinya setiap ruang pasti memiliki elemen abstrak itu.
Berdasarkan sifat yang general tersebut para ahli sepakat bahwa kerangka berpikir untuk
memahami (conceptual framework) karakateristik suatu objek/fenomena geografis dilakukan
dengan cara mengaitkan dengan unsur abstrak keruangan. Penjelasan spesifik tentang sepuluh
unsur spasial yang dijadikan sebagai konsep geografi diuraikan sebagai berikut.
1) Konsep lokasi merupakan kerangka berpikir untuk memahami atribut suatu objek
ditinjau dari aspek keberadaannya dalam ruang. Keberadaan/letak suatu objek dalam
ruang dapat ditentukan melalui dua cara, yaitu berdasarkan sistem koordinat garis
lintang/garis bujur dan letaknya terhadap objek lain. Penentuan posisi objek berdasarkan
sistem koordinat garis lintang dan garis bujur disebut dengan lokasi absolut. Penentuan
posisi objek berdasarkan letaknya terhadap objek lain disebut dengan lokasi relatif.
Contoh penerapan konsep lokasi, yaitu penentuan posisi pintu gerbang Universitas
Negeri Malang. Sejak tahun 2009, posisi gerbang utama kampus Universtias Negeri
Malang di pindahkan dari Jl. Surabaya 1 Malang menjadi Jl.Semarang 5 Malang. Lokasi
relatif pintu gerbang Jl. Semarang 5 Malang berada di sebelah timur atau berada di
sebelah Jl. Jakarta. Deskripsi lokasi relatif tersebut akan berubah sewaktu-waktu, jika
terdapat objek lain yang lebih dominan untuk dijadikan perkiraan. Lokasi absolut
Jl.Semarang 5 Malang berada di koordinat 7055’48”LS dan 112037’10”BT. Deskripsi
lokasi absolut tersebut bersifat tetap, meskipun kondisi tempat yang bersangkutan dan
lingkungan sekitarnya telah berubah. Lokasi absolut bersifat mutlak dan tidak ada lokasi
lain di muka bumi yang menunjukkan lokasi sama dengan tempat itu. Lokasi pintu
gerbang Universitas Negeri Malang di Jl. Semarang 5 Malang diilustrasikan dalam
Gambar 16.
Gambar 16. Lokasi Pintu Gerbang Universitas Negeri Malang Jl. Semarang No.5
2) Konsep jarak merupakan kerangka berpikir untuk memahami keberadaan suatu objek
ditinjau dari aspek jauh–dekat ataupun waktu tempuh dari objek lain. Jarak dapat diukur
dengan dua cara, yaitu jarak geometrik dinyatakan dalam satuan panjang kilometer dan
jarak waktu yang diukur dengan satuan waktu (jarak tempuh). Penentuan jarak
berdasarkan perhitungan geometris disebut jarak absolut. Penentuan jarak berdasarkan
perhitungan waktu tempuh disebut jarak relatif.
Contoh penerapan konsep jarak, yaitu penentuan rute darat dari Malang menuju ke
Surabaya. Jarak absolut kedua kota tersebut 90 km. Satuan hitung jarak absolut itu tidak
berubah, meskipun sewaktu-waktu kedua kota tersebut mengalami pemekaran wilayah.
Jarak relatif dari Malang menuju ke Surabaya ditentukan berdasarkan satuan hitung
waktu perjalanan. Ketika belum di bangun jalur alternatif yang dapat mengurai
kemacetan di kawasan semburan lumpur Porong, waktu tempuh dari Malang ke
Surabaya mencapai 6 jam. Setelah dibangun jalur alternatif, waktu tempuh dari Malang
ke Surabaya ± 3 jam perjalanan. Deskripsi jarak alternatif tersebut dapat berubah
sewaktu-waktu menyesuaikan dengan situasi dan kondisi lalulintas.
3) Konsep keterjangkauan merupakan kerangka berpikir untuk memahami keberadaan
suatu objek ditinjau dari aspek aksesibilitas ruang. Aksesibilitas atau keterjangkauan
tersebut dipengaruhi oleh kondisi wilayah dan ketersediaan sarana ”penjangkauan”
(transportasi dan komunikasi). Kondisi wilayah yang mempengaruhi keterjangkauan,
misalnya berada di kawasan pegunungan yang berlereng curam atau berupa pulau
terpencil di tengah laut. Minimnya sarana transportasi dan komunikasi mempengaruhi
daya jangkau, meskipun jarak antarwilayah relatif dekat.
Contoh penerapan konsep keterjangkauan, yaitu perbandingan keterjangkauan
antara lokasi wisata Gunung Semeru dan Gunung Bromo. Lokasi kedua tempat wisata
tersebut berdekatan (berada dalam satu kompleks pegunungan) dan keindahan panorama
alamnya tidak jauh berbeda. Tingkat kunjungan wisata ke Gunung Bromo lebih tinggi
dibandingkan dengan tingkat kunjungan ke Gunung Semeru. Hal itu disebabkan
keterjangkauan Gunung Bromo lebih baik dari Gunung Semeru, meskipun jarak antara
keduanya relatif sama. Ketersediaan sarana transportasi menuju lokasi wisata Gunung
Bromo cukup baik. Pengunjung dapat menempuh perjalananan dengan menyewa
kendaraan jenis Jeep kemudian dilanjutkan dengan berkuda.
4) Konsep pola merupakan kerangka berpikir untuk memahami atribut suatu objek ditinjau
dari aspek sebaran dan tatanannya dalam ruang. Persebaran suatu objek alam maupun
buatan manusia selalu membentuk pola, misalnya: sungai memiliki pola memanjang,
hutan memiliki pola areal (menyebar memenuhi suatu kawasan), dan pemukiman yang
memiliki pola memanjang mengikuti alur jalan. Pemahaman terhadap pola suatu objek
dalam ruang merupakan dasar untuk memetakan distribusinya.
Contoh penerapan konsep pola, yaitu pendataan objek pajak di Kota Malang. Sejak
tahun 2010, pemerintah Kota Malang menetapkan standar baru nilai Pajak Bumi dan
Bangunan (PBB). Penentuan besarnya nilai pajak suatu bangunan tidak hanya
ditentukan oleh luas dan bentuknya, tetapi juga didasarkan pada lokasi dan fungsinya.
Pendataan objek pajak didasarkan pada citra statelit. Dari analisis citra satelit tersebut
diperoleh data baru bahwa hampir semua bangunan yang terletak di tepi jalan telah
berubah fungsi dari rumah tinggal menjadi tempat usaha. Pola tersebut menjadi dasar
bagi pemerintah Kota Malang untuk menaikan nilai pajak.
5) Konsep morfologi merupakan kerangka berpikir untuk memahami atribut suatu objek
ditinjau dari aspek proses pembentukan dan karakteristik bentuk geometrisnya. Objek
bentukan manusia pada umumnya memiliki karakteristik bentuk yang teratur dan
simetris. Objek bentukan alam memiliki bentuk yang tidak teratur. Kemampuan
mengenali bentuk suatu objek merupakan dasar untuk memahami proses
pembentukannya.
Contoh penerapan konsep morfologi, yaitu membedakan bentuk gunung dan bukit
pada gambar citra satelit. Kedua objek tersebut dibentuk oleh tenaga endogen dan secara
umum bentuknya hampir sama, yaitu berupa bidang kerucut yang menjulang tinggi di
atas permukaan tanah. Untuk dapat membedakan kenampakan dua objek tersebut pada
gambar citra satelit, diperlukan pengetahuan spesifiki tentang morfologi dan
aktivitasnya. Morfologi khas objek gunung berapi, yaitu berbentuk kerucut tunggal
dengan puncak yang hampir lancip, terdapat rongga dipuncaknya yang merupakan
kawah, dan terdapat alur-alur memanjang pada lereng gunung. Morfologi khas objek
bukit, yaitu berbentuk seperti tanggul yang memanjang, ukurannya relatif kecil, dan
memiliki beberap puncak yang ketinggiannya tidak sama. Perbedaan morfologi gunung
dan bukit dalam citra satelit diilustrasikan dalam Gambar 17.
Gambar 17. Perbedaan Morfologi Gunung dan Bukit dalam Citra Satelit
6) Konsep aglomerasi merupakan kerangka berpikir untuk memahami atribut suatu objek
ditinjau dari aspek konsentrasi distribusi dalam ruang. Persebaran objek dalam ruang
tidak merata. Sebagian objek terpencar di beberapa tempat, dan sebagain yang lain
terkumpul di satu lokasi. Objek yang terkumpul di satu tempat tersebut diistilahkan
dengan teraglomerasi atau terpusat membentuk suatu kelompok. Penerapan konsep
aglomerasi dimaksudkan untuk mengetahui: luasan zona konsetrasi, proses
pengelompokkan, dan hal yang melatarbelakangi proses tersebut.
Contoh penerapan konsep aglomerasi, yaitu pengkajian terhadap pusat-pusat
perdagangan di Kota Malang. Terbentuknya sentra perdagangan di Kota Malang pada
umumnya tidak berdasarkan koordinasi dengan pemerintah kota. Pusat-pusat
perdagangan tersebut seolah-olah terbentuk dengan sendirinya melalui kesepakatan
antarpedagang. Beberapa contoh pusat perdagangan tersebut, yaitu: Splendid sebagai
pusat perdagangan tanaman hias dan satwa peliharaan, Comboran sebagai pusat
perdagangan barang-barang bekas, kawasan Sumbersari merupakan pusat perdagangan
komputer beserta aksesorisnya, dan sepanjang Jl. Sukarno Hatta merupakan pusat
kuliner. Penerapan konsep aglomerasi untuk mengkaji pengelompokan tersebut
dilakukan dengan cara: menggambarkan luasan zona pusat-pusat perdagangan,
mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan aglomerasi, dan
mendeskripsikan keuntungan/kelemahan dari model pemusatan tersebut. Zonasi
perdagangan di Kota Malang diilustrasikan dalam Gambar 18.
7) Konsep nilai kegunaan merupakan kerangka berpikir untuk memahami atribut suatu
objek ditinjau dari aspek fungsi dan manfaat. Nilai kegunaan suatu objek bersifat relatif.
Tarafnya ditentukan berdasarkan manfaatnya bagi manusia. Nilai kegunaan suatu objek
dapat berubah sewaktu-waktu menyesuaikan perspektif manusia dalam memanfaatkan
objek tersebut.
Contoh penerapan konsep nilai kegunaan, yaitu perubahan fungsi Kali Mas dari
jalur transportasi air beralih menjadi saluran pembuangan. Kali Mas (Sungai Mas)
merupakan anak Sungai Brantas yang mengalir ke arah timur laut melewati
Kota Surabaya dan bermuara Selat Madura. Di masa kerajaan Majapahit, sungai tersebut
berfungsi sebagai pintu gerbang menuju ibukota kerajaan yang berada di Trowulan. Di
masa penjajahan Belanda, sungai tersebut berfungsi sebagai jalur transportasi air yang
vital. Hilir mudik sampan dan perahu kecil membawa masuk komoditas perdagangan
hingga ke pedalaman kota. Rute transportasi mulai dari Kembang Jepun (daerah Pecinan
di Surabaya), hingga ke daerah Kayun (sekarang menjadi lokasi Plaza Surabaya).
Perubahan fungsi Kali Mas Surabaya diilustrasikan dalam Gambar 19.
Gambar 19. Perbandingan Kondisi dan Fungsi Kali Masa Surabaya antara Tahun 1900
(masa penjajahan belanda) dan Tahun 2000 (era setelah reformasi)
Nilai kegunaan Kali Mas sebagai jalur transportasi mulai surut, ketika pembangunan
jalur darat semakin pesat. Fungsi Kali saat ini Mas bukan lagi sebagai jalur transportasi,
melainkan sebagai saluran pembuangan yang menampung limbah rumah tangga dan
industri yang berada di sepanjang bantaran sungai tersebut. Peralihan fungsi tersebut
menjadi bukti bahwa nilai kegunaan suatu objek bersifat relatif dan dapat berubah
sewaktu-waktu menyesuaikan perspektif manusia.
8) Konsep interaksi dan interdependensi merupakan kerangka berpikir untuk memahami
keterkaitan antargejala. Terbentuknya suatu gejala tidak disebabkan oleh faktor tunggal,
tetapi dapat juga dipengaruhi oleh beberapa gejala lain yang bekerja secara bersamaan
ataupun berantai. Hubungan antara dua gejala yang menimbulkan gejala baru disebut
dengan interaksi. Hubungan dua gejala yang membentuk pola ketergantungan disebut
dengan interdependensi.
Contoh penerapan konsep interaksi dan interdependensi, yaitu pemahaman
terhadap proses terbentuknya kerjasama antara desa dan kota. Hubungan kerjasama
kedua wilayah tersebut sangat erat, hingga membentuk pola saling ketergantungan. Desa
bergantung pada kota sebagai daerah pemasaran komoditas pertanian. Begitu pula
sebaliknya, kota bergantung pada desa sebagai daerah pensuplai bahan pangan. Lambat
laun hubungan kedua wilayah tersebut tidak hanya sebatas aktivitas perdagangan, tetapi
menimbulkan gejala baru berupa arus urbanisasi. Perkembang ekonomi kota yang begitu
pesat menjadi daya tarik bagi masyarakat desa. Para petani gurem dan buruh tani
berpindah ke kota untuk mendapatkan pekerjaan dan penghasilan yang lebih baik dari
pada di desa.
Keterangan:
a) Daerah panas
Ketinggian tempat antara 0–600 meter dari permukaan laut. Temperatur udara harian
antara 26,3°C–22°C. Jenis tanaman yang sesuai dibudidayakan di daerah itu: padi,
jagung, kopi, tembakau, tebu, karet, kelapa, dan cokelat.
b) Daerah sedang
Ketinggian tempat antara 600 –1500 meter dari permukaan laut. Temperatur udara
harian antara 22°C–17,1°C. Jenis tanaman yang sesuai dibudidayakan di daerah itu:
padi, tembakau, teh, kopi, cokelat, kina, dan sayur-sayuran.
c) Daerah sejuk
Ketinggian tempat antara 1500–2500 meter dari permukaan laut. Temperatur udara
harian antara 17,1°C–11,1°C. Jenis tanaman yang sesuai dibudidayakan di daerah itu:
teh, kopi, kina, dan sayur-sayuran.
d) Daerah dingin
Ketinggian tempat lebih dari 2500 meter dari permukaan laut. Temperatur udara
harian antara 11,1°C–6,2°C. Daerah itu tidak sesuai untuk budidaya tanaman.
Tumbuhan yang dapat tumbuh di daerah tersebut hanya jenis lumut dan pohon perdu
berdaun jarum.
10) Konsep keterkaitan keruangan merupakan kerangka berpikir untuk memahami
hubungan antargejala yang terjadi secara lintas ruang. Fenomena yang terjadi di suatu
wilayah tidak hanya disebabkan oleh faktor lokal, tetapi juga dipengaruhi faktor ekternal
berupa gejala yang berasal dari wilayah lain. Penerapan konsep asosiasi keruangan
dimaksudkan untuk memahami hubungan antara fenomena yang terjadi di satu wilayah
dengan fenomena yang terjadi di tempat lain.
Contoh penerapan keterkaitan keruangan, yaitu hubungan antara arus laut dengan
anomali musim yang terjadi di wilayah Indonesia. Perairan Indonesia merupakan jalur
bagi arus hangat yang bergerak dari Samudera Pasifik ke Samudera Hindia. Pergerakan
massa air yang diiringi dengan penghantaran panas tersebut menyebabkan pola musim di
Indonesia seringkali mengalami anomali (keadaan yang tidak berlaku seperti biasanya).
Terkadang berlaku musim kemarau yang panjang dan musim hujan yang pendek. Begitu
pula sebaliknya, dalam satu tahun berlaku musim kemarau yang pendek dan musim
hujan yang panjang. Fenomena tersebut tidak hanya disebabkan oleh faktor lokal, tetapi
terkait dengan gejala perubahan suhu air laut yang terjadi di dua samudera yang
mengapit Indonesia. Peta pergerakan massa air laut diilustrasikan dalam Gambar 21.
Gambar 21. Hubungan antara Pergerakan Arus Laut dengan Persebaran Panas
TUGAS KELOMPOK
1. Amatilah fenomena fisik ataupun fenomena sosial di lingkungan sekitar Anda!
2. Deskripsikan peristiwa-peristiwa penting yang menjadi bagian fenomena tersebut
dalam bentuk cerita pendek!
3. Jelaskan hubungan antarperistiwa yang Anda deskripsikan tersebut dengan
menggunakan konsep geografi!
4. Presentasikan hasil identifikasi dan analisis masalah yang telah Anda susun di depan
kelas!
Geo Info
Global Village (Desa Global) dalam Perspektif Geografi
Desa Global adalah konsep mengenai perkembangan teknologi komunikasi dan dunia
dianalogikan (diibaratkan) seperti sebuah desa yang sangat besar. Desa Global menjelaskan
bahwa tidak ada lagi batas ruang dan waktu yang jelas. Semua tempat dianggap tidak berbeda
dan setiap individu dapat memiliki kesempatan yang sama dalam mengakses informasi dan
memanfaatkan teknologi telekomunikasi. Informasi dapat berpindah dari satu tempat ke
belahan dunia lain dalam waktu yang sangat singkat. Konsep tersebut terus berkembang, dari
segi konseptual maupun aplikasi.
Dampak fenomena desa global yaitu terbentuknya persepsi yang sama pada masyarakat
karena memperoleh kesamaan kesempatan untuk mengakses informasi. Contoh dampak desa
global bagi masyarakat yaitu persepsi terhadap gempa yang terjadi di Sumatera Barat dapat
menimbulkan kesan yang sama pada orang di Bandung atau di Samarinda. Persepsi mereka
terhadap pemberitaan media massa akan cenderung sama, yaitu sedih, iba, atau ingin
membantu. Penyampain informasi melalui media massa tersebut dapat membantu
memepercepat penyaluran bantuan kepada korban gempa. Pengaruh fenomena tersebut tidak
hanya pada bidang teknologi–informasi, tetapi juga pada bidang: ekonomi, sosial, budaya,
dan ideologi.
Perspektif geografi terhadap fenomena desa global yaitu munculnya cara pandang baru yang
mengangap bahwa ruang yang menjadi konteks kajian georafi terbagi secara mikro dan
makro. Konteks ruang secara mikro diartikan sebagai wilayah kecil yang memiliki: bentuk,
luas, dan batas yang jelas. Konteks ruang secara mikro diartikan sebagai perspektif global,
yaitu cara pandang dan cara pengkajian suatu masalah atau kejadian didasarkan pada
kepentingan dunia atau internasional. Pengkajian terhadap fenomena global village tersebut
akan menghasilkan pemikiran baru tentang konteks keruangan dalam geografi ataupu tetam-
tema analisis keruangan yang mutakhir.
(sumber rujukan: http://www.en.wikipedia.org, http://www.britanica.com, http://
www.bbc.co.uk)
Rangkuman
DAFTAR RUJUKAN
Abdurachim, I. 1986. Geografi, Latar Belakang Pemikiran dan Metode. Bandung: Bina
Bhudaya.
Abler, R., Adams J.S., & Gould P. 1971. Spatial Organization: The Geographers View of the
World. New Jersey: Prentice Hall.
Beiser, A. 1973. The Earth: Life Nature Library. New York: Time-Life Books.
Boehm, Richard. 1984. World Geography, third Edition. USA: Mc. Grow Hill.
Boulding, Kenneth E. 1968. General System Theory: The Skeleton of Science, in Walter
Buckley (ed.), Modern Systems Research for the Behavioural Scientist. Chicago:
Aldine.
Coffey, W.J. 1981. Geography: Towards A General Spatial Systems Approach. London:
Methuen and Co., Ltd.
Dangana, L and Tropp, C. 1995. Human Ecology and and Environmental Ethics. In
M.Archia and S.Tropp (eds.). Environmental Management: Issues and Solution.
Chichester: John Wiley and Sons.
Daldjoeni, Nathanael. 1982. Pengantar Geografi: Untuk Mahasiswa dan Guru Sekolah.
Penerbit Alumni Bandung.
Daldjoeni, N. 1992. Geografi Baru: Organisasi Keruaangan dalam Teori dan Praktek.
Penerbit Alumni Bandung.
Dicken, P. 1998. Global Shift: The Transformation of the Global Economy. London: Sage.
Haggett, P. 1972. Geography: A Modern Synthesis. New York: Harper and Row Publishers.
Herbert, D.T., & Colin, J. Thomas. 1982. Urban geography: A First Approach. New York:
John Wiley and Sons.
Hirst, P., & Thompson, G. 1996. Globalization in Question. Cambridge: Polity Press.
James, Preston E., & Clarence, F. Jones (Ed). 1954. American Geography: Inventory and
Prospect. Association of American Geographers, Syracuse University Press.
Johnston, R.J., Derek, Gregory., Geraldine, Pratt., & Watts M. 2000. The Dictionary of
Human Geography. Oxford: Blackwell Publishers Ltd.
Suriasumantri, Jujun S. 1990. Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka sinar
Harapan.
Sutikno. 2008. Geografi dan Kompetensinya dalam Kajian Geografi Fisik. Materi Sarasehan
Keilmuan Geografi Tanggal 18-19 Januari 2008 di Fakultas Geografi UGM.
Waters, M. 1995. Globalization. London: Routledge.
Yunus, H.S. 2005. Metode Penelitian Geografi Manusia: Pendekatan dan Permasalahan
Penelitian. Disampaikan dalam Forum Seminar Pendekatan dan Metode Penelitian
Geografi dalam Rangka Penyusunan Disertasi. Yogyakarta: Fakultas Geografi
Universitas Gadjah Mada.
Yunus, H.S. 2008. Konsep dan Pendekatan Geografi: Memaknai Hakekat Keilmuannya.
Disampaikan dalam Sarasehan Forum Pimpinan Pendidikaan Tinggi Geografi
Indonesia: Pada tanggal 18 dan 19 Januari 2008 Di Fakultas Geografi Universitas
Gadjah Mada Yogyakarta.