Anda di halaman 1dari 18

PENATALAKSANAAN GANGGUAN PENDENGARAN PADA

MIKROTIA

Gilang Kristiawan Suharyono

Departemen/KSM Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok


Bedah Kepala dan Leher
Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga - RSUD Dr. Soetomo
Surabaya

PENDAHULUAN
Telinga luar terdiri dari aurikula, kanalis auditorius eksternus (KAE) dan
lapisan luar membran timpani. Aurikula adalah bagian telinga yang terletak paling
luar dan paling terlihat secara visual. Aurikula terbentuk dari hillocks yang
mengalami perkembangan mulai dari periode gestasi minggu ke-enam. Mikrotia
adalah kondisi dimana terjadi malformasi dari aurikula. 1 Insidensi mikrotia
kongenital diperkirakan terjadi pada 1 dari tiap 10.000 kelahiran hidup. 2 Sebuah
studi systematic review melaporkan prevalensi mikrotia sebesar 1.55 setiap 10.000
kelahiran, sedangkan anotia sebesar 0.36 setiap 10.000 kelahiran. Prevalensi
mikrotia-anotia tertinggi secara geografis pada amerika selatan dan amerika
tengah, sedangkan benua asia menduduki peringkat kedua.3 Mikrotia lebih sering
timbul pada jenis kelamin laki – laki, mengenai satu sisi telinga, dan terbanyak
terjadi pada telinga kanan.4 Faktor risiko terjadinya mikrotia yang telah
diidentifikasi antara lain kehamilan ganda, diabetes gestasional, dan gejala flu
pada ibu selama kehamilan. Konsumsi asam folat merupakan faktor protektif
terjadinya mikrotia.5
Mikrotia umumnya disadari oleh orang tua sejak lahir. Diagnosis mikrotia
dilakukan dengan pemeriksaan fisik yang teliti termasuk pada telinga
kontralateral, dengan memperhatikan KAE.4 Gangguan pendengaran adalah
keluhan utama yang berkaitan dengan mikrotia selain bentuk dan ukuran telinga
yang abnormal.1 Gangguan pendengaran sejak lahir akan menyebabkan gangguan

1
2

perkembangan bicara, bahasa dan kognitif. Keterlambatan deteksi gangguan


pendengaran akan memperbesar hambatan yang dihadapi oleh pasien di kemudian
hari.6
Sebagian besar kasus mikrotia disertai dengan gangguan dengar tipe
konduksi yang timbul karena adanya stenosis atau atresia KAE. 7 Koklea
ipsilateral normal pada sebagian besar kasus karena secara embriologis
perkembangan telinga luar dan dalam tidak berkaitan. Mikrotia seringkali tidak
berdiri sendiri melainkan merupakan bagian dari sindroma yang lebih kompleks
seperti sindrom Treacher-Collins dan sindrom Goldenhaar.7 Pasien dengan
mikrotia juga dapat menderita kelainan kraniofasial sehingga tatalaksana
gangguan pendengaran pada mikrotia memerlukan pendekatan multidisiplin.8
Teknologi penatalaksanaan gangguan pendengaran telah berkembang
dengan pesat. Intervensi gangguan pendengaran sejak dini dapat mengurangi
dampak terhadap kemampuan berbahasa dan bersosialisasi di kemudian hari.6
Tujuan dari tinjauan pustaka ini adalah untuk membahas mengenai
penatalaksanaan gangguan pendengaran pada mikrotia.

1. Embriologi aurikula dan patofisiologi mikrotia


Proses pembentukan aurikula pada janin manusia dimulai dengan
kondensasi arkus mandibula dan arkus hioid pada distal first branchial arcs.
Kedua arkus ini memiliki enam tonjolan pada permukaannya yang dinamakan
Hillocks of His. Keenam Hillocks of His terletak pada lateral embrio dan akan
berkembang menjadi aurikula. Keenam hillocks ini akan bergabung membentuk
struktur - struktur dari aurikula. Hillocks 1 akan berkembang menjadi tragus,
hillocks 2 dan 3 menjadi bagian dari helix, hillocks 4 dan 5 menjadi antihelix dan
konka, sedangkan hillocks 6 menjadi antitragus. Proses ini berlangsung sejak
masa gestasi minggu keempat sampai dengan minggu kesebelas. 9 Aurikula yang
pada awalnya terbentuk di daerah servikal akan berpindah ke lokasi akhir pada
minggu ke-32.
Gangguan proses perkembangan telinga pada janin pada setiap tahapan
dapat menyebabkan terjadinya malformasi telinga. Gangguan vaskularisasi dan
aliran darah yang menyebabkan iskemia dan nekrosis jaringan diperkirakan
3

menjadi penyebab mikrotia.10 Hipotesis lain menyebutkan gangguan dari regulasi


proliferasi neural crest cell (NCC) yang bertanggung jawab sebagai faktor
kausatif terjadinya mikrotia. Gangguan pada NCC ini dapat disebabkan oleh
diabetes maternal atau paparan asam retionat selama kehamilan.10

Gambar 1. Perkembangan aurikula janin hingga dewasa.9

Sebuah penelitian pada embrio tikus yang pada hari ke 24 sampai 26 pasca
fertilisasi dipapar dengan asam retinoat menampilkan gejala gangguan
pembentukan jaringan di sekitar telinga. Paparan pada hari ke 20 sampai 22 pasca
fertilisasi akan menjadikan malformasi dari second branchial arch yang akan
menyebabkan terjadinya mikrotia. Mekanisme yang sama dapat terjadi pada
manusia. Hal ini dikaitkan dengan kematian sel pada first dan second branchial
arch.11 Gangguan pada tahap awal perkembangan menyebabkan terjadinya derajat
kelainan yang lebih parah.12

2. Klasifikasi Mikrotia
Mikrotia memiliki gambaran klinis yang beragam, yang berkisar dari
ukuran telinga yang lebih kecil dari normal sampai dengan absennya daun telinga
sama sekali yang disebut juga dengan anotia. Marx pada tahun 1926 merumuskan
klasifikasi yang membagi mikrotia menjadi tiga grade (Gambar 2). Mikrotia grade
1 pada klasifikasi Marx adalah telinga dengan bentuk yang menyerupai normal
namun dengan ukuran lebih kecil. Mikrotia grade 2 klasifikasi Marx adalah
telinga dengan kelainan bentuk anatomis namun beberapa bagian masih dapat
diidentifikasi, sedangkan pada grade 3 telinga berbentuk menyerupai kacang yaitu
4

hanya terdapat jaringan rudimenter. Klasifikasi Marx tidak memasukkan anotia ke


dalam spektrumnya. Rogers menyempurnakan klasifikasi Marx dengan
menambahkan grade IV yaitu anotia (Gambar 2). Klasifikasi Marx-Rogers ini
diterima dengan baik oleh para ahli dan digunakan secara luas.3
Klasifikasi lain yang umum digunakan adalah klasifikasi Nagata.
Klasifikasi ini memberi nama secara lebih deskriptif.4 Nagata membagi mikrotia
menjadi lima tipe, yaitu tipe atipikal, tipe concha, tipe small concha, tipe lobulus,
dan anotia (Gambar 2). Tipe concha adalah sisa jaringan telinga dengan adanya
lobulus dan konka, KAE dan tragus. Tipe small concha adalah sisa jaringan
telinga dengan konka yang kecil (hanya menyerupai cekungan kecil). Tipe lobulus
adalah telinga berupa sisa jaringan kecil pada lobulus dan helix, tanpa konka,
tragus, maupun KAE. Anotia termasuk dalam klasifikasi Nagata. Tipe atipikal
adalah tipe telinga yang tidak dapat dimasukkan dalam tipe – tipe di atas.12

Gambar 2. Spektrum presentasi klinis mikrotia. (a) Marx grade 1, atau Nagata tipe
atipikal. (b) Marx grade 2, atau Nagata tipe concha. (c) Marx grade 2, atau Nagata tipe
small concha. (d) Marx grade 3 atau Nagata tipe lobulus (e) Marx grade 3, Rogers grade
4, atau Nagata tipe anotia.7

3. Gangguan Pendengaran pada Mikrotia


Gangguan pendengaran merupakan salah satu keluhan yang berkaitan
dengan mikrotia. Gangguan pendengaran tipe konduksi sering ditemukan pada
pasien dengan mikrotia.13 Sebanyak 90% pasien dengan mikrotia ditemukan
memiliki gangguan dengar tipe konduksi, dan 80% dari pasien mikrotia dengan
atresia KAE memiliki gangguan pendengaran tipe konduksi dengan penurunan
ambang dengar sebanyak 40 – 65 dB.5 Derajat gangguan dengar konduksi pada
mikrotia biasanya berat dengan air bone gap berkisar pada angka 50-60 dB.2
5

Penelitian di India pada 30 pasien dengan mikrotia mendapati rata – rata air bone
gap sebesar 50.9 dB ± 10.5 dB.14
Atresia KAE didapatkan pada 80 – 90% kasus mikrotia. 10 Atresia KAE
mengganggu proses penghantaran suara ke telinga dalam sehingga timbul
gangguan dengar tipe konduksi. Sebanyak 80 – 90% dari kelompok pasien dengan
mikrotia dan atresia KAE menderita gangguan dengar tipe konduksi, sedangkan
sisanya sebanyak 10 – 15 % mengalami gangguan dengar tipe campuran. 10 Secara
embriologis jaringan pembentuk telinga dalam berasal dari struktur yang berbeda
dengan struktur pembentuk telinga luar dan tengah sehingga sebagian besar pasien
dengan mikrotia memliki anatomi telinga dalam yang normal. 12 Sebuah studi pada
172 pasien mikrotia di Hongkong menunjukkan air bone gap meningkat
sebanding dengan meningkatnya grading mikrotia (Tabel 1).

Tabel 1. Perbandingan rerata ambang dengar konduksi udara dan konduksi tulang beserta
air bone gap pada mikrotia Marx grade I – III.13
Klasifikasi Marx Ambang AC (dB) Ambang BC (dB) Air-bone gap (dB)
Grade I 27.5 5.8 21.7
Grade II 60.9 12.8 48.1
Grade III 76.8 11.9 64.9

Sebagian pasien dengan mikrotia mengalami gangguan dengar tipe


campuran. Komponen sensorineural dari gangguan dengar pada pasien mikrotia
disebabkan karena adanya malformasi telinga dalam atau saraf pendengaran yang
menyertai seperti yang muncul pada beberapa sindrom.1 Mikrotia disertai
malformasi telinga dalam didapatkan antara lain pada sindrom Crouzon, Brachio-
Oto-Renal, dan Treacher-Collins.15 Sindrom Treacher-Collins terdiri dari
abnormalitas arkus zygoma, hipoplasia rima orbita, mikrognathia, dan mikrotia.
Sebanyak 40 sampai 50% pasien dengan sindrom ini memiliki gangguan dengar
tipe konduksi. Penyebab dari gangguan dengar tipe konduksi pada sindrom
Treacher-Collins adalah hipoplasia telinga tengah atau malformasi tulang – tulang
pendengaran.15 Mikrotia pada sindroma Brachio-Oto-Renal dikaitkan dengan
malformasi pada telinga tengah atau telinga dalam, yang menyebabkan gangguan
pendengaran tipe campuran. Derajat gangguan pendengaran pada sindrom
Brachio-Oto-Renal bervariasi dari ringan sampai dengan sangat berat.15
6

4. Pemeriksaan Pendengaran
Rekomendasi yang dikeluarkan oleh The Joint Committee on Infant
Hearing (JCIH) menyatakan bahwa deteksi gangguan pendengaran harus
dilakukan sebelum usia 3 bulan dan dilakukan intervensi sebelum usia 6 bulan. 16
Tujuan utama dari pemeriksaan dan intervensi dini adalah mengurangi terjadinya
hambatan perkembangan kemampuan berbahasa.6 Bayi baru lahir dengan
mikrotia berisiko mengalami gangguan pendengaran dan gangguan kemampuan
berbahasa di kemudian hari sehingga harus melalui skrining pendengaran yang
teliti.16

Gambar 3. Alur skrining pendengaran pada bayi baru lahir di Indonesia. 17

Baku emas yang direkomendasikan oleh JCIH sebagai pemeriksaan


skrining pendengaran pada bayi adalah emisi otoakustik/otoacoustic emissions
(OAE) dan Automated Auditory Brainstem Responses (AABR).16 OAE bersama
AABR merupakan pemeriksaan yang ideal sebagai metode skrining pendengaran
pada bayi dan anak.6 Indonesia menerapkan rekomendasi JCIH pada program
7

skrining pendengaran pada bayi baru lahir nasional yang dilakukan menggunakan
OAE dan AABR (Gambar 3).
Anak dengan mikrotia yang sudah kooperatif dapat menjalani pemeriksaan
Behavioral Observational Audiometry (BOA) atau audiometri nada murni
konvensional. Audiometri nada murni dapat membantu pemeriksa mengetahui
tipe gangguan pendengaran dan ambang dengar pasien. Hasil pemeriksaan
pendengaran digunakan untuk menentukan strategi penanganan gangguan
pendengaran pada pasien.

4.1 Emisi Otoakustik


Pemeriksaan emisi otoakustik (OAE) bertujuan untuk memeriksa fungsi
koklea, terutama fungsi sel rambut luar. Suara yang berasal dari dunia luar
diproses oleh koklea menjadi stimulus listrik, yang selanjutnya dikirim ke batang
otak melalui saraf pendengaran. Sebagian energi bunyi tidak dikirim ke saraf
pendengaran melainkan kembali menuju liang telinga. Energi ini dihasilkan oleh
getaran sel rambut luar yang berupa energi bunyi dengan intensitas rendah 6. Alat
OAE dapat menangkap energi bunyi ini melalui probe mikrofon yang dimasukkan
pada KAE. OAE memberikan informasi akan ada tidaknya fungsi sel rambut luar
koklea.16 Hasil pemeriksaan dinyatakan menggunakan kriteria pass/ lulus dan
refer/ tidak lulus.6 Sensitivitas OAE bervariasi antara 80% hingga 98%
tergantung pada tipe teknologi alat maupun derajat gangguan pendengaran.17
Mikrotia seringkali disertai dengan stenosis KAE. Adanya stenosis KAE
dapat membuat hasil pemeriksaan OAE menjadi negatif/refer.16 Hal ini dapat
disebabkan karena sempitnya KAE sehingga penempatan probe menjadi kurang
optimal. Pemeriksaan OAE dilakukan pada telinga yang sehat. Pemeriksaan OAE
dengan hasil pass namun dengan faktor risiko positif seperti halnya pada mikrotia
harus dilanjutkan dengan pemeriksaan AABR pada usia 1 – 3 bulan (Gambar 3).
Hasil OAE refer harus diulang sesuai dengan alur skrining pendengaran pada bayi
baru lahir.17

4.2 Automated Auditory Brainstem Response


8

Deteksi dini menggunakan AABR dilakukan pada bayi baru lahir dengan
pemeriksaan awal OAE refer (gambar 3). AABR mengukur frekuensi >1000 Hz
dengan rangsangan berupa clicks pada masing- masing telinga, dengan intensitas
hanya sampai 40 dB. Pemeriksaan ini mudah dikerjakan dan memiliki tingkat
ketepatan yang baik.6 AABR merupakan uji terhadap integritas struktur jalur
pendengaran tetapi bukan pemeriksaan pendengaran yang sebenarnya. AABR
menginterpretasi respon pada intensitas tertentu sebagai kriteria pass dan refer
sehingga tidak memerlukan interpretasi tambahan dari pemeriksa. 17 Bila hasil
pemeriksaan AABR refer, dilanjutkan dengan pemeriksaan Brainstem Evoked
Response Audiometry (BERA) (gambar 3)

4.3 Brainstem Evoked Response Audiometry


Brainstem Evoked Response Audiometry (BERA) merupakan cara
pengukuran aktivitas listrik yang dihasilkan oleh n.Vlll, pusat-pusat neural dan
traktus didalam batang otak sebagai respons terhadap stimulus bunyi. 6 BERA
digunakan untuk mendeteksi adakah gangguan dengar sensorineural pada bayi
baru lahir.17 Stimulus bunyi diberikan melalui headphone, insert probe, atau bone
vibrator.6 Pemeriksaan ini dilakukan pada tiap sisi telinga. Stimulus bunyi pada
sisi telinga yang mengalami mikrotia dapat diberikan menggunakan bone
vibrator.14 Respon terhadap stimulus bunyi direkam melalui elektroda yang
ditempelkan pada kulit kepala (dahi dan prosesus mastoid), kemudian melalui
program komputer dan ditampilkan sebagai lima gelombang defleksi positif
(gelombang I sampai V) yang terjadi sekitar 2-12 ms setelah stimulus diberikan.
Analisis gelombang BERA berdasarkan morfologi gelombang, masa laten dan
amplitudo gelombang.6 Hasil pemeriksaan BERA menggambarkan fungsi koklea
dan saraf auditorik sampai pada batang otak.16 Hal ini dapat membantu klinisi
menentukan intervensi yang paling tepat untuk penderita mikrotia.

4.4 Behavioral Observational Audiometry


Behavioral Observational Audiometry (BOA) merupakan standar baku
emas untuk estimasi ambang pendengaran pada balita dan anak.16 Pemeriksaan ini
menilai kemampuan persepsi suara anak. Anak diamati perilakunya saat diberi
9

stimulus berupa suara yang diberikan pada berbagai intensitas dan frekuensi.
Perilaku seperti menoleh mencari sumber bunyi dan berhenti bermain saat diberi
stimulus bunyi menunjukkan pasien dapat mendengar bunyi yang diberikan.
Pemeriksaan audiometri pada anak menggunakan dengan teknik Visual
Reinforcement Audiometry (VRA) dilakukan pada usia 4 – 7 bulan saat kontrol
neuromotor berupa kemampuan mencari sumber bunyi sudah berkembang.
Respon pada VRA merupakan respon terkondisi. Ambang dengar pada VRA
dinyatakan sebagai Minimum Response Level yang merefleksikan intensitas suara
terendah yang direspon oleh pasien.16
Pasien dengan usia lebih tua dari 24 bulan dapat dapat menjalani Play
Audiometry. Pemeriksaan ini meliputi teknik melatih anak mendengar stimulus
bunyi disertai pengamatan respons motorik spesifik dalam suatu aktivitas
bermain. Contohnya dengan melatih anak memasukkan benda tertentu ke dalam
kotak ketika ia mendengar bunyi. Ambang dengar spesifik dapat diketahui dengan
mengatur frekuensi dan menentukan intensitas stimulus bunyi terkecil.16

4.5 Audiometri Nada Murni


Pasien mikrotia yang sudah kooperatif diperiksa jenis dan derajat
gangguan dengarnya menggunakan audiometer. Pemeriksaan dilakukan dengan
memberi stimulus bunyi menggunakan headphone dan bone vibrator. Hasil
audiometri biasanya menunjukkan adanya air bone gap dengan derajat gangguan
dengar sedang sampai dengan berat (gambar 4).

Gambar 4. Hasil audiometri nada murni pada pasien mikrotia bilateral. 14


10

Audiometri penting dilakukan sebelum dan sesudah pasien mikrotia


menjalani operasi untuk memperbaiki kosmetik daun telinga.18 Audiometri pasca
operasi rekonstruksi mikrotia dan atresiaplasti dilakukan pada minggu ke-4 pasca
operasi untuk mengetahui derajat perbaikan pendengaran. Atresiaplasti dianggap
berhasil bila perbedaan ambang dengar antara telinga yang dioperasi dengan
telinga kontra lateral yang normal berkisar 15 – 25 dB, sedangkan perbedaan
ambang dengar sebesar 35 dB atau lebih dianggap sebagai tanda bahwa operasi
gagal.12 Audiometri rutin tahunan dilakukan untuk mengetahui adanya komplikasi
operasi berupa restenosis kanal.

5. Intervensi Gangguan Pendengaran pada Mikrotia


Tatalaksana gangguan pendengaran pada pasien dengan mikrotia
memerlukan upaya yang komprehensif dari berbagai pihak. Upaya itu meliputi
skrining gangguan pendengaran sejak dini, evaluasi derajat gangguan
pendengaran secara reguler, investigasi kelainan terkait pada telinga tengah dan
telinga dalam, pemeriksaan radiologis yang relevan, serta penanganan gangguan
dengar melalui pemberian alat bantu dengar maupun pembedahan.12,13 Dokter
spesialis THTKL bersama dengan dokter spesialis anak memiliki peranan penting
dalam penatalaksanaan gangguan pendengaran pada mikrotia.16
Penanganan gangguan dengar pada mikrotia dapat dibagi menjadi non
pembedahan dan dengan pembedahan. Terdapat beberapa faktor yang menjadi
pertimbangan dalam memilih model penanganan gangguan pendengaran. Faktor
tersebut antara lain kasus unilateral atau bilateral, usia pasien, anatomi, kondisi
umum pasien, dan ekspektasi pasien dan keluarga.8,12 Alat bantu dengar (ABD)
yang digunakan pada kasus mikrotia berjenis Bone Anchored Hearing Aid
(BAHA) yang dipasang tanpa operasi (tipe headband, tipe kacamata) atau dengan
operasi (BAHA operatif).
Penanganan kasus mikrotia bilateral berbeda dengan kasus unilateral.
Mikrotia bilateral memerlukan penanganan gangguan pendengaran dengan segera
agar mengurangi pengaruh terhadap perkembangan bahasa dan kemampuan
bicara.8 Pasien yang terdiagnosis mikrotia dan gangguan pendengaran sudah dapat
dilakukan intervensi sejak usia dini (gambar 5). Modalitas pertama yang
11

disarankan adalah penggunaan alat bantu dengar tipe headband yang dipakai
sampai tulang tengkorak anak cukup matur untuk dilakukan implantasi BAHA
atau operasi rekonstruksi telinga.8,12

Gambar 5. Bagan diagnosis dan intervensi gangguan pendengaran pada mikrotia. Bagan
kotak berwarna kuning menunjukkan tatalaksana non pembedahan, sedangkan warna
hijau tatalaksana pembedahan. 18

5.1 BAHA non operatif


Alat ini terdiri dari mikrofon, amplifier, dan transduser tulang yang
menstimulasi tulang tengkorak untuk menyalurkan getaran suara ke telinga
dalam.18 ABD jenis ini ditempelkan menggunakan headband yang dapat dipasang
unilateral maupun bilateral.19 Indikasi penggunaan ABD jenis ini adalah pada
pasien yang menunggu jadwal operasi rekonstruksi dan pada pasien yang tidak
direncanakan tatalaksana jalur operasi.8 Penggunaan ABD headband pada pasien
mikrotia bilateral pasca operasi rekonstruksi tahap 2 menunjukkan keuntungan
12

(Gambar 6). Keuntungan dari pemasangan ABD jenis headband adalah mudah
dan lebih ekonomis dibandingkan dengan metode lain, namun dengan kerugian
berupa risiko iritasi akibat tekanan alat pada kulit dan jaringan lunak kepala.8,18
ABD jenis ini dapat dipasang mulai dari usia 6 bulan.12

Gambar 6. Penggunaan ABD headband pada pasien mikrotia pasca operasi


rekonstruksi.19

Alternatif penempelan ABD BAHA selain menggunakan headband adalah


dengan mengkombinasikan dengan kacamata. Alat ini secara prinsip serupa
dengan ABD headband, yaitu dengan menyalurkan getaran suara menuju telinga
dalam melalui tengkorak. Perbedaan terletak pada mekanisme retensi alat yang
menggunakan media gagang kacamata. Kompresi yang baik pada tulang
tengkorak dimungkinkan dengan adanya tekanan oleh gagang kacamata (Gambar
7). Keuntungan penggunaan ABD jenis ini adalah faktor kenyamanan pada pasien
dan tidak mengganggu penampilan, sedangkan kerugiannya adalah kesulitan
penggunaan pada pasien dengan ukuran aurikula yang terlampau kecil.8

Gambar 7. ABD kacamata dan penggunaan oleh pasien mikrotia. 4


13

5.2 BAHA operatif


BAHA operatif merupakan alat bantu pendengaran yang dipasang pada
tulang tengkorak. Alat ini terdiri dari prosesor, mikrofon, amplifier, dan
transduser tulang yang menstimulasi tulang tengkorak sehingga menghantarkan
suara ke telinga dalam.20 Pemasangan alat ini memerlukan tindakan operasi.18
Indikasi pemasangan BAHA operatif adalah pada pasien dengan gangguan dengar
tipe konduksi atau campuran dengan fungsi koklea yang masih baik. 14
Pemasangan BAHA diindikasikan setelah usia lebih dari 5 tahun karena
menunggu maturasi tengkorak pasien.12 Pasien usia kurang dari 5 tahun yang
membutuhkan alat bantu
membutuhkan alat bantu dengar dipasang ABD headband (Gambar 6).

A B C

D E

Gambar 8. A. Pemasangan implan tengkorak B. Abutment perkutan pasca operasi C.


Prosesor BAHA D. Pemasangan magnet pada BAHA Attract system E. Pemasangan
prosesor pada BAHA Attract system. 8

Operasi dapat dikerjakan dalam satu maupun dua tahapan. Implan


dipasang pada tulang tengkorak dan dilanjutkan dengan pemasangan abutment
perkutan. Pemasangan prosesor dilakukan dua sampai tiga bulan setelah operasi
untuk memberikan waktu agar implan dapat terintegrasi dengan tulang tengkorak.
Integrasi yang baik dengan tengkorak diperlukan untuk penghantaran suara secara
14

optimal ke koklea.8 Implan terbuat dari titanium. Implan langung disambungkan


dengan abutment perkutan pada operasi satu tahapan. Pemasangan abutment
perkutan pada operasi dua tahapan dilakukan tiga bulan setelah operasi pertama.
Operasi dua tahapan dilakukan pada pasien pediatri dimana terdapat kekhawatiran
terjadinya trauma pada abutment perkutan sebelum terjadinya osteointegrasi bila
operasi dikerjakan dalam satu tahapan.20
Perkembangan terbaru dari ABD BAHA adalah attract system, dimana
pemasangan alat prosesor dilakukan tanpa menggunakan abutment melainkan
menggunakan magnet (gambar 8). Keuntungan BAHA attract system
dibandingkan dengan BAHA konvensional adalah prosedur operasi yang lebih
mudah, prosesor dapat dilakukan switch on lebih cepat yaitu 3 – 4 minggu setelah
luka operasi kering, dan memungkinkan operasi dilakukan bersamaan dengan
rekonstruksi aurikula tahap dua.8
Pemasangan BAHA mengurangi air bone gap. Sebuah studi di India pada
22 pasien mikrotia yang menjalani pemasangan BAHA mendapatkan rata – rata
perbaikan air bone gap sebesar 23,4 dB.14 Perbaikan diukur dengan mengurangi
rata – rata air bone gap sebelum pemasangan BAHA dengan rata – rata air bone
gap tiga bulan setelah pemasangan BAHA.

5.3 Atresiaplasti
Penderita mikrotia seringkali juga mengalami atresia KAE.12 Atresiaplasti
dapat membantu memperbaiki fungsi pendengaran pasien.20 Tindakan ini pertama
kali dideskripsikan pada tahun 1843 oleh Thomson dan terus mengalami
perkembangan sampai sekarang.
Atresiaplasti secara prinsip bertujuan untuk memperbaiki kosmetik dan
fungsi pendengaran.12 Upaya rekonstruksi secara kosmetik hendaknya tetap
memperhatikan faktor fungsi pendengaran, begitu pula sebaiknya. Hal ini
membutuhkan kerjasama yang baik antara operator dan ahli audiologi yang
menangani pasien.
Pemilihan kandidat operasi penting dilakukan dengan cermat. Jahrsdoerfer
seperti yang dikutip oleh Ali et. al. memberikan skor Jahrsdoerfer sebagai alat
prediksi prognosis perbaikan gangguan pendengaran pasca operasi. Semakin
15

tinggi skor Jahrsdoerfer maka semakin tinggi pula kemungkinan perbaikan


pendengaran pasca atresiaplasti (Tabel 2).
Tujuan utama dari operasi rekonstruksi mikrotia adalah untuk
merehabilitasi fungsi akustik telinga mendekati normal dan memperbaiki
kosmetik.12 Indikasi dari operasi didasarkan pada tingkat deformitas dan anomali
terkait menggunakan kriteria Jahrsdoerfer. Pasien dengan mikrotia grade 3 – 4,
skor Jahrsdoerfer skor 5, fungsi koklea abnormal, dan kavum timpani abnormal
bukan merupakan kandidat kuat operasi. Adanya kelainan yang signifikan pada
telinga dalam juga merupakan kontraindikasi operasi dimana pasien dimanajemen
secara non-operatif dengan ABD headband. Setelah usia 5 tahun saat ketebalan
tulang tengkorak cukup maka pasien dilakukan pemasangan BAHA.

Tabel 2. Sistem grading Jahrsdoerfer untuk menentukan kandidat pasien atresiaplasti 12


Parameter Points
Stapes Bone Present 2
Oval window open 1
Middle ear space 1
Facial nerve 1
Malleus/incus complex 1
Mastoid pneumatization 1
Incus-stapes connection 1
Round window 1
External ear appearance 1
Total possible score 10

Atresiaplasti merupakan operasi yang rumit dan membutuhkan


kemampuan operator yang tinggi. Operasi dapat dikerjakan bersamaan atau
setelah dilakukan operasi aurikuloplasti. Pertama insisi dibuat pada belakang
aurikula dan dilakukan diseksi sampai mencapai periosteum mastoid. Bila operasi
dilakukan setelah aurikuloplasti, operator harus berhati – hati agar tidak melukai
kartilago yang telah diimplantasi sebelumnya. Tahap selanjutnya adalah
melakukan pengeboran pada tulang temporal dengan memperhatikan lokasi
nervus fasialis. Tulang – tulang pendengaran diidentifikasi dan dilakukan
perbaikan sebisa mungkin. Setelah itu dilakukan rekonstruksi membran timpani
menggunakan fasia muskulus temporalis. Dilakukan tandur kulit untuk
membentuk kanal, yang dapat diambil dari kulit kepala atau kulit lengan,
16

kemudian dilakukan penjahitan dengan konka aurikula yang sudah


direkonstruksi.12 Risiko stenosis pasca operasi adalah risiko yang harus dihadapi
oleh ahli bedah dalam merencanakan operasi atresiaplasti.12

RINGKASAN
Telinga luar terdiri dari aurikula, KAE, dan lapisan luar membran timpani.
Aurikula adalah bagian telinga yang terletak paling luar dan paling terlihat secara
visual. Mikrotia adalah kondisi dimana terjadi malformasi dari aurikula.
Mikrotia sering disertai dengan adanya gangguan pendengaran tipe
konduksi atau campuran. Penanganan gangguan dengar pada mikrotia dapat
dibagi menjadi non pembedahan dan dengan pembedahan. Terdapat beberapa
faktor yang harus diperhatikan dalam memilih model penanganan gangguan
pendengaran. Pemeriksaan OAE dan Automated Auditory Brainstem Response
(AABR) direkomendasikan sebagai skrining awal pada bayi baru lahir.
Pemeriksaan BERA merupakan standar baku emas untuk memperkirakan ambang
pendengaran pada pasien yang tidak dapat mengikuti BOA.
Modalitas pertama yang disarankan adalah penggunaan alat bantu dengar
tipe headband yang dipakai sampai tulang tengkorak anak cukup matur untuk
dilakukan implantasi BAHA atau operasi rekonstruksi telinga. Anak dengan daun
telinga yang cukup besar dapat menggunakan ABD model kacamata. Indikasi
pemasangan BAHA adalah pada pasien dengan gangguan dengar tipe konduksi
atau campuran dengan fungsi koklea yang masih baik. Operasi atresiaplasti adalah
operasi untuk membuat KAE yang bertujuan kosmetik dan fungsional. Kandidat
operasi ditentukan menggunakan sistem skor Jahrsdoerfer.
17

DAFTAR PUSTAKA

1. El-Saiid E, Mahmoud S, Moussa H, Meguid N, Ragaa E. Microtia: a


combined approach by genetics and audiology. Egypt J Otolaryngol 2016;
32 :178.
2. Fan X, Wang Y, Wang P, Fan Y, Chen Y, Zhu Y, et al. Aesthetic and
hearing rehabilitation in patients with bilateral microtia-atresia. Int J Pediatr
Otorhinolaryngol 2017;101 :150–7.
3. Luquetti D V, Leoncini E, Mastroiacovo P. Microtia-anotia: a global
review of prevalence rates. Birth Defects Res Part A Clin Mol Teratol
2011;91 :813-22.
4. Bly RA, Bhrany AD, Murakami CS, Sie KCY. Microtia reconstruction.
Facial Plast Surg Clin North Am 2016;24 :577–91.
5. Tripathee S, Zhang J, Xiong M. Risk factors of microtia: A systematic
review and meta-analysis. Eur J Plast Surg 2016;39(5) :335–44.
6. Ghanie A. Pentingnya deteksi dini pendengaran dan intervensinya. Dalam :
Aditiawati, Erwin H, Athiah M, eds. Naskah lengkap pendidikan
kedokteran berkelanjutan VI ilmu kesehatan anak clinical approaches and
intervention of growth and developmental disorder in daily practice.
Palembang: Departemen Ilmu Kesehatan Anak FK UNSRI-RSMH; 2013.
hal. 124–50.
7. Gould DJ, Pray CL, Tahiri Y, Reinisch JF. Classification and prevalence of
microtia. In: Reinisch JF, Tahiri Y, eds. Modern microtia reconstruction:
art, science, and new clinical techniques. Los Angeles: Springer Nature
Switzerland AG; 2019. p.13–22.
8. Tsang WSS, Tong MCF, Ku PKM, Bhatia KSS, Yu JKY, Wong TKC, et
al. Contemporary solutions for patients with microtia and congenital aural
atresia Hong Kong experience. J Otol 2016;11(4):157–64.
9. Ozeki H. Development of the auricle and external auditory canal. Adv
Otorhinolaryngol 2014;75 :30–5.
10. Derderian CA. Microtia. In: Reinisch JF, Tahiri Y, eds. Modern microtia
reconstruction: art, science, and new clinical techniques. Los Angeles :
Springer Nature Switzerland AG; 2019. p. 23–62.
11. Klockars T, Rautio J. Embryology and epidemiology of microtia. Facial
Plast Surg 2009;25 :145-8.
12. Ali K, Mohan K, Liu YC. Otologic and audiology concerns of microtia
repair. Semin Plast Surg 2017;31 :127–33.
13. Takano K. Hearing loss in congenital microtia. Intechopen 2013;3 :47-54.
14. Marfatia H, Priya R. Congenital external ear deformity and their hearing
rehabilitation with bone anchored hearing aid : a retrospective analysis. Int
J Curr Res Rev 2017;9(8) :30–5.
15. Lunardi S, Forli F, Michelucci A, Liumbruno A, Baldinotti F, Fogli A, et
al. Genetic hearing loss associated with craniofacial abnormalities. Hear
Loss 2012;51 :275-92.
16. Finitzo T, Sininger Y, Brookhouser P, Epstein S, Erenberg A, Roizen N, et
al. Year 2019 position statement: principles and guidelines for early
hearing detection and intervention programs. J Early Hear Detect Interv
2019;106 :2–44.
18

17. Suwento R, Zizlavsky S, Airlangga T, Suardana W, Anggraeni R, Purnami


N, et al. Skrining pendengaran pada bayi baru lahir. Jakarta: Kementerian
Kesehatan RI; 2010. hal. 1–25.
18. Craig M, Bly RA, Sie KCY. Management of conductive hearing loss
associated with aural atresia and microtia. In: Reinisch JF, Tahiri Y, eds.
Modern microtia reconstruction: art, science, and new clinical techniques.
Los Angeles : Springer Nature Switzerland AG; 2019 p. 143–64
19. Widodo DW, Priyono H, Suryati I. Penanganan mikrotia bilateral: laporan
kasus berbasis bukti. ORLI 2014;44(1): 63-8.
20. Miller C, Bly RA, Sie KCY. Management of conductive hearing loss
associated with aural atresia and microtia. In: Reinisch JF, Tahiri Y, eds.
Modern microtia reconstruction: art, science, and new clinical techniques.
Los Angeles: Springer Nature Switzerland AG; 2019. p. 143–66.

Anda mungkin juga menyukai