Anda di halaman 1dari 122

Representasi Bunuh Diri (Jisatsu)

Dalam Manga Koe No Katachi

SKRIPSI

OLEH:
ANANG MULIA RAMADHANA
NIM 195110207111017

PROGRAM STUDI SASTRA JEPANG


DEPARTEMEN BAHASA DAN SASTRA
FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
2022
i

Representasi Bunuh Diri (Jisatsu)


Dalam Manga Koe No Katachi

SKRIPSI

Diajukan Kepada Universitas Brawijaya


untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan
dalam Memperoleh Gelar Sarjana Sastra

OLEH:
ANANG MULIA RAMADHANA
NIM 195110207111017

PROGRAM STUDI SASTRA JEPANG


DEPARTEMEN BAHASA DAN SASTRA
FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
2022

i
ii

PERNYATAAN KEASLIAN

Dengan ini saya :

Nama : Anang Mulia Ramadhana


NIM : 195110207111017
Program Studi : Sastra Jepang

menyatakan bahwa:
1 skripsi ini adalah benar-benar karya saya, bukan merupakan jiplakan dari
karya orang lain, dan belum pernah digunakan sebagai syarat mendapatkan
gelar kesarjanaan dari perguruan tinggi manapun.
2 jika di kemudian hari ditemukan bahwa skripsi ini merupakan jiplakan, saya
bersedia menanggung segala konsekuensi hukum yang akan diberikan

Malang,
22 Desember 2022

Juve Henson
NIM 195110200111004

ii
iii

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas
berkat dan karunia-Nya, penulis dapat menyelesaikan laporan skripsi ini yang
berjudul “Nasionalisme Zainichi dalam Film Chi To Hone Karya Sutradara
Yoichi Sai” dengan tepat pada waktunya.
Tujuan dari penulisan laporan ini tidak lain untuk memperoleh gelar
Sarjana Sastra pada Program Studi Sastra Jepang, Fakultas Ilmu Budaya,
Universitas Brawijaya. Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi ini
terwujud berkat bantuan arahan, bimbingan, dan doa dari berbagai pihak. Oleh
karena itu penulis mengucapkan terimakasih kepada:
1. Tuhan Yang Maha Esa, yang telah memberikan kekuatan bagi penulis
untuk melaksanakan KKN dan menyusun laporan KKN ini hingga selesai;
2. Ibu Emma Rahmawati Fatimah, M.A., selaku pembimbing yang senantiasa
memberikan motivasi dan bimbingan kepada penulis sehingga skripsi ini
terwujud;
3. Ibu Santi Andayani, M.A., selaku penguji yang senantiasa memberikan
motivasi dan masukan kepada penulis sehingga skripsi ini dapat menjadi
lebih baik;
4. Bapak dan ibu dosen Program Studi Sastra Jepang yang memberikan
bantuan kepada penulis;
5. semua pihak yang terlibat secara langsung maupun tidak langsung dalam
penyusunan skripsi ini.
Penulis menyadari skripsi ini masih belum sempurna, baik dari materi,
penulisan maupun dari segi penyajian karena keterbatasan dan kemampuan
penulis. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan saran dan kritik untuk
kesempurnaan skripsi ini.
Penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan
dapat memajukan bidang pendidikan khususnya pembelajaran sastra Jepang.

Malang, 6 Desember 2022

Penulis

iii
iv

ABSTRAK

Henson, Juve. 2022. Nasionalisme Zainichi dalam Film Chi To Hone Karya
Sutradara Yoichi Sai. Program Studi Sastra Jepang, Jurusan Bahasa dan
Sastra, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Brawijaya.

Pembimbing: Emma Rahmawati Fatimah, M.A.

Kata Kunci: poskolonialisme, nasionalisme, zainichi, homogenisasi kultural

Isu-isu poskolonialisme dapat dilihat dari berbagai aspek, seperti


pengaruhnya terhadap negara jajahan, bentuk perlawanan oleh bangsa terjajah,
dan nasionalisme. Nasionalisme dapat dipandang dari dua sisi. Kebangkitan
nasionalisme merupakan tonggak perjuangan yang mampu menyatukan bangsa
terjajah. Namun di sisi lain, nasionalisme juga berpotensi dikonstruksi oleh
penjajah untuk memuluskan kekuasaannya di negara terjajah. Masalah
nasionalisme tersebut juga tercermin dalam film Chi to Hone yang menceritakan
kehidupan sehari-hari etnis minoritas zainichi di Jepang.
Fokus penelitian ini adalah pada homogenisasi kultural yang pada
akhirnya memaksa kelompok zainichi untuk memilih antara menjadi kominka atau
tetap memegang teguh rasa nasionalismenya terhadap Korea Utara. Jenis
penelitian ini adalah penelitian kualitatif. Data penelitian diperoleh dari dialog dan
tangkapan layar dalam film Chi to Hone serta dokumen yang berkaitan dengan
fokus permasalahan. Landasan teori utama yang digunakan dalam penelitian ini
adalah ruang poskolonial Sara Upstone beserta teori pendukung Mise-en-scene.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa meskipun homogenisasi kultural
oleh Jepang sebagian berhasil diterima oleh kelompok zainichi demi mendapatkan
kehidupan yang lebih layak, ideologi kelompok zainichi tersebut tetap anti
Jepang. Penggunaan bahasa Korea dalam kehidupan sehari-hari, segala bentuk
dukungan terhadap komunisme dan ideologi Korea Utara, serta diskriminasi yang
dilakukan kelompok zainichi terhadap orang Jepang merupakan representasi
nasionalisme mereka terhadap negara Korea Utara.

iv
v

要旨

へンソン・ジュヴェ。2022。崔洋一監督の映画『血と骨』における在日の愛国心

指導教員::エマ・ラーマワティ・ファティマ

キーワード: ポストコロニアリズム, 愛国心, 在日, 文化の均質化

 ポストコロニアリズムの問題は、植民地化された国への影響や人々による抵抗
の形態、愛国心など、さまざまな側面から見ることができる。愛国心は諸刃の剣
のようなものである。愛国心の台頭は植民地化された人々にとって、国家を統一
する手段になり、一方、愛国心は植民地主義者が植民地化された国での権力を
円滑にするために形成された思想と思われる。愛国心の問題は、日本の在日少
数民族の日常を描いた映画『血と骨』にも反映されている。
 本論文は、在日に対する文化の的均質化、つまり、果たして在日の民族は皇
民化されるか、それとも北朝鮮に対する愛国心を維持し続けるかについて研究し
ている。記述的・定性的が研究手法となる。本研究で使用された主なる理論は、
サラ アップストーンのポストコロニアル空間と、それを裏付けるミザンセーヌの理
論である。
 研究の結果として、日本による文化の均質化は、より良い生活を得るために在
日朝鮮人によって部分的に受け入れられたものの、在日朝鮮人の思想は依然と
して反日的であることが示された。日常生活での韓国語の使用、共産主義と北
朝鮮の思想に対するあらゆる形態の支持、および在日朝鮮人による日本人に対
する差別は、北朝鮮に対する愛国心の表れである。

v
vi

DAFTAR ISI
PERNYATAAN KEASLIAN..........................................................................................ii
KATA PENGANTAR.....................................................................................................iii
ABSTRAK.......................................................................................................................iv
DAFTAR ISI...................................................................................................................vi
DAFTAR GAMBAR.....................................................................................................viii
DAFTAR LAMPIRAN....................................................................................................x
DAFTAR TRANSLITERASI.........................................................................................xi

PENDAHULUAN.............................................................................................................1
1.1 Latar Belakang...................................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah..............................................................................................7
1.3 Tujuan Penelitian................................................................................................7
1.4 Manfaat Penelitian..............................................................................................7
1.5 Ruang Lingkup Penelitian..................................................................................8
1.6 Kata Kunci.........................................................................................................8

KAJIAN PUSTAKA......................................................................................................10
2.1. Landasan Teori...............................................................................................10
2.1.1 Kajian Poskolonialisme............................................................................10
2.1.2 Nasionalisme............................................................................................13
2.1.3 Penerapan Teori Poskolonialisme terhadap Analisis Sastra......................17
2.1.4 Ruang Poskonaliasme Sara Upstone.........................................................18
2.1.5 Kelompok Zainichi...................................................................................24
2.1.6 Sinopsis Film Chi to Hone........................................................................29
2.1.7 Mise-en-scene...........................................................................................33
2.1.8 Sinematografi (Cincamatography)...........................................................35
2.2 Penelitian Terdahulu......................................................................................38
2.2.1 Penelitian dengan Judul Paradoks Ruang Tubuh Dalam Puisi “Sakramen”
Karya Joko Pinurbo: Kajian ‘Pascakolonial Tubuh’ Sara Upstone...........................38
2.2.2 Penelitian dengan Judul Kedudukan Subaltern Tokoh Perempuan Pribumi
dalam Novel Bunga Roos dari Tjikembang Karya Kwee Tek Hoay........................40
2.2.3 Penelitian dengan Judul Ambivalensi dalam Cerpen Anak Ini Mau
Mengencingi Jakarta? Karya Ahmad Tohari: Kajian Poskolonialisme.....................41

METODE PENELITIAN..............................................................................................43
3.1 Jenis Penelitian.................................................................................................43

vi
vii

3.2. Sumber Data.....................................................................................................44


3.3. Metode Pengumpulan Data..............................................................................45
3.4. Teknik Analisa Data.........................................................................................46

TEMUAN DAN PEMBAHASAN.................................................................................48


4.1 Representasi Homogenisasi Kultural dalam Film Chi to hone....................48
4.1.1. Propaganda Kooptasi Jepang-Korea Untuk Memenangkan Perang Dunia II
49
4.1.2. Asimilasi Paksa Bahasa Jepang Terhadap Kelompok Zainichi.................53
4.1.3. Pemaksaan Penggunaan Nama Berbau Jepang Kepada Etnis Korea........55
4.1.4. Pengumandangan Lagu Nippon Danji......................................................57
4.2 Representasi Nasionalisme Kelompok Zainichi Dalam Film Chi to hone. .59
4.2.1. Penggunaan Bahasa Korea.......................................................................59
4.2.2. Penggunaan Istilah “Mansei” Menggantikan “Banzai”............................70
4.2.3. Semangat Setanah Air Siswa-Siswi Zainichi di Sekolah Jepang..............73
4.2.4. Dukungan Terhadap Sayap Kiri (Komunis) dan Revolusi Jepang............76
4.2.5. Peristiwa Pembakaran Pos Polisi oleh Kelompok Zainichi.......................83
4.2.6. Representasi Keinginan Untuk Kembali Ke Tanah Air (Korea Utara).....86
4.2.7. Perilaku Diskriminatif Terhadap Orang Jepang........................................89
4.2.8. Prosesi Pemakaman Menggunakan Adat Korea.......................................93
4.2.9. Mendonasikan Seluruh Harta Ke Pemerintah Korea Utara.......................95

KESIMPULAN DAN SARAN.......................................................................................99


5.1 Kesimpulan......................................................................................................99
5.2 Saran...............................................................................................................100
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................................101
LAMPIRAN..................................................................................................................105

vii
viii

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 4.1 Kekerasan dan pemaksaan yang dilakukan tentara kepada etnis
Korea di Jepang yang menolak mengucapkan Banzai...........................................
Gambar 4.2 San-myung Jang mempelajari aksara Jepang.....................................
Gambar 4.3 Takayama Shingi menggunakan nama Jepang di resepsi
pernikahannya........................................................................................................
Gambar 4.4 Para pemuda zainichi menyanyikan lagu Nippon Danji....................
Gambar 4.5. Para wanita mempersiapkan hidangan pernikahan anak angkat
Shun-Pei.................................................................................................................
Gambar 4.6 Lee Young-hee berdoa menghadap altar............................................
Gambar 4.7 Lee Young-hee berdoa menghadap altar............................................
Gambar 4.8 Masao dan Hanako menyebut ayahnya menggunakan bahasa
Korea......................................................................................................................
Gambar 4.9 Shingi menghadap Kim Shun-Pei......................................................
Gambar 4.10 San-myung Jang menggunakan bahasa Korea saat memanggil
Lee Young-hee.......................................................................................................
Gambar 4.11 San-myung Jang berteriak mansei....................................................
Gambar 4.12. Sekolah Menengah Pertama Ikuno Osaka.......................................
Gambar 4.13. Masao dan San-myung Jang mengidentifikasi diri mereka
sebagai seorang komunis........................................................................................
Gambar 4.14 Dukungan kelompok zainichi terhadap Mao Zedong......................
Gambar 4.15 Ajakan kepada kelompok zainichi untuk bergabung dengan
Partai Komunis Jepang...........................................................................................
Gambar 4.16 Penyerangan Pos Polisi oleh kelompok zainichi..............................
Gambar 4.17 San-myung Jang bebas dari penjara.................................................
Gambar 4.18. Keberangkatan kelompok zainichi menuju Korea Utara................
Gambar 4.19 Perselisihan Masao dan Lee Young-hee setelah Masao setelah
Kim Shun-Pei membunuh Kiyoko.........................................................................

viii
ix

Gambar 4.20 Prosesi Pemakaman Lee Yong-He...................................................


Gambar 4.21 Kim Shun-pei pergi dari Jepang dan meninggal di Korea Utara.....

ix
x

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1: Curriculum Vitae..............................................................................102

Lampiran 2: Sertifikat JLPT N3............................................................................103

Lampiran 3: Sertifikat TOEFL ITP.......................................................................104

Lampiran 4: Surat Keterangan Sertifikasi IT........................................................105

Lampiran 5: Berita Acara Seminar Proposal.........................................................10

Lampiran 6: Berita Acara Seminar Hasil..............................................................10

Lampiran 7: Berita Acara Ujian Skripsi................................................................10

Lampiran 8: Berita Acara Bimbingan Skripsi.......................................................10

x
xi

DAFTAR TRANSLITERASI

あ(ア)a い(イ)i う(ウ)u え(エ)e お(オ)o


か(カ)ka き(キ)ki く(ク)ku け(ケ)ke こ(コ)ko
さ(サ)sa し(シ)shi す(ス)su せ(セ)se そ(ソ)so
た(タ)ta ち(チ)chi つ(ツ)tsu て(テ)te と(ト)to
な(ナ)na に(二)ni ぬ(ヌ)nu ね(ネ)ne の(ノ)no
は(ハ)ha ひ(ヒ)hi ふ(フ)fu へ(ヘ)he ほ(ホ)ho
ま(マ)ma み(三)mi む(ム)mu め(メ)me も(モ)mo
や(ヤ)ya ゆ(ユ)yu よ(ヨ)yo
ら(ラ)ra り(リ)ri る(ル)ru れ(レ)re ろ(ロ)ro
わ(ワ)wa を(ヲ)wo ん(ン)n
が(ガ)ga ぎ(ギ)gi ぐ(グ)gu げ(ゲ)ge ご(ゴ)go
ざ(ザ)za じ(ジ)ji ず(ズ)zu ぜ(ゼ)ze ぞ(ゾ)zo
だ(ダ)da ぢ(ヂ)dji づ(ヅ)dzu で(デ)de ど(ド)do
ば(バ)ba び(ビ)bi ぶ(ブ)bu べ(ベ)be ぼ(ボ)bo
ぱ(パ)pa ぴ(ピ)pi ぷ(プ)pu ぺ(ペ)pe ぽ(ポ)po
きゃ(キャ)kya きゅ(キュ)kyu きょ(キョ)kyo
しゃ(シャ)sha しゅ(シュ)shu しょ(ショ)sho
ちゃ(チャ)cha ちゅ(チュ)chuちょ(チョ)cho
にゃ(ニャ)nyaにゅ(ニュ)nyu にょ(ニョ)nyo
ひゃ(ヒャ)hya ひゅ(ヒュ)hyuひょ(ヒョ)hyo
みゃ(ミャ)mya みゅ(ミュ)myu みょ(ミョ)myo
りゃ(リャ)rya りゅ(リュ)ryu りょ(リョ)ryo
ぎゃ(ギャ)gyaぎゅ(ギュ)gyuぎょ(ギョ)gyo
じゃ(ジャ)ja じゅ(ジュ)ju じょ(ジョ)jo
ぢゃ(ヂャ)dja ぢゅ(ヂュ)dju ぢょ(ヂョ)djo
びゃ(ビャ)byaびゅ(ビュ)byu びょ(ビョ)byo
ぴゃ(ピャ)pyaぴゅ(ピュ)pyu ぴょ(ピョ)pyo

xi
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kehidupan manusia pada dasarnya tidak dapat dipisahkan dari gejala-

gejala social yang menyertainya. Gejala sosial adalah suatu fenomena yang

ditandai dengan timbulnya permasalahan sosial yang mempengaruhi dan

dipengaruhi oleh tingkah laku setiap individu di dalam lingkungan kehidupannya

(Raiftissia 2021:1). Sorokin (2019:2) mengelompokkan gejala sosial menjadi

beberapa aspek antara lain, gejala sosial-ekonomi, gejala sosial-politik. gejala

sosial-hukum, dan gejala sosial-budaya. Contoh gejala sosial dalam masyarakat

antara lain adalah kemiskinan, kejahatan, dan persamaan gender. Salah satu gejala

sosial yang nampak dan bisa dilihat secara langsung adalah gejala sosial-budaya.

Menurut Kistanto (2008:8), gejala sosial-budaya merupakan gejala paduan

dari gejala sosial dan gejala budaya sehingga menjadi suatu gejala

kemasyarakatan yang meliputi hubungan-hubungan sosial yang dengannya

manusia dalam masyarakat menghasilkan dan mengembangkan unsur-unsur

budaya, untuk memenuhi hajat-hajat sosial dan budaya suatu masyarakat dalam

melangsungkan dan mengembangkan kehidupan sosial-budayanya. Oleh karena

itu, gejala sosial budaya dianggap oleh masyarakat sebagai hal yang bermuatan positif

dan tidak perlu dipertanyakan lagi.

Salah satu bentuk positif dari gejala sosial budaya adalah Adanya upaya

mewujudkan kesetaraan gender. Basow dalam Rorintulus (2018:141) berpendapat

1
2

bahwa gender mengacu pada peran sosial dan budaya laki-laki atau perempuan

yang harus dilakukan dalam masyarakat tertentu. Artinya, peran gender laki-laki

dan perempuan akan berbeda dari satu masyarakat dengan masyarakat lainnya. Di

amerika kesetaraan gender sangat terasa seperti Pay Gap antara pria dan wanita

semakin lama semakin mengecil dan profesi yang sebelumnya hanya bisa

dilakukan oleh Pria dapat pula dilakukan oleh wanita

Akan tetapi, tidak semua gejala sosial-budaya memiliki dampak yang

positif. Salah satu contoh gejala sosial budaya yang mengarah ke arah negatif

adalah bunuh diri. Menurut Gamayanti (2014:5), bunuh diri adalah tindakan yang

dapat menyebabkan kematian, disengaja, dilakukan oleh dirinya sendiri dan

pelaku menganggap tindakannya sebagai jalan yang terbaik untuk menyelesaikan

masalahnya. Sehingga dapat diartikan bunuh diri adalah tindakan mengakhiri

hidupnya sendiri secara sengaja. Menurut Setiawan (2021:4), sejak tahun 1991

tren kematian yang disebabkan bunuh diri mengalami peningkatan yang cukup

signifikan walaupun pada tahun-tahun tertentu jumlahnya menurun. Bunuh diri

sangatlah identik dengan tradisi ataupun budaya suatu negara, salah satunya

adalah negara jepang.

Negara Jepang memiliki reputasi yang cukup terkenal mengenai bunuh

diri. Negara itu memiliki tingkat depresi dan bunuh diri yang cukup tinggi.

Menurut japantimes pada tahun 2022 Jumlah orang jepang yang bunuh diri

berjumlah mencapai 21.584 orang. Bunuh diri sudah sangat erat dengan

masyarakat Jepang sejak era feodal. Dimulai dengan adanya budaya Seppuku.

Trahutami (2017:1) Menjelaskan bahwa seppuku adalah upacara bunuh diri di


3

kalangan para ksatria (samurai). Seppuku dianggap sebagai cara mati yang sangat

terhormat dan bukan suatu hal yang hina. Bunuh diri sebagai bentuk representasi

sebagai kesatria yang terhormat mengalami beberapa perubahan bentuk dari

waktu ke waktu. Di jaman modern peristiwa paling dikenal adalah para pilot

pesawat tempur Jepang yang menabrakkan dirinya ke kapal perang musuh pada

perang dunia 2.

Salah satu bentuk gejala sosial bunuh diri dapat ditemukan di berbagai

media hiburan seperti manga. Manga pada dasarnya adalah penyebutan untuk

komik buatan jepang. Akan tetapi, manga bukanlah satu-satunya istilah yang

digunakan untuk komik di Jepang. Seperti halnya penggunaan istilah novel grafis,

untuk komik dengan kesan berbeda dari komik biasa, manga juga

mengeksplisitkan konsep yang mirip dengan istilah novel grafis tersebut. (Raab

2004:8). komikkusu atau komikku (コミックス;コミック) adalah versi bahasa

Jepang dari kata “komik” dan sering merujuk pada komik asing atau digunakan

saat mencoba meremehkan konotasi humor dari kata “manga”, atau, seperti kata

Schodt. , “oleh orang-orang industri dan media yang berusaha terdengar rumit”

(Schodt, 1996: 33; Kinsella, 1999).

Ada banyak manga yang mengambil konsep gejala sosial-budaya negatif

seperti bunuh diri, salah satunya adalah Koe no Katachi. Manga Koe no Katachi

adalah manga yang di buat oleh Yoshitoki Ōima yang diterbitkan oleh Weekly

Shōnen Magazine pada Agustus 2013 sampai November 2014. Manga ini

menceritakan tentang remaja bernama Shouya Ishida, seorang siswa sekolah dasar

yang nakal yang merasa dirinya terganggu oleh siswa pindah tuna rungu bernama
4

nishimiya shouko. Terlepas dari usaha shouko tulusnya untuk berteman dengan

teman sekelasnya. Shouko hanya mendapati dirinya sebagai pengganggu bagi

Shouya dan teman-temannya. Hal itu membuat Shouya dan teman-temannya

mengejek dan membully Shouko setiap kesempatan yang ada. Perundungan yang

dilakukan Shouya dan teman-temannya terhenti setelah Shouko pindah sekolah.

Menyangkal keterlibatan mereka, seluruh kelas menyalahkan Shouya. Sebagai

korban baru perundungan, Shouya secara bertahap menjadi lemah lembut dan

penyendiri. Shouya diperlakukan dengan penghinaan dan pengabaian selama

bertahun-tahun yang akan datang.

Akibat perundungan yang dilakukan teman-teman Shouya terhadap

Shouya, ia menjadi penyendiri dan depresi. Merasa depresi dan putus asa shouya

akhirnya memutuskan untuk mencoba untuk bunuh diri, tetapi sebelum

melakukan itu shouya memutuskan untuk menyelesaikan masalahnya terlebih

dahulu. Pada suatu hari shouya bekerja keras dan memberikan 1.700.000 yen

sebagai ucapan terima kasih Shouya kepada ibunya karena telah merawatnya.

Lalu Shouya memaksakan diri untuk bertemu Shouko untuk pertama kalinya

dalam lima tahun. Shouya bertekad untuk menebus kesalahannya dengan meminta

maaf kepada Shouko. Tetapi kebaikan Shouko terhadap Shouya memberikan

secercah harapan untuk Shouya yang membuatnya mengurungkan niatnya untuk

bunuh diri.

Bunuh diri dapat terjadi karena perasaan putus asa dan merasa satu-

satunya jalan menuju kedamaian adalah dengan mengahiri hidupnya sendiri. Oleh
5

karena itu tindakan yang dilakukan oleh Shouya merupakan bunuh diri karena

rasa bersalah.

Untuk menganalisis representasi fenomena bunuh diri dalam manga Koe

no katachi, penulis memakai teori sosiologi Alan Swingewood. Menurut

Swingewood Karya sastra adalah dokumen sosial-budaya yang dapat digunakan

untuk melihat suatu fenomena dalam masyarakat pada masa tersebut.

Swingewood mengutip pernyataan Luis De Bonald yang beranggapan bahwa

dengan melakukan close reading terhadap suatu karya sastra ‘nasional’, akan

diketahui pula apa yang berlaku pada masyarakat tersebut. Demikian juga

pernyataan Stendhal bahwa novel adalah “mirror journeying down the high road

(Swingewood, 1972: 13).

Penulis juga memakai teori mise en scene sebagai teori pendukung. mise

en scene bila diartikan secara harfiah adalah “untuk ditempatkan dalam

panggung” karena teori ini awalnya digunakan untuk teater panggung. Namun

secara figuratif adalah konten-konten dalam bingkai (frame) dan bagaimana ia

diorganisasikan. Konten dalam frame meliputi pencahayaan, kostum, dekorasi,

properti, dan aktor-aktor yang terlibat. Organisasi atas konten-konten frame

mencakup relasi antara para aktor dengan diri mereka sendiri, serta dengan

dekorasi, kamera, dan pandangan penonton (Gibbs, 2002: 5).

Dengan teori sosiologi Alan Swingewood dan teori pendukung Mise en

scene penulis akan meneliti adegan-adegan dalam manga Koe no katachi,

bagaimana penggambaran bunuh diri dalam manga tersebut dan bagaimana


6

Percobaan bunuh diri / fenomena bunuh diri yang tergambar dalam manga Koe no

katachi.
7

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dijelaskan di atas maka

rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:

1 Bagaimana representasi percobaan bunuh diri di jepang dalam manga Koe

no Katachi

2 Bagaimana Percobaan bunuh diri / fenomena bunuh diri yang tergambar

dalam manga Koe no katachi

1.3 Tujuan Penelitian

Melalui rumusan masalah yang telah dipaparkan, penelitian ini memiliki

tujuan sebagai berikut:

1 Untuk mengetahui representasi orang yang berkecenderungan bunuh diri

dalam manga Koe no Katachi..

2 Untuk mengetahui bagaimana budaya bunuh diri Jepang dapat memunculkan

manga Koe no Katachi.

1.4 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat secara teoretis maupun praktis.

Secara teoretis, hasil penelitian ini dapat memberikan informasi kepada pembaca

peminat sastra dan budaya mengenai aspek-aspek sosiologi dalam karya sastra

Jepang khususnya manga Koe no katachi. Selain itu, hasil penelitian ini

diharapkan dapat memperkuat ilmu kebudayaan, bahwa penggambaran budaya

dalam karya sastra dapat dibuktikan melalui kajian teori sosiologi.


8

Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan nilai

kegunaan bagi kehidupan dan pengajaran budaya. Berhubungan dengan

memberikan sejumlah data dan asumsi mengenai aspek-aspek kajian teori

sosiologi pada Koe no katachi karya Yoshitoki Ōima untuk menjadi objek

penelitian selanjutnya.

1.5 Ruang Lingkup Penelitian

Mengingat luasnya masalah yang akan dibahas, penelitian perlu

membatasi masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini. Jika masalah tersebut

tidak dibatasi maka pembahasan akan keluar dari topik pembicaraan. Penentuan

dan perincian konsep sangat penting untuk memperjelas persoalan yang akan

dibahas. Penulis membahas Manga Koe no katachi yang dibuat oleh Yoshitoki

Ōima yang.

Dari identifikasi masalah di atas, penelitian membatasi permasalahan

penelitian yaitu mendeskripsikan representasi percobaan bunuh diri dan fenomena

bunuh diri yang tergambar dalam manga Koe no katachi.

1.6 Kata Kunci

Berikut adalah beberapa istilah penting yang akan sering muncul dalam

penelitian ini.

Sosiologi : Max Weber (2016:2) mengidentifikasikan sosiologi

sebagai ilmu pengetahuan yang berusaha untuk

memahami tindakan sosial secara interpretatif.


9

Bunuh diri : Tindakan yang dapat menyebabkan kematian,

disengaja, dilakukan oleh dirinya sendiri dan pelaku

menganggap tindakannya sebagai jalan yang terbaik

untuk menyelesaikan masalahnya (Gamayanti

2014:5)

Budaya Jepang : Hofstede dalam Ernawan (2011:3) mengatakan

bahwa budaya adalah sebuah program kolektif

(bersama-sama) dari pemikiran yang membeda-

bedakan anggota-anggota dari suatu kelompok atau

komunitas manusia dengan yang lainnya.

Mise en scene : Konten-konten dalam bingkai (frame) yang

meliputi pencahayaan, kostum, dekorasi, properti,

dan aktor-aktor yang terlibat dan bagaimana ia

diorganisasikan.
BAB II

KAJIAN PUSTAKA

Pada bab ini akan dibahas mengenai pengertian kajian poskolonialisme,

penerapan teori poskolonialisme terhadap analisis sastra, ruang poskolonialisme

Sara Upstone, nasionalisme, kelompok zainichi, alur cerita film Chi to Hone,

Mise-en-scene, Sinematografi, dan penelitian terdahulu.

2.1. Landasan Teori

2.1.1 Kajian Poskolonialisme

Kolonialisme bangsa Eropa yang telah berlangsung selama lebih dari 300

tahun di seluruh penjuru benua, telah mengakibatkan banyak sekali perubahan-

perubahan mendasar pada garis-garis kultural negara terjajah. Dominasi budaya

yang berlangsung secara intensif dalam waktu yang relatif lama telah

menghasilkan tidak hanya hilangnya kekhasan lokal, namun lebih dari itu juga

telah memupuk mental Eropa sentris, budaya Eropa menjadi sebuah budaya yang

adiluhung serta dapat menjadi tolak ukur kebenaran dan justifikasi keunggulan

adat istiadat (Suastika, 2012:39). Hal itulah yang kemudian merasuki mental-

mental pribumi yang menjadi pemicu munculnya teori poskolonialisme.

Poskolonialisme merupakan sebuah paham yang merujuk pada fenomena

yang terjadi pada masa poskolonial. Poskolonialisme mengacu pada kehidupan

masyarakat poskolonial dalam cakupan artian yang lebih luas. Poskolonialisme

muncul sekitar tahun 1960-an berdasar pada peristiwa sejarah di mana masa

10
11

penjajahan yang pernah terjadi terhadap suatu negara. Poskolonialisme

memberikan arahan melalui seleksi dan akumulasi ilmu pengetahuan sepanjang

sejarahnya, sehingga poskolonialisme mampu menjadi saran pada suatu masalah

yang terjadi. Poskolonialisme juga menjelaskan bagaimana manusia untuk

menganalisis gejala-gejala kultural yang terjadi di masyarakat (Diannita,

2021:80).

Poskolonialisme menyajikan sudut pandang baru, yaitu negara - negara

yang termarjinalkan karena efek dari kolonialisasi yang pernah meluas di dunia ini

(Diannita, 2021:80). Oleh karena itu, poskolonialisme melihat permasalahan dan

isu - isu dalam suatu masyarakat kolonial dari sudut pandang Timur atau bangsa

yang pernah dijajah oleh Barat.

Secara umum, kajian poskolonial adalah metode yang digunakan untuk

menganalisis berbagai kondisi yang terjadi di negara-negara bekas kolonial Eropa.

Meskipun kolonialisme (penaklukan) fisik telah usai, namun penjajahan pikiran,

jiwa, dan budaya masih terus berlangsung. Oleh karena itu, penelitian dengan

kajian poskolonial meliputi pengaruh unsur kebudayaan yang ditinggalkan oleh

bangsa imperial (penjajah) sejak awal masa kolonialisme.

Teori Poskolonialisme, khususnya di Indonesia, diartikan sebagai abad

berakhirnya imperium kolonial di seluruh dunia, segala tulisan yang ada kaitannya

dengan paradigma superioritas Barat terhadap inferioritas Timur, baik sebagai

orientalisme maupun imperialisme (Diannita, 2021:80). Artinya, dari sudut

pandang kajian poskolonial, kolonialisme akan diusahakan untuk tetap lestari.

Bangsa terjajah akan terus dimarginalkan, diasingkan serta dikendalikan oleh


12

kaum imperialis penjajah. Mental mereka juga terus dirusak dengan stigma

negatif sebagai bangsa kalah, terbelakang, miskin, dan lain sebagainya.

Contoh bentuk kolonialisme yang dilakukan Belanda terhadap rakyat

Indonesia adalah diberlakukannya tanam paksa di Indonesia yang berlangsung

pada tahun 1830-1870 yang menimbulkan kesengsaraan pada masyarakat

Indonesia. Tidak terhitung banyaknya kejahatan kemanusiaan yang dilakukan

pemerintahan kolonial di Indonesia. Akan tetapi, karena wilayah Indonesia yang

begitu luas serta periode penjajahan Belanda yang begitu lama, tidak semua

kekejaman yang dilakukan Belanda dapat terdokumentasi. Di sisi lain, Belanda

seakan memiliki agenda untuk menghambat kemajuan bangsa Indonesia yaitu

dengan memperbodoh masyarakat dengan cara memperlambat sistem pendidikan.

Pemerintahan kolonial melakukan diskriminasi dengan mendirikan sekolah tetapi

terbatas pada kelompok elit yang merupakan teman atau kolega para penjajah

yang pada dasarnya juga memperkuat kedudukannya.

Dengan dekonstruksi, poskolonialisme menjadi kritik atas “kerangka

pikiran” Barat yang mapan, superior, maju, beradab terhadap dunia non-Barat

yang terbelakang sehingga mesti diarahkan, dicerahkan, diterjemahkan menurut

standar “humanisme Barat” (Suastika, 2012:39). Edward Said dalam bukunya

“Orientalism” (1978), menunjukkan bagaimana ia mendekonstruksi perilaku

kultural dan epistemologis Barat yang ingin terus menguasai “Timur”. Menurut

Said, “Timur” yang primitif dipakai sebagai cermin untuk membesarkan citra

Eropa sebagai pelopor peradaban. Selain itu, mitos dan stereotip tentang Timur
13

dimanfaatkan sebagai sarana pembenaran Eropa untuk melakukan kolonialisasi,

menguasai, menjinakkan, dan mengontrol keberadaan pihak lain.

Akan tetapi, menurut Diannita (2021:80), tidak ada objek yang khas

bersifat poskolonialisme karena poskolonialisme merupakan akumulasi konsep,

cara-cara pemahaman, bahkan sebagai praktik untuk menjelaskan objek, sehingga

objek yang sama dapat dipahami secara berbeda, baik pada orang yang sama pada

saat yang berbeda, maupun pada orang yang berbeda pada saat yang sama. Tidak

dipermasalahkan subjek dari objeknya, sebab Poskolonialisme juga melibatkan

penulis pribumi yang telah terkontaminasi oleh pemikiran Barat.

Melalui penjelasan di atas, maka yang dimaksud dengan Poskolonialisme

adalah cara-cara yang digunakan untuk menganalisis berbagai gejala kultural,

seperti: sejarah, politik, ekonomi, sastra, dan berbagai dokumen lainnya, yang

terjadi di negara-negara bekas kolonial. Objek penelitian poskolonialisme

mencakup aspek-aspek kebudayaan yang pernah mengalami kekuasaan imperial

sejak awal terjadinya kolonisasi hingga sekarang, termasuk berbagai efek yang

ditimbulkannya. Kata poskolonial tidak hanya mengacu pada pengertian

“sesudah” kolonial atau era kemerdekaan melainkan kondisi-kondisi yang

ditinggalkannya (Ratna, 2008: 90).

2.1.2 Nasionalisme

Nasionalisme secara etimologis berasal dari nation (bangsa). Anderson

(dalam Yuliati, 2009:1) mengatakan bahwa nation (bangsa) adalah suatu

komunitas politik yang terbatas dan berdaulat yang dibayangkan (imagined


14

communities). Nasionalisme seringkali diharapkan sebagai energi yang dapat

membangkitkan suatu bangsa, masyarakat, dan negara agar negara tersebut dapat

mengetahui potensi kekuatan nasionalnya untuk dikembangkan menuju cita-cita

yang diharapkan yaitu masyarakat yang aman, damai, adil, makmur, dan sentosa.

Menurut Sarman (dalam Kusumawardani & Faturochman, 2004:63), nasionalisme

merupakan simbol patriotisme sebagai bentuk perjuangan warga negara demi

negara yang dicintai dan cenderung diartikan sebagai kecintaan mutlak terhadap

tanah air. Akan tetapi, makna nasionalisme yang demikian sudah tidak relevan

lagi dengan problematika modern yang tengah terjadi. Pada masa kini, warga

negara tidak dipusingkan lagi dengan persoalan penjajahan dan merebut kembali

kekuasaan dari tangan kolonialis.

Kusumawardani & Faturochman (2004:64) menyatakan bahwa

nasionalisme pada intinya mengarah pada sebuah konsep mengenai jati diri

kebangsaan yang berfungsi dalam pemilihan identitas individu di antara

masyarakat dunia dan berkaitan erat dengan kebijakan-kebijakan pemerintah dan

negara. Dengan demikian, nasionalisme dapat difungsikan sebagai alat untuk

menggalang dukungan dari suatu bangsa dalam kondisi politik yang sarat akan

konflik kepentingan. Oleh karena itu, Ernest Gellner (dalam Betts, 1994:280)

berpendapat bahwa nasionalisme dapat berbentuk sentimen maupun gerakan.

Sentimen nasionalisme adalah perasaan marah yang muncul karena pelanggaran

prinsip atau perasaan puas akibat pemenuhan suatu prinsip. Sedangkan gerakan

nasionalis adalah sesuatu hal yang ditunjukkan oleh sentimen perasaan itu.
15

Di Barat, nasionalisme awalnya timbul sebagai reaksi atas feodalisme di

mana suatu negara dipersatukan atas dasar kesetiaan pada tokoh bangsawan

tertentu, agama, atau negara yang dikepalai raja dari suatu dinasti. Menurut

Barbara Ward (dalam Dewi, 2008:4), akar nasionalisme di dunia Barat diawali

setelah runtuhnya Kerajaan Roma di Eropa Barat di mana menumbuhkan

kelompok-kelompok kesukuan dan setelah melakukan serangkaian penaklukan

lalu menjadi negara-negara feodal. Dengan majunya abad pertengahan, tiga dari

kelompok-kelompok ini mulai mengambil bentuk nasional yang dapat dilihat.

Suku-suku Gaul telah ditaklukkan Caesar dan mereka diberi bahasa yang

dilatinisasi.

Nasionalisme di abad ke-20 di beberapa negara bergerak ke arah

nasionalisme totaliter, seperti yang dialami Jerman dan Italia. Di Italia terdapat

paham fasisme yang menitikberatkan pada kedaulatan negara daripada kedaulatan

rakyat. Menurut paham nasionalisme-fasisme, individu itu tercipta untuk

kepentingan negara. Dalam paham nasionalisme-sosialis (NAZI) Jerman di bawah

pimpinan Hitler terdapat pendapat yang menitikberatkan faktor ras, yaitu

keturunan bangsa Arya yang diciptakan Tuhan sebagai pembawa dan penyebar

peradaban ke seluruh dunia. Paham tersebut adalah lanjutan dari nasionalisme-

romantisme Jerman pada abad ke 19, tetapi muncul di abad 20 dalam bentuk yang

dianggap ekstrim (Dewi, 2008:6)

Nasionalisme sendiri sebenarnya menimbulkan pro dan kontra bahkan

menurut para ilmuwan dari dunia Barat. Nasionalisme menyerupai dewa Romawi

Janus yang bermuka dua. Di satu pihak, dapat menyatukan individu menjadi
16

bangsa dengan rasa solidaritas dan kebersamaan. Namun, dapat pula menciptakan

atau mempertegas garis pemisah antara Imagined Political Community yang baru

dengan siapa saja yang dikhayalkan di luar batasnya. Garis pemisah tersebut dapat

menjadi jurang permusuhan dan kebencian.

Menurut Jones (dalam Dewi, 2012:95), konflik nasionalis dan etnis

meliputi sekitar 70% kasus, sementara konflik kelas dan konflik-konflik lainnya

membagi rata angka sisanya. Nasionalisme dianggap sebagai faktor penyebab

perang yang paling utama. Mata rantai utama antara nasionalisme dan perang

adalah bangkitnya identitas berbagai penduduk yang pembagian geografisnya

menyimpang dari garis batas internasional, sehingga terjadi tuntutan teritorial dan

politik militan yang diorganisir atas dasar prinsip-prinsip identitas etnik, bangsa,

dan kelompok rasial.

Oleh karena itu, nasionalisme sebagai suatu ideologi memerlukan

aktualisasi sesuai perubahan zaman dan tantangan yang dihadapi. Musuh

nasionalisme tidak lagi terbatas pada imperialisme, kolonialisme, separatisme atau

ideologi-ideologi lain, namun meluas kepada hal-hal di luar itu, seperti

kemiskinan, keterbelakangan, penindasan hak asasi dan sebagainya (Rachmat

dalam Kusumawardani & Faturochman, 2012:65). Hal ini mengacu pada esensi

dasar dari nasionalisme yang mengutamakan kepentingan bersama di atas

kepentingan pribadi dan golongan, yang menyiratkan suatu keadilan yang

menyeluruh, yang harus mampu dirasakan semua anggota bangsa. Kemiskinan,

keterbelakangan, dan penindasan menandakan adanya ketimpangan dan


17

ketidakmerataan dalam suatu masyarakat bangsa, yang berarti bertentangan

dengan esensi dasar nasionalisme.

2.1.3 Penerapan Teori Poskolonialisme terhadap Analisis Sastra

Dalam analisis sastra, poskolonialisme bisa didefinisikan sebagai sebuah

pendekatan yang memfokuskan pada karya sastra dengan teks asli berbahasa

Inggris yang dahulu menjadi jajahan bangsa Inggris. Menurut Anggraeni

(2019:50), pendekatan sastra menggunakan teori ini berkonsentrasi atau

memfokuskan pada tulisan-tulisan dari budaya bangsa-bangsa yang pernah

dijajah, seperti Australia, Selandia Baru, Afrika, Amerika Selatan, dan tempat-

tempat atau bangsa-bangsa lain serta masyarakat yang dulu didominasi,

menggunakan pendekatan di luar tradisi kolonial yang memiliki latar belakang

budaya, politik, filsafat, dan budaya Eropa.

Munculnya sastra dengan pendekatan poskolonialisme sesungguhnya

bukan hal baru dan ternyata sudah ada sejak tahun 1950 an. Pada tahun 50 an

inilah, Perancis mengakhiri keterlibatannya di Indocina, Jean Paul Sartre dan

Albert Camus berbeda pendapat mengenai Algeria, Fidel Castro berpidato dengan

judul “History Shall Absolve Me,” dan Alfred Sauvy pertama kali menemukan

istilah “Dunia Ketiga” untuk menggambarkan negara-negara yang secara filsafat,

politis maupun budaya tidak terdefinisikan oleh metafisika Barat. Sepanjang tahun

1960 an, Frantz Fanon, Albert Memmi, George Lamming, dan para penulis, para

filsuf dan para kritikus lainnya mulai mempublikasikan teks-teks yang akan

menjadi dasar-dasar bagi tulisan-tulisan poskolonial.


18

Sangat banyak masalah yang dapat digali melalui teori Poskolonial. Novel

Indonesia yang sudah sangat biasa, bahkan mungkin membosankan bagi pembaca

tertentu, oleh karena sudah pernah dianalisis dari beberapa aspek, misalnya: Siti

Nurbaya, Layar terkembang, Belenggu, dan masih banyak lagi. Dengan

menggunakan teori Poskolonial novel tersebut seolah-olah menjadi baru kembali

dan menampilkan kegairahan yang belum pernah dirasakan sebelumnya. Konflik

batin, tema, dan pandangan dunia yang semula dianalisis dengan menggunakan

teori psikologi analitik, teori strukturalisme genetik, semiotik, resepsi dan

sebagainya, ternyata menawarkan cara pemahaman baru melalui teori Poskolonial

sebab permasalahan dalam teori ini sangat luas dan menantang, berkaitan dengan

ras, agama, politik dan sebagainya (Ratna, 2008:13).

Bahri (dalam Mahliatussikah, 2015:813) menjabarkan beberapa isu yang

dapat dikaji di dalam poskolonialisme, di antaranya yaitu:

1. pengaruh kolonialisme terhadap penjajah dan terjajah;

2. cara penguasaan penjajah terhadap yang terjajah;

3. jejak penjajahan dalam bidang pendidikan, ilmu pengetahuan, dan teknologi;

4. bentuk-bentuk perlawanan;

5. pengaruh pendidikan dan bahasa kolonial terhadap budaya dan identitas negara

atau masyarakat terjajah.

2.1.4 Ruang Poskonaliasme Sara Upstone

Pendekatan yang penulis pakai dalam penelitian ini adalah pendekatan

poskolonial menurut konsep Sara Upstone dalam buku Spatial Politics in the

Postcolonial Novel.
19

2.1.4.1. Konsep Ruang Tubuh Sara Upstone

Menurut Upstone (2009:6), aspek yang membentuk pendekatan

poskolonial ada pada politik ruang, maka dari itu poskolonial digambarkan

sebagai tempat/wilayah jajahan di mana kolonial sempat berkuasa namun

sekarang telah meninggalkannya. Masih ada ruang-ruang kolonial yang

ditinggalkan pada wilayah jajahan meskipun secara fisik sudah tidak berada lagi

dalam ruang terjajah (Upstone, 2009:6).

Budaya mengekang yang dipaksakan oleh kolonial berusaha dipatri

kepada subjek kolonial. Oleh karena itu, secara sengaja maupun tidak,

terbentuklah batas-batas budaya yang dipaksakan ke subjek kolonial dan

digunakan sebagai salah satu metode untuk mengontrol masyarakat baik secara

acak maupun struktural untuk membuat lingkungan masyarakat menjadi

homogen. Akan tetapi, homogenisasi yang terjadi tidak sepenuhnya mampu

menganulir hal-hal di masa lalu dari kehidupan masyarakat sebelum masa

kolonial. Ruang poskolonial memiliki sudut pandang bahwa teritori tidak bisa

dikonstruksi dan ruang merupakan hasil dari reklamasi. Ruang poskolonial tidak

melihat ruang sebagai suatu hal yang diciptakan oleh kolonial, melainkan tempat

di mana terdapat perbedaan-perbedaan di luar pemikiran kolonial, berisi suara-

suara heterogen, dan memiliki berbagai pengalaman yang memberi penekanan

pada perbedaan dan subjektivitas (Upstone, 2009:13). Heterogenitas yang terjadi

akan menimbulkan upaya pembongkaran terhadap pandangan ruang yang sifatnya

tetap menjadi ruang yang mengacu pada konsep yang berbeda-beda dari waktu ke

waktu dengan menanamkan pola-pola pemahaman serta pengalaman-pengalaman


20

baru terlepas dari konsep hasil konstruksi kolonial, tradisi, atau konsep Barat dan

Timur.

Upstone (2009:15) berpendapat bahwa konsep ruang yang berada di luar

batas-batas kolonial maupun di luar batas-batas tradisi, bahkan melampaui atau

berada sebelum batas-batas tersebut muncul disebut sebagai post-space. Konsep

post-space atau chaos memandang ruang sebagai sesuatu yang fluid dan tidak

memiliki batas-batas. Melalui konsep yang demikian, teks-teks poskolonial

mampu menarik probabilitas lain terkait konstruksi ruang yang ditanamkan oleh

kolonialisme. Probabilitas yang bisa dibaca sebagai sebuah usaha negosiasi atas

definisi identitas, budaya, hingga kemungkinan resistensi.

2.1.4.2 Chaos atau Post-Space

Menurut Upstone (2009:15), chaos atau post-space adalah suatu keadaan

di mana hibridisasi yang terjadi pada semua skala dalam suatu konsep keruangan

menjadi sumber untuk merevisi posisi poskolonial dalam masyarakat dan isu-isu

identitas konsekuen, atau dengan kata lain suatu kemungkinan yang melekat pada

ruang poskolonial sebagai hasil langsung dari sejarah suatu bangsa yang

heterogen. Oleh karena itu, post-space dimaknai sebagai pengakuan atas

kekacauan yang melekat baik dalam ruang secara konsep maupun realisasinya.

Menurut Upstone (2009:15), Chaos berhasil muncul ke permukaan oleh

bangsa poskolonial yang menjadi objek penindasan dan digunakan untuk

melawan kekuatan kolonial untuk mengganggu totalisasi yang dilakukan oleh

kaum kolonial. Meskipun chaos sekilas tampak seperti konsep/upaya membuka

kolonisasi baru karena dalam aktualisasinya berusaha merusak wilayah perbatasan


21

atau bahkan “rumah” sebagai simbol pertahanan, faktanya chaos justru

memberikan perlawanan yang kuat terhadap jejak-jejak kolonialisme.

Melihat aktualisasi chaos, kaum kolonial cenderung memanfaatkan chaos

untuk memberikan instruksi dalam sebuah persetujuan kenegaraan sekaligus

kontrol politik, demikian pula kapitalisme kontemporer yang menjanjikan akan

membawa stabilitas pada kekacauan yang seharusnya terjadi di negara-negara

berkembang (Upstone, 2009:9). Kaum kolonial akan memanfaatkan celah ketika

ruang-ruang fluid space dan fluiditas yang ada dalam negara berkembang

berusaha saling mendominasi.

Oleh karena itu, chaos juga dapat bermanifestasi sebagai konsep yang

mewadahi penindasan yang dilakukan kaum kapitalis (Upstone, 2009:10). Chaos

seharusnya tidak mewadahi, melainkan menjadi oposisi atas kapitalisme yang

terjadi. Akan tetapi, bukan berarti chaos sebagai oposisi harus mengendalikan

otoritas karena hubungan dialektika seperti itu dengan sendirinya meniru pola

pikir kolonial. Oposisi seperti itu sangat tidak tepat ketika, pada kenyataannya,

keinginan utama sistem kapitalis adalah untuk pengaturan dan kontrol teritorial

yang sama seperti: perjanjian perdagangan, hukum persaingan, kantong ekonomi

yang mencontohkan proyek kolonial (Upstone 2009:10).

Oleh karena itu, menurut Mbembe, chaos dalam lingkup dunia poskolonial

erat kaitannya dengan konsep fluiditas yang lebih positif. Lebih dekat artinya

dengan “fluktuasi dan ketidakpastian” tulisnya, tidak selalu berarti kurangnya

ketertiban (Upstone, 2009:12). Setiap representasi dari keadaan dunia yang tidak

stabil tidak dapat secara otomatis dimasukkan ke dalam chaos. Selain itu, chaos
22

bukanlah oposisi terhadap fluiditas positif dan signifikan, melainkan sebagai

ekspresi dari fluiditas. Upstone menegaskan, pemaknaan chaos seperti ini cukup

dominan di dalam istilah teori chaos.

Chaos atau post-space didefinisikan bukan sebagai gangguan yang tak

berkesudahan, melainkan sebagai destabilisasi atau penyebab ketidakstabilan.

Destabilisasi ruang yang ditawarkan oleh teks-teks poskolonial bukanlah

penolakan makna space (ruang) itu sendiri. Melainkan, berusaha mengekspos jika

ruang memiliki strukturnya sendiri untuk diungkap. Namun, tidak seperti ruang

tatanan poskolonial, post-space mengakui ketidakstabilan yang terjadi dan

merangkul perubahan dinamis yang bergema dalam kerawanan dependensi yang

menjadi sandaran chaos.

2.1.4.3 Nasionalisme dalam Post-Space atau Chaos

Peran nasionalisme dalam menyatukan penduduk yang terjajah membuat

nation menjadi panji penting, di mana kaum terjajah dapat merespon serta

mendapat respon empire (kekaisaran). Secara teori, nasionalisme menyediakan

space (ruang) absolut yaitu nation (bangsa) yang diperlukan untuk menjadi

oposisi dari totalitas yang jauh lebih besar dan lebih kuat yaitu wilayah kolonial

(Upstone, 2009:27). Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa nasionalisme

dapat dilihat sebagai konstruksi strategis yang diperlukan untuk menantang

kemutlakan kolonial dan hadir sebagai ideologi yang stagnan, krusial, serta

otentik yang menentang penjajah asing.

Akan tetapi, dukungan terhadap nation (bangsa), dan nasionalisme sebagai

sarana untuk meraih kemerdekaan, telah membatasi pembahasan terkait


23

kemungkinan bahwa nasionalisme memiliki peran untuk melanjutkan sikap

kolonial dan telah mengaburkan realitas umum nation (bangsa) itu sendiri sebagai

konstruksi kolonial (Upstone, 2009:25). Dengan mengatasnamakan nasionalisme

yang terkesan anti-kolonial, bangsa terjajah berkemungkinan mewariskan budaya

bangsa kolonial dan telah mengaburkan realitas umum nation atau nasionalisme

itu sendiri sebagai konstruksi kolonial yang memegang kontrol kolonial atas ruang

pribumi. Dengan kata lain, nasionalisme yang pada awalnya bermuatan positif

pada akhirnya dikonstruksi sedemikian rupa menjadi sebuah konsep yang mampu

melanggengkan kekuasaan bangsa kolonial di wilayah jajahannya.

Seperti kolonialisme, nasionalisme mengaburkan chaos dan hibridisasi

yang mendasari organisasi ruang, dengan pengertian pengaturan yang sederhana

dan logis (Upstone, 2009:29). Oleh karena itu, nasionalisme dapat dimanfaatkan

sebagai sarana kaum kolonial untuk mencapai keseragaman dalam post-space

meskipun pada hakikatnya post-space merupakan fluid space di mana kekacauan

sudah sewajarnya ditemukan di sana

Sebagaimana poskolonialisme berkaitan dengan mengeksplorasi identitas

marjinal yang dihasilkan ketika penjajah pergi, demikian pula nasionalisme

antikolonial berkaitan dengan usaha reklamasi wilayah yang dijajah (Upstone,

2009:20). Heterogenitas yang ada dalam suatu wilayah berusaha ditolak

keberadaannya dan digantikan dengan suatu keseragaman yang berlandaskan

nasionalisme.

Meskipun begitu, keterlibatan nasionalisme atas konstruksi kolonial, tidak

berarti nasionalisme tidak bisa dianggap sebagai respon antikolonial yang sah
24

(Upstone, 2009:25). Pada konteks keterlibatan kolonial dalam pembangunan

banyak negara berkembang di dunia dan implikasinya bagi negara-negara tersebut

nasionalisme masih dapat dipandang sebagai simbol antikolonialisme. Hal yang

perlu diwaspadai adalah bagaimana perlawanan terhadap kolonialisme pada skala

spasial lain yang menjadi fokusnya politik nasional telah dikaburkan untuk tujuan

nasionalis.

Hubungan antara novelis poskolonial kontemporer dan nation (bangsa)

harus diatur dalam konteks sejarah antikolonial yang telah melihat ide-ide

kemerdekaan kebangsaan sebagai bagian integral dari pembebasan (Upstone,

2009:25). Dengan demikian, teori nasionalisme post-space dalam kajian

poskolonialisme berusaha menampilkan chaos/post-space sebagai integral

pembebasan dari nasionalisme hasil konstruksi kolonialis.

2.1.5 Kelompok Zainichi

Amanda (dalam Anandhini, 2021:62) menjelaskan bahwa secara harafiah,

zainichi berarti ‘tinggal di Jepang’. Walaupun semua orang keturunan asing yang

tinggal di Jepang bisa disebut zainichi, istilah ini lebih sering diasosiasikan

dengan keturunan Korea di Jepang. Toshiyuki Tamamura, mengemukakan,

zainichi didefinisikan sebagai warga negara Korea yang berpindah ke Jepang

sebelum aneksasi, mereka yang menetap di Jepang setelah berakhirnya Perang

Dunia II, dan orang yang berpindah ke kepulauan utama Jepang selama periode

kolonial.
25

Cho (dalam Trihtarani dkk., 2019:172) menjelaskan bahwa secara historis,

kelompok zainichi mulai bermigrasi ke Jepang sejak masa penjajahan Jepang di

Korea, yaitu antara 1910 sampai 1945. Menurut Kim Yondal (dalam Lie,

2008:34), pasca Perang Dunia II, sebagian besar etnis Korea di Jepang (1-1,4 juta)

telah meninggalkan kepulauan Jepang (mengingat tidak adanya sensus resmi,

jumlah ini adalah perkiraan kasar), tetapi terlepas dari upaya Jepang dalam usaha

pemulangan etnis Korea dari Jepang, sekitar 600.000 zainichi masih memilih

untuk tinggal di Jepang.

Menurut Trihtarani dkk. (2019:174), dalam sejarah, perkembangan para

pendatang di Korea dimulai dari distrik Ikaino di Osaka pada 1923 karena

banyaknya pabrik kecil dan juga menengah yang berkembang di sana sehingga

banyak pendatang Korea yang mencoba peruntungan untuk bekerja di Jepang.

Menurut Wender (dalam Trihtarani dkk., 2019:174), mayoritas para pendatang

Korea berasal dari Pulau Jeju, yang hampir sebagian besar penduduknya

bermigrasi ke Jepang hingga tahun 1934. Para pendatang Korea ini disebut

zainichi generasi pertama.

Generasi pertama zainichi berusaha berasimilasi atau bahkan memisahkan

diri dengan lingkungan yang ada (Trihtarani dkk., 2019:175). Hal ini dikarenakan

adanya suatu jarak antara masyarakat Jepang dan Korea yang disebabkan oleh

kebencian sebagian masyarakat Jepang terhadap etnis Korea. Kebencian orang

Jepang terhadap orang Korea terpupuk dari pemikiran imperialis Jepang (Osborn,

2015:8). Pemikiran imperialis Jepang cenderung memandang para etnis Korea di


26

Jepang sebagai kaum yang berpotensi menciptakan chaos terutama mereka yang

memiliki kecerdasan lebih.

Oleh karena itu, menurut Lee (dalam Trihtarani dkk., 2019:175),

masyarakat Korea terutama di Osaka, sering mendapat pekerjaan di pabrik-pabrik

kaca, pemintalan kain, dan karet. Mereka juga bekerja di tambang batubara dan

pembangunan kanal. Hal ini menggambarkan adanya diskriminasi dan kurangnya

pendidikan yang dialami kelompok zainichi kala itu. Akan tetapi, berkat

kampanye asimilasi oleh pemerintah Jepang yang diberlakukan di semenanjung

Korea selama masa kolonial, aspek budaya tertentu dari Korea seperti bahasa

Korea, agama, pakaian tradisional, dan makanan-makanannya yang unik tetap

terjaga.

Akan tetapi, seiring berjalannya waktu para etnis Korea di Jepang

berusaha “diJepangkan” oleh pemerintah Jepang Ideologi kekaisaran yang

mendambakan homogenitas atau secara sederhana dapat disebut sebagai usaha

asimilasi oleh kekaisaran Jepang, semakin intensif setelah tahun 1930-an, dan

kebijakan Jepang setelah itu terus-menerus berusaha untuk menghapuskan budaya

Korea, untuk mengubah Korea menjadi rakyat Kaisar (köminka) dan mencapai

persatuan Jepang-Korea (naisen ittai). (Lee, 2008:25).

Menurut Lie (2008:10) disamping orasi yang terus menerus digencarkan

agar banyak zainichi menerima ideologi kekaisaran Jepang, manfaat secara

materiil yang akan diterima seorang zainichi jika menganut ideologi kekaisaran

Jepang membuat banyak kelompok zainichi menerima ideologi ini. Penulis etnis

Korea, Chan Hyokuchu mengungkapkan “kegembiraan” orang Korea yang dapat


27

bertugas di militer kekaisaran setelah tahun 1938 (Lie, 2008:10). Menurut Yoon

dan Kawata (dalam Lie, 1993:10), Lebih dari 200.000 tentara zainichi berjuang

untuk kekaisaran Jepang. Beberapa meninggal sebagai pilot kamikaze, yang lain

dimakamkan di Kuil Yasukini sebagai "pahlawan perang". Oleh karena itu,

menurut Tonomura (dalam Lie, 2008:7) pada pertengahan tahun 1930-an, hampir

sepertiga orang Korea yang lahir di Jepang, menggunakan bahasa Jepang sebagai

bahasa utama mereka yang mana juga merupakan bentuk aspirasi mereka agar

dapat menetap secara permanen di Jepang.

Menurut Chatani (2021:3), zainichi generasi kedua adalah etnis Korea

yang tumbuh dan besar di Jepang pada sebelum atau tidak lama setelah 1945.

Generasi kedua zainichi mendapatkan pengucilan dari masyarakat umum dengan

status sosial rendah yang hak-haknya masih tidak setara dengan larangan dalam

berpartisipasi dengan masyarakat umum meski mereka terlahir dan besar di

Jepang (Lee, 2012:3). Sama seperti generasi pertama zainichi yang harus

menerima diskriminasi yang tidak hentinya dari masyarakat lokal disebabkan latar

belakang etnis dan status sosial mereka, generasi kedua zainichi pun harus

menerima perlakuan yang serupa meskipun mereka lahir dan besar di Jepang.

Menurut Lie (2008:19), kelompok zainichi generasi kedua mulai

mengalami degradasi aspek budaya Korea yang selama ini dijaga oleh generasi

pertama. Selain itu, di masa zainichi generasi kedua, Bahasa Jepang sudah tidak

menjadi bahasa kedua mereka setelah bahasa Korea, melainkan menjadi referensi

linguistik utama. Meskipun demikian, kelompok zainichi pada masa poskolonial

tetap mempertahankan keinginan komunitasnya untuk kembali ke Korea. Dengan


28

demikian gagasan tentang tanah air telah menjadi kunci untuk membangun

kesadaran kelompok dalam komunitas zainichi.

Hingga pada tahun 1945, organisasi etnis Korea pascaperang dibentuk

untuk memerangi diskriminasi, membantu sesama etnis, sekaligus berpolitik.

Setelah perang berakhir, Zainichi Chösenjin Renmei (Liga Penduduk Korea di

Jepang; biasanya disingkat sebagaimana Chören) dalam Manifestonya

mengumumkan,

“Misi historis kami adalah untuk menghilangkan sisa-sisa imperialisme


Jepang dan kekuatan feodal, dan untuk mewujudkan tuntutan politik,
ekonomi, sosial, dan budaya yang mendasar rakyat kita dan untuk
membangun negara merdeka penuh atas dasar demokrasi sejati”
Zainichi Chösenjin dantai (dalam Lie, 2008:39).

Menurut Mitchell (dalam Lie, 2008:55) Chouren memberikan benteng

kritis terhadap kritik media Jepang terhadap kegiatan pasar gelap Korea dan

tindakan represif pemerintah Jepang terhadap sekolah-sekolah berbahasa Korea.

Chouren juga berhubungan dekat dengan dan bersama Partai Komunis Jepang

menjadi oposisi dari partai dengan haluan politik kepemimpinan pro-Jepang,

nasionalis, dan non-komunis lainnya.

Kelompok zainichi yang lahir di Jepang dan hidup seperti orang Jepang

hingga hampir tidak bisa dibedakan dengan orang Jepang yang secara sukarela

maupun dengan terpaksa mengalami asimilasi digolongkan dalam kelompok

zainichi generasi ketiga. Kelompok zainichi generasi ketiga berusaha mengklaim

kewarganegaraan mereka sebagai orang Jepang yang sulit untuk didapat. Akan

tetapi, menurut Trihtarani, dkk. (2019:183), beberapa kelompok zainichi generasi

ketiga masih berjuang mempertahankan identitasnya sebagai orang Korea. Tei


29

(dalam Morooka, 2016:4) berpendapat bahwa kelompok zainichi memiliki

hubungan kontradiktif antara situasi formal mereka di mata hukum sebagai warga

negara Korea dan kondisi budaya mereka sebagai warga Jepang.

Pada generasi ini, tampak aspek budaya, seperti bahasa mulai terdegradasi.

Selain itu, perasaan untuk kembali ke tanah air dan semangat persaudaraan antara

orang-orang Korea telah ditinggalkan (Morooka, 2016:45). Saat ini, satu-satunya

usaha asimilasi etnis yang mencakup seluruh komunitas adalah gagasan

pengurangan pengaruh budaya Korea, yang dihasilkan oleh kesewenang-

wenangan hukum dan/atau sosial yang dilakukan oleh bangsa Jepang. Maka dari

itu, kelompok zainichi generasi ketiga dihadapkan pada pilihan yang cukup rumit:

menaturalisasi diri dan menjadi“Jepang” di mata hukum meskipun menerima

pemarginalan di tengah-tengah masyarakat, menjadi seorang nasionalis seutuhnya

dengan tetap merasa asing dengan budayanya sendiri, atau bersikap sebagai

individu tanpa terikat dengan salah satu etnis.

2.1.6 Sinopsis Film Chi to Hone

Diadaptasi dari novel semi-autobiografi karya Yan Sogiru, Chi to Hone

menceritakan kehidupan Kim Shun-Pei, seorang zainichi yang merantau ke

Jepang pada 1923 selama hampir enam dekade, sejak masih di Osaka dan secara

paksa menikahi istrinya, Lee Young-hee yang merupakan janda dengan satu anak

perempuan bernama Harumi. Mantan suami Lee Young-hee menjual Lee Young-

hee kepada Shun-Pei untuk melunasi hutang-hutangnya. Dari pernikahannya

dengan Lee Young-hee, Kim Shun-Pei kemudian dianugerahi seorang putra


30

bernama Masao (Hirofumi Arai) dan seorang putri bernama Hanako (Chieko

Tabata). Akan tetapi, keluarga yang dibangun Shun-Pei tidak hidup layaknya

keluarga pada umumnya. Saat Shun-Pei dalam keadaan mabuk, dia sering

menyiksa istri dan anak-anaknya secara fisik maupun verbal.

Berbeda dengan beberapa laki-laki etnis Korea lain yang bersedia untuk

dikirim ke medan perang, Shun-Pei justru secara misterius pergi dari rumah dan

tidak diketahui keberadaannya beberapa saat sebelum perang meletus. Begitu

Perang Dunia II berakhir, Shun-Pei kembali begitu saja ke rumahnya tanpa

diduga-duga oleh keluarganya. Kehidupan Lee Young-hee dan keluarganya yang

tentram ketika Shun-Pei menghilang, mulai kembali suram dan penuh

penderitaan. Dari kejadian ini, secara inplisit ditunjukkan bahwa Shun-Pei tidak

ingin menjadi tentara Jepang dan berjuang demi kemenangan Jepang.

. Shun-Pei mempunyai saudara sepupu bernama Takayama Shingi. Shingi

berencana untuk pergi ke medan perang sebagai seorang tentara Jepang.

Mempertimbangkan kemungkinan jika Shingi tidak akan bisa kembali ke Jepang

dengan selamat, keluarga besar Shun-Pei mengadakan pesta pernikahan untuknya.

Shingi akan dinikahkan dengan Harumi, anak asuh Shun-Pei. Ketika resepsi

pernikahan Harumi dan Shingi berlangsung, para hadirin saling bercakap-cakap

menggunakan bahasa Jepang dan seorang tentara yang memimpin acara tersebut

menyambut para tamu menggunakan bahasa Jepang. Di akhir resepsi, si tentara

bersorak sebagai ucapan selamat atas pernikahan Shingi dan Harumi

menggunakan istilah Banzai dan dengan spontan seluruh hadirin resepsi tersebut

ikut menyerukan Banzai. Akan tetapi, San-myung Jang, salah satu kerabat Shun-
31

Pei, yang sedari tadi tampak tidak nyaman dengan situasi “keJepangan” tersebut,

dengan suara lantang malah berteriak, “Mansei!”.

Rasa nasionalisme San-myung Jang terhadap tanah airnya yaitu Korea

Utara memang begitu kuat. Salah satu contohnya adalah peristiwa penyerangan

serta pembakaran salah satu pos polisi Osaka di lingkungan zainichi oleh

sekelompok zainichi ini dipimpin oleh San-myung Jang. Akibat perbuatannya ini,

San-myung Jang diganjar hukuman penjara dan baru bebas 4 tahun kemudian.

Tidak hanya itu, Masao dan San-myung Jang dengan bangga mengidentifikasikan

diri mereka sebagai bagian dari kaum komunis. Masao dan San-myung juga

menunjukkan dukungan terhadap pemerintahan Mao Zedong dan menganggap

bahwa Jepang harus segera direvolusi agar menjadi negeri yang lebih mendengar

suara kelompok yang tertindas di Jepang.

Pada akhirnya, San-myung Jang bersama beberapa etnis Korea yang

tinggal di Jepang lainnya memutuskan untuk pergi ke Korea Utara. Di Peron

kereta, banyak orang mengibarkan bendera Korea Utara diiringi dengan

penyanyian lagu perpisahan. Masao yang pada saat itu belum bisa pergi bersama

San-myung Jang ke Korea Utara berjanji jika suatu hari ia akan pergi ke Korea

Utara untuk menemui kerabat dekatnya. Namun sayang, pada akhirnya Masao

tidak pernah berhasil untuk mewujudkan mimpinya pergi ke negara yang ia

anggap sebagai tanah airnya tersebut.

Pada tahun 1950, Shun-Pei hidup bersama Kiyoko, seorang wanita Jepang

yang ditinggal mati suaminya dalam perang. Akan tetapi, Kiyoko didiagnosis

terkena kanker otak dan mengalami kelumpuhan. Kelumpuhan Kiyoko membuat


32

Shun-Pei memutuskan untuk menutup usaha kamaboko-nya dan memilih untuk

menjadi seorang rentenir. Shun-Pei merawat Kiyoko yang lumpuh dengan penuh

kasih sayang, ia bahkan sampai memperkerjakan seorang wanita untuk merawat

Kiyoko. Akan tetapi, pada suatu hari Masao melihat Shun-Pei membunuh Kiyoko

yang lumpuh dengan kedua tangannya sendiri.

Seluruh keluarga Shun-Pei sepakat untuk tutup mulut tentang kejadian

tersebut tetapi Masao yang melihat pembunuhan yang dilakukan ayahnya secara

langsung merasa tidak bisa menerima keputusan keluarganya. Masao kemudian

melampiaskan amarahnya dengan pergi dari rumah. Kim Shun-Pei berjanji kepada

Sadako (perawat Kiyoko) akan menikahinya setelah Kiyoko meninggal. Lee

Young-hee, seorang zainichi yang tidak ingin harta keluarganya jatuh ke Sadako

hanya karena ia merupakan orang Jepang, berusaha mencegah Masao pergi dari

rumah namun gagal. Dari kejadian ini secara inplisit ditunjukkan bahwa Lee

Young-hee melakukan diskriminasi terhadap orang Jepang.

Lee Young-hee pada akhirnya meninggal dunia karena kanker serviks

yang ia derita selama bertahun-tahun. Di upacara pemakaman Lee Young-hee,

para pelayat menggunakan kostum atau pakaian formal berwarna gelap sedangkan

anggota kerabat dari orang yang meninggal mengenakan pakaian putih atau hitam.

Pakaian atau kostum yang dipakai oleh para pelayat adalah pakaian dari serat rami

dikenakan oleh keluarga dekat adalah atribut yang dikenakan pada upacara adat

Korea. Dari prosesi pemakaman ini dapat dilihat bagaimana keluarga besar Lee

Young-hee yang merupakan kelompok zainichi masih menjunjung budaya-budaya

Korea dalam kehidupannya


33

Setelah Masao menolak tawaran yang diberikan oleh Shun-Pei untuk

membantunya mengelola bisnis rentenir, Shun-Pei membawa pergi anak laki-laki

satu-satunya yang ia punya dari hubungannya dengan Istri keduanya, Sadako, ke

Korea Utara. Ia memilih untuk mengakhiri usahanya dalam mencari kekayaan dan

memberikan semua hasil yang ia peroleh di Jepang ke pemerintah Korea Utara.

2.1.7 Mise-en-scene

Menurut Bordwell dan Thompson (2003) mise-en-scène berasal dari bahasa

Perancis yang berarti “meletakkan ke dalam adegan”. Mise-en-scène mengacu

kepada segala hal yang muncul di depan kamera dan tatanannya—komposisi, set,

peralatan, aktor, kostum dan pencahayaan. Penulis akan menggunakan unsur

aktor, di dalamnya termasuk pergerakan, bahasa tubuh dan ekspresi di setiap data.

Menurut Pratista (dalam Alfathoni, 2016:166) yang dikatakan dengan mise

en scene merupakan segala yang ada dan terletak di depan kamera yang akan

diambil gambarnya pada saat produksi sebuah film. Mise en scene juga dapat

diartikan sebagai bahasa yang berfungsi untuk menyampaikan sebuah pesan serta

yang terdapat di sebuah film. Berikut penjabaran dalam elemen-elemen dalam

mise-en-scene :

1. Setting

Setting (latar) dalam struktur mise-en-scene berkaitan dengan semua

properti yang terdapat di dalam sebuah film. Properti yang dimaksud dapat berupa

rumah, pintu, kursi, gitar, lampu dan sebagainya. Setting dapat berupa setting

ruang dan setting waktu. Setting ruang menggunakan tata artistik untuk
34

menggambarkan tempat atau lokasi cerita berada. Setting waktu adalah

penggunaan tata artistik untuk menggambarkan kapan cerita itu ada,bisa masa

lalu, masa sekarang, dan masa depan.

2. Kostum dan Make up (Tata Rias)

Semua perlengkapan yang digunakan oleh para aktor selama proses akting

atau produksi, serta semua aksesori yang mereka kenakan, dianggap sebagai

kostum dan make-up dalam sebuah film.. Kostum dan tata rias para pemain

berfungsi untuk menggambarkan keadaan yang dijelaskan dalam plot film..

Menurut Pratista (2008: 71) dalam sebuah film, kostum berfungsi sebagai

penunjuk waktu dan tempat, kelas sosial, dan kepribadian para aktornya,

sedangkan warna yang dikenakan para aktor dalam kostumnya mengungkapkan

simbol dan motivasi yang mendasari narasinya.

3. Pencahayaan (Lighting)

Komponen mendasar yang sangat penting untuk pembuatan film adalah

pencahayaan. Tanpa cahaya, suatu film akan kurang menarik perhatian penonton

secara visual. Setiap gambar dalam setiap adegan film dipengaruhi oleh cahaya

dalam hal kualitas, arah, sumber, dan warnanya.. Oleh karena itu, pencahayaan

dalam pembuatan film sangat berperan penting dalam membangun suasana

maupun mood yang terdapat di dalam film.

4. Pemain dan pergerakan

Aspek ini merupakan faktor pendorong untuk setiap komponen naratif

dalam sebuah film. Agar setiap alur cerita dapat menyampaikan pesannya secara
35

efektif, seorang aktor harus mampu melakukan gerakan-gerakan yang akan

menambah unsur dramatis.

2.1.8 Sinematografi (Cincamatography)

Sinematografi merupakan ilmu terapan yang membahas teknik mengambil

gambar tersebut sehingga menjadi sebuah rangkaian gambar yang dapat

menyampaikan cerita atau ide (Sari & Abdullah, 2020:418). Teknik sinematografi

meliputi camera angle, type shot, camera movement, objek movement,

compotition, continuity, cutting, penataancahaya, ketajaman gambar, dan lain-lain.

Ada beberapa prinsip penting dasar dari sinematografi diantaranya yaitu Camera

Angle, Type Shot, Compotition. Berikut penjelasan dibawah ini:

1. Camera Angle

Penempatan lensa kamera pada sudut pengambilan gambar yang ideal

bertujuan untuk menciptakan kedalaman dan dimensi gambar. Dengan

mengetahui perspektif penonton saat mereka mengamati pemandangan yang

dihasilkan akan menciptakan kesan psikologis dari gambar tersebut., seperti:

(1) High Angle

Pengambilan gambar dengan meletakkan tinggi kamera diatas objek/garis

mata orang;

(2) Eye Level

Tinggi kamera sejajar dengan garis mata objek yang dituju;

(3) Low Angle


36

Pengambilan gambar dengan meletakkan tinggi kamera di bawah objek

atau dibawah garis mata orang.

2. Type Shot

Ketika sedang bercerita atau menyampaikan informasi visual kepada

audiens atau penonton, penekanan type shot yang berbeda menjadi aspek yang

krusial. Diperlukan suatu kekhasan dalam penyampaian informasi tersebut. Oleh

karena itu, jenis-jenis shot dibagi menjadi beberapa bagian yang akan sangat

membantu dalam komunikasi visual., yaitu :

(1) Extreem Close-up (ECU)

Pengambilan gambar yang sangat dekat sekali, hanya menampilkan bagian

tertentu pada tubuh objek. Fungsinya untuk kedetailan suatu objek;

(2) Big Close-up (BCU)

Pengambilan gambar hanya sebatas kepala hingga dagu objek. Fungsinya

untuk menonjolkan ekspresi yang dikeluarkan oleh objek;

(3) Closeup (CU)

Ukuran gambar hanya sebatas dari ujung kepala hingga leher. Fungsinya

untuk memberi gambaran jelas tentang objek;

(4) Medium Close-up (MCU)

Gambar yang diambil sebatas dari ujung kepala hingga dada. Fungsinya

untuk mempertegas profil seseorang sehingga penonton jelas;

(5) Medium Shot (MS)

Pengambilan gambar sebatas kepala hingga pinggang. Memperlihatkan

sosok objek secara jelas;


37

(6) Kneel Shot (KS)

Pengambilan gambar sebatas kepala hingga lutut. Fungsinya hampir sama

dengan mid shot;

(7) Full Shot (FS),

Pengambilan gambar penuh dari kepala hingga kaki. Memperlihatkan

objek beserta lingkungannya;

(8) Long Shot (LS)

Pengambilan gambar lebih luas dari pada full shot. Menunjukan objek

dengan latar belakangnya; dan

(9) Extreem Long Shot (ELS), yakni Pengambilan gambar melebihi long

shot.

3. Composition

Pada dasarnya,, composition mengacu pada bagaimana bagian-bagian

penyusun gambar ditempatkan di dalam bingkai untuk menciptakan kesatuan

yang harmonis. Saat menentukan apa yang masuk dan apa yang tidak masuk

dalam gambar yang dibatasi oleh bingkai dalam viewfinder camera itu dinamakan

framing.

Membuat gambar dengan pertimbangan komposisi memiliki tujuan untuk

menampilkan gambar yang menarik bagi audiens agar tidak mau berpaling dari

gambar yang kita tampilkan.. Komposisi dalam frame ditentukan oleh tiga faktor,

yaitu :

(a) Headroom, yakni adanya ruangan kosong di atas kepala, bagian atas

kepala dengan batas frame harus diatur tidak terlalu tinggi dan rendah;
38

(b) Noseroom, yakni adanya jarak pandang seseorang terhadap objek lainnya,

baik ke kiri maupun ke kanan yang berarti seseorang sedang melakukan interaksi

dengan orang atau benda lainnya;

(c) Walking room, yakni orang sedang berlari atau berjalan selalu menyisakan

ruang di depan atau arah seseorang yang sedang bergerak ke depan tersebut, dan

ruang kosong.

2.2 Penelitian Terdahulu

Penelitian tentang poskolonialisme sastra tentunya sudah pernah dilakukan

pada waktu-waktu sebelumnya. Penelitian tentang poskolonialisme sastra adalah

penelitian yang memfokuskan pada tulisan-tulisan dari budaya bangsa-bangsa

yang pernah dijajah. seperti Australia, Selandia Baru, Afrika, Amerika Selatan.

Pada penelitian ini penulis mengambil judul Nasionalisme Kelompok zainichi

dalam Film Chi to Hone sebagai kajiannya. Nasionalisme tersebut diwujudkan

melalui karakter tokoh utama dan Kelompok zainichi di sekitarnya. Terkait dengan

penelitian yang relevan atau penelitian yang berhubungan dengan pendekatan

poskolonialisme penulis mengambil tiga penelitian yang relevan.

2.2.1 Penelitian dengan Judul Paradoks Ruang Tubuh Dalam Puisi

“Sakramen” Karya Joko Pinurbo: Kajian ‘Pascakolonial Tubuh’

Sara Upstone.

Kajian yang pertama yaitu berjudul Paradoks Ruang Tubuh Dalam

Puisi“Sakramen” Karya Joko Pinurbo: Kajian‘Pascakolonial Tubuh’ Sara

Upstone. Penelitian ini dilakukan oleh Dwi Rahariyoso, dosen Sastra Indonesia
39

Universitas Jambi. Penelitian itu membahas tentang tentang ruang pascakolonial

tubuh dalam puisi Sakramen karya Joko Pinurbo.

Penelitian ini menemukan bahwa konstruksi tubuh yang muncul dalam

puisi “Sakramen” secara paradoks menghadirkan dialektika antara tubuh dan jiwa

yang berkisar pada persoalan problematis Tuhan sebagai badan. Konstruksi

tersebut pada akhirnya menjadi self-dekonstruksi bagi penyair yang secara

ontologis mengarahkan bahwa tubuh (materi) dihancurkan dalam kefanaan,

sedangkan roh (ide) Kristus sebagai Tuhan diidealkan dalam keutuhan. Pada

akhirnya kondisi tersebut mengarahkan bahwa konstruksi yang ideal adalah yang

di sana (dunia rohaniah), sedangkan yang di sini (empiris, jasmaniah) hanyalah

ironi.

Perbedaannya dengan penelitian dilakukan penulis terletak pada objek dan

sumber data yang digunakan dalam penelitian. Penelitian yang dilakukan oleh

penulis menggunakan objek nasionalisme Kelompok zainichi dalam film Chi to

Hone. Di dalam penelitian ini penulis juga membahas tentang eksistensi

komunitas di masa lalu sebagai objek penelitiannya sedangkan penulis

sebelumnya tidak membahas tentang hal tersebut. Selain itu, sumber data yang

digunakan oleh penulis juga berbeda dengan penulis sebelumnya. Penulis

menggunakan dialog, cuplikan adegan, serta hubungan yang ditunjukkan oleh

para tokoh dalam film Chi to Hone sebagai sumber datanya.


40

2.2.2 Penelitian dengan Judul Kedudukan Subaltern Tokoh Perempuan

Pribumi dalam Novel Bunga Roos dari Tjikembang Karya Kwee Tek

Hoay

Kajian yang kedua yaitu berjudul Kedudukan Subaltern Tokoh Perempuan

Pribumi dalam Novel Bunga Roos dari Tjikembang Karya Kwee Tek Hoay

(kajian poskolonialisme). Penelitian ini dilakukan oleh Puti Mentari Khairunisa

dan Else Liliani, dosen Sastra Indonesia Universitas Negeri Yogyakarta.

Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan subalternitas yang dialami tokoh

perempuan pribumi, dan relasi antara tokoh perempuan pribumi dengan tokoh

golongan etnis Tionghoa dalam novel Bunga Roos dari Tjikembang karya Kwee

Tek Hoay.

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif. Objek dari

penelitian ini adalah novel Bunga Roos dari Tjikembang karya Kwee Tek Hoay.

Penelitian difokuskan pada subalternitas yang dialami tokoh perempuan pribumi,

dan relasi antara tokoh perempuan pribumi dengan tokoh nonpribumi yang dikaji

menggunakan teori poskolonialisme, khususnya teori subaltern Gayatri C. Spivak

untuk mengurai subalternitas yang dialami oleh tokoh perempuan pribumi. Data

pada penelitian ini diperoleh dengan teknik membaca dan mencatat.

Perbedaannya dengan penelitian dilakukan penulis terletak pada objek dan

sumber data yang digunakan dalam penelitian. Penelitian yang dilakukan oleh

penulis menggunakan objek aspek nasionalisme yang ditunjukkan tokoh utama

beserta orang disekitarnya sedangkan penulis sebelumnya menggunakan

kedudukan tokoh perempuan dalam novel. Selain itu, sumber data yang digunakan
41

oleh penulis juga berbeda dengan sumber data yang digunakan penulis

sebelumnya. Penulis menggunakan film Chi to Hone karya sutradara Yoichi Sai

sebagai sumber data penelitiannya sedangkan penulis sebelumnya menggunakan

Novel Bunga Roos dari Tjikembang Karya Kwee Tek Hoay.

2.2.3 Penelitian dengan Judul Ambivalensi dalam Cerpen Anak Ini Mau

Mengencingi Jakarta? Karya Ahmad Tohari: Kajian

Poskolonialisme.

Kajian yang ketiga yaitu berjudul Ambivalensi dalam Cerpen Anak Ini

Mau Mengencingi Jakarta? Karya Ahmad Tohari: Kajian Poskolonialisme.

Penelitian ini dilakukan oleh Akhmad Rizqi Turama dari Universitas Sriwijaya.

Analisis dilakukan dengan menggunakan teori poskolonialisme Sara Upstone.

Hasil analisis menunjukkan bahwa ada tiga upaya perlawanan dari representasi

pihak terjajah. Pertama, mereka tak bersedia memakan makanan sisa yang

dihasilkan kaum representasi penjajah. Kedua, mereka menolak menjadi bahan

tontonan kaum penjajah. Ketiga, tokoh Ayah tidak mengizinkan anaknya kencing

di dekat emak, tapi boleh di mana saja di Jakarta (tempat para penjajah).

Perlawanan pertama menjadi ambivalen karena pihak terjajah menolak memakan

makanan sisa pemberian Barat, tapi mereka memakan makanan yang diproduksi

oleh kaum penjajah dengan perasaan senang. Perlawanan kedua menjadi ambigu

sebab pihak terjajah menolak menjadi tontonan, namun saat menonton para

penjajah, mereka justru meniru kelakuan penjajah tersebut.


42

Perbedaannya dengan penelitian dilakukan dilakukan penulis adalah fokus

landasan teori yang digunakan. Meski menggunakan teori poskolonialisme yang

sama, penelitian yang dilakukan oleh penulis menggunakan fokus tentang

bagaimana nasionalisme ditempatkan dalam ruang-ruang alternatif oleh kaum

kolonial sebagai usaha homogenisasi serta post-space atau chaos yang muncul ke

permukaan seiring usaha homogenisasi tersebut. Sedangkan penulis sebelumnya

fokus pada penerapan sudut pandang pascakolonial yang sejalan dengan

pascastrukturalisme untuk melihat keberadaan elemen-elemen masa lalu.


BAB III

METODE PENELITIAN

Dalam bab ini, penulis akan memaparkan jenis penelitian, sumber data,

metode pengumpulan data dan juga teknik analisa data yang digunakan dalam

penelitian ini.

3.1 Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif. Metode penelitian kualitatif

cukup banyak dipakai terutama dalam jurnal-jurnal ilmiah. Menurut Strauss dan

Corbin (dalam Nugrahani, 2014:), penelitian kualitatif ini merupakan penelitian

yang dapat digunakan untuk meneliti kehidupan masyarakat, sejarah, tingkah

laku, fungsionalisasi organisasi, gerakan sosial, atau hubungan kekerabatan. Hasil

penelitian yang diharapkan melalui penelitian kualitatif adalah diperolehnya

pemahaman tentang kenyataan melalui proses berpikir induktif.

Dalam penelitian kualitatif, terdapat 3 bentuk studi kasus yaitu deskriptif,

eksplorasi dan eksplanatori. Data deskriptif mengandaikan bahwa data tersebut

berupa teks. Karena untuk menangkap arti yang terdalam tidak mungkin diperoleh

hanya dalam bentuk angka, karena angka itu sendiri hanyalah simbol. Simbol

tidak memiliki arti pada dirinya sendiri. Analisa data yang baik haruslah sedekat

mungkin dengan tempat di mana data itu diambil.

Berdasarkan pernyataan di atas, penelitian kualitatif deskriptif sangat tepat

untuk digunakan dalam penelitian ini dikarenakan tujuan dari penelitiannya adalah

43
44

untuk untuk mengetahui representasi nasionalisme yang ditunjukkan kelompok

zainichi dan mengetahui representasi homogenisasi kultural dalam film Chi to

Hone. Data yang telah dikumpulkan akan dianalisis menggunakan teori dasar

yang relevan, kemudian akan dijabarkan secara rinci.

3.2. Sumber Data

Pada dasarnya sumber data penelitian merupakan semua informasi atau

material yang perlu dicari, dikumpulkan, dipilih, kemudian dirangkai oleh

peneliti. Menurut Subroto (1992:34) data penelitian adalah informasi yang

terdapat pada segala sesuatu apapun yang menjadi bidang dan sasaran penelitian.

Data dalam penelitian ini berupa data lunak (soft data) yaitu dialog-dialog

tokoh dan tangkapan layar yang menunjukkan penggambaran adegan yang

terdapat dalam film Chi to Hone. Data yang diperoleh dikelompokkan menjadi

dua, yaitu:

a. Sumber Data Primer

Sumber data primer yaitu sumber data yang berlaku didapat dan diperoleh oleh

peneliti untuk keperluan penelitian (Surachmad, 1990: 163). Data primer dalam

penelitian ini berupa film Chi to Hone karya sutradara Yoichi Sai yang dirilis

pada 6 November 2004.


45

b. Sumber Data Sekunder

Sumber data sekunder merupakan sumber data yang berhubungan dengan

penelitian yang telah dilakukan. Sumber data sekunder dalam penelitian ini adalah

buku, artikel internet, jurnal penelitian tentang teori yang berkaitan dengan objek

penelitian.

3.3. Metode Pengumpulan Data

Pengumpulan data merupakan salah satu langkah yang penting dalam

metode penelitian, karena pada umumnya data digunakan untuk menguji hipotesis

yang telah dirumuskan. Data yang dikumpulkan juga harus relevan dengan

penelitian yang dilakukan.

Dalam proses pengumpulan data, penulis menggunakan teknik simak dan

catat. Teknik simak dan catat adalah suatu teknik yang menempatkan peneliti

sebagai instrumen kunci dengan melakukan penyimakan secara cermat, terarah,

dan teliti terhadap sumber data primer dan sekunder tersebut kemudian ditampung

dan dicatat untuk digunakan dalam penyusunan penelitian sesuai dengan maksud

dan tujuan yang ingin dicapai.

Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan riset

kepustakaan (library research), dengan cara pengumpulan datanya seperti di

bawah ini:

1. Menonton film dan menyimak dialog sumber data primer secara keseluruhan

dengan seksama untuk mencari data temuan.


46

2. Mencatat data-data yang terdapat di dalam sumber data primer yang berkaitan

dengan objek kajian, serta mencari data-data lain yang memperkuat

pernyataan dalam kajian peneliti sebagai data sekunder.

3. Mengambil tangkapan layar pada adegan yang berkaitan dengan rumusan

masalah penelitian.

4. Mengklasifikasikan data temuan berdasarkan rumusan masalah dan teori

poskolonial Sara Upstone.

5. Menerjemahkan data temuan.

3.4. Teknik Analisa Data

Teknik analisis data yang diterapkan penulis bertujuan untuk

mengungkapkan representasi nasionalisme yang ditunjukkan kelompok zainichi

dan homogenisasi kultural dalam film Chi to Hone. Hasil analisa kemudian

diuraikan dan dapat ditarik simpulannya tentang nasionalisme yang ditunjukkan

kelompok zainichi dan homogenisasi kultural dalam film Chi to Hone.

Berdasarkan data penelitian yang telah terkumpul data dianalisis dengan langkah-

langkah sebagai berikut.

Adapun langkah-langkah dalam menganalisis data yang dilakukan oleh

peneliti sebagai berikut:

1. Mendeskripsikan unsur intrinsik hasil tangkapan layar dari data adegan yang

sudah dikumpulkan.

2. Mencari keterkaitan antara narasi adegan tersebut dengan masalah

nasionalisme dengan menggunakan teori poskolonial.


47

3. Mencari keterkaitan antara narasi adegan tersebut dengan masalah

homogenisasi kultural dengan teori poskolonial.

4. Menarik kesimpulan dari keterkaitan-keterkaitan yang telah ditemukan.


BAB IV

TEMUAN DAN PEMBAHASAN

Pada bab ini penulis akan menjelaskan tentang pembahasan atau hasil

analisis yang dilakukan. Sesuai dengan rumusan masalah dalam penelitian ini,

penulis akan menjelaskan lebih lanjut tentang bagaimanakah representasi

homogenisasi kultural yang dilakukan oleh Jepang dan representasi nasionalisme

yang ditunjukkan oleh kelompok zainichi atas jejak-jejak kolonialisme Jepang

dalam film Chi to hone.

4.1 Representasi Homogenisasi Kultural dalam Film Chi to hone

Konsep nation dapat diartikan sebagai komunalisasi berbagai budaya dan

perbedaan yang ada di dalamnya (Upstone, 2009:33). Akan tetapi, bangsa suatu

negara tidak selalu homogen. Oleh karena itu, bangsa suatu negara dengan

perbedaan budaya yang mereka miliki, didorong untuk melihat diri sebagai suatu

kesatuan. Kesatuan ini penting bagi bangsa sebagai ideologi perlawanan

antikolonial. Kesatuan dalam nation dipandang sebagai konsep pemersatu yang

mampu menjadi oposisi dari kekuasaan kolonial yang absolut. Untuk mencapai

kesatuan ini, penyeragaman (homogenisasi) kultural menjadi penting.

Sementara itu, peran nasionalisme dalam menyatukan penduduk yang

terjajah membuat nation menjadi panji penting dimana kaum terjajah dapat

merespon serta mendapat respon empire (kekaisaran). Menurut Upstone

48
49

(2009:27), nasionalisme merupakan konstruksi strategis yang diperlukan untuk

menantang kemutlakan serta struktur yang dibuat kaum kolonial.

Dengan demikian nasionalisme berisiko “disalahgunakan” oleh

pemerintah kolonial untuk mencapai suatu konsep ruang yang homogen lewat

homogenisasi kultural. Pada bagian ini, penulis akan menganalisis bentuk-bentuk

homogenisasi kultural terhadap kelompok zainichi yang ditampilkan dalam film

Chi to hone karya sutradara Yoichi Sai.

4.1.1. Propaganda Kooptasi Jepang-Korea Untuk Memenangkan Perang

Dunia II

Data 1 Chi to hone [血と骨] (00:12:10-00:12:50)

(01) (02)

Gambar 4.1 Kekerasan dan pemaksaan yang dilakukan tentara kepada etnis

Korea di Jepang yang menolak mengucapkan Banzai

Dialog

軍人:おのれ、皇国の戦士に唾を吐くつもりか?
陛下の赤子として、この非常時に内鮮一帯で戦うんでどうないんするん
じゃあ!
もっぺんやれ、ドアホ!

Gunjin: Onore, Koukoku no senshi ni tsuba wo haku tsumori ka!?


Heika no sekishi toshite, kono hijouji ni naisen ittai de tatakaun de dou
nain surun jya!
50

Moppen yare, do aho!

Gunjin : Apa maksudmu menghina pasukan Jepang?


Sebagai putra-putri kaisar, Korea-Jepang harus bekerja sama dalam
perang ini!
Coba lakukan itu lagi, dasar bodoh!

Dalam scene atau adegan ini tampak San-myung Jang sedang duduk

menyendiri di antara banyak orang di sekitarnya yang sedang menikmati hidangan

pesta pernikahan Takayama Shingi dan Harumi. Pada adegan ini menggunakan

setting atau latar tempat di sebuah bangunan tua, dimana terlihat beberapa

pramusaji berlalu-lalang. Di dalam ruang tersebut terdapat beberapa tirai, sebuah

lukisan, dan banyak jendela yang ditutupi oleh kain dengan bingkai kayu. Satu-

satunya sumber penerangan dari ruangan tersebut adalah cahaya yang menembus

masuk dari sela-sela kain yang menutupi jendela kayu. Penggunaan warna hitam

putih pada tata cahaya yang begitu minim dengan setting/latar yang digambarkan

tidak beraturan menggambarkan suasana suram.

Ketika resepsi pernikahan Harumi dan Shingi berlangsung, para hadirin

saling bercakap-cakap menggunakan bahasa Jepang dan seorang tentara yang

memimpin acara tersebut juga menyambut para tamu menggunakan bahasa

Jepang. Di akhir resepsi, si tentara bersorak sebagai ucapan selamat atas

pernikahan Shingi dan Harumi menggunakan istilah Banzai dan dengan spontan

seluruh hadirin resepsi tersebut ikut menyerukan Banzai. Akan tetapi, San-myung

Jang yang sedari tadi tampak tidak nyaman dengan situasi “keJepangan” tersebut,

dengan suara lantang justru berteriak, “Mansei!” .


51

Banzai secara harfiah berarti hidup sepuluh ribu tahun. Hal ini dilakukan

dengan berteriak bahagia di kesempatan sambil mengangkat kedua lengan orang

berteriak “Banzai” untuk mengekspresikan kebahagiaan mereka, untuk

merayakan kemenangan, untuk berharap umur panjang dan sebagainya (Iqbal,

2018:118), sedangkan Mansei sendiri merupakan cara baca Korea dari istilah

Banzai.

Pada tanggal 1 Maret 1919 (ketika Jepang masih menduduki Korea),

serangkaian demonstrasi publik terjadi. Aksi Ini adalah bentuk penolakan

terhadap kekuasaan pemerintah Jepang di Korea. Menurut Kitkowski (2015:21),

Banyak dari mereka yang ikut dalam aksi tersebut meneriakkan kata Mansei,

yang dalam situasi ini berarti "Semoga Korea hidup selama sepuluh ribu tahun”.

Hal ini memicu amarah si tentara yang kemudian secara spontan memukul

San-myung Jang tepat di kepalanya hingga tersungkur. Tidak hanya itu, tentara

tersebut juga memaksa San-myung Jang untuk meneriakkan kata banzai seperti

yang hadirin lain lakukan. San-myung Jang dengan raut wajah yang begitu suram

akibat perasaan takut sekaligus amarah terhadap perlakuan si tentara, pada

akhirnya terpaksa meneriakkan kata banzai sebanyak 3 kali.

Ideologi kekaisaran Jepang yang mendambakan homogenitas atau secara

sederhana dapat disebut sebagai usaha asimilasi oleh kekaisaran Jepang, semakin

intensif setelah tahun 1930-an. Kebijakan Jepang setelah itu terus-menerus

berusaha untuk menghapuskan budaya Korea, untuk mengubah Korea menjadi

rakyat Kaisar (köminka) dan mencapai persatuan Jepang-Korea (naisen ittai).

(Lie, 2008:25). Pada adegan di atas dapat ditemukan propaganda naisen ittai dan
52

usaha untuk mengubah kelompok zainichi menjadi kominka sebagai bentuk usaha

homogenisasi kultural.

Sejalan dengan teori poskolonialisme Sara Upstone (2009:27),

nasionalisme dijadikan sebagai konstruksi strategis yang diperlukan untuk

menantang kemutlakan kolonial dan menentang penjajah asing yang dalam

konteks data ini yaitu Amerika dan sekutunya yang merupakan musuh Jepang

dalam Perang Dunia II. Akan tetapi, pada kenyataannya dukungan ini tak lebih

hanyalah propaganda untuk melanjutkan sikap kolonial Jepang terhadap etnis dari

negara yang pernah menjadi objek kolonialnya yaitu, Korea.

Meskipun dalam data 1 di atas mengimplikasikan jika kebijakan asimilasi

oleh kekaisaran Jepang tidak sesukses yang diharapkan oleh para birokrat Jepang,

usaha “Japanisasi” oleh pemerintah Jepang tidak bisa dianggap sebagai hal yang

sepele. Hal ini bisa terlihat dari respon yang si Tentara sebagai pihak yang

mencoba menghomogenisasi kelompok zainichi.

Bangsa kolonial mencoba menyampaikan tatanan kolonial sebagai sesuatu

yang alami dan tidak perlu dipertanyakan lagi. Oleh karena itu, dalam data di atas,

si tentara yang sedang berusaha melakukan homogenisasi, merasa terancam

dengan tindakan yang dilakukan San-myung Jang karena berpotensi merusak

tatanan kolonial yang ada. Salah satu cara yang dilakukan kaum kolonial untuk

memanipulasi ruang tubuh dalam film Chi to hone adalah dengan kekerasan.

Dalam adegan di atas dapat ditemukan kekerasan sebagai usaha untuk

melancarkan proses homogenisasi terhadap kelompok zainichi dalam film Chi to

hone
53

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa usaha homogenisasi kultural

yang dilakukan oleh pemerintah Jepang dalam film Chi to hone adalah dengan

menggunakan ideologi naisenittai dimana orang Jepang dan Korea harus saling

bekerja sama demi kekaisaran Jepang atau dengan kata lain propaganda Kooptasi

Jepang-Korea Untuk Memenangkan Perang Dunia II. Cara yang digunakan untuk

memuluskan usaha homogenisasi kultural yang dilakukan pemerintah Jepang

adalah menggunakan kekerasan dan pemaksaan.

4.1.2. Asimilasi Paksa Bahasa Jepang Terhadap Kelompok Zainichi

Data 2 Chi to Hone [血と骨] (00:54:42-00:54:56)

(01) (02)

Gambar 4.2 San-myung Jang mempelajari aksara Jepang.

Pada adegan di atas ditunjukkan San-myung Jang yang sedang duduk

menyendiri belajar menulis menggunakan aksara Jepang, yaitu Kanji dan

Hiragana di sebuah ruangan sempit. Setting waktu yang digunakan pada adegan

ini adalah Osaka, Jepang pada 1950. Baju berwarna putih atau kostum yang

digunakan San-myung Jang menggambarkan kedisiplinan serta kerendahan

hatinya untuk mempelajari bahasa Jepang. Namun, di sisi lain juga menunjukkan
54

jika San-myung Jang telah menyerah terhadap keadaan yang mengharuskannya

mengikuti pola pikir serta budaya Jepang, salah satunya adalah asimilasi paksa

bahasa Jepang.

Definisi dan pemaknaan asimilasi mencerminkan adanya relasi antara dua

kelompok, dimana satu kelompok sebagai komunitas pribumi yang biasa dominan

dan mayoritas dengan satu kelompok minoritas yang biasanya merupakan

komunitas atau individu pendatang atau migran (Romli, 2015:2-3). Dalam kondisi

seperti ini biasanya kelompok minoritas secara bertahap akan kehilangan identitas

dirinya.

Salah satu proses asimilasi yang ditunjukkan dalam film Chi to hone

adalah relasi antara bahasa Korea yang digunakan oleh pendatang atau minoritas

(kelompok zainichi) dan bahasa Jepang. Kayama (dalam Lie, 2008:9) berpendapat

bahwa pada akhir tahun 1941 ideologi naisenittai dalam satu dekade akan sukses

mendorong orang Korea di Jepang untuk mempelajari bahasa dan semangat

nasionalisme Jepang. Kelompok zainichi yang pada awalnya masih diperbolehkan

memakai bahasa Korea dalam kehidupan sehari-hari dipaksa untuk mempelajari

bahasa Jepang, yang mana bahasa Jepang adalah sarana linguistik tunggal.

Dalam scene atau adegan di atas ditunjukkan bagaimana dalam satu aspek,

homogenisasi kultural dengan kedok ideologi naisen ittai berhasil mempengaruhi

space (ruang) dari kelompok zainichi. Asimilasi bahasa yang gencar dilakukan

mengubah pemahaman linguistik sebagian kelompok zainichi yang awalnya

sangat menentang homogenisasi, mau tidak mau harus menerima homogenisasi

tersebut demi bisa beradaptasi dengan lingkungan Jepang. Bahkan San-myung


55

Jang, salah seorang zainichi yang menunjukkan rasa nasionalisme yang begitu

kuat terhadap Korea Utara juga terpaksa menerima asimilasi bahasa Korea-

Jepang.

Sesuai dengan teori Sara Upstone (2009:6), budaya mengekang yang

dipaksakan oleh kaum kolonial berusaha dipatri kepada subjek kolonial. Oleh

karena itu, secara sengaja maupun tidak, terbentuklah batas-batas budaya yang

dipaksakan ke subjek kolonial dan digunakan sebagai salah satu metode untuk

mengontrol masyarakat baik secara acak maupun struktural untuk membuat

lingkungan masyarakat menjadi homogen. Jika pada data 1 masih terlihat usaha

negosiasi akan homogenisasi yang dilakukan, dalam data 2 ini objek kolonial mau

tidak mau harus menaati homogenisasi tersebut demi bisa memperoleh kehidupan

yang layak.

4.1.3. Pemaksaan Penggunaan Nama Berbau Jepang Kepada Etnis Korea

Data 3 Chi to hone [血と骨] (00:10:15-00:10:18)

Gambar 4.3 Takayama Shingi menggunakan nama Jepang di resepsi

pernikahannya.

Pada tanggal 2 Oktober 1937, Minami Jirō, Gubernur Jenderal Jepang

untuk Korea, membuat dekrit yang disebut "Sumpah sebagai Subyek Bangsa

Kekaisaran" (kōkuoku shinmin no seishi). Dekrit ini memiliki dua versi: yang
56

ditujukan untuk orang dewasa dan untuk anak-anak. Anak-anak sekolah setiap

harinya dipaksa untuk bersama-sama melafalkan pernyataan berikut (Shida dalam

Suzuki, 2003:17):

1. Kami adalah rakyat Kekaisaran Jepang;

2. Kami akan melayani Kaisar dengan baik dengan menyatukan semangat kami;

3. Kita akan menjadi bangsa yang besar dan kuat melalui kesabaran dan disiplin.

Menurut Chou (dalam Suzuki, 2003:18), sebagaimana tercermin dalam

dekrit ini, tujuan akhir dari imperialisasi adalah untuk mengubah bangsa terjajah

menjadi kominka. Gerakan imperialisasi terdiri dari empat program besar, yaitu

reformasi agama, gerakan “bahasa nasional” (kokugo undō), kampanye perubahan

nama (sōshi kaimei), dan perekrutan relawan militer (shiganhei seido).

Program perubahan nama (sōshi kaimei) dimulai di Korea pada tanggal 11

Februari 1940. Program pengubah nama ini tadinya sangat mendesak dan

memaksa orang Korea untuk mengubah nama aslinya menjadi bahasa Jepang

yang dalam waktu enam bulan. Tujuan utamanya adalah untuk mengubah

masyarakat kolonial menjadi Kominka. Orang-orang yang menolak untuk

mengubah nama mereka atau gagal untuk mendaftar tepat waktu mengalami

diskriminasi. Mereka ditolak untuk mendaftar ke sekolah, kesulitan untuk

mendapat pendidikan tinggi, dan dirampas kesempatannya untuk bekerja (Chou

dalam Suzuki, 2003: 20).

Dalam film Chi to Hone, pemaksaan penggunaan nama Jepang ini dapat

ditemukan pada tokoh Takayama Shingi. Shingi adalah seorang zainichi tetapi ia

memilih menggunakan nama Jepang. Meskipun begitu, bukan berarti


57

homogenisasi lewat pemaksaan penggunaan nama Jepang berhasil sepenuhnya

terhadap etnis Korea di Jepang. Tokoh-tokoh lain seperti Lee Young-hee dan San-

myung Jang masih menggunakan nama Koreanya.

Sesuai dengan teori Sara Upstone (2009:6), budaya mengekang yang

dipaksakan oleh kaum kolonial berusaha dipatri kepada subjek kolonial. Oleh

karena itu, secara sengaja maupun tidak, terbentuklah batas-batas budaya yang

dipaksakan ke subjek kolonial dan digunakan sebagai salah satu metode untuk

mengontrol masyarakat baik secara acak maupun struktural untuk membuat

lingkungan masyarakat menjadi homogen. Jika pada data 1 masih terlihat usaha

negosiasi akan homogenisasi yang dilakukan, dalam data 3 ini objek kolonial mau

tidak mau harus menaati homogenisasi tersebut demi bisa memperoleh kehidupan

yang layak.

4.1.4. Pengumandangan Lagu Nippon Danji

Data 4 Chi to hone [血と骨] (00:09:47-00:10:51)

Gambar 4.4 Para pemuda zainichi menyanyikan lagu Nippon Danji

Di awal adegan dalam film, beberapa laki-laki zainichi ditampilkan

menyanyikan lagu Nippon Danji atau Shussei no Heishi wo Okuru Uta lagu masa
58

perang kekaisaran Jepang. Type-shot yang diterapkan adalah Medium Shot (MS)

yaitu pengambilan gambar sebatas kepala hingga pinggang yang bertujuan untuk

memperlihatkan objek secara jelas dan menunjukkan bahasa tubuh serta ekspresi.

Pemilihan type-shot dan penggunaan warna hitam putih pada tata cahaya yang

begitu minim dan terkesan suasana suram menunjukkan kontradiksi. Bahasa tubuh

seperti tangan yang diangkat sambil mengepal menunjukkan semangat, sementara

ekspresi serta pencahayaan yang dipilih menandakan rasa pasrah.

Zainichi dalam film Chi to hone tidak seluruhnya digambarkan sebagai

korban imperialisme Jepang, bahkan banyak yang mendukung pihak Jepang. Jika

ditarik ke realita memang banyak orang Korea yang dengan senang hati bertugas

di militer kekaisaran setelah tahun 1938 (Lie, 2008:10). Lebih dari 200.000

tentara zainichi berjuang untuk kekaisaran Jepang dan gugur sebagai pahlawan

Jepang. Akan tetapi, ada juga kelompok zainichi yang rela dikirim ke medan

perang demi kehidupan yang lebih baik dan layak untuk keluarganya.

Budaya mengekang yang dipaksakan oleh kolonial berusaha dipatri

kepada subjek kolonial (2009:6). Oleh karena itu, secara sengaja maupun tidak,

terbentuklah batas-batas budaya yang dipaksakan ke subjek kolonial. Batas-batas

budaya ini digunakan sebagai salah satu metode untuk mengontrol masyarakat

baik secara acak maupun struktural untuk membuat lingkungan masyarakat

menjadi homogen seperti yang ditemukan dalam gambar 4.4. Dalam gambar 4.4

ditunjukkan bagaimana jika homogenisasi kultural berkedok nasionalisme yang

dilakukan oleh kekaisaran Jepang, memang memiliki tempat dan diterima oleh

beberapa kelompok zainichi yang ada di sana. Namun, di sisi lain, ada juga
59

kelompok zainichi yang terpaksa menerima homogenisasi tersebut dan

meninggalkan nasionalismenya terhadap tanah air, yaitu Korea Utara demi bisa

terus menjalani hidup di Jepang.

4.2 Representasi Nasionalisme Kelompok Zainichi Dalam Film Chi to

hone

Budaya mengekang yang dipaksakan oleh kolonial berusaha dipatri kepada

masyarakat terjajah. Oleh karena itu, secara sengaja maupun tidak, terbentuklah

batas-batas budaya yang dipaksakan ke masyarakat kolonial dan digunakan

sebagai salah satu metode untuk mengontrol masyarakat baik secara acak maupun

struktural untuk membuat lingkungan masyarakat menjadi homogen. Akan tetapi,

homogenisasi yang terjadi tidak sepenuhnya mampu menganulir hal-hal yang

merupakan bagian masa lalu kehidupan masyarakat sebelum masa kolonial.

Akibatnya munculah chaos atau post-space.

Nasionalisme yang ditampilkan dalam film Chi to hone direpresentasikan

menjadi 2 hal, yaitu sebagai proyek turunan homogenisasi bangsa kolonial juga

sebagai chaos (kekacauan) yang berusaha ditutupi bangsa kolonial atau malah

muncul bersamaan dengan homogenisasi yang gencar dilakukan oleh pemerintah

Jepang. Pada bagian ini penulis akan menganalisis bentuk-bentuk nasionalisme

kaum zainichi sebagai chaos yang ditampilkan dalam film Chi to hone karya

sutradara Yoichi Sai.

4.2.1. Penggunaan Bahasa Korea

Pada tahun 1986, Nakasone Yasuhiro yang merupakan mantan Perdana

Menteri Jepang sekaligus pemimpin Partai Liberal Jepang tahun 1982-1987,


60

pernah dengan lantang menyatakan, "Jepang adalah negara dengan satu etnis, satu

bangsa, dan satu bahasa". Menurut Lie (2008:33), usaha homogenisasi atau

penyeragaman bahasa Jepang diyakini merupakan salah satu siasat untuk

memajukan ekonomi Jepang.

Kebijakan Japanification yang sudah dimulai sejak masa kolonial membuat

bahasa Jepang wajib digunakan pada media massa dan pendidikan. Selain itu,

etnis Korea juga tidak diperkenankan berbicara bahasa Korea atau menggunakan

nama etnis, sehingga kedudukan bahasa Korea terancam. Kondisi fisik etnis

Korea dan Jepang yang sulit dibedakan pada akhirnya memungkinkan terjadinya

passing, yaitu suatu fenomena dimana seseorang dianggap sebagai anggota dari

suatu kelompok atau identitas seperti ras, etnis, kelas sosial, orientasi seksual,

yang seringkali berbeda dengan identitas aslinya (Rohy dalam Kalei, 1999:28).

Pada data berikut ditampilkan penggunaan bahasa Korea sebagai chaos

(kekacauan) yang berusaha ditutupi bangsa kolonial atau malah muncul seiringan

dengan homogenisasi yang gencar dilakukan oleh pemerintah Jepang dalam film

Chi to hone.

4.2.1.1. Berbicara Menggunakan Bahasa Korea di Lingkungan Zainichi

Data 5 Chi to hone [血と骨] (00:12:10-00:12:50)


61

Gambar 4.5. Para wanita mempersiapkan hidangan pernikahan anak angkat


Shun-Pei

Pada scene atau adegan ini para wanita zainichi yang sedang melakukan

pekerjaannya melakukan percakapan menggunakan bahasa Korea. Teknik

pengambilan gambar yang dipilih adalah Long Shot. Tempat, orang, dan objek-

objek dalam adegan diperlihatkan semua dalam sebuah long shot untuk

memperkenalkan aspek yang ditangkap kepada penonton secara keseluruhan.

Setting tempat yang berusaha ditunjukkan melalui penggunaan teknik

pengambilan gambar ini adalah lingkungan tempat kelompok zainichi tinggal.

Pada gambar 4.5 tipe pencahayaan terlihat menggunakan pencahayaan matahari

atau natural light. Efek terang atau bersinar yang dimunculkan oleh penggunaan

pencahayaan matahari menggambarkan kegembiraan serta kenyamanan yang

dirasakan kelompok zainichi dalam adegan tersebut.

Penduduk Korea di Jepang yang masih berbicara menggunakan bahasa

Korea ditampilkan dalam film Chi to hone pada pembuka cerita, dimana pada

adegan ini mulai diperkenalkan bagaimana kondisi lingkungan tempat tinggal

kelompok zainichi di Jepang. Pada adegan di menit 00:09:25 dengan latar waktu

Jepang di era Perang Dunia II (1940-an), diperlihatkan sekelompok wanita yang

sedang mencuci piring dan menyiapkan hidangan untuk para tamu di pesta

pernikahan Harumi, anak tiri Kim Shun-Pei.

Penduduk Korea di Jepang pada 1940-an lahir dan besar di Korea.

Kelompok zainichi pada generasi ini saling berbicara menggunakan bahasa Korea.

Menurut Lie (2008:31), hal ini dikarenakan kecintaan terhadap tanah air mereka
62

yang masih begitu kuat dan otentik. Oleh karena itu, kehadiran 2 anak pada

gambar di atas (Masao dan Hanako) yang merupakan kelompok zainichi generasi

kedua menjadi menarik. Di antara banyak orang yang saling menyapa

menggunakan bahasa Korea, hanya Masao dan Hanako yang berbicara

menggunakan bahasa Jepang karena mereka adalah kelompok zainichi generasi

kedua.

Post-space atau chaos menurut Upstone (2009:16), dimaknai sebagai

pengakuan atas kekacauan yang melekat baik dalam ruang secara konsep maupun

realisasinya. Penggunaan bahasa Korea sudah menyalahi konstruksi kolonial

Jepang yang “menginstruksikan” bahwa karena di sini adalah negara Jepang,

maka bahasa yang harus digunakan secara umum adalah bahasa Jepang. Oleh

karena itu, penggunaan bahasa Korea dalam nation atau negara Jepang dapat

digolongkan sebagai chaos.

Dengan demikian, kemunculan chaos atau post-space (ruang) alternatif

berupa penggunaan bahasa Korea di tengah homogenisasi kultural terhadap

kelompok zainichi yang lahir di Jepang pada sejak masa kolonial menunjukkan

bagaimana rasa nasionalisme kelompok zainichi terhadap tanah air mereka, yaitu

Korea. Oleh karena itu, gambar 4.5 merupakan representasi nasionalisme yang

ditunjukkan kelompok zainichi dalam film Chi to hone yang menunjukkan

kecenderungan nasionalisme Korea.


63

4.2.1.2. Penggunaan Bahasa Korea Saat Berdoa

Data 6 Chi to hone [血と骨] (00:26:12-00:26:38)

Gambar 4.6 Lee Young-hee berdoa menghadap altar

Dialog

李英姫 : 나 이영희는 달밤에 태어났네

우리 엄마 말에 막 태어난 날 안아보니
등에서 눈 부시게 빛이 났다고 하네
그런 나를 남편 김준평이가
노예처럼 부린지가 18 년이나 되었어

Lee Young-Hi : na iyeonghuineun dalbam-e taeeonassne


uli eomma mal-e mag taeeonan nal an-aboni
deung-eseo nun busige bich-I nassdago hane
geuleon naleul nampyeon gimjunpyeong-iga
noyecheoleom bulinjiga18nyeon-ina doeeoss-eo

Lee Young-Hi : Saya, Lee Young-hee, lahir di malam bulan purnama


Seperti kata ibu saya, memeluk saya yang baru lahir
Mereka mengatakan itu bersinar menyilaukan dari belakang
Suamiku, Kim Joon-pyeong (Kim Shun-Pei) memperbudakku
selama 18 tahun

Scene atau adegan di atas berlatang belakang pasca Perang Dunia II, Lee

Young-Hi yang seorang zainichi generasi pertama dan memeluk agama berdoa

sedang berdoa. Ia juga meminta pertolongan kepada Buddha agar bisa diberi

ketabahan dan kekuatan untuk menghadapi Kim Shun Pei yang begitu semena-
64

mena kepadanya dan memperlakukannya seperti budak. Key light dan fill light

dengan tone suram yang bersumber dari sumber-sumber cahaya alami turut

mendukung pembangunan realisme adegan pada film adegan ini hingga semakin

dekat dengan kehidupan nyata.

Menurut Kroeger (dalam Lie, 2008), fenomena passing sangat mungkin

terjadi dalam kehidupan beragama dan melalui gaya hidup meskipun secara

sosiologis hal tersebut merupakan aspek yang umum. Passing adalah fenomena

dimana seseorang dianggap sebagai anggota dari suatu kelompok atau identitas

seperti ras, etnis, kelas sosial, orientasi seksual, yang seringkali berbeda dengan

identitas aslinya (Rohy dalam Kalei, 1999:28). Contohnya adalah penggunaan

bahasa yang digunakan seseorang ketika berdoa, melalui bahasa apa yang

digunakan dapat disimpulkan apakah fenomena passing sedang atau telah terjadi

atau tidak.

Menurut Harajiri (dalam Lie, 2008), etnis Korea di Jepang sebelum perang

cenderung mempraktikkan ritual pemujaan leluhur. Setelah perang, etnis Korea

generasi pertama memeluk agama Buddha dan beribadah sesuai apa yang

diajarkan di kuil Buddha, tetapi jumlah etnis Korea di Jepang berkurang drastis

pada tahun 1980-an.

Post-space atau chaos menurut Upstone (2009:6), dimaknai sebagai

pengakuan atas kekacauan yang melekat baik dalam ruang secara konsep maupun

realisasinya. Penggunaan bahasa Korea sudah menyalahi konstruksi kolonial

Jepang yang “menginstruksikan” bahwa karena di sini adalah negara Jepang,

maka bahasa yang harus digunakan secara umum adalah bahasa Jepang. Oleh
65

karena itu, penggunaan bahasa Korea dalam nation atau negara Jepang dapat

digolongkan sebagai chaos.

Penggunaan bahasa Korea Lee Young-hee ketika ia sedang berdoa,

menjadi bukti yang mampu menegasi kemungkinan bahwa fenomena passing

sedang terjadi dalam jiwa Lee Young-hee. Oleh karena itu, gambar 4.6 merupakan

representasi nasionalisme yang ditunjukkan kelompok zainichi dalam film Chi to

hone yang menunjukkan kecenderungan nasionalisme terhadap negara Korea.

Data 7 Chi to hone [血と骨] (00:55:09-00:55:19)

Gambar 4.7 Lee Young-hee berdoa menghadap altar

Dialog

李英姫 : "이놈 준평을 누가 잡아가버렸으면..."


Lee Young-Hi : ""inom junpyeong-eul nuga jab-agabeolyeoss-eumyeon..."

Lee Young-Hi : "Jika seseorang menangkap orang ini Junpyeong (Shun-Pei)..."

Scene atau adegan Lee Young-Hi sedang berdoa kembali ditemukan dalam

adegan di atas. Setting waktu atau tempat kejadian ini adalah pada 1950. Tipe

pencahayaan pada gambar 4.7 yang terlihat menggunakan pencahayaan matahari

atau natural light dengan tone cerah berbeda dengan gambar 4.6 yang gelap,
66

menggambarkan bagaimana kehidupan zainichi sudah tidak sesuram jika

dibandingkan pada era-era pasca perang, meski homogenisasi kultural kian gencar

dilakukan oleh pemerintah Jepang.

Dalam gambar 4.7 ditemukan bahwa Lee Yong-He sebagai kelompok

zainichi yang tiap harinya berusaha dicekoki ideologi serta nasionalisme Jepang,

masih memegang nasionalismenya sebagai etnis Korea. Oleh karena itu, data 6

dan data 7 merupakan representasi nasionalisme zainichi Korea yang masih

condong ke arah nasionalisme Korea.

4.2.1.3. Penyebutan Istilah-Istilah Keluarga Menggunakan Bahasa Korea

Dalam film Chi to hone, kelompok zainichi digambarkan masih

menggunakan bahasa Korea ketika menyebut istilah-istilah keluarga ketika

berkomunikasi kepada sesama zainichi ataupun masyarakat Jepang. Penggunaan

bahasa Korea ketika mengucapkan istilah-istilah keluarga terrepresentasi dalam

data-data berikut:
67

Data 8 Chi to hone [血と骨] (00:17:32-00:17:36)

Gambar 4.8 Masao dan Hanako menyebut ayahnya menggunakan bahasa

Korea

Dialog

金正雄 : 아버지 「アボジ」、お帰りなさい。

金正雄: Aboji, okaerinasai

Kim-Masao : Selamat datang, ayah.

Data di atas menunjukkan Masao dan Harumi yang baru saja pulang ke

rumah begitu mendengar kabar bahwa ayahnya mereka, Kim Shun-Pei telah

pulang ke rumah setelah ia kabur dari rumah karena tidak mau dikirim sebagai

tentara Jepang ke medan perang. Sumber cahaya pada scene atau adegan ini

berasal dari cahaya lampu dari arah atas yang dipasang tepat di atas masing-

masing pintu bilik. Suasana yang digambarkan terkesan suram.


68

Data 9 Chi to hone [血と骨] (00:19:27-00:19:40)

Gambar 4.9 Shingi menghadap Kim Shun-Pei

Dialog

審議: 형님 (ヒョンニム), 장인어른 (チャンイノルン), お帰りなさい。家で


いっぱいやりましょう、장인어른。

Shingi : Hyonim, jang-in-eoleun, okaerinasai. Uchi de ippai yarimashou, jang-in-


eoleun

Shingi : Selamat datang, kakak sekaligus ayah mertuaku. Mari kita minum-minum

di rumahku.

Dalam scene atau adegan ini terdapat Shingi yang membungkukan

badannya kepada Kim Shun-Pei. Sumber cahaya pada scene atau adegan ini

berasal dari cahaya lampu dari arah atas yang dipasang tepat di atas masing-

masing pintu bilik. Suasana yang digambarkan terkesan suram.


69

Data 10 Chi to hone [血と骨] (00:55:11-00:55:16)

Gambar 4.10 San-myung Jang menggunakan bahasa Korea saat memanggil

Lee Young-hee

Dalam adegan di atas San-myung Jang yang sedang belajar. Ia kemudian

memanggil bibinya menggunakan istilah Korea. Pada gambar 4.10 yang terlihat

menggunakan pencahayaan matahari atau natural light dengan tone cerah.

Dialog

張賛明 : 이모님 (イモニム)、他力本願で幸福は貸してるはへんで


San-myung Jang : Imonimu, Tarikihongan de koufuku ha kashiteru ha hen de.

San-myung Jang : Penebusan dosa yang Buddha lakukan tidak akan membuatmu

bahagia, bibi.

Menurut Rifa'I (2015:3), ketika sebuah bangsa mempunyai bahasa

persatuan yang berfungsi aktif dalam sebuah komunitas dan penggunaanya

merupakan kesepakatan bersama maka keseragaman dan kesepakatan inilah yang

mendorong pengguna bahasa untuk tetap bersatu sehingga terbangun jiwa

nasionalisme terhadap suatu bangsa yang kokoh. Penggunaan bahasa resmi suatu
70

negara oleh suatu bangsa merupakan salah satu bentuk nasionalisme bangsa

terhadap negara tersebut.

Post-space atau chaos menurut Upstone (2009:6), dimaknai sebagai

pengakuan atas kekacauan yang melekat baik dalam ruang secara konsep maupun

realisasinya. Penggunaan bahasa Korea sudah menyalahi konstruksi kolonial

Jepang yang “menginstruksikan” bahwa karena di sini adalah negara Jepang,

maka bahasa yang harus digunakan secara umum adalah bahasa Jepang. Oleh

karena itu, penggunaan bahasa Korea dalam nation Jepang dapat digolongkan

sebagai chaos. Dengan demikian, penyebutan istilah-istilah keluarga

menggunakan bahasa Korea oleh kelompok zainichi dalam film Chi to hone dapat

digolongkan sebagai ekspresi nasionalisme mereka.

4.2.2. Penggunaan Istilah “Mansei” Menggantikan “Banzai”

Data 11 Chi to hone [血と骨] (00:11:41)

Gambar 4.11. San-myung Jang berteriak mansei (Chi to hone/)

Dialog

軍人 :高山シンギ君、万歳!
Gunjin:Takayama Shingi Kun, Banzai!
Tentara : Selamat / Panjang umur (Banzai), Takayama Shingi!

客 :(万歳、万歳、万歳!)
71

Kyaku : (Banzai, Banzai, Banzai!)


Para Tamu : (Selamat, Selamat. Selamat)

張賛明 :万歳(マンセー)!
San-myung Jang : Mansei!
San-myung Jang : Mansei!

Dalam scene atau adegan ini tampak San-myung Jang berteriak di antara

banyak orang yang ada di pernikahan Takayama Shingi dan Harumi. Pada adegan

ini menggunakan setting atau latar tempat di sebuah bangunan tua, dimana terlihat

beberapa pramusaji berlalu-lalang. Di dalam ruang tersebut terdapat beberapa

tirai, sebuah lukisan, dan banyak jendela yang ditutupi oleh kain dengan bingkai

kayu. Satu-satunya sumber penerangan dari ruangan tersebut adalah cahaya yang

menembus masuk dari sela-sela kain yang menutupi jendela kayu. Penggunaan

warna hitam putih pada tata cahaya yang begitu minim dengan setting latar yang

digambarkan tidak beraturan menggambarkan suasana suram.

Dengan setting atau latar belakang waktu pada era Perang Dunia II,

representasi nasionalisme kelompok zainichi berikutnya ditunjukkan oleh San-

myung Jang pada menit 00:11:41, ketika resepsi pernikahan Harumi dan Shingi

berlangsung. Para hadirin saling bercakap-cakap menggunakan bahasa Jepang

dan seorang tentara yang memimpin acara tersebut juga menyambut para tamu

menggunakan bahasa Jepang.

Di akhir resepsi, si tentara bersorak sebagai ucapan selamat atas

pernikahan Shingi dan Harumi menggunakan istilah Banzai, dengan spontan

seluruh hadirin resepsi tersebut ikut berseru, “Banzai!” sebanyak 3 kali. Akan

tetapi, San-myung Jang yang sedari tadi tampak tidak nyaman dengan situasi

“keJepangan” tersebut, dengan suara lantang malah berteriak, “Mansei!”


72

Banzai secara harfiah berarti hidup sepuluh ribu tahun. Hal ini dilakukan

dengan berteriak bahagia di kesempatan sambil mengangkat kedua lengan orang

berteriak “Banzai” untuk mengekspresikan kebahagiaan mereka, untuk

merayakan kemenangan, untuk berharap umur panjang dan sebagainya (Iqbal,

2018:118), sedangkan Mansei sendiri merupakan cara baca Korea dari istilah

Banzai.

Pada tanggal 1 Maret 1919 (ketika Jepang masih menduduki Korea),

serangkaian demonstrasi publik terjadi. Aksi Ini adalah bentuk penolakan

terhadap kekuasaan pemerintah Jepang di Korea. Menurut Kitkowski (2015:21),

Banyak dari mereka yang ikut dalam aksi tersebut meneriakkan kata Mansei,

yang dalam situasi ini berarti "semoga Korea hidup selama sepuluh ribu tahun.

Suatu realitas baru yang berlapis di atas realitas lama, akan terus ada

sebagai jejak dan memperlihatkan betapa tidak nyata serta betapa tidak mungkin

dicapainya tatanan dan homogenitas yang diproyeksikan oleh divisi kolonial

dalam proyek keruangan (Upstone, 2009:6). Dalam kasus ini, pengucapan istilah

Mansei merupakan jejak yang terus ada saat istilah Banzai dipaksakan sebagai

projek nasionalisme yang digaungkan oleh pemerintah Jepang yang

mengusahakan suatu keseragaman antara masyarakat Jepang dan kelompok

zainichi.

Data di atas merefleksikan bagaimana kelompok zainichi di Jepang masih

memegang teguh semangat kebangsaan sebagai etnis Korea, bahkan dalam aspek

linguistiknya. Perbedaan temuan dalam data di gambar 4.11 dan data di gambar

4.5 adalah jika pada data di subbab 4.4 hanya menunjukkan penggunaan bahasa
73

Korea sebagai habits yang dianggap pemerintah poskolonial perlu

dihomogenisasi, dalam data di subbab 4.10 penggunaan bahasa Korea menjadi

manifestasi chaos yang mencoba dibenturkan dengan nasionalisme Jepang dan

melawan homogenisasi yang terjadi. Oleh karena itu, data 11 merupakan

representasi nasionalisme zainichi yang masih condong ke arah nasionalisme

Korea.

4.2.3. Semangat Setanah Air Siswa-Siswi Zainichi di Sekolah Jepang

Data 12 Chi to hone [血と骨] (00:09:43)

Gambar 4.12. Siswa etnis Korea yang tengah ricuh di SMP Jepang Iikuno

Osaka
74

Dialog

中学生 :また朝鮮やっているでえ…!
Chuugakusei : Mata Chousen Yatteiru de~
Siswa SMP : Si Korea melakukannya lagi!

教師 :戻って、(戻って)、教室に戻りなさい、(席に戻りなさい)!
Kyoushi : Modotte, modotte, Kyoushitsu ni modorinasi, Seki ni
modorinasai!
Guru : Kembali, kembali ke kelas kalian!

在日の中学生 :偏在じゃあ、偏在じゃあ!
Zainichi no Chuugakusei :Henzai Jyaa, Henzai Jyaa!
Siswa SMP keturunan Zainichi : Sangat tidak adil, ini sangatlah tidak adil!

Data 12 menunjukkan siswa-siswi zainichi yang sudah merasa muak

dengan propaganda yang membuat banyak tentara zainichi harus meregang nyawa

di medan perang demi kemenangan Jepang. Teknik pengambilan gambar pada

scene atau adegan ini adalah extreme-long shot dengan sudut yang sangat lebar

pada jarak jauh untuk menunjukkan pemandangan atau panorama yang luas.

Teknik pengambilan gambar ini menunjukkan latar belakang sebuah objek berada

dan menjelaskan posisi objek tersebut dalam lingkungannya.

Menurut Lie (2008, 92), sebelum Hanshin Töso memimpin Kementerian

Pendidikan untuk menyetujui sistem pendidikan yang kompatibel dengan etnis

Korea di Jepang pada tahun 1948, Institusi pendidikan di Jepang menjadi institusi

penting yang dapat memperkenalkan heterogenitas akan tetapi juga melakukan

homogenisasi terhadap kelompok zainichi. Etnis Korea dilucuti hak pilihnya pada

tahun 1945 karena mereka bukan orang Jepang, tetapi upaya mereka untuk

mendirikan sekolah etnis ditolak pada tahun 1948 karena mereka adalah warga

negara Jepang.
75

Asimilasi yang dipaksakan mencirikan kebijakan periode kolonial akhir.

Perluasan pola pikir ini adalah upaya pemerintah untuk menekan pendidikan etnis

di tahun-tahun pascaperang (Lie, 2008:92). Meskipun begitu, penggunaan istilah

Mansei juga terjadi pada adegan saat terjadi kerusuhan di Sekolah Menengah

Pertama Ikuno Osaka yang juga menjadi institusi dimana siswa-siswi keturunan

Korea dan Jepang bisa menempuh pendidikan bersama.

Menurut Smith (1979:48), ada tiga tujuan utama yang menginspirasi

gerakan nasionalis, yaitu: otonomi warga negara, kesatuan wilayah, dan identitas

sejarah. Meskipun beberapa mungkin berbeda pendapat dari cita-cita patriotik

yang ingin dicapai dan beberapa warga negara berpotensi menjadi pengkhianat'

bangsa, sebagian besar warga akan mempertahankan kesetiaan mereka terhadap

bangsanya. Pada saat negara dilanda suatu krisis, kesetiaan ini dapat berubah

menjadi pengabdian dan ketaatan mutlak terhadap negara. Pengabdian dan

ketaatan terhadap negara juga terrepresentasi lewat tindakan para siswa-siswi

zainichi dalam film Chi to hone.

Walaupun chaos atau post-space tidak selalu berarti munculnya ketidak-

beraturan dalam suatu nation, salah satu penanda munculnya chaos adalah kondisi

ketidak-beraturan di dalam suatu nation. Dalam sekolah, sebagai murid banyak

aturan-aturan yang harus ditaati. Akan tetapi, para murid etnis Korea pada sekolah

dalam gambar 4.12 justru melanggar aturan-aturan yang ada tersebut, seperti

melempar kursi, meneriaki guru, dan keluar dari kelas.

Data 12 menunjukkan siswa-siswi zainichi yang sudah merasa muak

dengan propaganda naisen ittai yang membuat banyak tentara zainichi harus
76

meregang nyawa di medan perang demi kemenangan Jepang. Meskipun kelompok

zainichi yang secara suka rela pergi ke medan perang sebagai tentara Jepang dapat

digolongkan sebagai “pengkhianat”, perasaan kesatuan otonomi warga negara,

kesatuan wilayah, dan identitas sejarah memunculkan nasionalisme yang

direpresentasikan dalam chaos di lingkungan sekolah Jepang dalam film Chi to

hone.

4.2.4. Dukungan Terhadap Sayap Kiri (Komunis) dan Revolusi Jepang

Data 13 Chi to hone [血と骨] (00:55:11-00:55:18)

(1) (2)

Gambar 4.13. Masao dan San-myung Jang mengidentifikasi diri mereka sebagai

seorang komunis.

Dialog

(1)

張賛明 : 他力本願で幸福は貸してるはへんで
San-myung Jang : Tarikihongan de koufuku ha kashiteru ha hen de.
San-myung Jang : Penebusan dosa yang Buddha lakukan tidak akan membuatmu
bahagia

李英姫:共産党は黙っとき!
Lee Young-Hi : Kyousan-Tou ha damattoki!
Lee Young-Hi: Komunis diam!

(2)
77

花子:知ってるんで、スケベな所行くんやろう。
Hanako : Shitterunde, sukebe na toko ikun ya ro-?
Hanako : Pasti kau mau pergi ke tempat yang mesum, ‘kan?

金正雄:何言うてんや、わしら共産主義者や!
Kim-Masao : Nani ittenya, washira kyousanshugisha ya!
Hanako : Memang kenapa? Kami ini komunis!

Pada gambar 4.13 (1) ditunjukkan San-myung Jang yang sedang duduk

menyendiri belajar menulis menggunakan aksara Jepang, yaitu Kanji dan

Hiragana di sebuah ruangan sempit. Setting waktu yang digunakan pada adegan

ini adalah Osaka, Jepang pada 1950. Teknik Pengambilan gambar yang dipilih

adalah teknik Full Shot atau penuh dari kepala hingga kaki. Memperlihatkan

objek beserta lingkungannya.

Pada data 13 (1) di atas, San-myung Jang mencemooh bibinya, Lee

Young-Hi yang beragama Buddha ketika sedang berdoa. San-myung Jang

menganggap bahwa agama atau aliran kepercayaan hanyalah takhayul dan

kepercayaan terhadap agama tersebut tidak akan menghasilkan apa-apa.

Bibinya, Lee Young-hee kemudian membalas perkataan yang dilontarkan San-

myung Jang dengan menyuruhnya diam karena San-myung Jang adalah

seorang komunis.

Pada gambar 4.13 (2), ditampilkan San-myung Jang dan Masao remaja

yang hendak pergi ke rumah bordil. Teknik pengambilan gambar yang dipilih

adalah Long Shot. Tempat, orang, dan objek-objek dalam adegan diperlihatkan

semua dalam sebuah long shot untuk memperkenalkan kepada penonton secara

keseluruhan. Hanako yang melihat Masao dan San-myung Jang menuntun

sebuah sepeda, langsung curiga dan berkata bahwa mereka pasti akan pergi ke
78

tempat yang mesum. Akan tetapi, bukannya malu mendengar apa yang

dikatakan oleh Hanako, Masao justru berkata bahwa dirinya sebagai seorang

komunis bebas melakukan apapun.

Dalam data 4.13 (2) di atas terdapat bahwa Masao dan San-myung Jang

dengan bangga mengidentifikasikan diri mereka sebagai bagian dari kaum

komunis. Dalam realita, kelompok zainichi dan komunisme memang memiliki

suatu keterkaitan. Oleh karena itu, dukungan terhadap komunisme ini

merupakan salah satu dari representasi nasionalisme kelompok zainichi dalam

film Chi to hone.

Pada 1950-an hingga 1970-an zainichi dengan pendidikan bagus

cenderung menjadi sasaran politisasi. Politik zainichi terbagi dalam 2 kutub

geopolitik, yaitu blok utara (Korea Utara) yang komunis dan selatan (Korea

Selatan) yang kapitalis (Lie, 2008:). Sebagian besar zanichi cenderung

mendukung Korea Utara yang komunis. Selain dalam data yang disajikan

sebelumnya, dukungan terhadap Korea Utara juga tercermin dalam data berikut:
79

Data 14 Chi to hone [血と骨] (01:09:43-01:09:55)

(1)

Gambar 4.14. Dukungan kelompok zainichi terhadap Mao Zedong.

Dialog

在日朝鮮人1:毛泽东の唯心主義に習うんや。お前のはら一つじゃない、主体や。

Zainichi 1 : Mao Zedong no yuishinsugi ni naraun ya. Omae no hara hitotsu


janai, shutai ya.

Zainichi 1 : Kita harus mempelajari doktrin Mao Zedong Bukan demi


kepentingan Individu, doktrin Juche.

Dalam scene atau adegan di atas (gambar 4.14) ditunjukkan sekelompok

zainichi yang terpelajar, termasuk San-myung Jang yang sedang berdiskusi serius

tentang suatu hal. Teknik pengambilan gambar yang dipilih adalah teknik long

shot. Tujuan penggunaan teknik long shot pada scene atau adegan pada gambar

4.14 adalah untuk menunjukkan interaksi objek yaitu golongan zainichi terpelajar

dengan lingkungan sekitarnya yaitu kelompok zainichi lainnya.

San-myung Jang dan golongan zainichi terpelajar tampak menyendiri dari

kelompok zainichi lainnya yang sedang tengah bergembira menyiapkan makanan

yang akan dihidangkan untuk sajian pesta besar yang diadakan oleh Shun-Pei.
80

Golongan zainichi terpelajar melalui teknik Long Shot yang dipilih, digambarkan

berusaha memberi jarak dan meng-eksklusifkan diri mereka dari kelompok

zainichi lain. Adegan ini memberi kesan bahwa kelompok zainichi secara umum,

sebenarnya merupakan suatu kelompok yang awam dalam hal terkait politik, yang

menjadi pelopor-pelopor gerakan politis yang melibatkan zainichi adalah

golongan zainichi terpelajar yang salah satunya San-myung Jang.

Dialog dalam data 14 tersebut juga berasal dari golongan zainichi

terpelajar. Golongan zainichi terpelajar menunjukkan dukungannya terhadap Mao

Zedong. Mao Zedong merupakan tokoh penggerak revolusi komunis yang

menjadi bapak pendiri Republik Rakyat China. Mao menjabat sebagai Ketua

Partai Komunis China mulai 1935 hingga kematiannya pada 1976, dan Ketua

Republik Rakyat China dari 1949-1959.

Sedangkan Juche atau ideologi Jucheisme adalah ideologi politik yang

didasarkan pada penerapan Marxisme dan Leninisme dalam kehidupan

masyarakat Korea Utara. Untuk mengikat ketiga elemen politik di Korea Utara

serta memperkuat legitimasi kekuasaannya, Kim Il Sung memutuskan untuk

memodifikasi ideologi komunis ala USSR dan RRC (Mao Zedong) sesuai dengan

karakteristik sosial, budaya dan sejarah Korea Utara yang kemudian diganti

dengan Jucheisme (Abidin, 2020:66).

Zainichi dalam data tersebut menunjukkan dukungannya terhadap ideologi

Mao Zedong lewat dialog-dialog di atas. Dapat diambil kesimpulan jika data

tersebut merupakan representasi nasionalisme kelompok zainichi yaitu dukungan


81

terhadap komunisme. Dukungan golongan zainichi terpelajar terhadap komunisme

juga juga semakin diperkuat dan berkorelasi dengan data berikut:

Data 15 Chi to hone [血と骨] (41:32)

Gambar 4.15. Ajakan kepada kelompok zainichi untuk bergabung dengan

Partai Komunis Jepang.

Gambar 4.15 di atas merupakan gambar surat kabar bertuliskan

“Zainihon cousenjin douhou yo, nihon kakumei ni kekki se yo!” yang artinya

“wahai saudara-saudariku zainichi Korea, mari kita mulai revolusi Jepang”. Pada

tahun 1957 dibentuk sebuah kelompok ideologi bernama 日本革命的共産主義

者 同 盟 (Japan Revolutionary Communist League). Organisasi ini merupakan

salah satu gerakan yang merupakan cabang dari marxisme dan dikembangkan

oleh Leon Trotsky. Para komunis di Jepang mengajak kelompok zainichi untuk

bergabung dengan gerakan tersebut. Data 15 ini memperkuat argumen dimana

dukungan kelompok zainichi terhadap komunisme memang terjadi dan hal

tersebut merupakan representasi dari nasionalisme mereka.

Menurut Smith (1979:29), nasionalisme lebih dari sekadar ideologi anti-

kolonialisme, atau tidak menyukai kehadiran asing. Nasionalisme bertujuan


82

untuk membangun sebuah bangsa, untuk membangun dunia bangsa-bangsa,

masing-masing bebas dan mengatur diri sendiri, masing-masing unik dan

kohesif, masing-masing mampu menyumbangkan sesuatu yang istimewa bagi

kemanusiaan yang plural.

Konsep Chaos yang dikemukakan oleh Upstone dalam lingkup dunia

poskolonial erat kaitannya dengan konsep fluiditas yang lebih positif. Lebih

dekat artinya dengan “fluktuasi dan ketidakpastian” dan tidak selalu berarti

kurangnya ketertiban. Dukungan terhadap komunisme dan usaha revolusi Jepang

oleh kaum komunis yang mendapat dukungan dari golongan zainichi yang

terpelajar memiliki landasan tujuan yang luhur, yaitu kesetaraan. Oleh karena itu,

dialog-dialog atau data di atas merupakan representasi chaos oleh kelompok

zainichi yang ingin membangun negara yang bebas, unik, serta kohesif.

Dalam data-data di atas ditemukan bahwa nasionalisme yang ditunjukkan

kelompok zainichi yang terpelajar mengarah ke nasionalisme terhadap negara

Korea Utara. Akan tetapi, tidak diketahui bagaimana pandangan politik

kelompok zainichi yang ditunjukkan masih awam terhadap hal-hal terkait politik.
83

4.2.5. Peristiwa Pembakaran Pos Polisi oleh Kelompok Zainichi

Data 16 Chi to hone [血と骨] (00:58:48-00:59:01)

(1) (2)

(3)

Gambar 4.16. Penyerangan Pos Polisi oleh kelompok zainichi

Dalam gambar 4.16v(1) di atas ditampilkan seorang polisi Jepang yang

sendirian menghadapi beberapa orang zainichi yang mencoba membakar pos

polisi. Gambar 4.16 (1) menggunakan teknik pengambilan gambar Long Shot

dengan pencahayaan alami dari kobaran api. Penggunaan teknik-teknik tersebut

bertujuan untuk menggambarkan kondisi kacau yang terjadi. Sementara gambar

4.16 (2) menggunakan teknik pengambilan gambar Medium Shot dengan

pencahayaan menggunakan cahaya bulan. Penggunaan teknik-teknik untuk


84

menggambarkan dengan detail objek yang berusaha menyerang pos polisi tersebut

(San-myung Jang dan kelompok zainichi terpelajar).

Peristiwa penyerangan serta pembakaran salah satu pos polisi Osaka di

lingkungan zainichi oleh sekelompok zainichi ini dipimpin oleh San-myung Jang.

Akibat perbuatannya, San-myung Jang diganjar hukuman penjara dan baru bebas

4 tahun kemudian. Peristiwa ini diperkirakan berlatar belakang antara tahun 1950-

1953, sesuai data 17 yang berlatar belakang pada pesta untuk merayakan bebasnya

San-myung Jang dari penjara berikut:

Data 17 Chi to hone [血と骨] (1:13:08-1:13:31)

Gambar 4.17. San-myung Jang bebas dari penjara

Dialog

金正雄 :張賛明が四年ぶりに刑務所から帰ってきた
Kim Masao :San-myung Jang ga yonenburi ni keimusho kara kaettekita
Kim Masao :Kak San-myung Jang bebas setelah menjalani hukuman 4 tahun di
penjara.

張賛明 :浦島太郎の心境ですわっー
San-myung Jang : Urashimataro no shinkyou desu a…
San-myung Jang : Aku merasa seperti Urashimataro

張賛明 :花ちゃんは結婚しとる、祖国解放戦争は終わとる、信
じて疑わんかったもんもコロッと変わっとる。
85

San-myung Jang : Hana-chan ha kekkonshitoru, sokokukaihousensou ha


owattoru, shinjite utagawankatta mon mo korotto kawattoru.
San-myung Jang : Hana sudah menikah, perang korea telah berakhir, dan hal yang
selama ini kuyakini ikut berubah.

Dalam data di atas, San-myung Jang merasa seperti Urashimataro.

Urashimataro adalah nama seorang nelayan dalam salah satu legenda Jepang yang

terkenal. Suatu hari, Urashima Taro membeli kura-kura yang sedang dipermainkan

oleh anak-anak dan melepaskannya ke laut. Beberapa hari kemudian, kura-kura

tersebut mendatanginya dan membawanya ke istana bawah laut yang dikenal

sebagai istana naga. Setelah beberapa hari tinggal di sana, Urashima memutuskan

untuk pulang tetapi Otohime, sang putri memberikan kotak misterius bernama

tamatebako. Akan tetapi, begitu Urashima Taro pulang, kampung halamannya

sudah lenyap dan orang-orang yang dikenalnya sudah tiada. Ia membuka

tamatebako dan kemudian menjadi orang tua.

San-myung Jang menyamakan dirinya dengan Urashima Taro karena apa

yang dia tahu sebelum masuk penjara sudah benar-benar berubah total. Oleh

karena itu, meskipun dalam film Chi to Hone (data 16), tidak ada penjelasan sama

sekali terkait apa yang melatarbelakangi peristiwa pembakaran pos polisi yang

dilakukan San-myung Jang dan kroninya, dari latar belakang waktu kejadian

tersebut (data 17), dapat disimpulkan bahwa San-myung Jang melakukan aksi

kriminalnya ketika Perang Korea masih berlangsung (1950-1953) dan bebas dari

penjara ketika perang tersebut telah usai. Perang Korea adalah konflik antara

Korea Utara dan Korea Selatan yang berlangsung mulai tanggal 25 Juni 1950

sampai 27 Juli 1953.


86

Nasionalisme merupakan simbol patriotisme sebagai bentuk perjuangan

warga negara demi negara yang dicintai dan cenderung diartikan sebagai

kecintaan mutlak terhadap tanah air. Oleh karena itu, dapat disimpulkan jika aksi

kriminal yang mereka lakukan merupakan representasi nasionalisme mereka

terhadap bangsa Korea yang tengah berperang demi lepas dari kekuasaan Jepang.

Nasionalisme yang dimiliki San-myung Jang dan kroninya dimanifestasikan

menjadi chaos, yang selalu bisa ditemukan dalam usaha homogenisasi oleh

bangsa kolonial.

4.2.6. Representasi Keinginan Untuk Kembali Ke Tanah Air (Korea Utara)

Data 18 Chi to hone [血と骨] (1:24:49)

(1) (2)

(3)
Gambar 4.18. Keberangkatan kelompok zainichi menuju Korea Utara.

Dialog
87

張賛明 :僕も今日から、北の詩人や。。。
正雄、僕ら一人一人が一辺の詩何や。今、この週間が詩何
や。詩懸け、詩。
僕も向こう着いたら、すぐ手紙送る。
金正雄 :待っといてくれ、僕もすぐ行く。母国で?会おう!
張賛明 :うんっ!待っておる!

San-myung Jang : Boku mo kyou kara, kita no shijin ya…


Masao, bokura hitori-hitori ga ippen no shi nan ya. Ima,
kono shuukan ga shi nan ya. Shi kake, shi!
Kim Masao : Mattoitekure, boku mo sugu iku. Bokoku de aou!
San-myung Jang : Uun! Matteoru!

San-myung Jang : Aku mulai sekarang, adalah seorang penyair dari utara.
Masao, kita semua adalah bagian dari larik puisi.
Sekarang, detik ini, apa yang terjadi saat ini adalah puisi. Ayo
sekarang tulislah puisi, tulis
Kim Masao : Tunggulah aku, aku akan segera menyusul. Mari kita bertemu
di tanah air!
San-myung Jang : Sampai kapanpun akan kutunggu kedatanganmu!

Data di atas menampilkan kondisi di peron kereta saat beberapa zainichi,

termasuk San-myung Jang memilih untuk pergi ke Korea Utara meninggalkan

Jepang. Teknik pengambilan gambar yang dipakai pada gambar 4.18 adalah Long

Shot yang berfungsi untuk menunjukkan korelasi antara objek yang menjadi fokus

dan latar belakangnya. Objek yang menjadi fokus pada scene atau adegan tersebut

adalah San-myung Jang yang ada di dalam kereta dan para kerabatnya yang

mengantar keberangkatan San-myung Jang. Kelompok zainichi lain yang

mengantar dengan begitu sedih bercampur bahagia, pengibaran bendera korea

utara, serta penampilan pengiring musik pada adegan di atas, menggambarkan

suasana suka-cita.

Kelompok zainichi yang sejatinya telah menjadi sasaran homogenisasi dan

berperang melawan sekutu di bawah bendera Jepang, menunjukkan bahwa


88

nasionalisme palsu sebagai program penyeragaman oleh kolonial tidak benar-

benar menghapus jati diri mereka sebagai 朝 鮮 人 (Orang Korea). Justru

sebaliknya, nasionalisme menarik konsep awalnya tentang kedaulatan rakyat dan

kewarganegaraan dalam 'tanah air' teritorial yang diakui. Hal ini direpresentasikan

melalui pengibaran bendera Korea Utara oleh kelompok zainichi yang

mengantarkan keberangkatan rekan mereka.

Setelah melalui berbagai macam politik dan psikologi pascaperang, serta

perjuangan pascakolonial, ideologi zainichi tetap secara naluriah anti Jepang.

Dengan demikian, keinginan (ideologi) untuk pergi meninggalkan Jepang dan

kembali ke tanah airnya merupakan suatu gerakan nasionalisme yang dimiliki

kelompok zainichi.

Post-space atau chaos menurut Upstone (2009:6), dimaknai sebagai

pengakuan atas kekacauan yang melekat baik dalam ruang secara konsep maupun

realisasinya. Jepang menjadikan nasionalisme sebagai konstruksi strategis yang

diperlukan untuk menantang kemutlakan kolonial. Ideologi zainichi yang secara

naluriah tetap anti Jepang melanggar aturan kolonial dimana kelompok zainichi

dikonstruksikan untuk memiliki rasa nasionalisme terhadap Jepang.

Dalam data 18 ditemukan representasi nasionalisme kelompok zainichi

yang condong ke Korea lewat bagaimana kuatnya keinginan Masao untuk pergi

dari Jepang menuju Korea Utara dan betapa meriahnya suasana sekitar stasiun

oleh kelompok zainichi yang dengan suka cita mengantar kepergian keluarganya

ke Korea Utara. Masao bahkan menyebut Korea Utara sebagai tanah airnya

meskipun faktanya Masao merupakan zainichi generasi kedua yang lahir di


89

Jepang. Dalam data-data di atas ditemukan bahwa nasionalisme yang ditunjukkan

kelompok zainichi mengarah ke nasionalisme terhadap negara Korea Utara.

4.2.7. Perilaku Diskriminatif Terhadap Orang Jepang

Istilah zainichi dan perilaku diskriminatif pemerintah Jepang terhadap

kelompok etnis ini memang sudah tidak dapat dipisahkan dan sering menjadi

topik utama dalam pembahasan terkait kelompok zainichi di Jepang. Tahun 1950-

an dan 1960-an adalah masa-masa paling suram dan tidak aman bagi etnis Korea

di Jepang.

Orasi-orasi berbau xenofobik berbunyi, “Orang Korea, kembali ke Korea”

sudah menjadi bagian dari masa kanak-kanak kelompok zainichi. Versi lebih

halus dari orasi ini seperti, “mengapa kamu bisa berbicara bahasa Jepang dengan

sangat padahal orang Korea?” atau “mengapa begitu banyak orang Korea yang

tinggal di Jepang?” tidak hanya merepresentasikan ketidakpedulian historis tetapi

juga menggarisbawahi pola pikir nasionalis yang berprinsip satu bangsa untuk

satu negara yang terpatri baik pada masyarakat Jepang maupun Korea.

Menurut Boreus (2013: 293-308), nasionalisme mungkin terkait dengan

diskriminasi karena melibatkan penarikan batas antara 'kita' dan 'mereka',

sehingga memungkinkan perlakuan berbeda terhadap kelompok. Oleh karena itu,

salah satu faktor bangsa Jepang melakukan diskriminasi terhadap kelompok

zainichi adalah rasa nasionalisme mereka yang begitu kuat.

Akan tetapi, dalam film Chi to hone, justru ditampilkan sebaliknya. Rasa

Nasionalisme terhadap bangsa Korea yang begitu kuat dan mengakar, justru
90

memunculkan sisi diskriminatif kelompok zainichi ke permukaan. Representasi

tersebut ditemukan dalam data berikut:

Data 19 Chi to hone [血と骨] (1:33:24-1:33:46)

(1) (2)

Gambar 4.19.Perselisihan Masao dan Lee Young-hee setelah Masao setelah

Kim Shun-Pei membunuh Kiyoko.

Dialog

李英姫 :正雄、お前は長男何やで、お前が家を継がんならんのや!
金正雄 :金何かいるかあ
李英姫 :あの金はうちらの金や。日本人の女に渡すわけにいかん!
正雄、喋ったりせえへんな。黙ってるんやで、わかってるんな、正
雄!

Lee Young-Hi : Masao, omae ha chounan nan ya de, omae ga ie wo tsugan naran
no ya!
Kim Masao : Kane nanka iru ka!
Lee Young-Hi : Ano kane ha uchira no kane ya. Nihonjin no onna ni watasu wake
ni ikan! Masao, shabettarisseehen na. Damatterun ya de,
wakatterun na, Masao!

Lee Young-Hi : Masao, kau adalah anak laki-laki tertua, kau harus mewarisi
harta keluarga ini!
Kim Masao : Memang siapa yang butuh!
Lee Young-Hi : Uang yang dimiliki ayahmu adalah uang keluarga ini.
Jangan sampai uang itu jatuh ke tangan wanita Jepang!
Masao, jangan beritahukan hal ini kepada siapapun, ya. Tutup
mulutmu, kau pasti paham, ‘kan? Masao!
91

Gambar 4.19 menunjukkan Masao dan ibunya yang tampak

berselisih. Setting atau latar tempat dan waktu dalam scene atau adegan

tersebut adalah di depan rumah Lee Young-hee pada malam hari. Teknik

pengambilan gambar yang digunakan adalah long shot untuk memperjelas

objek. Bahasa tubuh seperti air muka Masao dan Lee Young-hee yang

tampak marah dan tangan Lee Young-hee yang mengarah ke kepala Masao.

Dialog di atas merupakan percakapan yang terjadi antara Lee Young-Hi

(Istri Kim Shun-Pei) dan anaknya, Masao setelah Masao melihat secara

langsung ayahnya membunuh Kiyoko yang sudah lumpuh karena kanker dan

didiagnosis tidak akan hidup lama. Seluruh keluarga Shun-Pei sepakat untuk

tutup mulut tentang kejadian tersebut tetapi Masao yang melihat pembunuhan

yang dilakukan ayahnya secara langsung merasa tidak bisa menerima keputusan

keluarganya. Masao kemudian melampiaskan amarahnya dengan pergi dari

rumah. Kim Shun-Pei berjanji kepada Sadako (perawat Kiyoko) akan

menikahinya setelah Kiyoko meninggal. Lee Young-hee yang tidak ingin harta

keluarganya jatuh ke Sadako yang merupakan orang Jepang, berusaha

mencegah Masao pergi dari rumah namun gagal.

Dalam data ini ditemukan bahwa Lee Young-hee melakukan sikap

diskriminatif terhadap etnis Jepang dengan menggunakan istilah Nihonjin no

Onna ni watasu wake ni ikan yang berarti “siapa saja boleh mendapatkan

warisan tersebut asalkan jangan orang Jepang”. Dari data ini dapat disimpulkan

bahwa nasionalisme yang dimiliki Lee Young-Hi terrepresentasikan ke sikap

diskriminatif terhadap orang Jepang.


92

Chaos atau post-space adalah suatu keadaan dimana hibridisasi yang

terjadi pada semua skala dalam suatu konsep keruangan menjadi sumber untuk

merevisi posisi poskolonial dalam masyarakat dan isu-isu identitas konsekuen.

Oleh karena itu, ketika etnis Korea di Jepang atau kelompok zainichi yang

dikondisikan oleh pemerintah Jepang untuk menjadi kominka justru

mendiskriminasi orang Jepang dimana seharusnya menganggap orang Jepang

sebagai saudara setanah air, artinya usaha homogenisasi kultural oleh

pemerintah tidak dapat sepenuhnya merevisi identitas zainichi dan muncullah

post-space atau chaos. Oleh karena itu, gambar 4.19 merupakan representasi

nasionalisme yang ditunjukkan kelompok zainichi dalam film Chi to hone yang

menunjukkan kecenderungan nasionalisme Korea.


93

4.2.8. Prosesi Pemakaman Menggunakan Adat Korea

Data 20 Chi to hone [血と骨] (2:08:13-2:09:05)

(1) (2)

(3)

Gambar 4.20. Prosesi Pemakaman Lee Yong-He

Pada data di atas merupakan potongan adegan dari upacara pemakaman

Lee Young-Hi yang meninggal karena menderita kanker serviks stadium akhir.

Teknik pengambilan gambar yang dipilih adalah Long Shot. Tempat, orang, dan

objek-objek dalam adegan diperlihatkan semua dalam sebuah long shot untuk

memperkenalkan aspek yang ditangkap kepada penonton secara keseluruhan. Para

pelayat menggunakan kostum atau pakaian formal berwarna gelap sedangkan

anggota kerabat dari orang yang meninggal mengenakan pakaian putih atau hitam.

Pakaian atau kostum yang dipakai oleh para pelayat adalah sangbok dan hanbok.
94

Sangbok adalah pakaian dari serat rami dikenakan oleh keluarga dekat sedangkan

hanbok adalah pakaian berduka dengan pita rambut berwarna putih yang

dikenakan oleh keluarga perempuan pada upacara pemakaman adat di Korea (Lee

& Lee, 2017).

Pada data tersebut, ditunjukkan bagaimana keluarga besar Shun-Pei tetap

memegang budaya Korea yaitu prosesi pemakamannya. Prosesi pemakaman adat

sudah menjadi tradisi yang berkaitan dengan sosial, budaya dan spiritual. Oleh

karena itu, upacara pemakaman dirayakan dan dilakukan dengan beragam cara,

tergantung tradisi masyarakat di suatu tempat.

Post-space atau chaos menurut Upstone (2009:6), dimaknai sebagai

pengakuan atas kekacauan yang melekat baik dalam ruang secara konsep maupun

realisasinya. Penerapan upacara adat Korea di Jepang sudah menyalahi konstruksi

kolonial Jepang yang “menginstruksikan” bahwa karena di sini adalah negara

Jepang, maka upacara pemakaman harus dilakukan dengan cara atau

menggunakan adat Jepang. Oleh karena itu, penggunaan bahasa Korea dalam

nation Jepang dapat digolongkan sebagai chaos. Hal ini merepresentasikan

nasionalisme terhadap negara Korea yang dimiliki kelompok zainichi di bidang

budaya di tengah homogenisasi yang gencar dilakukan Jepang.


95

4.2.9. Mendonasikan Seluruh Harta Ke Pemerintah Korea Utara

Data 21 Chi to hone [血と骨] (2:08:13-2:09:05)

(1) (2)

(3)
Gambar 4.21. Kim Shun-pei pergi dari Jepang dan meninggal di Korea Utara.

Dialog

金正雄: その後、親父はサダ子に産ませた息子、リュイチを連れて、北朝鮮に渡っ
たと審議兄さんから聞きました。
ドイツ製二色刷り自動製版機五台、自家用車五台、二トントラック五台、
せいこの腕時計百個、衣類、靴下、日本円七千万円、あれほど執着した財
産全て北の共和国に寄付して、親父は海を渡っていたんです、

Kim-Masao : Sono ato, oyaji ha Sadako ni umaseta musuko, Ryuichi wo tsurete,


Kita Chousen ni watatta to Shingi-san kara kikimashita.
Doitsu-sei nishoku zuri Jidouseihanki godai, jikayousha godai, niton
torakku godai, seiko no udedokei hyakko, irui, kutsu, nihon yen
nanasenman yen, are hodo shuuchaku shita zaisan subete kita no
kyouwakoku ni kifu shite, oyaji ha umi wo watatteitan desu.

Kim-Masao : Beberapa lama setelah kejadian itu, Kak Shingi mengatakan


kepadaku jika ayah menculik Ryuichi, anak laki-laki hasil hubungannya
dengan Sadako, dan pergi ke Korea Utara.
Ia menyumbangkan seluruh kekayaan yang didapatnya seperti, 5 unit
mesin cetak 2 sisi buatan Jerman, 5 unit mobil, 5 unit truk bermuatan 2
96

ton, 100 unit Jam tangan Seiko, pakaian, sepatu, dan uang sejumlah
70.000.000 yen ke pemerintah Korea Utara.

金正雄 :どっちにしたがって、親父は最後の最後まで自分勝手な生き様を全う
したちゅうわけです。

Kim-Masao: Docchi ni shitagatte, oyaji ha saigo no saigo made, jibun katte na


ikizama wo mattou chuu wake desu.

Kim-Masao: Entah pilihan apapun yang ayah buat, pada akhirnya ia hanya hidup
untuk berbuat sesuka hatinya.

Representasi nasionalisme zainichi berikutnya ditampilkan lewat tindakan

di luar nalar yang dilakukan Kim Shun-Pei yaitu memberikan semua harta hasil

kerja kerasnya di Jepang selama lebih dari 50 tahun ke pemerintah Korea Utara.

Representasi nasionalisme yang dimiliki Kim Shun-Pei. Pada gambar 4.21 (1)

ditampilkan Kim Shun-Pei yang sedang berjalan mendekati 2 anak yang sedang

bermain. Setting atau latar tempatnya adalah jalan setapak dengan ilalang yang

tumbuh menjulang tinggi di sekitarnya. Kostum atau pakaian yang dikenakan Kim

Shun-pei adalah sebuah kemeja berwarna putih. Pemilihan kostum berwarna putih

menggambarkan bagaimana Kim Shun-pei menghadapi kematian yang dirasa

sudah dekat dan penyerahan diri yang menyertainya. Teknik pemilihan gambar

yang dipilih adalah long shot.

Gambar 4.21 (3) adalah detik-detik saat Kim shun-pei menghembuskan

nafas terakhirnya di Korea Utara. Setting atau latar waktu pada scene atau adegan

di atas adalah 1984 atau Showa 59 dalam kalender Jepang. Pencahayaan dalam

scene atau adegan ini berasal dari lampu namun sangat minim sehingga

memunculkan kesan suram. Warna coklat yang dominan dalam adegan ini

menggambarkan bagaimana Kim Shun Pei yang begitu liar dan keras kepala

meninggal dalam kebodohan dan kemiskinan.


97

Kim Shun-Pei, merupakan manifestasi dari seluruh sifat buruk manusia,

tega melakukan hal yang begitu keji dan tidak berperikemanusiaan demi

memuaskan nafsu pribadinya, dan keberadaannya terus membawa kesengsaraan

dan penderitaan bagi orang lain disekitarnya. Hal ini memunculkan pertanyaan,

apakah orang sejahat Kim Shun-Pei memiliki rasa nasionalisme? Jika punya,

nasionalisme seperti apakah yang ia miliki?

Setelah Masao menolak tawaran yang diberikan oleh Shun Pei untuk

membantunya mengelola bisnis rentenir, Shun Pei pergi dengan kecewa dan

membawa pergi anak laki-laki satu-satunya yang ia punya dari hubungannya

dengan Sadako ke Korea Utara. Dari sini dapat ditarik kesimpulan bahwa, setelah

merasa tidak ada yang bisa Shun Pei lakukan lagi untuk menambah kekayaan

yang ia miliki di Jepang, ia memilih untuk mengakhiri usahanya dalam mencari

kekayaan dan memberikan semua hasil yang ia peroleh di Jepang ke pemerintah

Korea Utara.

Dengan demikian, semua bentuk tindakan kejam yang ia lakukan demi

mendapatkan uang ia lakukan demi tanah airnya, Korea. Setelah merasa ajalnya

telah dekat dan sudah berusaha sebisa mungkin, ia memutuskan untuk

membesarkan Ryuichi sebagai orang Korea dan menghembuskan nafas

terakhirnya di sana. Shun-Pei, yang tidak ambil pusing terhadap homogenisasi

kultural yang terjadi di tanah tempatnya dan di sisi lain tidak terlalu menunjukkan

space kekorea-koreaannya, ternyata menyimpan rasa nasionalisme yang begitu

kuat akan tanah kelahirannya.


BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Setelah melakukan analisis terhadap nasionalisme kelompok zainichi

dalam film Chi to hone, ditemukan proses homogenisasi kultural yang berupa

tindakan pemaksaan propaganda kooptasi Jepang-Korea (naisen ittai) terhadap

kelompok zainichi. Munculnya penolakan oleh sebagian kelompok zainichi

terhadap propaganda naisen ittai membuktikan bahwa propaganda ini tidak

sepenuhnya berhasil sebagai media homogenisasi kultural. Selain propaganda

naisen ittai, homogenisasi kultural juga diwartakan lewat asimilasi paksa bahasa

Jepang terhadap kelompok Zainichi. Tuntutan akan kebutuhan materialistik

menjadi faktor keberhasilan homogenisasi kultural lewat pemaksaan asimilasi

bahasa Jepang terhadap kelompok zainichi.

Berkaitan dengan representasi kelompok zainichi dalam film ini sesuai

dengan teori Sara Upstone, didapatkan hasil bahwa sejatinya kelompok zainichi

masih memegang teguh rasa nasionalismenya terhadap negara Korea Utara.

Nasionalisme terhadap Korea Utara ini dapat dilihat dari kemunculan post-space

atau chaos yang menentang nasionalisme Jepang pada ruang yang mencoba

dihomogenisasi oleh kolonial. Jadi, meskipun homogenisasi kultural oleh Jepang

sebagian berhasil diterima oleh kelompok zainichi dan sebagian kelompok

zainichi terpaksa ikut dalam arus homogenisasi tersebut demi mendapatkan

kehidupan yang lebih layak, ideologi kelompok zainichi tetap anti Jepang.

99
100

Penggunaan bahasa Korea dalam kehidupan sehari-hari, segala bentuk dukungan

terhadap komunisme dan ideologi Korea Utara, serta diskriminasi yang dilakukan

kelompok zainichi terhadap orang Jepang merupakan representasi nasionalisme

mereka terhadap negara Korea Utara yang ditemukan dalam film Chi to hone.

5.2 Saran

Penulis menyadari bahwa dalam penelitian terhadap film Chi to hone

masih jauh dari kata sempurna. Penulis berharap pada masa yang akan datang ada

penelitian lain baik menggunakan kajian yang sama yaitu kajian poskolonialisme

maupun dengan kajian lain yang dapat mengungkapkan masalah-masalah yang

terdapat dalam film ini.

Sebagai contoh masalah lain dalam film Chi to Hone yang dapat dikaji

oleh peneliti berikutnya adalah penggambaran sosok laki-laki yang begitu liar,

brutal, dan selalu melakukan penindasan terhadap perempuan, sedangkan tokoh

perempuan mengalami diskriminasi dari laki-laki di sekitarnya. Laki-laki

melakukan penguasaan terhadap orang lain sebagai bentuk aktualisasi untuk

mengontrol dan mempertahankan dirinya. Hal ini sejalan dengan teori dominasi

maskulin yang dikemukakan oleh Pierre Bourdieu. Oleh karena itu, penelitian ini

bisa dikembangkan lagi dengan pendekatan sastra lain, dan semoga penelitian ini

dapat dijadikan referensi bagi penelitian-penelitian selanjutnya.


DAFTAR PUSTAKA

Abidin, N. F. (2020). Dinamika politik, heriofikasi kim il sung, dan ideologi juche
di korea utara (1948-2011). Diakronika, 20(1), 61-75.
Anandhini, F. N. (2021). Peran united nations human rights council (unhrc) dalam
menangani diskriminasi terhadap zainichi koreans di Jepang. Padjadjaran
journal of international relations, S(3), 61-65. doi:
10.24198/padjir.v3i1.30694.
Anggraini, A. E. (2019). Posmodernisme dan poskolonialisme dalam karya
sastra. Pujangga: jurnal bahasa dan sastra, 4(1), 59-70.
Betts, Richard K. (ed.), Conflict afterthe cold war: arguments on causes of war
and peace, New York: Macmillan, 1994
Boréus, K. (2013). Nationalism and discursive discrimination against immigrants
in Austria, Denmark and Sweden. Right-Wing populism in europe. politics
and discourse, 293-307.
Chatani, S. (2021). Revisiting korean slums in postwar japan: tongne and hakkyo
in the zainichi memoryscape. The journal of asian studies, 80(3), 587-610.
Conversi, D. (2010). Cultural homogenization, ethnic cleansing, and genocide.
In Oxford Research Encyclopedia of International Studies.
Dewi, I. M. (2008). Nasionalisme dan kebangkitan dalam teropong. Mozaik, 3(3),
2-3.
Dewi, I. M. (2012). Konflik dan disintegrasi di indonesia. mozaik: jurnal ilmu-
ilmu sosial dan humaniora, 6(1).
Diannita, A. (2021). Analisa teori post kolonialisme dalam perspektif alternatif
studi hubungan internasional. Jurnal studi islam dan sosial, 4(1), 79-90.
Hartono, M. (2021). Nasionalisme asia timur: suatu perbandingan Jepang, cina,
dan korea. Journal of universitas yogyakarta.
Hendrastomo, G. (2007). Nasionalisme vs globalisasi ‘hilangnya’semangat
kebangsaan dalam peradaban modern. Dimensia: Jurnal kajian
sosiologi, 1(1).
Iqbal, C. I. (2018). Budaya komunikasi dalam masyarakat Jepang. Walasuji, 9(1),
129-140.
Kalei Kanuha, V. (1999). The social process of passing to manage stigma: Acts of
internalized oppression of acts of resistance. J. Soc. & Soc. Welfare, 26,
27. Available at: https://scholarworks.wmich.edu/jssw/vol26/iss4/3
Khairunisa, P. M., & Liliani, E. (2019). Kedudukan subaltern tokoh perempuan
pribumi dalam novel bunga roos dari tjikembang karya kwee tek hoay
(kajian poskolonialisme). Jurnal bahasa dan sastra indonesia, 8(5), 39-44.
Kitkowski, R. W. (2015). " Today is the Day to Shout Mansei": The Culture of
Resistance in Korea During the Japanese Imperial Period, 1905-1945.
Kohn, H. (1965). Nationalism: its meaning and history. Rev. ed. D. Van Nostrand.

101
102

Kusumawardani, A., & Faturochman, M. A. (2004). Nasionalisme. Buletin


Psikologi, 12(2).
Lee, Jung Hui. 2017. “Superordinate Identity in zainichi koreans (Koreans Living
in Japan).” IAFOR Journal of Psychology & the Behavioral Sciences 49—
60.
Lie, J. (2008). Zainichi (Koreans in Japan): Diasporic nationalism and
postcolonial identity (Vol. 8). Univ of California Press.
Lee, J., & Lee, K. (2017). A study of mourning ribbon (sang-jang) from the
opening of ports through the korean empire period. International Journal
of Costume and Fashion, 17(2), 83-100.
Mahliatussikah, H. (2015). Pembelajaran qashîdah wu’ûd minalâshifah karya
mahmud darwish melalui kajian postkolonial. Prosiding konferensi
nasional bahasa arab, 1(1).
Martayana, I. P. H. M. (2019). Poskolonialitas1 di negara dunia ketiga. Candra
Sangkala, 1(2).
Ma’ruf, A. nasionalisme indonesia awal abad xx sebagai pembelajaran pendidikan
dalam masyarakat multikulturalisme indonesia. In Prosiding Seminar
Nasional Program Studi Pendidikan Sejarah se-Indonesia: Kajian Muatan
dan Posisi Mata Pelajaran Sejarah di Kurikulum 2013 (p. 13).
Morooka, Haruka. 2016. Ethnic and national identity of third generation koreans
in ja-pan.New York: MA the City University of New
Nugrahani, F., & Hum, M. (2014). Metode penelitian kualitatif. Solo: Cakra
Books, 1(1).
Nusarastriya, Y. (2015). Sejarah nasionalisme dunia dan indonesia. Pax Humana.
Osborn, W. (2015). Zainichi: how violence and naming determine a
consciousness. Graduate school of duke university.
Rahariyoso, D. (2014). Paradoks ruang tubuh dalam puisi “sakramen” karya joko
pinurbo: kajian ‘pascakolonial tubuh’sara upstone. Yogyakarta: Poetika.
Ratna, Nyoman Kutha. 2008. Postkolonialisme Indonesia, Relevansi Sastra.
Yogyakarta: Pustaka pelajar.
Rifa'i, A. M. M. (2015). Nasionalisme dalam perspektif bahasa sebagai
perwujudan jati diri bangsa. Al-Mabsut: Jurnal studi islam dan
sosial, 9(2), 155-180.
Romli, K. (2015). Akulturasi dan asimilasi dalam konteks interaksi antar
etnik. Ijtimaiyya: Jurnal pengembangan masyarakat islam, 8(1), 1-13.
Said, E. (1978). Orientalism: Western concepts of the Orient. New York:
Pantheon.
Sari, R. P., & Abdullah, A. (2020). Analisis isi penerapan teknik sinematografi
video klip monokrom. Jurnal riset mahasiswa dakwah dan
komunikasi, 1(6), 418-423.
Smith, A. D. (1979). Nationalism in the twentieth century. Australian National
University Press.
Suastika, I. N. (2013). Nasionalisme dalam perspektif postmodernisme,
poststrukturalisme dan postkolonialisme. Media Komunikasi
FPIPS, 11(1).
Sugimoto, Y. (1999). Making sense of nihonjinron. Thesis eleven, 57(1), 81-96.
103

Suzuki, K. (2003). The State and Racialization: The Case of Koreans in Japan.
University of California-San Diego, 17-21.
Taruna, A. R. (2017). Ambivalensi dalam cerpen anak ini mau mengencingi
jakarta? karya ahmad tohari: kajian poskolonialisme. EUFONI, 1(1).
Trihtarani, F. E., al Fasya, M. M. R., Yusticia, N., & Setyaningsih, N. Antara
zainichi dan pachinko: representasi zainichi koreans novel pachinko karya
min jin lee. Poetika: Jurnal ilmu sastra, 7(2), 171-187.
Upstone, Sara. 2009. Spatial Politics in the Postcolonial Novel. Ashgate
Publishing Company.
Woelandari, D. R., & Alunaza, H. (2019). Peran PBB dan NATO dalam konflik
perpecahan di yugoslavia pasca turunnya pemerintahan josip broz
tito. Proyeksi: Jurnal ilmu-ilmu sosial dan humaniora, 24(1).
Yamada, A., & Yusa, T. (2014). Ethnic microaggressions: the experiences of
zainichi korean students in japan. InterActions: UCLA Journal of
education and information studies, 10(2).
Yuliati, D. (2009). Menyibak fajar nasionalisme indonesia. makalah
dipresentasikan dalam sarasehan sejarah regional daerah, Dinas
Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Jawa Tengah, di Hotel Pondok
Tingal Magelang, 23.
金祉硯. (2011). 映画 『血と骨』 における 「怪物的」 な男とその女. 文
学研究論集, (29), 47-65.
104

LAMPIRAN

Lampiran 1: Curriculum Vitae

Data Pribadi
1. Nama Lengkap : Juve Henson
2. Tempat, Tanggal Lahir : Tulungagung, 11 Februari
2000
3. Alamat : Jl. Ig. Ngurah Rai II / 9D RT 02
RW 01 Kelurahan Bago, Kecamatan Tulungagung, Kabupaten
Tulungagung
4. Jenis Kelamin : Laki-Laki
5. No. Telepon : 082114665593
6. Email : nezuminaito@gmail.com
hyakujuuve@student.ub.ac.id
Pendidikan Formal
1. 2006-2013 : SD Negeri 1 Kampungdalem
2. 2013-2016 : SMP Negeri 3 Tulungagung
3. 2016-2019 : SMK Negeri 3 Boyolangu
4. 2019-sekarang : Universitas Brawijaya

Pengalaman Kegiatan
-
Pengalaman Kerja
-
105

Lampiran 2: Sertifikat JLPT N3


106

Lampiran 3: Sertifikat TOEFL ITP


107

Lampiran 4: Surat Keterangan Sertifikasi IT


108

Lampiran 5: Berita Acara Bimbingan Skripsi

KEMENTERIAN PENDIDIKAN,
KEBUDAYAAN, RISET, DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
Jalan Veteran, Malang65145, Indonesia
Telp. +62341-551611, 575777, Fax. 565420
http://www.ub.ac.id E-mail : rektorat@ub.ac.id

BERITA ACARA
SEMINAR PROPOSAL SKRIPSI
Telah dilaksanakan Seminar Proposal Skripsi Program S-1 Fakultas Ilmu Budaya Universitas
Brawijaya pada :
Hari, tanggal : 16 November 2022
Untuk mahasiswa :
Nama : Juve Henson
NIM : 195110200111004
Prodi : Sastra Jepang
Dengan Judul : Nasionalisme Zainichi Dalam Film Chi To Hone Karya
Sutradara Yoichi Sai
Yang telah dihadiri oleh :
Pembimbing
Peserta umum sejumlah 10 Orang
Malang, 23 November 2022
Pembimbing

Emma Rahmawati Fatimah, M.A.


NIP. 2017068509242001

Ketua Departemen Bahasa dan Sastra

Sahiruddin, S.S., M.A., Ph.D


NIP. 197901162009121001

Lampiran 6: Berita Acara Bimbingan Skripsi

KEMENTERIAN PENDIDIKAN,
109

KEBUDAYAAN, RISET, DAN TEKNOLOGI


UNIVERSITAS BRAWIJAYA
Jalan Veteran, Malang65145, Indonesia
Telp. +62341-551611, 575777, Fax. 565420
http://www.ub.ac.id E-mail : rektorat@ub.ac.id

BERITA ACARA
SEMINAR HASIL SKRIPSI
Telah dilaksanakan Seminar Proposal Skripsi Program S-1 Fakultas Ilmu Budaya Universitas
Brawijaya pada :
Hari, tanggal : 13 Desember 2022
Untuk mahasiswa :
Nama : Juve Henson
NIM : 195110200111004
Prodi : Sastra Jepang
Dengan Judul : Nasionalisme Zainichi Dalam Film Chi To Hone Karya
Sutradara Yoichi Sai
Yang telah dihadiri oleh :
Pembimbing
Peserta umum sejumlah 9 Orang
Malang, 13 Desember 2022
Pembimbing

Emma Rahmawati Fatimah, M.A.


NIP. 2017068509242001

Ketua Departemen Bahasa dan Sastra

Sahiruddin, S.S., M.A., Ph.D


NIP. 197901162009121001

Lampiran 8: Berita Acara Bimbingan Skripsi

KEMENTERIAN PENDIDIKAN,
KEBUDAYAAN, RISET, DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
Jalan Veteran, Malang65145, Indonesia
Telp. +62341-551611, 575777, Fax. 565420
110

http://www.ub.ac.id E-mail : rektorat@ub.ac.id

BERITA ACARA

BIMBINGAN SKRIPSI

Nama : Juve Henson

NIM : 1951102001111004

Program Studi : Sastra Jepang

Judul Skripsi : Nasionalisme Zainichi Dalam Film Chi To

Hone Karya Sutradara Yoichi Sai

Tanggal Mengajukan : 31 Agustus 2022

Tanggal Selesai Skripsi : 22 Desember 2022

Nama Pembimbing : Emma Rahmawati Fatimah, M.A.

No. Tanggal Materi Pembimbing


Emma Rahmawati
1 31 Agustus 2022 Pengajuan Judul Skripsi Fatimah, M.A.

Emma Rahmawati
2 2 September 2022 Konsultasi Bab I Fatimah, M.A.

Emma Rahmawati
3 26 September 2022 Revisi Bab 1 Fatimah, M.A.

Emma Rahmawati
4 14 Oktober 2022 Konsultasi Bab II dan III Fatimah, M.A.

Emma Rahmawati
5 24 Oktober 2022 Revisi Bab II dan III Fatimah, M.A.

Emma Rahmawati
6 16 November 2022 Acc Seminar Proposal Fatimah, M.A.

Emma Rahmawati
7 23 November 2022 Pelaksanaan Seminar Propoosal Fatimah, M.A.

8 29 November 2022 Revisi Setelah Seminar Proposal Emma Rahmawati


111

Fatimah, M.A.

Emma Rahmawati
9 1 Desember Konsultasi Bab IV Fatimah, M.A.

Emma Rahmawati
10 6 Desember 2022 Revisi Bab IV Fatimah, M.A.

Emma Rahmawati
11 8 Desember 2022 Acc Seminar Hasil Fatimah, M.A.

Emma Rahmawati
13 13 Desember 2022 Pelaksanaan Seminar Hasil Fatimah, M.A.

Emma Rahmawati
14 16 Desember 2022 Revisi Seminar Hasil Fatimah, M.A.

Emma Rahmawati
15 19 Desember 2022 Acc Ujian Skripsi Fatimah, M.A.

Emma Rahmawati
16 22 Desember 2022 Pelaksanaan Ujian Skripsi Fatimah, M.A.

Malang, 20 Desember 2022


Mengetahui

Ketua Departemen Dosen Pembimbing

Sahiruddin, S.S., M.A., Ph.D Emma Rahmawati Fatimah, M.A.


NIP./NIK. 197901162009121001 NIP./NIK. 2017068509242001

Anda mungkin juga menyukai