Anda di halaman 1dari 38

BAB 2

LANDASAN TEORI

2.1 Diabetes Melitus

2.1.1 Pengertian Diabetes Melitus

Diabetes Melitus adalah penyakit kronis yang terjadi ketika insulin yang

dihasilkan oleh pankreas tidak adekuat atau insulin yang dihasilkan tidak

dapat digunakan oleh tubuh secara efektif. Hal ini dapat menyebabkan

konsentrasi glukosa dalam darah meningkat (hiperglikemia) (WHO,2015).

PERKENI (2015) mengatakan DM merupakan suatu kelompok penyakit

metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena

kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya.

Berdasarkan beberapa definisi diatas dapat disimpulkan bahwa DM

merupakan penyakit metabolik yang ditandai dengan peningkatan kadar

gula darah (hiperglikemia) yang disebabkan oleh ganguan sekresi insulin

atau kerja insulin tidak adekuat.

12
13

2.1.2 Klasifikasi Diabetes Melitus

American Diabetes Association (ADA) (2018) mengklasifikasikan DM

sebagai berikut :

1) DM Tipe 1/ Insulin Dependent Diabetes Melitus (IDDM)

Diabetes Melitus Tipe 1 disebabkan karena reaksi autoimun dimana

sistem pertahanan tubuh menyerang sel beta pada pankreas dan

mengakibatkan tubuh tidak dapat memproduksi insulin yang

dibutuhkan.

2) DM Tipe 2/ Non Insulin Dependent Diabetes Melitus (NIDDM)

Pada DM Tipe 2 tubuh masih mampu memproduksi insulin namun

resisten terhadap insulin itu sendiri sehingga insulin tidak efektif.

Keadaan tersebut menyebabkan kadar glukosa darah menjadi tinggi.

3) Diabetes pada kehamilan/ Gestational Diabetes Melitus (GDM)

Diabetes gestasional terjadi selama kehamilan dimulai dengan

intoleransi glukosa dimana intoleransi glukosa ditemui pertama kali

pada trimester kedua dan ketiga. Pada wanita hamil akan lebih

banyak membutuhkan insulin untuk mempertahankan metabolisme

karbohidrat agar tetap normal.

4) Diabetes Melitus tipe yang lain/ Others Specific Types

DM tipe ini merupakan DM yang disebabkan karena adanya etiologi

lain misalnya, sindrom diabetes monogenik seperti diabetes neonatal,

penyakit pada pankrea eksokrin seperti sistik fibrosis pankreatitis,

dan obat atau bahan kimia diabates yang diinduksi seperti dengan
14

penggunaan glukokortikoid dalam pengobatan HIV/AIDS, atau

setelah transplantasi organ.

2.1.3 Diagnosis Diabetes Melitus

Kriteria diagnosis DM menurut Perkumpulan Endokrinologi

Indonesia (PERKENI) (2015) adalah jika ditemukan gejala sebagai

berikut:

1.) Keluhan klasik DM : polidipsia (sering minum), poliuria (sering

kencing), polifagia (sering makan) dan penurunan berat badan

yang tidak dapat dijelaskan sebabnya.

2.) Keluhan lain : badan lemas, kesemutan, gatal, penglihatan kabur,

dan disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulva pada wanita.

3.) Pemeriksaan glukosa plasma puasa ≥126 mg/dL. Puasa adalah

kondisi tidak ada asupan kalori minimal 8 jam.

4.) Pemeriksaan glukosa plasma ≥200 mg/dL 2 jam setelah Tes

Toleransi Glukosa Oral (TTGO).

5.) Pemeriksaan glukosa plasma sewaktu ≥200mg/dL dengan

keluhan klasik DM.

6.) Pemeriksaan HbA1c ≥6,5%.


15

2.1.4 Faktor Risiko Diabetes Melitus

American Diabetes Association (ADA) (2018) mengatakan bahwa

DM berkaitan dengan faktor risiko yang tidak dapat diubah meliputi

keluarga dengan riwayat DM (first degree relative), usia ≥45 tahun,

etnik, riwayat melahirkan bayi dengan berat badan lahir bayi >4000

gram atau riwayat pernah menderita DM gestasional dan riwayat

lahir dengan berat badan rendah (<2,5kg).

Faktor risiko yang dapat diubah meliputi obesitas berdasarkan IMT

≥25kg/m2 atau lingkaran perut ≥80cm pada wanita dan ≥90cm pada

laki-laki, kurangnya aktivitas fisik, hipertensi, dislipidemi dan diet

tidak sehat. Faktor lain yang terkait dengan risiko diabetes adalah

penderita polycystic ovary sindrome (PCOS), penderita sindrom

metabolik memiliki riwayat toleransi glukosa terganggu (TGT) atau

glukosa darah puasa terganggu sebelumyan, memiliki riwayat

penyakit kardiovaskuler seperti stroke, PJK atau PAD (Periphreal

Arterial Diseases), konsumsi alkohol, faktor stres, kebiasaan

merokok, jenis kelamin, konsumsi kopi kafein.

2.1.5 Manifestasi Klinik Diabetes Melitus

Gejala khas DM terdiri dari 3P polidipsia (sering minum), poliuria

(sering kencing), polifagia (sering makan). Poliuria (sering kencing)

dan Polidipsi (sering minum) keduanya dapat menyebabkan


16

hilangnya cairan karena diuresis osmotik. Poliphagia (sering makan)

yang disebabkan karena proses katabolik yang menyebabkan

berkurangnya insulin dan penurunan protein lema. Gejala lainnya

berat badan menurun tanpa sebab yang jelas, sedangka gejala tidak

khas DM diantaranya lemas, kesemutan, luka yang sulit sembuh,

gatal, mata kabur, disfungsi ereksi (pria), dan pruritus vulva (wanita)

(PERKENI,2015).

2.1.6 Komplikasi Diabetes Melitus

Komplikasi DM terdapat 2 kelompok, yaitu komplikasi akut dan

komplikasi kronik. Komplikasi akut meliputi diabetik ketoasidosis,

hyperglikemic-hyperosmolar-nonketotik syndrome, hypoglikemia.

Sedangkan komplikasi kronik dapat mengenai pembuluh darah besar

(makrovaskuler) atau pembuluh darah kecil (mikrovaskuler).

Komplikasi makrovaskuler termasuk penyakit kardiovaskuler,

penyakit serebrovaskuler dan penyakit pembuluh darah perifer

sedangkan yang termasuk dalam komplikasi mikrovaskuler adalah

nepropati, neuropati, retinopati (Iganatavius, 2006; Smeltzer, 2008).

2.1.6.1 Komplikasi Akut

1) Hipoglikemia

Hipoglikemia adalah keadaan klinik gangguan syaraf

yang disebabkan penurunan glukosa darah, keadaan

hipoglikemia disebabkan karena pemberian insulin atau


17

obat oral yang berlebihan, konsumsi makanan yang

kurang atau karena aktivitas fisik yang terlalu berat atau

berlebihan (Smeltzer & Bare, 2008). ditandai dengan

menurunnya kadar glukosa darah <70 mg/dL.

Hipoglikemia adalah penurunan konsentrasi glukosa

serum dengan atau tanpa adanya gejala-gejala sistem

otonom seperti ada whipple’s triad (PERKENI,2015) :

(a) Terdapat gejala-gejala hipoglikemia,(b) Kadar

glukosa darah yang rendah, (c) Gejala berkurang

dengan pengobatan.

2) Hyperglikemia

Hyperglikemi adalah komplikasi akut yang disebabkan

oleh masukan kalori yang berlebihan, penghentian obat

oral maupun insulin. keadaan menyebabkan terjadinya

gangguan metabolisme karbohidrat protein dan lemak.

ditandai dengan adanya hiperglimia, ketosis, asidosis,

dan dehidrasi disebut Ketoasidosis Diabetik (KAD).

2.1.6.2 Komplikasi Kronik

Komplikasi kronik DM merupakan komplikasi yang

terjadi setelah diabetisi menderita DM selama 5-10 tahun.

Komplikasi kronik meliputi komplikasi makrovaskuler dan

komplikasi mikrovaskuler.
18

1) Komplikasi makrovaskuler

Komplikasi makrovaskuler merupakan komplikasi

dimana pembuluh darah menyempit sehingga organ

yang seharusnya mendapatkan suplai darah dari

pembuluh tersebut menjadi kekuragan suplai.

Disebabkan karena adanya tumpukan lemak pada

dinding pembulu darah menyebabkan terjadinya

masalah pada jantung dan otak. (Mahendra, et al,

2008).

2) Komplikasi mikrovaskuler

a) Retinopati

Padelaki (2007) menjelaskan bahwa kesehatan

dan aktivitas metabolisme retina sangat

tergantung pada jaringan kapiler retina. Perubahan

yang terjadi pada retina terjadi karena penebalan

pada membran basalis mengakibatkan perubahan

fungsi dari sele endotel dan sel periset.

b) Nefronpati

Nefronpati merupakan sindrom klinis pada

diabetisi yang ditandia dengan albuminuria

menetap (>300 mg/24 jam) pada minimal dua kali

pemeriksaan dalam kurun waktu 3-6 bulan

(sudoyo, 2006;kurniawat 2011). Penyebab utam


19

gangguan ginjal pada diabetisi adalah buruknya

mikrosirkulasi, gangguna ini muncul paralel bisa

karena proses kronis dari hipertensi (Mahendra et

al, 2008).

c) Neuropati

Neuropati merupakan komplikasi DM pada sistem

saraf lebih mengacu pada saraf sensorik (saraf

perasa), menimubulkan rasa sakit, kesemutan,

serta baal (mati rasa) pada kaki dan tangan. bisa

juga mengenai saraf autonom (saraf vegetatif)

yang akan mempengaruhi fungsi organ seperti

organ pencernaan, keluhan pada jantung,

gangguan pada sistem perkemihan dan pada

aktivitas seksual serta gangguan psikologi

(Mahendra et al, 2008). Neuropati pada perifer

dan otonom juga dapat menyebabkan komplikasi

pada kaki. Yang dapat menimbulan masalah

seperti ulkus kaki diabetik (Brunner et al, 2008).


20

2.1.7 Penatalaksanaan Diabetes Melitus

Tujuan penatalaksanaan secara umum adalah meningkatkan

kualitas hidup diabetisi. Tujuan penatalaksanaan meliputi

(PERKENI,2015) :

1) Tujuan jangka pendek : menghilangkan keluhan DM,

memperbaiki kualitas hidup, dan mengurangi risiko komplikasi

akut.

2) Tujuan jangka panjang : mencegah dan menghambat

progresivitas penyulit mikroangiopati dan makroangiopati.

3) Tujuan akhir pengelolaan adalah turunnya morbiditas dan

mortalitas DM.

2.1.7.1 Terapi Non farmakologis

PERKENI (2015) mengatakan bahwa terapi Non

farmakologis diabetisi sebagai berikut :

1) Edukasi

Edukasi dilakukan sebagai bagian dari upaya

pencegahn dan merupakan bagian yang sangat penting

dari pengelolaan DM secara holistik. Materi edukasi

terdiri dari materi edukasi tingkat awal dan materi

edukasi tingkat lanjut.

a) Materi edukasi pada tingkat awal dilaksanakan

dipelayanan kesehatan primer yang meliputi :

Materi tentang DM (definisi, etiologi,risiko, tanda


21

gejala, komplikasi dan penatalaksanaan DM). Dan

memberitahu pentingnya cara pemantauan glukosa

darah dan pemahaman hasil glukosa darah,

Mengenal gejala dan penangan awal hipoglikemia,

Pentingnya latihan jasmani yang teratur, Perawatan

kaki, Cara mempergunakan fasilitas perawatan

kesehatan.

b) Materi edukasi pada tingkat lanjut dilaksanakan di

pelayanan kesehatan sekunder dan / atau tersier,

yang meliputi : Mengenal dan mencegah penyulit

DM, Pengetahuan mengenani penyulit menahun

DM, Penatalaksanaan DM selama menderita

penyakit lain, Kondisi khusus yang dihadapi

(contoh : hamil, puasa, hari-hari sakit),

Pemelihiraan/perawatan kaki.

2) Terapi Nutrisi Medis

Diabetisi perlu diberikan penekanan mengenai

pentingya keteraturan jadwal makan, jenis dan jumlah

kandungan kalori, terutama pada mereka yang

menggunakan obat yang meningkatkan sekresi insulin

atau terapi insulin itu sendiri (PERKENI, 2015).

Komposisi makanan yang dianjurkan terdiri dari :


22

Karbohidrat 45-65%, Lemak 20-25%, Protein 10-20%,

Natrium <2300 mg perhari, Serat 20-35 gram/hari.

Pemanis alternatif aman digunakan bila tidak melebihi

batas aman.

Tujuan terapi nutrisi pada diabetisi adalah untuk

penurunan berat badan dan diet hipokalori (pada

diabetisi yang gemuk) biasanya memperbaiki kadar

glikemik jangka pendek dan mempunyai potensi

meningkatkan kontrol metabolik jangka lama.

Menentukan kebutuhan pada pasien beberapa hal yang

dapat dilakukan pertama, peenentuan status gizi

berdasarkan rumus Broca (BB ideal/BBI) dimana BBI

dalam kg BB=(TB cm – 100) – 10%. Kecuali untuk

laki-laki <160 cm dan perempuan <150cm tidak

dikurangi 10%. Dan ada juga perhitungan BBI

menurut Indeks Massa Tubuh (IMT) dapat dihitung

dengan rumus IMT = BB (kg)/TB(m2).

3) Latihan Jasmani (olahraga)


23

Latihan Jasmani (olahraga) merupakan salah satu pilar

dalam pengelolaan diabetes apablia tidak disertai

adanya nefropati. Latihan Jasmani sehari-hari dan

latihan jasmani dilakukan secara teratur sebanyak 3-5

kali perminggu selama sekitar 30-45 menit, dengan

total 150 menit perminggu.

2.1.7.2 Terapi Farmakologi

Terapi farmakologi diberikan bersama dengan

pengaturan makan dan aktivitas fisik (olahraga). Terapi

farmakologis terdiri dari obat oral dah bentuk suntik

(PERKENI,2015).

1) Obat Antihiperglikemia Oral

Berdasarkan cara kerjanya, obat anti-hiperglikemia

oral dibagi menjadi 5 golongan :

a) Pemacu sekresi insulin (Insulin Secretagogue) :

Sulfonilurea, Glinid.

b) Peningkatan Sensitivitas Terhadap Insulin :

Metformin, Tiazolidindion (TZD).

2) Obat Antihiperglikemia Suntik


24

a) Insulin

Insulin diperlukan pada keadaan ; penurunan berat

badan yang cepat, hiperglikemia berat yang

disertai ketoasidosis, ketoasidosis diabetik,

hiperglikemai hiperosmolar non ketotik,

hiperglikemia dengan asidosis laktat, gagal

dengan kombinasi OHO dosis optimal, stress

berat, kehamilan dengan DM, gangguan fungsi

ginjal atau hati yang berat, kontraindikasi atau

alergi terhadap OHO.

Berdasarkan lama kerja insulin terbagi menjadi

empat jenis yakni, insulin kerja cepat (rapid

acting insulin), insulin kerja pendek (short acting

insulin), insulin kerja menengah (intermediate

acting insulin), kerjang panjang (long acting

isulin), insulin campuran, kerja pendek dan

menengah (premixed insulin).

2.2 Self Management


25

2.2.1 Pengertian Self Management

Self Management didefinisikan dalam cara yang berbeda-beda, tetapi

secara umum hal ini dideksripsikan sebagai kemampuan individu

untuk mengatur gejala-gejala, pengobatan, konsekuensi fisik dan

psikis, dan perubahan gaya hidup yang melekat pada kehidupan

seseorang dengan penyakit kronis (Barloe et al, 2002 dalam Lennon

et al, 2013). Sedangkan menurut (Gantina, 2011) Self management

merupakan prosedur pada seseorang untuk mengatur prilaku diri

sendiri.

2.2.2 Self Management Diabetes Melitus

Self Management Diabetes dapat diindikasikan oleh berbagai tugas

termasuk pemantauan glukosa, aktivitas fisik, manajemen nutrisi dan

pemanfaat obat (Fransen, von wagner, & Essink-Bot, 2012).

Self Management pada diabetes telah didefinisikan sebagai proses

evolusi perkembangan pengetahuan atau kesadaran dengan belajar

untuk bertahan hidup dengan sifat kompleks dari diabetes dalam

konteks sosial. Karena sebagian besar perawatan sehari-hari pada

diabetes ditangai oleh pasien dan/atau keluarga, ada kebutuhan

penting untuk tindakan andal dan valid untuk manajemen diri

diabetes. Ada tujuh esensial diri perilaku perawatan diabetisi yang

memprediski hasil yang baik. Ini adalah makan yang sehat, aktif
26

secara fisik, memonitor darah, sesuai dengan obat-obatan,

keterampilan menyelasikan masalah yang baik, keterampilan koping

yang sehat dan perilaku pengurangan risiko ( Shrivastav SB,

Shiravastawa PK, Ramasamy Jegadeesh, 2013).

2.2.3 Domain Self Management

Menurut PERKENI (2015) :

1) Perencanaan makan

Yunir & soebadri,2006; PERKENI, 2015 mengatakan bahwa

prinsip perencanaan makan adalah melakukan pengaturan pola

makan yang didasarkan pada status gizi diabetisi. Manfaat dari

perencanaan makan antara lain dapat menurunkan berat badan

diabetisi, menurunkan tekanan darah, menurunkan kadar gula

darah, meningkatkan sensitivitas reseptor insulin, memperbaiki

sistem koagulasi darah dan profil lipid.

Perencaan makan ini bertujuan mempertahankan kadar glukosa

dalam batas normal (Glukosa puasa 90-130 mg/dL, Glukosa

darah 2 jam setelah makan <180 mg/dL, Kadar A1c <7%),

mengendalikan tekanan darah < 130/80 mmHg, pengandalian

profil lipid (kolesterol LDL <100 mg/dL, kolesterol HDL >40

mg/dL dan Trigeliserida < 150mg/dL), dan mencapai berat

badan senormal mungkin.


27

Beberapa faktor yang harus diperhatikan sebelum melakukan

perubahan pola makan, antara lain : tinggi badan, berat badan,

status gizi, status kesehatan, aktivitas fisik dan faktor usia.

Perubahan pola makan perlu dilakukan perhitungan jumlah

kalori agar kebutuhan kalori pasien terpenuhi. Perhitungan

jumlah kalori didasarkan pada berat badan idela dengan

menggunakann rumus Broca : (TB cm-100) – 10% untuk laki-

laki < 160 cm dan wanita <150 cm, perhitungan BB ideal tidak

dikurang 10%. Dan dapat juga dihitung menggunakan rumus

Indeks Massa Tubuh (IMT) : IMT = BB (Kg)/TB (m2),

klasifikasi IMT : BB kurang <18.5, BB normal 18.5-22.9, BB

lebih >23.0 (dengan risiko 23.0-24.9, Obes I 25.0-29.9, Obes

II >30). Sedangkan penentuan kebutuhan kalori perhari

ditentukan dari :

Kebutuhan basal : laki-laki (BB ideal (Kg) x 30 call) dan waniita

(BB ideal (Kg) x 25 call) setelah kebutuhan basal didapatkan

selanjutnya dilakukan koreksi atau penyesuai berdasarkan :

- Umur diatas 40 tahun : - 5%

- Aktivitas ringan : + 5% (duduk-duduk, nonton TV

dll)

- Aktivitas sedang : + 20% (kerja kantoran, ibu rumah

tangga, perawat, dokter)


28

- Aktivitas berat : + 30% (olahragawan, tukang becak

dll)

- Berat badan gemuk : - 20%

- Berat badan lebih : - 10%

- Berat badan kurus : + 20%

- Stress metabolik : +10-30%

- Kehamilan trimester I dan II : + 300

- Kehamilan trimester III dan menyusui : +500 kalori

Setelah kebutuhan kalori/hari ditentukan maka perlu disesuaik

dengan jenis bahan makananya, yaitu :

a) Karbohidrat : Karbohidrat yang dianjurkan sebesar 45-65%

total asupan energi. Pembatasn karbohidrat total < 130 g/hari

tidak dianjurkan. Glukosa dalam bumbu diperbolehkan.

b) Lemak : Asupan lemak dianjurkan sekitar 20-25% kebutuhan

kalori, dan tidak diperkenankan melebihi 30% total asupan

energi.

c) Protein : Kebutuhan protein yang dibutuhkan sebesar 10-20%

total asupan energi. Sumber protein yang baik dapat

ditemukan pada ikan, udang, cumi, daging tanpa lemak,

produksi susu rendah lemak, kacang-kacangan, tahu dan

tempe.
29

d) Natrium : anjuran asupan natrium untuk diabetisi sama

dengan orang sehat yaitu <2300 mg perhari. Diabetisi dengan

hipertensi perlu dilakukan pengurangan natrium secara

individu.

e) Serat : konsumsi serat yang dianjurkan 20-35 gram/hari yang

berasal dari berbagai sumber bahan makanan. Seperti kacang-

kacangan serta buah dan sayur.

f) Pemanis alternatif : pemanis alternatif aman digunakan

sepanjang tidak berlebihan. Fruktosa tidak dianjurkan pada

diabetisi karena dapat meningkatkan kadar LDL, namun

fruktosa alami yang terkandung dalam buah dan sayur boleh

dikonsumi.

2) Latihan jasmani (olahraga)

Prinsip latihan jasmani bagi diabetisi secara umum, yaitu :

- Frekuensi : jumlah olahraga/minggu sebaiknya dilakukan

dengan teratur 3-5kali/minggu.

- Intensitas : ringan dan sedang (60-70% maksimum heart rate),

untuk menentukan intensitas latihan, dapat

digunakan maksimum heart rate : 220-umur untuk

menentukan target heart rate (THR).

- Durasi : 30-60 menit


30

- Jenis : latihan jasmani endurans (aerobik) untuk

meningkatkan kemampuan kardioresepsi seperti

jalan, jogging, berenang dan bersepeda.

Latihan jasmani teratur, penting bagi kesehatan setiap orang,

karena akan memberikan lebih banyak tenaga, membuat jantung

lebih kuat dan meningkatkna sirkulasi serta memperbaiki teknan

darah, memperkuat otot, dan meningkatkan kelenturan,

meningkatkan kemampuan bernafas, memabantu mengatur berat

badan, memperlambat proses penuaan, memperbaiki kolesterol

dan lemak tubuh yang lain, mengurangi stress dan melawan

akibat-akibat kekurangan aktivitas.

3) Montoring kadar gula darah

Monitoring kadar gula darah secara mandiri atau yang dikenal jug

self monitoring blood glucose (SMBG) penting untuk dilakukan

karena dapat berfungsi sebagai pendeteksi dini dan pencegah

komplikasi pada DM. Monitoring ini dianjurkan untuk diabetisi

yang tidak stabil dan berpontensi mengalammi ketosis berat

hiperglikemia dan hipoglikemia tanpa gejala ringan (Smeltzer SC,

Bare Bg, Hinkle Jl, Cheever KH, 2008; Putri RP 2017).

4) Terapi farmakologi/ minum obat DM


31

Terapi farmakologi diberikan jika target kadar gula darah yang

diinginkan belum tercapai dengan perencanaan DM sebelumnya,

terapi farmakologi meliputi :

a) OHO (Obat Hipoglikemik Oral)

Berdasarka cara kerjanya obat hipoglikrmik oral dibedakan

menjadi 5 golongan ; pemacu insulin (insulin secretagofue)

yang termasuk dalam golongan ini adalah sulfonilurea dan

glinid, peningkatan sensitivas insulin yang termasuk dalam

golongan ini adalah metformin dan tiazolidindion (TZD),

penghambat absorbsi glukosa di saluran pencernaan yang

termasuk golongan ini adalah penghambat alfa glukosidase,

penghambat DPP-IV (Diperptidyl peptidase-IV) contoh obat

golongan ini adalah sitagliptin dan linagliptin, penghambat

SGLT-2 (Sodium Glucose Co-transporter 2) contoh obat

golongan ini adalah canagliflozin, empaglifolizn, dapagliflozin,

dan ipleaglifozin.

b) Insulin

Insulin digunakan bila OHO (obat hipoglikemia oral) gagal

dikombinasikan walau dalam dosis optimal, diabetisi

kontraindikasi atau alergi terhadap OHO (obat hipoglikemia

oral), terjadi penurunan berat badan yang cepat, gangguan

fungsi ginjal atau hati berat, hiperglikemia berat yang disertai

cepat, ketoasidosis diabetik, hiperglikemia dengan asidosis


32

laktat. Berdasarkan lama kerja insulin terbagi menjadi empat

jenis yaitu ; insulin kerja cepat (rapid acting insulin), insulin

kerja pendek (short acting insulin), insulin kerja menengah

(intermediate acting insulin), kerjang panjang (long acting

isulin), insulin campuran, kerja pendek dan menengah

(premixed insulin).

5) Perawatan kaki

Perawatan kaki merupakan aktivitas penting yang harus

dilakukan diabetisi untuk merawat kaki yang bertujuan

mengurangi risiko ulkus kaki.

Elemen Perawatan Kaki Menurut PERKENI (2015) :

Edukasi perawatan kaki diberikan secara rinci pada semua

orang dengan ulkus maupun neuropati perifer atau peripheral

arterial disease (PAD)

1) Tidak boleh berjalan tanpa alas kaki, termasuk di pasir dan

di air.

2) Periksa kaki setiap hari, dan melaporkan pada dokter

apabilan kulit terkelupas, kemerahan, atau luka.

3) Periksa alas kaki dari benda asing sebelum memakainya.

4) Selalu menjaga kaki dalam keadaan bersih, tidak basah, dan

mengoleskan krim pelembab pada kulit kaki yang kering.


33

5) Potong kuku secara teratur.

6) Keringkan kaki dan sela-sela jari kaki secara teratur setelah

dari kamar mandi.

7) Gunakan kaos kaki dari bahan katun yang tidak

menyebabkan lipatan pada ujung-ujung jari kaki.

8) Kalau ada kalus atau mata ikan, tipiskan secara teratur.

9) Jika sudah ada kelainan bentuk kaki, gunakan alas kaki yang

dibuat khusus.

10) Sepatu tidak boleh terlalu sempit atau longgar, jangan

gunakan hak tinggi.

11) Hindari penggunaan bantal atau boto berisi air panas/batu

untuk menghangatkan kaki.

2.2.4 Faktor-Faktor yang mempengaruhi Self Management DM

Beberapa penelitian menyebutkan bahwa faktor yang dapat

mempengaruhi self management diabetisi adalah :

1) Health Literacy

Keberhasilan dari program managemen penyakit kronis tidak

leaps dari, kemampuan individu dalam mengakses, memahami,

dan menggunakan informasi dan pelayanan kesehtan untuk

membuat keputusan tentang perawatan kesehatannya dikenal

dengan Healt Literacy (Berkman, Davis, & McCormack, 2010).


34

Health Literacy yang rendah merupakan penghalan dalam

menungkatkan hasil kesehatan pada diabetisi serta menyebabkan

diagnosis penyakit tertunda, keterampilan perawatan diri rendah,

peningkatan penggunaan layanan darurat, tingkat rawat inap yang

tinggi, peningkatan kejadian berbagai penyakit, dan pada akhirnya

melipat gandakan tingkat kematian (Beverly Williams et al, 2012).

2) Self Efficacy

Self Efficacy merupakan penilaian seseorang terhadap

kemampuannya dalam mengerjakan sesuatu untuk mencapai

tujuan tertentu dikenal sebagai salah satu sunber daya individu

untuk melakukan tugas pribadi mereka (Oh yang, Kim, Yoo, &

Lee, 2014).

(Masoompour eet al,2017) dalam penelitiannya yang dilakukan di

turki mengatakan bahwa Self Efficacy memiliki hubungan yang

positif dalam perawatan diri diabetisi dan dibutuhkan dalam

memaksimalkan Self Management DM. Senada dengan penelitian

tersebut penelitian yang dilakukan oleh (Bohanny et al,2013)

menyatakan bahwa pasien yang memiliki Self Efficacy lebih tinggi

akan memiliki perilaku perawatan diri yang lebih baik.


35

3) Usia

Dikatakan bahwa diabetisi dengan usia lebih tua memiliki self

management lebih baik dan tertur daripada diabetisi DM usia

muda dalam beberapa penelitian. Diabetisi dengan usia lebih

dewasa sudah lebih matang dan dewasa sehingga dapat berfikir

lebih rasional tentang manfaat yang didapatkan jika melakukan

aktivitas Self Management secara adekuat (Shakibazadeh et al,

2011).

4) Jenis kelamin

Self Management pada DM harus dilakukan oleh penderita laki-

laki dan perempuan. Penelitian mengatakan bahwa diabetisi

dengan jenis kelamin perempuan memilki aktivitas Self

Management lebih baik dari pada diabetisi dengan jenis kelamin

laki-laki. Namun, ada juga penelitian yang mengatakan bahwa

laki-laki memiliki Self Management lebih baik daripada

perempuan. Kusniawati (2011) dalam penelitiannya mengatakan

bahwa tidak terdapat korelasi antara jenis kelamin dengan

aktivitas Self Management DM.


36

5) Pendidikan

Pengetahuan merupakan salah satu faktor penting dalam

mengelola penyakit. Kurangnya pengetahuan dapat menghambat

pengelolaan Self Management. Tingkat pendidikan akan

mempengaruhi diabetisi dalam mengelola penyakit yang

dideritanya, tingkat pendidikan yang rendah bisa menyebabkan

kesulitan penderita dalam mengelola dan mempelajari hal untuk

merawat diri dengan DM. Namun dalam banyak penelitian

mengatakan bahwa tidak terdapat korelasi antara tingkat

pendidikan dengan aktivitas self management yang di jalani oleh

diabetisi, berarti penderita dengan pendidikan yang tinggi belum

tentu patuh dalam melakuakan Self Management DM (Kisokanth

G, Prathapan S, Indrakumar J, 2014).

6) Pendapatan

Salah satu faktor yang dapat mempengeruhi Self Management

pada DM adalah pendapatan. Pada penelitian yang sudah

dilakukan, diabetisi dengan penghasilan tinggi umumnya kurang

patuh terhadap Self Management DM dibanding diabetisi dengan

penghasilan yang lebih rendah, hal tersebut mungkin dikarenakan

diabetisi yang berpenghasilan tinggi memiliki hidup yang lebih

berisiko (Aycle K, Tesfa B, Abebe L, 2012).


37

7) Lama menderita DM

Diabetisi yang telah menderita DM lebih dari 11 tahun biasanya

memiliki pengalaman yang lebih dalam melaksanakan Self

Management DM dibanding diabetisi yang baru menderita DM.

Sehingga diabetisi lebih memahami hal-hal yang dilakukan untuk

mempertahankan kesehatannya yang dapat dicapai dengan

melakukan aktivitas Self Management DM secara teratur dan

konsisten (Bai YL, Choui Cp, Chang YY, 2009).

8) Dukungan keluarga

Dukungan keluarga seperti kepedulian, bantuan, memberikan

ususlan, nasihat serta informasi dalam meningkatnya Self

Management DM mampu meningkatkan kesadaran pasien dalam

melakukan tindakan perawatan diri.

Isomah (2009) & Mulyati et al (2013) dalam penelitiannya yang

dilakukan di semarang dan kuningan menyatakan bahwa adanya

hubungan yang signifikan anatara dukungan keluarga dan Self

Management DM. Responden yang mendapatkan dukungan dari

keluarga berpeluang 10 kali untuk melakukan Self Management

dengan baik.
38

2.2.5 Alat Ukur Self Management pada Diabetes Melitus

1) Instrumen Diabetes Self-Management Questionnaire (DSMQ)

Self Management diabetes dapat diukur menggunakan kuesioner

DSMQ (Diabetes Self-Management Questionnaire) yang

diterbitkan oleh Schmitt et al. DSMQ merupakan salah satu

instumen untuk menilai perilaku yang terkait dengan cara

mengontrol kadar gula darah pada diabetisi. Kuesioner DMSQ

terdiri 5 dimensi dengan 16 item pertanyaan yaitu. Domain I :

manajement gula darah (No. 1,4,6,10,12), Domain II : pengaturan

pola makan (No.2,5,9,13), Domain III : Aktivitas Fisik

(No.8,11,15), Domain IV : Pengaturan Pelayanan Kesehatan,

Domain V : Peringkat Keseluruhan perawatn diri (No.3,7,14).

Alat ukur DSMQ telah dilakukan uji validitas dan reliabilitas oleh

keban pada tahun 2016 dengan hasil validitas (P>0,05) dan

reliabilitas (Alfha Crobach=0,889), yang membuktikan bahwa

instrumen DSMQ merupakan instrumen yang valid dan reliabel

untuk mengukur Self Management.

2) Instrumen Summary Of Diabetes Self-Care Activities (SDSCA)

Summary Of Diabetes Self-Care Activities (SDSCA)

dikembangkan oleh General Service Administration (GSA).

Kuesioner ini sudah banyak digunakan oleh beberapa peneliti di

seluruh dunia untuk meneliti Self Management DM. Kuesioner ini


39

terdiri dari 15 item pertanyaan meliputi pengaturan pola makan,

aktivitas fisik (olahraga), merokok, minum obat DM, dan

monitoring gula darah. Nila validitas dan reliabilitas pada

penelitian terdahulu adalah r = 0,80 dan Alfha Crobach = 0,74.

2.3 Kualitas Hidup

2.3.1 Pengertian Kualitas Hidup

Kualitas hidup telah ditetapkan oleh WHO sebagai persepsi individu

tentang posisi mereka dalam kehidupan dalam konteks budaya dan

sistem nilai di mana mereka hidup dan dalam kaitannya dengan

tujuan, harapan, standar, dan kekhawatiran mereka (Nagpal et al,

2010).

Kualitas hidup merupakan perasaan puas dan bahagia sehingga

diabetisi dapat menjalankan kehidupan sehari-hari dengan

semestinya. Terdapat beberapa askep yang dapat mempengaruhi

kualitas hidup, aspek tersebut adalah adanya kebutuhan khusus yang

terus menerus berkelanjutan dalam perawatan DM, gejala yang

muncul ketika gula darah tidak stabil, komplikasi yang dapat timbul

akibat dari penyakit diabetes dan disfungsi seksual (Yudianto, 2008).


40

Kinghorm & Gamil (2014) menyebutkan bahwa kualitas hidup

seseorang tidak dapat didefinisikan dengan pasti, hanya orang

tersebut yang dapat mendefinisikannya, karena kualitas hidup

merupakan sesuatu yang bersifat subyektif. Terdapat dua komponen

dasar dari kualitas hidup yaitu subyektif dan multidimensi.

Subyektifitas mengandung arti bahwa kualitas hidup hanya dapat

ditentukan dar sudut pandang pasien itu sendiri dan ini dapat

diketahui hanya dengan bertanya langsung sedangkan multidimensi

bermakna bahwa kualitas hidup dipandang dari seluruh aspek

kehidupan seseorang secara holistik meliputi aspek biologi,

psikologis, sosisokultural dan spiritual.

2.3.2 Domain Kualitas Hidup

Menurut WHO (2007) :

1) Domain Kesehatan Fisik

Kesehatan fisik disini merupakan penggambaran dari kepuasan

individu terhadap kesehatan fisiknya, yang mencakup tingkat

energi dan kelelahan (energy and fantigue), rasa sakit dan

ketidaknyamanan (pain and discomfort), dan lama waktu untuk

tidur dan beristirahat (sleep and rest).


41

2) Domain Psikologis

Keadaan psikologis disini merupakan persepsi individu terhadap

keadaan dirinya yang meliputi, gambaran diri dan penampilan

(bodily and appearance), seberapa sering seseorang memiliki

perasaan yang negatif seperi sedih, dan marah (negtive felly),

perasaan positif (positive felly), gambaran tentang kepuasan

terhadap diri (self esteem). Dan mengenai kemampuan seseorang

dalam berfikir, belajar, mengingat dan berkonsentrasi (thingking,

learning, memory, and concetration).

3) Domain Hubungan Sosial

Hubungan sosial disini merupakan kemampuan individu dalam

bergaul yang meliputi, hubungan personal antara individu dengan

orang disekitarnya (personal relationship), dukungan yang

didapat individu dari lingkungan sosialnya (social suppport) dan

aktivitas seksual (sexual activity).

4) Domain Lingkungan

Hubungan dengan lingkungan disini lebih menunjukan tentang

keadaan disekitar kehidupan indvidu yang meliputi, sumberdaya

keuangan/ kemampuan finansial yang dimiliki individu (financial

resources), kebebasan individu (freedom,safety phisical and

security), ketersediaan akses dan kualitas fasilitas kesehatan dan


42

sosial (health and social care ; accessbility and quality), keadaan

lingkungan sekitar rumah (home encironment), keterampilan dan

kesempatan untuk memperoleh informasi baru, partisipasi dalam

kegiatan rekreasi dan olahraga, kesehatan lingkungan seperti

polusi, kebisinga, lalu lintas dan iklim, dan ketersediaan sarana

transportasi di lingkungan sekitar tempat tinggal individu.

2.3.3 Faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas hidup

Beberapa penelitian menyebutkan bahwa faktor-faktor yang

mempengaruhi kualitas hidup diabetisi adalah :

1) Jenis kelamin

Gautama et al. (2009) dalam penelitiannya menunjukkan bahwa

terdapat perbedaan kualitas hidup wanita dan laki-laki. Wanita

memiliki kualitas hidup yang lebih rendah dibandingkan laki-laki.

Namun dalam penelitian Yusra (2012) dikatakan bahwa tidak

terdapat hubungan signifikan kualitas hidup dan jenis kelamin.

Senada dengan Yusra, Reid & Walker (2009) membuktikan dalam

penelitian bahwa jenis kelamin tidak berkontibusi terhadap

rendahnya kualitas hidup.


43

2) Usia

Yusra (2012) dalam penelitiannya menyatakan semakin

bertambahnya usia menyebabkan semakin menurunnya kualitas

hidup responden. Namun Saatci et al (2010) menyatakan bahwa

umur tidak ada hubungannya dengan penurunan kualitas hidup.

Jadi, diabetisi berusia muda ataupun tua tetap memiliki

pemahaman yang cukup baik terhadap penyakit DM, dan akan

memiliki kemampuan melakukan self management DM sehingga

akan mempengaruhi kualitas hidupnya.

3) Tingkat pendidikan

Hasil penelitian yang dilakukan yusra (2012) menyatakan terdapat

perbedaan yang signifikasin kualitas hidup responden yang

berpendidikan tinggi dan rendah. Senada dengan Notoatmodjo

(2018) seseorang dengan pendidikan baik, lebih matang terhadap

proses perubahan pada dirinya, sehingga lebih mudah menerima

pengaruh luar yang positif, obyektif dan terbuka terhadap berbagai

informasi termasuk informasi kesehatan.


44

4) Pendapatan

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Yusra (2011) mengatakan

status sosial ekonomi berkaitan dengan pendapatan yang

didapatkan oleh pasien diabetes melitus. Sosial ekonomi yang

rendah akan berdampak pada kualitas hidup yang rendah.

5) Lama menderita Diabetes Melitus

Reid & Walker (2009) mengatakan dalam penelitiannya bahwa

terdapat hubungan antara lama menderita DM dengan kualitas

hidup responden dengan pola hubungan negatif. Senadan dengan

penelitian tersebut Yusra (2011) mengatakan semakin lama

seseorang menderita DM akan menyebabkan tingkat kecemasan

yang akan berdampak pada menurunnya kualitas hidup. Sehingga

dapat diasumsikan bahwa semakin lama seseorang menderita DM

makan akan berdampak pada penurunan kualitas hidup.

6) Komplikasi

Hasil penelitian yang dilakuakn oleh Yusra (2011) mengatakan

kualitas hidup yang rendah pada diabetisi berhubungan dengan

adanya komplikasi yang dialami oleh diabetisi misalnya gangren,

dan katarak. Sehingga dampak ini akan berpengaruh terhadap

kualitas hidup diabetisi.


45

2.3.4 Alat Ukur Kualitas Hidup Diabetes Melitus

1) Instrumen The World Health Organization Quality Of Life

(WHOQOL)-BREF

WHOQOL-BREF merupakan sebuah instrumen yang diterbitkan

oleh WHO (World Health Organization) yang berkaitan dengan

kualitas hidup, diterjemahkan kedalam Bahasa Indonesia oleh

mardiati dan joewana S pada tahun 2004. Terdiri dari 4 dimensi

dengan 26 item pertanyaan yaitu, Domain I : Kesehatan Fisik (No.

3,4,10,15,16,17,18), Domain II : kesehatan psikologis

(No.5,6,7,11,19,26), Domain III : hubungan sosial (No.20,21,22),

Domain IV : lingkungan (No.8,9,12,13,14,23,24,25), persepsi

kualitas hidup (No.1), persepsi kesehatan (No.2). Alat ukur

WHOQOL-BREF telah dilakukan uji validitas dan reliabilitas

oleh sekarwiri pada tahun 2008 dengan hasil validitas (r=0,89-

0,95) dan reliabilitas (r=0,66-0,87), yang membuktikan bahwa

instrumen WHOQOL-BREF merupakan instrumen yang valid dan

reliabel untuk mengukur kualitas hidup.

2) Instumen DQOL (Diabetes Quality Of Life)

Pengukuran DQOL pertama kali diterbitkan oleh The DDCT

Research Group (1998). Instrumen ini digunakan untuk

mengevaluasi kualitas hidup yang berhubungan dengan DM dan

dapat digunakan pada pasien DM Tipe 1 dan DM Tipe 2.


46

Indikator dari kualitas hidup ini terdiri dari 46 pertanyaan dengan

4 skala yaitu kepuasan yang dirasakan diabetisi mengenai

penyakit dan pengobatannya, dampak yang dirasakan oleh

diabetisi akibat penyakit DM, kecemasan yang berhubungan

dengan sosial, dan kecemasan yang berhubungan dengan penyakit

DM. Masing-masing skala terdiri dari lima belas pertanyaan

kepuasan, dua puluh pertanyaan dampak, tujuh pertanyaan

kecemasan yang berhubungan dengan sosial, dan empat

pertanyaan kecemasan yang berhubungan dengan penyakit DM.

Instrumen ini dimodifikasi oleh Burroughs (2004) dan

dipersingkat lagi dari 46 pertanyaan menjadi 15 pertanyaan dan

membaginya menjadi 2 skala antara lain kepuasaan yang

dirasakan diabetisi mengenai penyakitnya maupun pengobatannya

dan dampak yang dirasakan oleh diabteisi akibat penyakit DM.

Masing-masing pertnyaan antara lain terdiri dari delapan

pertanyaan kepuasan yang dirasakan pasien mengenai penyakit

maupun pengobatannya dan tujuh pertanyaan dampak yang

dirasakan diabetisi akibat penyakit DM. Beberapa penelitian

sebelumnya telah melakukan uji validitas dan realibita skala.

Gibbons dan Fitzpatrik (2009) menyatakan bahwa instrumen ini

telah digunakan di berbagai penelitian kualitas hidup pada pasien

diabetes dan memperoleh hasil yang sangat baik untuk validitas,


47

reliabilitas, tingkat respon. Adapun konsistensi internalnya

mencapai Alpha Chronbach 0,66-0,969. P-value > 0.05

(signifikan).

3) Instrumen Quality of Life Instrumen for Indian Diabetes Patients

(QOLID)

Pengukuran QOLID di terbitkan oleh Nagpal et al (2010).

Instrumen ini merupakan ringkasan dari instrumen World Healthy

Organization Quality of Lide assessment (WHQOL), Audit of

Diabetes Index (ADDQoL), Diabetes Quality of Life (DQOL).

Digunakan untuk mengvaluasi kualitas hidup diabetisi.indikator

dari kualitas hidup ini terdiri dari 34 pertanyaan dari 8 domain

yaitu, batasan peran karena kesehatan fisik memiliki 6 pertanyaan,

daya tahan fisik memiliki 6 pertanyaan, kesehataan umum

memiliki 3 pertanyaan, kepuasaan perawatan memiliki 4

pertanyaan, gejala botherness memiliki 3 pertanyaan,

kekhawatiran keuangan memiliki 4 pertanyaan, kesehatan

emosional/mental memiliki 5 pertanyaan, kepuasaan diet memiliki

3 pertanyaan.

8 domain diidentifikasi berdasarkan hipotesis apriori dan plot

scree. 8 domain ini menjelaskan 49,9% dari total variasi. 34 item

(pertanyaan) dipilih untuk mewakili domain-domain ini


48

berdasarkan ekstraksi komunitas, pemuatan faktor, korelasi antar-

item dan total item. Kuisioner akhir memiliki nilai Alpha

Keseluruhan Cronbach 0,894 (subskala-0,55 hingga 0,85) yang

menunjukkan konsistensi internal yang tinggi. Kuisioner

menunjukkan konkordansi yang baik (korelasi momen produk

0,724; p = 0,001; korelasi subskala - 0,457 hingga 0,779) dengan

DQL-CTQ. Skor kuesioner standar terstandardisasi menunjukkan

respons yang baik terhadap kontrol metabolik dan komorbiditas

yang membangun validitas diskriminan. Kesimpulan: Versi

terakhir dari kuesioner dengan 8 domain dan 34 item adalah alat

yang andal dan valid untuk penilaian kualitas hidup pasien India

dengan diabetes.
49

2.4 Kerangka Teori

2.1 Skema Kerangka Teori

Diabetes Melitus
Self management DM :
1) Perencanaan makan.
2) Latihan jasmani
(olahraga). Pengendalian gula darah
3) Terapi farmakologi.
4) Monitoring kadar gula
darah.
5) Perawatan kaki Baik Tidak baik menimbulkan komplikasi

Faktor yang mempengaruhi Komplikasi


self management DM :
Komplikasi akut :
1) Health Literacy
2) Self Efficacy 1) Hipoglikemia
3) Usia 2) Hyperglikemia
4) Jenis kelamin
5) pendidikan Komplikasi kronik :
6) pendapatan 1) Makrovaskuler
7) Lama menderita DM 2) Mikrovaskuler (retinopati, nefronpati,
8) Dukungan keluarga neuropati, rentan infeksi)

Faktor yang mempengaruhi


kualitas hidup : Kualitas hidup
dilihat dari
1) Jenis kelamin domain :
2) Usia kesehatan fisik,
3) pendidikan emosional,
4) pendapatan Kualitas Hidup
kesehatan sosial
5) Lama menderita DM dan lingkungan.
6) komplikasi

Dikutip dari : ADA (2018), Black & Hwaks (2009), Brunner et al (2008), Correy (2012),
Damayanti (2015), Kariadi (2010), Kusniawati (2011), Lennon et al (2013), Nagpal et al
(2010), PERKENI (2015), WHO (2015), Yusra (2011),
Zbib,Paterson,Mcgowan,Sargious (2012).

Anda mungkin juga menyukai