Nim : 11.2015,223
Pembimbing:
Latar belakang
Otitis media supuratif kronis (OMSK) merupakan radang pada telinga tengah yang
ditandai dengan adanya perforasi membran timpani dan sekret yang keluar dari telinga
tengah. Sekret bisa keluar terus menerus atau hilang timbul, sekret mungkin encer atau pun
kental. OMSK ini juga dibagi menjadi 2, yaitu OMSK tipe tenang (tipe mukosa/tipe benigna)
dan OMSK tipe bahaya (tipe tulang/tipe maligna).
Otomikosis merupakan penyakit telinga luar yang disebabkan oleh jamur yang biasanya
menutupi kanalis liang telinga. Gejalanya dapat menyebabkan gatal hingga penderita ingin
menggaruk bagian dalam telinganya, yang dapat menyebabkan laserasi hingga terjadi infeksi.
Maksud Penulis
Laporan ini dibuat untuk memperluas wawasan para pembaca mengenai Otitis Media
Supuratif Kronik, Otomikosis,Rhinitis alergi, Septum Deviasi, dan laryngopharyngeal reflux
dengan harapan pembaca dapat mengerti dan memahami seluk beluk dan perjalanan penyakit
ini berdasarkan teori dan membandingkannya dengan kasus yang ditemukan di lapangan.
Tujuan Penulis
Tujuan dari penulisan laporan kasus ini adalah untuk memenuhi tugas kepaniteraan
klinik bagian Ilmu Telinga, Hidung, dan Tenggorokan (THT) FK UKRIDA di RSUD Tarakan
Jakarta.
TELINGA1-2
Anatomi Telinga
a. Telinga Luar
Telinga luar terdiri dari aurikula dan kanalis auditorius eksternus dan
dipisahkan dari telinga tengah oleh membrana timpani.Aurikula berfungsi untuk
membantu pengumpulan gelombang suara. Gelombang suara tersebut akan
dihantarkan ke telinga bagian tengah melalui kanalis auditorius eksternus. Tepat di
depan meatus auditorius eksternus terdapat sendi temporal mandibular. Kanalis
auditorius eksternus panjangnya sekitar 2,5 sentimeter. Sepertiga lateral mempunyai
kerangka kartilago dan fibrosa padat tempat kulit melekat. Dua pertiga medial
tersusun atas tulang yang dilapisi kulit tipis.Kanalis auditorius eksternus berakhir
pada membrana timpani.Kulit dalam kanal mengandung kelenjar khusus, glandula
seruminosa, yang mensekresi substansi seperti lilin yang disebut serumen.
b. Telinga Tengah
Bagian atas membrana timpani disebut pars flaksida, sedangkan bagian bawah
pars tensa. Pars flaksida mempunyai dua lapisan, yaitu bagian luar ialah lanjutan
epitel kulit liang telinga dan bagian dalam dilapisi oleh sel kubus bersilia, seperti
epitel mukosa saluran napas. Pars tensa mempunyai satu lapisan lagi di tengah, yaitu
lapisan yang terdiri dari serat kolagen dan sedikit serat elastin yang berjalan secara
radier di bagian luar dan sirkuler di bagian dalam. Di dalam telinga tengah terdapat
tulang-tulang pendengaran yang tersusun dari luar ke dalam, yaitu maleus, inkus, dan
stapes.Tulang pendengaran di dalam telinga tengah saling berhubungan.Prosesus
longus maleus melekat pada membrana timpani, maleus melekat pada inkus, dan
inkus melekat pada stapes.Stapes terletak pada tingkap oval yang berhubungan
dengan koklea.Hubungan antara tulang-tulang pendengaran merupakan persendian.
Tuba eustachius termasuk dalam telinga tengah menghubungkan daerah nasofaring
dengan telinga tengah.
c. Telinga Dalam
Koklea bagian tulang dibagi menjadi dua lapisan oleh suatu sekat.Bagian
dalam sekat ini adalah lamina spiralis ossea dan bagian luarnya adalah lamina spiralis
membranasea.Ruang yang mengandung perilimfe terbagi dua, yaitu skala vestibuli
dan skala timpani.Kedua skala ini bertemu pada ujung koklea yang disebut
helikotrema. Skala vestibuli berawal pada foramen ovale dan skala timpani berakhir
pada foramen rotundum.Pertemuan antara lamina spiralis ossea dan membranasea
kearah perifer membentuk suatu membrana yang tipis yang disebut membrana
Reissner yang memisahkan skala vestibuli dengan skala media (duktus koklearis).
Duktus koklearis berbentuk segitiga, dihubungkan dengan labirin tulang oleh jaringan
ikat penyambung periosteal dan mengandung end organ dari nervus koklearis dan
organ Corti. Duktus koklearis berhubungan dengan sakulus dengan perantaraan
duktus Reuniens. Organ Corti terletak di atas membrana basilaris yang mengandung
organel-organel yang penting untuk mekanisma saraf perifer pendengaran. Organ
Corti terdiri dari satu baris sel rambut dalam yang berisi kira-kira 3000 sel dan tiga
baris sel rambut luar yang berisi kira-kira 12.000 sel. Sel-sel ini menggantung lewat
lubang-lubang lengan horizontal dari suatu jungkat-jangkit yang dibentuk oleh sel-sel
penyokong. Ujung saraf aferen dan eferen menempel pada ujung bawah sel
rambut.Pada permukaan sel rambut terdapat strereosilia yang melekat pada suatu
selubung yang cenderung datar yang dikenal sebagai membrana tektoria.Membrana
tektoria disekresi dan disokong oleh limbus.
Fisiologi Pendengaran Normal
Getaran suara ditangkap oleh daun telinga yang diteruskan ke liang telinga dan
mengenai membrana timpani sehingga membrana timpani bergetar. Getaran ini diteruskan ke
tulang-tulang pendengaran yang berhubungan satu sama lain. Selanjutnya, stapes
menggerakkan foramen ovale yang juga menggerakkan perilimfe dalam skala
vestibuli.Getaran diteruskan melalui membrana Reissner yang mendorong endolimfe dan
membrana basalis ke arah bawah. Perilimfe dalam skala timpani akan bergerak sehingga
foramen rotundum terdorong ke arah luar .Pada waktu istirahat, ujung sel rambut Corti
berkelok dan dengan terdorongnya membrana basal, ujung sel rambut itu menjadi
lurus.Rangsangan fisik ini berubah menjadi rangsangan listrik akibat adanya perbedaan ion
Natrium dan Kalium yang diteruskan ke cabang-cabang nervus vestibulokoklearis. Kemudian
meneruskan rangsangan itu ke pusat sensorik pendengaran di otak melalui saraf pusat yang
ada di lobus temporalis.
Klasifikasi OMSK
OMSK dibagi menjadi 2 jenis, yaitu OMSK tipe aman (tipe mukosa/tipe banigna) dan
OMSK tipe bahaya (tipe tulang/tipe maligna).4Berdasarkan aktivitas sekret yang keluar
dikenal juga OMSK tipe aktif dan OMSK tenang. OMSK aktif ialah OMSK dengan
sekret yang keluar dari kavum timpani secara aktif, sedangkan OMSK tenang ialah
keadaan kavum timpaninya terlihat basah atau kering.
Proses peradangan pada OMSK tipe aman terbatas pada mukosa saja dan biasanya
tidak mengenai tulang. Perforasi terletak di sentral. Umumnya OMSK tipe aman jarang
menimbulkan komplikasi yang berbahaya. Pada OMSK tipe aman tidak terdapat
kolesteatoma.5
Yang dimaksud dengan OMSK tipe maligna ialah OMSK yang disertai dengan
kolesteatoma. OMSK ini dikenal juga dengan OMSK tipe bahaya atau OMSK tipe
tulang. Perforasi pada OMSK tipe bahaya letaknya marginal atau atik, kadang-kadang
terdapat juga koleteatoma pada OMSK dengan perforasi subtotal. Sebagian besar
komplikasi yang berbahaya atau fatal timbul pada OMSK tipe bahaya.5
Kolesteatom adalah suatu massa amorf, konsistensi seperti mentega, berwarna putih,
terdiri dari lapisan epitel bertatah yang telah mengalami nekrotik. Kolesteatom
merupakan media yang baik untuk tempat pertumbuhan kuman (infeksi), yang paling
sering adalah Proteus dan Pseudomonas aeruginosa. Sebaliknya infeksi dapat memicu
respon imun local yang mengakibatkan produksi berbagai mediator inflamasi dan
berbagai sitokin. Sitokin yang diidentifikasi terdapat pada matrix kolesteatom adalah
interleukin-1 ( IL-1), interleukin-6, tumor necrosis factor alpha, dan transforming
growth factor. Zat- zat ini dapat menstimulasi sel-sel kolesteatom bersifat
hiperproliferatif, destruktif dan mampu berangiogenesis. Massa kolesteatom ini dapat
menekan dan mendesak organ sekitarnya serta menimbulkan nekrosis terhadap tulang.
Terjadinya proses nekrosis terhadap tulang diperhebat oleh reaksi asam oleh
pembusukan bakteri.
b) Didapat
Kolesteatom yang terbentuk setelah anak lahir, dapat dibagi atas:5
Teori implantasi dikatakan bahwa kolesteatom terjadi akibat implantasi epitel kulit
secara iatrogenik ke dalam telinga tengah sewaktu operasi, setelah blust injury,
pemasangan pipa ventilasi, atau setelah miringotomi.5
Patofisiologi
Otitis media sering diawali dengan infeksi pada saluran nafas seperti radang
tenggorokan atau pilek yang menyebar ke telinga tengah lewat saluran Eustachius. Saat
bakteri melalui saluran Eustachius, mereka dapat menyebabkan infeksi di saluran
tersebut sehingga terjadi pembengkakan di sekitar saluran, tersumbatnya saluran, dan
datangnya sel-sel darah putih untuk melawan bakteri. Sel-sel darah putih akan
membunuh bakteri dengan mengorbankan dirinya sendiri. Sebagai hasilnya
terbentuklah nanah dalam telinga tengah. Selain itu, pembengkakan jaringan sekitar
saluran Eustachius menyebabkan lendir yang dihasilkan sel-sel di telinga tengah
terkumpul di belakang gendang telinga.5
Jika lendir dan nanah bertambah banyak, pendengaran dapat terganggu karena
gendang telinga dan tulang-tulang kecil penghubung gendang telinga dengan organ
pendengaran di telinga dalam tidak dapat bergerak bebas. Kehilangan pendengaran
yang dialami umumnya sekitar 24 dB (bisikan halus). Namun cairan yang lebih banyak
dapat menyebabkan gangguan pendengaran hingga 45 dB (kisaran pembicaraan
normal). Selain itu, telinga juga akan terasa nyeri. Dan yang paling berat, cairan yang
terlalu banyak tersebut akhirnya dapat merobek gendang telinga karena tekanannya.
OMSK dimulai dari episode infeksi akut terlebih dahulu. Patofisiologi dari OMSK
dimulai dari adanya iritasi dan inflamasi dari mukosa telinga tengah yang disebabkan
oleh multifaktorial, diantaranya infeksi yang dapat disebabkan oleh virus atau bakteri,
gangguan fungsi tuba, alergi, kekebalan tubuh turun, lingkungan dan sosial ekonomi.
Kemungkinan penyebab terpenting mudahnya anak mendapat infeksi telinga tengah
adalah struktur tuba pada anak yang berbeda dengan dewasa dan kekebalan tubuh yang
belum berkembang sempurna sehingga bila terjadi infeksi jalan napas atas, maka lebih
mudah terjadi infeksi telinga tengah berupa Otitis Media Akut (OMA).
Respons inflamasi yang timbul adalah berupa udem mukosa. Jika proses inflamasi ini
tetap berjalan, pada akhirnya dapat menyebabkan terjadinya ulkus dan merusak epitel.
Mekanisme pertahanan tubuh penderita dalam menghentikan infeksi biasanya
menyebabkan terdapatnya jaringan granulasi yang pada akhirnya dapat berkembang
menjadi polip di ruang telinga tengah. Jika lingkaran antara proses inflamasi, ulserasi,
infeksi dan terbentuknya jaringan granulasi ini berlanjut terus akan merusak jaringan
sekitarnya.
Gejala Klinis
1. Telinga berair (otore)
Sekret bersifat purulen (kental, putih) atau mukoid (seperti air dan encer) tergantung
stadium peradangan. Sekret yang mukus dihasilkan oleh aktivitas kelenjar sekretorik
telinga tengah dan mastoid. Pada OMSK tipe jinak, cairan yang keluar mukopus yang
tidak berbau busuk yang sering kali sebagai reaksi iritasi mukosa telinga tengah oleh
perforasi membran timpani dan infeksi. Keluarnya sekret biasanya hilang timbul.
Meningkatnya jumlah sekret dapat disebabkan infeksi saluran nafas atas atau
kontaminasi dari liang telinga luar setelah mandi atau berenang. Pada OMSK stadium
inaktif tidak dijumpai adannya sekret telinga. Sekret yang sangat bau, berwarna
kuning abu-abu kotor memberi kesan kolesteatoma dan produk degenerasinya. Dapat
terlihat keping-keping kecil, berwarna putih, mengkilap. Pada OMSK tipe ganas
unsur mukoid dan sekret telinga tengah berkurang atau hilang karena rusaknya lapisan
mukosa secara luas. Sekret yang bercampur darah berhubungan dengan adanya
jaringan granulasi dan polip telinga dan merupakan tanda adanya kolesteatom yang
mendasarinya. Suatu sekret yang encer berair tanpa nyeri mengarah kemungkinan
tuberkulosis.4,5
2.
Gangguan pendengaran
Ini tergantung dari derajat kerusakan tulang-tulang pendengaran. Biasanya dijumpai
tuli konduktif namun dapat pula bersifat campuran. Gangguan pendengaran mungkin
ringan sekalipun proses patologi sangat hebat, karena daerah yang sakit ataupun
kolesteatom dapat menghantar bunyi dengan efektif ke fenestra ovalis. Pada OMSK
tipe maligna biasanya didapat tuli konduktif berat karena putusnya rantai tulang
pendengaran, tetapi sering kali juga kolesteatom bertindak sebagai penghantar suara
sehingga ambang pendengaran yang didapat harus diinterpretasikan secara hati-hati.
Diagnosis OMSK
Diagnosis OMSK ditegakan dengan cara:4
1. Anamnesis (history-taking)
Penyakit telinga kronik ini biasanya terjadi perlahan-lahan dan penderita seringkali
datang dengan gejala-gejala penyakit yang sudah lengkap. Gejala yang paling sering
dijumpai adalah telinga berair. Pada tipe tubotimpani sekretnya lebih banyak dan
seperti benang, tidak berbau busuk, dan intermiten. Sedangkan pada tipe atikoantral
sekretnya lebih sedikit, berbau busuk, kadangkala disertai pembentukan jaringan
granulasi atau polip, dan sekret yang keluar dapat bercampur darah. Ada kalanya
penderita datang dengan keluhan kurang pendengaran atau telinga keluar darah.
2. Pemeriksaan otoskopi
Pemeriksaan otoskopi akan menunjukan adanya dan letak perforasi. Dari perforasi
dapat dinilai kondisi mukosa telinga tengah.
3. Pemeriksaan audiologi
Evaluasi audiometri dan pembuatan audiogram nada murni untuk menilai hantaran
tulang dan udara penting untuk mengevaluasi tingkat penurunan pendengaran dan
untuk menentukan gap udara dan tulang. Audiometri tutur berguna untuk menilai
speech reception threshold pada kasus dengan tujuan untuk memperbaiki
pendengaran.
4. Pemeriksaan radiologi
Pemeriksaan radiografi daerah mastoid pada penyakit telinga kronik memiliki nilai
diagnostik yang terbatas bila dibandingkan dengan manfaat otoskopi dan audiometri.
Pemeriksaan radiologi biasanya memperlihatkan mastoid yang tampak sklerotik
dibandingkan mastoid yang satunya atau yang normal. Erosi tulang yang berada di
daerah atik memberi kesan adanya kolesteatom. Proyeksi radiografi tyang sekarang
biasa digunakan adalah proyeksi schuller dimana pada proyeksi ini akan
memperlihatkan luasnya pnematisasi mastoid dari arah lateral dan atas. Pada CT scan
akan terlihat gambaran kerusakan tulang oleh kolesteatom, ada atau tidaknya tulang
tulang pendengaran dan beberapa kasus terlihat fistula pada kanalis semisirkularis
horizontal.
5. Pemeriksaan bakteriologi
Walaupun perkembangan dari OMSK merupakan kelanjutan dari mulainya infeksi
akut, bakteri yang ditemukan pada sekret yang kronik berbeda dengan yang
ditemukan pada otitis media supuratif akut. Bakteri yang sering dijumpai pada OMSK
adalah Pseudomonasaeruginosa, Staphylococcus aureus, dan Proteus sp. Sedangkan
bakteri pada otitis media supuratif akut adalahStreptococcus pneumonie dan H.
influenza.
Infeksi telinga biasanya masuk melalui tuba dan berasal dari hidung, sinus paranasal,
adenoid, atau faring. Dalam hal ini penyebab biasanya adalah pneumokokus,
streptokokus atau H. influenza. Akan tetapi, pada OMSK keadaan ini agak berbeda
karena adanya perforasi membran timpani maka infeksi lebih sering berasal dari luar
yang masuk melalui perforasi tadi.
Komplikasi
Komplikasi otitis media terjadi apabila sawar (barrier) pertahanan telinga tengah yang
normal dilewati, sehingga memungkinkan infeksi menjalar ke struktur di sekitarnya.
Pertahanan pertama ini adalah mukosa kavum timpani yang juga seperti mukosa saluran
napas, mampu melokalisasi infeksi. Bila sawar ini runtuh, masih ada sawar kedua, yaitu
dinding tulang kavum timpani dan sel mastoid. Bila sawar ini runtuh, maka struktur
lunak di sekitarnya akan terkena. Runtuhnya periosteum akan menyebabkan terjadinya
abses subperiosteal, suatu komplikasi yang relarif tidak berbahaya. Apabila infeksi
mengarah ke dalam, ke tulang temporal, maka akan menyebabkan paresis n. facialis
atau labirinitis. Bila ke arah kranial, akan menyebabkan abses ekstradural,
tromboflebitis sinus lateralis, meningitis, dan abses otak.6
Bila sawar tulang terlampaui, suatu dinding pertahanan ketiga yaitu jaringan granulasi
akan terbentuk. Pada otitis medua supuratif akut atau suatu eksaserbasi akut penyebaran
biasanya melalui osteotromboflebitis (hematogen). Sedangkan pada kasus yang kronis,
penyebaran terjadi melalui erosi tulang. Cara penyebaran lainnya adalah toksin masuk
melalui jalan yang sudah ada, misalnya melalui fenestra rotundum, meatus akustikus,
duktus perilimfatik dan duktus limfatik.
Cara penyebaran infeksi terdiri dari penyebaran hematogen, penyebaran melalui erosi
tulang, dan penyebaran melalui jalan yang sudah ada.
Perjalanan komplikasi infeksi telinga tengah ke intra kranial harus melewati 3 macam
lintasan :6
1)
Dari rongga telinga tengah ke selaput otak
Melalui jalan yang sudah ada, seperti garis fraktur tulang temporal, bagian tulang
yang lemah atau defek karena pembedahan, dapat memudahkan masuknya infeksi.
2)
Menembus selaput otak
Dimulai begitu penyakit mencapai dura, menyebabkan meningitis. Dura sangat
resisten terhadap penyebaran infeksi, akan menebal, hiperemi, dan lebih melekat
ketulang. Jaringan granulasi terbentuk pada dura yang terbuka dan ruang subdura
yang berdekatan.
3)
Masuk ke jaringan otak
Pembentukan abses biasanya terjadi pada daerah diantara ventrikel dan
permukaan korteks atau tengah lobus serebelum. Cara penyebaran infeksi ke
jaringan otak ini dapat terjadi baik akibat tromboflebitis atau perluasan infeksi ke
ruang Virchow Robin yang berakhir di daerah vaskular subkorteks.
a) Fistula Labirin
Otitis media supuratif kronik terutama yang dengan kolesteatom dapat
menyebabkan terjadinya kerusakan pada bagian vestibuler labirin, sehingga
terbentuk fistula. Pada keadaan ini infeksi dapat masuk, sehingga terjadi labirinitis
dan akhirnya akan terjadi komplikasi tuli total atau meningitis.
Fistula di labirin dapat diketahui dengan tes fistula yaitu dengan memberikan
tekanan udara positif ataupun negatif ke liang telinga melalui otoskop siegel atau
corong telinga yang kedap atau balon karet dengan bentuk elips pada ujungnya
yang dimasukkan ke dalam liang telinga. Balon karet dipencet dan udara di
dalamnya menyebabkan perubahan tekanan udara di liang telinga. Bila fistula
yang terjadi masih paten akan terjadi kompresi dan ekspansi labirin membran. Tes
fistula positif akan terjadi nistagmus atau vertigo. Tes fistula bisa negatif, bila
fistulanya sudah tertutup oleh jaringan granilasi atau bila labirin sudah mati/
paresis kanal.
Pemeriksaan radiologik CT scan yang baik kadang-kadang dapat
memperlihatkan fistula labirin, yang biasanya ditemukan di kanalis semisirkularis
horizontal. Pada fistula labirin, operasi harus segera dilakukan untuk
menghilangkan infeksi dan menutup fistula sehingga fungsi telinga dalam dapat
dipulihkan kembali. Tindakan bedah harus adekuat untuk mengontrol penyakit
primer. Matriks kolesteatom dan jaringan granulasi harus diangkat dari fistula
sampai bersih dan daerah tersebut harus segera ditutup dengan jaringan ikat atau
sekeping tulang/ tulang rawan.
b) Labirinitis
Labirinitis yang mengenai seluruh bagian labirin disebut labirinitis umum
(general), dengan gejala vertigo berat dan tuli saraf berat, sedangkan labirinitis
terbatas (labirinitis sirkumskripta) menyebabkan vertigo saja atau tuli saraf saja.
Labirinitis terjadi oleh karena penyebaran infeksi di ruang perilimfa. Terdapat
dua bentuk labirinitis yaitu labirinitis serosa dan supuratif. Labirinitis serosa dapat
berbentu labirinitis serosa difus dan sirkumskripta. Labirinitis supuratif dibagi atas
labirinitis supuratif akut difus dan kronik difus.
Pada kedua bentuk labirinitis ini operasi harus segera dilakukanuntuk
menghilangkan infeksi dari telinga tengah. Kadang-kadang diperlukan drainase
nanah dari labirin untuk mencegah terjadinya meningitis. Pemberian antibiotik
yang adekuat terutama ditujukan kepada pengobatan otitis media kronik dengan /
tanpa kolesteatom.
Komplikasi ke Ekstradural
a. Petrositis
Penyebaran infeksi telinga tengah ke apeks os petrosum yang langsung ke sel-sel
udara. Keluhannya antara lain diplopia (N.VI), nyeri daerah parietal, temporal,
dan oksipital (N.V), otore persisten. Dikenal dengan sindrom Gradenigo. Keluhan
lain keluarnya nanah yang terus menerus dan nyeri yang menetap paska
mastoidektomi. Pengobatannya operasi (ekspolorasi sel-sel udara os petrosum dan
jaringan pathogen) serta antibiotika.6
b. Tromboflebitis Sinus Lateralis
Akibat infeksi ke sinus sigmoid ketika melewati os mastoid. Hal ini jarang terjadi.
Gejalanya berupa demam yang awalnya naik turun lalu menjadi berat yang
disertai menggigil (sepsis). Nyerinya tidak jelas kecuali terjadi abses perisinus.
Kultur darah positif terutama saat demam.
Punksi lumbal perlu untuk membedakan dengan meningitis. Pada abses subdural
kadar protein LCS normal dan tidak ditemukan bakteri. Pada abses ekstradural
nanah keluar waktu mastoidektomi, sedangkan subdural dikeluarkan secara bedah
syaraf sebelum mastoidektomi.6
Komplikasi ke SSP.6
a. Meningitis
Gambaran klinik berupa kaku kuduk, demam, mual muntah, serta nyeri kepala
hebat. Pada kasus berat kesadaran menurun. Analisa LCS kadar gula menurun dan
protein meninggi. Meningitis diobati terlebih dahulu kemudian dilakukan
mastoidektomi.
b. Abses Otak
Ditemukan di serebelum, fossa kranial posterior/lobus temporal, atau fossa kranial
media. Berhubungan dengan tromboflebitis sinus lateralis, petrositis atau
meningitis. Biasanya merupakan perluasan langsung dari infeksi telinga dan
mastoid atau tromboflebitis. Umumnya didahului abses ekstradural.
Gejala abses serebelum ataksia, disdiadokokinetis, tremor intensif dan tidak tepat
menunjuk suatu objek. Abses lobus temporal berupa afasia, gejala toksisitas (nyeri
kepala, demam, muntah, letargik). Tanda abses otak nadi lambat, kejang. Pada
LCS protein meninggi dan kenaikan tekanan liquor. Terdapat edema papil. Lokasi
abses ditentukan dengan angiografi, ventrikulografi atau tomografi komputer.
Pengobatan antibiotika parenteral dosis tinggi dan drainase lesi. Setelah keadaan
umum baik, dilakukan mastoidektomi.
Terapi
Terapi OMSK tidak jarang memerlukan waktu lama, serta harus berulang-ulang.
Sekret yang keluar tidak cepat kering atau selalu kambuh lagi. Keadaan ini antara lain
disebabkan oleh satu atau beberapa keadaan, yaitu (1) adanya perforasi membran
timpani yang permanen, sehingga telinga tengah berhubungan dengan dunia luar, (2)
terdapat sumber infeksi di faring, nasofaring, hidung dan sinus paranasal, (3) sudah
terbentuk jaringan patologik yang ireversibel dalam rongga mastoid, dan (4) gizi dan
higiene yang kurang.
Otomikosis adalah infeksi telinga yang disebabkan oleh jamur, atau infeksi jamur
yang superficial pada kanalis auditorius eksternus. Otomikosis ini sering dijumpai pada
daerah yang tropis. Infeksi ini dapat bersifat akut dan subakut, dan khas dengan adanya
inflammasi, rasa gatal, dan ketidaknyamanan. Mikosis ini menyebabkan adanya
pembengkakan, pengelupasan epitel superfisial, adanya penumpukan debris yang berbentuk
hifa, disertai suppurasi, dan nyeri.1
Etiologi
Faktor predisposisi terjadinya otitis eksterna, dalam hal ini otomikosis, meliputi
ketiadaan serumen, kelembaban yang tinggi, peningkatan temperature, dan trauma lokal,
yang biasanya sering disebabkan oleh kapas telinga (cotton buds) dan alat bantu dengar.
Serumen sendiri memiliki pH yang berkisar antara 4-5 yang berfungsi menekan pertumbuhan
bakteri dan jamur. Olah raga air misalnya berenang dan berselancar sering dihubungkan
dengan keadaan ini oleh karena paparan ulang dengan air yang menyebabkan keluarnya
serumen, dan keringnya kanalis auditorius eksternus. Bisa juga disebabkan oleh adanya
prosedur invasif pada telinga. Predisposisi yang lain meliputi riwayat menderita eksema,
rhinitis allergika, dan asthma.9,10
Infeksi ini disebabkan oleh beberapa spesies dari jamur yang bersifat saprofit,
terutama Aspergillus niger. Agen penyebab lainnya meliputi A. flavus, A. fumigatus,
Allescheria boydii, Scopulariopsis, Penicillium, Rhizopus, Absidia, dan Candida Spp.11
Sebagai tambahan, otomikosis dapat merupakan infeksi sekunder dari predisposisi tertentu
misalnya otitis eksterna yang disebabkan bakteri yang diterapi dengan kortikosteroid dan
berenang.12
Banyak faktor yang menjadi penyebab perubahan jamur saprofit ini mejadi jamur
yang patogenik, tetapi bagaimana mekanismenya sampai sekarang belum dimengerti.
Beberapa dari faktor dibawah ini dianggap berperan dalam terjadinya infeksi, seperti
perubahan epitel, peningkatan kadar pH, gangguan kualitatif dan kuantitatif dari serumen,
faktor sistemik (seperti gangguan imun tubuh, kortikosteroid, antibiotik, sitostatik, neoplasia),
faktor lingkungan (panas, kelembaban), riwayat otomikosis sebelumnya, Otitis media
sekretorik kronik, post mastoidektomi, atau penggunaan substansi seperti antibiotika
spectrum luas pada telinga.10
Aspergillus niger dilaporkan sebagai penyebab paling terbanyak dari otomikosis ini.
Diikuti dengan Candida. Aspergillus niger, juga telah dilaporkan sebagai penyebab
otomikosis pada pasien immunocompromised, yang tidak berespon terhadap berbagai
regimen terapi yang telah diberikan.12
Epidemiologi
Angka insidensi otomikosis tidak diketahui, tetapi sering terjadi pada daerah dengan
cuaca yang panas, juga exposure dari pekerjaan maupun orang orang yang senang traveling,
dll.6 1 dari 8 kasus infesi telinga luar disebabkan oleh jamur. 90 % infeksi jamur ini
disebabkan oleh Aspergillus spp, dan selebihnya adalah Candida spp. Angka prevalensi
Otomikosis ini dijumpai pada 9 % dari seluruh pasien yang mengalami gejala dan tanda otitis
eksterna. Otomikosis ini lebih sering dijumpai pada daerah dengan cuaca panas, dan banyak
literatur menyebutkan otomikosis berasal dari negara tropis dan subtropis. Di United
Kingdom (UK), diagnosis otitis eksterna yang disebabkan oleh jamur ini sering ditegakkan
pada saat berakhirnya musim panas.11
Otomikosis biasanya terjadi pada dewasa, dan jarang pada anak-anak. Pada penelitian
tersebut, dijumpai otomikosis sering pada remaja laki-laki, yang juga sesuai dengan yang
dilaporkan oleh peneliti lainnya. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Hueso dkk, dari
102 kasus ditemukan 55,8 % nya merupakan lelaki, sedangkan 44,2% nya merupakan
wanita.13
Patogenesis.14
Otomikosis berkaitan dengan histologi dan fisiologi kanalis auditorius eksternus. Pada
interior resesus timpani, bagian medial sampai isthmus cenderung mengumpulkan sisa
keratin dan serumen, dan merupakan area yang sulit dibersihkan.
Terdapat 4 proses yang dapat menyebabkan infeksi pada liang telinga yaitu obstruksi
serumen yang menyebabkan retensi air, hilangnya serumen akibat pembersihan yang berlebih
atau terpapar air terus menerus, trauma, dan perubahan pH di permukaan liang telinga luar.
Selain itu, faktor lain yang mempengaruhi kemunculan otomikosis seperti faktor sistemik
(gangguan imunitas, penggunaan kortikosteroid, sitostatika, dan neoplasia), riwayat otitis
bacterial, OMSK, dan mastoidektomi radikal sebelumnya. Dermatomikosis di area tubuh lain
juga dapat menjadi faktor predisposisi, karena kemungkinan jamur di bagian tubuh
terinokulasi ke liang telinga luar dan menyebabkan otomikosis.
Hilangnya serumen akibat pembersihan liang telinga yang berlebihan atau karena
terlalu sering terbilas air juga menghilangkan serumen yang memiliki fungsi proteksi dari
jamur dan organisme lainnya sehingga invasi oleh jamur patogen mudah terjadi di liang
telinga luar. Trauma dan perubahan pH juga menyediakan kondisi terbaik untuk jamur
berkembang biak di permukaan kulit liang telinga luar.
Invasi hifa dan spora dari jamur patogen pada kulit liang telinga luar menyebabkan
proses peradangan yang ditandai dengan nyeri, panas, eritema, dan gatal. Hifa yang tumbuh
di dalam liang telinga juga menyebabkan rasa penuh dan tidak nyaman di dalam telinga.
Gejala Klinis
Pasien dengan otomikosis seringkali datang dengan pruritus, rasa penuh di telinga,
dan otorrhea dan juga dapat mengeluh otalgia dan kehilangan pendengaran. Kehilangan
pendengaran yang berhubungan dengan otomikosis biasanya dikarenakan akumulasi debris
jamur.11
Gejala klinik yang dapat ditemui hampir sama seperti gejala otitis eksterna pada
umumnya yakni otalgia dan otorrhea sebagai gejala yang paling banyak dijumpai, kemudian
diikuti dengan kurangnya pendengaran, rasa penuh pada telinga dan gatal.14
Pada liang telinga akan tampak berwarna merah, ditutupi oleh skuama, dan kelainan
inike bagian luar akan dapat meluas sampai muara liang telinga dan daun telinga sebelah
dalam.Tempat yang terinfeksi menjadi merah dan ditutupi skuama halus. Bila meluas sampai
kedalam,sampai ke membran timpani, maka akan dapat mengeluarkan cairan serosanguinos.15
Diagnosis.15
a. Anamnesis.
Adanya keluhan nyeri di dalam telinga, rasa gatal, adanya secret yang keluar dari
telinga. Yang paling penting adalah kecenderungan beraktifitas yang berhubungan dengan air,
misalnya berenang, menyelam, dan sebagainya.
b. Gejala Klinik.
Yang khas, terasa gatal atau sakit di liang telinga dan daun telinga menjadi merah,
skuamous dan dapat meluas ke dalam liang telinga sampai 2/3 bagian luar. Didapati adanya
akumulasi debris fibrin yang tebal, pertumbuhan hifa berfilamen yang berwana putih dan
panjang dari permukaan kulit.
c. Pemeriksaan Laboratorium
1. Preparat langsung : Skuama dari kerokan kulit liang telinga diperiksa dengan KOH
10% akan tampak hifa-hifa lebar, berseptum, dan kadang-kadang dapat ditemyukan spora-
spora kecil dengan diameter 2-3 m.
2. Pembiakan : Skuama dibiakkan pada media Agar Saboraud, dan dieramkan pada suhu
kamar. Koloni akan tumbuh dalam satu minggu berupa koloni filament berwarna putih.
Dengan mikroskop tampak hifa-hifa lebar dan pada ujung-ujung hifa dapat ditemukan
sterigma dan spora berjejer melekat pada permukaannya.
Penatalaksanaan
Pengobatan ditujukan untuk menjaga agar liang telinga tetap kering, jangan lembab,
dan disarankan untuk tidak mengorek-ngorek telinga dengan barang-barang yang kotor
seperti korek api, garukan telinga, atau kapas. Kotoran-kotoran telinga harus sering
dibersihkan.
Pengobatan yang dapat diberikan seperti: Larutan asam asetat 2-5 % dalam alkohol,
larutan lodium povidon 5% atau tetes telinga yang mengandung campuran antibiotik dan
steroid yang diteteskan ke liang telinga. Akhir-akhir ini yang sering dipakai adalah fungisida
topikal spesifik, seperti preparat yang mengandung nystatin, ketokonazole, klotrimazole, dan
anti jamur yang diberikan secara sistemik. 15
Beberapa penelitian menyebutkan bahwa penggunaan anti jamur tidak secara komplit
mengobati proses dari otomikosis ini, oleh karena agen-agen diatas tidak menunjukkan
keefektifan untuk mencegah otomikosis ini relaps kembali. Hal ini menjadi penting untuk
diingat bahwa, selain memberikan anti jamur topikal, juga harus dipahami fisiologi dari
kanalis auditorius eksternus itu sendiri, yakni dengan tidak melakukan manuver-manuver
pada daerah tersebut, mengurangi paparan dengan air agar tidak menambah kelembaban,
mendapatkan terapi yang adekuat ketika menderita otitis media, juga menghindari situasi
apapun yang dapat merubah homeostasis lokal.15
Pada pasien dengan penyakit kulit umum, seperti psoriasis atau dermatitis atopik, otits
eksterna jamur dapat terjadi karena pengobatan kronis dengan steroid topikal. Pasien-pasien
ini mengaku gatal, memiliki lesi kulit seperti dermatitis seboroik, dan memiliki elemen jamur
yang terlihat pada epidermis. Tabung ventilasi dapat menjadi sumber infeksi dan
penggunaannya perlu dihentikam. Pasien dengan riwayat bedah dinding kanal mastoid yang
membutuhkan alaut bantu dengar biasanya mengakumulasi kelembaban dan penggunaan
salep tidak direkomendasikan pada pasien-pasien ini. Penggunaan kronik antibakteri dan
antijamur ototpik dapat memperberat masalah dengan memberikan kelembaban untuk
pertumbuhan jamur. Bubuk pengasam atau campuran direkomendasikan pada kasus-kasus
ini. Bubuk campuran termasik kloromisetin-slfanilamid-fungizone dan kloromisetin-
sulfanilamid-tinaktin. Agen antiseptik seperti metakresilat (cresylate), gentian vilet,
merbromin dan gel preak nitrat 1% dapat dicoba untuk infeksi yang menetap. Gentian violer
ditoleransi baik pada pasien dengan lubang mastoid namun mewarnai kulit dan baju secara
permanen sehingga penggunaannya perlu hati-hati. Kresilat adalah iritan telinga tengah dan
penggunaannya juga perlu sangat hati-hati.11
Komplikasi
Komplikasi dari otomikosis yang pernah dilaporkan adalah perforasi dari membrane
timpani dan otitis media serosa, tetapi hal tersebut sangat jarang terjadi, dan cenderung
sembuh dengan pengobatan. Patofisiologi dari perforasi membran timpani mungkin
berhubungan dengan nekrosis avaskular dari membran timpani sebagai akibat dari trombosis
pada pembuluh darah. Angka insiden terjadinya perforasi membran yang dilaporkan dari
berbagai penelitian berkisar antara 12-16 % dari seluruh kasus otomikosis. Tidak terdapat
gejala dini untuk memprediksi terjadinya perforasi tersebut, keterlibatan membran timpani
sepertinya merupakan konsekuensi inokulasi jamur pada aspek medial dari telinga luar
ataupun merupakan ekstensi langsung infeksi tersebut dari kulit sekitarnya.15
IV. LARYNGOPHARYNGEAL REFLUX1,16-18
Etiologi1,16-18
Retrograde refluks asam lambung atau bahan lainnya (pepsin) atau keduanya ke
esophagus proksimal dan SEA yang berlanjut dengan kerusakan mukosa faring dan
laring.
Pajanan asam esofagus distal akan merangsang refleks vagal yang menyebabkan
terjadinyaa spasme bronkus, batuk, sering meludah, menyebabkan perubahan
inflamasi pada laring dan faring.
Diagnosis16-18
Gambar 7. Reflux
Laryngitis
Pemeriksaan Penunjang.16
a) Laringoskopi fleksibel
Merupakan pemeriksaan utama untuk mendiagnosis LPR. Biasanya yang
digunakan adalah laringoskop fleksibel karena lebih sensitif dan mudah dikerjakan di
poliklinik dibandingkan laringoskop rigid.
b) Monitor pH 24 jam di faringoesofageal
Pemeriksaan ini disebut ambulatory 24 hours double probe pH monitoring yang
merupakan baku emas dalam mendiagnosis LPR. Pertama kali diperkenalkan oleh
Wiener pada 1986. Pemeriksaan ini dianjurkan pada keadaan pasien dengan keluhan
LPR tetapi pada pemeriksaan klinis tidak ada kelainan. Pemeriksaan ini sangat sensitif
dalam mendiagnosis refluks karena pemeriksaan ini secara akurat dapat membedakan
adanya refluks asam pada sfingter esofagus atas dengan dibawah sehingga dapat
menentukan adanya LPR atau GERD. Kelemahan pemeriksaan ini adalah mahal,
invasif dan tidak nyaman dan dapat ditemukan hasil negative palsu sekitar 20%.Hal
ini dikarenakan pola refluks pada pasien LPR yang intermittent atau berhubungan
dengan gaya hidup sehingga kejadian refluks dapat tidak terjadi saat pemeriksaan.
Pemeriksaan ini hanya dapat menilai refluks asam sedangkan refluks non asam tidak
terdeteksi. Pemeriksaan ini disarankan pada pasien yang tidak respons terhadap
pengobatan supresi asam. 1
c) Pemeriksaan Endoskopi
Pemeriksaan endoskopi tidak dilakukan secara rutin sebagai pemeriksaan awal
pada pasien suspek PRGE dengan manifestasi penyakit otolaringologi dan tidak
merupakan prasyarat untuk memulai terapi medic.
Indikasi Pemeriksaan endoskopi :
Pasien dengan gejala tanda bahaya, antara lain disfagia, odinofagia, berat badan
menurun, anemia, perdarahan gastrointestinal untuk menyingkirkan kelainan
traktus gastrointestinal atas, metaplasia Barret dan komplikasi lain.
Pasien yang tidak ada respon dengan terapi medik, pasien yang mengalami gejala
lebih dari 5 tahun untuk menilai prognosis dan hasil terapi.
Dengan menggunakan esofagoskop dapat membantu dalam penegakan
diagnosis. Gambaran esofagitis hanya ditemukan sekitar 30% pada kasus LPR.
Gambaran yang patut dicurigai LPR adalah jika kita temukan gambaran garis
melingkar barret dengan atau tanpa adanya inflamasi esofagus.
d) Pemeriksaan videostroboskopi
Pemeriksaan video laring dengan menggunakan endoskop sumber cahaya
xenon yang diaktifasi oleh pergerakan pita suara. Gambaran ini dapat dilihat dengan
gerakan lambat.
e) Pemeriksaan laringoskopi direk
Pemeriksaan ini memerlukan anestesi umum dan dilakukan diruangan operasi.
Dapat melihat secara langsung struktur laring dan jaringan sekitarnya serta dapat
dilakukan tindakan biopsy.
Penatalaksanaan.16-18
Meliputi medikamentosa dengan obat-obatan anti refluks, perubahan gaya hidup
dengan modifikasi diet serta secara bedah dengan operasi funduplikasi.
a) Modifikasi diet dan gaya hidup
Pasien dengan gejala LPR dianjurkan melakukan pola diet yang tepat agar
terapi berjalan maksimal. Penjelasan kepada pasien mengenai pencegahan refluks
cairan lambung merupakan kunci pengobatan LPR. Pasien akan mengalami
pengurangan keluhan dengan perubahan diet dan gaya hidup sehat. Misalnya pola diet
yang dianjurkan pada pasien seperti makan terakhir 2-4 jam sebelum berbaring,
pengurangan porsi makan, hindari makanan yang menurunkan tonus otot sfingter
esofagus seperti makanan pedas, berlemak, gorengan, kopi, soda, alkohol, mint,
coklat buahan dan jus yang asam, cuka, mustard dan tomat. Anjuran lain seperti
menurunkan berat badan jika berat badan pasien berlebihan, hindari pakaian yang
ketat, stop rokok, tinggikan kepala sewaktu berbaring 10- 20cm dan mengurangi
stress. Jika merokok dianjurkan berhenti karena akan merangsang refluks. Hindari
pakaian yang terlalu sempit terutama celana, korset dan ikat pinggang. Hindari
olahraga seperti angkat berat, berenang, jogging dan yoga setelah makan. Tinggikan
kepala jika ada gejala refluks nokturnal seperti suara serak, tidak nyaman di
tenggorok, dan batuk di pagi hari. Batasi konsumsi daging merah, mentega, keju, telur
dan bahan mengandung kafein. Hindari selalu makanan gorengan, makanan tinggi
lemak, bawang, tomat, buahan dan jus yang asam, soda, bir, alcohol.
b) Medikamentosa
Proton Pump Inhibitor (PPI) atau penghambat pompa proton merupakan terapi
LPR yang utama dan paling efektif dalam menangani kasus refluks. Cara kerja PPI
dengan menurunkan kadar ion hydrogen cairan refluks tetapi tidak dapat
menurunkan jumlah dan durasi refluks. PPI dapat menurunkan refluks asam lambung
sampai lebih dari 80%. Rekomendasi dosisadalah 2 kali dosis GERD dengan
rentang waktu 3 sampai 6 bulan. Salah satu kepustakaan menyebutkan rentang waktu
pengobatan dapat sampai 6 bulan atau lebih dengan menggunakan PPI 2 kali sehari
untuk memperbaiki laring yang cedera. Dalam penelitian sebelumnya Omeprazole
disebut sebagai derivat PPI yang ampuh ternyata akhir-akhir ini Lansoprazole dan
Pantoprazole dianggap lebih maksimal dalam menekan asam lambung. Kemudian zat
proteksi mukosa, sukralfat misalnya dapat digunakan untuk melindungi mukosa dari
cedera akibat asam dan pepsin. Promotility Agents, obat ini bekerja dengan cara
meningkatkan tekanan LES (lower esophagus spincters), meningkatkan pengosogan
lambung dan dapat meningkatkan mekanisme pembersihan esophagus,
Metoclopramid 10/15 mg. Pemeriksaan sedianya dilakukan rutin setiap 3 bulan yang
berguna memantau gejala atau mencari penyebab lain jika tidak terjadi perbaikan.
c) Terapi Pembedahan
Tujuan terapi pembedahan adalah memperbaiki penahan/barier pada daerah
pertemuan esofagus dan gaster sehingga dapat mencegah refluks seluruh isi gaster
kearah esofagus. Keadaan ini dianjurkan pada pasien yang harus terus menerus
minum obat atau dengan dosis yang makin lama makin tinggi untuk menekan asam
lambung. Sekarang ini tindakan yang sering dilakukan adalah funduplikasi
laparoskopi yang kurang invasif. Akan tetapi tindakan ini bukannya tanpa komplikasi,
perlu dokter yang berpengalaman dan mengerti mengenai anatomi esofagus serta
menguasai teknik funduplikasi konvensional agar angka komplikasi dapat ditekan.
Sehingga operasi ini bukan pilihan pertama pada kasus LPR.
Komplikasi
LPR dapat merupakan faktor pencetus munculnya penyakit seperti faringitis, sinusitis,
asma, pneumonia, batuk di malam hari, penyakit gigi dan keganasan laring. Salah satu
komplikasi yang patut diwaspadai dan mengancam nyawa adalah stenosis laring. Riwayat
LPR ditemukan pada 75% pasien stenosis laring dan trakea.
RHINITIS ALERGI1-3
Definisi3
Rhinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi pada
pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan alergen yang sama serta
dilepaskannya suatu mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan alergen spesifik
tersebut. Menurut WHO ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) tahun 2001
adalah kelainan pada hidung dengan gejala bersin-bersin, rinore, rasa gatal dan tersumbat
setelah mukosa hidung terpapar alergen yang diperantarai oleh IgE.
Alergi adalah respons jaringan yng berubah terhadap antigen spesifik atau allergen.
Hipersensitivitas pejamu bergantung pada dosis antigen, frekuensi paparan, polesan genetic
dari individu tersebut, dan kepekaan relative tubuh pejamu.
Rhinitis alergika terjadi bilamanan suatu antigen terhadap seorang pasien telah
mengalami sensitisasi, merangsang satu dari enam reseptor neurokimia hidung: reseptor
histamin H1, adrenoseptor-alfa, adrenoseptor-beta2, kolinoseptor, reseptor histamin H2 dan
reseptor iritan. Dari semua ini yang terpenting adalah reseptor histamin H1, dimana bila
terangsang oleh histamine akan meningkatkan tahanan jalan napas hidung, meneybabkan
bersin, gatal, dan rinore.
Patofisiologi1
Rhinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali dengan tahap
sensitisasi dan diikuti dengan tahap provokasi/ reaksi alergi. Reaksi alergi terdiri dari 2 fase
yaitu Immediate Phase Allergic Reaction atau Reaksi Alergi Fase Cepat (RAFC) yang
berlangsung sejak kotak dengan allergen sampai 1 jam setelahnya dan Late Phase Allergic
Reaction atau Reaksi Alergi Fase Lambat (RAFL) yang berlangsung 2-4 jam dengan puncak
6-8 jam (fase hiper-reaktifitas) setelah pemaparan dan dapat berlangsung sampai 24-48 jam.
Pada kontak pertama dengan alergen atau tahap sensitisasi, makrofag atau monosit
yang berperan sebagai sel penyaji (Antigen Presenting Cell/APC) akan menangkap alergen
yang menempel di permukaan mukosa hidung. Setelah diproses, antigen akan membentuk
fragmen pendek peptide dan bergabung dengan molekul HLA kelas II membentuk komplek
peptide MHC kelas II (Major Histocompability Complex) yang kemudian dipresentasikan
pada sel T helper (Th 0). Kemudian sel penyaji akan melepas sitokin seperti Interleukin 1 (IL
1) yang akan mengaktifkan Th0 untuk berproliferasi menjadi Th 1 dan Th 2. 1
Th 2 akan menghasilkan berbagai sitokin seperti IL3, IL 4, IL 5 dan IL 13. IL 4 dan IL
13 dapat diikat oleh reseptornya di permukaan sel limfosit B, sehingga sel limfosit B menjadi
aktif dan akan memproduksi Imunoglobulin E (IgE). IgE di sirkulasi darah akan masuk ke
jaringan dan diikat oleh reseptor IgE di permukaan sel mastosit atau basofil (sel mediator)
sehingga kedua sel ini menjadi aktif. Proses ini disebut sensitisasi yang menghasilkan sel
mediator yang tersensitisasi. Bila mukosa yang sudah tersensitisasi terpapar dengan alergen
yang sama, maka kedua rantai IgE akan mengikat alergen spesifik dan terjadi degranulasi
(pecahnya dinding sel) mastosit dan basofil dengan akibat terlepasnya mediator kimia yang
sudah terbentuk (Preformed Mediators) terutama histamine. Selain histamine juga
dikeluarkan Newly Formed Mediators antara lain prostaglandin D2 (PGD2), Leukotrien D4
(LT D4), Leukotrien C4(LT C4), bradikinin, Platelet Activating Factor (PAF) dan berbagai
sitokin. (IL 3, IL 4, IL 5, IL6, GM-CSF (Granulocyte Macrophage Colony Stimulating
Factor) dll. Inilah yang disebut sebagai Reaksi Alergi Fase Cepat (RAFC).
Selain histamine merangsang ujung saraf Vidianus, juga menyebabkan rangsangan
pada mukosa hidung sehingga terjadi pengeluaran Inter Cellular Adhesion Molecule 1
(ICAM 1). Pada RAFC, sel mastosit juga akan melepaskan molekul kemotaktik yang
menyebabkan akumulasi sel eosinofil dan netrofil di jaringan target. Respons ini tidak
berhenti sampai disini saja, tetapi gejala akan berlanjut dan mencapai puncak 6-8 jam setelah
pemaparan. Pada RAFL ini ditandai dengan penambahan jenis dan jumlah sel inflamasi
seperti eosinofil, limfosit, netrofil, basofil dan mastosit di mukosa hidung serta peningkatan
sitokin seperti IL3, IL4, IL5 dan Granulocyte Macrophag Colony Stimulating Factor (GM-
CSF) dan ICAM 1 pada secret hidung. Timbulnya gejala hiperaktif atau hiperresponsif
hidung adalah akibat peranan eosinofil dengan mediator inflamasi dari granulnya seperti
Eosinophilic Cationic Protein (ECP), Eosinophilic Derived Protein (EDP), Major Basic
Protein (MBP) dan Eosinophilic Peroxidase (EPO). Pada fase ini, selain faktor spesifik
(alergen), iritasi oleh faktor non spesifik dapat memperberat gejala seperti asap rokok, bau
yang merangsang , perubahan cuaca dan kelembapan udara yang tinggi.
Diagnosis1
Diagnosis rinitis alergi ditegakkan berdasarkan:
1.Anamnesis
Anamnesis sangat penting, karena seringkali serangan tidak terjadi dihadapan
pemeriksa. Hampir 50% diagnosis dapat ditegakkan dari anamnesis saja. Gejala rinitis alergi
yang khas ialah terdapatnya serangan bersin berulang. Sebetulnya bersin merupakan gejala
yang normal, terutama pada pagi hari atau bila terdapat kontak dengan sejumlah besar debu.
Hal ini merupakan mekanisme fisiologik, yaitu proses membersihkan sendiri (self cleaning
process). Bersin ini terutama merupakan gejala pada RAFC dan kadang-kadang pada RAFL
sebagai akibat dilepaskannya histamine. Karena itu perlu ditanyakan adanya riwayat atopi
pada pasien. Gejala lain ialah keluar ingus (rinore) yang encer dan banyak, hidung tersumbat,
hidung dan mata gatal, yang kadang-kadang disertai dengan banyak air mata keluar
(lakrimasi). Sering kali gejala yang timbul tidak lengkap, terutama pada anak-anak. Kadang-
kadang keluhan hidung tersumbat merupakan keluhan utama atau satu-satunya gejala yang
diutarakan oleh pasien.
2. Pemeriksaan Fisik
Pada rinoskopi anterior tampak mukosa edema, basah, berwarna pucat atau livid
disertai adanya secret encer yang banyak. Bila gejala persisten, mukosa inferior tampak
hipertrofi. Pemeriksaan nasoendoskopi dapat dilakukan bila fasilitas tersedia. Gejala spesifik
lain pada anak ialah terdapatnya bayangan gelap di daerah bawah mata yang terjadi karena
stasis vena sekunder akibat obstruksi hidung. Gejala ini disebut allergic shiner. Selain dari itu
sering juga tampak anak menggosok-gosok hidung karena gatal, dengan punggung tangan.
Keadaan ini disebut allergic salute. Keadaan menggosok hidung ini lama kelamaan akan
mengakibatkan timbulnya garis melintang di dorsum nasi bagian sepertiga bawah, yang
disebut allergic crease. Mulut sering terbuka dengan lengkung langit-langit yang tinggi,
sehingga akan menyebabkan gangguan pertumbuhan gigi geligi (facies adenoid). Dinding
posterior faring tampak granuler dan edema (cobblestone appearance), serta dinding lateral
faring menebal. Lidah tampak seperti gambaran peta (geographic tongue).
3.Pemeriksaan Penunjang
In vitro :
Hitung eosinofil dalam darah tepi dapat normal atau meningkat. Demikian pula
pemeriksaan IgE total (prist-paper radio imunosorbent test) seringkali menunjukkan nilai
normal, kecuali bila tanda alergi pada pasien lebih dari satu macam penyakit, misalnya selain
rinitis alergi juga menderita asma bronchial atau urtikaria. Pemeriksaan ini berguna untuk
prediksi kemungkinan alergi pada bayi atau anak kecil dari suatu keluarga dengan derajat
alergi yang tinggi. Lebih bermakna adalah pemeriksaan IgE spesifik dengan RAST (Radio
Imuno Sorbent Test) atau ELISA (Enzyme Linked Immuno Sorbent Assay Test). Pemeriksaan
sitologi hidung, walaupun tidak dapat memastikan diagnosis, tetap berguna sebagai
pemeriksaan pelengkap. Ditemukannya eosinofil dalam jumlah banyak menunjukkan
kemungkinan alergi inhalan. Jika basofil (>5sel/lap) mungkin disebabkan alergi makanan,
sedangkan jika ditemukan sel PMN menunjukkan adanya infeksi bakteri.
In Vivo :
Allergen penyebab dapat dicari dengan cara pemeriksaan tes cukit kulit, uji intrakutan
atau intradermal yang tunggal atau berseri (Skin End-point Titration/SET), SET dilakukan
untuk alergen inhalan dengan menyuntikkan allergen dalam berbagai konsentrasi yang
bertingkat kepekatannya. Keuntungan SET, selain alergen penyebab juga derajat tinggi serta
dosis inisial untuk desensitisasi dapat diketahui.
Untuk alergi makanan, uji kulit yang akhir-akhir ini banyak dilakukan adalah
Intracutaneus Provocative Dilutional Food Test (IPDFT), namun sebagai baku emas dapat
dilakukan dengan diet eliminasi dan provokasi (Challenge Test).
Alergen ingestan secara tuntas lenyap dari tubuh dalam waktu 5 hari. Karena itu pada
Challenge Test, makanan yang dicurigai diberikan pada pasien setelah berpantang selama 5
hari, selanjutnya diamati reaksinya. Pada diet eliminasi, jenis makanan setiap kali dihilangkan
dari menu makanan sampai suatu ketika gejala menghilang dengan meniadakan suatu jenis
makanan.
Penatalaksanaan1
Gambar 5. Alogaritma penatalaksanaan Rhinitis Alergi menurut WHO inititive ARIA. 1 (dewasa)
Komplikasi
Komplikasi rinitis alergi yang sering ialah:
1. Polip hidung
Beberapa peneliti mendapatkan, bahwa alergi hidung merupakan salah satu faktor
penyebab terbentuknya polip hidung dan kekambuhan polip hidung.
2. Otitis media efusi yang sering residif, terutama pada anak-anak.
3. Sinusitis paranasal.
LAPORAN KASUS
I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Nn. O
Umur : 18 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Pendidikan : SMA
Pekerjaan :-
Alamat : Pantai Indah Kapuk
Status pernikahan : Belum menikah
II. ANAMNESIS
Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis pada tanggal 20 Desember 2016 pukul 11.20
WIB.
Keluhan Utama :
Keluar cairan dan telinga berdengung pada telinga sejak 3 hari SMRS
Keluhan Tambahan :
Sejak 11 bulan SMRS keluar cairan dari telinga kiri. Cairan tersebut berwarna putih,
sedikit kental, tidak berbau, dan hilang timbul. Keluhan disertai gatal pada kedua telinga dan
penurunan pendengaran pada telinga kiri. keluhan tidak disertai nyeri. Sebelumnya karena
merasa gatal pasien sering mengorek telinga dengan cotton bud.. Terkadang pasien merasa
telinga terasa penuh danberdengung pada telinga kiri.
Sejak 3 hari SMRS,cairan keluar dari telinga kiri, timbul terutama keluar saat
menundukkan kepala. Cairan berwarna putih, sedikit kental, dan tidak berbau. Telinga kiri
masih terasa gatal dan pendengaran masih menurun pada telinga.
Selain itu pasien juga mengeluh mengalami rasa tidak nyaman di leher, seperti dahak
di tenggorokan sehingga pasien sering berdehem. Pasien mengatakan bahwa pasien sering
batuk berdahak, rasa panas di leher dan nyeri menelan.. Diketahui pasien sering
mengkonsumsi minuman dingin dan makan pedas. Keluhan sulit menelan serta tenggorokan
terasa sakit hanya selalu dirasakan pasien ketika makan jajan-jajanan yg mengandung micin,
dan keluhan ini sering terjadi. Keluhan sering mendehem karena merasa ada lendir dan
seperti ada yang mengganjal di tenggorok dikatakan pasien. Psien mengatakan bahwa suara
serak dirasakan pada saat pasien batuk-batuk. Batuk setelah makan atau berbaring, sukar
bernafas dan mulut berbau tidak dikeluhkan pasien. Paien mengatakan punya Riwayat nyeri
ulu hati dan dada terasa panas.
Pasien kemudian berobat ke poli THT RSUD Tarakan dengan keluhan masih
keluarnya cairan dari telinga kanan dan gatal.
Riwayat merokok (-),alcohol (-) riwayat trauma hidung dan telinga (-). Pasien tidak
memiliki riwayat asma. Pasien diketahui tidak memiliki riwayat kencing manis.
Dextra Sinistra
Tes Penala
Dextra Sinistra
Rinne Positif Positif
Weber Lateralisasi ke kiri
Schwabach Sesuai pemeriksa Sesuai pemeriksa
Penala yang dipakai 512 Hz 512 Hz
Kesimpulan : tuli konduktif pada telinga kiri
Hidung
Dextra Sinistra
Bentuk Normal. Normal.
Tanda peradangan Hiperemis (-), hipertermi Hiperemis (-), hipertermi
(-), nyeri (-), massa (-), (-), nyeri (-), massa (-),
functio laesa (-) functio laesa (-)
Daerah sinus frontalis dan Nyeri tekan (-), nyeri ketuk Nyeri tekan (-), nyeri ketuk
maxillaris (-), krepitasi (-) (-), krepitasi (-)
Vestibulum Tampak bulu hidung, Tampak bulu hidung,
laserasi (-), sekret (-), laserasi (-), sekret (-),
furunkel (-), krusta (-), furunkel (-), krusta (-),
hiperemis (-), hipertermi hiperemis (-), hipertermi
(-), nyeri (-), massa (-) (-), nyeri (-), massa (-)
Cavum Nasi Lapang, sedikit sekret Lapang,sedikit sekret
(+), massa (-), krusta (-), (+), massa (-), krusta (-),
benda asing (-) hiperemis benda asing (-) hiperemis
(-) (-)
Konka inferior Hipertrofi (-), hiperemis Hipertrofi (-), hiperemis
(-), livide (+), edema (-) (+), livide (+), edema (-)
Meatus nasi inferior sekret (-), massa (-), edema sekret (-), massa (-), edema
(-) (-)
Konka Medius Edema (-), hipertrofi (-), Edema (-), hipertrofi (-),
hiperemis (-), livide (+), hiperemis (-), livide (+),
konka bulosa (-) konka bulosa (-)
Meatus nasi medius sekret (-), massa (-), edema sekret (-), massa (-), edema
(-) (-)
Septum nasi Deviasi (-), spina (-), Deviasi (-), spina (-),
hematoma (-), abses (-), hematoma (-), abses (-),
perforasi (-) perforasi (-)
Rhinopharynx
Pemeriksaan Transluminasi
Tenggorokan
Faring
Dinding faring posterior :Hiperemis (-), granula (+), ulkus (-), perdarahan aktif
(-), clotting (-), post nasal drip (-), massa (-).
Arcus faring :Pergerakan simetris, hiperemis (-), edema (-), ulkus (-),
laserasi (-)
Tonsil :T1-T1 tenang, hiperemis (-), kripta, detritus (-),
pseudomembran (-), abses (-)
Uvula :di tengah, hiperemis (+), bifida (-), massa (-),
memanjang (-), edema (-).
Gigi : caries (-).
Laring
Kelenjar limfe submandibula dan servical: tidak adanya pembesaran pada inspeksi dan
palpasi.
Sering mendehem 3
Kesukaran menelan 0
Kesukaran bernafas 0
Skor RSI : 13
RESUME
Anamnesis
Nn.0 berusia 18 tahun terdapat otorea pada telinga kiri. Cairan tersebut berwarna putih,
sedikit kental, tidak berbau, dan hilang timbul. Keluhan disertai gatal pada kedua telinga dan
penurunan pendengaran pada telinga kiri. keluhan disertai nyeri. Sebelumnya karena merasa
gatal pasien sering mengorek telinga dengan cotton bud, pasien mengatakan telinga terasa
penuh. Terkadang pasien merasa berdengung pada telinga kiri. Keluhan sering mendehem
karena merasa ada lendir dan seperti ada yang mengganjal di tenggorok dikatakan pasien.
Skor RSI (Reflux Symptom Index) didapatkan 13. saat ini pasien tidak sedang mengonsumsi
obat-obatan yang digunakan dalam jangka waktu yang lama.
Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan otoskop ditemukan adanya sekret pada liang telinga kiri, liang
telinga kiri hiperemis dan perforasi sentral pada membran timpani. Pada pemeriksaan fungsi
pendengaran dengan pelana didapatkan tuli konduktif. Pada pemeriksaan hidung didapatkan,
Kedua konka inferior eutrofi dan tampak livid. Ada sedikit secret berwarna bening. Pada
pemeriksaan faring didapatkan dinding faring hiperemis dan terdapat granul, tonsil T1 T1.
Pemeriksaaan rhinoskopi posterior dan laringoskopi indirek tidak dilakukan karena
pemeriksa tidak berhasil.
DIAGNOSIS KERJA
Anamnesis:
II. Otomikosis AS
Dasar Diagnosis:
Anamnesis: adanya rasa penuh, gatal, serta dengungan pada telinga kanan
Pemeriksaan fisik: ditemukan hifa wara putih yang menutupi 1/3 luar liang telinga
kiri
Didapatkan Reflux symptom index (RSI) sebesar 13 ( 13). Pasien merasa ada
yang lendir dan ada yang mengganjal di tenggorok, sering mendehem dan
suara serak.
Sering mengonsumi makanan pedas
DIAGNOSIS BANDING
Dasar yang tidak mendukung : secret : purulent (-), berbau busuk (-), letak perforasi atik atau
marginal
V. PENATALAKSANAAN
Medika mentosa:
Cuci telinga
H2O2 3% 3 x 5 gtt selama 5 hari
Antibiotik sistemik
Amoksisilin 3 x 1 tablet/hari selama 5 hari
Menjaga telinga tetap kering atau Menjaga agar lubang telinga tidak kemasukan air
Menjaga higiene telinga
Jangan mengorek telinga bila terasa gatal cukup menekan telinga bagian luar saja
(tragus)
menjaga kesehatan tubuh, janngan beraktivitas berlebihan
Jangan makan pedas, minum kopi, es, dan makan yang berlemak
Minum obat teratur
Rajin kontrol ke dokter
PROGNOSIS
Ad vitam : Bonam
II. Otomikosis As
Ad vitam : Bonam
Ad vitam : Bonam
PEMBAHASAN
Dari kasus diatas didapatkan bahwa penyakit otitis media supuratif kronik yang
dikeluhkan oleh pasien disebabkan karena kebiasaan pasien untuk mengorek telinga secara
sembarangan menggunakan cotton bud dan dari hasil anamnesis Nn.O sudah mengalami
selama 11 bulan serta pendengaran telinga mulai berkurang. Untuk konfirmasi gangguan
fungsi pendengaran dilakukan pemeriksaan otoskop dan tes penala, OMSK inilah yang
membuat pasien burkurang pendengarannya. Maka dilakukan tes penala, dan hasilnya tuli
konduktif. Walaupun didapai tes Rinne positif, tetap dikatakan pasien tuli konduktif karena
tes webber yang hasilnya laterlaisasi ke telinga yang sakit. Tes rinne positif bisa terjadi jika
tuli pada pasien <30 dB. Tetapi untuk lebih memastikannya perlu dilakukan pemeriksaan
audiometri karenan subjektifitas pada pemeriksaan tes penala cukup tinggi, baik pada pasien
maupun pada pemeriksa. Pasien juga merasa gatal dan terasa penuh ditelinga kiri setalah
dilakukan pemeriksaan otoskop didapatkan hifa berwarna putih pada liang telinga kiri. Dari
anamnesis juga didapatkan pasien juga mempunyai riwayat sakit tenggorokan berulang
setelah jajan. Dari skor RSI pasien adalah 13 maka dinyatakan positif terkena LPR.
KESIMPULAN
Otitis Media Supuratif Kronis (OMSK) merupakan suatu infeksi kronis di telinga
tengah dengan perforasi membran timpani dan sekret yang keluar dari telinga tengah lebih
dari 2 bulan secara terus-menerus atau hilang timbul, sekret dapat encer atau kental, bening
atau berupa nanah. OMSK ini dibagi menjadi dua jenis yaitu OMSK tipe aman dan OMSK
tipe bahaya. Dan berdasarkan aktivitas sekret dibagi juga menjadi dua yaitu OMSK tipe aktif
dan OMSK tipe tenang.
Otomikosis adalah infeksi telinga yang disebabkan oleh jamur, atau infeksi jamur yang
superfisial pada kanalis auditorius eksternus. Otomikosis ini sering dijumpai pada daerah
yang tropis. Infeksi ini dapat bersifat akut dan subakut, dan khas dengan adanya inflammasi,
rasa gatal, dan ketidaknyamanan. Mikosis ini menyebabkan adanya pembengkakan,
pengelupasan epitel superfisial, adanya penumpukan debris yang berbentuk hifa, disertai
supurasi, dan nyeri.
Refluks laringofaring (RLF) adalah salah satu manifestasi refluks ekstra esofagus
dimana terjadi aliran balik asam lambung ke daerah laring, faring, trakea dan bronkus yang
menyebabkan kontak dengan jaringan pada traktus aerodigestif atas yang menimbulkan jejas
pada laringofaring dan saluran napas bagian atas, dengan manifestasi penyakit-penyakit oral,
faring, laring dan paru. Diagnosis ditegakkan berdasarkaan gejala klinis (Reflux Symptoms
Index/RSI) dan Reflux finding score.
Daftar Pustaka
1. Soepardi A, Iskandar N, Basshirudin J, dkk. Telinga, hidung, teggorok, kepala dan
leher. Edisi ke-6. Jakarta: FKUI; 2007.
2. Adams G. Boies: buku ajar penyakit THT. Edisi ke-6. Jakarta: EGC 1997.
3. Restuti RD, Bashiruddin J, Damajanti S, Soepardi EA, Iskandar N.Gangguan
pendengaran dan kelainan telinga. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung
Tenggorok Kepala Leher. Edisi keenam. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. 2007.h.10-6.
4. Ballenger JJ. Penyakit Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala, dan Leher. Edisi 13. Jilid
2. Jakarta: Binarupa Aksara. 1997.h.392-5
5. Restuti RD, Bashiruddin J, Damajanti S, Soepardi EA, Iskandar N.Otitis media
supuratif kronis. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher.
Edisi keenam. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.2007.h.69-74.
6. Restuti RD, Bashiruddin J, Damajanti S, Soepardi EA, Iskandar N. Komplikasi otitis
media supuratif. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala
Leher. Edisi keenam. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2007.h.78-
9.
7. House JW, Brackmann DE. Facial nerve grading system. Otolaryngol. Head Neck
Surg 1993.h.1467.
8. Endang M, Retno W, Soepardi EA, Iskandar N. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga
Hidung Tenggorok Kepala Leher edisi keenam. Jakarta: Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. 2007.p.64-72.
9. http://eac.hawkelibrary.com/new/main.php?g2_itemId=89 diunduh tanggal 25
Desember 2016
10. Shilpa.KG, Shashidhar.SS, Manesh B. Otomycosis : A clinic Mycological Study. Int J
Med Health Sci, April 2013, Vol-2; Issue-2 diunduh dari
http://www.ijmhs.net/articles/1365666009Otomycosis_A_Clinico_Mycological_Study.p
df tanggal 25 Desember 2016
11. Dhingra P.L. Disease of Ear, Nose and Throat. Edisi 4. New Delhi: Gopson Paper Ltd;
2007. Hal: 145-8
12. Abadi AM. Mycological studies in 15 cases of otomycosis. Pakistan Journal of
Medicine Science, October December 2006 Vol.22 No. 4. Diunduh dari
http://www.pjms.com.pk/issues/octdec06/article/sc4.html. Tanggal 25 Desember 2016
13. Satish HS, Viswanata B, Manjuladevi M. A Clinical Study of Otomycosis. IOSR Journal
of Dental and Medical Sciences Volume 5, Issue 2; Mar.- Apr. 2013. Diunduh dari
www.iosrjournals.org tanggal 25 Desember 2016
14. Mansjoer A, et all. Otomikosis. Dalam: Kapita Selekta Kedokteran, Jakarta: Media
Aesculapius; 2001.h.75.
15. Anwar K, Gohar MS. Otomycosis, clinical features, predisposing factors and treatment
implications. Di unduh dari http;//dx.doi.org/10.12669/pjms.303.html. tanggal 25
Desember 2016
16. Makmun, Dadang. Penyakit Refluks Gastroesofageal. Dalam : Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Jilid 1 edisi IV. FKUI. Jakarta. Hal. 315-319.
17. Belafsky P, Rees C. Identifying and managing laryngopharyngeal reflux. Clinical
Review article. Hospital physician. July, 2007.
18. Guyton, A.C & Hall, J.E. Propulsi dan Pencampuran Makanan dalam Saluran
Pencernaan. Dalam: Guyton & Hall Buku Ajar Fisiologi Kedokteran edisi 11. EGC.
Jakarta. 2007.