Anda di halaman 1dari 17

ASKEP GANGGUAN PENDENGARAN PADA LANSIA

MAKALAH

OLEH:

M. SUKRI HIDAYAT

NIM. 210102383

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN AL INSYIRAH
PEKANBARU
2023
ASKEP GANGGUAN PENDENGARAN PADA LANSIA

I. PENGERTIAN

Berkurangnya Pendengaran adalah penurunan fungsi pendengaran pada salah satu

ataupun kedua telinga. Tuli adalah penurunan fungsi pendengaran yang sangat berat.

Presbikusis merupakan akibat dari proses degeneratif pada satu atau beberapa bagian

koklea (striae vaskularis, sel rambut, dan membran basi la ris) maupun serabut saraf

auditori. Presbikusis ini juga merupakan hasil interaksi antara faktor genetik individu

dengan faktor eksternal, seperti pajanan suara berisik terus-menerus, obat ototoksik,

dan penyakit sistemik.

Presbikusis terbagi dua menjadi prebiskus perifer dan prebiskus sentral. Presbikusis

perifer, di mana para lansia hanya mampu untuk mengidentifikasi kata. Alat Bantu

dengar masih cukup bermanfaat, tetapi harus diperhatikan untuk menghindari

berteriak/berbicara terlalu keras karena dapat membuat ketidaknyamanan di telinga.

Presbikusis sentral, di mana lansia mengalami gangguan untuk mengidentifikasi

kalimat, sehingga manfaat alat bantu dengar sangat kurang. Oleh karena itu, percakapan

dengan para lansia harus sedikit lebih lambat tanpa mengabaikan irama dan intonasi.

Presbikusis ditambah dengan situasi ketika percakapan yang berlangsung kurang

mendukung dapat menyebabkan lansia mengalami gangguan komunikasi.

II. PENYEBAB

Fungsi pendengaran bisa disebabkan oleh:

 Suatu masalah mekanis di dalam saluran telinga atau di dalam telinga tengah

yang menghalangi penghantaran suara (penurunan fungsi pendengaran

konduktif)
 Kerusakan pada telinga dalam, saraf pendengaran atau jalur saraf pendengaran

di otak (penurunan fungsi pendengaran sensorineural).

Penurunan fungsi pendengaran sensorineural dikelompokkan lagi menjadi:

 Penurunan fungsi pendengaran sensorik (jika kelainannya terletak pada

saraf pendengaran atau jalur saraf pendengaran di otak).

 Penurunan fungsi pendengaran neural (jika kelainannya terletak pada telinga

dalam)

 Penurunan fungsi pendengaran sensorik bisa merupakan penyakit keturunan,

tetapi mungkin juga disebabkan oleh:

1. Trauma akustik (suara yang sangat keras)

2. Infeksi virus pada telinga dalam

3. Obat-obatan tertentu

4. Penyakit Meniere.

Penurunan fungsi pendengaran neural bisa disebabkan oleh:

 sekitarnya dan batang otakTumor otak yang juga menyebabkan kerusakan

pada saraf-saraf di

 Infeksi keturunan (misalnya penyakit Refsum).Berbagai penyakit otak dan

saraf (misalnya stroke) Beberapa penyakit

III. GEJALA

Penderita penurunan fungsi pendengaran bisa mengalami beberapa atau seluruh

gejala berikut:

 sekelilingnya berisikkesulitan dalam mendengarkan percakapan, terutama jika

di terdengar gemuruh atau suara berdenging di telinga


 (tinnitus) tidak dapat mendengarkan suara televisi atau radio dengan volume

yang normal

 kelelahan dan iritasi karena penderita berusaha keras untuk bisa mendengar

 pusing atau gangguan keseimbangan.

VI. ANATOMI FISIOLOGI

Telinga sebagai organ pendengaran dan ekuilibrium terbagi dalam tiga

bagian, yaitu telinga luar, tengah, dan dalam. Telinga berisi reseptor-reseptor yang

menghantarkan gelombang suara ke dalam impuls-impuls saraf dan reseptor yang

berespons pada gerakan kepala. Perubahan pada telinga luar sehubungan dengan

proses penuaan adalah kulit telinga berkurang elastisitasnya. Daerah lobus yang

merupakan satu-satunya bagian yang tidak disokong oleh kartilago mengalami

pengeripu tan, aurikel tampak lebih besar, dan tragus sering ditutupi oleh rumbai-

rumbai rambut yang kasar. Saluran auditorius menjadi dangkal akibat lipatan ke

dalam, pada dindingnya silia menjadi lebih kaku dan kasar juga produksi serumen

agak berkurang dan cenderung menjadi lebih kering.

Perubahan atrofi telinga tengah, khususnya membran timpani karena proses

penuaan tidak mempunyai pengaruh jelas pada pendengaran. Perubahan yang

tampak pada telinga dalam adalah koklea yang berisi organ corti sebagai unit

fungsional pendengaran mengalami penurunan sehingga mengakibatkan presbikusis.

Lebih kurang 40% dari populasi lansia mengalami gangguan pendengaran

(presbikusis). Gangguan pendengaran mulai dari derajat ringan sampai berat dapat

dipantau dengan menggunakan alat audiometer. Pada umumnya laki-laki lebih

sering menderita gangguan pendengaran dibandingkan perempuan.


Presbikusis merupakan akibat dari proses degeneratif pada satu atau beberapa

bagian koklea (striae vaskularis, sel rambut, dan membran basi la ris) maupun

serabut saraf auditori. Presbikusis ini juga merupakan hasil interaksi antara faktor

genetik individu dengan faktor eksternal, seperti pajanan suara berisik terus-

menerus, obat ototoksik, dan penyakit sistemik.

Presbikusis terbagi dua menjadi prebiskus perifer dan prebiskus sentral.

Presbikusis perifer, di mana para lansia hanya mampu untuk mengidentifikasi kata.

Alat Bantu dengar masih cukup bermanfaat, tetapi harus diperhatikan untuk

menghindari berteriak/berbicara terlalu keras karena dapat membuat

ketidaknyamanan di telinga. Presbikusis sentral, di mana lansia mengalami

gangguan untuk mengidentifikasi kalimat, sehingga manfaat alat bantu dengar

sangat kurang. Oleh karena itu, percakapan dengan para lansia harus sedikit lebih

lambat tanpa mengabaikan irama dan intonasi.

Presbikusis ditambah dengan situasi ketika percakapan yang berlangsung

kurang mendukung dapat menyebabkan lansia mengalami gangguan komunikasi.

Gangguan komunikasi ini dapat terjadi akibat:

Pertama, pembicaraan mengalami gangguan karena suara musik, radio,

televisi, maupun pembicaraan lain. Kedua, sumber suara mengalami distorsi yang

berasal dari pengeras suara yang tidak sempurna seperti di terminal, masjid, telepon,

maupun bila diucapkan oleh anak-anak atau pembicara yang terlalu cepat.

Ketiga, kondisi akustik ruangan yang tidak sempurna seperti di dapur, ruang makan

restoran, serta ruang pertemuan yang mudah memantulkan suara..


V.PATOFISIOLOGI

Menurut frekuensi getarannya, tinnitus terbagi menjadi dua macam, yaitu:

 Tinnitus Frekuensi rendah (low tone) seperti bergemuruh

 Tinnitus frekuensi tinggi (high tone)seperti berdenging

Tinnitus biasanya di hubungkan dengan tuli sensorineural dan dapat juga

terjadi karena gangguan konduksi, yang biasanya berupa bunyi dengan nada rendah. Jika

di sertai dengan inflamasi, bunyi dengung akan terasa berdenyut (tinnitus pulsasi) dan

biasanya terjadi pada sumbatan liang telinga, tumor, otitis media, dll.

Pada tuli sensorineural, biasanya timbul tinnitus subjektif nada tinggi (4000Hz). Terjadi

dalam rongga telinga dalam ketika gelombang suara berenergi tinggi merambat melalui

cairan telinga, merangsang dan membunuh sel-sel rambut pendengaran maka telinga tidak

dapat berespon lagi terhadap frekuensi suara. Namun jika suara keras tersebut hanya

merusak sel-sel rambut tadi maka akan terjadi tinnitus, yaitu dengungan keras pada

telinga yang di alami oleh penerita.(penatalaksanaan penyakit dan kelainan THT edisi 2

thn 2000 hal 100). Susunan telinga kita terdiri atas liang telinga, gendang telinga, tulang-

tulang pendengaran, dan rumah siput. Ketika terjadi bising dengan suara yang melebihi

ambang batas, telinga dapat berdenging, suara berdenging itu akibat rambut getar yang

ada di dalam rumah siput tidak bisa berhenti bergetar. Kemudian getaran itu di terima

saraf pendengaran dan diteruskan ke otak yang merespon dengan timbulnya denging.

Kepekaan setiap orang terhadap bising berbeda-beda, tetapi hampir setiap orang akan

mengalami ketulian jika telinganya mengalami bising dalam waktu yag cukup lama.

Setiap bising yang berkekuatan 85dB bisa menyebabkan kerusakan. Oleh karena itu di

Indonesia telah di tetapkan nilai ambang batas yangn di perbolehkan dalam bidang

industri yaitu sebesar 89dB untuk jangka waktu maksimal 8 jam. Tetapi memang
implementasinya belum merata. Makin tinggi paparan bising, makin berkurang paparan

waktu yang aman bagi telinga.

IV. PEMERIKSAAN

1. Pemeriksaan Dengan Garputala

Pada dewasa, pendengaran melalui hantaran udara dinilai dengan

menempatkan garputala yang telah digetarkan di dekat telinga sehingga suara harus

melewati udara agar sampai ke telinga. Penurunan fungsi pendengaran atau

ambang pendengaran subnormal bisa menunjukkan adanya kelainan pada saluran

telinga, telinga tengah, telinga dalam, sarat pendengaran atau jalur saraf

pendengaran di otak. Pada dewasa, pendengaran melalui hantaran tulang dinilai

dengan menempatkan ujung pegangan garputala yang telah digetarkan pada

prosesus mastoideus (tulang yang menonjol di belakang telinga). Getaran akan

diteruskan ke seluruh tulang tengkorak, termasuk tulang koklea di telinga dalam.

Koklea mengandung sel-sel rambut yang merubah getaran menjadi gelombang

saraf, yang selanjutnya akan berjalan di sepanjang saraf pendengaran.

Pemeriksaan ini hanya menilai telinga dalam, saraf pendengaran dan jalur saraf

pendengaran di otak. Jika pendengaran melalui hantaran udara menurun, tetapi

pendengaran melalui hantaran tulang normal, dikatakan terjadi tuli konduktif.

Jika pendengaran melalui hantaran udara dan tulang menurun, maka terjadi tuli

sensorineural. Kadang pada seorang penderita, tuli konduktif dan sensorineural

terjadi secara bersamaan.


2. Audiometri

Audiometri dapat mengukur penurunan fungsi pendengaran secara tepat,

yaitu dengan menggunakan suatu alat elektronik (audiometer) yang menghasilkan

suara dengan ketinggian dan volume tertentu. Ambang pendengaran untuk

serangkaian nada ditentukan dengan mengurangi volume dari setiap nada sehingga

penderita tidak lagi dapat mendengarnya. Telinga kiri dan telinga kanan diperiksa

secara terpisah.Untuk mengukur pendengaran melalui hantaran udara digunakan

earphone, sedangkan untuk mengukur pendengaran melalui hantaran tulang

digunakan sebuah alat yang digetarkan, yang kemudian diletakkan pada prosesus

mastoideus.

3. Audimetri Ambang Bicara

Audiometri ambang bicara mengukur seberapa keras suara harus diucapkan

supaya bisa dimengerti. Kepada penderita diperdengarkan kata-kata yang terdiri

dari 2 suku kata yang memiliki aksentuasi yang sama, pada volume tertentu.

Dilakukan perekaman terhadap volume dimana penderita dapat mengulang separuh

kata-kata yang diucapkan dengan benar.

4. Diskriminasi

Dengan diskriminasi dilakukan penilaian terhadap kemampuan untuk

membedakan kata-kata yang bunyinya hampir sama. Digunakan kata-kata yang

terdiri dari 1 suku kata, yang bunyinya hampir sama. Pada tuli konduktif, nilai

diskriminasi (persentasi kata-kata yang diulang dengan benar) biasanya berada


dalam batas normal. Pada tuli sensori, nilai diskriminasi berada di bawah normal.

Pada tuli neural, nilai diskriminasi berada jauh di bawah normal.

5. Timpanometri

Timpanometri merupakan sejenis audiometri, yang mengukur impedansi

(tahanan terhadap tekanan) pada telinga tengah. Timpanometri digunakan untuk

membantu menentukan penyebab dari tuli konduktif. Prosedur in tidak

memerlukan partisipasi aktif dari penderita dan biasanya digunakan pada anak-

anak.

Timpanometer terdiri dari sebuah mikrofon dan sebuah sumber suara yang

terus menerus menghasilkan suara dan dipasang di saluran telinga.

Dengan alat ini bisa diketahui berapa banyak suara yang melalui telinga tengah dan

berapa banyak suara yang dipantulkan kembali sebagai perubahan tekanan di

saluran telinga.

Hasil pemeriksaan menunjukkan apakah masalahnya berupa:

 penyumbatan tuba eustakius (saluran yang menghubungkan telinga tengah

cairan di dalam telinga tengah)

 kelainan pada rantai ketiga tulang pendengaran yang menghantarkan suara

melalui telinga tengah

. Timpanometri juga bisa menunjukkan adanya perubahan pada kontraksi otot

stapedius, yang melekat pada tulang stapes (salah satu tulang pendengaran di

telinga tengah).

Dalam keadaan normal, otot ini memberikan respon terhadap suara-suara

yang keras/gaduh (refleks akustik) sehingga mengurangi penghantaran suara dan

melindungi telinga tengah. Jika terjadi penurunan fungsi pendengaran neural,


maka refleks akustik akan berubah atau menjadi lambat. Dengan refleks yang

lambat, otot stapedius tidak dapat tetap berkontraksi selama telinga menerima suara

yang gaduh.

6. Respon Auditoris Batang Otak

Pemeriksaan ini mengukur gelombang saraf di otak yang timbul akibat

rangsangan pada saraf pendengaran. Respon auditoris batang otak juga dapat

digunakan untuk memantau fungsi otak tertentu pada penderita koma atau

penderita yang menjalani pembedahan otak.

7. Elektrokokleografi

Elektrokokleografi digunakan untuk mengukur aktivitas koklea dan saraf

pendengaran. Kadang pemeriksaan ini bisa membantu menentukan penyebab dari

penurunan fungsi pendengaran sensorineural. Elektrokokleografi dan respon

auditoris batang otak bisa digunakan untuk menilai pendengaran pada penderita

yang tidak dapat atau tidak mau memberikan respon bawah sadar terhadap suara.

Misalnya untuk mengetahui ketulian pada anak-anak dan bayi atau untuk

memeriksa hipakusis psikogenik (orang yang berpura-pura tuli).

Jalur saraf dari setiap telinga menyilang ke sisi otak yang berlawanan,

karena itu kelainan pada otak kanan akan mempengaruhi pendengaran pada telinga

kiri. Kelainan pada batang otak bisa mempengaruhi kemampuan dalam

menggabungkan pesan yang tidak lengkap menjadi pesan yang bermakna dan

dalam menentukan sumber suara.


V. PENGOBATAN

Pengobatan untuk penurunan fungsi pendengaran tergantung kepada

penyebabnya. Jika penurunan fungsi pendengaran konduktif disebabkan oleh adanya

cairan di telinga tengah atau kotoran di saluran telinga, maka dilakukan pembuangan

cairan dan kotoran tersebut. Jika penyebabnya tidak dapat diatasi, maka digunakan

alat bantu dengar atau kadang dilakukan pencangkokan koklea.

VI. ALAT BANTU DENGAR

Alat bantu dengar merupakan suatu alat elektronik yang dioperasikan dengan

batere, yang berfungsi memperkuat dan merubah suara sehingga komunikasi bisa

berjalan dengan lancar.

Alat bantu dengar terdiri dari:

- Sebuah mikrofon untuk menangkap suara

- Sebuah amplifier untuk meningkatkan volume suara

- Sebuah speaker utnuk menghantarkan suara yang volumenya telah dinaikkan.

Berdasarkan hasil tes fungsi pendengaran, seorang audiologis bisa menentukan

apakah penderita sudah memerlukan alat bantu dengar atau belum (audiologis adalah

seorang profesional kesehatan yang ahli dalam mengenali dan menentukan beratnya

gangguan fungsi pendengaran). Alat bantu dengar sangat membantu proses

pendengaran dan pemahaman percakapan pada penderita penurunan fungsi

pendengaran sensorineural.

Dalam menentukan suatu alat bantu dengar, seorang audiologis biasanya akan

mempertimbangkan hal-hal berikut:


- kemampuan mendengar penderita aktivitas di rumah maupun di tempat bekerja

- keterbatasan fisik

- keadaan medis

- Penampilan

- harga.

- Alat Bantu Dengar Hantaran Udara

Alat ini paling banyak digunakan, biasanya dipasang di dalam saluran telinga

dengan sebuah penutup kedap udara atau sebuah selang kecil yang terbuka.

Alat Bantu Dengar Yang Dipasang Di Badan Digunakan pada penderita tuli dan

merupakan alat bantu dengar yang paling kuat. Alat ini disimpan dalam saku

kemeja atau celana dan dihubungkan dengan sebuah kabel ke alat yang dipasang di

saluran telinga. Alat ini seringkali dipakai oleh bayi dan anak-anak karena

pemakaiannya lebih mudah dan tidak mudah rusak. Alat Bantu Dengar Yang

Dipasang Di Belakang Telinga Digunakan untuk penderita gangguan fungsi

pendengaran sedang sampai berat. Alat ini dipasang di belakang telinga dan relatif

tidak terlihat oleh orang lain. CROS (contralateral routing of signals)

Alat ini digunakan oleh penderita yang hanya mengalami gangguan fungsi

pendengaran pada salah satu telinganya. Mikrofon dipasang pada telinga yang

tidak berfungsi dan suaranya diarahkan kepada telinga yang berfungsi melalui

sebuah kabel atau sebuah transmiter radio berukuran mini.

Dengan alat ini, penderita dapat mendengarkan suara dari sisi telinga yang tidak

berfungsi. BICROS (bilateral CROS) Jika telinga yang masih berfungsi juga

mengalami penuruna fungsi pendengaran yang ringan, maka suara dari kedua

telinga bisa diperkeras dengan alat ini. Alat Bantu Dengar Hantaran Tulang
Alat ini digunakan oleh penderita yang tidak dapat memakai alat bantu dengar

hantaran udara, misalnya penderita yang terlahir tanpa saluran telinga atau jika dari

telinganya keluar cairan (otore). Alat ini dipasang di kepala, biasanya di belakang

telinga dengan bantuan sebuah pita elastis. Suara dihantarkan melalui tulang

tengkorak ke telinga dalam. Beberapa alat bantu dengar hantaran tulang bisa

ditanamkan pada tulang di belakang telinga.

VII. PENCANGKOKAN KOKLEA

Pencangkokan koklea (implan koklea) dilakukan pada penderita tuli berat yang

tidak dapat mendengar meskipun telah menggunakan alat bantu dengar.

Alat ini dicangkokkan di bawah kulit di belakang telinga dan terdiri dari 4 bagian:

- Sebuah mikrofon untuk menangkap suara dari sekitar

yang tertangkap oleh mikrofon

- Sebuah prosesor percakapan yang berfungsi memilih dan mengubah suara

Sebuah transmiter dan stimulator/penerima yang berfungsi menerima

- sinyal dari prosesor percakapan dan merubahnya menjadi gelombang listrik

Elektroda, berfungsi mengumpulkan gelombang dari stimulator dan

mengirimnya ke otak

- Suatu implan tidak mengembalikan ataupun menciptakan fungsi pendengaran

yang normal, tetapi bisa memberikan pemahaman auditoris kepada penderita tuli

dan membantu mereka dalam memahami percakapan.

Implan koklea sangat berbeda dengan alat bantu dengar.

Alat bantu dengar berfungsi memperkeras suara. Implan koklea menggantikan

fungsi dari bagian telinga dalam yang mengalami kerusakan.

Jika fungsi pendengaran normal, gelombang suara diubah menjadi gelombang


listrik oleh telinga dalam. Gelombang listrik ini lalu dikirim ke otak dan kita

menerimanya sebagai suara. Implan koklea bekerja dengan cara yang sama.

Secara elektronik, implan koklea menemukan bunyi yang berarti dan kemudian

mengirimnya ke otak

VIII PENATALAKSANAAN

Asuhan Keperawatan Gangguan Sistem Pendengaran Lansia

- Bersihkan telinga, pertahankan komunikasi.

- Berbicara pada telinga yang masih baik dengan suara yang tidak terlalu keras.

- Berbicara secara perlahan-lahan, jelas, dan tidak terlalu panjang.

- Beri kesempatan klien untuk menjawab pertanyaan.

- Gunakan sikap dan gerakan atau objek untuk memudahkan persepsi klien.

- Beri sentuhan untuk menarik perhatian sebelum memulai pembicaraan.

- Beri motivasi dan reinforcement.

- Kolaborasi untuk menggunakan alat bantu pendengaran.

- Lakukan pemeriksaan secara berkala.

IX. ASUHAN KEPERWATAN

A. Pengkajian

Fokus pengkajian pada klien dengan ganguan pendengaran

- Kaji identitas klien

- Kaji riwayat keperawatan ssp serta organ-organ bagian telinga dan

keseimbanagan

- Kaji adanya penguanaan obat-obat yang menyebabkan ototoxic dan merusak

- Kaji riwayat penguanaan obat-obatan


B. Diagnosa keperawatan

1. Kerusakan komunikasi verbal B/D kerusakan pendengaran

2. Kerusakan aktivitas B/D ketidakseimbangan dalm beraktifitas karena

hilangnya fungsi pendengaran.

3. Kehilangan perawatan diri dirumah B/D hilangnya fungsi pendengaran

4. Kerusakan interaksi sosial B/D kerusakan sarf sensori

C. Rencana intervensi keperawatan

- intervensi keperawatan pada lansia dengan ganguan pendengaran

Ketika berbicara kerusakan suara (bukan teriak) atau menyuruh untuk

memperhatikan mulut sipembicara.

- Ajak klien berkomunikasi dengan santai dengan jarak yang dekat.

- Berbicara yang jelas dan tidak terlalu cepat an saling bertatap muka.

Hindarkan adanya suara- suara yang mengganggu seperti suara radio dan TV

- Jika kerusakan komunikasi maka gunakanlah kertas sebagai komunikasi verbal

atau dengan simbol.

- Berikan lingkungan yang nyaman bagi klien.

- Gunakanlah alat bantu pendengaran apabila diperlukan.

DIAGNOSA KEPERAWATAN YANG MUNGKIN MUNCUL

1. Cemas b/d kurangnya informasi tentang gangguan pendengaran (tinnitus)

Tujuan/kriteria hasil:

 Tidak terjadi kecemasan, pengetahuan klien terhadap penyakit

meningkat

Intervensi:
- Kaji tingkat kecemasan / rasa takut

- Kaji tingkat pengetahuan klien tentang gangguan yang di alaminya

- Berikan penyuluhan tentang tinnitus

- Yakinkan klien bahwa penyakitnya dapat di sembuhkan

- Anjurkan klien untuk rileks, dan menghindari stress

2. Gangguan istirahat dan tidur b/d gangguan pendengaran

Tujuan /kriteria hasil:

 Gangguan tidur dapat teratasi atau teradaptasi

Intervensi:

- Kaji tingkat kesulitan tidur

- Kolaborasi dalam pemberian obat penenang/ obat tidur

- Anjurkan klien untuk beradaptasi dengan gangguan tersebut

3. Resiko kerusakan interaksi sosial b/d hambatan komunikasi

Tujuan/kriteria hasil:

 Resiko kerusakan interaksi sosial dapat di minimalkan

Intervensi:

- Kaji kesulitan mendengar

- Kaji seberapa parah gangguan pendengaran yang di alami klien

- Jika mungkin bantu klien memahami komunikasi nonverbal

- Anjurkan klien menggunakan alat bantu dengar setiap di

perlukan jika tersedia


DAFTAR PUSTAKA

Roach sally. Introduktory gerontological Nursing. 2001. Lippinctt: New Yor

Syaifuddin, Anatomi fisisologi. 1997. EGC. Jakarta

Petunjuk praktikum fisiologi I. Tim pengajar fisiologi. 2005. Stikes Aisyiyah


Yogyakarta,

Http: // www.pfizer peduli . com / artcel _ detail . aspex. Id : 21


Panduan dianosa keperawatan NANDA

Http: // www. Dokter tetanus . pjnkk. Go. Id / content . view / 249/31


http: // www. Dokter tetanus. WordPress. Com

wahyudi, Nugroho, Keperawatan Gerontik. 2000. EGC : Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai