A. Pengalaman Beragama
Psikologi modern tampaknya telah mengungkapkan berbagai pendekatan
mengenai hubungan manusia dengan agama, walaupun pendekatan psikologis yang
digunakan hanya terbatas pada pengalaman empiris saja. Seperti halnya pendapat
Sigmund Freud yang mengatakan bahwa agama sudah dinilai sebagai bagian dari
kehidupan pribadi manusia yang erat kaitannya dengan gejala-gejala psikologis.
Selain itu, menurutnya agama juga tampak dalam perilaku manusia sebagai
simbolisasi dari kebencian terhadap ayah yang direfleksi dalam bentuk rasa takut
kepada Tuhan. Secara psikologis, agama adalah ilusi manusia. Manusia lari pada
agama karena rasa ketakberdayaannya menghadapi bencana. Dengan demikian,
segala bentuk perilaku keagamaan merupakan ciptaan manusia yang timbul dari
dorongan agar dirinya terhindar dari bahaya dan dapat memberikan rasa aman. Untuk
keperluan itu, manusia menciptakan Tuhan dalam pikirannya.
Ada empat macam pendapat mengenai hakikat pengalaman beragama.
Yang pertama, menyangkal adanya pengalaman tersebut. Apa yang dikatakan
sebagai pengalaman beragama adalah ilusi belaka. Pandangan ini dikemukakan oleh
kebanyakan ahli psikologi, sosiologi, dan para pemikir filsafat. Pandangan yang kedua
mengakui eksistensi pengalaman beragama, namun mengatakan bahwa pengalaman
tersebut tidak dapat dipisahkan karena sama dengan pengalaman yang bercorak
umum. Dewey, Wieman, Ames, dan para pemikir bangsa Eropa dan Amerika yang
lain adalah pengemuka pendapat ini. Pandangan ketiga, mempersamakan antara
bentuk sejarah agama dengan pengalaman beragama, suatu kebiasaan yang menjadi
ciri sikap konservatif yang tegar yang terdapat dalam berbagai masyarakat agama.
Pandangan yang keempat adalah pandangan yang mengakui adanya suatu
pengalaman keagamaan murni yang dapat diidentifikasikan dengan mempergunakan
kriteria tertentu yang dapat diterapkan terhadap ungkapan- ungkapannya yang
manapun.
Dalam hal ini, Skinner salah seorang tokoh Behaviorisme, tidak
menyinggung perilaku keagamaan secara khusus. Meskipun ia tampak sama sekali
tidak dapat menghindarkan diri dari keterkaitannya pada kenyataan bahwasanya
agama memiliki institusi dalam kehidupan masyarkat. Dalam hubungan ini pula,
Skinner melihat agama sebagai isme sosial yang lahir dari adanya faktor penguat.
Menurutnya, kegiatan keagamaan menjadi faktor penguat sebagai perilaku yang
meredakan ketegangan. Lembaga-lembaga sosial termasuk lembaga keagamaan
yang bertugas menjaga dan mempertahankan perilaku atau kebiasaan masyarakat.
Manusia menanggapi tuntutan yang terkandung dalam lembaga itu dan ikut
melestarikannya dengan cara mengikuti aturan-aturan yang telah baku.
Sedangkan menurut Abraham Maslow, yang lebih jelas membahas perilaku
keagamaan adalah psikologi humanistik. Psikologi humanistik berusaha memahami
segi esoterik (rohani) manusia. Maslow menyatakan bahwa kebutuhan manusia
memiliki tungkatan yaitu dari yang paling dasar hingga kebutuhan yang paling puncak.
Pertama, kebutuhan fisiologis, yaitu kebutuhan dasar untuk hidup seperti makan,
minum, istirahat, dan sebagainya. Kedua, kebutuhan akan rasa aman yang
mendorong orang untuk bebas dari rasa takut dan cemas. Kebutuhan ini
dimanifestasikan, antara lain dalam bentuk tempat tinggal yang
permanen. Ketiga, kebutuhan akan rasa kasih sayang, antara lain berupa pemenuhan
hubungan antarmanusia. Manusia membutuhkan perhatian dan keintiman dalam
pergaulan hidup. Keempat, kebutuhan akan harga diri. Kebutuhan ini dimanifestasikan
manusia dalam bentuk aktualisasi diri, antara lain dengan berbuat sesuatu yang
berguna. Pada tahap ini, manusia ingin agar buah pikirannya dihargai.
Pedekatan berikutnya dikemukakan oleh Victor Frankle pendiri aliran logo
terapi. Menurut Frankle, eksistensi manusia ditandai oleh tiga faktor, yakni
spirituality (kerohanian), freedom (kebebasan), dan responsibility (tanggung jawab).
Memang, Frankle menggunakan istilah spirituality tidak dihubungkan dengan
keberagamaan, melainkan semata-mata dikaitkan dengan penghayatan maknawi
manusia akibat adanya kemampuan transendensi terhadap dirinya dan
lingkungannya.
Pengalaman beragama ini bisa berupa pengalaman kerohanian. Biasanya
orang yang mengalami hal ini seakan-akan ia menyentuh apa yang berada di luar
duniawi. Pengalaman beragama yang khas itu merupakan tanda adanya Tuhan dan
sifat-sifat-Nya. Akan tetapi, karena pengalaman itu dirasakan oleh manusia maka
seringkali pengalaman yang suci bercampur dengan hal-hal yang bersifat duniawi
sehingga kesuciannya menjadi dangkal. Contoh pengalaman beragama yang suci
yaitu seperti halnya kesyahduan memandang ka’bah, kelezatan bergelantungan di
Multazam, kekhusyuan shalat atau keasyikan bertawaf.
Kesucian pengalaman nan-Ilahi itu akan menjadi dangkal dengan
timbulnya kesadaran bahwa Ka’bah itu hanyalah bangunan batu yang berbentuk
kubus dan gantungan di Multazam adalah tambang Ka’bah atau kiswah. Oleh karena
itu, tanda-tanda keagungan Tuhan kadang kala dianggap sebagai Tuhan sendiri. Hal
inilah yang sering kali menyesatkan manusia untuk memuja dan menyembah kepada
selain Allah.
Berbagai pendekatan psikologi modern tampaknya memang belum secara
jelas mengungkapkan hubungan manusia dengan agama sebagai bagian dari
kehidupan batin manusia yang paling mendalam. Namun, gambaran tentang adanya
penghayatan terhadap aspek-aspek spiritual manusia sama sekali tak terhindarkan.
Oleh sebab itu, agama memang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia.
Sedangkan pengingkaran manusia terhadap agama disebabkan oleh faktor-faktor
tertentu, baik dari kepribadiannya sendiri maupun lingkungannya. Namun, untuk
menutupi atau meniadakan sama sekali dorongan dan rasa keagamaan tampaknya
sulit sekali. Karena ternyata manusia memiliki unsur batin yang cenderung
mendorongnya untuk tunduk kepada Zat yang gaib. Hal ini merupakan bagian dari
faktor intern manusia yang dalam psikologi kepribadian disebut pribadi (self) atau hati
nurani (conscience of man).
Sebagaiman firman Allah dalam Surah Ar-Rum ayat 30 yang berbunyi:
ُ ِ◌نْ◌ي ً◌فا ف ط َ◌رت ه ﻟﻼ الَ◌ّ◌ ِ◌تي ف ط َ◌رال َ◌ّ◌ناس ع لَ◌ ْ◌ي َ◌اه ◌َ ل ت ب ِ◌دْ◌يل َخْ◌لق ه ﻟﻼ ٰ◌ذ ِ◌لك ال ِ◌ّ◌دْ◌ي
◌ن
◌ ِ◌ق ْ◌مو ْ◌جَ◌هك ِل ِ◌ّ◌دْ◌ين ح َ ◌مو ٰ◌ل ِ◌ك َ◌ّ◌ناَ◌ ْكَ◌ث َ◌ فار
ُ ا ْ◌ل َ◌قِ◌ّ◌ي
﴾٣٠﴿◌مْ◌و َ◌ن ُ ◌َال َ◌ّ◌ناس ◌َ ل ي ْ◌لع
Artinya : “ Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Islam), (sesuai)
fitrah Allah disebabkan Dia telah menciptakan manusia menurut (fitrah) itu. Tidak ada
perubahan pada ciptaan Allah (itula) agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia
tidak mengetahui.” (Q.S. Ar-Rum: 30)
Dari ayat tersebut jelas bahwa fitrah Allah maksudnya ciptaan Allah.
Manusia diciptakan Allah mempunyai naluri beragama, yaitu agama tauhid. Kalaupun
ada manusia yang tidak beragama tauhid, hal itu wajar. Mereka tidak beragama tauhid
hanyalah lantaran pengaruh lingkungannya saja.
B. Motivasi Beragama
Motivasi berasal dari bahasa Inggris “motive” dari kata “motion” adalah
suatu istilah yang lebih umum digunakan untuk menggantikan tema “motif-motif” yang
berarti gerakan atau sesuatu yang bergerak sehingga kata motivasi ini erat
hubungannya dengan “gerak”, yakni gerakan yang dilakukan oleh manusia. Dalam
psikologi, motivasi ini dapat berarti rangsangan atau dorongan untuk bertingkah laku.
Psikologi membahas motivasi beragama atau penyebab yang mendorong
maupun menarik manusia menganut suatu agama berdasarkan dinamika psikologis
serta peranan fungsi kejiwaan dalam perilaku keagamaan. Pembahasan mengenai
agama sebagai salah satu metode psikoterapi, tidak akan terlepas dari kehidupan
motivasi beragama. Psikologi sebagai sains tidak mampu menganalisis penyebab
yang paling mendasar dari tingkah laku keagamaa, karena analisis psikologis itu
terbatas pada fakta empiris. Teori-teori phisiologis, instink, konflik, frustasi baik
disebabkan faktor biologis, psikologis, sosial, kematian maupun frustasi moral atau
teori psikologi lainnya mengenai penyebab perilaku keagamaan hanya mampu
menerangkan motivasi beragama secara fungsional.
Menurut Ramayulis, motivasi memiliki beberapa peran dalam kehidupan
manusia, minimal ada empat peran motivasi, yaitu: motivasi berperan sebagai
pendorong manusia dalam melakukan sesuatu, moivasi berperan sebagai penentu
arah dan tujuan, motivasi berperan sebagai penyeleksi perbuatan yang akan
dilakukan oleh manusia, dan motivasi berperan sebagai penguji sikap manusia dalam
berbuat, termasuk perbuatan dalam beragama.
Secara psikologis, agama dapat berfungsi sebagai motif intrinsik (dalam
diri) yang berguna, diantaranya untuk terapi mental dan motif ekstrinsik (luar diri)
dalam rangka menangkis bahaya negatif arus era global.
1. Motif Intrinsik
Orang yang tidak merasa tenang, aman, dan tentram dalam hatinya adalah orang
yang sakit rohani atau mentalnya. Para ahli psikiatri mengakui bahwa setiap manusia
mempunyai kebutuhan dasra tertentu yang diperlukan untuk melangsungkan proses
kehidupan mereka secara lancar. Apabila kebutuhan tersebut tak terpenuhi, manusia
akan berusaha untuk menyesuaikan diri dengan kenyataan yang dihadapinya.
Kemampuan inilah yang kemudian mengembalikannya pada kondisi semula hingga
[roses kehidupan berjalan dengan lancar seperti sedia kala.
Akan tetapi, dalam kehidupan sehari-hari tak jarang dijumpai bahwa seseorang tak
mampu menahan keinginan bagi terpenuhinya kebutuhan dirinya. Dalam kondisi
tersebut akan terjadi konflik dalam batin. Dari konflik tersebut akan menimbulkan
ketidakseimbangan dalam kehidupan rohani, yang dalam kesehatan mental disebut
sebagai kekusutan rohani. Kekusutan rohani seperti ini disebut kekusutan fungsional.
Bentuk kekusutan fungsional ini bertingkat, yaitu psychopat, psychoneurose,
dan psikotis. Psychoneurose ditandai bahwa seseorang tak mengikuti tuntutan-
tuntutan masyarakat. Pengidap psychoneurose menunjukkan perilaku menyimpang.
Adapun penderita psikotis dinilai mengelami kekusutan mental yang berbahaya
sehingga memerlukan perawatan khusus.
Usaha penanggulangan kekusutan rohani atau mentaal ini sebenarnya dapat
dilakukan dengan memilih penyesuaian diri dengan norma-norma moral yang luhur
seperti bekerja jujur, resignasi, sublimasi, dan kompensasi. Dalam konteks ini terlihat
hubungan agama sebagai terapi kekusutan mental. Sebab nilai-nilai luhur termuat
dalam ajaran agama bagaimanapun dapat digunakan untuk penyesuaian dan
pengendalian diri hingga terhindar dari konflik batin.
2. Motif Ekstrinsik
Motif ekstrinsik ini diakibatkan oleh pengaruh era global yang memberikan perubahan
besar pada tatanan dunia secara menyeluruh dan perubahan itu dihadapi bersama
sebagai suatu perubahan yang wajar. Saat itu, manusia dihadapkan kepada
peradaban umat manusia. Di sisi lain manusia dihadapkan kepada malapetka sebagai
dampak perkembangan dan kemajuan modernisasi dan perkembangan teknologi itu
sendiri.
Dalam kondisi seperti itu, manusia akan mengalami konflik batin secara besar-
besaran. Konflik tersebut sebagai dampak dari ketidakseimbangan antara
kemampuan iptek yang menghasilkan kebudayaan materi dengan kekosongan rohani.
Kegoncangan batin itulah yang kemudian akan mempengaruhi kehidupan psikologis
manusia. Pada saat itu, kemudian manusia akan mencari penentram batin antara lain
agama.
TUGAS:
JAWABAN:
2. Motif Intrinsik
o Motif intrinsik
Orang yang tidak merasa tenang, aman, dan tentram dalam hatinya
adalah orang yang sakit rohani atau mentalnya. Para ahli psikiatri
mengakui bahwa setiap manusia mempunyai kebutuhan dasra tertentu
yang diperlukan untuk melangsungkan proses kehidupan mereka secara
lancar. Apabila kebutuhan tersebut tak terpenuhi, manusia akan
berusaha untuk menyesuaikan diri dengan kenyataan yang dihadapinya.
Kemampuan inilah yang kemudian mengembalikannya pada kondisi
semula hingga [roses kehidupan berjalan dengan lancar seperti sedia
kala.
Contoh nya : Ketika kita tertimpa banyak musibah dan masalah maka
selain kita meminta pertolongan pada Allah SWT maka kita butuh support
dari orang lain agar kita dapat menjalan kan hidup seperti biasa nya
o Motif Ekstrinsik
Motif ekstrinsik ini diakibatkan oleh pengaruh era global yang
memberikan perubahan besar pada tatanan dunia secara menyeluruh
dan perubahan itu dihadapi bersama sebagai suatu perubahan yang
wajar. Saat itu, manusia dihadapkan kepada peradaban umat manusia.
Di sisi lain manusia dihadapkan kepada malapetka sebagai dampak
perkembangan dan kemajuan modernisasi dan perkembangan teknologi
itu sendiri
Contoh nya : dengan muncul nya internet dalam kehidupan sekarang
menjadi ujian tersendiri bagi kita apakah kita memanfaatkan nya dengan
baik atau tidak
3.
1. Dalam kehidupan individu
Agama dalam kehidupan individu berfungsi sebagai suatu sistem nilai yang
memuat norma-norma tertentu. Secara umum, norma-norma tersebut
menjadi kerangka acuan dalam bersikap dan bertingkah laku agar sejalan
dengan keyakinan agama yang dianutnya. Sebagai sistem nilai agama
memiliki arti yang khusus dalam kehidupan individu serta dipertahankan
sebagai bentuk ciri khas.Nilai adalah daya pendorong dalam hidup, yang
memberi makna dan pengabsahan pada tindakan seseorang, sehingga tak
jarang pada tingkat tertentu seseorang siap untuk mengorbankan hidup
mereka demi mempertahankan nilai. Nilai mempunyai dua segi, yaitu segi
intelektual dan segi emosional, dan gabungan kedua aspek inilah yang
menentukan suatu nilai beserta fungsinya dalam kehidupan. Apabila dalam
kombinasi pengabsahan terhadap suatu tindakan unsur intelektual yang
dominan, maka kombinasi nilai itu disebut norma atau prinsip. Namun,
dalam keadaan tertentu, dapat saja unsur emosional yang lebih berperan,
sehingga seseorang larut dalam dorongan rasa.