Anda di halaman 1dari 2

Media Indonesia, Selasa 10 Agustus 2021

Editorial
Bersama Menciptakan Kemudahan Berusaha

PANDEMI covid-19 yang belum bisa dipastikan kapan akan usai memang menyita pikiran dan
energi. Namun, bukan berarti urusan lain kemudian harus terbengkalai tak terurus. Soal perizinan
berusaha, misalnya.

Prinsip itulah yang dianut pemerintah. Di tengah usaha mati-matian yang sudah, sedang, dan
akan terus dilakukan untuk mengatasi pandemi, mereka tetap memikirkan bagaimana membuat
iklim berusaha di negeri ini semakin membaik. Prinsip itu pula yang kemudian dijadikan realitas
dengan penerapan sistem online single submission (OSS) berbasis risiko untuk kepentingan
permohonan izin usaha. Dengan sistem itu, kata Presiden Joko Widodo saat meresmikan OSS,
kemarin, baik pengusaha mikro, kecil, dan menengah maupun pengusaha besar dapat
mengajukan permohonan izin usaha secara daring.

Melalui OSS, jenis perizinan akan disesuaikan dengan tingkat risikonya karena antara UMKM
dan usaha besar berbeda. Namun, muaranya sama, yakni dari kelas manapun pengusaha berasal,
mereka akan mendapat kemudahan untuk memulai dan menjalankan usaha.

OSS merupakan bagian dari reformasi yang jadi misi besar Jokowi sejak awal dia menjabat
sebagai orang nomor satu di Republik ini agar berbisnis di Indonesia tak lagi sulit. Deregulasi
dan debirokratisasi menjadi dua kata yang begitu akrab di telinga rakyat, khususnya para
pebisnis.

Dalam semangat reformasi, payung hukum dalam berusaha yang tadinya cenderung obesitas
saking banyaknya dibuat ramping. Jalur birokrasi yang tadinya panjang dan berbelit-belit
dipangkas. Prinsip kalau bisa dipersulit kenapa harus dipermudah dijungkirbalikkan.

Namun, harus kita tegaskan, semua usaha itu belum membuahkan hasil yang paripurna meski
Jokowi sudah hampir tujuh tahun berkuasa. Benar bahwa peringkat kemudahan berusaha di
Indonesia di bawah Jokowi jauh lebih baik, tetapi juga masih jauh dari target yang dipatok.
Data menunjukkan pada 2014 peringkat ease of doing business Indonesia di posisi ke-120 dari
190 negara lalu melompat ke posisi ke-106 pada 2015. Perbaikan berlanjut pada 2016 dengan
berada di urutan ke-91 dan di peringkat ke-72 pada 2017. Sayangnya, setahun berselang,
Indonesia turun satu tingkat ke posisi ke-73 dan bertahan di peringkat itu hingga 2020.

Jelas, masih ada yang salah hingga laju perbaikan berusaha di Indonesia tersendat. Tentu, ada
yang keliru sehingga seabrek pembenahan yang sudah dilakukan belum mampu membuahkan
hasil sesuai dengan harapan.

Banyak hal yang masih menjadi penghalang, mulai bagaimana membayar pajak yang relatif
singkat, efisien, dan pasti, memulai bisnis, pengurusan izin, hingga pelaksanaan kontrak.
Minimnya sinergi para pihak serta ketidaksesuaian aturan dan kemauan antara pusat dan daerah
ialah penghambat lain.

Kita layak mengapresiasi tekad dan upaya pemerintah untuk menciptakan lingkungan berbisnis
sehat yang efisien, transparan, dan tak lagi mahal. Namun, harus diakui bahwa eksekusi belum
sebaik deretan kata yang tertera dalam regulasi.

Penyederhanaan aturan dan sistem daring dikedepankan, selain untuk membuat berbisnis lebih
gampang, demi menutup celah permainan yang dulu menjadi kebiasaan buruk birokrat. Pada
konteks inilah kita perlu mengingatkan bahwa sukses-tidaknya upaya perbaikan berusaha
bergantung kepada mereka semua yang berkepentingan.

Segala program kemudahan berusaha bisa berhasil jika aparat pelaksananya bersih. Karena itu,
amatlah tepat penegasan Presiden agar para pengusaha melaporkan langsung ke dirinya jika
menemui aparat pemerintah yang kotor.

Namun, optimal-tidaknya upaya untuk menciptakan kemudahan berusaha juga bergantung


kepada para pengusaha. Selama masih ada pebisnis yang gemar menyuap pejabat demi mendapat
kemudahan, iklim investasi di negeri ini akan tetap berada dalam kesulitan

Anda mungkin juga menyukai