Anda di halaman 1dari 68

JURNAL KIMIA UNAND

ISSN No. 2303-3401

Volume 4, Nomor 2
Mei, 2015

Media untuk
mempublikasikan
hasil-hasil penelitian
seluruh dosen dan
mahasiswa
Kimia FMIPA
Unand

Jurusan Kimia
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam

Universitas Andalas
Tim Editorial Jurnal Kimia Unand

Ketua : Dr. Syukri


Anggota : Dr. Adlis Santoni
Prof. Dr. Rahmiana Zein
Prof. Dr. Syukri Arief
Dr. Mai Efdi
Emil Salim, M.Sc
Sekretariat : Sri Mulya
Alamat : Jurusan Kimia FMIPA Unand

Kampus Unand Limau Manis, Padang-25163


PO. Box 143, Telp./Fax. : (0751) 71 681
Website : http://kimia.fmipa.unand.ac.id/
Correspond. : syukri@fmipa.unand.ac.id
Jurnal Kimia Unand (ISSN No. 2303-3401), Volume 4 Nomor 2, Mei 2015

DAFTAR ISI

JUDUL ARTIKEL Halaman

1. PENENTUAN KONDISI OPTIMUM ABSORPSI CO2 1-5


HASIL PEMBAKARAN BATUBARA OLEH
LARUTAN NATRIUM HIDROKSIDA (NaOH)
Amelina Dwika Hardi, Admin Alif, dan Hermansyah Aziz

2. ISOLASI DAN KARAKTERISASI SENYAWA METABOLIT 6-10


SEKUNDER DARI EKSTRAK KULIT BATANG KENANGA
(Cananga odorata (Lam.) Hook.f. & Thomson) AKTIF SEBAGAI
ANTIOKSIDAN
Bustanul Arifin, Donald Busrian, dan Afrizal

3. PENGGUNAAN SUMBER NITROGEN TERHADAP 11-17


KANDUNGAN PROTEIN DAN ASAM AMINO PADA
MIKROALAGA Spirulina platensis
Magistrina Prima Putri, Sumaryati Syukur, dan Zulkarnain Chaidir

4. KONTROL PEMBENTUKAN NANOPARTIKEL PERAK MELALUI 18-22


CAPPING AGENT DENGAN BANTUAN BIOREDUKTOR
EKSTRAK DAUN GAMBIR
(Uncaria Gambir Roxb)
Mia Luthfia Desna, Diana Vanda Wellia, dan Syukri Arief

5. STUDI PENDAHULUAN PENENTUAN KANDUNGAN PLASTIK 23-28


YANG TERDAPAT DALAM PISANG GORENG
MENGGUNAKAN TEXTURE ANALYZER DAN MINYAK
GORENG MENGGUNAKAN GC-MS
Mardiana Samosir, Yulizar Yusuf, dan Zamzibar Zuki

6. ISOLASI DAN KARAKTERISASI SENYAWA METABOLIT 29-35


SEKUNDER DARI FRAKSI AKTIF DAUN TEMPUYUNG (Sonchus
arvensis L.) TERHADAP UJI TOKSISITAS
Arrijal Mustakim, Afrizal, dan Mai Efdi

7. ISOLASI MIKROALGA DARI PERAIRAN AIR TAWAR DI 36-41


ALIRAN SUNGAI DAERAH LUBUK MINTURUN YANG
BERPOTENSI UNTUK PRODUKSI BIODIESEL
Nasrul Zuwardi, Zulkarnain Chaidir, dan Elida Mardiah

i
Jurnal Kimia Unand (ISSN No. 2303-3401), Volume 4 Nomor 2, Mei 2015

8. PENGARUH BEBERAPA PERLAKUAN TERHADAP 42-46


PENGURANGAN KADAR FORMALIN PADA TAHU YANG
DITENTUKAN SECARA SPEKTROFOTOMETRI
Vinda Vriska Darman, Zamzibar Zuki dan Yulizar Yusuf

9. ISOLASI DAN KARAKTERISASI SENYAWA TRITERPENOID 47-52


DARI EKSTRAK HEKSANA PADA KULIT BATANG ASHOKA
(Polyalthia longfolia)
Chece Andri Saputra, Sanusi Ibrahim, dan Mai Efdi

10. STUDI METODE PENENTUAN NIFEDIPINE DENGAN TITRASI 53-58


BEBAS AIR (NON AQUEOUS)
Jeany Buchermi, Yulizar Yusuf, dan Umiati Loekman

11. STUDI SPEKTROSKOPI INFRA MERAH 59-61


KATALIS KOBALT (II) YANG DIAMOBILISASI
PADA SILIKA MODIFIKASI
Rinal Oktaviandra, Admi, Syukri, dan Hermansyah Aziz

12. DEGRADASI TOLUIDINE BLUE SECARA SONOLISIS, 62-69


FOTOLISIS, DAN OZONOLISIS DENGAN MENGGUNAKAN
KATALIS ZnO/ZEOLIT
Listria Riamayora Debataraja, Zilfa, dan Safni*

ii
Jurnal Kimia Unand (ISSN No. 2303-3401), Volume 4 Nomor 2, Mei 2015

PENENTUAN KONDISI OPTIMUM ABSORPSI CO2


HASIL PEMBAKARAN BATUBARA OLEH
LARUTAN NATRIUM HIDROKSIDA (NaOH)
Amelina Dwika Hardi, Admin Alif, Hermansyah Aziz

Laboratorium Fotokimia/Elektrokimia, Jurusan Kimia FMIPA, Universitas Andalas

e-mail: haziz13@yahoo.com
Jurusan Kimia FMIPA Unand, Kampus Limau Manis, 25163

Abstract
Along with increasing CO2 gas emission in the air that caused by burning fossil fuels for power
plan or transportation, so this emission should be controlled. Controlling the emission can be
done by ‘catching’ CO2 gas emission produced by fossil fuels.One of the fossil fuels is coal. The
aim of this research is to know the optimum condition of absorbing CO 2 as the result of burning
coal by using NaOH with influenced by coal mass, air flow velocity, and concentration of
absorber fluid. For 45 mg coal sample, resulted the highest absorption ability which is 22.29%.
Best flows velocity is 300 mL/min with absorption 27.60%. Air flows velocity depends on
absorbing CO2. In variation of fluid absorber concentration (NaOH), optimum condition of
absorbing CO2 is 0.325 N with absorption 35,56%.

Keywords : Absorption, Carbondioxyde, NaOH

I. Pendahuluan sektor transportasi dan sektor industri.


Pencemaran udara adalah suatu kondisi Salah satu industri yang paling banyak
dimana keadaan udara rusak dan menghasilkan emisi CO2 adalah pembangkit
terkontaminasi oleh zat-zat, baik yang tidak tenaga listrik dan industri semen karena
berbahaya maupun yang membahayakan bahan bakarnya menggunakan batubara.
kesehatan tubuh manusia. Salah satu gas
pencemar udara adalah CO dan CO2. Pemakaian batubara tidak terlepas dari
Banyaknya kasus keracunan gas CO dalam cadangan batubara yang cukup besar
ruangan karena karakteristik gas CO yang dimiliki indonesia mencapai 18,7 mliar ton.
tidak berwarna dan tidak berbau, sehingga Jumlah cadangan energi yang melimpah
kita tidak dapat mengetahui kadar yang menjadikan batubara sebagai bahan bakar
sekarang dihirup berbahaya atau tidak.1 fosil yang paling lama dalam menyokong
kebutuhan energi Indonesia. Kelemahan
Gas CO2 merupakan salah satu gas rumah dari pemanfaatan batubara sebagai sumber
kaca yang dapat menyebabkan pemanasan energi diantaranya adalah batubara identik
global. Produksi gas CO2 yang terlepas ke sebagai bahan bakar yang kotor dan tidak
atmosfer bumi menyebabkan terjadinya ramah lingkungan karena komposisinya
perubahan iklim dunia, sehingga emisi CO2 yang terdiri dari C, H, O, N, S dan abu.
ini harus diturunkan sebanyak 50% untuk Selain itu, kandungan C per mol batubara
menstabilkan konsentrasi CO2 di udara. jauh lebih besar dibandingkan bahan bakar
Peningkatan emisi CO2 ini berkorelasi fosil lainnya sehingga pengeluaran CO2 dari
positif dengan peningkatan jumlah batubara jauh lebih banyak2
pembakaran bahan bakar fosil. Indonesia
memproduksi CO2 dari berbagai sumber, Pencegahan emisi gas carbon dioksida ke
misalnya lapangan-lapangan minyak, atmosfer saat ini mendapat perhatian yang
pabrik-pabrik amonia, LNG Plant Bontang, besar dari berbagai kalangan di seluruh
1
Jurnal Kimia Unand (ISSN No. 2303-3401), Volume 4 Nomor 2, Mei 2015

dunia. Perhatian tersebut disebabkan karena Alat yang digunakan yaitu aerator, sumber
gas karbon dioksida (CO2) diduga listrik (raket nyamuk), bunsen (lampu
merupakan penyumbang yang terbesar spiritus), neraca analitik (KERN ALJ 220-
terhadap peristiwa pemanasan global di 4NM), klem, standar (statif), sambungan
dunia ini. Perubahan iklim karena emisi pipa, slang, erlenmeyer buhcner, tabung
CO2 sebagai hasil kegiatan manusia sudah nessler dan alat gelas lainnya.
selayaknya dipikirkan secara serius. Untuk
mencegah cepatnya perubahan iklim, 2.2. Prosedur penelitian
diperlukan satu aktifitas untuk 2.2.1 Pembuatan larutan
menstabilkan konsentrasi CO2 di udara. 2.2.1.1 Larutan NaOH (0,125 N; 0,2 N; 0,25 N;
0,275 N; 0,3N; 0,325 N; 0,35 N)
Pembakaran bahan bakar fosil baik untuk Larutan NaOH dengan berbagai konsentrasi
keperluan pembangkit tenaga listrik atau dibuat dengan cara dilarutkan dalam labu
transportasi merupakan penyumbang yang ukur 500 mL dengan menambahkan
besar dari emisi CO2 ke atmosfer. Karena aquadest sampai tanda batas kemudian
kegiatan tersebut menyumbang emisi yang distandarisasi dengan H2C2O4
besar, maka sudah selayaknyalah emisi gas
CO2 dari kegiatan tersebut mulai 2.2.1.2 Larutan HCl
diupayakan untuk dikendalikan. Larutan HCl dibuat dengan penegenceran
Pengendalian tersebut dapat dilakukan bertingkat dari HCl p.a 37% = 12,06 N. HCl
dalam bentuk ‘penangkapan’ gas CO2 yang 12,06 N diencerkan menjadi 2 N dengan
disebut Carbon Capture and Storage yang memipet 16,56 mL HCl 12,06 N,
dihasilkan dari proses pembakaran bahan dimasukkan ke dalam labu ukur 100 mL
fosil.3 yang sebelumnya telah diisi dengan sedikit
aquadest, aduk dan tambahkan aquadest
Ada 2 jenis absorbsi, yaitu kimia dan fisis. sampai tanda batas. Untuk membuat HCl
Absorbsi kimia melibatkan reaksi kimia 0,2 N, 10 mL larutan 2 N dipipet dan
antara pelarut cair dengan arus gas dan encerkan kembali dengan labu 100 mL. HCl
solut tetap di fase cair. Dalam absorbsi fisis, 0,2 N distandarisasi dengan NaOH yang
solut dalam gas mempunyai kelarutan lebih telah distandarisasi dengan H2C2O4
besar dalam pelarut cairan, sehingga solut
berpindah ke fase cair. Absorbsi dengan 2.2.1.3 Larutan standar asam oksalat (C2H2O4)
reaksi kimia lebih menguntungkan untuk Larutan standar asam oksalat 0,2 N dibuat
pemisahan. Meskipun demikian, absorbsi dengan menimbang 1,26 gr asam oksalat
fisis menjadi penting jika pemisahan dengan (BE = 63) dan dilarutkan dalam labu ukur
reaksi kimia tidak dapat dilakukan Secara 100 mL dengan menambahkan aquadest
umum, faktor-faktor yang mempengaruhi sampai tanda batas.
absorbsi adalah kelarutan (solubility) gas
dalam pelarut dalam kesetimbangan. Pada 2.2.2 Rangkaian alat
umumnya, naiknya temperatur Pertama diambil standar dan 3 buah klem,
menyebabkan kelarutan gas menurun4 letakkan klem 1 untuk penompang tabung
nessler berisi NaOH untuk menangkap gas
II. Metodologi Penelitian CO2 dari udara luar, sebelum ketabung
2.1. Bahan kimia, peralatan dan instrumentasi sampel yang akan dibakar, dengan
Bahan yang digunakan yaitu batubara demikian gas CO2 yang diperoleh dari hasil
sebagai sampel, norit sebagai standar pembakaran adalah lebih murni dan tidak
penentuan C-Organik, asam klorida (HCl) tercampur dengan gas CO2 dari udara luar.
0,2 N, larutan NaOH dalam berbagai Klem ke-2 diletakkan paling bawah dan
konsentrasi (0,125 N; 0,2 N; 0,25 N; 0,275 N; mengahadap kedepan untuk meletakkan
0,3N; 0,325 N; 0,35 N), phenolptalein (pp), sampel yang akan dibakar. Klem ke-3
spiritus, aquadest dan asam oksalat (H2C2O4). terletak dibelakang paling atas untuk
meletakkan Erlenmeyer Buchner berisi
2
Jurnal Kimia Unand (ISSN No. 2303-3401), Volume 4 Nomor 2, Mei 2015

NaOH untuk menampung CO2 hasil dekatkan ke tabung yang berisi sampel
pembakaran. Pada ujung pipa gas masuk ke secara berlahan untuk menghindari
Erlenmeyer Buchner diberi batu berongga pecahnya tabung. Setelah beberapa saat,
agar udara yang mengalir dengan kecepatan pembakaran dibantu dengan percikan arus
tertentu dapat membentuk gelembung- listrik pada ujung tembaga, hal ini
gelembung kecil dan dapat bereaksi dengan dilakukan beberapa kali sampai
NaOH secara merata. pembakaran selesai. Perubahan wujud dan
warna larutan NaOH pada Erlenmeyer
Aerotor dihubungkan ke tabung nessler, Buchner diamati.
disambungkan dengan posisi tegak pada
klem 1, dihubungkan dengan slang ke klem Setelah diamati, matikan Bunsen namun
2 untuk mengalirkan udara pembakaran. aeroator tetap dihidupkan agar sisa-sisa CO2
Tabung 2 dengan posisi miring yang tertinggal di dalam tabung
dihubungkan dengan slang untuk pembakaran dapat seluruhnya mengalir ke
mengalirkan gas ke buchner. Di bawah Erlenmeyer Buchner. Erlenmeyer Buchner
tabung sampel diletakkan Bunsen untuk dilepaskan dari klem, larutan NaOH yang
pembakaran. Dalam tabung pembakaran telah menyerap CO2 dipipet 10 mL
diberi 2 kawat tembaga ke dalamnya yang kemudian dimasukkan ke dalam
dihubungkan ke sumber listrik untuk Erlenmeyer 125 mL. ditambahkan 1 tetes
mempercepat proses pembakaran. indikator pp terjasi perubahan warna jadi
Rangkaian alat dapat dilihat pada gambar 1. merah muda. Larutan yang telah
ditambahkan indikator pp dititrasi dengan
HCl 0,2 N. Volume HCl yang digunakan
dicatat. Lakukan hal yang sama dengan
massa yang berbeda.

III. Hasil Dan Pembahasan


3.1 Pengaruh Massa Norit Terhadap Efisiensi
Penyerapan CO2 Oleh Larutan NaOH

Tabel 1. Pengaruh Massa Norit Terhadap


Efisiensi Absorpsi CO2

Massa mmol mmol C %


Norit C Percobaan Absorpsi
Gambar 1. Rangkaian Alat (mg) Teori
45 3,75 0.903 24.08
2.2.3 Cara kerja
Sampel dimasukkan ke dalam tabung 70.7 5,8 1.164 20.07
tempat sampel dengan corong, kemudian 98 8,1 1.847 22.80
disambungkan pada penutupnya, periksa
sumber listrik apakah jarak kedua ujung 123 10,25 2.202 21.48
tembaga cukup untuk mengeluarkan
percikan api. Larutan NaOH 0,2 N dengan Dari tabel 1, dapat dilihat semakin besar
volume tertentu dimasukkan kedalam massa norit, semakin besar juga nilai C-
tabung nessler yang tegak dan erlenmeyer Organik secara teori yang terkandung
buchner. didalamnya. Begitu juga dengan nilai C-
Organik secara percobaan, berbanding lurus
Pembakaran dilakukan, dengan dengan massa norit. Tetapi % absorpsi
menghidupkan api pada Bunsen dan aerator terbesar terdapat pada massa norit 45 mg.
dihidupkan. Pembakaran spritus di

3
Jurnal Kimia Unand (ISSN No. 2303-3401), Volume 4 Nomor 2, Mei 2015

Konsentrasi NaOH yang digunakan adalah 300 mL/menit. Pada massa sama dan
0,2 N dankonsentrasi HCl adalah 0,245 N kecepatan aliran yang sama, didapatkan
kondisi optimum penyerapan CO2 terdapat
3.2 Pengaruh Kecepatan Aliran Udara Terhadap pada konsentrasi 0,325 N dengan % absorpsi
Efisiensi Penyerapan CO2 Oleh Larutan NaOH 36,53 %. Grafik pengaruh konsentrasi NaOH
Pada Pembakaran Norit terhadap % absorpsi CO2 pada pembakaran
norit dapat dilihat pada Gambar 2.
Untuk menentukan absorpsi terbaik pada
kecepatan aliran tertentu, massa norit yang
digunakan adalah 45 mg. Konsentrasi
NaOH yang digunakan adalah 0,2 N dan
konsentrasi HCl adalah 0,245 N. Dapat
dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Pengaruh Kecepatan Aliran Udara


Terhadap Absorpsi CO2

Kecepatan mmol % absorpsi


(mL/menit) CO2
120 0.903 24.08
Gambar 2. Hubungan Konsentrasi Larutan
300 0.986 26.29
NaOH Terhadap % Absorpsi
420 0.925 24.67
CO2
Dari tabel 2, dapat dilihat bahwa kecepatan
3.4 Pengaruh Massa Batubara Terhadap
aliran yang paling baik dalam proses
Efisiensi Penyerapan CO2 Oleh Larutan NaOH
penyerapan adalah pada kecepatan 300
mL/menit. Hal ini dikarenakan pada
Penentuan mmol karbon batubara secara
operasi absorpsi dengan kecepatan aliran
teori didasarkan pada mmol karbon pada
udara yang tinggi, waktu kontak antara
norit. Konsentrasi NaOH yan digunakan
NaOH dengan CO2 untuk jumlah molekul
adalah 0,2 N dan konsentrasi HCl adalah
yang sama akan semakin kecil. Waktu
0,245 N. Untuk mmol karbon secara
kontak yang singkat ini menyebabkan
percobaan dapat dilihat pada Tabel 3.
transfer massa yang terjadi lebih sedikit dan
jumlah CO2 yang terserap lebih sedikit. Tabel 3. Pengaruh Massa Batubara
Begitu juga dengan kecepatan alir yang Terhadap Efisiensi Penyerapan CO2
terlalu lambat, jumlah CO2 terserap juga Oleh Larutan NaOH
akan semakin kecil5. Hal ini disebabkan
pada kecepatan alir udara yang terlalu Massa mmol mmol %
rendah menyebabkan pembakaran tidak Batubara CO2 CO2 Absorpsi
sempurna sehingga tidak semua karbon (mg) Teori Percobaan
yang dirobah menjadi CO2, sebagian dapat 45 3,75 0.836 22.29
berada dalam bentuk gas karbon
monoksida, CO. 70,7 5,8 1.256 21.65
98 8,1 1.525 18.82
3.3 Pengaruh Konsentrasi Larutan NaOH
Sebagai Penyerap CO2 Pada Pembakaran Norit 123 10,25 1.935 18.88

Dari poin 3.1, massa norit yang memiliki %


Pada tabel 3 diatas, % absorpsi yang paling
absorpsi tertinggi adalah 45 mg dan dari
tinggi adalah pada massa batubara 45 mg.
poin 3.2 pengaruh kecepatan aliran udara
yang memiliki % absorpsi tertinggi adalah

4
Jurnal Kimia Unand (ISSN No. 2303-3401), Volume 4 Nomor 2, Mei 2015

3.5 Pengaruh Kecepatan Aliran Udara Terhadap Dari Gambar 3, terlihat % absorpsi mulai
Efisiensi Penyerapan CO2 Oleh Larutan NaOH konstan pada konsentrasi 0,325 N dengan %
Pada Pembakaran Batubara absorpsi adalah 35,56%.

Pada variasi kecepatan aliran udara, massa IV. Kesimpulan


batubara yang digunakan adalah 45 mg. Penyerapan CO2 hasil pembakaran batubara
Konsentrasi NaOH adalah 0,2 N dan oleh larutan NaOH dipengaruhi oleh massa
konsentrasi HCl adalah 0,245 N. Sama sampel, kecepatan aliran udara dan
halnya dengan norit. Mmol CO2 percobaan konsentrasi larutan penyerap. Untuk massa
pada batubara dan % absorpsi terdapat 45 mg, % absorpsi CO2 pada pembakaran
pada Tabel 4. batubara adalah 22,29 %. Kecepatan aliran
udara adalah tertinggi pada 300 mL/menit
Tabel 4. Pengaruh Kecepatan Aliran Udara dengan % absorpsi adalah 27,60%. Pada
Terhadap Absorpsi CO2 kondisi tersebut, konsentrasi larutan NaOH
Kecepatan mmol % absorpsi optimum adalah pada 0,325 N dengan %
(mL/menit) CO2 absorpsi 35,56%.
120 0.836 22.29
300 1,035 27.60 V. Ucapan terima kasih
420 0.922 24.59 Terimakasih kepada semua analis
laboratorium Jurusan Kimia yang telah
Dari tabel 4, dapat dilihat bahwa % absorpsi membantu jalannya penelitian ini.
yang paling tinggi terdapat pada kecepatan
aliran udara 300 mL/menit. Referensi

3.6 Pengaruh Konsentrasi Larutan NaOH 1. Wisnu, Baskoro., Iwan, Setiawan.,


Sebagai Penyerap CO2 Pada Pembakaran Darjat. Sistem pengaman dan
Batubara monitoring kadar CO2 berlebih dalam
ruangan berbasis mikrokontroler
Pada massa yang sama yaitu 45 mg dan atmega 8535. Jurusan Teknik
kecepatan aliran udara yang sama yaitu 300 Universitas Dipenogoro.
mL/menit, maka untuk mengetahui kondisi 2. Dewi, Istiyane. 2011. Pemanfaatan emisi
optimum penyerapan dilakukan dengan CO2 dari PLTU batubara dalam
memvariasikan konsentrasi larutan pengolahan limbah cair domestik
penyerap. Grafik pengaruh konsentrasi berbasis mikro alga. Pasca Sarjana
NaOH terhadap % absorpsi terlihat pada Universitas Indonesia.
Gambar 3. 3. Mulyanto, A., Aviantara, B., Dwindrata.
2012. Penerapan teknologi penangkapan
karbon dioksida dari udara bebas
menggunakan larutan sodium
hidroksida. Jurnal Teknik Lingkungan.
Jakarta, Juni. ISSN 1441-318X
4. Hairiah, Kurniatun. 2011. Pengukuran
cadangan karbon. Malang : Universitas
Brawijaya.
5. Maarif, Fuad., Arif, F Januar. Absorpsi
gas karbondioksida (CO2) dalam biogas
dengan larutan NaOH secara kontinyu.
Jurusan Teknik Kimia, Fakultas Teknik,
Universitas Dipenogoro : Semarang.

Gambar 3. Hubungan Konsentrasi Larutan


NaOH Terhadap % Absorpsi
5
Jurnal Kimia Unand (ISSN No. 2303-3401), Volume 4 Nomor 2, Mei 2015

PENGGUNAAN SUMBER NITROGEN TERHADAP


KANDUNGAN PROTEIN DAN ASAM AMINO PADA
MIKROALAGA Spirulina platensis
Magistrina Prima Putri, Sumaryati Syukur, dan Zulkarnain Chaidir

Laboratorium Biokimia dan Bioteknologi Jurusan Kimia FMIPA Universitas Andalas

e-mail :primagistrina@gmail.com
Jurusan Kimia FMIPA Unand, Kampus Limau Manis, 25163

Abstract

Through an experiment process, the usage of nitrogen source to protein and amino acid
content in microalgae Spirulina platensis has been found. This research aimed to analyze protein
and amino acid content in Spirulina platensis cutured in two mediums; medium with NaNO3 as
nitrogen source and urea as nitrogen source, and to determine the best nitrogen source in
Spirulina platensis growth. Protein extraction performed in alkaline extraction method for 5
hours and followed by precipitation in pH 3. Amino acid analysis was performed with
Aminoacid Analyzer. Protein content determination was carried out using Bradford method
that shows the highest protein content in urea biomass culture is 768.17 ppm. Sodium nitrate
biomass cuture shows the lower protein content, that is 146.4 ppm. The growth of Spirulina
platensis was done with spectrophotometer at 560 nm. Amino acid analysis shows that NaNO 3
biomass culture yield the higher amino acid content than urea, but urea biomass culture shows
the best growth with the higher absorbant than NaNO 3 biomass culture.
Keywords:Spirulina platensis, Urea, NaNO3, Amino acid

I. Pendahuluan merupakan pupuk dengan harga murah


yang umum digunakan dalam bidang
Protein merupakan makromolekul yang
memiliki peranan penting bagi makhluk
hidup[1]. Salah satu mikroorganisme yang pertanian, sedangkan NaNO3 merupakan
mampu menghasilkan protein yaitu sumber nitrogen yang umum digunakan
mikroalga. Mikroalga merupakan mikro- untuk kultur mikroalga dalam skala
organisme eukariot ataupun prokariot yang laboratorium. Perbedaan sumber nitrogen
hidup di perairan. dalam kultur akan menghasilkan
perbedaan kadar protein pada masing-
Mikroalga umumnya dikenal dengan masing biomasa. Perbedaan sumber
sebutan fitoplankton, sedangkan nitrogen juga dapat menyebabkan
fitoplankton sendiri dalam dunia perubahan genetik pada mikroalga. Hal ini
pembenihan sering hanya disebut alga[2]. sangat erat kaitannya dengan asam amino
Mikroalga berguna sebagai sumber penyusun protein tubuhnya[4,5].
makanan yang penting bagi organisme-
organisme lain karena ia bersifat autotrof[3]. Mikroalga Spirulina platensis merupakan
mikroalga penghasil protein tinggi, yaitu
Mikroalga membutuhkan nitrogen untuk
sebanyak 60-70% dari berat kering
memproduksi protein dalam selnya.
selnya[6,7]. Mikroalga ini umumnya hidup
Sumber nitrogen dalam media
di laut, namun juga banyak ditemukan di
pertumbuhan mikroalga umumya berasal
perairan tawar. Spirulina platensis
dari nitrat, ammonium, dan urea[4].
merupakan mikroalga hijau-biru
Pada penelitian ini digunakan NaNO3 dan
(cyanobacterium) yang berbentuk filamen.
urea sebagai sumber nitrogen. Urea
Spirulina memiliki dinding sel yang tipis

11
Jurnal Kimia Unand (ISSN No. 2303-3401), Volume 4 Nomor 2, Mei 2015

dengan garis tengah sel berkisar 1-12 2.2.1 Identifikasi Morfologi Mikroalga
mikron. Spirulina bergerak dengan cara Isolat mikroalga yang diperoleh dari
menggelinding sepanjang garis tengah BBPBAP dilihat morfologinya mengguna-
selnya. Spirulina merupakan kan mikroskop cahaya dengan perbesaran
mikroorganisme yang berkembang biak 100x, kemudian morfologi tersebut di-
dengan cara membelah diri[2]. cocokkan dengan morfologi Spirulina
platensis pada buku identifikasi fito-
Kadar protein pada biomasa Spirulina dapat plankton.
ditentukan menggunakan metoda
Bradford. Metoda Bradford mampu 2.2.2 Pembuatan Medium Pertumbuhan
menganalisa protein lebih cepat dengan Medium pertumbuhan yang digunakan
reaksi pembentukan senyawa kompleks pada penelitian ini adalah Bold Basal
antara comassie blue dengan protein, Medium (BBM) dengan sumber nitrogen
disamping itu metoda ini menggunakan NaNO3 dan medium BBM dengan sumber
reagen lebih sedikit daripada metoda lowry nitrogen urea, masing-masing medium
serta memiliki interferensi yang kecil dari diatur pH nya hingga 10[10]. Medium BBM
zat lain[7,8]. dengan sumber nitrogen NaNO3
mengandung 0,024 g/L NaNO3, 0,075 g/L
Kualitas protein juga ditentukan oleh jenis MgSO4.7H2O, 0,025 g/L NaCl, 0,075 g/L
dan jumlah asam amino penyusunnya. K2HPO4, 0,175 g/L KH2PO4, 0,025 g/L
Oleh karena itu perlu dilakukan identifikasi CaCl.2H2O, 27,22 g/L NaHCO3, serta trace
asam amino pada biomasa Spirulina, pada element. Medium BBM dengan sumber
penelitian ini dilakukan menggunakan alat nitrogen urea dibuat dengan komposisi
Aminoacid Analyzer. serupa dengan medium BBM namun
NaNO3 diganti dengan urea sebanyak 0,174
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui g/L. Medium diautoclave selama 30 menit
kadar protein dan asam amino pada dan didinginkan hingga suhu kamar.
biomasa Spirulina platensis yang dikultur
dengan sumber nitrogen urea dan sumber 2.2.3. Pertumbuhan Mikroalga
nitrogen NaNO3. Mengetahui sumber Isolat Spirulina platensis diukur optical
nitogen yang baik untuk pertumbuhan density awalnya meggunakan spektro-
Spirulina platensis dalam medium BBM. fotometer pada panjang gelombang 560
nm. Isolat tersebut kemudian dikultur ke
II. MetodologiPenelitian dalam medium dengan perbandingan isolat
2.1 Bahan kimia, peralatan dan instrumentasi dan medium 1:9 (v/v). Kultur diaerasi
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan pompa akuarium selama
ialah mikroalga Spirulina platensis yang proses pengukuran kurva pertumbuhan.
diperoleh dari BBPBAP (Balai Besar Kultivasi ini dilakukan pada suhu ruang
Pengembangan Budidaya Air Payau), dibawah penyinaran cahaya matahari.
Jepara, Indonesia, media pertumbuhan Pertumbuhan di ukur tiap hari
(NaHCO3, NaCl, MgSO4.7H2O, menggunakan spektrofotometer dengan
CaCl2.2H2O, fertilizer), akuades, urea, panjang gelombang 560 nm sampai
NaNO3,NaOH, EDTA (ethylenediamine- didapatkan fasa stasioner[11].
tetraacetic acid), reagen Bradford dan HCl.
Peralatan yang digunakan dalam penelitian 2.2.4 Persiapan Biomasa
ini ialah peralatan gelas, pompa aquarium, Isolat mikrolga dikultur kembali ke dalam
pipa udara, net plankton, kertas pH, medium BBM dengan perbandingan isolate
mortar, spektrofotometer UV-Vis (Genesys dan media 1:9 (v/v). Kultivasi dilakukan
20 Thermo Scientific), neraca analitik (Kern sampai kultur berada pada fasa akhir
&Sohn GmbH), mikroskop cahaya, eksponensial. Kultur disaring
magnetic stirrer, ultrasentrifus, menggunakan net plankton dan dikering
ultrasonikator, dan Amino Acid Analyzer. anginkan. Biomasa kering dihaluskan
menggunakan mortar, kemudian disimpan
2.2 Prosedur penelitian pada botol vial tertutup.

12
Jurnal Kimia Unand (ISSN No. 2303-3401), Volume 4 Nomor 2, Mei 2015

2.2.5 Ekstraksi dan Isolasi Protein nitrogen murni, kemudian sampel dioven
Proses isolasi diawali dengan melakukan pada suhu 110oC selama 24 jam. Sampel
ekstraksi protein. Proses ini dilakukan yang telah dihidrolisis dibiarkan sampai
dengan melarutkan biomasa kering suhu ruang dan disaring menggunakan
menggunakan akuades dengan kertas saring Whatman no.41. Filtrat
perbandingan 1:20 (b/v). Biomasa dipipet 1 mL ke tabung 10 mL dan
disonikasi selama 3 menit menggunakan dibekukan dengan es kering, pengeringan
ultrasonikator, kemudian didiamkan dalam dilanjutkan dalam pengering vakum.
ice bath selama 2 menit. Natrium Sampel hidrolisis kering dilarutkan
hidroksida 2M ditambahkan ke dalam kembali dengan HCl 0,1 N hingga volume 3
biomasa yang telah disonikasi sampai pH mL dan dihomogenkan menggunakan
11. Biomasa pH 11 distirer selama 5 jam vortex, selanjutnya disaring menggunakan
pada suhu 60oC, kemudian disentrifus membran dengan ukuran 0,22µm. Filtrat
dengan kekuatan 20.000 gravitasi selama 15 hasil saringan diinjeksikan pada alat Amino
menit pada suhu 20oC untuk proses Acid Analyzer (AAA) sebanyak 100µL.
isolasinya[9,12]. Pengendapan protein Amino Acid Analyzer menggunakan resin
dilakukan pada suhu dingin dengan penukan ion (Cation exchange)W3 dengan
menambahkan HCl 2M pada isolat protein ukuran kolom 6x460 mm, tinggi resin 220
sampai pH 3, kemudian larutan disentrifus mm dan suhu kolom 70oC. Larutan buffer
menggunakan ultrasentrifus dengan yang digunakan adalah larutan trisodium
kekuatan 20.000 gravitasi selama 15 menit sitrat. Kecepatan alir larutan buffer
dan pada suhu 5oC. Pelet ditambah buffer 33mL/jam dan kecepatan alir larutan
fosfat pH 7 0,01 M, kemudian disimpan ninhidrin 16,5 mL/jam , serta kecepetan
pada suhu dingin untuk analisa recorder 6 inch/jam dan tekanan kolom 450
berikutnya[12]. psi. Konsentrasi larutan standar yang
diinjeksikan yaitu 0,250 µmol/mL[13].
2.2.6 Penentuan Kadar Protein
Kandungan protein dianalisa III. Hasil dan Pembahasan
menggunakan metoda Bradford. Proses ini
diawali dengan pembuatan larutan stadar 3.1 IdentifikasiMorfologiMikroalga
Bovine Serum Albumin (BSA) dengan Hasil penelitian memperlihatkan morfologi
konsentrasi 7,8-1000 ppm. Larutan standar mikroalga yang digunakan dalam
BSA masing-masing diambil 5 mL dan penelitian ini yaitu Spirulina platensis.
ditambah 5 mL reagen Bradford, kemudian Pengamatan ini dilakukan menggunakan
diinkubasi selama 15 menit. Larutan mikroskop cahaya dengan perbesaran 100x.
standar diukur serapannya pada panjang
gelombang 595 nm. Pelet yang telah
ditambah buffer fosfat diambil 5 mL dan
ditambah reagen Bradford 5 mL, kemudian
diinkubasi 15 menit. Larutan kemudian
diukur serapannya pada panjang Dindingsel
gelombang 595 nm. Konsentrasi protein
dapat ditentukan dengan persamaan
Trikoma
regresi[8].

2.2.7 IdentifikasiAsam Amino


Identifikasi asam amino diawali dengan Gambar 1.Morfologi Spirulina platensis hasil
menghidrolisis sampel menggunakan HCl identifikasi mikroskop cahaya
6 N. Sampel biomasa Spirulina platensis perbesaran 100x
kultur urea dan kultur NaNO3 masing-
masingnya ditimbang sebanyak 50 mg dan Hasil pengamatan menggunakan
dimasukkan ke dalam tabung pyrex 10 mL mikroskop cahaya menunjukkan Spirulina
bertutup. Sampel ditambah HCl 6 N platensis tidak memiliki flagel sebagai alat
sebanyak 5 mL dan dialiri dengan gas gerak. Morfologi mikroalga yang didapat

13
Jurnal Kimia Unand (ISSN No. 2303-3401), Volume 4 Nomor 2, Mei 2015

berupa filamen dengan bentuk spiral sangat buruk.Pada hari kedua sampai hari
berwarna hijau kebiruan. Hal ini sesuai ke 10 Spirulina platensis mengalami
adaptasi, hal ini ditandai dengan kenaikan
dengan morfologi Spirulina nilai absorban yang tidak signifikan setiap
platensispada buku identifikasi dua harinya. Terjadi kenaikan absorban
fitoplankton. pada hari ke 10 sebesar 0,017 A.

Gambar 2. Morfologi Spirulina platensis pada


buku identifikasi fitoplankton[14]

Adapun ciri-ciri morfologi Spirulina


platensis yaitu berbentuk filamen yang Gambar 3. Kurva pertumbuhan Spirulina
tersusun dari trikoma multiseluler yang platensis
berbentuk spiral dan bergabung menjadi Hal ini menunjukkan bahwa kultur
satu, memiliki sel berkolom, autotrof, dan memasuki fasa eksponensial, namun fasa
berwarna hijau kebiruan. eksponensial pada kultur tanpa nitrogen ini
sangat pendek akibat kurangnya nitrogen
3.2 Pertumbuhan Mikroalga
dalam media kultur sehingga sel tidak
Pertumbuhan mikroalga secara visual
mampu membentuk protein penyusun
dapat ditandai dengan berubahnya warna
tubuhnya. Alasan inilah yang
kultur. Pada penelitian ini didapatkan
menyebabkan sel tidak dapat membelah
warna kultur hari pertama yaitu bening
dengan baik dan tidak dapat menghasilkan
kehijauan dengan perbandingan media dan
sel baru yang lebih banyak.
isolat mikroalga 9:1. Warna kultur pada
Secara garis besar kepadatan sel pada
hari ke 10 berubah menjadi warna hijau
kultur urea lebih tinggi daripada kultur
yang lebih pekat daripada hari pertama.
NaNO3 (Gambar 3.), hal ini disebabkan
Hal ini menunjukkan terjadinya
karena urea mudah membentuk ion
pertumbuhan mikroalga.Pertumbuhan
amonium. Urea dikonversi menjadi ion
mikroalga juga dapat diamati dengan
amonium dalam sel mikroalga dengan
pengukuran absorban menggunakan
bantuan enzim urease (urea amido-
spektrofotometer. Absorban yang
hidrolase) atau urea amidoliase.Kedua
didapatkan mewakili jumlah sel pada
enzim tersebut umumnya ada pada sel alga
kultur. Jumlah sel sebanding dengan
uniseluler. Ion ammonium akan digunakan
besarnya absorban yang didapatkan[9].
untuk membentuk asam amino esensial
Pada awal kultur didapatkan nilai absorban
dalam proses metabolismetubuhnya[15].
yang kecil, hal ini menandakan jumlah sel
Berikut ini merupakan reaksi enzimatik
yang ada dalam kultur masih sedikit.
dalam konversi nitrogen menjadi ion
Jumlah sel dalam kultur akan terus
amonium di dalam sel[16]:
bertambah selama fasa eksponensialnya.
a. Mekanisme urea amidohidrolase
CO(NH2)2 +H2O CO2 + 2NH3
Nitrogen merupakan komponen yang
sangat penting dalam pertumbuhan b. Mekanisme urea amidoliase
mikroalga. Berdasarkan kurva CO(NH2)2 + ATP + HCO3- + Mg2+ + K+
pertumbuhan yang didapatkan dalam allophanate + ADP +Pi
penelitian ini (Gambar 3.), Spirulina Allophanate 2 NH3 + 2CO2
platensis yang dikultur dalam media tanpa c. Mekanisme reduksi nitrat
nitrogen memiliki pertumbuhan yang

14
Jurnal Kimia Unand (ISSN No. 2303-3401), Volume 4 Nomor 2, Mei 2015

NO3- + NADH + H+ NO2- + NAD+ +


H2O
NO2- + 3 H2O + 2 H+ + hv NH4+ + 1,5
O2 + 2 H2O
Pertumbuhan Spirulina kultur urea lebih
cepat mencapai fasa stasionernya. Hal ini
disebabkan mudahnya urea terkonversi
menjadi ion amonium, sehingga
pembelahan sel terjadi lebih cepat.. Pada
masa kultur Spirulina akan terus menyerap
nitrogen dari media dan proses
pembentukan protein akan terus
Gambar 4. Kurva regresi standar BSA
berlanjutPembelahan sel akan berkurang
saat kultur memasuki fasa stasioner. Ada
beberapa faktor yang menyebabkan kultur
mencapai fasa stasioner, salah satunya Hasil penentuan kadar protein dalam
yaitu ketersediaan nitrogen dalam kultur biomasa kultur NaNO3 sangat kecil bila
yang mulai berkurang. dibandingkan dengan kadar protein dalam
biomasa kultur urea, meskipun konsentrasi
Pada fasa stasioner akan terjadi kompetisi nitrogen yang ada pada kedua sumber
antar sel dalam menyerap nutrien yang nitrogen disamakan. Hal ini disebabkan
mulai terbatas, nutrien ini dapat berupa jumlah atom nitrogen pada urea dua kali
nitrogen. Sel mengkonsumsi nitrogen lebih jumlah atom nitrogen pada NaNO3, selain
sedikit daripada saat fasa pertumbuhan, itu NaNO3 tidak dapat diubah secara
maka pada fasa ini sel tidak dapat langsung menjadi ion amonium oleh enzim
menghasilkan protein sebanyak pada fasa urease dalam sel mikroalga sehingga
pertumbuhan, oleh sebab itu waktu yang protein yang mampu dihasilkan mikroalga
baik untuk isolasi protein pada mikroalga kultur NaNO3 kecil.
dilakukan saat sel berada dalam fasa
eksponensial. Sel lebih banyak
menghasilkan metabolit sekunder pada
fasa stasioner. Penumpukan metabolit
sekunder yang diproduksi sel akan
menyebabkan sel memasuki fasa kematian.

3.3 Penentuan Kadar Protein


Gambar 5. Persentase protein dalam sampel
Hasil yang didapatkan pada pengukuran
Spirulina platensis kultur NaNO3
kadar protein menggunakan metoda dan kultur urea
Bradford yaitu kadar protein pada kultur
urea sebesar 768,17 ppm, sedangkan kadar
protein pada NaNO3 sebesar 146,45 ppm.
Mikroalga memiliki batas peyerapan
Hasil ini diperoleh dengan persamaan
nitrogen, bila nitrogen yang ada pada
regresi linier standar BSA.
media terlalu banyak maka pertumbuhan
mikroalga akan terhambat atau disebut
Hal ini disebabkan urea lebih mudah
juga keracunan amonium. Terhambatnya
membentuk ion amonium dalam sel
pertumbuhan mikroalga juga dapat
mikroalga dengan bantuan enzim
menghambat proses biosintesis protein
urease.Ion amonium akan masuk ke dalam
didalam sel, oleh karena itu pada penelitian
struktur protein membentuk NH2. Semakin
ini konsentrasi nitrogen pada tiap sumber
banyak ion amonium yang terbentuk maka
nitrogen disamakan dengan konsentrasi
semakin banyak pula protein yang dapat
nitrogen pada sumber nitrogen dalam
dihasilkan.
medium BBM.

15
Jurnal Kimia Unand (ISSN No. 2303-3401), Volume 4 Nomor 2, Mei 2015

3.4 Identifikasi Asam Amino biomasa kultur NaNO3 jauh lebih tinggi
Hasil yang didapat dalam proses daripada biomasa kultur urea.
identifikasi asam amino pada sampel
mikroalga Spirulina platensis kultur NaNO3 Asam amino esensial yang dihasilkan oleh
dan kultur urea menggunakan Amino Acid kedua biomasa yaitu histidin, treonin,
Analyzer adalah sebagai berikut : valin, metionin, lisin, isoleusin, dan
fenilalanin. Secara keseluruhan kadar asam
amino yang dikandung oleh biomasa
kultur NaNO3 lebih tinggi bila
dibandingkan dengan biomasa kultur urea.
Hal ini disebabkan oleh kadar prekursor
awal, yaitu asam glutamat pada biomasa
kultur NaNO3 lebih besar daripada kultur
urea. Semua asam amino berasal dari
senyawa intermediet Glikolisis, siklus asam
sitrat, dan pentose phosphat pathway.
Nitrogen masuk ke dalam metabolisme
melalui proses Asimilasi amonium
membentuk Glutamat dan Glutamin[13].

IV. Kesimpulan
Dari hasil penelitian yang telah dilakukan
Gambar 6. Komposisi protein pada Spirulina dapat disimpulkan bahwa kadar protein
platensis kultur NaNO3 dan kultur tertinggi didapat pada biomasa Spirulina
Urea
platensis kultur urea, yaitu sebesar 768,17
Keterangan : ASP (As.Aspartat), SER ppm atau 62% dari berat kering selnya.
(Serin), GLU (As.Glutamat), GLY (Glisin), Kadar protein pada NaNO3 yang
HIS (Histidin), ARG (Arginin), THR didapatkan sangat kecil yaitu 146,45 ppm
(Treonin), ALA (Alanin), PRO (Prolin), CYS atau 11,86% dari berat kering sel nya.
(Sistein), TYR (Tyrosin), VAL (Valin), MET Perbedaan sumber nitrogen mempengaruhi
(Metionin), LYS (Lisin), ILE (Isoleusin), kadar protein di dalam sel Spirulina
LEU (Leusin), PHE (Fenilalanin) platensis. Semakin banyak ion amonium
yang mampu diubah sel maka protein yang
Berdasarkan data diatas asam amino dihasilkan meningkat. Asam Amino
tertinggi yang dikandung oleh biomasa Esensial yang terkandung didalam
kultur NaNO3 dan biomasa kultur urea sampelyaitu histidin, treonin, valin,
yaitu asam glutamat, masing-masing metionin, lisin, isoleusin, dan fenilalanin.
sebanyak 3,56 g dan 2,86 g dalam 100 g Biomasa kultur NaNO3 menghasilkan
sampel. Jumlah asam amino sistein pada kadar asam amino yang lebih tinggi
biomasa kultur NaNO3 sangat jauh lebih daripada biomasa kultur urea.
tinggi daripada jumlah sistein pada
biomasa kultur urea. Hal ini bergantung V. UcapanTerimaKasih
pada jumlah metionin dan serin dalam tiap Ucapan terimakasih penulis sampaikan
kultur tersebut. kepada analis laboratorium biokimia dan
bioteknologi Universitas Andalas.
Dalam biosintesis sistein, metionin
menyumbangkan atom sulfur dan serin
menyumbangkan kerangka karbon. Pada
biomasa kultur NaNO3 jumlah metionin
dan serin lebih besar jika dibandingkan
dengan jumlah pada kultur urea. Hal ini
yang menyebabkan jumlah sistein pada

16
Jurnal Kimia Unand (ISSN No. 2303-3401), Volume 4 Nomor 2, Mei 2015

Referensi cultivated blue-green algae (Spirulina


platensis), J. Agric. Food Chem, vol. 29,
1. Almatsier, S., 2004, Prinsip Dasar Ilmu 522-525
Gizi. Gramedia Pustaka Utama, 77-104 12. Gerde, Jose A., Tong Wang, Linxing
2. Isnansetyo, A., Kurniastuti , 1995, Yao, Stephanie Jung, Lawrence A.
Teknik Kultur Phytoplankton & Jonhson, Buddhi Lamsal, 2013,
Zooplankton – Pakan Alami untuk Optimizing protein isolation from
Pembenihan Organisme Laut, defatted and non-defatted
Kanisius (Anggota IKAPI), 13-49 Nannochloropsis microalgae biomass,
3. Pelchar, Jr., dkk, 1986, Dasar-dasar Elsevier Algal Research, vol. 2, 145-153
Mikrobiologi 1, Universitas Indonesia 13. Sitompul, Saulina, 1997, Komposisi
(UI-Press), 27-31 Asam-asam Amino dari Biji-bijian dan
4. Flynn, Kevin J., Ian B., 1986, Nitrogen Kacang-kacangan, Lokakarya Fungsi-
sources for the growth of marine onal Non Peneliti, Balai Penelitian
microalgae: role of dissolved free Ternak Ciawi, 1-5
amino acids, Marine Ecology– 14. Wher, John D., Robert G. Sheath, 2003,
Progress series, vol. 34, 281-304 Freshwater Algae of North America :
5. Gershwin, M. E., Amha B., 2007, Ecology and Classification,
Spirulina in Human Nutrition and Elsevierscience (USA), 141
Health, CRC press, Taylor & Francis 15. Wijanarko, Anondho, 2011, Effect of
group, 3-22 the Presence of Subtituted Urea and
6. Fragakis, Allison S., Cynthia T., 2007, also Ammonia as Nitrogen Source in
The Health Professional Guide to Cultivied Medium on Chlorella’s
Popular Dietary Supplements 3rd Lipid Content, Intech : Progress in
edition, American Dietetic Biomass and Bioenergy Production, 1-
Association, 499-503 11
7. Ali, S., Arabi M., 2012, Spirulina – An 16. Leftley, J.W.,Syrett, P.J., 1973, Urease
Overview, International Journal of and ATP: Urea Amidolyase Activity in
Pharmacy and Pharmaceutical Unicellular Algae, Journal of General
Sciences, vol. 4, issue 3, 9-15 Microbiology, vol. 77, 109-115
8. Bradford, Marion M., 1976,A Rapid
and Sensitive Method for the
Quantitation of Microgram Quantities
of Protein Utilizing the Principle of
Protein-Dye Binding, Analytical
Biochemistry, vol. 72, 248-254
9. Lee, Y., Chen, W., Shen, H., Han, D.,
Lie,Y., Jones, H. D. T., Timlin, J. A.,
Hu, Q.,2013, Basic Culturing and
Analytical Measurement Techniques,
Amos Richmond and Qiang Hu,
Handbook of Microalgal Culture:
Applied Phycology and
Biotechnology, Second Edition, Wiley-
Blackwell, West Sussex, UK, 37-68
10. Amala, K., Ramanathan, 2013,
Comparative studies on production of
Spirulina platensis on the standard and
newly formulated alternative medium,
Science Park, vol. 1, 1-10
11. Devi, M. Anusuya, G. Subbulakshmi,
K. Madhavi Devi, L. V. Venkataraman,
1981, Studies on the proteins of mass-

17
Jurnal Kimia Unand (ISSN No. 2303-3401), Volume 4 Nomor 2, Mei 2015

KONTROL PEMBENTUKAN NANOPARTIKEL PERAK


MELALUI CAPPING AGENT DENGAN BANTUAN
BIOREDUKTOR EKSTRAK DAUN GAMBIR
(Uncaria Gambir Roxb)

Mia Luthfia Desna, Diana Vanda Wellia, dan Syukri Arief*

Laboratorium Kimia Material Jurusan Kimia FMIPA, Universitas Andalas


Jurusan Kimia FMIPA Unand, Kampus Limau Manis, 25163

*e-mail: syukriarief@gmail.com

Abstract

Synthesis of silver nanoparticles as a part of the development of nanotechnology has been


successfully carried out by chemical reduction method using bioreduktor of gambier’s leaf
extract. The process of biosynthetic conducted at various various conditions showed that the best
conditions for the synthesis of silver nanoparticles is AgNO3 0.01 M (Treaksi=25˚C). The use of 1%
Polivinil alkohol (PVA) as a capping agent had produced silver nanoparticles with high colloidal
stability. Silver nanoparticles was floured grayish and shiny. The results of X-Ray Diffraction
(XRD) displayed the same peak pattern obtained with standard silver metal. The Ag crystallite
size for concentration of AgNO3 0.1 M was larger than AgNO3 0.01 M. Transmission Electron
Microscope (TEM) showed that particle size of Ag was about 59 nm from AgNO3 0.1 M, while
about 22 nm of AgNO3 0.01 M.

Keywords: Silver nanoparticle, Bioreductor, Capping agent, XRD, TEM

I. Pendahuluan karbon, senyawa organik, dan biologi


seperti DNA, protein, atau enzim.1
Pada saat ini, teknologi yang sedang Nanopartikel yang banyak menarik
berkembang adalah teknologi berbasis nano perhatian adalah nanopartikel logam karena
atau sering disebut dengan nanoteknologi. aplikasinya yang luas, antara lain di bidang
Nanoteknologi adalah ilmu dan rekayasa optik, elektronik, industri, kesehatan,
dalam penciptaan material, struktur biomedis, katalis, tekstil dan lingkungan.
fungsional, maupun piranti dalam skala
nanometer. Material berukuran nanometer Pemilihan nanopartikel perak sebagai fokus
memiliki sejumlah sifat kimia dan fisika peneliti adalah karena aplikasinya yang luas
yang lebih unggul dari material berukuran serta kemampuannya dalam mengubah sifat
besar. fisik, optik, dan sifat elektronik suatu
komponen. Selain itu, penggunaan
Nanopartikel merupakan bagian dari nanopartikel perak telah dikenal sebagai
nanoteknologi yang sangat popular dan antimikroba dan aplikasi lain dalam lapisan
semakin pesat perkembangannya sejak cat antimikroba, tekstil, pengolahan air, dan
beberapa tahun terakhir. Ukuran partikel peralatan medis serta kemampuannya
berukuran nano adalah sekitar 1–100 nm. tereduksi berdasarkan kedudukannya
Nanopartikel tersebut dapat berupa logam dalam sistem berkala unsur.
mulia seperti emas, platina, perak, oksida
logam, semikonduktor, polimer, material
18
Jurnal Kimia Unand (ISSN No. 2303-3401), Volume 4 Nomor 2, Mei 2015

Secara garis besar, sintesis nanopartikel lengkap tentang kondisi optimum serta
perak dapat dilakukan dengan metode top- peranan gambir sebagai bioreduktor.
down (fisika) dan metode bottom-up (kimia). Kondisi optimum biosintesis nanopartikel
Sintesis dengan metode tersebut perak dilihat dengan melakukan variasi
menimbulkan dampak yang tidak baik bagi suhu sistesis dan penggunaan capping agent
lingkungan sekitar dan mahluk hidup dalam pembentukan nanopartikel perak.
karena menggunakan bahan kimia yang Kemudian, nanopartikel perak yang telah
berbahaya dan cukup reaktif serta disintesis akan dikarakterisasi dengan XRD,
menggunakan peralatan yang mahal. Oleh dan TEM.
karena itu, dari berbagai metode yang telah
dikembangkan oleh para ahli, bermunculan II. Metodologi Penelitian
metode baru untuk sintesis nanopartikel
yang dikenal dengan green nanotechnology 2.1. Bahan kimia, peralatan dan instrumentasi
berbasis tumbuhan sebagai bioreduktor. Bahan-bahan yang digunakan dalam
penelitian ini yaitu daun gambir (Uncaria
Indonesia sebagai negara dengan sumber gambir Roxb.), Perak Nitrat (Brataco,
daya alam dan keanekaragaman hayati 99,98%), Polivinil Alkohol (PVA) (Brataco),
memiliki potensi untuk penelitian yang dan aquadest. Pereduksi alami yang
terkait dengan eksplorasi pemanfaatan digunakan adalah daun gambir yang
tumbuhan sebagai agen dalam biosintesis diambil dari daerah Payakumbuh.
nanopartikel. Beberapa jenis tumbuhan
yang telah dipublikasikan sebagai reagen Alat-alat yang digunakan dalam penelitian
biosintesis adalah Eucalyptus hybrida 2, ini yaitu peralatan gelas, kertas saring
Artocarpus heterophyllus 3, Camellia Sinensis 4, Whatman, aluminium foil, piknometer,
dan Mollugo nudicaulis.5 Penggunaan A. timbangan analitik, pipet tetes, corong, pH
indica untuk biosintesis nanopartikel perak meter, hot plate stirrer, magnetic bar, sentrifus,
telah dilakukan oleh Shankar dkk.6. Shankar X-Ray Diffraction (XRD; Phillips X’pert
memperolah hasil bahwa proses reduksi Powder PAN alytical), Transmission
dimulai sekitar 2 sampai 4 jam setelah Electron Microscope (TEM; JEOL JEM 1400).
penambahan ekstrak.
2.2. Prosedur penelitian
Untuk menghasilkan partikel perak dengan 2.2.1. Preparasi Ekstrak Daun Gambir
kualitas nano yang baik maka diperlukan Tumbuhan yang digunakan untuk proses
penggunaan capping agent dengan tujuan green synthesis yaitu Gambir (Uncaria gambir
untuk mencegah terbentuknya aglomerasi Roxb). Bagian tumbuhan yang digunakan
koloid nanopartikel perak. yaitu daun dalam kondisi segar. Untuk
preparasi ekstraknya, daun gambir
Dalam penelitian ini, akan dilakukan dikeringanginkan dalam suatu ruangan
pengamatan terhadap sintesis nanopartikel yang terlindungi dari sinar matahari
perak menggunakan ektrak daun gambir langsung. Selanjutnya daun gambir
(Uncaria gambir Roxb). Ekstrak gambir dihaluskan. Serbuk yang didapatkan
mengandung katekin, yaitu suatu senyawa kemudian disimpan dalam wadah yang
polifenol yang digunakan karena memiliki bersih dan terlindung dari cahaya untuk
kemampuan sebagai zat pereduksi. Perak mencegah terjadinya kerusakan dan
nitrat akan direduksi oleh ekstrak daun penurunan mutu.
gambir sehingga lebih ramah lingkungan
dan ekonomis. Kemampun gambir sebagai Ekstrak tumbuhan diperoleh dengan cara
bioreduktor untuk sintesis nanopartikel menimbang serbuk sebanyak 10 g kemudian
perak sebelumnya telah dibuktikan dalam ditambah 100 mL aquadest dan direbus pada
penelitian pendahuluan oleh Rahmah, W. 7 suhu didihnya selama ± 1 jam. Setelah itu,
Namun, belum didapatkan penjelasan yang larutan disaring dengan kertas saring

19
Jurnal Kimia Unand (ISSN No. 2303-3401), Volume 4 Nomor 2, Mei 2015

Whatman dan diambil filtratnya. Filtrat


yang dihasilkan digunakan sebagai agen Menurut Handaya dkk.(2011), nanopartikel
reduktor. perak hasil preparasi berbentuk koloid
dengan pengamatan warna koloid
2.2.2. Preparasi Capping Agent nanopartikel perak yang berbeda-beda,
Capping agent yang digunakan yaitu mulai dari kuning, transparan, atau krem
Polivinil Alkohol (PVA). Larutan PVA 1% atau abu-abu.8 Koloid nanopartikel perak
(b/v) dibuat dengan penimbangan PVA memperlihatkan warna-warna yang
sebanyak 3 gram kemudian dilarutkan berbeda berdasarkan pada absorpsi cahaya
dalam 50 mL aquadest dan diaduk dan pancaran pada daerah cahaya tampak.
menggunakan pengaduk magnetik. Larutan
dipanaskan hingga suhu 80˚C dan seluruh Kestabilan koloid nanopartikel dapat
PVA terlarut sempurna. Kemudian dikontrol dengan menambahkan Polivinil
didinginkan pada suhu kamar dan alkohol (PVA) sebagai capping agent. Dengan
dipindahkan ke dalam labu ukur 100 mL ditambahkan PVA, koloid menjadi lebih
dan volume dicukupkan sampai garis batas. stabil dan partikel akan tetap berukuran
nano. Kestabilan koloid nanopartikel dapat
2.2.3. Sintesis Nanopartikel Perak dilihat melalui pengukuran absorban
Pada penelitian ini akan dilakukan menggunakan spektrofotometer UV-Vis.
karakterisasi nanopartikel perak dengan
adanya capping agent dan nanopartikel perak 3.1. X-Ray Diffraction (XRD)
tanpa adanya capping agent. Nanopartikel Analisis XRD pada serbuk nanopartikel
dengan adanya capping agent, dibuat dengan perak hasil sintesis dilakukan untuk
cara mencampurkan larutan AgNO3 0,1 M mengetahui struktur dan ukuran kristal dari
dan 0.01 M dengan larutan PVA 1% (b/v) nanopartikel yang didapatkan. Gambar di
kemudian ditambahkan ekstrak daun bawah merupakan hasil XRD dari
gambir dengan rasio 1:1:1. Larutan distrir nanokristal perak dengan konsentrasi
selama 24 jam dan kontrol pada suhu 25˚C, AgNO3 0,1 M dan 0,01 M menggunakan
4˚C dan 70˚C. Hal yang sama dilakukan pereduksi alami ekstrak daun gambir.
untuk pembuatan nanopartikel perak tanpa
capping agent. Selama proses sintesis, koloid
nanopartikel perak dianalisis serapannya
menggunakan spektrofotometer UV-Vis. (a)
Intensitas (a.u)

Ag (0.01 M)
Kemudian endapan yang didapat dicuci
menggunakan aquadest dan aseton. Endapan (b)
perak yang dihasilkan dikarakterisasi Ag (0.1 M)

menggunakan peralatan XRD dan TEM.


Standar Ag
III. Hasil dan Pembahasan

Terbentuknya nanopartikel secara umum 30 40 50 60


o
70 80 90
ditandai dengan adanya perubahan warna 2 ( )

larutan menjadi kuning hingga kecoklatan


Gambar 5. Analisis XRD dari nanokristal perak
dari waktu ke waktu. Larutan campuran dengan konsentrasi AgNO3 (a) 0,1 M
yang terdiri dari AgNO3 dan ekstrak daun dan (b) 0,01 M.
gambir mengalami perubahan warna dari
jernih menjadi kuning muda setelah 15 Gambar 5(a) merupakan pola XRD dari Ag
menit. Selanjutnya, larutan campuran yang telah disintesis dari larutan AgNO3 0.1
mengalami perubahan warna menjadi M menggunakan pereduksi alami ekstrak
kecoklatan setelah 24 jam, warna tersebut daun gambir. Dapat dilihat bahwa telah
semakin pekat seiring bertambahnya waktu. terbentuk nanokristal Ag yang ditandai

20
Jurnal Kimia Unand (ISSN No. 2303-3401), Volume 4 Nomor 2, Mei 2015

dengan munculnya puncak pada 2θ: 38,17˚


(111); 44,37˚ (200); 64,60˚ (220); 77,44˚ (311);
81,65˚ (222); 97,80˚ (400) dengan struktur face
center cubic (fcc) yang sesuai dengan puncak
dari Ag dengan nomor ICDD (International
Centre for Diffraction Data 01-087-0597),
dengan ukuran kristal 69 nm.

Gambar 5(b) merupakan pola XRD dari Ag


yang telah disintesis dari larutan AgNO3
0.01 M menggunakan pereduksi alami
ekstrak daun gambir. Dapat dilihat bahwa
telah terbentuk nanokristal Ag yang
ditandai dengan munculnya puncak pada
2θ : 38,16˚ (111); 44,32˚ (200); 64,51˚ (220);
(a)
77,41˚ (311); 81,54˚ (222); 98,02˚ (400) dengan
struktur face center cubic (fcc) yang sesuai
dengan puncak dari Ag dengan nomor
ICDD (International Centre for Diffraction
Data 01-017-4613), dengan ukuran kristal 28
nm.

Berdasarkan analisis XRD, perbedaan


konsentrasi AgNO3 dalam biosintesis
mempengaruhi ukuran kristal Ag yang
diperoleh. Ajitha dkk. telah mempelajari
pengaruh konsentrasi AgNO3 terhadap
pertumbuhan ukuran nanokristal. Mereka
menemukan bahwa dengan konsentrasi
yang semakin tinggi maka ukuran partikel
juga semakin besar. Hal ini dibuktikan dari
ukuran kristal yang didapat sekitar 24-45 (b)
nm dengan kenaikan konsentrasi AgNO3.9
Gambar 6. Analisis TEM dari nanokristal perak
dengan konsentrasi AgNO3 (a) 0.1 M
3.4. Transmission Electron Microscope (TEM)
dan (b) 0.01 M.
Analisis TEM digunakan untuk melihat
morfologi, struktur dan ukuran
Perbedaan konsentrasi AgNO3 yang
nanopartikel perak. Sampel yang digunakan
digunakan akan menghasilkan partikel
untuk karakterisasi TEM yaitu serbuk
dengan ukuran yang berbeda pula. Ukuran
nanopartikel perak dengan konsentrasi
partikel yang didapatkan dari konsentrasi
AgNO3 0.1 M dan 0.01 M. Hasil analisis
AgNO3 0,1 M adalah sekitar 59 nm,
TEM dapat dilihat pada gambar 6.
sedangkan untuk konsentrasi AgNO3 0.01 M
sekitar 22 nm. Semakin besar konsentrasi
Hasil analisis TEM dapat dilihat pada
AgNO3 yang digunakan dalam sintesis
Gambar 6(a) dan 6(b) yang menunjukkan
maka semakin banyak jumlah Ag+ yang
bahwa nanopartikel perak berbentuk
harus direduksi. Hal ini menyebabkan
sperikal (bulat).
berkurangnya fungsi ekstrak sebagai
reduktor sehingga kemungkinan terjadi
aglomerasi (penggabungan) lebih besar dan
akibatnya distribusi ukuran Ag
nanopartikel menjadi semakin besar.
21
Jurnal Kimia Unand (ISSN No. 2303-3401), Volume 4 Nomor 2, Mei 2015

Zienlinska dkk., juga telah membuktikan Reduction of Silver Nanoparticles Using


bahwa semakin besar jumlah ion perak Plant Leaf Extracts And Its Effect on
dalam larutan maka ukuran partikel yang Increased Antimicrobial Activity
didapatkan juga semakin besar. Warna yang Against Clinically Isolated Organism,
dihasilkan juga akan mengalami perbedaan Der Pharma Chemica, 2(6), 279-284.
tergantung pada kekuatan dari reduktor.10 4. Loo, Y.Y., Chieng, BW., Nishibuchi, M.,
Radu, S., 2012, Synthesis of Silver
IV. Kesimpulan Nanoparticles by Using Tea Leaf Extract
From Camellia Sinensis, Journal of
Dalam penelitian ini, konsentrasi terkecil Nanomedicine, (7), 4263-4267.
AgNO3 0.01 M menghasilkan kristal perak 5. Anarkali, J, Raj, Vijayanti, D., Rajathi, K.,
dengan ukuran terkecil yaitu 28 nm dan Sridhar, S., 2012, Biological Synthesis of
memiliki stabilitas koloid yang tinggi. Silver Nanoparticles by Using Mollugo
Stabilitas koloid tertinggi dihasilkan dari Nudicaulis Extract and Their
koloid nanopartikel perak yang Antibacterial Activity, Academical
ditambahkan PVA 1% dengan suhu sintesis Journal, 4(3), 1436.
25˚C. Hasil XRD memperlihatkan bahwa 6. Shankar, S.S, Rai, A., Ahmad, A., dan
pola puncak yang dihasilkan merupakan Ag Sastry, M., 2004, Rapid synthesis of Au,
murni. Dari hasil TEM dapat dilihat bentuk Ag, and bimetallic Au core–Ag shell
dan morfologi dari nanopartikel perak nanoparticles using Neem (Azadirachta
berupa sperikal yang sedikit mengalami indica) leaf broth, Journal of Colloid and
aglomerasi, dengan ukuran partikel terkecil Interface Science, 275(4), 496-502.
adalah pada konsentrasi AgNO3 0.01 M, 7. Rahmah, W., 2014, Sintesis Nanokristal
yaitu sekitar 22 nm. Perak Menggunakan Pereduksi Alami.
Skripsi, Fakultas Matematika dan Ilmu
V. Ucapan terima kasih Pengetahuan Alam, Universitas
Andalas, Padang.
Penulis mengucapkan terimakasih kepada 8. Handaya, A., Laksmono, JA., dan
Dikti yang telah membiayai penelitian ini Haryono, A., 2011, Preparasi koloid
melalui PKM-P dan kepada analis nanosilver menggunakan stabilizer
laboratorium Kimia Material Jurusan Kimia polivinil alkohol dan aplikasinya
FMIPA Unand. sebagai antibakteri pada bakteri S.
aureus dan E. coli. Jurnal Kimia
Referensi Indonesia.
9. Ajitha, B., Divya, A., Harish, G. S.,
1. Bakir, 2011, Pengembangan Biosintesis Sreedhara, R. P., 2013, The Influence of
Nanopartikel Perak Menggunakan Air Silver Precursor Concentration on Size
Rebusan Daun Bisbul (Diospyros of Silver Nanoparticles Grown by Soft
Blancoi) Untuk Deteksi Ion Tembaga (II) Chemical Route, Research Journal of
dengan Metode Kolorimetri, Skripsi, Physical Sciences, 1(17), 11- 14.
Fakultas Matematika dan Ilmu 10. Zielinska, A., Skwarek, E., Zaleska, A.,
Pengetahuan Alam, Universitas Gazda, M., dan Hupka, J., 2009,
Indonesia, Depok. Preparation of Silver Nanoparticles with
2. Donda, M.R., Kudle, K.R., Alwala, J., Controlled Particle Size. Procedia
Miryala, A., Sreedhar, B., dan Rudra, P., Chemistry, (1), 1560–1566.
2013, Green Synthesis of Nanosilver
Particles From Extract of Eucalyptus
Hybrida, Journal of Current Science, (7), 1-
8.
3. Thirumurugan, A., Tomy, NA., Ganesh,
RJ., Gobikrishnan, S., 2010, Biological

22
Jurnal Kimia Unand (ISSN No. 2303-3401), Volume 4 Nomor 2, Mei 2015

STUDI PENDAHULUAN PENENTUAN KANDUNGAN PLASTIK


YANG TERDAPAT DALAM PISANG GORENG
MENGGUNAKAN TEXTURE ANALYZER DAN MINYAK
GORENG MENGGUNAKAN GC-MS
Mardiana Samosir, Yulizar Yusuf, dan Zamzibar Zuki

Laboratorium Analisis Terapan, Jurusan Kimia FMIPA, Universitas Andalas

e-mail: yulizaryusufch@yahoo.com
Jurusan Kimia FMIPA Unand, Kampus Limau Manis, 25163

Abstract

The preliminary study about the content of the plastic in fried banana and cooking oil that
was assumed containing plastic have been done, which using texture analyzer and GC-MS. On
the test of the texture analyzer, can be seen that there were differences between fried banana that
contained plastic compared to fried banana that contained no plastic. This is proved by 4 times of
the repetition of the hardness. Where the hardness of fried banana which contained plastic is
bigger than the fried banana which has no plastic, the point are 46,76 and 41,08 ; 59,35 and 31,99 ;
36,86 and 32,23 ; 22,25 and 26,79 in N/cm 2. While the result of the chromatogram, the chemical
compounds presented in the used of cooking oil contained metyl ester squalene, methanol
squalene carbinol, tetracosahexaene-hexamethyl squalene.

Keywords: Cooking oil, Texture Analyzer, Gas Chromatrography-Mass Spectrometry.

I. Pendahuluan biasanya digunakan untuk menggoreng.


Minyak goreng nabati biasa diproduksi dari
Kebiasaan yang baik merupakan dambaan kelapa sawit, kelapa, atau jagung. Konsumsi
dari setiap umat manusia. Usaha untuk minyak goreng masyarakat terbagi dalam
meningkatkan kesehatan terus menerus dua kategori yaitu minyak goreng curah
diupayakan orang dengan berbagai cara. dan minyak goreng kemasan.[1]
Kemajuan teknologi sistem informasi dalam Minyak goreng didefinisikan Badan
era globalisasi juga banyak membantu Pengembangan dan Pembinaan Bahasa
masyarakat dalam menyadari perlunya adalah minyak yang dipakai untuk
mengkonsumsi makanan yang menggoreng, seperti minyak kelapa, minyak
menyehatkan. Makanan yang menyehatkan jagung, dan minyak kacang.
tidak boleh mengandung bahan-bahan atau
cemaran yang dapat membahayakan Menurut Badan Standarisasi Nasional
kesehatan termasuk Bahan Tambahan (BSN), minyak goreng didefinisikan sebagai
Pangan (BTP) yang terlarang dan mikroba minyak yang diperoleh dengan cara
penyebab penyakit atau toksinya, tetapi memurnikan minyak nabati. Minyak nabati
sebaliknya mengandung senyawa-senyawa merupakan minyak yang diperoleh dari
yang mengandung kesehatan. serealia (jagung, gandum, beras, dan lain
lain), kacang-kacangan (kacang kedelai,
Minyak goreng merupakan salah satu kacang tanah, dan lain- lain), palma-
kebutuhan pokok manusia sebagai alat palmaan (kelapa dan kelapa sawit), dan biji-
pengolah bahan-bahan makanan yang
23
Jurnal Kimia Unand (ISSN No. 2303-3401), Volume 4 Nomor 2, Mei 2015

bijian (biji bunga matahari, biji wijen, biji Mass Spectrometry menembaki bahan yang
tengkawang, biji kakao, dan lain- lain). sedang diteliti dengan berkas elektron dan
Tidak semua minyak nabati dapat dipakai secara kuantitatif mencatat hasilnya sebagai
untuk menggoreng. Menurut Keraten, suatu spectrum sibir-sibir (fragmen) ion
minyak yang termasuk golongan setelah positif. Catatan ini disebut spectrum massa.
mengering (semi drying oil) misalnya Terpisahnya sibir- sibir ion positif
minyak biji kapas, minyak kedelai, dan didasarkan pada massanya (lebih tepat,
minyak biji bunga matahari tidak dapat massa dibagi muatanm tetapi kebanyakan
digunakan sebagai minyak goreng. Hal ini ion bermuatan tunggal [8].
disebabkan karena jika minyak tersebut
kontak sengan udara pada suhu tinggi akan Tidak menggunakan radiasi menggunakan
mudah teroksidasi sehingga berbau tengik. elektromagnetik yang berinteraksi dengan
Minyak yang dipakai menggoreng adalah analit, tetapi teknik analisis ini disebut juga
minyak yang tergolong dalam kelompok teknik spektroskopi, karena memberikan
non drying oil, yaitu minyak yang tidak akan spectrum rasio massa terhadap muatan dari
membentuk lapisan keras bila dibiarkan ion molekul dan ion fragmen molekul yang
mongering di udara, contohnya adalah terbentuk pada ionisasi dengan benturan
minyak sawit.[2]. elektron. Untuk keperluan identifikasi dan
. penentuan struktur senyawa kimia
Disamping itu, Ketengikan adalah informasi terpenting yang dibutuhkan
perubahan kimiawi yang menyebabkan adalah berat molekul. Mass spectrometry
minyak menjadi tengik dan rasanya tidak adalah satu- satunya teknik analisis yang
enak, berdasarkan reaksi kimia yang terjadi dapat memberikan informasi tersebut
pada minyak, dikenal ada dua jenis dengan akurasi tinggi. Pembentukan ion
ketengikan yaitu ketengikan oksidatif dan molekul dan ion fragmen molekul
hidrolitik.. Pada penelitian ini minyak tergantung kepada ionisasi yang dilakukan.
goreng diukur dengan menggunakan GC- Pada ionisasi dengan benturan elektron
MS. Gas Chromatrography berfungsi sebagai menggunakan voltase filament pembangkit
alat pemisah berbagai campuran komponen elektron 7 sampai 15 V, dapat diharapkan
dalam sampel sedangkan Mass Spectrometry tidak terjadi fragmen dan tidak terbentuk
berfungsi untuk mendeteksi masing masing ion yang lebih berat dari ion molekul. Ion
komponen yang telah dipisahkan pada Gas terberat, kecuali yang disebabkan oleh
Chromatrography [3]. pengaruh isotop adalah berat molekul
nominal jika menggunakan spectrometer
Gas Chromatography merupakan metode massa resolusi rendah dan berat molekul
yang tepat dan cepat untuk memisahkan jika menggunakan instrument dengan
campuran yang sangat rumit. Waktu yang resolusi tinggi [9].
dibutuhkan beragam, mulai dari beberapa
detik untuk campuran sederhana sampai Elektron yang dibangkitkan dengan
berjam- berjam untuk campuran yang potensial filament 70 V, memberikan
mengandung 500-1000 komponen. elektron dengan energi cukup besar untuk
Komponen campuran dapat didefinisikan pembentukan ion fragmen molekul yang
dengan waktu tambat (waktu retensi) yang rasio m/z-nya khas untuk molekul senyawa
khas pada kondisi yang tepat. Waktu yang dianalisis. Sistem ionisasi dan
tambat adalah waktu yang menunjukkan pemisahan molekul berdasarkan rasio m/z-
berapa lama suatu senyawa bertahan dalam nya terjadi di dalam Mass Spectrometry pada
kolom. Bagian utama dari kromatrografi gas tekanan 0,005 torr dan temperature 200 ±
adalah gas pembawa, sistem injeksi, kolom, 0,250C.
fase diam, suhu, dan detector[4,5,6,7]
Keuntungan yang besar dari Mass
Spectrometry adalah sensivitas yang lebih

24
Jurnal Kimia Unand (ISSN No. 2303-3401), Volume 4 Nomor 2, Mei 2015

besar dari teknik analisis lainnya, ukuran Sampel minyak goreng bekas diambil dari
sampel analisis yang relatif kecil dan beberapa pedagang gorengan. Selain itu
kespesifikan yang diperlukan untuk dilakukan juga uji perbandingan dengan
identifikasi senyawa, dan konfirmasi ada/ sampel minyak baru dan minyak bekas
tidak adanya senyawa yang dicurigai[10]. penggorengan pisang goreng yang
Diduga pada sampel minyak goreng ini dilakukan sendiri.
mengandung plastik. Plastik adalah polimer
rantai-panjang dari atom yang mengikat 2.2.2. Perlakuan daya tekan pada pisang goreng
satu samalain. Rantai ini membentuk Pada percobaan ini, pisang goreng tersebut
banyak unit molekul berulang, atau dimasak dengan dua jenis minyak yang
"monomer".Istilah plastik mencakup produk berbeda. Dimana minyak tersebut diberi
polimerisasi sintetik atau semi-sintetik, plastik dan satu lagi tidak diberi plastik.
namun ada beberapa polimer alami yang Kemudian setelah pisang tersebut digoreng,
termasuk plastik. Plastik terbentuk dari dilakukan uji daya tekan pisang tersebut
kondensasi organik atau penambahan dengan menggunakan texture analyzer.
polimer dan bisa juga terdiri dari zat lain
untuk meningkatkan performa atau
ekonomi. Plastik berisi beberapa aditif yang 2.2.3. Menentukan komponen kimia yang
diperlukan untuk memperbaiki sifat-sifat terdapat dalam minyak secara Gas
fisik kimia plastik itu sendiri. Dapat Cromatography-Mass Spectrometry
diketahui bahwa, pada pisang goreng yang Pada percobaan ini minyak goreng hasil
biasa dijual oleh pedagang gorengan dari menggoreng pisang diambil untuk
dilakukan tindak lanjut lebih dengan cara dijadikan sampel, kemudian sampel minyak
melakukan uji daya tekan pada pisang goreng lain nya diambil dari beberapa
tersebut.[11,12,13,14,15] pedagang gorengan. Dimasukkan kedalam
botol vial, dan diberi kode sampel,
Selain itu, pisang goreng yang akan kemudian dibawa ke Laboratorium
dijadikan sampel, diukur daya tekan nya Kesehatan Provinsi Sumatera Barat untuk
dengan menggunakan texture analyzer. analisis GC – MS.
Dimana biasanya alat ini digunakan untuk
mengukur daya tekan pada buah. III. Hasil dan Pembahasan
3.1. Perlakuan daya tekan pada pisang goreng
II. Metodologi Penelitian Berdasarkan dari hasil data analisis
2.1. Bahan , peralatan dan instrumentasi kekerasan diatas, dapat kita lihat bahwa
Bahan utama yang digunakan pada pengaruh penambahan plastik yang
penelitian ini yaitu pisang batu ,sampel dimasukkan ke dalam minyak sangat
minyak goreng baru merck sania, minyak berdampak pada sampel pisang. Hal ini
goreng bekas penggorengan dan sampel dapat dilihat dari daya tekan pisang
minyak goreng bekas yang diambil dari tersebut. Pisang yang dimasak dengan
beberapa pedangang gorengan dan plastik, menggunakan minyak plastik memiliki
pelarut organik (n-heksana). daya tekan yang lebih besar dibandingkan
dengan pisang yang dimasak dengan
Peralatan yang digunakan yaitu erlenmeyer, minyak yang tanpa menggunakan plastik
beberapa botol vial ukuran 5 ml. Sedangkan dapat dilihat pada Tabel 1. Dapat
peralatan instrumentasi yang digunakan diasumsikan bahwa plastik yang menempel
yaitu seperangkat GC- MSjenis kolom RTx pada pisang tersebut secara tidak langsung
5MS dan seperangkat texture analyzer melindungi keutuhan gurih dari pisang
broolfield. tersebut, sehingga pisang goreng yang
walaupun masih dingin tetap terasa gurih.
2.2. Prosedur penelitian
2.2.1. Pengambilan sampel

25
Jurnal Kimia Unand (ISSN No. 2303-3401), Volume 4 Nomor 2, Mei 2015

Tabel 1. Data analisis kekerasan pada Pada data GC diatas, dapat dilihat bahwa
pisang goreng ada nya puncak waktu 20-27menit. Data ini
data analisis kekerasan diperkuat dengan adanya komponen-
hardness ( komponen yang terdapat pada data MS.
no kode N/cm2) Dimana dari data tersebut diduga adalah
1 pisang 1 + minyak plastik 46,76 polimer yang terdapat pada plastik, dengan
2 pisang 1 + tanpa minyak plastic 41,08 waktu retensinya adalah 21.500. senyawa
polimer tersebut adalah metyl ester
3 pisang 2 + minyak plastik 59,35 squalene, methanol squalene carbinol,
4 Pisang 2 + tanpa minyak plastik 31,99 tetracosahexaene- hexamethyl squalene.

5 pisang 3 + minyak plastik 36,86


6 Pisang 3 + tanpa minyak plastik 32,23
7 pisang 4 + minyak plastik 26.79
8 pisang 4 + tanpa minyak plastic 22,25
3.2. Menentukan komponen kimia yang terdapat
dalam minyak secara Gas Cromatography
Mass Spectrometry
Dari hasil kromatogram GC-MS, dapat
dilihat bahwa ada perbedaan antara sampel
yang tidak diberi plastik dengan sampel
yang diberi perlakuan plastik. Hasil ini
dapat dilihat pada gambar 1 dan 2 dan
gambar 3 dan 4 . Kromatogram ini dapat
dijadikan sebagai perbandingan. Sehingga
dengan demikian, sampel yang diambil dari
penjual gorengan dapat diidentifikasi
sampel tersebut mengandung plastik atau
tidak. Hasil ini dapat dilihat pada gambar 5 Gambar 2. Sampel yang tidak
dan 6. Ada kromatogram yang sama dengan mengandung plastik diuji
hasil kromatogram gambar 1 dan 2. Jadi dengan Gas
dikatakan bahwa sampel yang diambil dari Chromatography
penjual gorengan tersebut mengandung
plastik.

Gambar 3. Sampel yang mengandung


plastik diuji dengan Mass
spectrometry

Dari hasil data GC diatas dapat dilihat


Gambar 1. Sampel yang mengandung
bahwa tidak ada nya puncak pada range 20-
plastik diuji dengan Mass
27 menit. Data ini diperkuat dengan data
spectrometry
MS yang membuktikan bahwa tidak adanya
komponen-komponen pada waktu retensi

26
Jurnal Kimia Unand (ISSN No. 2303-3401), Volume 4 Nomor 2, Mei 2015

tersebut. Hal ini dapat dikatakan bahwa yang diberi plastik seperti : metyl ester
sampel tersebut tidak mengandung polimer squalene, methanol squalene carbinol,
senyawa plastik. tetracosahexaene- hexamethyl squalene.

V. Ucapan terima kasih


Ucapan terima kasih ditujukan kepada
analisis laboratorium analisis Terapan
jurusan Kimia Universitas Andalas dan
analis Balai Laboratorium Kesehatan
Masyarakat Provinsi Sumatera Barat.

Referensi
1. Sari, A. R., 2013, Screening Kandungan
PLastik Pada Minyak Goreng yang
terdapat pada Gorengan di Jati
Padang, Skripsi Sarjana Kedokteran,
Universitas Andalas.
Gambar 4. Sampel yang diambil dari 2. Wahyuni, D., 2010, Zat-Zat Berbahaya
pedagang gorengan diuji yang Terkandung Dalam Makanan,
Universitas PGRI, Yogyakarta.
dengan Gas Chromatography
3. Agusta, A., 2000, Minyak Atsiri
Tumbuhan Tropika, Penerbit ITB,
Bandung.
4. Eaton, D. C., 1989, Laboratory
Investigations in Organic Chemistry,
USA: McGraw-Hill,152-157.
5. Gritter, R. J., d 1991, Pengantar
Kromatografi Terbitan Kedua, Penerbit
ITB. Bandung.
6. Nair, Mc N., and Bonelli, 1988, Dasar-
Dasar Kromatografi Gas.
Gambar 6. Sampel yang diambil dari
7. Strayer, D.., 1750, Food Fats and Oils.
pedagang gorengandiuji
Ninth Eddition. Institute of Shortening
dengan Mass spectrometry
and Edible Oils, Inc. New York Avenue,
NW, Washington, DC.
8. Husni, A., 2007, Pemucatan Minyak
Hasil kromatogram diatas hampir sama
Sawit Curah Menggunakan Mineral
dengan hasil kromatrogram pada Gambar
Clay Kuning Serta Campuran Pozzolan
4.2.1(a dan b). Sehingga dapat dikatakan
dan Silika. Skripsi Sarjana Kimia,
bahwa sampel yang diambil dari pedagang
Universitas Andalas.
gorengan mengandung plastik.
9. Pakpahan, J. F., 2013. Pengurangan
FFA dan warna dari Minyak Jelantah
IV. Kesimpulan
Dengan Adsorben Serabut Kelapa dan
Berdasarkan dari penelitian yang telah
Jerami. Jurnal Teknik Kimia USU. 2 (1),
dilakukan dapat disimpulkan bahwa
33-35.
adanya pengaruh daya tekan terhadap
10. Aminah, R., 2010. Bilangan Peroksida
perlakuan sampel pisang goreng yang
Minyak Goreng Curah dan Sifat
diberi plastik dengan yang tidak diberi
Organoleptik Tempe pada
plastik. Dari hasil kromatogram GC- MS
Pengulangan Penggorengan. Program
dapat terlihat jelas ada nya senyawa-
Studi Teknologi Pangan Fakultas. Ilmu
senyawa yang terdapat pada minyak goreng

27
Jurnal Kimia Unand (ISSN No. 2303-3401), Volume 4 Nomor 2, Mei 2015

Keperawatan dan Kesehatan Universitas


Muhammadiyah. Semarang.
11. Supriyanto, A., 2014. Analisa Buah
Jeruk Menggunakan Texture Analyzer
dan Chromameter. Balai Penelitian
Tanaman Jeruk dan Buah Subtropika.
12. Puspitasari, R., dan Teti E., 2011,
Optimasi Saponifikasi Distilat Asam
Lemak Minyak Sawit ( DALMS) pada
Separasi Fraksi Tidak Tersabunkan
Mengandung Senyawa Bioaktif Multi
Komponen, Jurusan Teknologi Hasil
Pertanian, Universitas Brawijaya.
13. Rukmini, A., 2007, Regenerasi Minyak
Goreng Bekas Dengan Arang Sekam
Menekan Kerusakan Organ Tubuh.
Program Studi Teknologi Pertanian.
Universitas Widya Mataram, Yogyakarta.
14. Anthony C. W., dan Michael S. M.,
1992, Pengantar Kimia Organik dan
Hayati, Penerbit ITB, Bandung.
15. Pasaribu, N., 2004, Minyak Buah
Kelapa Sawit , Jurusan Kimia. FMIPA :
Universitas Sumatera Utara, Medan.

28
Jurnal Kimia Unand (ISSN No. 2303-3401), Volume 4 Nomor 2, Mei 2015

ISOLASI DAN KARAKTERISASI SENYAWA METABOLIT


SEKUNDER DARI FRAKSI AKTIF DAUN TEMPUYUNG
(Sonchus arvensis L.) TERHADAP UJI TOKSISITAS

Arrijal Mustakim, Afrizal, dan Mai Efdi

Laboratorium Kimia Organik Bahan Alam, Jurusan Kimia FMIPA, Universitas Andalas

e-mail: afrizalitam@yahoo.com
Jurusan Kimia FMIPA Unand, Kampus Limau Manis, 25163

Abstract

Isolation of secondary metabolite compound from tempuyung leaves (Sonchus arvensis L.) has
been done. Toxicity assay of n-hexane extract, ethyl acetate extract, methanol extract and water
extract has been tested, and methanol extract obtained high activity in toxicity assay using Brine
Shrimps Lethality Test (BSLT) with LC50 values 403.645 mg/L. Isolation was continued by
maceration using methanol solvent. Methanol extract was soluted with water and than was
fractionated with n-hexane and has been continued by ethyl acetate solvent. Toxicity of each
fractions was tested, and water fraction obtained highest activity with LC 50 values 269.774 mg/L.
Water fraction was freeze-dried and column chromatographied using silica gel as the stationary
phase and n-hexane, ethyl acetate and methanol as the mobile phase with using Step Gradient
Polarity (SGP) method. Isolated compound is white-brown solid around 3 mg which has single
spot with some eluent comparisons on thin layer chromatography. The results of chemical
characterization of isolated compound using spectroscopy method indicates that the isolated
compound was included as coumarin group.

Keywords: Sonchus arvensis L., tempuyung leaves, coumarin, toxicity assay

I. Pendahuluan sebagai diuretik, antivirus, antihistamin,


antihipertensi, bakteriostatik dan anti
Tumbuh-tumbuhan telah digunakan kanker[2].
sebagai sumber obat dalam memelihara
kesehatan, dan juga menjadi alternatif Tempuyung termasuk tanaman obat asli
dalam pengobatan modern[1]. Salah satu Indonesia dari famili Asteraceae[2].
tanaman yang biasa digunakan sebagai obat Kandungan kimia yang terdapat di dalam
tradisional adalah tempuyung (Sonchus daun tempuyung adalah ion-ion mineral
arvensis L.). Tumbuhan tempuyung biasanya antara lain, silika, kalium, magnesium,
digunakan sebagai obat batu saluran natrium[3]. Tumbuhan tempuyung
kencing, batu empedu, disentri, wasir, mengandung senyawa organik seperti
rematik, radang usus buntu (apendisitis), golongan flavonoid yaitu luteolin-7-O-
radang payudara (mastitis), bisul, darah glukosida, isocinarosida, luteolin-7-O-
tinggi (hipertensi), luka bakar, pendengaran glukosida, linarin, kuersetin, isorhamnetin,
kurang (tuli) dan memar. Tempuyung chrysoeriol, isorhamnetin-7-β-D-glukosida,
mengandung banyak senyawa yang kuersetin-7-β-Dglukopyranosida,
menunjukkan aktifitas yang bermacam- sonchosida, apigenin, luteolin-7-O-
macam, diantaranya mempunyai aktifitas glucoside, acacetin, kaempferol, chrysoeriol,

29
Jurnal Kimia Unand (ISSN No. 2303-3401), Volume 4 Nomor 2, Mei 2015

luteolin, isorhamnetin, quercetin-3-O-α- asetat tumbuhan tempuyung dengan uji


Lrhamnoside, kaempferol-3,7-α- antioksidan DPPH[2]. Pada jurnal yang
Ldirhamnoside. Selanjutnya dilaporkan juga lainnya juga dilakukan isolasi senyawa
bahwa tumbuhan tempuyung mengandung triterpenoid dari ekstrak n-heksana dan uji
terpenoid, yaitu α-amyrin, β-amyrin, lupeol, antibakteri menunjukkan Konsentrasi
taraxasterol (lactuserol), pseudo-taraxasterol Hambat Minimum (KHM) terhadap bakteri
dan disamping itu tumbuhan tempuyung S.aureus dan E. coli pada konsentrasi 50 ppm
juga menggandung senyawa kumarin untuk semua ekstrak yang diujikan[10]. Daun
(skepoletin), taraksasterol, manitol, inositol, Tempuyung memiliki efek terhadap
serta asam fenolat (sinamat, kumarat dan tekanan darah sistol dan diastol pada posisi
vanilat), alkaloid dan saponin[1, 4, 5, 6]. duduk setelah minum daun tempuyung
dengan rata-rata sebesar 107,24/72,58
Salah satu metode yang digunakan untuk mmHg[11]. Senyawa Apigenin 7-O-
skrining awal terhadap senyawa aktif Glukosida dari daun tempuyung telah diuji
antikanker adalah uji toksisitas terhadap aktivitas antikalkuli pada tikus dengan
larva udang yang disebut Brine Shrimp metode matriks- asam glikolat[12].
Lethality Test (BSLT). Metode BSLT Sehubungan dengan laporan penelitian
menggunakan larva udang Artemia salina diatas, maka dalam penelitian ini akan
leach sebagai hewan uji, yang merupakan dilakukan isolasi senyawa yang terkandung
salah satu metode yang banyak digunakan di dalam ekstrak daun tempuyung dari
untuk pencarian senyawa anti kanker baru fraksi aktif terhadap uji toksisitas BSLT.
yang berasal dari tanaman[12]. Senyawa aktif
yang memiliki daya bioaktivitas tinggi II. Metodologi Penelitian
diketahui berdasarkan nilai Lethal
Concentration-50 (LC50), yaitu kadar yang 2.1. Bahan kimia, peralatan dan instrumentasi
menunjukkan konsentrasi zat toksik yang Bahan-bahan kimia yang digunakan antara
dapat menyebabkan kematian sampai 50% lain heksana, etil asetat, metanol, akuades,
hewan uji pada waktu tertentu. Berdasarkan silika gel 60 (0,063 – 0,200 mm), plat
LC50 dapat diketahui tingkat aktivitas suatu Kromatografi Lapis Tipis (KLT silica gel 60 F
senyawa. Suatu senyawa dikatakan 254), pereaksi Meyer, pereaksi Lieberman-
memiliki sifat sitotoksik jika mempunyai Burchard, pereaksi Sianidin, FeCl3 5%,
nilai LC50 kurang dari 1.000 mg/L. Prinsip natrium hidroksida 1% (Merck), Kertas
metode ini adalah uji toksisitas akut saring, asam asetat 98% (Merck), n-butanol
terhadap artemia dengan penentun LC50 (Merck), kloroform (Merck), ammoniak
setelah perlakuan 24 jam[9]. Hasil uji (Merck), asam borat (Merck), asam sitrat
toksisitas dengan metode ini telah terbukti (Merck), , telur udang Artemia salina, air
memiliki korelasi dengan daya sitotoksis laut, dan dimetilsulfoksida (Merck).
senyawa anti kanker. Selain itu, metode ini Peralatan yang digunakan adalah
juga mudah dikerjakan, murah, cepat dan seperangkat alat distilasi, rotary evaporator
cukup akurat[8]. (Heidolph Laborota 4000), corong pisah,
pipet mikro, camber besar, wadah uji BSLT,
Beberapa hasil penelitian tentang tumbuhan spektrofotometer ultraviolet visible
tempuyung sudah dipublikasi, salah (Shimadzu PharmaSpec UV-1700),
satunya yaitu tentang ekstrak etanolik daun spektrofotometer inframerah (Thermo
tempuyung mampu menghambat aktivitas Scientific Nicolet iS10 using KBr pellets),
GST kelas umum (alpha, mu, dan pi) secara kolom kromatografi, lampu UV ( 254 dan
in vitro pada organ paru, usus halus, dan 365 nm), dan peralatan gelas yang umum
ginjal pada organ hati tikus putih (Rattus digunakan dalam laboratorium.
norvegicus galur Sprague-Dawley) jantan[7].
Pada penelitian yang lain juga dilaporkan
isolasi senyawa triterpenoid dari ekstrak etil

30
Jurnal Kimia Unand (ISSN No. 2303-3401), Volume 4 Nomor 2, Mei 2015

2.2. Prosedur penelitian dimetil sulfoksida dan air laut. Setelah itu,
2.2.1 Persiapan Sampel ke dalam masing-masing vial dimasukkan
Sampel daun tempuyung sebanyak 750 10 ekor larva udang.
gram diambil disekitar kampus Universitas Terhitung dari larva udang dimasukkan ke
Andalas, Padang. Sampel dipotong – dalam masing-masing vial, dilakukan
potong, dikeringanginkan, digrinder sampai pengamatan setiap 4 jam selama 24 jam dan
halus, dan ditimbang. diamati jumlah larva udang yang mati. LC50
dihitung dengan hubungan nilai logaritma
2.2.2. Ekstraksi Kandungan Metabolit Sekunder konsentrasi dan nilai Probit dari persentase
Sebanyak 25 g serbuk daun tempuyung mortalitas hewan uji. Ekstrak yang aktif
dimasukan kedalam wadah dan dimaserasi terhadap uji toksisitas dilanjutkan untuk
dengan masing-masing pelarut n-heksana, mengisolasi senyawa metabolit sekunder.
etil asetat, metanol dan air dengan masing-
masing 500 mL selama 3 hari (diaduk), 2.2.4. Maserasi dan Fraksinasi Dari Daun
setelah itu disaring dan didapatkan filtrat. Tempuyung
Filtrat n-heksan, etil asetat dan metanol Sebanyak 650 g sampel tempuyung yang
diuapkan dengan rotary evaporator sudah halus dimaserasi selama 3 hari
sedangkan filtrat air diFreezdryer. Ekstrak dengan metanol, kemudian disaring dan
pekat masing-masing pelarut diuji toksisitas diambil filtratnya. Maserasi dilakukan
dengan metode Brine Shrimp Lethality Test berulang sampai filtrat tidak berwarna dan
(BSLT). dilanjutkan dengan menguapkan pelarut
dengan rotary evaporator.
2.2.3. Skrining Awal Uji Toksisitas Dengan
Metode Brine Shrimp Lethality Test Terhadap Ekstrak dari metanol dilakukan proses
Ekstrak fraksinasi dengan pelarut n-heksana terlebih
Uji berdasarkan metode Meyer (1982)[13]. dahulu lalu dilanjutkan dengan pelarut etil
asetat. Terlebih dahulu ekstrak dilarutkan
2.2.3.1. Pembenihan Udang dengan 200 mL akuades yang sudah
Hewan uji yang digunakan adalah larva dipanaskan dalam gelas piala 1 L dan
udang Artemia salina Leach. Larva diaduk dengan stirer selama kurang lebih
didapatkan dengan menetaskan telur udang lebih 30 menit. Kemudian larutan
selama 48 jam dalam wadah pembiakan. didinginkan dan ditambahkan 100 mL n-
Wadah pembiakan terdiri atas dua bagian heksana dan diaduk selama 2 jam. Setelah
yang salin terhubung, dimana terdapat itu larutan dimasukkan kedalam corong
bagian terang dan bagian gelap. Wadah pisah dan didiamkan selama 1 malam.
kemudian diisi dengan air laut dan telur Ambil lapisan n-heksana dan dilakukan
udang yang akan ditetaskan dimasukkan penambahan pelarut n-heksana berulang
kedalam wadah bagian gelap. Setelah sampai pelarut menjadi bening, dan
menetas larva akan berenang menuju dilanjutkan dengan pelarut etil asetat
bagian terang wadah. dengan cara yang sama. Fraksi n-heksana,
etil asetat dan air tersebut dikeringkan dan
2.2.3.2. Uji Toksisitas dihitung massanya dan dilakukan uji
Sebanyak 40 vial uji disiapkan untuk toksisitas dengan metode Brine Shrimp
masing-masing ekstrak dan 2 vial untuk Lethality Test (BSLT).
larutan kontrol. Sampel uji dengan variasi
konsentrasi 200, 400, 600, 800, dan 1000 2.2.5. Isolasi Metabolit Sekunder Dari Fraksi Air
mg/L masing-masingnya dilakukan duplo.
Larutan sampel tersebut diuapkan, setelah 2.2.5.1. Uji Kromatografi Lapis Tipis
kering ditambah 50 µL dimetil sulfoksida Pendahuluan
dan dicukupkan 10 mL dengan air laut. Ekstrak pekat air dilarutkan dengan
Untuk larutan kontrol hanya berisi 50 µL metanol. Larutan tersebut ditotolkan pada

31
Jurnal Kimia Unand (ISSN No. 2303-3401), Volume 4 Nomor 2, Mei 2015

batas bawah plat KLT yang berukuran 7 x 1 2.2.5.3. Kromatografi Kertas Preparatif Fraksi C
cm (1 cm batas bawah dan 0,5 cm batas atas) Setelah dilakukan kromatografi kertas
dengan menggunakan kapiler. Plat KLT untuk menentukan fraksi yang
dimasukkan ke dalam chamber yang berisi mengandung kumarin, maka dipilih fraksi
eluen perbandingan etil asetat : metanol C yang positif mengandung kumarin
(4:6). dan noda dilihat dengan lampu UV dengan jumlah relatif banyak. Selanjutnya
pada panjang gelombang 254 nm dan 365 fraksi C dielusi dengan campuran eluen n-
nm. butanol : asam asetat : air (4 : 1 : 5). Noda
yang terlihat pada lampu UV 365 nm di
2.2.5.2. Pemisahan Dengan Kromatografi Kolom tandai dengan pensil dan dipotong kecil-
Dari Fraksi Air kecil menggunakan gunting. Kemudian
Sebanyak 80 g silika gel yang telah dimaserasi dengan metanol dan dibiarkan
dibuburkan dengan n-heksana lalu beberapa jam sambil diaduk. Lalu larutan
dimasukkan ke dalam kolom sedikit demi disaring dengan kapas. Selanjutnya ekstrak
sedikit dengan keadaan kran kolom terbuka. digabung dan diuapkan, kemudian
Fase diam dihomogenkan dengan dimonitor dengan plat KLT dengan
mengelusi secara berulang-ulang dengan n- penampak noda lampu UV 254/365 nm.
heksana. Fraksi air yang akan di Endapan yang didapat direksritalisasi
kromatografi kolom ditimbang, lalu sampai didapatkan senyawa murni.
dipreadsorpsi dengan silika gel
perbandingan 1 : 1 dan digerus dengan 2.2.6. Uji Kemurnian dan Karakterisasi
lumpang sampai terbentuk bubuk. Senyawa Hasil Isolasi
Kemudian dimasukkan ke dalam kolom dan Kemurnian senyawa ini diuji dengan KLT
dilanjutkan dengan mengelusi dengan berbagai perbandingan eluen (8:2,
menggunakan eluen n-heksan, etil asetat 6:4 dan 4:6).
dan metanol. Eluen yang digunakan adalah Senyawa hasil isolasi dikarakterisasi
sistem eluen Step Gradien Polarity (SGP) menggunakan spektroskopi UV-Vis dan
dengan kenaikan perbandingan 0,5. Hasil Inframerah (IR).
elusi ditampung dengan vial, kemudian
diuji KLT dan filtrat dengan pola noda yang III. Hasil dan Pembahasan
sama digabung sehingga didapatkan
beberapa fraksi (A, B, C, D, E, F, G, H, I, J). 3.1.Ekstraksi Kandungan Metabolit Sekunder
Fraksi C memiliki pola noda yang Hasil dari ekstraksi senyawa metabolit
sederhana. sekunder, dapat dilihat pada Tabel 2.

2.2.5.3. Kromatografi Kertas Fraksi C Hasil Tabel 2. Hasil ekstraksi dengan pelarut n-
Kromatografi Kolom heksana, etil asetat, metanol, dan air
Untuk menganalisa adanya senyawa dari daun tempuyung.
kumarin, maka dilakukan analisis Ekstrak Massa (gram) Rendemen (%)

pendahuluan dengan kromatografi kertas n-Heksana 2,28 9,12


dengan eluen campuran n-butanol : asam Etil asetat 2,12 8,48
asetat : air (4 : 1 : 5). Campuran eluen di Metanol 2,515 10,06
aduk dan didiamkan sampai terbentuk 2
Air 1,714 6,856
lapisan, kemudian diambil lapisan atas
sebagai eluen yang akan digunakan untuk
Berdasarkan tabel 2, dapat dilihat bahwa
mengelusi pada kromatografi kertas. Noda
ekstrak daun tempuyung lebih banyak
hasil kromatografi kertas dilihat pada
terekstrak pada pelarut metanol
lampu UV 365 nm dengan penampak noda
dibandingkan pelarut etil asetat, n-heksan
NaOH.
ataupun air.

32
Jurnal Kimia Unand (ISSN No. 2303-3401), Volume 4 Nomor 2, Mei 2015

3.2. Skrining Awal Uji Toksisitas Dengan karena hasil rendemen fraksi air paling
Metode Brine Shrimp Lethality Test Terhadap besar dibandingkan kedua fraksi lainnya.
Ekstrak Hasil dari uji toksisitas dari masing-masing
Hasil uji toksisitas didapatkan dari fraksi dapat dilihat pada Tabel 5.
perbandingan pada kurva regresi antara log
konsentrasi (X) dan persentase pada tabel Tabel 5. Hasil LC50 fraksi n-heksana, etil asetat
probit (Y). dan air
Fraksi Regresi LC50 (mg/L)
Tabel 3. Hasil LC50 ekstrak n-heksana, etil asetat, Air y = 0,994x + 2,584 269,774
metanol, dan air
Etil asetat y = 1,058x + 2,203 440,554
Ekstrak Regresi LC50 (mg/L)
n-Heksana y = 0,297x + 4,117 939,727
n-heksana Y = -0,489x + 6,279 413,04

Etil asetat Y = 0,379x + 3,711 2.517,677


Dari hasil uji toksisitas pada Tabel 5, fraksi
Metanol Y = 0,694x + 3,191 403,645
air yang dilanjutkan dalam pengisolasian
Air Y = 0,380x + 3,063 125.025 metabolit sekunder, karena pada fraksi air
yang memiliki nilai LC50 terkecil yang
Hasil perhitungan LC50 dari masing-masing menandakan bahwa fraksi air paling tinggi
ekstrak pada Tabel 3 didapatkan bahwa daya toksisitasnya.
ekstrak n-heksana dan metanol memiliki
daya aktif toksisitas terhadap hewan uji 3.4. Isolasi Metabolit Sekunder Dari Fraksi Air
karena memiliki nilai LC50 yang kecil dari
1000 mg/L. Nilai LC50 dari ekstrak etil Hasil kromatografi kolom didapatkan 10
asetat dan air jauh melebihi 1000 mg/L dan fraksi yang lebih sederhana, dan dipilih
bisa dikatakan bahwa ekstrak etil asetat dan fraksi C karena memiliki 1 noda sedikit
air tidak aktif terhadap uji toksisitas. tailing berwarna hijau kekuningan dan
Ekstrak metanol memiliki daya toksisitas memberikan fluoresensi semakin terang
paling tinggi, hal ini menandakan bahwa ketika ditambahkan NaOH dengan Rf 0,71.
pelarut metanol mampu mengekstrak
kandungan metabolit sekunder pada daun Fraksi C terlebih dahulu dilakukan uji tahap
tempuyung yang memiliki daya toksisitas awal dengan kromatografi kertas. Dari hasil
yang tinggi. uji tahap awal fraksi C tersebut didapat
kesimpulkan bahwa fraksi C memberikan
3.3. Maserasi dan Fraksinasi Dari Daun noda pemisahan yang baik, dimana fraksi
Tempuyung ini setelah dielusi didapatkan tiga noda
Hasil maserasi dari daun tempuyung dapat dengan nilai Rf yang jauh berbeda, yaitu
dilihat pada Tabel 4. berwarna hijau (Rf 0,35), Biru hijau (Rf
0,675) dan biru (Rf 0,84). Fraksi C
Tabel 4. Hasil fraksi dengan pelarut n-heksana, dilanjutkan untuk pemisahan lebih lanjut
etil asetat, dan air dari daun dengan kromatografi kertas preparative
tempuyung yang dilakukan berka-kali. Setelah
Fraksi Warna
Massa Rendemen dikromatografi kertas preparatif, noda hijau
(gram) (%)
(Rf 0,35) dipotong dan diekstrak dengan
n-Heksana Hijau 25,76 13,053
metanol, lalu diambil filtratnya dan
Etil asetat Coklat 2,133 1,081 disaring. Noda hijau didapatkan larutan
Air Coklat 31,20 15,810 berwarna putih kecoklatan. Larutan ini
Kemerahan
dimonitoring dengan plat KLT dengan
penampak noda lampu UV 254 nm, 365 nm
Dari Tabel 4 menunjukkan bahwa senyawa dan dengan penampak noda NaOH. Hasil
yang terkandung di dalam daun monitoring dengan plat KLT didapatkan
tempuyung lebih banyak bersifat polar noda berwarna hijau, setelah disemprot
33
Jurnal Kimia Unand (ISSN No. 2303-3401), Volume 4 Nomor 2, Mei 2015

NaOH berflourorisensi semakin terang. Ini rangkap terkonjugasi (-C=C-C=C-) atau


membuktikan bahwa noda hijau (Rf 0,35) pada cincin aromatic, serta terdapat
merupakan senyawa kumarin, untuk kromofor yang memberikan transisi dari n
memperkuat senyawa tersebut adalah ke π* dengan adanya pita serapan pada
kumarin maka dilakukan uji kemurnian dan λmak > 300 nm yang menandakan adanya
karakterisasi senyawa tersebut. konjugasi heteroatom dengan suatu ikatan
rangkap terkonjugasi (-C=C-C=O-) yang
3.5. Uji Kemurnian dan Karakterisasi Senyawa mengindikasikan pada cincin pyron.
Hasil Isolasi Spektrum ini semakin memperkuat hasil
karakterisasi secara kimia bahwa senyawa
3.5.1. Uji Kemurnian yang diisolasi merupakan senyawa
kumarin.
Tabel 6. Pengujian senyawa dengan beberapa
penampak noda 3.5.2.2. Spektroskopi Inframerah (IR)
Penampak noda Hasil
Lampu UV 254 nm 1 noda, coklat Spektrum inframerah senyawa hasil isolasi
Lampu UV 365 nm 1 noda, hijau semakin mendukung senyawa hasil isolasi
Natrium hidroksida 2% 1 noda, Berflourorisensi
Uap I2 1 noda, coklat
merupakan senyawa kumarin dengan
Ammonia 1 noda, tetap hijau memberikan indikasi beberapa pita serapan,
Sitroborat 1 noda, tetap hijau yaitu pada bilangan gelombang 3404,79 cm-1
Asam sulfat 2 N 1 noda, coklat menunjukkan pita serapan –OH streching,
dan spektrum yang mengindikasikan
Tabel 7. Hasil uji kemurnian senyawa dengan adanya inti aromatik C=O stretching pada
plat KLT
bilangan gelombang 1718,93 cm-1, pita
Eluen Rf
serapan pada bilangan gelombang 1636,66
Etil asetat : Metanol (8:2) 0,40
Etil asetat : Metanol (6:4) 0,48
cm-1 mengindikasikan adanya gugus C=C.
Etil asetat : Metanol (4:6) 0,60 Kemudian pada bilangan gelombang
2934,94 cm-1 menunjukkan pita serapan C-H
Berdasarkan Tabel 6 dan 7 menunjukkan alifatis, pita serapan pada 1254,30 cm-1
bahwa senyawa yang telah diisolasi telah mengindikasikan adanya gugus C-O, pita
murni, karena telah menunjukkan 1 noda. serapan pada 1060,95 cm-1 mengidikasikan
Berdasarkan nilai Rf dari hasil uji KLT adanya gugus C(O)-O. Berdasarkan analisis
dengan perbandingan eluen dapat spektrum IR tersebut menegaskan bahwa
disimpulkan bahwa senyawa yang diisolasi senyawa hasill isolasi adalah senyawa
bersifat polar, karena nilai Rf semakin tinggi kumarin karena memiliki gugus fungsi
dengan semakin ditingkatkan kepolaran seperti gugus C=O, ikatan rangkap C=C,
eluen. gugus C(O)-O.

3.5.2. Karakterisasi Senyawa Hasil Isolasi IV. Kesimpulan

3.5.2.1. Spektroskopi UV-Vis Berdasarkan penelitian yang telah


Dari hasil spektrum UV didapatkan serapan dilakukan dapat disimpulkan bahwa
maksimum pada panjang gelombang 204,80 senyawa hasil isolasi dari fraksi air daun
; 279,60 dan 319,20 nm. Berdasarkan pita tempuyung adalah golongan kumarin yang
serapan maksimum tersebut, dapat berupa padatan berwarna putih kecoklatan.
diindikasikan adanya ikatan rangkap Hasil uji toksisitas menunjukkan ekstrak
berkonjugasi, karena sistem konjugasi ini metanol dan fraksi air dari daun tempuyung
menyerap cahaya pada λ > 200 nm yang berpotensi sebagai anti toksisitas dengan
menandakan adanya kromofor yang nilai LC50 masing-masinya 403,645 mg/L
memberikan transisi dari π ke π*, yang dan 269,774 mg/L.
merupakan kromofor untuk sistem ikatan

34
Jurnal Kimia Unand (ISSN No. 2303-3401), Volume 4 Nomor 2, Mei 2015

V. Ucapan terima kasih Berpotensi Sebagai Antioksidan,


MAKARA SAINS, No. 1, Vol. 15, 48-52.
Penulis mengucapkan terimakasih kepada
analis Laboratorium Kimia Organik Bahan [8] Mutia,D., 2010, Uji Toksisitas Akut
Alam yang telah banyak memfasilitasi Ekstrak Etanol Buah Anggur (Vitis
penulis selama penelitian. vinifera) Terhadap Larva Artemia salina
Leach Dengan Metode Brine Shrimp
Referensi Lethality Test (BST), Fakultas
Kedokteran, Universitas Diponegoro,
[1] Itam, A., Majid, A. M. S. A., Ismail, Z., Semarang.
2013, Kestabilan Ekstrak Metanol Daun
Sonchus Arvensis Pada Penyimpanan, [9] Utami,A.W.W., Wahyudi, A.T.,
Prosiding Semirata FMIPA Universitas Batubara,I., 2014, Toxicity, Anticancer
Lampung, Lampung. And Antioxidant Activity Of Extracts
From Marine Bacteria Associated With
[2] Putra, F. R., Afrizal, Efdi, M., 2013, Sponge Jaspis sp., International Journal of
Isolasi Triterpenoid Dan Uji Pharma and Bio Sciences (ISSN 0975-
Antioksidan Dari Ekstrak Daun 6299), 917-923.
Tempuyung (Sonchus arvensis), Jurnal
Kimia Unand (ISSN No. 2303-3401), No. [10] Rumondang, M., Kusrini, D.,
1,Vol. 2. Fachriyah, E., 2013, Isolasi, Identifikasi
Dan Uji Antibakteri Senyawa
[3] Chairul, 1999, Tempuyung Untuk Triterpenoid Dari Ekstrak n-Heksana
Menghadang Asam Urat, Puslitbang Daun Tempuyung (Sonchus arvensis L.),
Biologi LIPI, Bogor. Chem Info, No. 1, Vol 1, 156-163.

[4] Roselyndiar, 1999, Fomulasi Kapsul [11] Halim, R. Nasa, 2011, Efek Daun
Kombinasi Ekstrak Herba Seledri Tempuyung (Sonchus arvensis L.)
(Apium graveolens L.) Dan Tempuyung Terhadap Penurunan Tekanan Darah
(Sonchus arvensis L.), Fakultas Pria Dewasa, Laboratorium Farmakologi
Matematika Dan Ilmu Pengetahuan Alam, Fakultas Kedokteran Universitas Kristen
Universitas Indonesia, Jakarta. Maranatha.

[5] Murtadlo, Y., Kusrini, D., Fachriyah, E., [12] Dhianawaty, D., Padmawinata, K.,
2013, Isolasi, Identifikasi Senyawa Soediro, I., Andreanus, A., Soemardji,
Alkaloid Total Daun Tempuyung 2013, Isolasi, Karakterisasi Dan Uji
(Sonchus arvensis Linn) Dan Uji Aktivitas Antikalkuli Apigenin 7-O-
Sitotoksik Dengan Metode BSLT (Brine Glukosida Dari Daun Sonchus arvensis
Shrimp Lethality Test), Chem Info, Vol 1, L., Pada Tikus Dengan Metode
No. 1, 379 – 385. Matriks-Asam Glikolat, Fakultas
Farmasi FMIPA ITB, Bandung.
[6] Lumbanraja, L. B., 2009, Skrining
Fitokimia Dan Uji Efek Antiinflamasi [13] Meyer, Ferirgni, Putnam, Jacopsen,
Ekstrak Etanol Daun Tempuyung Nikhols, Mc, Laughlin, 1982, Brine
(Sonchus arvensisi L.) Terhadap Radang Shrimp : A Convenient General
Pada Tikus, Fakultas Farmasi Universitas Bioassay For Active Lant Constituent,
Sumatera Utara, Medan. Plant Medica, vol 45.

[7] Yuhernita, Juniarti, 2011, Analisis


Senyawa Metabolit Sekunder Dari
Ekstrak Metanol Daun Surian Yang

35
Jurnal Kimia Unand (ISSN No. 2303-3401), Volume 4 Nomor 2, Mei 2015

ISOLASI MIKROALGA DARI PERAIRAN AIR TAWAR DI


ALIRAN SUNGAI DAERAH LUBUK MINTURUN YANG
BERPOTENSI UNTUK PRODUKSI BIODIESEL

Nasrul Zuwardi, Zulkarnain Chaidir, dan Elida Mardiah

Laboratorium Biokimia, Jurusan Kimia FMIPA, Universitas Andalas

e-mail: zulkarnain_ch@yahoo.co.id
Jurusan Kimia FMIPA Unand, Kampus Limau Manis, 25163

Abstract

Research to isolate from freshwater microalgae in the river bottom area Minturun potential for
biodiesel production has been carried out. Of the isolated using the dilution method obtained
two species of microalgae which allegedly is Scenedesmus and Scenedesmus dimorphus
quadricaudamelalui observation by light microscopy at a magnification of 400 times. Both of
these species perpendaran light using nile red staining method under the microscope
flouroscence showing lipid production potential. From these observations S. dimorphus provide
brighter glow that indicate higher levels of lipids. Further extraction conducted on this species
using water and hexane solvent to obtain crude extract lipids. Lipids were obtained later in the
trans-esterification using an acid catalyst and a base. Trans-esterification results were analyzed
using gas chromatography mass spectrometry (GC-MS) and identified 10 types of fatty acid
methyl esters which have potential as a biodiesel.

Keywords : Microalgae, nile red, trans-esterification, GC-MS, fatty acid methyl ester

I. Pendahuluan dari bahan bakar nabati ( BBN ),


diantaranya biodiesel [1,2]
Dengan semakin menipisnya persediaan
bahan bakar berbasis fosil, maka diperlukan Mikroalga merupakan sumber biodiesel
bahan bakar pengganti yang bersifat yang dapat diperbaharui dan dapat
terbarukan. Biodisel merupakan bahan memenuhi permintaan minyak untuk
bakar alternatif yang dapat diperoleh dari transportasi. Mikroalga dapat digunakan
minyak tumbuhan, lemak binatang, minyak sebagai sumber energi bahan bakar
kelapa, minyak jelantah dan minyak jarak alternatif karena mengandung jumlah
melalui proses trans - esterifikasi. Seiring minyak yang tinggi, dapat diekstrak,
dengan laju pertambahan kendaraan diproses, dan diubah menjadi bahan bakar
bermotor, konsumsi bahan bakar minyak transportasi dengan menggunakan
makin meningkat. Tingkat konsumsi teknologi yang tersedia. Mikroalga memiliki
minyak rata – rata naik 6 % pertahun. laju pertumbuhan yang cepat, dapat
Konsumsi terbesar adalah minyak disel ( tumbuh tanpa ditanam pada lahan dan
solar ) yang mencapai 22 juta kiloliter pada hidup pada air yang tidak dapat diminum,
tahun 2002, sedangkan produksi minyak memerlukan lebih sedikit air, dan tidak
bumi di indonesia saat ini tinggal 942.000 menggantikan kultur tanaman untuk
barrel perhari. Untuk memenuhi tingkat makanan, produksinya tidak bergantung
konsumsi terhadap bahan bakar minyak, pada cuaca dan dapat dipanen harian.
dimanfaatkan energi alternatif terbarukan Mikroalga menggunakan proses fotosintesis
yang sama dengan tumbuhan tingkat tinggi
36
Jurnal Kimia Unand (ISSN No. 2303-3401), Volume 4 Nomor 2, Mei 2015

sehingga mampu mengurangi efek rumah jumlah triacylgriserol dari 1,4 % hingga
kaca. Disamping itu, penggunaan mikroalga mencapai 12,5% [8,11,12].
tidak membahayakan produksi makanan,
bahkan mikroalga juga dapat berpotensi
sebagai sumber nutrisi karena beberapa II. Metodologi Penelitian
mikroalga dapat mengandung asam lemak 2.1. Bahan kimia, peralatan dan instrumentasi
esensial [3,4,5,6,7]. Bahan kimia utama yang digunakan pada
penelitian ini yaitu kalium nitrat (KNO3),
Mikroalga memiliki kandungan lipid dan Heksana (C6H14) teknis, metanol (CH3OH)
asam lemak yang dapat dikonversi menjadi teknis), nile red ( Aldrich Sigma N 3303 ),
biodiesel melalui reaksi transesterifikasi [8]. dan bolt bassal medium (BBM).
Dibandingkan tumbuhan penghasil
biodiesel lainnya, mikroalga menghasilkan Peralatan gelas yang digunakan yaitu
biodiesel lebih banyak dengan hanya erlenmeyer, gelas ukur, labu ukur, pipet
membutuhkan sedikit area tumbuh. Sebagai gondok, dan kaca arloji. Sedangkan
contoh, minyak yang diperoleh dari peralatan instrumentasi yang digunakan
tanaman pangan membutuhkan lahan yang yaitu mikroskop cahay (Zeiss Axiovert
luas [9]. Erc5s), Spektrofotometer Visible ( Thermo
Scientific Genesys 20 ), dan Gas
Kondisi kultivasi mikroalga merupakan Chromatography – Mass Spectometry (GC –
faktor yang penting yang perlu MS) (QP2010 Shimidzu).
diperhatikan untuk memperoleh akumulasi
lipid dalam sel mikroalga. Kondisi kultivasi 2.2. Prosedur penelitian
tersebut berhubungan dengan nutrien yang 2.2.1. Pengambilan sampel
diberikan selama kultivasi. Chlamydomonas Sampel mikroalga diambil dari sampel air
reinhardtii tumbuh dengn baik pada pH 7,5. yang berasal dari perairan air tawar di
Pemberian CO2 akan membantu daerah Lubuk Minturun, Padang, Sumatera
pertumbuhan, tetapi akan menghambat Barat pada bulan Maret tahun 2013 kondisi
dalam jumlah yang tinggi. Hal ini cuaca pagi cerah dan suhu sekitar 25-30o C.
disebabkan pengaruh penurunan pH Sampel di ambil dari 4 titik pada bebatuan
dengan banyaknya CO2. Kandungan dan 4 titik pada aliran air dari sungai yang
minyak yang terdapat dalam mikroalga ini ber – pH 7 kemudian disimpan kedalam
adalah 25,25% (w/w) dalam biomassa wadah botol kaca 500 mL.
kering [10] .
2.2.2. Isolasi mikroalga dari sampel
Nutrien utama yang diperlukan untuk Sampel yang telah ditumbuhkan dan
produksi mikroalga adalah nitrogen dan diamati pertumbuhan selnya kemudian
fosfor. Masing-masing nutrien memiliki diisolasi dengan metoda dilusi. Masing-
pengaruh tersendiri terhadap kandungan masing sumber pengambilan titik mikroalga
lipid dalam sel mikroalga. Produktivitas dimasukkan kedalam 8 wadah kaca yang
biomassa tertinggi dari mikroalga Neochloris masing – masing telah dilabel X1 hingga X8
oleoabundans diperoleh dengan pemberian yang kemudian masing – masingnya
nitrogen yang bersumber dari sodium nitrat. diencerkan meenggunakan media BBM
NaNO3 merupakan sumber nitrogen yang hingga pengenceran 10-5. Setelah
dapat mempertinggi kandungan lipid. diencerkan, setiap sampel diinkubasi selama
Intensitas cahaya juga memiliki peran 20 hari menggunakan shaker dengan
penting dalam akumulasi lipid. Peningkatan kecepatan 300 rpm. Pertumbuhan sel
intensitas cahaya dan pembatasan mikroalga yang telah encerkan diamati
pemberian nutrien pada Neochloris setiap hari dengan menggunakan
oleabundans menyebabkan peningkatan mikroskop (Zeiss Axiovert Erc5s). Dari hasil

37
Jurnal Kimia Unand (ISSN No. 2303-3401), Volume 4 Nomor 2, Mei 2015

pengamatan mikroskop, diambil sampel gram metanol. Kemudian larutan


yang merupakan koloni tunggal. dicampurkan dan di tambahkan 0,1 mL
katalis asam sulfat 9,5%. Pembuatan
2.2.3. Pengukuran pertumbuhan mikroalga campuran diulangi untuk variasi katalis 0,1
Untuk mengukur konsentrasi biomassa mL basa kalium hidroksida 9,5%. Masing –
mikroalga setiap harinya digunakan metoda masing campuran distirer dan dipanaskan
densitas optik. Pengukuran dilakukan pada suhu 60 oC selama 10 menit. Fasa metil
untuk membandingkan pertumbuhan asam lemak yang dihasilkan dipisahkan
mikroalga dalam media BBM. Pengukuran dari fasa gliserol untuk kemudian dianalisis
densitas optik dilakukan setiap hari menggunakan GC-MS.
menggunakan spektrofotometer Thermo
Scientific Ganesys 20 hingga densitas
optiknya menunjukkan penurunan yang III. Hasil dan Pembahasan
signifikan (fasa kematian). Masing – masing 3.1. Pengamatan mikroalga pada sampel
isolat diambil sebanyak 20 mL ke dalam Dari hasil pengamatan dengan
kuvet. Kemudian sampel diukur dan menggunakan mikroskop dapat diperoleh 2
didapatkan serapannya. jenis mikroalga yang berbeda secara bentuk
morfologi.Jenis mikroalga yang terdapat
2.2.4. Pewarnaan nile red pada sampel air tawar dapat dilihat pada
Pewarnaan Nile red (1 mg/mL aseton) Gambar 1.
dilakukan terhadap isolat yang diperoleh.
Mikroalga sebanyak 0,5 mL disentrifius Dari hasil pengamatan mikroskop pada
dengan kecepatan 1500 rpm selama 10 pembesaran 400 x terlihat 2 bentuk
menit, kemudian dicuci beberapa kali mikroalga yang berbentuk bulat dan elips.
dengan aquadest steril. Setelah dicuci, Terlihat bahwa secara keseluruhan
mikroalga endapkan lagi dengan aquadest mikroalga pada sampel termasuk jenis alga
steril dan ditambahkan nile red (1 : 100 hijau. Mikroalga yang berbentuk bulat lebih
v/v). Setelah itu dilakukan Inkubasi selama cenderung hidup dengan koloninya
20 menit dan dilihat di bawah mikroskop dibandingkan dengan mikroalga yang
fluorescence. berbentuk elips

2.2.5. Ekstraks lipid


Untuk proses ekstraksi, 50 mL metanol dan
50 mL air ditambahkan kedalam wadah
yang berisi biomassa basah mikroalga 10
gram. Campuran kemudian di sonikasi
selama 8 menit dan distirer selama 1 jam
.Lipid diekstrak dengan menggunakan
heksana sebanyak 50 mL. Campuran distirer
selama 1 jam dengan kecepatan 350 rpm. Gambar 1. Jenis mikroalga yang terdapat
Setelah itu dilakukan sonikasi selama 8 pada sampel air tawar.
menit, Fasa heksan diambil dan
dipindahkan ke wadah baru. Ekstraksi 3.2. Isolasi mikroalga dengan metoda dilusi
dilakukan sebanyak 4 kali. Ekstrak dirotari Hasil isolasi spesies mikroalga pada sampel
evaporator dan kemudian dikering air tawar dengan menggunakan metoda
anginkan . delusi menunjukkan bahwa setelah 20 hari
inkubasi, terdapat dua spesies mikroalga
2.2.6. Trans – esterifikasi asam lemak yang terdapat pada sampel. Kedua isolat
Proses trans-esterifikasi dilakukan dengan tersebut secara morfologi dapat
pencampuran ekstrak kasar dan metanol diidentifikasi sebagai Schenedesmus
dengan perbandingan 1:6. Ditimbang dimoprhus dan Scenedesmus quadricauda.
sebanyak 0,5 gram ekstrak lipid kasar dan 3 Hasil isolasi dengan menggunakan larutan
38
Jurnal Kimia Unand (ISSN No. 2303-3401), Volume 4 Nomor 2, Mei 2015

medium Bold Bassal’s Medium (BBM) dapat hingga hari ke-3 dan meningkat pada hari
dilihat pada Gambar 2. ke 4 hingga hari ke-14 dan stabil hingga hari
ke-21 dan menurun hingga hari ke-24. Hal
ini dimungkinkan adanya adaptasi pada S.
Dimorphus terhadap medium baru dan
stabil pada masa stasioner yang disebabkan
karena mempunyai daya tahan yang lebih
lama pada kondisi yang kritis. S.
Quadricauda memiliki nilai serapan tertinggi
pada hari ke- 16 dan mengalami penurunan
Isolat a Isolat b nilai serapan hingga hari ke-24. Masa
statsioner pada S. Quadricauda tidak stabil
Gambar 2. Spesies mikroalga hasil isolasi. seperti S.dimorphus. Berbeda dengan S.
Quadricauda yang tidak bertahan lama pada
Identifikasi terhadap sampel diukur dari fasa stasioner akibat menumpuknya sisa –
kemiripan gambar berdasarkan penelitian sisa metabolisme.
sebelumnya yang terhimpun di
algaebase.org. Dari gambar yang 3.4. Pewarnaan nile red
didapatkan pada isolat a dilihat memiliki Hasil pewarnaan Nile red pada isolat
kemiripan dengan gambar pada database mikroalga dapat dilihat pada gambar 3.4.
menunjukkan bahwa sel tersebut
merupakan morfologi dari species
Scenedesmus dimorphus. Pada isolat b
dibandingkan dengan morfologi pada
database memiliki kemiripan yang
menunjukkan bahwa isolat b adalah species
Scenedesmus quadricauda.
3.3. Kurva pertumbuhan isolat mikroalga
Pengukuran kurva pertumbuhan
menggunakan Sprektofotometer Thermo (a1) (a2)
Scientific Genesys 20 dilakukan selama 25
hari dengan inokulasi yang serupa untuk
masing-masing isolat mikroalga. Kurva
pertumbuhan dapat dilihat pada Gambar
3.3.

(b1) (b2)
Gambar 4. Perpendaran lipid dari
mikroalga menggunakan
reagen Neil Red menggunakan
Mikroskop Flourosence. a1
menunjukkan perpendaran
dari Schenedesmus
quadricauda (a2). b1
menunjukkan perpendaran
Gambar 3. Kurva pertumbuhan masing-
lipid dari Schenedesmus
masing isolat mikroalga.
dimorphus (b2).
Dari Gambar 3.3 dapat dilihat bahwa pada
S. Dimorphus mengalami penurunan serapan
39
Jurnal Kimia Unand (ISSN No. 2303-3401), Volume 4 Nomor 2, Mei 2015

Berdasarkan hasil pengamatan Karakterisasi Fatty Acid Methyl Ester (FAME)


menggunakan mikroskop flourescent digunakan untuk melihat jenis – jenis asam
diketahui bahwa isolat S.dimorphus dan lemak yang dapat membentuk metil ester
S.quadricauda memiliki kandungan lipid dengan proses trans-esterifikasi pada jenis
karena adanya warna kuning kemerahan katalis tertentu. Pada prosedur yang
yang terbentuk. Perpendaran lipid pada S. dilakukan didapatkan data hasil GC-MS
dimorphus lebih terang dibandingkan S. yang terlihat pada Tabel 1.
quadricauda.
Dari data tersebut didapatkan bahwa
3.5. Karakterisasi FAME menggunakan GC-MS komponen yang mengalami trans-
esterifikasi dengan persen area yang besar
Tabel 1. Jenis-jenis asam lemak yang yaitu Z,9-Metil Oktadekanoat dan Metil
teresterifikasi. Heksadekanoat. Dari data GC-MS
(terlampir) masih ada asam lemak yang
Katalis Asam Katalis Basa belum tertrans-esterifiksai sehingga tidak
Jenis Persen Jenis Persen membentuk FAME. Komponen-komponen
Metil area Metil area tersebut terlihat pada Tabel 2.
Ester (%) Ester (%)
Metil 0,29 Metil 0,47
Dekanoa Dekanoat
t Tabel 2. Komponen asam lemak yang
Metil 4,51 Metil 4,28 belum tertrans-esterifikasi
Dodeka- Dodeka- didalam sampel berdasarkan
noat noat data GC-MS.
Metil 4,40 Metil 2,50 Katalis Asam Katalis Basa
Tetrade- Tetradeka Jenis Persen Jenis Persen
kanoat noat Asam Area Asam Area
Metil 25,66 Metil 22,13 Lemak (%) Lemak (%)
Heksade Heksade- Asam 0,06 Asam 2,63
kanoat kanoat Propa- Z,Z,Z
Z,9-metil 2,33 Z,9-metil 0,61 noat 8,11,14
heksade- heksade- Eicosatrie
kenoat kenoat noat
Z,9-metil 33,37 Z,9-metil 24,60 Asam 1,87 Asam 29,30
oktade- oktadeke- Pentade- Pentadek
kenoat noat kanoat anoat
Metil 0,15 Metil 1,60 Asam 0,03
Pentade Oktadeke Butanoat
kanoat noat Asam 0,79
Z,Z,9,12- 6,60 Z,Z,9,12- 2,71 Oktanoat
dimetil dimetil Asam Z,Z 0,08
Oktadek Oktadeka 9,12-
adienoat dienoat Oktadeka
Dimetil 0,08 Metil 0,43 dienoat
nona- Oktanoat Asam 0,80
dioat Dekanoat
Metil 0,42 Asam 8,16
Eicosa- Dodeka-
noat noat

40
Jurnal Kimia Unand (ISSN No. 2303-3401), Volume 4 Nomor 2, Mei 2015

IV. Kesimpulan perspectives and advances. The Plant


Journal,. 54: p. 621-639.
Dari penelitian yang dilakukan dapat 7. Sachitra, R. K., Rachapudi B. N. Prasad,
disimpukan bahwa pada aliran sungai Sarika, C., Dolly W. Dhar, Anil K.
lubuk minturun ditemukan mikroalga yang Saxena, 2013. Modulating lipid
diduga S. dimorphus dan S. quadricauda. accumulation and composition in
Lipid hasil ektraksi dari S. dimorphus yang microalgae by biphasic nitrogen
memberikan perpendaran lebih terang, supplementation. Aquaculture, 392: p.
didapatkan 10 senyawa FAME yang ditrans- 69-76
esterifikasikan dengan menggunakan katalis 8. Ayhan, D. M., 2011. Importance of
asam sulfat dan basa kalium hidroksida algae oil as a source of biodiesel. Energy
9,5%. Conversion and Management. 52: p. 163-
170.
V. Ucapan terima kasih 9. Chisti, Y., 2007. Biodiesel from
microalgae.Biotechnology Advances,. 25:
Ucapan terima kasih ditujukan kepada p. 294-306.
analais laboratorium biokimia Jurusan 10. Li Yanqun, M. H., Nan Wu, Christopher
Kimia Universitas Andalas. Q. Lan, N. D. C., 2008. Biotechnol. Prog.
Biofuels from Microalgae,. 24: p. 815-820.
Referensi 11. Qing-xue, K., L. L., Martinez, B., Chen,
P., Ruan, R., 2010. Culture of
1. Gunawan., 2010, Keragaman dan Microalgae Chlamydomonas reinhardtii
Karakterisasi Mikroalga dari Sumber in Wastewater for Biomass Feedstock
Air Panas Ciwilani yang Berpotensi Production. Appl Biochem Biotechnol, 160:
sebagai Sumber Biodisel. Bioscientiae, 7 p. 9-18.
(2), p. 32 – 42. 12. Anne, J. K., Wijffels, R. H., Packo, P. L.,
2. Rachmaniah. O., Reni, D. S., Lailatul, 2013. Simultaneous growth and neutral
M., 2010. Pemilihan Metoda Ekstraksi lipid accumulation in microalgae.
Minyak Alga Dari Chlorella sp. dan Bioresource Technology, 134: p. 233-243
Prediksinya sebagai Biodisel. Seminar
Teknik Kmia Soehadi Rekoswarojo.
3. Luisa, G. A. C. O., 2009. Microalgae as a
raw material for biofuels production. J
Ind Microbiol Biotechnol,. 36: p. 269–274.
4. Hossain A. B. M. Sharif, A.S., Amru, N.
B., Partha, C., Naqiuddin, M. 2008.
Biodiesel Fuel Production from Algae as
Renewable Energy. American Journal of
Biochemistry and Biotechnology, 4: p. 250-
258.
5. da Silva, T. L. A. R., Medeiros, R.
Oliveira, A. C., Luisa, G., 2009. Oil
Production Towards Biofuel from
Autotrophic Microalgae
Semicontinuous Cultivations
Monitorized by Flow Cytometry. Appl
Biochem Biotechnol,. 159: p. 568-578.
6. Hu, Q. H. M. S., Eric, J., Ghirardi, M.,
Posewitz, M., Seibert, M., Al Darzins,
2008. Microalgal triacylglycerols as
feedstocks for biofuel production:

41
Jurnal Kimia Unand (ISSN No. 2303-3401), Volume 4 Nomor 2, Mei 2015

PENGARUH BEBERAPA PERLAKUAN TERHADAP


PENGURANGAN KADAR FORMALIN PADA TAHU YANG
DITENTUKAN SECARA SPEKTROFOTOMETRI

Vinda Vriska Darman, Zamzibar Zuki dan Yulizar Yusuf

Laboratorium Kimia Analitik Terapan Jurusan Kimia FMIPA, Universitas Andalas

e-mail: vinda_darman@yahoo.co.id
Jurusan Kimia FMIPA Unand, Kampus Limau Manis, 25163

Abstract

The treatments cases of tofu by using hazardous chemicals (Formaldehyde) still common among
in the public, it is necessary to tofu handling that is safe for the public. It has been conducted
research on the effects of some treatments on reducing levels of formaldehyde in 2 types of tofu,
that tofu I and tofu II, which is determined by UV-Vis spectrophotometry at a wavelength 412.78
nm and temperature at 40 °C. First, tofu soaked in formaldehyde solution (300 mg / L) for 24
hours, then washed, soaked and boiled. The filtrate was reacted with Nash reagent. Yellow color
formed was measured at λ 412.78 nm. The results showed that there is a decrease of content
formaldehyde in the sample has 18.39% tofu I and 22.63% for the tofu II after washed, 25.91% and
25.51% after soaked, 63.21% and 72.02% after boiled. Furthermore, tofu of the market that
allegedly contain formaldehyde and then washed, soaked and boiled. The results showed that
there is a decrease in content formaldehyde in the sample tofu I and II has 38.40% and 29.49%
after washed, 52.17% and 53.22% after soaked, 87.32% and 85.42% after boiled.
Keywords: Formaldehyde, Nash, Tofu, spectrophotometry

I. Pendahuluan didalam bahan pangan itu sendiri yang


diakibatkan oleh mikroba maupun
Tahu mempunyai mutu protein nabati pengaruh lingkungan sekitar [2]. Kerusakan
terbaik karena mempunyai komposisi asam dan kehilangan bahan pangan dapat diatasi
amino paling lengkap dan diyakini memiliki atau dikurangi dengan cara pemberian
daya cerna yang tinggi. Masyarakat bahan kimia atau bahan tambahan makanan
cenderung lebih memilih mengkonsumsi yang bertujuan untuk mempertahankan
tahu sebagai bahan makanan pengganti nilai gizi, warna, cita rasa, dan
protein hewani untuk memenuhi kebutuhan memperpanjang waktu penyimpanan
gizi karena harganya lebih terjangkau [1]. pangan [3].

Kualitas pangan yang dikonsumsi harus Penggunaan formalin banyak digunakan


memenuhi beberapa kriteria diantaranya pada bahan pangan yang mudah
adalah aman, bergizi, bermutu, dan dapat mengalami pembusukan karena aktivitas
terjangkau oleh daya beli masyarakat. Aman mikroba, penambahan formalin dapat
yang dimaksud disini meliputi bebas dari mencegah pertumbuhan mikroba yang
pencemaran biologis, mikrobiologis dan menyebabkan pembusukan sehingga masa
kimia. Namun dengan seiringnya waktu, penyimpanan produksi semakin lama [4].
nilai gizi dari beberapa pangan dapat
berkurang karena terjadinya reaksi kimia
42
Jurnal Kimia Unand (ISSN No. 2303-3401), Volume 4 Nomor 2, Mei 2015

Sampai saat ini, praktek penggunaan disaring dengan kertas saring kemudian
formalin sebagai pengawet bahan makanan filtrat yang telah disaring dilakukan
masih sering dilakukan oleh produsen, pemeriksaan dengan penambahan reagent
seperti terungkap dari hasil survei di Nash.
beberapa daerah [5]. Dengan demikian,
bahan makanan berformalin menjadi Pembuatan reagen Nash
ancaman bagi kesehatan dan keselamatan Sebanyak 2 mL asetil aseton, 3 mL asam
jiwa masyarakat, baik dalam jangka waktu asetat dan 150 g ammonium asetat
pendek maupun panjang [6]. Oleh karena dilarutkan dengan akuadest dan
itu, perlu ada upaya yang harus dilakukan dicukupkan volumenya hingga 1 L.
untuk menjamin bahan makanan yang akan
dikonsumsi masyarakat bebas formalin. Pengaruh Suhu Terhadap Penentuan
Berdasarkan latar belakang dan survey awal Panjang Gelombang dan Nilai Serapan
lapangan, maka perlu dilakukan penelitian Maksimum
tentang pengaruh beberapa perlakuan yaitu Dipipet sebanyak masing – masing 5 mL
pencucian, perendaman dan perebusan larutan formalin 10 mg/L kedalam labu
pada sampel tahu terhadap pengurangan ukur 25 mL. Ditambahkan 5 mL akuadest
kadar formalin. Untuk hasil pengujian dan 5mL pereaksi Nash. Masing – masing
terlebih dahulu dilakukan terhadap sampel campuran dipanaskan dengan penangas air
yang direndam dalam larutan formalin dan pada suhu 40 oC, 60 oC dan pada suhu
setelah itu baru dianalisis dengan beberapa kamar selama 30 menit. Setelah dingin
perlakuan, dan untuk pengujian selanjutnya ditepatkan volumenya menggunakan
dilakukan analisis terhadap beberapa akuadest, dikocok hingga homogen.
perlakuan pada sampel yang dijual Diamati serapannya pada panjang
dipasaran. Analisis ini menggunakan gelombang 380 - 490 nm dengan alat
spektrofotometri sinar tampak [7]. spektrofotometer UV-Vis hingga didapat
niai serapan maksimum untuk setiap suhu.
II. Metodologi Penelitian
2.1. Bahan kimia, peralatan dan instrumentasi Pembuatan Kurva Kalibrasi
Bahan yang digunakan pada penelitian ini Masing – masing larutan formalin dengan
yaitu Formalin 37 %, ammonium asetat konsentrasi 0, 2, 4, 6, 8, 10, 12, 14 mg/L.
(NH4C2H3O2) (Merck), asam asetat glacial Dipipet 5 mL kedalam masing – masing
(CH3COOH), asetil aseton labu 25 mL kemudian ditambahkan
(CH3COCHCOCH3), akuadest, sampel tahu. akuadest 5 mL dan 5 mL pereaksi Nash lalu
Peralatan gelas yang digunakan yaitu dipanaskan dalam penangas air pada suhu
erlenmeyer, gelas piala, gelas ukur, labu optimum selama 30 menit. Setelah dingin
ukur, kaca arloji, spatula, lumpang alu. ditepatkan volumenya menggunakan
Sedangkan peralatan instrumen yang akuadest, dikocok hingga homogen.
digunakan yaitu spektrofotometer UV-Vis.
Batas Deteksi dan Batas Kuantitasi
2.2. Prosedur penelitian Setelah kurva kalibrasi diperoleh, konsen-
Persiapan sampel trasi terkecil yang masih dapat terdeteksi
Sampel berasal dari dua macam tahu yang (LOD) dan terdeteksi secara kuantitatif
proses pembuatannya berbeda. Sampel (LOQ) dihitung secara statistik melaui garis
diberi kode sampel tahu I dan sampel tahu linier dari kurva standar, setelah diperoleh
II. Tahap selanjutnya masing – masing data simpangan baku respon analitik dari
sampel tahu I atau tahu II baik yang blanko dan slope (b) pada persamaan garis
sebelum direndam atau yang sudah y = a + bx.
direndam dalam larutan formalin ditimbang
sebanyak 10 gram dan ditambah akuadest
sebanyak 50 mL. Masing – masing sampel
dihaluskan dengan lumpang kemudian
43
Jurnal Kimia Unand (ISSN No. 2303-3401), Volume 4 Nomor 2, Mei 2015

penambahan reagen Nash (Ammonium


asetat, Asam asetat glasial dan Asetil
aseton). Hasil spektrum serapan larutan
formalin lebih lengkap dapat dilihat pada
Gambar 1.
Dari hasil pengukuran didapatkan panjang
gelombang maksimum yaitu 412,87 nm dan
suhu optimum 40 oC dimana pada suhu
tersebut dapat menghasilkan nilai
absorbansi yang maksimum.

Linearitas dan Kurva Kalibrasi Standar


Gambar 1. Spektrum serapan maksimum Larutan Formalin
larutan formalin pada panjang Linieritas adalah suatu koefisien korelasi
gelombang dan suhu optimum antara konsentrasi larutan standar dengan
serapan yang dihasilkan yang merupakan
garis lurus. Uji linieritas dilakukan dengan
Penentuan Persen Perolehan Kembali membuat kurva kalibrasi yang dapat
Masing–masing sampel ditimbang sebanyak menghasilkan persamaan garis regresi serta
10 gram, dihancurkan dengan lumpang nilai koefisien determinasi yaitu untuk
kemudian ditambahkan formalin kosentrasi mengetahui hubungan antara konsentrasi
14 mg/L. sampel disaring kedalam labu larutan baku dengan nilai serapan yang
ukur 50 mL sambil ditambahkan akuadest dihasilkan. Hal ini dapat dilihat pada
sebanyak 50 mL. Larutan dipipet sebanyak 5 gambar 2.
mL ke dalam labu 25 mL, ditambahkan 5
mL reagen Nash dan 5 mL akuadest.
Campuran tersebut dpanaskan pada suhu
40 oC selama 30 menit, didinginkan dan
ditepatkan volumenya dengan akuadest
kemudian diukur serapanya pada panjang
gelombang maksimum. Persen perolehan
kembali diperoleh dari perbandingan
konsentrasi sampel setelah adisi dengan
sejumlah konsentrasi standar dan sampel.
Gambar 2. Kurva kalibrasi larutan formalin
% Recovery = berupa perbandingan antara
Keterangan : konsentrasi (mg/L) dengan nilai
C1 = Konsentrasi sampel setelah adisi absorbansi
C2 = Konsentrasi sampel sebelum adisi
C3 = Konsentrasi Standar yang Dari hasil pengujian didapatkan persamaan
ditambahkan regresi dari kurva kalibrasi yang diperoleh
adalah y = 0,242x – 0,006 dengan nilai R2 =
0,999. Harga R2 yang mendekati nilai 1
III. Hasil dan Pembahasan menyatakan hubungan yang linier antara
Panjang Gelombang dan Suhu untuk konsentrasi dengan serapan yang
Menghasilkan Absorban yang Maksimum dihasilkan.
Larutan formalin yang diukur
menggunakan spektrofotometer UV-Vis Penentuan LOD dan LOQ
memberikan serapan optimum pada Batas deteksi atau Limit of detection (LOD)
panjang gelombang 412,87 nm dan suhu adalah jumlah terkecil analit dalam sampel
optimum 40 oC dalam pelarut air dan yang dapat dideteksi dan masih

44
Jurnal Kimia Unand (ISSN No. 2303-3401), Volume 4 Nomor 2, Mei 2015

memberikan respon yang signifikan dengan beberapa perlakuan dimana dapat


dibandingakn dengan blanko. Sedangkan dilihat pada Gambar 4.
batas kuantitasi atau Limit of quantitation
(LOQ) merupakan parameter pada analisis
renik dan diartikan sebagai kuantitas
terkecil analit dalam sampel yang masih
dapat memenuhi kriteria cermat dan
seksama. Berdasarkan perhitungan secara
statistik menggunakan persamaan garis
regresi dari kurva kalibrasi, diperoleh batas
deteksi larutan formalin sebesar 0,077 mg/L
dan batas kuantitasi larutan formalin
sebesar 0,257 mg/L. Gambar 4. Grafik persentase pengurangan
formalin tahu I dan tahu II
Penentuan kadar formalin pada sampel yang dijual di pasar raya
tahu yang direndam dengan larutan Padang
formalin
Dari hasil analisa dapat dilihat bahwa
Dari hasil pengujian pada sampel tahu I dan perebusan memang merupakan cara terbaik
tahu II, didapatkan persentase pengurangan untuk menghilangkan kadar formalin pada
formalin pada masing – masing sampel. sampel tahu.
Dimana dapat dilihat pada Gambar 3.
Hasil Pengukuran Perolehan Kembali (%)
Penentuan perolehan kembali bertujuan
untuk mengetahui tingkat ketepatan suatu
metode yang dilakukan dengan cara
membandingkan konsentrasi sampel setelah
adisi dengan konsentrasi standar dan
sampel. Dari hasil pergujian didapatkan
perolehan kembali pada sampel ikan yang
ditambahkan formalin dengan kosentrasi 14
µg/mL yaitu 105,67 % untuk tahu I dan
Gambar 3. Grafik persentase pengurangan
102,89 % untuk tahu II. Hasil uji perolehan
formalin tahu I dan tahu II
kembali yang memenuhi syarat adalah 99 %
yang direndam formalin
- 110 %. Dengan demikian, dapat dikatakan
bahwa metode ini memiliki ketepatan yang
Dari hasil analisa dapat dilihat bahwa kadar
cukup baik.
formalin pada sampel tahu dapat dikurangi
dengan memberikan beberapa perlakuan
IV. Kesimpulan
terlebih dahulu. Dari beberapa perlakuan
tersebut, perebusan dapat menurunkan
Dari penelitian yang telah dilakukan,
kadar formalin yang lebih banyak yakni
diperoleh hasil penurunan kadar formalin
63,21% untuk tahu I dan 72,02 % untuk tahu
dalam sampel tahu I sebanyak 18,39% dan
II.
22,63% untuk tahu II setelah pencucian,
Penentuan Kadar Formalin pada Sampel 25,91%dan 25,51% setelah perendaman,
Tahu yang Dijual Di Pasar Raya Padang 63,21% dan 72,02% setelah perebusan. Hasil
Dari hasil penelitian pada sampel tahu I dan penurunan kadar formalin dalam sampel
tahu II yang dijual di pasar raya Padang, tahu I dan II dari pasar yang diduga
didapatkan persentase pengurangan mengandung formalin sebanyak 38,40%
formalin dari masing – masing sampel dan 29,49% setelah pencucian, 52,17% dan

45
Jurnal Kimia Unand (ISSN No. 2303-3401), Volume 4 Nomor 2, Mei 2015

53,22% setelah perendaman, 87,32% dan


85,42% setelah perebusan.

V. Ucapan terima kasih

Penulis mengucapkan terimakasih kepada


analis laboratorium Jurusan Kimia
Universitas Andalas dan semua pihak yang
membantu penelitian ini.

Referensi

1. Aoyagi, A., and Shurleff, W., 1975, The


Book of Tofu, Food For Mankind,
Auntum Press, Brooklyn, Massacheus, 1
2. Direktorat, 1979, Departemen
Kesehatan RI; Daftar Komposisi Bahan
Makanan, Bhratara Karya Aksara, Jakarta
3. Winarno, F. G., 1992, Kimia Pangan dan
Gizi, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
4. Muchtadi, D., 1989, Evaluasi Nilai Gizi
Pangan [PAU Pangan dan Gizi],
Institut Pertanian Bogor
5. Kiernan, J. A., 2000, Formaldehyde,
Formalin, Paraformaldehyde, and
Glutaraldehyde: What They Are and
What They Do, Microscopy Today, pp.
8-12
6. Nadeau, O. W., and Carlson, G. M.,
2007, Protein Interactions Captured by
Chemical Cross-linking One-Step Cross-
linking with Formaldehyde, Cold
Spring Harbor Laboratory, New York
7. Aswad, M., Fatmawaty, A., Nursamsiar,
dan Rahmawanti, 2011, Validasi Metode
spektrofotometri sinar Tampak untuk
Analisis Formalin Dalam Tahu, Majalah
Farmasi dan Farmakologi, 15, hal. 26 – 29

46
Jurnal Kimia Unand (ISSN No. 2303-3401), Volume 4 Nomor 2, Mei 2015

ISOLASI DAN KARAKTERISASI SENYAWA TRITERPENOID


DARI EKSTRAK HEKSANA PADA KULIT BATANG ASHOKA
(Polyalthia longfolia)

Chece Andri Saputra, Sanusi Ibrahim, dan Mai Efdi

Laboratorium Kimia Bahan Alam, Jurusan Kimia FMIPA, Universitas Andalas

e-mail: uci_ciliang@yahoo.com
Jurusan Kimia FMIPA Unand, Kampus Limau Manis, 25163

Abstract

Isolation of triterpenoid compounds from the bark of Ashoka (Polyalthia longifolia) was performed.
Ashoka bark powder was extracted by maceration method using solvent hexane, ethyl acetate and
methanol. Hexane extract was separated using column chromatography with hexane as mobile phase
and ethyl acetate in Step Gradient Polarity (SGP) continued recolumn chromatography with isocratic
manner. The result compuond in the form of needles crystals with melting point of 138-139 ° C and
the specific test using Liebermann-Burchard reagent (LB) gives a single red stain with various degrees
polarity of the eluent, indicating that the isolated compounds was pure and including of
triterpenoids. UV spectra data showed no conjugated double bonds and IR spectra data showed the
presence of the -OH functional group at wave number 3429.30 cm-1. The wave number 2934.30 cm-1
indicated the peak -CH stretching, while the C = O at 1709.46 cm-1, and the geminal dimethyl group
which is a specific absorption of triterpenoid compound shown in the area 1382.16 cm-1.toxicity test
with brine shrimps method showed that the hexane crude gives high power toxicity.
Keyword:: Ashoka (Polyalthia longifolia), Triterpenoid, Toksisitas

I. Pendahuluan

Senyawa kimia yang terdapat pada tumbuhan diteliti.Hal ini mendorong para ahli untuk
merupakan hasil dari metabolisme, baik melakukan penelitian tentang isolasi, sintesis,
metabolisme primer maupun metabolisme uji bioaktivitas, dan pemanfaatan lebih
sekunder.Hasil metabolisme sekunder banyak lanjut.[2]. Salah satu tumbuhan yang
memberikan efek fisiologis dan efek digunakan sebagai bahan obat tradisional
farmakologis yang lebih dikenal dengan adalah tanaman shoka atau Polyalthia
senyawa kimia aktif. Keanekaragaman dan longifolia.
kekayaan sumber daya hayati menyediakan
peluang dalam mengkaji kandungan kimia Polyalthia longifoliamerupakan salah satu
berkhasiat unuk diolah menjadi antara lain spesies dari family Annonaceae.Polyalthia
sebagai bahan baku industri, pangan dan longifoliamerupakan tumbuhan evergreen yang
sebagai obat-obatan. Banyak jenis tumbuhan berasal dari India, umumnya ditanam karena
yang sudah dimanfaatkan sejak lama sebagai keefektifannya dalam mengurangi polusi
makanan dan obat-obat tradsional, tapi belum udara.Kenampakan pohon ini berupa
diketahui senyawa yang terkandung di piramida simetris dengan cabang seperti
dalamnya.[1] pendulum dan daun lanset dengan tepi
bergelombang. Pohon ini dapat tumbuh
Penggunaan tumbuhan obat untuk sampai 30 kaki.[3]
menyembuhkan berbagai macam penyakit
telah lama dilakukan manusia.Hal ini Polyalthia longifoliamerupakan tanaman yang
mendorong para ahli untuk mengkaji dianggap penting karena dapat digunakan
kandungan tumbuhan tersebut yang berperan sebagai obat tradisional. Tanman ini juga
sebagai sumber obat.Sampai saat ini masih digunakan sebagai agen antipiretik, efek
banyak potensi tumbuhan obat yang belum
47
Jurnal Kimia Unand (ISSN No. 2303-3401), Volume 4 Nomor 2, Mei 2015

antimikroba, fungsi sitotoksik, dan efek seluruh metanol menguap hingga kering. Lalu
hipotensi.[4] ditambahkan kloroform dan akuades
perbandingan 1:1 masing-masingnya
Pada penelitian kali ini dilakukan upaya sebanyak 5 mL, kocok dengan baik, kemudian
untuk mengisolasi dan mengidentifikasi pindahkan ke dalam tabung reaksi, biarkan
senyawatriterpenoid dari ekstrak heksana sejenak hingga terbentuk dua lapisan
pada kulit batang Polyalthia longifolia dan kloroform-air. Lapisan kloroform di bagian
menguji aktivitas toksisitas nya. bawah digunakan untuk pemeriksaan
Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk senyawa triterpenoid dan steroid sedangkan
mengiolasi kandungan metabolit sekunder lapisan air digunakan sebagai uji terhadap
golongan senyawa triterpenoid dari fraksi senyawa flavonoid, fenolik dan saponin.
heksana pada kulit batang Polyalthia longifolia
dan menguji aktifitas toksisitas dari ekstrak 2.2.2 Ekstraksi Kulit Batang Ashoka (Polyalthia
heksana, etil asetat, dan metanol dari kulit longifolia)
batang Ashoka (Polyalthia longifolia). Serbuk halus kulit batang Ashoka (±2
Penelitian ini dapat bermanfaat terhadap Kg)diekstraksi dengan metode
perkembangan ilmu Kimia Organik Bahan maserasimenggunakan pelarut heksana, etil
Alam dalam mengetahui senyawa metabolit asetat dan metanol.Maserasi pertama kali
sekunder yang terkandung pada kulit batang dilakukan dengan pelarut heksana selama 3-4
Ashoka (Polyalthia longifolia). hari (sambil dikocok sekali-kali).k Kemudian
disaring.Maserasi dilakukan berulang kali
II. Metodologi Penelitian hingga maserat tidak lagi memberikan warna
pekat atau terjadi perubahan warna yang
2.1. Bahan kimia, peralatan dan instrumentasi signifikan dari maserasi pertama.Hasil dari
Bahan-bahan yang digunakan dalam maserasi kemudian digabungkan dan
penelitian ini adalah sampel kulit batang diuapkan pelarutnya dengan menggunakan
ashoka, pelarut teknis yang telah didistilasi rotary evaporator dengan suhu 400C hingga
yaitu heksana, etil asetatdan metanol. Fasa didapatkan ekstrak pekat heksana. Ampas
diam yang digunakan pada kromatografi yang didapat dari maserasi dengan heksana,
kolom yaitu silika gel 60 F254. Plat kemudian dimaserasi lagi menggunakan etil
kromatografi lapis tipis (KLT) DC-Alufolien asetat selama 3–4 hari dengan metode yang
Kieselgel 60 F254 Merck (20x20 cm), kertas sama. Hasil dari maserasi kemudian
saring dan aluminium foil.Bahanyang digabungkan dan diuapkan pelarutnya
digunakan untuk uji fitokimia yaitu pereaksi dengan menggunakan rotary evaporator
Mayer untuk identifikasi alkaloid, pereaksi dengan suhu 40oC hingga didapatkan ekstrak
Lieberman Burchad (asam asetat anhidrat dan pekat etil asetat.Ampas dari maserasi dengan
asam sulfat pekat) untuk identifikasi etil asetat dimaserasi dengan metanol dengan
triterpenoid dan steroid, sianidin test (bubuk perlakuan yang sama seperti maserasi
magnesium dan asam klorida pekat) untuk heksana dan etil asetat.
identifikasi flavonoid, besi (III) kloridauntuk
identifikasi fenolik, ammonia (NH4OH), 2.2.3 Kromatografi Kolom
natrium hidroksida (NaOH) untuk identifikasi Sebelum melakukan kromatografi kolom,
kumarin dan akuades(H2O). Bahan yang ekstrak kental heksana tersebut terlebih
digunakan untuk uji toksisitas yaitu Artemia dahulu di KLT dengan beberapa variasi eluen
salina, DMSO, dan air laut. agar dapat menentukan pelarut yang cocok
untuk proses pemisahan dengan kromatografi
2.2. Prosedur penelitian kolom ini. Dengan KLT ini nantinya juga
2.2.1 Uji Profil Fitokimia dapat ditentukan apakah pemisahan
Serbuk halus kulit batang Ashoka sebanyak 2 menggunakan SGP atau isokratik.
gram dimasukkan ke dalam tabung reaksi,
kemudian dimaserasi dengan metanol yang Pemisahan-pemisahan senyawa dari ekstrak
telah dipanaskan (di atas penangas air) selama kental fraksi heksana ini dipisahkan dengan
15 menit. Kemudian disaring dalam keadaan metoda kromatografi kolom dengan
panas ke tabung reaksi lain dan biarkan menggunakan fasa diam silika gel dan fasa

48
Jurnal Kimia Unand (ISSN No. 2303-3401), Volume 4 Nomor 2, Mei 2015

gerak heksana, etil asetat dan methanol. lampu UV λ 254 nm dan λ 365 nm, uap iodin,
Dalam pembuatan kolom, ± 100 gram silika dan pereaksi Lieberman-Burchad. Untuk
gel dibuat menjadi seperti bubur dengan senyawa murni akan memberikan bercak
menggunakan pelarut heksana dan kemudian noda tunggal meskipun digunakan eluen
dimasukkan secara perlahan-lahan kedalam dengan kepolaran yang berbeda.
kolom yang sebelumnya pada dasar kolom
telah diberi kapas yang berfungsi sebagai Indentifikasi golongan senyawa dilakukan
penyaring atau penahan silika. Ketika sebagai uji lanjutan untuk mengetahui
memasukkan bubur silika kedalam kolom, golongan senyawa yang diisolasi. Uji
sepertiga kolom harus terisi dengan pelarut golongan senyawa dilakukan dengan
heksana dengan kondisi kran terbuka. Hal ini kromatografi lapis tipis (KLT) dengan
bertujuan untuk menghilangkan menggunakan lampu UV 254 dan 365 nm
kemungkinan adanya gelembung udara pada sebagai pengungkap noda, uap iodin, pereaksi
kolom yang nantinya dapat mengganggu Lieberman-Burchad, Amonia dan Natrium
proses pemisahan. Setelah dimasukkan bubur Hidroksida
silika tadi, kemudian dimasukkan sampel
yang akan dikolom yang terlebih dahulu 2.2.4.2 Pengukuran Titik Leleh
dipreabsorbsi dengan mencampurkan ekstrak Senyawa hasil isolasi dimasukkan ke dalam
kental heksana dengan silika dengan pipa kapiler kemudian diamati saat senyawa
perbandingan 1 : 1 sampai homogeny dan mulai meleleh sampai meleleh seluruhnya
berbentuk bubuk. menggunakan melting point apparatus.
Senyawa hasil isolasi dianggap murni jika
Selanjutnya kolom dielusi dengan sistem SGP jarak titik lelehnya ≤ 20C.
yang dimulai dari pelarut non polar yaitu
heksana 100 %,etil asetat 100% dan methanol 2.2.4.3Spektroskopi Ultraviolet-Visible (UV-
100%. Hasil elusi dari kolom ditampung Vis) dan Infra Merah (IR)
dengan vial dan kemudian di KLT untuk Senyawa hasil isolasi dikarakterisasi dengan
mengetahui pola nodanya. Pola noda dan Rf Spektrofotometer UV-Vis dan FT-IR dimana
yang sederhana kemudian digabungkan masing-masing spektrum yang didapatkan
sehingga didapatkan beberapa fraksi yang dianalisis sehingga didapatkan informasi
lebih sederhana. tentang golongan dan struktur senyawa
tersebut.
Fraksi dengan pola noda yang lebih sederhana
kembali direkromatografi kolom dan hasilnya 2.2.5Uji Toksisitas dengan Metoda Brine
di KLT kembali. Proses ini dilakukan hingga Shrimps Lethality Bioassay
didapatkan noda tunggal pada plat KLT yang Pada percobaan ini, hewan yang digunakan
terlihat dibawah lampu UV, dengan adalah larva udang Artemia salina Leach. Larva
menggunakan uap iodin, dan pereaksi ini diperoleh dengan cara menetaskan telur
Liebermann-Burchard. Senyawa yang telah udang selama 48 jam dalam wadah
murni dilanjutkan dengan menguji pembiakan. Wadah pembiakan terdiri atas
kemurniannya dengan KLT dan titik leleh, dua bagian yaitu bagian terang dan bagian
dan dilanjutkan dengan karakterisasi dengan gelap. Wadah pembiakan ini kemudian diisi
spektroskopi ultraviolet (UV-Vis) dan dengan air laut, dan telur udang yang akan
inframerah serta melakukan uji bioaktifitas ditetaskan ditempatkan pada bagian gelap.
berupa uji toksisitas. Setelah menetas larva akan berenang menuju
bagian terang.
2.2.4Uji kemurnian dan Karakterisasi Senyawa
Uji toksisitas ini dilakukan terhadap ekstrak n-
2.2.4.1Uji Kromatografi Lapisan Tipis heksana, etil asetat dan metanol.Persiapan
Senyawa hasil isolasi dilarutkan dengan sampel dilakukan dengan menimbang
pelarut yang sesuai dan ditotolkan pada plat masing-masing ekstrak pekat sebanyak 0,1 g,
KLT dan dielusi dengan beberapa kemudian dilarutkan dengan 100 mL metanol,
perbandingan eluen. Hasil elusi dilihat sehingga didapatkan konsentrasi sampel 1000
dengan menggunakan pengungkap noda mg/L yang dianggap sebagai larutan induk.
49
Jurnal Kimia Unand (ISSN No. 2303-3401), Volume 4 Nomor 2, Mei 2015

Ekstrak heksana di KLT terlebih dahulu


Variasi konsentrasi larutan sampel yang sebelum melakukan kromatografi kolom. Uji
digunakan adalah 200 mg/L, 400 KLT dilakukan menggunakan eluen heksan
mg/L,600mg/L, 800 mg/L, dan 1000 mg/L. dan etil asetat dengan perbandingan
Kelima variasi konsentrasi dibuat dengan tertentu. Variasi eluen yang digunakan ialah
mengencerkan larutan induk dengan heksana 100%, heksana : etil asetat (9:1, 8:2,
memipipet larutan induk sebanyak 2; 4; 6; 8; 7:3, 6:4, 5:5). Pola noda yang dihasilkan dari uji
dan 10 mL dalam labu 100 mL dan KLT tersebut saat diungkap dengan lampu
dimasukkan dalam vial. Larutansampel UV 254 nm dan 365 nm yaitu menunjukkan
tersebut diuapkan, ditambah 50 µL larutan pola noda yang tailing dan noda nya
dimetil sulfoksida dan dicukupkan 10 mL berdempet sehingga sulit dipisahkan dengan
dengan air laut.Untuk larutan kontrol hanya menggunakan sistem isokratik. Oleh karena
dimasukkan 50 µL larutan dimetil sulfoksida itu pemisahan dengan kromatografi kolom
dan air laut. Setelah itu, ke dalam masing- lebih tepat dengan sistem elusi SGP.
masing vial dimasukkan 10 ekor larva udang.
Terhitung sejak larva udang dimasukkan ke Sebanyak 10 gram ekstrak heksana
masing-masing vial, diamati jumlah kematian dikromatografi kolom menggunakan
larva udang setiap 4 jam.Jumlah larva yang perbandingan pelarut heksana : etil asetat
mati dihitung setelah 24 jam,dihitung LC50 (dimulai dengan heksana 100 % dan dinaikkan
dengan hubungan nilai logaritma konsentrasi kepolarannya 0,5 sampai perbandingan etil
bahan toksik uji dan nilai Probit dari asetat 100%) sebagai fasa gerak dan silika gel
persentase mortalitas hewan uji merupakan 60 F254 (0,063-0,200 mm) sebagai fasa
fungsi linear Y = a + bX diam.Hasil kromatografi kolom ditampung
dengan vial dengan jumlah vial total ialah
III. Hasil dan Pembahasan sebanyak 702 vial.

3.1 Uji Profil Fitokimia Hasil kromatografi kolom selanjutnya di KLT


Dalam penelitian ini, uji profil fitokimia hanya untuk mengetahui pemisahan dengan
dilakukan terhadap ekstrakheksana timbulnya bercak pada noda pada plat KLT
yangdiperoleh dari proses ekstraksi.Hasil uji ketika dilihat pada lampu UV 254 nm dan 365
fitokimia pada ekstrak heksana tersebut nm. Selanjutnya Fraksi dengan pola noda dan
menunjukkan bahwa yang senyawa yang aktif Rf yang sama digabungkan sehingga
yang terkandung dalam ekstrak heksana ialah didapatkan 14 fraksi yang sederhana yaitu
senyawa triterpenoid dan steroid. fraksi A – N. Dari 14 fraksi tersebut, fraksi G
memiliki dua noda yang terpisah jauh,
3.2 Ekstraksi Kulit Batang Ashoka (Polyalthia sehingga lebih mudah untuk dipisahkan.
longifolia) Untuk itu fraksi G dilakukan rekromatografi
Kulit batang Ashoka (Polyalthia longifolia) yang kolom dengan perbandingan eluen heksana :
telah halus ditimbang sebanyak ± 2 Kg etil asetat (9:1) karena pada perbandingan
dimaserasi dengan pelarut heksana. Setelah eluen tersebut pada saat di KLT menunjukkan
proses maserasi selama 3–4 hari diperoleh pola noda yang lebih sederhana. Hasil dari
ekstrak berwarna kuning. Maserasi pertama rekromatografi kolom ditampung pada vial
dengan pelarut heksana dilakukan sebanyak 5 yang terdapat pada vial 1-35 dengan total
kali pengulangan sehingga didapatkan ekstrak volume eluen yang terpakai adalah 1000 mL.
pekat heksana sebanyak 25,061 gram. Dari hasil rekromatografi kolom didapatkan
Selanjutnya dilakukan maserasi dengan 6subfraksi gabungan berdasarkan pola
pelarut etil asetat dengan cara yang sama pemisahan yang sama.Dari 6 subfraksi yang
sehingga didapat ekstrak berwarna hijaudan ada, pengujian selanjutnya difokuskan untuk
sebanyak 23,259 gram, dan selanjutnya mendapatkan senyawa yang ada pada
dilakukan maserasi dengan metanol dengan subfraksi G.III karena pada uji KLT
cara yg sama seperti heksana dan etil asetat menampakkan noda tunggal.Pada uji KLT,
dan didapatkan ekstak pekat metanol didapatkan hasil bahwa senyawa tersebut
sebanyak 10, 280 gram. menimbulkan noda tunggal saat diberi
3.3 Kromatografi Kolom
50
Jurnal Kimia Unand (ISSN No. 2303-3401), Volume 4 Nomor 2, Mei 2015

pengungkap noda LB, dan padatan yang 3.4.3 Spektroskopi UV


didapatkan berupa jarum berwarna putih. Hasil pengukuran spektrm uv-vis dapat
dilihat pada gambar 1. Hasil pengukuran uv-
vis senyawa murni menunjukkan panjang
3.4 Uji Kemurnian dan Karakterisasi Senyawa gelombang maksimum terletak pada 199 nm
3.4.1 Uji Kromatografi Lapisan Tipis dengan absorban 0,8. Hal ini menunjukkan
Pada subfraksi G.III yang diperoleh dilakukan tidak terdapat ikatan rangkap berkonjugasi
uji kemurnian dengan kromatografi lapis tipis karena ikatan rangkap berkonjugasi
(KLT) menggunakan eluen heksana : etil asetat mempunyai panjang gelombang maksimum
(9:1). Dari uji KLT yang dilakukan diperoleh disekitar 230 nm.Panjang gelombang
noda tunggal ketika diberi pengungkap noda maksimum pada 199 nm menunjukkan
LB dengan Rf 0,28. terjadinya transisi elektronik π  π*.

Untuk memastikan kemurnian senyawa,


dilakukan pengujian KLT dengan
menggunakan berbagai variasi eluen dan hasil
KLT tersebut tercantum pada tabel 3.5

Tabel 1. Uji kemurnian senyawa dengan KLT

No Eluen Rf
1 Heksan : etil asetat (9:1) 0,28
2 Heksan : etil asetat (8:2) 0,44 Gambar1. Spektrum UV senyawa hasil isolasi
3 Heksan : etil asetat (6:4) 0,98 dengan pelarut metanol

3.4.5 Spektroskopi Inframerah


Karakterisasi senyawa hasil isolasi yang
Berdasarkan hasil uji KLT di atas disimpulkan dilakukan dengan FTIR diperlihatkan pada
bahwa senyawa hasil isolasi sudah murni gambar 2. Pada spektrum IR tersebut
karena hanya menunjukkan satu noda.Dari menunjukkan adanya serapan untuk beberapa
pola noda yang terlihat diindikasikan bahwa gugus fungsi seperti gugus fungsi –OH pada
senyawa yang diperoleh tergolongke dalam bilangan gelombang 3429,30 cm-1, -CH
kelompok senyawa triterpenoid karena streching pada 2934,35 cm-1, C=O pada 1709,46
senyawa menunjukkan noda yang tunggal cm-1, dan gugus geminal dimetil pada 1382,16
pada saat diberi pengungkap noda LB dan cm-1 yang merupakan serapan khas senyawa
berwarna merah yang merupakan ciri khas golongan triterpenoid.
senyawa triterpenoid. .

3.4.2 PengukuranTitik Leleh


Untuk memastikan apakah senyawa yang
didapatkan telah murni atau belum maka
dilakukan uji titik leleh senyawa. Dari hasil
pengujian titik leleh didapatkan titik leleh
dari senyawa ini adalah sebesar 138-139ºC.
Rentang titik leleh senyawa yang
didapatkan adalah 1oC ini mengindikasikan
bahwa senyawa telah murni karena
senyawa dapat dikatakan murni apabila titik
lelehnya mempunyai rentang ≤ 2oC. Gambar 2. Spektrum Inframerah senyawa
hasil isolasi dengan plat KBr

51
Jurnal Kimia Unand (ISSN No. 2303-3401), Volume 4 Nomor 2, Mei 2015

3.5 Uji Toksisitas (Brine Shrimp Lethality Test) VI. Referensi


Terhadap Ekstrak
Uji toksisitas dilakukan terhadap ketiga 1. Thenmozhi M., Sivaraj R.,2010,
ekstrak hasil maserasi dari sampel.Uji ini Phytochemical Analysis And Antimicrobial
dilakukan untuk mengetahui aktifitas Activity Of Polyalthia longifolia,
toksisitas masing-masing ekstrak.Dari hasil uji International Journal of Pharma and Bio
tiksisitas yang telah dilakukan, didapatkan Sciences, Vol. 1.
hasil LC50 yang merupakan nilai kematian
atau jumlah udang yang mati dari masing- 2. Saxena G., McCutcheon AR., Farmer
masing ekstrak. S,Towers, 1994,GHN and Hancock REW:
Antimicrobial constituents of Rhus glabra.
Tabel 2. Hasil LC50 fraksi n-heksana, etil J.Ethnopharmacol, 42, 95-99.
asetat,dan metanol
No Ekstraks Regresi LC50(mg/L) 3. Wu Y. C., Duh C. Y., Wang S. K., Chen K. S.
And Yang T. H.,1990,Two new natural
1 n- Y = 1,167X + 489,78 azofluorene alkaloids and a cytotoxic
heksana 1,853 aporphine alkaloids from P. longifolia, J.
Nat. Prod., 53, 1327–1331.
2 Etil Y = 0,946X + 1905,46
asetat 1,888 4. Ogunbinu A.O, Ogunwande I.A., 2007,
Essien E, Sesquiterpenes-Rich Essential
3 Metanol Y = 0,252X + 691,83 Oils of Polyalthia longifolia Thw.
4,288 (Annonaceae) from Nigeria. Journal of
Essential Oil Research, 19, 419-21.
Dari hasil perhitungan LC50, dapat
5. Chen, Chung-Yi Fang-Rong, Chang Yao-
disimpulkan bahwa hanya ekstrak heksana
Ching, Shih Tian-Jye, Hsieh Yi-Chen, Chia
dan metanol yang aktif terhadap pengujian
Huang-Yi, 2000, Cytotoxic Constituents of
toksisias karena memiliki LC50< 1000 mg/L.
Polyalthia longifolia var. pendula,Journal of
Sedangkan estrak etil asetat tidak aktif
Natural Products, 63, 1475–1478.
terhadap uji toksisitas karena memiliki nilai
LC50 yang besar dari 1000mg/L. Ekstrak
6. Subramanion L J., Yee Siew Choong,dkk,
heksana yang mempunyai daya toksisitas
2013, Polyalthia longifolia Sonn: an Ancient
yang paling tinggi karena memiliki nilai LC50
Remedy to Explore for Novel Therapeutic
yang paling rendah. Hal ini menandakan
Agents,Research Journal of Pharmaceutical,
bahwa pelarut heksana mampu mengekstrak
Biological and Chemical Sciences, January-
kandungan metabolit sekunder dari kulit
March Volume 4 Issue 1 Page No. 714.
batang Ashoka (Polyalthia longifola) yang
memiliki daya toksisitas paling tinggi.

IV. Kesimpulan
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan
dapat disimpulkan bahwa senyawa hasil
isolasi dari fraksi heksana kulit batang ashoka
adalah golongan triterpenoid yang berupa
padatan berwarna putih.Hasil uji toksisitas
menunjukkan ekstrak heksana berpotensi
sebagai anti toksisitas yang paling baik
dengan nilai LC50 489, 78 mg/L.

V. Ucapan terima kasih


Ucapan terima kasih ditujukan kepada Analis
Laboratorium Kimia Organik Bahan Alam dan
Laboratorium Instrumen yang telah
membantu dalam penyelesaian penilitian ini.
52
Jurnal Kimia Unand (ISSN No. 2303-3401), Volume 4 Nomor 2, Mei 2015

STUDI METODE PENENTUAN NIFEDIPINE DENGAN


TITRASI BEBAS AIR (NON AQUEOUS)

Jeany Buchermi, Yulizar Yusuf, dan Umiati Loekman

Laboratorium Kimia Analitik Terapan Jurusan Kimia FMIPA Universitas Andalas

e-mail : jeanybuchermi29@gmail.com
Jurusan Kimia FMIPA Unand, Kampus Limau Manis, 2516

Abstract

The non-aqueous titration study using three types of samples. This study aims to determine the
nifedipine levels contained in drugs of different products samples. LOD values were obtained
sequentially in nifedin, nifedipine and farmalat is 0.0514; 0.0436 and 0.0532. LOQ value in
nifedin, nifedipine and farmalat is 0.1712; 0.1455 and 0.1772. Values of the correlation
coefficients obtained in a strong linearity test with one-way relationship. Vallue %recovery
obtained at nifedin, nifedipine and farmalat is 100.06%; 98.75% to 100.9%. Levels obtained dried
samples ranged from 1.53% to 2.74%, with the highest contenst in nifedin and lower in the
nifedipine (OGBdexa).

Keywords: Nifedipine, non-aqueous titration.


(pengobatan alamiah) dengan
I. Pendahuluan menggunakan bahan-bahan alami seperti
Hipertensi hingga saat ini masih menjadi buah, sayuran dan herbal.
permasalahan utama di bidang kesehatan, Calcium Channel Bloker (CCB)
tidak hanya di Indonesia namun juga di adalah sekelompok obat yang bekerja
seluruh dunia. Di Negara lain berbagai dengan menghambat masuknya ion Ca2+
upaya telah dilakukan seperti melewati slow channel yang terdapat pada
pendeteksian, pencegahan sudah banyak membran sel (sarkolema). Calsium Channel
dilakukan. Hipertensi merupakan tekanan Bloker juga merupakan antihipertensi yang
darah persisten atau terus menerus dapat bekerja pula sebagai obat angina dan
sehingga melebihi batas normal dimana antiaritmia, sehingga merupakan obat
tekanan sistolik diatas 140 mmHg dan utama bagi penderita hipertensi yang juga
tekanan diastole di atas 90 mmHg [1]. penderita angina. Contoh dari penghambat
Kanal Ca2+ ( CCB) adalah amlodipine dan
Hipertensi biasa juga disebut “Silent Killer” nifedipine.
karena pada stadium ini tidak diketahui
tanda dan gejala subjektif yang Sebelumnya telah dilakukan penelitian
mengindentifikasikan adanya penyakit. menggunakan metode potensiometri tanpa
Hipertensi umumnya terjadi pada usia air dengan sampel azelnidipine oleh Rajan
lebih dari 30 tahun, dan diperberat dengan dan Rohit [3]. Oleh karena itu peneliti
adanya faktor predisposisi di antaranya melakukan penelitian terhadap nifedipine
genetik, geografi dan lingkungan, janin, dengan menggunakan metode titrasi bebas
jenis kelamin, usia, kegemukan, dan air yang merupakan senyawa yang sama-
lainnya. Banyaknya kasus fatal karena sama berada dalam golongan
penyakit hipertensi disebabkan kurangnya dihidropiridine. Penelitian ini mempelajari
pengetahuan dan kesadaran masyarakat bagaimana penggunaan metoda titrasi
terhadap bahaya penyakit ini. Ada dua cara bebas air (non-aqueous) untuk penentuan
terapi dalam menurunkan hipertensi yaitu senyawa nifedipine yang terkandung pada
dengan terapi farmakologi atau tradisional beberapa obat, dengan mengetahui tingkat

53
Jurnal Kimia Unand (ISSN No. 2303-3401), Volume 4 Nomor 2, Mei 2015

presisi, linearitas, batas deteksi LoD dan Sampel ditimbang sebanyak 0,1 g; 0,3 g; 0,5
kuantisasi LoQ serta recovery dari nifedipine. g; 0,7 g; 0,9 g dilarutkan dalam 50 mL asam
Penelitian ini bermanfaat sebagai asetat glasial, dititrasi dengan asam
pengembangan metode yang akan sangat perklorat 0,1 N, dicari hubungan antara
berguna untuk industri farmasi dan berat nifedipine Vs asam perklorat. Setelah
organisasi penelitian. itu ditentukan koefisien korelasi, slope,
intercept dan persamaan regresi.
II. METODOLOGI PENELITIAN
3.3.2 Uji Recovery
Waktu dan Tempat Penelitian Sampel nifedipine ditimbang masing-masing
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan sebanyak 0,1 g; 0,3 g; 0,5 g; 0,7 g; 0,9 g
Maret sampai Agustus 2014 di (dengan tiga kali pengulangan masing-
Laboratorium Analisis Terapan Jurusan masing penimbangan) dilarutkan dalam 50
Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu mL asam asetat glasial. Dititrasi dengan
Pengetahuan Alam Universitas Andalas. asam perklorat 0,1 N, lalu dihitung persen
recovery.
Alat dan Bahan
Alat Penentuan Kuantitatif Nifedipine
Alat yang digunakan adalah labu ukur, Analisis dengan Titrasi Bebas Air
gelas ukur, erlenmeyer, buret, kaca arloji, Sampel uji nifedipine ditimbang 0,1 g
spatula besi, neraca analitik, aluminium sebanyak 5 kali ulangan dan dilarutkan
foil, sarung tangan, masker, cawan petri. dalam 50 mL asam asetat glasial, dititrasi
Bahan dengan asam perklorat 0,1 N. Dihitung
Bahan yang digunakan adalah nifedin nilai S dan %RSD. Ditentukan kadar
(sanbe), nifedipine (OGB dexa), farmalat nifedipine dalam obat.
(fahrenheit), Asam perklorat (Merck), Asam
asetat glasial (Merck), kalium hidrogen
flatat (Merck), kristal violet. III. HASIL DAN PEMBAHASAN

Prosedur Kerja Uji Linearitas


Pembuatan Larutan Nifedin.
1. Asam Perklorat 0,1 N Grafik 4.1 merupakan grafik antara massa
Larutan asam perklorat 0,1 N dibuat obat nifedin dalam satuan gram dengan
dalam labu 100 mL. Dipipet 0,9 mL volume asam perklorat 0,1033 N dalam
asam perklorat (p.a), dilarutkan satuan mL. Dapat dilihat bahwa nilai slope
dalam 100 mL asam asetat glasial. 4,3572, nilai intercept 0,0224 dan nilai
2. Indikator Kristal Violet 0,5% koefisien korelasi adalah 0,9990. Persamaan
Ditimbang bubuk kristal violet regresi dari massa nifedin dan volume
sebanyak 0,5 gram. Diencerkan asam perklorat ini adalah y = 0,0224 +
dalam labu ukur 100 mL, 4,3572x.
menggunakan asam asetat glasial
sebagai pelarut.

Standarisasi Asam Perklorat


Kalium Hidrogen Ftalat, ditimbang
sebanyak 0,0070 gram, dilarutkan dalam 50
mL asam asetat glasial 100% anhidrat.
Ditambahkan larutan kristal violet lebih
kurang 0,1 mL atau 2 tetes, lalu dititrasi
dengan asam perklorat sampai warna ungu
berubah menjadi hijau. Dihitung
konsentrasi asam perklorat. Grafik 4.1 massa nifedin vs volume asam
3.3.1 Uji Linearitas perklorat 0,1033 N

54
Jurnal Kimia Unand (ISSN No. 2303-3401), Volume 4 Nomor 2, Mei 2015

Hasil koefisien korelasi persamaan y = a +


bx kurva kalibrasi pada grafik 4.1
menunjukkan hasilnya memberikan respon
yang linear, karena koefisien korelasi (r)
yang didapat sebesar 0,9990.
Nilai koefisien korelasi baik apabila
nilai 0,9900 atau lebih besar [22]. Hasil
percobaan koefisien korelasi yang didapat
0,9990 atau lebih besar dari nilai r yang
disarankan AOAC sehingga r yang
didapatkan dari percobaan memenuhi Grafik 4.3 massa farmalat vs volume asam
syarat. perklorat 0,1033 N

Nifedipine. Hasil koefisien korelasi persamaan y = a +


Grafik 4.2 merupakan grafik antara massa bx kurva kalibrasi pada grafik 4.1
obat nifedipine dalam satuan gram dengan menunjukkan hasilnya memberikan respon
volume asam perklorat 0,1033 N dalam yang linear, karena koefisien korelasi (r)
satuan mL. Dapat dilihat bahwa nilai slope yang didapat sebesar 0,9980.
0,8869 , nilai intercept 0,0979 dan nilai Nilai koefisien korelasi baik apabila
koefisien korelasi adalah 0,9835. Persamaan nilai 0,9900 atau lebih besar [22]. Hasil
regresi dari massa nifedipine dan volume percobaan koefisien korelasi yang didapat
asam perklorat ini adalah y = 0,0979 + 0,9980 atau lebih besar dari nilai r yang
0,8869x. disarankan AOAC sehingga r yang
didapatkan dari percobaan memenuhi
syarat.

Pengukuran Batas Deteksi LoD dan


Kuantisasi LoQ
Nifedin
Penentuan batas deteksi dan batas
kuantisasi dari nifedipine dilakukan
dengan variasi penimbangan 0,1017 hingga
Grafik 4.2 massa nifedipine vs volume 0,9011. Berdasarkan pada persamaan
asam perklorat 0,1033 N regresi dari uji linearitas yaitu y = 0,0224 +
4,3572x, didapatkan simpangan baku
Hasil koefisien korelasi persamaan y = a + 0,0746.
bx kurva kalibrasi pada grafik 4.1 Didapatkan nilai batas deteksi
menunjukkan hasilnya memberikan respon (LoD) sebesar 0,0514 dan nilai batas
yang linear, karena koefisien korelasi (r) kuantisasi (LoQ) sebesar 0,1712.
yang didapat sebesar 0,9835. Nifedipine
Penentuan batas deteksi dan batas
Farmalat kuantisasi dari nifedipine dilakukan
Grafik 4.3 merupakan grafik antara massa dengan variasi penimbangan 0,1006 hingga
obat farmalat dalam satuan gram dengan 0,9050. Berdasarkan pada persamaan
volume asam perklorat 0,1033 N dalam regresi dari uji linearitas yaitu y = 0,0979 +
satuan mL. Dapat dilihat bahwa nilai slope 0,8869x, didapatkan simpangan baku
1,0495, nilai intercept -0,0138 dan nilai 0,0129.
koefisien korelasi adalah 0,9988. Persamaan Didapatkan nilai batas deteksi (LoD)
regresi dari massa farmalat dan volume sebesar 0,0436 dan nilai batas kuantisasi
asam perklorat ini adalah y = 1,0495x – (LoQ) sebesar 0,1455.
0,0138.

55
Jurnal Kimia Unand (ISSN No. 2303-3401), Volume 4 Nomor 2, Mei 2015

Farmalat dari jumlah volume asam perklorat yang


Penentuan batas deteksi dan batas terpakai.
kuantisasi dari nifedipine dilakukan Berdasarkan pada persamaan regresi yang
dengan variasi penimbangan 0,1008 hingga telah dicari sebelumnya pada uji linearitas
0,9012. Berdasarkan pada persamaan didapatkan %Recovery sebagai berikut:
regresi dari uji linearitas yaitu y = 1,0495x –
0,0138, didapatkan simpangan baku 0,0129. Tabel 4.2 %Recovery nifedipine pada obat
Didapatkan nilai batas deteksi (LoD) nifedipine
sebesar 0,0532 dan nilai batas kuantisasi No. Berat Volume Recovery
(LoQ) sebesar 0,1772. Nifedipine HClO4 (%)
(gram) (mL)
Uji Recovery 1. 0,1006 0,18 96,21
Nifedin 0,1002 0,18 96,36
Berdasarkan pada percobaan yang telah
0,1013 0,18 95,89
dilakukan, setiap variasi berat sampel
2. 0,3029 0,36 98,23
nifedin dilakukan tiga kali pengulangan.
0,3001 0,36 98,90
Berdasarkan pada pengulangan dicari nilai
0,3010 0,36 98,65
rata-rata dari berat nifedin dan rata-rata
3. 0,5047 0,54 92,52
dari jumlah volume asam perklorat yang
terpakai. 0,5012 0,54 99,56
Berdasarkan pada persamaan regresi yang 0,5003 0,54 99,70
telah dicari sebelumnya pada uji linearitas 4. 0,7014 0,72 100,01
didapatkan %Recovery sebagai berikut: 0,7007 0,72 100,08
0,7011 0,72 100,04
Tabel 4.1 %Recovery nifedipine pada obat 5. 0,9050 0,92 102,17
nifedin 0,9004 0,92 102,62
0,9007 0,90 100,36
No. Berat Nifedin Volume HClO4 Recovery Rata-rata 98,75
(gram) (mL) (%)
1. 0,1017 0,46 98,82 Farmalat
0,1013 0,46 99,18 Berdasarkan pada percobaan yang telah
0,1004 0,46 100,02 dilakukan, setiap variasi berat sampel
2. 0,3021 1,32 98,60 farmalat dilakukan tiga kali pengulangan.
0,3002 1,34 100,72 Berdasarkan pada pengulangan dicari nilai
0,3010 1,32 99,22 rata-rata dari berat nifedin dan rata-rata
dari jumlah volume asam perklorat yang
3. 0,5029 2,2 99,39
terpakai.
0,5001 2,2 99,94
Berdasarkan pada persamaan regresi yang
0,5007 2,2 99,81
telah dicari sebelumnya pada uji linearitas
4. 0,7002 3,18 103,47
didapatkan %Recovery sebagai berikut:
0,7010 3,18 104,11
0,7001 3,16 102,83
5. 0,9011 3,88 98,26
0,9003 3,88 98,30
0,9017 3,88 98,20
Rata-rata 100,06

Nifedipine (OGBdexa)
Berdasarkan pada percobaan yang telah
dilakukan, setiap variasi berat sampel
nifedipine dilakukan tiga kali pengulangan.
Berdasarkan pada pengulangan dicari nilai
rata-rata dari berat nifedipine dan rata-rata

56
Jurnal Kimia Unand (ISSN No. 2303-3401), Volume 4 Nomor 2, Mei 2015

Tabel 4.3 %Recovery nifedipine pada obat Tabel 4.5 Berat nifedipine pada obat
farmalat nifedipine serta nilai standar
No. Berat Volume Recovery deviasi dan %RSD.
Farmalat HClO4 (%) Berat OGB Volume HClO4 Nifedipine
(gram) (mL) (gram) 0,1 N (%)
1. 0,1008 0,08 87,05 (mL)
0,1001 0,10 109,53 0,1006 0,04 1,41
0,1012 0,10 108,22 0,1029 0,06 2,06
2. 0,3007 0,32 106,03 0,1013 0,04 1,40
0,3013 0,32 105,82 0,1009 0,04 1,42
0,3110 0,32 102,37 0,1025 0,04 1,40
3. 0,5021 0,52 101,33 s = 0,2954
0,5001 0,50 97,83 %RSD= 19,31%
0,5015 0,52 101,46
4. 0,7004 0,70 97,05 Didapatkan kadar rata-rata nifedipine pada
0,7010 0,70 96,97 obat nifedipine (OGBdexa) adalah 1,53%.
0,7001 0,70 97,10
5. 0,9012 0,94 100,86 Farmalat
0,9008 0,94 100,90 Dari hasil analisis farmalat diperoleh berat
0,9002 0,94 100,98 nifedipine sebagai berikut:
Tabel 4.6 Berat nifedipine pada obat
Rata-rata 100,9
farmalat serta nilai standar
deviasi dan %RSD.
Penentuan Kuantitatif
Nifedin Berat Volum HClO4 Nifedipine
Dari hasil analisis nifedin diperoleh berat farmalat 0,1 N (%)
nifedipine sebagai berikut : (gram) (mL)
Tabel 4.4 Berat nifedipine pada obat nifedin 0,1022 0,06 2,1
serta nilai standar deviasi dan 0,1024 0,08 2,80
%RSD 0,1028 0,08 2,78
Berat nifedin Volume HClO4 Nifedipine 0,1004 0,08 2,85
(gram) 0,1 N (%) 0,1081 0,08 2,65
(mL) s = 0,3042
0,1013 0,08 2,82 %RSD = 11,5%
0,1020 0,08 2,80
0,1045 0,08 2,74 Didapatkan rata-rata kadar nifedipine dalam
0,1009 0,1 2,55 obat farmalat adalah 2,64%.
0,1028 0,08 2,78
s = 0,1090
IV. KESIMPULAN DAN SARAN
%RSD =
3,98%
Kesimpulan
Berdasarkan hasil dari penelitian yang telah
Didapatkan nilai rata-rata kadar nifedipine
dilakukan dapat disimpulkan bahwa pada
pada obat nifedin adalah 2,74%.
pengujian tingkat presisi, linieritas dan
%recovery berturut-turut memiliki tingkat
Nifedipine (OGB dexa)
ketelitian yang tinggi, hubungan
Dari hasil analisis obat nifedipine diperoleh
linier/searah dan mendekati perolehan
berat nifedipine sebagai berikut:
100%. Dari hasil analisis terhadap sampel
obat-obatan yang beredar di pasaran
diperoleh rata-rata kadar nifedipine dalam
beberapa sampel adalah 2,30%, hal ini
menunjukkan kedekatan dengan kadar
pada kemasan.

57
Jurnal Kimia Unand (ISSN No. 2303-3401), Volume 4 Nomor 2, Mei 2015

V. Ucapan Terima Kasih 12. Ding L., Li L., Ma P., 2007, Journal of
Ucapan terima kasih penulis sampaikan pharmaceutical and biomedical analysi, 43
kepada analis-analis Laboratorium Jurusan (2), 575-579.
Kimia yang turut membantu selama 13. Dipiro J. T., 2005, Pharmacotherapy: A
penelitian. Pathophysiologic Approach, 6, The
McGraw-Hill Company, USA.
REFERENSI 14. Soedigdo S., Soedigdo P., 1997,
1. Smelt zer, S. C., Bare B. G, buku Pengantar Cara Statistika Kimia, ITB:
terjemahan, 2002, Buku Ajar Bandung.
Keperawatan Medikal Bedah Brunner 15. Miller J. C., 1991, Statisktika Untuk
dan Suddarth, 8(1), diterjemahkan oleh Kimia, 2, ITB: Bandung.
Agung Waluyo (dkk), EGC. 16. Underwood A. L., Day R. A., 2002,
2. Chang C. A., Ochaya V. .O, Inorg Chem, Analisis Kimia Kuantitatif, 6, Erlangga:
25, 1986, 355-358. Jakarta, Hal 214.
3. Hendayana S, dkk, 1994, Kimia 17. Harmita, 2004, Petunjuk Pelaksanaan
Analitik Instrumen, Semarang: IKIP Validasi Metode dan Cara
Press. Perhitungannya, Majalah ilmu
4. Tjay T. H., Raharjo K, 2002, Obat-obat kefarmasian, Desember, 3(1).
penting, Jakarta: PT elok media 18. Ganjar G., Rohman, 2009, Kimia
komputindo, 503,527. Farmasi analisis, Yogyakarta: Pustaka
5. Mycek M. J., Harvey, R. A., Champe C. pelajar.
C., 2001, Farmakologi Ulasan 19. Khopkar M. S., 2010, Konsep Dasar
Bergambar, 2, diterjemahkan oleh Kimia Analitik, Jakarta: UI Press.
Azwar Agoese, Jakarta: Widya Medika, 20. Underwood L., 1980, Analisa Kimia
189-190. Kuantitatif, 4, Jakarta: Erlangga.
6. Setiawati A., Bustami Z. S., 1995, 21. Sumardi, b, Tinjauan Umum Validasi
Antihipertensi dalam Farmakologi dan Metode Analisis, Pusat Kimia Lembaga
Terapi, 4, Jakarta: UI Press, 329. Ilmu Pengetahuan Indonesia.
7. Ikhsan J., 2006, Penentuan Reaksi 22. [AOACS] Asosociation of Official
Protonasi dan Deprotonasi Molekul Analytical Chemist, 2005, Official
Organik serta Konstanta Methods of Analysist of AOAC
Kesetimbangan Reaksinya dengan International, 18, AOAC international:
Titrasi Potensiometri, J. Peran Kimia, Maryland.
Pendidikan Kimia dan Industri Kimia
dalam Pembangunan yang Berwawasan
Lingkungan.
8. Underwood A. L., Day R. A., 1986,
Analisa Kimia Kuantitatif, 5, Jakarta:
Erlangga.
9. Cairns D., 2004, Intisari Kimia Farmasi,
2, Penerbit: Buku Kedokteran EGC, 138-
139.
10. Watson G. D., 2005, Pharmaceutical
Analysis. A Textbook for Pharmacy
Students and Pharmaceutical
Chemists, 2, Edinburgh London New
York Philadelphia ST Louis Sydney
Toronto.
11. Rajan V. R., Rohit H. T., 2011, A
validated non-aqueous potentiometric
titration method for the quantitative
determination of Azelnidipine from
pharmaceutical preparation, J. Chem.
Pharm.Res., 3(3): 1-5.20122.

58
Jurnal Kimia Unand (ISSN No. 2303-3401), Volume 4 Nomor 2, Mei 2015

STUDI SPEKTROSKOPI INFRA MERAH


KATALIS KOBALT (II) YANG DIAMOBILISASI
PADA SILIKA MODIFIKASI

Rinal Oktaviandraa, Admia, Syukria, dan Hermansyah Azizb


a Laboratorium Kimia Material Jurusan Kimia FMIPA, Universitas Andalas
bLaboratorium Kimia Fisika Jurusan Kimia FMIPA, Universitas Andalas

e-mail: admi_unand@yahoo.com
Jurusan Kimia FMIPA Unand, Kampus Limau Manis, 25163

Abstract

A Synthetic process has been carried out for preparation of cobalt (II) grafted on modified silica and applied in
transesterification reaction. First step was a modification of silika support with anyline and bor trifluoride in
toluene at room temperature. An acetonitrile solution of cobalt chloride then was added with the modified silika
and refluxed at 70 oC for 2 hours. Product obtained was characterized with Fourier Transform Infra Red (FT-IR). In
general it can be concluded that the grafted product showed the formation of anylinium species wich then
consumed during grafting process due to its reaction with cobalt cation (FTIR analysis).

Keyword: grafting, modified silika, metal loading, metal leaching, and biodiesel

I. Pendahuluan gloves. Instrumen yang digunakan adalah


Fourier Transform Infra-Red
Ketahanan transfer massa dalam katalis (Spektrofotometer Infrared FT-IR Perkin
heterogen dalam reaksi fasa cair adalah Elmer 1600 series).
dengan menggunakan support.3 Support
dapat meningkatkan luas permukaan katalis 2.2. Prosedur Penelitian
sehingga menimbulkan pori-pori dimana 2.2.1. Sintesis Silika Modifikasi
logam dapat ditambatkan.4 Telah banyak Silika gel dimodifikasi dengan cara
digunakan berbagai material untuk menjadi ditambahkan Boron Triflorida (asam lewis)
support katalis, seperti zeolit, oksida logam dan anilin (basa bronsted). Silika terlebih
dan polimer. dahulu dipanaskan pada suhu 200 oC untuk
mengaktifkan permukaan silika dan
Permasalahan paling esensial dalam melepaskan pengotor. Kemudian 10 gram
penggabungan antara katalis dengan support Silika Gel tersebut ditambahkan 1,1 mL anilin
adalah ketahanan ikatan antara keduanya. Jika dalam 25 mL toluene dengan rasio rasio molar
interaksinya cukup kuat maka kemungkinan anilin : > Si-OH = 1,2 : 1. Campuran distirrer
terjadinya proses leaching ke pelarut akan pada temperature ruang selama 24 jam
dapat dikurangi.2 Berbagai model ikatan telah dengan kecepatan 300 rpm sehinggga
dipaparkan antara lain interaksi elektrostatik, terbentuk suspensi silika-anilin. Kemudian
kovalen dan koordinatif.3 Pada penelitian ini ditambahkan BF3 dengan perbandingan molar
kami mempelajari interaksi antara ion Cu2+ BF3 : > Si-OH = 1,2 : 1 dan distirrer pada
dengan supportnya yang merupakan silika temperatur ruang dengan kecepatan 300 rpm
yang telah dimodifikasi dengan aniline dan selama 24 jam. Suspensi yang terbentuk
boron triflorida. kemudian disaring, dicuci dengan toluen dan
dikeringkan dalam desikator sehingga
terbentuk silika modifikasi. Keberhasilan
II. Metodologi Penelitian proses modifikasi diplajari dengan FT-IR.

2.1. Bahan Kimia, Peralatan dan Instrumentasi 2.2.2. Sintesis Co (II) yang diamobilisasi pada
Peralatan yang digunakan diantaranya adalah Silika Modifikasi
beberapa peralatan gelas, magnetic stirrer, Kobalt (II) klorida heksa hidrat dipanaskan
kondensor, neraca analitis, oven, corong pada suhu 170 oC sampai semua hidratnya
Buchner, desikator, dan corong pisah dan

59
Jurnal Kimia Unand (ISSN No. 2303-3401), Volume 4 Nomor 2, Mei 2015

hilang kemudian dicampurkan dengan silika Si-O. Adanya vibrasi dari B-O-Si
modifikasi dengan perbandingan mol >Si-OH membuktikan bahwa permukaan silika telah
: CoCl2 adalah 1: 1,2. Silika modifikasi 2,42 g, membentuk [Si-O-BF3]- yang dapat bereaksi
CoCl2 0,259 g dan 10 mL asetonitril dengan kompleks Co(II)-asetonitril yang akan
dicampurkan secara bersamaan dalam labu di grafting. Munculnya puncak CN stretching
alas bulat dan direfluks sambil distirrer dari anilin pada angka gelombang 1493 cm-1
dengan kecepatan 300 rpm selama 2 jam pada juga membuktikan keberhasilan dari
temperatur 60 oC. Suspensi yang terbentuk modifikasi silica. 5
dicuci dengan asetonitril dan dikeringkan.
Filtrate yang dihasilkan diuji dengan AAS
untuk menentukan persen metal loading.
Keberhasilan proses Amobilisasi dilihat dari
karakterisasi FT-IR.

3. Hasil dan Pembahasan

Analisis menggunakan FT-IR terhadap sampel


bertujuan untuk mengetahui pita serapan
gugus fungsi dari silika dan katalis yang
dihasilkan. Spektrum FT- IR ditunjukkan pada
Gambar 1. Pita serapan utama yang
menunjukkan gugus fungsi pada silika
adalah pada angka gelombang 1130 -1000
cm-1 yang merupakan pita serapan spesifik
dari Si-O-Si asymetric stretching dan pada
angka gelombang 3700–3200 cm-1 adalah pita
serapan spesifik –O-H stretching dari silanol.
Berdasarkan Gambar 4.1a – 4.1d menunjukkan
pita serapan pada angka gelombang 3508 cm-1,
3565 cm-1, 3486 cm-1 dan 3627 cm-1 yang
mengindikasikan vibrasi –O-H stretching dari
gugus silanol. Pita serapan pada angka
gelombang 1113 cm-1, 1065 cm-1, 1089 cm-1 dan
1092 cm-1 mengindikasikan vibrasi Si-O-Si
asymetric stretching. Pita serapan pada Gambar 1. Spektra FT-IR dari; (a) silika
bilangan gelombang 1652 cm-1, 1651 cm-1, murni; (b) silika aktivasi; (c) silika-
1636 cm-1 dan 1634 cm-1 mengindikasikan anilin; (d) silika modifikasi; dan
vibrasi H-O-H bending yang berasal dari (e) katalis heterogen Co
molekul air yang terserap .Keberhasilan dari
proses aktivasi silika dibuktikan dengan Spektrum dari katalis heterogen yang
adanya penurunan intensitas serapan gugus didapatkan menunjukkan hilangnya puncak
silanol dari Gambar 1.a ke 1.b . Dimana gugus silanol stretching dan gugus H-O-H
jumlah gugus silanol akan berkurang dengan bending. Hilangnya gugus silanol
adanya pemanasan. Hal lain yang mengindikasikan telah terjadi pergantian
membuktikan adalah bergesernya pita gugus silanol dengan ion dari logam kobalt.
serapan ke angka gelombang yang lebih kecil Keberhasilan proses amobilisasi juga
dari 1113 cm-1 menjadi 1065 cm-1. Pergeseran ditunjukkan dengan bergesernya puncak Si-O-
ini menunjukkan semakin mudahnya vibrasi Si asymetric stretching dari angka gelombang
pada kerangka Si-O-Si yang disebabkan oleh 1092 cm-1 menjadi 1084 cm-1. Keberhasilan
berkurangnya gugus silanol. 6 proses amobilisasi kompleks pada support
Keberhasilan proses modifikasi silika silika modifikasi juga ditandai dengan
dibuktikan dengan munculnya puncak baru berkurangnya intensitas pita serapan pada
pada angka gelombang 800,69 cm -1 yang daerah 793 cm-1 yang berasal dari Si-OH
menunjukkan vibrasi ulur dari B-O-Si. Pita bending. Penurunan intensitas dari Si-OH
serapan B-O-Si akan muncul dengan bending mengindikasikan bahwa telah terjadi
melemahnya pita serapan Si-OH, Si-O-Si, dan interaksi permukaan gugus silanol dengan

60
Jurnal Kimia Unand (ISSN No. 2303-3401), Volume 4 Nomor 2, Mei 2015

logam Co(II). Hal yang juga penting dicatat Heterogenization of Solvent-Ligated


bahwa stretching CN asetonitril ternyata sama Copper(II) Complexes on Poly(4-
sekali tidak muncul sehingga diasumsikan vinylpyridine) for the
bahwa ion Co2+ tergrafting pada permukaan catalyticCyclopronation of Olefin,
silika modifikasi tidak dalam bentuknya
Inorganica Chimica Acta, Vol. 360, hal.
sebagai kompleks Co(II) asetonitril melainkan
sebagai kation tunggal.
197.
4. Canakci, M., and Gerpen, J. V., 2001,
4. Kesimpulan Biodisel Production From Oils And Fats
With High Free Fatty Acid, Trans, ASAE,
Proses grafting kobal(II) pada silika yang telah 42, 1203–1210.
dimodifikasi dengan aniline dan boron
triflorida telah dipelajari dengan spektroskopi 5. Meijboom, R., Jalama, K., Muzenda, E.,
infra merah. Karakterisasi dengan FTIR Mukenga, M., 2012, Biodiesel Production
memberikan petunjuk bahwa kobal dalam from Sotbean Oil over TiO2 supported
bentuk ion Co2+ yang telah terikat pada nano-ZnO, World Academy of Science, E
permukaan silika modifikasi, dan bukan and T, 949-953.
sebagai ion kompleks kobal(II)-asetonitril.
6. Fujiwara, Sergio, T., Gushikem, Y., 1999,
3. Ucapan terima kasih Cobalt(II) phthalocyanine Bonded to 3-n-
propylimidazole Immobilized on Silica
Ucapan terima kasih ditujukan kepada analis Gel Surface: Preparation and
laboratorium Kimia Material Jurusan kimia Electrochemical Properties, J. Braz, Chem,
Universitas Andalas. 10, 5, 389-393.
Referensi
7. Pratikha, S. R., Syukri, Admi., 2013,
1. Simon, K. Y., Salley, S. O., Kim, M., and Synthesis and characterization of
Yan, S., 2009, Oil Transesterification Over acetonitrile ligated Cu(II)-Complex and
Calcium Oxide Modified With its catalytic application for
Lanthanum. Applied Catalyst A General, tranesterification of frying oil in
360, 163-170. heterogeneus phase, Indo, J. Chem, 13, 1,
72-76
2. Syukri, 2006, Sintesis, Karakterisasi
dan Uji Aktivitas Katalitik Hibrid
8. Stuart, B., 2004, Infrared spectroscopy:
SiO2-Ni-Co, Skripsi Fakultas MIPA Fundamentals and applications. John
Universitas Andalas. Wiley and Sons, Ltd.
3. Syukri, S., Ahmed, K., Hijazi.,
Ayyamperumal, S., Akef, L.,
Hmaideen, A., Fritz, E, 2006,

61
Jurnal Kimia Unand (ISSN No. 2303-3401), Volume 4 Nomor 2, Mei 2015

DEGRADASI TOLUIDINE BLUE SECARA SONOLISIS,


FOTOLISIS, DAN OZONOLISIS DENGAN MENGGUNAKAN
KATALIS ZnO/ZEOLIT

Listria Riamayora Debataraja, Zilfa, dan Safni*

Laboratorium Kimia Analisis Terapan Jurusan Kimia FMIPA, Universitas Andalas

*email : safni@yahoo.com
Jurusan Kimia FMIPA Unand, Kampus Limau Manis, 25163

Abstract

Degradation of Toluidine Blue with the addition of ZnO/Zeolit had been carried out by
Sonolysis, Photolysis and Ozonolysis. The degraded solution measured using
Spectrophotometer UV-Vis and HPLC at a wavelength of 612 nm. It was found that for, 100
minutes sonolysis of 12 mg/L Toluidine Blue using ultrasonic radiation with frequency of 50
kHz, at temperature 30°C and with the addition of 4.0 mg ZnO/Zeolit the compound was
decomposed to 91.2%. In other case, photolysis method using UV light irradiation (λ=365 nm) it
was result 96.4% degradation in the same duration process. Ozonolysis method in the
degradation of Toluidine blue was faster than the one with photolysis and sonolysis. In HPLC
analysis showed that the peak of the chromatogram of Toluidine blue decrease clearly.

Keywords : Toluidine blue, Sonolysis, Photolysis, Ozonolysis, ZnO/Zeolit

I. Pendahuluan yang sangat stabil maka akan menimbulkan


masalah jika dilepas ke lingkungan.
Toluidine blue merupakan salah satu zat
warna organik aromatik dan biasanya Limbah cair yang mengandung Toluidine blue
digunakan pada proses skrining yaitu suatu yang berasal dari limbah rumah sakit
prosedur untuk dapat menemukan kanker merupakan salah satu sumber pencemaran
rongga mulut dalam stadium dini, terutama air yang sangat potensial. Untuk rumah sakit
sebelum menimbulkan gejala klinis.1 dengan kapasitas yang besar umumnya
Toluidine blue juga digunakan sebagai dapat membangun unit alat pengolah air
pewarna jaringan, seperti untuk limbahnya sendiri karena mempunyai dana
memprediksi kondisi DNA spermatozoa yang cukup. Akan tetapi untuk rumah sakit
secara tidak langsung berdasarkan struktur tipe kecil sampai dengan tipe sedang
kromatin yang dilakukan dengan umumnya sampai saat ini masih membuang
menggunakan teknik pewarnaan toluidine air limbahnya ke saluran umum tanpa
blue.2 Toluidine blue ini sering digunakan di pengolahan sama sekali. Untuk pengolahan
rumah sakit dan menghasilkan limbah cair. air limbah rumah sakit dengan kapasitas
Walaupun larutan Toluidine blue yang yang besar, umumnya menggunakan
digunakan dalam jumlah yang sedikit teknologi pengolahan air limbah "lumpur
namun jika digunakan secara terus menerus aktif" atau Activated Sludge Process, tetapi
akan menimbulkan masalah yang serius. untuk kapasitas kecil cara tersebut kurang
Senyawa zat warna ini tidak dapat dianggap ekonomis karena biaya operasinya cukup
remeh karena bersifat mutagen, karsinogenik besar.
serta dapat membahayakan kesehatan. Oleh
karena zat warna ini merupakan senyawa

62
Jurnal Kimia Unand (ISSN No. 2303-3401), Volume 4 Nomor 2, Mei 2015

Perlakuan terhadap limbah yang H-C-12 centrifuge), Termometer dan


mengandung pewarna dengan metode peralatan gelas.
konvensional, seperti flokulasi dan adsorpsi
karbon aktif tidak efektif dalam
menghilangkan warna limbah karena zat
warnanya sulit untuk didegradasi dengan
proses ini. Pada penelitian ini, dilakukan
degradasi toluidine blue secara sonolisis
dengan menggunakan getaran ultrasonik
dengan frekuensi 50 kHz, secara fotolisis Gambar 1. Struktur Toluidine blue
dengan menggunakan cahaya lampu UV
2.2. Prosedur penelitian
(λ=365 nm) dan secara ozonolisis dengan
Preparasi ZnO/Zeolit
menggunakan ozon (O3). Radikal hidroksil
Zeolit alam diayak dengan pengayakan
yang dihasilkan akan mendekomposisi
ukuran 250 mesh. Kemudian dicuci dengan
toluidine blue menjadi senyawa lain yang
akudes, disaring dan dikeringkan dengan
lebih sederhana. Metode sonolisis, fotolisis,
oven pada 100°C. Sebanyak 68 g zeolit kering
dan ozonolisis sudah pernah digunakan
dijenuhkan dengan NaCl 0,1M sambil diaduk
untuk degradasi beberapa zat warna, seperti
selama 5 jam kemudian dicuci dengan
Rhodamin B, Naphtol Blue Black, Methanil
akuades. Hasil Penjenuhan ini disaring dan
Yellow, Sudan I, Alizarin S, Indigo Carmine, dan
dicuci guna menghilangkan Cl filtratnya di
Methylene Blue.3-11 Pada penelitian ini untuk
tes dengan AgNO3. Hasil dari pencucian
mempercepat proses degradasi akan
merupakan Na-zeolit dan kemudian
ditambahkan ZnO/Zeolit sebagai katalis.
didispersikan kedalam akuades dan
ZnO telah banyak digunakan sebagai katalis
ditambahkan 8,5 g ZnO secara perlahan
dalam proses degradasi10 begitu juga dengan
sambil diaduk selama 5 jam. Campuran ini
zeolit.12
disaring dan dioven pada suhu 100°C.
Setelah kering diayak dengan menggunakan
Pada penelitian sebelumnya telah dilakukan
ayakan 100 mesh. Kemudian dikalsinasi
degradasi Toluidine blue oleh Ameta,dkk
dengan furnace pada suhu 400°C selama 24
dengan metode sonolisis, fotokatalisis, dan
jam.14
sonofotokatalisis menggunakan ZnO sebagai
katalis. Dari penelitian ini dapat diketahui
Penentuan Serapan Maksimum Toluidine
bahwa Toluidine blue dapat terdegradasi jauh
blue
lebih cepat pada metode sonofotokatalisis
Sebanyak 0,1000 g Toluidine blue bubuk
dibandingkan dengan metode sonolisis dan
dilarutkan dalam 100 mL akuades untuk
fotolisis saja.13 Sejauh ini belum ada laporan
mendapatkan larutan induk Toluidine blue
penelitian degradasi Toluidine blue yang
1000 mg/L. Kemudian dibuat sederetan
menggunakan ZnO/Zeolit sebagai katalis.
konsentrasi Toluidine blue yaitu 8, 10, 12, 14,
dan 16 mg/L dengan pelarut akuades.
II. Metodologi Penelitian
Pengukuran panjang gelombang serapan
2.1. Bahan kimia, peralatan dan instrumentasi maksimum Toluidine blue dilakukan dengan
Bahan-bahan yang digunakan pada menggunakan Spektrofotometer UV-Vis
penelitian ini adalah Toluidine blue bubuk pada panjang gelombang 300-700 nm dan
(Merck, BM = 305,83 g/mol), Zeolit alam, diperoleh λmaks 612 nm.
ZnO (Merck), AgNO3 (Merck), NaCl (Merck),
akuades, Akuabides, dan Asetonitril. Proses Degradasi
Alat-alat yang digunakan adalah Larutan Toluidine blue dengan konsentrasi 12
Spektrofotometer UV-Vis (Shimadzu, mg/L sebanyak 20 mL dilakukan sonolisis,
Jepang), Ultrasonik (Kerry Pulsatron Sonics, fotolisis, dan ozonolisis secara terpisah
Inggris frekuensi 50 kHz), Lampu UV dengan beberapa variasi yaitu; suhu, berat
(Germicidal CE G 13 Base 8FC11004, λ = 365 katalis dan waktu perlakuan tanpa dan
nm, 10 watt), Kotak Iradiasi, Ozone Maker dengan penambahan 4,0 mg katalis
(Hanaco), HPLC (Shimadzu, Jepang), Neraca ZnO/Zeolit.
analitik (Kern ALJ 220-4M), Sentrifus (Health

63
Jurnal Kimia Unand (ISSN No. 2303-3401), Volume 4 Nomor 2, Mei 2015

Hasil sonolisis, fotolisis dan ozonolisis persentase degradasi sebesar 11,82%. Suhu
disentrifus selama 10 menit untuk 30°C merupakan suhu yang paling optimal
memisahkan ZnO/Zeolit dari larutan. untuk membentuk kavitasi dan juga
Adanya perbedaan serapan awal dengan merupakan kondisi yang bagus untuk proses
serapan setelah sonolisis, fotolisis maupun degradasi Toluidine blue sebelum
ozonolisis yang dideteksi dengan ditambahkan katalis. Secara umum dengan
spektrofotometer UV/Vis menunjukkan kenaikan suhu, kecepatan reaksi juga
adanya senyawa Toluidine blue yang telah meningkat. Suhu yang cukup tinggi akan
terdegradasi. Larutan sisa degradasi membentuk banyak kavitasi yang dapat
Toluidine blue pada kondisi pendegradasian memecah molekul air menjadi radikal
optimum dianalisis dengan HPLC. hidrogen dan radikal hidroksil.9

III. Hasil dan Pembahasan

Pengukuran spektrum serapan Toluidine


blue
Pengukuran spektrum serapan Toluidine blue
dengan spektrofotometer UV-Vis terhadap
variasi konsentrasi menujukkan serapan
maksimum Toluidine blue pada panjang
gelombang 612 nm. Hasil spektrum serapan Gambar 3. Kurva pengaruh suhu sonolisis
Toluidine blue pada beberapa variasi Toluidine blue 12 mg/L selama 40
konsentrasi dapat diamati pada Gambar 2. menit terhadap persentase degradasi.
Dari spektrum dapat dilihat bahwa kenaikan
Penurunan persentase degradasi Toluidine
konsentrasi berbanding lurus dengan
blue pada suhu yang lebih tinggi terjadi
kenaikan absorban serapan dari senyawa karena semakin cepatnya penggabungan
Toluidine blue. Hal ini juga menunjukkan radikal OH menjadi H2O2. Senyawa H2O2
bahwa terdapat kelinearan dari serapan mengurangi radikal hidroksil yang
senyawa Toluidine blue. mendegradasi Toluidine blue dengan reaksi
pembentukan peroksida. Di samping itu,
pada suhu yang tinggi efek kavitasi dari
ultrasonik menjadi lemah karena gelembung
yang dihasilkan sangat kecil dan telah
menguap dari larutan sebelum mengalami
pertumbuhan dan akhirnya pecah karena
iradiasi ultrasonik.
Reaksi pembentukan peroksida :15

H2O  H● + ●OH
H● + O2  HO2●  ●OH + ½ O2
2●OH  H2O2
Gambar 2. Spektrum serapan Toluidine blue pada 2HO2  H2O2 + O2
variasi konsentrasi (a) = 8 mg/L, (b) =
10 mg/L, (c) = 12 mg/L, (d) = 14 Pengaruh Waktu Degradasi Toluidine Blue
mg/L, dan (e) = 16 mg/L. secara Sonolisis, Fotolisis, dan Ozonolisis
tanpa Penambahan Katalis
Pengaruh Suhu Pada Proses Sonolisis Degradasi Toluidine blue dengan konsentrasi
Pengaruh suhu terhadap persentase 12 mg/L sebanyak 20 mL secara sonolisis
degradasi Toluidine blue 12 mg/L sebanyak dilakukan pada suhu 30°C dan secara
20 mL dilakukan pada suhu 20°C, 25°C, 30°C, fotolisis selama 100 menit dengan interval
35°C, dan 40°C selama waktu iradiasi 40 waktu 20 menit, dan secara ozonolisis selama
menit. Dari Gambar 3 terlihat bahwa suhu 60 menit dengan interval waktu 10 menit
optimum degradasi Toluidine blue adalah tanpa penambahan katalis. Gambar 4
30°C, dimana setelah 40 menit sonolisis menunjukkan peningkatan persentase

64
Jurnal Kimia Unand (ISSN No. 2303-3401), Volume 4 Nomor 2, Mei 2015

degradasi Toluidine blue dengan menit, fotolisis selama 80 menit, dan


bertambahnya waktu degradasi, karena ozonolisis selama 40 menit.
semakin banyak ·OH yang terbentuk untuk Pengaruh berat katalis terhadap degradasi
mendegradasi Toluidine blue. Toluidine blue secara sonolisis, fotolisis, dan
ozonolisis menunjukkan bahwa persentase
degradasi Toluidine blue meningkat dengan
bertambahnya berat katalis ZnO/Zeolit.
Kenaikan persentase degradasi ini dapat
dikaitkan dengan luas permukaan dari
katalis yang membantu memperbanyak
radikal OH13. Namun setelah batas tertentu
(4,0 mg) terjadi penurunan persentase
degradasi. Hal ini disebabkan karena
terjadinya kejenuhan larutan oleh
ZnO/Zeolit yang mengakibatkan kenaikan
Gambar 4. Kurva pengaruh waktu terhadap pembacaan absorban dan mengakibatkan
persentase degradasi Toluidine blue 12
penurunan persentase degradasi. Selain itu
mg/L secara sonolisis pada suhu
dapat disebabkan karena pada konsentrasi
30°C, secara fotolisis, dan ozonolisis
tanpa penambahan katalis yang lebih besar aktifitas fotokatalitik tidak
maksimal. Dari Gambar 5 terlihat bahwa
Sonolisis Toluidine blue 12 mg/L pada suhu berat katalis optimum degradasi Toluidine
30C selama 100 menit tanpa penambahan blue 12 mg/L secara sonolisis, fotolisis, dan
katalis diperoleh persentase degradasi ozonolisis adalah pada 4,0 mg dengan
15,09%. Secara fotolisis diperoleh persentase persentase degradasi sebesar 49,56% secara
degradasi sebesar 64,38% dengan waktu sonolisis, 86,52% secara fotolisis dan 87,32%
yang sama. Sedangkan secara ozonolisis secara ozonolisis.
persentase degradasi mencapai 68,61%
selama 60 menit tanpa penambahan katalis. Pengaruh waktu terhadap Degradasi
Toluidine Blue secara Sonolisis, Fotolisis,
Pengaruh Berat Katalis ZnO/Zeolit terhadap dan Ozonolisis dengan penambahan
Degradasi Toluidine Blue secara Sonolisis, ZnO/Zeolit
Fotolisis, dan Ozonolisis Degradasi Toluidine blue dengan konsentrasi
Pengaruh variasi berat katalis ZnO/Zeolit 12 mg/L sebanyak 20 mL secara sonolisis
terhadap persentase degradasi Toluidine blue dilakukan pada suhu 30°C dan secara
12 mg/L sebanyak 20 mL secara sonolisis fotolisis selama 100 menit dengan interval
pada suhu 30°C, secara fotolisis, dan waktu 20 menit, dan secara ozonolisis selama
ozonolisis dapat dilihat pada Gambar 5. 60 menit dengan interval waktu 10 menit
Pengaruh variasi berat katalis ZnO/Zeolit ini dengan penambahan 4,0 mg ZnO/Zeolit.
dilakukan dengan variasi berat 1,0; 2,0; 3,0; Gambar 6 menunjukkan bahwa persentase
4,0; 5,0 dan 6,0 mg. degradasi Toluidine blue meningkat dengan
bertambahnya waktu degradasi. Peningkatan
persentase degradasi Toluidine blue dengan
penambahan 4,0 mg ZnO/Zeolit terjadi
karena adanya pembentukan radikal OH
pada permukaan ZnO dan ditambah dengan
adanya support dari zeolit sehingga radikal
OH yang dihasilkan semakin banyak.
Jumlah radikal OH yang semakin banyak
akan mengakibatkan persentase degradasi
Toluidine blue semakin meningkat. Dimana
radikal OH tersebut menyerang ikatan pada
senyawa-senyawa organik dalam media air,
Gambar 5. Kurva pengaruh berat ZnO/Zeolit
sehingga senyawa organik tersebut yang
terhadap persentase degradasi
Toluidine blue 12 mg/L secara
pada awalnya bersifat toxic menjadi ramah
sonolisis pada suhu 30°C selama 40 lingkungan (menghasilkan CO2 dan H2O).

65
Jurnal Kimia Unand (ISSN No. 2303-3401), Volume 4 Nomor 2, Mei 2015

Gambar 6. Kurva pengaruh waktu terhadap Gambar 7. Kurva pengaruh waktu terhadap
persentase degradasi Toluidine blue 12 persentase degradasi Toluidine blue 12
mg/L secara sonolisis pada suhu mg/L secara sonolisis, fotolisis, dan
30°C, secara fotolisis, dan ozonolisis ozonolisis dengan penambahan
dengan penambahan katalis katalis Zeolit
ZnO/Zeolit
Tujuan penambahan katalis Zeolit ini yaitu
Sonolisis Toluidine blue 12 mg/L pada suhu untuk membandingkan pengaruh
30C selama 100 menit dengan penambahan ZnO/Zeolit dengan Zeolit dalam membantu
4,0 mg ZnO/Zeolit diperoleh persentase proses degradasi senyawa Toluidine blue.
degradasi 91,15%. Secara fotolisis diperoleh Pada penambahan Zeolit persentase
persentase degradasi sebesar 96,38% dengan degradasi yang didapatkan lebih besar
waktu yang sama. Sedangkan secara dibandingkan ZnO karena zeolit merupakan
ozonolisis persentase degradasi mencapai katalis termal dan bersifat sebagai absorben.
96,78% selama 60 menit dengan penambahan Pada proses degradasi Toluidine blue ini zeolit
katalis ZnO/Zeolit. Perbedaan persentase menyerap molekul-molekul zat warna dan
degradasi antara tanpa penambahan katalis kemungkinan tidak terjadi proses degradasi
dan dengan penambahan ZnO/Zeolit karena hanya warna molekul dari Toluidine
memperlihatkan keefektifan ZnO/Zeolit blue yang terserap.
sebagai katalis yang berfungsi untuk
mempercepat proses degradasi Toluidine blue. Pengaruh waktu terhadap Degradasi
Toluidine Blue secara Sonolisis, Fotolisis,
Pengaruh waktu terhadap Degradasi dan Ozonolisis dengan penambahan ZnO
Toluidine Blue secara Sonolisis, Fotolisis, Degradasi Toluidine blue 12 mg/L secara
dan Ozonolisis dengan penambahan Zeolit sonolisis dilakukan pada suhu 30°C dan
Degradasi Toluidine blue 12 mg/L secara secara fotolisis selama 100 menit dengan
sonolisis dilakukan pada suhu 30°C dan interval waktu 20 menit, dan secara
secara fotolisis selama 100 menit dengan ozonolisis selama 60 menit dengan interval
interval waktu 20 menit, dan secara waktu 10 menit dengan penambahan 4,0 mg
ozonolisis selama 60 menit dengan interval ZnO. Pengaruh waktu degradasi dengan
waktu 10 menit dengan penambahan 4,0 mg penambahan ZnO dapat dilihat pada
Zeolit. Pengaruh waktu degradasi dengan Gambar 8.
penambahan Zeolit dapat dilihat pada
Gambar 7. Pada Gambar 8 memperlihatkan bahwa
terjadi kenaikan persentase degradasi dengan
Pada Gambar 7 memperlihatkan bahwa bertambahnya waktu dengan adanya katalis
terjadi kenaikan persentase degradasi dengan ZnO. Secara sonolisis pada suhu 30°C
bertambahnya waktu dengan adanya katalis diperoleh persentase degradasi sebesar
Zeolit. Secara sonolisis pada suhu 30°C 40,44% selama 100 menit. Secara fotolisis
diperoleh persentase degradasi sebesar dengan waktu yang sama diperoleh
81,69% selama 100 menit. Secara fotolisis persentase degradasi sebesar 85,91%.
dengan waktu yang sama diperoleh Sedangkan secara ozonolisis persentase
persentase degradasi sebesar 89,74%. degradasi mencapai 80,68% selama 60 menit.
Sedangkan secara ozonolisis persentase
degradasi mencapai 86,72% selama 60 menit.

66
Jurnal Kimia Unand (ISSN No. 2303-3401), Volume 4 Nomor 2, Mei 2015

Hal ini juga sesuai dengan persentase


degradasi yang didapatkan, dimana setelah
sonolisis didapatkan persentase degradasi
sebesar 91,15%, setelah fotolisis sebesar
96,38% selama 100 menit, dan setelah
ozonolisis mencapai 96,78% selama 60 menit.
Penurunan absorban ini disebabkan karena
terjadi proses mineralisasi terhadap senyawa
Toluidine blue selama proses degradasi
Gambar 8. Kurva pengaruh waktu terhadap menjadi senyawa yang lebih sederhana dan
persentase degradasi Toluidine blue 12 terjadi penurunan konsentrasi Toluidine blue
mg/L secara sonolisis, fotolisis, dan setelah didegradasi.
ozonolisis dengan penambahan
katalis ZnO

Tujuan penambahan katalis ZnO ini untuk


membandingkan pengaruh ZnO/Zeolit
dengan ZnO dalam membantu proses
degradasi senyawa Toluidine blue. Dengan
penambahan ZnO didapatkan persentase
degradasi yang lebih kecil dibandingkan
dengan penambahan Zeolit dan ZnO/Zeolit,
tetapi masih lebih besar dari persentase
degradasi tanpa penambahan katalis. Hal ini
disebabkan karena pada penambahan ZnO Gambar 9. Spektrum serapan Toluidine blue 12
terjadi penumpukan selama proses degradasi mg/L (a) sebelum degradasi, (b)
tetapi terjadi proses mineralisasi. setelah sonolisis pada suhu 30°C, (c)
setelah fotolisis selama 100 menit, dan
(d) setelah ozonolisis selama 60 menit
Analisis larutan sisa degradasi Toluidine
dengan penambahan 4,0 mg
Blue secara Sonolisis, Fotolisis dan ZnO/Zeolit
Ozonolisis menggunakan Spektrofotometer
UV-Vis dan HPLC Analisis larutan sisa degradasi dengan
Analisis larutan sisa degradasi zat warna menggunakan HPLC juga dilakukan pada
Toluidine blue secara sonolisis, fotolisis, dan kondisi optimum pendegradasian. Gambar
ozonolisis dilakukan dengan menggunakan 10 memperlihatkan kromatogram hasil
Spektrofotometer UV-Vis dan HPLC. degradasi Toluidine blue sebelum dan setelah
Pengukuran spektrum serapan Toluidine blue degradasi yang dideteksi dengan
12 mg/L dilakukan pada kondisi optimum menggunakan HPLC.
pendegradasian. Pengukuran dilakukan
dengan menggunakan Spektrofotometer UV- Dari Gambar 10 dapat dilihat bahwa puncak
Vis pada panjang gelombang 300-700 nm. kromatogram senyawa Toluidine blue muncul
Gambar 9 memperlihatkan bahwa terjadi pada waktu retensi 2,045 menit pada gambar
penurunan puncak spektrum serapan setelah (a). Selanjutnya setelah didegradasi dengan
dilakukannya degradasi. Penurunan yang metode sonolisis pada suhu 30°C selama 100
sangat nyata terjadi pada spektrum serapan menit menggunakan katalis ZnO/Zeolit
setelah degradasi secara ozonolisis. Hal ini sebanyak 4,0 mg menunjukkan penurunan
disebabkan karena energi yang dihasilkan senyawa Toluidine blue dan membentuk
dari metode ini lebih besar. Pada metode puncak-puncak baru yang diasumsikan
sonolisis menggunakan getaran ultrasonik sebagai intermediet dari Toluidine blue yang
dari alat ultrasonik dengan frekuensi 50 kHz, terlihat pada gambar (b). Degradasi
secara fotolisis menggunakan cahaya dari menggunakan metode fotolisis selama 100
lampu UV dengan panjang gelombang 365 menit dengan penambahan 4,0 mg katalis
nm, sedangkan secara ozonolisis digunakan ZnO/Zeolit juga menunjukkan terjadinya
reaktor ozon untuk menghasilkan ozon (O3). penurunan puncak senyawa Toluidine blue

67
Jurnal Kimia Unand (ISSN No. 2303-3401), Volume 4 Nomor 2, Mei 2015

dan terbentuk puncak baru yang lebih Pada kromatogram setelah didegradasi
banyak dibandingkan dengan setelah di secara ozonolisis terlihat bahwa terjadi
degradasi secara sonolisis yang terlihat pada penurunan puncak senyawa Toluidine blue
gambar (c). Begitu juga dengan dan muncul puncak-puncak baru dengan
menggunakan metode ozonolisis selama 60 konsentrasi yang lebih tinggi dibandingkan
menit dengan menggunakan katalis dengan setelah didegradasi secara fotolisis
ZnO/Zeolit sebanyak 4,0 mg. yang terlihat pada gambar (d). Hal ini sesuai
dengan persentase degradasi yang
didapatkan, dimana setelah ozonolisis
(a) didapatkan persentase degradasi yang lebih
besar dibandingkan setelah fotolisis dan
sonolisis.

IV. Kesimpulan

Degradasi zat warna Toluidine blue 12 mg/L


secara sonolisis optimum pada suhu 30°C
dan persentase degradasi yang diperoleh
(b) sebesar 91,15% selama 100 menit sonolisis
dengan penambahan 4,0 mg ZnO/Zeolit.
Dengan perlakuan yang sama didapatkan
persentase degradasi sebesar 96,38% secara
fotolisis. Sementara dengan metode
ozonolisis persentase degradasi mencapai
96,78 % selama 60 menit ozonolisis. Hal ini
memperlihatkan bahwa metode ozonolisis
lebih cepat mendegradasi Toluidine blue jika
(c) dibandingkan dengan metode fotolisis dan
sonolisis. Hasil deteksi menggunakan HPLC
menunjukkan terjadinya penurunan puncak
senyawa Toluidine blue setelah didegradasi
dan membentuk puncak-puncak baru.

V. Ucapan terima kasih

Ucapan terima kasih penulis tujukan kepada


(d) DIKTI yang telah mendanai penelitian ini,
yaitu pada Program Kreativitas Mahasiswa
2013.

Referensi
1 Laksmi, W L. K., Setiawan, I. G.,
Maliawan, S., Menekan Angka
Gambar 10. Kromatogram HPLC Toluidine blue 12 Mortalitas Kanker Rongga Mulut
mg/L (a) sebelum degradasi, (b) Melalui Skrining, Bagian/SMF Ilmu Bedah
setelah sonolisis pada suhu 30°C, (c) Fakultas Kedokteran Universitas Udayana,
setelah fotolisis selama 100 menit, dan Denpasar.
(d) setelah ozonolisis selama 60 menit
2 Saili. T., Prasetyaningtyas, W. E.,
dengan penambahan 4,0 mg
ZnO/Zeolit. Kolom C18 (250 × 4,6 Setiadi, M. A., Agungpriyono, S.,
mm), asetonitril : air (40:60), laju alir Boediono, A., 2006, Status DNA
1,0 mL/menit dan volume injeksi 20 Spermatozoa Domba Setelah Proses
µL Pengeringbekuan, JITV, Vol. 11, No. 3,
215-221.

68
Jurnal Kimia Unand (ISSN No. 2303-3401), Volume 4 Nomor 2, Mei 2015

3 Arief. S., Safni, Roza, P. P., 2007, 13 Ameta, G., Vaishnav, P., Malkani, R. K.,
Degradasi Senyawa Rhodamin B Secara Ameta, S. C., 2009, Sonolytic,
Sonolisis Dengan Penambahan TiO2 Photocatalytic and Sonophotocatalytic
Hasil Sintesa Melalui Proses Sol-Gel, J. Degradation of Toluidine Blue, J. Ind.
Ris. Kim, Vol. 1, No. 1, 64-70. Council Che, Vol. 26, No. 2, 100-105.
4 Safni, Puteri, T. N. H., dan Suryani, H., 14 Zilfa, Yusuf, Y., Safni, Rahmi, W., 2013,
2008, Degradasi Zat Warna Rhodamin-B Pemanfaatan TiO2/Zeolit Alam Sebagai
Secara Sonolisis dan Fotolisis dengan Pendegradasi Pestisida (Permetrin)
Penambahan TiO2-Anatase, Jurnal Sains. secara Ozonolisis, Prosiding Semirata
Tek. Far, Vol. 13, No. 1, 38-42. FMIPA Universitas Lampung, 477-482.
5 Safni, Maizatisna, Zulfarman, dan Sakai, 15 Peller, J., Wiest, O., Kamat, P. V., 2001,
T., 2007, Degradasi Zat Warna Naphtol Sonolysis of 2,4-Dichlorophenoxyacetic
Blue Black Secara Sonolisis dan Fotolisis Acid in Aqueous Solution. Evidence for
dengan Penambahan TiO2-Anatase, J. ·OH- Radical-Mediated Degradation, J.
Ris. Kim, Vol. 1, No. 1, 43-49. Phys. Chem. A., 105: 3176-3181.
6 Safni, Sari, F., Maizatisna, Zulfarman,
2009, Degradasi Zat Warna Methanil
Yellow Secara Sonolisis dan Fotolisis
dengan Penambahan TiO2 Anatase,
Journal Sains Materi Indonesia, Vol. 11,
No. 1, 47-51.
7 Safni, Loekman, U., Febrianti, F.,
Maizatisna, Sakai, T., 2008, Degradasi
Zat Warna Sudan I Secara Sonolisis dan
Fotolisis dengan Penambahan TiO2-
Anatase, J.Ris Kimia, Vol. 2, No. 1, 163-
169.
8 Wijaya, K., Sugiharto, E., Tahir, I. F. I.,
Rudatiningsih, 2006, Fotodegradasi
Zar Warna Alizarin S Menggunakan
TiO2-Zeolit dan Sinar UV, Indo. J. Chem,
Vol. 6, No. 1, 32-37.
9 Safni, Zuki, Z., Haryati, C., Maizatisna,
Sakai, S., 2008, Degradasi Senyawa
Alizarin-S Secara Sonolisis dan Fotolisis
dengan Penambahan TiO2-Anatase, J.
Pilar Sains, 1, 31-36.
10 Safni, Amelia, F., Liansari, O., Suyani,
H., Yusuf, Y., 2009, Degradation of
Rhodamin-B and Alizarin-S dyes by
sonolysis and fotolysis methods with
ZnO-H2O2 as catalyst, J. Ris. Kim, Vol. 1,
No. 3, 76-82.
11 Safni, Wulandari, D. F., Zulfarman,
Maizatisna, Sakai, T., 2008, Degradasi
Indigo Carmine Secara Sonolisis dan
Fotolisis Dengan Penambahan TiO2-
Anatase, J. Sains MIPA, Vol. 14, No. 3,
143-149.
12 Zilfa, Suryani, H., Safni, Jamarun, N.,
2008, Penggunaan Zeolit Sebagai
Pendegradasi Senyawa Permetrin
dengan Metode Fotolisis, Jurnal Natur
Indonesia, Vol. 14, No. 1, 14-18.

69

Anda mungkin juga menyukai