Anda di halaman 1dari 54

Laporan Kasus

Otitis Media Supuratif Kronik Auricula Sinistra Tipe Aman Aktif,


Otomikosis Auricula Sinistra, Laryngofaryngeal Reflux, Suspek Rhinitis
Alergi

Nama : Julianti Dewisarty Ranyabar

Nim : 11.2015,223

Pembimbing:

dr. Stivina Azrial, Sp.THT-KL

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Telinga Hidung dan Tenggorokan

Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana

RSUD Tarakan Jakarta Pusat

Periode : 05 Desember 2016 07 Januari 2017


PENDAHULUAN

Latar belakang

Otitis media supuratif kronis (OMSK) merupakan radang pada telinga tengah yang
ditandai dengan adanya perforasi membran timpani dan sekret yang keluar dari telinga
tengah. Sekret bisa keluar terus menerus atau hilang timbul, sekret mungkin encer atau pun
kental. OMSK ini juga dibagi menjadi 2, yaitu OMSK tipe tenang (tipe mukosa/tipe benigna)
dan OMSK tipe bahaya (tipe tulang/tipe maligna).

Otomikosis merupakan penyakit telinga luar yang disebabkan oleh jamur yang biasanya
menutupi kanalis liang telinga. Gejalanya dapat menyebabkan gatal hingga penderita ingin
menggaruk bagian dalam telinganya, yang dapat menyebabkan laserasi hingga terjadi infeksi.

Rhinitis alergi adalah penyakit peradangan yang disebabkan olehreaksi alergi


pada pasien-pasien yang memiliki atopi, yang sebelumnya sudah tersensitisasi atau terpapar
dengan allergen (zat/materi yang menyebabkan timbulnya alergi) yang sama serta meliputi
mekanisme pelepasan mediatorkimia ketika terjadi paparan ulangan dengan alergen
yang serupa.

Refluks gastroesofagus didefinisikan sebagai aliran retrograd isi lambung ke dalam


esofagus. Penyakit refluks gastroesofagus disebut sebagai refluks gastroesofagus patologik
atau refluks gastro esofagus simtomatik, merupakan kondisi kronik dan berulang, sehingga
menimbulkan perubahan patologik pada traktus aerodigestif atas dan organ lain diluar
esofagus.

Maksud Penulis
Laporan ini dibuat untuk memperluas wawasan para pembaca mengenai Otitis Media
Supuratif Kronik, Otomikosis,Rhinitis alergi, Septum Deviasi, dan laryngopharyngeal reflux
dengan harapan pembaca dapat mengerti dan memahami seluk beluk dan perjalanan penyakit
ini berdasarkan teori dan membandingkannya dengan kasus yang ditemukan di lapangan.

Tujuan Penulis

Tujuan dari penulisan laporan kasus ini adalah untuk memenuhi tugas kepaniteraan
klinik bagian Ilmu Telinga, Hidung, dan Tenggorokan (THT) FK UKRIDA di RSUD Tarakan
Jakarta.

TELINGA1-2

Anatomi Telinga
a. Telinga Luar
Telinga luar terdiri dari aurikula dan kanalis auditorius eksternus dan
dipisahkan dari telinga tengah oleh membrana timpani.Aurikula berfungsi untuk
membantu pengumpulan gelombang suara. Gelombang suara tersebut akan
dihantarkan ke telinga bagian tengah melalui kanalis auditorius eksternus. Tepat di
depan meatus auditorius eksternus terdapat sendi temporal mandibular. Kanalis
auditorius eksternus panjangnya sekitar 2,5 sentimeter. Sepertiga lateral mempunyai
kerangka kartilago dan fibrosa padat tempat kulit melekat. Dua pertiga medial
tersusun atas tulang yang dilapisi kulit tipis.Kanalis auditorius eksternus berakhir
pada membrana timpani.Kulit dalam kanal mengandung kelenjar khusus, glandula
seruminosa, yang mensekresi substansi seperti lilin yang disebut serumen.

b. Telinga Tengah
Bagian atas membrana timpani disebut pars flaksida, sedangkan bagian bawah
pars tensa. Pars flaksida mempunyai dua lapisan, yaitu bagian luar ialah lanjutan
epitel kulit liang telinga dan bagian dalam dilapisi oleh sel kubus bersilia, seperti
epitel mukosa saluran napas. Pars tensa mempunyai satu lapisan lagi di tengah, yaitu
lapisan yang terdiri dari serat kolagen dan sedikit serat elastin yang berjalan secara
radier di bagian luar dan sirkuler di bagian dalam. Di dalam telinga tengah terdapat
tulang-tulang pendengaran yang tersusun dari luar ke dalam, yaitu maleus, inkus, dan
stapes.Tulang pendengaran di dalam telinga tengah saling berhubungan.Prosesus
longus maleus melekat pada membrana timpani, maleus melekat pada inkus, dan
inkus melekat pada stapes.Stapes terletak pada tingkap oval yang berhubungan
dengan koklea.Hubungan antara tulang-tulang pendengaran merupakan persendian.
Tuba eustachius termasuk dalam telinga tengah menghubungkan daerah nasofaring
dengan telinga tengah.

c. Telinga Dalam
Koklea bagian tulang dibagi menjadi dua lapisan oleh suatu sekat.Bagian
dalam sekat ini adalah lamina spiralis ossea dan bagian luarnya adalah lamina spiralis
membranasea.Ruang yang mengandung perilimfe terbagi dua, yaitu skala vestibuli
dan skala timpani.Kedua skala ini bertemu pada ujung koklea yang disebut
helikotrema. Skala vestibuli berawal pada foramen ovale dan skala timpani berakhir
pada foramen rotundum.Pertemuan antara lamina spiralis ossea dan membranasea
kearah perifer membentuk suatu membrana yang tipis yang disebut membrana
Reissner yang memisahkan skala vestibuli dengan skala media (duktus koklearis).
Duktus koklearis berbentuk segitiga, dihubungkan dengan labirin tulang oleh jaringan
ikat penyambung periosteal dan mengandung end organ dari nervus koklearis dan
organ Corti. Duktus koklearis berhubungan dengan sakulus dengan perantaraan
duktus Reuniens. Organ Corti terletak di atas membrana basilaris yang mengandung
organel-organel yang penting untuk mekanisma saraf perifer pendengaran. Organ
Corti terdiri dari satu baris sel rambut dalam yang berisi kira-kira 3000 sel dan tiga
baris sel rambut luar yang berisi kira-kira 12.000 sel. Sel-sel ini menggantung lewat
lubang-lubang lengan horizontal dari suatu jungkat-jangkit yang dibentuk oleh sel-sel
penyokong. Ujung saraf aferen dan eferen menempel pada ujung bawah sel
rambut.Pada permukaan sel rambut terdapat strereosilia yang melekat pada suatu
selubung yang cenderung datar yang dikenal sebagai membrana tektoria.Membrana
tektoria disekresi dan disokong oleh limbus.
Fisiologi Pendengaran Normal
Getaran suara ditangkap oleh daun telinga yang diteruskan ke liang telinga dan
mengenai membrana timpani sehingga membrana timpani bergetar. Getaran ini diteruskan ke
tulang-tulang pendengaran yang berhubungan satu sama lain. Selanjutnya, stapes
menggerakkan foramen ovale yang juga menggerakkan perilimfe dalam skala
vestibuli.Getaran diteruskan melalui membrana Reissner yang mendorong endolimfe dan
membrana basalis ke arah bawah. Perilimfe dalam skala timpani akan bergerak sehingga
foramen rotundum terdorong ke arah luar .Pada waktu istirahat, ujung sel rambut Corti
berkelok dan dengan terdorongnya membrana basal, ujung sel rambut itu menjadi
lurus.Rangsangan fisik ini berubah menjadi rangsangan listrik akibat adanya perbedaan ion
Natrium dan Kalium yang diteruskan ke cabang-cabang nervus vestibulokoklearis. Kemudian
meneruskan rangsangan itu ke pusat sensorik pendengaran di otak melalui saraf pusat yang
ada di lobus temporalis.

I. Otitis Media Supuratif Kronik


Definisi
Otitis media supuratif kronik (OMSK) dahulu disebut otitis media perforata (OMP)
atau disebut juga congek ialah infeksi kronis di telinga tengah dengan perforasi
membran timpani dan sekret yang keluar dari telinga tengah selama lebih dari 2 bulan
secara terus-menerus atau hilang timbul, sekret dapat encer atau kental, bening atau
berupa nanah.2
OMSK ini berupa kelanjutan dari otitis media akut (OMA) dengan perforasi membran
timpani yang terjadi lebih dari 2 bulan. Beberapa faktor yang yang menyebabkan OMA
menjadi OMSK ialah terapi yang terlambat diberikan, terapi yang tidak adekuat,
virulensi kuman tinggi, daya tahan tubuh pasien rendah (gizi rendah) atau hygiene
buruk.3
Otitis media supuratif kronis terbagi antara benigna dan maligna, maligna karena
terbentuknya kolesteatom yaitu epitel skuamosa yang bersifat osteolitik. Penyakit
OMSK ini biasanya terjadi perlahan-lahan dan penderita datang dengan gejala-gejala
penyakit yang sudah lengkap dan morbiditas penyakit telinga tengah kronis ini
dapat berganda, gangguan pertama berhubungan dengan infeksi telinga tengah yang
terus menerus (hilang timbul) dan gangguan kedua adalah kehilangan fungsi
pendengaran yang disebabkan kerusakan mekanisme hantaran suara dan kerusakan
konka karena toksisitas atau perluasan infeksi langsung.2,4
Etiologi
Terjadi OMSK hampir selalu dimulai dengan otitis media berulang pada anak, jarang
dimulai setelah dewasa. Faktor infeksi biasanya berasal dari nasofaring (adenoiditis,
tonsilitis, rinitis, sinusitis) dan mencapai telinga tengah melalui tuba eustachius. Fungsi
tuba eustachius yang abnormal merupakan faktor predisposisi yang dijumpai pada anak
dengan palatoskisis dan sindrom down. Adanya tuba patulous, menyebabkan refluks isi
nasofaring yang merupakan faktor insiden OMSK yang tinggi di Amerika Serikat.
Faktor host yang berkaitan dengan insiden OMSK yang relatif tinggi adalah defisiensi
imun sistemik. Kelainan humoral, seperti hipogammaglobulinemia dan cell-mediated
(infeksi HIV) dapat timbul sebagai infeksi telinga kronik.
Faktor-faktor risiko OMSK antara lain:4
1) Lingkungan
Hubungan penderita OMSK dan faktor sosioekonomi belum jelas, tetapi terdapat
hubungan erat antara penderita dengan OMSK dan sosioekonomi, dimana kelompok
sosioekonomi rendah memiliki insiden yang lebih tinggi. Tetapi sudah hampir
dipastikan, bahwa hal ini berhubungan dengan kesehatan secara umum, diet, dan
tempat tinggal yang padat.
2) Genetik
Faktor genetik masih diperdebatkan sampai saat ini, terutama apakah insiden
OMSK berhubungan dengan luasnya sel mastoid yang dikaitkan sebagai faktor
genetik. Sistem sel-sel udara mastoid lebih kecil pada penderita otitis media, tapi
belum diketahui apakah hal ini primer atau sekunder.
3) Riwayat otitis media sebelumnya
Secara umum dikatakan otitis media kronik merupakan kelanjutan dari otitis media
akut dan atau otitis media dengan efusi, tetapi tidak diketahui faktor apa yang
menyebabkan satu telinga dan berkembangnya penyakit ke arah keadaan kronik
4) Infeksi
Proses infeksi pada otitis media supuratif kronik sering disebabkan oleh campuran
mikroorganisme aerobik dan anaerobik yang multiresisten terhadap standar yang
ada saat ini. Kuman penyebab yang sering dijumpai pada OMSK
ialah Pseudomonas aeruginosa sekitar 50%, Proteus sp. 20% dan Staphylococcus
aureus 25%.
Jenis bakteri yang ditemukan pada OMSK agak sedikit berbeda dengan kebanyakan
infeksi telinga lain, karena bakteri yang ditemukan pada OMSK pada umumnya
berasal dari luar yang masuk ke lubang perforasi tadi.
5) Infeksi saluran nafas atas
Banyak penderita mengeluh sekret telinga sesudah terjadi infeksi saluran nafas atas.
Infeksi virus dapat mempengaruhi mukosa telinga tengah menyebabkan
menurunnya daya tahan tubuh terhadap organisme yang secara normal berada dalam
telinga tengah, sehingga memudahkan pertumbuhan bakteri.
6) Autoimun
Penderita dengan penyakit autoimun akan memiliki insidens lebih besar terhadap
otitis media kronik.
7) Alergi
Penderita alergi mempunyai insiden otitis media kronik yang lebih tinggi dibanding
yang bukan alergi. Yang menarik adalah dijumpainya sebagian penderita yang alergi
terhadap antibiotik tetes telinga atau bakteri atau toksin-toksinnya, namun hal ini
belum terbukti kebenarannya.
8) Gangguan fungsi tuba eustachius
Hal ini terjadi pada otitis kronik aktif, dimana tuba eustachius sering tersumbat oleh
edema. Beberapa faktor-faktor yang menyebabkan perforasi membran timpani
menetap pada OMSK:
a) Infeksi yang menetap pada telinga tengah mastoid yang mengakibatkan
produksi sekret telinga purulen berlanjut.
b) Berlanjutnya obstruksi tuba eustachius yang mengurangi penutupan spontan
pada perforasi.
c) Beberapa perforasi yang besar mengalami penutupan spontan melalui
mekanisme migrasi epitel.
Pada pinggir perforasi, epitel skuamous dapat mengalami pertumbuhan yang cepat di
atas sisi medial dari membran timpani yang hal ini juga mencegah penutupan spontan
dari perforasi.

Klasifikasi OMSK
OMSK dibagi menjadi 2 jenis, yaitu OMSK tipe aman (tipe mukosa/tipe banigna) dan
OMSK tipe bahaya (tipe tulang/tipe maligna).4Berdasarkan aktivitas sekret yang keluar
dikenal juga OMSK tipe aktif dan OMSK tenang. OMSK aktif ialah OMSK dengan
sekret yang keluar dari kavum timpani secara aktif, sedangkan OMSK tenang ialah
keadaan kavum timpaninya terlihat basah atau kering.
Proses peradangan pada OMSK tipe aman terbatas pada mukosa saja dan biasanya
tidak mengenai tulang. Perforasi terletak di sentral. Umumnya OMSK tipe aman jarang
menimbulkan komplikasi yang berbahaya. Pada OMSK tipe aman tidak terdapat
kolesteatoma.5
Yang dimaksud dengan OMSK tipe maligna ialah OMSK yang disertai dengan
kolesteatoma. OMSK ini dikenal juga dengan OMSK tipe bahaya atau OMSK tipe
tulang. Perforasi pada OMSK tipe bahaya letaknya marginal atau atik, kadang-kadang
terdapat juga koleteatoma pada OMSK dengan perforasi subtotal. Sebagian besar
komplikasi yang berbahaya atau fatal timbul pada OMSK tipe bahaya.5

Tabel 1. Perbedaan OMSK benigna dan OMSK Maligna5

1) Tipe tubotimpani (tipe jinak/tipe aman/tipe rinogen)


Proses peradangan pada OMSK tipe tubotimpani hanya terbatas pada mukosa saja dan
biasanya tidak mengenai tulang. Tipe tubotimpani ditandai oleh adanya perforasi
sentral atau pars tensa dan gejala klinik yang bervariasi dari luas dan keparahan
penyakit. Beberapa faktor lain yang mempengaruhi keadaan ini terutama patensi tuba
eustachius, infeksi saluran nafas atas, pertahanan mukosa terhadap infeksi yang gagal
pada pasien dengan daya tahan tubuh yang rendah. Disamping itu campuran bakteri
aerob dan anaerob, luas dan derajat perubahan mukosa, serta migrasi sekunder dari
epitel skuamosa juga berperan dalam perkembangan tipe ini. Sekret mukoid kronik
berhubungan dengan hiperplasia goblet sel, metaplasia dari mukosa telinga tengah
pada tipe respirasi dan mukosiliar yang jelek.

2) Tipe atikoantral (tipe ganas/tipe tidak aman/tipe tulang)


Pada tipe ini ditemukan adanya kolesteatom dan berbahaya. Perforasi tipe ini letaknya
marginal atau di atik yang lebih sering mengenai pars flaksida. Karakteristik utama
dari tipe ini adalah terbentuknya kantong retraksi yang berisi tumpukan keratin
sampai menghasilkan kolesteatom.

Kolesteatom adalah suatu massa amorf, konsistensi seperti mentega, berwarna putih,
terdiri dari lapisan epitel bertatah yang telah mengalami nekrotik. Kolesteatom
merupakan media yang baik untuk tempat pertumbuhan kuman (infeksi), yang paling
sering adalah Proteus dan Pseudomonas aeruginosa. Sebaliknya infeksi dapat memicu
respon imun local yang mengakibatkan produksi berbagai mediator inflamasi dan
berbagai sitokin. Sitokin yang diidentifikasi terdapat pada matrix kolesteatom adalah
interleukin-1 ( IL-1), interleukin-6, tumor necrosis factor alpha, dan transforming
growth factor. Zat- zat ini dapat menstimulasi sel-sel kolesteatom bersifat
hiperproliferatif, destruktif dan mampu berangiogenesis. Massa kolesteatom ini dapat
menekan dan mendesak organ sekitarnya serta menimbulkan nekrosis terhadap tulang.
Terjadinya proses nekrosis terhadap tulang diperhebat oleh reaksi asam oleh
pembusukan bakteri.

Kolesteatom dapat dibagi atas 2 tipe yaitu:5


a) Kongenital
Kolestatom kongenital terbentuk pada masa embrionik. Patogenesis kolesteatom
kongenital tidak sepenuhnya dimengerti. Namun ada beberapa teori diantaranya
Teed menyatakan bahwa penebalan epitel ektodermal berkembang bersama-sama
dengan ganglion genikulatum, dari medial sampai ke bagian leher dari tulang
malleus. Kumpulan epitel ini nantinya akan mengalmi involusi menjadi lapisan
lapisan epitel telinga tengah. Jika involusi ini gagal terjadi maka kumpulan epitel
tersebut akan menjadi kolesteatom kongenital.

Pada kolesteatom kongenital ditemukan membran timpani utuh tanpa tanda-tanda


infeksi, lokasi kolesteatom biasanya di kavum timpani, daerah petrosus mastoid
atau di serebelopontin angle.

Gambar 3. Kolesteatom Kongenital5

b) Didapat
Kolesteatom yang terbentuk setelah anak lahir, dapat dibagi atas:5

1) Primary acquired cholesteatoma


Kolesteatom yang terjadi tanpa didahului oleh perforasi membran timpani
pada daerah atik atau pars flasida, timbul akibat adanya proses invaginasi dari
membrane timpani pars flaksida karena adanya tekanan negatif di telinga
tengah akibat gangguan tuba.
2) Secondary acquired cholesteatom
Kolesteatom yang terbentuk setelah terjadi perforasi membran timpani.
Kolesteatom terbentuk sebagai akibat dari masuknya epitel kulit dari liang
telinga atau dari pinggir perforasi membran timpani ke telinga tengah (teori
migrasi) atau terjadi akibat metaplasia mukosa kavum timpani karena iritasi
infeksi yang berlansung lama (teori metaplasia).

Gambar 4. Kolesteatom didapat5

Teori implantasi dikatakan bahwa kolesteatom terjadi akibat implantasi epitel kulit
secara iatrogenik ke dalam telinga tengah sewaktu operasi, setelah blust injury,
pemasangan pipa ventilasi, atau setelah miringotomi.5

Patofisiologi
Otitis media sering diawali dengan infeksi pada saluran nafas seperti radang
tenggorokan atau pilek yang menyebar ke telinga tengah lewat saluran Eustachius. Saat
bakteri melalui saluran Eustachius, mereka dapat menyebabkan infeksi di saluran
tersebut sehingga terjadi pembengkakan di sekitar saluran, tersumbatnya saluran, dan
datangnya sel-sel darah putih untuk melawan bakteri. Sel-sel darah putih akan
membunuh bakteri dengan mengorbankan dirinya sendiri. Sebagai hasilnya
terbentuklah nanah dalam telinga tengah. Selain itu, pembengkakan jaringan sekitar
saluran Eustachius menyebabkan lendir yang dihasilkan sel-sel di telinga tengah
terkumpul di belakang gendang telinga.5
Jika lendir dan nanah bertambah banyak, pendengaran dapat terganggu karena
gendang telinga dan tulang-tulang kecil penghubung gendang telinga dengan organ
pendengaran di telinga dalam tidak dapat bergerak bebas. Kehilangan pendengaran
yang dialami umumnya sekitar 24 dB (bisikan halus). Namun cairan yang lebih banyak
dapat menyebabkan gangguan pendengaran hingga 45 dB (kisaran pembicaraan
normal). Selain itu, telinga juga akan terasa nyeri. Dan yang paling berat, cairan yang
terlalu banyak tersebut akhirnya dapat merobek gendang telinga karena tekanannya.

OMSK dimulai dari episode infeksi akut terlebih dahulu. Patofisiologi dari OMSK
dimulai dari adanya iritasi dan inflamasi dari mukosa telinga tengah yang disebabkan
oleh multifaktorial, diantaranya infeksi yang dapat disebabkan oleh virus atau bakteri,
gangguan fungsi tuba, alergi, kekebalan tubuh turun, lingkungan dan sosial ekonomi.
Kemungkinan penyebab terpenting mudahnya anak mendapat infeksi telinga tengah
adalah struktur tuba pada anak yang berbeda dengan dewasa dan kekebalan tubuh yang
belum berkembang sempurna sehingga bila terjadi infeksi jalan napas atas, maka lebih
mudah terjadi infeksi telinga tengah berupa Otitis Media Akut (OMA).
Respons inflamasi yang timbul adalah berupa udem mukosa. Jika proses inflamasi ini
tetap berjalan, pada akhirnya dapat menyebabkan terjadinya ulkus dan merusak epitel.
Mekanisme pertahanan tubuh penderita dalam menghentikan infeksi biasanya
menyebabkan terdapatnya jaringan granulasi yang pada akhirnya dapat berkembang
menjadi polip di ruang telinga tengah. Jika lingkaran antara proses inflamasi, ulserasi,
infeksi dan terbentuknya jaringan granulasi ini berlanjut terus akan merusak jaringan
sekitarnya.

Gejala Klinis
1. Telinga berair (otore)
Sekret bersifat purulen (kental, putih) atau mukoid (seperti air dan encer) tergantung
stadium peradangan. Sekret yang mukus dihasilkan oleh aktivitas kelenjar sekretorik
telinga tengah dan mastoid. Pada OMSK tipe jinak, cairan yang keluar mukopus yang
tidak berbau busuk yang sering kali sebagai reaksi iritasi mukosa telinga tengah oleh
perforasi membran timpani dan infeksi. Keluarnya sekret biasanya hilang timbul.
Meningkatnya jumlah sekret dapat disebabkan infeksi saluran nafas atas atau
kontaminasi dari liang telinga luar setelah mandi atau berenang. Pada OMSK stadium
inaktif tidak dijumpai adannya sekret telinga. Sekret yang sangat bau, berwarna
kuning abu-abu kotor memberi kesan kolesteatoma dan produk degenerasinya. Dapat
terlihat keping-keping kecil, berwarna putih, mengkilap. Pada OMSK tipe ganas
unsur mukoid dan sekret telinga tengah berkurang atau hilang karena rusaknya lapisan
mukosa secara luas. Sekret yang bercampur darah berhubungan dengan adanya
jaringan granulasi dan polip telinga dan merupakan tanda adanya kolesteatom yang
mendasarinya. Suatu sekret yang encer berair tanpa nyeri mengarah kemungkinan
tuberkulosis.4,5
2.
Gangguan pendengaran
Ini tergantung dari derajat kerusakan tulang-tulang pendengaran. Biasanya dijumpai
tuli konduktif namun dapat pula bersifat campuran. Gangguan pendengaran mungkin
ringan sekalipun proses patologi sangat hebat, karena daerah yang sakit ataupun
kolesteatom dapat menghantar bunyi dengan efektif ke fenestra ovalis. Pada OMSK
tipe maligna biasanya didapat tuli konduktif berat karena putusnya rantai tulang
pendengaran, tetapi sering kali juga kolesteatom bertindak sebagai penghantar suara
sehingga ambang pendengaran yang didapat harus diinterpretasikan secara hati-hati.

Penurunan fungsi koklea biasanya terjadi perlahan-lahan dengan berulangnya infeksi


karena penetrasi toksin melalui jendela bulat (foramen rotundum) atau fistel labirin
tanpa terjadinya labirinitis supuratif. Bila terjadinya labirinitis supuratif akan terjadi
tuli saraf berat. Hantaran tulang dapat menggambarkan sisa fungsi koklea.4,5
3. Otalgia (nyeri telinga)
Adanya nyeri tidak lazim dikeluhkan penderita OMSK dan bila ada merupakan suatu
tanda yang serius. Pada OMSK keluhan nyeri dapat karena terbendungnya drainase
pus. Nyeri dapat berarti adanya ancaman komplikasi akibat hambatan pengaliran
sekret, terpaparnya durameter atau dinding sinus lateralis, atau ancaman pembentukan
abses otak. Nyeri telinga mungkin ada tetapi mungkin oleh adanya otitis eksterna
sekunder. Nyeri merupakan tanda berkembang komplikasi OMSK seperti petrositis,
subperiosteal abses, atau trombosis sinus lateralis.4,5
4. Vertigo
Vertigo pada penderita OMSK merupakan gejala yang serius lainnya. Keluhan vertigo
seringkali merupakan tanda telah terjadinya fistel labirin akibat erosi dinding labirin
oleh kolesteatom. Pada penderita yang sensitif, keluhan vertigo dapat terjadi karena
perforasi besar membran timpani yang akan menyebabkan labirin lebih mudah
terangsang oleh perbedaan suhu. Penyebaran infeksi ke dalam labirin juga akan
menyebabkan keluhan vertigo. Vertigo juga bisa terjadi akibat komplikasi serebelum.
Fistula merupakan temuan yang serius, karena infeksi kemudian dapat berlanjut dari
telinga tengah dan mastoid ke telinga dalam sehingga timbul labirinitis dan dari sana
mungkin berlanjut menjadi meningitis. Uji fistula perlu dilakukan pada kasus OMSK
dengan riwayat vertigo. Uji ini memerlukan pemberian tekanan positif dan negatif
pada membran timpani.3,4
Tanda-tanda klinis OMSK tipe maligna:5
1. Adanya abses atau fistel retroaurikular
2. Jaringan granulasi atau polip di liang telinga yang berasal dari kavum timpani.
3. Pus yang selalu aktif atau berbau busuk (aroma kolesteatom)
4. Foto rontgen mastoid adanya gambaran kolesteatom.

Diagnosis OMSK
Diagnosis OMSK ditegakan dengan cara:4
1. Anamnesis (history-taking)
Penyakit telinga kronik ini biasanya terjadi perlahan-lahan dan penderita seringkali
datang dengan gejala-gejala penyakit yang sudah lengkap. Gejala yang paling sering
dijumpai adalah telinga berair. Pada tipe tubotimpani sekretnya lebih banyak dan
seperti benang, tidak berbau busuk, dan intermiten. Sedangkan pada tipe atikoantral
sekretnya lebih sedikit, berbau busuk, kadangkala disertai pembentukan jaringan
granulasi atau polip, dan sekret yang keluar dapat bercampur darah. Ada kalanya
penderita datang dengan keluhan kurang pendengaran atau telinga keluar darah.
2. Pemeriksaan otoskopi
Pemeriksaan otoskopi akan menunjukan adanya dan letak perforasi. Dari perforasi
dapat dinilai kondisi mukosa telinga tengah.
3. Pemeriksaan audiologi
Evaluasi audiometri dan pembuatan audiogram nada murni untuk menilai hantaran
tulang dan udara penting untuk mengevaluasi tingkat penurunan pendengaran dan
untuk menentukan gap udara dan tulang. Audiometri tutur berguna untuk menilai
speech reception threshold pada kasus dengan tujuan untuk memperbaiki
pendengaran.
4. Pemeriksaan radiologi
Pemeriksaan radiografi daerah mastoid pada penyakit telinga kronik memiliki nilai
diagnostik yang terbatas bila dibandingkan dengan manfaat otoskopi dan audiometri.
Pemeriksaan radiologi biasanya memperlihatkan mastoid yang tampak sklerotik
dibandingkan mastoid yang satunya atau yang normal. Erosi tulang yang berada di
daerah atik memberi kesan adanya kolesteatom. Proyeksi radiografi tyang sekarang
biasa digunakan adalah proyeksi schuller dimana pada proyeksi ini akan
memperlihatkan luasnya pnematisasi mastoid dari arah lateral dan atas. Pada CT scan
akan terlihat gambaran kerusakan tulang oleh kolesteatom, ada atau tidaknya tulang
tulang pendengaran dan beberapa kasus terlihat fistula pada kanalis semisirkularis
horizontal.
5. Pemeriksaan bakteriologi
Walaupun perkembangan dari OMSK merupakan kelanjutan dari mulainya infeksi
akut, bakteri yang ditemukan pada sekret yang kronik berbeda dengan yang
ditemukan pada otitis media supuratif akut. Bakteri yang sering dijumpai pada OMSK
adalah Pseudomonasaeruginosa, Staphylococcus aureus, dan Proteus sp. Sedangkan
bakteri pada otitis media supuratif akut adalahStreptococcus pneumonie dan H.
influenza.
Infeksi telinga biasanya masuk melalui tuba dan berasal dari hidung, sinus paranasal,
adenoid, atau faring. Dalam hal ini penyebab biasanya adalah pneumokokus,
streptokokus atau H. influenza. Akan tetapi, pada OMSK keadaan ini agak berbeda
karena adanya perforasi membran timpani maka infeksi lebih sering berasal dari luar
yang masuk melalui perforasi tadi.

Komplikasi
Komplikasi otitis media terjadi apabila sawar (barrier) pertahanan telinga tengah yang
normal dilewati, sehingga memungkinkan infeksi menjalar ke struktur di sekitarnya.
Pertahanan pertama ini adalah mukosa kavum timpani yang juga seperti mukosa saluran
napas, mampu melokalisasi infeksi. Bila sawar ini runtuh, masih ada sawar kedua, yaitu
dinding tulang kavum timpani dan sel mastoid. Bila sawar ini runtuh, maka struktur
lunak di sekitarnya akan terkena. Runtuhnya periosteum akan menyebabkan terjadinya
abses subperiosteal, suatu komplikasi yang relarif tidak berbahaya. Apabila infeksi
mengarah ke dalam, ke tulang temporal, maka akan menyebabkan paresis n. facialis
atau labirinitis. Bila ke arah kranial, akan menyebabkan abses ekstradural,
tromboflebitis sinus lateralis, meningitis, dan abses otak.6
Bila sawar tulang terlampaui, suatu dinding pertahanan ketiga yaitu jaringan granulasi
akan terbentuk. Pada otitis medua supuratif akut atau suatu eksaserbasi akut penyebaran
biasanya melalui osteotromboflebitis (hematogen). Sedangkan pada kasus yang kronis,
penyebaran terjadi melalui erosi tulang. Cara penyebaran lainnya adalah toksin masuk
melalui jalan yang sudah ada, misalnya melalui fenestra rotundum, meatus akustikus,
duktus perilimfatik dan duktus limfatik.
Cara penyebaran infeksi terdiri dari penyebaran hematogen, penyebaran melalui erosi
tulang, dan penyebaran melalui jalan yang sudah ada.
Perjalanan komplikasi infeksi telinga tengah ke intra kranial harus melewati 3 macam
lintasan :6
1)
Dari rongga telinga tengah ke selaput otak
Melalui jalan yang sudah ada, seperti garis fraktur tulang temporal, bagian tulang
yang lemah atau defek karena pembedahan, dapat memudahkan masuknya infeksi.
2)
Menembus selaput otak
Dimulai begitu penyakit mencapai dura, menyebabkan meningitis. Dura sangat
resisten terhadap penyebaran infeksi, akan menebal, hiperemi, dan lebih melekat
ketulang. Jaringan granulasi terbentuk pada dura yang terbuka dan ruang subdura
yang berdekatan.
3)
Masuk ke jaringan otak
Pembentukan abses biasanya terjadi pada daerah diantara ventrikel dan
permukaan korteks atau tengah lobus serebelum. Cara penyebaran infeksi ke
jaringan otak ini dapat terjadi baik akibat tromboflebitis atau perluasan infeksi ke
ruang Virchow Robin yang berakhir di daerah vaskular subkorteks.

Pengenalan yang baik terhadap perkembangan prasyarat untuk mengetahui timbulnya


komplikasi. Bila dengan pengobatan medikamentosa tidak berhasil mengurangi gejala
klinik dengan tidak berhentinya otore dan pada pemeriksaan otoskopik tidak
menunjukkan berkurangnya reaksi inflamasi dan pengumpulan cairan maka harus
diwaspadai kemungkinan adanya komplikasi. Pada stadium akut, naiknya suhu tubuh,
nyeri kepala atau adanya tanda-tanda toksisitas seperti malaise, perasaan mengantuk,
somnolen atau gelisah yang menetap dapat merupakan tanda bahaya.Timbulnya nyeri
kepala di daerah parietal atau oksipital dan adanya keluhan mual, muntah proyektil serta
kenaikan suhu badan yang menetap selama terapi diberikan merupakan tanda kenaikan
tekanan intrakranial. Komplikasi OMSK antara lain :6

Komplikasi di telinga tengah


Akibat infeksi telingan tengah hampir selalu berupa tuli konduktif. Pada membran
timpani yang masih utuh, tetapi rangkaian tulang pendengaran terputus, akan
menyebabkan tuli konduktif yang berat. Biasanya derajat tuli konduktif tidak selalu
berhubungan dengan penyakitnya, sebab jaringan patologis yang terdapat di kavum
timpani pun, misalnya kolesteatoma dapat menghantarkan suara ke telinga dalam.
a) Paresis nervus fasialis
Nervus fasialis dapat terkena oleh penyebaran infeksi langsung ke kanalis fasialis
pada otitis media akut. Pada otitis media kronik, kerusakan terjadi oleh erosi tulang
oleh kolesteatom atau oleh jaringan granulasi, disusul oleh infeksi ke dalam kanalis
fasialis tersebut.
Pada otitis media supuratif kronik, tindakan dekompresi harus segera dilakukan
tanpa harus menunggu pemeriksaan elektrodiagnostik. Derajat kelumpuhan nervus
fasialis ditetapkan berdasarkan hasil pemeriksaan fungsi motorik yang dihitung
dalam persen.
Pemeriksaan fungsi saraf motorik:
Terdapat 10 otot-otot utama wajah yang bertanggung jawab untuk terciptanya mimik
dan ekspresi wajah seseorang. Adapun urutan ke sepuluh otot-otot tersebut secara
berurutan dari sisi superior adalah sebagai berikut:7
a. M. frontalis : diperiksa dengan cara mengangkat alis ke atas.
b. M. sourcilier : diperiksa dengan cara mengerutkan alis.
c. M. piramidalis : diperiksa dengan cara mengangkat dan mengerutkan hidung
ke atas.
d. M. orbicularis oculi : diperiksa dengan cara memejamkan kedua mata kuat-
kuat.
e. M. zigomatikus : diperiksa dengana cara tertawa lebar sampai memperlihatkan
gigi.
f. M. relever komunis : diperiksa dengan cara memoncongkan mulut ke depan
sambil memperlihatkan gigi.
g. M. businator : diperiksa dengan cara mengembungkan kedua pipi.
h. M. orbicularis oris : diperiksa dengan menyuruh penderita bersiul.
i. M. triangularis : diperiksa dengan cara menarik kedua sudut bibir ke bawah.
j. M. mentalis : diperiksa dengan cara memoncongkan mulut yang tertutup rapat
ke depan.
Pada tiap gerakan dari kesepuluh otot tersebut, kita bandingkan antara kanan dan kiri :
5

- Untuk gerakan yang normal dan simetris dinilai dengan angka 3


- Sedikit ada gerakan dinilai dengan angka 1
- Diantaranya dinilai dengan angka 2
- Tidak ada gerakan sama sekali dinilai dengan angka 0
Seluruh otot ekspresi tiap sisi muka dalam keadaan normal akan mempunyai nilai 30.

Komplikasi di telinga dalam


Apabila peninggian tekanan di telinga tengah oleh produk infeksi, ada kemungkinan
produk infeksi itu akan menyebar ke telinga dalam melalui tingkap bulat (fenestra
rotundum). Selama kerusakan hanya sampai bagian basalnya saja biasanya tidak
menimbulkan keluhan pada pasien. Akan tetapi apabila kerusakan telah menyebar ke
koklea akan menjadi masalah. Hal ini sering dipakai sebagai indikasi untuk
melakukan miringotomi segera pada pasien otitis media akut yang tidak membaik
dalam 48 jam dengan pengobatan medikamentosa saja.
Penyebaran oleh proses destruksi seperti oleh kolesteatom atau infeksi langsung ke
labirin akan menyebabkan gangguan keseimbangan dan pendengaran, misalnya
vertigo, mual, muntah serta tuli saraf. Komplikasi telinga dalam antara lain :6

a) Fistula Labirin
Otitis media supuratif kronik terutama yang dengan kolesteatom dapat
menyebabkan terjadinya kerusakan pada bagian vestibuler labirin, sehingga
terbentuk fistula. Pada keadaan ini infeksi dapat masuk, sehingga terjadi labirinitis
dan akhirnya akan terjadi komplikasi tuli total atau meningitis.

Fistula di labirin dapat diketahui dengan tes fistula yaitu dengan memberikan
tekanan udara positif ataupun negatif ke liang telinga melalui otoskop siegel atau
corong telinga yang kedap atau balon karet dengan bentuk elips pada ujungnya
yang dimasukkan ke dalam liang telinga. Balon karet dipencet dan udara di
dalamnya menyebabkan perubahan tekanan udara di liang telinga. Bila fistula
yang terjadi masih paten akan terjadi kompresi dan ekspansi labirin membran. Tes
fistula positif akan terjadi nistagmus atau vertigo. Tes fistula bisa negatif, bila
fistulanya sudah tertutup oleh jaringan granilasi atau bila labirin sudah mati/
paresis kanal.
Pemeriksaan radiologik CT scan yang baik kadang-kadang dapat
memperlihatkan fistula labirin, yang biasanya ditemukan di kanalis semisirkularis
horizontal. Pada fistula labirin, operasi harus segera dilakukan untuk
menghilangkan infeksi dan menutup fistula sehingga fungsi telinga dalam dapat
dipulihkan kembali. Tindakan bedah harus adekuat untuk mengontrol penyakit
primer. Matriks kolesteatom dan jaringan granulasi harus diangkat dari fistula
sampai bersih dan daerah tersebut harus segera ditutup dengan jaringan ikat atau
sekeping tulang/ tulang rawan.

b) Labirinitis
Labirinitis yang mengenai seluruh bagian labirin disebut labirinitis umum
(general), dengan gejala vertigo berat dan tuli saraf berat, sedangkan labirinitis
terbatas (labirinitis sirkumskripta) menyebabkan vertigo saja atau tuli saraf saja.
Labirinitis terjadi oleh karena penyebaran infeksi di ruang perilimfa. Terdapat
dua bentuk labirinitis yaitu labirinitis serosa dan supuratif. Labirinitis serosa dapat
berbentu labirinitis serosa difus dan sirkumskripta. Labirinitis supuratif dibagi atas
labirinitis supuratif akut difus dan kronik difus.
Pada kedua bentuk labirinitis ini operasi harus segera dilakukanuntuk
menghilangkan infeksi dari telinga tengah. Kadang-kadang diperlukan drainase
nanah dari labirin untuk mencegah terjadinya meningitis. Pemberian antibiotik
yang adekuat terutama ditujukan kepada pengobatan otitis media kronik dengan /
tanpa kolesteatom.

Komplikasi ke Ekstradural
a. Petrositis
Penyebaran infeksi telinga tengah ke apeks os petrosum yang langsung ke sel-sel
udara. Keluhannya antara lain diplopia (N.VI), nyeri daerah parietal, temporal,
dan oksipital (N.V), otore persisten. Dikenal dengan sindrom Gradenigo. Keluhan
lain keluarnya nanah yang terus menerus dan nyeri yang menetap paska
mastoidektomi. Pengobatannya operasi (ekspolorasi sel-sel udara os petrosum dan
jaringan pathogen) serta antibiotika.6
b. Tromboflebitis Sinus Lateralis
Akibat infeksi ke sinus sigmoid ketika melewati os mastoid. Hal ini jarang terjadi.
Gejalanya berupa demam yang awalnya naik turun lalu menjadi berat yang
disertai menggigil (sepsis). Nyerinya tidak jelas kecuali terjadi abses perisinus.
Kultur darah positif terutama saat demam.

Pengobatan dengan bedah, buang sumber infeksi os mastoid, buang


tulang/dinding sinus yang nekrotik. Jika terbentuk thrombus lakukan drainase
sinus dan dikeluarkan. Sebelumnya diligasi vena jugularis interna untuk cegah
thrombus ke paru dan tempat lain.6
c. Abses Ekstradural
Terkumpulnya nanah antara duramater dan tulang. Hal ini berhubungan dengan
jaringan granulasi dan kolesteatom yang menyebabkan erosi tegmen timpani atau
mastoid. Gejala berupa nyeri telinga hebat dan nyeri kepala. Rontgen mastoid
posisi Schuller, tampak kerusakan tembusnya lempeng tegmen. Sering terlihat
waktu operasi mastoidektomi.6
d. Abses Subdural
Biasanya tromboflebitis melalui vena. Gejala berupa demam, nyeri kepala dan
penurunan kesadaran sampai koma, gejala SSP berupa kejang, hemiplegia dan
tanda kernig positif.6

Punksi lumbal perlu untuk membedakan dengan meningitis. Pada abses subdural
kadar protein LCS normal dan tidak ditemukan bakteri. Pada abses ekstradural
nanah keluar waktu mastoidektomi, sedangkan subdural dikeluarkan secara bedah
syaraf sebelum mastoidektomi.6

Komplikasi ke SSP.6
a. Meningitis
Gambaran klinik berupa kaku kuduk, demam, mual muntah, serta nyeri kepala
hebat. Pada kasus berat kesadaran menurun. Analisa LCS kadar gula menurun dan
protein meninggi. Meningitis diobati terlebih dahulu kemudian dilakukan
mastoidektomi.
b. Abses Otak
Ditemukan di serebelum, fossa kranial posterior/lobus temporal, atau fossa kranial
media. Berhubungan dengan tromboflebitis sinus lateralis, petrositis atau
meningitis. Biasanya merupakan perluasan langsung dari infeksi telinga dan
mastoid atau tromboflebitis. Umumnya didahului abses ekstradural.
Gejala abses serebelum ataksia, disdiadokokinetis, tremor intensif dan tidak tepat
menunjuk suatu objek. Abses lobus temporal berupa afasia, gejala toksisitas (nyeri
kepala, demam, muntah, letargik). Tanda abses otak nadi lambat, kejang. Pada
LCS protein meninggi dan kenaikan tekanan liquor. Terdapat edema papil. Lokasi
abses ditentukan dengan angiografi, ventrikulografi atau tomografi komputer.
Pengobatan antibiotika parenteral dosis tinggi dan drainase lesi. Setelah keadaan
umum baik, dilakukan mastoidektomi.

Terapi
Terapi OMSK tidak jarang memerlukan waktu lama, serta harus berulang-ulang.
Sekret yang keluar tidak cepat kering atau selalu kambuh lagi. Keadaan ini antara lain
disebabkan oleh satu atau beberapa keadaan, yaitu (1) adanya perforasi membran
timpani yang permanen, sehingga telinga tengah berhubungan dengan dunia luar, (2)
terdapat sumber infeksi di faring, nasofaring, hidung dan sinus paranasal, (3) sudah
terbentuk jaringan patologik yang ireversibel dalam rongga mastoid, dan (4) gizi dan
higiene yang kurang.

Pada waktu pengobatan haruslah dievaluasi faktor-faktor yang menyebabkan penyakit


menjadi kronik, perubahan-perubahan anatomi yang menghalangi penyembuhan serta
menganggu fungsi, dan proses infeksi yang terdapat di telinga. Bila didiagnosis
kolesteatom, maka mutlak harus dilakukan operasi, tetapi obat -obatan dapat digunakan
untuk mengontrol infeksi sebelum operasi.7
Prinsip pengobatan tergantung dari jenis penyakit dan luas infeksi, yang dapat dibagi
atas: konservatif dan operasi.
I. Otitis media supuratif kronik benigna
a) Otitis media supuratif kronik benigna tenang
Keadaan ini tidak memerlukan pengobatan, dan dinasehatkan untuk jangan
mengorek telinga, air jangan masuk ke telinga sewaktu mandi, dilarang berenang
dan segera berobat bila menderita infeksi saluran nafas atas. Bila fasilitas
memungkinkan sebaiknya dilakukan operasi rekonstruksi (miringoplasti,
timpanoplasti) untuk mencegah infeksi berulang serta gangguan pendengaran.5,7
b) Otitis media supuratif kronik benigna aktif
Prinsip pengobatan OMSK tipe aman aktif adalah :5,7
1) Membersihkan liang telinga dan kavum timpani (toilet telinga)
Tujuan toilet telinga adalah membuat lingkungan yang tidak sesuai untuk
perkembangan mikroorganisme, karena sekret telinga merupakan media yang
baik bagi perkembangan mikroorganisme. Cara pembersihan liang telinga
(toilet telinga):
a. Toilet telinga secara kering (dry mopping)
Telinga dibersihkan dengan kapas lidi steril, setelah dibersihkan dapat di
beri antibiotik berbentuk serbuk. Cara ini sebaiknya dilakukan di klinik
atau dapat juga dilakukan oleh anggota keluarga. Pembersihan liang
telinga dapat dilakukan setiap hari sampai telinga kering.
b. Toilet telinga secara basah (syringing)
Telinga disemprot dengan cairan untuk membuang debris dan nanah,
kemudian dibersihkan dengan kapas lidi steril dan diberi serbuk
antibiotik. Meskipun cara ini sangat efektif untuk membersihkan telinga
tengah, tetapi dapat mengakibatkan penyebaran infeksi ke bagian lain dan
ke mastoid. Pemberian serbuk antibiotik dalam jangka panjang dapat
menimbulkan reaksi sensitifitas pada kulit. Dalam hal ini dapat diganti
dengan serbuk antiseptik, misalnya asam boric dengan iodine.5,7
c. Toilet telinga dengan pengisapan ( suction toilet)
Pembersihan dengan suction pada nanah dengan bantuan mikroskopis
operasi adalah metode yang paling populer saat ini. Setelah itu dilakukan
pengangkatan mukosa yang berproliferasi dan polipoid sehingga sumber
infeksi dapat dihilangkan. Akibatnya terjadi drainase yang baik dan
resorbsi mukosa. Pada orang dewasa yang kooperatif cara ini dilakukan
tanpa anastesi tetapi pada anak-anak diperlukan anestesi. Pencucian
telinga dengan H2O2 3% akan mencapai sasarannya bila dilakukan dengan
displacement methode seperti yang dianjurkan oleh Mawson dan
Ludmann.
2) Pemberian antibiotika
a) Antibiotik topikal
Pemberian antibiotik secara topikal pada telinga dan sekret yang banyak
tanpa dibersihkan dulu adalah tidak efektif. Bila sekret berkurang atau
tidak progresif lagi diberikan obat tetes yang mengandung antibiotik dan
kortikosteroid. Irigasi dianjurkan dengan garam faal agar lingkungan
bersifat asam yang merupakan media yang buruk untuk tumbuhnya
kuman.5,8
Mengingat pemberian obat topikal dimaksudkan agar masuk sampai
telinga tengah, maka tidak dianjurkan antibiotik yang ototoksik misalnya
neomisin dan lamanya tidak lebih dari 1 minggu. Cara pemilihan
antibiotik yang paling baik dengan berdasarkan kultur kuman penyebab
dan uji resistensi.
Antibiotika topikal yang dapat dipakai pada otitis media kronik adalah :5,8
Polimiksin B atau polimiksin E, Obat ini bersifat bakterisid terhadap
kuman gram negatif.Neomisin, Obat bakterisid pada kuman gram positif
dan negatif. Toksik terhadap ginjal dan telinga.Kloramfenikol, Obat ini
bersifat bakterisid terhadap basil gram positif dan negatif
kecuali Pseudomonas aeruginosa.
b) Antibiotik sistemik.
Pemilihan antibiotik sistemik untuk OMSK juga sebaiknya berdasarkan
kultur kuman penyebab. Pemberian antibiotika tidak lebih dari 1 minggu
dan harus disertai pembersihan sekret profus. Bila terjadi kegagalan
pengobatan, perlu diperhatikan faktor penyebab kegagalan yang ada pada
penderita tersebut.
Dengan melihat konsentrasi obat dan daya bunuhnya terhadap mikroba,
antimikroba dapat dibagi menjadi 2 golongan. Golongan pertama daya
bunuhnya tergantung kadarnya. Makin tinggi kadar obat, makin banyak
kuman terbunuh, misalnya golongan aminoglikosida dan kuinolon.
Golongan kedua adalah antimikroba yang pada konsentrasi tertentu daya
bunuhnya paling baik. Peninggian dosis tidak menambah daya bunuh
antimikroba golongan ini, misalnya golongan beta laktam.
Untuk bakteri aerob dapat digunakan golongan kuinolon (siprofloksasin
dan ofloksasin) atau golongan sefalosforin generasi III (sefotaksim,
seftazidin, dan seftriakson) yang juga efektif untuk Pseudomonas, tetapi
harus diberikan secara parenteral.
Untuk bakteri anaerob dapat digunakan metronidazol yang bersifat
bakterisid. Pada OMSK aktif dapat diberikan dengan dosis 400 mg per 8
jam selama 2 minggu atau 200 mg per 8 jam selama 2-4 minggu.5,8

II. Otitis media supuratif kronik maligna.8


Pengobatan yang tepat untuk OMSK maligna adalah operasi. Pengobatan konservatif
dengan medikamentosa hanyalah merupakan terapi sementara sebelum dilakukan
pembedahan. Bila terdapat abses subperiosteal, maka insisi abses sebaiknya dilakukan
tersendiri sebelum kemudian dilakukan mastoidektomi. Ada beberapa jenis
pembedahan atau teknik operasi yang dapat dilakukan pada OMSK dengan
mastoiditis kronik, baik tipe benigna atau maligna, antara lain :
1) Mastoidektomi sederhana (simple mastoidectomy)
Operasi ini dilakukan pada OMSK tipe aman yang dengan pengobatan konservatif
tidak sembuh. Dengan tindakan operasi ini dilakukan pembersihan ruang mastoid
dari jaringan patologik. Tujuannya adalah supaya infeksi tenang dan telinga tidak
berair lagi. Pada operasi ini fungsi pendengaran tidak diperbaiki.
2) Mastoidektomi radikal
Operasi ini dilakukan pada OMSK tipe bahaya dengan infeksi atau kolesteatom
yang sudah meluas. Pada operasi ini rongga mastoid dan kavum timpani
dibersihkan dari semua jaringan patolgik. Dinding batas antara liang telinga luar
dan telinga tengah dengan rongga mastoid diruntuhkan, sehingga ketiga daerah
anatomi tersebut menjadi satu ruangan. Tujuan operasi ini ialah untuk membuang
semua jaringan patologik dan mencegah komplikasi intrakranial, sementara fungsi
pendengaran tidak diperbaiki. Kerugian operasi ini ialah pasien tidak boleh
berenang seumur hidupnya dan harus kontrol teraut ke dokter.8
Modifikasi operasi ini ialah dengan memasang tandur pada rongga operasi serta
membuat meatoplasti yang lebar sehingga rongga operasi kering permanen, tetapi
terdapat cacat anatomi, yaitu meatus liang telinga luar menjadi lebar.8

3) Mastoidektomi radikal dengan modifikasi


Operasi ini dilakukan pada OMSK dengan kolesteatom di daerah atik, tetapi
belum merusak kavum timpani. Seluruh rongga mastoid dibersihkan dan dinding
posterior liang telinga direndahkan. Tujuan operasi ini adalah untuk membuang
semua jaringan patologik dari rongga mastoid dan mempertahankan pendengaran
yang masih ada.
4) Miringoplasti
Operasi ini merupakan operasi timpanoplasti yang paling ringan, dikenal juga
dengan timpanoplasti tipe I. Rekonstruksi hanya dilakukan di membran timpani.
Tujuan operasi ialah untuk mencegah berulangnya infeksi telinga tengah pada
OMSK tipe aman dengan perforasi yang menetap. Operasi ini dilakukan pada
OMSK tipe aman fase tenang dengan ketulian ringan yang hanya disebabkan oleh
perforasi membran timpani.
5) Timpanoplasti
Operasi ini dikerjakan pada OMSK tipe aman dengan kerusakan yang lebih berat
atau OMSK tipe aman yang tidak bisa ditenagkan dengan pengobatan
medikamentosa. Tujuan operasi ialah untuk menyembuhkan penyakit serta
memperbaiki pendengaran.
Pada operasi ini selain rekonstruksi membran timpani sering kali harus dilakukan
juga rekonstruksi tulang pendengaran. Berdasarkan bentuk rekonstruksi tulang
pendengaran yang dilakukan maka dikenal istilah timpanoplasti tipe II, III, IV, dan
V. Sebelum rekonstruksi dikerjakan lebih dahulu dilakukan eksplorasi kavum
timpani dengan atau tanpa mastoidektomi, untuk membersihkan jaringan
patologis. Tidak jarang operasi ini harus dilakukan 2 tahap dengan jarak waktu 6
s/d 12 bulan.
6) Pendekatan ganda timpanoplasti (combined approach tympanoplasty)
Operasi ini merupakan teknik operasi timpanoplasti yang dikerjakan pada kasus
OMSK tipe aman dengan jaringan granulasi yang luas.Tujuan operasi ini ialah
untuk menyembuhkan penyakit dan memperbaiki pendengaran tanpa melakukan
teknik mastoidektomi radikal (tanpa meruntuhkan dinding posterior liang telinga).
Membersihkan kolesteatom dan jaringan granulasi di membran timpani,
dikerjakan melalui 2 jalan (combine approach) yaitu melalui liang telinga dan
rongga mastoid dengan melakukan timppanotomi posterior. Teknik operasi ini
pada OMSK tipe bahaya belum disepakati oleh para ahli, oleh karena sering
kambuhnya kolesteatom kembali.
II. Otomikosis
Gambar 1. Dari kiri Otomikosis, Otomikosis Candida albicans, Otomikosis Aspergilus niger9

Otomikosis adalah infeksi telinga yang disebabkan oleh jamur, atau infeksi jamur
yang superficial pada kanalis auditorius eksternus. Otomikosis ini sering dijumpai pada
daerah yang tropis. Infeksi ini dapat bersifat akut dan subakut, dan khas dengan adanya
inflammasi, rasa gatal, dan ketidaknyamanan. Mikosis ini menyebabkan adanya
pembengkakan, pengelupasan epitel superfisial, adanya penumpukan debris yang berbentuk
hifa, disertai suppurasi, dan nyeri.1

Etiologi

Faktor predisposisi terjadinya otitis eksterna, dalam hal ini otomikosis, meliputi
ketiadaan serumen, kelembaban yang tinggi, peningkatan temperature, dan trauma lokal,
yang biasanya sering disebabkan oleh kapas telinga (cotton buds) dan alat bantu dengar.
Serumen sendiri memiliki pH yang berkisar antara 4-5 yang berfungsi menekan pertumbuhan
bakteri dan jamur. Olah raga air misalnya berenang dan berselancar sering dihubungkan
dengan keadaan ini oleh karena paparan ulang dengan air yang menyebabkan keluarnya
serumen, dan keringnya kanalis auditorius eksternus. Bisa juga disebabkan oleh adanya
prosedur invasif pada telinga. Predisposisi yang lain meliputi riwayat menderita eksema,
rhinitis allergika, dan asthma.9,10

Infeksi ini disebabkan oleh beberapa spesies dari jamur yang bersifat saprofit,
terutama Aspergillus niger. Agen penyebab lainnya meliputi A. flavus, A. fumigatus,
Allescheria boydii, Scopulariopsis, Penicillium, Rhizopus, Absidia, dan Candida Spp.11
Sebagai tambahan, otomikosis dapat merupakan infeksi sekunder dari predisposisi tertentu
misalnya otitis eksterna yang disebabkan bakteri yang diterapi dengan kortikosteroid dan
berenang.12
Banyak faktor yang menjadi penyebab perubahan jamur saprofit ini mejadi jamur
yang patogenik, tetapi bagaimana mekanismenya sampai sekarang belum dimengerti.
Beberapa dari faktor dibawah ini dianggap berperan dalam terjadinya infeksi, seperti
perubahan epitel, peningkatan kadar pH, gangguan kualitatif dan kuantitatif dari serumen,
faktor sistemik (seperti gangguan imun tubuh, kortikosteroid, antibiotik, sitostatik, neoplasia),
faktor lingkungan (panas, kelembaban), riwayat otomikosis sebelumnya, Otitis media
sekretorik kronik, post mastoidektomi, atau penggunaan substansi seperti antibiotika
spectrum luas pada telinga.10

Aspergillus niger dilaporkan sebagai penyebab paling terbanyak dari otomikosis ini.
Diikuti dengan Candida. Aspergillus niger, juga telah dilaporkan sebagai penyebab
otomikosis pada pasien immunocompromised, yang tidak berespon terhadap berbagai
regimen terapi yang telah diberikan.12

Epidemiologi

Angka insidensi otomikosis tidak diketahui, tetapi sering terjadi pada daerah dengan
cuaca yang panas, juga exposure dari pekerjaan maupun orang orang yang senang traveling,
dll.6 1 dari 8 kasus infesi telinga luar disebabkan oleh jamur. 90 % infeksi jamur ini
disebabkan oleh Aspergillus spp, dan selebihnya adalah Candida spp. Angka prevalensi
Otomikosis ini dijumpai pada 9 % dari seluruh pasien yang mengalami gejala dan tanda otitis
eksterna. Otomikosis ini lebih sering dijumpai pada daerah dengan cuaca panas, dan banyak
literatur menyebutkan otomikosis berasal dari negara tropis dan subtropis. Di United
Kingdom (UK), diagnosis otitis eksterna yang disebabkan oleh jamur ini sering ditegakkan
pada saat berakhirnya musim panas.11

Otomikosis biasanya terjadi pada dewasa, dan jarang pada anak-anak. Pada penelitian
tersebut, dijumpai otomikosis sering pada remaja laki-laki, yang juga sesuai dengan yang
dilaporkan oleh peneliti lainnya. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Hueso dkk, dari
102 kasus ditemukan 55,8 % nya merupakan lelaki, sedangkan 44,2% nya merupakan
wanita.13

Patogenesis.14
Otomikosis berkaitan dengan histologi dan fisiologi kanalis auditorius eksternus. Pada
interior resesus timpani, bagian medial sampai isthmus cenderung mengumpulkan sisa
keratin dan serumen, dan merupakan area yang sulit dibersihkan.

Terdapat 4 proses yang dapat menyebabkan infeksi pada liang telinga yaitu obstruksi
serumen yang menyebabkan retensi air, hilangnya serumen akibat pembersihan yang berlebih
atau terpapar air terus menerus, trauma, dan perubahan pH di permukaan liang telinga luar.
Selain itu, faktor lain yang mempengaruhi kemunculan otomikosis seperti faktor sistemik
(gangguan imunitas, penggunaan kortikosteroid, sitostatika, dan neoplasia), riwayat otitis
bacterial, OMSK, dan mastoidektomi radikal sebelumnya. Dermatomikosis di area tubuh lain
juga dapat menjadi faktor predisposisi, karena kemungkinan jamur di bagian tubuh
terinokulasi ke liang telinga luar dan menyebabkan otomikosis.

Retensi air menyebabkan peningkatan kelembapan di permukaan liang telinga luar


sehingga jamur dapat mudah berproliferasi dan tingginya kelembapan juga dapat mengabrasi
epitel sehingga mudah diinvasi oleh jamur.

Hilangnya serumen akibat pembersihan liang telinga yang berlebihan atau karena
terlalu sering terbilas air juga menghilangkan serumen yang memiliki fungsi proteksi dari
jamur dan organisme lainnya sehingga invasi oleh jamur patogen mudah terjadi di liang
telinga luar. Trauma dan perubahan pH juga menyediakan kondisi terbaik untuk jamur
berkembang biak di permukaan kulit liang telinga luar.

Invasi hifa dan spora dari jamur patogen pada kulit liang telinga luar menyebabkan
proses peradangan yang ditandai dengan nyeri, panas, eritema, dan gatal. Hifa yang tumbuh
di dalam liang telinga juga menyebabkan rasa penuh dan tidak nyaman di dalam telinga.

Gejala Klinis

Pasien dengan otomikosis seringkali datang dengan pruritus, rasa penuh di telinga,
dan otorrhea dan juga dapat mengeluh otalgia dan kehilangan pendengaran. Kehilangan
pendengaran yang berhubungan dengan otomikosis biasanya dikarenakan akumulasi debris
jamur.11

Otoskopi seringkali menunjukkan miselia, memastikan diagnosis. Liang telinga luar


dapat terlihat eritem dan debris jamur dapat terlihat putih, abu-abu atau hitam. Pasien
biasanya tela diberikan obat antibakterial yang tidak memberikan respon signifikan.
Diagnosis dapat dipastikan dengan mengidentifikasi elemen jamur pada preparat KOH atau
dengan biakan jamur positif.11

Gejala klinik yang dapat ditemui hampir sama seperti gejala otitis eksterna pada
umumnya yakni otalgia dan otorrhea sebagai gejala yang paling banyak dijumpai, kemudian
diikuti dengan kurangnya pendengaran, rasa penuh pada telinga dan gatal.14

Pada liang telinga akan tampak berwarna merah, ditutupi oleh skuama, dan kelainan
inike bagian luar akan dapat meluas sampai muara liang telinga dan daun telinga sebelah
dalam.Tempat yang terinfeksi menjadi merah dan ditutupi skuama halus. Bila meluas sampai
kedalam,sampai ke membran timpani, maka akan dapat mengeluarkan cairan serosanguinos.15

Pada pemeriksaan telinga yang dicurigai otomikosis, didapati adanya akumulasi


debris fibrin yang tebal, pertumbuhan hifa berfilamen yang berwana putih dan panjang dari
permukaan kulit, hilangnya pembengkakan signifikan pada dinding kanalis, dan area
melingkar dari jaringangranulasi diantara kanalis eksterna atau pada membran timpani.15

Diagnosis.15

Diagnosa didasarkan pada:

a. Anamnesis.

Adanya keluhan nyeri di dalam telinga, rasa gatal, adanya secret yang keluar dari
telinga. Yang paling penting adalah kecenderungan beraktifitas yang berhubungan dengan air,
misalnya berenang, menyelam, dan sebagainya.

b. Gejala Klinik.

Yang khas, terasa gatal atau sakit di liang telinga dan daun telinga menjadi merah,
skuamous dan dapat meluas ke dalam liang telinga sampai 2/3 bagian luar. Didapati adanya
akumulasi debris fibrin yang tebal, pertumbuhan hifa berfilamen yang berwana putih dan
panjang dari permukaan kulit.
c. Pemeriksaan Laboratorium

1. Preparat langsung : Skuama dari kerokan kulit liang telinga diperiksa dengan KOH
10% akan tampak hifa-hifa lebar, berseptum, dan kadang-kadang dapat ditemyukan spora-
spora kecil dengan diameter 2-3 m.

2. Pembiakan : Skuama dibiakkan pada media Agar Saboraud, dan dieramkan pada suhu
kamar. Koloni akan tumbuh dalam satu minggu berupa koloni filament berwarna putih.
Dengan mikroskop tampak hifa-hifa lebar dan pada ujung-ujung hifa dapat ditemukan
sterigma dan spora berjejer melekat pada permukaannya.

Penatalaksanaan

Pengobatan ditujukan untuk menjaga agar liang telinga tetap kering, jangan lembab,
dan disarankan untuk tidak mengorek-ngorek telinga dengan barang-barang yang kotor
seperti korek api, garukan telinga, atau kapas. Kotoran-kotoran telinga harus sering
dibersihkan.

Pengobatan yang dapat diberikan seperti: Larutan asam asetat 2-5 % dalam alkohol,
larutan lodium povidon 5% atau tetes telinga yang mengandung campuran antibiotik dan
steroid yang diteteskan ke liang telinga. Akhir-akhir ini yang sering dipakai adalah fungisida
topikal spesifik, seperti preparat yang mengandung nystatin, ketokonazole, klotrimazole, dan
anti jamur yang diberikan secara sistemik. 15

Pengobatan otomikosis adalah membersihkan dan debridement telinga luar,


mengasamkan kanal dan memberikan agen antijamur. Agen antijamur yang tidak spesifik di
antaranya adalah thimerosal (mis. Merthiolate) dan gentian violet. Antijamur spesifik yang
digunakan seara umum adalah clotrimazole, nystatin (tetes telinga atau bubuk) dan
ketokonazol. Ketokonazol topikal, tets telinga cresilat, dan aluminium asetat efektif dalam
mengobati penyakit ini dengan tingkat kesuksesan 80% pada pemberian awal. Bubuk CSF
(kloramfenikol, sulfamethoximazole dan fungizone) juga adalah pilihan yang baik.11

Beberapa penelitian menyebutkan bahwa penggunaan anti jamur tidak secara komplit
mengobati proses dari otomikosis ini, oleh karena agen-agen diatas tidak menunjukkan
keefektifan untuk mencegah otomikosis ini relaps kembali. Hal ini menjadi penting untuk
diingat bahwa, selain memberikan anti jamur topikal, juga harus dipahami fisiologi dari
kanalis auditorius eksternus itu sendiri, yakni dengan tidak melakukan manuver-manuver
pada daerah tersebut, mengurangi paparan dengan air agar tidak menambah kelembaban,
mendapatkan terapi yang adekuat ketika menderita otitis media, juga menghindari situasi
apapun yang dapat merubah homeostasis lokal.15

Dalam pemilihan pengobatan penting untuk menentukan keutuhan membran timpani.


Antijamur dapat menjadi ototoksik dan clotrimazole bersama dengan larutan pengasam terasa
sakit ketika memasuki telinga tengah. Bubuk pengering seperti asam borik atau mikostatin
adalh pilihan yang lebih baik untuk membran timpani yang tidak utuh.11

Pada pasien dengan penyakit kulit umum, seperti psoriasis atau dermatitis atopik, otits
eksterna jamur dapat terjadi karena pengobatan kronis dengan steroid topikal. Pasien-pasien
ini mengaku gatal, memiliki lesi kulit seperti dermatitis seboroik, dan memiliki elemen jamur
yang terlihat pada epidermis. Tabung ventilasi dapat menjadi sumber infeksi dan
penggunaannya perlu dihentikam. Pasien dengan riwayat bedah dinding kanal mastoid yang
membutuhkan alaut bantu dengar biasanya mengakumulasi kelembaban dan penggunaan
salep tidak direkomendasikan pada pasien-pasien ini. Penggunaan kronik antibakteri dan
antijamur ototpik dapat memperberat masalah dengan memberikan kelembaban untuk
pertumbuhan jamur. Bubuk pengasam atau campuran direkomendasikan pada kasus-kasus
ini. Bubuk campuran termasik kloromisetin-slfanilamid-fungizone dan kloromisetin-
sulfanilamid-tinaktin. Agen antiseptik seperti metakresilat (cresylate), gentian vilet,
merbromin dan gel preak nitrat 1% dapat dicoba untuk infeksi yang menetap. Gentian violer
ditoleransi baik pada pasien dengan lubang mastoid namun mewarnai kulit dan baju secara
permanen sehingga penggunaannya perlu hati-hati. Kresilat adalah iritan telinga tengah dan
penggunaannya juga perlu sangat hati-hati.11

Komplikasi

Komplikasi dari otomikosis yang pernah dilaporkan adalah perforasi dari membrane
timpani dan otitis media serosa, tetapi hal tersebut sangat jarang terjadi, dan cenderung
sembuh dengan pengobatan. Patofisiologi dari perforasi membran timpani mungkin
berhubungan dengan nekrosis avaskular dari membran timpani sebagai akibat dari trombosis
pada pembuluh darah. Angka insiden terjadinya perforasi membran yang dilaporkan dari
berbagai penelitian berkisar antara 12-16 % dari seluruh kasus otomikosis. Tidak terdapat
gejala dini untuk memprediksi terjadinya perforasi tersebut, keterlibatan membran timpani
sepertinya merupakan konsekuensi inokulasi jamur pada aspek medial dari telinga luar
ataupun merupakan ekstensi langsung infeksi tersebut dari kulit sekitarnya.15
IV. LARYNGOPHARYNGEAL REFLUX1,16-18

Manifestasi dari penyakit reflux gastroesofagus di luar esophagus didefinisikan


sebagai reflux extraesofagus (REE). Istilah reflux laringofaring (REE) adalah REE yang
menimbulkan manifestasi dari penyakit- penyakit oral, faring, laring, dan paru.
Laryngopharyngeal reflux (LPR) adalah pergerakan retrograde dari isi lambung asam dan
enzim-enzimnya ke laringofaring. Sehingga perlu diketahui adanya hubungan yang kompleks
antara penyakit REE yang ditimbulkan oleh penyakit refluks gastroesofagus, karena pasien
REE sering diobati sebagia rhinitis non alergi dengan secret belakang hidung, rinofaringitis
nonspesifik, sinusitis rekuren. Keluhan yang timbul akibat REE adalah keluhan tenggorokan
terasa nyeri dan kering, panas di pipi, sensasi ada rasa menyumbat (globulus sensation),
kelainan laring dengan suara serak, batuk kronik, asma.

Etiologi1,16-18

Beberapa penyebab yang dapat menimbulkan LPR adalah sebagai berikut:

Retrograde refluks asam lambung atau bahan lainnya (pepsin) atau keduanya ke
esophagus proksimal dan SEA yang berlanjut dengan kerusakan mukosa faring dan
laring.
Pajanan asam esofagus distal akan merangsang refleks vagal yang menyebabkan
terjadinyaa spasme bronkus, batuk, sering meludah, menyebabkan perubahan
inflamasi pada laring dan faring.

Diagnosis16-18

Ditegakkan berdasarkaan gejala klinis (Reflux Symptoms Index/RSI) dan pemeriksaan


Laring (Reflux Finding Score/ RFS). Akan tetapi pemeriksaan penunjang sering digunakan
untuk menegakkan diagnosis.
1. Riwayat Penyakit (Anamnesis)
Suara serak merupakan gejala utama pada LPR yang paling nyata dan utama.
Gejala-gejala yang tidak spesifik lain dapat disebabkan kondisi lain seperti keadaan alergi
dan kebiasaan merokok. Gerakan paradox dari pita suara dan spasme laring juga dapat
dikarenakan LPR sehingga perlu ditanyakan apakah pasien mempunyai masalah
pernafasan dan perubahan suara. Asma dan sinusitis dapat merupakan gejala lain LPR.
Refluks sering dianggap sebagai faktor yang dapat mencetuskan asma. Pada pasien yang
asam lambungnya dapat ditekan terlihat ada perbaikan fungsi paru dan perbaikan keluhan
pada kasus asma 78%.
Gejala-gejala esofagus yang dapat ditemui pada pasien LPR seperti rasa seperti
terbakar di dada 37 % dan regurgitasi 3%. Riwayat mengkonsumsi obat gastritis seperti
antasida perlu ditanyakan serta riwayat suka mengkonsumsi makanan pedas. Pertanyaan
seperti ini membantu penegakan diagnosis penyakit refluk karena pasien sering datang
dengan keluhan yang tidak pasti.
Pola hidup seperti kebiasaan merokok dan mengkonsumsi alkohol, 92%
ditemukan pada pasien dengan penyakit refluks. Rokok dan alkohol ditenggarai sebagai
salah satu penyebab penurunan tekanan esofagus bawah, kelemahan tahanan mukosa,
memanjangnya waktu pengosongan lambung dan merangsang sekresi lambung
Belafsky, et al mengembangkan suatu sistem penilaian diagnostik, yaitu Reflux Symptom
Index (RSI) untuk membantu dokter menilai derajat relatif dari gejala LPR saat penilaian
awal dan setelah pengobatan. Ada 9 gejala refluks (Reflux Symptom Index/RSI) yang dapat
digunakan untuk menentukan adanya gejala LPR dan derajat sebelum dan sesudah terapi.
Gejala yang sering muncul seperti suara serak, mendehem, penumpukan dahak di tenggorok
atau post nasal drip, sukar menelan, batuk setelah makan, sulit bernafas atau tersedak, batuk
yang sangat mengganggu, rasa mengganjal dan rasa panas di tenggorok, nyeri dada atau rasa
asam naik ke tenggorok. Gejala tersering pada LPR adalah suara serak 71%, batuk 51% dan
rasa mengganjal di tenggorok (globus faringeus) 47%. Pasien karsinoma laring ditemukan
riwayat LPR 58% dan stenosis subglotik 56%.Skor RSI adalah 0-45 dengan skor 13 curiga
LPR. RFS 7 dianggap memiliki LPR.
Tabel 2. Reflux Symptom Index (RSI).
Tabel 10. Reflux Finding Score (RFS).
Pemeriksaan Fisik.17
Keadaan laring yang dicurigai teriritasi asam seperti hipertrofi komissura posterior,
globus faringeus, nodul pita suara, laringospasme, stenosis subglotik dan karsinoma
laring.Untuk melihat gejala LPR pada laring dan pita suara perlu pemeriksaan Laringoskopi.
Gejala paling bermakna seperti adanya eritema, edema dan hipertrofi komissura posterior.

Gambar 6. Hipertrofi komissura Posterior.

Gambar 7. Reflux
Laryngitis
Pemeriksaan Penunjang.16
a) Laringoskopi fleksibel
Merupakan pemeriksaan utama untuk mendiagnosis LPR. Biasanya yang
digunakan adalah laringoskop fleksibel karena lebih sensitif dan mudah dikerjakan di
poliklinik dibandingkan laringoskop rigid.
b) Monitor pH 24 jam di faringoesofageal
Pemeriksaan ini disebut ambulatory 24 hours double probe pH monitoring yang
merupakan baku emas dalam mendiagnosis LPR. Pertama kali diperkenalkan oleh
Wiener pada 1986. Pemeriksaan ini dianjurkan pada keadaan pasien dengan keluhan
LPR tetapi pada pemeriksaan klinis tidak ada kelainan. Pemeriksaan ini sangat sensitif
dalam mendiagnosis refluks karena pemeriksaan ini secara akurat dapat membedakan
adanya refluks asam pada sfingter esofagus atas dengan dibawah sehingga dapat
menentukan adanya LPR atau GERD. Kelemahan pemeriksaan ini adalah mahal,
invasif dan tidak nyaman dan dapat ditemukan hasil negative palsu sekitar 20%.Hal
ini dikarenakan pola refluks pada pasien LPR yang intermittent atau berhubungan
dengan gaya hidup sehingga kejadian refluks dapat tidak terjadi saat pemeriksaan.
Pemeriksaan ini hanya dapat menilai refluks asam sedangkan refluks non asam tidak
terdeteksi. Pemeriksaan ini disarankan pada pasien yang tidak respons terhadap
pengobatan supresi asam. 1
c) Pemeriksaan Endoskopi
Pemeriksaan endoskopi tidak dilakukan secara rutin sebagai pemeriksaan awal
pada pasien suspek PRGE dengan manifestasi penyakit otolaringologi dan tidak
merupakan prasyarat untuk memulai terapi medic.
Indikasi Pemeriksaan endoskopi :
Pasien dengan gejala tanda bahaya, antara lain disfagia, odinofagia, berat badan
menurun, anemia, perdarahan gastrointestinal untuk menyingkirkan kelainan
traktus gastrointestinal atas, metaplasia Barret dan komplikasi lain.
Pasien yang tidak ada respon dengan terapi medik, pasien yang mengalami gejala
lebih dari 5 tahun untuk menilai prognosis dan hasil terapi.
Dengan menggunakan esofagoskop dapat membantu dalam penegakan
diagnosis. Gambaran esofagitis hanya ditemukan sekitar 30% pada kasus LPR.
Gambaran yang patut dicurigai LPR adalah jika kita temukan gambaran garis
melingkar barret dengan atau tanpa adanya inflamasi esofagus.
d) Pemeriksaan videostroboskopi
Pemeriksaan video laring dengan menggunakan endoskop sumber cahaya
xenon yang diaktifasi oleh pergerakan pita suara. Gambaran ini dapat dilihat dengan
gerakan lambat.
e) Pemeriksaan laringoskopi direk
Pemeriksaan ini memerlukan anestesi umum dan dilakukan diruangan operasi.
Dapat melihat secara langsung struktur laring dan jaringan sekitarnya serta dapat
dilakukan tindakan biopsy.

Penatalaksanaan.16-18
Meliputi medikamentosa dengan obat-obatan anti refluks, perubahan gaya hidup
dengan modifikasi diet serta secara bedah dengan operasi funduplikasi.
a) Modifikasi diet dan gaya hidup
Pasien dengan gejala LPR dianjurkan melakukan pola diet yang tepat agar
terapi berjalan maksimal. Penjelasan kepada pasien mengenai pencegahan refluks
cairan lambung merupakan kunci pengobatan LPR. Pasien akan mengalami
pengurangan keluhan dengan perubahan diet dan gaya hidup sehat. Misalnya pola diet
yang dianjurkan pada pasien seperti makan terakhir 2-4 jam sebelum berbaring,
pengurangan porsi makan, hindari makanan yang menurunkan tonus otot sfingter
esofagus seperti makanan pedas, berlemak, gorengan, kopi, soda, alkohol, mint,
coklat buahan dan jus yang asam, cuka, mustard dan tomat. Anjuran lain seperti
menurunkan berat badan jika berat badan pasien berlebihan, hindari pakaian yang
ketat, stop rokok, tinggikan kepala sewaktu berbaring 10- 20cm dan mengurangi
stress. Jika merokok dianjurkan berhenti karena akan merangsang refluks. Hindari
pakaian yang terlalu sempit terutama celana, korset dan ikat pinggang. Hindari
olahraga seperti angkat berat, berenang, jogging dan yoga setelah makan. Tinggikan
kepala jika ada gejala refluks nokturnal seperti suara serak, tidak nyaman di
tenggorok, dan batuk di pagi hari. Batasi konsumsi daging merah, mentega, keju, telur
dan bahan mengandung kafein. Hindari selalu makanan gorengan, makanan tinggi
lemak, bawang, tomat, buahan dan jus yang asam, soda, bir, alcohol.
b) Medikamentosa
Proton Pump Inhibitor (PPI) atau penghambat pompa proton merupakan terapi
LPR yang utama dan paling efektif dalam menangani kasus refluks. Cara kerja PPI
dengan menurunkan kadar ion hydrogen cairan refluks tetapi tidak dapat
menurunkan jumlah dan durasi refluks. PPI dapat menurunkan refluks asam lambung
sampai lebih dari 80%. Rekomendasi dosisadalah 2 kali dosis GERD dengan
rentang waktu 3 sampai 6 bulan. Salah satu kepustakaan menyebutkan rentang waktu
pengobatan dapat sampai 6 bulan atau lebih dengan menggunakan PPI 2 kali sehari
untuk memperbaiki laring yang cedera. Dalam penelitian sebelumnya Omeprazole
disebut sebagai derivat PPI yang ampuh ternyata akhir-akhir ini Lansoprazole dan
Pantoprazole dianggap lebih maksimal dalam menekan asam lambung. Kemudian zat
proteksi mukosa, sukralfat misalnya dapat digunakan untuk melindungi mukosa dari
cedera akibat asam dan pepsin. Promotility Agents, obat ini bekerja dengan cara
meningkatkan tekanan LES (lower esophagus spincters), meningkatkan pengosogan
lambung dan dapat meningkatkan mekanisme pembersihan esophagus,
Metoclopramid 10/15 mg. Pemeriksaan sedianya dilakukan rutin setiap 3 bulan yang
berguna memantau gejala atau mencari penyebab lain jika tidak terjadi perbaikan.
c) Terapi Pembedahan
Tujuan terapi pembedahan adalah memperbaiki penahan/barier pada daerah
pertemuan esofagus dan gaster sehingga dapat mencegah refluks seluruh isi gaster
kearah esofagus. Keadaan ini dianjurkan pada pasien yang harus terus menerus
minum obat atau dengan dosis yang makin lama makin tinggi untuk menekan asam
lambung. Sekarang ini tindakan yang sering dilakukan adalah funduplikasi
laparoskopi yang kurang invasif. Akan tetapi tindakan ini bukannya tanpa komplikasi,
perlu dokter yang berpengalaman dan mengerti mengenai anatomi esofagus serta
menguasai teknik funduplikasi konvensional agar angka komplikasi dapat ditekan.
Sehingga operasi ini bukan pilihan pertama pada kasus LPR.

Komplikasi
LPR dapat merupakan faktor pencetus munculnya penyakit seperti faringitis, sinusitis,
asma, pneumonia, batuk di malam hari, penyakit gigi dan keganasan laring. Salah satu
komplikasi yang patut diwaspadai dan mengancam nyawa adalah stenosis laring. Riwayat
LPR ditemukan pada 75% pasien stenosis laring dan trakea.

RHINITIS ALERGI1-3

Definisi3

Rhinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi pada
pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan alergen yang sama serta
dilepaskannya suatu mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan alergen spesifik
tersebut. Menurut WHO ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) tahun 2001
adalah kelainan pada hidung dengan gejala bersin-bersin, rinore, rasa gatal dan tersumbat
setelah mukosa hidung terpapar alergen yang diperantarai oleh IgE.

Alergi adalah respons jaringan yng berubah terhadap antigen spesifik atau allergen.
Hipersensitivitas pejamu bergantung pada dosis antigen, frekuensi paparan, polesan genetic
dari individu tersebut, dan kepekaan relative tubuh pejamu.

Rhinitis alergika terjadi bilamanan suatu antigen terhadap seorang pasien telah
mengalami sensitisasi, merangsang satu dari enam reseptor neurokimia hidung: reseptor
histamin H1, adrenoseptor-alfa, adrenoseptor-beta2, kolinoseptor, reseptor histamin H2 dan
reseptor iritan. Dari semua ini yang terpenting adalah reseptor histamin H1, dimana bila
terangsang oleh histamine akan meningkatkan tahanan jalan napas hidung, meneybabkan
bersin, gatal, dan rinore.

Patofisiologi1
Rhinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali dengan tahap
sensitisasi dan diikuti dengan tahap provokasi/ reaksi alergi. Reaksi alergi terdiri dari 2 fase
yaitu Immediate Phase Allergic Reaction atau Reaksi Alergi Fase Cepat (RAFC) yang
berlangsung sejak kotak dengan allergen sampai 1 jam setelahnya dan Late Phase Allergic
Reaction atau Reaksi Alergi Fase Lambat (RAFL) yang berlangsung 2-4 jam dengan puncak
6-8 jam (fase hiper-reaktifitas) setelah pemaparan dan dapat berlangsung sampai 24-48 jam.
Pada kontak pertama dengan alergen atau tahap sensitisasi, makrofag atau monosit
yang berperan sebagai sel penyaji (Antigen Presenting Cell/APC) akan menangkap alergen
yang menempel di permukaan mukosa hidung. Setelah diproses, antigen akan membentuk
fragmen pendek peptide dan bergabung dengan molekul HLA kelas II membentuk komplek
peptide MHC kelas II (Major Histocompability Complex) yang kemudian dipresentasikan
pada sel T helper (Th 0). Kemudian sel penyaji akan melepas sitokin seperti Interleukin 1 (IL
1) yang akan mengaktifkan Th0 untuk berproliferasi menjadi Th 1 dan Th 2. 1
Th 2 akan menghasilkan berbagai sitokin seperti IL3, IL 4, IL 5 dan IL 13. IL 4 dan IL
13 dapat diikat oleh reseptornya di permukaan sel limfosit B, sehingga sel limfosit B menjadi
aktif dan akan memproduksi Imunoglobulin E (IgE). IgE di sirkulasi darah akan masuk ke
jaringan dan diikat oleh reseptor IgE di permukaan sel mastosit atau basofil (sel mediator)
sehingga kedua sel ini menjadi aktif. Proses ini disebut sensitisasi yang menghasilkan sel
mediator yang tersensitisasi. Bila mukosa yang sudah tersensitisasi terpapar dengan alergen
yang sama, maka kedua rantai IgE akan mengikat alergen spesifik dan terjadi degranulasi
(pecahnya dinding sel) mastosit dan basofil dengan akibat terlepasnya mediator kimia yang
sudah terbentuk (Preformed Mediators) terutama histamine. Selain histamine juga
dikeluarkan Newly Formed Mediators antara lain prostaglandin D2 (PGD2), Leukotrien D4
(LT D4), Leukotrien C4(LT C4), bradikinin, Platelet Activating Factor (PAF) dan berbagai
sitokin. (IL 3, IL 4, IL 5, IL6, GM-CSF (Granulocyte Macrophage Colony Stimulating
Factor) dll. Inilah yang disebut sebagai Reaksi Alergi Fase Cepat (RAFC).
Selain histamine merangsang ujung saraf Vidianus, juga menyebabkan rangsangan
pada mukosa hidung sehingga terjadi pengeluaran Inter Cellular Adhesion Molecule 1
(ICAM 1). Pada RAFC, sel mastosit juga akan melepaskan molekul kemotaktik yang
menyebabkan akumulasi sel eosinofil dan netrofil di jaringan target. Respons ini tidak
berhenti sampai disini saja, tetapi gejala akan berlanjut dan mencapai puncak 6-8 jam setelah
pemaparan. Pada RAFL ini ditandai dengan penambahan jenis dan jumlah sel inflamasi
seperti eosinofil, limfosit, netrofil, basofil dan mastosit di mukosa hidung serta peningkatan
sitokin seperti IL3, IL4, IL5 dan Granulocyte Macrophag Colony Stimulating Factor (GM-
CSF) dan ICAM 1 pada secret hidung. Timbulnya gejala hiperaktif atau hiperresponsif
hidung adalah akibat peranan eosinofil dengan mediator inflamasi dari granulnya seperti
Eosinophilic Cationic Protein (ECP), Eosinophilic Derived Protein (EDP), Major Basic
Protein (MBP) dan Eosinophilic Peroxidase (EPO). Pada fase ini, selain faktor spesifik
(alergen), iritasi oleh faktor non spesifik dapat memperberat gejala seperti asap rokok, bau
yang merangsang , perubahan cuaca dan kelembapan udara yang tinggi.

Mekanisme terjadinya nasal allergy syndrome pada rhnitis alergi1


Nasal Allergy Syndrome terdiri dari sneezing, itching, obstruksi nasi dan rhinorrhea.
Histamin akan merangsang reseptor H1 pada ujung saraf vidianus sehingga menimbulkan
rasa gatal pada hidung dan bersin-bersin. Gatal pada hidung dan bersin-bersin mewakili
gejala karakteristik utama selain obstruksi hidung dan rhinorrhea pada rhinitis alergi. Mukosa
hidung diinervasi oleh saraf sensoris, simpatik dan parasimpatik. Transmisi sinyal saraf
sensoris menghasilkan sensasi gatal dan refleks motorik seperti bersin sedangkan refleks
parasimpatis dan simpatis mengatur sistem kelenjar dan vaskular. Histamine juga akan
menyebabkan kelenjar mukosa dan sel goblet mengalami hipersekresi dan permeabilitas
kapiler meningkat sehingga terjadi rinore. Gejala lain adalah hidung tersumbat akibat
vasodilatasi sinusoid.
Berdasarkan cara masuknya alergen dibagi atas :
1. Alergen inhalan, yang masuk bersama dengan udara pernapasan, misalnya tungau
debu rumah (D. pteronyssinus, D. farinae, B. tropicalis), kecoa, serpihan epitel
kulit binatang (kucing, anjing), rerumputan (Bermuda grass) serta jamur
(Aspergillus, Alternaria).
2. Alergen ingestan yang masuk ke saluran cerna, berupa makanan, misalnya susu,
sapi, telur, coklat, ikan laut, udang kepiting dan kacang-kacangan.
3. Alergen injektan, yang masuk melalui suntikan atau tusukan, misalnya penisilin
dan sengatan lebah.
4. Alergen kontaktan, yang masuk melalui kontak kulit atau jaringan mukosa,
misalnya bahan kosmetik, perhiasan.
Satu macam alergen dapat merangsang lebih dari satu organ sasaran, sehingga memberi
gejala campuran, misalnya tungau debu rumah yang memberi gejala asma bronkial dan rinitis
alergi.Dengan masuknya antigen asing ke dalam tubuh terjadi reaksi yang secara garis besar
terdiri dari :
1. Respons primer :
Terjadi proses eliminasi dan fagositosis antigen (Ag). Reaksi ini bersifat non spesifik dan
dapat berakhir sampai disini. Bila Ag tidak berhasil seluruhnya dihilangkan, reaksi
berlanjut menjadi respons sekunder.
2. Respons sekunder :
Reaksi yang terjadi bersifat spesifik, yang mempunyai 3 kemungkinan ialah sistem
imunitas selular atau humoral atau keduanya dibangkitkan. Bila Ag berhasil dieliminasi
pada tahap ini, reaksi selesai. Bila Ag masih ada atau memang sudah ada defek dari sistem
imunologik, maka reaksi berlanjut menjadi respons tertier.
3. Respons tertier :
Reaksi imunologik yang terjadi ini tidak menguntungkan tubuh. Reaksi ini dapat bersifat
sementara atau menetap, tergantung dari daya eliminasi Ag oleh tubuh.

Klasifikasi Rhinitis Alergi1


Dahulu rhinitis alergi dibedakan dalam 2 macam berdasarkan sifat berlangsungnya, yaitu :
1. Rinitis alergi musiman (seasonal, hay fever, polinosis). Di Indonesia tidak dikenal rinitis
alergi musiman, hanya ada di negara yang mempunyai 4 musim. Alergen penyebabnya
spesifik, yaitu tepungsari (pollen) dan spora jamur. Oleh karena itu nama yang tepat ialah
polinosis atau rino konjungtivitis karena gejala klinik yang tampak ialah gejala pada
hidung dan mata (mata merah, gatal disertai lakrimasi).
2. Rinitis alergi sepanjang tahun (perennial). Gejala pada penyakit ini timbul intermitten atau
terus menerus, tanpa variasi musim, jadi dapat ditemukan sepanjang tahun. Penyebab yang
paling sering ialah alergen inhalan, terutama pada orang dewasa, dan alergen ingestan.
Alergen inhalan utama adalah alergen dalam rumah (indoor) dan alergen diluar rumah
(outdoor). Alergen ingestan sering merupakan penyebab pada anak-anak dan biasanya
disertai dengan gejala alergi yang lain, seperti urtikaria, gangguan pencernaan. Gangguan
fisiologik pada golongan perennial lebih ringan dibandingkan dengan golongan
musimantetapi karena lebih persisten maka komplikasinya lebih sering ditemukan.
Saat ini digunakan klasifikasi rhinitis alergi berdasarkan rekomendasi dari WHO
Initiative ARIA (Allergic Rhinitis and Its Impact on Asthma) tahun 2001, yaitu berdasarkan
sifat berlangsungnya dibagi menjadi:
1. Intermiten (kadang-kadang), yaitu bila gejala kurang dari 4 hari/minggu atau kurang
dari 4 minggu.
2. Persisten/ menetap, yaitu bila gejala lebih dari 4 hari/minggu dan lebih dari 4 minggu.
Sedangkan untuk tingkat berat ringannya penyakit, rinitis alergi dibagi menjadi:
1. Ringan, yaitu bila tidak ditemukan gangguan tidur, gangguan aktivitas harian,
bersantai, berolahraga, belajar, bekerja dan hal-hal lain yang mengganggu.
2. Sedang atau berat, yaitu bila terdapat satu atau lebih dari gangguan tersebut di atas.

Diagnosis1
Diagnosis rinitis alergi ditegakkan berdasarkan:
1.Anamnesis
Anamnesis sangat penting, karena seringkali serangan tidak terjadi dihadapan
pemeriksa. Hampir 50% diagnosis dapat ditegakkan dari anamnesis saja. Gejala rinitis alergi
yang khas ialah terdapatnya serangan bersin berulang. Sebetulnya bersin merupakan gejala
yang normal, terutama pada pagi hari atau bila terdapat kontak dengan sejumlah besar debu.
Hal ini merupakan mekanisme fisiologik, yaitu proses membersihkan sendiri (self cleaning
process). Bersin ini terutama merupakan gejala pada RAFC dan kadang-kadang pada RAFL
sebagai akibat dilepaskannya histamine. Karena itu perlu ditanyakan adanya riwayat atopi
pada pasien. Gejala lain ialah keluar ingus (rinore) yang encer dan banyak, hidung tersumbat,
hidung dan mata gatal, yang kadang-kadang disertai dengan banyak air mata keluar
(lakrimasi). Sering kali gejala yang timbul tidak lengkap, terutama pada anak-anak. Kadang-
kadang keluhan hidung tersumbat merupakan keluhan utama atau satu-satunya gejala yang
diutarakan oleh pasien.
2. Pemeriksaan Fisik
Pada rinoskopi anterior tampak mukosa edema, basah, berwarna pucat atau livid
disertai adanya secret encer yang banyak. Bila gejala persisten, mukosa inferior tampak
hipertrofi. Pemeriksaan nasoendoskopi dapat dilakukan bila fasilitas tersedia. Gejala spesifik
lain pada anak ialah terdapatnya bayangan gelap di daerah bawah mata yang terjadi karena
stasis vena sekunder akibat obstruksi hidung. Gejala ini disebut allergic shiner. Selain dari itu
sering juga tampak anak menggosok-gosok hidung karena gatal, dengan punggung tangan.
Keadaan ini disebut allergic salute. Keadaan menggosok hidung ini lama kelamaan akan
mengakibatkan timbulnya garis melintang di dorsum nasi bagian sepertiga bawah, yang
disebut allergic crease. Mulut sering terbuka dengan lengkung langit-langit yang tinggi,
sehingga akan menyebabkan gangguan pertumbuhan gigi geligi (facies adenoid). Dinding
posterior faring tampak granuler dan edema (cobblestone appearance), serta dinding lateral
faring menebal. Lidah tampak seperti gambaran peta (geographic tongue).
3.Pemeriksaan Penunjang

In vitro :
Hitung eosinofil dalam darah tepi dapat normal atau meningkat. Demikian pula
pemeriksaan IgE total (prist-paper radio imunosorbent test) seringkali menunjukkan nilai
normal, kecuali bila tanda alergi pada pasien lebih dari satu macam penyakit, misalnya selain
rinitis alergi juga menderita asma bronchial atau urtikaria. Pemeriksaan ini berguna untuk
prediksi kemungkinan alergi pada bayi atau anak kecil dari suatu keluarga dengan derajat
alergi yang tinggi. Lebih bermakna adalah pemeriksaan IgE spesifik dengan RAST (Radio
Imuno Sorbent Test) atau ELISA (Enzyme Linked Immuno Sorbent Assay Test). Pemeriksaan
sitologi hidung, walaupun tidak dapat memastikan diagnosis, tetap berguna sebagai
pemeriksaan pelengkap. Ditemukannya eosinofil dalam jumlah banyak menunjukkan
kemungkinan alergi inhalan. Jika basofil (>5sel/lap) mungkin disebabkan alergi makanan,
sedangkan jika ditemukan sel PMN menunjukkan adanya infeksi bakteri.
In Vivo :
Allergen penyebab dapat dicari dengan cara pemeriksaan tes cukit kulit, uji intrakutan
atau intradermal yang tunggal atau berseri (Skin End-point Titration/SET), SET dilakukan
untuk alergen inhalan dengan menyuntikkan allergen dalam berbagai konsentrasi yang
bertingkat kepekatannya. Keuntungan SET, selain alergen penyebab juga derajat tinggi serta
dosis inisial untuk desensitisasi dapat diketahui.
Untuk alergi makanan, uji kulit yang akhir-akhir ini banyak dilakukan adalah
Intracutaneus Provocative Dilutional Food Test (IPDFT), namun sebagai baku emas dapat
dilakukan dengan diet eliminasi dan provokasi (Challenge Test).
Alergen ingestan secara tuntas lenyap dari tubuh dalam waktu 5 hari. Karena itu pada
Challenge Test, makanan yang dicurigai diberikan pada pasien setelah berpantang selama 5
hari, selanjutnya diamati reaksinya. Pada diet eliminasi, jenis makanan setiap kali dihilangkan
dari menu makanan sampai suatu ketika gejala menghilang dengan meniadakan suatu jenis
makanan.
Penatalaksanaan1

Gambar 5. Alogaritma penatalaksanaan Rhinitis Alergi menurut WHO inititive ARIA. 1 (dewasa)

Komplikasi
Komplikasi rinitis alergi yang sering ialah:
1. Polip hidung
Beberapa peneliti mendapatkan, bahwa alergi hidung merupakan salah satu faktor
penyebab terbentuknya polip hidung dan kekambuhan polip hidung.
2. Otitis media efusi yang sering residif, terutama pada anak-anak.
3. Sinusitis paranasal.

LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Nn. O
Umur : 18 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Pendidikan : SMA
Pekerjaan :-
Alamat : Pantai Indah Kapuk
Status pernikahan : Belum menikah

II. ANAMNESIS

Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis pada tanggal 20 Desember 2016 pukul 11.20
WIB.

Keluhan Utama :

Keluar cairan dan telinga berdengung pada telinga sejak 3 hari SMRS

Keluhan Tambahan :

Pendengaran berkurang, terasa gatal ditelinga sebelh kiri.

Riwayat Penyakit Sekarang :

Sejak 11 bulan SMRS keluar cairan dari telinga kiri. Cairan tersebut berwarna putih,
sedikit kental, tidak berbau, dan hilang timbul. Keluhan disertai gatal pada kedua telinga dan
penurunan pendengaran pada telinga kiri. keluhan tidak disertai nyeri. Sebelumnya karena
merasa gatal pasien sering mengorek telinga dengan cotton bud.. Terkadang pasien merasa
telinga terasa penuh danberdengung pada telinga kiri.

Sejak 3 hari SMRS,cairan keluar dari telinga kiri, timbul terutama keluar saat
menundukkan kepala. Cairan berwarna putih, sedikit kental, dan tidak berbau. Telinga kiri
masih terasa gatal dan pendengaran masih menurun pada telinga.

Selain itu pasien juga mengeluh mengalami rasa tidak nyaman di leher, seperti dahak
di tenggorokan sehingga pasien sering berdehem. Pasien mengatakan bahwa pasien sering
batuk berdahak, rasa panas di leher dan nyeri menelan.. Diketahui pasien sering
mengkonsumsi minuman dingin dan makan pedas. Keluhan sulit menelan serta tenggorokan
terasa sakit hanya selalu dirasakan pasien ketika makan jajan-jajanan yg mengandung micin,
dan keluhan ini sering terjadi. Keluhan sering mendehem karena merasa ada lendir dan
seperti ada yang mengganjal di tenggorok dikatakan pasien. Psien mengatakan bahwa suara
serak dirasakan pada saat pasien batuk-batuk. Batuk setelah makan atau berbaring, sukar
bernafas dan mulut berbau tidak dikeluhkan pasien. Paien mengatakan punya Riwayat nyeri
ulu hati dan dada terasa panas.

Pasien kemudian berobat ke poli THT RSUD Tarakan dengan keluhan masih
keluarnya cairan dari telinga kanan dan gatal.

Riwayat Penyakit Dahulu :

Riwayat merokok (-),alcohol (-) riwayat trauma hidung dan telinga (-). Pasien tidak
memiliki riwayat asma. Pasien diketahui tidak memiliki riwayat kencing manis.

Riwayat Penyakit Keluarga :

Keluarga pasien tidak ada yang mengalamigejala serupa, riwayat alergi,asma,diabetes


mellitus disangkal.

III. PEMERIKSAAN FISIK


A. STATUS LOKALIS
Telinga

Dextra Sinistra

Bentuk daun telinga Normotia. Normotia.


Tanda Radang, Nyeri (-), massa (-), hiperemis Nyeri (-), massa (-), hiperemis
(-), hipertermi (-), functio (-), hipertermi (-), functio laesa
laesa (-), edema (-) (-), edema (-)
Nyeri tekan tragus Nyeri tekan (-) Nyeri tekan (-)
Penarikan daun Nyeri tarik aurikula (-) Nyeri tarik aurikula ()
telinga
Kelainan pre-, infra-, Fistula pre-aurikula (-), Fistula pre-aurikula (-),
retroaurikuler hematoma (-), laserasi (-), hematoma (-), laserasi (-), abses
abses (-), sikatriks (-), massa (-), sikatriks (-), massa (-),
(-), hiperemis (-), nyeri (-), hiperemis (-), nyeri (-),
hipertermi (-), edema (-) hipertermi (-), edema (-)
Region mastoid Hiperemis (-), hipertermi (-), Massa (-), hiperemis (-), odem
massa (-), nyeri (-), edema (-), (-), nyeri (-), abses (-)
abses (-),
Liang telinga Lapang, edema (-), stenosis Sempit, edema (+), stenosis (-),
(-), atresia (-), furunkel (-), jar. atresia (-), furunkel (-), jar.
granulasi (-), hiperemis (-), granulasi (-), hiperemis (+),
serumen (+), sekret (-), serumen (+), sekret (-), laserasi
laserasi (-), hifa (-), (-), massa (-), hifa (+),
perdarahan aktif (-), clotting perdarahan aktif (-), clotting (-)
(-)
Membran Timpani Utuh, reflex cahaya (+), Perforasi sentral , sekret (+),
bulging (-), perforasi (-), -), bulging (-), retraksi (-)
sekret (-), retraksi (-)

Tes Penala

Dextra Sinistra
Rinne Positif Positif
Weber Lateralisasi ke kiri
Schwabach Sesuai pemeriksa Sesuai pemeriksa
Penala yang dipakai 512 Hz 512 Hz
Kesimpulan : tuli konduktif pada telinga kiri

Hidung

Dextra Sinistra
Bentuk Normal. Normal.
Tanda peradangan Hiperemis (-), hipertermi Hiperemis (-), hipertermi
(-), nyeri (-), massa (-), (-), nyeri (-), massa (-),
functio laesa (-) functio laesa (-)
Daerah sinus frontalis dan Nyeri tekan (-), nyeri ketuk Nyeri tekan (-), nyeri ketuk
maxillaris (-), krepitasi (-) (-), krepitasi (-)
Vestibulum Tampak bulu hidung, Tampak bulu hidung,
laserasi (-), sekret (-), laserasi (-), sekret (-),
furunkel (-), krusta (-), furunkel (-), krusta (-),
hiperemis (-), hipertermi hiperemis (-), hipertermi
(-), nyeri (-), massa (-) (-), nyeri (-), massa (-)
Cavum Nasi Lapang, sedikit sekret Lapang,sedikit sekret
(+), massa (-), krusta (-), (+), massa (-), krusta (-),
benda asing (-) hiperemis benda asing (-) hiperemis
(-) (-)
Konka inferior Hipertrofi (-), hiperemis Hipertrofi (-), hiperemis
(-), livide (+), edema (-) (+), livide (+), edema (-)
Meatus nasi inferior sekret (-), massa (-), edema sekret (-), massa (-), edema
(-) (-)

Konka Medius Edema (-), hipertrofi (-), Edema (-), hipertrofi (-),
hiperemis (-), livide (+), hiperemis (-), livide (+),
konka bulosa (-) konka bulosa (-)
Meatus nasi medius sekret (-), massa (-), edema sekret (-), massa (-), edema
(-) (-)
Septum nasi Deviasi (-), spina (-), Deviasi (-), spina (-),
hematoma (-), abses (-), hematoma (-), abses (-),
perforasi (-) perforasi (-)

Rhinopharynx

Koana : Tidak dapat dilakukan


Septum nasi posterior : Tidak dapat dilakukan
Muara tuba eustachius: Tidak dapat dilakukan
Tuba eustachius : Tidak dapat dilakukan
Torus tubarius : Tidak dapat dilakukan
Post nasal drip : Tidak dapat dilakukan

Pemeriksaan Transluminasi

Sinus Frontal kanan, Kiri : tidak dilakukan


Sinus Maxilla kanan, Kiri : tidak dilakukan

Tenggorokan
Faring

Dinding faring posterior :Hiperemis (-), granula (+), ulkus (-), perdarahan aktif
(-), clotting (-), post nasal drip (-), massa (-).
Arcus faring :Pergerakan simetris, hiperemis (-), edema (-), ulkus (-),
laserasi (-)
Tonsil :T1-T1 tenang, hiperemis (-), kripta, detritus (-),
pseudomembran (-), abses (-)
Uvula :di tengah, hiperemis (+), bifida (-), massa (-),
memanjang (-), edema (-).
Gigi : caries (-).
Laring

Epiglottis : edema (-) hiperemis (-)

Plica aryepiglotis : Peradangan (-), Hiperemis (-)

Arytenoids : Edema (-)

Ventricular band : edema (-), hiperemis (-)

Pita suara : Edema (-)

Rima glotis : Terbuka, Massa (-)

Cincin trachea : Web (-)

Sinus Piriformis : Benda asing (-), massa (-)

Kelenjar limfe submandibula dan servical: tidak adanya pembesaran pada inspeksi dan
palpasi.

Reflux Symptom Index

Suara serak/ problem suara 3

Sering mendehem 3

Lendir di tenggorok (PND) 3

Kesukaran menelan 0

Batuk setelah makan atau berbaring 0

Kesukaran bernafas 0

Batuk yang mengganggu 0

Rasa mengganjal di tenggorok 3


Heartburn, rasa nyeri di dada, gangguan 1
pencernaan, regurgitasi asam

Skor RSI : 13

RESUME

Anamnesis

Nn.0 berusia 18 tahun terdapat otorea pada telinga kiri. Cairan tersebut berwarna putih,
sedikit kental, tidak berbau, dan hilang timbul. Keluhan disertai gatal pada kedua telinga dan
penurunan pendengaran pada telinga kiri. keluhan disertai nyeri. Sebelumnya karena merasa
gatal pasien sering mengorek telinga dengan cotton bud, pasien mengatakan telinga terasa
penuh. Terkadang pasien merasa berdengung pada telinga kiri. Keluhan sering mendehem
karena merasa ada lendir dan seperti ada yang mengganjal di tenggorok dikatakan pasien.
Skor RSI (Reflux Symptom Index) didapatkan 13. saat ini pasien tidak sedang mengonsumsi
obat-obatan yang digunakan dalam jangka waktu yang lama.

Pemeriksaan Fisik

Pada pemeriksaan otoskop ditemukan adanya sekret pada liang telinga kiri, liang
telinga kiri hiperemis dan perforasi sentral pada membran timpani. Pada pemeriksaan fungsi
pendengaran dengan pelana didapatkan tuli konduktif. Pada pemeriksaan hidung didapatkan,
Kedua konka inferior eutrofi dan tampak livid. Ada sedikit secret berwarna bening. Pada
pemeriksaan faring didapatkan dinding faring hiperemis dan terdapat granul, tonsil T1 T1.
Pemeriksaaan rhinoskopi posterior dan laringoskopi indirek tidak dilakukan karena
pemeriksa tidak berhasil.

DIAGNOSIS KERJA

I. Otitis Media Supuratif Kronik (OMSK)Tipe Aman aktif AS

Dasar yang mendukung:

Anamnesis:

- Keluarnya cairan dari telinga kiri.


- Pendengaran pada telinga berkurang terutama kiri.

- Keluar cairan sedah sejak 11 bulan yang lalu

- Punya kebiasaan menggorek telinga

II. Otomikosis AS
Dasar Diagnosis:
Anamnesis: adanya rasa penuh, gatal, serta dengungan pada telinga kanan
Pemeriksaan fisik: ditemukan hifa wara putih yang menutupi 1/3 luar liang telinga
kiri

III. Laryngopharyngeal Reflux

Didapatkan Reflux symptom index (RSI) sebesar 13 ( 13). Pasien merasa ada
yang lendir dan ada yang mengganjal di tenggorok, sering mendehem dan
suara serak.
Sering mengonsumi makanan pedas

IV. Suspek Rhinitis Alergi

Dasar yang mendukung


Pemriksaan fisik : konka inferior tampak livid
Dasar tidak mendukung
Anamnesis : tidak didapatkan bersin-bersin, flu atau riwayat alergi pada pasien dan
kelurga.

DIAGNOSIS BANDING

1. Otitis media supuratif kronik tipe maligna

Dasar yang mendukung:

Anamnesis: Keluar cairan dari telinga

Dasar yang tidak mendukung : secret : purulent (-), berbau busuk (-), letak perforasi atik atau
marginal

IV. RENCANA PEMERIKSAAN LANJUTAN


Prick test
Beberapa jenis pemeriksaan penunjang diagnosis penyakit alergi dan imunologi dapat
dilakukan walaupun tidak harus dipenuhi seluruhnya. Tiap jenis pemeriksaan mempunyai
sensitivitas dan spesifitas yang berbeda. Prinsip pemeriksaan uji kulit terhadap alergen ialah
adanya reaksi wheal and flare pada kulit untuk membuktikan adanya IgE spesifik terhadap
alergen yang diuji (reaksi tipe I). Imunoglobulin G4 (IgG4) juga dapat menunjukkan reaksi
seperti ini, akan tetapi masa sensitisasinya lebih pendek hanya beberapa hari, sedangkan IgE
mempunyai masa sensitisasi lebih lama yaitu sampai beberapa minggu. Reaksi maksimal
terjadi setelah 15-20 menit, dan dapat diikuti reaksi lambat setelah 4-8 jam.
Alergi Tipe 1 (IgE mediated) adalah hasil dari produksi IgE spesifik untuk alergen oleh alergi
individu. Kondisi di mana alergi yang dimediasi IgE dapat memainkan peran utama termasuk
rhinitis alergi, asma, dermatitis atopik, anafilaksis, urticaria dan angioedema akut, alergi
makanan, alergi racun serangga, lateks alergi dan beberapa obat alergi.Tes untuk alergi serum
IgE spesifik (juga disebut sebagai tes RAST) juga berguna dalam situasi tertentu.
Ada beberapa cara untuk melakukan uji kulit, yaitu cara intradermal, uji tusuk (prick test), sel
uji gores (scratch test) dan pacth test (uji tempel).

V. PENATALAKSANAAN

Medika mentosa:

Cuci telinga
H2O2 3% 3 x 5 gtt selama 5 hari

Antibiotik sistemik
Amoksisilin 3 x 1 tablet/hari selama 5 hari

PPI jenis Lansoprazole 40mg 2x sehari selama 3-6 bulan


Non-medikamentosa :

Menjaga telinga tetap kering atau Menjaga agar lubang telinga tidak kemasukan air
Menjaga higiene telinga
Jangan mengorek telinga bila terasa gatal cukup menekan telinga bagian luar saja
(tragus)
menjaga kesehatan tubuh, janngan beraktivitas berlebihan
Jangan makan pedas, minum kopi, es, dan makan yang berlemak
Minum obat teratur
Rajin kontrol ke dokter

PROGNOSIS

I. Otitis Media Supuratif Kronik As

Ad vitam : Bonam

Ad sanationam : Dubia ad bonam

Ad fungtionam : Dubia ad bonam

II. Otomikosis As

Ad vitam : Bonam

Ad sanationam: Dubia ad bonam

Ad fungtionam: Dubia ad bonam

III. Laringofaringeal Reflux

Ad vitam : Bonam

Ad sanationam: Dubia ad bonam

Ad fungtionam: Dubia ad bonam

PEMBAHASAN

Dari kasus diatas didapatkan bahwa penyakit otitis media supuratif kronik yang
dikeluhkan oleh pasien disebabkan karena kebiasaan pasien untuk mengorek telinga secara
sembarangan menggunakan cotton bud dan dari hasil anamnesis Nn.O sudah mengalami
selama 11 bulan serta pendengaran telinga mulai berkurang. Untuk konfirmasi gangguan
fungsi pendengaran dilakukan pemeriksaan otoskop dan tes penala, OMSK inilah yang
membuat pasien burkurang pendengarannya. Maka dilakukan tes penala, dan hasilnya tuli
konduktif. Walaupun didapai tes Rinne positif, tetap dikatakan pasien tuli konduktif karena
tes webber yang hasilnya laterlaisasi ke telinga yang sakit. Tes rinne positif bisa terjadi jika
tuli pada pasien <30 dB. Tetapi untuk lebih memastikannya perlu dilakukan pemeriksaan
audiometri karenan subjektifitas pada pemeriksaan tes penala cukup tinggi, baik pada pasien
maupun pada pemeriksa. Pasien juga merasa gatal dan terasa penuh ditelinga kiri setalah
dilakukan pemeriksaan otoskop didapatkan hifa berwarna putih pada liang telinga kiri. Dari
anamnesis juga didapatkan pasien juga mempunyai riwayat sakit tenggorokan berulang
setelah jajan. Dari skor RSI pasien adalah 13 maka dinyatakan positif terkena LPR.

KESIMPULAN

Otitis Media Supuratif Kronis (OMSK) merupakan suatu infeksi kronis di telinga
tengah dengan perforasi membran timpani dan sekret yang keluar dari telinga tengah lebih
dari 2 bulan secara terus-menerus atau hilang timbul, sekret dapat encer atau kental, bening
atau berupa nanah. OMSK ini dibagi menjadi dua jenis yaitu OMSK tipe aman dan OMSK
tipe bahaya. Dan berdasarkan aktivitas sekret dibagi juga menjadi dua yaitu OMSK tipe aktif
dan OMSK tipe tenang.

Otomikosis adalah infeksi telinga yang disebabkan oleh jamur, atau infeksi jamur yang
superfisial pada kanalis auditorius eksternus. Otomikosis ini sering dijumpai pada daerah
yang tropis. Infeksi ini dapat bersifat akut dan subakut, dan khas dengan adanya inflammasi,
rasa gatal, dan ketidaknyamanan. Mikosis ini menyebabkan adanya pembengkakan,
pengelupasan epitel superfisial, adanya penumpukan debris yang berbentuk hifa, disertai
supurasi, dan nyeri.

Refluks laringofaring (RLF) adalah salah satu manifestasi refluks ekstra esofagus
dimana terjadi aliran balik asam lambung ke daerah laring, faring, trakea dan bronkus yang
menyebabkan kontak dengan jaringan pada traktus aerodigestif atas yang menimbulkan jejas
pada laringofaring dan saluran napas bagian atas, dengan manifestasi penyakit-penyakit oral,
faring, laring dan paru. Diagnosis ditegakkan berdasarkaan gejala klinis (Reflux Symptoms
Index/RSI) dan Reflux finding score.

Daftar Pustaka
1. Soepardi A, Iskandar N, Basshirudin J, dkk. Telinga, hidung, teggorok, kepala dan
leher. Edisi ke-6. Jakarta: FKUI; 2007.
2. Adams G. Boies: buku ajar penyakit THT. Edisi ke-6. Jakarta: EGC 1997.
3. Restuti RD, Bashiruddin J, Damajanti S, Soepardi EA, Iskandar N.Gangguan
pendengaran dan kelainan telinga. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung
Tenggorok Kepala Leher. Edisi keenam. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. 2007.h.10-6.
4. Ballenger JJ. Penyakit Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala, dan Leher. Edisi 13. Jilid
2. Jakarta: Binarupa Aksara. 1997.h.392-5
5. Restuti RD, Bashiruddin J, Damajanti S, Soepardi EA, Iskandar N.Otitis media
supuratif kronis. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher.
Edisi keenam. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.2007.h.69-74.
6. Restuti RD, Bashiruddin J, Damajanti S, Soepardi EA, Iskandar N. Komplikasi otitis
media supuratif. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala
Leher. Edisi keenam. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2007.h.78-
9.
7. House JW, Brackmann DE. Facial nerve grading system. Otolaryngol. Head Neck
Surg 1993.h.1467.
8. Endang M, Retno W, Soepardi EA, Iskandar N. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga
Hidung Tenggorok Kepala Leher edisi keenam. Jakarta: Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. 2007.p.64-72.
9. http://eac.hawkelibrary.com/new/main.php?g2_itemId=89 diunduh tanggal 25
Desember 2016
10. Shilpa.KG, Shashidhar.SS, Manesh B. Otomycosis : A clinic Mycological Study. Int J
Med Health Sci, April 2013, Vol-2; Issue-2 diunduh dari
http://www.ijmhs.net/articles/1365666009Otomycosis_A_Clinico_Mycological_Study.p
df tanggal 25 Desember 2016
11. Dhingra P.L. Disease of Ear, Nose and Throat. Edisi 4. New Delhi: Gopson Paper Ltd;
2007. Hal: 145-8
12. Abadi AM. Mycological studies in 15 cases of otomycosis. Pakistan Journal of
Medicine Science, October December 2006 Vol.22 No. 4. Diunduh dari
http://www.pjms.com.pk/issues/octdec06/article/sc4.html. Tanggal 25 Desember 2016
13. Satish HS, Viswanata B, Manjuladevi M. A Clinical Study of Otomycosis. IOSR Journal
of Dental and Medical Sciences Volume 5, Issue 2; Mar.- Apr. 2013. Diunduh dari
www.iosrjournals.org tanggal 25 Desember 2016
14. Mansjoer A, et all. Otomikosis. Dalam: Kapita Selekta Kedokteran, Jakarta: Media
Aesculapius; 2001.h.75.
15. Anwar K, Gohar MS. Otomycosis, clinical features, predisposing factors and treatment
implications. Di unduh dari http;//dx.doi.org/10.12669/pjms.303.html. tanggal 25
Desember 2016
16. Makmun, Dadang. Penyakit Refluks Gastroesofageal. Dalam : Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Jilid 1 edisi IV. FKUI. Jakarta. Hal. 315-319.
17. Belafsky P, Rees C. Identifying and managing laryngopharyngeal reflux. Clinical
Review article. Hospital physician. July, 2007.
18. Guyton, A.C & Hall, J.E. Propulsi dan Pencampuran Makanan dalam Saluran
Pencernaan. Dalam: Guyton & Hall Buku Ajar Fisiologi Kedokteran edisi 11. EGC.
Jakarta. 2007.

Anda mungkin juga menyukai