Anda di halaman 1dari 3

CERPEN “JURU

Begitulah pentingnya Makaji. Tanpa campur


tangannya, kenduri terasa hambar, sehambar

MASAK” KARYA
Gulai Kambing dan Gulai Rebung karena bumbu-
bumbu tak diracik oleh tangan dingin lelaki itu.

DAMHURI MUHAM
Sejak dulu, Makaji tak pernah keberatan
membantu keluarga mana saja yang hendak

MAD
menggelar pesta, tak peduli apakah tuan rumah
hajatan itu orang terpandang yang tamunya
membludak atau orang biasa yang hanya sanggup
Perhelatan bisa kacau tanpa kehadiran lelaki itu. menggelar syukuran seadanya. Makaji tak pilih
Gulai Kambing akan terasa hambar lantaran kasih, meski ia satu-satunya juru masak yang
racikan bumbu tak meresap ke dalam daging. masih tersisa di Lareh Panjang. Di usia senja, ia
Kuah Gulai Kentang dan Gulai Rebung bakal encer masih tangguh menahan kantuk, tangannya tetap
karena keliru menakar jumlah kelapa parut gesit meracik bumbu, masih kuat ia berjaga
hingga setiap menu masakan kekurangan santan. semalam suntuk.
Akibatnya, berseraklah gunjing dan cela yang
mesti ditanggung tuan rumah, bukan karena “Separuh umur Ayah sudah habis untuk
kenduri kurang meriah, tidak pula karena membantu setiap kenduri di kampung ini,
pelaminan tempat bersandingnya pasangan bagaimana kalau tanggungjawab itu dibebankan
pengantin tak sedap dipandang mata, tapi karena pada yang lebih muda?” saran Azrial, putra
macam-macam hidangan yang tersuguh tak sulung Makaji sewaktu ia pulang kampung enam
menggugah selera. Nasi banyak gulai melimpah, bulan lalu.
tapi helat tak bikin kenyang. Ini celakanya bila “Mungkin sudah saatnya Ayah berhenti,”
Makaji, juru masak handal itu tak dilibatkan.
“Belum! Akan Ayah pikul beban ini hingga tangan
Beberapa tahun lalu, pesta perkawinan Gentasari Ayah tak lincah lagi meracik bumbu,” balas
dengan Rustamadji yang digelar dengan Makaji waktu itu.
menyembelih tigabelas ekor kambing dan
berlangsung selama tiga hari, tak berjalan mulus, “Kalau memang masih ingin jadi juru masak,
bahkan hampir saja batal. Keluarga mempelai bagaimana kalau Ayah jadi juru masak di salah
pria merasa dibohongi oleh keluarga mempelai satu Rumah Makan milik saya di Jakarta? Saya tak
wanita yang semula sudah berjanji bahwa semua ingin lagi berjauhan dengan Ayah,”
urusan masak-memasak selama kenduri
Sejenak Makaji diam mendengar tawaran Azrial.
berlangsung akan dipercayakan pada Makaji, juru
Tabiat orangtua selalu begitu, walau terasa
masak nomor satu di Lareh Panjang ini. Tapi, di
semanis gula, tak bakal langsung direguknya,
hari pertama perhelatan, ketika rombongan
meski sepahit empedu tidak pula buru-buru
keluarga mempelai pria tiba, Gulai Kambing, Gulai
dimuntahkannya, mesti matang ia menimbang.
Nangka, Gulai Kentang, Gulai Rebung dan aneka
Makaji memang sudah lama menunggu ajakan
hidangan yang tersaji ternyata bukan masakan
seperti itu. Orangtua mana yang tak ingin
Makaji. Mana mungkin keluarga calon besan itu
berkumpul dengan anaknya di hari tua? Dan kini,
bisa dibohongi? Lidah mereka sudah sangat
gayung telah bersambut, sekali saja ia
terbiasa dengan masakan Makaji.
mengangguk, Azrial segera memboyongnya ke
“Kalau besok Gulai Nangka masih sehambar hari rantau, Makaji tetap akan punya kesibukan di
ini, kenduri tak usah dilanjutkan!” ancam Sutan Jakarta, ia akan jadi juru masak di Rumah Makan
Basabatuah, penghulu tinggi dari keluarga milik anaknya sendiri.
Rustamadji.
“Beri Ayah kesempatan satu kenduri lagi!”
“Apa susahnya mendatangkan Makaji?”
“Kenduri siapa?” tanya Azrial.
“Percuma bikin helat besar-besaran bila menu
yang terhidang hanya bikin malu.”
“Mangkudun. Anak gadisnya baru saja dipinang hanya tukang cuci piring di Rumah Makan milik
orang. Sudah terlanjur Ayah sanggupi, malu kalau seorang perantau dari Lareh Panjang yang lebih
tiba-tiba dibatalkan,” dulu mengadu untung di Jakarta. Sedikit demi
sedikit dikumpulkannya modal, agar tidak selalu
Merah padam muka Azrial mendengar nama itu.
bergantung pada induk semang. Berkat kegigihan
Siapa lagi anak gadis Mangkudun kalau bukan
dan kerja keras selama bertahun-tahun, Azrial
Renggogeni, perempuan masa lalunya. Musabab
kini sudah jadi juragan, punya enam Rumah
hengkangnya ia dari Lareh Panjang tidak lain
Makan dan duapuluh empat anak buah yang tiap
adalah Renggogeni, anak perempuan tunggal
hari sibuk melayani pelanggan. Barangkali, ada
babeleng itu. Siapa pula yang tak kenal
hikmahnya juga Azrial gagal mempersunting anak
Mangkudun? Di Lareh Panjang, ia dijuluki tuan
gadis Mangkudun. Kini, lelaki itu kerap disebut
tanah, hampir sepertiga wilayah kampung ini
sebagai orang Lareh Panjang paling sukses di
miliknya. Sejak dulu, orang-orang Lareh Panjang
rantau. Itu sebabnya ia ingin membawa Makaji ke
yang kesulitan uang selalu beres di tangannya,
Jakarta. Lagi pula, sejak ibunya meninggal,
mereka tinggal menyebutkan sawah, ladang atau
ayahnya itu sendirian saja di rumah, tak ada yang
tambak ikan sebagai agunan, dengan senang hati
merawat, adik-adiknya sudah terbang-hambur
Mangkudun akan memegang gadaian itu.
pula ke negeri orang. Meski hidup Azrial sudah
Masih segar dalam ingatan Azrial, waktu itu berada, tapi ia masih saja membujang. Banyak
Renggogeni hampir tamat dari akademi perawat yang ingin mengambilnya jadi menantu, tapi tak
di kota, tak banyak orang Lareh Panjang yang bisa seorang perempuan pun yang mampu luluhkan
bersekolah tinggi seperti Renggogeni. Perempuan hatinya. Mungkin Azrial masih sulit melupakan
kuning langsat pujaan Azrial itu benar-benar akan Renggogeni, atau jangan-jangan ia tak sungguh-
menjadi seorang juru rawat. Sementara Azrial sungguh melupakan perempuan itu.
bukan siapa-siapa, hanya tamatan madrasah
Kenduri di rumah Mangkudun begitu semarak.
aliyah yang sehari-hari bekerja honorer sebagai
Dua kali meriam ditembakkan ke langit, pertanda
sekretaris di kantor kepala desa. Ibarat emas dan
dimulainya perhelatan agung. Tak biasanya
loyang perbedaan mereka.
pusaka peninggalan sesepuh adat Lareh Panjang
“Bahkan bila ia jadi kepala desa pun, tak sudi saya itu dikeluarkan. Bila yang menggelar kenduri
punya menantu anak juru masak!” bentak bukan orang berpengaruh seperti Mangkudun,
Mangkudun, dan tak lama berselang berita ini tentu tak sembarang dipertontonkan. Para tetua
berdengung juga di kuping Azrial. kampung menyiapkan pertunjukan pencak guna
menyambut kedatangan mempelai pria. Para
“Dia laki-laki taat, jujur, bertanggungjawab. pesilat turut ambil bagian memeriahkan pesta
Renggo yakin kami berjodoh,” perkawinan anak gadis orang terkaya di Lareh
“Apa kau bilang? Jodoh? Saya tidak rela kau Panjang itu. Maklumlah, menantu Mangkudun
berjodoh dengan Azrial. Akan saya carikan kau bukan orang kebanyakan, tapi perwira muda
jodoh yang lebih bermartabat!” kepolisian yang baru dua tahun bertugas, anak
bungsu pensiunan tentara, orang disegani di
“Apa dia salah kalau ayahnya hanya juru masak?” kampung sebelah. Kabarnya, Mangkudun sudah
“Jatuh martabat keluarga kita bila laki-laki itu jadi banyak membantu laki-laki itu, sejak dari
suamimu. Paham kau?” sebelum ia lulus di akademi kepolisian hingga
resmi jadi perwira muda. Ada yang bergunjing,
Derajat keluarga Azrial memang seumpama lurah perjodohan itu terjadi karena keluarga pengantin
tak berbatu, seperti sawah tak berpembatang, pria hendak membalas jasa yang dilakukan
tak ada yang bisa diandalkan. Tapi tidak patut Mangkudun di masa lalu. Aih, perkawinan atas
rasanya Mangkudun memandangnya dengan dasar hutang budi.
sebelah mata. Maka, dengan berat hati Azrial
melupakan Renggogeni. Ia hengkang dari Mangkudun benar-benar menepati janji pada
kampung, pergi membawa luka hati. Awalnya ia Renggogeni, bahwa ia akan carikan jodoh yang
sepadan dengan anak gadisnya itu, yang jauh
lebih bermartabat. Tengoklah, Renggogeni kini dekat anaknya. Orang-orang Lareh Panjang telah
tengah bersanding dengan Yusnaldi, perwira kehilangan juru masak handal yang pernah ada di
muda polisi yang bila tidak ‘macam-macam’ tentu kampung itu. Kabar kepergian Makaji sampai juga
karirnya lekas menanjak. Duh, betapa ke telinga pengantin baru Renggogeni.
beruntungnya keluarga besar Mangkudun. Tapi, Perempuan itu dapat membayangkan betapa
pesta yang digelar dengan menyembelih tiga ekor terpiuh-piuhnya perasaan Azrial setelah
kerbau jantan dan tujuh ekor kambing itu tak mendengar kabar kekasih pujaannya telah
begitu ramai dikunjungi. Orang-orang Lareh dipersunting lelaki lain.
Panjang hanya datang di hari pertama, sekedar
menyaksikan benda-benda pusaka adat yang
dikeluarkan untuk menyemarakkan kenduri,
setelah itu mereka berbalik meninggalkan helat,
bahkan ada yang belum sempat mencicipi
hidangan tapi sudah tergesa pulang.

“Gulai Kambingnya tak ada rasa,” bisik seorang


tamu.

“Kuah Gulai Rebungnya encer seperti kuah sayur


Toge. Kembung perut kami dibuatnya,”

“Dagingnya keras, tidak kempuh. Bisa rontok gigi


awak dibuatnya,”

“Masakannya tak mengeyangkan, tak


mengundang selera.”

“Pasti juru masaknya bukan Makaji!”

Makin ke ujung, kenduri makin sepi. Rombongan


pengantar mempelai pria diam-diam juga kecewa
pada tuan rumah, karena mereka hanya dijamu
dengan menu masakan yang asal-asalan, kurang
bumbu, kuah encer dan daging yang tak kempuh.
Padahal mereka bersemangat datang karena
pesta perkawinan di Lareh Panjang punya
keistimewaan tersendiri, dan keistimewaan itu
ada pada rasa masakan hasil olah tangan juru
masak nomor satu. Siapa lagi kalau bukan
Makaji?

“Kenapa Makaji tidak turun tangan dalam kenduri


sepenting ini?” begitu mereka bertanya-tanya.

“Sia-sia saja kenduri ini bila bukan Makaji yang


meracik bumbu,”

“Ah, menyesal kami datang ke pesta ini!”

Dua hari sebelum kenduri berlangsung, Azrial,


anak laki-laki Makaji, datang dari Jakarta. Ia
pulang untuk menjemput Makaji. Kini, juru masak
itu sudah berada di Jakarta, mungkin tak akan
kembali, sebab ia akan menghabiskan hari tua di

Anda mungkin juga menyukai