Anda di halaman 1dari 89

LAPORAN HASIL PENELITIAN

EVALUASI PENGENDALIAN SCHISTOSOMIASIS OLEH LINTAS


SEKTOR DAN IMPLEMENTASI BADA MODEL DI DAERAH
ENDEMIS SCHISTOSOMIASIS DI INDONESIA

Disusun oleh:
Ahmad Erlan, dkk
No. APKESI : 20190147764

BALAI LITBANG KESEHATAN DONGGALA


BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KESEHATAN
KEMENTERIAN KESEHATAN RI
2019
2
3
4
5
6
3. SUSUNAN TIM PENELITI

Keahlian/ Kedudukan
No Nama Uraian Tugas
Kesarjanaan dalam Tim
Kepala Balai Memberikan arahan
1 Muh. Faozan, SKM, MPH Pengarah
Litbangkes Donggala kegiatan riset
Memberikan arahan
2 Sitti Chadijah, SKM, MSi Kepala Seksi Yanlit Pengarah
kegiatan riset
Memberikan masukan
3 Prof. Dr. M. Sudomo Ahli Schistosomiasis Narasumber
kegiatan riset
Ketua
4 Ahmad Erlan, SKM, MPH S2 Kesmas Mengkoordinir kegiatan riset
Pelaksana
Bertanggung jawab dalam
5 Junus Widjaja, SKM, MSc S2 Kedokteran Tropis Anggota tim
koordinasi dgn lintas sektor
Anis Nur Widayati, S.Si, MSc Bertanggung jawab dalam
6 S2 Kedokteran Tropis Anggota tim
pendampingan tim peda’
Ningsi, S.Sos,MSi Bertanggungjawab
7 S2 Antropologi Anggota tim
pendampingan tim mobasa
Malonda Maksud, SKM Bertanggung jawab
8 S1 Kesmas Anggota tim
penyusunan peraturan desa
drh.Intan Tolistiawaty Anggota tim Bertanggung jawab
9 Dokter hewan
pendampinagn tim mepaturo
Membantu dalam pertemuan
10 Murni, S.Si S1 Biologi Anggota tim advokasi dan penyusunan
laporan
Membantu dalam pertemuan
11 Hasrida Mustafa, S.Si S1 Biologi Anggota tim rekomendasi kebijakan dan
penyusunan laporan
Ni Nyoman Veridiana, SKM, S2 Kesehatan Membantu pendampingan
12 Anggota tim
M.Kes Masyarakat tim Mobasa
Resmiwaty, S.Sos, M.Hum Anggota tim Bertanngung jawab dalam
13 S2 Humaniora
pengumpulan data kualitatif
Hapsa, S.Sos, M.A Membantu dalam
14 S2 Antropologi Anggota tim
pengumpulan data kualitatif
M. Junaidi, S.Sos, M.A Membantu dalam
15 S2 Antropologi Anggota tim
pengumpulan data kualitatif
Alamsyah M. Nur, S.IP, M.Si Membantu dalam
16 S2 Sospol Anggota tim
pengumpulan data kualitatif
Muh. Arif, S.IP, M.Si Membantu dalam
17 S2 Sospol Anggota tim
pengumpulan data kualitatif
Ikhtiar Hatta, S.Sos, M.Hum Anggota tim Membantu dalam
18 S2 Humaniora
pengumpulan data kualitatif
Andi Tenriangka Bertanggung jawab dalam
19 S1 Sospol Administrasi
administrasi penelitian
Avib Vebrianto Membantu dalam
20 S1 Sospol Administrasi
administrasi penelitian

7
8
6. KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan kesehatan,
kekuatan dan ilmu yang bermanfaat sehingga laporan hasil penelitian dengan judul; Evaluasi
Pengendalian Schistosomiasis Oleh Lintas Sektor Dan Implementasi Bada Model Di Daerah
Endemis Schistosomiasis Di Indonesia, bisa selesai disusun. Laporan hasil penelitian ini
berisi tentang pendahuluan, metode, hasil dan pembahasan dari penelitian yang telah kami
laksanakan selama kurang lebih 9 bulan. Penelitian dilakukan sebagian besar di Kecamatan
Lore Barat di lembah Bada Kabupaten Poso.
Sebagai manusia tentunya masih banyak kekurangan dari isi laporan ini, untuk itu
kiranya kami akan sangat senang jika mendapat masukan ataupun kritikan dari berbagai
pihak demi perbaikan menuju kesempurnaan laporan ini. Penulis mengucapkan terimakasih
kepada Kepala Balai Litbangkes Donggala atas kesempatan, izin dan segala dukungan yang
diberikan dalam pelaksanaan penelitian ini. Kami juga mengucapkan terima kasih kepada
komisi etik dan Panitia Pembina Ilmiah Puslitbang Upaya Kesehatan Masyarakat Badan
Litbangkes yang telah memberikan masukan serta bimbingan atas pelaksanaan penelitian ini.
Akhirnya, penulis sangat berterimakasih kepada teman-teman yang telah membantu
memberikan bahan acuan maupun diskusi dalam penyusunan laporan ini. Penulis
memberikan penghargaan setinggi-tingginya kepada mereka yang membantu secara langsung
maupun tidak langsung selama mempersiapkan maupun penyusunan laporan ini. Semoga
laporan penelitian ini bermanfaat dan bisa menjadi acuan bagi desa-desa endemis
schistosomiasis dalam pengendalian schistosomiasis.

Donggala, Desember 2019

Ahmad Erlan, SKM, MPH

10
7. RINGKASAN EKSEKUTIF
Evaluasi Pengendalian Schistosomiasis Oleh Lintas Sektor Dan Implementasi
Bada Model Di Daerah Endemis Schistosomiasis Di Indonesia

Ahmad Erlan, Muh. Faozan, Sitti Chadijah, Junus Widjaja, Anis Nurwidayati, Ningsi,
Malonda, Intan, Murni, Hasrida, Resmiwaty, Ikhtiar, Hapsa, Junaidi

Upaya eliminasi penyakit tropis terabaikan menjadi salah satu prioritas pada RPJMN
2015-2019. Hal ini sejalan dengan Agenda Pembangunan yang Berkelanjutan (Sustainable
Development Goals/SDGs), khususnya salah satu target pada tujuan ketiga SDGs, yaitu
mengakhiri epidemi AIDS, tuberculosis, malaria, dan penyakit tropis terabaikan (neglected
tropical diseases) lainnya serta memerangi hepatitis, penyakit yang ditularkan melalui air dan
penyakit menular lainnya. Schistosomiasis atau penyakit demam keong, merupakan salah
satu penyakit tropis terabaikan, yang hanya ditemukan endemis di 28 desa yang tersebar di
dua kabupaten (Sigi dan Poso) di Provinsi Sulawesi Tengah. Upaya pengendalian penyakit
ini telah berjalan setidaknya dalam 35 tahun terakhir, dan memberikan pembelajaran bahwa
eradikasi penyakit ini harus melalui pendekatan lintas sektor, secara serentak pada
lokasi/desa-desa endemis tersebut.
Sejak ditetapkannya eradikasi schistosomiasis pada tahun 2019, Bappenas
mengkoordinasikan secara intensif pengendalian schistosomiasis sejak Mei 2017. Rangkaian
proses koordinasi ini meliputi antara lain dukungan penyusunan roadmap eradikasi
schistosomiasis, pemetaan dan sinkronisasi Dana Alokasi Khusus yang mendukung upaya
pengendalian schistosomiasis, pembahasan lanjutan di tingkat pimpinan Kementerian
PPN/Bappenas, dan pembahasan dukungan APBN dan DAK dengan lintas kementerian dan
Pemerintah Daerah. Roadmap yang disusun sejak Juli 2017 dengan melibatkan Pemerintah
Daerah dan Kementerian/Lembaga ini, digunakan dalam perencanaan, penganggaran, dan
evaluasi capaian tahunan Pemerintah Daerah dan lintas sektor untuk mewujudkan komitmen
bersama menuju eradikasi schistosomiasis di Indonesia.
Tujuan umum dari penelitian ini adalah mengevaluasi kegiatan pengendalian
schistosomiasis oleh lintas sektor berdasarkan roadmap eradikasi schistosomiasis dan
menginisiasi upaya pengendalian schistosomiasis dengan penerapan konsep implemetasi
Bada Model. Tujuan khususnya adalah menganalisis kegiatan pengendalian keong perantara
oleh lintas sektor di daerah endemis schistosomiasis berdasarkan roadmap pengendalian
schistosomiasis. Mengidentifikasi kekurangan dan kelebihan dalam pelaksanaan
pengendalian keong perantara schistosomiasis. Mengimplementasikan konsep bada model:

11
Penyusunan Peraturan Desa tentang Pengendalian Deman Keong, Pembentukan Tim
Pengendali Schistosomiasis Desa, Pengendalian daerah fokus keong Onchomelania hupensis
lindoensis, Peningkatan kapasitas masyarakat, guru dan anak sekolah, dan Penguatan fungsi
Puskesmas dan Laboratorium Schistosomiasis dalam pengendalian schistosomiasis.
Sebanyak dua puluh (20) orang informan lintas sektor yang telah dilakukan
wawancara mendalam. Program pengendalian Schistosomiasis yang digawangi oleh Dinas
Kesehatan sebagai upaya mengeliminir penyebaran penyakit Schistosomiasis telah lama
dilaksanakan, terutama oleh Dinas Kesehatan. Sejak ditemukannya penyakit ini Dinas
Kesehatan telah terlibat dalam mengobati dan mencegah penyebaran penyakit
Schistosomiasis. Hanya saja keterlibatan Dinas Kesehatan secara serius dalam Program
Pengendalian Schistosomiasis dimulai sejak penyusunan Roadmap Eradikasi Schistosomiasis
di Indonesia tahun 2018 - 2020. Pelaksanaan program ini melibatkan berbagai instansi terkait,
seperti: Dinas Peternakan, Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR), BAPPEDA,
Dinas Tanaman Pangan, Dinas Kehutanan, Dinas Perkebunan, Dinas Perikanan, serta Dinas
Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (PMD). Secara keseluruhan pelaksanaan program ini
menggunakan anggaran dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Adapun besarannya dan sumber
anggaran lainnya berbeda-beda di tiap-tiap instansi. Keterlibatan mereka dalam program ini
juga diserahi wewenang sesuai dengan kapasitas dan tupoksi masing-masing. Namun
demikian dalam realisasi program semua instansi pada umumnya tidak menemukan kendala
yang berarti di lapangan. Kendala terberat hanyalah di penganggaran yang dianggap terlalu
sedikit, sehingga ada beberapa program yang realisasinya tertunda atau bahkan tidak
terlaksana sama sekali. Secara keseluruhan target program belum tercapai. Masing-masing
instansi mengharapkan agar semua fokus dapat tertangani di tahun 2020 sesuai dengan target
pencapaian eradikasi. Namun karena keterbatasan anggaran, maka target tersebut tidak dapat
tercapai di tahun 2019 bahkan di tahun 2020. Keberhasilan eliminasi schistosomiasis perlu
dukungan dari desa melalui pemberdayaan masyarakat. Gagasan Bada model sebagai
terobosan pengendalian schistosomiasis berbasis masyarakat yang coba di implementasikan
di Kecamatan Lore Barat di enam desa telah membawa keberhasilan. Hal ini akan diterapkan
di desa endemis lainnya yang ada di Napu dan Lindu dan disesuaikan dengan budaya
setempat.

12
8. ABSTRAK
Pelaksanaan pengendalian schistosomiasis oleh lintas sektor seyogyanya berdasarkan
roadmap eradikasi schistosomiasis, baik dari perencanaan, penganggaran, dan evaluasi
capaian tahunan. Oleh karena itu diperlukan evaluasi dari kegiatan pengendalian
schistosomiasis yang dilakukan oleh lintas sektor berdasarkan roadmap peradikasi
schistosomiasis.
Pada tahun 2018 dilakukan uji coba implementasi pengendalian schistosomiasis di
desa percontohan di tiga daerah endemis schistosomiasis Napu, Lindu, Bada. Hasil uji coba
tersebut adalah regulasi desa terkait pengendalian schistosomiasis di desa percontohan. Pada
tahun 2019 akan diimplementasikan konsep Bada Model dengan beberapa rincian kegiatan
yang akan di implementasikan meliputi implementasi regulasi (Kecamatan dan atau Desa),
implementasi muatan lokal schistosomiasis pada anak sekolah di daerah endemis,
implementasi peran tokoh agama (Mobasa), implementasi Tim Peda’ pengendali
Schistosomiasis, implementasi Lomba Desa Bebas Schistosomiasis, implementasi
pengendalian Schistosomiasis oleh lintas sektor. Dengan demikian dengan riset implementasi
ini diharapkan akan diidentifikasi kendala baik dari SDM, sarana prasarana, anggaran dan
kebijakan pemangku kepentingan dalam pelaksanaan kegiatan pengendalian schistosomiasis
di daerah endemis.
Tujuan umum dari penelitian ini adalah mengevaluasi kegiatan pengendalian
schistosomiasis oleh lintas sektor berdasarkan roadmap eradikasi schistosomiasis dan
menginisiasi upaya pengendalian schistosomiasis dengan penerapan konsep implemetasi
Bada Model. Sampai dengan pertengahan tahun 2017, tingkat kejadian penyakit pada
manusia di 28 desa endemik masih berkisar antara 0 sampai 2,15%. Kondisi ini dipengaruhi
oleh masih tingginya prevalensi pada hewan ternak, penanganan fokus (habitat keong
perantara) yang masih terbatas, belum terintegrasinya pengembangan layanan air minum dan
sanitasi layak dalam upaya pencegahan risiko penyakit, dan belum maksimalnya
pemberdayaan masyarakat dan peran para pemangku kepentingan di tingkat desa sebagai
garda terdepan dalam pencegahan, deteksi dini, dan pengendalian schistosomiasis. Metode
penelitian yang digunakan penelitian impelementasi dan data diperoleh dengan mixed method
yaitu pengumpulan data secara kualitatif dan kuantitatif. Data diperoleh dengan wawancara
mendalam kepada informan kunci dan evaluasi hasil kegiatan lintas sektor dan masyarakat.
Penelitian telah dilakukan di daerah endemis schistosomiasis Bada sejak Bulan
Januari – November 2019. Kesimpulannya lintas sektor belum maksimal dalam pengendalian
schistosomiasis karena anggaran yang masih terbatas. Pemberdayaan masyarakat melalui
Bada Model terbukti mampu menghilangkan fokus keong, meningkatkan cakupan
pengumpulan tinja dan mengubah perilaku masyarakat menjadi lebih baik untuk menghindari
penularan dan selalu bekerja bakti membersihkan fokus keong.

13
9. DAFTAR ISI
1. JUDUL PENELITIAN…...…………………………………………………………………1
2. SK PENELITIAN.…………………………………………………………………………. 2
3. SUSUNAN TIM PENELITI .................................................................................................. 7
4. PERSETUJUAN ETIK……………………………………………………………………..8
5. PERSETUJUAN ATASAN YANG BERWENANG………………………………………9
6. KATA PENGANTAR ......................................................................................................... 10
7. RINGKASAN EKSEKUTIF ............................................................................................... 11
8. ABSTRAK ........................................................................................................................... 13
9. DAFTAR ISI........................................................................................................................ 14
10. DAFTAR TABEL/ GAMBAR .......................................................................................... 15
BAB 1. PENDAHULUAN ..................................................................................................... 16
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................................ 19
BAB 3. METODE PENELITIAN .......................................................................................... 21
3.2. Tempat dan Waktu Penelitian ...................................................................................... 21
3.3. Kriteria inklusi dan eksklusi......................................................................................... 21
3.4. Instrumen dan cara pengumpulan data ......................................................................... 21
3.5. Prosedur pengumpulan data ......................................................................................... 23
BAB 4. HASIL PENELITIAN ............................................................................................... 24
4.1. Hasil Evaluasi Pengendalian Schistosomiasis olehLintas Sektor Tahun 2019 ............ 24
4.2. Proses Pendampingan Penyusunan Peraturan Desa Tentang Demam Keong ............. 37
4.3. Pembentukan Tim Pengendali Schistosomiasis (Tim Peda’)..................................... 42
4.4. Pengendalian fokus keong Onchomelania hupensis lindoensis dengan modifikasi
lingkungan ................................................................................................................. 49
4.5. Peningkatan Kapasitas Tenaga Kesehatan, Masyarakat dan Anak Sekolah ............... 52
4.6. Kegiatan Pendukung .................................................................................................... 66
4.7. Optimalisasi tugas dan fungsi Puskesmas dan Laboratorium Schistosomiasis dalam
pengendalian schistosomiasis .................................................................................... 70
BAB 5. PEMBAHASAN ........................................................................................................ 73
5.1. Evaluasi Pengendalian Schistosomiasis oleh Lintas Sektor ......................................... 73
5.2. Implementasi Bada Model ........................................................................................... 77
BAB 6. KESIMPULAN DAN SARAN .................................................................................. 87
6.1. Kesimpulan ................................................................................................................ 87
6.2. Saran .......................................................................................................................... 87
7. DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................................... 88

LAMPIRAN-LAMPIRAN:
1. Amandemen Protokol
2. Foto-foto penelitian
3. Laporan Kegiatan Advokasi
4. Policy Brief
5. Peraturan Desa Kageroa

14
10. DAFTAR TABEL/ GAMBAR
Tabel 1. Target Hasil dan Capaian Kegiatan Lintas Sektor dalam Pengendalian
Schistosomiasis Tahun 2019

Tabel 2. Rincian Pengesahan Perdes Tentang Penanggulangan Demam Keong


(Schistosomiasis) oleh Masing-masing Desa Tahun 2019

Tabel 3. Frekuensi Sosialisasi Perdes Tentang Penaggulangan Demam Keong oleh


Masing-Masing Desa Tahun 2019

Tabel 4. Cakupan Pengumpulan Tinja Penduduk di Kecamatan Lore Barat Tahun 2018
dan 2019

Tabel 5. Hasil Pemeriksaan Sampel Tinja Hewan dari Enam Desa di Kecamatan
Lore Barat, Tahun 2019

Tabel 6. Jumlah fokus keong O. hupensis lindoensis di Kecamatan Lore Barat, Tahun 2019

Tabel 7. Rencana Pengendalian Schistosomiasis Desa di Kecamatan Lore Barat Tahun


2020-2024

Tabel 8. Pendampingan Sosialisasi Schistosomiasis oleh Tim Mobasa di Kecamatan Lore


Barat Tahun 2019

Tabel 9. Pengetahuan Responden Sebelum Sosialisasi di Kecamatan Lore Barat Tahun 2019

Tabel 10. Pengetahuan Responden Sesudah Sosialisasi di Kecamatan Lore Barat

Tabel 11. Susunan Tim Mepaturo dari Berbagai Sekolah yang Ada di Kecamatan Lore Barat
Tahun 2019

Tabel 12. Kriteria Indikator Penilaian dalam Lomba Desa Bebas Schistosomiasis Tahun 2019

Gambar 1. Peta Distribusi Fokus Keong Perantara Schistosomiasis di Dataran Tinggi Bada
Tahun 2019

Gambar 2. Nilai Rata-Rata Pre-Post Test Masyarakat di Kecamatan Lore Barat


Tahun 2019

Gambar 3. Tabel peningkatan pengetahuan siswa SD dan SMP di Kecamatan Lore Barat
Tahun 2019
Gambar 4. Perbandingan keong Sulawesidrobia sp. dan O.hupensis lindoensis
Gambar 5. Surat konfirmasi keong dari Puslit Biologi LIPI

15
BAB 1. PENDAHULUAN

Schistosomiasis di Indonesia disebabkan oleh cacing trematoda jenis Schistosoma


japonicum dengan hospes perantara keong Oncomelania hupensis lindoensis, oleh
masyarakat disebut sebagai penyakit demam keong. Schistosomiasis selain menginfeksi
manusia juga menginfeksi semua jenis mamalia baik hewan peliharaan maupun binatang liar.
Schistosomiasis kronis menurunkan kemampuan penderita dalam bekerja, dan beberapa
kasus menimbulkan kematian. Pada anak-anak, schistosomiasis menimbulkan stunting,
anemia dan penurunan kemampuan belajar.1,2
Penularan schistosomiasis dilaporkan tersebar di 78 negara dengan perkiraan sekitar
206,5 juta penduduk membutuhkan pengobatan pada tahun 2016. Penyakit ini tersebar di
negara-negara berkembang baik tropik maupun subtropik yaitu China, Jepang, Philipina,
Indonesia, Vietnam, Laos, Thailand, Kamboja. Schistosomiasis di Indonesia hanya
ditemukan di Propinsi Sulawesi Tengah, yaitu Dataran Tinggi Napu dan Dataran Tinggi
Bada, Kabupaten Poso serta Dataran Tinggi Lindu, Kabupaten Sigi. Penyakit ini
menimbulkan dampak kerugian ekonomi dan masalah kesehatan masyarakat di banyak
negara berkembang. Schistosomiasis merupakan penyakit parasit paling mematikan kedua
setelah malaria.3
Pengendalian schistosomiasis yang direkomendasikan oleh WHO berfokus pada
mengurangi penyakit melalui pengobatan berkala maupun massal dengan praziquantel dan
pendekatan pengendalian secara komprehensif schistosomiasis, meliputi penyediaan air
bersih yang memadai, sanitasi yang bagus, serta pengendalian keong yang dapat mengurangi
penularan schistosomiasis.2
Pemberantasan schistosomiasis dilakukan sejak tahun 1982 secara intensif. Periode
pertama berlangsung sejak 1982-1986 dengan kegiatan berupa pengobatan massal, survei
tinja, dan survei tikus setiap enam bulan. Pada periode ini prevalensi menurun secara
signifikan dan partisipasi masyarakat pada periode ini masih sangat bagus. Pengendalian
periode kedua berlangsung pada tahun 1986-1990 dengan kegiatan berupa pengobatan
selektif. Sektor pertanian juga melakukan pengelolaan lahan sehingga dapat mengeliminasi
beberapa daerah fokus, program transmigrasi, dan memobilisasi peran serta masyarakat.
Pengendalian periode ketiga berlangsung pada tahun 1991 sampai tahun 1993, dengan
kegiatan yang lebih terintegrasi. Pada periode ini sektor kesehatan bukan lagi sebagai
leading sector, akan tetapi digantikan oleh Bappeda. Pada periode ini juga dibentuk
Kelompok Kerja Schistosomiasis.4

16
Pengendalian schistosomiasis periode keempat berlangsung pada tahun 1993-1998,
dengan adanya kelompok kerja schistosomiasis yang diberi nama integrated development
project. Program kerja kelompok tersebut dapat berlangsung dengan jadwal dan pembiayaan
yang lebih baik. Periode selanjutnya yaitu tahun 1998 – 2005 yaitu dengan dimulainya
CSIADCP (Central Sulawesi Integrated Area Development and Conservation Project). Pada
periode ini pengendalian schistosomiasis sangat intensif peran lintas sektor sangat baik,
yaitu: kesehatan, pertanian, pekerjaan umum, transmigrasi, Program Kesejahteraan Keluarga
(PKK), dan peternakan.4
Berdasarkan Roadmap eradikasi schistomiasis pada tahun 2018-2025, ada tiga
indikator pencapaian eliminasi schistosomiasis, yang pertama yaitu prevalensi manusia,
hewan dan keong nol persen. Upaya eliminasi penyakit tropis terabaikan menjadi salah satu
prioritas pada RPJMN 2015-2019. Hal ini sejalan dengan Agenda Pembangunan yang
Berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDGs), khususnya salah satu target pada
tujuan ketiga SDGs, yaitu mengakhiri epidemi AIDS, tuberculosis, malaria, dan penyakit
tropis terabaikan (neglected tropical diseases) lainnya serta memerangi hepatitis, penyakit
yang ditularkan melalui air dan penyakit menular lainnya.2 Schistosomiasis atau penyakit
demam keong, merupakan salah satu penyakit tropis terabaikan, yang hanya ditemukan di
dua kabupaten (Sigi dan Poso) Provinsi Sulawesi Tengah. Upaya pengendalian penyakit ini
telah berjalan setidaknya dalam 35 tahun terakhir, dan memberikan pembelajaran bahwa
eradikasi penyakit ini harus melalui pendekatan lintas sektor, secara serentak pada
lokasi/desa-desa endemis tersebut.
Sejak ditetapkannya eradikasi schistosomiasis pada Tahun 2018, Bappenas
mengkoordinasikan secara intensif pengendalian schistosomiasis sejak Mei 2017. Rangkaian
proses koordinasi ini meliputi antara lain dukungan penyusunan roadmap eradikasi
schistosomiasis, pemetaan dan sinkronisasi Dana Alokasi Khusus yang mendukung upaya
pengendalian schistosomiasis, pembahasan lanjutan di tingkat pimpinan Kementerian
PPN/Bappenas, dan pembahasan dukungan APBN dan DAK dengan lintas kementerian dan
Pemerintah Daerah. Roadmap yang disusun sejak Juli 2017 dengan melibatkan Pemerintah
Daerah dan Kementerian/Lembaga ini, digunakan dalam perencanaan, penganggaran, dan
evaluasi capaian tahunan Pemerintah Daerah dan lintas sektor untuk mewujudkan komitmen
bersama menuju eradikasi schistosomiasis di Indonesia.5
Pembelajaran penting dari upaya pengendalian penyakit ini di Indonesia selama
kurang lebih 35 tahun serta pengalaman dari negara endemik lainnya adalah penyakit ini
hanya dapat diatasi secara tuntas melalui pendekatan multi sektor dan pemberdayaan
17
masyarakat untuk menurunkan dan selanjutnya meniadakan infeksi parasit pada manusia,
hewan, dan keong perantara. Dalam konteks tersebut, peran lintas sektor dan masyarakat desa
mutlak diperlukan terutama dalam pengelolaan hewan ternak dan lingkungan habitat keong
perantara.5 Pelaksanaan pengendalian schistosomiasis oleh lintas sektor seyogyanya
berdasarkan roadmap eradikasi schistosomiasis, baik dari perencanaan, penganggaran, dan
evaluasi capaian tahunan. Oleh karena itu diperlukan riset evaluasi dari kegiatan
pengendalian schistosomiasis yang dilakukan oleh lintas sektor berdasarkan roadmap
eradikasi schistosomiasis.
Pengendalian schistosomiasis yang dilakukan oleh sektor kesehatan berupa kegiatan
rutin yaitu survei tinja, survei keong, pengobatan, survei fokus, dan survei tikus, serta
pembuatan jamban keluarga untuk penduduk di seluruh daerah endemis.3 Pengendalian
keong dilakukan secara mekanik dan kimia. Pengendalian secara mekanik dilakukan dengan
perbaikan saluran air di daerah fokus, pengeringan daerah fokus, dan penimbunan.
Pengendalian secara kimia dilakukan dengan penyemprotan baylucide pada daerah fokus.4
Sampai dengan pertengahan tahun 2017, tingkat kejadian penyakit pada manusia di 28
desa endemik masih berkisar antara 0 sampai 2,15%. Kondisi ini dipengaruhi oleh masih
tingginya prevalensi pada hewan ternak, penanganan fokus (habitat keong perantara) yang
masih terbatas, belum terintegrasinya pengembangan layanan air minum dan sanitasi layak
dalam upaya pencegahan risiko penyakit, dan belum maksimalnya pemberdayaan masyarakat
dan peran para pemangku kepentingan di tingkat desa sebagai garda terdepan dalam
pencegahan, deteksi dini, dan pengendalian schistosomiasis.6 Dari permasalahan tersebut
disusunlah Roadmap Eradikasi Schistosomiasis sebagai rencana aksi bersama lintas sektor
dan masyarakat dalam upaya eradikasi penyakit schistosomiasis. Pada tahun 2018 sudah
dilaksanakan kegiatan pengendalian schistosomiasis oleh lintas sektor dan masyarakat untuk
itu perlu di evaluasi keberhasilan implementasi tersebut.

18
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

Salah satu penyakit tropis terabaikan ini adalah schistosomiasis atau penyakit demam
keong. Data WHO menunjukkan pada tahun 2015, jumlah populasi yang memerlukan
pengobatan preventif terhadap schistosomiasis akibat infeksi Schistosoma mansoni, S.
hematobium, S. japonicum dan tiga spesies Schistosoma lain adalah sebanyak 218,7 juta orang
yang tersebar di 52 negara. Dari jumlah tersebut 118,5 juta merupakan anak usia sekolah dan
sisanya (110.2 juta) adalah orang dewasa (WHO 2016). Di Asia, Schistosomiasis japonica masih
ditemukan di tiga negara, yaitu Republik Rakyat Tiongkok (RRT), Filipina, dan Indonesia. Di
antara ketiga negara tersebut, penyebaran penyakit paling luas ditemukan di RRT dengan jumlah
penderita sebanyak 11,6 juta yang tersebar di 12 provinsi dan 454 country (setara
kabupaten/kota).7
Pada Tahun 2011, melalui program pengendalian intensif, jumlah penderita berhasil
diturunkan menjadi kurang lebih 286,8 ribu dan 13 penderita akut (Xu et al. 2015). Di Filipina,
penyebaran penyakit ini terjadi di 28 provinsi, 14 kota, dan 189 municipality dengan jumlah
warga yang berisiko terinfeksi sebanyak 12 juta orang, termasuk 2,5 juta diantaranya mengalami
paparan langsung8. Belajar dari pengalaman Jepang yang berhasil memberantas penyakit ini pada
Tahun 1996, eradikasi schistosomiasis adalah sesuatu yang bisa dicapai, dan tetap harus
didukung kegiatan surveilans guna memastikan schistosomiasis japonica tidak muncul kembali
di bekas wilayah endemik.9
Di Indonesia penyakit Schistosomiasis Japonicum hanya terdapat di Lembah Bada, Napu,
dan Lindu di Provinsi Sulawesi Tengah. Penyakit ini mendera 28 desa yang tersebar di
Kabupaten Poso dan Kabupaten Sigi. Total penduduk di 28 desa ini berjumlah 30,639 jiwa.
Untuk segera mengakhiri kejadian penyakit ini, schistosomiasis telah ditetapkan oleh Pemerintah
Republik Indonesia sebagai prioritas nasional untuk dapat dieradikasi pada 2019.5
Roadmap Eradikasi Shistosomiasis di Indonesia disusun sebagai rencana aksi bersama
lintas sektor dan masyarakat dalam upaya eradikasi penyakit schistosomiasis. Roadmap ini
ditujukan sebagai acuan perencanaan, penganggaran, dan evaluasi capaian tahunan bagi setiap
institusi yang terlibat di tingkat pusat, provinsi, kabupaten, dan desa, sebagai wujud komitmen
bersama mengentaskan schistosomiasis di Indonesia. Dalam Roadmap ini, pentahapan menuju
eradikasi mengenal 3 (tiga) fase yaitu fase akselerasi (2018-2019), fase memelihara prevalensi
0% (2020-2024), dan fase verifikasi dan deklarasi eradikasi (2025). Setiap tahapan/fase memiliki
19
target tertentu dan intervensi kunci. Target dan intervensi kunci di setiap fase ini selanjutnya
menjadi panduan formulasi paket kegiatan tahunan berikut target hasil yang terukur.5
Strategi eradikasi Schistosomiasis meliputi strategi untuk penanganan manusia, hewan,
dan lingkungan secara terpadu dan menyeluruh didukung ketersediaan layanan air minum dan
sanitasi, pemberdayaan masyarakat, dan sistem pemantauan dan evaluasi kemajuan hasil yang
mudah diakses bagi semua yang peduli dan terlibat. Stakeholder yang terlibat berdasarkan
matriks roadmap eradikasi schistosomiasis adalah Kementerian Kesehatan, Kementerian
Pertanian, Dinas Peternakan Kabupaten, Dinas Peternakan Provinsi, Dinas Pertanian Provinsi,
Dinas Pertanian Kabupaten, Dinas PU Provinsi, Dinas PU Kabupaten, Balai Taman Nasional
Lore Lindu (BTNLL), Dinas Perkebunan, Pemerintah Desa, Dinas Perikanan Kabupaten, Dinas
Kesehatan Kabupaten, Bappeda Provinsi dan Bappeda Kabupaten.
Penelitian ini menggunakan teori dari Merilee S. Grindle yang menyebutkan bahwa
keberhasilan implementasi dipengaruhi oleh dua variabel besar, yakni isi kebijakan dan
lingkungan implementasi. Penggunaan teori tersebut dapat membantu peneliti untuk
menganalisis implementasi pengendalian schistosomiasis berdasarkan Roadmap Eradikasi
Schistosomiasis di Indonesia secara lebih mendalam.
Penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya dan relevan dengan penelitian ini adalah
penelitian yang berjudul “Implementasi Program Jamian Persalinan (Jampersal) di RSUD
Panembahan Senopati Kabupaten Bantul” oleh Fitri Istiani pada tahun 2013. Penelitian ini
menyimpulkan bahwa implementasi Program Jampersal di RSUD Panembahan Senopati sudah
baik. Hal ini terbukti dengan adanya keterlibatan stakeholder dalam proses komunikasi program,
adanya SDM yang memadai, adanya komitmen dan ketersediaan pelaksana dalam menyukseskan
program Jampersal, dan struktur birokrasi yang sudah jelas dan tercipta koordinasi yang baik.
Penelitian yang dilakukan Fitri Istiani juga memakai kerangka teori Merilee S. Grindle, yang
mempunyai tujuan yang sama untuk mengevaluasi keberhasilan suatu program. Bedanya pada
program yang satu tentang kebijakan jampersal sedangkan pada penelitian ini ingin
mengevaluasi pengendalian schistosomiasis berdasarkan Roadmap Eradikasi Schistosomiasis di
Indonesia.

20
BAB 3. METODE PENELITIAN

3.1. Disain Penelitian


Metode penelitian yang digunakan penelitian impelementasi dan data diperoleh dengan
mixed method yaitu pengumpulan data secara kualitatif dan kuantitatif. Data diperoleh dengan
wawancara mendalam kepada informan kunci dan evaluasi hasil kegiatan lintas sektor dan
masyarakat.

3.2. Tempat dan Waktu Penelitian


Penelitian telah dilaksanakan pada Bulan Maret sampai Bulan Oktober 2019. Kegiatan
evaluasi pengendalian schistosomiasis oleh lintas sektor sudah dilaksanakan di tiga daerah
endemis schistosomiasis Napu, Lindu, Bada. Kegiatan implementasi bada model dilakukan di
enam desa di daerah endemis Bada, Kecamatan Lore Barat.

3.3. Kriteria inklusi dan eksklusi


Kriteria inklusi:
1. Sampel Masyarakat di desa endemis Napu, Lindu, Bada yang mengetahui pelaksanaan
kegiatan pengendalian schistosomiasis oleh lintas sektor dan impelementasi regulasi
pengendalian schistosomiasis di desa endemis.
2. Masyarakat yang menderita schistosomiasis
3. Stakeholder kesehatan di tingkat pusat yaitu Kementerian Kesehatan
4. Stakeholder kesehatan di tingkat daerah yaitu Dinas Kesehatan Provinsi dan Kabupaten
5. Stakeholder Non Kesehatan di Provinsi dan Kabupaten yang mengetahui pelaksanaan
kegiatan pengendalian schistosomiasis
Kriteria Eksklusi :
Masyarakat ataupun stakeholder yang tidak mengetahui tentang program eliminasi
schistosomiasis.

3.4. Instrumen dan cara pengumpulan data


Instrumen yang digunakan oleh tim selama pelaksanaan evaluasi adalah:
1. Studi literatur dokumen rencana kegiatan pengendalian schistosomiasis.

21
2. Pedoman Wawancara mendalam pada lintas sektor kesehatan dan non kesehatan sebanyak
dua puluh (20) orang informan yang ada di Kabupaten Poso, Kabupaten Sigi dan Provinsi
Sulawesi Tengah.
3. Checklist evaluasi cakupan pemeriksaan tinja.
4. Diskusi kelompok terarah kepada masyarakat, tokoh agama dan guru.
5. Pretes dan postest pada tim peda’, tim mepaturo dan tim mobasa.
6. Penerapan Implementasi Bada Model
- Implementasi Peraturan Desa tujuan implementasi ini adalah menyusun regulasi pengendalian
schistosomiasis tingkat desa di Lore Barat. Regulasi yang dimaksud adalah adanya peraturan
di tingkat desa, tentang pengumpulan tinja, pengobatan, pembersihan daerah fokus,
pengandangan ternak (sapi, kuda, babi, kerbau). Implementasi dilaksanakan dengan metode
diskusi kelompok dengan pemerintah kabupaten, kecamatan, dan desa di Lore Barat. Lintas
sektor yang terlibat adalah Dinas Pemberdayaan Masyarakat Desa Kabupaten Poso, pihak
Kecamatan Lore Barat, Pemerintah Desa di Lore Barat.
- Implemetasi Tim Pengendalian Schistosomiasis Desa (Tim Peda’)
Salah satu bentuk pemberdayaan masyarakat dalam pengendalian schistosomiasis melalui
implementasi Bada Model adalah dengan pembentukan Tim Peda’. Tim tersebut merupakan
tranformasi dari kader schistosomiasis yang sebelumnya sudah terbentuk. Tim pengendalian
schistosomiasis desa dibentuk dengan tujuan untuk melaksanakan kegiatan pengendalian
schistosomiasis dan menggerakkan masyarakat dalam kegiatan pengendalian schistosomiasis
di tingkat desa dengan didampingi petugas Laboratorium Schistosomiasis yang sudah dtunjuk
dan dilatih.
- Implementasi pengendalikan daerah fokus keong perantara Schistosomiasis untuk memutus
siklus penularan Schistosomiasis. Kebijakan ini ditujukan untuk meningkatkan partisipasi
masyarakat, pemerintah desa dan lintas sektor terkait dalam pengendalian fokus keong O.
hupensis lindoensis di tingkat desa. Strategi Kebijakan ini meliputi; Melakukan Gerakan
Masyarakat Mandiri Berantas Schistosomiasis untuk menghilangkan fokus keong dengan
pembersihan dan penyemprotan. Membuat rencana pengendalian Schistosomiasis tingkat desa
untuk dimasukkan dalam RPJM Desa (APBDesa). Melakukan Modifikasi Lingkungan fokus
keong untuk menghilangkan fokus keong yang tidak bisa dilakukan oleh masyarakat dengan
APBD Kabupaten/Provinsi dan APBN.

22
- Implementasi peningkatkan kapasitas guru, anak sekolah dan masyarakat dalam pengendalian
schistosomiasis. Kebijakan ini diarahkan untuk terselenggaranya pelatihan dan
penyebarluasan informasi tentang Schistosomiasis bagi tokoh agama, guru, anak sekolah dan
masyarakat. Strategi kebijakan ini meliputi; Melakukan pelatihan pada Tokoh Agama (Tim
Mobasa) untuk meningkatkan pengetahuan, sikap dan perilaku dalam pengendalian
Schistosomiasis. Melakukan pelatihan pada Guru SD, SMP dan SMA (Tim Mepaturo) untuk
meningkatkan pengetahuan, sikap dan perilaku dalam pengendalian Schistosomiasis.
Menyelenggarakan Lomba Desa bebas Schistosomiasis untuk meningkatkan partisipasi
masyarakat dalam pengendalian Schistosomiasis. Menyelenggarakan pemilihan Duta
Schistosomiasis di sekolah untuk mensosialisasikan pengendalian Schistosomiasis
dilingkungan sekolah dan masyarakat.
- Penguatan fungsi Puskesmas dan Laboratorium Schistosomiasis untuk mendukung eliminasi
schistosomiasis. Kebijakan ini diarahkan untuk menguatkan fungsi Puskesmas dan
laboratorium schistosomiasis dalam eliminasi schistosomiasis. Strategi kebijakan ini meliputi;
Melakukan pelatihan tenaga penanggung jawab Schistosomiasis puskesmas, surveillans,
promosi kesehatan, UKS, penanggung jawab upaya kesehatan masyarakat dan tenaga
laboratorium schistosomiasis. Melakukan survei survei keong dan survei tikus bersama-sama
dengan tim Pengendali Schistomiasis Desa. Mendampingi Tim Pengendali Schistosomiasis
Desa dalam kegiatan Gema Beraksi dan penyemprotan fokus dengan moluskisida.
Mendampingi Tim Mobasa dan Tim Mepaturo dalam kegiatan sosialisasi schistosomiasis
pada masyarakat dan anak sekolah.

3.5. Prosedur pengumpulan data


Melakukan wawancara mendalam kepada lintas sektor, pelatihan pada tim Peda’, tim
Mobasa, tim Mepaturo, tenaga puskesmas dan petugas laboratorium schistosomiasis. Mencatat
proses pendampingan penyusunan peraturan desa, kegiatan tim Pengendali Schistosomiasis Desa
(Tim Peda’), Tim Mobasa dan Tim Mepaturo.

23
BAB 4. HASIL PENELITIAN

4.1. Hasil Evaluasi Pengendalian Schistosomiasis olehLintas Sektor Tahun 2019

Sebanyak dua puluh (20) orang informan lintas sektor yang telah dilakukan wawancara
mendalam. Kabupaten Poso terdiri dari tujuh orang yaitu Kepala Dinas Kesehatan, Kepala Dinas
Pemberdayaan Masyarakat Desa, Kepala Bidang Kesehatan Hewan Dinas Pertanian, Kepala
Bidang Sarana dan Prasarana Dinas Pertanian, Kepala Bidang Pembudidayaan Bibit Perikanan,
Kepala Bidang Pembangunan Manusia Bappeda, dan Kepala Dinas Pekerjaan Umum. Kabupaten
Sigi ada enam orang informan yaitu; Sekertaris Bappeda, Kepala Seksi Pengendalian Penyakit
Dinas Kesehatan, Kepala Bidang Sumber Daya Air Pekerjaan Umum, Kepala Bidang Sarana dan
Prasarana Dinas Pertanian, Kepala Bidang Pembudidayaan Bibit Dinas Perikanan dan Kepala
Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan. Provinsi Sulawesi Tengah ada tujuh orang informan
yaitu; Kepala Bidang Pengendalian Penyakit Dinas Kesehatan, Kepala Bidang Peternakan,
Kepala Tata Usaha UPT Veteriner Dinas Perkebunan dan Peternakan, Kepala Bidang Sosial
Budaya Bappeda, Kepala Subbagian Perencanaan Dinas Pertanian, Kepala Bidang
Pembudidayaan Bibit Dinas Kelautan dan Perikanan dan Kepala Subbagian Perencanaan Taman
Nasional Lore Lindu.
Program pengendalian Schistosomiasis yang digawangi oleh Dinas Kesehatan sebagai
upaya mengeliminir penyebaran penyakit Schistosomiasis telah lama dilaksanakan, terutama
oleh Dinas Kesehatan. Sejak ditemukannya penyakit ini Dinas Kesehatan telah terlibat dalam
mengobati dan mencegah penyebaran penyakit Schistosomiasis. Hanya saja keterlibatan Dinas
Kesehatan secara serius dalam Program Pengendalian Schistosomiasis dimulai sejak penyusunan
Roadmap Eradikasi Schistosomiasis di Indonesia tahun 2018 - 2020. Pelaksanaan program ini
melibatkan berbagai instansi terkait, seperti: Dinas Peternakan, Dinas Pekerjaan Umum dan
Penataan Ruang (PUPR), BAPPEDA, Dinas Tanaman Pangan, Dinas Kehutanan, Dinas
Perkebunan, Dinas Perikanan, serta Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (PMD). Secara
keseluruhan pelaksanaan program ini menggunakan anggaran dari Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara (APBN) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Adapun
besarannya dan sumber anggaran lainnya berbeda-beda di tiap-tiap instansi. Keterlibatan mereka
dalam program ini juga diserahi wewenang sesuai dengan kapasitas dan tupoksi masing-masing.
Namun demikian dalam realisasi program semua instansi pada umumnya tidak menemukan

24
kendala yang berarti di lapangan. Kendala terberat hanyalah di penganggaran yang dianggap
terlalu sedikit, sehingga ada beberapa program yang realisasinya tertunda atau bahkan tidak
terlaksana sama sekali. Secara keseluruhan target program belum tercapai. Masing-masing
instansi mengharapkan agar semua fokus dapat tertangani di tahun 2020 sesuai dengan target
pencapaian eradikasi. Namun karena keterbatasan anggaran, maka target tersebut tidak dapat
tercapai di tahun 2019 bahkan di tahun 2020. Seperti kutipan hasil wawancara dengan informan
perwakilan dari beberapa instansi berikut ini:
Dinas PUPR Provinsi Sulawesi Tengah:
“Ya...sebenarnya kalau program itu dukungan dana yang perlu. Ya..sarannya tadi
itu. Kita bisa lebih sinergislah. Artinya...programnya ke mace...seperti apa...sama-
sama kita duduk. Sama-sama untuk...apa namanya, kalau memang...sasarannya
untuk...untuk...a...Schisto itu.” (Wawancara 2 Oktober 2019)

Dinas PMD Kabupaten Sigi:

“Sebenarnya hambatan itu masalah anggaran saja. Artinya...sebenarnya kalau


dia...maksimal jelas anggarannya harus mendukung betul-betul. ...... Itu kendala
yang paling urgen. Masalah anggaran. Kalau yang lain, tidak ada. Kan di bidangnya
kami ini, sebenarnya kalau yang berhubungan langsung dengan pemberdayaan
masyarakat, ada 1 kegiatan, yaitu pembinaan POSYANDU. Nah, itu sudah lama
sekali tidak dianggarkan. Sebenarnya di situ kami bisa kalau dianggarkan itu,
pembinaan POYANDU, kami bisa melaksanakan ini...apa namanya, pertemuan
kader itu. Sosialisasi Schisto di situ. Bersentuhan langsung dengan masyarakat.
Hilang hehehe... kalau anggaran. ..... Tapi tidak didukung anggaran. ..... Mestinya
kalau...namanya ini kan, kalau seperti Pak...Bapak sampaikan lalu kan, sudah malu
juga kita kan. Dunia bilang kita ada Schisto kan. Di Indonesia kan? Berarti ini
secara nasional ya paling tidak kalau seperti itu marilah kita sama-sama. Mungkin
kalau nasional mau turun secara langsung tidak eh? Berikan misalnya anggaran
kepada daerah. Terus kita...apa yang bisa kita laksanakan ini. Kita laksanakan.”
(Wawancara 1 Oktober 2019)

Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Tengah:

“Anggaran...hehehe...a...selama ini kan dari APBN ya? Memang diharapkan ini


dari Pemda, supaya kepemilikan program ini kuat kalau ini menunggu dari pusat
kan mungkin mudah ya kalau daerah yang merasa a...bertanggung jawab ini
terhadap pembiayaan ini, supaya mereka cepat eliminasi ini. Kalau...dari pusat
membebani terus, daerah tidak merasakan beban anggaran pada wilayahnya.
Mungkin kalau di...alihkan ke situ, mungkin Pemda-nya akan lebih serius, supaya
dia tidak tergerogoti lagi anggarannya. Ya, mungkin pelan-pelan pengamatan ini
dialihkan ke...daerah. Tapi mungkin nanti setlah fase 2025 ya? Takutnya kita gagal
ini, Roadmap ini.” (Wawancara 7 Oktober 2019)

25
Jika ditinjau secara keseluruhan, target eradikasi Schistosomiasis sasarannya ada pada 3
hal pokok, yaitu: (1) mengendalikan penyebaran Schistosomiasis pada manusia; (2)
mengendalikan penyebaran schistosomiasis pada hewan; dan (3) mengendalikan penyebaran
schistosomiasis pada keong perantara. Setiap instansi yang terlibat dalam program ini memiliki
sasarannya masing-masing, yakni:
1. Untuk mengendalikan penyebaran schistosomiasis pada manusia wewenangnya diserahkan
kepada Dinas Kesehatan.
2. Untuk mengendalikan penyebaran schistosomiasis pada hewan wewenangnya diserahkan
kepada Dinas Peternakan.
3. Untuk mengendalikan penyebaran schistosomiasis pada keong perantara wewenangnya
diserahkan kepada instansi lainnya di luar Dinas Kesehatan dan Dinas Peternakan.

Tabel 1. Target Hasil dan Capaian Kegiatan Lintas Sektor dalam Pengendalian
Schistosomiasis Tahun 2019
Hasil Capaian
No Intervensi kunci Indikator capaian Target Hasil 2019
2019
Proporsi jumlah penduduk
Pengobatan massal pada
1 minum obat Praziquantel tahun 100% 70-94%
manusia 1 kali setahun
2018
Proporsi jumlah ternak besar
Pengobatan massal pada
2 (sapi,kerbau,kuda) yang diobati 100% 1 kali (50%)
hewan 2 kali setahun
Praziquantel persemeter
Modifikasi lingkungan Jumlah desa yang menerima
3 23 desa 7 desa
terpadu lintas sektor modifikasi lingkungan
Pemberantasan keong secara Luas fokus yang menerapkan
4 330.383 m2 24.000 m2
kimiawi pemberantasan kimiawi
100% akses dgn
Kumulatif cakupan KK dengan
Penyediaan air minum, sambungan rmh,
5 akses air minum dan sanitasi 10%
sanitasi, hygiene 85%akses sanitasi
layak dan berkelanjutan
layak

Penyediaan MCK, Umum Kumulatif jumlah MCK yang


6 172 unit MCK -
didaerah fokus sehat dan terawat diareal fokus
Proporsi jumlah ternak besar
Pengelolaan hewan ternak
(sapi,kerbau,kuda) yang
7 (termasuk pembinaan 50% -
terhindar dari kontak dengan
kelompok peternak
fokus
Surveilans pada manusia, Proporsi jumlah sampel 100%(hewan), Manusia (70%-
8
hewan, keong perantara pemeriksaan terhadap jumlah 51%(keong) 94,5%), fokus

26
populasi (manusia dan hewan) keong (49%),
dan luas fokus) hewan (40 %)
kampanye perubahan Jumlah desa aktif melakukan
9 perilkau dan peningkatan kampanye dengan materi dan 28 Desa 18 Desa
partisipasi masyarakat metoda KIE berbasis one health
Koordinasi multi sektor dan
Cakupan kegiatan dengan
10 monev terpadu secara 80% 52%
capaian sesuai target
intensif

Pada Tabel 1. terdapat sembilan intervensi kunci dalam pengendalian schistosomiasis oleh lintas
sector. Apabila dibandingkan antara target kegiatan dan hasil capaian kegiatan tahun 2019 maka
ditemukan dua target yang tidak dapat dicapai yaitu penyediaan sarana Mandi Cuci Kakus
(MCK) umum di daerah fokus dan pengelolaan hewan ternak (termasuk pembinaan kelompok
ternak). Sehingga cakupan kegiatan tahun 2019 jika dibandingkan dengan kegiatan target di
roadmap adalah 52%. Lintas sector tidak merencanakan dan menganggarkan pembangunan
MCK diarea focus, sedangkan proporsi jumlah ternak besar (sapi,kerbau,kuda) yang terhindar
dari kontak dengan fokus tidak tersedia data.
Adapun kegiatan pengendalian schistosomiasis oleh lintas sektor tahun 2019 yaitu:
1. Dinas kesehatan
Anggaran yang tersedia yaitu Dinas Kesehatan Provinsi sebesar Rp.4.804.000.000,
anggaran ini bersumber dari dana Dana Alokasi Khusus (DAK) Pusat dan Dana Alokasi Umum
(DAU) sedangkan di Dinas Kesehatan Kabupaten Poso jumlah anggaran untuk pengendalian
schistosomiasis sebesar Rp.487.869.420 dana ini bersumber dana DAK dan dana DAU,
Sementara jumlah anggaran pengendalian schistosomiasis Dinas Kesehatan Kabupaten Sigi
hanya sebesar Rp.7.000.000.
Kendala yang dihadapi dalam merealisasikan program akan diuraikan di bawah ini, yaitu:
- Pengobatan massal tidak tuntas dilaksanakan berhubung karena ketersediaan obat tidak
mencukupi sesuai target.
- Distribusi obat dari kementrian juga tidak mencukupi untuk dilakukan pengobatan ke semua
wilayah endemis, sebab obat yang datang jumlahnya sangat terbatas.
- Media-media informasi tentang Schistosomiasis juga pengadaanya terbatas, sehingga hanya
dapat diidtribusikan ke sekolah-sekolah. Sementara masyarakat umum tidak dapat. Padahal
informasi seperti ini tidak hanya penting untuk sekolah tetapi juga untuk semua kalangan.

27
- Di tingkat lintas sektor sering kali anggaran untuk Schistosomiasis selalu dianggap kurang.
Padahal sebenarnya anggaran itu besar. Pada awal pengusulan anggaran, kegiatan diarahkan
untuk Schistosomiasis. Setelah anggaran turun, kegiatan tidak lagi diarahkan untuk itu. Hal ini
akan memperlambat tercapainya eradikasi Schistosomiasis.
- Pengelolaan fokus dalam skala besar. Karena wilayah fokus yang terlalu luas sehingga sulit
untuk dilakukan pembersihan atau penyemprotan. Seperti: rawa atau danau. Ini sebenarnya
adalah peranan dari lintas sektor, namun Dinas Kesehatan juga terlibat di dalamnya secara
tidak langsung.
Masyarakat bukan merupakan kendala dalam proses pengobatan. Masyarakat justru
antusias ketika akan dilakukan pengobatan. Terutama ketika mereka tahu bahwa di tahun 2019
pengobatan massal terakhir kali dilaksanakan sebab tahun depan sudah dianggap 0% (nol). Oleh
karena itu disarankan agar pengobatan ini tidak dihentikan sebab penderita akan selalu ada
meskipun pengobatan pada manusia telah dilakukan, hewan dan keong telah dikendalikan.
Kendati tidak lagi dilakukan pengobatan massal melainkan pengobatan selektif. Untuk itu
ketersediaan obat harus tetap ada dan tidak dihentikan.
Anggaran di Dinas Kesehatan Kabupaten Poso untuk Schistosomiasis diangap sudah
cukup meskipun terbatas. Anggaran bersumber dari APBN dan APBD baik di tahun 2019
maupun tahun-tahun sebelumnya. Untuk keberlanjutan program di tahun 2020 direncanakan
untuk beberapa kegiatan terkait Schistosomiasis, yaitu: (1) kegiatan evaluasi Gema Beraksi
untuk melihat dampaknya terhadap fokus; (2) Masih tetap akan dilakukan pengobatan massal;
dan (3) Kegiatan surveilance.
Pada tahun 2019 Dinas Kesehatan Kabupaten Sigi melaksanakan program terkait
Schistosomiasis berupa pengobatan massal, pemeriksaan tinja, uji kualitas air, serta pemeriksaan
dan pengendalian keong. Keseluruhan program per Oktober 2019 masih sementara berjalan
dengan progress 40% dan ditargetkan selesai November 2019. Tidak ditemukan hambatan dalam
melaksanakan program ini sebab sudah menjadi program rutin setiap tahun. Sudah beberapa
tahun terakhir kegiatan-kegiatan serupa rutin dilaksanakan sebagai rangkaian program untuk
pengendalian menuju eradikasi Schistosomiasis. Hanya saja kesadaran masyarakat untuk terlibat
dalam program perlu ditingkatkan agar dapat menjangkau pengobatan hingga 100%. Dukungan
kegiatan dari pusat mendapatkan respon yang baik dengan adanya pemberian obat dan anggaran.

28
Schistosomiasis termasuk dalam program prioritas untuk Dinas Kesehatan Kabupaten
Sigi dengan penganggaran yang bersumber dari APBD kabupaten. Anggaran dialokasikan sesuai
petunjuk teknis. Ada yang dialokasikan untuk Laboratorium, ada untuk kebutuhan non-fisik, ada
untuk operasional kegiatan, dan semuanya terkait dengan Schistosomiasis. Sedangkan dukungan
dari provinsi langsung diserahkan ke PUSKESMAS. Kepada pihak kabupaten hanya
penyampaian untuk pendampingan petugasnya. Anggaran untuk tahun 2019 sebanyak Rp
7.000.000,- khusus untuk Schistosomiasis.
Khusus untuk Laboratorium Schistosomiasis yang mulai dibangun pada tahun 2018
sudah mencapai perampungan ketika bencana alam melanda Kabupaten Sigi dan sekitarnya
sehingga pembangunannya terhambat dan masih terus berjalan per Oktober 2019. Namun akan
terus dirampungkan hingga Desember 2019 jika pencairan anggarannya tidak tersendat-sendat.
Meskipun terdampak bencana dan masih dalam tahap perampungan di laboratorium ini masih
tetap berlangsung kegiatan sesuai tupoksinya. Tetapi dilaksanakan dengan segala keterbatasan
tempat, tenaga, biaya, dan fasilitas. Untuk penganggaran Schistosomiasis tahun 2020 diusulkan
sebesar Rp 13.000.000,.
Sebagai program keberlanjutan dari pengendalian Schistosomisis, kegiatan di tahun 2019
masih terus akan dilaksanakan di tahun 2020. Demikian pula dengan laboratorium, jika belum
rampung di tahun 2019 maka akan dirampungkan di tahun 2020.
2. Dinas Tanaman pangan dan Holtikultura
Dinas Tanaman pangan dan Holtikultura memberikan bantuan berupa perangkap tikus 2
unit dengan biaya Rp 200.000.000,-, untuk wilayah Provinsi Sulawesi Tengah di tahun 2019,
herbisida 12 liter di 20 desa dengan biaya Rp 42.000.000,-, dan semprot rumput elektrik 20 unit.
Seluruhnya telah diserahkan dan digunakan oleh masyarakat setempat. Semua kegiatan yang
telah direncanakan di 2019 telah terealisasi 100% dan semuanya berjalan sesuai target. Anggaran
kegiatan bersumber dari APBD Provinsi yang dialokasikan untuk pengadaan alat dan biaya
operasional. Dalam melaksanakan kegiatannya instansi ini tidak menemukan kendala di
lapangan. Masyarakat justru sangat antusias dengan adanya bantuan.
Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten Poso bidang Pertanian (masih di Dinas
Pertanian dan Peternakan Kabupaten Poso) untuk tahun 2019 kegiatan yang terkait
Schistosomiasis adalah pembangunan irigasi. Irigasi ini berupa parit dan drainase. Irigasi
dibangun di 5 desa di Lore Piore yaitu Desa Alitupu, Desa Wata, Desa Dampiri, Desa Maholo,

29
dan Desa Kalimoyo. Juga dibangun irigasi di Desa Tuare dan Desa Tomehipi di Lore Barat.
Semuanya menggunakan anggaran dari dana DAK, DAU, dan TP. Per Oktober 2019
pembangunan masih sementara berjalan dengan progress keseluruhan 75%.
Ditargetkan akan rampung di bulan November 2019. Pembangunan irigasi di 7 desa ini
dianggap masih jauh dari target yang direncanakan sebab masih banyak titik-titik fokus yang
belum bisa dijangkau berhubung karena anggaran yang sangat terbatas. Anggaran keseluruhan
untuk pembangunan irigasi ini diperkirakan sekitar Rp 7.000.000.000.000,-. Jumlah dana ini
dirasa sudah cukup. Meskipun anggaran ini dianggap sebagai salah satu hambatan dalam
jalannya pembangunan. Sebab anggaran dapat dicairkan secara bertahap dan pencairannya dapat
dilakukan jika pembangunan telah berjalan sesuai ketentuan yang telah diatur sebelumnya.
Akhirnya pembangunan pun berjalan tersendat-sendat.
Di tahun 2018 ada program cetak sawah (Mina Padi) tetapi di tahun 2019 program
tersebut ditiadakan sebab tidak mudah menentukan wilayah yang akan diterapkan program ini.
Ada beberapa kriteria yang harus dipenuhi, di antaranya adalah sawah tersebut harus sudah
selesai dicetak dengan ukuran tertentu, ada pemukiman di sekitarnya untuk pengotrolan, dan
tersedianya debit air yang cukup. Kriteria ini cukup sulit sehingga akan sulit juga diterapkan
untuk wilayah-wilayah fokus yang belum tentu memenuhi kriteria. Untuk tahun 2020 akan
dibangunkan kembali irigasi dan tentu saja akan dibangun di wilayah fokus lainnya yang belum
tersentuh. Jumlah anggaran yang diajukan di tahun 2020 akan disesuaikan dengan yang
tercantum dalam Roadmap Eradikasi Schistosomiasis.
Dinas Tanaman Pangan dan Holtokultura Kabupaten Sigi. Dinas ini juga sama dengan Dinas
Pekerjaan Umum Penataan Ruang (PUPR) Kabupaten Sigi yang keduanya tidak ada kegiatan
terkait Schistosomiasis di tahun 2019. Alasan bencana alam juga yang menjadi penyebab
kegiatan tersebut ditiadakan.
3. Dinas Perkebunan dan Peternakan
Jumlah anggaran untuk pengendalian schistosomiasis Dinas Perkebunan dan Peternakan
Provinsi sebesar Rp. 615.000.000 sedangkan biaya yang tersedia di Dinas Pertanian dan
Peternakan Kabupaten Poso sebesar Rp. 2.334.000.000,- sedangkan Dinas Peternakan dan
Kesehatan Hewan Kab Sigi tidak ada.
Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten Poso. Untuk instansi ini ada dua bidang yang
diwawancarai untuk dimintai informasi mengenai program terkait Schistosomiasis, yaitu: Bidang

30
Peternakan (Kesehatan Hewan) dan Bidang Pertanian. Bidang Peternakan (Kesehatan Hewan)
memberikan penjelasan bahwa kegiatan mereka di tahun 2019 adalah pengobatan hewan yang
dilaksanakan di Lore Tengah, Lore Selatan, Lore Timur, Lore Utara, dan Lore Barat.
Dinas Peternakan Kabupaten sigi dalam hal ini kesehatan hewan yang terlibat langsung
kegiatan terkait Schistosomiasis. Tahun 2019 kegiatan diarahkan ke pengobatan hewan,
pengambilan sampel, penyuluhan, dan pemasangan spanduk. Pengobatan hewan dilakukan di 5
desa dengan obat 3000 dosis. Pengambilan sampel sebanyak 500 sampel yang semuanya
hasilnya negatif setelah dilakukan pemeriksaan di Balai Besar Veteriner Kabupaten Maros,
Sulawesi Selatan. Penyuluhan mengenai ternak dilakukan bersamaan dengan pengobatan. Dan
pemasangan spanduk agar menghindari daerah fokus sebanyak 3 lembar dipasang di Desa Anca,
Desa Puro, dan Desa Tomado. Semua kegiatan dapat terlaksana hingga Oktober 2019.
Kegiatan berjalan 85% dan ditargetkan selesai hingga November 2019. Longsor yang
terjadi ketika akan dilakukan pengobatan menyebabkan keakses masuk ke lokasi pengobatan
tidak dapat dilewati, sehingga pengobatan harus tertunda. Juga hewan ternak yang sulit
dikendalikan tanpa bantuan masyarakat setempa merupakan beberapa hambatan yang dihadapi
petugas ketika akan turun ke lapangan. Namun semuanya dapat teratasi. Instansi ini
menempatkan Schitosomiasis bukan sebagai program prioritas seperti halnya rabies atau flu
burung. Sebab penyakit ini adalah penyakit yang menyerang pada manusia, bukan pada hewan
(ternak).
Di Desa Anca (Lindu) sedang ada pembangunan Pusat Kesehatan Hewan (Puskeswan).
Sasarannya adalah untuk semua penyakit hewan. Tenaga penyuluhan dan kesehatan hewan juga
dilibatkan dalam pengobatan massal hewan untuk memberikan penyuluhan tentang hewan dan
membantu jalannya pengobatan. Keberlanjutan program di tahun 2020 adalah Puskeswan akan
menambah peralatan dan fasilitas lainnya, dan anggaran lainnya juga ditujukan untuk kegiatan
pendukung seperti sosialisasi dan lain-lain sesuai yang tertuang dalam Roadmap Eradikasi
Schistosomiasis.
4. Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR)
Jumlah anggaran kegiatan Dinas PUPR Provinsi sebesar Rp.444.000.000, rencana
kegiatan akan membuat drainase di Desa Lengkeka Kec. Lore Barat. Sedangkan anggaran
kegiatan schistosomiasis Dinas PUPR Kab. Poso sebesar Rp.12.506.747.900 sedangkan

31
anggaran schistosomiasis Dinas PUPR Kab. Sigi tidak ada, hal ini disebabkan semua kegiatan
pembangunan di kab.sigi khusus pemulihan bencana alam.
Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) Kabupaten Poso mengangarkan
untuk tahun 2019 membangunkan jalan, jembatan, saluran, rehabilitasi jalan, pemulihan irigasi,
dan saluran pembawa yang kesemuanya berkaitan dengan Schistosomiasis. Dengan masing-
masing progress: jalan 50%, jembatan 60%, saluran 70%, rehabilitasi jalan 65%, pemulihan
irigasi 75%, dan saluran pembuangan 85%. Dengan rincian kegiatan dan penganggaran sebagai
berikut:
- Pembangunan jalan dilaksanakan di Doda – Lelio dan Kolori – Lengkeka dengan jumlah
anggaran Rp 3.000.000.000,- yang bersumber dari DAU (DAK Reguler).
- Pembangunan jembantan dilaksanakan di Desa Tomehipi dengan anggaran sebesar Rp
1.750.000.000.- bersumber dari dana DAU (DAK Afirmasi).
- Saluran drainase (gorong-gorong) dibangun di Desa Tomehipi, Watutau, Kageroa, dan
Mekarsari dengan jumlah anggaran Rp 185.000.000,- dari dana DAU.
- Rehabilitasi (pemeliharaan jalan) dibangun di Desa Banyusari – Alitupu, Banyusari –Wuasa,
Tamadue – Mekarsari dengan jumlah anggaran 1.200.000.000,- dari dana DAU Afirmasi.
- Operasional dan pemeliharaan daerah irigasi di Desa Maholo dan Watutau dengan anggaran
sebesar Rp 55.000.000,- dari dana DAU.
- Pembangunan prasarana pengambilan dan saluran pembawa di Desa Maholo, Alitupu, dan
Watumaeta dengan jumlah anggaran Rp345.000.000,- dari dana DAU.
5. Dinas Kelautan dan Perikanan
Anggaran yang tersedia Dinas Kelautan dan Perikanan Propinsi sebesar Rp.200.000.000,
rencana kegiatan akan membangun kolam di Desa-desa endemis schistosomiasis. Dana yang
tersedia di Dinas Kelautan dan Perikanan Kab. Poso sebesar Rp.2.334.000.000, sedangkan dikab
sigi tidak tersedia anggaran khusus kegiatan schistosomiasis. Kegiatan pembuatan kolam dan
penyediaan bibit ikan dan pakan yaitu di Desa Maholo dan Desa Lengkeka.
Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Sulawesi Tengah. Instansi ini di tahun 2019
membanguna 3 buah kolam di Desa Maholo 2 dan Di Desa Lengkeka 1 buah. Pembangunannya
telah rampung 100% dan teah dipergunakan oleh masyarakat setempat. Pembangunan kolam ini
sesuai dengan titik fokus yang telah ditentukan dan juga telah terlaksana sesuai dengan target

32
yang telah direncanakan. Anggaran pembangunan bersumber dari APBD provinsi sebesar Rp
250.000.00,- termasuk pengadaan bibit ikan, biaya operasional, dan biaya monitoring.
Kegiatan Dinas Kelautan dan Perikanan Kab. Poso terkait Schistosomiasis untuk tahun
2019 per Oktober 2019 adalah pembuatan kolam tapi masih sementara dalam proses pelelangan.
Adapun rangkaian kegiatan berikut rincian penganggarannya di tahun 2019 untuk instansi ini
diuraikan di bawah ini:
- Percontohan Nila di kolam/tambak di Kecamatan Lore barat, Desa Tomehipi dengan
anggaran 110.000.000,-
- Percontohan Nila di kolam/tambak di Kecamatan Lore Selatan, Desa Bomba dengan anggaran
Rp 55.000.000,-
- Percontohan Nila di kolam/tambak di Kecamatan Lore Tengah, Desa Lempe dengan anggaran
Rp 110.000.000,-
- Percontohan Nila di kolam/tambak di Kecamatan Lore Peore, Desa Wanga dan Desa watutau
dengan anggaran 220.000.000,-
- Benih ikan Nila untuk restocking di Kecamatan Lore tengah, danau Tonawuwu, Desa Torire
dengan anggaran 60.000.000,-
- Bantuan bibit ikan di Desa Dodolo Kecamatan Lore Utarasebanyak 20.000 ekor dengan
anggaran Rp 12.000.000,-
Pembuatan kolam hingga pengadaan bibit ikan akan digunakan atau dikelola sendiri oleh
masyarakat nanti. Program dianggap sudah berjalan sesuai sasaran apabila kolam telah selesai
dibangun tepat di titik fokus. Program internal instansi yang turut serta dalam kegiatan ini adalah
penyuluhan perikanan dengan melakukan pendampingan ke masyarrakat agar kolam dapat
digunakan, bibit ikan dapat berproduksi, dan dapat menambah atau meningkatkan pendapatan
masyarakat.
Pembangunan kolam telah dilakukan sejak tahun 2018. Apabila pada tahun 2019 program
terealisasi, maka sudah ada tiga kolam yang dibangun oleh instansi ini sebagai rangkaian dari
kegiatan pengendalian schistosomiasis. Tetapi jumlah ini masih jauh dari target, masih banyak
desa sasaran program yang belum tersentuh, oleh karena anggaran yang terbatas. Koordinasi
dengan pusat dan provinsi berjalan dengan baik terkait anggaran dan program. Anggaran
pembuatan kolam bersumber dari DAK.

33
6. Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (PMD)
Dinas PMD Kab. Sigi adapun kegiatan terkait Schitosomiasis di tahun 2017 – 2018
dengan melaksanakan Pelatihan Kader dan Peningkatan Kapasitas Masyarakat yang juga
sasarannya untuk Schistosomiasis. Dari tahun 2017 hingga 2019 banyak anggaran
yangdikurangi. Ditengarai pengurangan anggaran disebabkan untuk rehabilitasi pascabencana
alam dan untuk keperluan Pilkada. Tahun 2019 biaya operasional hanya Rp 50.000.000,- untuk 3
kegiatan, yaitu: Musrembang Desa (Musyawarah Rencana Pembangunan Desa), Lomba Desa,
dan Bulan Bakti Masyarakat. Dana sedemikian dianggap sangat kurang sehingga banyak biaya
yang harus dipangkas. Beruntung ada Anggaran Dana Desa (ADD) yang bisa membantu untuk
beberapa operasional kegiatan. Anggaran yang sangat minim ini dianggap sebagai penghambat
yang paling berat untuk melaksanakan kegiatan. Schistosomiasis sebenarnya merupakan salah
satu program prioritas di instansi ini, meskpiun anggaran untuk itu tetap dikurangi.
Dinas Pemberdayaan Masyarakatan Desa (PMD) Kabupaten Poso. Untuk tahun 2019
PMD dibantu oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Litbangkes) Kabupaten
Donggala, memfasilitasi penyusunan Peraturan Desa (Perdes) mengenai Schistosomiasis. Setiap
desa didampingi untuk penyusunan hingga penetapan. Kemudian dilanjutkan dengan penyusunan
Rencana Tindak Lanjut (RTL) dari Perdes tersebut. Akan tetapi RTL ini belum rampung, masih
sementara dalam tahap penyusunan. RTL ini dilanjutkan oleh masyarakat desa secara mandiri
dengan pendanaan dari dana desa. Selain itu juga melakukan pelatihan untuk aparat desa dengan
narasumber dari Dinas Kesehatan.
Pelatihan ini bertujuan sebagai penggerak Schistosomiasis di desa. Anggaran
Penadampingan Penyusunan Perdes dan Pelatihan Aparat Desa didanai dari APBD. Kendala
yang ditemui di lapangan adalah masyarakat cenderung “dipaksa” untuk menyusun Perdesnya
masing-masing. ada beberapa desa yang penyusunannya cepat tetapi ada pula yang lambat,
sehingga mereka perlu didampingi. Dukungan daripusat untuk dua kegiatan ini belum ada. Untuk
itu diharapkan mendapatkan dukungan atau bantuan dari pusat berupa anggaran. Untuk kegiatan
tahun 2020 PMD juga masih akan memfasilitasi penyususnan Perdes tetapi untuk desa-desa lain
dengan jumlah anggaran yang masih dalam proses perencanaan.
7. Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah
BAPPEDA Provinsi Sulawesi Tengah sebagai leading sector untuk kegiatan ini telah
melakukan kegiatan-kegiatan koordinasi terkait pengendalian Schistosomisis bersama dengan

34
instansi-instansi terkait. Untuk tahun 2019 BAPPEDA Provinsi Sulawesi Tengah melaksanakan
rapat-rapat koordinasi dengan lintas sektor, melakukan monitoring dan evaluasi, serta pelaporan
untuk semua kegiatan termasuk yang terkait Schistosomiasis. Kegiatan yang berkaitan langsung
dengan Schistosomiasis di instansi ini tidak ada, dia hanya mengakomodir dan memediasi lintas
sektor untuk kegiatan-kegiatan terkait. Kendala yang ditemukan di lapangan adalah beberapa
program yang dilaksanakan oleh lintas sektor tidak tepat pada sasaran atau meleset dari titik
fokus. Seperti yang dikemukakan oleh Bapak Kepala Bagian Sosial-Budaya dari BAPPEDA
Provinsi Sulawesi Tengah, berikut ini:
“Kalau program...untuk Schisto...itu...kita kan cuma nomenkaltur program, tidak bisa
menyebut Schisto langsung. Tapi...memang ada anggaran yang kita sediakan untuk rapat-
rapat kordinasi. Dan memang di situ tupoksinya BAPPEDA. Rapat-rapat kordinasi. ......
Nah, itu kemarin, ada beberapa kegiatan yang dilakukan oleh perangkat daerah yang tidak
tepat sasaran. Setelah dievaluasi. Seperti kayak di Perikanan itu. Itu kan sebenarnya, apa?
Dana...DAK, Dekon itu ya yang bantuan bibit itu? Banatuan bibit kemarin dari Perikanan
Provinsi. Itu kan dia sampaikan toh? Waktu kita rapat toh? Ah...dia bilang memang
eh...waktu dia kasih turun itu bantuan bibit itu, mereka pikir itu sudah lokasi anu itu,
eh...Schisto. Fokus. Ternyata begitu diambil dari anu, petanya, ternyata bukan di situ. Ya,
bukan di situ. Salah sasaran. Nah, itu mereka...tapi ada 2...3 lokasi yang salah sasaran. ......
Ya, di Peri...kanan, kolam. Iya, betul. Yang di Anca itu betul.” (Wanwancara3 Oktober
2019).

Ada beberapa kendala yang dihadapi oleh instansi ini dalam melaksanakan program
terkait Schistosomiasis, yaitu:
1. Anggaran yang tersedia sangat kecil, bersumber dari APBD provinsi. Dari keseluruhan
anggaran sekitar RP 150.000.000.000,- hanya 5% untuk kesehatan. Jadi Schistosomiasis
hanya sebagian kecil saja dari 5% itu.
2. Untuk BAPPEDA, Schistosomiasis adalah program prioritas namun anggaran yang
dikucurkan sangat kecil sehingga sulit menyelesaikan semua target dengan dana yang sangat
terbatas.
3. Kurangnya koordinasi yang baik antarlintas sektor dalam melaksanakan kegiatan, sehingga
ada beberapa kegiatan yang meleset dari fokus.
4. Untuk lintas sektor, ada sebagian instansi yang menempatkan Schistosomiasis sebagai
program prioritas dan sebagian yang lain bukan prioritas sehingga dalam mengusulkan
anggaran mereka juga berlandaskan atas hal ini. Akan tetapi sebagian instansi mengajukan
anggaran yang besar untuk Schistosomiasis, namun setelah dananya cair, dananya justru
dialihkan ke program yang lain dan tidak diarahkan ke Schistosomiasis.
35
Program keberlanjutan di tahun 2020 untuk kegiatan terkait Schistosomiasis di
BAPPEDA Provinsi Sulawesi Tengah, masih terkait koordinasi, sosialisasi, dan monitoring,
diutamakan fokus ke kegiatan dari masing-masing OPD. BAPPEDA Kabupaten Sigi juga
melakukan koordinasi-koordinasi terkait Schistosomiasis. Tahun 2019 instansi ini bersama Dinas
Kesehatan memfasilitasi dan mengawasi pembangunan Puskeswan di Desa Anca (Lindu) dan
membagikan sepatu boot. Bersama Dinas PUPR membangunkan jalan pendukung dan irigasi,
bersama Dinas Peternakan membuatkan kandang ternak, bersama Dinas Perikanan membagikan
bibit ikan. Semua kegiatan terealisasi sesuai dengan tugas masing-masing OPD. Hambatan yang
dihadapi oleh instansi ini adalah peristiwa bencana alam yang melanda Kabupaten Sigi dan
sekitarnya pada tahun 2018 menyebabkan pembangunan Laboratorium Schistosomisis menjadi
tersendat-sendat. Selain itu akibat terjadinya bencana ini pula banyak anggaran yang
dialokasikan untuk rehabilitasi terutama perkantoran. Sebab sebagian besar bangunan berikut
sarana dan pra sarana perkantoran di Kabupaten Sigi mengalami rusak berat.
Selanjutnya instansi BAPPEDA Kabupaten Poso. Peranan instansi BAPPEDA
Kabupaten Poso sama halnya dengan peran BAPPEDA Kabupaten Sigi dan BAPPEDA Provinsi
Sulawesi Selatan. Bappeda hanya mengkoordinasikan program-program lintas sektor untuk
Pengendalian Schistosomiasis melalui rapat-rapat dan pertemuan-pertemuan. Selain itu juga
melakukan monitoring dan evaluasi kegiatan masing-masing OPD. Rapat-rapat ini memfasilitasi
tiap-tiap OPD melaksanakan programnya.
8. Balai Besar Taman Nasional Lore Lindu
Balai Besar Taman Nasional Lore Lindu (BBTNLL) dilibatkan dalam Program
Pengendalian Schistosomiasis sebagai perpanjangan tangan dari Dinas Kehutanan. Instansi ini
untuk tahun 2019 melaksanakan beberapa kegiatan, yaitu: (1) pemberdayaan masyarakat di area
sekitar fokus sebanyak 21 desa; (2) Pembersihan dua area fokus di Sedoa dan Lindu; (4) Agro-
engineering 6 desa di Lore Barat; dan (4) Penghijauan atau penanaman kembali. Kegiatan
penghijauan ini merupakan keberlanjutan dari kegiatan tahun 2018. Pada waktu itu juga
dicanangkan akan diadakan penghijauan. Namun karena terjadi bencana alam yang melanda
Kota Palu dan sekitarnya, sehingga kegiatan ini tidak dapat terlaksana. Sesungguhnya bencana
alam tidak berdampak bagi kawasan hutan tetapi berdampak besar bagi pelaku kegiatan,
sehingga kegiatan tidak dapat dilaksanakan. Untuk itulah maka tahun 2019 kegiatan ini akan

36
dilanjutkan kembali. Untuk penghijauan disiapkan anggaran sekitar Rp. 600.000.000,- untuk
pengadaan bibit dan biaya operasional.
Semua kegiatan masih sementara berjalan dengan progress yang berbeda-beda. Anggaran
yang dikucurkan untuk semua kegiatan dianggap masih minim sebab belum mampu meng-couter
21 desa sesuai dengan target yang direncanakan. Instansi ini menetapkan Schistosomiasis
sebagai program prioritas mereka, sehingga banyak kegiatan yang diarahkan ke
Pengendaliannya. Keberlanjutan kegiatan terkait Schistosomiasi di instansi ini untuk tahun 2020
belum terprogram. Masih sementara dalam proses perumusan. Direncanakan akan melanjutkan
agro-engineering dengan besaran anggaran yang juga masih sementara dirumuskan. Keseluruhan
anggaran berasal dari APBN dan tidak ada sumber anggaran lainnya baik dari pemerintah itu
sendiri atau pun dari pihak swasta.

4.2. Proses Pendampingan Penyusunan Peraturan Desa Tentang Demam Keong


Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2018 tentang
Penyelenggaraan Eradikasi Demam Keong, menegaskan bahwa Pemerintah Daerah memiliki
kewajiban menetapkan dan melaksanakan kebijakan penyelenggaraan Eradikasi Demam Keong,
serta melakukan advokasi dan sosialisasi untuk memantapkan komitmen dengan para penentu
kebijakan di tingkat daerah. Salah satu komitmen yang diharapan dari pemerintah daerah adalah
adanya regulasi tentang penanggulangan Demam Keong di tingkat desa yang dituangkan dalam
bentuk Peraturan Desa (Perdes). Perdes dirancang untuk meningkatkan penggunaan alat
pelindung diri pada masyarakat, meningkatkan cakupan pengumpulan tinja, meningkatkan
partisipasi masyarakat dalam pengobatan baik perorangan maupun massal, meningkatkan
pemanfaatan jamban, pengandangan hewan ternak (mamalia), dan mengurangi jumlah area fokus
keong.
1. Proses pembentukan
a. Tahapan
Pembahasan draft Peraturan Desa tentang Penanggulangan Demam Keong (Schistosomiasis)
mulai disusun dan dibahas bersama Organisasi Pemerintah Daerah (OPD) di Kabupaten Poso.
Pembahasan dilakukan oleh pemerintah Kecamatan Lore Barat dan seluruh Desa di Kecamatan
Lore Barat pada tanggal 11 April 2019 di Hotel Ancyra, bersama dengan Dinas Pemberdayaan
Masyarakat, Camat Lore Barat, Kepala Desa , BPD, Lembaga Adat Desa se-Kecamatan Lore
Barat. Pokok bahasan dalam pertemuan tersebut adalah membahas kembali materi batang tubuh

37
dalam Draft Rancangan Pertaturan Desa. Materi regulasi yang sepakat ditambahkan adalah
tentang pembentukan Tim Pengendalian Schistosomiasis Desa (Tim Peda’). Pada Tanggal 22-26
Juli 2019, draft Rancangan Perdes dikonsultasikan ke Bagian Hukum Sekretariat Daerah
Kabupaten Poso. Selanjutnya dilakukan finalisasi pembahasan draft Rancangan Perdes di Balai
Pertemuan Desa Lengkeka pada tanggal 6 Agustus 2019.
b. Peraturan Desa yang telah terbit
Dari enam desa yang ada di Kecamatan Lore Barat, semua desa telah mengesahkan dan
mengundangkan Perdes tentang Penaggulangan Demam Keong. Selengkapnya dapat dilihat pada
Tabel 2 berikut:
Tabel 2. Rincian Pengesahan Perdes Tentang Penanggulangan Demam Keong
(Schistosomiasis) oleh Masing-Masing Desa Tahun 2019

No Nama Desa Nomor Perdes Tanggal Perdes


1 Tuare 1 Tahun 2019 22 Juli 2019
2 Kageroa 3 Tahun 2019 10 Agustus 2019
3 Tomehipi 5 Tahun 2019 6 Agustus 2019
4 Lengkeka 3 Tahun 2019 14 Agustus 2019
5 Kolori 6 Tahun 2019 29 Agustus 2019
6 Lelio 5 Tahun 2019 15 Agustus 2019

c. Isi perdes mencakup tentang:


- Penggunaan Alat Pelindung Diri
- Cakupan Pengumpulan Tinja
- Cakupan Pengobatan
- Pemanfaatan Jamban
- Pengandangan hewan ternak
- Pembersihan area fokus keong O. hupensis lindoensis
d. Sosialisasi Peraturan Desa
Peraturan Desa tentang Penanggulangan Demam Keong (Schistosomiasis) telah
disosialisasikan ke masyarakat oleh masing-masing pemerintah desa di Kecamatan Lore
Barat dengan frekuensi yang berbeda. Frekuensi penyampaian Perdes paling sedikit yang
dilakukan oleh pemerintah desa sebanyak dua kali dan paling banyak empat kali. Sosialisasi
Perdes pada umumnya dilakukan pada rapat desa dan saat pelaksanaan ibadah. Adapun
rincian frekuensi sosialisasi Perdes oleh masing-masing desa dapat dilihat pada tabel
berikut:

38
Tabel 3. Frekuensi Sosialisasi Perdes Tentang Penaggulangan Demam Keong oleh
Masing-masing Desa

No Nama desa Frekuensi


1 Tuare 3 kali
2 Kageroa 3 kali
3 Tomehipi 4 kali
4 Lengkeka 2 kali
5 Kolori 2 kali
6 Lelio 3 kali

Setelah dilakukan sosialisasi oleh pemerintah desa ini terlihat dari hasil wawancara pada
sebagian masyarakat menunjukan bahwa umumnya sudah mengetahui tentang adanya Peraturan
Desa.
2. Hasil/Implikasi
a. Perubahan Perilaku
Dengan penerapan Peraturan Desa Penanggulangan Demam Keong terjadi perubahan sikap
pada masyarakat dalam kegiatan surveillans pada manusia dalam hal pengumpulan tinja.
Cakupan pengumpulan tinja manusia di Kecamatan Lore Barat tahun 2019 (dapat dilihat
pada tabel 4) mengalami peningkatan dibandingkan tahun 2018.

Tabel 4. Cakupan Pengumpulan Tinja Penduduk di Kecamatan Lore Barat Tahun 2018 dan 2019

JUMLAH CAKUPAN
JUMLAH PENDUDUK PENDUDUK
NO NAMA DESA
SASARAN MENGUMPULKAN MENGUMPULKAN
TINJA TINJA (%)
2018 2019 2018 2019 2018 2019
1 Lelio 341 330 284 262 83,28 79,39
2 Kolori 430 544 330 404 76,74 74,26
3 Lengkeka 751 691 410 497 54,59 71,92
4 Tomehipi 245 264 217 244 88,57 92,42
5 Kageroa 318 325 264 303 83,02 93,23
6 Tuare 434 387 341 323 78,57 83,46
*Sumber: Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Tengah, 2018 dan 2019

Peningkatan cakupan terjadi di Desa Tuare meningkat dari 78,57% menjadi 85%, Desa
Kageroa mengalami peningkatan dari 83,02% menjadi 93,23%, Tomehipi dari 88,57%
menjadi 90,7%, Lelio dari 83,28% menjadi 94%. Peningkatan paling besar terjadi di Desa

39
Lengkeka yaitu dari 54,59% menjadi 72,5%. Cakupan pengumpulan tinja di Desa Kolori
sedikit menurun dari 76,74% menjadi 74,26%. Hal tersebut karena ada warga yang keluar
wilayah dan tidak mengetahui batas akhir pengumpulan tinja, jadi masih ada warga yang
belum mengumpulkan tinja sampai selesai survei tinja di Kecamatan Lore Barat. Untuk
mengantisipasi hal tersebut untuk survei tinja berikutnya diharapkan ada surat resmi dari
puskesmas terkait kegiatan pengumpulan tinja manusia khususnya informasi tentang batas
waktu pengumpulan tinja.
Hasil wawancara dengan masyarakat menunjukan bahwa sejak diberlakukannya Perdes
umumnya masyarakat mulai memperhatikan pengumpulan tinja ketika diminta oleh petugas,
yang selama ini mereka seolah-olah tidak terlalu memperhatikan. Sehingga ketika ada
kegiatan pengumpulan tinja masyarakat antusias berpartisipasi. Selain itu, masyaralat selalu
berupaya menggunakan sepatu boot pada saat beraktivitas di kebun atau pada saat melintas
di wilayah fokus. Hasil wawancara menyebutkan masyarakat aktif menggunakan sepatu
boot ketika beraktivitas di kebun atau melintas di wilayah fokus. Seperrti kutipan
wawancara dengan salah seorang warga masyarakat Desa Lengkeka berikut ini:
“Jadi musti pakai jenggel...yang...selalu...pigi di...kemun. Ke mana-mana saja pakai
jenggel. Supaya tidak...” (Wawancara 3 Juli 2019)

b. Hasil survei prevalensi pada manusia


Survei prevalensi pada manusia telah dilaksanakan pada penduduk berusia dua tahun ke atas
di enam desa di Kecamatan Lore Barat. Cakupan pengumpulan tinja di setiap desa rata – rata
sudah mencapai target minimal oleh program, yaitu 80%. Hasil pemeriksaan tinja manusia
di Lore Barat tahun 2019 tidak ditemukan sampel tinja penduduk yang positif telur cacing
Schistosoma japonicum. Prevalensi manusia pada tahun 2018 sebesar 0,43% (delapan orang
dari 1.846 yang diperiksa) dan pada tahun 2019 tidak ditemukan kasus pada manusia
atau 0%.
c. Hasil survei prevalensi pada hewan
Survei tinja hewan dilaksanakan di enam desa di Kecamatan Lore Barat. Sampel tinja yang
dikumpulkan adalah dari 30 sampel dari setiap desa, terdiri atas tinja sapi, babi, anjing dan
kerbau. Hewan yang dipilih adalah hewan yang berada disekitar fokus keong. Jumlah hewan
setiap jenis berdasarkan proporsi jumlah hewan di setiap desa. Pemeriksaan sampel

40
dilakukan dengan metode di Laboratorium Helminthologi, Balai Litbangkes Donggala. Hasil
pemeriksaan sampel tinja hewan dapat dilihat pada tabel 5.

Tabel 5. Hasil Pemeriksaan Sampel Tinja Hewan dari Enam Desa di Kecamatan
Lore Barat, Tahun 2019

No Desa Sampel Hewan Hasil Pemeriksaan


Mamalia yang
diperiksa
Jenis Jumlah Sj Tt HW Asc Str Fg
1 Tuare Sapi 10 0 0 0 0 0 0
Babi 10 0 1 0 3 0 1
Anjing 10 0 0 6 2 0 0

2 Kageroa Sapi 13 0 0 0 0 0 5
Babi 13 0 0 2 3 0 0
Anjing 2 0 0 0 1 0 0
Kerbau 2 0 0 0 0 0 1

3 Tomehipi Sapi 10 0 0 0 0 0 0
Babi 10 0 0 6 3 0 1
Anjing 10 0 0 2 4 2 0

4 Lengkeka Sapi 6 0 0 0 0 0 0
Babi 12 0 0 4 4 0 0
Anjing 12 0 0 10 3 0 0

5 Kolori Sapi 9 0 0 1 0 0 1
Babi 20 0 1 7 5 2 0
Anjing 1 0 0 1 0 0 0

6 Lelio Sapi 15 0 0 0 0 1 6
Babi 15 0 0 13 2 0 0
Keterangan:
Sj: Schistosoma japonicum; Tt: Trichuris trichiura; HW: Hook worm
Asc: Ascaris sp.; Str: Strongylus sp.; Fg: Fasciola gigantica

Hasil pemeriksaan laboratorium terhadap sampel tinja hewan mamalia menunjukkan


bahwa tidak ditemukan infeksi schistosomiasis pada sampel hewan mamalia dari enam desa di
Kecamatan Lore Barat. Jenis cacing yang ditemukan pada sampel tinja hewan mamalia adalah
Trichuris trichiura, hook worm atau cacing tambang, Ascaris, Strongylus, dan Fasciola
gigantica.

41
4.3. Pembentukan Tim Pengendali Schistosomiasis (Tim Peda’)
Pengendalian schistosomiasis selama ini dilaksanakan oleh Dinas Kesehatan Provinsi
Sulawesi Tengah bersama dengan Dinas Kesehatan Kabupaten Poso dan Laboratorium
Schistosomiasis Lengkeka, belum banyak melibatkan masyarakat. Masyarakat perlu dilibatkan
dan diberdayakan dalam pengendalian schistosomiasis untuk mencapai eliminasi tahun 2024.
Dalam rangka peningkatan peran serta masyarakat dalam pengendalian schistosomiasis di tingkat
desa, dibentuk Tim Pengendalian Schistosomiasis Desa (Tim Peda’).
Tim pengendalian schistosomiasis desa (Peda’) dibentuk dengan tujuan untuk
melaksanakan kegiatan pengendalian schistosomiasis dan menggerakkan masyarakat dalam
kegiatan pengendalian schistosomiasis di tingkat desa. Pembentukan Tim Peda’ dimasukkan
dalam isi peraturan desa tentang pengendalian demam keong. Tim Pengendalian Schistosomiasis
Desa atau disebut dengan Tim Peda’ berasal dari bahasa daerah Bada yang berarti keong
pemakan serasah di dasar. Hal tersebut diibaratkan bahwa tim Peda’ akan bergerak dalam
pengendalian schistosomiais di tingkat bawah atau langsung di masyarakat. Tim Peda’ terdiri
atas kader schistosomiasis di setiap desa di Lore Barat. Jumlah anggota tim Peda’ disesuaikan
dengan kebutuhan setiap desa. Pada tahun 2019, jumlah tim Peda’ Desa Tuare, Kageroa, dan
Lengkeka masing – masing lima orang. Jumlah anggota Tim peda’ Desa Tomehipi sebanyak
empat orang, dan di Desa Kolori dan Lelio masing – masing tiga orang. Struktur tim Peda’ terdiri
atas satu ketua, satu sekretaris, dan anggota. Dalam melaksanakan tugasnya Tim Peda’
bertanggung jawab kepada kepala desa.
a. Pelatihan Tim Peda’
Tim Peda’ yang dbentuk perlu diberikan pelatihan untuk meningkatkan pengetahuan dan
keterampilan tim dalam pengendalian schistosomiasis. Berdasarkan hal tersebut, maka dilakukan
kegiatan pelatihan Tim Pengendalian Schistosomiasis Desa. Pelatihan telah dilaksanakan pada
tanggal 22 – 25 Juli 2019. Pelatihan yang diberikan berupa teori di kelas dan praktek baik di
Laboratorium Schistosomiasis Lengkeka maupun di lapangan untuk memberikan keterampilan
Tim peda’ dalam menjalankan tugasnya. Nara sumber pelatihan berasal dari Dinas Kesehatan
Kabupaten Poso, Balai Litbangkes Donggala, dan Laboratorium Schistosomiasis Lengkeka.
Terdapat peningkatan rerata nilai pre test (77) dan nilai post test (84,8) setelah pelatihan. Secara
statistik, pelatihan yang dilakukan dapat meningkatkan pengetahuan Tim Peda’ secara signifikan
tentang schistosomiasis dengan nilai p-value <0,001 (Tabel 6 dan 7).

42
Descriptive Statistics

N Mean Std. Deviation Minimum Maximum

nilai_pre 25 77,0000 13,14978 45,00 95,00


nilai_post 25 84,8000 9,94569 60,00 100,00

Test Statisticsb

nilai_post -
nilai_pre

Z -3,496a
Asymp. Sig. (2-tailed) ,000

a. Based on negative ranks.


b. Wilcoxon Signed Ranks Test

b. Kegiatan Tim Peda


Tim Peda’ juga dijelaskan mengenai tugas dan prosedur atau cara pelaksanaan setiap
tugas yang diberikan. Setelah dilakukan pelatihan, Tim peda’ masing-masing desa menyusun
rencana jadwal kegiatan dalam pelaksanaan tugas setiap bulan. Tim Peda’ melaksanakan tugas
sesuai jadwal yang dilaksanakan. Hasil kegiatan ditulis dalam buku kerja setiap tim, dan dibuat
laporan setiap bulan. Pelaksanaan tugas Tim Peda’ didampingi oleh petugas Laboratorium
Schistosomiasis yang sudah ditunjuk dan diberikan pelatihan dalam rangka sebagai pendamping.
Pendampingan dilaksanakan pada kegiatan surveilans keong berbasis masyarakat (tim
dari Desa Kolori dan Lelio belum pernah melakukan kegiatan survei keong, sehingga minta
untuk didampingi dalam kegiatan tersebut), kegiatan pembersihan daerah fokus (Gema Beraksi),
penyemprotan daerah fokus, survei tikus, dan pendampingan penyusunan laporan tim Peda’.
Pendampingan dilakukan oleh Tim Balai Litbangkes Donggala dan Laboratorium
Schistosomiasis Lengkeka. Hal tersebut karena ke depannya diharapkan implementasi bada
model dapat terus dijalankan meskipun kegiatan penelitian telah berakhir.
c. Hasil kegiatan Tim Peda’
1) Memberikan informasi kepada masyarakat terkait pengumpulan tinja. Tim Peda’ Desa
Tuare telah melaksanakan kegiatan sosialisasi untuk memberikan informasi kepada
masyarakat terkait pengumpulan tinja sebanyak tiga kali sebelum dilakukan kegiatan
pengumpulan tinja penduduk. Sosialisasi dilakukan di rumah ibadah dan balai desa.
Pemberian informasi di rumah ibadah dilakukan berdasarkan pembagian wilayah

43
kelompok jemaat, yaitu kelompok I dengan jumlah peserta 54 orang, kelompok II 60
peserta, kelompok III 56 peserta, dan kelompok IV sebanyak 63 peserta.
2) Memberikan informasi kepada masyarakat terkait pengobatan schistosomiasis. Tim Peda’
Desa Tuare telah melaksanakan kegiatan sosialisasi untuk memberikan informasi kepada
masyarakat terkait pengobatan schistosomiasis sebanyak dua kali sebelum dilakukan
pengobatan. Sosialisasi dilakukan di rumah ibadah dan balai desa.
3) Memberikan informasi kepada masyarakat terkait pembersihan daerah fokus. Tim Peda’
Desa Tuare telah melaksanakan kegiatan sosialisasi untuk memberikan informasi kepada
masyarakat terkait pembersihan daerah fokus pada hari sabtu dua kali sebulan. Sosialisasi
dilakukan di rumah ibadah dan balai desa maupun pengumuman dengan toa.
4) Memperbaharui data penduduk sasaran survei di wilayah binaan masing – masing setiap
triwulan. Tim Peda’ Desa Tuare, Kageroa, Lengkeka, Tomehipi, Kolori, dan Lelio telah
melaksanakan pembaruan data penduduk berdasarkan pembagian wilayah anggota Tim
Peda’ di setiap desa. Data penduduk yang dicatat dan dilaporkan ke Laboartorium
Schistosomiasis adalah yang berusia dua tahun ke atas dan berada di desa, bukan yang
keluar wilayah untuk waktu yang lama, misalnya kerja atau kuliah. Data penduduk tersebut
selanjutnya digunakan untuk dasar survei prevalensi pada manusia di Kecamatan Lore
Barat.
5) Membantu pembagian pot dan pengumpulan tinja. Kegiatan pembagian pot tinja penduduk
di semua desa di Lore Barat dilakukan pada bulan September sesuai jadwal yang
ditentukan oleh Puskesmas dan Laboratorium Schistosomiasis Lengkeka. Pembagian pot
tinja dilakukan berdasarkan pembagian wilayah tim Peda’ dan kader schistosomiasis. Pot
yang sudah terisi kemudian dijemput oleh Tim Peda’ dan kader schistosomiasis dan
dikumpulkan di rumah ketua tim Peda’ yang selanjutnya akan dijemput oleh petugas
Laboratorium Schistosomiasis Lore Barat.
6) Menggerakkan masyarakat dan membantu pelaksanaan pembersihan fokus (GEMA
BERAKSI) dengan pendampingan dari Laboratorium Schistosomiasis Lengkeka. Gema
Beraksi adalah kegiatan pemberantasan fokus keong schistosomiasis dengan prinsip
pemberdayaan, kemandirian dan kebersamaan, untuk melakukan kegiatan surveilans dan
kegiatan pencegahan, penanggulangan dan pemberantasan keong O. hupensis lindoensis
secara rutin dan terus menerus. Kegiatan Gema Beraksi dilakukan di empat desa di

44
Kecamatan Lore Barat dua kali sebulan. Tim Peda’ Desa Tuare membantu melaksanakan
kegiatan Gema Beraksi bersama masyarakat dan didampingi petugas Laboratorium
Schistosomiasis Lengkeka dua kali sebulan pada hari sabtu. Kegiatan pembersihan daerah
fokus dilakukan berdasarkan pembagian wilayah Tim Peda’. Kegiatan pembersihan daerah
fokus di kelompok / RT I diikuti oleh 40 prang, kelompok / RT II diikuti 51 orang,
kelompok / RT III diikuti oleh 45 orang, dan 53 orang di kelompok / RT IV. Lokasi Gema
Beraksi adalah di daerah fokus keong yang selama ini ditemukan di Desa Tuare, yaitu di
tujuh lokasi. Tim Peda’ Desa Kageroa melaksanakan kegiatan Gema Beraksi bersama
masyarakat dan didampingi petugas Laboratorium Schistosomiasis Lengkeka dua kali
sebulan pada hari sabtu. Kegiatan pembersihan daerah fokus di Desa Kageroa diikuti oleh
67 oang. Lokasi Gema Beraksi adalah di daerah fokus keong yang selama ini ditemukan di
Desa Kageroa, yaitu di tiga lokasi. Tim Peda’ Desa Tomehipi melaksanakan kegiatan
pembersihan daerah fokus dengan Gema Beraksi pada hari sabtu dua kali sebulan.
Kegiatan dilakukan di enam lokasi yang selama ini diketahui sebagaidaerah fokus keong
perantara schistosomiasis, berdasarkan pembagian wilayah Tim Peda’. daerah fokus keong
kampung baru dilaksanakan oleh kelompok RT I. RT II mendapatkan tugas di daerah
rembesan ke Sungai Lariang, RT III di daerah fokus keong durian, dan RT IV di daerah
fokus keong Dondo. Peserta kegiatan adalah tim Peda’ bersama masyarakat Desa
Tomehipi dengan didampingi petugas Laboratorium Schistosomiasis Lengkeka. Jumlah
peserta yang berpartisipasi dalam pembersihan daerah fokus adalah RT I (45 orang), RT II
( 43 orang), RT III (38 orang), dan RT IV (43 orang). Kegiatan pembersihan daerah fokus
di Desa Lengkeka dilakukan oleh Tim Peda’ bersama masyarakat didampingi oleh petugas
Laboratorium Schistosomiasis Lengkeka. Pembersihan daerah fokus dilakukan di lima
daerah fokus keong perantara schistosomiasis Desa Lengkeka.
7) Surveilans keong di daerah fokus dan luar daerah fokus yang menjadi wilayah binaannya
dengan pendampingan dari laboratorium schistosomiasis dan puskesmas. Survei keong di
Desa Tuare dilakukan di daerah fokus sagu seberang sungai Tuare dan daerah fokus sawah
Desa Tuare. Hasil survei tidak ditemukan keong Oncomelania hupensis lindoensis,
melainkan hanya keong yang mirip (ada garis merah di cangkangnya). Survei keong di
Desa Kageroa dilakuan di daerah fokus 1 (fokus sagu belakang SD Kageroa) dan fokus
bekas bak air bersih dekat lapangan. Hasil survei juga tidak ditemukan keong O. hupensis

45
lindoensis, melainkan hanya keong yang mirip (ada garis merah di cangkangnya). Survei
keong di Desa Lengkeka dilakukan di daerah fokus beringin. Hasil survei masih ditemukan
keong O.hupensis lindoensis, meskipun daerah fokus tersebut sudah sering dilakukan
pembersihan. Hasil pemeriksaan di laboratorium ditemukan satu keong mengandung
sporokista dari cacing S.japonicum dari sembilan keong yang diperiksa. Survei keong di
Desa Tomehipi dilakuan di daerah fokus kampung baru dan fokus ujung kampung. Hasil
survei juga tidak ditemukan keong O. hupensis lindoensis, melainkan hanya keong yang
mirip (ada garis merah di cangkangnya). Survei keong di Desa Kolori dilakukan di daerah
yang berpotensi sebagai daerah fokus keong perantara schistosomiasis, yaitu di daerah
becek di sekitar pohon sagu di dekat persawahan. Hal tersebut karena di Desa Kolori
belum ditemukan keong O.hupensis lindoensis. Hasil survei juga tidak ditemukan keong
O.hupensis lindoensis, tetapi keong lain dari jenis Sulawesidrobia sp. Survei keong di Desa
Lelio dilakukan di daerah yang berpotensi sebagai daerah fokus keong perantara
schistosomiasis, yaitu daerah becek di sekitar pohon sagu tidak jauh dari rumah penduduk.
Hal tersebut karena di Desa Kolori belum ditemukan keong O.hupensis lindoensis. Hasil
survei juga tidak ditemukan keong O.hupensis lindoensis, tetapi keong lain dari jenis
Sulawesidrobia sp.
8) Penyemprotan fokus keong perantara schistosomiasis dengan pendampingan dari
laboratorium schistosomiasis. Kegiatan penyemprotan keong dengan menggunakan
moluskisida dilakukan di empat desa di Lore Barat yang ditemukan keong perantara
schistosomiasis, yaitu Desa Tuare, Kageroa, Tomehipi, dan Lengkeka. Kegiatan
penyemprotan dilakukan dua kali sebulan, satu sampai dua hari setelah kegiatan
pembersihan daerah fokus dengan Gema Beraksi. Kegiatan penyemprotan dilakukan oleh
Tim peda’ dengan didampingi petigas Laboratorium Schistosomiasis Lengkeka. Alat dan
bahan yang digunakan untuk penyemprotan disediakan oleh Laboratorium Schistosomiasis
Lengkeka. Bahan yang digunakan adalah moluskisida Niclosamide dengan dosis 1 gram
per liter.
9) Sosialisasi schistosomiasis di acara adat/pesta. Sosialisasi schistosomiasis oleh Tim Peda’
di semua desa dilakukan satu kali satu bulan di balai desa pada saat dilakukan rapat desa.
Materi yang disampaikan adalah tentang penularan atau siklus hidup, gejala, pengobatan,
dan cara pencegahan schistosomiasis. Jumlah peserta yang hadir pada sosialisasi di Desa

46
Tuare sebanyak 215 orang, Desa Kageroa sebanyak 85 orang, Desa Tomehipi 55 orang,
Desa Lengkeka sebanyak 50 orang, desa Kolori 70 orang, dan Desa Lelio sebanyak 84
orang.
10) Pendampingan kegiatan sosialisasi oleh tim mobasa. Tim Peda’ semua desa di Kecamatan
Lore Barat melakukan pendampingan Tim Mobasa dalam melaksanakan sosialisasi pada
jemaat pada setiap hari minggu pada saat ibadah di gereja, maupun hari kamis pada saat
ibadah rumah kelompok jemaat. Materi yang disampaikan pada sosialisasi oleh Tim
Mobasa adalah tentang daur hidup cacing Schistosoma japonicum, cara penularan
schistosomiasis, gejala penyakit, cara pemeriksaan, pengobatan, dan pencegahan
schistosomiasis. Setelah dilakukan kegiatan sosialisasi oleh tim Mobasa, diharapkan
adanya peningkatan kesadaran jemaat terhadap bahaya schistosomiasis.
11) Pendampingan kegiatan sosialisasi oleh tim mepaturo. Tim Peda’ semua desa di
Kecamatan Lore Barat melakukan pendampingan sosialisasi tim Mepaturo pada anak
sekolah sesuai jadwal masing – masing. Pendampingan di Desa Tuare dilakukan pada hari
setiap hari Senin, Rabu, Sabtu di SD Tuare. Tim Peda’ Desa Kageroa melakukan
pendampingan tim Mepaturo pada setiap hari Kamis di SD Kageroa, Rabu dan Jumat di
SMP Satap Kageroa. Pendampingan tim Mepaturo di Desa Lengkeka dan Tomehipi
dilakukan pada hari yang sama, yaitu Senin, Rabu, dan Kamis di SD Lengkeka dan SD
Tomehipi. Tim Peda’ Desa Kolori melakukan pendampingan di SD Kolori pada hari
Kamis dan Jumat, sedangkan di SMP Kolori dilakukan pada setiap hari Jumat dan Sabtu.
Pendampingan di Desa Lelio dilakukan pada setiap hari Senin. Materi yang diajarkan
meliputi penyebab penyakit, siklus hidup cacing atau penularan schistosomiasis, gejala,
pengobatan, pemeriksaan, serta pencegahan schistosomiasis.
12) Kegiatan survei tikus. Tim Peda’ setiap desa melakukan kegiatan survei tikus satu kali
sebulan. Jumlah perangkap yang dipasang di setiap desa adalah 10 buah. Perangkap
dipinjam dari Laboratorium Schistosomiasis Lengkeka. Perangkap dipasang di daerah yang
sudah diketahui sebagai daerah fokus keong dan di daerah yang berpotensi sebagai daerah
fokus. Tikus yang tertangkap oleh Tim Peda’ dibawa ke Laboratorium Schistosomiasis
Lengkeka untuk diperiksa. Tikus yang tertangkap yaitu tiga ekor dari Desa Lengeka, empat
ekor dari Desa Kageroa, dan tiga ekor dari Desa Kolori. Berdasarkan hasil pemeriksaan

47
Laboratorium Schistosomiasis Lengkeka, belum ada tikus yang tertangkap oleh Tim Peda’
positif terinfeksi schistosomiasis.
13) Menginformasikan ke masyarakat mengenai Pemberian Obat Massal Pencegahan (POPM)
Schistosomiasis. Kegiatan tersebut dilaksanakan oleh Tim Peda di enam desa pada bulan
November, sesuai dengan jadwal POPM yang direncanakan pada Bulan November.
Kegiatan sosialisasi dilaksanakan di tempat ibadah dan di balai desa masing – masing.
14) Membantu pelaksanaan POPM Schistosomiasis.
Kegiatan POPM dilaksanakan di balai desa masing – masing desa pada Bulan November.
Tim Peda’ bersama dengan kader schistosomiasis setiap desa bertugas membantu tenaga
kesehatan dalam pelaksanaan POPM dalam hal pencatatan kartu pengobatan, dosis dan
waktu minum obat, pendampingan minum obat, dan membantu mengantarkan obat ke
warga yang kesulitan menuju balai desa untuk minum obat kedua. Data cakupan POPM
masih dalam proses penghitungan oleh petugas puskesmas dan laboratorium.
15) Membantu pelaksanaan sweeping POPM.
Kegiatan sweeping POPM dilaksanakan satu minggu setelah pelaksanaan POPM di setiap
desa. Tim Peda’ bertugas membantu memastikan warga yang belum minum obat pada saat
pelaksanaan POPM di balai desa karena sedang keluar wilayah. Kegiatan sweeping POPM
di Desa Kageroa menjaring 53 orang yang belum minum obat saat POPM, Desa Kolori 40
orang, Desa Lelio 40 dari 70 orang sudah minum obat pada saat sweeping POPM.
16) Membuat laporan kegiatan kepada kepala desa dan ditembuskan kepada camat dan kepala
puskesmas. Tim Peda’ melaporkan hasil kegiatan yang dilakukan setiap desa kepada
kepala desa setiap bulan sebagai bentuk pertanggung jawaban. Tim Peda’ setiap desa
menyusun laporan setiap bulan berdasarkan buku kerja yang telah ditulis sesuai dengan
kegiatan yang dilaksanakan. Laporan tersebut ditanda tangani oleh ketua tim dan kepala
desa masing – masing. Laporan tersebut selanjutnya ditembuskan ke Camat Lore Barat dan
Kepala Puskesmas Lengkeka.

d. Evaluasi tim Peda’


Kegiatan evaluasi dilakukan dengan cara pertemuan koordinasi dengan Tripika Lore
Barat, semua kepala desa di Lore Barat, dan Tim Peda’ semua desa untuk mengetahui
perkembangan dan evaluasi pelaksanaan tugas tim Peda’. Hasil evaluasi kegiatan yang dilakukan
Tim Peda :
48
1) Kegiatan yang dilakukan oleh Tim Peda’ meliputi survei keong, survei tikus, sosialisasi
schistosomiasis, pendampingan tim mepaturo dan tim mobasa, sensus penduduk, pembagian
dan pengumpulan pot tinja, pembersihan dan penyemprotan fokus keong.
2) Adanya perbedaan jumlah persentasi pengumpulan antara tim peda dan petugas
laboratorium sehingga perlu SOP pengumpulan tinja.
3) Tidak ada batas waktu pengumpulan tinja sehingga perlu dibuatkan surat dari puskesmas
batas pengumpulan tinja di masyarakat sehingga masyarakat yang tidak mengumpulkan
akan dikenakan sanksi sesuai perdes Demam Keong.
4) Insentif Tim Peda dimasukkan dalam ADD tahun 2020.

4.4. Pengendalian fokus keong Onchomelania hupensis lindoensis dengan modifikasi


lingkungan
a. Pembuatan drainase
Desa Lengkeka merupakan salah satu daerah endemis schistosomiasis di Kecamatan Lore
Barat dan terdapat lima daerah fokus keong O. hupensis lindoensis di desa tersebut. Salah satu di
antara lima daerah fokus keong telah dilakukan upaya pemberantasan dengan rekayasa
lingkungan, yaitu pembuatan drainase sepanjang 274 meter menggunakan dana Desa di Desa
Lengkeka. Pembangunan drainase tersebut dapat menghilangkan satu fokus posistif keong O.
hupensis lindoensis di Desa Lengkeka (fokus beringin).
b. Pembuatan kolam
Upaya pengendalian fokus keong di Desa Lengkeka selain pembuatan drainase adalah
pembuatan kolam seluas 60 m2 oleh Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Sulawesti Tengah.
Namun demikian, upaya tersebut belum berhasil menghilangkan seluruh keong O. hupensis
lindoensis, karena masih ditemukan keong O. hupensis lindoensis meskipun berukuran kecil.
Keong tersebut berasal dari air rembesan di sekitar kolam. Untuk menghilangkan keong O.
hupensis lindoensis maka perlu dibersihkan dan disemprot dengan moluskisida secara rutin
terutama saluran rembesan air yang mengalir pelan ke kolam.

49
1. Hasil/Implikasi
Jumlah fokus keong O. hupensis lindoensis di Dataran Tinggi Bada setelah dilakukan
intervensi dengan Pembentukan Tim Pengendali Schistosomiasis Desa, Gema Beraksi dan
Rekayasa Lingkungan mengalami penurunan. Jumlah selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6. Jumlah fokus keong O. hupensis lindoensis di Kecamatan Lore Barat,


Tahun 2019
No Desa Jumlah Jumlah Jumlah Jumlah fokus Jumlah fokus
fokus fokus fokus dilakukan (2019)
(2017) dibersihkan disemprot rekayasa
lingkungan
1
Tuare 8 8 8 0 0
2Kageroa 4 4 4 0 0
3Tomehipi 8 8 8 0 0
4Lengkeka 5 5 5 2 3
5Kolori 1 1 1 0 0
6Lelio 0 0 0 0 0
Jumlah 26 26 26 2 3

Gambar 1. Peta Distribusi Fokus Keong Perantara Schistosomiasis di Dataran Tinggi

50
Pada Gambar 1 terlihat penurunan jumlah fokus keong O. hupensis lindoensis dari 26
fokus keong O. hupensis lindoensis tahun 2017 menjadi tiga fokus keong O. hupensis lindoensis
tahun 2019. Penurunan jumlah fokus paling banyak di Desa Tuare dan Tomehipi. Desa yang
masih terdapat fokus keong O. hupensis lindoensis yaitu Desa Lengkeka, sedangkan desa-desa
lain sudah tidak ditemukan lagi fokus. Keong yang ditemukan di desa selain Desa Lengkeka
adalah Sulawesidrobia sp sesuai hasil konfirmasi oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
(LIPI). Surat konfirmasi dari LIPI terlampir.
Rencana pengendalian schistosomiasis setiap desa di Kecamatan Lore Barat dapat dilihat
pada tabel 7 berikut:
Tabel 7. Rencana Pengendalian Schistosomiasis Desa di Kecamatan Lore Barat Tahun
2020-2024
Tahun Sumber
No Kegiatan Kode fokus Dana
2020 2021 2022 2023 2024
Desa Lengkeka
1 Honor Tim Peda untuk 10 orang Dana Desa
(Rp. 200.000,- per orang) √ √ √ √ √
2 Pembuatan drainase (saluran air)
a. Ukuran ± 50 M C04301 Cipta Karya

Provinsi
C04401 √
b. Ukuran ± 500 M Dana Desa
C04201 √
3 Pembuatan jamban sebanyak 26 unit Cipta Karya

Provinsi
C04203 √ √ √ √ √
4 Pembersihan fokus (GEMA BERAKSI)
C04202 √ √ √ √ √
Desa Tomehipi
1 Honor Tim Peda untuk 4 orang √ √ √ √ √ Dana Desa
2 Pembuatan drainase di Fokus I (Sebelah 3BTB01 Dana Desa
kanan jalan masuk desa) √
3 Pembuatan drainase di fokus belakang 3BTL02 Dana Desa
rumah mantan pak Desa √
3BTB07,
3BTB083BTTL02,
4 Pembersihan fokus (GEMA BERAKSI) 3 BTB04, √ √ √ √ √
3BTB05, 3BTB06

Desa Tuare
1 Honor Tim Peda untuk 8 orang √ √ √ √ √
2 Pembuatan drainase Kincir √ Dana Desa

51
3 Pembuatan drainase C01302 √ Dana Desa
4 Pembuatan kolam ikan C01202 √ Dana Desa
5 Pembersihan fokus (GEMA BERAKSI) C01201, C01203,
C01304, C01301,
√ √ √ √ √
C0303, C0305

Desa Kageroa
1 Honor Tim Peda untuk 10 orang √ √ √ √ √ Dana Desa
2 Pembuatan drainase C02101, C02102, Dana Desa
C02302 √ √ √ √

3 Pembuatan kolam ikan C02301 √ Lintas sektor


Desa Lelio
1 Honor Tim Peda untuk 3 orang - √ √ √ √ √ Dana Desa
Desa Kolori
1 Honor Tim Peda untuk 10 orang - √ √ √ √ √ Dana Desa

4.5. Peningkatan Kapasitas Tenaga Kesehatan, Masyarakat dan Anak Sekolah


1. Tenaga Kesehatan
Pada penelitian ini dilakukan uji coba implementasi pengendalian schistosomiasis
berbasis masyarakat “Bada Model” di daerah endemis Bada. Implementasi “Bada Model”
meliputi enam kegiatan besar, yaitu penyusunan regulasi desa/perdes pengendalian
schistosomiasis, peran guru atau tim mepaturo dalam mengajarkan materi schistosomiasis pada
anak sekolah di daerah endemis, peran tokoh agama atau tim Mobasa, pembentukan tim
pengendalian schistosomiasis desa atau tim Peda’, kegiatan lomba desa, dan pengendalian
schistosomiasis oleh lintas sektor.
Implementasi Bada Model di daerah endemis schistosomiasis membutuhkan tenaga
pendamping dari petugas puskesmas dan Laboratorium Schistosomiasis. Hal tersebut bertujuan
supaya pelaksanaan implementasi Bada Model dapat melibatkan semua unsur baik di puskesmas,
laboratorium schistosomiasis, dan tim bada model yang sudah dibentuk. Hasil yang diharapkan
adalah sistem surveilans khususnya schistosomiasis dapat berjalan dengan baik di wilayah
Kabupaten Poso, baik dari pelaporan kasus maupun pengendalian schistosomiasis. Dalam rangka
menyiapkan tenaga pendamping tersebut maka dilakukan pelatihan pengendalian dan surveilans
schistosomiasis bagi petugas puskesmas dan Laboratorium Schistosomiasis.
Implementasi Bada Model di daerah endemis schistosomiasis membutuhkan tenaga
pendamping dari petugas puskesmas dan Laboratorium Schistosomiasis. Hal tersebut bertujuan

52
supaya pelaksanaan implementasi Bada Model dapat melibatkan semua unsur baik di puskesmas,
laboratorium schistosomiasis, dan tim bada model yang sudah dibentuk. Hasil yang diharapkan
adalah sistem surveilans khususnya schistosomiasis dapat berjalan dengan baik di wilayah
Kabupaten Poso, baik dari pelaporan kasus maupun pengendalian schistosomiasis.
Dalam rangka menyiapkan tenaga pendamping tersebut maka dilakukan pelatihan
pengendalian dan surveilans schistosomiasis bagi petugas puskesmas dan Laboratorium
Schistosomiasis. Tujuan pelatihan adalah untuk menyiapkan tenaga pendamping Implementasi
Bada Model dari petugas puskesmas dan laboratorium schistosomiasis. Kualifikasi tenaga yang
dilatih surveilans dan pengendalian schistosomiasis adalah penanggung jawab program
schistosomiasis, surveilans, promkes, UKS, program upaya kesehatan masyarakat. Kegiatan
pelatihan surveilans dan pengendalian schistosomiasis dilaksanakan di ruang pertemuan
Laboratorium Schistosomiasis Lengkeka, Lore Barat. Jumlah peserta terdiri atas 20 orang, terdiri
dari staf Puskesmas Lengkeka (lima orang), Laboratorium Schistosomiasis Lengkeka (sembilan
orang), dan bidan desa (enam orang). Nilai rerata pre-test adalah 89,5 dan post test adalah 93,25.
Pengetahuan para petugas puskesmas dan laboratorium tentang schistosomiasis meningkat
signifikan secara statistik setelah pelatihan, dengan nilai p-value sebesar 0,001 (Tabel 8 dan 9).
Descriptive Statistics

N Mean Std. Deviation Minimum Maximum

nilai_pre 20 94,2500 4,94043 85,00 100,00


nilai_post 20 98,2500 2,93571 90,00 100,00

Test Statisticsb
nilai_post -
nilai_pre

Z -3,418a
Asymp. Sig. (2-tailed) ,001

a. Based on negative ranks.


b. Wilcoxon Signed Ranks Test

Setelah pelatihan juga tersusun rencana tindak lanjut dan komitmen petugas puskesmas,
laboratorium schistosomiasis dan bidan desa terkait pengendalian dan surveilans schistosomiasis,
yaitu:

53
1. Pelaporan surveilans aktif dan surveilans pasif mengikuti alur pelaporan yang akan
dikeluarkan oleh Dinas Kesehatan Kabupaten Poso, berlaku mulai Januari 2020
2. Pelaksanaan survei tinja, survei tikus, dan survei keong mengikuti SOP yang ditetapkan
(Panduan dan SOP dikeluarkan oleh Dinas Kesehatan Kabupaten Poso)
3. Puskesmas diharapkan mengembangkan inovasi dalam upaya pengendalian schistsomiasis.
Pendampingan puskesmas dan laboratorium schistosomiasis untuk Bada Model diharapkan
terus berkelanjutan. Bisa juga inovasi misalnya kotak pot untuk menyimpan pot tinja di depan
rumah penduduk, supaya tidak ada lagi warga yang tidak tau ada pot dibagi oleh kader.
4. Kegiatan promotif dan pemberdayaan masyarakat menjadi kegiatan terintegrasi antar program
di puskesmas
5. Peningkatan kapasitas petugas puskesmas, laboratorium schistosomiasis, dan bidan desa
diharapkan dapat dievaluasi secara berkala oleh kepala puskesmas
6. Seluruh peserta harus mampu menyampaikan informasi yang benar dan jelas terkait
pencegahan dan pengendalian schistosomiasis.
7. Kesinambungan program pengendalian schistosomiasis oleh Dinas Kesehatan Kabupaten
Poso, termasuk dalam peningkatan kapasitas petugas puskesmas, petugas laboratorium
schistosomiasis.

2. Masyarakat (MOBASA)
Upaya pengendalian schistosomiasis dilakukan dengan berbagai cara dan pendekatan,
salah satu cara yang ditempuh adalah dengan meningkatkan kapasitas masyarakat tentang
schistosomiasis melalui peran tokoh agama, dalam bahasa Bada biasa di sebut dengan mobasa.
Keterlibatan tokoh agama dalam upaya pengendalian schistosomiasis sangatlah penting,
mengingat schistosomiasis adalah penyakit yang sangat berkaitan dengan perilaku hidup
masyarakat, khususnya masyarakat yang sering beraktivitas di sekitar daerah fokus keong. Untuk
mengoptimalkan peran mobasa dalam pengendalian schistosomiasis dilakukan beberapa kegiatan
yaitu pelatihan, sosialisasi dan pendampingan saat tim mobasa melakukan sosialisasi
schistosomiasis pada masyarakat.
Pembentukan tim mobasa (tokoh agama) bersama dengan tim mepaturo (kelompok guru)
dilakukan oleh tim peneliti bersama petugas Dinas Kesehatan Kabupaten Poso, aparat desa dan
pemerintah Kecamatan Lore Barat. Sosialisasi dan pembentukan tim mobasa dihadiri oleh 12
mobasa dari masing-masing desa, bertujuan untuk mengajak tokoh agama ikut berperan serta
54
dalam pengendalian schistosomiasis melalui implemetasi bada model di Kecamatan Lore Barat.
Hasil diskusi kegiatan sosialisasi tim peneliti dan tim mobasa sebagai berikut :
- Peran mereka sebagai tokoh agama dalam pengendalian schistosomiasis adalah bentuk
tanggung jawab dan pengabdian mereka pada Tuhan dan bukan merupakan beban moral.
Sosialisasi schistosomiasis akan terus dilakukan dalam setiap kesempatan pada saat kegiatan
ibadah gereja maupun ibadah rumah.
- Tim Mobasa menginginkan sosialisasi dengan menggunakan media audio visual berupa
pemutaran film, poster, leaflet dan penyampaian materi dengan menggunakan in focus, hal ini
dilakukan guna mengenalkan kepada masyarakat tentang schistosomiasis secara umum.
Sosialisasi menggunakan media audio visual tidak seterusnya dilakukan.
- Sosialisasi schitosomiasis berdasarkan pada kelompok kategorial yaitu terdiri dari anak-anak,
remaja, pemuda, perempuan, dewasa dan lansia. Materi schistosomiasis dalam bahasa
sederhana, singkat dan mudah dimengerti, karena bagi tim mobasa materi yang disampaikan
dan dibagikan dalam bentuk modul sangat sulit mereka pahami karena isinya terlalu ilmiah
dan penjelasannya terlalu luas. Sosialisasi yang diinginkan pada kategorial anak-anak sekolah
minggu adalah alat peraga (poster, buku. gambar, permainan di alam terbuka, pemutaran
film). Sosialisasi yang diinginkan kategorial orang dewasa dan yang lainnya adalah dalam
bentuk penyampaian secara langsung pada jemaat dan pemutaran film, pembagian poster dan
leaflet.
- Tim Mobasa menginginkan materi schistosomiasis dalam bentuk power point dari tim peneliti
dalam bentuk soft file. Materi berisikan sejarah schistosomiasis, cara penularan, gejala dan
cara pencegahannya dengan bahasa sederhan, singkat dan mudah dipahami oleh jemaat.
Sosialisasi menggunakan in-focus tidak akan dilakukan terus menerus melainkan sebagai
pengenalan tahap awal tentang schistosomiasis kepada jemaat, agar selanjutnya pada saat
penyampaian sosialisasi masyarakat cukup mengerti apa penyebab schistosomiasis bagaimana
cara penularan dan pencegahannya.
- Tim Mobasa menyusun jadwal kegiatan sosialisasi dan materi schistosomiasis sesuai yang
mereka pahami, sebagaimana dikemukakan oleh tokoh agama dari Desa Tomehipi berikut ini;
“Sejak kami mengikuti pelatihan schistosomiasis minggu kemarin oleh tim kesehatan, terus
terang kami sudah mensosialisasikan tentang schisto di organisasi-organisasi pada
persatuan perempuan. Dalam kategorial ada kelompok anak-anak, remaja, sekolah
minggu. sudah beberapa kami sampaikan ciri-ciri keong dan cara mengantisipasinya”.

55
Kegiatan sosialisasi schistosomiasis oleh tim mobasa sebagai berikut :
- Sosialisasi schistosomiasis oleh mobasa Tomehipi dilakukan pada kelompok kategorial anak-
anak, dewasa dan pada kelompok ibadah umum dengan cara ceramah dan pemutaran film
schistosomiasis pada anak-anak.
- Sosialisasi schistosomiasis oleh mobasa Kolori dilakukan pada kelompok muslim dan Kristen.
Pada kelompok muslim sosialisasi dilakukan pada malam jumat setiap kegiatan pengajian,
setelah shalat magrib sampai menjelang shalat isha. Demikian juga pada kelompok anak-anak.
Untuk kelompok Kristen telah dilakukan pada kegiatan ibadah umum dan kategorial bapak.
- Sosilasisasi Desa Lengkeka dilakukan oleh majelis agama (penatua) pada kelompok Efrat
yang dihadiri oleh orang dewasa, remaja dan anak-anak, dengan jumlah peserta sekitar 50
orang. Materi yang disampaikan meliputi pengenalan keong perantara Oncomelania hupensis
lindoensis dan cacing schistosoma japonicum, daerah fokus, penularan penyakit, upaya
pencegahan penyakit, pengumpulan tinja dan pengobatannya. Media yang digunakan berupa
modul dan leaflet dalm bentuk ceramah.
- Sosialisasi schistosomiasis pada kelompok kategorial di Desa Tuare dilakukan pada kelompok
kategorial anak-anak, remaja dan kegiatan ibadah umum di gereja.
- Sosialisasi schistosomiasis oleh mobasa Desa Lelio dilakukan sesuai jadwal yang telah di
susun pada kegiatan ibadah umum di gereja, kelompok kategorial dewasa, perempuan dan
lansia.
- Kegiatan sosialisasi schistosomiasis di Desa Kageroa dilakukan oleh pendeta dan majelis pada
kelompok kategorial dewasa dan kegiatan ibadah umum di gereja.
Pendampingan dilakukan untuk mengetahui kapasitas tim mobasa dalam memberikan
materi schistosomiasis. Pendampingan dilakukan sesuai jadwal yang telah di susun oleh tim
mobasa. Hasil Pendampingan kegiatan sosialisasi dapat diliihat pada tabel 8 dibawah ini.
Tabel 8. Pendampingan Sosialisasi Schistosomiasis oleh Tim Mobasa
di Kecamatan Lore Barat Tahun 2019

Desa Proses Keterangan


Kageroa - Sosialisasi dilakukan pada kelompok kategori Tempat sosialisasi di rumah
dewasa dengan jumlah jemaat 30 orang. warga oleh tim mobasa dan
- Sosialisasi dilakukan setelah kegiatan ibadah penatua (pelayan ibadah)
khotbah selesai
- Penyampaian materi schistosomiasis cukup
baik, Tim mobasa cukup menguasai materi

56
schistosomiasis khususnya tempat habitat
keong O.h. lindoensis, gejala, penyebab, cara
pencegahan, penularan dan pengobatan
schistosomiasis
- Himbauan pada jemaat untuk aktif dalam
pengumpulan tinja dan pengobatan
schistosomiasis
Tuare - Sosialisasi pada kelompok kategorial anak-anak
dan remaja
- Sosialisasi terkait schistosomiasis dilakukan
setelah khutbah selesai, dengan media
pemutaran film schistosomiasis, selain itu
melalui media gambar pada lefleat
menjelaskan tentang bentuk keong, gejala dan
cara penularan schistosomiasis. Penyampaian
materi di tekankan bagaimana cara hidup sehat,
tidak BAB (buang air besar) disembarang
tempat khususnya di tempat berair seperti
sungai, tidak melewati daerah fokus keong dan
tidak diperbolehkan main di fokus, cara
serkaria masuk dalam tubuh manusia. Ibu
desmin menekankan akan kesadaran anak-
anak/remaja untuk tetap menjaga kesehatan dan
merupakan sebagian dari bentuk ibadah.
- Bahasa yang digunakan dalam bahasa
Indonesia dan digabungkan dengan bahasa
daerah. Sosialisasi di awali dengan pembacaan
firman tuhan ayat 29 tentang kejadian
penciptaan tuhan terhadap langit dan bumi,
kemudian di kaitkan dengan penciptaan
tumbuh-tumbuhan, hewan salah satunya adalah
keong. Seterusnya dijelaskan dalam bahasa
daerah sambil menunjukkan gambar pada
modul seperti Bontena yaitu perut besar kalau
sudah tertular schistosomiasis, misua pori-pori
artinya cacing masuk di pori-pori dan Lalu
Pope berkembang di dalam perut dan jika tidak
di obati akan meninggal (Matemoke). Di
anjurkan anak-anak untuk melakukan batena isi
kato (isi kotoran dalam pot) dan menyuruh
anak-anak untuk berparitisipasi dalam
pengisian pot tinja.
Lengkeka Pendampingan pada kelompok Efrat. Sosialisasi
dihadiri oleh orang dewasa, remaja dan anak-
anak, dengan jumlah peserta sekitar 50 orang.
Materi yang disampaikan meliputi pengenalan
keong perantara Oncomelania hupensis
lindoensis dan cacing schistosoma japonicum,
daerah fokus, penularan penyakit, upaya
pencegahan penyakit, pengumpulan tinja dan
pengobatannya. Media yang digunakan berupa

57
modul dan leaflet. Selain itu, dalam
penyampaian materi mobasa juga menggunakan
bahasa daerah

Lelio - Pendampingan tidak dilakukan


Sudah melakukan sosialisasi
sesuai jadwal
Tomehipi Pendampingan sosialisasi pada anak-anak sekolah
minggu dan ibadah umum di gereja Sosialisasi
dihadiri oleh 32 orang anak dan 60 jemaat.
Materi yang disampaikan berupa pengertian
schistosomiasis, keong perantara, cara
pencegahan, dan pengumpulan tinja. Sosialisasi
disampaikan dengan menggunakan bahasa
daerah agar lebih mudah dipahami oleh anak-
anak dan jemaat lainnya. Dalam sosialisasi
anak-anak diajak untuk menonton film
schistosomiasis agar mereka lebih memahami
schistosomiasis. Sosialisasi berjalan dengan
dengan baik dan anak-anak mengikuti
sosialisasi dengan semangat.

Kolori Melakukan pendampingan di desa Kolori pada K -


pukul 11.00-12.00 siang. Sosialisasi dipimpin
langsung oleh mobasa Kolori, Sosialisasi di
rumah warga. Jemaat yang hadir berjumlah 18
orang. Di awali dengan penyampaian firman
tuhan yang berkaitan dengan kesehatan
manusia, kemudian di kaitkan dengan
schistosomiasis meliputi penyebab, gejala, cara
pencegahan, penularan dan pengobatan,
menganjurkan jemaat untuk turut berparitipasi
dalam pengumpulan tinja dan pengobatan.
Bahasa yang digunakan saat sosialisasi adalah
bahasa Bada dan bahasa Indonesia.

Pre test dan post test pada masyarakat dilaksanakan di Kecamatan Lore Barat yaitu Desa
Lengkeka, Tuare, Kageroa, Tomehipi, Lelio dan Kolori. Responden dari masing-masing desa
berjumlah 30 responden, total responden 180 orang. Dasar pemilihan responden berdasarkan
purposive sampling dengan jumlah sampel minimal 30 sampel perdesa. Isi pertanyaan pre-post
test meliputi cara penularan, pencegahan, gejala, perkembangbiakan keong, cara pengisian pot
tinja, nama obat schistosomiasis, dan upaya untuk menghilangkan daerah fokus keong. Hasil pre
dan post test masing-masing desa sebagai berikut:

58
83,83
90 79,33
78 79,83 82,17 81,17
76,33
80 71 70,67 72,83
69,33
70 61,17
60
50 pre
40 post
30
20
10
0
Tuare Kageroa Tomehipi Lengkeka Kolori Lelio

Gambar 2. Nilai Rata-Rata Pre-Post Test Masyarakat di Kecamatan Lore Barat


Tahun 2019

Grafik di atas menunjukkan nilai rata-rata pre dan post test masyarakat tentang
schistosomiasis. Hasil pre test tertinggi adalah desa Tomehipi 79,83 dan terendah desa Lengkeka
61,17. Hasil post-test tertinggi terkait schistosomiasis adalah desa Lelio 83,83 dan terendah desa
Lengkeka 69,33. Peningkatan pengetahuan masyarakat tentang schistosomiasis meningkat secara
signifikan dengan nilai p-value sebesar 0,001.
Paired Samples Statistics

Mean N Std. Deviation Std. Error Mean

Pair 1 Skor_Pre 71,34 152 14,662 1,189

Skor_Post 78,58 152 14,923 1,210

Paired Samples Test

Paired Differences

95% Confidence Interval

Std. Std. Error of the Difference Sig. (2-


Mean Deviation Mean Lower Upper t df tailed)

Pair 1 Skor_Pre - -7,237 13,836 1,122 -9,454 -5,020 -6,449 151 ,000
Skor_Post

59
Pengetahuan responden tentang schistosomiasis sebelum dilakukannya sosialisasi
schistosomiasis oleh tokoh agama (mobasa) dapat dilihat pada tabel 9. Dari 30 responden,
sebagian besar mengetahui istilah lain dari penyakit schistosomiasis, cara penularannya, orang
yang memiliki risiko terkena schistosomiasis, cara pencegahan, nama obat dan tempat
mendapatkan pengobatan schistosomiasis. Sebanyak 78,9 % responden tidak mengetahui tempat
habitat keong, 70 % tidak mengetahui jumlah pot tinja yang harus di isi, 98,3 % mengetahui
gejala atau tanda-tanda orang tertular schistosomiasis, 97,8% tahu cara pecegahan
schistosomiasis, 89,4 % tahu nama obat schistosomiasis.

Tabel 9. Pengetahuan Responden Sebelum Sosialisasi di Kecamatan Lore Barat Tahun 2019
PENGETAHUAN Tidak Tahu Tahu
No. Jumlah % Jumlah %
1. Nama Lain schistosomiasis 15 8,3 165 91,7
2. Penyebab schistosomiasis 38 21,1 142 78,9
3. Nama keong perantara 77 42,8 103 57,2
4. Stadium cacing schistosomiasis 109 60,6 71 39,4
5. Cara penularan schsitosomiasis 21 11,7 159 88,3
6. Orang yang berisiko terkena 0 0,0 180 100,0
schistosomiasis
7. Binatang yang bisa terinfeksi 53 29,4 127 70,6
schistosomiasis
8. Habitat keong penular schistosomiasis 142 78,9 38 21,1
9. Yang bukan habitat keong perantara 46 25,6 134 74,4
10. Gejala atau tanda-tanda terkena 3 1,7 177 98,3
schistosomiasis
11. Cara pemeriksaan schistosomiasis 20 11,1 160 88,9
12. Jumlah pot tinja 126 70,0 54 30,0
13. Cara pengisian pot tinja 19 10,6 161 89,4
14. Nama obat schistosomiasis 19 10,6 161 89,4
15. Tempat pengambilan obat 4 2,2 176 97,8
16. Daerah schistosomiasis 86 47,8 94 52,2
17. Kasus pertama schistosomiasis 110 61,1 70 38,9
18. Daerah fokus schistosomiasis 12 6,7 168 93,3
19. Cara pencegahan schistosomiasis 4 2,2 176 97,8
20. Upaya pemberantasan fokus 105 58,3 75 41,7

Tabel 10 di bawah ini menunjukkan hasil post test responden setelah kegiatan sosialisasi
oleh tim mobasa. Ditemukan adanya peningkatan pengetahuan responden terkait schistosomiasis,
yaitu cara pencegahan, daerah fokus keong, dan gejala penyakit schistosomiasis. Sebanyak

60
82,2 % dari responden masih kurang mengetahui hal terkait tempat habitat keong perantara
schistosomiasis.

Tabel 10. Pengetahuan Responden Sesudah Sosialisasi di Kecamatan Lore Barat


Tidak Tahu Tahu
No. PENGETAHUAN
Jumlah % Jumlah %
1. Nama Lain schistosomiasis 8 4,4 172 95,6
2. Penyebab schistosomiasis 52 28,9 128 71,1
3. Nama keong perantara 68 37,8 112 62,2
4. Stadium cacing schistosomiasis 92 51,1 88 48,9
5. Cara penularan schsitosomiasis 9 5,0 171 95,0
6. Orang yang berisiko terkena schistosomiasis 13 7,2 167 92,8
7. Binatang yang bisa terinfeksi schistosomiasis 40 22,2 140 77,8
8. Habitat keong penular schistosomiasis 148 82,2 32 17,8
9. Yang bukan habitat keong perantara 41 22,8 139 77,2
Gejala atau tanda-tanda terkena 2,2
10. 4 176 97,8
schistosomiasis
11. Cara pemeriksaan schistosomiasis 19 10,6 161 89,4
12. Jumlah pot tinja 23 12,8 157 87,2
13. Cara pengisian pot tinja 9 5,0 171 95,0
14. Nama obat schistosomiasis 11 6,1 169 93,9
15. Tempat pengambilan obat 4 2,2 176 97,8
16. Daerah schistosomiasis 39 21,7 141 78,3
17. Kasus pertama schistosomiasis 70 38,9 110 61,1
18. Daerah fokus schistosomiasis 5 2,8 175 97,2
19. Cara pencegahan schistosomiasis 2 1,1 178 98,9
20. Upaya pemberantasan fokus 100 55,6 80 44,4

Jumlah responden 30 orang dari masing-masing desa, sebanyak 85.6 % responden telah
mengikuti sosialisasi schistosomiasis dan 14.4 % yang tidak pernah ikut sosialisasi. Alasan
responden yang tidak pernah mengikuti sosialisasi yaitu belum ada sosialisasi dari mobasa,
pernah mendapatkan informasi schistosomiasis dari kader dan petugas kesehatan, pernah ikut
kegiatan schistosomiasis, serta alasan lainnya karena sering keluar kota.
Secara keseluruhan informasi yang di peroleh responden saat mengikuti sosialisasi dari
tim mobasa meliputi tempat atau daerah fokus keog, ciri orang terinfesi schistosomiasis, cara
pencegahan schistosomiasis, penularan schistosomiasis, bahaya penyakit keong pada manusia,
anjuran minum obat dan periksa tinja, dan cara melindungi diri dengan menggunakan sepatu
boot serta membersihkan saluran air.

61
3. Anak Sekolah (Tim Mepaturo)
Upaya untuk mengeliminasi schistosomiasis telah dilakukan dengan berbagai cara dari
tahun ke tahun. Untuk tahun 2019 salah satu upaya yang dilakukan adalah melakukan uji coba
implementasi pengendalian schistosomiasis berbasis masyarakat di daerah endemis Bada atau
yang disebut “Bada Model”. Kegiatan yang dilakukan dalam Bada Model yakni Regulasi Desa
(Perdes), Pembentukan Tim pengendali schistosomiasis desa, pemberian materi schistosomiasis
pada anak sekolah, dan peran tokoh agama. Pemberian materi schistosomiasis pada anak sekolah
dasar dan sekolah menengah pertama diharapkan dapat membantu meningatkan pengetahuan
siswa dan diharapkan para siswa dapat menyebarluaskan pengetahuannya ke orangtua, keluarga,
teman sepermainan. Sehingga dapat menurunkan angka prevalensi schistosomiasis dan
peningkatan cakupan pengumpulan tinja serta minum obat schistosomiasis di daerah endemis.
Pembentukan tim guru ini diawali dengan kegiatan rapat koordinasi yang
diselenggarakan oleh Balai Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kabupaten Donggala
bekerja sama dengan Pemerintah Kecamatan Lore Barat. Dilaksanakan pada hari Senin 1 Juli
2019 jam 09.00 hingga jam 14.00 siang WITA. Bertempat di aula kantor camat Lore Barat
dengan jumlah peserta yang hadir kurang lebih 50 orang. Pada kegiatan ini disampaikan
mengenai implementasi bada model yang salah satunya pemberian muatan local schistosomiasis
pada anak sekolah di daerah. Pada kegiatan ini juga tim balai litbangkes mengharapkan adanya
data-data guru tiap sekolah yang dapatkan dilatih untuk mengajarkan materi schistosomiasis.
Akan tetapi kegiatan ini dilakukan bertepatan waktu libur sekolah sehingga untuk pemilihan guru
yang akan dilatih akan diambil alih atau atas rekomendasi Koordinator Satuan Pengawasan dan
Pelayanan Pendidikan (SP3) Kecamatan Lore Barat. Berdasarkan rekomendasi Koordinator SP3
maka terbentuk tim guru yang berasal dari perwakilan masing-masing sekolah yang ada di
Kecamatan Lore Barat yakni SD Tuare, SD Kageroa, SD Tomehipi, SD Lengkeka, SD Kolori,
SD Lelio, SMP Satap Kageroa, dan SMP 1 Lore Barat. Dan setiap sekolah diwakili oleh 2 orang
guru sehingga total jumlah tim guru sebanyak 16 orang. Tim guru yang terbentuk kemudian
dinamakan ‘Mepaturo” yang berdasarkan bahasa bada yang artinya mengajar sesuai dengan
filosofi tim ini yang akan mengajarkan materi schistosomiasis.

62
Tabel 11. Susunan Tim Mepaturo dari Berbagai Sekolah yang Ada
di Kecamatan Lore Barat Tahun 2019

NO NAMA GURU NIP ASAL SEKOLAH

1 SONY TOMPA, S.Pd 196808022005021001 SD TUARE


2 SAHI KALAHE 196705292008011005 SD TUARE
3 BUARI GESO, S.Pd 197802112014061002 SD KAGEROA
4 ALFRIANUS NAWU,A.Ma.Pd 198604202014091002 SMP SATAP KAGEROA
5 ARDILES TOMPA, A.Ma.Pd - SMP SATAP KAGEROA
6 NOVIANTI WENGKAU, S.Pd 198504012009032002 SD TOMEHIPI

7 DAUD BATURU 196507072003121001 SD TOMEHIPI

8 ALEX MAROTO - SD LENGKEKA

9 ANDARIAS K.BUNGA 196707021994081001 SD LENGKEKA

10 ILIANA TOMBELA 197609252011012003 SD KOLORI

11 YAFET KARANTITI 196601012005021002 SD KOLORI


12 ORIN KARANTITI, S.Pd - SMP 1 KOLORI
13 FERDINAN WENGKAU, SP. - SMP 1 KOLORI
14 ALMINCE TEHAMPA, S.Pd.K 197101082008012000 SD LELIO

15 ANTONIUS TEHAMPA 196612222007011010 SD LELIO

Tim mepaturo yang terbentuk diberikan pelatihan mengenai schistosomiasis yang


bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan dan pemahaman guru mengenai schistosomiasis.
Tim Mepaturo akan mengajarkan kembali materi ini ke para siswa di sekolah masing – masing.
Pelatihan ini diberikan selama dua hari. Hari pertama tim mepaturo mendapatkan materi
pengenalan schistosomiasis (demam keong) yang berisi penyebab, penularan, gejala, cara
pemeriksaan, pengobatan, dan pencegahan schistosomiasis. Serta materi mengenai pengumpulan
dan pemeriksaan tinja, Survey Pemeriksaan Keong, Survey dan pemeriksaan Tikus. Pada hari
kedua, para guru diberikan materi praktek mengenai keong Oncomelania hupensis linduensis
meliputi tempat hidup keong (daerah fokus) dan pemeriksaan keong menggunakan metode
crushing. Pada kegiatan pelatihan ini tim yang awalnya berjumlah 16 orang, akan tetapi guru

63
yang berasal dari SD Kageroa yang dapat hadir hanya 1 orang sehingga untuk tim mepaturo
hanya beranggotakan 15 orang.
Tim mepaturo yang telah dilatih diharapkan dapat mengajarkan materi schistosomiasis
kepada para siswa disekolah masing-masing. Materi schistosomiasis ini akan dimasukkan ke
dalam materi muatan lokal di sekolah. Supaya memudahkan para guru dalam hal pengajaran
maka dibuatlah silabus untuk materi schistosomiasis ini. Pembuatan silabus ini dilakukan oleh
tim mepaturo bersama tim balai Litbangkes Donggala yang dikoordinatori oleh Koordinator SP3.
Pembuatan silabus ini diikuti dengan pembuatan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) oleh
masing-masing guru sebagai acuan dalam pembelajaran materi ini dikelas. Materi
schistosomiasis ini akan diberikan pada siswa kelas 4, 5, dan 6 SD yakni SD Tuare, SD Kageroa,
SD Tomehipi. SD Lengkeka, SD Kolori, dan SD Lelio. Sedangkan untuk SMP sebanyak 2
sekolah yakni SMP Satap Kageroa dan SMP 1 Lore Barat.
Pemberian materi schistosomiasis ini mengikuti jadwal pelajaran muatan lokal di masing-
masing sekolah. Materi schistosomiasis yang diajarkan pada siswa sesuai dengan RPP yang
disusun oleh masing-masing guru. Dan dalam pengajaran dikelas tim guru juga membagikan
media pembelajara seperti leaflet/brosur ataupun buku bergambar untuk membantu siswa dalam
memahami schistosomiasis. Media pembelajaran berupa leaflet diperoleh dari Dinas Kesehatan
Kabupaten Poso dan video dari Balai Litbang Kesehatan Donggala.
Pendampingan tim mepaturo dilakukan untuk mengetahui sejauh mana para guru
memahami materi schistosomiasis yang diberikan kepada siswa dan bagaimana cara
pengajarannya ke para siswa. Sejauh ini penguasaan materi tim mepaturo baik (67,14 %) dan
cara pengajarannya pun baik (69,28 %). Akan tetapi masih ada beberapa guru yang kurang
memahami materi yang diajarkan, misalnya mengenai cara penyebutan cacing schistosomiasis
yang masih salah ataupun cara penularannya. Dalam hal ini ada guru yang menyatakan bahwa
penularan schisto melalui tinja sehingga ketika kita terinjak tinja yang terifeksi maka kita akan
tertular schistosomiasis.
Cara pengajaran juga menjadi poin dalam pendampingan karena ada beberapa guru
terlihat tidak membawakan materi dengan baik misalnya membawakan materi sambil duduk dan
membaca materi yang akan diajarkan sehingga para siswa sedikit bingung dan tidak aktif pada
saat materi ini diberikan. Cara pengajaran yang atraktif dapat membuat siswa lebih mudah
memahami materi yang diberikan seperti guru mengajar dengan suara yang lantang, materi

64
diberikan dengan memberi contoh-contoh sesuai keseharian siswa, sehingga siswa tergerak
untuk berpikir dan memahami. Pendampingan tim mepaturo dilakukan sebanyak dua kali dan
dilakukan di seluruh sekolah di Kecamatan Lore Barat.
Evaluasi tim mepaturo dilakukan sebagai sarana untuk memberi masukan atas pengajaran
yang sudah dilakukan oleh tim mepaturo agar kedepannya menjadi lebih baik. Pada kegiatan ini
disampaikan hasil pendampingan yang selama ini telah dilakukan, agar para guru yang merasa
kurang dapat lebih berusaha untuk memahami materi schistosomiasis dan juga cara
penyampaiannya kepada siswa. Kegiatan ini dihadiri oleh tim mepaturo, tim Balai Litbangkes
Donggala dan Koordinator SP3. Dalam kegiatan ini pun, tim mepaturo memberikan beberapa
saran untuk perbaikan ke depannya yakni :
 Dibuatkan Surat Keputusan (SK) untuk tim mepaturo
 Pengadaan alat peraga misalnya leaflet, poster, buku bergambar yang dapat digunakan dalam
pengajaran materi schistosomiasis dari dinas kesehatan Kabupaten Poso dan Balai Litbang
Kesehatan Donggala.
 Diberikan pendalaman materi setiap semester agar tim mepaturo lebih memahami materi
schistosomiasis
 Praktek materi schistosomiasis bagi siswa, bekerjasama dengan tim peda dan juga
Laboratorium schistosomiasis Kecamatan Lore Barat.

Jumlah sampel siswa sekolah tingkat pertama yang mengikuti pre dan post test 69 sampel dan
siswa sekolah dasar 101 sampel. Berdasarkan analisis statistik ditemukan peningkatan yang
signifikan pengetahuan pada siswa tentang schistosomiasis dengan nilai p-value < 0,001.
Paired Samples Statistics

Mean N Std. Deviation Std. Error Mean

Pair 1 nilai_pre 57,353 170 18,3987 1,4111

nilai_post 68,706 170 18,9854 1,4561

Paired Samples Test


Paired Differences

95% Confidence Interval

Std. Std. Error of the Difference Sig. (2-


Mean Deviation Mean Lower Upper t df tailed)

65
Paired Samples Statistics

Mean N Std. Deviation Std. Error Mean

Pair 1 nilai_pre 57,353 170 18,3987 1,4111

Pair 1 nilai_pre - -11,3529 22,2996 1,7103 -14,7292 -7,9766 -6,638 169 ,000
nilai_post

90 81,05 83
80 70,28 75,1
66,32 67,5
70 62,22 61,76 62,27 62,33
57,73 57,06 55
60 55,09
50
37,5 35,36
40 pre
30 post
20
10
0

Gambar 3. Peningkatan pengetahuan siswa SD dan SMP di Kecamatan Lore Barat


Tahun 2019

4.6. Kegiatan Pendukung


1. Lomba Desa Bebas Schistosomiasis
Kegiatan lomba desa bebas schistosomiasis merupakan bagian dari penelitian Implementasi
Bada Model sebagai upaya tindak lanjut dari pelaksanaan sejumlah kegiatan yang
melibatkan banyak stakeholder pada tingkat desa. Upaya pengendalian schistosomiasis di
Bada yang diawali dengan usaha pelibatan multistakeholder dengan sasaran perangkat desa,
tokoh agama dan masyarakat, guru diawali dengan kegiatan pelatihan dan penyusunan
rencana aksi/renacana kerja, Sejumlah kegiatan yang direncanakan oleh tim yang ikut
berpartisipasi ditingkat desa merupakan gambaran bentuk partisipasi kolektif dari warga
desa mulai dari penguatan kapasitas masyarakat, perencanaan, pelaksanaan kegiatan dan

66
evaluasi. Kegiatan lomba desa ini sendiri dilakukan untuk meningkatkan spirit dan gairah
dari tim-tim yang bekerja di tingkat desa sebagai bagian dari evaluasi proses dan capaian
pelaksanaan sejumlah kegiatan yang dilakukan oleh Tim Pengendali Schistosomiasis
berdasarkan partisipasi masyarakat. Inisiatif lomba desa ini merupakan bagian dari
perencanaan penelitian Implementasi Bada Model yang disepakati oleh tim Peneliti dengan
Organisasi Pemerintah Daerah (OPD) dan stakeholder kecamatan dan desa saat perencanaan
penelitian ini disosialisasikan di Hotel Ancyra Poso pada Bulan April 2019.

Tabel 12. Kriteria Indikator Penilaian dalam Lomba Desa Bebas Schistosomiasis Tahun 2019
No. Indikator Implementasi Bada Model Bobot Bahan penilaian
“Lomba Desa Bebas Schistosomiasis” Penilaian
1. Peraturan Desa yang sudah diundangkan 30 Dokumen Perdes dan
dan disosialisakan croscek ke masyarakat
2. Dukungan anggaran desa dalam 20 Dokumen APBDesa
pengendalian schistosomiasis
3. Penghilangan dan kebersihan fokus 15 Bukti lapangan
4. Cakupan pengumpulan tinja 10 Persentase cakupan
5. Pengandangan ternak mamalia 10 Persentase KK mempunyai
kandang ternak mamalia
6. Ketersediaan dan Pemanfaatan jamban 10 Dokumen dan croscek
7. Keterlibatan lintas sector dalam pengendalian 5 Dokumen dan croscek
schistosomiasis

Penilaian di Desa Tuare dilakukan oleh tim penilai yang terdiri dari Kepala
Bapelitbangda Kabupaten poso, Pak Irfan (Kabid Bapelitbangda), Pak Hans dan Opyn (Dinkes
Kabupaten Poso), Pak Jufri (Dinas Pertanian, Peternakan dan Kesehatan Hewan) dan Ahmad
Erlan (Balai Litbangkes Donggala). Adapun aspek yang dinilai adalah Peraturan Desa yang
sudah diundangkan, disosialisasikan dan diterapkan, penggunaan dana desa dalam pengendalian
schistosomiasis, penghilangan fokus, cakupan pengumpulan tinja, pengandangan hewan/ternak,
kepemilikan dan pemanfaatan jamban serta keterlibatan lintas sektor dalam pengendalian
schistosomiasis. Hasil dari penilaian adalah peraturan desa sudah diundangkan dengan surat
nomor 1 tahun 2019 tanggal 22 Juli 2019, menurut sekertaris desa sudah disosialisasikan tetapi
ketika diminta bukti foto-foto saat sosialisasi dan daftar hadir pada saat sosialisai tidak dapat

67
diperlihatkan pada tim penilai dengan alasan bukti-bukti tersebut dibawa oleh kepala desa.
Cakupan pengumpulan tinja menurut sekertaris desa dan tim peda dari desa Tuare adalah 85%.
Penilaian di Desa Kageroa dipimpin oleh pak Irfan dari Bapelitbangda Kabupaten Poso.
Peraturan desa sudah diundangkan, sudah dimasukkan dalam lembaran desa. Sosialisasi juga
sudah dilakukan dan ketika dicrosscek kepada masyarakat terbukti memang sudah sampai
kepada masyarakat mengenai isi dan sanksi yang ada dalam peraturan desa. Hasil dari cakupan
pengumpulan tinja adalah sebesar 93,23%, fokus keong setelah dicek dilapangan kelihatan sering
dibersihkan, pengandangan ternak untuk babi sebagian besar dikandangkan dan ada juga yang
diikat, sedangkan untuk sapi diikat. Kepemilikan dan pemanfaatan jamban sudah mencapai
100%.
Penilaian dilanjutkan di Desa Tomehipi, pada saat penilaian untuk peraturan desa belum
ada nomornya dan belum ditantandatangani dan distempel. Sosialisai kepada masyarakat sudah
dilaksanakan terbukti setelah ditanya ke masyarakat mereka sudah mengetahui tentang isi dan
sanksi yang dalam peraturan desa.Fokus keong sudah bersih dan nampak baru saja dibersihkan.
Persentasi pengumpulan tinja sebesar 90,70%. Di Desa Tomehipi belum ada alokasi dana desa
belum ada untuk pengendalian schistosomiasis tahun ini.
Penilain di Desa Kolori, hasilnya peraturan desa sudah diundangkan dan
disosialisasikan. Komentar dari pak Ahdar menyatakan bahwa bukti-bukti sosialisasi berupa foto
dan absen harus dilengkapi. Peraturan desa yang sudah diundangkan agar dilembardesakan
dalam 1 atau 2 hari ini. Masukan dari ibu Camat Lore Barat bahwa peraturan desa dilengkapi
dengan peraturan kepala desa, untuk sanksi dalam pembuatan jamban diberikan batas waktu
sampai kapan bisa ada jambannya dan batas waktunya dijelaskan dalam peraturan kepala desa.
Penggunaan dana desa tahun ini belum ada di Desa Kolori, pemberian insentif pada kader akan
diberikan tahun depan. Cakupan pengumpulan tinja sebesar 74,26%. Usul dari ibu Camat ada
jadwal khusus untuk anak-anak sekolah yang keluar desa, pada saat libur dilakukan
pengumpulan tinja dan pengobatan. Pengandangan hewan ternak dan mamalia seperti sapi,
kerbau diikat, babi dikandangkan dan anjing berkeliaran. Kepemilikan dan penggunaan jamban
sebesar 99,8%, sedangkan yang belum memiliki jamban akan dibantu dengan dana desa
sebanyak 17 kepala keluarga. Keterlibatan lintas sektor dalam pengendalian schistosomiasis
yang ada baru dari dinas peternakan.

68
Di Desa Lelio peraturan desa sudah diundangkan dan disosialisasikan, bukti sosialisasi
ada berupa foto dan absen. Kepemilikan dan penggunaan jamban sebesar 90% dan masyarakat
yang belum mempunyai jamban diberikan batas waktu sampai dengan 1 Desember 2019.
Cakupan pengumpulan tinja sebesar 94%, penggunaan dana desa untuk pengendalian
shistosomiasis tahun 2019 belum ada. Pengandangan hewan ternak sapi dan kerbau diikat
sedangkan babi semua dikandangkan. Keterlibatan lintas sektor dalam pengendalian
schistosomiasis dari Kementerian Sosial, Dinas Sosial berupa proyek Pamsimas. Dari Dinas
Peternakan yaitu pengambilan kotoran hewan dan pengobatan.
Penilaian di Desa Lengkeka dihadiri oleh kepala desa, sekertaris desa, tim peda tiga
orang dan perangkat desa dua orang. Peraturan Desa sudah diundangkan dan disosialisasikan dan
ada bukti sosialisasi berupa daftar hadir. Penerapan sanksi masih menunggu batas waktu sampai
tanggal 25 Nopember 2019. Kepemilikan dan penggunaan jamban sudah mencapai 85%,
sebanyak 10% sementara dikerjakan selebihnya yang 5% sama sekali belum ada, mereka BAB
diair mengalir. Penggunaan Anggaran Dana Desa dalam pengendalian schistosomiasis adalah
pembuatan saluran air (drainase) sepanjang 270 meter yang melintasi fokus keong dan
pembuatan bak 2 x 5 meter. Rencananya tahun 2020 akan dialokasikan dana sebesar 200.000 per
bulan untuk sepuluh orang kader schistosomiasis. Cakupan pengumpulan tinja sebesar 72,5%
sisanya akan dikumpulkan sampai batas waktu 30 Oktober 2019.
Pengandangan ternak sapi dan kerbau cukup diikat dan babi semua dikandangkan. Dari
lima fokus keong yang ada di Desa Lengkeka, dua sudah hilang menurut survei petugas
laboratorium dan hasil pemeriksaan keong sudah negatif. Keterlibatan lintas sektor dalam
pengendalian lintas sektor yaitu dari dinas perikanan provinsi berupa pembuatan kolam ikan
lengkap dengan bibit tambah pakannya. Dinas Pertanian Kabupaten Poso berupa 1 unit hand
traktor, pembuatan saluran air sepanjang 490 meter dari Dinas PU provinsi dan dari dinas PUPR
berupa pembuatan jalan lingkar.
Tim penilai melakukan pertemuan untuk menentukan pemenang lomba desa bebas
schistosomiasis pada enam desa di Kecamatan Lore Barat. Setelah mempertimbangkan dari
beberapa aspek penilaian dan diskusi yang alot akhirnya tim penilai mencapai kata sepakat
bahwa yang menjadi pemenang lomba desa bebas schistosomiasis adalah Desa Kageroa sebagai
juara pertama, Desa Lengkeka sebagai juara kedua dan Desa Lelio sebagai juara ketiga.

69
2. Pemilihan Duta Schistosomiasis
Pemilihan Duta schistosomiasis dilakukan sebagai reward/hadiah untuk para siswa yang
sudah mempelajari materi schistosomiasis. pemilihan ini dilakukan pada tanggal 22 oktober 2019
di laboratorium schistosomiasis kecamatan lore barat. Peserta pemilihan ini berasal dari
perwakilan sekolah yang ada di Kecamatan Lore Barat yakni masing –masing 2 orang dari SD
Tuare, SD Kageroa, SD Tomehipi, SD Lengkeka, SD Kolori, SD Lelio, SMP Satap kageroa, dan
SMP 1 Lore Barat. Pemilihan duta schistosomiasis ini berupa lomba pidato mengenai
schistosomiasis
Penilaian untuk duta schistostomiasis ini berdasarkan dari penampilan peserta pemilihan,
cara penyampaian pidato peserta misalnya suara jelas terdengar dan teratur atau terstruktur dalam
menyampaikan pidato, dan materi yang dibawakan. Hasil pemilihan duta schistosomiasis,juara
pertama oleh SD Lelio, juara kedua SD Lengkeka, ketiga oleh SMP satap Kageroa.

4.7. Optimalisasi tugas dan fungsi Puskesmas dan Laboratorium


Schistosomiasis dalam pengendalian schistosomiasis

Sejak tahun 2017 Laboratorium Schistosomiasis diserahkan ke Dinas Kesehatan


Kabupaten yang sebelumnya di atur oleh Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Tengah, semua
pembiayaan kegiatan laboratorium berasal dari dana DAK. ada pun tugas yang dilakukan oleh
laboratorium schistosomiasis yaitu :
 Kegiatan pengumpulan dan pemeriksaan tinja
 Kegiatan survei keong dan survei tikus
 Kegiatan pembersihan fokus dan penyemprotan fokus
 Kegiatan pencatatan dan pelaporan kegiatan schistosomiasis
Keterlibatan petugas puskesmas masih kurang terutama dalam kegiatan surveilans
bahkan ada petugas puskesmas yang belum mengetahui penyebab schistosomiasis (1), sehingga
perlu meningkatkan peran puskesmas dalam upaya pengendalian schistosomiasis dengan
pelatihan surveilans.
Petugas laboratorium terdiri dari petugas puskesmas setempat, petugas dinas propinsi
yang ditempat di laboratorium dan petugas honorer yang dibiayai dari Dinas Kesehatan Provinsi.
Masih kurangnya tenaga laboratorium khususnya tenaga mikrsokopis sehingga ada beberapa

70
petugas laboratorium schistosomiasis yang sudah purna tugas masih diperbantukan di
laboratorium schistosomiasis.
Peran laboratorium schistosomiasis sangat diperlukan maka perlu peningkatan tenaga
laboratorium baik secara kuantitas dan kualitas. Tahun 2018 gedung laboratorium
schistosomiasis di Wuasa dan di Lengkeka Kecamatan Lore Barat telah selesai di bangun dengan
dana yang cukup besar akan tetapi tidak diikuti dengan penambahan tenaga dan pelatihan khusus
petugas laboratorium schistosomiasis. Selain itu tidak tersedia dana operasional untuk
menunjang kegiatan kegiatan laboratorium selama ini semua pembiayaan dari DAK tetapi hanya
untuk kegiatan teknis saja dan belum ada dana operasional. Sejak diserahkan ke Dinas Kesehatan
kabupaten Poso dan Kabupaten Sigi belum jelas tugas dan fungsi laboratorium schistosomasis
yang dibangun. Kegiatan yang dilakukan saat ini masih sama dengan kegiatan yang sebelumnya
hanya melakukan kegiatan survei saja.
Pemerintah Daerah Kabupaten Poso dan Sigi perlu membuat Struktur Organisasi dan
Tata Kerja Lab.Schisto (Struktur, pembiayaan, SDM dan kedudukan) dan SOP tugas dan fungsi
lab.schisto Sesuai Permenkes Pengendalian schisto No19 thn 2018. Sehingga peran dan fungsi
laboratorium schistosomiasis dapat menunjang pengendalian schistosomiasis.

Gambar 4. Perbandingan keong Sulawesidrobia sp. dan O.hupensis lindoensis

71
Gambar 5. Surat konfirmasi keong dari Puslit Biologi LIPI

72
BAB 5. PEMBAHASAN
5.1. Evaluasi Pengendalian Schistosomiasis oleh Lintas Sektor
Balai Litbangkes Donggala memiliki peran sebagai ketua tim pengendali fokus keong
perantara schistosomiasis berdasarkan SK Tim Terpadu Schistosomiasis Provinsi Sulawesi
Tengah tahun 2017-2022. Peran Balai Litbang Kesehatan Donggala adalah melakukan penelitian
dan memberikan rekomendasi dalam rangka mempercepat dan mensinergikan upaya eliminas
schistosomiasis, Kementerian PPN/Bappenas bersama dengan Kementerian Kesehatan telah
mengkoordinasikan penyusunan Roadmap Eradikasi Schistosomiasis 2018-2025 dengan
melibatkan seluruh stakeholder terkait baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah. Rangkaian
proses penyusunan roadmap eradikasi schistosomiasis ini meliputi pemetaan kegiatan strategis,
pemetaan kebutuhan penganggaran (bersumber APBN, Dana Alokasi Khusus, dan APBD), dan
sinkronisasi perencanaan dan penganggaran baik di tingkat pusat maupun daerah.(1)
Pengalaman pengendalian schistosomiasis di China mengkombinasikan pengendalian
keong dengan penyemprotan dan modifikasi lingkungan melalui keterlibatan linsek terkait.(2)
Pembuatan saluran air secara permanen oleh Dinas PU dapat mengalirkan air dengan lancar dan
deras, juga dapat menyulitkan keong O. hupensis lindoensis untuk bertahan hidup. Sejak
diluncurkan roadmap awal tahun 2018, setiap linsek telah menyusun anggaran dan kegiatan
pengendalian schistosomiasis, Sehingga untuk mengetahui keberhasilan program sesuai roadmap
maka perlu dilakukan evaluasi terhadap kegiatan yang telah dibuat.(3) Evaluasi atau kegiatan
penilaian adalah merupakan bagian integral dari fungsi manajemen dan didasarkan pada sistem
informasi manajemen. Evaluasi dilaksanakan karena adanya dorongan atau keinginan untuk
mengukur pencapaian hasil kerja atau kegiatan pelaksanaan program terhadap tujuan yang
ditetapkan. Evaluasi dimaksudkan untuk mendapatkan informasi yang relevan guna pengambilan
keputusan. (4)
Alokasi anggaran schistosomiasis tidak sesuai dengan target yang ada dalam roadmap
eradikasi schistosomiasis (45% tahun 2018 dan 19% tahun 2019)(5). Secara keseluruhan untuk
lintas sektor di Kabupaten Sigi anggaran kegiatan yang dialokasikan khusus untuk
Schistosomiasis tidak ada. Semua lintas sektor menerima pengurangan anggaran di tahun 2019.
Anggaran lintas sektor terbanyak dialokasikan untuk rehabilitasi pascabencana alam di
Kabupaten Sigi. Satu-satunya instansi yang bekerja untuk Schistosomiasis hanyalah Dinas

73
Kesehatan. Sementara instansi lainnya melaksanakan programnya di tahun 2019 yang
sesungguhnya terkait Schistosomiasis namun tidak berdampak secara langsung.
Dinas Kesehatan yang memegang peranan terbesar dalam Pengendalian Schistosomiasis.
Program di tahun 2019. Pengendalian Schistosomiasis adalah pengobatan massal dan Gema
Beraksi (Gerakan Masyarakat Berantas Schistosomiasis) yang masih keberlanjutan dari kegiatan
tahun sebelumnya. Gema Beraksi masih terus dilakukan oleh masyarakat setiap dua minggu
sekali Sedangkan untuk pengobatan massal desa-desa lainnya semuanya sudah rampung.
Program internal yang juga dilibatkan dalam pengobatan massal diantaranya adalah penyuluhan
Schistosomiasis, Promosi Kesehatan dengan membagikan buku-buku (materi-materi mengenai
Schistosomiasis, dan Kesehatan Lingkungan dengan memberikan stimulan Jamban (ini khusus
dilakukan di Lore Utara). Semua kegiatan belum mencapai target sesuai harapan hal ini
disebabkan masih kurangnya obat praziquantel. Untuk merealisasikan program, Dinas Kesehatan
bekerja sama dengan instansi terkait, seperti: BAPPEDA, Dinas PUPR, Dinas Tanaman Pangan,
Dinas Peternakan, PMD. Demikian pula dengan program internal dinas program Schistosomiasis
juga terkait dengan program lainnya, yaitu: GERMAS, stunting, PUSKESMAS, dan
laboratorium Schistosomiasis.
Pengobatan massal menggunakan Praziquantel dengan dosis 40 mg/kgBB pada manusia
merupakan upaya pemberantasan fase dewasa cacing S. japonicum yang ada di tubuh manusia.
Manusia yang merupakan induk semang definitif S. japonicum dengan gejala klinis paling
terlihat di antara induk semang definitif lainnya. Hal ini membuat proses serta hasil penanganan
schistosomiasis pada manusia menjadi indikator utama kesuksesan program. Dalam rangka
mencapai eradikasi schistosomiasis yang ditargetkan tercapai pada tahun 2019 (0% prevalensi),
akan dilakukan perubahan sistem pengobatan massal pada manusia yang terdiri atas 2 tahap.
Tahap pertama adalah pengobatan massal pada seluruh populasi akan dilakukan selama 2 tahun
berturut-turut untuk menekan prevalensi schistosomiasis di manusia. Setelah periode tersebut,
tahap kedua pengobatan hanya akan dilakukan secara selektif pada populasi yang kemungkinan
masih terinfeksi sebagai bagian dari sistem tanggap cepat yang terintegrasi dengan sistem
surveilans.(1)
Dalam melaksanakan kegiatannya Dinas Tanaman pangan dan Holtikultural ini tidak
menemukan kendala di lapangan. Masyarakat justru sangat antusias dengan adanya bantuan.
Masyarakat sangat berterima kasih sebab peralatan yang diberikan tidak hanya untuk mengatasi

74
Schistosomiasis tetapi dapat juga mereka pergunakan untuk keperluan lainnya. Dari pusat untuk
kegiatan terkait Schistosomiasis belum ada di instansi ini. Tetapi direncanakan untuk tahun 2020
ada dana yang disediakan oleh Kementrian untuk melaksanakan kegiatan lainnya terutama yang
terkait Schistosomiasis. Anggaran yang diusulkan untuk tahun 2020 kurang lebih Rp
100.000.000,- juga untuk pengadaan peralatan yang sama tetapi akan disalurkan di wilayah yang
berbeda dengan tahun 2019.
Pelaksanaan pengambilan dan pemeriksaan tinja hewan semua biaya operasional dan obat
disediakan oleh Dinas Perkebunan dan Peternakan Provinsi. Untuk itu kabupaten tidak
mengeluarkan anggaran untuk kegiatan ini. Pengobatan tahap pertama sudah selesai tetapi akan
dilakukan kembali pengobatan tahap kedua. Hal ini disebabkan karena pada pengobatan tahap
pertama ditemukan sejumlah hewan yang mati setelah diberi obat. Dosis obat yang tidak jelas
ditengarai sebagai akibat dari kesalahan ini. Perlunya koordinasi dengan Balai Veteriner Maros
dalam pengumpulan, pemeriksaan dan pengobatan hewan serta perlu peran masyarakat dan
aparat desa dalam kegiatan ini juga. Sehingga diharapkan keberhasilan penurunan persentasi
hewan yang terinfeksi schistosomiasis. Penurunan persentasi hewan terinfeksi merupakan salah
satu target dalam roadmap eradikasi schistosomiasis.(1)
Kegiatan Dinas PUPR Kabupaten Poso per Oktober 2019 masih sementara berjalan dan
ditargetkan akan rampung pada bulan November 2019. Jika semua pembangunan telah rampung,
maka program ini akan berjalan sesuai dengan target yang direncanakan. Kendala yang dihadapi
di lapangan adalah jalur transportasi Poso – Napu terputus karena longsor pada saat
pembangunan berlangsung. Demikian pula jalur Palu – Napu juga terputus karena longsor ketika
itu, sehingga pembangunan berjalan tersendat-sendat. Program yang dilaksanakan di tahun 2019
sesuai dengan sasaran dalam Roadmap Eradikasi. Dukungan pusat untuk kegiatan ini berupa
asistensi DAK di Kementrian PU dan BAPPENAS.
Dinas Kelautan dan Perikanan untuk merealisasikan program instansi ini menemukan
beberapa kendala di antaranya adalah: (1) Kondisi sosial-budaya masyarakat yang terkadang
berbenturan ketika kegiatan yang dilaksanakan tidak seiring sejalan dengan kepentingan mereka;
(2) Belum terkoordinasinya dengan baik lintas sektor untuk menangani Schistosomiasis dengan
serius; dan (3) Masih meragukan keberlangsungan pembangunan kolam apakah masyarakat
mampu memelihara dan mengelolanya dengan baik hingga jangka panjang atau tidak.

75
Sebab pada umumnya projek hanya bersifat sementara demikian pula dengan semangat
masyarakatnya. Jika anggaran projek telah habis, semangat masyarakat pun usai.
Dinas Kelautan dan Perikanan tidak menetapkan Schistosomiasis sebagai program
prioritas. Oleh karena itu anggaran yang disediakan juga relatif sedikit. Untuk keberlanjutan
program di tahun 2020 direncanakan akan dilakukan perbaikan kolam dan peningkatan sumber
daya manusia (masyarakat) pengguna kolam khususnya untuk budidaya ikan. Dengan rencana
anggaran sekitar Rp 200.000.000,- dan akan difokuskan ke Kecamatan Lore Barat Kabupaten
Poso.
Peranan insatansi BAPPEDA mengkoordinasikan program-program lintas sektor untuk
Pengendalian Schistosomiasis melalui rapat-rapat dan pertemuan-pertemuan. Selain itu juga
melakukan monitoring dan evaluasi kegiatan masing-masing Organisasi Perangkat Desa (OPD).
Rapat-rapat ini memfasilitasi tiap-tiap OPD melaksanakan programnya dengan membawa serta
data dari masing-masing instansi. Data ini dibutuhkan juga untuk mengevaluasi masing-masing
OPD. Menguraikan evaluasi implementasi kebijakan yang dilakukan dengan tujuan pemantauan
kegiatan lintas sektor untuk mendapatkan informasi dini mengenai perkembangan pelaksanaan
pada pengendalian schistosomiasis atau dalam jangka waktu tertentu sehingga dapat diketahui
hal-hal yang perlu diperbaiki mengenai sistem dan proses pelaksanaan kebijakan tersebut agar
pelaksanaan kebijakan dapat berjalan optimal. Disamping memuat tentang gambaran
perkembangan pelaksanaan, dalam evaluasi pemantauan juga memuat identifikasi kelemahan-
kelemahan, penyimpangan yang terjadi serta potensi atau daya dukung yang ada selama proses
pelaksanaan kebijakan tersebut.(6)
Namun yang menjadi permasalahan di sini adalah terkadang data yang disampaikan itu
tidak sesuai dengan keadaan yang sebenarnya. Kebanyakan program juga tidak terlalu
mempertimbangkan sasaran utama. Yang terpenting hanyalah program dapat berjalan.
Terkadang berkesan asal dibuat hanya untuk memenuhi panggilan saja. Untuk itu diharapkan
agar semua instansi (terutama yang bekerja untuk Schistosomiasis) agar dapat menyampaikan
laporan (data) yang valid agar BAPPEDA Khususnya Kabupaten Poso dapat mengukur
kemajuan program dan dapat menentukan langkah terbaik selanjutnya yang harus diambil untuk
mempercepat pencapaian eradikasi. Hal ini dianggap sebagai salah satu hambatan dalam
menentukan kebijakan-kebiakan program lanjutan termasuk program terkait Schistosomiasis.

76
Permasalahan ini tidak berlaku untuk semua lintas sektor, melainkan 1 – 2 instansi saja.
Tetapi hal ini patut menjadi perhatian bersama agar tidak terjadi kesalahan-kesalahan yang
berulang sebab akan berakibat jangka panjang terhadap pencapaian program. Anggaran instansi
ini untuk Schistosomiasis tahun 2019 mencapai angka sekitar Rp 800.000.000.000,-.
Dialokasikan ke semua instansi terkait yang sama –sama bekerja sesuai Roadmap Eradikasi.
Masing-masing OPD sebagian besar sudah melaksanakan programnya per Oktober 2019. Hanya
sebagain kecil saja yang belum rampung. Meskipun dapat terlaksana dengan baik di lapangan,
namun program-program ini masih belum mencapai target yang telah direncanakan. Salah satu
penyebabnya adalah OPD-OPD sering kali bekerja tidak sesuai dengan Roadmap.

5.2. Implementasi Bada Model


Keberhasilan pengendalian suatu penyakit tidak lepas dari peran berbagai elemen dari
stakeholder hingga masyarakat. China merupakan negara yang paling berhasil mengendalikan
Schistosomiasis dengan menggerakkan masyarakat. Hal ini terjadi karena dukungan dan peran
dari para pemimpin mulai dari yang paling rendah (Kepala Desa) sampai yang paling tinggi (saat
itu Mao Tsedong).7 Dalam pengendalian Schistosomiasis di Dataran Tinggi Bada peran
pemerintah desa dioptimalkan dengan mengeluarkan Peraturan Desa tentang Penanggulangan
Demam Keong. Strategi mengubah perilaku masyarakat dengan menggunakan
kekuatan/kekuasaan dengan adanya peraturan yang harus dipatuhi oleh anggota masyarakat
terbukti cukup efektif. Meskipun baru diterapkan, Perdes tentang Penaggulangan Demam Keong
telah memberikan hasil yang positif. Hal ini dapat dilihat dari peningkatan peran masyarakat
dalam menggunakan alat pelindung diri (APD), pengingkatan cakupan pengumpulan tinja,
pengandangan hewan ternak, dan pemanfaat jamban, serta partisipasi aktif dalam pembersihan
area fokus keong.
Penggunaan alat pelindung diri (APD) menjadi sasaran dalam peraturan desa ini. Hal ini,
karena Schistosomiasi merupakan penyakit yang penularannya terjadi di daerah yang berair,8
melaui hospes perantara keong Oncomelania hupensis lindoensis yang bersifat amfibious.7
Infeksi Schistosomiasis terjadi melalui serkaria Schistosoma japonicum yang menembus kulit
manusia dan atau mamalia.9 Hal inilah yang menyebabkan orang yang tidak menggunakan alat
pelindung diri (APD) seperti sepatu boot bisa terkena Schistosomiasis saat melintasi atau menuju
ke area fokus keong yang terinfeksi S. japonicum. Suatu studi terhadap para petani di Dataran

77
Tinggi Lindu menunjukan bahwa sebagian besar responden yang tidak menderita
Schistosomiasis adalah mereka yang sering menggunakan sepatu boot.10 Hasil studi lain juga
menunjukan bahwa ada hubungan penggunaan APD dengan kejadian schistosomiasis.11
Hal lain yang diatur dalam Perdes adalah partisipasi masyarakat dalam mengumpulkan
tinja. Cakupan pemeriksaan tinja yang rendah akan menyebabkan data prevalensi tidak akurat
dan berfluktuatif. Di Dataran Tinggi Napu fluktusi prevalensi Schistosomiasis terjadi setiap
tahun, hal ini disebabkan oleh cakupan pemeriksaan tinja yang bervariasi.12 Selain itu cakupan
pemeriksaan tinja yang rendah akan menyebabkan masyarakat yang diduga menderita
Schistosomiasis tidak terjaring, sehingga akan menjadi sumber penularan.
Pengandangan hewan ternak juga menjadi sasaran dalam Perdes, karena mengingat salah
satu kesulitan dalam pengendalian Schistosomiasis adalah karena sifatnya yang zoonosis, yaitu
selain menginfeksi manusia juga bisa menginfeksi hewan terutama mamalia. Hewan pejamu
yang berperan sebagai reservoir cacing tersebut di antaranya rusa, sapi, kerbau, domba, babi,
anjing, tikus dan cecurut serta hewan pengerat lainnya.7,13 Pembatasan gerak hewan ternak
diharapkan dapat mengurangi tingkat infeksi Schistosoma japonicum pada mamalia. Suatu studi
menyatakan bahwa hewan ternak yang dipelihara secara ekstensif (bebas) memiliki
kecenderungan terinfeksi lebih tinggi dibandingkan dengan hewan yang dipelihara dengan sistem
intensif (dikandangkan).14 Hewan mamalia terutama sapi dan kerbau, meskipun derajat
infeksinya ringan, namun tinja yang dikeluarkan cukup besar sehingga total telur yang
dikeluarkan yang terinfeksi Schistosoma japonicum besar pula.14
Pengendalian keong perantara schistosomiasis Oncomelania hupensis lindoensis sangat
penting dilakukan, karena merupakan salah satu cara untuk pemutusan mata rantai penularan
schistosomiasis. Partisipasi masyarakat tentunya sangat dibutuhkan dalam pengendalian keong
perantara Schistosomiasis. Keberhasilan pengendalian fokus keong di China terjadi karena
keterlibatan masyarakat.7 Hal ini yang mendorong partisipasi masyarakat perlu diatur dalam
Perdes. Seperti telah disebutkan di atas bahwa keong perantara schistosomiasis (O. hupensis
lindoensis) besifat amphibious, sehingga keong tersebut tidak dapat hidup di daerah yang
tergenang air atau tanah yang kering. Dengan demikian, pemberantasan keong dapat dilakukan
dengan manajemen lingkungan.7
Pengendalian keong schistosomiasis harus mempertimbangkan sifat keong yang
amfibious dan jenis daerah tempat hidup keong. Cara pengendalian keong perantara

78
schistosomiasis di Indonesia dapat dilakukan secara kimiawi dan mekanik. Pengendalian secara
kimiawi menggunakan zat kimia untuk membunuh keong. Sedangkan pengendalian secara
mekanis dimaksudkan untuk mengubah habitat dengan melakukan antara lain penimbunan
habitat keong perantara, pengeringan/pembakaran habitat keong perantara. Pengendalian juga
dapat dilakukan dengan mengubah cara mengolah sawah, misalnya dengan intensifikasi
pertanian, memakai bibit unggul, pengolahan sawah sepanjang tahun, perbaikan irigasi,
mekanisasi pertanian.9 Pembersihan area fokus keong menjadi sasaran dalam Perdes, hal ini
dilakukan mengingat keong perantara schistosomiasis merupakan keong yang tidak menyukai
area yang terbuka dan terkena sinar matahari langsung.12 Dampak dari penerapan perdes terlihat
dari berkurangnya jumlah fokus keong.
Perdes tentang Penaggulangan Demam Keong memberikan sanksi kepada masyarakat
yang tidak memiliki jamban. Buang air besar (BAB) sembarangan dapat meningkatkan
penularan Schistosomiasis. Perilaku BAB tidak pada jamban dapat menyebabkan terjadi
pencemaran tanah oleh telur cacing dan bila terkontaminasi dengan air maka telur dapat menetas
menjadi serkaria sehingga lokasi tersebut da pat menjadi sumber penularan.11 Hasil studi
menunjukkan bahwa ada hubungan yang bermkana antara kejadian infeksi schistosomiasis
dengan penggunaan jamban.10,11
Hal lain yang menjadi perhatian dan sasaran sanksi dalam Perdes adalah partisipasi
masyarakat ikut dalam pengobatan baik perorangan maupun massal. Masih banyak masyarakat
yang tidak mengikuti program pengobatan dikhawatirkan dapat meningkatkan prevalensi
Schistosomiasis. Di beberapa negara endemis Schistosomiasis pengobatan merupakan metode
pemberantasan yang utama selain surveilans.7 Saat studi ini dilakukan pengaruh dari penerapan
Perdes belum terlihat, karena program pengobatan belum berjalan.
Implementasi bada model merupakan upaya pemberdayaan masyarakat dalam
pengendalian schistosomiasis. Peran serta masyarakat sangat dibutuhkan mengingat penularan
schistosomiasis sangat kompleks. Salah satu keberhasilan riset implementasi dalam pengendalian
penyakit di negara lain adalah Proyek Lawa Model, yang berhasil menurunkan kasus
Ophistorchiasis di Khon Khaen, Thailand. Dalam proyek tersebut pemberdayaan masyarakat
dilakukan dalam berbagai bidang, terutama upaya sosialisasi yang mencakup semua lapis
masyarakat, baik anak sekolah, warga maupun tokoh masyarakat. Upaya sosialisasi Lawa Model

79
dilakukan secara terus menerus dan di berbagai tempat yang bisa menjangkau masyarakat,
misalnya di sekolah, pasar, maupun acara adat atau pesta masyarakat.15
Salah satu bentuk pemberdayaan masyarakat dalam pengendalian schistosomiasis melalui
imolementasi Bada Model adalah dengan pembentukan Tim Peda’. Tim tersebut merupakan
tranformasi dari kader schistosomiasis yang sebelumnya sudah terbentuk. Perbedaannya kader
memiliki tugas yang relatif terbatas hanya untuk membantu masyarakat dan pihak laboratorium
melakukan pengumpulan tinja, sementara Tim Peda’ memiliki tugas yang relatif lebih banyak, di
antaranya pengumpulan tinja, pendampingan tim mobasa, tim mepaturo, melakukan sensus
penduduk, pembersihan daerah fokus, survei tikus, membantu kegiatan penyemprotan daerah
fokus, surveilans keong untuk mendeteksi wilayah-wilayah yang diduga berpotensi terdapat
keong.
Pembentukan Tim Peda’ dalam rangka mendukung penanggulangan penyakit demam
keong di tengah masyarakat, khususnya Kecamatan Lore Barat relatif berjalan dengan baik
sesuai dengan beban tugas yang diberikan kepada mereka. Berdasarkan hasil wawancara dengan
sejumlah informan yang menjadi Tim Peda’ dan telah dikonfirmasi ke masyarakat menjelaskan
bahwa pelaksanaan tugas pendampingan yang dilakukan oleh tim tersebut kepada tim mobasa
(Tokoh Agama) dan guru-guru yang juga dimintai perlibatannya dalam penanggulangan penyakit
demam keong (Tim Mepaturo), berjalan dengan baik.
Berdasarkan hasil pengamatan langsung Tim Peda’ senantiasa hadir pada saat ada
sosialiasi oleh tokoh agama di Gereja atau di rumah pada saat ibadah umum dan ibadah
kategorial bagi umat Nasrani. Begitu juga pada saat acara pengajian yang dilakukan umat Islam--
seperti pada masyarakat di Desa Kolori yang beragama Islam, Tim Peda’ ikut serta hadir
mendampingi. Hal yang sama juga dilakukan oleh guru-guru ketika melakukan sosilisasi
terhadap anak-anak sekolah di level SD dan SMP.
Mekanisme kerja kolaborasi yang dikembangkan oleh Tim Peda dalam proses
pembentukan kesadaran tentang pentingnya penanggulangan penyakit demam keong berdasarkan
pengamatan di lapangan relatif berjalan efektif. Selain mekanisme kolaboratif, Tim Peda’
beberapa desa mengembangkan mekanisme “testimoni” pada saat melakukan sosialisasi yakni
dengan cara meminta langsung anggota masyarakat yang pernah mengalami atau terindikasi
positif terinfeksi penyakit demam keong berdasarkan hasil pemeriksaan tinjanya. Mereka
diminta menceritakan pengalaman apa yang dirasakan pada saat mengalami penyakit tersebut.

80
Untuk membuktikan efektivitas pendekatan testimoni dalam mendukung pembentukan
kesadaran penanggulangan penyakit demam keong, hal tersebut dicoba diterapkan pada beberapa
desa pada saat melakukan FGD (Focus Group Discussion). Salah seorang anggota FGD yang
sudah sembuh setelah meminum obat cacing khusus untuk pengobatan penyakit demam keong
diminta untuk menceritakan pengalamannya. Berikut adalah kutipannya:
“Sebelumnya saya tidak mengetahui kalu saya menderita penyakit demam keong. Saya
hanya pertama merasakan gatal pada badan saya dan muncul bercak merah. Saya
menduga itu hanya gatal biasa saja. Saya mengobatinya dengan ramuan namun tidak
ada perubahan. Bahkan semakin hari saya semakin merasakan keadaan tubuh saya
semakin lemas, tidak bersemangat, tidak ada gairah. Tidak ada nafsu makan, terasa
pusing. Saya meminum beberapa obat termasuk vitamin dan menggunakan obat
tradisional, tetap saja tidak berubah. Satu kesyukuran karena pada saat itu bertepatan
dengan pemeriksaan tinja. Saya ikut mengumpulkan tinja dan keluar hasil pemeriksaan
saya positif mengalami penyakit demam keong. Sekali lagi saya bersyukur karena masih
awal saya ketahuan positif menderita penyakit tersebut. melalui bantuan kader pada saat
itu, saya diberikan tindakan oleh pihak laboratorium schisto dengan memberikan obat.
Selang beberapa bulan kondisi tubuh saya perlahan mulai membaik, gairah makan sudah
membaik. Sampai saat ini saya merasakan manfaat yang sangat besar setelah minum
obat cacing. Andaikan tidak diketahui sejak awal saya barangkali sudah mati.”

Penyampaian pengalaman seperti ini secara psikologis sangat berpengaruh bagi


masyarakat yang lainnya untuk lebih waspada, mengingat pengalaman itu disampaikan langsung
oleh orang yang sehari-hari berinterksi dengan mereka, sehingga kondisi yang dialami oleh si
penutur secara psikologis seperti dialami langsung oleh yang lainnya, karena dipengaruhi oleh
perasaan empati.
Tugas lain yang dibebankan kepada Tim Peda adalah surveilans keong dengan cara
mencari keong di daerah yang potensial sebagai tempat hidup keong perantara schistosomiasis.
Ketika ada ditemukan keong yang dicurigai Tim Peda’ mengambil keong tersebut dan
selanjutnya dibawa ke Laboratorium Schistosimiasis untuk diperiksa oleh petugas laboratorium
yang telah ditugaskan.
Tugas lainnya bersama dengan pemerintah desa dan tokoh masyarakat mengajak
masyarakat di wilayahnya melakukan pembersihan daeah fokus keong. Proses pembersihannya
adalah dengan cara: 1. pembakaran yakni dengan cara membakar ranting dan daun-daun yang
ada di sekitar daerah fokus; 2. Pengeringan baik dengan cara mengalirkan air yang tergenang
ataupun dengan menimbun air yang tergenang; 3. Pembabatan/pemangkasan ranting-ranting di
pohon lebat yang menghalangi sinar matahari menyinari daerah fokus secara langsung.

81
Tugas Tim Peda’ yang lain adalah pengumpulan tinja. Berdasarkan hasil wawancara Tim
Peda’ sudah menjalankan tugasnya membantu masyarakat dan pihak laboratorium membagikan
pot tempat sampel tinja kepada masyarakat dan mengumpulkan tinja untuk di bawa ke
labortorium untuk diperiksa. Informasi yang cukup bagus adalah karena desa yang dulunya
memiliki presentase pengumpulan tinja sangat rendah dibandingkan dengan yang lainnya, kini
mengalami peningkatan persentase. Namun demikian peningkatan ini tidak bisa dinilai sebagai
bentuk tunggal dari buah kerja sosialisasi. Faktor lain yang diduga cukup berkontribusi atas
peningkatan presentasi pengumpulan tinja adalah diterapkannya aturan berupa PERDES yang
memberikan sanksi berup denda membayar sejumlah uang kepada desa bagi mereka yang lalai
mengumpulkan tinjanya, khususnya pada saat pemeriksaan tinja secara massal. Selain itu
terbentuknya semangat masyarakat untuk mendukung desanya memenangkan lomba desa dalam
moment penanggulangan schistosimiasis yang dilakukan oleh Balai Litbang Kesehatan
Donggala.
Tim Peda’ berperan penting dalam melaksanakan kegiatan pemberantasan daerah fokus
bersama masyarakat dan didampingi petugas Laboratorium Schistosomiasis. Jumlah daerah
fokus keong di Lore Barat mengalami penurunan cukup signifikan setelah dilakukan
pemberantasan secara intensif, dengan pembersihan daerah fokus (Gema Beraksi) dan
dilanjutkan dengan penyemprotan keong dengan moluskisida. Jumlah daerah fokus di Desa
Tuare dan Desa Tomehipi menjadi nol (0) dari sebelumnya masing – masing delapan daerah
fokus, Desa Kageroa dari tiga menjadi nol, dan Desa Lengkeka dari lima daerah fokus
berkurang menjadi tiga daerah fokus. Kegiatan pembersihan dan penyemprotan yang intensif
berhasil menghilangkan keong perantara schistosomiasis, sehingga dapat memutus rantai
penularan schistosomiasis. Keberadaan keong O.hupensis lindoensis di daerah fokus beringin
Desa Lengkeka juga sudah semakin sulit ditemukan, karena di daerah tersebut rajin dibersihkan
dan disemprot dengan moluskisida.
Penularan schistosomiasis membutuhkan keong sebagai hospes perantara, di Indonesia
keong perantara schistosomiasis adalah keong Oncomelania hupensis lindoensis. Infeksi terjadi
melalui serkaria yang menembus kulit manusia dan atau mamalia.1 Cacing parasit ini mutlak
membutuhkan keong perantara untuk melangsungkan siklus hidupnya. Berdasarkan hal tersebut
pengendalian keong menjadi salah satu upaya penting dalam memutus rantai penularan
schistosomiasis. Berkurangnya jumlah keong perantara schistosomiasis akan mengurangi risiko

82
manusia untuk tertular schistosomiasis, sehingga prevalensi juga dapat diturunkan. Berdasarkan
literatur dari penelitian pemberdayaan masyarakat lain, peran masyarakat dalam bentuk juru
malaria desa juga sangat besar dalam penemuan kasus malaria positif.16
Berdasarkan literatur, pelibatan dan pemberdayaan masyarakat merupakan strategi yang
ampuh dalam menentukan keberhasilan program penanggulangan penyakit, baik menular
maupun tidak menular.17 Beberapa intervensi masyarakat yang dilakukan melalui pemberdayaan
masyarakat di beberapa negara berpenghasilan menengah misalnya India dan Mongolia
menunjukkan hasil yang menjanjikan dari segi keberlangsungan atau sustainibilitas. Strategi
promosi kesehatan dengan pemberdayaan masyarakat mengharuskan partisipasi yang tinggi dari
sasaran sehingga memberikan dampak yang signifikan pada perubahan perilaku.18,19
Pengendalian secara mekanik dilakukan dengan manajenem dan atau modifikasi
lingkungan. Manajemen lingkungan meliputi kegiatan perbaikan saluran air di daerah fokus,
pemarasan rumput di tepi saluran air yang bertujuan memperlancar aliran air. Aliran air yang
lancar dan deras dapat mengurangi potensi tempat tersebut sebagai fokus keong perantara
schistosomiasis.3,20
Manajemen lingkungan juga dilakukan dengan penanaman lahan yang kosong dengan
tanaman produksi, misalnya sayur mayur, cokelat dan kemiri. Kegiatan pengolahan lahan ini
adalah untuk mengurangi potensi lahan menjadi fokus keong perantara schistosomiasis. Apabila
lahan kosong dibiarkan, maka akan ditumbuhi rumput yang menyimpan air yang membuat lahan
tersebut lembab, becek karena rembesan air dan sangat cocok bagi perkembangbiakan keong
perantara schistosomiasis.3,20
Kegiatan pengendalian dengan modifikasi lingkungan dilakukan dengan mengubah
daerah yang tergenang menjadi kolam ikan yang produktif. Hal ini dilakukan berdasarkan sifat
biologi keong yang akan mati apabila tenggelam di dalam air. Dengan pembuatan kolam, maka
air yang terkumpul menjadi banyak dan dalam, sehingga keong perantara schistosomiasis akan
mati. Selain itu masyarakat juga dapat mengambil manfaat lain, yaitu adanya ikan sebagai
sumber protein hewani.3,20
Kegiatan modifikasi lingkungan yang lain adalah mengubah lahan kosong menjadi sawah
irigasi. Dengan adanya pola tanam yang teratur di sawah tersebut, akan mengurangi terjadinya
lahan kosong di daerah fokus. Modifikasi lingkungan ini diterapkan di daerah fokus Desa
Mekarsari, yaitu daerah fokus diubah menjadi sawah dan kebun sayur seperti kol dan daun

83
bawang. Pengendalian juga dapat dilakukan dengan mengubah cara mengolah sawah, misalnya
dengan intensifikasi pertanian, memakai bibit unggul, pengolahan sawah sepanjang tahun,
perbaikan irigasi, mekanisasi pertanian.3,20
Pengendalian keong perantara schistosomiasis adalah satu dari banyak upaya
pengendalian schistosomiasis di daerah endemis. Berkurangnya jumlah keong perantara
schistosomiasis akan mengurangi risiko manusia untuk tertular schistosomiasis, sehingga
prevalensi juga dapat diturunkan. Meskipun penurunan pevalensi bukan hanya disebabkan
pengurangan jumlah fokus keong, akan tetapi faktor penurunan jumlah fokus memberikan
sumbangan yang besar dalam penurunan prevalensi schistosomiasis.
Kegiatan manajemen dan modifikasi lingkungan tidak dapat dilaksanakan oleh sektor
kesehatan saja, melainkan perlu keterlibatan aktif oleh berbagai lintas sektor. Peran lintas sektor
dalam pengendalian schistosomiasis sudah ditetapkan dengan SK Gubernur Sulawesi Tengah
Nomor: 443.2/201/DISKESDA-G.ST/2012 tentang Tim Terpadu Pengendalian Schistosomiasis
Provinsi Sulawesi Tengah tahun 2012-2016. Tim tersebut terdiri dari Dinas Kesehatan, Balai
Litbang P2B2 Donggala, Balitbang Daerah, Dinas Pertanian, Dinas Peternakan dan Kesehatan
Hewan, Dinas PU, Dinas Kehutanan, Dinas Perkebunan, Dinas Pendidikan dan Pengajaran,
Dinas Perikanan dan Kelautan, Bappeda, BPMPD, Badan Lingkungan Hidup, dan Balai Besar
Taman Nasional Lore Lindu.4 Peran lintas sektor dalam pengendalian saat ini sudah berjalan
akan tetapi kurang maksimal. Sektor kesehatan saat ini masih berperan sebagai leading sector
dalam pengendalian schistosomiasis.
Peningkatan kapasitas masyarakat melalui tokoh agama sebagai salah satu kegiatan dalam
implementasi Bada Model di dataran tinggi Bada. Pendekatan melalui peran tokoh agama
diharapkan dapat meningkat peran serta masyarakat dalam pengendalian schistosomiasis. Tokoh
Agama disebut juga sebagai peminpin nonformal karena kemampuan dan karismatiknya, diikuti
banyak orang walaupun pemimpin terrsebut tidak memimpin sebagai organisasi, tetapi
kehadirannya ditengah masyarakat diakui sebagai orang yang berpengaruh 1. Bentuk peran serta
masyarakat yang diharapkan adalah kesadaran individual dalam menumbuhkan tanggung jawab
bersama dengan memberikan motivasi warga dalam meningkatkan cakupan pemeriksaan tinja,
pengetahuan, sikap dan perilaku positif masyarakat dalam kaitan dengan schistosomiasis 2.
Masing-masing tim mobasa telah menyusun jadwal sosialisasi dan materi schistosomiasis.
Dalam pelaksanaannya, tokoh agama secara jujur mengemukakan keterbatasan mereka dalam

84
memberikan sosialisasi yang belum maksimal, dari segi pemahaman mereka tentang penularan
dan cara pengendalian schistosomiasis. Tim Mobasa masih butuh pembelajaran untuk
memahami schistosomiasis. Penyampaian materi tentang schistosomiasis belum secara
menyeluruh pada kelompok-kelompok ibadah, masih secara umum tentang himbauan kumpul
tinja, pengobatan dan cara mencegah schistosomiasis.
Hasil post test menunjukkan peningkatan pengetahuan masyarakat tentang
schistosomiasis. Keterlibatan tokoh agama memberikan hasil yang baik dalam upaya
peningkatan pengetahuan masyarakat tentang schistosomiasis. Kegiatan sosialisasi tidak dapat
dilakukan secara terus menerus karena berbagai hambatan dalam pelaksanaan sosialisasi, seperti
kesibukan beberapa mobasa dalam kegiatan desa, urusan keluarga dan kegiatan keagamaan
lainnya.
Pemberian materi schistosomiasis pada anak sekolah melalui tim mepaturo merupakan
salah satu metode yang digunakan untuk mengeliminasi schistosomiasis. Pemberian materi
schistosomiasis pada siswa merupakan strategi yang mempusatkan peserta didik sebagai objek.
Proses pembelajaran yang berpusat pada peserta didik merupakan model pembelajaran dengan
melibatkan peserta didik secara aktif dalam pembelajaran. Sehingga diharapkan siswa lebih aktif
dalam pembelajaran materi schistosomiasis.21 para siswa juga dibagikan lefleat atau brosur atau
buku bergambar yang berguna sebagai media pembelajaran. Pemberian media cetak diberikan
untuk memperkuat informasi yang disampaikan secara lisan oleh guru. dan media cetak ini
sangat berguna dalam pembelajaran karena disajikan lebih sistematik dan sederhana, memiliki
daya tarik dan perhatian bagi siswa karena diharapkan pemberian materi ini dapat menjadi
sumber informasi untuk teman sepermainan, keluarga dan juga masyarakat.22
Penggunaan metode dengan memberikan materi schistosomiasis pada anak sekolah
mengikuti ‘Lawa Project’ yang dilakukan di Thailand untuk pengendalian penyakit opisthorcis.
Lawa project yang salah satu kompenannya yaitu memasukkan materi mengenai opisthorcis ke
dalam kurikulum pendidikan anak sekolah dasar dan menengah pertama, sehingga siswa
mempunya pengetahuan mengenai sumber infeksi penyakit dan siswa dapat membagi informasi
serta sebagai pengingat kepada orangtua untuk tidak memakan ikan mentah yang menjadi
sumber penularan. Dengan menerapkan lawa project (pendekatan berbasis masyarakat), di
Thailand tingkat infeksi menurun hingga 50 % atau prevalensi hampir 1 % dibanding
sebelumnya 70 %.15 Hal yang sama pun terlihat pada penelitian yang dilakukan oleh Yuan,

85
Provinsi Hunan, China dimana adanya kolaborasi antara departeman kesehatan dan pendidikan
publik untuk memberikan pengajaran selama 2 jam dan pemberian bahan cetak untuk
meningkatkan pengetahuan anak didik mengenai schistosomiasis. Hasil dari penelitian ini
menunjukkan adanya perubahan signifikan pada pengetahuan tentang schistosomiasis dan
pengobatan penyakit. 23
Pemberian materi schistosomiasis pada anak sekolah dasar dan menengah pertama di
Kecamatan Lore Barat memperlihatkan adanya peningkatan pengetahuan sebelum dan sesudah
diberikan. Peningkatan yang terjadi karena secara rutin siswa diberikan materi mengenai
schistosomiasis mulai dari pengenalan cacing tersebut hingga bagaimana cara penularan,
pencegahan, dan gejala yang terlihat, ditambah lagi cara pengajaran guru dan media pengajaran
yang baik sehingga siswa lebih mudah memahami materi. Seperti pada penelitian yang dilakukan
oleh eliana dkk, dimana terjadi peningkatan pengetahuan mengenai gizi pada murid yang
diberikan buku saku yang dibahasakan secara sederhana dan bergambar sehingga siswa lebih
tertarik serta memahami isi buku tersebut.22
Penurunan pengetahuan juga terjadi pada siswa SD Tomehipi. Kemungkinan penurunan
ini terjadi karena pada saat mengerjakan soal pretest para siswa hanya menebak-nebak jawaban
yang sesuai. Soal pretest yang diberikan dalam bentuk pilihan berganda. Hal ini juga terlihat
pada penelitian yang dilakukan oleh Oviliani, bahwa terjadi penurunan pengetahuan setelah
diberikan penyuluhan kepada murid SD dikarenakan murid kurang cerdas karena berasal dari
golongan sosial ekonomi rendah dan materi yang diberikan harus secara perlahan dan
disampaikan dengan menarik.

86
BAB 6. KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. Kesimpulan

1. Pengendalian schistosomiasis oleh lintas sektor terkait belum maksimal dari target roadmap
eliminasi schistosomiasis.
2. Kelebihan pengendalian schistosomiasis oleh lintas sektor: semua lintas sektor yang
termasuk dalam roadmap sudah terlibat dan berperan dalam pengendalian schistosomiasis.
Kekurangan pengendalian schistosomiasis oleh lintas sektor adalah lokasi pengendalian
yang belum tepat sasaran, schistosomiasis bukan prioritas di lintas sektor selain sektor
kesehatan sehingga anggaran terbatas.
3. Implementasi Bada Model dapat meningkatkan cakupan pengumpulan tinja manusia,
pengandangan hewan ternak mamalia, penurunan jumlah daerah fokus keong O.hupensis
lindoensis, dan meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang schistosomiasis.

6.2. Saran

1. Diharapkan Bappeda ditingkat daerah untuk mengkoordinir anggaran dan koordinasi


pengendalian schistosomiasis bersama lintas sektor agar target capaian bisa lebih maksimal.
2. Evaluasi implementasi Bada Model agar bisa berkelanjutan dan bisa diterapkan di wilayah
Lindu dan Napu yang juga endemis schistosomiasis.

87
7. DAFTAR PUSTAKA

1. Hadidjaja P. Schistosomiasis Di Indonesia. 1st ed. Jakarta: UI Press; 1985.


2. WHO. WHO | Schistosomiasis. World Health Organization; 2017.
3. Sudomo M. Penyakit Parasitik Yang Kurang Diperhatikan. Jakarta: Badan Litbang
Kesehatan; 2008.
4. Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Tengah. Laporan Schistosomiasis Sulawesi Tengah.;
2015.
5. Bappenas. Roadmap Eradikasi Schistosomiasis Di Indonesia 2018-2025.; 2017.
6. Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Tengah. Laporan Schistosomiasis Sulawesi Tengah
2012.; 2012.
7. Sudomo M, Pretty M. S. Pemberantasan Schistosomiasis di Indonesia. Bul Penelit
Kesehat. 2007;35 No. I.
8. Tchuem Tchuentï LA, Rollinson D, Stothard JR, Molyneux D. Moving from control to
elimination of schistosomiasis in sub-Saharan Africa: Time to change and adapt strategies.
Infect Dis Poverty. 2017;6(1):1-14. doi:10.1186/s40249-017-0256-8
9. Nurwidayati A. Strategi pengendalian hospes perantara schistosomiasis. Spirakel.
2015;7(2):38-45.
10. Nurul R, Rau MJ, Anggraini L. Analisis Faktor Risiko Kejadian Schistosomiasis Di Desa
Puroo Kecamatan Lindu Kabupaten Sigi Tahun 2014. J Prev. 2016;7(1):1-12.
11. Rosmini, Jastal, Ningsi. Faktor Risiko Kejadian Schistosomiasis Di Dataran Tinggi Bada
Kabupaten Poso Sulawesi Tengah. Vektora. 2016;8(1):1-6.
12. Rosmini, Soeyoko, Sumarni S. Penularan Schistosomiasis di Desa Dodolo dan Mekarsari
Dataran Tinggi Napu Sulawesi Tengah. Media Litbang Kesehat. 2010;XX(3):113-117.
13. Nurjana MA, Samarang. INFEKSI Schistosoma japonicum PADA HOSPES
RESERVOIR TIKUS DI DATARAN TINGGI NAPU , KABUPATEN POSO ,
SULAWESI TENGAH TAHUN 2012. Media Litbang Kesehat. 2013;23(3):137-142.
14. Budiono NG, Satrija F, Ridwan Y, Nur D. Trematodosis pada Sapi dan Kerbau di Wilayah
Endemik Schistosomiasis di Provinsi Sulawesi Tengah , Indonesia ( Trematodoses in
Cattle and Buffalo Around Schistosomiasis Endemic Areas in Central Sulawesi Province
of Indonesia ). J Ilmu Pertan Indones. 2018;23(2):112-126. doi:10.18343/jipi.23.2.112
15. Sripa B, Tangkawattana S, Laha T, et al. Toward integrated opisthorchiasis control in
northeast Thailand: The Lawa project. Acta Trop. 2015;141(Part B):361-367.
doi:10.1016/j.actatropica.2014.07.017
16. Zubaidah IL. Hubungan Antara Pelaksanaan Tugas Juru Malaria Desa (JMD ) dengan

88
Penemuan Kasus Malaria Positif di Kabupaten Banjarnegara. 2015.
17. Trisnowati H. Pemberdayaan Masyarakat untuk Pencegahan Faktor Risiko Penyakit Tidak
Menular (Studi Pada Pedesaan Di Yogyakarta). Media Kesehat Masy Indones.
2018;14(1):17. doi:10.30597/mkmi.v14i1.3710
18. Krishnan A, Ekowati R, Baridalyne N, Kusumawardani N, Kapoor SK, Leowski J.
Evaluation of community-based interventions for non-communicable diseases:
experiences from India and Indonesia. doi:10.1093/heapro/daq067
19. Salwa M, Atiqul Haque M, Khalequzzaman M, Al Mamun MA, Bhuiyan MR, Choudhury
SR. Towards reducing behavioral risk factors of non-communicable diseases among
adolescents: protocol for a school-based health education program in Bangladesh. BMC
Public Health. 2019;19(1):1-9. doi:10.1186/s12889-019-7229-8
20. Badan Litbangkes. Kajian Penyakit Menular Utama dan Neglected. 2013;(11).
21. Hidayati F, Sudarnika E, Latif H, et al. Intervensi Penyuluhan dengan Metode Ceramah
dan Buzz untuk Peningkatkan Pengetahuan dan Sikap Kader Posyandu dalam
Pengendalian Rabies di Kabupaten Sukabumi. J Penyul. 2019;15(1):65-74.
22. Eliana D, Solikhah. PENGARUH BUKU SAKU GIZI TERHADAP TINGKAT
PENGETAHUAN GIZI PADA ANAK KELAS 5 MUHAMMADIYAH DADAPAN
DESA WONOKERTO KECAMATAN TURI KABUPATEN SLEMAN
YOGYAKARTA. Kes Mas. 2012;6(2):162-232.
23. Yuan L, Manderson L, Ren M, Li G, Yu D, Fang J. School-based interventions to enhance
knowledge and improve case management of schistosomiasis : a case study from Hunan ,
China. Acta Trop. 2005;96:248-254. doi:10.1016/j.actatropica.2005.07.019

89

Anda mungkin juga menyukai