Judul : Pendidikan Pancasila sebagai Karakter Bangsa
Pengarang : Drs. Syafri Fadillah Marpaung, M.pd
Penerbit : Bintang Garuda Atlas
Tahun : 2021
ISBN : 978-602-18213-0-5
Jumlah Halaman : 258
Kota Terbit : Medan
Ringkasan isi buku
Bab I : PANCASILA SEBAGAI IDEOLOGI DAN DASAR NEGARA
A. Sejarah Pancasila Pancasila diilhami oleh gagasan-gagasan besar dunia, tetapi tetap berakar pada kepribadian dan gagasan besar bangsa Indonesia. Proses sejarah konseptualisasi Pancasila melintasi rangkaian perjalanan yang panjang, setidaknya dimulai sejak awal 1900-an dalam bentuk rintisan gagasan untuk mencari sintesis antar ideologi dengan proses penemuan Indonesia sebagai kode kebangsaan bersama(Civic nationalism). Perumusan konseptualisasi Pancasila dimulai pada masa persidangan pertama BPUPKI tanggal 29 Mei-1 Juni 1945. Kemudian membentuk “Panitia Sembilan”, yang menyempurnakan rumusan Pancasila dari pidato Soekarno ke dalam rumusan versi Piagam Jakarta pada 22 Juni 1945. Setelah itu, Soekarno menawarkan rumusannya tentang lima prinsip(sila) yang menurutnya merupakan titik persetujuan (common denominator) segenap elemen bangsa. Rumusan kelima prinsip itu adalah:
Pertama: Kebangsaan Indonesia
Kedua: Internasionalisme, atau Peri-kemanusiaan Ketiga: Mufakat atau demokrasi Keempat: Kesejahteraan Sosial Kelima: Ketuhanan dan Kebudayaan
B. Pengertian dan Sejarah Konseptualisasi Pancasila
Secara etimologi dalam bahasa Sansekerta (Bahasa Bramana India), Pancasila berasal dari kata ‘Panca’ dan ‘Sila’. Panca artinya lima, sila artinya batu sendi atau dasar. Kata sila bisa juga berasal dari kata susila, yang berarti tingkah laku yang baik. Secara terminologi, Pancasila digunakan oleh Bung Karno sejak sidang BPUPKI pada 1 Juni 1945 untuk memberi nama pada lima prinsip dasar negara. Dalam perspektif historis, kelahiran, perumusan dan pengesahan Pancasila melewati perdebatan, pembahasan yang cukup lama yang melibatkan berbagai pihak dan kelembagaan yakni BPUPKI, Panitia Sembilan dan terakhir PPKI. 1. Sidang BPUPKI Pertama (28 Mei-1 Juni 1945) Dalam sidang pertama ini diisi dengan beberapa tokoh yang berpidato mengemukakan gagasannya masing-masing tentang konsep negara. Sesuai kesepakatan, tokoh yang berpidato pertama adalah Mr. Mohammad Yamin, kedua Prof. Dr. Soepomo, ketiga Soekarno.
2. Sidang BPUPKI Kedua (10-16 Juli 1945)
Sidang BPUPKI kedua ini lebih menekankan pembicaraan rumusan UUD, dan susunan pemerintahan Negara yang terdapat dalam penjelasan UUD. 3. Sidang PPKI Pertama (18 Agustus 1945) Sidang PPKI dilaksanakan empat kali. Namun rumusan final Pancasila mencapai kesepakatan dalam sidang pertama ini. Pada sidang selanjutnya lebih menitikberatkan membentuk konsep pemerintahan, pembagian wilayah dan membentuk komite Nasional. C. Pancasila Sebagai Landasan Ideologi, Dasar Falsafat Bangsa dan Negara Indonesia Bilamana kita rinci secara sistematis kedudukan Pancasila sebagai dasar kerohanian negara sebagai penjelmaan Pancasila. Pancasila pada hakikatnya merupakan dasar, atau basis filosofi bagi negara dan tertib hukum Indonesia. Hal ini dapat dirinci sebagai berikut. a. Pancasila merupakan dasar filsafat negara (asas kerohanian negara) pandangan hidup dan filsafat hidup. b. Di atas basis(dasar) itu berdirilah Indonesia, dengan asas politik negara (kenegaraan) yaitu berupa republik berkedaulatan rakyat. c. Kedua-duanya menjadi basis penyelenggaraan kemerdekaan kebangsaan Indonesia, yaitu pelaksanaan dan penyelenggaraan negara sebagaimana tercantum dalam hukum positif Indonesia, termuat dalam UUD 1945. d. Selanjutnya di atas UUD (yaitu sebagai basis) maka berdirilah bentuk susunan pemerintahan dan keseluruhan peraturan hukum positif yang mencakup segenap bangsa Indonesia dalam suatu kesatuan hidup bersama yang berasas kekeluargaan. Bab II: UNDANG UNDANG DASAR 1945 SEBAGAI KONSTITUSI NEGARA A. Teori Negara Hukum Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 menyebutkan bahwa “ Negara Indonesia adalah negara hukum” Negara Hukum adalah negara yang menegakkan supremasi hukum untuk kebenaran dan keadilan, tidak ada kekuasaan yang tidak dipertanggungjawabkan. Konstitusi adalah hukum dasar yang dijadikan pegangan dalam penyelenggaraan suatu negara. Konstitusi dapat berupa hukum dasar tertulis yang lazim disebut UUD, dan dapat pula tidak tertulis. Konstitusi merupakan hukum yang lebih tinggi dan paling fundamental sifatnya karena merupakan sumber legitimasi atau landasan otorisasi bentuk hukum atau aturan perundang-undangan lainnya. Paham konstitusionalisme berawal dari dipergunakannya konstitusi sebagai hukum dalam penyelenggaraan negara. Konstitusionalisme mengatur pelaksanaan rule of law (supermasi hukum) dalam hubungan individu dan pemerintah. Menurut Jhon Alder dan Daniel S. Lev paham konstitusionalisme adalah suatu paham negara terbatas, dimana kekuasaan politik resmi dikelilingi oleh hukum yang akan mengubah kekuasaan menjadi wewenang yang ditentukan secara hukum sehingga pada intinya, konstitusionalisme adalah suatu proses hukum yang mengatur masalah pembagian kekuasaan dan wewenang. Sesuai dengan rumusan Pasal 1 ayat (2) UUD Republik Indonesia 1945, “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”. Pasal tersebut dimaksud memuat paham konstitusionalisme. Rakyat pemegang kedaulatan tertinggi terikat pada konstitusi. Menurut Aristoteles, suatu negara yang baik ialah negara yang diperintah dengan konstitusi dan kedaulatan hukum. Menurutnya ada tiga unsur pemerintahan yang berkonstitusi, yaitu: 1. Pemerintahan yang dilaksanakan oleh kepentingan umum. 2. Pemerintahan dilaksanakan menurut hukum yang berdasarkan pada ketentuan-ketentuan umum, bukan hukum yang dibuat secara sewenang- wenang yang menyampingkan konvensi dan konstitusi. Adapun konsep pemikiran negara hukum yang berkembang di negara Anglo- Saxon yang dipelopori oleh A.V Decey (dari inggris) dengan prinsip rule of law. Konsep negara hukum tersebut memenuhi 3 (tiga) unsur utama: 1. Supermasi aturan hukum (supremacy of law), yaitu tidak adanya kekuasaan sewenang-wenang (Absence of arbitrary power), dalam arti bahwa seseorang hanya boleh dihukum atau melanggar hukum; 2. Kedudukan yang sama dalam mengahadapi hukum (Equality before the law), ini berlaku untuk orang biasa maupun pejabat; 3. Terjaminnya hak-hak manusia oleh undang-undang (di negara lain dengan Undang-Undang Dasar) serta keputusan-keputusan pengadilan. Dalam perkembangannya konsepsi negara hukum tersebut kemudian mengalami penyempurnaan, yang secara umum dapat dilihat diantaranya: 1. Sistem pemerintahan yang didasarkan atas kedaulatan rakyat; 2. Bahwa pemerintah dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya harus berdasar atas hukum atau peraturan perundang-undangan; 3. Adanya jaminan terhadap hak-hak asasi manusia; 4. Adanya pembagian kekuasaan dalam negara; 5. Adanya pengawasan dari badan peradilan (Rechterlijke controle) yang bebas dan mandiri. 6. Adanya sistem perekonomian yang dapat menjamin pembagian yang merata sumber daya yang diperlukan bagi kemakmuran warga negara. B. Sejarah Pemberlakuan Konstitusi 1. Periode Undang-Undang Dasar 1945(18 Agustus 1945- 27 Desember 1949) Pembahasan UUD dilakukan dalam sidang BPUPKI, sidang pertama pada 29 Mei- 1 Juni 1945 kemudian sidang kedua pada 10-17 Juli 1945. Setelah BPUPKI menyelesaikan tugasnya, langkah selanjutnya Pemerintah Negara Jepang membentuk kembali kepanitiaan yaitu PPKI yang bertugas menyiapkan segala sesuatu tentang kemerdekaan. Panitia tersebut beranggotakan 21 orang yang diketuai Ir. Soekarno dan Drs. Mohammad Hatta sebagai wakil ketua. Sejak PPKI menetapkan UUD 1945 pada 18 Agustus 1945, penyelenggaran negara didasarkan pada ketentuan-ketentuan menurut UUD 1945. 2. Periode Konstitusi Republik Indonesia Serikat (28 Desember 1949-17 Agustus 1950) Setelah Negara Republik Indonesia Serikat ditetapkan, maka Republik Indonesia hanya menjadi salah satu negara bagian dari Negara Republik Indonesia Serikat. Dan sesuai dengan pasal 2 Konstitusi Republik Indonesia Serikat wilayah negara Republik Indonesia hanya terdiri dari daerah-daerah yang disebut dalam Perjanjian Renville. Negara Republik Indonesia Serikat tidak bertahan lama karena negara-negara bagian menggabungkan dengan Republik Indonesia, sehingga dari 16 negara bagian menjadi 3 negara, yaitu Negara Republik Indonesia, Negara Indonesia Timur, dan Indonesia Sumatera Timur. Pada akhirnya, dicapai kesepakatan antara Republik Indonesia Serikat yang mewakili Negara Republik Indonesia Timur dan Nagara Sumatera Timur dengan Negara Republik Indonesia untuk kembali mendirikan NKRI. Langkah selanjutnya, dibuatlah kesepakatan yang tertuang dalam perjanjian pada 19 Mei 1950 untuk mendirikan kembali negara kesatuan, sebagai kelanjutan dari negara kesatuan yang diproklamasikan pada 17 Agustus 1945. 3. Periode Undang-Undang Dasar 1945 (5 Juli 1959-1999) Melalui Dekrit Presiden Nomor 150 tanggal 5 Juli tahun 1959, berlakulah kembali UUD 1945 di seluruh wilayah NKRI. Setelah Dekrit Presiden 5 Juli 1959, di awal pemberlakuan UUD 1945, sangat kondusif, dan bahkan dalam perjalanannya menjadi keinginan semua pihak, termasuk Presiden, MPR, dan DPR untuk selalu tetap melaksanakan UUD 1945 sekara murni dan konsekuen. Menurut UUD 1945, yang dikerjakan oleh MPR yaitu melaksanakan kedaulatan rakyat (Pasal 1 ayat (2), menetapkan UUD dan garis besar haluan negara (pasal 3), memilih Presiden dan Wakil Presiden (pasal 6), dan mengubah UUD (pasal 37). Presiden di dalam melaksanakan tugasnya dibantu oleh menteri-menteri (pasal 17 ayat 1). Menteri diangkat dan di berhentikan atas kehendak Presiden sendiri (pasal 17 ayat 2). Pada tanggal 21 Mei 1998, Presiden Soeharto menyatakan berhenti dari jabatan presiden setelah terjadi gelombang unjuk rasa besar-besaran, yang menandakan dimulainya era reformasi di Indonesia. Pada awal era reformasi, muncul desakan di tengah masyarakat yang menjadi tuntutan reformasi dari berbagai komponen bangsa, termasuk mahasiswa dan pemuda. Tuntutan itu antara lain sebagai berikut: 1. Amandemen (perubahan) UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945. 2. Penghapusan dwifungsi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI). 3. Penegakan supermasi hukum penghormatan hak asasi manusia (HAM), serta pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). 4. Desentralisasi dan hubungan yang adil antara pusat dan daerah (otonomi daerah). 5. Mewujudkan kebebasan pers. 6. Mewujudkan kehidupan demokrasi. C. Teori Konstitusi Istilah konstitusi berasal dari bahasa Perancis “constituer” yang berarti membentuk. Pemakaian istilah konstitusi yang dimaksudkan ialah pembentukan suatu negara atau menyusun dan menyatakan suatu negara. Konstitusi dengan istilah lain Constitution atau Verfasung dibedakan dari UUD atau Grundgeset. Dalam bahasa latin, kata konstitusi merupakan gabungan dua kata, yaitu cume dan statuere. Cume adalah sebuah preposisi yang berarti “bersama dengan...”, sedangkan statuere berasal dari kata sta yang membentuk kata kerja yang berarti berdiri. Louis Henkin menyatakan bahwa konstitusionalisme memiliki elemen- elemen sebagai berikut: 1. Pemerintah berdasarkan konstitusi (goverment according to the constitution); 2. Pemisahan kekuasaan (separation of power); 3. Kedaulatan rakyat dan pemerintahan yang demokratis (sovereignty of the people and democratic goverment); 4. Review atas konstitusi (constitutional review); 5. Independensi kekuasaan kehakiman (independent judiciary); 6. Pemerintah yang dibatasi oleh hak-hak individu (limited goverment subject to a bill of individual right); 7. Pengawasan atas kepolisian (controlling the police); 8. Kontrol sipil atas militer (Cicilian control of the military); dan 9. Kekuasaan negara yang dibatasi oleh konstitusi (no state power or very limited and strictly circumscribed state power , to suspend the operation of some parths of, or the entire, contitution). Menurut K.C. Wheare mengklasifikasi konstitusi sebagai berikut: 1. Konstitusi tertulis dan konstitusi tidak dalam bentuk tertulis (written constitution and unwritten constitution); 2. Konstitusi fleksibel dan konstitusi rigid (flexibel and rigid constitution); 3. Konstitusi derajat tinggi dan konstitusi derajat tidak tinggi (supreme and not supreme constitution); 4. Konstitusi Negara Serikat dan Negara Kesatuan (Federal and Unitary Constitution); 5. Konstitusi Pemerintahan Presidensial dan pemerintahan Parlemen (President Executive and Parliamentary Executive constitution). Ada dua macam konstitusi di dunia, yaitu “Konstitusi Tertulis” (Written constitution) dan “Konstitusi Tidak Tertulis” (Unwritten Constitution), ini diartikan seperti halnya “Hukum Tidak Tertulis” (ongeschreven recht) dan “Hukum Tertulis (geschreven recht) yang berdasar adat kebiasaan.