Anda di halaman 1dari 43

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
2.1 ANATOMI TELINGA

Gambar 1.
Anatomi Telinga

Telinga dibagi atas telinga luar, telinga tengah dan telinga dalam. Telinga luar terdiri dari
daun telinga dan liang telinga sampai membran timpani. Daun telinga terdiri dari tulang
rawan elastin dan kulit. Liang telinga berbentuk huruf S, dengan rangka tulang rawan pada
sepertiga bagian luar, sedangkan dua pertiga bagian dalam rangkanya terdiri dari tulang. Pada
sepertiga bagian luar kulit liang telinga terdapat banyak kelenjar serumen (kelenjar keringat)
dan rambut. (Soepardi, 2007).
Telinga tengah berbentuk kubus dengan terdiri dari membran timpani (batas luar), tuba
eustachius (batas depan), vena/bulbus jugularis (batas bawah), aditus ad antrum dan kanalis
fasialis pars vertikalis (batas belakang), tegmen timpani/meningen (batas atas), dan kanalis
semi sirkularis horizontal, kanalis fasialis, tingkap lonjong/oval window, tingkap
bundar/round window serta promontorium (batas dalam). Di dalam telinga tengah terdapat
tulang-tulang pendengaran yang tersusun dari luar ke dalam, yaitu maleus, inkus dan stapes.
(Soepardi, 2007)
Telinga dalam terdiri dari koklea (rumah siput) yang berupa dua setengah lingkaran dan
vestibuler yang terdiri dari 3 buah kanalis semisirkularis. Ujung atau puncak koklea disebut
helikotrema, menghubungkan perilimfa skala timpani dengan skala vestibuli. Pada irisan
melintang koklea tampak skala vestibule sebelah atas, skala timpani di sebelah bawah dan
skala media (duktus koklearis) diantaranya. Skala vestibule dan skala timpani berisi perilimfa,
sedangkan skala media berisi endolimfa. Dasar skala vestibuli disebut membran vestibuli
(Reissner’s membrane) sedangan dasar skala media adalah membrane basalis. Pada membran
ini terletak organ Corti. (Soepardi, 2007)
2.2 GANGGUAN PENDENGARAN
2.2.1 Definisi
Gangguan pendengaran adalah gangguan yang terjadi pada pendengaran karena
peningkatan ambang dengar dari batas normal (0-25 dB) pada salah satu telinga
ataupun keduanya. Telinga manusia hanya mampu menangkap suara yang ukuran
intensitasnya 85 dB dan dengan frekuensi suara sekitar 20-20.000 Hz. Batas intensitas
suara tertinggi adalah 140 dB dimana jika seseorang mendengarkan suara dengan
intensitas tersebut maka akan timbul perasaan sakit pada telinga dan memicu seseorang
untuk terkena gangguan pendengaran (Soetirto et al., 2012).
Seseorang dikatakan memiliki pendengaran yang normal apabila mampu
mendengar suara dengan intensitas ≤ 25 dB sedangkan seseorang yang mengalami
peningkatan ambang pendengaran atau mengalami derajat ketulian akan dibagi menjadi
tuli ringan. Tuli sedang, tuli sedang berat dan tuli berat (Soetirto et al., 2012).

2. 2.2 Etiologi
Menurut Novita & Yuwono (2013) ada empat teori utama penyebab gangguan
pendengaran, yaitu :
a. Infeksi Virus
Meskipun masih belum ditemukan bukti kuat, infeksi virus dianggap sebagai salah
satu penyebab terjadinya gangguan pendengaran. Sebuah studi oleh Wilson (1986)
menunjukkan adanya hubungan infeksi virus dengan kejadian gangguan
pendengaran. Dalam studi ini, ditemukan tingkat serokonversi untuk virus herpes
secara signifikan lebih tinggi pada populasi pasien gangguan pendengaran. Pada
studi lain, dilakukan pemeriksaan histopatologi tulang temporal dan ditemukan
kerusakan pada koklea yang konsisten dengan infeksi virus. Terdapat pula temuan
lain, seperti hilangnya sel rambut dan sel penyokong, atrofi membran tektoria, atrofi
stria vaskularis, dan hilangnya sel neuron, yang berhubungan dengan mumps virus,
maternal rubella, dan virus campak (Novita dan Yuwono, 2013).
b. Kelainan Vaskular
Iskemia koklea merupakan penyebab utama gangguan pendengaran. Koklea
memperoleh asupan darah dari arteri labirintin atau arteri auditiva interna. Pembuluh
darah ini merupakan end artery yang tidak memiliki vaskularisasi kolateral, sehingga
jika terganggu dapat mengakibatkan kerusakan koklea. Kelainan yang menyebabkan
iskemia koklea atau oklusi pembuluh darah seperti trombosis atau embolus,
vasopasme, atau berkurangnya aliran darah dapat mengakibatkan degenerasi luas sel
ganglion stria vaskularis dan ligament spiralis yang diikuti pembentukan jaringan
ikat dan penulangan (Novita dan Yuwono, 2013).
c. Kerusakan Membran Intrakoklea
Terdapat membran tipis yang memisahkan telinga dalam dari telinga tengah dan ada
membran halus yang memisahkan ruang perilimfe dengan endolimfe dalam koklea.
Robekan salah satu atau kedua membrane tersebut secara teoritis dapat menyebabkan
tuli sensorineural. Kebocoran cairan perilimfe ke dalam telinga tengah melalui
tingkap bundar dan tingkap lonjong didalilkan sebagai penyebab ketulian dengan
membentuk hidrops endolimfe relatif atau menyebabkan robeknya membran
intrakoklea. Robekan membran intrakoklea memungkinkan terjadinya percampuran
perilimfe dan endolimfe sehingga mengubah potensial endokoklea (Novita dan
Yuwono, 2013).
d. Kelainan Imunologi
Tuli sensorineural yang disebabkan oleh proses autoimun diperkenalkan oleh
McCabe pada tahun 1979. Pada kondisi ini, ditemukan adanya kehilangan
pendengaran progresif. Adanya aktivitas imun pada koklea mendukung konsep teori
ini. Gangguan pendengaran. pada sindrom Cogan, SLE, dan kelainan reumatik
autoimun lainnya telah lama diketahui. Sebagai pendukung lain teori ini, terdapat
sebuah studi prospektif pada 51 pasien tuli mendadak dan ditemukan beberapa
kelainan yang berkaitan dengan sistem imun (multiple immune-mediated disorders)
(Novita dan Yuwono, 2013).

2.2.3 Jenis Gangguan Pedengaran


Gangguan pendengaran adalah tidak dapat mendengar suara sebagian atau
seluruhnya di salah satu atau kedua telinga. Jenis gangguan pendengaran yang dapat
dikenali dengan uji pendengaran yakni: gangguan konduktif, gangguan sensorinural
dan gabungan keduanya atau tipe campuran.
Gangguan pendengaran dapat diklasifikasikan sebagai berikut, yaitu (ASHA, 2018):
a. Tuli Konduktif
Tuli konduktif terjadi ketika suara tidak diteruskan dengan mudah melalui saluran
telinga luar ke membran timpani dan ke tulang-tulang pendengaran di bagian telinga
tengah. Tuli konduktif membuat suara terdengar lebih halus dan sulit didengar
(ASHA, 2018).
Beberapa penyebab yang mungkin menyebabkan tuli konduktif antara lain (Maqbool
dan Maqbool, 2013) :
− Cairan di telinga tengah.
− Infeksi telinga (otitis media).
− Fungsi tuba eustachian yang menurun.
− Tumor.
− Atresia telinga luar.
− Trauma.
− Otosklerosis.
− Kerusakan membran timpani.
− Terlalu banyak serumen.
− Benda asing di telinga.
− Malformasi dari telinga luar dan telinga tengah.
b. Tuli Sensorineural (Sensorineural Hearing Loss)
Tuli sensorineural terjadi ketika terdapat kerusakan pada telinga bagian dalam (koklea)
atau saraf dari telinga dalam menuju otak. Tipe tuli ini biasanya bersifat permanen.
Pada tuli sensorineural terjadi penurunan kemampuan mendengar suara lemah, atau
suara yang sudah cukup keras tetapi masih terdengar tidak jelas atau redup. Terapi
medikamentosa dan operasi tidak dapat menyembuhkan tuli sensorineural secara
keseluruhan. Pemakaian alat bantu dengar (hearing aids) dapat membantu (ASHA,
2018).
Tuli sensorineural dapat disebabkan oleh (ASHA, 2018):
− Trauma
− Obat-obatan
− Genetik
− Penuaan
− Mendengar suara yang terlalu bising
− Malformasi telinga dalam
c. Tuli Campuran
Tuli campuran adalah Gangguan pendengaran konduktif dan sensorineural terjadi
disaat yang bersamaan. Pada gangguan pendengaran ini terjadi kerusakan pada telinga
luar atau tengah dan telinga dalam atau rusaknya syaraf pendengaran yang menuju ke
otak (ASHA, 2018).
d. Tuli Kongenital
Di dunia yang sedang berkembang ini, 1 dari 1.000 kelahiran melahirkan bayi yang
mengalami gangguan pendengaran. Gangguan pendengaran kongenital adalah
gangguan pendengaran yang terjadi pada atau segera setelah kelahiran, baik akibat
faktor herediter atau non herediter. Diperkirakan 2-3 kasus gangguan pendengaran
pada neonatus disebabkan karena genetik. Kebanyakan tuli kongenital terjadi karena
adanya malformasi bentuk telinga dan adanya penyakit tertentu yang diderita oleh ibu
saat hamil (Weber et al., 2009).
Infeksi saluran kemih, hipoksia atau jaundice pada neonatus merupakan salah satu
yang bertanggung jawab penyebab terkenanya gangguan pendengaran. Tidak
dilakukannya pemeriksaan dini pada neonatus dapat menyebabkan bayi mengalami
speech delay sehingga bayi terlambat untuk berbicara. Adapun pengobatan yang dapat
dilakukan yaitu dengan melakukan operasi implan koklear, memakai alat bantu dengar
(hearing aids) serta terapi dukungan untuk orang tua (Baguley dan Mcferran, 2018).
Adapun faktor non herediter yang dapat menyebabkan terjadinya tuli kongenital yaitu
(Duthey, 2013) :
1. Penyakit infeksi saat kehamilan, seperti rubella, Cytomegalovirus, atau virus herpes
simpleks
2. Bayi lahir prematur
3. Bayi dengan BBLR
4. Abnormalitas cranio-facial
5. Trauma
6. Adanya zat toxin dari obat atau alkohol yang dikonsumsi ibu saat hamil
7. Maternal diabetes
8. Anoxia
2. 2.4 Fisiologi Pendengaran
Getaran suara ditangkap oleh daun telinga yang diteruskan ke liang telinga dan
mengenai membran timpani sehingga membran timpani bergetar. Getaran ini
diteruskan ke tulang-tulang pendengaran yang berhubungan satu sama lain.
Selanjutnya, stapes menggerakkan foramen ovale yang juga menggerakkan perilimfe
dalam skala vestibuli. Getaran diteruskan melalui membrane Reissner yang mendorong
endolimfe dan membrane basalis ke arah bawah. Perilimfe dalam skala timpani akan
bergerak sehingga foramen rotundum terdorong ke arah luar (Tortora dan Derrickson,
2009).
Menurut Ismail, pada waktu istirahat, ujung sel rambut Corti berkelok dan dengan
terdorongnya membran basal, ujung sel rambut itu menjadi lurus. Rangsangan fisik ini
berubah menjadi rangsangan listrik akibat adanya perbedaan ion Natrium dan Kalium
yang diteruskan ke cabang cabang nervus vestibulokoklearis. Kemudian meneruskan
rangsangan itu ke pusat sensorik pendengaran di otak melalui saraf pusat yang ada di
lobus temporalis.

2.2.5 Patofisiologi
Gangguan pendengaran dapat disebabkan oleh gangguan transmisi suara di telinga
luar maupun telinga tengah atau yang dikenal sebagai tuli konduktif dan kerusakan
pada sel rambut maupun jalur sarafnya yang dikenal sebagai tuli saraf. Sedangkan
gangguan pendengaran konduktif dan sensorineural terjadi disaat yang bersamaan
disebut tuli campuran. Penyebab terjadinya gangguan transmisi suara baik pada telinga
luar, telinga tengah, maupun telinga dalam bervariasi.
Tuli konduktif dapat disebabkan karena adanya sumbatan pada kanalis auditorius
eksterna oleh benda asing atau serumen, kerusakan tulang pendengaran, adanya
penebalan membran timpani akibat terjadinya infeksi telinga tengah yang berulang, dan
kekakuan abnormal karena adanya perlekatan tulang stapes ke fenestra ovalis (Barrett
et al., 2012). Tuli sensorineural disebabkan oleh kerusakan sel rambut luar dapat
diakibatkan oleh penggunaan obat yang bersifat toksik bagi telinga seperti antibiotik
golongan aminoglikosida dan pajanan suara bising yang terus menerus sehingga
menyebabkan rusaknya syaraf pendengaran (Barrett et al., 2012). Pada tuli campuran
terjadi kerusakan pada telinga luar atau tengah dan telinga dalam atau rusaknya syaraf
pendengaran yang menuju ke otak (ASHA, 2018).
CLINICAL PATHWAY

Kerusakan Pada Telinga Luar Atau


Gangguan Transmisi Suara di Telinga
Tengah Dan Telinga Dalam Atau
Luar Maupun Telinga Tengah
Rusaknya Syaraf Pendengaran

Kerusakan Pada Telinga Bagian


Dalam (Koklea) atau Saraf dari
Tuli Konduktif Tuli Sensorineural Telinga Dalam Menuju Otak

Tuli Campuran
GANGGUAN PENDENGARAN

Krisis Situasional Tidak Mampu Mendengar dengan baik

Penurunan/ Perlambatan atau


Upaya mencari informasi dan Gangguan
Ketidakmampuan menerima,
menyusun rencana pengobatan Komunikasi Verbal
memproses pesan/informasi

Sulit memahami dan


Rencana Pemeriksaan Audiologi dan mempertahankan
Terapi komunikasi

Kurang Terpapar Informasi Sulit Menerima atau


tentang prosedur pemeriksaan Mengkomunikasikan Perasaan
dan Terapi

Defisiensi Bicara
Ansietas Defisit Pengetahuan

Gangguan Interaksi Sosial


Gambar 2.
Clinical Pathway

2.3 PEMERIKSAAN AUDIOLOGI


2.3.1 Definisi
Audiologi adalah ilmu yang mempelajari tentang seluk beluk fungsi pendengaran
yang erat hubungannya dengan habilitasi dan rehabilitasinya. Audiologi meliputi evaluasi
pendengaran dan rehabilitasi individu dengan masalah komunikasi sehubungan dengan
gangguan pendengaran. Rehabilitasi merupakan usaha untuk mengembalikan fungsi yang
pernah dimiliki, sedangkan habilitasi ialah usaha untuk memberikan fungsi yang
seharusnya dimiliki. Terdapat dua alasan untuk melakukan evaluasi yaitu untuk diagnosis
lokasi dan jenis penyakit, dan untuk menilai dampak gangguan pendengaran terhadap
proses belajar, interaksi sosial dan pekerjaan. Kemampuan pasien untuk mendengar dapat
ditentukan dengan berbagai cara mulai dari prosedur informal hingga pengukuran tepat
berstandar tinggi yang memerlukan peralatan khusus.
Audiologi medik dibagi atas audiologi dasar dan audiologi khusus. Audiologi dasar
ialah pengetahuan mengenai nada murni, bising, gangguan pendengaran, serta cara
pemeriksaannya. Pemeriksaan pendengaran dilakukan dengan tes penala, tes berbisik,
dan audiometri nada murni. Sedangkan audiologi khusus diperlukan untuk membedakan
tuli sensorineural koklea dengan retrokoklea, audiometri obyektif, tes untuk tuli
anorganik, audiologi anak, dan audiologi industri.
Pemeriksaan telinga dan pendengaran dimulai dengan anamnesis yang mencakup
riwayat gangguan pendengaran herediter, riwayat penyakit telinga sebelumnya, paparan
bising dan obat-obat ototoksik. Pemeriksaan dilanjutkan dengan inspeksi yang
menyeluruh dari daun telinga dan sekitarnya. Pemeriksaan otoskopi kemudian dilakukan
untuk dapat menilai kondisi liang telinga dan membran timpani (Probst dkk., 2006).
Pemeriksaan hidung, nasofaring dan jalan nafas atas perlu dilakukan dengan seksama.
Evaluasi pendengaran dapat ditentukan dengan berbagai cara mulai dari pengukuran
sederhana sampai pengukuran dengan alat khusus. Contoh alat pengukuran sederhana
atau kualitatif adalah garpu tala, sedangkan alat khusus atau kuantitatif misalnya dengan
audiometri, Otoacoustic Emission atau OAE, Auditory Brainstem Response atau ABR
dan Auditory Steady State Response atau ASSR (Soetirto dan Bashirudin, 2007).
2.3.2 Macam - Macam Pemeriksaan Audiologi
A. Pemeriksaan Pendengaran Sederhana Atau Kualitatif
Menurut Soetirto (2012), untuk mengetahui seseorang mengalami gangguan
pendengaran maka perlu dilakukan pemeriksaan pendengaran sederhana atau
kualitatif, yaitu sebagai berikut:
1. Tes Berbisik
Pemeriksaan ini bersifat semi kuantitatif yakni menentukan derajat ketulian secara
kasar dengan hasil tes berupa jarak pendengaran (jarak antara pemeriksa dengan
pasien).Hal yang perlu diperhatikan dalam tes berbisik ini adalah ruangan yang
cukup tenang dengan panjang minimal 6 meter. Seseorang yang mampu
mendengar dengan jarak 6 sampai dengan 8 meter dikategorikan normal, kurang
dari 6 sampai dengan empat meter dikategorikan tuli ringan, kurang dari empat
sampai dengan satu meter dikatagorikan tuli sedang,kurang dari satu meter sampai
dengan 25 cm dikategorikan tuli berat dan kurang dari 25 cm dikategorikan
sebagai tuli total (Soetirto et al., 2012);
2. Tes Garpu tala
Pemeriksaan menggunakan garputala atau tes penala merupakan pemeriksaan
secara kualitatif. Pemeriksaan ini bertujuan untuk mengetahui jenis gangguan
pendengaran. Terdapat berbagai macam tes garputala seperti :
a. Tes Rinne
Pada saat dilakukannya tes, pasien diminta untuk fokus kemudian pemeriksa
menggetarkan garputala. Garputala yang sedang bergetar diletakkan di prosesus
mastoid,setelah tidak terdengargarputala diletakkan di depan telinga kira-kira
2,5 cm. Apabila bunyi garputala masih terdengar maka disebut tes Rinne positif
(+) namun apabila bunyi garputala tidak terdengar maka disebut tes Rinne
negatif (-) (Soetirto et al., 2012).
b. Tes Weber
Garputala yang bergetar diletakkan pada garis tengah kepala (di vertex, dahi,
pangkal hidung, ditengah-tengah gigi seri atau dagu).Apabila bunyi garputala
tedengar lebih keras pada salah satu telinga maka disebut lateralisasi kepada
telinga yang mendengar bunyi tersebut.Bila pasien tidak dapat membedakan
telinga yang mendengar bunyi lebih keras maka disebut Weber tidak ada
lateralisasi (Soetirto et al., 2012).

c. Tes Schwabach
Garputala yang bergetar didekatkan pada prosesus mastoideus sampai tidak
terdengar bunyi. Kemudian garputala dipindahkan pada prosesus mastoideus
telinga pemeriksa yang pendengarannya normal. Bila pemeriksa masih dapat
mendengar bunyi garputala maka disebut Schwabach memendek. Namun jika
pemeriksa tidak mendengar, pemeriksaan akan diulang dengan cara sebaliknya
yakni garputala yang sudah digetarkan diletakkan pada prosesus mastoideus
pemeriksa lebih dahulu. Bila pasien masih dapat mendengar bunyi garputala
maka disebut Schwabach memanjang namun bila pemeriksa dan pasien
samasama mendengar maka disebut Schwabach sama dengan pemeriksa
(Soetirto et al., 2012).

B. Pemeriksaan Pendengaran Dengan Alat Khusus Atau Kuantitatif


1. Tes Audiometri
a) Definisi
Tes audiometri merupakan tes pendengaran dengan alat elektroakustik. Tes ini
meliputi audiometri nada murni dan audometri nada tutur. Audiometri nada
murni dapat mengukur nilai ambang hantaran udara dan hantaran tulang
penderita dengan alat elektroakustik. Alat tersebut dapat menghasilkan nada-
nada tunggal dengan frekuensi dan intensitasnya yang dapat diukur. Untuk
mengukur nilai ambang hantaran udara penderita menerima suara dari sumber
suara lewat heaphone, sedangkan untuk mengukur hantaran tulangnya penderita
menerima suara dari sumber suara lewat vibrator.
b) Tujuan
Tujuan dari tes ini adalah dapat mengetahui keadaan fungsi pendengaran
masing-masing telinga secara kualitatif (pendengaran normal, gangguan
pendengaran jenis hantaran, gangguan pendengaran jenis sensorineural, dan
gangguan pendengaran jenis campuran). Dapat mengetahui derajat kekurangan
pendengaran secara kuantitatif (normal, ringan, sedang, sedang berat, dan berat)
(Bhargava, Bhargava dan Shah, 2002).
c) Tehnik Pemeriksaan Audiometri dan Gambaran Hasil pemeriksaan
Beberapa teknik audiometri berdasarkan rangsangan yang diberikan:
Pure Tone Audiometry
Prosedur ini akan memberikan gambaran yang luas mengenai tingkat
kehilangan pendengaran pasien dan penyebabnya. Pasien akan memberikan
respon terhadap rangsangan tone yang diberikan. Tone yang diberikan
dengan cara dari frekuensi rendah ke tinggi . Tone sebesar 30dB HL
diberikan kepada pasien sebagai rangsangan awal, jika respon positif maka
level tone akan diturunkan sebesar 10 dB HL sampai pasien tidak
memberikan respon. Pada rangsangan pertama jika pasien tidak mendengar
maka level tone dinaikkan 10 dB HL sampai terdengar oleh pasien
kemudian diturunkan per 5 dB atau naik 5 dB HL. Frekuensi yang diujikan
berkisar 125-500 Hz.
 Tone Decay Test (TDT)
Digunakan untuk mendeteksi kelainan pada jalur sensorineural.
Prosedurnya adalah, operator memilih frekuensi untuk kemudian pasien
diinstruksikan untuk merespon pada saat pasien mendapat rangsangan dan
akan memberikan respon lagi pada saat tidak dapat menerima rangsangan
tersebut, durasi diantara keduanya kemudian diukur. Tone yang dipakai
diberikan dari frekuensi tinggi ke rendah. Dengan 30 dB HL pada saat
pertama untuk kemudian selama 1 menit pasien dapat mendengarkan maka
tone level akan diturunkan dengan skala 5 dB HL, hal ini diulangi sampai
tone tidak dapat didengarkan lagi selama kurang dari 1 menit.
 Short Increment Sensitivity Index (SISI)
SISI digunakan untuk mendeteksi penyakit di cochleat atau recrocochlear
lesions. Test ini menggambarkan kapasitas pasien untuk mendeteksi
perbedaan kenaikan intensitas 1 dB, yang dalam rentan waktu 5 detik pada
frekuensi tertentu. Operator akan menset frekuensi pada level 20 dB, tone
yang diberikan dengan madulasi singkat 1 dB diatas carrier tone setiap 5
detik. Kenaikan 1 dB dipresentasikan dengan interval 300 ms, dengan rise
time dan fall time sebesar 50 ms. Respon pasien pada saat dapat
membedakan perbedaan level adalah yang diukur.
 Bekesy Audiometry
Merupakan test audiometry yang dapat dijalankan secara automatis. Hal ini
dikarenakan frekuensi dan intensitas akan turun dan naik secara otomatis,
sedangkan respon pasien terhadap tone yang menjadi data diukur pada tes
tesebut.
 Speech Audiometry
Pure tone audiometry adalah test yang mengacu pada sensitivitas pasien
sedangkan speech audiometry mengacu kepada integritas seluruh system
auditory dengan mengacu pada kemampuan secara jelas mendengarkan dan
mengerti pembicaraan.
d) Macam -Macam Tes Audiometri
Audiometri Nada Murni
Audiometri nada murni adalah alat elektoakustik yang digunakan untuk
mengukur adanya gangguan pendengaran pada seseorang berdasarkan
jenis-jenis gangguan pendengaran, derajat ketulian dan lokasi dari
gangguan pendengaran tersebut.
Audiometri nada murni adalah tes dasar untuk mengetahui ada tidaknya
gangguan pendengaran. Selama tes, orang yang dites akan mendengar nada
murni yang diberikan pada frekwensi yang berbeda melalui sebuah
headphone atau ear phone. Intensitas nada berangsur-angsur dikurangi
sampai ambang dengar, titik dimana suara terkecil yang dapat didengar
akan diketahui. Hasilnya ditunjukkan dalam desibel (dB) dan dimasukkan
ke bentuk audiogram.
Audiometri nada murni digunakan untuk mengukur kemampuan seseorang
mendengar bunyi nada murni pada beberapa frekuensi pada sumbu
datar/axis (125 Hz, 250 Hz, 500 Hz, 1000 Hz, 2000 Hz, 4000 Hz, dan 8000
Hz) dengan intensitas suara -10 sampai 110 dB (sumbu tegak,ordinat)
(Samosir, 2012).Audiometri harus memenuhi 3 persyaratan untuk
mendapatkan keabsahan pemeriksaan yaitu (1) audiometri yang telah
dikalibrasi, (2) suasana/ruangan sekitar pemeriksa harus tenang, dan (3)
pemeriksa yang terlatih.
Istilah dalam pemeriksaan audiometri :
− Nada murni (pure tone): bunyi yang hanya mempunyai satu
frekuensi, dinyatakan dalam jumlah getaran perdetik.
− Bising: bunyi yang banyak frekuensinya, terdiri dari narrow band
(spektrum terbatas) dan white noise (spektrum luas).
− Frekuensi: jumlah getaran per detik dinyatakan dalam hertz.
− Intensitas bunyi: dinyatakan dalam desibel (dB).
− Ambang dengar: bunyi nada murni yang terlemah pada frekuensi
tertentu yang masih bisa didengar. Ambang dengar terbagi atas
hantaran udara (AC) dan hantaran tulang (BC).
− Nilai nol audiometrik: intensitas nada murni yang terkecil pada suatu
frekuensi tertentu yang masih dapat didengar rata-rata orang dewasa
normal (18-30 tahun) (Soetirto et al., 2012).
Derajat ketulian dapat dihitung dengan menggunakan indeks Fletcher, yaitu
:
Ambang dengar (AD) =
AD 500 Hz + AD 1000 Hz + AD 2000 Hz + AD 4000 Hz
4
Pada interpretasi audiogram harus ditulis:
a. Telinga bagian mana.
b. Apa jenis ketuliannya.
c. Derajat ketuliannya
Misalnya : telinga kiri tuli campur sedang,

Dalam menentukan derajat ketulian, yang dihitung hanya AC saja.


Tabel 2.1 Derajat ketulian menurut ISO (Soetirto et al., 2012)
Ambang Dengar (AD) Derajat Ketulian
0 – 25 dB Normal
>25 – 40 dB Tuli ringan
>40-55 dB Tuli sedang
>55 – 70 dB Tuli sedang berat
>70-90 dB Tuli berat
>90 dB Tuli sangat berat
 Audiometri Tutur
Tes ini memakai kata-kata yang sudah disusun dalam silabus (suku kata).
Monosilabus : satu suku kata, bisilabus : dua suku kata. Kata-kata ini
disusun dalam daftar yang disebut : Phonetically balance word.
Pasien diminta untuk mengulangi kata-kata yang didengar melalui kaset
tape recorder. Pada tuli perseptif koklea, pasien sulit untuk membedakan
bunyi S, R, N, C, H, CH, sedangkan pada tuli retrokoklea lebih sulit lagi
(Soetirto et al., 2012).
Misalnya pada tuli perseptif koklea, kata “kadar” didengarnya “kasar”,
sedangkan kata “pasar” didengarnya “padar”.
Kata-kata yang benar diucapkan akan dihitung dengan speech
discrimination score.
Tabel 2.2 Derajat Ketulian menurut Speech Discrimination Score (Soetirto
et al., 2012)
Presentase kata yang
benar Derajat Ketulian
90–100% Normal
75–90% Tuli Ringan
60 -75 % Tuli Sedang
50 – 60% Sukar Mengikuti
Pembicaraan
<50 % Tuli Berat
Pemeriksaan ini berguna untuk menilai kemampuan pasien dalam
pembicaraan sehari-hari, dan untuk menilai apakah perlu pemberian alat
bantu dengar (hearing aid) atau tidak
Istilah:
 SRT (Speech Reception Test) = kemampuan untuk mengulangi kata-kata
yang benar sebanyak 50 %, biasanya 20-30 dB diatas ambang
pendengaran.
 SDS (Speech Discrimination Score) = skor tertinggi yang dapat dicapai
oleh seseorang pada intensitas tertentu (Soetirto et al., 2012) .
2. Timpanometri
a) Definisi
Timpanometri adalah suatu pemeriksaan untuk mengukur mobilitas dari
membran timpani dan fungsi konduksi dari tulang pendengaran dengan
mengukur tekanan udara dalam liang telinga (Sowento dkk, 2007; Probst
dkk, 2006; Enusko, 2004).
b) Tujuan
Timpanometri merupakan pemeriksaan objektif untuk mengetahui fungsi
telinga tengah, bukan untuk mengukur fungsi pendengaran. Pemeriksaan
timpanometri memberikan informasi yang berguna mengenai kondisi cairan
dalam telinga tengah, mobilitas dari sistem telinga tengah dan voluma dari
liang telinga (Enusko, 2004).
c) Tehnik Timpanometri
Melalui probe tone (sumbat telinga tengah) yang dipasang pada telinga
tengah dapat diketahui tekanan di liang telinga berdasarkan energi suara yang
dipantulkan kembali oleh membran timpani. Probe tone dengan frekuensi
226 Hz digunakan pada orang dewasa atau bayi di atas 7 bulan. Sedangkan
untuk bayi di bawah 7 bulan digunakan probe tone dengan frekuensi lebih
tinggi yaitu 668, 678 atau 1000 Hz (Sowento dkk, 2007).
d) Gambaran Timpanogram
Hasil pemeriksaan timpanometri adalah timpanogram yang dapat
diklasifikasikan dalam 4 tipe yaitu :
1. Tipe A (normal)
2. Tipe AD (Adanya discontinuitas tulang pendengaran)
3. Tipe AS (Adanya kekakuan pada tulang tulang pendengaran)
4. Tipe B (Adanya cairan didalam telinga tengah)
5. Tipe C (Adanya gangguan pada fungsi tuba eustachius)
(Sowento dkk, 2007; Probst dkk, 2006; Enusko, 2004).

Gambar 3.
Timpanogram Tipe A (Klasifikasi Jarger) menunjukkan hasil normal
(Srireddy dkk, 2003).
Gambar 4.
Timpanogram Tipe B (Klasifikasi Jarger) menunjukkan hasil abnormal pada
telinga (Srireddy dkk, 2003).

Gambar 5.
Timpanogram Tipe C (Klasifikasi Jarger) menunjukkan disfungsi tuba Eustachius
(Srireddy dkk, 2003).

Gambar 6.
Timpanogram Tipe As (Klasifikasi jarger) menunjukkan penurunan static
compliance (Srireddy dkk, 2003)

Gambar 7.
Timpanogram Tipe AD (Klasifikasi Jarger) menunjukkan peningkatan static
compliance (Srireddy dkk, 2003).
Jerger dan Liden mengklasifikasikan gambaran timpanogram sebagai berikut:
 Tipe A ditemukan pada keadaan telinga tengah normal, memiliki puncak
kurva dengan ketinggian normal, pada atau sekitar tekanan atmosfer,
yaitu 0 daPa. Tipe A ini memiliki variasi, yaitu tipe AD dan As. Tipe AD
(‘D’= discontinuity), bentuk kurva menyerupai gambaran tipe A, tetapi
dengan puncak yang lebih tinggi dari nilai normal, misalnya ditemukan
pada keadaan disartikulasi tulang pendengaran. Segala sesuatu yang
menyebabkan rangkaian tulang pendengaran menjadi sangat lentur akan
menyebabkan masuknya energi bunyi secara berlebihan. Tipe As (‘s’=
stiffness atau shallowness), memiliki kelenturan membran timpani di
bawah nilai normal, misalnya ditemukan pada keadaan fiksasi tulang
pendengaran, sehingga terjadi penurunan aliran energi bunyi yang
melewati telinga tengah. Bentuk kurva menyerupai gambaran tipe A,
tetapi dengan puncak yang lebih rendah. (Sowento dkk, 2007; Probst
dkk, 2006; Enusko, 2004).
 Tipe B, memiliki gambaran kurva dengan puncak yang menghilang atau
sedikit melengkung, bahkan sampai datar dengan nilai tekanan telinga
tengah < -100 daPa dan kelenturan membran timpani di bawah nilai
normal, misalnya pada otitis media efusi.
 Tipe C, jika puncak kurva berada pada daerah tekanan negatif,
ditemukan pada keadaan disfungsi tuba Eustachius, yaitu saat tuba tidak
membuka, maka udara yang terperangkap di telinga tengah akan diserap
oleh mukosa telinga tengah. Hal ini akan mengakibatkan turunnya
tekanan udara di telinga tengah terhadap tekanan di liang telinga luar.
Perbedaan tekanan yang terjadi akan menyebabkan membran timpani
mengalami retraksi dan terdorong ke medial dan pengaruh terhadap
gambaran timpanometri adalah puncak grafik akan terdorong ke area
negatif menjauhi nilai 0 (Sowento dkk, 2007; Probst dkk, 2006; Enusko,
2004).
Pemeriksaan timpanometri aman dan cepat dikerjakan pada anak dan
dewasa namun tidak dianjurkan untuk dikerjakan pada anak kurang dari 7 bulan
disebabkan anatomi kanal telinga yang belum sempurna. Selain ras, faktor-
faktor seperti umur, jenis kelamin dan suku bangsa mempengaruhi nilai normal
(Sowento dkk, 2007).
3. Pemeriksaan OAE (Otoacoustic Emission)
a) Definisi
OAE adalah gelombang bunyi yang dihasilkan oleh koklea secara spontan
atau dengan rangsangan. Pertama kali OAE diperkenalkan oleh David T
Kemp pada tahun 1978 (Probst, 2006). Manfaat pemeriksaan OAE adalah
untuk mengetahui apakah koklea berfungsi normal. Berdasarkan penelitian,
semua tipe OAE berasal dari aktivitas mekanik sel rambut luar yang
menunjukkan fungsi normal koklea.
b) Tujuan
Pemeriksaan OAE dilakukan untuk menilai apakah koklea berfungsi normal.
OAE merupakan respon akustik nada rendah terhadap stimulus bunyi dari
luar yang tiba di sel sel rambut luar (outer hair cells/ OHC’s ) koklea. Telah
diketahui bahwa koklea berperan sebagai organ sensor bunyi dari dunia luar.
Didalam koklea bunyi akan dipilah-pilah berdasarkan frekuensi masing,
setelah proses ini maka bunyi akan diteruskan ke sistim saraf pendengaran
dan batang otak untuk selanjutnya dikirim ke otak sehingga bunyi tersebut
dapat dipersepsikan. Kerusakan yang terjadi pada sel-sel rambut luar,
misalnya akibat infeksi virus, obat obat ototoksik, kurangnya aliran darah
yang menuju koklea menyebabkan OHC’s tidak dapat memproduksi OAE.
Otoacoustic emissions adalah suatu teknik pemeriksaan koklea yang relatif
baru, berdasarkan prinsip elektrofisiologik yang obyektif, cepat,
mudah,otomatis, non-invasif, dengan sensiti-vitas mendekati 100%.
Kelemahannya dipengaruhi oleh bising lingkungan, kondisi telinga luar dan
tengah, kegagalannya pada 24 jam pertama kelahiran cukup tinggi, serta
harga alat relatif mahal.
c) Jenis-Jenis OAE
Pada prinsipnya OAE dibedakan menjadi spontaneous OAE yang muncul
secara spontan tanpa pemberian stimulus dan evoked OAE yang baru timbul
setelah diberikan stimulus dari luar. (Abiratno, 2003; Brasto, 2008; Probst,
2006).
1. Spontaneus Otoacoustic Emission atau SOAE
SOAE adalah gelombang bunyi yang berasal dari koklea dan terjadi secara
spontan tanpa diberikan suatu rangsangan. SOAE terjadi oleh karena
adanya pantulan energi traveling wave pada koklea yang mengalami
perubahan impedance. Secara alami didapatkan pada lebih dari 60%
telinga sehat, bernada rendah dan bunyi yang mudah direkam di liang
telinga luar tanpa adanya stimulusi bunyi. Karena tidak seluruh telinga
sehat memberikan SOAE, dan pantulan yang dihasilkan sangat lemah,
maka nilai kliniknya tidak tinggi. Tidak timbulnya SOAE bukan
merupakan petunjuk gangguan pendengaran.
2. Transient Evoked Otoacoustic Emission atau TEOAE
TEOAE adalah gelombang OAE yang dihasilkan oleh koklea setelah
mendapat rangsangan. Rangsangan itu dapat berupa click atau tone burst.
TEOAE sering juga disebut dengan click-evoked otoacoustic emission,
Kemp echo atau cochlear echo. Untuk memperoleh emisi TEOAE
digunakan stimulus bunyi click yang onsetnya sangat cepat dengan
intensitas sekitar 40 dB. TEOAE tidak terdeteksi pada ketulian di atas 40
dB. Bila TEOAE positif berarti tidak ada ketulian koklea, sedangkan bila
TEOAE negatif berarti ada ketulian koklea yang lebih dari 40 dB.
Umumnya hanya digunakan untuk skrining pendengaran bayi atau anak.
3. Distortion Product Otoacoustic Emission atau DPOAE
DPOAE merupakan gelombang bunyi yang timbul bila koklea dirangsang
secara simultan dengan dua nada bunyi yang mempunyai frekuensi yang
berbeda. Dua nada bunyi tersebut kemudian disepakati sebagai f1 untuk
nada yang mempunyai frekuensi rendah dan f2 untuk nada yang
berfrekuensi lebih tinggi. Sebagai respon dari rangsangan kedua nada
tersebut maka koklea akan menghasilkan nada bunyi lain pada frekuensi
yang berbeda. Nada bunyi yang timbul tersebut kemudian dikenal sebagai
distortion product dari koklea.Distortion product yang muncul kemudian
dipantulkan kembali menuju meatus akustikus eksternus sebagai OAE.
4. Stimulus Frequency Otoacoustic emission
SFOAE Merupakan OAE yang jarang dipelajari dan secara teknis sulit
direkam.

Baik DPOAE maupun TEOAE sangat berharga dalam menunjukkan fungsi


koklea dengan kelebihan dan kekurangan masing-masing. TEOAE
mempunyai kelebihan dalam kepekaan, resolusi frekuensi dan kecepatan
tes, tetapi kurang peka dalam menilai OAE dewasa di atas 4 KHz.
Sedangkan DPOAE mempunyai kelebihan dalam deteksi frekuensi tinggi,
tetapi kurang baik di resolusi nada rendah. DPOAE menggunakan 2 buah
stimulus nada murni sekaligus yang berbeda frekuensi dan intensitasnya.
Spektrum frekuensi yang dapat diperiksa lebih luas dibandingkan dengan
TEOAE yaitu dapat mencapai frekuensi tinggi yaitu 10.000 Hz.
Berdasarkan hal tersebut, DPOAE dapat digunakan untuk mendiagnosis
gangguan pendengaran akibat paparan bising, pemantauan pemakaian obat
ototoksik, auditori neuropati serta gangguan pendengaran lainnya yang
disebabkan oleh kelainan koklea.
d) Tehnik Pemeriksaan OAE
Prinsip dasar pemeriksaan OAE adalah memberikan stimulus bunyi ke
dalam telinga melalui loudspeaker mini yang terdapat di dalam probe atau
sumbat liang telinga. Selanjutnya stimulus bunyi akan diteruskan ke telinga
tengah dan koklea. Sebagai respon maka koklea yang sehat akan
memancarkan emisi akustik, yang akan dipantulkan ke arah luar atau echo
menuju telinga tengah dan liang telinga. Emisi tersebut diproses dan
direkam oleh transducer berupa mikrofon mini yang terletak di dalam
probe yang sama dan selanjutnya diproses oleh mesin OAE melalui
program komputer sehingga hasilnya dapat ditampilkan pada layar monitor
komputer (Abiratno, 2003; Brasto, 2008).
Bila sel rambut luar mengalami kerusakan atau disfungsi misalnya oleh
karena paparan bunyi keras, penggunaan obat-obatan ototoksik dan proses
degeneratif seperti diabetes melitus, maka OAE tidak dapat ditimbulkan
sekalipun dengan rangsang akustik. Dalam hal ini perlu diperhatikan
bahwa kondisi telinga tengah sangat berperan dalam penilaian, analisis dan
interpretasi OAE oleh karena kelainan pada telinga tengah akan
mengakibatkan gangguan transmisi OAE ke liang telinga (Abiratno, 2003;
Brasto, 2008). Telinga yang akan di tes perlu diberikan stimulasi bunyi
agar dapat menghasilkan ”otoacoustic emission”. Bunyi seperti ”click”
dapat menimbulkan respon OAE. Respon OAE terhadap masing-masing
stimulus sangat unik tergantung pada bunyi yang diberikan. Apabila OAE
”pass”, kemungkinan besar fungsi koklea dan telinga tengah normal atau
paling tidak pendengaran di sekitar stimulus frekuensi yang memberikan
respon dalam batas normal (Abiratno, 2003).
4.Pemeriksaan BERA (Brainstem Evoke Response Audiometri)
a) Definisi
Brainstem Evoked Response Audiometry (BERA) atau istilah lainnya
Audiometry Brainstem Response (ABR) adalah suatu pemeriksaan
elektrofisiologi auditorik untuk menilai integritas dari sistem pendengaran
sentral dan perifer secara objektif dan tidak infasif.
b) Tujuan
Brainstem Evoke Response Audiometri (BERA) merupakan tes yang penting
untuk praktek klinis, yang dapat digunakan untuk mendiagnosis perubahan
ambang batas pendengaran yang dapat menentukan jenis gangguan
pendengaran, untuk mengidentifikasi perubahan sistem saraf pusat atau
retrokoklear, dan menilai kematangan sistem saraf pendengaran pada neonatus.
Pertama kali diuraikan oleh Jewett dan Williston pada tahun 1971, BERA
merupakan aplikasi yang paling umum digunakan untuk menilai respon yang
dibangkitkan oleh rangsangan suara .
Berbagai kondisi yang dianjurkan untuk pemeriksaan BERA antara lain bayi
baru lahir untuk mengantisipasi gangguan perkembangan bicara/bahasa. Jika
ada anak yang mengalami gangguan atau lambat dalam berbicara, mungkin
salah satu sebabnya karena anak tersebut tidak mampu menerima rangsangan
suara karena adanya gangguan di telinga. BERA juga dapat dimanfaatkan untuk
menentukan sumber gangguan pendengaran apakah di koklea atau
retrokoklearis, mengevaluasi brainstem (batang otak), serta menentukan apakah
gangguan pendengaran disebabkan karena psikologis atau fisik. Pemeriksaan
ini relatif aman, tidak nyeri, dan tidak ada efek samping, sehingga bisa juga
dimanfaatkan untuk screening medical check up.
c) Tehnik Pemeriksaan BERA
BERA mengarah pada pembangkitan potensial yang ditimbulkan dengan suara
singkat atau nada khusus yang ditransmisikan dari transduser akustik dengan
menggunakan earphone atau headphone (headset). Bentuk gelombang yang
ditimbulkan dari respon tersebut dinilai dengan menggunakan elektrode
permukaan yang biasanya diletakkan pada bagian vertex kulit kepala dan pada
lobus telinga. Pencatatan rata-rata grafiknya diambil berdasarkan panjang
gelombang/amplitudo (microvoltage) dalam waktu (millisecond), mirip dengan
EEG. Puncak dari gelombang yang timbul ditandai dengan I-VII.
Bentuk gelombang tersebut normalnya muncul dalam periode waktu 10
millisecond setelah rangsangan suara (klik) pada intensitas tinggi (70-90 dB
tingkat pendengaran normal/normal hearing level [nHL]).
Meskipun BERA memberikan informasi mengenai fungsi dan sensitivitas
pendengaran, namun tidak dapat menjadi pengganti untuk evaluasi pendengaran
formal, dan hasil yang didapat harus dapat dihubungkan dengan hasil
audiometri yang biasa digunakan, jika tersedia. BERA biasanya menggunakan
rangsangan suara klik yang menghasilkan respon dari regio basilar koklea.
Sinyalnya berjalan melalui jalur pendengaran/auditory pathway dari kompleks
inti koklear, proksimal ke colliculus inferior. Gelombang BERA I dan II
berkaitan dengan potensial aksi yang benar. Gelombang selanjutnya
menggambarkan aktivitas postsinaptik pada pusat auditori batang otak utama
yang secara bersamaan menimbulkan bentuk gelombang puncak dan palung.
Puncak positif dari bentuk gelombang menunjukkan aktivitas aferen kombinasi
(dan kemungkinan juga eferen) dari jalur axonal pada batang otak auditori.
Reaksi yang timbul sepanjang jaras-jaras saraf pendengaran dapat dideteksi
berdasarkan waktu yang dibutuhkan (satuan milidetik) mulai dari saat
pemberian impuls sampai menimbulkan reaksi dalam bentuk gelombang.
Gelombang yang terjadi ada 7 buah, namun yang penting dicatat adalah
gelombang I, III, dan V.
Komponen Bentuk Gelombang :
 Gelombang I: respon gelombang BERA I merupakan gambaran yang luas
dari potensial aksi saraf auditori gabungan pada bagian distal dari nervus
cranialis (CN) VIII. Respon tersebut berasal dari aktivitas aferen dari
serabut saraf CN VIII (neuron urutan pertama) saat meninggalkan koklea
dan masuk ke kanalis auditori internal.
 Gelombang II: ditimbulkan oleh nervus VIII proksimal saat memasuki
batang otak.
 Gelombang III: muncul dari aktivitas saraf urutan kedua (diluar CN VIII)
di dalam atau di dekat nukleus koklearis. Literatur menyatakan bahwa
gelombang III ditimbulkan pada bagian caudal dari pons auditori. Nukleus
koklearis mengandung hampir 100.000 neuron, sebagian besar dipersarafi
oleh sembilan serabut saraf.
 Gelombang IV: sering memiliki puncak yang sama dengan gelombang V,
diperkirakan muncul dari neuron urutan ketiga pontin yang kebanyakan
terletak pada kompleks olivari superior, tetapi kontribusi tambahan untuk
terbentuknya gelombang IV dapat datang dari nukleus koklearis dan
nukleus dari lemniskus lateral.
 Gelombang V: pembentukan gelombang V merupakan aktivitas dari
struktur auditori anatomik multipel. Gelombang BERA V merupakan
komponen yang paling sering dianalisa pada aplikasi klinis BERA.
Meskipun terdapat beberapa database mengenai hal yang tepat dalam
pembentukan gelombang V, yang berasal dari sekitar colliculus inferior.
Aktivitas neuron urutan kedua mungkin secara sekunder mempengaruhi
beberapa hal dalam pembentukan gelombang V. Colliculus inferior
merupakan sebuah struktur yang kompleks, dengan lebih dari 99% akson
dari regio auditori batang otak bawah melewati lemniskus lateral ke
colliculus inferior.
 Gelombang VI dan VII: Gelombang VI dan VII berasal dari thalamus
(medial geniculate body), tetapi tempat pembentukan sebenarnya masih
diragukan.
d) Gambaran Pemeriksaan BERA
BERA dipertimbangkan sebagai alat skrining yang efektif dalam mengevaluasi
audiometri kecurigaan patologi retrokokhlear seperti acoustic neuroma atau
vestibular schwannoma. Meskipun demikian, gambaran BERA yang abnormal
yang menyarankan adanya patologi retrocochlear memiliki indikasi untuk perlu
dilakukannya pemeriksaan MRI pada cerebellopontine.
Gejala klinis pada patologi nervus delapan dapat meliputi gejala – gejala
dibawah ini:
− Kehilangan pendengaran sensorineural asimetris atau unileteral
− Kehilangan pendengaran frekuensi tinggi asimetris
− Tinnitus unilateral
− Tingkat mengenali kata-kata yang buruk secara unilateral atau bilateral
yang dibandingkan dengan derajat kehilangan pendengaran sensorineural
− Merasakan adanya distorsi suara saat pendengaran perifer normal.
Pada patologi retrocochlear, banyak faktor – faktor yang dapat mempengaruhi
hasil pemeriksaan BERA, termasuk derajat kehilangan pendengaran
sensorineural, kehilangan pendengaran asimetris, batasan pengujian, dan faktor-
faktor pasien lainnya. Pengaruh ini dapat terjadi saat melakukan pemeriksaan
maupun saat menganalisa hasil pemeriksaan BERA.
Penemuan yang menandakan adanya patologi retrocochlear dapat meliputi satu
atau lebih dari tanda berikut ini:
− Perbedaan latensi gelombang V interaural absolut (IT5) – memanjang
− Interval antar puncak gelombang I-V interaural - memanjang
− Latensi absolut dari gelombang V – memanjang dibandingkan dengan data
normatif
− Latensi absolut dan latensi interval antar puncak gelombang I-III, I-V, III-V –
memanjang dibandingkan dengan data normatif
− Tidak adanya respon auditori batang otak pada telinga yang diperiksa.
Secara umum, pemeriksaan BERA menujukkan sensitivitas lebih dari 90% dan
spesifisitas mendekati 70-90%. Sensitivitas untuk tumor kecil tidak sebesar nilai
tersebut diatas. Karena alasan tersebut, pasien-pasien yang asimptomatik dengan
hasil pemeriksaan BERA normal sebaiknya menjalani audiogram dalam 6 bulan
untuk memonitor perubahan yang terjadi terhadap sensitivitas pendengaran atau
tinnitus. Pemeriksaan BERA dapat diulangi jika terdapat indikasi. Sebagai
alternatif lain, MRI yang diperkuat dengan gadolinium, sebagai patokan standar,
dapat digunakan untuk mengidentifikasi vestibular schwannoma yang sangat kecil
(3-mm).
e) Screening pendengaran menggunakan BERA pada bayi baru lahir
Gangguan pendengaran dapat terjadi karena faktor bawaan (sejak lahir) atau didapat
(gangguan pendengaran yang terjadi setelah lahir). Gangguan pendengaran bawaan
merupakan salah satu kelainan bawaan yang angka kejadiannya cukup tinggi di
antara kelainan bawaan lainnya, yaitu sekitar 1 – 3 per 1000 kelahiran. Angka ini
meningkat pada kelompok bayi yang mempunyai risiko, diperkirakan 80 - 90% bayi
dengan gangguan pendengaran menetap mempunyai kelainan dari sejak usia
neonatal (0-28 hari). The Joint Committee on Infant Hearing (JCIH) di Amerika dan
American Academy of Pediatric (AAP) merekomendasikan agar fungsi pendengaran
dan ketulian pada setiap bayi dapat dipastikan saat usia 3 bulan, dan bayi yang tuli
mendapat penanganan yang sesuai mulai usia 6 bulan, sehingga diharapkan pada
usia 3 tahun mereka mempunyai pola bicara yang tidak jauh berbeda dengan anak-
anak yang pendengarannya normal.
Uji BERA dilakukan pada bayi yang memiliki 1 atau lebih kriteria resiko tinggi.
Skrining pendengaran universal telah direkomendasikan karena sekitar 50% dari
bayi yang kemudian teridentifikasi mengalami kehilangan pendengaran karena tidak
dilakukan pengujian. Sebelumnya, rumah sakit di Amerika Serikat telah
mengimplikasikan program skrining pendengaran pada bayi yang baru lahir.
Program teresbut dapat dijalankan karena adanya kombinasi dari kemajuan
teknologi dalam metode pengujian BERA dan Oto Acoustic Emissions (OAE) dan
ketersediaan peralatannya, yang dapat memberikan evaluasi yang akurat dan dengan
biaya yang efektif, pada bayi-bayi yang baru lahir.
Gambar 8.
Perbandingan BERA bayi dengan BERA dewasa.
OAE dan BERA merupakan pemeriksaan yang efektif, tidak invasif, tidak
menyakitkan, mempunyai sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi serta dapat
dilakukan pada bayi berusia mulai 24 jam, sehingga dapat dilakukan di rumah sakit
sebelum bayi pulang. Bila dilakukan secara bersama, kedua pemeriksaan ini akan
memberikan informasi yang saling melengkapi tentang pendengaran. Hasil yang
baik dari pemeriksaan tersebut harus diulang pada usia 1 - 3 bulan, bila bayi
mempunyai faktor risiko untuk gangguan pendengaran. Dan selama itu juga orang
tua harus mencatat setiap gangguan kesehatan yang mungkin menyebabkan ketulian
seperti campak, gondongan (parotitis), kejang demam, epilepsi, trauma kepala,
keluar cairan dari telinga, pilek yang sering berulang serta penggunaan obat-obatan.
Beberapa uji coba klinis telah menunjukkan pengujian Automated Auditory
Brainstem Response (AABR) (misalnya, Algo-1 Plus) sebagai alat skrining yang
efektif dalam mengevaluasi pendengaran pada bayi yang baru lahir, dengan
sensitivitas sebesar 100% dan spesifisitas sebesar 96-98%. Saat digunakan sebagai
ambang untuk menyaring pendengaran normal, setiap telinga dapat dievaluasi
secara terpisah, dengan intensitas rangsangan yang diberikan sebesar 35-40 dB nHL.
BERA yang dirangsang oleh suara klik sangat berhubungan dengan sensitivitas
pendengaran dalam kisaran frekuensi dari 1000-4000 Hz. Tes AABRs untuk melihat
ada atau tidaknya gelombang V pada tingkat rangsangan yang ringan. Tidak
dibutuhkan interpretasi oleh operator. AABR dapat digunakan dalam kamar
perawatan/bangsal dan selama terapi oksigen tanpa gangguan dari suara lingkungan.
JCIH telah merekomendasikan bahwa bayi yang memiliki paling kurang 1 dari
indikator resiko berikut ini akan mengalami kehilangan pendengaran progresif atau
onset yang tertunda meskipun telah melewati skrining pendengaran, sebaiknya
mendapat monitor audiologik setiap 6 bulan sampai usia 3 tahun:
 Adanya kekhawatiran keluarga atau pihak yang merawat mengenai
pendengaran, berbicara, bahasa, dan/atau kelambatan berkembang
 Riwayat keluarga adanya kehilangan pendengaran permanen pada masa kanak-
kanak
 Adanya Stigmata atau penemuan lainnya yang berkaitan dengan sindom yang
dikenal meliputi kehilangan pendengaran konduktif atau sensorineural atau
disfungsi tuba eustachius
 Infeksi post natal yang berkaitan dengan kehilangan pendengaran sensorineural,
termasuk meningitis bakterial
 Infeksi dalam uterus seperti cytomegalovirus, herpes, rubella, syphilis, dan
toxoplasmosis
 Indikator neonatal, khususnya hiperbilirubinemia pada kadar serum yang
membutuhkan transfusi penggantian, hipertensi pulmonal persisten pada bayi
yang berubungan dengan ventilasi mekanik, kondisi-kondisi yang
membutuhkan penggunaan Extracorporeal Membrane Oxygenation (ECMO),
displasia bronchopulmonal, infeksi cytomegalovirus, dan anatomi craniofacial.
 Sindroma yang berkaitan dengan kehilangan pendengaran progresif, seperti
neurofibromatosis, osteopetrosis, dan Usher syndrome
 Kelainan neurodegenerative, seperti Hunter syndrome, atau neuropati motorik
sensorik, seperti Friedreich ataxia dan Charcot-Marie-Tooth syndrome
 Trauma kepala
 Otitis media dengan efusi, berulang atau persisten selama paling kurang 3 bulan
 Penggunaan obat-obatan ototoksik (aminoglikosida).
BERA dapat digunakan untuk mendeteksi neuropati auditori atau kelainan konduksi
saraf pada bayi baru lahir karena BERA menggambarkan fungsi saraf pendengaran
dan batang otak, bayi-bayi yang baru lahir tersebut dapat memiliki hasil skrining
BERA yang abnormal walaupun pendengaran perifer normal. Bayi-bayi yang tidak
lulus skrining pendengaran belum tentu memiliki masalah pendengaran. Jika
dicurigai adanya masalah pendengaran karena hasil pemeriksaan BERA abnormal,
maka dijadwalkan pemeriksaan follow up ambang diagnostik BERA untuk
mengetahui status frekuensi pendengaran spesifik. Penilaian frekuensi pendengaran
spesifik dapat diperoleh dengan menggunakan stimulasi nada cepat, seperti
nada/suara keras.

5. Pemeriksaan ASSR (Auditory Steady State Response)


a) Definisi
Auditory Steady State Response (ASSR) adalah tes pendengaran yang
dilakukan secara obyektif untuk mengetahui kemampuan dengar anak atau
balita yang belum mampu melakukan tes audiometri biasa. Tes ini merupakan
pemeriksaan elektrofisiologis terhadap respons sistem pendengaran berupa
gelombang di otak yang dibangkitkan oleh stimulasi suara. Waktu yang
dibutuhkan untuk mendapatkan ambang dengar dengan teknik ASSR ini lebih
cepat karena dapat secara simultan memeriksa empat frekuensi masing-masing
pada kedua telinga. ASSR dapat memberikan informasi frekuensi spesifik
dibandingkan click ABR yang telah lebih dulu dikenal luas.
Tes ASSR biasanya diberikan kepada bayi yang tidak lolos serangkaian tes
skrining bayi baru lahir (newborn baby screenings) dan kepada anak yang
mengalami keterlambatan bicara yang diduga mengalami gangguan
pendengaran. Hasil ASSR dapat dianggap sebagai respon elektrofisiologis
terhadap rangsangan pendengaran yang cepat.
b) Tujuan Pemeriksaan
Tujuan ASSR untuk membuat estimasi audiogram statistik yang akurat
sehingga menciptakan perkiraan audiogram yang dapat digunakan untuk
menjawab pertanyaan tentang seberapa besar gangguan pendengaran,
pada frekuensi dan intensitas berapa respon ASSR diterima telinga, dan
rehabilitasi seperti apa yang terbaik berdasarkan data ASSR.
c) Tehnik Pemeriksaan ASSR
Tes ASSR harus dilakukan pada kondisi tertidur dalam. Oleh karena itu apabila
akan dilakukan pada bayi-baru-lahir dapat dilakukan langsung setelah 24 jam
dilahirkan. Apabila akan dilakukan pada balita yang sudah tidak banyak tidur,
maka harus dilakukan pembiusan, bisa bius minum atau bius lewat anus (seperti
obat ambeyen).
Tes ASSR dilakukan dengan memasang sejumlah alat yang diletakkan pada
liang telinga (seperti earphone) dan ditempel di belakang telinga (terdekat
dengan saraf pendengaran). Alat tes ASSR akan mengirimkan beberapa nada
murni (pure tone) melalui liang telinga hingga akhirnya mendapatkan respon
pada saraf pendengaran. Nada murni ini seperti suara pada umumnya,
menggunakan 2 variabel yakni frekuensi (Hz) dan desibel (dB). Bedanya, alat
ini menghasilkan 1 nada secara terukur pada frekuensi dan desibel pada satu
waktu.
Tes ASSR sebenarnya tidak terbatasi pada frekuensi berapapun. Namun,
umumnya tes ASSR menggunakan frekuensi 500, 1000, 2000 dan 4000 Hz.
Empat frekuensi ini memudahkan audiolog dalam membaca audigram yang
dihasilkan dari Tes ASSR. (frekuensi ialah banyaknya periode gelombang
dalam satu waktu).
Dimulai dari desibel kecil hingga tinggi kemudian berhenti hingga terdapat
respon elektrofisiologi dan muncul pada alat pengukuran.
d) Gambaran Hasil Pemeriksaan ASSR
Pada respons dari ABR diukur dalam microvolts, sedangkan pada ASSR diukur
dalam nanovolts. Pada dasarnya, cara pemeriksaan pada tes ASSR ini sama
dengan pemeriksaan pada BERA. Yang membedakan adalah frekuensi yang
diperiksa serta gambaran hasil tes.
Hasil tes BERA gambarannya berupa gelombang-gelombang sedangkan hasil
tes ASSR berupa audiogram. Biasanya, jika dalam pemeriksaan BERA tidak
ditemukan gelombang V di intensitas 80 dB, maka disarankan untuk melakukan
tes ASSR untuk mengetahui berapa derajat gangguan pendengaran bayi atau
anak.
Dengan pemeriksaan ASSR intensitas dapat diberikan sampai 127,8 dB,
sehingga dapat mengidentifikasi ambang dengar pada subjek dengan gangguan
pendengaran sangat berat atau dengan kata lain dapat menentukan sisa
pendengaran.Pemeriksaan ASSR tidak dipengaruhi oleh soundfield speaker
atau hearing aid amplifier karena respons pada ASSR sifatnya steady-state dan
stimulusnya simultan, sehingga ASSR dapat digunakan untuk memperkirakan
ambang dengar pada pasien implan koklea atau untuk kepentingan pemasangan
alat bantu dengar.Kelemahan pemeriksaan ASSR ini adalah tidak dapat
menentukan lokasi lesi dan belum banyak data yang dipublikasikan mengenai
pemeriksaan hantaran tulang.
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN
3.1 PENGKAJIAN
a. Identitas Klien
Meliputi nama, umur, agama, jenis kelamin, pendidikan,alamat, tanggal masuk rumah
sakit, tanggal pengkajian, nomor register, dan diagnose medis.
b. Identitas Penanggung Jawab
yang terdiri dari : Nama ,umur,jenis kelamin,pendidikan, pekerjaan/sumber
penghasilan, agama, dan alamat,hubungannya dengan pasien.
c. Riwayat Kesehatan Saat Ini
Keluhan Utama
Biasanya keluhan pasien yang akan melakukan pemeriksaan audiologi adalah adanya
kecurigaan terjadi gangguan pendengaran dapat disertai dengan atau tanpa nyeri
hingga demam. Perawat perlu melakukan anamnesa dari keluhan klien seperti :
− Nyeri saat pinna (aurikula) dan tragus bergerak
− Nyeri pada liang tengah
− Telinga terasa tersumbat atau penuh
− Penumpukan serumen
− Pembengkakan dan peradangan telinga bagian dalam
− Perubahan pendengaran
− Keluar cairan dari telinga yang berwarna kehijauan
d. Riwayat Kesehatan Dahulu Pasien
− Apakah pernah masuk RS karena gangguan pendengaran,
− Apakah ada keluhan nyeri dan kapan keluhan nyeri terasa oleh klien
− Apakah klien dalam waktu dekat berenang dilaut,kolam renang, atau danau
− Apakah klien sering mengorek-ngorek telinga sehingga mengakibatkan nyeri
setelah dibersihkan
− Apakah klien pernah mengalami trauma terbuka pada liang telinga akibat terkena
benturan sebelumnya
− Pada pasien bayi atau anak-anak, tanyakan adakah riwayat kelahiran prematur,
adakah riwayat keterlambatan bicara serta tanyakan riwayat imunisasi anak.
e. Riwayat Kesehatan Keluarga
Dalam keluarga pasien ada yang menderita penyakit seperti yang klien alami yaitu
gangguan pendengaran
f. Riwayat Pola - Pola Fungsi Kesehatan
− Pola persepsi dan manajemen kesehatan
Biasanya pasien atau keluarga pasien yang akan melakukan pemeriksaan audiologi
awalnya terlambat menyadari bahwa pasien telah mengalami gangguan pendengaran
karena kurang mempedulikan sebuah gejala kecil yang ditimbulkan, misalnya
keterlambatan bicara pada anak, kesulitan anak dalam berkomunikasi dengan orang
lain, atau pada pasien dewasa nyeri pada telinga, penurunan pendegaran, sehingga
ini menyebabkan penanganan kesehatan tidak secepatnya dilakukan. Klien akan
segera berobat ke pelayanan kesehatan jika sudah mencapai stadium lanjut seperti
keluarnya cairan dari telinga dan nyeri yang dirasakan secara terus-menerus.
− Pola nutrisi – metabolik
Pada beberapa pasien yang mengalami gangguan pendengaran mengalami
anoreksia, mual dan muntah.
− Pola eliminasi
Umumnya mengalami masalah terhadap pola eliminasi namun, pengeluaran secret
atau cairan yang keluar dari telinga harus diperhatikan banyaknya dan warna cairan.
− Pola aktivitas – latihan
Umumnya pasien dengan gangguan pendengaran mengalami gangguan dalam
beraktifitas karena sulit berkomunikasi dengan orang disekitarnya.
− Pola istirahat dan tidur
Beberapa pasien merasa istirahat dan tidurnya kadang terganggu.
− Pola kognitif – perseptual
Biasanya pasien yang melakukan pemeriksaan audiologi mengalami penurunan
pendengaran namun sangat jarang berpengaruh terhadap penglihatannya.
− Pola persepsi-konsep diri
Beberapa pasien dengan gangguan pendengaran dan akan melakukan tes audiologi
merasa cemas dan malu tentang prosedur pemeriksaan dikarenakan minimnya
informasi atau pengetahuan tentang pemeriksaan audiologi.
− Pola hubungan-peran
Beberapa pasien merasa malu berinterkasi dengan orang lain, minder, dan menjauh
dari lingkungan karena kesulitan berkomunikasi akibat gangguan pendengaran yang
dialaminya. Keluarga berperan membantu klien dalam pemenuhan kebutuhannya,
memotivasi klien dan juga membantu aktivitas sosial antara klien dengan keluarga
dan lingkungan sekitar.
− Pola seksual – reproduksi
Beberapa pasien mengalami gangguan dalam pola seksualitas karena merasa malu
dan rendah diri terhadap penyakitnya.
− Pola koping dan toleransi stress
Umumnya pasien mengalami cemas dan takut terhadap penyakitnya.
− Pola nilai dan keyakinan
Umumnya pasien tidak mengalami gangguan dalam menjalani ibadahnya dan
semakin mendekatkan diri pada Tuhan untuk kesembuhan penyakitnya.
g. Pemeriksaan Fisik
1. Keadaan umum
2. Pemeriksaan Head to toe
a. Kulit, rambut, dan kuku
1) Inspeksi warna kulit, jaringan parut, lesi dan vaskularisasi
2) Inspeksi dan palpasi kuku tentang warna, bentuk, dan catat adanya
abnormalitas.
3) Palpasi kulit untuk mengetahui suhu, turgor, tekstur (halus/kasar)edema, dan
massa
b. Kepala:
1) Inspeksi kesimetrisan muka, tengkorak, kulit kepala (lesi, massa)
2) Palpasi dengan cara merotasi dengan lembut ujung jari ke bawah dari tengah
garis kepala ke samping. Untuk mengetahui adanya bentuk kepala,
pembengkakan, massa, dan nyeri tekan, kekuatan akar rambut.
c. Mata
1) Inspeksi kelopak mata, perhatikan bentuk dan kesimetrisannya
2) Inspeksi daerah orbital adanya edema, kemerahan, atau jaringan lunak
dibawah bidang orbital.
3) Inspeksi konjungtiva dan sklera dengan menarik/ membuka kelopak mata.
Perhatikan warna, edema, dan lesi.
4) Inspeksi kornea (kejernihan dan tekstur kornea) dengan berdiri disamping
klien dengan menggunakan sinar cahaya tidak langsung.
d. Hidung
1) Inspeksi hidung eksterna dengan melihat bentuk, kesimetrisan, adanya
deformitas atau lesi, dan cairan yang keluar.
2) Palpasi lembut batang dan jaringan lunak hudung adanya nyeri, massa dan
nyeri, massa dan penyimpangan bentuk, serta palpasi sinus-sinus hidung.
3) Periksa patensi hidung dengan meletakkan jari di depan lubang hidung dan
minta pasien bernapas melalui hidung. Bandingkan antara hidung kanan dan
kiri, kaji kemampuan pasien membau (nervus olfaktorius).
4) Masukkan spekulum hidung dengan minta pasien mengangkat kepala
kebelakang. Dengan bantuan penlight amati warna, lesi, cairan, massa, dan
pembengkakan.
e. Telinga
1) Inspeksi kesimetrisan dan letak dan lesi telinga
2) Inspeksi telinga luar, ukuran, bentuk, warna,
3) Inspeksi telinga dalam dan tengah ada tidak cairan telinga,keutuhan gendang
telinga, serumen/kotoran telinga,ada tidaknya tanda peradangan telinga
dalam telinga seperti kemerahan dan pembengkakan serta ada tidaknya lesi
pada telinga dalam.
4) Palpasi kartilago telinga untuk mengetahui jaringan lunak. Tekan tragus
kedalam dan tulang telinga ke bawah daun telinga (bila peradangan akan
nyeri).
5) Palpasi tulang telinga (prosesus mastoideus)
f. Mulut dan faring
1) Inspeksi warna dan mukosa bibir, lesi, dan kelainan koninetal
2) Melakukan pemeriksaan pembedaan rasa pada ujung lidah.
3) Menguji sensasi faring (berkata ”ah”). (nervus vagus).
g. Leher
1) Inspeksi bentuk leher, kesimetrisan, warna kulit, adanya pembengkakakn,
jaringan parut atau massa (muskulus sternokleidomastoideus)
2) Inspeksi gerakan leher ke kanan dan ke kiri (nervus aksesorius)
3) Inspeksi kelenjar tiroid dengan minta pasien menelan dan amati gerakan
kelenjar tiroid pada takik suprasternal (normalnya tidak dapat dilihat)
4) Palpasi kelenjar limfe/kelenjar getah bening
5) Palpasi kelenjar tiroid
h. Thorak
1) Inspeksi kelainan bentuk thorak (barrel chest, pigeon chest, funnel chest).
2) Palpasi adanya krepitus pada kosta
3) Khusus pasien wanita dilakukan pemeriksaan inspeksi payudara: bentuk,
ukuran.
i. Paru
1) Inspeksi kesimetrisan paru
2) Palpasi (taktil fremitus) dengan meminta pasien menebutkan angka atau
huruf yang bergetar (contoh 777). Bandingkan paru kanan dan kiri.
3) Perkusi dari puncak paru ke bawah (supraskapularis/3-4 jari dari pundak
sampai dengan torakal 10). Catat suara perkusi: sonor/hipersonor/redup.
4) Auskultasi bunyi paru saat inspirasi dan akspirasi (vesikuler,
bronhovesikuler, bronchial, tracheal; suara abnormal: whezzing, ronchi,
krekles.
j. Jantung dan pembuluh darah
1) Inspeksi titik impuls maksimal, denyutan apical.
2) Palpasi area aorta pada interkosta ke-2 kanan, pulmonal pada interkosta ke-2
kiri, dan pindah jari-jari ke interkosta 3, dan 4 kiri daerah trikuspidalis, dan
mitral pada interkosta 5 kiri.
3) Perkusi untuk mengetahui batas jantung (atas-bawah, kanan-kiri).
4) Auskultasi bunyi jantung I dan II pada 4 titik (tiap katup jantung), dan
adanya bunyi jantung tambahan.
5) Periksa vaskularisasi perifer dengan meraba kekuatan denyut nadi.
k. Abdomen
1) Inspeksi dari depan dan samping pasien (adanya pembesaran, datar, cekung,
kebersihan umbilikus)
2) Auskultasi 4 kuadran (peristaltik usus diukur dalam 1 menit, bising usus)
3) Palpasi: epigastrium, lien, hepar, ginjal, dan suprapubik.
4) Perkusi: 4 kuadran (timpani, hipertimpani, pekak)
5) Melakukan pemeriksaan turgor kulit abdomen
l. Genitourinari
1)Inspeksi anus (kebersihan, lesi,massa,perdarahan) dan lakukan tindakan
rectal touche (khusus laki-laki untuk mengetahui pembesaran prostat).
2)Inspeksi alat kelamin/genitalia wanita: kebersihan, lesi,massa, keputihan,
perdarahan, ciran, bau, pertumbuhan rambut.
m. Ekstremitas
1) Inspeksi ekstremitas atas dan bawah: kesimetrisan, lesi, massa
2) Palpasi: tonus otot, kekuatan otot
3) Kaji sirkulasi: akral hangat/dingin, warna, capillary reffil time, dan edema
4) Kaji kemampuan pergerakan sendi
3.2 DIAGNOSA KEPERAWATAN
Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul pada pasien dengan pemeriksaan
audiologi ( Audiometri, timpanometri, OAE, BERA, ASSR) sebagai berikut :
a) Ansietas b/d krisis situasional, dan kurang terpapar informasi tentang gangguan
pendengaran pemeriksaan audiologi( Audiometri, timpanometri, OAE, BERA,
ASSR) .(D.0080)
b) Defisit Pengetahuan b/d kurang terpapar informasi tentang gangguan pendengaran
dan pemeriksaan audiologi( Audiometri, timpanometri, OAE, BERA, ASSR) .
(D.0111)
c) Gangguan komunikasi verbal b/d gangguan pendengaran (D. 0119)
d) Gangguan interaksi sosial b/d defisiensi bicara (D. 0118)

3.3 INTERVENSI KEPERAWATAN


No. Diagnosa Keperawatan Tujuan Rencana Keperawatan
1. Ansietas b/d krisis Setelah di lakukan Reduksi Ansietas (I.09314)
situasional, dan kurang asuhan keperawatan Observasi
terpapar informasi
selama ………..x 24 − identifikasi saat tingkat
tentang gangguan jam, diharapkan pasien ansietas berubah (misal;
pendengaran dan
Mampu mengontrol kondisi waktu, stresor)
pemeriksaan audiologi( kecemasan diri (1402) − Identifikasi kemampuan
Audiometri, dengan kriteria hasil : mengambil keputusan
timpanometri, OAE,− Mampu mengontrol − Monitor tanda- tanda ansietas
BERA, ASSR) .intensitas kecemasan ( verbal dan nonverbal)
(D.0080) − Penyebab kecemasan Terapeutik
Gejala dan tanda berkurang − Ciptakan suasana terapeutik
mayor − Mampu mengurangi untuk menumbuhkan
Subjektif : rangsang lingkungan kepercayaan
− Merasa bingung ketika cemas − Temani pasien untuk
− Merasa khawatir
− Mencari informasi mengurangi kecemasan, jika
dengan akibat dari untuk mengurangi memungkinkan
kondisi yang dihadapi kecemasan − Pahami situasi yang membuat
− Sulit berkonsentrasi − Merencanakan ansietas
Objektif : strategi koping untuk − Dengarkan dengan penuh
− Tampak gelisah situasi yang perhatian
− Tampak tegang menimbulkan stres − Gunakan pendekatan yang
− Sulit tidur − Menggunakan strategi tenang dan meyakinkan
koping yang efektif − Diskusikan perencanaan
Gejala dan tanda − Menggunakan tehnik realistis tentang peristiwa
mayor relaksasi untuk yang akan datang.
Subjektif : menguranngi
− Mengeluh pusing kecemasan
− Anoreksia − Mempertahankan
− palpitasi hubungan sosial
− Merasa tidak berdaya − Mempertahankan
konsentrasi

Objektif :
− RR, HR, TD Tingkat kecemasan Edukasi
meningkat menurun (1211) − Jelaskan prosedur
− Diaforesis dengan kriteria hasil : pemeriksaan audiologi
− Tremor − Pasien dapat termasuk sensasi yang akan
− Muka tampak pucat beristirahat dirasakan
− Suara bergetar − Tidak ada tanda tanda − Informasikan secara faktual
− Kontak mata buruk kecemasan; mondar mengenai diagosis,
− Sering berkemih mandir, meremas pengobatan dan prognosis
remas tangan, − Anjurkan keluarga untuk
Kondisi klinis terkait : distress, gelisah, otot tetap bersama pasien, jika
1.Penyakit kronis dan wajah tegang, perlu
progresif (misal ; iritabilitas) − Anjurkan mengungkapkan
kanker, penyakit − Mampu mengambil perasaan dan persepsi
autoimun) keputusan − Latih kegiatan pengalihan
2.Penyakit akut − Mampu untuk mengurangi ketegangan
3.Hospitalisasi menyelesaikan selama prosedur pemeriksaan
4.Rencana operasi masalah audiologi
5.Kondisi diagnosis − Tidak ada − Latih tehnik relaksasi
penyakit yang belum Peningkatan TD< HR, − Kolaborasi pemberian obat
jelas RR antiansietas jika perlu
6.Penyakit neurologis − Tidak ada ungkapan
7.Tahap tumbuh rasa takut atau cemas
kembang. − Tidak berkeringat
dingin, pusing,
fatique, menarik diri.
− Tidak mengalami
gangguan tidur,
perubahan pola BAB,
BAK dan pola makan.
2. Defisit Pengetahuan Setelah di lakukan Edukasi Proses Penyakit
b/d kurang terpapar asuhan keperawatan (I.12444)
informasi tentang selama ………..x 24 Observasi
gangguan pendengaran jam, diharapkan − Identifikasi kesiapan dan
dan pemeriksaan Pengetahuan klien kemampuan menerima
audiolog i( Audiometri, meningkat(L.12111) informasi
timpanometri, OAE, Dengan kriteria hasil : Terapeutik
BERA, ASSR) . − Perilaku sesuai − Sediakan materi dan media
(D.0111) anjuran dengan pendidikan kesehatan
verbalisasi minat − Jadwal penkes sesuai
Gejala dan tanda belajar kesepakatan
mayor − Kemampuan − Berikan kesempatan untuk
Subjektif : menjelaskan tentang bertanya
− Menanyakan masalah suatu topik meningkat Edukasi
yang dihadapi − Kemampuan − Jelaskan penyebab dan faktor
menggambarkan resiko penyakit
Objektif : pengalaman − Jelaskan proses patofisiologi
− Menunjukkan prilaku sebelumnya sesuai munculnya penyakit
tidak sesuai anjuran dengan topik − Jelaskan tanda dan gejala
− Menunjukkan persepsi meningkat yang ditimbulkan oleh
keliru terhadap − Perilaku klien sesuai penyakit
masalah. dengan pengetahuan − Jelaskan kemungkinan
− Pertanyaan tentang terjadinya komplikasi
masalah yang − Ajarkan cara meredakan atau
dihadapi menurun mengatasi gejala yang
Gejala dan tanda − Persepsi yang keliru dirasakan
minor terhadap masalah − Ajarkan cara meminimalkan
Objektif : menurun. efek samping dari intervensi
− Menjalani atau pengobatan
pemeriksaan yang Tingkat kepatuhan − Informasikan kondisi pasien
tidak tepat meningkat (L.12110) saat ini
− Menunjukkan perilaku Dengan kriteria hasil : − Anjurkan melapor jika
yang berlebihan (misal − Verbalisasi kemauan merasakan tanda dan gejala
apatis, bermusuhan, mematuhi program memberat atau tidak biasa.
agitasi). pengobatan atau
perawatan meningkat Edukasi prosedur tindakan
Kondisi klinis terkait : − Verbalisasi mengikuti (I.12442)
− Kondisi klinis yang anjuran meningkat Observasi
baru dihadapi oleh − Perilaku mengikuti − Identifikasi kesiapan dan
klien program kemampuan menerima
perawatan/pengobatan informasi
membaik Terapeutik
− Perilaku menjalankan − Sediakan materi dan media
anjuran membaik pendidikan kesehatan
− Tanda dan gejala − Jadwalkan penkes sesuai
penyakit membaik kesepakatan
Edukasi
Motivasi meningkat − Jelaskan tujuan dan manfaat
(L.09080) tindakan yang akan dilakukan
Dengan kriteria hasil : − Jelaskan perlunya tindakan
− Pikiran berfokus masa dilakukan
depan − Jelaskan keuntungan dan
− Upaya menyusun kerugian tindakan dilakukan
rencana tindakan − Jelaskan langkah - langkah
meningkat tindakan yang akan dilakukan
− Upaya mencari − Jelaskan persiapan pasien
sumber sesuai sebelum tindakan
kebutuhan meningkat − Informasikan durasi tindakan
− Upaya mencari dilakukan
dukungan sesuai − Anjurkan bertanya jika ada
kebutuhan meningkat sesuatu yang tidak dimengerti
− Inisiatif meningkat sebelum tindakan dilakukan
− Harga diri positif − Anjurkan kooperatif saat
meningkat tindakan dilakukan
− Keyakinan positif − Ajarkan tehnik untuk
meningkat mengantisipasi/mengurangi
ketidakyamanan akibat
tindakan, jika perlu

Edukasi alat bantu dengar


(I.12363)
Observasi
− Identifikasi kesiapan dan
kemampuan menerima
informasi
− Periksa telinga membutuhkan
alat bantu dengar
Terapeutik
− Sediakan materi dan media
alat bantu dengar
− Jadwalkan penkes sesuai
kesepakatan
− Berikan kesempatan untuk
bertanya
Edukasi
− Anjurkan membershkan
serumen jika menutupi liang
telinga
− Anjurkan mensejajarkan
bagian ujung alat bantu
dengar dengan telinga
− Anjurkan memutar ujung alat
bantu dengar ke depan dan
masukkan ke bagian saluran
telinga
− Ajarkan menyesuaikan
volume dengan kebutuhan
pasien
3. Gangguan komunikasi Setelah di lakukan Promosi komunikasi : Defisit
verbal b/d gangguan asuhan keperawatan Bicara (I. 13492)
pendengaran (D. 0119) selama ………..x 24 Observasi
jam − Monitor kecepatan, tekanan,
Gejala dan tanda Komunikasi verbal kuantitas, volume, dan diksi
mayor meningkat(L.13118) bicara
Objektif : dengan kriteria hasil : − Monitor proses kognitif,
− Tidak mampu − Kemampuan anatomis, dan fisiologis yang
berbicara atau berbicara meningkat berkaitan dengan bicara
mendengar. − Kemampuan (misal; memori, pendengaran
− Menunjukkan mendengar meningkat dan bahasa
respon tidak sesuai − Terdapat kesesuaian − Identifikasi prilaku emosional
ekspresi wajah/ tubuh dan fisik sebagai bentuk
Gejala dan tanda − Kontak mata komunikasi
minor meningkat Terapeutik
Objektif : − Menurunnya gejala − Gunakan metode komunikasi
− Afasia gangguan komunikasi alternatif (misal; menulis,
− Disfrasia seperti; afasia, mata berkedip, papan
− Apraksia disfrasia, apraksia, komunikasi dengan gambar
− Disartria disleksia, disatria, dan huruf, isyarat tangan dan
− Afonia afonia, dilalia, pelo komputer)
− Sulit memahami dan gagap. − Sesuaikan gaya komunikasi
komunikasi − Respon prilaku dengan kebutuhan (misal;
− Sulit membaik berdiri di depan pasien,
mempertahankan − Pemahaman dengarkan dengan seksama,
komunikasi komunikasi membaik bicaralah dengan perlahan
− Sulit menyusun dan hindari teriakan, gunakan
kalimat Fungsi sensori komunikasi tertulis, atau
− Verbalisasi tidak pendengaran meminta bantuan keluarga
tepat membaik (L.06048) untuk memahami ucapan
Dengan kriteria Hasil pasien)
Kondisi klinis terkait : − Ketajaman
− Ulangi apa yang disampaikan
1. Stroke pendengaran (kiri dan pasien
2. Cedera kepala kanan) membaik − Berikan dukungan psikologi
3. Trauma wajah − Gunakan juru bicara bila
4. Peningkatan TIK perlu
5. Hipoksia kronis Edukasi
6. Tumor − Anjurkan bicara perlahan
7. Miastenia gravis − Ajarkan pasiendan keluarga
8. Sklerosis multiple proses kognitig, anatomis dan
9. Distrofi muskuler fisiologi yang berhubungan
10. Penyakit alzheimer dengan kemampuan bicara
11. Kuadriplegia Kolaborasi
12. Labiopalatoskizis − Rujuk ke ahli patologi bicara
13. Infeksi laring atau terapis
14. Fraktur rahang
15. Skizofrenia Promosi Komunikasi : Defisit
16. Delusi Pendengaran (I.13493)
17. Paranoid Observasi
18. Autisme − Periksa kemapuan
pendengaran
− Monitor akumulasi serumen
berlebihan
− Identifikasi meetode
komunikasi yang disukai
( misal; lisan, tulisan, gerakan
bibir, bahasa isyarat).
Terapeutik
− Gunakan bahasa sederhana
− Gunakan bahasa isyarat bila
perlu
− Verifikasi apa yang dikatakan
atau ditulis pasien
− Fasilitasi penggunaan alat
bantu dengar
− Berhadapan secara langsung
selama berkomunikasi
− Hindari kebisingan saat
berkomunikasi
− Hindari berkomunikasi lebih
dari 1 meter dari pasien
− Lakukan irigasi telinga bila
perlu
− Pertahankan kebersihan
telinga
Edukasi
− Anjurkan menyampaikan
pesan dengan isyarat
− Ajarkan cara membersihkan
serumen dengan tepat.
Perawatan telinga (I.06206)
Observasi
− Periksa fungsi pendengaran
− Monitor tanda dan gejala
infeksi telinga (misal:
inflamasi dan pengeluaran
cairan)
− Monitor tanda dan gejala
disfungsi telinga (misal:
nyeri, nyeri tekan, gatal,
perubahan pendengaran,
tinitus, vertigo)
− Lakukan tes pendengaran bila
perlu
Terapeutik
− Bersihkan telinga luar
− Bersihkan serumen telinga
dengan kapas yang lembut
− Lakukan irigasi telinga jika
perlu
− Hindari paparan suara keras
Edukasi
− Jelaskan tanda dan gejala
disfungsi pendengaran
− Informasikan kepada orang
tua vaksin yang dapat
mencegah gangguan
pendengaran (misal; rubella,
campak, mumps)
− Anjurkan menggunakan
sumbat telinga saat berenang
atau di dalam pesawat jika
perlu
− Ajarkan cara membersihkan
telinga luar
− Ajarkan cara menggunakan
dan merawat alat bantu
dengar.
Dukungan kepatuhan
program pengobatan
(I.12361)
Observasi
− Identifikasi kepatuhan
menjalani program
pengobatan
Terapeutik
− Buat komitmen menjalani
program pengobatan dengan
baik
− Buat jadwal pendampingan
keluarga untuk bergantian
menemani pasien selama
menjalani program
pengobatan, jika perlu
− Dokumentasikan aktivitas
selama menjalani proses
pengobatan
− Libatkan keluarga untuk
mendukung program
pengobatan yang dijalani
Edukasi
− Informasikan program
pengobatan yang harus
dijalani
− Informasikan program
pengobatan yang harus
dijalani
− Anjurkan keluarga untuk
mendampingi dan merawat
pasien selama menjalani
program pengobatan
− Anjurkan keluarga dan pasien
melakukan konsultasi ke
pelayanan kesehatan terdekat
jika perlu.
4. Gangguan interaksi Setelah di lakukan Promosi sosialisasi (I.13498)
sosial b/d defisiensi asuhan keperawatan Observasi
bicara (D. 0118) selama ………..x 24 − Identifikasi kemampuan
Gejala dan tanda jam berinteraksi dengan orang lain
mayor Interaksi sosial − Identifikasi hambatan
Subjektif : meningkat (L.13115) berinteraksi dengan orang lain
− Merasa tidak nyaman Dengan kriteria hasil : Terapeutik
dengan situasi sosial − Perasaan nyaman − Motivasi berpartisipasi dalam
− Merasa sulit menerima dengan situasi sosial aktivitas baru dan kegiatan
atau − Perasaan mudah kelompok
mengkomunikasikan menerima atau − Motivasi berinteraksi diluar
perasaan. mengkomunikasikan lingkungan (misal; jalan
perasaan jalan)
Objektif : − Responsif pada orang − Diskusikan kekuatan dan
− Kurang responsif atau lain keterbatasan dalam
tertarik pada orang − Perasaan tertarik pada berkomunikasi dengan orang
lain orang lain lain
− Tidak berminat − Minat melakukan − Berikan umpan balik positif
melakukan kontak kontak emosi dalam perawatan diri
emosi dan fisik − Minat melakukan − Berikan umpan balik positif
kontak fisik pada setiap peningkatan
Gejala dan tanda − Pengverbalisasian kemampuan
minor kasih sayang Edukasi
Subjektif : − Kontak mata − Anjurkan berinteraksi dengan
− Sulit mengungkapkan meningkat orang lain secara bertahap
kasih sayang − Kooperatif dengan − Anjurkan ikut serta pada
teman sebaya kegiatan sosial dan
Objektif :
− Gejala cemas kemasyarakatan (untuk
− Gejala cemas berat
menurun dewasa)
− Kontak mata kurang
− Anjurkan berbagi pengalaman
− Ekspresi wajah tidak
dengan orang lain
responsif
− Anjurkan penggunaan alat
− Tidak kooperatif
bantu dengar bila perlu
dalam bermain tau − Latih bermain peran untuk
berteman meningkatkan keterampilan
− Perilaku tidak sesuai komunikasi.
usia.

Kondisi klinis terkait :


1. Retardasi mental
2. Gangguan autistik
3. Attention deficit/
hiperactivity disorder
(adhd)
4. Gangguan perilaku
5. Oppositional defiant
disorder
6. Gangguan tourette
7. Gangguan kecemasan
perpisahan
8. Sindrome down
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
1. KESIMPULAN
2. SARAN
Berdasarkan hasil penerapan asuhan keperawatan yang dilakukan maka penulis dapat
memberi saran, antara lain :
− Dalam memberikan asuhan keperawatan pada klien dengan demam otitis media
hendaklah mengkaji dan memperhatikan dengan seksama keluhan yang dirasakan oleh
klien, mengingat OME seringkali terkait dengan OMA ( otits media akut) . OME bisa
saja berdiri sendiri akibat kondisi tertentu atau merupakan kelanjutan dari OMA.
Pengkajian yang akurat akan menghasilkan diagnosa dan intervensi yang tepat pula,
sehingga pada pasien agar tecapai hasil yang diharapkan,
− Dalam memberikan asuhan keperawatan pada klien dengan Otitis Media Efusi (OME)
diharapkan adanya kerjasama / kolaborasi terintegrasi antara perawat dan tim
kesehatan lain agar tercapai asuhan yang komprehensif untuk mencegah hambatan
pendengaran, rekurensi dan komplikasi lanjut akibat OME.
− Pemberian informasi melalui Penyuluhan atau Edukasi Kesehatan pada klien dan
keluarga guna meningkatkan pengetahuan tentang perjalanan penyakit Otitis Media
Efusi, penyebab, gejala, serta pencegahan yang dapat dilakukan, guna meningkatkan
status kesehatan klien dan keluarga.
DAFTAR PUSTAKA

Auditory Steady-State Response (ASSR): A Beginner’s Guide.2007.


https://www.hearingreview.com/hearing-products/accessories/components/auditory-
steady-state-response-assr-a-beginners-guide. diakses 15/04/2021

Brunner &Suddarth. 2001. Buku AjarPatofisiologi Keperawatan Medikal-Bedah.alih bahasa


Agung Waluyo. Ed. 8. EGC. Jakarta

Gambaran hasil skrining pendengaran pada pasien dengan keterlambatan bicara & bahasa di
poliklinik THT-KL RSUP Sanglah periode Januari-Desember 2017.2017
https://www.medicinaudayana.org/index.php/medicina/article/viewFile/677/.
diakses 15/04/2021

Sukri Rahman dan Rossy.2012.Neuropati Auditori


http://jurnal.fk.unand.ac.id/index.php/jka/article/download/6/4+&cd=18&hl=id&ct=
clnk&gl=id . diakses 03/05/2021

Tim Pokja SDKI DPP PPNI, 2017. Standar Diagnosa Keperawatan Indonesia, Cetakan II.
Jakarta : Dewan Pengurus Pusat PPNI

Tim Pokja SIKI DPP PPNI, 2018. Standar Implementasi Keperawatan Indonesia, Cetakan II.
Jakarta : Dewan Pengurus Pusat PPNI

Tim Pokja SLKI DPP PPNI, 2019. Standar Luaran Keperawatan Indonesia, Cetakan II.
Jakarta : Dewan Pengurus Pusat PPNI

Timpanometri.https://sinta.unud.ac.id/uploads/dokumen_dir/
fe137c02570902086a81852c31541ae8.pdf. diakses 15/04/2021

Anda mungkin juga menyukai