Anda di halaman 1dari 106

PEMAKNAAN KAKEJIKU KARYA KOBAYASHI TAIGEN

DALAM RUANGAN CHANOYU

SKRIPSI

OLEH
Taufik Kurnia
155110207111019

PROGRAM STUDI SASTRA JEPANG


JURUSAN BAHASA DAN SASTRA
FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
ii

2020
PEMAKNAAN KAKEJIKU KARYA KOBAYASHI TAIGEN

DALAM RUANGAN CHANOYU

SKRIPSI

Diajukan Kepada Universitas Brawijaya


Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan
dalam Memperoleh Gelar Sarjana

OLEH
Taufik Kurnia
155110207111019

PROGRAM STUDI SASTRA JEPANG


JURUSAN BAHASA DAN SASTRA
FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2020

i
ii
Dengan ini menyatakan bahwa skripsi Sarjana atas nama Taufik Kurnia

telah disetujui oleh pembimbing untuk diujikan.

Malang, 22 Juli 2020

Pembimbing

Santi Andayani, S.S., M.A.


NIK. 201609 810311 2 001

iii
Dengan ini menyatakan bahwa skripsi Sarjana atas nama Taufik Kurnia telah

disetujui oleh Dewan Penguji sebagai syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana.

Penguji

Ni Made Savitri Paramita, S.S., M.A.


NIK. 201611 860118 2 001

Pembimbing

Santi Andayani, S.S., M.A.


NIK. 201609 810311 2 001

Mengetahui, Menyetujui,
Ketua Program Studi Sastra Jepang Ketua Jurusan Bahasa dan
Sastra

Efrizal, M.A Sahiruddin, S.S., M.A., Ph.D.


NIP. 19700825 200012 1 001 NIP. 19790116 200912 1 001

iv
v
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, dan sholawat serta salam

kepada junjungan Nabi Muhammad SAW. Berkat rahmat, karunia, dan hidayah-Nya

penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan lancar. Skripsi berjudul “Pemaknaan

Kakejiku Karya Kobayashi Taigen dalam Ruangan Chanoyu” disusun untuk

memenuhi syarat guna mencapai gelar Sarjana di Universitas Brawijaya. Penulis

mengakui bahwa tanpa bantuan dan dukungan berbagai pihak, tidak mungkin skripsi

ini dapat diselesaikan dengan lancar. Oleh karena itu, penulis menggunakan

kesempatan ini untuk mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada

semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini, terutama

kepada:

1. Ayah dan Ibu yang selalu mendukung dan tidak lupa menyebut nama

penulis dalam setiap doanya.

2. Ibu Santi Andayani, S.S., M.A. selaku dosen pembimbing yang telah

banyak memberikan arahan dan masukan yang membantu penulis dalam

penulisan skripsi ini.

3. Ibu Nadya Inda S, M.Si. selaku dosen penasihat akademik yang telah

memberikan dukungan dan bimbingan selama perkuliahan.

vi
4. Ibu Ni Made Savitri Paramita, S.S., M.A. selaku dosen penguji yang telah

memberi kritik dan saran, sehingga penulisan skripsi ini dapat lebih baik lagi.

5. Ibu Fukagawa Miho, selaku dosen penasihat akademik sekaligus dosen

yang ahli dalam chanoyu maupun kebudayaan tradisional jepang lainnya yang

telah memberikan dukungan, bimbingan, dan ilmunya selama perkuliahan di

Kanazawa University sampai dengan terselesaikannya skripsi ini.

6. Seluruh dosen Sastra Jepang Fakultas Ilmu Budaya Universitas Brawijaya

atas semua ilmu yang telah diberikan.

7. Sandi Pardamean selaku saudara sepupu yang selalu memberikan bantuan

berupa motivasi maupun keuangan disaat ada kendala selama proses

menyelesaikan skripsi ini.

8. Teman-teman seperjuangan dari angkatan 2015, khususnya Kelas E.

Terima kasih atas waktu yang telah dilalui bersama.

9. Hasri Imani beserta keluarganya yang selalu memberikan motivasi dan

membantu penulis dalam berproses selama menyelesaikan studi di Universitas

Brawijaya

10. Nakajima Ayaka, Namihira Minako, Sunazawa Fuuka, dan teman-teman

dari Kanazawa university maupun Hiroshima University yang telah

membantu dalam proses pencarian data literatur untuk keperluan skripsi ini

vii
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena

itu, saran atau kritik dari berbagai pihak sangat diharapkan untuk perbaikan di masa

mendatang. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi siapapun yang membaca, dan

berguna untuk pengembangan ilmu pengetahuan, terutama kajian budaya (cultural

studies).

Malang, 22 Juli 2020

Penulis

viii
ABSTRAK

Kurnia, Taufik. 2020. Pemaknaan Kakejiku Karya Kobayashi Taigen dalam Ruangan
Chanoyu. Program Studi Sastra Jepang Universitas Brawijaya.
Pembimbing : Santi Andayani, S.S., M.A.
Kata Kunci : Chanoyu, Kakejiku, Tokonoma, Zen, Semiotika

Penelitian ini mengkaji tentang pemaknaan kakejiku Karya Kobayashi Taigen


dalam ruangan chanoyu. Kobayashi Taigen selain berprofesi sebagai seniman juga
merupakan guru Zen. Karya kakejiku dari seniman tersebut pada umumnya digunakan
dalam ruangan chanoyu. Tujuan penelitian adalah menjelaskan makna dari kakejiku
karya Kobayashi Taigen, yakni kakejiku wakeiseijaku yang berarti wa (harmoni), kei
(rasa hormat), sei (kemurnian), jaku (ketenangan), kakejiku taki-ga (air terjun), dan
kakejiku kissako (mari minum teh) karya Kobayashi Taigen menggunakan teori
semiotika Roland Barthes yang digunakan sebagai landasan teori dan metode
penelitian kualitatif dalam penelitian ini.
Didasarkan pada makna-makna tersebut, terdapat hasil dari analisis penelitian
ini, yaitu dalam ketiga kakejiku karya Kobayashi Taigen tersebut, terdapat makna
yang dapat dipecahkan dengan teori Roland Barthes. Pada kakejiku wakeiseijaku
makna secara keseluruhannya yakni Kobayshi berpesan dalam mengikuti kegiatan
chanoyu, ketiga prinsip utama harus dijalankan yakni prinsip keharmonisan, rasa
hormat, dan kemurnian sehingga memperoleh ketenangan. Hal tersebut mengajak kita
akan belajar memiliki sifat natural, sederhana, dan senantiasa menerima
ketidaksempurnaan. Kemudian, pada Karya kakejiku taki-ga Kobayashi menanamkan
sugesti dengan cara membuat subliminal message atau pesan tersembunyi melalui
tulisan 瀧(taki) agar bagi orang yang melihat karya tersebut seolah dapat merasakan
kesejukan air terjun pada musim panas, dan dibawa untuk mencintai alam. Sementara
itu, Kakejiku kissako, Kobayashi mengajak orang untuk minum teh, apapun status
sosial dari seseorang, semua diperlakukan sama dalam chanoyu.

ix
要旨

クルニア、タウフィック。2020. 茶室における小林太玄掛け軸に見られる記
号。ブラウイジャヤ大学日本文学科。
指導教官 :サンティ・アンダヤニ

キーワード :茶の湯、掛け軸、床の間、禅、記号

 この研究では茶室における小林太玄の掛け軸に見られる記号から考察する。
小林太玄は美術人だけでなく、老師として様々な掛け軸の作品を作り、一般の茶室に示
されている。日本において、掛け軸は和室及び茶室にある床の間にかけてある要である。
そのため、三つの小林太玄掛け軸を選んだ。特に、和敬清寂の掛け軸や瀧画の掛け軸や
喫茶去の掛け軸である。
 この研究の目的はロラン・バルトの記号学を使用し、掛け軸にある記号を見つけるこ
とである。あるいは、三つの選んだ掛け軸の記号を見つけることである。ロラン・バル
トの理論には三つ概念がある。第一に、ディのテーションという指示義である。第二に
は、コノテーションという共に示す意味と書いて共示義である。さらにあげれば、神話
である。その結果、ロラン・バルトの理論に基づく、小林太玄掛け軸は様々な記号が見
つけるのは可能である。まず、和敬清寂の掛け軸は、人間関係だけでなく、自然との関
係でもちゃんと敬れば、寂という感覚も得られ、平和になったと考える。また、瀧画の
掛け軸の記号論は、涼しさを強調し語呂を合わせたもので夏の涼しさを感じれば良いで
はないかというメッセージがある。瀧を書いた文字の書き方を見ると、滝のように見え
る。あるいは、滝の掛け軸は茶の湯の中で、自然を愛し、一つになれというメッセージ
が間接的に見えると考える。さらに、喫茶去の掛け軸の記号論は、お茶をお召し上がれ
こと。具体的に、人間は平等であるため、どんな高い身分の人だとしても関係ないと考
える。そのため、小林太玄掛け軸に記号を見れ、禅の影響を与えている。

DAFTAR ISI

Halaman
SAMPUL BAGIAN DALAM ..........................................................................i
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING SKRIPSI ...............................ii

x
LEMBAR PENGESAHAAN DEWAN PENGUJI SKRIPSI .......................iii
KATA PENGANTAR ......................................................................................iv
PERNYATAAN KEASLIAN...........................................................................v
ABSTRAK.........................................................................................................vi
ABSTRAK (BAHASA JEPANG)....................................................................vii
DAFTAR ISI......................................................................................................viii
DAFTAR TRANSLITERASI..........................................................................x
DAFTAR GAMBAR.........................................................................................xii
DAFTAR TABEL .............................................................................................xiii
DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................................xiv

BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ......................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah..................................................................................5
1.3 Tujuan Penelitian...................................................................................6
1.4 Manfaat Penelitian ................................................................................6
1.5 Ruang Lingkup Penelitian......................................................................7
1.6 Daftar Istilah Kunci ...............................................................................7

BAB II KAJIAN PUSTAKA

2.1 Semiotika ..............................................................................................9


2.2 Kakejiku ................................................................................................14
2.2.1 Sejarah............................................................................................14
2.2.2 Jenis-jenis Kakejiku .......................................................................16
2.2.3 Chagake (kakejiku dalam chanoyu)...............................................18
2.3 Zen Buddhisme......................................................................................26
2.4 Chanoyu (upacara minum teh)…………..…………………………….33
2.5 Penelitian Terdahulu .............................................................................36

BAB III METODE PENELITIAN


3.1 Jenis Peneltian .......................................................................................40
3.2 Sumber Data ..........................................................................................40
3.3 Teknik Pengumpulan Data ....................................................................41
3.4 Teknik Analisis Data .............................................................................43

BAB IV PEMBAHASAN

xi
4.1 Makna Pada Kakejiku Karya Kobayashi Taigen Dalam Ruangan Chanoyu
......................................................................................................................44
4.1.1 Analisis Kakejiku Wakeiseijaku ....................................................44
4.1.2 Analisis Kakejiku Taki-ga..............................................................57
4.1.3 Analisis Kakejiku Kissako..............................................................67

BAB V KESIMPULAN
5.1 Kesimpulan ...........................................................................................75
5.2 Saran ......................................................................................................77

DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN

xii
DAFTAR TRANSLITERASI

あ(ア)a  い(イ)i  う(ウ)u   え(エ)e  お(オ)o

か(カ)ka  き(キ)ki  く(ク)ku  け(ケ)ke  こ(コ)ko

さ(サ) sa し(シ)shi  す(ス)su  せ(セ)se  そ(ソ)so

た(タ)ta   ち(チ)chi  つ(ツ)tsu  て(テ)te  と(ト)to

は(ハ)ha  ひ(ヒ)hi  ふ(フ)fu  へ(ヘ)he  ほ(ホ)ho

ま(マ)ma  み(ミ)mi  む(ム)mu  め(メ)me  も(モ)mo

や(ヤ)ya        ゆ(ユ)yu        よ(ヨ)yo

ら(ラ)ra  り(リ)ri  る(ル)ru  れ(レ)re  ろ(ロ)ro

わ(ワ)wa                  を(ヲ)wo

が(ガ)ga  ぎ(ギ)gi  ぐ(グ)gu  げ(ゲ)ge  ご(ゴ)go

ざ(ザ)za  じ(ジ)ji  ず(ズ)zu  ぜ(ゼ)ze  ぞ(ゾ)zo

だ(ダ)da  ぢ(ヂ)ji  づ(ヅ)zu で(デ)de  ど(ド)do

ば(バ)ba  び(ビ)bi  ぶ(ブ)bu  べ(ベ)be  ぼ(ボ)bo 

ぱ(パ)pa  ぴ(ピ)pi  ぷ(プ)pu  ぺ(ペ)pe  ぽ(ポ)po

ぎゃ(ギャ)gya      ぎゅ(ギュ)gyu      ぎょ(ギョ)gyo
しゃ(シャ)sha      しゅ(シュ)shu      しょ(ショ)sho
ちゃ(チャ)cha      ちゅ(チュ)chu      ちょ(チョ)cho
にゃ(ニャ)nya      にゅ(ニュ)nyu      にょ(ニョ)nyo
ひゃ(ヒャ)hya      ひゅ(ヒュ)hyu      ひょ(ヒョ)hyo
みゃ(ミャ)mya      みゅ(ミュ)my      みょ(ミョ)myo
りゃ(リャ)rya      りゅ(リュ)ryu      りょ(リョ)ryo
ぎゃ(ギャ)gya      ぎゅ(ギュ)gyu      ぎょ(ギョ)gyo
じゃ(ジャ)ja       じゅ(ジュ)jyu      じょ(ジョ)jo
ぢゃ(ヂャ)ja       ぢゅ(ヂュ)ju       ぢょ(ヂョ)jo

xiii
びゃ(ビャ)bya      びゅ(ビュ)byu      びょ(ビョ)byo
ぴゃ(ピャ)pya      ぴゅ(ピョ)pyu      ぴょ(ピョ)pyo
ん(ン)n

つ(ツ): menggandakan konsonan berikutnya, contoh: tt/kk/ss.

Contohnya そっか (sokka) dan そっと(sotto)


あ : Penanda bunyi panjang. Contohnya おばあさん (obaasan)
い : Penanda bunyi panjang. Contohnya おにいさん (oniisan)
う : (baca o) Penanda bunyi panjang. Contohnya ありがとう (arigatou)
え : Penanda bunyi panjang. Contohnya おねえさん (oneesan)
お : Penanda bunyi panjang untuk beberapa kata tertentu.
Contohnya おおい(ooi) dan おおき (ooki).
― : Penanda bunyi panjang pada penulisan bahasa asing (kata serapan dalam
bahasa Jepang). Contohnya コート (kooto).

Partikel :
は (ha) dibaca “wa”
を (wo) dibaca “o”
へ (he) dibaca “e”

DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman

xiv
2.1 Peta Semiotika Roland Barthes..................................................................10
2.2 Kakejiku Berdasarkan Konteks Pemakaian................................................17
2.3 Format Chagake Sou-style..........................................................................19
2.4 Idiom Zen Pada Bulan Januari....................................................................20
2.5 Idiom Zen Tidak Terikat Musim Atau Muki (無季)...................................22
2.6 Struktur Kakejiku .......................................................................................23
2.7 Seorang gadis sedang menatap kakejiku saat mengikuti chanoyu .............24
4.1 Kakejiku Wakeiseijaku................................................................................44
4.2 Hanko Atau Stempel...................................................................................46
4.3 Warna yang dipakai dalam Struktur Kakejiku............................................51
4.4 Kakejiku Taki-ga.........................................................................................58
4.5 Identitas Karya............................................................................................60
4.6 Furo dalam Chanoyu..................................................................................63
4.7 Kakejiku Kissako........................................................................................67
4.8 Chawan dan Chasahaku.............................................................................70
4.9 Kissako........................................................................................................70

xv
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
2.1 Tabel Semiotika Roland Barthes................................................................12
4.1 Analisis Semiotika Wakeiseijaku................................................................55
4.2 Analisis Semiotika Lingkaran Zen.............................................................56
4.3 Analisis Semiotika Stempel (hanko)..........................................................57
4.4 Analisis Semiotika 瀧 (taki).......................................................................65
4.5 Analisis Semiotika Stempel (hanko)..........................................................66
4.6 Analisis Semiotika Kissako........................................................................73
4.7 Analisis Semiotika Sumi-e..........................................................................74

xvi
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Jepang adalah salah satu negara yang selain dikenal sebagai negara yang

memiliki teknologi yang mutakhir, juga dikenal sebagai negara yang kental dengan

budaya tradisionalnya. Seiring dengan berkembangnya zaman, masyarakat Jepang

tetap memegang teguh adat istiadat mereka sehingga dapat dikatakan masyarakat

Jepang adalah masyarakat yang tradisional namun juga masyarakat yang modern.

Salah satu indikatornya yakni dengan masih banyaknya budaya tradisional yang tetap

dilestarikan, salah satunya budaya meminum teh atau dikenal dengan upacara minum

teh atau chanoyu.

茶 の 湯 (chanoyu) atau upacara minum teh adalah ritual tradisional Jepang

dalam menyajikan teh untuk tamu (Handayani, 2010:130). Chanoyu berasal dari kata

cha ( 茶 ) yang berarti teh dan yu ( 湯 ) yang berarti air panas, jadi chanoyu secara

harfiah adalah teh dengan air panas. Dalam ruangan chanoyu (upacara minum teh)

tersebut, terdapat suatu ruang yang sakral yang disebut dengan tokonoma. Tokonoma

adalah tempat untuk menampilkan kakejiku, ikebana, dan hiasan lainnya yang

disediakan di salah satu sudut ruangan bergaya Jepang (Takahashi Sasaki). Di dalam

ruangan tokonoma tersebut terdapat kakejiku yang digantung. Kakejiku adalah lukisan

1
2

gantung yang digunakan untuk menampilkan dan memamerkan lukisan, kaligrafi,

puisi, dan desain yang biasanya dibuat menggunakan kain sutra, sehingga fleksibel

dan dapat digulung untuk disimpan1. Kakejiku merupakan suatu karya seni yang

menampilkan lukisan atau kaligrafi Jepang yang didesain dengan tepi di bagian

belakang yang fleksibel (Nomura, 2015). Dalam tokonoma tersebut, kakejiku

merupakan fitur terpenting yakni sebagai focal point. Focal point dalam bahasa

arsitektur yakni elemen yang menarik perhatian karena lebih dramatik daripada

elemen lainnya2. Keberadaan focal point bukan untuk memfungsikan dirinya sebagai

elemen yang lebih penting dari yang lain, melainkan untuk memperkuat kejelasan

fungsi ruang, mengarahkan fokus, dan mempertajam konsep ruang3. Selain sebagai

focal point, kakejiku merupakan bagian terpenting dalam chanoyu (upacara minum

teh). Upacara minum teh mencerminkan kepribadian dan pengetahuan tuan rumah

yang mencakup antara lain tujuan hidup, cara berpikir, agama, apresiasi peralatan

upacara minum teh dan cara meletakkan benda seni di dalam chashitsu (ruangan

upacara minum teh) dan berbagai pengetahuan seni secara umum yang bergantung

pada aliran upacara minum teh yang dianut (Plutschow, 1986). Peletakkan benda seni

tersebut salah satunya adalah kakejiku. Terdapat salah satu pendeta Zen Buddhisme

yang membuat kakejiku untuk digunakan dalam ruangan chanoyu, yakni Kobayashi

Taigen.
1
Sam. Ciriciripohon:Sejarah Lukisan Gulung Jepang (kakejiku).
https://www.ciriciripohon.com/2020/02/lukisan-gulung-jepang.html
2
Meylanita, Joyce. Arsitag:Focal Point yang “Catchy”. https://www.arsitag.com/article/focal-point-
yang-catchy diakses pada 16/1/2020
3
Meylanita, Joyce. loc. it.
3

Kobayashi Taigen (1938-sekarang) merupakan seorang seniman dan juga

pendeta Zen Buddhisme. Saat ini, Taigen menduduki sebagai kepala kuil Obai, yakni

salah satu cabang dari kuil Daitokuji, Kyoto. Kuil Daitokuji adalah sekolah yang

didirikan oleh Rinzai, pendeta Zen (Baker, 2013:44). Alasan penulis memilih

kakejiku karya Kobayashi Taigen, yakni Kobayashi merupakan pendeta Zen

Buddhisme yang terkemuka di Jepang dan memiliki garis keturunan murid dari Sen

no Rikyu yakni master tea untuk Nobunaga Oda dan Hideyoshi Toyotomi sehingga

memiliki ajaran yang murni tentang konsep Zen Buddhisme yang diajarkan oleh Sen

no Rikyu itu sendiri. Sen no Rikyu memperkenalkan konsep wabicha melalui

chagake, yakni kakejiku dalam ruangan chanoyu. Karya yang Taigen ciptakan

merepresentasikan ajaran Zen Buddhisme yang juga sepaham dengan Sen no Rikyu.

Zen adalah sebuah nama yang berasal dari bahasa Sansekerta yaitu dhyana

berarti meditasi (Shoshitsu, 1988 : 96). Karya kakejiku yang dibuat oleh Taigen

tersebut mempunyai ciri khas mulai dari gaya penulisan yang berbeda dimana tak

hanya menonjolkan kaligrafi dengan gaya penulisan yang meliuk-liuk atau dalam

istilah kaligrafi Jepang (shodo) dinamakan gyousho style dan sousho style saja, tetapi

juga menambahkan lukisan sumi-e sebagai ilustrasi dari pesan yang ingin

disampaikan. Sumi-e adalah kuas dan lukisan tinta (Anderson, 1991:295). Lukisan

sumi-e hanya mengandalkan tinta hitam yang bertujuan untuk memperlihatkan isi dari

lukisan tersebut, dan tidak mencolok atau berwarna-warni. Selain itu, karya milik

Taigen banyak dipakai dalam chanoyu. Di antara karya tersebut, terdapat tiga
4

kakejiku yakni wakeiseijaku 和 (wa atau harmoni), 敬 ( kei atau rasa hormat), 清

(sei atau kemurnian, kebersihan), 寂 (jaku atau ketenangan), kakejiku taki-ga (air

terjun), dan kakejiku kissako (mari minum teh).

Penulis memilih kakejiku sebagai objek penelitian karena kakejiku merupakan

salah satu karya seni yang memiliki banyak makna yang tersimpan yang tidak

diketahui oleh khalayak, bahkan untuk orang Jepang pada umumnya. Penggunaan

kakejiku dalam ruangan chanoyu memiliki suatu pesan dan filosofi dan tidak hanya

dijadikan sebagai pajangan karya seni saja, tetapi juga sebagai tema dalam chanoyu

sehingga diharapkan untuk menjadi bahan renungan bagi para pelaku chanoyu

berdasarkan pesan yang ditampilkan, khususnya lewat karya yang Taigen. Alasan

lainnya, penelitian maupun literatur tentang kakejiku masih sedikit dan sebagian besar

hanya membahas mengenai sejarahnya saja sehingga penulis melakukan observasi

langsung dengan mengikuti kegiatan chanoyu, mengunjungi pameran seni berupa

kakejiku di Jepang, hingga membeli kakejiku agar lebih mudah untuk dilakukan

pembedahan sehingga memudahkan dalam proses pengumpulan data.

Untuk menemukan makna dari kakejiku, penulis menggunakan teori semiotika

Roland Barthes sebagai landasan teori dalam penelitian ini. Istilah semiotika berasal

dari yunani “semion” yang berarti “tanda”. Analisis Semiotika Roland Barthes

mengkaji tanda dan bagaimana tanda itu bekerja, pemikiran ini didasari oleh

pemikiran Saussure mengenai tanda yang dibaginya menjadi penanda dan petanda,

dimana analisis Barthes dibagi menjadi beberapa tahap analisis yaitu denotasi,
5

konotasi, dan mitos. Dalam semiotika Roland Barthes, makna denotasi dan konotasi

memiliki peranan yang penting. Pada tingkat denotasi, bahasa memunculkan kode

kode sosial yang makna tandanya segera tampak ke permukaan berdasarkan

hubungan penanda dan petandanya. Sebaliknya, pada tingkat konotasi, bahasa

menghadirkan kode-kode yang makna tandanya bersifat tersembunyi (implisit).

Selain makna denotatif dan konotatif, Roland Barthes juga menjelaskan tentang

mitos. Mitos merupakan sarana komunikasi dan mitos digunakan untuk

menyampaikan suatu pesan. Tetapi harus kita tekankan juga bahwa mitos bukanlah

suatu objek, konsep, ataupun ide. Namun mitos adalah suatu penandaan dari sebuah

bentuk (Barthes, 2006: 152).

Berdasarkan teori semiotika Roland Barthes yang terdiri dari beberapa

tingkatan yakni denotasi, konotasi, dan mitos inilah penulis bermaksud untuk

menemukan makna apa saja yang ada dalam kakejiku karya Kobayashi Taigen dalam

ruangan chanoyu, khususnya pada kakejiku wakeiseijaku, kakejiku taki-ga, dan

kakejiku kissako yang ditampilkan dalam honshi (karya utama).

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan penjelasan latar belakang di atas, muncul berbagai permasalahan

yang akan dibahas, yakni makna denotasi, makna konotasi, dan makna mitos apa saja
6

yang ada pada kakejiku wakeiseijaku, kakejiku taki-ga, dan kakejiku kissako karya

Kobayashi Taigen dalam ruangan chanoyu.

1.3 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk memberikan kegunaan dari segi teoretis untuk

lebih mengetahui makna dari kakejiku wakeiseijaku, kakejiku taki-ga, dan kakejiku

kissako karya Kobayashi Taigen dalam ruangan chanoyu.

1.4 Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini dibagi menjadi 2, yaitu:

1. Manfaat Teoretis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat teoretis bagi

penulis untuk menambah wawasan pengetahuan dalam budaya Jepang

mengenai pemaknaan kakejiku wakeiseijaku, kakejiku taki-ga, dan kakejiku

kissako karya Kobayashi Taigen dalam ruangan chanoyu dengan

menggunakan teori semiotika Roland Barthes.

2. Manfaat Praktis

Penelitian ini diharapkan mampu menambah referensi bagi pembaca

dan peneliti dalam bidang budaya terutama mengenai makna yang terkandung
7

dalam kakejiku wakeiseijaku, kakejiku taki-ga, dan kakejiku kissako karya

Kobayashi Taigen dalam ruangan chanoyu.

1.5 Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup permasalahan dalam penelitian ini adalah penulis akan

meneliti pemaknaan kakejiku karya Kobayashi Taigen, khususnya pada kakejiku

wakaseijaku, kakejiku taki-ga (air terjun), dan kakejiku kissako (mari minum teh)

yang digunakan oleh orang Jepang dalam ruangan chanoyu dengan menggunakan

teori semiotika Roland Barthes. Poin-poin yang akan diteliti mengenai makna dari

honshi (karya utama) beserta pemilihan warna yang digunakan dalam kakejiku.

1.6 Definisi Istilah Kunci

Beberapa definisi istilah kunci yang digunakan dalam penelitian ini, sebagai

berikut:

1. Chanoyu (茶の湯 ) atau upacara minum teh adalah ritual tradisional Jepang

dalam menyajikan teh untuk tamu (Handayani, 2010: 130).

2. Kakejiku merupakan suatu karya seni yang menampilkan lukisan atau

kaligrafi Jepang yang didesain dengan tepi di bagian belakang yang fleksibel

(Nomura, 2015).
8

3. Zen adalah sebuah nama yang berasal dari bahasa Sansekerta yaitu dhyana

berarti meditasi (Shoshitsu, 1988: 96)

4. Semiotika adalah ilmu tentang bentuk, sebab ia mempelajari penandaan

secara terpisah dari kandungannya (Barthes, 2006: 156).


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Semiotika Roland Barthes

Dalam dunia semiotik, Ferdinand de Saussure yang berperan besar dalam

pencetusan strukturalisme, ia juga memperkenalkan konsep semiologi (Saussure,

1972: 33). Semiologi adalah ilmu tentang bentuk, sebab ia mempelajari penandaan

secara terpisah dari kandungannya (Barthes, 2006: 156). Sebenarnya, semiotika dan

semiologi memiliki arti yang sama, namun hanya berbeda penamaan.

Analisis Semiotika Roland Barthes mengkaji tanda dan bagaimana tanda itu

bekerja, pemikiran ini didasari oleh pemikiran Saussure mengenai tanda yang

dibaginya menjadi penanda dan petanda, dimana analisis Barthes dibagi menjadi

beberapa tahap analisis yaitu denotasi, konotasi, dan mitos. Sistem denotasi adalah

sistem pertandaan tingkat pertama, yang terdiri dari rantai penanda dan petanda,

yakni hubungan materialitas penanda dan konsep abstrak yang ada di baliknya.

Menurut Barthes, pada tingkat denotasi, bahasa memunculkan kode kode sosial

yang makna tandanya segera tampak ke permukaan berdasarkan hubungan penanda

dan petandanya. Sebaliknya, pada tingkat konotasi, bahasa menghadirkan kode-

kode yang makna tandanya bersifat tersembunyi (implisit). Makna tersembunyi ini

adalah makna yang menurut Barthes merupakan kawasan ideologi atau mitologi
10

(Sobur 2009:69). Mitologi adalah studi tentang tipe wicara, maka sesungguhnya ia

adalah suatu bagian dari ilmu tanda4. Menurut Barthes semiotik adalah mengenai

bentuk (form). Analisis semiotik yang dikemukakan oleh Roland Barthes tidak

hanya terpaku pada penanda dan petanda, akan tetapi menganalisis makna dengan

denotatif dan konotatif.

Denotasi adalah tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan antara

signifier dan signified, atau antara tanda dan rujukannya pada realitas, yang

menghasilkan makna yang eksplisit, langsung, dan pasti. Sedangkan konotasi

adalah tingkat pertandaan yang mejelaskan hubungan antara signifier dan signified,

yang di dalamnya beroperasi makna yang tidak eksplisit, tidak langsung, dan tidak

pasti (artinya terbuka bagi segala kemungkinan). Barthes menciptakan peta tentang

bagaimana tanda bekerja (Cobley & Jansz, 1999 dalam Sobur, 2009: 69).

Gambar 2.1 Peta Semiotika Roland Barthes

4
Barthes, Roland. (2006). Mitologi: Yogyakarta: Kreasi Wacana Perum Sidorejo Bumi
Indah (SBI).
11

Dari peta Barthes di atas terlihat bahwa tanda denotatif (3) terdiri atas

penanda (1) dan petanda (2). Akan tetapi, pada saat bersamaan, tanda denotatif adalah

juga penanda konotatif (4). Jadi, dalam konsep Barthes, tanda konotatif tidak sekadar

memiliki makna tambahan namun juga mengandung kedua bagian tanda denotatif

yang melandasi keberadaannya (Sobur, 2009: 69).

Pada dasamya, ada perbedaan antara denotasi dan konotasi dalam pengertian

secara umum serta denotasi dan konotasi yang dipahami oleh Barthes. Di dalam

semiotika Barthes dan para pengikutnya, denotasi merupakan sistem signifikasi

tingkat pertama, sementara konotasi merupakan tingkat kedua. Dalam hal ini denotasi

justru lebih diasosiasikan dengan ketertutupan makna. Sebagai reaksi untuk melawan

keharfiahan denotasi yang bersifat opresif ‘absolut’ ini, Barthes mencoba

menyingkirkan dan menolaknya. Baginya yang ada hanyalah konotasi. Ia lebih lanjut

mengatakan bahwa makna “harfiah” merupakan sesuatu yang bersifat alamiah

(Budiman, 2011: 22).

Selain makna denotatif dan konotatif Roland Barthes juga menjelaskan

tentang mitos. Mitos merupakan sarana komunikasi dan mitos digunakan untuk

menyampaikan suatu pesan. Tetapi harus kita tekankan juga bahwa mitos bukanlah

suatu objek, konsep, ataupun ide. Namun mitos adalah suatu penandaan dari sebuah

bentuk (Barthes, 2006: 152). Mitos penanda dapat dilihat dari dua sudut pandang:

sebagai istilah terakhir dari sistem linguistik, atau sebagai istilah pertama dari sistem
12

mitis5. Hakikat penandaan mitis dapat dipahami berdasarkan satu kiasan khusus: dia

tidak kurang atau lebih arbitrer ketimbang sebuah ideograf.

Untuk membedah mitos, berikut adalah tabel Roland Barthes dengan rincian

sebagai berikut:

1. Penanda 2. Petanda
Bahasa
3. Tanda
MITOS I. PENANDA II. PETANDA
III. TANDA
Tabel 2.1 Tabel Semiotika Roland Barthes

Dari gambar di atas dapat dilihat kalau dalam mitos terdapat dua sistem

semiologis, di mana salah satu sistem tersebut disusun berdasarkan keterpautannya

dengan yang lain: sistem linguistik, bahasa (atau mode representasi yang dipandang

sama dengannya) akan saya sebut dengan istilah metabahasa, karena ia adalah bahasa

kedua, tempat dimana bahasa yang pertama dibicarakan6. Dalam bukunya mitologi,

(2006: 184-185), Roland Barthes mengurai mitos menjadi tiga model, yakni sebagai

berikut:

1. Tipe pembacaan produsen mitos

Tipe pemfokusan seorang jurnalis yang memulai kerjanya dari konsep

dan berusaha mencari bentuk di dalamnya. Sebagai contoh, serdadu negro

yang sedang hormat merupakan contoh dari imperial perancis.

5
Barthes, op. cit., hlm 164
6
Barthes, op. cit,. hlm 162
13

2. Tipe pemfokusan seorang mitolog

Model pemfokusan seorang mitolog: dia menguraikan mitos,

memahaminya sebagai distorsi. Sebagai contoh, penghormatan serdadu

negro menjadi alibi bagi imperialitas perancis.

3. Tipe seorang pembaca mitos

Tipe ini lebih memfokuskan pembacaan pada penanda mitis sebagai

sesuatu yang secara utuh terdiri dari makna dan bentuk, yang berarti

menerima penandaan yang ambigu. Sebagai contoh, serdadu negro yang

sedang hormat itu bukan lagi jadi sebuah contoh atau simbol, dan tidak

pula sebagai alibi: dia benar-benar merupakan kehadiran imperialitas

perancis.

Dua tipe pemfokusan pertama bersifat statis dan analitis; keduanya

menghancurkan mitos, baik dengan mengungkapkan maksud mitos itu, ataupun

dengan cara membuka kedoknya: yang pertama bersifat sinis, yang kedua mende-

mistifikasi. Tipe pemfokusan yang ketiga bersifat dinamis, ia mengonsumsi mitos

sesuai dengan tujuan struktur mitos itu sendiri: pembaca menghidupkan mitos sebagai

cerita yang benar dan tidak realistis sekaligus 7. Jika seseorang ingin menjelaskan

skema mitis dengan sejarah umum, menjelaskan bagaimana kaitan skema tersebut

dengan kepentingan masyarakat tertentu, pendek kata, berjalan dari semiologi menuju

ideologi, maka jelas sekali bahwa orang itu harus menempatkan dirinya pada tipe

7
Ibid., 185
14

pemfokusan yang ketiga: pembaca sendirlah yang harus mengungkapkan fungsi

esensialnya.8

Mitos Roland Barthes muncul dikarenakan adanya persepsi dari Roland

sendiri bahwa dibalik tanda-tanda tersebut terdapat makna yang misterius yang

akhirnya dapat melahirkan sebuah mitos (Sobur, 2009: 69). Jadi intinya bahwa mitos-

mitos yang dimaksud oleh Roland Barthes tersebut muncul dari balik tanda-tanda

dalam komunikasi sehari hari, baik tertulis maupun melalui media cetak.

2.2 Kakejiku

2.2.1 Sejarah Kakejiku

Penggunaan kakejiku dalam budaya Jepang tersebut mulai

diperkenalkan pada Zaman Kamakura (1185-1333) seiring dengan

berkembangnya Buddhisme Zen dan chanoyu di Jepang. Dalam sejarahnya,

bangsa Jepang sudah memiliki kontak budaya dengan negara asing. Letak

geografis Jepang membuat kebudayaannya banyak dipengaruhi oleh Cina

sehingga masyarakat Jepang mendapat banyak pengaruh dari ajaran Buddha

aliran Zen. Zen adalah sebuah nama yang berasal dari bahasa Sansekerta yaitu

dhyana berarti meditasi (Shoshitsu, 1988:96).

8
Ibid., 186
15

Pada awalnya, misionaris Buddha menyebarkan ajaran mereka dengan

berbagai macam cara agar orang Jepang tertarik terhadap agama Buddha.

Kakejiku menjadi pilihan alternatif, terutama untuk menampilkan gambar

Buddha untuk ibadah atau sebagai cara untuk menampilkan kaligrafi atau

karya sastra dari Cina. Kemudian, kakejiku tersebut diperkenalkan ke Jepang

sebagai misi untuk menyebarkan agama Buddha karena kakejiku terkesan

dapat digulung dan mudah dibawa.

Pada Zaman Muromachi (1334-1573), gaya arsitektur asli rumah

Jepang mengalami perkembangan yang pesat. Karena perkembangan itulah

muncul suatu ruangan khusus yang dikhususkan untuk kakejiku yang disebut

dengan Tokonoma. Sebagaian dari karya seni, termasuk kakejiku ditampilkan

pada ruangan tersebut. Tokonoma dianggap sebagai ruang yang

menghubungkan seni dan kehidupan sehari-hari.

Pada Zaman Azuchi-Momoyama (1573-1603), terdapat dua penguasa

besar yang mewakili pada zaman ini, yakni Nobunaga Oda dan Hideyoshi

Toyotomi. Mereka sangat menyukai chanoyu. Bapak seni minum teh Jepang

adalah Sen no Rikyu, seorang tea master untuk Oda Nobunaga-samurai

penguasa Jepang yang sangat menyukai teh dan Hideyoshi Toyotomi dan

seterusnya (Somantri, 2014: 87). Upacara minum teh tersebut biasanya

dilakukan di dalam chasitsu (ruangan chanoyu). Di dalam chasitsu tersebut

sudah pasti tersedia tokonoma. Antara chasitsu dengan tokonoma adalah satu
16

kesatuan yang tak dapat dipisahkan dan peranan kakejiku sangat penting dalam

chanoyu tersebut. Gaya arsitektur dari tokonoma tersebut didirikan dan

dikembangkan pada zaman ini. Pada zaman ini pula teknik lukisan dan

pemasangan kakejiku juga dikembangkan karena kakejiku selalu ditampilkan

di ruangan tersebut.

Pada Zaman Edo (1603-1686), adalah zaman yang dapat dikatakan

sebagai zaman yang damai karena pada zaman ini hanya terjadi beberapa

perang besar dibandingkan dengan zaman sebelumnya. Karena periode yang

begitu damai inilah mengakibatkan berbagai macam kebudayaan Jepang

mencapai kematangannya, termasuk kakejiku. Banyak pelukis terkenal yang

lahir dari zaman tersebut dan juga saling berkompetisi satu sama lain. Hal ini

juga menyebabkan pemakaian kakejiku menjadi populer di kalangan

masyarakat Jepang.

2.2.2 Jenis-jenis Kakejiku

Pada dasarnya kakejiku memiliki berbagai jenis berdasarkan formatnya 9.

Format ini dinamakan Yamato Hyōsō(大和表装) . Format ini terdiri dari

Shin-style ( 真 ) , gyou-style ( 行 ), dan sou-style ( 草 ). shin-style pada

umumnya dipakai untuk menampilkan lukisan Buddha. Kakejiku jenis ini

biasanya dipajang dalam o-tera (kuil Buddha) dan mengandung corak yang

9
Nomura, Tatsuji. Yamato-style Mounting. http://nomurakakejiku.com/lesson_lineup/yamato-style-
mounting Diakses pada tanggal 16/1/2020
17

mencolok dengan motif khas agama Buddha yang disebut butsu-ga.

Kemudian, kakejiku gyou-style pada umumnya dipakai untuk menulis

kaligrafi shodo dan nihon-ga (lukisan Jepang) yang biasanya dipamerkan pada

pameran seni di Jepang, sedangkan kakejiku yang dipakai pada ruangan

chanoyu yakni sou-style. Kakejiku tersebut dari strukturnya diperkenalkan oleh

Sen no Rikyu. Kakejiku sou-style ini kemudian dikategorikan menjadi chagake

yakni kakejiku yang dipakai dalam chanoyu. Hal ini tergambarkan dalam

gambar berikut:

Gambar 2.2 Kakejiku berdasarkan konteks pemakaian10

Pada gambar 2.2 di atas, adalah bentuk dasar dari kakejiku. Hal tersebut

menunjukan perbedaan dari kakejiku selain berdasarkan formatnya, konteks

10
Art Home, (2018). Asu e no Tobira: kyo hyougu hyougu-shi https://youtu.be/0Pj29WQn6M8 Diakses
pada tanggal 3/1/2020
18

pemakaiannya pun berbeda. Hyōsō adalah teknik yang digunakan dalam pembuatan

kakejiku. Format tersebut terdiri dari butsu hyōsō (佛表装), yamato hyōsō (大和表

装), chagake hyōsō (茶掛け表装). Dalam tahap awal pembuatan kakejiku, hyougu-

shi (pengrajin kakejiku) menentukan teknik hyōsō sesuai dengan konteks

pemakaiannya. Apakah kakejiku tersebut untuk ditampilkan pada kuil Buddha,

pameran, atau untuk kegiatan chanoyu, sesuai dengan order dari si pembuat karya.

2.2.3 Chagake (kakejiku dalam chanoyu)

Sen no Rikyu memperkenalkan kakejiku khusus dalam chanoyu yang

disebut chagake yang mengajarkan filosofi Zen. Chagake yang digunakan

memiliki beberapa format. Format tersebut sesuai pada gambar berikut:


19

Gambar 2.3 format chagake sou-style11

Pada gambar 2.3, merupakan format chagake yang digunakan pada

umumnya dalam chanoyu. Format tersebut berasal dari sou-style. Sou-style

adalah format kakejiku yang digunakan untuk kaligrafi dan lukisan yang ditulis

oleh master of tea ceremony (master teh)12. Sou-style terdiri dari sou-no-gyo dan

sou no sou.

Selain itu, dalam chagake, haiku (puisi Jepang) maupun kalimat Zen yang

digunakan ada yang berdasarkan perbulannya dalam suatu musim maupun tidak

terikat dengan musim atau muki (無季). Sebagai contoh, pada bulan Januari, kalimat

Zen yang digunakan yakni digunakan sebagai berikut:

11
Nomura, Tatsuji. Yamato-style Mounting. http://nomurakakejiku.com/lesson_lineup/yamato-style-
mounting Diakses pada tanggal 17/1/2020
12
Nomura, Tatsuji. Yamato-style Mounting. http://nomurakakejiku.com/lesson_lineup/yamato-style-
mounting Diakses pada tanggal 16/1/2020
20

Gambar 2.4 Idiom Zen yang digunakan pada bulan Januari13

Sebagai contoh pada gambar 2.4 di atas, terdapat beberapa ungkapan ajaran

Zen pada bulan Januari, sebagai salah satu contoh, hii-dete-kenkon-kagayaku (日出乾

坤 輝 ) memiliki arti “dunia bersinar ketika diterangi oleh cahaya matahari terbit”.

Maksudnya adalah “karena ketidaktahuan, orang terkadang tenggelam ke dalam

keputusasaan, tetapi mereka yang percaya pada keberadaan matahari di hatinya,

mereka akan segera dapat melihat fajar”.

Tidak hanya pada bulan Januari saja, terdapat pula kalimat ajaran Zen untuk

bulan februari dan seterusnya. Selain itu, terdapat chagake yang menampilkan

kalimat ajaran Zen yang tidak terikat dengan musim, yakni muki (無季). Maksud dari

tidak terikat musim di sini adalah kalimat Zen tersebut dapat dipakai di setiap musim.

Mulai dari musim semi, gugur, panas, sampai dengan musim dingin. Pemilihan

kalimat tersebut lebih familiar dan lebih dikenal. Selain itu, Kalimat ini lebih sering

digunakan dalam chanoyu. Berikut adalah contoh dari kalimat muki ( 無 季 ) dalam

gambar berikut:

13
Manrakudo. Zengo Are kore https://www.manrakudo.co.jp/zengo Diakses pada tanggal 3/1/2020
21

Gambar 2.5 Idiom Zen tidak terikat musim atau muki (無季)14

Pada gambar 2.5 merupakan idiom yang diajarkan Zen yang pada umumnya

digunakan dalam chanoyu. Kalimat tersebut seperti ichi-go-ichi-e ( 一期 一会 ) atau

satu kali kesempatan. Idiom ini berasal dari tradisi upacara munum teh dan budaya

Zen, yang memiliki arti sebuah pertemuan hanya akan terjadi satu kali dalam seumur

hidup, dan tidak akan terulang lagi, dan merupakan momen yang berharga.

Kemudian, terdapat idiom kissako (喫茶去) atau ‘mari minum teh’. Idiom ini banyak

digunakan dalam upacara chanoyu. Kissako memiliki arti siapa saja boleh meminum

teh di sini15. Selain itu, terdapat idiom wakeiseijaku (和敬清寂) yakni, 和 (wa atau

Manrakudo. Zengo Are kore https://www.manrakudo.co.jp/zengo Diakses pada tanggal 3/1/2020


14

15
Barakan, (2013). Begin Japanology: Hanging Scroll The Art of Impermanence. Tokyo: NHK.
https://www.youtube.com/watch?v=PdkN3yWctBg&t=4s ) diakses pada 18/11/2019
22

harmoni), 敬 (kei atau rasa hormat), 清 (sei atau kemurnian, kebersihan), 寂 (jaku

atau ketenangan). Idiom ini merupakan prinsip yang harus dijalankan dalam chanoyu.

Selain itu juga terdapat banyak idiom lainnya, selain yang di atas penulis telah

cantumkan.

2.2.4 Struktur Kakejiku

Kakejiku memiliki struktur yang dalam masing-masing bagiannya

memiliki suatu fungsi. Struktur tersebut terlihat pada gambar berikut.

Ten (bagian atas)

Fuutai arti secara harfiah


yakni strip panjang yang
berpasangan. Dengan makna
konotasi sebagai ular.

Hashira berarti pilar

Honshi atau karya utama.


Memiliki makna konotasi
sebagai representasi dari
hati.

Chi (bagian bawah)

Gambar 2.6 Struktur kakejiku


23

Pada gambar 2.6 di atas, terdapat bagian-bagian dari kakejiku, yakni dimulai dari

bagian atas (ten), bagian tengah terdapat hashira (pilar), fuutai (strip panjang

berpasangan), dan pada bagian bawah terdapat chi. Pada bagian ten (atas), terlihat

lebih panjang daripada bagian chi (bawah). Hal ini ditujukan agar karya dari kakejiku

dapat dilihat secara keseluruhan saat sedang seiza (duduk) maupun berdiri. Hal ini

ditunjukan seperti gambar berikut.

Gambar 2.7 Seorang gadis sedang menatap kakejiku saat mengikuti chanoyu16

Pada gambar 2.7 di atas, terlihat seorang gadis sedang menatap

kakejiku yang sedang digantung. Kakejiku dengan bagian atas yang lebih

panjang dibuat dengan tujuan karya dapat terlihat lebih jelas. Pada bagian

kakejiku selanjutnya, terdapat hashira dan fuutai pada bagian tengah. Pada

Yoshimura, Tomomi, dkk. (Producer), & Omori, Tatsuhi. (director). (2018). Everyday a Good Day.
16

Tokyo Theatres.
24

chagake (nama lain kakejiku dalam chanoyu), ukuran lebar hashira lebih

terlihat tipis. Hal ini sebagai bentuk kesederhanaan wabi sabi yang

diperkenalkan oleh Sen no Rikyu. Bentuk kesederhanaan itu sejalan dengan

kesederhanaan dalam chanoyu. Goto dalam video Asu e No Tobira,

menjelaskan hashira sebagai berikut:

千利休が―柱を細くしわびさびを表現したと伝えられている
Terjemahan:
Sen no Rikyu menipiskan hashira untuk mengekspresikan wabi sabi.

Konsep wabi sabi secara harfiah yakni 詫び (wabi atau kesederhanaan) dan

寂 び (sabi atau ketenangan). Jika kata wabi dan sabi disatukan, maka wabi-sabi

dapat diartikan sebagai ”ketidaksempurnaan, ketidaktetapan, dan ketidaklengkapan.

Selain hashira, terdapat juga fuutai (strip panjang berpasangan). Menurut Peter

Barakan dalam Begin Japanology, (2017) Hanging Scroll: The Art of Impermanence

berkata:

In the old days long strip resembling snakes were attached to scrolls these
were intended to scare away the swallows the often nestin the eaves our
buildings. The two stripesof fabric are a vestige of that practice.
Terjemahan:
“Di masa lalu, strip panjang yang menyerupai ular dilampirkan pada
gulungan, ini dimaksudkan untuk menakut-nakuti burung walet yang sering
bersarang di atap bangunan kami. Dua garis kain adalah sisa dari praktik itu”.
25

Berdasarkan penjelasan di atas, fungsi dari fuutai dalam kakejiku tidak hanya

untuk fungsi estetika belaka, tetapi juga memiliki tujuan untuk menghindari kakejiku

dari burung, dan kini fuutai tetap dipertahankan ke dalam kakejiku hingga saat ini.

2.3 Zen Buddhisme

Selama periode politik isolasi Jepang (sakoku) yang diterapkan di Jepang,

berbagai bentuk seni berkembang secara spesifik karena ada pengaruh yang kuat oleh

Zen. Kemudian, Zen juga memberikan pengaruhnya terhadap lukisan tinta (sumi-e),

kaligrafi (shodo), chanoyu (upacara minum teh), ikebana (seni merangkai bunga),

taman zen (zen garden) dan lainnya.

Zen (禅) berasal dari kata Cina yakni Ch’an yang diambil dari kata Sansekerta

disebut dhyana. Ch’an atau Zen diajarkan pertama kali oleh Bodhidharma yang

berasal dari India (Purser, 2013: 36). Dhyana berarti keadaan batin menunggal atau

menyatu dalam meditasi. Keadaan ini tercapai setelah konsentrasi penuh. Shoshitsu

(1988: 96) menjelaskan Zen, sebagai:

「禅」というのは、サンスクリットのジャーナから由来する名称であ
る。ジャーナは瞑想を意味する。専一に瞑想することによって至上の
自己了解に到達することができる、というのが禅の主張するところで
ある。瞑想は仏の悟りに入るための六つの道のなかの一つである。
Arti:
Zen adalah sebuah nama yang berasal dari bahasa Sansekerta yaitu dhyana.
Dhyana berarti meditasi. Zen menuntut untuk dapat mencapai tingkat
memahami diri sendiri serta mempertahankan Zen itu sendiri dengan meditasi.
26

Meditasi merupakan salah satu dari enam jalan menuju pencerahan sang
Buddha.

Pada dasarnya ajaran Zen lebih berorientasi pada meditasi. Orang Jepang

mengamalkan ajaran tersebut selain untuk diri sendiri, beberapa perusahaan di Jepang

menggunakan meditasi Zen pada perusahaan sebelum jam kerja dimulai. Selain itu,

ajaran Zen banyak memengaruhi seni kebudayaan Jepang. Hal ini sesuai dengan

pendapat Shiratori (2007: 195) yang mengungkapkan:

元々は中国からの輸入ではあるが、道元と栄西がそれを日本的な禅宗
にし、結局は茶道・華道・能など禅的な文化をつくることになったの
である。
Arti:
Awalnya Zen berasal dari Cina, namun oleh Dogen dan Eisai diubah menjadi
agama Buddha Zen Jepang sehingga pada akhirnya chado, kado dan noh
menjadi kebudayaan Zen.

Menurut Engel (dalam Antariksa, 2002: 54), Zen telah memengaruhi segala

aspek kehidupan orang Jepang, tidak hanya berhubungan dengan seni, lembaga

sosial, pemerintahan, namun juga berhubungan dengan arsitektur dan seni

pertamanan (Zen garden). Seni klasik Zen seperti lukisan, kaligrafi (shodo), upacara

minum teh (chanoyu), puisi, serta taman Jepang dipandang sebagai ekspresi dan cara

untuk menerangkan pikiran agar bebas dari hambatan dan ikatan. Banyak ahli Zen

yang juga terkenal sebagai penulis kaligrafi, penulis puisi, pelukis, maupun pemusik

(Purser, 2013: 37-38).


27

Terdapat tujuh karakteristik dalam Zen menurut Hisamatsu, di antaranya

adalah fukinsei (asimetris), kanso (kesederhanaan), shizen (kealamian), dan datsuzoku

(bebas dari ikatan), dan Seijaku (Ketenangan). Masing-masing karakteristik memiliki

makna yang sama pentingnya. Pada sub bab di bawah ini terdapat makna karakteristik

tersebut.

1. Fukinsei atau Asimetris

Fukinsei (不均斉) berarti asimetris atau ketidakteraturan. Makna dari fukinsei

tersebut yakni membuang hawa nafsu yang berorientasi pada yang ideal.

Kesempurnaan tersebut berarti menerima ketidaksempurnaan itu sendiri.

Karakteristik ini muncul karena Zen Buddhisme tidak mengejar suatu

kesempurnaan17. Dalam segi bentuk, asimetris berartu bentuk yang tidak sama,

tidak lurus, tidak rata, dan tidak seimbang. Dengan kata lain, asimetris adalah

bentuk yang apa adanya18.

Menurut Hisamatsu (dalam Zhao, 2009: 14), asimetris berarti tidak teratur,

tidak rata, atau tidak seimbang. Bentuk simetris dinyatakan dengan lingkaran.

Namun, ada bentuk lingkaran yang sisinya tidak rata dan tidak seimbang. Bentuk

lainnya adalah bentuk segi empat yang panjang sisinya tidak sama. Bentuk yang

sisinya tidak sama atau tidak seimbang dapat dikatakan asimetris. Suatu benda

atau karya seni yang memiliki bentuk sedikit kurang sempurna justru berharga

lebih tinggi daripada yang sempurna, misalnya seperti dapat dilihat pada
17
Fakhriana, (2015). Nilai Estetika Zen pada Fusuma dalam Arsitektur Jepang. Yogyakarta: UGM.
18
Hisamatsu, Shinichi. Zen and the Fine Arts.
28

permukaan chawan yang kurang halus atau lingkaran chawan yang tidak seratus

persen bundar (Plutschow, 1999).

Di dalam seni ikebana dan kaligrafi terdapat tiga gaya, yaitu formal, semi

formal, dan informal. Asimetris dapat dikatakan informal, sedangkan simetris

digambarkan dengan gaya formal. Hal ini menjadi nilai estetika dalam budaya

Jepang. 19

2. Kanso (簡素) atau kesederhanaan

Kanso ( 簡 素 ) merupakan karakteristik kedua yang berarti kesederhanaan.

Menurut Hisamatsu (dalam Zhao, 2009: 14), kesederhanaan merupakan sesuatu

yang tidak menyolok. Kesederhanaan dalam warna berarti warna tersebut tidak

menyolok dan tidak terlihat adanya perbedaan warna. Sebagai contoh, dalam

lukisan, tinta yang digunakan adalah tinta hitam Cina. Lukisan tersebut hanya

mengandalkan tinta hitam yang bertujuan untuk memperlihatkan isi dari lukisan

tersebut, dan tidak mencolok serta berwarna-warni. Sebagai contoh lukisan hitam

putih pada sumi-e. Penggunaan kanso terdapat pada Zen garden, seni lukis sumi-

e, seni bonsai, dan seni keramik.

3. Kokou (孤高) atau Menjadi Kering

Karakteristik kokou dapat diartikan menjadi kering, menjadi ciut, dan lapuk.

Menurut Hisamatsu (dalam Zhao, 2009: 15), Secara singkat kokou berarti telah

19
Fakhriana, (2015). Nilai Estetika Zen pada Fusuma dalam Arsitektur Jepang. Yogyakarta: UGM.
29

berpengalaman dalam kehidupan atau kedewasaan dalam kehidupan suatu kondisi

yang memperlihatkan suatu kematangan yang jauh dari kesan ketidakterampilan

atau kesan tidak berpengalaman atau lebih dimakan usia dan hanya tersisa intisari.

Kokou dapat dilihat pada pohon cemara tua yang melewati waktu yang

menghadapi terpaan panas, angin, hujan dan badai. Cabang-cabang pohon cemara

tua telah kehilangan kesegaran kulitnya, namun hal tersebut memunculkan suatu

keindahan tersendiri. Tua pada nilai kokou tersebut memiliki makna lain yang

berarti mencapai tingkat yang tertinggi dalam seni yang berarti hal tersebut hanya

bisa dicapai oleh master dan bukan seorang pemula atau orang yang belum

berpengalaman dalam bidangnya (Hisamatsu 1971: 29). Sebagai contoh, master

tea ceremony memiliki pengalaman yang didapatkan dalam jangka waktu yang

lama sehingga bisa menjadi seorang master.

4. Shizen (自然) atau Kealamian

Menurut pendapat Hisamatsu (dalam Zhao 2009: 15), shizen ( 自 然 ) berarti

sesuatu yang alami, wajar, natural, atau bukan buatan. Kealamian tersebut sama

dengan tidak adanya paksaan atau tidak ada maksud tertentu. Kealamian yang

sesungguhnya adalah tanpa pikiran atau tanpa tujuan yang muncul dari

penyangkalan yang polos atau kealamian yang terjadi secara kebetulan dan niat

yang biasa. Seperti pada mangkuk teh yang bentuknya asimetris secara alami,

bentuknya yang tidak beraturan dan asimetris merupakan kealamian yang wajar
30

dan tidak dipaksakan, serta lebih menarik dibandingkan dengan mangkuk teh

yang bentuknya simetris.

5. Yuugen (幽玄) atau Keindahan

Karakterististik pada yuugen memiliki makna keindahan esensi atau makna

yang dalam. Makna lain yakni wujud pengendapan rasa, perenungan yang dalam.

Yuugen ini memiliki ciri kegelapan, menimbulkan rasa takut, serum, mistik, dan

mencekam. Menurut Hisamatsu (dalam Zhao 2009: 15), kegelapan memiliki

makna untuk menumbuhkan konsentrasi dan menciptakan suasana hening dan

cerah.  Sebagai contoh kegelapan yang diciptakan dalam ruangan untuk upacara

minum teh.  Cahaya yang hanya masuk melalui kertas tembus pandang pada shoji

(pintu geser tradisional) ini dibuat untuk menerangi ruangan, lalu menciptakan

rasa yang tenang yang mengarah pada ketentraman pikiran.  Kegelapan dalam

ruangan ini tidak membuat orang merasa terancam, tetapi kegelapan itu

menentramkan pikiran. Selain itu, penggunaan yuugen terdapat pada seni

pertamanan, seni keramik, ikebana, dan kakejiku.

6. Datsuzoku (脱俗) atau Bebas dari Ikatan

Menurut Hisamatsu (dalam Zhao 2009: 16), datsuzoku (脱俗) secara singkat

berarti bebas dari kebiasaan, adat, rumus, peraturan, atau tidak terikat dengan

sesuatu. Hal ini termasuk kebebasan atau tidak adanya batasan dalam berpikir dan

bertindak. Maksud lain dari karakteristik ini yakni bebas dari kemelekatan dan
31

tidak tergantung pada sesuatu, baik itu aturan atau hal lain. Bebas dalam Zen

maksudnya tidak terbelenggu, tetapi luwes terhadap aturan yang berlaku. Bebas

dari keterikatan juga berarti tidak mematuhi atau menaati peraturan, baik tidak

mematuhi peraturan yang telah ada maupun tidak mematuhi peraturan yang akan

ada. Berbagai macam peraturan akan menjadi penghalang aktifitas dan kreatifitas.

Karakteristik ini berhubungan dengan asimetris yang meninggalkan aturan dan

kesempurnaan, serta berhubungan dengan kreatifitas seniman dalam

mengekspresikan pemahamannya terhadap alam ke suatu karya seni.

7. Seijaku (静寂) Ketenangan

Karakteristik yang terakhir adalah seijaku yang memiliki makna ketenangan

atau keheningan.  Ketenangan juga dapat diartikan gerak yang tidak

mengganggu. Namun, secara negatif mampu dimaknai sebagai tidak dibuat

gelisah atau tidak dalam gelisah. Kegelisahan juga penting dalam menggali diri,

tetapi tetap dihadapi dengan ketenangan. Contoh ketenangan yang dimaksud,

terdapat pada yokyouku dalam drama noh. Yokyouku adalah istilah untuk musik

vokal yang diiringi flute, drum, dan instrument lainnya yang mengiringi drama

noh (Hisamatsu, 1971:36). Sebenernya musik ini terdengar keras dan bising.

Namun, musik pengiring dalam yokyouku tidak menggelisahkan, tetapi justru

menimbulkan keheningan yang menenangkan pikiran20.

20
Hisamatsu, Ibid. hal 35
32

2.4 Chanoyu (upacara minum teh)

Teh pertama kali diperkenalkan oleh China ke Jepang pada abad ke-8. Jepang

baru mengenal teh berkat para pendeta Buddha yang belajar agama di Cina. Pada

abad ke-12, seorang biksu Buddha bernama Eisai, kembali dari China dan mulai

memperkenalkan teknik penyajian teh yang baru bernama tencha ( 点 茶 ), dimana

bubuk teh hijau halus yang dikenal sebagai matcha (抹 茶 ) diletakan di mangkuk,

lalu diseduh dengan air panas. Hal tersebut menjadi cikal bakal dari chanoyu.

Chanoyu ( 茶 の 湯 ) atau sering disebut dengan 茶 道 (chadō) adalah ritual

tradisional Jepang dalam menyajikan teh untuk para tamu (Magdalena & Santoso,

2015:1). Chanoyu secara harfiah berarti 茶 (cha) adalah teh, の (no) adalah partikel

yang menunjukkan keterangan atas sesuatu, dan 湯 (yu) adalah air panas. Jadi secara

harfiah chanoyu berarti air panas yang dituangkan ke dalam teh. Chanoyu pada

awalnya hanya diselenggarakan di lingkungan kaum bangsawan, dan biasanya

dilakukan sebagai salah satu cara untuk merayakan kejadian penting yang berkaitan

dengan kaum bangsawan tersebut21. Ritual tersebut dilaksanakan di dalam chashitsu

(ruangan chanoyu) yang pada masa itu hanya dimiliki oleh kaisar dan kaum

bangsawan. Dalam chanoyu, Peralatan, hiasan, dan makanan yang disajikan sangat

mewah dan beragam sehingga pada masa itu chanoyu dianggap sebagai perayaan

yang menekankan pada kemewahan.22 Sementara itu, muncul seorang tokoh chanoyu

Noviana, (2015). Kesederhanaan Wabicha dalam upacara minum teh Jepang. Kesederhanaan
21

Wabicha dalam upacara minum teh Jepang. Jurnal Izumi 5(1): 38-43.

22
Noviana, op.,cit, hlm. 38
33

yang membawa pemikiran tentang kesederhanaan ke dalam chanoyu yakni Sen no

Rikyū (1522-1591). Rikyū adalah seorang penganut setia Buddha Zen, salah satu

ajarannya adalah tentang kesederhanaan yang berpendapat bahwa chanoyu

seharusnya dapat diikuti oleh semua golongan masyarakat (Noviana, 2013:38).

Pemikiran Rikyū ini ternyata mendapat perhatian dan dukungan dari Toyotomi

Hideyoshi, seorang bangsawan yang berpengaruh di masa itu. Hideyoshi meminta

Rikyū untuk menjadi pembawa upacara pada tiap chanoyu yang ia selenggarakan.

Sejak saat itu, Rikyū dikenal sebagai tokoh yang berhasil membawa jiwa wabi

(kesederhanaan) dalam setiap ritual minum teh yang ia bawakan, yang kemudian

disebut dengan wabicha. Rikyū mendesain ulang sendiri tata cara, peralatan, dan

chashitsu yang lebih sederhana23. Dengan mempertahankan pemikiran tersebut, Rikyū

berhasil membuat chanoyu tetap eksis sampai sekarang. Berdasarkan hasil dari

pemikiran tersebut, Rikyū menggunakan kakejiku sebagai media untuk

memperkenalkan konsep wabi (kesederhanaan) yang ia bawa.

Wabi dapat diartikan sebagai kesederhanaan. Sementara, kata wabi

didefinisikan sebagai sebuah prinsip estetika dan moral yang cenderung pada

ketenangan dan bebas dari permasalahan duniawi (Nomasa, 1998). Bebas dari

permasalahan duniawi ini juga dapat dimaknai sebagai bebas dari kekhawatiran dan

hal-hal yang bersifat materi. Prinsip yang menekankan pada kesederhanaan,

keindahan, dan ketenangan ini merupakan konsep utama dalam estetika chanoyu.

Dengan prinsip ini, Rikyū menegaskan bahwa sangatlah penting untuk mencari
23
Ibid., hlm. 42
34

”kekayaan dalam kepapaan” dan ”keindahan dalam kesederhanaan”. Dengan kata

lain, dalam wabi seseorang diajak untuk dapat menghargai dan menikmati apa yang

ada di sekitarnya, sesederhana apa pun itu. Selain wabi, terdapat juga istilah sabi

yang umumnya digunakan mengikuti kata wabi. Sabi berasal dari kata 寂 し い

(sabishii atau kesendirian). Apabila kedua kata ini digunakan dalam satu rangkaian,

maka wabi-sabi dapat diartikan sebagai ”ketidaksempurnaan, ketidaktetapan, dan

ketidaklengkapan.24

Sementara, ciri-ciri keindahan menurut estetika wabi-sabi adalah asimetris,

tidak halus, sederhana, akrab (mudah/sering dijumpai), dan alamiah. Dengan

demikian, suatu benda atau karya seni yang memiliki bentuk sedikit kurang sempurna

justru berharga lebih tinggi daripada yang sempurna, misalnya seperti dapat dilihat

pada permukaan chawan yang kurang halus atau lingkaran chawan yang tidak seratus

persen bundar (Plutschow, 1999).

2.5 Penelitian Terdahulu

Penulis menggunakan dua penelitian terdahulu sebagai acuan penelitian, yakni

sebagai berikut.

1. Skripsi yang ditulis oleh Difa Nurlita pada tahun 2019 berjudul “ Mitos

Geisha dalam Film Memoir of A Geisha “ kajian semiologi Roland


24
Noviana, Fajriana (2015). Kesederhanaan Wabichadalam Upacara Minum Teh Jepang. Jurnal
Izumi, Volume 5, No 1.
35

Barthes dari Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Dalam skripsinya,

Difa menggunakan teori semiotika Roland Barthes sebagai dasar

penelitiannya. Difa menggunakan metode penelitian yang terdiri dari

data imajiner dan data etnografis. Penelitian ini mengkaji karakter-

karakter geisha dalam Film Memoirs of A Geisha sebagai representasi

geisha yang ada dalam kebudayaan Jepang memiliki sejarah yang ada di

dalamnya terdapat tradisi-tradisi seperti shikomi (tahap masuk ke dalam

okiya), misedashi (ritual debut), minarai (melihat dan belajar), mizuage

(kenaikan), erikae (ritual pergantian kerah kimono), hiki iwai (keluar dari

ikatan), jimae (tahap kemandirian), dan okami-san (tahap menjadi okiya).

Penelitian ini memfokuskan pada keempat karakter geisha yakni Chiyo

atau Ayuri, Pumkin, Mameha, dan Hatsumono. Penelitian ini bertujuan

untuk menemukan mitos gejala yang ada dalam film tersebut dengan

menggunakan metode deskriptif analisis. Dalam hasil penelitiannya

terdapat beberapa makna denotatif dan konotatif dari keempat tokoh

geisha. Makna denotatif dari Film Memoirs of a Geisha pada Sayuri yakni

dijual oleh ayahnya ke okiya, sedangkan makna konotasinya bentuk giri

(hutang balas jasa) terhadap orang tua sehingga ia tidak boleh menolak

kehendak tersebut. Kemudian, pada tokoh Pumkin terdapat salah satu

makna denotatif, yakni bermain-main dengan tentara asing dan

membiarkan tubuhnya disentuh, sedangkan makna konotatifnya yakni

tubuh menggantikan wajahnya yang kurang menarik sebagai cara untuk


36

berbaur dan menyenangkan pelanggan atau dengan kata lain tubuhnya

lebih indah daripada parasnya. Pada tokoh Hatsumono terdapat makna

denotatif yakni, menunjukan kemahirannya bermain kipas kepada tamu

yang menonton debut Sayuri, sedangkan makna konotatifnya yakni usaha

untuk merebut perhatian dari pelanggan wanita lain yang juga memiliki

kemampuan yang sama dengannya, dan pada karakter Mameha terdapat

makna denotatif yakni menyayat sedikit kulit bagian paha sayuri untuk

dirawat oleh dr. Crab, sedangkan makna konotatifnya adalah upaya

menarik dr. Crab agar tertarik pada Sayuri dengan memperlihatkan sedikit

kulit telanjang Sayuri. Dalam makna tersebut, alhasil mitos yang terbentuk

adalah wanita yang ada di bawah kekuasaan seorang pria. Oleh sebab itu,

menjadi bukti bahwa mitos budaya patriariki masih terlihat dalam

kebudayaan Jepang.

Perbedaan dari penelitian Difa dengan penelitian yang dilakukan

oleh penulis terdapat pada objek penelitian dan sumber data yang

digunakan. Penulis lebih fokus meneliti pemaknaan pada kakejiku dalam

ruangan chanoyu dan sumber data yang digunakan adalah kakejiku itu

sendiri.

2. Jurnal yang ditulis oleh Kentaro Ohbayashi pada tahun 2014 berjudul

“Conservation of Japanese Mounted Artworks on Paper/silk“dari Kansai

University, Jepang. Dalam Jurnalnya, Ohbayashi meneliti tentang


37

konservasi dalam proses pembuatan kakejiku, kansu (gulungan tangan),

byobu (partisi), dan fusuma (sliding door) dengan menggunakan metode

penelitian kualitatif deskriptif. Ohbayashi menjelaskan pernasalahan yang

dihadapi oleh hyogu-shi (seniman pembuat kakejiku) yakni dalam

memperbaiki kakejiku yang sudah using dan tua, diperlukan teknik khusus

agar kakejiku tersebut dapat hidup seperti semula. Ohbayashi menjelaskan

proses mounting yang dalam bahasa Jepang disebut urauchi. Proses ini

lebih menekankan pada penempelan kertas washi dengan kain agar dapat

merekat dan juga reparasi karya yang sudah layu atau rusak kemudian

diperbaiki dengan urauchi yang dilakukan oleh hyogu-shi (picture

framer). Ohbayashi menjelaskan tentang langkah-langkah yang aman

dalam meraparasi karya yang sudah tua agar tidak rusak atau sobek

dengan teknik hyosou (表装). Teknik hyosou adalah teknik menempelkan

gambar pada layar.

Perbedaan dari penelitian yang dilakukan oleh penulis terdapat

pada objek penelitian dan sumber data yang digunakan. Penulis lebih

fokus meneliti pemaknaan pada kakejiku karya Kobayashi Taigen dalam

ruangan chanoyu dan sumber data yang digunakan adalah kakejiku itu

sendiri, tetapi Ohbayashi hanya fokus kepada teknis seni reparasi dalam

karya kakejiku, byobu, fusuma, dan lainnya. Perbedaan selanjutnya,

penulis mencari pemaknaan menggunakan teori semiotika Roland Barthes.


38
BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan jenis penelitian kualitatif. Untuk analisis data,

penulis menggunakan metode deskriptif analitis yaitu membahas suatu masalah

dengan cara menata dan mengklasifikasikan data serta memberikan penjelasan

tentang keterangan yang terdapat pada data-data tersebut. Kemudian menganalisis

data-data yang diperoleh.

3.2 Sumber Data

3.2.1 Data Primer

Menurut Hasan (2002: 82) data primer ialah data yang diperoleh atau

dikumpulkan langsung di lapangan oleh orang yang melakukan penelitian atau

yang bersangkutan yang memerlukannya. Sumber data primer yang digunakan

oleh penulis dalam penelitian ini adalah kakejiku dalam ruangan chanoyu

dengan objek penelitian makna kakejiku karya Kobayashi Taigen, yakni

kakejiku wakeiseijaku yang berarti wa (harmoni), kei (rasa hormat), sei

(kemurnian), jaku (ketenangan), kakejiku taki-ga (air terjun), dan kakejiku


40

kissako (mari minum teh) yang lokasinya diambil pada Higashi Chayaga,

Kanazawa. Higashi Chayaga merupakan salah satu tempat wisata kota tua di

kanazawa. Di sana penulis melakukan kegiatan chanoyu sebagai salah satu

materi perkuliahan di Kanazawa University. Kemudian, penulis menggunakan

video dari Begin Japanology: Hanging Scroll The Art of Impermanence 25.

Video tersebut menceritakan tentang peranan kakejiku dan fungsinya dalam

masyarakat Jepang. Hal ini ditujukan sebagai data tambahan untuk

menemukan pemaknaan kakejiku yang akan diteliti.

3.2.2 Data sekunder

Data sekunder adalah data yang diperoleh atau dikumpulkan oleh

orang yang melakukan penelitian dari sumber-sumber yang telah ada (Hasan,

2002: 58). Data ini penulis gunakan untuk mendukung informasi data primer

yang telah diperoleh yaitu dari bahan pustaka, literatur, penelitian terdahulu,

buku, dan lainnya.

3.3 Teknik Pengumpulan Data

Untuk mengumpulkan data, penulis menggunakan teknik dokumentasi.

Menurut Sugiyono (2013: 240), dokumen merupakan catatan peristiwa yang sudah

berlalu. Dokumen bisa berbentuk tulisan, gambar, atau karya-karya monumental dari
25
Begin Japanology, (2017) Hanging Scroll: The Art of Impermanence. Tokyo: NHK.
https://www.youtube.com/watch?v=PdkN3yWctBg&t=844s diakses pada 18/11/2019.
41

seorang. Dokumen yang berbentuk tulisan misalnya catatan harian, sejarah kehidupan

(life histories), ceritera, biografi, peraturan, kebijakan. Dokumen yang berbentuk

gambar misalnya foto, gambar hidup, sketsa dan lain-lain. Dokumen yang berbentuk

karya misalnya karya seni, yang dapat berupa gambar, patung, film dan lain-lain.

Studi dokumen merupakan pelengkap dari penggunaan metode observasi dan

wawancara dalam penelitian kualitatif.

Dalam penelitian ini, peneliti melakukan pengumpulan data berdasarkan

langkah-langkah di bawah ini:

1. Mengikuti kegiatan chanoyu, mengunjungi pameran seni, dan

mengunjungi toko yang menjual kakejiku di Jepang.

2. Membeli kakejiku yang umumnya digunakan dalam ruangan chanoyu.

3. Mencatat semua data berupa foto atau yang telah di dapatkan baik dari

foto pribadi, foto pada film maupun video.

4. Mereduksi data, menggolongkan, membuang yang tidak perlu, dan

mengorganisasi data sehingga diperoleh tiga macam kakejiku karya

Kobayashi Taigen yang digunakan dalam ruangan chanoyu.

3.4 Teknik Analisis Data


42

Berikut merupakan prosedur yang penelitu harus lakukan ketika menganalisis

data.

1. Mengidentifikasi setiap makna yang ditampilkan dari kakejiku dalam

ruangan chanoyu. Cara untuk mengidentifikasi tersebut dimulai dari

melihat bagian eksternal dari kakejiku, mulai dari hasil karya maupun

struktur dari kakejiku itu sendiri.

2. Menemukan makna denotasi dan konotasi dengan cara melihat bagian

eksternal, menarik kesimpulan dari makna denotasi dan konotasi yang ada

sehingga menjadi makna mitos yang ada pada kakejiku dalam ruangan

chanoyu dengan menggunakan perspektif dari Roland Barthes.

3. Menyimpulkan hasil analisis tiap makna yang ada pada kakejiku dalam

ruangan chanoyu.
BAB IV
TEMUAN DAN PEMBAHASAN

4.1 Makna pada kakejiku karya Kobayashi Taigen dalam ruangan chanoyu

4.1.1 Analisis Makna Kakejiku Wakeiseijaku

Gambar 4.1 Kakejiku wakeiseijaku26

26
https://www.kakeziku.net/fs/kakeziku/G-6-315 diakses tanggal 6/1/2020
44

Berdasarkan pada gambar 4.1 di atas, Kakejiku wakeiseijaku memiliki makna

sebagai berikut:

A. Makna Denotasi

Di dalam semiologi Barthes dan para pengikutnya, denotasi

merupakan sistem signifikasi tingkat pertama, sementara konotasi merupakan

tingkat kedua. Dalam hal ini denotasi justru lebih diasosiasikan dengan

ketertutupan makna. (Barthes, 2006).

Makna denotasi dari gambar kakejiku di atas adalah gulungan kertas

dengan kain kimono bertuliskan huruf kaligrafi Jepang 和 敬 清 寂

(wakeiseijaku

) dipadukan dengan lingkaran Zen atau enso ( 円 相 ). Kakejiku wakeiseijaku

secara etimologi berasal dari 和 (wa atau harmoni), 敬 (kei atau rasa hormat),

清 (sei atau kemurnian, kebersihan), dan 寂 (jaku atau ketenangan).

Sementara untuk lingkaran Zen pada kakejiku ini dilukiskan menyambung.

Selain itu, pada karya tersebut dituliskan nama dari Kobayashi Taigen dan

distempel menggunakan hanko (stempel Jepang). Hanko yang digunakan

Kobayashi dalam karya ini yakni sebagai berikut:


45

大徳寺 bertuliskan daitokuji yang


mengacu pada kuil dimana Kobayashi
Taigen berasal.

小林太玄 bertuliskan Kobayashi


Taigen

Hanko atau stempel ala Jepang dengan


tinta merah. Huruf pada stempel
pertama bertuliskan 黄梅 (oubai) atau
winter jasmine ‘melati musim dingin’.
Sementara pada hanko bagian bawah
Gambar 4.2 Hanko atau stempel bertuliskan 太玄 atau Kobayashi
Taigen dengan hanko berbentuk kotak.

B. Makna Konotasi

Makna konotasi tercipta setelah hubungan antara bentuk dan konsep

terpadu. Bentuk dalam mitos bukanlah sebuah symbol. Namun bentuk

merupakan sesuatu yang digunakan dengan disisipi maksud-maksud yang

sesungguhnya (Barthes, 2006:168). Sisipan yang akan digabungkan oleh

bentuk ini adalah konsep dengan tambahan konteks.

1. Honshi (karya utama)


46

Dalam gambar 4.1 di atas, terdapat tulisan 和敬清寂 atau wakeiseijaku

dengan memadukan lingkaran Zen. Michael (1982, hal 211), dalam Zengo

nyūmon (1982, hal 211), menyatakan bahwa wakeiseijaku secara tradisional

disebut sebagai hukum, norma, esensi atau akar dari Way of Tea (Chadō),

empat karakter 和 敬 清 寂 (wa-kei-sei-jaku) adalah ekspresi yang sangat

penting untuk Chadō. Kalimat ini pertama kali diperkenalkan oleh Murata

Jukō (1422-1502) yang tertulis dalam Yabunouchi Chokuchin (1678-1745)

yang berjudul “Tales of the Original Tradition of Tea” (Sōru, 1982: 211).

Jukō mengatakan bahwa wa-kei-sei-jaku harus menjadi tujuan dari pertemuan

teh (chakai). Oleh karena itu, Kobayashi Taigen sebagai pencipta karya

memilih kalimat Zen wakeiseijaku dalam karyanya.

Kobayashi Taigen ingin menyampaikan pesan bahwa dalam huruf

kanji 和 (wa) yakni untuk harmoni atau keserasian di antara sesama manusia,

manusia dengan alam, dan peralatan dengan cara pemakaiannya atau otemae

(tata cara). Menurut Shoshitsu (1997), dalam konsep wa, seseorang tidak

menunjukan emosi dan tidak akan lupa sikap kerendahan hati, agar demikian

ia dapat memperlakukan sesamanya sebagai dirinya sendiri. Kemudian, huruf

kanji 敬 atau kei (rasa hormat), Kobayashi Taigen berpesan agar memiliki

kesungguhan hati dimana membuka hubungan dengan lingkungan yang paling

dekat, sesama manusia dan alam dimana saling menghargai dengan sikap

sopan santun. Hal ini dimaksudkan agar saling menghormati satu sama lain di
47

antara peserta, terutama melalui etika dalam minum teh. Kemudian, huruf

kanji 静 (sei atau kemurnian), Kobayashi Taigen secara tidak langsung

menyampaikan sebuah pesan bahwa pembersihan adalah bagian yang

terpenting dari upacara minum teh, baik dalam persiapan sebelumnya dengan

menyajikan teh dengan kesungguhan hati, dan setelah para tamu pergi,

membereskan kembali peralatan teh, serta pada saat penutupan akhir dari

ruangan teh. Menurut Shoshitsu (1997:50), tindakan pembersihan ini

merupakan pembersihan “debu keduniawian”. Hal ini mengacu kepada suatu

kemurnian, karena kemurnian identik dengan kebersihan, maka semua

peralatan harus tetap bersih, agar kemurnian ritual dan orang-orang yang hadir

di dalamnya tetap terjaga. Kemudian huruf kanji 寂 (jaku atau ketenangan),

merupakan salah satu dari nilai estetika Zen. Kobayashi Taigen ingin

menyampaikan bahwa dalam mengikuti kegiatan chanoyu, ketiga prinsip

utama harus dijalankan yakni prinsip keharmonisan, rasa hormat, dan

kemurnian sehingga memperoleh ketenangan. Danandjaja (1997: 28)

mengatakan:

”Upacara minum teh di Jepang merupakan sebuah kegiatan


kemasyarakatan yang diciptakan untuk menghargai semua kehidupan
dan benda. Upacara ini dilakukan untuk mengidealisir lingkungan
hidup; untuk menciptakan kehidupan yang sempurna; keadaan yang
tenang dan keselarasan; dan untuk menghargai orang lain dan
bendabenda dengan memperhatikan kebersihan dan ketertiban, yang
membawa kedamaian raga dan jiwa”.
48

Selain itu, berdasarkan pada gambar 4.1 di atas, terdapat simbol

lingkaran Zen yang dilukiskan menyambung. Simbol tersebut memiliki

makna totalitas dari pengalaman hidup. Lingkaran terbuka memiliki banyak

interpretasi tentang menuju ajaran Buddha, sedangkan lingkaran tertutup

mencerminkan totalitas dari pengalaman hidupnya27. Dalam pelukisan

lingkaran Zen, terdapat lingkaran Zen yang berbentuk terbuka dan berbentuk

tertutup. Kobayashi Taigen menggunakan lukisan lingkaran tertutup sebagai

bentuk totalitas dari pengalaman hidup. Hal ini berkaitan dengan sejarah

hidup Kobayashi Taigen menuntut ilmu Zen sejak berumur enam tahun

sampai dengan menjadi kepala Kuil Oba, Daitokuji, yang notabene

merupakan salah satu kuil terkenal di Kyoto. Selain itu juga Kobayashi

Taigen merupakan master of tea ceremony (master teh).

Selain itu, pada karya tersebut dituliskan nama dari Kobayashi Taigen

dan distempel menggunakan hanko (stempel Jepang) sebagai identitas dari

pembuat karya tersebut agar karya tersebut dapat dikenali oleh orang. Warna

merah shinshu-iro ( 真 朱 色 ) pada hanko menunjukan simbol authority

(otoritas), matahari, dan api. yang telah digunakan pada dokumen resmi yang

berasal dari tahun 1300-an28.

2. Warna pada Kakejiku dan Konotasinya

27
Renko, 2016. http://thezenuniverse.org/enso-circle-enlightenment/. Diakses pada 10/1/2020.
28
Anonim, (2019). Hotel Zen Tokyo: Uncovering Japan Through Colours.
https://Hotelzen.jp/blog/Japanese-traditional-colors/ diakses pada 17 Januari 2020.
49

Penggunaan kain pada struktur kakejiku mulai dari chu-mawashi yang

terdiri dari hashira sampai dengan bagian struktur ten (atas) dan chi (bawah)

menggunakan dua warna yang kalem dan tidak mencolok. Warna yang

dipakai yakni coklat dan hijau. Bagi bangsa Jepang yang dimaksud dengan

warna coklat adalah warna yang didapat dengan mengambil sari daun teh

(Fukuda, 1987: 95). Makna simbolis warna coklat adalah teh, Sedangkan

untuk makna psikologis kesederhanaan. Warna ini juga dianggap sebagai

warna yang bermakna psikologis kesehatan, alam, kesetiaan, keramahan, rasa

hangat, dan kepercayaan.29. Makna simbolis warna hijau adalah dedaunan dan

hutan karena warna ini banyak terdapat di alam. Warna hijau melambangkan

keindahan alam, kesegaran, keabadian, dan kehidupan yang baru30. Hijau

sangat populer di Jepang karena terlihat nyaman dan segar. Warna ini sering

dikaitkan dengan teh hijau31. Penggunaan kedua warna yang kalem tersebut

bertujuan agar honshi (karya utama) dari kakejiku tersebut menjadi mudah

dilihat dan diingat oleh orang yang melihatnya. Alasannya, jika warna yang

digunakan pada kain menggunakan warna yang mencolok, maka orang akan

fokus kepada kainnya daripada karya utamanya. Selain itu, terdapat warna

emas pada bagian fuutai (strip panjang berpasangan) dan ichimonji (pembatas

29
Bear, Howard Jacci (2008). Brown. About Inc., The New York Times Company.
http://dekstoppub.about.com/cs/colorselection/p/blue.htm diakses pada 19 Januari 2020.
30
Bear, Howard Jacci, (2008 ). Green, op.cit. About Inc., The New York Times Company.
31
Yudha, (2018). IDN Times:Arti Berbagai Warna di Jepang.
https://www.idntimes.com/science/discovery/viktor-yudha/arti-berbagai-warna-di-jepang/full diakses
pada 19 Januari 2020.
50

garis). Pada dua bagian ini, warna emas merupakan warna yang lazim

digunakan.

Ten (bagian atas)

Fuutai arti secara harfiah


yakni strip panjang yang
berpasangan. Dengan makna
konotasi sebagai ular.

Ichimonji
(pembatas garis).
Hashira berarti pilar

Honshi atau karya utama.


Memiliki makna konotasi
sebagai representasi dari
hati.

Chi (bagian bawah)

Gambar 4.3 Warna yang dipakai dalam Struktur Kakejiku

Berdasarkan pada gambar 4.3, dapat dikatakan bahwa wabi sabi yang

terdapat pada hashira memiliki nilai estetika dengan mengutamakan rasa

kesederhanaan agar menciptakan sebuah harmoni. Selain hashira, pada

gambar 4.3, Kobayashi menggunakan fuutai dalam karyanya. Pada bagian

fuutai, Taigen menggunakan kain kinran yakni salah satu dari kain kimono

berwarna emas. Warna emas (黄金色) pun banyak digunakan untuk hal-hal
51

yang dianggap terhormat dan tinggi dalam kehidupan agama (Fukuda, 1987:

54). Menurut Nomura, Fuutai ini terbuat dari kain kinran yang umumnya

menggunakan warna dasar emas. Kain kinran merupakan salah satu jenis kain

yang dipakai dalam kimono 32.

3. Nilai Estetika

Berdasarkan pemilihan warna kain yang sudah dijelaskan

sebelumnya, terdapat nilai estetika kanso atau kesederhanaan. Hal ini

ditujukan agar terciptanya chouwa ( 調 和 ) atau harmoni dalam

kakejiku. Nilai kanso tersebut dilihat dari pelukisan lingkaran Zen

dengan menggunakan gaya lukis sumi-e. Dengan kata lain, Taigen

menggunakan kain dengan warna yang tidak mencolok tersebut agar

karya utama dari kakejiku dapat menjadi focal point. Hal ini

disebabkan, focal point pada kakejiku ini ada pada lukisan lingkaran

Zen (ensou).

C. Makna Mitos

Makna mitos ini diambil dari makna konotasi. Mitos Roland Barthes

muncul dikarenakan adanya persepsi dari Roland sendiri bahwa dibalik tanda-

tanda tersebut terdapat makna yang misterius yang akhirnya dapat melahirkan

sebuah mitos. Mitos adalah suatu penandaan dari sebuah bentuk (Barthes,

32
Nomura, Tatsuji. What is Kakejiku. diakses pada tanggal 6/1/2020
52

2006: 152). Mitos penanda dapat dilihat dari dua sudut pandang: sebagai

istilah terakhir dari sistem linguistik, atau sebagai istilah pertama dari sistem

mitis33.

Dalam gambar 4.1, makna yang dapat dibangun adalah ketiga prinsip

yang sudah dijelaskan di atas, para pelaku chanoyu mengaplikasikan dalam

kehidupan sehari-hari secara terus menerus dengan menikmati teh sambil

duduk seorang diri dan jauh dari duniawi, menyatu dengan irama alam bebas,

peka terhadap kesucian dari segala sesuatu yang terdapat di sekitarnya, maka

seseorang tersebut dapat membuat dan menikmati teh dengan untuk mencapai

keadaan yang mulia sehingga memperoleh ketenangan. Kalimat 和 敬 清 寂

(wakeiseijaku) tidak sekadar tentang kalimat yang menerangkan tentang

prinsip dasar bagi chanoyu, tetapi juga menjadi makna yang serius yang

banyak diamini dalam kebudayaan masyarakat Jepang sebagai cerminan

dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu, kalimat wakeiseijaku

merupakan hal terpenting dan menjadi prinsip utama dalam chanoyu.

Tak hanya tulisan 和 敬 清 寂 (wakeiseijaku), dalam karya tersebut

juga terdapat hanko (stempel). Hanko bukan sekadar sebagai alat identitas

seseorang atau sebagai syarat legalnya suatu karya atau dokumen, melainkan

fungsi ini kian lama dianggap sebagai nilai estetik dalam suatu karya yang

dibuat.

33
Barthes, op. cit., hlm 164
53

Selain itu, dalam karya tersebut juga terihat berbagai warna yang

digunakan oleh Kobayashi Taigen. Pada awalnya dalam makna konotasi,

warna yang mencolok akan membuat ketidakseimbangan terhadap karya

utama (honshi). Penggunaan warna kalem tidak hanya sebagai fungsi estetik

saja, melainkan warna yang kalem menjadi filosofi kesederhanaan dalam

chanoyu, sesuai yang diajarkan oleh Sen no Rikyu.

Dalam kakejiku wakeiseijaku tersebut, Kobayashi Taigen

menggunakan lingkaran Zen yang dikenal sebagai ensō. Makna mitos yang

terkandung dalam simbol atau tanda tersebut yakni Membuat lingkaran ensō

membutuhkan latihan dan ketenangan mental. Sebab, ensō dilukis hanya

dengan satu goresan kuas yang harus diselesaikan tanpa ada jalan untuk

memperbaikinya. Kobayashi Taigen seolah menganggap bahwa orang yang

dapat menggambar ensō merupakan orang yang tenang secara mental dan

spiritual.

Dari berbagai aspek yang telah dijabarkan di atas, penulis rangkum

dalam tabel berikut:


54

1.Penanda 2. Petanda
Gulungan kertas
dengan kain
kimono bertuliskan
huruf kaligrafi 和敬
清 寂 atau
BAHASA wakeiseijaku.

3. Tanda
I. PENANDA II. PETANDA
Empat karakter 和敬清寂(wa-kei-sei- Ketiga prinsip utama harus
jaku) adalah ekspresi yang sangat dijalankan yakni prinsip
MITOS penting untuk Chadō. keharmonisan, rasa hormat,
dan kemurnian sehingga
memperoleh ketenangan.
III. TANDA
Wakeiseijaku prinsip utama bagi kehidupan sehari-hari dan chanoyu.

Tabel 4.1 Analisis Semiotika Wakeiseijaku


55

1.Penanda 2. Petanda
- Lingkaran Zen
dengan bentuk
lingkaran
menyambung

- Lingkaran Zen yang


dinamakan ensō

BAHASA
3. Tanda
I. PENANDA II. PETANDA

Wujud lingkaran Zen yang ditulis - Kebebasan atau tidak


menggunakan kuas dengan gaya terikat
penulisan kaligrafi Jepang (shodō)
- Merefleksikan totalitas
pengalaman hidup
-Cerminan dari kondisi
pikiran dimana tubuh dan
MITOS pikiran dibebaskan untuk
dapat membalikkan
kesempurnaan internal
melalui gerakan
III. TANDA
Membuat lingkaran ensō membutuhkan latihan dan ketenangan mental

Tabel 4.2 Analisis Semiotika Lingkaran Zen


56

1.Penanda 2. Petanda
Stempel ala Jepang
dengan tinta
berwarna merah
BAHASA yang berbentuk
kotak

3. Tanda
I. PENANDA II. PETANDA
Wujud dua stempel dengan berwarna - Warna merah pada hanko
merah dominan yang berarti positif dan menunjukan simbol
berwarna putih yang berarti negatif authority (otoritas),
dengan huruf kanji yang berbeda matahari, dan api.
- Identitas

MITOS III. TANDA


Warna merah pada hanko dianggap resmi dan lebih digunakan dalam
kehidupan sehari-hari

Tabel 4.3 Analisis Semiotika Stempel (hanko)

4.1.2 Analisis Kakejiku Taki-ga (air terjun)

Kakejiku taki-ga atau air terjun dalam ruangan chanoyu biasanya digunakan

dalam musim panas. Kakejiku ini bukan berupa kata, tetapi hanya berupa satu

karakter huruf kanji yang merepresentasikan air terjun. Berikut adalah gambar

kakejiku taki-ga karya Kobayashi Taigen:


57

Gambar 4.4 Kakejiku Taki-ga34

A. Makna Denotasi

Makna denotasi dari gambar 4.4 kakejiku di atas adalah gulungan

kertas dengan kain kimono bertuliskan huruf kaligrafi Jepang 瀧 (taki atau air

terjun) sebagai huruf yang diperbesar yang digambarkan huruf kanji

memanjang ke bawah menyerupai air terjun dan diikuti kanji 直 下 三 千 丈

(chokkasanzenjou). Berikut adalah arti makna secara harfiah:

34
Midori-ya. Daitokuji Kobayashi Taigen:Chadougu.
https://page.auctions.yahoo.co.jp/jp/auction/p714871734
58

1. Honshi (karya utama):

瀧 : (taki atau air terjun). Huruf kanji yang digunakan adalah kanji

kuno 瀧 , sedangkan untuk kanji yang dipakai saat ini adalah kanji 滝 .

Kemudian, pada posisi di bawah kanji 瀧 (taki) juga tertulis kanji 直下三千

丈 : chokkasanzenjou. Kanji tersebut Merupakan singkatan dari「瀧がまっす

ぐに落ちる事三千丈」yang berarti “air terjun jatuh lurus ke bawah”.

Pada gambar 4.5 di atas, terdapat Hanko atau stempel. Hanko tersebut

berbentuk kotak seperti oval dengan tulisan 黄梅 (oubai) atau winter jasmine

dan hanko berbentuk furo atau pemanas dalam chanoyu dengan huruf kanji 太

玄 (Taigen). Untuk mengetahui lebih detail, dapat dilihat pada gambar

berikut:
59

Pada bagian ini bertuliskan 小林太玄 atau


Kobayashi Taigen, sebagai identitas. Gaya
penulisan yang digunakan yakni sosho style
yakni cursive (tegak bersambung).

Pada bagian ini dinamakan hanko atau stempel


ala Jepang dengan tinta merah. Huruf pada
stempel pertama bertuliskan 黄梅 (oubai) atau
winter jasmine ‘melati musim dingin’ dengan
bentuk hanko kotak. Sementara pada hanko
bagian bawah bertuliskan 太 玄 atau Taigen
nama dari Kobayashi Taigen dengan
menggunakan penulisan tensho style atau huruf
kanji kuno dan hanko yang berbentuk furo
(kompor untuk chanoyu).

Gambar 4.5 Identitas Karya

Selain itu, Taigen menggunakan stempel berbentuk furo. Furo adalah

sejenis perapian portable yang diganakan dalam chanoyu (Reni, 2014: 8).

Furo digunakan selain sebagai perapian juga merupakan wadah untuk

chagama atau kama yakni sejenis teko untuk pemanas air.

2. Struktur kakejiku

Kobayashi menggunakan kakejiku khusus chanoyu yang disebut

sebagai chagake. Hal tersebut dicirikan dengan adanya fuutai (strip panjang

berpasangan) dan hashira (pilar) yang lebih dipangkas sisi kanan dan sisi

kirinya karena konsep wabi sabi yang telah diuraikan pada analisis kakejiku
60

wakeiseijaku sebelumnya, tetapi pada kakejiku taki-ga ini, Taigen

menggunakan kain donsu berwarna abu-abu dan warna coklat bermotif kain

donsu (jenis dari kain kimono).

B. Makna Konotasi

1. Honshi (karya utama)

Dalam gambar 4.5 di atas, terdapat tulisan 瀧 (taki atau air terjun).

Huruf kaligrafi 瀧 (taki atau air terjun) merefleksikan suatu lukisan air terjun,

meskipun hanya berupa tulisan. Taigen mengilustrasikan huruf 瀧 bagaikan

air terjun dengan menarik cara teknik melukis secara memananjang vertikal

ke bawah, seolah-olah membuat tulisan itu hidup bagaikan air terjun. Selain

itu, Taigen secara tidak langsung menanamkan sugesti dengan cara membuat

subliminal message (pesan tersembunyi), agar bagi orang yang melihat simbol

kanji 瀧 (taki atau air terjun) tersebut, seolah dapat merasakan sejuknya air

terjun pada musim panas. Hal ini sesuai dengan pernyataan berikut:

涼しさを強調し語呂を合わせたもので夏の涼しさを呼ぶ一句。
Arti :
Ungkapan untuk menekankan kesejukan dan menggabungkan
kesejukan pada musim panas. (Sumber : Manrakudou, (n.d.). Zengo
Are Kore. https://www.manrakudo.co.jp/zengo)
61

Kemudian, makna konotasi lain yang disampaikan Kobayashi Taigen

melalui penggambaran air terjun, khususnya pada makna dari air itu sendiri.

Air menurut ajaran Buddha sebagai berikut:

水は自ら形無くともどのような形にも順応し、低きについて先を争わず
時にはすべての生き物のすさまじい力となりて、岩石も砕くエネルギー
となる。
Arti :
Air beradaptasi pada bentuk apapun, tanpa bentuk, tanpa bersaing
untuk yang rendah, memiliki kekuatan yang dahsyat yang menjadi
kekuatan semua mahluk hidup dan terkadang energinya dapat
memecah bebatuan sekalipun. (sumber: http://taikando.shop-pro.jp/?
pid=12802172 ).

Makna konotasinya yakni harus belajar beradaptasi dan memiliki sifat

yang fleksibel seperti air. Air akan mengikuti bentuk di mana ia ditempatkan,

dan air terkadang bersifat tenang namun juga kuat. Hal itulah yang ingin

disampaikan oleh Kobayashi Taigen dalam karyanya.

Pada analisis selanjutnya, Taigen menggunakan hanko berbentuk furo.

Makna hanko berbentuk furo yakni bentuk rasa cinta Taigen terhadap

chanoyu. Hal ini dapat dilihat dari sejumlah karya yang Taigen ciptakan

digunakan untuk chanoyu. berikut adalah gambar furo.


62

Gambar 4.6 Furo dalam chanoyu35

2. Struktur kakejiku

Penggunaan kain dalam struktur kakejiku ini, Taigen memilih warna abu-abu

pada bagian ten (atas) dan chi (bawah). Warna abu-abu melambangkan

keseimbangan, keeleganan, dan konservatif, jarang membangkitkan emosi, namun warna

yang terlihat murung. Warna ini juga memiliki makna kekuatan yang misterius 36 . Selain

itu, Taigen menggunakan kain donsu yakni salah satu jenis kain kimono Jepang

yang berwarna coklat bermotif. Seperti yang telah dijelaskan pada analisis gambar

sebelumnya, makna simbolis warna coklat adalah teh. Untuk makna psikologis

kesederhanaan. Warna ini juga dianggap sebagai wana yang bermakna psikologis

kesehatan, alam, kesetiaan, keramahan, rasa hangat, dan kepercayaan. Selain itu,

yang membedakan adalah Taigen tak hanya menggunakan warna coklat, tetapi

juga warna putih. Dalam budaya Jepang, putih dianggap sebagai warna kesucian

dan ketulusan sehingga sering digunakan dalam upacara Shinto dan upacara

kematian agama Buddha37. Dalam pemilihan kain, biasanya seorang hyougu-shi

(pembuat kakejiku) dalam hal ini Taigen, menggunakan kain dengan warna yang

cocok pada karya. Kegiatan ini disebut tori awase atau proses pengambilan

warna.

35
https://eishodo.net/chadogu/furobasis/ Diakses pada tanggal 19/1/2020
36
Bear, Howard Jacci, (2008). Grey. op.cit. About Inc., The New York Times Company.
37
ibid.
63

C. Mitos

1. Honshi (karya utama)

Kakejiku taki-ga dipakai pada perhelatan chakai pada musim panas.

Chakai atau tea gathering (acara kumpul minum teh) adalah bentuk informal

dari chanoyu. Perbedaannya chakai lebih sederhana dimana tamu hanya

disajikan wagashi (manisan kue Jepang) dan usucha atau teh hijau dengan

warna yang tidak kental.

Berdasarkan hasil analisis di atas, terangkum pada tabel berikut:


64

1.Penanda 2. Petanda
1. Gulungan kertas
dengan kain
kimono bertuliskan
huruf kaligrafi
BAHASA Jepang 瀧 (taki
atau air terjun).

3. Tanda
I. PENANDA II. PETANDA
Huruf kaligrafi 瀧 (taki atau air terjun) Kesejukan pada musim
ditulis seolah merefleksikan suatu panas
lukisan air terjun, meskipun hanya
berupa tulisan
III. TANDA
MITOS
Kakejiku yang identik dengan musim panas

Tabel 4.4 Analisis Semiotika 瀧 (taki)


65

1.Penanda 2. Petanda
Stempel ala
Jepang dengan
tinta berwarna
merah
BAHASA

3. Tanda
I. PENANDA II. PETANDA
Wujud dua stempel dengan berbentuk Hanko berbentuk furo
kotak seperti oval dan furo atau pemanas merepresentasikan bentuk
dalam chanoyu dengan huruf kanji yang rasa cinta Kobayashi
berbeda Taigen terhadap chanoyu
MITOS III. TANDA
Furo melambangkan karya seni dijunjung tinggi dalam chanoyu

Tabel 4.5 Analisis Semiotika Stempel (hanko)

Berdasarkan hasil analisis di atas, dapat disimpulkan bahwa kakejiku

taki yang dibuat oleh Kobayashi Taigen, dalam chanoyu kita dibawa secara

tidak langsung untuk mencintai alam, berimajinasi, dan merasakan menyatu

dengan alam, khususnya air terjun yang senantiasa memberikan kesejukan

sebagai representasi tema pada musim panas.


66

4.1.3 Analisis Kakejiku Kissako (mari minum teh)

Kissako merupakan salah satu idiom yang berasal dari ajaran Zen

Buddhisme. Kakejiku kissako banyak digunakan pada upacara chanoyu di

Jepang. Kakejiku ini tidak terikat musim atau muki ( 無 季 ) sehingga cocok

pada musim apa saja. Berikut adalah gambar kakejiku kissako:

Gambar 4.7 Kakejiku Kissako38


38
https://buyee.jp/item/yahoo/shopping/enga-do_12-161301?lang=ja tanggal 28/12/2019
67

A. Makna Denotasi

Makna denotasi dari kakejiku di atas adalah gulungan kertas dengan kain

kimono bertuliskan huruf kaligrafi Jepang 喫茶去 (kissako) dengan style sousho atau

cursive (tegak bersambung) dipadu dengan lukisan sumi-e (kuas dan tinta hitam)

chawan (cawan) dan chashaku (sendok dari bambu) yang digantung secara vertikal.

1. Makna Huruf Kissako (喫茶去)

Makna denotasi dari huruf 喫 茶去 (kissako) ini adalah “have some

tea” atau dalam bahasa Jepang diartikan 「 お 茶 を 召 し 上 が れ 」 yang

memiliki arti “mari minum teh”. Kissako (喫茶去) secara harfiah berasal dari

kata 喫茶 (kissa) yang berarti minum teh dan kata 去 (kyo/ko) yakni masa

lalu.

2. Makna Chawan (mangkuk teh)

Makna denotasi cawan yakni cangkir yang tidak bertelinga. Makna

denotasi lainnya adalah alat minum yang dipakai dalam chanoyu.

3. Makna Chashaku (sendok dari bambu)

Chashaku adalah alat yang terbuat dari bambu yang digunakan pada

chanoyu untuk mengambil matcha (bubuk teh hijau) dari natsume (tempat

bubuk matcha).
68

B. Makna Konotasi

Dalam gambar 4.8, penulis melihat karya tersebut terdapat tulisan

kissako(喫茶去)dengan memadukan lukisan sumi-e chawan dan chashaku.

Kobayashi Taigen ingin menyampaikan bahwa “Siapa saja boleh meminum

teh disini”, karena dalam chanoyu, tidak mengenal status sosial seseorang

yang menandakan semua manusia terlahir sama atau equal. Makna konotasi

lainnya adalah Taigen memilih kata kissako(喫茶去), sebagai representasi

dari omotenashi (keramahtamahan) orang Jepang terhadap tamu. Hal ini

didukung oleh pernyataan Peter Barakan dalam Begin Japanology sebagai

berikut:

“This scrolls are often used to tea gatherings, this is a phrase taken
from Zen Buddhism, it means simply have some tea. In the tea
ceremony when the host served the tea everyone is treated equally.
Differences in wealth or status are set aside”
Arti:
“Gulungan (kakejiku) ini sering dipakai dalam pertemuan teh,
ungkapan ini diambil dari Zen Buddhisme yang jika disederhanakan
memiliki arti mari minum teh. Dalam upacara chanoyu, semua
diperlakukan sama oleh tuan rumah dan berbagai perbedaan
kemakmuan dan status seseorang dikesampingkan”.
(Sumber : Barakan, (2013). Begin Japanology: Hanging Scroll The Art
of Impermanence. Japan. NHK. https://www.youtube.com/watch?
v=PdkN3yWctBg&t=4s )
69

Gambar 4.8 Chawan dan Chasahaku Gambar 4.9 Kissako

Kemudian, berdasarkan pada gambar 4.8, analisis selanjutnya mengenai

makna konotasi yang ada pada lukisan sumi-e chawan dan chashaku. Sumi-e

mempunyai ciri khas dengan gaya lukisan bertinta hitam. Kobayashi Taigen ingin

memberikan pesan bahwa makna dari penggunaan sumi-e dalam lukisan tersebut

memiliki nilai estetika kanso atau kesederhanaan. Menurut Hisamatsu dalam

Zhao (2009: 14), kesederhanaan merupakan sesuatu yang tidak menyolok.

Kesederhanaan dalam warna berarti warna tersebut tidak menyolok dan tidak

terlihat adanya perbedaan warna. Hal ini juga menjadi refleksi bagi pelaku

chanoyu agar memiliki sifat sederhana tanpa menggunakan embel kekayaan dan

status sosial tersebut. Kemudian makna konotasi dari pemilihan lukisan chawan

memiliki nilai estetika shizen atau kealamian. Menurut pendapat Hisamatsu dalam

Zhao (2009: 15), shizen berarti sesuatu yang alami, wajar, natural, atau bukan

buatan. Hal ini sesuai dengan (gambar 4.8), dimana chawan dilukiskan tidak

simetris oleh Kobayashi Taigen. Sementara itu, dalam lukisan chashaku,

Kobayashi menyampaikan pesan bahwa memiliki nilai fukinsei atau asimetris.

Menurut Hisamatsu dalam Zhao (2009: 14), asimetris berarti tidak teratur, tidak

rata, atau tidak seimbang. Makna konotasi dari fukinsei tersebut yakni membuang

hawa nafsu untuk mencapai kesempurnaan. Arti kesempurnaan dalam Zen

tersebut berarti menerima ketidaksempurnaan itu sendiri. Karakteristik ini muncul

karena Zen Buddhisme tidak mengejar suatu kesempurnaan.


70

Dari berbagai aspek yang telah dijabarkan di atas, didapati makna konotasi

dalam Gambar 4.9 bahwa kakejiku kissako yang dibuat oleh Kobayashi Taigen,

secara tidak langsung Kobayashi mengajak orang agar mau mari minum teh dan siapa

saja boleh meminum teh di sini tanpa membedakan status sosial seseorang. Hal ini

disebabkan, dalam chanoyu semua diperlakukan dengan sama, bahkan untuk seorang

kaisar sekalipun. Semua mendapatkan teh dan barang yang sama. Sementara itu,

untuk penggunaan lukisan sumi-e chawan dan chashaku yang telah dijelaskan di atas,

Kobayashi Taigen ingin berpesan bahwa kita dituntut untuk memiliki sifat natural,

sederhana, dan senantiasa menerima ketidaksempurnaan.

Kobayashi Taigen dalam memilih warna yang dalam kakejiku ini

menggunakan warna yang kalem dan tidak mencolok. Hal ini menunjukan nilai

estetika kanso atau kesederhanaan agar terciptanya chouwa ( 調 和 ) atau harmoni

dalam kakejiku. Warna yang digunakan yakni coklat sama seperti analisis pada

gambar sebelumnya. Pada intinya, berdasarkan hasil dari analisis di atas, Taigen

sangat menyukai warna coklat. Hal ini dapat dilihat dari tiap analisis dari kakejiku

yang dibuat.

C. Mitos

Dalam gambar 4.7, makna yang dapat dibangun adalah penggunaan kakejiku

ini menjadi salah satu kebutuhan dalam chakai ( 茶 会 ) atau tea gathering ‘acara

kumpul minum teh’. Pada dasarnya chakai lebih bersifat informal dan sederhana
71

dimana tamu hanya menyajikan wagashi (manisan kue Jepang) dan usucha atau teh

hijau dengan warna yang tidak kental. Selain itu, penggunaan kakejiku ini cocok

untuk ditampilkan pada saat menjamu tamu yang belum memiliki pengalaman dalam

chanoyu.

Dari berbagai aspek yang telah dijabarkan di atas, makna mitos yang

dibangun adalah penggunaan kakejiku kissako digunakan dalam tiap perhelatan

chakai. Hal tersebut seolah membuat kesan siapa saja boleh meminum teh di sini,

meskipun belum berpengalaman. Wacana tersebut terus menerus dipakai oleh

masyarakat penggunanya dan mampu bertahan dari kepunahan seiring dengan

berjalannya waktu. Hal itu, membuat makna konotasi seakan-akan menggantikan

makna denotasinya sehingga menjadi suatu mitos. Hasilnya, Kissako tidak hanya

sekadar wacana saja, tetapi sebagai bentuk representasi orang Jepang dalam

menjunjung tinggi persamaan hak bagi semua orang tanpa membedakan status sosial.

Berdasarkan hasil analisis di atas, terdapat rangkuman dari hasil analisis

dalam bentuk tabel berikut:


72

1.Penanda 2. Petanda
Gulungan kertas bertuliskan
huruf kaligrafi Jepang 喫 茶 去
(kissako) dengan gambar
chawan (mangkuk teh) dan
BAHASA chashaku (sendok teh dari
bambu)
3. Tanda
I. PENANDA II. PETANDA
Wujud kakejiku yang bertuliskan 喫茶去 (kissako) - Representasi dari
dengan style sousho atau cursive (tegak omotenashi atau
bersambung) dipadu dengan lukisan sumi-e (kuas keramahtamahan
dan tinta hitam)
-Siapa saja boleh
meminum teh
III. TANDA
MITOS
Kissako tidak hanya sekadar wacana saja tetapi sebagai bentuk representasi
orang Jepang dalam menjunjung tinggi persamaan hak bagi semua orang
tanpa membedakan status sosial

Tabel 4.6 Analisis Semiotika Kissako


73

1.Penanda 2. Petanda
Gambar mangkuk teh
dan sendok bambu yang
berwarna hitam
BAHASA

3. Tanda
I. PENANDA II. PETANDA
Wujud gambar chawan (mangkuk teh) yang - Menerima
tidak sepenuhnya lingkaran dan chashaku ketidaksempurnaan
(sendok bambu) dengan gaya lukisan sumi-e
yang berwarna hitam dan putih - Sederhana
- Alat yang digunakan dalam
chanoyu
- Kealamian
III. TANDA
MITOS
Kesederhanaan yang tercermin dalam chanoyu

Tabel 4.7 Analisis Semiotika Sumi-e

Berdasarkan rangkuman pada tabel 4.6 dan 4.7 di atas, dari ketiga makna yang

dibangun, menghasilkan makna secara keselurahan yakni Kobayashi membuat

kakejiku kissako tersebut dimulai dari penggunaan ungkapan beserta lukisan di

dalamnya, bahwa mari minum teh, apapun status sosial anda, semua diperlakukan

sama dalam chanoyu, karena di dalam chanoyu, kita akan belajar memiliki sifat

natural, sederhana, dan senantiasa menerima ketidaksempurnaan.


BAB V

KESIMPULAN

5.1 Kesimpulan

Kakejiku merupakan bagian terpenting dan tak terpisahkan dalam interior

rumah Jepang. Kakejiku biasanya dimaksudkan untuk digantung di suatu dinding

sebagai bagian dari dekorasi interior sebuah ruangan. Secara tradisional, kakejiku

biasanya digantung di sebuah ruangan kecil yang disebut dengan Tokonoma. Selain

itu, kakejiku juga ditampilkan pada setiap kegiatan tradisional, seperti chanoyu.

Kakejiku ditampilkan sesuai dengan tujuan dan maksud dari pemakaiannya. Salah

satu keindahan dan keunikan dari kakejiku yakni ditampilkan sesuai dengan musim,

tamu, dan diaplikasikan ke dalam chanoyu.

Berdasarkan hasil analisis pada pemaknaan kakejiku karya Kobayashi Taigen

dalam ruangan chanoyu dengan menggunakan teori semiotika Roland Barthes yang

telah dilakukan pada bab sebelumnya, maka kesimpulan dari penelitian ini adalah

sebagai berikut:

Pertama, didasarkan pada makna-makna tersebut, terdapat hasil dari analisis

penelitian ini, yaitu dalam ketiga kakejiku karya Kobayashi Taigen tersebut, terdapat

makna yang dapat dipecahkan dengan teori Roland Barthes. Pada kakejiku

wakeiseijaku, Makna denotasinya adalah gulungan kertas dengan kain kimono

bertuliskan huruf kaligrafi Jepang 和 敬 清 寂 atau wakeiseijaku dipadukan dengan


75

lingkaran Zen atau enso ( 円 相 ). Huruf ini secara harfiah yakni wa (harmoni), kei

(rasa hormat), sei (kemurnian). Kemudian makna secara keseluruhannya yakni

Kobayshi Taigen berpesan dalam mengikuti kegiatan chanoyu, ketiga prinsip utama

harus dijalankan yakni prinsip keharmonisan, rasa hormat, dan kemurnian sehingga

memperoleh ketenangan.

Kedua, hasil analisis dari kakejiku taki-ga memiliki makna denotasi

Gulungan kertas dengan kain kimono bertuliskan huruf kaligrafi Jepang 瀧 (taki atau

air terjun). Kemudian, memiliki makna konotasi kesejukan. Makna mitos dari

Kakejiku taki-ga digunakan pada chakai atau tea gathering pada musim panas. Dari

keseluruhan makna menghasilkan kesimpulan bahwa Kobayashi menanamkan sugesti

dengan cara membuat subliminal message atau pesan tersembunyi melalui huruf kanji

瀧 (taki) yang ditulis menyerupai air terjun. Dengan demikian, orang yang melihat

karya tersebut dapat merasakan kesejukan air terjun pada musim panas. Kemudian,

dalam chanoyu kita didorong secara tidak langsung untuk mencintai alam,

berimajinasi, dan merasakan menyatu dengan alam, khususnya air terjun yang

senantiasa memberikan kesejukan sebagai representasi tema pada musim panas.

Ketiga, hasil analisis dari kakejiku kissako dengan makna denotasi “mari minum

teh”, makna konotasi “siapa saja boleh meminum teh di sini karena manusia terlahir

sama atau sejajar”, dan makna mitosnya adalah kakejiku ini sering dipakai dalam

chakai ‘acara kumpul minum teh’. Kobayashi Taigen membuat kakejiku kissako

tersebut dimulai dari penggunaan ungkapan beserta lukisan di dalamnya, bahwa mari
76

minum teh, apapun status sosial anda, semua diperlakukan sama dalam chanoyu,

karena di dalam chanoyu, kita akan belajar memiliki sifat natural, sederhana, dan

senantiasa menerima ketidaksempurnaan.

5.2 Saran

Penelitian ini membahas mengenai pemaknaan kakejiku karya Kobayashi

Taigen dalam ruangan chanoyu menggunakan teori semiotika dari Roland Barthes.

Dalam penelitian ini penulis menggunakan acuan metode penelitian kualitatif. Untuk

peneliti selanjutnya dapat memakai budaya Jepang yang lainnya sebagai obyek

sebagai contoh byobu atau layar lipat Jepang.


DAFTAR PUSTAKA

Referensi Buku

Barthes, Roland. (2006). Mitologi. Yogyakarta: Kreasi Wacana Perum Sidorejo Bumi
Indah (SBI).

Baker, Gregg. (2013). Asian Art: Recent Acquisitions. London: Asian Art.

Burhan, Bungin. (2007). Penelitian Kualitatif. Jakarta: Prenada Media Group.

Danandjaja, James. (1997). Folklor Jepang Dilihat dari Kacamata Indonesia.


Jakarta:
Grafiti.

Hasegawa, Nyozekan. (1966). The Japanese Character, Tokyo: Kodansha. Intl.

Hasan, M. Iqbal (2002). Pokok-pokok Materi Metodologi Penelitian dan Aplikasinya,


Bogor: Ghalia Indonesia.

Fukuda, Kunio. (1987). Nihon no Dentou Iro. Japan: Yomiuri Shibusa

Hisamatsu, Shin’ichi. (1971). Zen and the Fine Arts. , Tokyo: Kodansha. Intl.

Mudji, Sutrisno. (1993). Estetika filsafat keindahan, Yogyakarta: Penerbit Kanisius.

Nomasa, Wako. (1998). The Kodansha Bilingual Encyclopedia of Japan. Tokyo:


Kodansha International, Ltd.

Plutschow, Herbert (1986). Historical Chanoyu. Tokyo: Japan Times, Ltd.

Saussure, Ferdinand de. (1972). Course in General Linguistics. New York:


Philosophical Library, Inc.
78

Shiratori, H. (2007). Bukkyō Chō Nyumon. Tokyo: PHP Kenkyusho.

Suzuki, Daisetz T. (1988). Zen and Japanese Culture. Tokyo: Tuttle Publishing. Co.,
Inc.
Sugiyono. (2013). Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif,
dan R&D. Bandung: Alfabeta.

Somantri, Ratna. (2014). The Story in a Cup of Tea. Jakarta: Transmedia Pustaka

Sobur, Alex. (2009). Analisis Teks Media: Suatu Pengantar Untuk Analisis Wacana,
Analisis Semiotik, dan Analisis Framing. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

Sōru Ruymar, Michael. (1982). Zengo nyūmon. Tokyo: Daihōrin-kaku Co. Ltd.,

Shoshitsu, Sen XV. (1988). Chanoyu: The Urasenke Tradition of Tea. Tokyo: The
Weather Hill, Inc.
Thompson, Kay Morrissey. (1960). The Art and Technique of Sumi-e Japanese Ink
Painting: Japanese Ink Painting. Tokyo: Tuttle Publishing. Co., Inc.

Usman, Setiady, Akbar. (2009). Metodologi Penelitian Sosial. Jakarta: Bumi Aksara.

Referensi Skripsi

Dubs, Greg. (1987). Psycho-Spiritual Developmentin Zen Buddhism: A Study


Ofresistance In Meditation. California: Transpersonal Institute
Fakhriana, Rifda. (2015). Nilai Estetika Zen pada Fusuma dalam Arsitektur Jepang.
Yogyakarta: UGM.
Fitria Azhar, Elita. (2008). Nilai-nilai Estetika pada Taman Jepang Khususnya pada
Taman Karesansui. Depok : UI
Nurlita, Difa. (2019). Mitos Geisha dalam Film Memoir of A Geisha kajian
semiology
Roland Barthes. Yogyakarta: UGM
79

Vania, Veronika. (2011). Pencapaian Relaks di Spa dengan Kualitas Ruang dalam
Berdasarkan Filosofi Zen. Depok: UI
W.T. Mamengko, Marcello. (2012). Nilai Zen Buddhisme dalam Seni Beladiri
Karate. Depok: UI

Referensi Jurnal :

Noviana, Fajria. (2015). Kesederhanaan Wabicha dalam upacara minum teh Jepang.
Jurnal Izumi 5(1): 38-43.
Putri, Anastasia M.C.W, Handayani, Putria. (2010). Prinsip Dasar Buddha Zen
dalam
Chanoyu. Jurnal Lingua Cultura 4(2):129-139.
Purser, Ronald E. (2013). Zen and the Art of Organizational Maintenance. Jurnal
Organizational Aesthetic. 2(1): 34-58.

Plutschow, Herbert (1999). An Anthropological Perspective on the Japanese Tea


Ceremony. Anthropoetics. 5(1): 8

Referensi Online :
Antariksa. (2001). Space in Japanese Zen Buddihst Architecture. Dimensi Teknik
Arsitektur, (29) 3, 75-84. 14 Mei, 2010.
http://puslit2.petra.ac.id/ejournal/index.php/ars/article/viewFile/15747/153

Anonim, The Main Attraction in the Tea Ceremony is a Hanging Scroll. Diakses pada
tanggal 4/12/2019 jam 23:48 dari,
http://mat-cha-doh.com/the-main-attraction-in-the-tea-ceremony-is-a-hanging-
scroll/
Anonim, Manrakudo: Zengo Are Kore. Diakses pada tanggal 8/1/2020 jam 23:20
dari,
https://www.manrakudo.co.jp/zengo
80

Anonim, Kaitakudo Art: Chagake. Diakses pada tanggal 9/1/2020 jam 02:40 dari,
https://kaitakudo.co.jp/event/chakake
Bear, Howard Jacci (2008). Brown. About Inc., The New York Times Company.
Diakses pada 19 Januari 2020 jam 10:21 dari,
http://dekstoppub.about.com/cs/colorselection/p/blue.htm
Jyuluck-Do Corporation. Diakses pada tanggal 14/11/2016 jam 10:48 dari,
http://jyuluck-do.com/AboutKakejiku.html
Hanging scroll. diakses pada tanggal 14/11/2016 jam 10:35 dari,
http://www.j-bonsai.com/product-list/25
Murakami, Izumi. Kakejiku Studio Ren. Diakses pada tanggal 14/11/2016 jam 11:05
dari, http://www.kakejikuren.net/?mode=f5
Meylanita, Joyce. (n.d.) Arsitag:Focal Point yang “Catchy”. diakses pada 16/1/2020
https://www.arsitag.com/article/focal-point-yang-catchy
Nomura, Tatsuji. (n.d.). What is kakejiku. diakses pada tanggal 14/11/2016 jam 10:37
dari, http://nomurakakejiku.com/lesson_lineup/what-is-the-kakejiku
Nomura, Yuuichi. (2015). Kakejiku (Japanese Hanging Scroll). Diakses pada 25
Januari 2020 dari,
https://ezinearticles.com/?Kakejiku-(Japanese-Hanging-Scroll)&id=9061801
Renko, The Zen Universe: Enso-The Circle of Enlightenment. Diakses pada tanggal
9/1/2020 jam 10:50 dari,
http://thezenuniverse.org/enso-circle-enlightenment/
Yoshiyuki, Nishio. Maintenance of Asian Paintings II: Minor Treatment of Scroll
Paintings. Diakses pada tanggal 14/11/2016 jam 11:00 dari,
http://cool.conservation-us.org/coolaic/sg/bpg/annual/v20/bp20-07.pdf
Yudha, (2018). IDN Times:Arti Berbagai Warna di Jepang.
Diakses pada 19 Januari 2020 jam 08:23 dari,
81

https://www.idntimes.com/science/discovery/viktor-yudha/arti-berbagai-
warna-di-jepang/full

Referensi Video
Asian Art, (2013). Asu e no Tobira: kyo hyougu-hyougu-shi.
Diakses pada 20 November 2019 jam 20:50 dari
https://www.youtube.com/watch?v=0Pj29WQn6M8 )

Begin Japanology, (2017) Hanging Scroll: The Art of Impermanence. Tokyo:NHK.


Diakses pada 18 November 2019 jam 21:20 dari,
https://www.youtube.com/watch?v=PdkN3yWctBg&t=844s
82

Lampiran 1

CURRICULUM VITAE

DATA PRIBADI
Nama : Taufik Kurnia
Tempat, Tanggal lahir : Jakarta, 23 Juni 1995
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat : Jalan Kebantenan III Gg. R No.24, RT009/006,
Semper Timur, Cilimcimg, Jakarta
Domisili : Malang
Agama : Islam
Phone : +628 22 2611 1140
E-mail : taufikk.wangsadinata@gmail.com
Status : Belum menikah
Media sosial : taufikkurnia (Ig), taufikwangsadinata (Line)

Pendidikan Formal
1. 2015-2020 Universitas Brawijaya – Fakultas Ilmu Budaya
2. 2018-2019 Kanazawa University – International Student Education
3. 2010-2013 SMA Negeri 114 Jakarta
4. 2007-2010 SMP At-Taqwa Jakarta
5. 2007 SMP Negeri 1 Ciseeng
6. 2006-2007 SD Negeri 01 Ciseeng
7. 2005-2006 SD Negeri Semper Timur 01
8. 2005 SD Negeri Gunung Sahari 01
9. 2003-2005 SD Negeri Center Jatiseeng
10. 2002-2003 SD Nurul Falah
11. 2001-2002 SD Negeri Center Jatiseeng
12. 2000-2001 TK Aisyah
83

Pengalaman Organisasasi/Kepanitiaan

2015 Staf Divisi Shodou dan Roudoku, Japanese Festival Isshoni


Tanoshimimashou 11, Universitas Brawijaya
2016-2017 Ketua Divisi Shodou dan Rodoku, Japanese Total Festival
Isshoni Tanoshimimashou 12, Universitas Brawijaya
2016-2017 Ketua shodo club, Universitas Brawijaya
2017 Pengabdian Masyarakat pemanfaatan sampah anorganik berupa
botol plastik menjadi kerajinan lampion
2017 Hiroshima University START Program 2017
2018 Delegasi Konferensi dan Pameran Batik pada acara Future
Leader Camp Batik Festival di Jepang
2019 volunteer pada Sumer Camp 2019 Hokuriku International
Language and Culture Academy (HILCA), Kanazawa.
JLPT
- Lulus JLPT Level N3
- Berbahasa Inggris dengan sertifikasi (TOEFL)
84

Lampiran 2
85

Lampiran 3
La
mpiran 4
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
FAKULTAS ILMU BUDAYA
Jalan Veteran Malang 65145 Indonesia
Telp. (0341) 575875 Fax. (0341) 575822

BERITA ACARA BIMBINGAN SKRIPSI


1. Nama : Taufik Kurnia
2. NIM : 155110207111019
3. Program Studi : Sastra Jepang
4. Topik Skripsi : Budaya
5. Judul Skripsi : Pemaknaan Kakejiku Karya Kobayashi Taigen
dalam Ruangan Chanoyu
6. Tanggal Mengajukan : 18 September 2019
7. Tanggal Selesai Revisi : 23 Juli 2020
8. Nama Pembimbing : Santi Andayani, S.S., M.A.
9. Keterangan Konsultasi :

No. Tanggal Materi Pembimbing Paraf


1. 18 September 2019 Pengajuan Judul Santi Andayani, S.S., M.A.
2. 30 September 2019 Pengajuan Bab I Santi Andayani, S.S., M.A.

3. 1 November 2019 Revisi Bab I Santi Andayani, S.S., M.A.


Pengajuan Bab II &
4. 7 November 2019 Santi Andayani, S.S., M.A.
Bab III
Revisi Bab II & Bab
6. 12 November 2019
III
Santi Andayani, S.S., M.A.
7. 22 November 2019 Acc Seminar Proposal Santi Andayani, S.S., M.A.
8. 29 November 2019 Seminar Proposal Santi Andayani, S.S., M.A.
Revisi Bab I, Bab II, &
9. 3 Desember 2019
Bab III
Santi Andayani, S.S., M.A.
Pengajuan Bab IV &
10. 6 Desember 2019 Santi Andayani, S.S., M.A.
Bab V
11. 9 Desember 2019 Acc Seminar Hasil Santi Andayani, S.S., M.A.

Ni Made Savitri Paramita,


S.S., M.A
12 13 Desember 2020 Seminar Hasil Santi Andayani, S.S., M.A.

Ni Made Savitri Paramita,


S.S., M.A
13 9 Januari 2020 Acc Ujian Skripsi Santi Andayani, S.S., M.A.

Ni Made Savitri Paramita,


S.S., M.A

10. Telah dievaluasi dan diuji dengan nilai : B+

Mengetahui, Malang, 22 Juli 2020


Ketua Jurusan Bahasa dan Sastra, Pembimbing,

Sahiruddin, S.S, M.A, Ph.D. Santi Andayani, S.S., M.A.


NIP. 19790116 200912 1 001 NIK. 2016098103112000

Anda mungkin juga menyukai