Anda di halaman 1dari 33

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Telinga adalah organ penginderaan dengan fungsi ganda dan kompleks. Indera
pendengaran berperan penting pada partisipasi seseorang dalam aktivitas kehidupan
sehari-hari. Sangat penting untuk perkembangan normal dan pemeliharaan bicara, dan
kemampuan berkomunikasi dengan orang lain melalui bicara tergantung pada
kemampuan mendengar.

Pendengaran adalah persepsi saraf mengenai energi suara. Gelombang suara adalah
getaran udara yang merambat dan terdiri dari daerah-daerah bertekanan tinggi karena
kompresi (pemampatan) molekul-molekul udara yang berselang seling dengan daerah-
daerah bertekanan rendah karena penjarangan molekul tersebut. (Sherwood, 2001).

Proses mendengar sebenarnya sudah terjadi segera setelah bayi dilahirkan normal ke
dunia, bahkan organ pendengaran sudah berfungsi seperti layaknya orang dewasa
tatkala janin berusia 20 minggu kehamilan. Janin sudah dapat memberikan reaksi ketika
diberikan stimulus berupa nada murni berfrekuensi tinggi melalui microphone yang
ditempatkan pada perut ibu seperti yang dilaporkan pertama kali oleh seorang peneliti
yang bernama Johansson et al pada tahun 1964.

Otitis media kronik adalah suatu infeksi pada telinga tengah yang disebabkan karena
masuknya bakteri patogenik ke dalam telinga tengah (Smeltzer, 2001). Otitis media
akut (OMA) dapat terjadi karena beberapa faktor penyebab seperti sumbatan tuba
eustachius (merupakan penyebab utama dari kejadian otitis media yang menyebabkan
pertahanan tubuh pada silia mukosa tubaeustachius terganggu), ISPA, dan bakteri
(Streptococcus pneumoniae, Haemophylus influenza, Moraxella catarrhalis, dan
bakteri piogenik lain).

Angka prevalensi gangguan pendengaran di Indonesia akibat OMSK masih cukup


tinggi. Kejadian OMSK lebih tinggi pada populasi dengan status social ekonomi rendah

1
karena kesulitan untuk mengakses pengobatan dengan antibiotic, tindak lanjut yang
tidak memadai dan kebersihan serta ppendidikan yang buruk. Salah satu faktor yang
menyebabkan gangguan pendengaran pada pasien OMSK adalah adanya kolesteatoma
karena selain menyebabkan tuli konduksi juga dapat menyebabkan tuli saraf.

Menurut Casselbrant (1999) dalam Titisari (2005), menunjukkan bahwa 19% hingga
62% anak-anak mengalami sekurang-kurangnya satu episode OMSK dalam tahun
pertama kehidupannya dan sekitar 50-84% anak-anak mengalami paling sedikit satu
episode OMSK ketika ia mencapai 3 tahun. Di Amerika Serikat, insiden OMSK
tertinggi dicapai pada usia 0 sampai 2 tahun, diikuti dengan anak-anak pada usia 5
tahun.

B. Rumusan Masalah
1. Apa itu Anatomi Fisiologi Telinga ?
2. konsep dasar gangguan kebutuhan aktivitas akibat patologi sistem indra
pendengaran?
3. Bagaimana anamnesa gangguan sistem indra pendengaran dan keterkaitannya
dengan masalah neurosains?
4. Bagaimana cara melakukan pemeriksaan fisik sistem pendengaran?
5. Bagaimana asuhan keperawatan pada pasien dengan OMSK?
C. Tujuan
a. Tujuan umum
Untuk mengetahui asuhan keperawatan pada pasien dengan OMSK (Otitis Media
Supuratif Kronis)
b. Tujuan khusus
1. Mampu memahami anatomi fisiologi telinga
2. Mampu memahami konsep dasar gangguan kebutuhan aktivitas akibat patologi
sistem indra pendengaran
3. Mampu mengetahui cara anamnesa gangguan sistem indra pendengaran dan
keterkaitannya dengan masalah neurosains
4. Mampu melaksanakan pemeriksaan fisik system pendengaran
5. Mampu menyusun rencana tindakan keperawatan yang diberikan untuk
mengatasi masalah yang terjadi pada pasien OMSK

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Anatomi Fisiologi Telinga

Telinga adalah organ pendengar. Syaraf yang melayani indera ini adalah syaraf cranial ke
delapan atau nervus auditorius. Telinga terdiri dari 3 bagian, yaitu : telinga luar, telinga tengah,
dan rongga telinga dalam.

1. Telinga luar

Telinga luar, yang teridiri dari aurikula (pinna) dan kanalis auditorius eksternus, dipisahkan
dari telinga tengah oleh struktur seperti cakram yang dinamakan membran timpani (gendang
telinga). Telinga terletak pada kedua sisi kepala kurang lebih setinggi mata. Aurikulus
melekat ke sisi kepala oleh kulit dan tersusun terutama oleh kartilago, kecuali lemak dan
jaringan bawah kulit pada lobus telinga. Aurikulus membantu pengumpulan gelombang suara
dan perjalanannya sepanjang kanalis auditorius eksternus. Tepat didepan meatus auditorius
eksternus adalah sendi temporal mandibular.

2. Telinga tengah

Telinga tengah mengandung tulang terkecil (osikuli) yaitu malleus, inkus stapes. Asikuli
dipertahankan pada tempatnya oleh sendian, otot, dan ligamen, yang membantu hantaran
suara. Ada dua jendela kecil jendela oval dan dinding medial telinga tengah, yang
memisahkan telinga tengah dengan telinga dalam. Bagian dataran kaki menjejak pada jendela

3
oval, di mana suara dihantar telinga tengah. Jendela bulat memberikan jalan ke getaran suara.
Jendala bulat ditutupi oleh membrana sangat tipis, dan dataran kaki stapes ditahan oleh yang
agak tipis, atau struktur berbentuk cincin. Anulus jendela bulat maupun jendela oval mudah
mengalami robekan. Bila terjadi robekan, cairan dari dalam dapat mengalami kebocoran ke
telinga tengah kondisi ini dinamakan fistula perilimfe. Tuba berfungsi sebagai drainase untuk
sekresi dan menyimbangkan tekanan dalam telinga tengah dengan tekanan atmosfer.

3. Telinga dalam

Telinga dalam tertanam jauh didalam bagian tulang temporal. Organ untuk pendengar
(koklea) dan keseimbangan (kanalis semisirkularis), begitu juga kranial VII (nervus Fasialis)
dan VIII nervus koklea vestibularis semuanya merupakan bagian dari komplek anatomi.
Koklea dan kanalis semi posterior, superior dan lateral terletak membentuk sudut 90˚ satu
sama lain dan mengandung organ yang berhubungan dengan keseimbangan. Organ akhir
reseptor ini distimulus oleh perubahan kecepatan dan arah gerakan seseorang. Koklea
berbentuk seperti rumah siput dengan panjang sekitar 3,5 cm dengan dua setengah lingkaran
spiral dan mengandung organ akhir untuk pendengaran, dinamakan organ corti. Labirin
membranosa tersusun atas utrikulus, akulus, dan kanalis semisirkularis, duktus koklearis, dan
organ corti.

B. Konsep Otitis Media Supuratif Kronik

1. Pengertian

Otitis Media Supuratif Kronis (OMSK) dahulu disebut otitis media perforate (OMP) atau
dalam sebutan sehari-hari : congek.

Otitis Media Supuratif Kronis adalah infeksi kronis di telinga tengah dengan perforasi
membrane timpani dan secret yang keluar dari telinga tengah terus menerus atau hilang
timbul. Secret mungkin encer atau kental, bening, atau berupa nanah. Biasanya disertai
gangguan pendengaran. (arif mansjoer, 2001 ; 82)

2. Jenis OMSK (Otitis Media Supuratif Kronik)

OMSK dapat dibagi atas 2 jenis, yaitu (1) OMSK tipe benigna (tipe mukosa = tipe aman)
dan (2) OMSK tipe maligna (tipe tulang = tipe bahaya).

4
Berdasarkan aktivitas secret yang keluar dikenal juga OMSK aktif dan OMSK tenang.
OMSK aktif ialah OMSK dengan secret yang keluar dari kavum timpani secara aktif,
sedangkan OMSK tenang ialah yang keadaan kavum timpaninya terlihat basah atau kering.

Proses peradangan pada OMSK tipe benigna terbatas pada mukosa saja, dan biasanya tidak
mengenai tulang. Perforasi terletak di sentral. Umumnya OMSK tipe benigna jarang
menimbulkan komplikasi yang berbahaya. Pada OMSK tipe benigna tidak terdapat
kolesteatom.

OMSK tipe atau di atik, kadang-kadang terdapat juga kolesteatom pada OMSK dengan
perforasi subtotal maligna adalah OMSK yang disertai dengan kolesteatom. OMSK ini
dikenal juga dengan OMSK tipe bahaya atau OMSK tipe tulang. Perforasi pada OMSK tipe
maligna letaknya marginal. Sebagian besar komplikasi yang berbahaya atau fatal timbul
pada OMSK tipe maligna.

3. Perjalanan penyakit

Otitis Media Akut dengan perforasi membrane timpani menjadi Otitis Media Supuratif
Kronis apabila prosesnya sudah lebih dari 2 bulan. Bila proses infeksi kurang dari 2 bulan,
disebut Otitis Media Supuratif Subakut.

Beberapa faktor yang menyebabkan OMA menjadi OMSK ialah terapi yang terlambat
diberikan, terapi yang tidak adekuat, virulensi kuman tinggi, daya tahan tubuh pasien rendah
(gizi kurang) atau higiena buruk.

Letak perforasi

Letak perforasi di membrane timpani penting untuk menentukan tipe/jenis OMSK. Perforasi
membrane timpani dapat ditemukan di daerah sentral, marginal atau atik. Oleh karena itu
disebut perforasi sentral, marginal atau atik.

Pada perforasi sentral, perforasi terdapat di pars tensa, sedangkan di seluruh tepi perforasi
masih ada sisa membrane timpani. Pada perforasi marginal sebagian tepi perforasi langsung
berhubungan dengan anulus atau sulkus timpanikum. Perforasi atik ialah perforasi yang
terletak di pars flaksida

4. Tanda klinik OMSK tipe maligna

Mengingat OMSK tipe maligna seringkali menimbulkan komplikasi yang berbahaya, maka
perlu marginal atau pada atik. Tanda ini merupakan tanda dini dari OMSK tipe maligna,

5
sedangkan pada kasus yang sudah lanjut dapat terlihat; abses atau fistel retro-aurikuler
(belakang telinga), polip atau jaringan granulasi di liang telinga luar yang berasal dari dalam
telinga tengah, terlihat kolesteatom pada telinga tengah, (sering terlihat di epitympanum),
secret berbentuk nanah dan ditegakkan diagnosis dini. Walaupun diagnosis pasti baru dapat
ditegakkan di kamar operasi, namun beberapa tanda klinik dapat menjadi pedoman akan
adanya OMSK tipe maligna, yaitu perforasi pada berbau khas (aroma kolesteatom) atau
terlihat bayangan kolesteatom pada foto Rontgen mastoid.

5. Terapi OMSK

Terapi OMSK tidak jarang memerlukan waktu yang lama, serta harus berulang-ulang.
Secret yang keluar tidak cepat kering atau selalu kambuh lagi. Keadaan ini antara lain
disebabkan oleh satu atau beberapa keadaan, yaitu (1) adanya perforasi membrane timpani
yang permanen, sehingga telinga tengah berhubungan dengan dunia luar, (2) terdapat
sumber infeksi di faring, nasofaring, hidung dan sinus paranasal, (3) sudah terbentuk
jaringan patologik yang ireversibel dalam rongga mastoid, dan (4) gizi dan higiena yang
kurang.

Prinsip terapi OMSK tipe benigna ialah konservatif atau dengan medikamentosa. Bila secret
yang keluar terus menerus, maka diberikan obat pencuci telinga, berupa larutan H2O2 3%
selama 3-5 hari. Setelah secret berkurang, maka terapi dilanjutkan dengan memberikan obat
tetes telinga yang mengandung antibiotika dan kortikosteroid. Banyak ahli berpendapat
bahwa semua obat tetes yang dijual di pasaran saat ini mengandung antibiotika yang bersifat
ototoksik. Oleh sebab itu dianjurkan agar obat tetes telinga jangan diberikan secara terus
menerus lebih dari 1 atau 2 minggu atau pada OMSK yang sudah tenang. Secara oral
diberikan antibiotika dari golongan ampisilin, atau eritromisin, (bila pasien alergi terhadap
penisilin), sebelum hasil tes resistensi diterima. Pada infeksi yang dicurigai karena
penyebabnya telah resisten terhadap ampisilin dapat diberikan ampisilin asam klavunalat.

Bila secret telah kering, tetapi perforasi masih ada setelah diobservasi selama 2 bulan, maka
idealnya dilakukan miringoplasti atau timpanoplasti. Operasi ini bertujuan untuk
menghentikan infeksi secara permanen, memperbaiki membrane timpani yang perforasi,
mencegah terjadinya komplikasi atau kerusakan pendengaran yang lebih berat, serta
memperbaiki pendengaran.

6
Bila terdapat sumber infeksi yang menyebabkan secret tetap ada, atau terjadinya infeksi
berulang, maka sumber infeksi itu harus diobati terlebih dahulu, mungkin juga perlu
melakukan pembedahan, misalnya adenoidektomi dan tonsilektomi.

Prinsip terapi OMSK tipe maligna ialah pembedahan, yaitu mastoidektomi baik itu dengan
atau tanpa timpanoplasti. Terapi konservatif dengan medikamentosa hanyalah merupakan
terapi sementara sebelum dilakukan pembedahan. Bila terdapat abses subperiosteal
retroaurikuler, maka insisi abses sebaiknya dilakukan tersendiri sebelum kemudian
dilakukan mastoidektomi.

6. Infeksi telinga tengah dan mastoid

Rongga telinga tengah dan rongga mastoid berhubungan langsung melalui aditus adantrum.
Oleh karena itu infeksi kronis telinga tengah yang sudah berlangsung lama biasanya disertai
infeksi kronis di rongga mastoid. Infeksi rongga mastoid dikenal dengan mastoiditis.
Beberapa ahli menggolongkan mastoiditis ke dalam komplikasi OMSK

7. Jenis pembedahan pada OMSK

Ada beberapa jenis pembedahan atau Teknik operasi yang dapat dilakukan pada OMSK dengan
mastoiditis kronis baik tipe benigna atau maligna, antara lain (1) mastoidektomi sederhana
(simple mastoidectomy), (2) mastoidektomi radikal, (3) mastoidektomi radikal dengan
modifikasi, (4) miringoplasti, (5) timpanoplasti, (6) pendekatan ganda timpanoplasti
(combined approach tympanoplasty). Jenis operasi mastoid yang dilakukan tergantung pada
luasnya infeksi atau kolesteatom, sarana yang tersedia serta pengalaman operator.

Sesuai dengan luasnya infeksi atau luasnya kerusakan yang sudah terjadi, kadang
kadang dilakukan kombinasi dari jenis operasi itu atau modifikasinya.

Mastoidektomi sederhana, operasi ini dilakukan pada OMSK tipe benigna yang dengan
pengobatan konservatif tidak sembuh. Tindakan operasi ini melakukan pembersihan ruang
mastoid dari jaringan patologik. Tujuannya adalah supaya infeksi tenang dan telinga tidak
berair lagi. Pada operasi ini fungsi pendengaran tidak diperbaiki.

Mastoidektomi radikal, operasi ini dilakukan pada OMSK maligna dengan infeksi atau
kolesteatom yang sudah meluas. Pada operasi ini rongga mastoid dan kavum timpani
dibersihkan dari semua jaringan patologik. Dinding batas antara liang telinga luar dan telinga
tengah dengan rongga mastoid diruntuhkan, sehingga ketiga daerah anatomi tersebut menjadi

7
satu ruangan. Tujuan operasi ini ialah untuk membuang semua jaringan patologik dan
mencegah komplikasi ke intracranial. Fungsi pendengaran tidak diperbaiki. Kerugian operasi
ini adalah pasien tidak diperbolehkan berenang seumur hidupnya. Pasien harus dating dengan
teratur untuk control, supaya tidak terjadi infeksi kembali,

8. Komplikasi Otitis Media Supuratif Kronis dan Mastoiditis

a. Pengertian

Otisis media supuruatif mempunyai potensi untuk menjadi serius karena komplikasinya
yang dapat mengancam kesehatan dan dapat menyebabkan kematian. Tendensi otitis
media mendapatkan komplikasi tergantung pada kelainan patologik yang menyebabkan
otore. Biasanya komplikasi di dapatkan pada pasien OMSK tipe maligna, tetapi suatu
otitis media akut atau suatu eksaserbasi akut oleh kuman virulen pada OMSK tipe
benigna pun dapat menyebabkan suatu komplikasi. Kemajuan kemoterapi modern
menyebabkan komplikasi otogenik menjadi semakin jarang, tetapi belum
menghilangkan komplikasi ini. Obat-obat itu sering menyebabkan gejalan dan tanda-
tandanya menjadi kabur. Hal tersebut menyebabkan pentingnya suatu uraian mengenai
pola klinik yang berhubungan dengan komplikasi ini, mengingat bahwa diagnosis dini
menjanjikan pengobatan yang lebih efektif.

b. Penyebaran penyakit
Komplikasi otitis media terjadi apabila sawar (barrier) pertahanan telinga tengah yang
normal dilewati, sehingga memungkinkan infeksi menjalar ke struktur di sekitarnya.
Pertahanan pertama ialah muka kavum timpani yang menyerupai mukosa saluran napas
yang mampu melokalisasi dan mengatasi infeksi. Bila sawar runtuh, masih ada sawar
kedua, yaitu dinding tulang kavum timpani dan sel mastoid. Bila sawar ini masih
runtuh, maka struktur lunak di sekitarnya akan tertekan.
Area invasi infeksi di tentukan oleh banyaknya faktor. Luas dan jalannya pneumatisasi
mastoid, lokasi dan luasnya area erosi oleh kolesteatom, areayang terkena oleh infeksi
mastoid sebelumnya, dan letak kerusakan oleh operasi sebelumnya. Begitu infeksi
supuratif meluas ke daerah sekitarnya, reaksi pertahanan lokal terpanggil untuk
bereaksi, biasanya berupa pembentukan abses yang terlokalisasi. Perluasan menembus
tegmen akan menyebabkan abses ekstradura fosa media, sedangkan perluasan
menembus dinding posterior tulang temporal dapat menghasilkan abses ekstradura atau

8
abses perisinus. Suatu osteitis tanpa nekrosis tulang dapat menyebabkan abses
ekstradura yang terlokalisasi tanpa suatu hubungan yang nyata dengan struktur telinga
tengah.
Penyebaran menembus selaput otak di mulai begitu penyakit mencapai dura,
menyebabkan pakimeningitis. Dura sangat resisten terhadap penyebaran infeksi. Dura
itu akan menebal, hiperemik, dan lebih melekat ke tulang. Jaringan granulasi terbentuk
pada duta yang terpapar, dan ruang subdura yang berdekatan mengalami obliterasi. Bila
suatu abses subdura terbentuk akibat penyebaran melalui tegmen, dapat menjadi luas
karena longgarnya perekatan dura dengan tulang temporal. Pada fosa posterior dura
melekat lebih erat, sehingga abses di ini jauh lebih kecil. Begitu juga pada permukaan
superior tulang petrosai medial dari eminensia aruata. Bila daerah yang terkena
berdampingan dengan sinus sigmoid, abses yang terbentuk di sebut abses perisinus.
Pada keadaan ini tromboflebitis pada pembuluh darah di dura akan menyebar , atau
iritasi lokal dinding sinus akan memungkinkan terbentuknya trombus “mural”. Kedua
proses tersebut mengarah kepada trombosis sinus, baik aseptik maupun supuratif.

Apabila pertahanan pertama untuk mencegah penyebaran infeksi ini gagal karena telah
terjadi nekrosis dura, terjadilah invasi ke ruang subdura.walaupun biasanya ruangan ini
telah terobliterasi oleh proses inflamasi, kadang-kadang terjadi juga empiema yang
dapat meluas, bahkan dapat sampai ke hemisfer kontralateral. Infeksi subdura biasanya
terlokalisasi, tetapi dapat membesar sekali dan mengenai jaringan otak di dekatnya,
berupa tromboflebitis dengan pembentukan berupa abses kecil. Pada penyebaran
langsung begini telah terjadi obliterasi ruang subdura dan subarakhnoid, biasanya
menyebabkan terbentuknya hubungan langsung ke otak berupa abses bertangkai.

Infeksi pada dura dan ruang subdura merangsang reaksi piarakhnoid menimbulkan
meningitis serosa. Usaha untuk melokalisasi lesi biasanya menghasilkan kista
arakhnoid, terutama di daerah fosa kranial posterior. Membesarnya kista dapat
menimbulkan gejala-gejala akibat desakan ke dalam terhadap jaringan serebelum.
Pecahnya abses dura, subdura, atau arakhnoid akan menyebabkan meningitis difus
mendadak. Meningitis seringkali terjadi tanpa di dahului oleh pembentukan abses. Hal
tersebut terutama terjadi akbiat virulensi kuman yang tinggi atau pada daya tahan tubuh
yang menurun. Pada awal perkembangan meningitis , terjadi efusi serosa yang
kemudian berubah menjadi perulen bila infeksi tidak cepat di atasi. Meningitis serosa
9
dapat juga terjadi akibat reaksi iritasi terhadap dura. Pada kasus demikian akan di
dapatkan cairan spinal yang steril dan gejala-gejala meningitis yang lebih ringan
(meningismus). Begitu infeksi berkembang, bakteri dan sel-sel radang akut tampak di
cairan spinal dan gejala serta tanda-tanda berat pun tampak.

Penyebaran ke jaringan otak berupa pembentukan abses, biasanya terjadi pada daerah
di antara ventrikel dan permukaan korteks, atau di tengah lobulus serebelum. Cairan
penyebaran infeksi ke jaringan otak ini dapat terjadi, baik akibat tromboflebitis, atau
pun perluasan infeksi ke ruang Virchow-Robin yang terletak di daerah vaskular
subkorteks. Seringkali trombosis sinus menyebabkan tromboflebitis vena yang
berhubungan dengan resiko terjadinya komplikasi-komplikasi tersebut secara
bersamaan.

Pada kebanyakan kasus, bila sawar tulang terlampaui, suatu dinding pertahanan ke tiga
yaitu jaringan granulasi akan terbentuk. Pada kasus akut atau suatu eksaserbasi akut
penyebaran biasanya melalui osteotromboflebitis (hematogen). Pada kasus lain,
terutama yang kronis, penyebaran biasanya melalui erosi tulang. Cara penyebaran
lainnya adalah melalu jalan yang sudah ada, misalnya fenestra rotundum, meatus
akustikus interna, duktus perilimfatik atau duktus endolimfatik. Dari gejala dan tanda-
tanda yang di temukan dapat di perkirakan jalan penyebaran suatu infeksi telinga tengah
ke intrakranial.
1) Penyebaran hematogen
Penyebaran melalui osteotromboflebitis ini dapat di ketahui dengan (1)
komplikasi terjadi pada awal suatu infeksi akut atau eksaserbasi akut, kadang-
kadang pada hari pertama atau kedua, biasanya pada sepuluh hari pertama. (2)
pada komplikasi tertentu, misalnya meningitis, gejala prodromal seperti
meningitis lokal tidak jelas. (3) pada operasi, dinding tulang telinga tengah utuh.
Tulang dan lapisan mukoperiosteal meradang dengan hebat dan mudah
berdarah hebat, sehingga di sebut juga mastoiditis hemoragik.

2) Penyebaran melalui erosi tulang


Penyebaran melalui erosi tulang dapat di ketahui, bila (1) komplikasi terjadi
beberapa minggu atau lebih setelah awal penyakit, (2) gejala prodromal oinfeksi
lokal biasanya mendahului gejala infeksi yang lebih luas. Misalnya paresis
10
fasial ringan yang hilang timbul mendahului paresis yang total. Gejala
meningitis lokal mendahului meningitis purulen, (3) pada operasi dapaat di
temukan lapisan tulang yang rusak di antara fokus supurasi dengan struktur
sekitar yang terkena. Struktur jaringan lembap yang terbuka biasanya di lapisi
oleh jaringan granulasi.

3) Paresis Fasial

Nervus fasialis dapat terkena oleh penyebaran infeksi langsung ke kanalis fasialis
pada otitis media akut. Pada otitis media kronis, kerusakan terjadi oleh erosi tulang
kolesteatom atau oleh jaringan granulasi, disusul oleh infeksi ke dalam kanalis
fasialis.

4) Fistula labirin dan labirinitis

Infeksi labirin biasanya merupakan hasil penjalaran langsung dari infeksi di


telingan tengah selama otitis media akut atau kronik labirinitis juga dapat terjadi
setelah meningitis atau abses subbdural, atau suatu proses nekrosis di os petrosus.
Penyebaran labirin dari telinga tengah paling sering melalui tingkap bulat atau
melalui tingkap lonjong (fenestra ovak). Tingkap bulat letaknya lebih dalam. Hal
tersebut memungkinkan terjadinya tertahannya sekret yang terinfeksi pada celah
tingkap bulat, sehingga memungkinkan penerobosan kuman atau toksin ke labirin.
Otitis media suspuratif kronis dapat menyebabkan terjadinya kerusakan pada
bagian vestibuler labirin, sehingga terbentuk fistel. Pada keadaan ini infeksi dapat
masuk sehingga terjadi labirinitis dan akhirnya akan terjadi komplikasi tuli total
dan meningitis. Pada Fistel atau labirinitis, operasi harus cepat dilakukan, untuk
menghilangkan infeksi dan menutup fistel, sehingga fungsi telinga dalam dapat
pulih kembali.

9. Komplikasi Ke Susunan Saraf Pusat

a. Meningitis

Komplikasi otitis media ke susunan saraf pusat yang paling sering ialah meningitis. Keadaan
ini dapat terjadi oleh otitis media akut maupun kronis, serta dapat terlokalisasi, atau umum
(general). Pada pemeriksaan likuor serebrospinal terdapat bakteri pada bentuk yang umum
(general), Sedangkan pada bentuk yang terlokalisasi tidak ditemukan bakteri. Gambaran
Klinik meningitis biasanya ditanggulangi dengan operasi mastoidektomi.

11
Gambaran klinik meningitis biasanya berupa kaku kuduk kenaikan suhu tubuh, mual,
muntah yang kadang-kadang muntahnya berupa kaku kuduk. Kenaikan suhu tubuh, mual,
muntah, yang kadang-kadang muntahnya muncrat (proyektif), serta nyeri kepala hebat.
Pengobatan meningitis otogenik ini ialah dengan mengobati meningitisnya dulu dengan
antibiotik yang sesuai, kemudian infeksi ditelinganya muncrat (proyektif), serta nyeri kepala
hebat. Pada kasus yang berat biasanya kesadaran menurun (delir sampai koma. Pada
pemeriksaan klinik terdapat kaku kuduk waktu difleksikan dan terdapat tanda kemig positif.
Biasanya kadar gula menurun dan kadar protein meningi di likuor serebrospinal. Pengobatan
meningitis otogenik ini ialah dengan mengobati meningitisnya dulu dengan antibiotik yang
sesuai, kemudian infeksi di telinganya ditanggulangi dengan operasi mastoidektomi.

b. Abses Otak

Abses otak sebagai komplikasi otitis media dan mastoiditis dapat ditemukan di serebelum,
fosa kranial posterior atau di lobus temporal, di fosa kranial media. Keadaan ini sering
berhubungan dengan tromboflebitis sinus lateralis, petrositis, atau meningitis. Abses otak
biasanya merupakan perluasan langsung dari infeksi telinga dan mastoid atau
tromboflebitis. Umumnya di dahului oleh suatu abses ekstradural.

Gejala abses serebelum biasanya lebih jelas daripada abses lobus temporal, abses
serebelum dapat di tandai denan ataksia, disdiadoko-kinetis, thermor intesif dan tidak
dapat menunjuk suatu objek. Afasia dapat terjadi pada abses lobus temporal. Gejala lain
yang menunjukan adanya toksisitas, berupa nyeri kepala, demam, muntah serta keadaan
latargik. Selain itu sebagai tanda yang nyata suatu abses otak ialah nadi yang lambat serta
serangan kejang. Pemeriksaan likuor, mungkin terdapat juga edema papil, lokasi abses
dapat ditentukan dengan pemeriksaan angiografi, ventrikulogrfi atau dengan CT Scan.

Pengobatan abses otak ialah dengan jalan operasi, dengan melakukan drenase dri lesi.
Selain itu pengobatan dengan antibiotika harus intensif. Mastoidektomi dilakukan untuk
membuang sumber infeksi, pada waktu keadaan umum lebih baik.

c. Hidrosefalus Otitis

Hidrosefalus otitis ditandai dengan peninggian tekanan louor serbrospinal yang hebat
tanpa adanya kelainan kimiawi dan likuor itu. Pada pemeriksan terdapat edema papi,
keadaan ini dapat menyertai otitis media akut atau kronis. Gejala berupa nyeri kepala
yang menetap, diplpia, pandangan yang kabur, mual dan muntah. Keadaan ini

12
diperirakan disebabkan oleh tekananannya sinus lateralis yang mengakibatkan kegagalan
absorpasi likour serbrospinal oleh lapisan araknoid.

Penatalaksanaan komplikasi intrakranial

Secara umum, pengobatan komplikasi penyakit telinga harus mencakup dua hal. Tidak
hanya penanganan yang efektif terhadap komplikaisnya yang harus diperhatikan tetapi
juga usaha untuk penyembuhan primernya. Seringkali ternyata beratnya komplikasi
mengharuskan kita menunda mastoidektomi sampai keadaan umum pasien mengizinkan.
Di samping itu bila ada ancaman terhadap terjadinya komplikasi atau bila ditemukan
komplikasi pada stadium dini dapat dikontrol dengan cara pengobatan seperti pegobatan
terdiri dari pemberian antibiotika dosis tinggi secepatnya, penatalaksanaan yang
optimum, dan bedah-bedah saraf bila diperlukan. Karena kerjasama bedah syaraf dan
otologi telah dijalin pad saat pemeriksaan pasien, maka hal tersebut harus dipertahankan
untuk mendapatkan hasil yang maksimum.

Pengobatan antibiotika pada komplikasi intrakranial sulit, karena adanya sawar darah
otak (blood-brain barrier) yang menghalangi banyak jensi antibiotika untuk mencapai
konsentrasi yang tinggi dicairan serebrospinal. Dulu sering dipakai cara pemberian
penisillin intratekal untuk mempertinggi konsentrasi penisilin, tetapi ternyata terlalu
mengiritasi, sehingga sekarang biasanya diberikan derivat penisilin dosis tinggi secara
intravena. Di bagian THT FKUI/RSCM telat dibuat protokol penatalaksanaan penderita
dengan komplikasi intrakranial. Pasien harus dirawat dan diberikan antibiotika dosis
secara intravena. Pemberian antibioktika dimulai dengan ampislin 4x 200-400
mg/kgBB/hari, kloramfenikol 4x ½-1g/hari untuk orang dewasa atau 60-100
mg/kgBB/hari untuk anak. Bila mungkin juga diberikan metronidazol 3x 400-600
mg/hari. Antibiotika kemudian disesuaikan dengan kemajuan klinis dan hasil biakan dari
sekret telinga ataupun likuor serebrospinal.

Selanjutnya dilakukan pemeriksaan labolatorium, foto mastoid, CT Scan epala yang


terutama untuk melihat kemungkinan adanya tanda-tanda ensefalitis atau abses
intrakranial, maka pasien dikonsulkan ke bagian bedah saraf melakukan tindakan bedah
otak untuk denase dengan segera, maka mastoidektomi dapat dilakukan sebelum tau
sesudah bedah saraf melakukan operasi otak. Bila pada saat itu keadaan umum pasien
buruk atau suhu tinggi, maka mastoidektomi dilakukan dengan analgesia lokal, Bila pada
CT Scan tidak melihat adanya abses otak dan keadaan umum pasien baik maka segera

13
dilakukan mastoidektomi dengan anestesia umum atau analgesia lokal. Tetapi, bila
keadaan umum pasien buruk atau suhu tetap tinggi, maka pengobatan medikamentosa
dilakukan sampai 2 minggu, dan kemudian segera dilanjutkan dengan mastoidektomi
yang dilakukan dalam analgesia lokal. Bila karena berbagai sebab CT Scan tidak dapat
dibuat, pengobatan medikamentosa juga diteruskan sampai 2 minggu untu kemudian
dilakukan mastoidektomi. Bila keadaan umum tetap buruk atau suhu tetap tinggi makan
mastoidektomi dilakukan dengan analgesia lokal.

Terapi bedah idelanya dilakukan pada stadium dini dari komplikasi. Dalam prakteknya
hal tersebut merupakan masalah untuk menentukan keputusan diambilnya tindakan
bedah atau tidak adalah diagnosis, kondisi pasien , dan respons pasien terhadap
pengobatan antibiotika. Rangsangan yang kontinyu dari kolesteatom di mastoid dapat
menyebabkan meningtiis berulang atau progresivitas abses otak. Karena itu, kontrol
terhadap penyakit primernya merupakan keharusan untuk penyembuhan yang lengkap.
Seringkali drenase empiema subdura atau abses otak harus segera dilakukan setelah
kondisi pasien mengiizinkan.

Pendekatan bedah mastoidektomi harus dapat menjamin eredikasi seluruh jaringan


patologik di mastoid. Maka sering diperlukan mastoidektomi modfikasi redikal,
walaupun kadang-kadang mastoidektomi simpel yang memaparkan dan mengeksplorasi
seluruh jalan yang mungkin digunkan oleh invasi infeksi. Tulang yang melapisi sinus
sigmoid harus ditipiskan dan dibuang. Lempeng dura (dural palte) posterior pada segi
tiga terutama harus ditipiskan dan tegmen mastoid harus dikupas pada setiap kasus.

Kecurigaan terhadap penyakit dasar harus timbul dengan adanya jaringan tulang yang
nekrotik atau jaringan granulasi yang kadang-kadang diselaputi oleh eksudat purulen.
Duran yang tampak merandang dan berdarah menandakan adanya infeksi. Seringkali
dengan membuang lapisan tulang yang nekrotik akan mengalirkan pus dari dalam abses
ekstra dura atau perisinus.

Tromboflebitis sinus diobati dengan membuka sinus tersebut setelah memaparkan sinus
tersebut dari sudut sinodural sampai ke bulbus jugularis. Seluruh jaringan nekrotik dan
trombus harus dihisap dan sinus tersebut ditampon. Sebagian tampon surgicel,
merupakan bahan yang baik untuk keperluan ini sebab bahan tersebut diabsorbsi
perlahan-lahan, sehingga tak perlu diangkat lagi. Bekuan darah yang telah mengalami
fibrosis padat tidak perlu diangkat, sebab dapat mencegah perluasan infeksi, dulu

14
penggunaan antikoagulansia dan peningkatan sinus sering dilakukan untuk mencegah
pembentukan tormbus kembali. Telah terbukti bahwa prosedur tersebut tidak jelas
gunaya sebagai tindakan rutin dan tidak diindikasikan pada kebanyakan kasus.
Antikoagulan dapat digunakan bila terdapat pembentukan tombus yang luas dan
mengenai sinus petrosus dan sinus kavernosus. Kini ligasi bena jugularis jarang
dilakukan. Oleh karena dapat digunakan banyak macam antibiotika yang mengontrol
emboli sepsis. Malahan, sepsis yang berkepanjangan menyebabkan perlunya raekplorasi
sinus melalui mastoid untuk lebih membersihkan secara sempurna trombus yang
terinfeksi.

Ligasi V, jugularis jika diperlukan, dilakukan dengan insisi 2-3 inci pada terapi anterior
M. Stemokeidomastoid, persis dibawah ujung tulang mastoid, vena tersebut diikat dobel
dan diinsisi diantara kedua ikatan tersebut.

Terjadinya hidrosefalus otitik memerlukan aspirasi berulang cairan otak, terutama bila
ada ancaman terjadinya atrofi optik. Biasanya tindakan operasi trombosis sinus
menyebabkan terjadinya penurunan tekanan serebrospinal secara bertahap. Meningitis
diobati terutama dengan pemberian antibiotik.kemungkinan adanya komplikasi lain
seperti abses atau tromboflebitis harus sellau dipikirkan dan harus di lakukan operasi bila
hasil pengobatan tidak seperti yang diharapkan. Meningitis otogenik yang berulang
sering terjadi dan pada keadaan begini harus dilakukan masfoidektomi dengan tidak
mengindahkan tipe penyakit telinganya. Pada kasus begini biasanya terdapat suatu
daerah nekrosis tulang kadang-kadang ditemukan suatu abses ekstradura.

Abses subdural merupakan komplikasi berat dan mengancam jiwa yang pengobatannya
merupakan tindakan gawat darurat bedah saraf. Dibuat lubang dengan bor di atas dan
dibawah tempat yang terklena, dan pus yang terkumpul dihisap. Kemudian dilakukan
irigasi dengan cairan fisiologik dan dengan pemberian antibiotika, dan dipasang salir
(drein) dapat dilakukan reirigasi berkali-kali . seringkali tindakan mastiodektomi ditunda
sampai tersebut habis, tetapu jangan ditunda lebih lama daripada waktu yang diperlukan
untuk penghambatan bedah saraf.

Abses otak juga mrupakan medikal bedah saraf walaupun diagnosisnya kebetulan
ditegakkan ketika melakukan mastiodektomi drenase abses melalui segmen mastoid yang
merupakan prosedur berisiko tinggi tehadap terjadinya heriniasi otak melalui tempat
drenase tersebut ke rongga mastoid. Akan menolong sekali bila dilakukan operasi

15
mastoid dan bedah saraf dalam waktu yang berdekatan. Kontaminasi infeksi yang terus
–menerus dari mastoid ke jaringan dan akan menyebabkan respons pengobatan menjadi
buruk. Idealnya kedua operasi tersebut dilakukan bersama-sama.pada kasus-kasus berat
tentu saja hal tersebut tidak mungkin dilakukan pada kasus berat diberikan pengobatan
infeksi (antibiotika dosis tinggi) dulu. Edema jaringan otak, maka opeasi harus
dilaksanakan.

C. Pemeriksaan Fisik Sistem Pendengaran

Prosedur Tindakan Hasil


Pemeriksaan -Pemeriksaan Daun Telinga dan bagian-
Fisik bagiannya:
Telinga  Lakukan Inspeksi pada setiap daun  Deformitas dapat
telinga dan bagian-bagiannya, apakah ditemukan apabila
terdapat deformitas, benjolan atau lesi terdapat trauma.
kulit. Benjolan yang
 Lihat Kesimetrisan kedua daun telinga. dijumpai pada saat
inspeksi dapat
 Lihat apakah ada Battle’s Sign pada berupa kelloid,
bagian belakang telinga. kista, basal cell
carcinoma, tophi.
 Battle’s Sign
merupakan suatu
kondisi dimana
terdapat echymosis
 Apabila terdapat nyeri pada telinga, pada tulang mastoid
adanya discharge atau proses inflamasi dan merupakan
maka lakukan pemeriksaan dengan cara indikator adanya
menggerakan daun telinga secara lembut fraktur pada basis
ke atas dan ke bawah (tug test) serta cranii.
berikan tekan lembut pada bagian telinga  Saat dilakukan Tug
dari atas ke bawah. test akan dijumpai
- Pemeriksaan kanal Auditorius dan Membran adanya rasa nyeri
Thympani: pada kondisi Acute

16
 Lakukan Pemeriksaan dengan Otitis Externa
menggunakan otoscope (inflamasi pada
 Periksa ada tidaknya serumen (catat warna kanal auditorius)
dan konsistensinya), benda asing, namun tidak pada
discharge, kemerahan dan atau edema kondisi Otitis
 Inspeksi membran tymphani, perhatikan Media.
dan catat warna dan konturnya (ada
tidaknya perforasi, sklerosis)  Pada kondisi Acute
Otitis Externa dapat
dikumpai tanda
inflamasi pada
kanal auditorius
berupa adanya
pembengkakan,
penyempitan,
lembab, dan
tampak pucat atau
bahkan kemerahan.

 Warna normal pada


membran tyhmpani
adalah merah muda
keabu-abuan. Pada
Otitis Media Akut
dapat dijumpai
warna merah
membesar pada
membran tymphani
yang disertai
adanya pengeluaran
cairan. Pada
kondisi sklerosis
makan akan

17
dijumpai area pada
membran tymphani
yang berwarna
keputihan dengan
batas yang tidak
rata
Tes - Tes sederhana/klasik: Tes arloji, tes
Pendengaran berbisik, tes garputala
 Semi kuantitatif
 Beerfungsi menentukan derajat
ketulian secara kasar
 Pastikan melakukan pemeriksaan ini
dalam kondisi ruangan yang tenang
 Pemeriksaan dilakukan dari jarak (1-2
feet = 30.5-61 cm = 0,3-0,6 m)
 Pada Tes berbisik: - Penilaian (menurut
 Lakukan pemeriksaan dari Feldmann):
samping  Normal: 6-8m
 Tutup telinga lain yang belum  Tuli Ringan: 4-
diperiksa dengan jari dan <6m
pastikan pasien tidak membaca  Tuli Sedang: 1 -
gerakan bibir pemeriksa <4m
 Gunakan angka atau kata yang  Tuli Berat: 25cm -
terdiri dari 2 suku kata yang < 1m
beraksen sama: “tiga lima; bola  Tuli Total: < 25cm
bata,dst.
 Minta pasien mengulangi
angka atau kata yang sudah
disebutkan
 Test Garpu tala:
 Semi kualitatif

18
 Menggunalan garpu tala
yang memiliki frekuensi
512 Hz
 Jenis-jenisnya: Tes Rinne,
Tes Weber, Tes
Schwabach
 Tes Rinne:
Tes Rinne merupakan tes
pendengaran yang
dilakukan untuk
mengevaluasi suara
pendengaran dengan
membandingkan persepsi
suara yang dihantarkan
oleh konduksi udara
dengan konduksi tulang
melalui mastoid.
Tujuan melakukan tes
Rinne adalah untuk
membandingkan atara
hantaran tulang dengan
hantaran udara pada satu
telinga pasien. Ada 2
macam tes rinne , yaitu :
a. Garputal 512 Hz kita
bunyikan secara lunak lalu
menempatkan tangkainya
tegak lurus pada planum
mastoid pasien (belakang
meatus akustikus
eksternus). Setelah pasien
tidak mendengar bunyinya,
segera garpu tala kita

19
pindahkan didepan meatus
akustikus eksternus pasien.
Tes Rinne positif jika
pasien masih dapat
mendengarnya. Sebaliknya
tes rinne negatif jika pasien
tidak dapat mendengarnya
b. Garpu tala 512 Hz kita
bunyikan secara lunak lalu
menempatkan tangkainya
secara tegak lurus pada
planum mastoid pasien.
Segera pindahkan
garputala didepan meatus
akustikus eksternus. Kita
menanyakan kepada pasien
apakah bunyi garputala
didepan meatus akustikus
eksternus lebih keras dari
pada dibelakang meatus
skustikus eksternus
(planum mastoid). Tes
rinne positif jika pasien
mendengar didepan maetus
akustikus eksternus lebih
keras. Sebaliknya tes rinne
negatif jika pasien
mendengar didepan meatus
akustikus eksternus lebih
lemah atau lebih keras
dibelakang.
Ada 3 interpretasi dari hasil
tes rinne :

20
1) Normal : tes rinne positif
2) Tuli konduksi: tes rine
negatif (getaran dapat
didengar melalui tulang
lebih lama)
3) Tuli persepsi, terdapat 3
kemungkinan :
a) Bila pada posisi II
penderita masih
mendengar bunyi getaran
garpu tala.
b) Jika posisi II penderita
ragu-ragu mendengar atau
tidak (tes rinne: +/-)
c) Pseudo negatif: terjadi
pada penderita telinga
kanan tuli persepsi pada
posisi I yang mendengar
justru telinga kiri yang
normal sehingga mula-
mula timbul.
Kesalahan pemeriksaan
pada tes rinne dapat terjadi
baik berasal dari pemeriksa
maupun pasien. Kesalah
dari pemeriksa misalnya
meletakkan garputala tidak
tegak lurus, tangkai
garputala mengenai rambut
pasien dan kaki garputala
mengenai aurikulum
pasien. Juga bisa karena
jaringan lemak planum

21
mastoid pasien tebal.
Kesalahan dari pasien
misalnya pasien lambat
memberikan isyarat bahwa
ia sudah tidak mendengar
bunyi garputala saat kita
menempatkan garputala di
planum mastoid pasien.
Akibatnya getaran kedua
kaki garputala sudah
berhenti saat kita
memindahkan garputala
kedepan meatus akustukus
eksternus.
 Test Weber merupakan
cara lain untuk
mengevaluasi gangguan
pendengaran konduktif dan
sensorineural. Hasil tes
Rinne harus dibandingkan
dengan tes Weber untuk
mendeteksi gangguan
pendengaran sensorineural.
Tujuan kita melakukan tes
weber adalah untuk
membandingkan hantaran
tulang antara kedua telinga
pasien. Cara kita
melakukan tes weber yaitu:
membunyikan garputala
512 Hz lalu tangkainya kita
letakkan tegak lurus pada
garis horizontal. Menurut

22
pasien, telinga mana yang
mendengar atau
mendengar lebih keras.
Jika telinga pasien
mendengar atau
mendengar lebih keras 1
telinga maka terjadi
lateralisasi ke sisi telinga
tersebut. Jika kedua pasien
sama-sama tidak
mendengar atau sam-sama
mendengaar maka berarti
tidak ada lateralisasi.
Getaran melalui tulang
akan dialirkan ke segala
arah oleh tengkorak,
sehingga akan terdengar
diseluruh bagian kepala.
Pada keadaan ptologis pada
MAE atau cavum timpani
missal:otitis media
purulenta pada telinga
kanan. Juga adanya cairan
atau pus di dalam cavum
timpani ini akan bergetar,
biala ada bunyi segala
getaran akan didengarkan
di sebelah kanan.
Interpretasi:
a. Bila pendengar
mendengar lebih keras
pada sisi di sebelah kanan
disebut lateralisai ke

23
kanan, disebut normal bila
antara sisi kanan dan kiri
sama kerasnya.
Pada lateralisai ke kanan
terdapat kemungkinannya:
1) Tuli konduksi sebelah
kanan, missal adanya ototis
media disebelah kanan.
2) Tuli konduksi pada
kedua telinga, tetapi
gangguannya pada telinga
kanan ebih hebat.
3) Tuli persepsi sebelah
kiri sebab hantaran ke
sebelah kiri terganggu,
maka di dengar sebelah
kanan.
4) Tuli persepsi pada kedua
teling, tetapi sebelah kiri
lebih hebat dari pada
sebelah kanan.
5) Tuli persepsi telinga dan
tuli konduksi sebelah kana
jarang terdapat.
 Test Schwabach
merupakan test
membandingkan hantaran
tulang pasien dengan
pemeriksa yang
pendengarannya normal.
Tujuan Membandingkan
daya transport melalui
tulang mastoid antara

24
pemeriksa (normal) dengan
probandus. Gelombang-
gelombang dalam
endolymphe dapat
ditimbulkan oleh ,Getaran
yang datang melalui udara.
Getaran yang datang
melalui tengkorak,
khususnya osteo
temporale. Cara Kerja :
Penguji meletakkan
pangkal garputala yang
sudah digetarkan pada
puncak kepala probandus.
Probandus akan
mendengar suara garputala
itu makin lama makin
melemah dan akhirnya
tidak mendengar suara
garputala lagi. Pada saat
garputala tidak mendengar
suara garputala, maka
penguji akan segera
memindahkan garputala
itu, ke puncak kepala orang
yang diketahui normal
ketajaman pendengarannya
(pembanding). Bagi
pembanding dua
kemungkinan dapat terjadi:
akan mendengar suara,
atau tidak mendengar
suara.

25
BAB III

ASUHAN KEPERAWATATAN PADA PASIEN DENGAN OTITIS MEDIA


SUPURATIF KRONIS (OMSK)

A. PENGKAJIAN
1) Identitas klien
2) Riwayat kesehatan
 Riwayat kesehatan dahulu
Apakah ada kebiasaan berenang, apakah pernah menderita gangguan
pendengaran (kapan, berapa lama, pengobatan apa yang dilakukan, bagaimana
kebiasaan membersihkan telinga, keadaan lingkungan tenan, daerah industri,
daerah polusi), apakah riwayat pada anggota keluarga.
 Riwayat kesehatan sekarang

26
Riwayat kesehatan sekarang kaji keluhan kesehatan yang dirasakan pasien pada
saat di anamnesa, Seperti penjabaran dari riwayat adanya kelainan nyeri yang
dirasakan
 Riwayat kesehatan keluarga
Mengkaji ada atau tidak salah satu keluarga yang mengalami penyakit yang
sama. Ada atau tidaknya riwayat infeksi saluran nafas atas yang berulang dan
riwayat alergi pada keluarga

3) Pemeriksaan fisik
a. Keadaan umum
 Kepala : Lakukan Inspeksi,palpasi,perkusi dan di daerah telinga,dengan
menggunakan senter ataupun alat-alat lain nya apakah ada cairan yang
keluar dari telinga,bagaimana warna, bau, dan jumlah.apakah ada tanda-
tanda radang
 Kaji adanya nyeri pada telinga
 Leher, Kaji adanya pembesaran kelenjar limfe di daerah leher
 Dada / thorak
 Jantung
 Perut / abdomen
 Genitourinaria
 Ekstremitas
 Sistem integumen
 Sistem neurologi
 Data pola kebiasaan sehari-hari

b. Nutrisi
Bagaimana pola makan dan minum klien pada saat sehat dan sakit,apakah ada
perbedaan konsumsi diit nya.
c. Eliminasi
Kaji miksi,dan defekasi klien
d. Aktivitas sehari-hari dan perawatan diri
Biasanya klien dengan gangguan otitis media ini,agak susah untuk
berkomunikasi dengan orang lain karena ada gangguan pada telinga nya

27
sehingga ia kurang mendengar/kurang nyambung tentang apa yang di bicarakan
orang lain
e. Pemeriksaan diagnostic
 Tes Audiometri : AC menurun
 X ray : terhadap kondisi patologi
 Tes berbisik
 Tes garpu tala
B. Diagnosa keperawatan
1) Gangguan rasa nyaman (nyeri) berhubungan dengan proses peradangan pada
telinga tengah
2) Gangguan berkomunikasi berhubungan dengan efek kehilangan pendengaran
3) Perubahan persepsi/sensoris berhubungan dengan obstruksi, infeksidi telinga
tengah atau kerusakan di syaraf pendengaran.
4) Cemas berhubungan dengan nyeri yang semakin memberat
C. Intervensi Keperawatan
1) Gangguan rasa nyaman (nyeri) berhubungan dengan proses peradangan pada
telinga tengah.
Tujuan : Nyeri berkurang atau hilang
Kriteria hasil :Nyeri yang dirasakan kien berkurang dengan skala 2-0 darirentang
skala 0-10
Intervensi Keperawatan :
 Ajarkan teknik relaksasi pada klien dengan mengajarkan teknik relaksasi
(misalnya bernafas perlahan, teratur, atau nafas dalam)
 Kolaborasikan dengan tim medis dalam pemberian analgetik
 Kaji kembali nyeri yang dirasa oleh klien setelah 30 menit pemberian
analgetik
 Beri informasi kepada klien dan keluarga tentang penyebab nyeri yang dirasa
Rasional :
 Teknik relaksasi yang benar dan efektif dapat membantu mengurangi nyeri
yang dirasa.
 Analgetik dapat menekan pusat saraf rasa nyeri, sehingga nyeridapat
berkurang
 Untuk mengetahui keefektifan pemberian analgetik

28
 Informasi yang cukup dapat mengurangi kecemasan yang dirasaoleh klien dan
keluarga

2) Gangguan berkomunikasi berhubungan dengan efek kehilangan pendengaran


Tujuan : Klien dapat kembali mendengar dan melakukan komunikasi
Kriteria hasil :
 Klien dapat melakukan komunikasi dengan baik
 Menerima pesan melalui metoda pilihan (misal : komunikasi tulisan, bahasa
lambang, berbicara dengan jelas pada telinga yang baik.
Intervensi Keperawatan :
 Dapatkan apa metode komunikasi yang dinginkan dan catat pada rencana
perawatan metode yang digunakan oleh staf dan klien, eperti : tulisan,
berbicara, ataupun bahasa isyarat.
 Kaji kemampuan untuk menerima pesan secara verbal.- Jika ia dapat mendegar
pada satu telinga, berbicara dengan perlahan dan dengan jelas langsung ke
telinga yang baik (hal ini lebih baik dari pada berbicara dengan keras).
 Tempatkan klien dengan telinga yang baik berhada pandengan pintu.
 Dekati klien dari sisi telinga yang baik.
 Jika klien dapat membaca ucapan ,Lihat langsung pada klien dan bicaralah
lambat dan jelas.
 Hindari berdiri di depan cahaya karena dapat menyebabkan klien tidak dapat
membaca bibir anda.
 Perkecil distraksi yang dapat menghambat konsentrasi klien.
 Minimalkan percakapan jika klien kelelahan atau gunakankomunikasi tertulis.
 Tegaskan komunikasi penting dengan menuliskannya.
 Jika ia hanya mampu bahasa isyarat, sediakan penerjemah.Alamatkan semua
komunikasi pada klien, tidak kepada penerjemah. Jadi seolah-olah perawat
sendiri yang langsung berbicara kepada klien dnegan mengabaikan keberadaan
penerjemah.
 Gunakan faktor-faktor yang meningkatkan pendengaran dan pemahaman
 Bicara dengan jelas, menghadap individu.
 Ulangi jika klien tidak memahami seluruh isi pembicaraan.
 Gunakan rabaan dan isyarat untuk meningkatkan komunikasi.

29
 Validasi pemahaman individu dengan mengajukan pertanyaanyang
memerlukan jawaban lebih dari ya dan tidak.

Rasional :

 Dengan mengetahui metode komunikasi yang diinginkan oleh klien maka


metode yang akan digunakan dapat disesuaikan dengan kemampuan dan
keterbatasan klien.
 Pesan yang ingin disampaikan oleh perawat kepada klien dapatditerima dengan
baik oleh klien.

Memungkinkan komunikasi dua arah anatara perawat dengan klien dapat


berjalan dnegan baik dan klien dapat menerima pesan perawat secara tepat.

3) Perubahan persepsi/sensoris berhubungan dengan obstruksi, infeksi di telinga


tengah atau kerusakan di syaraf pendengaran.
Tujuan : Persepsi / sensoris baik.
Kriteria hasil : Klien akan mengalami peningkatan persepsi/sensoris
pendengaransampai pada tingkat fungsional
Intervensi Keperawatan :
 Ajarkan klien untuk menggunakan dan merawat alat pendengaran secara tepat
 Instruksikan klien untuk menggunakan teknik-teknik yang aman dalam
perawatan telinga (seperti: saat membersihkan dengan menggunakan cutton
bud secara hati-hati, sementara waktu hindari berenang ataupun kejadian
ISPA) sehingga dapat mencegah terjadinya ketulian lebih jauh.
 Observasi tanda-tanda awal kehilangan pendengaran yang lanjut.
 Instruksikan klien untuk menghabiskan seluruh dosis antibiotik yang
diresepkan (baik itu antibiotik sistemik maupun lokal).

Rasional :
 Keefektifan alat pendengaran tergantung pada tipe gangguan/ketulian,
pemakaian serta perawatannya yang tepat.
 Apabila penyebab pokok ketulian tidak progresif, maka pendengaran yang
tersisa sensitif terhadap trauma dan infeksisehingga harus dilindungi.

30
 Diagnosa dini terhadap keadaan telinga atau terhadap masalah-masalah
pendengaran rusak secara permanen.

Penghentian terapi antibiotika sebelum waktunya dapat menyebabkan organisme


sisa resisten sehingga infeksi akan berlanjut.

4) Cemas berhubungan dengan nyeri yang semakin memberat


Tujuan : Rasa cemas klien akan berkurang/hilang.
Kriteria hasil :

 Klien mampu mengungkapkan ketakutan/kekuatirannya.


 Respon klien tampak tersenyum.

Intervensi Keperawatan :
 Berikan informasi kepada klien seputar kondisinya dan gangguan yang
dialami.
 Diskusikan dengan klien mengenai kemungkinan kemajuan darifungsi
pendengarannya untuk mempertahankan harapan klien dalam berkomunikasi.
 Berikan informasi mengenai kelompok yang juga pernah mengalami gangguan
seperti yang dialami klien untuk memberikan dukungan kepada klien.
 Berikan informasi mengenai sumber-sumber dan alat-lat yang tersedia yang
dapat membantu klien.

Rasional :
 Menunjukkan kepada klien bahwa dia dapat berkomunikasi dengan efektif
tanpa menggunakan alat khusus, sehingga dapat mengurangi rasa cemasnya.
 Harapan-harapan yang tidak realistik tidak dapat mengurangi kecemasan,
justru malah menimbulkan ketidak percayaan klien terhadap perawat.
 Memungkinkan klien untuk memilih metode komunikasi yang paling tepat
untuk kehidupannya sehari-hari disesuaikan dengan tingkat keterampilannya
sehingga dapat mengurangi rasa cemas dan frustasinya.
 Dukungan dari bebarapa orang yang memiliki pengalaman yang sama akan
sangat membantu klien.

31
BAB IV PENUTUP

A. Kesimpulan

Telinga adalah organ penginderaan dengan fungsi ganda dan kompleks. Indera pendengaran
berperan penting pada partisipasi seseorang dalam aktivitas kehidupan sehari-hari. Sangat
penting untuk perkembangan normal dan pemeliharaan bicara, dan kemampuan
berkomunikasi dengan orang lain melalui bicara tergantung pada kemampuan mendengar.
Syaraf yang melayani indera ini adalah syaraf cranial ke delapan atau nervus auditorius.
Telinga terdiri dari 3 bagian, yaitu : telinga luar, telinga tengah, dan rongga telinga dalam.
Serta Otitis Media Supuratif Kronis adalah infeksi kronis di telinga tengah dengan perforasi
membrane timpani dan secret yang keluar dari telinga tengah terus menerus atau hilang
timbul. Secret mungkin encer atau kental, bening, atau berupa nanah. Biasanya disertai
gangguan pendengaran. OMSK dapat dibagi atas 2 jenis, yaitu (1) OMSK tipe benigna (tipe
mukosa = tipe aman) dan (2) OMSK tipe maligna (tipe tulang = tipe bahaya). Dan
Komplikasi ke susunan saraf pusat terdiri dari meningitis, abses otak, serta hidrosefalus
otitis. Pemeriksaan Fisik Sistem Pendengaran terdiri dari test arloji, tes berbisik, tes
garputala. Kemudian membuat asuhan keperawatan yang diberikan untuk mengatasi
masalah yang terjadi pada pasien OMSK

32
DAFTAR PUSTAKA

Dr. Efiaty Arsyad Soepardi, Dr. Fachri Hadjat,Prof.H. Nurbaiti Iskandar. 2003.
Penatalaksanaan
penyakit dan kelainan Telinga Hidung Tenggorok. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.

H. Efiaty Arsyad Soepardi, Prof. H. Nurbaiti Iskandar. 1990. Buku Ajar Ilmu Penyakit Telinga
Hidung Tenggorok. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.

https://www.academia.edu/38352424/askep_omsk

Mansjoer Arif dkk. 2000.Kapita Selekta Kedokteran Jilid I.MediaAesculapius Fakultas


Kedokteran Indonesia.Jakarta

33

Anda mungkin juga menyukai